Bab 10.
Malam Yang Hebat
Cu Cong ambil
sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya Tong Sie terlebih lihay
daripada Tiat
Sie, dari itu, ia terpaksa
menggunai akal ini.
Itu waktu Siauw Eng
telah kasih dengar suara kaget. Ia tanmpak sekarang, di depan bayangan yang
berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan lain, yang kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi tidak
kelihatan. Ia lantas lari turun ke arah orang orang bertubuh kecil dan kate itu, sebab ia segera menduga kepada Kwee Ceng.
Ia berkhawatir berbareng girang. Ia khawatirkan keselamatannya bocah itu, ia
girang yang orang telah menepati janji. Dan
ia kemudia berlari, untuk memapaki, guna menyambut bocah itu.
Selagi dua orang ini mendatangi
dekat satu dengan lain, Tong Sie si Mayat Perunggu
pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee ceng. Ia dapat berlari dengan
cepat luar biasa.
“Inilah hebat…” pikir Siauw Eng. “Aku bukan
tandingannya Tong Sie….tapi mana dapat aku tidak menolong bocah itu?” Maka
terpaksa ia cepatkan tindakannya, terpaksa ia berteriak: “Bocah, lekas lari,
lekas lari!”
Kwee Ceng dengar
suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan hingga ie berseru. ia tidak
tahu, di belakangnya dia tangan maut lagi menghampiri.
Siauw Mie To Thio A Seng telah
menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak beberapa tahun, sampai sebegitu jauh
belum pernah ia berani mengutarakan rasa hatinya itu, sekarang ia lihat si nona
Han terancam bahaya, ia kaget dan berkhawatir, dengan melupakan bahaya, ia lari
turun, niatnya mendahului nona itu, untuk memberi tahu supaya, habis menolongi
orang, si nona terus menyingkir.
Lam Hie Jin semua memasang mata
ke bawah bukit, mereka bersedia dengan senjata rahasia masing-masing, untuk
menolongi Siauw Eng dan A Seng.
Segera juga Siauw Eng sampai kepada
Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apa, ia sambar
bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki bukit. Tiba-tiba ia
rasai tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee Ceng
pun menjerit kaget! Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong, demikian bayangan
yang mengejar itu.
Dengan kegesitannya, Siauw Eng
lompat ke samping, dari situ ia menyerang dengan pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu,
tetapi ia gagal, maka ia susuli dengan tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia
mainkan jurus “Hong
Hong tiam tauw” – Burung Hong
menggoyang kepala, dan “Wat Lie Kiam-hoat”- ilmu pedangnya gadis Wat.
Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng
di dengan lengan kirinya, ia kasih lewat ujung pedang, lalu dengan sikut
kanannya, ia menyampok, setelah pedang itu berpindah arah, ia meneruskan
menyambar si nona dengan jurusnya “Sun swi twi couw” – Menolak Perahu Mengikuti
Air. Sia-sia Siauw
Eng tarik pedangnya, untuk
diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong
mendahulukan menepuk pundaknya, hingga seketika ia roboh ke tanah.
Tan Hian Hong tidak berhenti
sampai disitu, ia memburu dan ulur tangannya yang terbuka ke ubun-ubunnya nona Han. Ia bergerak dalam jurus Kiu Im Pek-kut Jiauw yang lihay
yang untuk meremukkan batok kepala orang.
Thio A Seng sudah maju tinggal
beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman bahaya terhadap si nona yang ia
sayangi, ia lompat kepada si nona itu, untuk mengahalangi serangan, tetapi
justru karena ini, bebokongnya mewakilkan Siauw Eng kena dijambret, hingga lima
jarinya si Mayat Perunggu masuk ke dalam dagingnya. Ia menjerit keras tetapi
pedangnya dikerjakan untuk dipakai menikam ke dadanya lawan! Hanya, kapan Hian Hong
mengempos semangatnya, pedang itu meleset di dadanya itu. Berbareng dengan itu,
si Mayat Perunggu lemparkan tubuh musuhnya.
Cu Cong bersama Coan Kim
Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie
lantas lari menyusul tubuh saudaranya itu.
“Hai, perempuan bangsat,
bagaimana kau?!” terdengar teriakannya Hian Hong.
Tiauw Hong tengah
memegangi pohon besar, ia menyahut dengan keras: “Lelaki bangsat,sepasang mataku
dirusak oleh mereka itu! ikalau kau kasih lolos satu saja diantara tiga ekor
anjing itu, sebentar akan aku adu jiwa denganmu!”
“Bangsat perempuan, legakan
hatimu!” sahut Tan Hian Hong. “Satu juga tidak bakal lolos!” sambil mengucap
begitu, ia serang Han
Siauw Eng
dengan dua-dua tangannya.
Dengan gerakannya “Lay louw ta
Kun” atau “Keledai malas bergulingan”, Siauw Eng buang diri dengan bergulingan,
dengan begitu ia bisa menyingkir beberapa tindak, hingga ia bebas dari bahaya.
“Kau masih memikir untuk menyingkir?”
tanya Hian Hong.
Thio A
Seng rebah di tanah dengan
terluka parah, menampak nona Han dalam bahaya, ia
menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang kepada musuh itu.
Hian Hong lihay sekali, batal
meneruskan serangannya kepada Siauw Eng, ia papaki kakinya Thio A Seng itu,
lima jarinya masuk ke dalam daging betis, maka itu, tak dapat Siauw Mie To
bertahan lagi, setelah satu jeritan keras, ia jatuh pingsan.
Justru itu, Siauw Eng
lepas dari marabahaya, sambil lompat bangun, ia menyerang musuhnya. Tapi
sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak mau berkelahi secara rapat,
saban kali si Mayat
Perunggu hendak menjambak, ia
jauhkan diri, ia berputaran.
Di waktu
itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong bersama Coan Kim
Hoat mendahulukan menyerang denagn
senjata rahasia mereka.
Tan Hian Hong kaget dan heran
akan menyaksikan semua musuhnya demikian lihay, ia menduga-duga siapa mereka
dan kenapa mereka itu muncul di gurun pasir ini. Akhirnya ia berteriak: “Eh,
perempuan bangsat, makhluk-makhluk ini orang-orang macam apakah?!”
Bwe Tiauw
Hong sahuti suaminya itu:
“Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin Liong
dan konconya Hui Thian Phian-hok!”
“Oh!” berseru Hian Hong.
Lantas ia mendamprat: “Bagus betul, bangsat anjing, kiranya kau belum mampus!
Jadinya kamu datang kemari untuk mengantarkan nyawa kamu!”
Tapi ia juga khawatirkan
keselamatan istrinya, ia lalu menanya: “Eh, perempuan bangsat, bagaimana dengan
lukamu? Apakah luka itu menghendaki jiwa kecilmu yang busuk itu?!”
Bwee Tiauw
Hong menyahuti suaminya dengan
mendongkol: “Lekas bunuh mereka! Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!”
Hian Hong tahu
luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia pegang pohon saja dan tiak
datang membantu. Istri itu sengaja pentang mulut besar. Ia berkhawatir tetapi
ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu Cong
berlima telah kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa Tin Ok,
berdiri diam sambil menanti ketikanya. Ia lantas lepaskan Kwee Ceng,
yang ia lempar ke tanah, meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia serang Coan Kim
Hoat.
Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya. Karena itu, sambil berkelit, ai terus lompat kepada Kwee Ceng, tubuh siapa ia sambar, dengan lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak lebih. Gerakannya itu ialah yang dinamakan “Leng miauw pok cie” atau “Kucing gesit menerkam tikus”, untuk menolongi diri berbareng menolongi orang.
Hian Hong kagum
hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas, makin lihay musuh, makin
keras niatnya untuk membinasakan mereka, apalagi sekarang ini latihannya ilmu
yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw, sudah selesai delapan atau sembilan bagian.
Tiba-tiba ia berpekik, kedua tangannya bekerja, meninju dan menyambar.
Kelima Manusia
Aneh dari Kanglam itu
menginsyafi bahaya, karenanya mereka berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka
merapatkan diri. Maka itu kurungan mereka menjadi semakin lebar.
Setelah berselang begitu lama,
Han Po Kie tunujk keberaniannya. Ia menyerang dengan Teetong Pian-hoat, yaitu
ilmu bergulingan di tanah, guna menggempur kaki lawan.
Dengan caranya ini, ia membikin
perhatiannya tan Hian
Hong menjadi terbagi. Karena ini,
satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin, hingga bebokongnya berbunyi
bergedebuk. Walaupun merasakan sakit, tapinya ia tidak terluka, dia hanya
terteriak menjerit-jerit, berbareng dengan itu, tangannya menyambar
penyerangnya itu.
Belum lagi Hie Jin menarik pulang
senjatanya, sambaran itu sudah sampai kepadanya, terpaksa ia melenggakkan
tubuhnya.
Lihay tangannya Hian Hong
itu. Diwaktu dipakai menyambar, buku-buku tulangnya memperdengarkan suara
berkeretekan, lalu tangannya itu seperti terulur menjadi lebih panjang dari
biasanya. berbareng dengan itu juga da tercium bau bacin.
Hie Jin
kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang berwarna biru
sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu – atau lebih benar lima jarinya – sudah
mendekati ubun-ubunnya! Dalam keadaan sangat berbahya itu, ia gunai
Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, guna membnagkol lengan musuh itu, untuk
diputar ke kiri.
Berbareng dengan itu, Cu Cong
pun merangsak ke belakang Tong Sie, si Mayat Perunggu
itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur, guna mencekik leher musuh
itu. Karena tangan kanannya itu terangkat, dengan sendirinya dadanya menjadi
terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi hal ini karena adiknya terancam dan adiknya
itu perlu ditolongi.
Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat
nyaring, lalu dengan tiba-tiba juga, mega hitam menutup sang putri malam,
hingga semua orang tidak dapat melihat sekalipun lima jari tangannya di depan matanya!
Di dalam
gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara “Duk!” satu
kali, tanda tenaga diadu. Itulah
Tan Hian
Hong, yang telah pertunjuki
tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang sikutnya yang kiri
menghajar dadanya Cu
Cong.
Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong
meringis dan tangannya yang dipakai mencekik leher musuh terlepas sendirinya,
sebab tubuhnya terpental rubuh saking kerasnya serangan sikut itu.
Hian Hong sendiri
bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi hampir-hampir ia tak dapat
bernapas, setelah bebas, ia lompat ke samping, untuk lekas-lekas menjalankan
napasnya.
“Semua renggang!” teriak Han Po
Kie dalam gelap gulita itu.
“Citmoay, kau bagaimana…”
“Jangan bersuara!” menjawab Siauw Eng,
si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari
ke samping beberapa tindak.
Kwa Tin Ok dengari segala
gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. “Jitee, kau bagaimana?” ia terpaksa
bertanya.
“Sekarang ini langit gelap sekali,
siapa pun tidak dapat melihat siapa,” Coan Kim Hoat memberitahu.
Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok
si Kelelawar
Terbangkan Langit
itu menjadi girang luar biasa. “Thian membantu aku!” ia memuji dalam hatinya.
Diantara tujuh Manusia Aneh,
tiga sudah terluka parah, itu artinya Kanglam Cit
Koay telah kalah besar, maka
syukur untuknya, sang guntur
menyebabkan langit menjadi gelap gulita, habis mana, sang hujan pun turun
menyusul. Semua orang berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu pun yang
berani mendahului bergerak pula.
Kwa Tin Ok berdiam, dengan
lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada suara hujan, samar-samar ia masih
mendengar suara napas orang. Dengan waspada ia pasang terus kupingnya. Ia
dengar suara napas di sebelah kiri ia, terpisahnya delapan atau sembilan tindak
daripadanya. Ia merasa pasti, itu bukan napas saudara angkatnya, dengan lantas
ia ayunkan kedua tangannya, akan terbangkan enam batang tok-leng, diarahkan ke
tiga penjuru.
Tan Hian Hong adalah orang yang
diserang. Si Mayat Perunggu lihay sekali. Ia dengar sambaran angin, ia segera
menunduk. Dua batang tok-leng lewat di atas kepalanya. Empat yang lain tepat
mengenai tubuhnya, tetapi ia kebal seperti istrinya, ia tidak terluka, ia
melainkan merasa sangat sakit. Karena serangan tok-leng ini, ia menjadi tahu di
mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia lompat ke arah musuh itu, kedua
tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak kasih dengar suara apa-apa.
Tin ok dengar suara angin, ia
lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar dengan tongkatnya.
Dengan begitu, di tempat gelap
gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu dengan yang lain tidak dapat melihat,
mereka dari itu Cuma andalkan kuping mereka, mereka melainkan mendengari suara
sambarannya angin.
Han Po Kie bersama Han Siauw
Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui kakaknya tengah
bertenpur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka berulang-ulang, untuk
menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan pikiran musuh. Disamping itu
dengan meraba-raba, mereka pun menolongi tiga saudara mereka yang tealh
terluka.
Pertempuran Hian
Hong dengan Tin Ok hebat
dengan cepat telah berlalu dua sampai tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie
beramai, rasanya pertempuran itu berjalan sudah lama, disebabkan ketegangan dan
kecemasan hati mereka. Ingin mereka membantui saudara mereka itu tetapi mereka
tidak dapat melihat.
Tiba-tiba Hian Hong
menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara terhajarnya terdengar nyata.
Mendengar itu, Po Kie semua bergirang. Itulah tandanya kakak mereka mulai
berhasil.
Selagi orang kegirangan, mendadak
kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.
Coan Kim
Hoat terkejut, ia berseru:
“Toako, awas!”
Hian Hong sangat
lihay dan gesit, selagi Kim
Hoat bersuara, tubuhnya sudah
mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan tongkat lawan, yang
kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat itu ia papaki denagn
pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke atas, guna menangkap tongkat
musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan kiri ini, tangan kanannya menjambak
ke depan. Sinar kilat sudah lenyap tetapi sambaran itu telah mengenai
sasarannya.
Tin Ok kaget tidak kepalang, ia
melompat mundur. Gerakannya itu terhalang, karena bajunya kena terjambak dan
robek karenanya. Karena ini, Hian
Hong lanjuti serangannya tanpa
berlengah sedetikpun, dengan mengepal lima
jari tangannya, ia lanjuti serangannya, lengannya itu terulur panjang.
Telak serangan itu, tubuh Tin Ok
terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya. Tongkatnya yang terampas Hian Hong,
oleh Hian Hong dipakai menyerang ia dalam rupa timpukan!
Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia
tertawa sambil berlenggak, ia berpekik secara aneh.
Justru itu, kilat berkelebat
pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget sekali. ia melihat bagaimana tongkat
kakaknya itu, yang digunai Hian
Hong, tengah menyambar ke kakaknya
itu, yang tubuhnya terhuyung. Syukur dalam kagetnya itu, ia masih ingat untuk
segera menyerang denagn cambuknya, guna mencegah dan melibat tongkat itu.
“Sekarang hendak aku mengambil
nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!” berseru Hian Hong,
yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolongi
kakanya itu. Ia lantas berlompat, guna hampirkan si cebol. Tapi kakiknya
terserimpat, seperti ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu bertubuh
kecil.
Ia menduga tak keliru, orang itu
ialah Kwee Ceng! Segera ia menunduk, untuk sambar
bocah itu.
“Lepaskan aku!” menjerit Kwee Ceng.
“Hm!” Hian Hong
ksaih dengar suaranya yang seram.
Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong
perdengarkan jeritan yang hebat sekali, tubuhnya terus roboh terjengkang. Ia
terkena justru bagian tubuhnya yang terpenting, ialah kelemahannya. Ia melatih
diri dengan sempurnya, ia menjadi tidak mempan barang tajam, kecuali pusarnya
itu. Lebih celaka lagi, ia terkena pisaunya Khu Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup
mengutungi emas dan batu kemala. Diwaktu bertempur ia selalu melindungi
perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu bocah, ia lupa. Ini dia yang
dibilang “Orang yang pandai berenang mati kelelap, di tanah rata kereta rubuh
ringsak”. Sebagai jago is terbinasa di tangannya satu bocah yang tidak mengerti
ilmu silat.
Bwee Tiauw
Hong si Mayat Besi
dapat dengar jeritan suaminya itu, dari atas bukit ia lari untuk menghampirkan.
Satu kali ia kena injak tempat kosong, ia terjeblos dan roboh terguling-guling.
Tetapi ia bertubuh kuat, berurat tembaga bertulang besi, ia tidak terluka.
Segera ia tiba di samping suaminya.
“Lelaki bangsat, kau kenapa?” ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya membawa-bawa
“bangsat”, sebagaimana juga kebiasaan suaminya.
“Celaka, perempuan bangsat….” sahut
Hian Hong lemah. “Lekas kau lari…!”
Kwee Ceng dengar
pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia bersembunyi di
pinggiran. Ia takut bukan main.
Sang istri kertak giginya. “Akan
aku balaskan sakit hatimu!” ia berseru.
“Kitab itu telah aku bakar…” kata
Hian Hong, suaranya terputus-putus.
“Rahasianya…di dadaku…” Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya lantas
meretak berulang-ulang.
Tiauw Hong tahu,
disaat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya itu telah membuyarkan
tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak dapat mengawasi suaminya itu
tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan hatinya lalu dengan tiba-tiba, ia
hajar batok kepala suaminya. Maka sejenak itu, habislah nyawa jago itu.
Istri ini lantas meraba ke dada
orang, untuk mengambil kitab yang dikatakan suaminya itu, ialah kitab Kiu Im
Cin Keng
bagian rahasianya.
Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw
Hong ini asalnya adalah saudara
satu perguruan, mereka adalah murid-muridnya Tocu Oey Yok Su,
pemilik dari pulau Tho Hoa To di Tang Hay, Laut Timur.
Oey Yok
Su adalah pendiri dari suatu
kaum persilatan sendiri, kepandaiannya itu ia ciptakan dan yakinkan di pulau
Tho Hoa To itu. Sejak ia berhasil menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak
pernah ia pergi meninggalkan pulaunya itu. Karena ini, untuk di daratan
Tionggoan, sedikit orang yang ketahui kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal
dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan di Kwantong dan Kwansee dan Toan Sie yang
kesohor di Selatan (Thian Lam).
Dua saudara seperguruan itu
terlibat api asmara
sebelum mereka lulus. Mereka insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka
bakal dihukum mati dengan disiksa. Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka
naik sebuah perahu kecil, kabur ke pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana
mereka menyingkir lebih jauh ke Lengpo di propinsi Ciatkang.
Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya
cukup untuk membela diri tetapi tak dapat digunai untuk menjagoi, sekalian
buron, maka ia tak berbuat kepalang tanggung, ia curi sekalian kitab Kiu Im
Cin Keng
dari gurunya, untuk mana ia nyelusup masuk ke kamar gurunya itu.
Kapan Oey
Yok Su ketahui
perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan main. Tapi ia telah bersumpah
tidak akan meninggalkan Thoa
Hoa To, terpaksa ia membiarkan
saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya menjadi korbannya. Semua
muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga mereka menjadi manusia-manusia
bercacad seumur hidupnya, lalu ia usir mereka dari pulaunya.
Hian Hong dan
Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk menyakinkan Kiu Im Cin Keng
itu. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum pernah ada
orang yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah minta bnayak
korban, apapula makin lama mereka jadi makin telangas.
Pada waktu suami istri kejam ini
dikeroyok orang-orang gagah dari pelbagai partai persilatan di utara Sungai Besar.
Medan
pertempuran ada di atas gunung Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan,
baru ketiga kalinya, mereka kena dilukakan, hingga mereka kabur untuk
sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan terlalu banyak pengepungnya. Mereka
sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak ada kabar ceritanya, hingga orang
percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya. Tidak tahunya, mereka terus
menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian “Kiu Im Pek Kut Jiauw” atau “Cengkeraman
Tulang Putih” dan “Cui Sim Ciang” atau “ Tangan Peremuk Hati”.
Aneh tabiat Hian Hong, walaupun
pada istrinya, ia tidak hendak beri lihat kitab Kiu Im Cin Keng itu, biar
bagaimana Tiauw Hong memohonnya, ia tidak ambil peduli, adalah setelah ia
sendiri berhasil mempelajarinya, baru ia turunkan kepandaian itu kepadanya
istrinya. Ketika istrinya desak, Hian Hong
menjawab: “Sebenarnya kitab ini terdiri dari dua bagian. Saking tergesa-gesa,
aku dapat curi cuma sebagian, sebagian bawah. Justru di bagian atas adalah
pelajaran pokok dasarnya. Adalah berbahaya menyakinkan bagian bawah tanpa
bagian atas. dari itu, biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, atau kalau
kau termaha, kau bisa celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita sudah dapati dari
suhu masih belum cukup untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti
memilih dengan teliti.”
Tiauw Hong percaya
pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Adalah sekarangm, disaat dia hendak
menutup mata, Hian
Hong suka serahkan kitabnya itu
pada istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah bakar, hanya
singkatannya atau rahasia pokoknya.
Tiauw Hong lantas
raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia heran hingga ia diam
menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka ia hendak memeriksa, untuk
mencari terlebih jauh. Sayang untuknya, ia tidak sempat mewujudkan niatnya itu.
Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, membarengi berkelebatnya kilat,
hingga mereka bisa melihat musuh, sudah lantas maju menyerang.
Repot juga Tiauw Hong,
yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya mengandal pada kejelian
kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu ada orang serang padanya, ai
melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat, ilmu Menyambar dan Menangkap.
Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh berkelahi rapat.
Ketiga Manusia
Aneh ini menjadi cemas, bukan
saja mereka tidak dapat mendesak, mereka sendiri saban-saban menghadapi
ancaman. Di dalam hatinya, Po Kie
berkata: “Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita buta, kita tidak
berhasil, runtuhlah nama nama Kanglam
Cit Koay…”
Maka itu, ia berpikir keras. Setelah itu mendadak ia menyerang hebat kepada
bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di belakang musuhnya itu.
Terdesak juga Tiauw Hong diserang
hebat dari belakang. Ketika ini digunai Siauw Eng akan menikam dengan pedangnya
dan Kim Hoat dengan dacinnya. Hebat pengepungan
ini.
Sekonyong-konyong datang angin
besar, membawa mega hitam dan tebal, membuat langit menjadi gelap-gulita pula.
Saking hebatnya, pasir dan batu pada beterbangan.
Kim Hoat bertiga
terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa celaka mereka dirabu pasir
dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas terlalu lama. Hujan pun turut
berhenti perlahan-lahan. Malah dilain saat, dengan terbangnya sang mega, si
putri malam pun mulai mengintai pula dan muncul lagi.
Han Po Kie yang paling dulu
lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.
Bwee Tiauw
Hong lenyap, lenyap juga
mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong,
lam Hie Jin dan Thio
A Seng,
empat saudaranya itu. Kwee
Ceng mulai muncul dari belakang
batu dimana ia tadi bersembunyi.
Semua orang basah kuyup
pakaiannya.
Dibantu oleh Siauw Eng dan Po
Kie, Coan Kim Hoat
lantas tolongi saudara-saudaranya yang terluka itu. Lam Hie Jin patah
lengannya, syukur ia tidak terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong telah lihay
ilmu dalamnya, walaupun mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka
mereka tidak parah. Adalah
Thio A
Seng, yang tercengkeram Kiu Im
Pek-kut Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya terancam. Ia membikin enam saudaranya
sangat berduka, karena sangat eratnya pergaulan mereka, lebih-lebih Han Siauw
Eng, yang tahu kakak angkatnya yang kelima ini ada menaruh cinta kepadanya,
sedang ia pun ada menaruh hati. Ia lantas peluki A Seng dengan ia menangis
tersedu sedan.
Thio A
Seng adalah Siauw Mie
To, si Buddha
Tertawa, walaupun lagi menghadapi
bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya, untuk mengusap-usap
rambut adik angkatnya itu. “Jangan menangis, jangan menangis, aku baik-baik
aja…” ia menghibur.
“Ngoko, akan aku menikah
denganmu, untuk menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?” kata nona Han
itu tanpa malu-malu.
A Seng tertawa, tapi lukanya
sangat mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit, hampir ia tak sadarkan
diri.
“Ngoko, legakan hatimu,” kata pula
si nona. “Aku telah jadi orangnya keluarga Thio, seumurku, aku tidak nanti
menikah dengan lain orang….kalau nanti aku mati, aku akan selalu bersama kamu…”
A Seng masih dengar suara tu, ia
tersenyum pula, hingga dua kali. “Citmoay, biasanya aku perlakukan kau tidak manis…” katanya. Masih dapat ia mengatakan demikian.
Siauw Eng
menangis. “Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, inilah aku ketahui,”
katanya.
Tin Ok terharu sekali, begitupun
dengan yang lainnya. Merek aitu pada melinangkan air mata.
“Kau datang kemari, kau tentu
hendak berguru pada kami?” Cu Cong tanya Kwee Ceng,
ynag telah hampirkan mereka.
Bocah itu menyahuti, “Ya!”
“Kalau begitu, selanjutnya kau
mesti dengar perkataan kami,” kata Cu Cong
pula.
Kwee Ceng
mengangguk.
“Kami tujuh saudara adalah gurumu
semua,” kata Cu
Cong. “Ini gurumu
yang kelima bakal pulang ke langit, mari
kau hunjuk hormatmu padanya.”
Meski masih kecil, Kwee Ceng
sudah mengerti banyak, maka itu, ia jatuhkan diri di depan tubuh A Seng, untuk
bersujud sambil mengangguk berulangkali.
Thio A
Seng tersenyum meringis.
“Cukup…” katanya. Ia menahan sakit. “Anak yang baik, sayang aku tidak dapat
memberi pelajaran kepadmu…. Sebenarnya sia-sia saja kau berguru padaku. Aku
sangat bodoh, aku pun malas kecuali tenagaku yang besar…. Coba dulu aku rajin
belajar, tidak nanti aku antarkan jiwa disini…..” Tiba-tiba kedua matanya
berbalik, ia menarik napas, tapi masih meneruskan kata-katanya: “Bakatmu tidak
bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jikalau kau alpa dan malas, kau lihat
contohnya gurumu ini….”
Masih A
Seng hendak berkata pula,
tenaganya sudah habis, maka Siauw
Eng pasang kupingnya, di mulutnya
kakak angkatnya itu. Si nona masih dengar: “Ajarilah ini anak dengan baik-baik,
jaga supaya ia jangan kalah dengan itu…imam…”
“Jangan khawatir,” Siauw Eng
menjawab. “Legakan hatimu, kau pergilah dengan tenang…Kita Kanglam
Cit Koay,
tidak nanti kita kalah…!”
A Seng tertawa, perlahan sekali,
habis itu berhentilah ia bernapas…..
Enam saudara itu memangis
menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan main. Walaupun semuanya bertabiat
aneh, mereka tetap manusia biasa, mereka juga saling menyinta. Dengan masih
menangis, mereka menggali liang, untuk mengubur
jenazah saudaranya itu ditempat itu. Sebagai nisan, mereka mendirikan satu batu
besar.
Itu waktu, cuaca sudah menjadi
terang, maka Coan Kim Hoat dan Han PO
Kie lantas turun gunung untuk cari mayatnya si MayatPerunggu serta Bwee Tiauw
Hong, si Mayat Besi.
Mereka mencari denagn sia-sia. Habis hujan lebat, di tanah berpasir mesti ada
tapak kaki tetapi ini tidak. Entah kemana perginya Tiauw Hong
beserta mayat suaminya itu.
“Di
tempat begini, tidak nanti wanita itu kabur jauh,” kata Cu Cng sekembalinya
kedua saudara itu. “Sekarang
mari kita antar anak ini dan kita
pun merawat diri, kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba kau pergi
mencari pula.”
Pikiran ini disetujui, maka habis
mengucurkan airmata di depan kuburan A Seng, mereka pun turun dari gunung.
Mereka jalan belum jauh tempo mereka dengar menderunya binatang liar, yang
terus terdengar berulang-ulang.
Po Kie keprak kudanya, maka itu
kuda berlompat ke depan. Lari serintasan, binatang itu berhenti dengan
tiba-tiba, tak mau ia maju walaupun dipaksa majikannya. Po Kie menjadi heran,
ia memasang mata ke depan.
Di sana tertampak
serombongan orang serta dua ekor macam tutul menoker-noker pada tanah. Itulah
sebabnya kenapa kuda si kate tidak
berani maju terus. Tidak ayal lagi, Po Kie lompat turun dari kudanya, dengan
cekal Kim-kiong-pian, ia maju ke arah mereka. Segera ia dapat tahu perbuatannya
itu macan tutul.
Dua ekor macan tutul itu telah
dapat mengorek satu mayat, malah jago Kanglam ini kenali itu mayatnya Tan Hian
Hong, yang terluka dari leher sampai di perutnya, seluruhnya berlumuran darah,
seperti ada dagingnya yang orang telah potong.
Heran Po
Kie. Ia berpikir: “Dia mati di atas gunung, kenapa mayatnya ada di sini?
Siapakah orang-orang itu? Apakah maksudnya maka itu mayat diganggu?”
Itu waktu Coan Kim Hoat semua telah datang menyusul, maka
mereka pun saksikan myatnya Hian
Hong itu. Mereka menjadi heran
sekali. Diam-diam mereka bergedik menyaksikan itu musuh tangguh. Coba tidak ada
Kwee Ceng, setahu bagaimana jadinya dengan
mereka.
Kedua macan tutul itu sudah mulai
gerogoti mayatnya Hian
Hong.
“Tarik macan itu!” kata satu anak
kecil yang menunggang kuda, yang berada di antara rombongan orang tadi. Ia
menitahkan orangnya, yang menjadi tukang pelihara macan tutul itu. Tempo ia
lihat Kwee Ceng, dia membentak: “Hai, kau sembunyi di
sini! Kenapa kau tidak berani membantui Tuli bertarung? Makhluk tidak punya
guna!”
Bocah itu ialah Tusaga, putranya
Sangum.
“Eh, kamu mengepung pula Tuli?” tanya Kwee
Ceng, yang agaknya kaget. “Di mana dia?”
Tusaga perlihatkan roman
tembereng dan puas. “Aku tuntun macan tutulku menyuruhnya geharesi dia!”
sahutnya. “Kau lekas menyerah! Kalau tidak, kau pun bakal digegaren macanku!”
ia mengancam tetapi ia tak berani dekati musuhnya, jerih ia menampak Kanglam Cit Koay.
Kalau tidak, tentulah Kwee
Ceng telah dihajarnya.
Kwee ceng terkejut, “Mana Tuli?!”
ia tanya.
“Macan tutulku telah gegares
Tuli!” sahut Tusaga berteriak. Ia lantas ajak pemelihara macan tutul itu untuk
berlalu.
“Tuan muda, dialah putranya Khan
besar Temuchin!” berkata itu tukang rawat macan tutul, maksudnya memberitahu.
Tusaga ayun cambuknya, menhajar
kepalanya orang itu. “Takut apa!” teriaknya. “Kenapa tadi ia serang aku!
Lekas!”
Dengan terpaksa, tukang rawat
macan tutul itu turut perintah. Satu tukang rawat macan tutul yang lainnya
ketakutan, ia berkata, “Akan aku laporkan kepada Khan besar!”
Tusaga hendak mencegah tapi sudah
kasep. Dengan mendongkol ia berkata: “Biarlah! Mari
kita hajar Tuli dulu! Hendak aku lihat, apa nanti paman Temuchin bisa bikin!”
Kwee ceng jeri
kepada macan tutul tetapi ia ingat keselamatannya Tuli. “Suhu, dia hendak suruh
macan itu makan kakak angkatku, hendak aku menyuruh kakak angkatku lari,” ia
kata kepada Siauw Eng.
“Jikalau kau pergi, kau sendiri
bakalan digegares macan itu,” kata itu guru. “Tak takutkah kau?”
“Aku takut…” sahut murid ini.
“Jadi kau batal pergi?” tanya gurunya lagi.
Kwee Ceng
bersangsi sebentar, ia menyahuti: “Aku mau pergi!” Benar-benar ia lantas lari.
Cu Cong rebah di
bebokongnya unta karena lukanya, ia kagumi bocah itu. Ia berkata kepada
saudara-saudaranya: “Bocah ini bebal tetapi dialah orang segolongan dengan
kita!”
“Matamutajam, jieko,” kata Siauw Eng. “Mari kita bantu dia!”
Coan Kim
Hoat lantas memesan: “Bocah
galak itu memelihara macan tutul, ia mungkin putranya satu pangeran atau raja
muda, kita harus berhati-hati. Kita tak boleh terbitkan onar, ingat, tiga dari
kita terluka…”
Po Kie manggut, ia lantas saja
lari menyusul Kwee
Ceng, setelah menyandak, ia ulur
tangannya, akan cekuk bocah itu, untuk terus dipanggul!
Tetap tubuh Kwee Ceng
di atas pundak orang, ia seperti lagi menunggang kuda, yang larinya sangat pesat,
sebentar kemudian tibalah di satu tempat, dimana tampak Tuli sedang dikurung
oleh belasan orang. Dia orang ini turut perintahnya Tusaga, dari ini putranya Temuchin Cuma
dikurung, tidak lantas dikeroyok.
Sebenarnya Tuli rajin
melatih diri menuruti ajarannya Cu
Cong, ia pun sangat berani, ketika
besoknya pagi ia tidak dapat cari Kwee Ceng,
tanpa minta bantuan Ogotai, kakaknya, seorang diri ia pergi memenuhi janji
kepada Tusaga untuk bertempur.
Tusaga datang dalam jumlah
belasan, heran dia melihat Tuli sendirian. Tapi ia tidak peduli suatu apa,
pertempuran sudah lantas dimulai. Hebat Tuli
itu, ia gunai jurus ajarannya Cu
Cong, ia bikin musuh-musuhnya
rubuh satu demi satu. Ia tentu tidak tahu, jurusnya itu adalah jurus pojok dari
“Khong Khong Kun”,
ilmu silat tangan kosong.
Tusaga penasaran, sebab dua kali
ia rubuh mencium tanah dan hidungnya kena diberi bogem mentah dua kali juga,
saking murkanya, ia lantas lari pulang untuk menagmbil macan tutul ayahnya.
Tuli yang sedang kegirangan tidak menyangka musuhnya itu bakalan minta bantuan
binatang liar.
“Tuli! Tuli! Lekas lari, lekas!” Kwee Ceng
berteriak-teriak sebelum ia datang mendekat. “Tusaga bawa-bawa macan tutul!”
Tuli kaget, hendak ia lari, tapi
ia lagi dikurung. Sementara itu Han Po Kie dapat candak Tusaga dan melombainya.
Kanglam Cit
Koay dapat lantas mencegah
Tusaga apabila mereka kehendaki itu, tetapi mereka tidak mau menerbitkan onar,
sekalian mereka ingin saksikan sepak terjangnya Tuli dan Kwee Ceng.
Itu waktu ada beberapa kuda
dilarikan keras ke arah mereka, salah satu penunggangnya berteriak-teriak.
“Jangan lepaskan macan tutul! Jangan lepaskan macan tutul!”
Segera terlihat ternyata mereka
itu adalah Mukhali berempat, yang dengan laporannya si tukang pelihara macan
tutul, tanpa perkenanan dari Temuchin lagi, mereka lantas datang menyusul.
Itu wkatu Temuchin bersama Wang
Khan, Jamukha, dan Sangum tengah menemani dua saudara Wanyen di tenda mereka,
mereka terkejut mendengar laporan si tukang pelihara macan, semua lantas lari
keluar tenda untuk naiki kuda mereka. Wang Khan mendahului perintah satu pengiringnya:
“Lekas sampaikan titahku, cegah cucuku main gila!“
Pengiring itu segera kabur dengan
kudanya.
Wanyen Yung Chi kecewa gagal
menyaksikan orang diadu dengan binatang, ia masgul, sekarang ia dengar berita
ini, kegembiraannya terbangun secara tiba-tiba, “Mari
kita lihat!“ katanya.
Wanyen Lieh pun
gembira tetapi ia tidak perlihatkan itu pada wajahnya. Ia pikir: “Jikalau
anaknya Sangum membinasakan anaknya Temuchin, kedua mereka bakal jadi bentrok,
dan inilah untungnya negaraku, negara Kim
yang besar!” Ia terus kisiki pengiringnya, yang pun lantas berlalu dengan
cepat.
Wang
Khan semua iringi
kedua saudara Wanyen itu. Mereka jalan baharu satu lie lebih, di depan mereka
tertampak beberapa serdadu Kim tengah
berkelahi sama pengiring Khan ini yang tadi diberikan titah. Sebabnya adalah
serdadu-serdadu Kim itu
menghalang-halangi orang menjalankan tugas, sedang si petugas tidak berani
abaikan kewajibannya.
Dua saudara Wanyen itu lantas
memerintah serdadu-serdadunya berhenti berkelahi. Mereka ini bilang: “Kami
tengah berdiam disini, orang ini tidak ada matanya, dia terjang kami!”
Pengiringnya
Wang Khan itu
mendongkol dan tidak mau mengerti. Ia pun tidak karu-karuan dipegat dan
dikeroyok. Ia kata dengan sengit: “Aku toh ada di sebelah depan kamu dan kamu
di belakang aku…!”
Dua saudara Wanyen itu tidak
inginkan mereka adu mulut. “Berangkat!” mereka menitah.
Jamukha lihat itu semua, ia
menduga peristiwa itu terjadi karena bisanya dua Wanyen ini, karena ia jadi
waspada.
Tidak lama tibalah mereka di
depan rombongannya Tusaga beramai. Dua ekor macan tutul sudah lepas dari ikatan
pada lehernya, keempat kakinya tengah menoker-noker dan mulutnya meraung-raung
tidak hentinya. Di depan mereka
berdiri dua bocah ialah Tuli dan Kwee Ceng.
Temuchin dan keempat pahlawannya
segera siapkan panah mereka, diarahkan kepada dua binatang liar itu. Temuchin
ketahui baik, binatang adalah binatang kesayangan Sangum, yang ditangkap sedari
masih kecil dan dipelihara dan dididik dengan banyak sukar hingga jadi b esar
dan dapat mengerti, dari itu asal putranya tidakterancam tidak mau ia memanah
macan itu.
Tusaga lihat datangnya banyak
orang dan kakek beserta ayahnya juga berada bersama, ia jadi semakin temberang,
berulang-ulang ia anjuri macannya lekas menyerang.
Wang
Khan murka melihat
kelakuan cucunya itu, disaat ia hendak mencegah, lalu terdengar suara kuda
berlari-lari mendatangi di arah belakang mereka. Sebentar saja kuda itu, seekor
kuda merah, tiba diantara mereka. Penunggangnya seorang wanita usia pertengahan
yang memakai mantel kulit indah dan mengempo satu anak perempuan yang elok
romannya, adalah istrinya Temuchin atau ibunya Tuli. Ia lantas lomat turun dari
kudanya.
Nyonya Temuchin tengah
pasang omong dengan istrinya Sangum di tenda mereka, tempo ia dengar perkara
putranya, ia khawatirkan keselamatan putranya itu, maka ia lantas menyusul.
Anak perempuan yang ia bawa-bawa itu adalah putrinya, Gochin Baki.
“Lepas panah!” Yulun Eke segera
memerintah. Ia sangat khawatir melihat putranya terancam macan tutul itu.
Gochin sebaliknya segera hampirkan kakaknya. Ia baharu berusia empat tahun,
romannya cantik dan manis, ia belum tahu bahaya. ia
tertawa haha-hihi. Kemudian ia ulurkan tangannya, berniat mengusap-usap
kepalanya seekor macan tutul.
Macan itu lagi bersiap-siap,
melihat orang datang dekat, segera ia berlompat menubruk.
Semua orang kaget, sedang
Temuchin tidak berani melepaskan anak panahnya, khawatir kena putrinya. Keempat
pahlawannya lempar panah mereka dan menghunus golok untuk maju menyerang.
Dalam saat mengancam itu, Kwee Ceng
berlompat, ia tubruk Gochin, yang ia peluk, untuk menjatuhkan diri, meski
demikian, kuku macan telah mampir dipundaknya.
Di antara empat pahlawan, Boroul
yang bertubuh kate dan kecil adalah yang paling gesit, ialah yang maju di muka
sekali, tetapi justru ia maju, kupingnya mendengar beberapa kali suara angin
menyambar, menyusul mana kedua macan itu rubuh berbareng, rubuh celentang lalu
tidak berkutik lagi. Ia menjadi heran, apapula ia dapatkan, kedua binatang itu
berlubang masing-masing di kedua pelipisnya, yang darimana darah mengucur
keluar. Terang itu adalah kerjaan orang yang lihay. Kapan ia berpaling ke arah
darimana suara angin itu datang menyambar, tampak enam orang Han,
pria dan wanita, lagi mengawasi dengan sikapnya yang tenang sekali. Ia lantas
menduga kepada mereka itu.
Yulun Eke lantas saja peluki
putrinya, yang ia ambil dari rangkulannya Kwee ceng. Anak itu menangis karena
kagetnya, maka ia dihiburi ibunya, yang pun terus tarik Tuli, untuk dirangkul
dengan tangannya yang lain.
Sangum sangat murka. “Siapa yang
membunuh macanku?!” ia tanya dengan
bengis.
Semua orang berdiam. Walaupun
kejadian berlaku di depan mata mereka, tidak ada seorang jua yang ketahui siapa
si penyerang gelap itu. Boroul sendiri tutup mulut.
“Sudahlah saudara Sangum!”
berkata Temuchin sambil tertawa. “Nanti aku gantikan kau empat macan tutul yang
paling jempolan ditambah sama delapan pasang burung elang.”
Sangum masih mendongkol, ia
membungkam.
Wang
Khan gusar, ia
mendamprat Tusaga. Cucu ini didamprat di depan orang banyak, ia penasaran,
keluarlah alemannya, ia terus menangis sambil bergulingan di tanah, ia tidak
pedulikan walaupun kakeknya menitahkan ia berhenti menangis.
Diam-diam Jamukha kisiki Temuchin
apa yang tadi terjadi di tengah jalan antara pengiringnya Wang Khan dan
serdadu-serdadu Kim.
Panas hatinya Temuchin. Ia
menginsyafi peranan kedua saudara Wanyen itu. Di
dalam hatinya, ia kata: “Kamu hendak bikin kita bercedera, kita justru hendak
berserikat untuk menghadapi kamu!” Maka ia hampiri Tusaga, untuk dikasih bangun
dengan dipeluk. Anak itu mencoba meronta tetapi tidak berhasil.
Sambil tertawa, Temuchin hampiri
Wang Khan dan kata: “Ayah inilah
permainan anak-anak, tak usah ditarik panjang. Aku lihat anak ini berbakat
baik, aku berniat menjodohkan dia dengan anakku, bagaimana pikirmu?”
Wang
Khan girang, ia
lihat, meskipun masih kecil, Gochin sudah cantik, setelah dewasa, mesti dia
jadi elok sekali. Ia tertawa dan menyahuti: “Mustahil aku tidak setuju? Marilah
kita tambah erat persaudaraan kita. Cucuku yang perempuan hendak aku jodohkan
dengan Juji, putramu yang sulung, Kau akurkah?”
Dengan girang, Temuchin kata sama
Sangum. “Saudara, sekarang kita menjadi besan!”
Sangum itu angkuh, ia sangat
bangga untuk keturunannya, terhadap Temuchin ia berdengki dan memandang enteng,
tak senang ia berbesan dengannya, tak senang ia berbesan, akan tetapi disitu
ada putusannya ayahnya, terpaksa ia menyambut dengan sambil tertawa.
Wanyen Lieh menjadi
sangat tidak puas. Gagallah tipu dayanya. Selagi ia berpaling, ia lihat
rombongannya Kwa Tin Ok, dan Cu
Cong rebah di atas unta. Ia
terperanjat dan heran sekali. “Eh, kenapa ini beberapa Manusia Aneh
berada disini?” katanya dalam hatinya.
Tin Ok beramai tidak mau menarik
perhatian orang, mereka berdiri jauh-jauh. Mereka tidak lihat Wanyen Lieh,
itulah kebetulan bagi pangeran ini yang lantas ngeloyor pergi duluan.
Temuchin lantas dapat tahu enam
itu ialah yang tolongi putranya, ia suruh Boroul memberi hadiah bulu dan emas,
sedang Kwee Ceng, yang ia usap-usap kepalanya, ia puji untuk keberaniannya.
Tuli tunggu sampai Wang Khan semuanya sudah
berlalu, ia tutur kepada ayahnya sebabnya ia berkelahi sama Tusaga, ia pun
bicara hal Kanglam
Cit Koay
( yang sekarang menjadi Kanglam
Liok Koay
sebab jumlah mereka telah berkurang satu).
Temuchin berpikir sebentar, terus
ia kata pada Coan
Kim Hoat,
“Baik kamu berdiam di sini mengajari ilmu silat kepada putraku. Berapa kamu
menghendaki gaji kamu?”
Coan Kim
Hoat senang dengan tawaran
itu. Mereka memang lagi pikirkan tenpat untuk bisa mendidik Kwee Ceng.
Ia lantas menyahuti: “Khan yang besar sudi terima kami, itu pun sudah bagus,
mana kami berani minta gaji besar? Terserah kepada Khan sendiri berapa sudi
membayarnya.”
Temuchin girang, ia suruh Boroul
layani enam orang itu, untuk diberi tempat, habis itu ia larikan kudanya, untuk
susul kedua saudara Wanyen, guna mengadakan perjamuan perpisahan untuk mereka
itu.
Kanglam Liok
Koay jalan perlahan-lahan,
untuk merundingkan urusan mereka.
“Mayatnya Tan
Hian Hong
dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan atau lawan…” kata Han Po
Kie.
“Itulah aneh, aku tak dapat
menerkanya,” bilan Tin Ok. “Yang paling perlu ialah mencari tahu dimana
beradanya Tiat
Sie.”
“Memang selama ia belum
disingkirkan, kita selalu terancam bahaya,” menyatakan Cu Cong.
“Sakit hatinya ngoko memang mesti
dibalas!” kata Siauw Eng.
Karena ini kemudian Po Kie
bersama Siauw Eng dan Kim
Hota lantas pergi mencari. Mereka
mencari bukan hanya disekitar tempat itu, malah diteruskan hingga beberapa
hari, mereka tidak peroleh hasil.
“Wanita itu rusak matanya terkena
tok-leng toako, mestinya racunnya senjata itu bekerja, maka mungkin ia mampus
di dalam selat!” kata Po Kie kemudian sepulangnya mereka.
Dugaan ini masuk di akal. tapi
Tin Ok tetap berkhawatir. ia baharu merasa hatinya tentram kalau sudah dengan
tangannya sendiri ia bisa raba mayatnya Tiat Sie si Mayat Besi
itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee
Tiauw ong. Tentang perasaannya ini
ia tidak utarakan, ia khawatir saudara-saudaranya bersusah hati.
Sejak itu Kanglam Liok
Koay menetap di gurun pasir, akan
ajari ilmu silat kepada Kwee
Ceng dan Tuli yang juga diajari
ilmu perang. Dan
Jebe bersama boroul turut memberi
petunujk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng
dipanggil belajar sendirian untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia dan
entengi tubuh. Sebab diwaktu siang mereka diajari menunggang kuda, main panah
dan ilmu tombak.
Kwee Ceng bebal,
di sebelah itu ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti membalas sakit hati
ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia belajar dengan rajin
sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut, pisau tumpul kalau digosok terus bisa
menjadi tajam.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan
Han Siauw Eng mengajarakan ilmu kegesitan, kemajuannya sedikit, tapi ajarannya
Han Po Kie dan Lam Hie Jin tentang pokok dasar silat, ia mengerti dengan cepat,
malah ia segera dapatkan maknanya itu.
Sang tempo berjalan dengan pesat,
sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang
Kwee Ceng
telah menjadi satu anak tanggung berumur enam belas tahun. Lagi dua tahun akan
tiba saatnya janji pibu itu, adu kepandaian. Maka Kanglam
Liok Koay
perhebat pengajarannya, hingga untuk sementara muridnya dilarang belajar naik
kuda dan memanah, dan siang dan malam terus ia belajar silat tangan kosong dan
pedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar