Bab 8. Pedang Mustika
Girang Temuchin melihat
kedatangan Jebe. Ia menempatkan orang gagah itu dibawah Ogotai, putranya yang
ketiga yang menjadi satu siphu-thio, kepala komponi yang memimpin sepuluh
serdadu. Setelah menemui tiga putra Temuchin, Jebe mencari Borchu untuk
menghanturkan terima kasih. Borchu menyambut dengan baik, karena keduanya
saling menghormati dan menghargai, lantas saja mereka menjdia sahabat
kental.Jebe ingat budinya Kwee Ceng,
ia perlakukan itu bocah dan
ibunya dengan baik. Ia telah pikir, setelah Kwee Ceng
tambah umurnya akan ia wariskan ilmu panah dan ilmu silat kepadanya.
Pada
suatu hari selagi Kwee
Ceng memain timpuk-timpukan batu
bersama beberapa kawannya anak-anak Mongol di depan markas Temuchin, ia dapat
lihat mendatanginya dari kejauhan dua penunggang kuda yang larikan binatangnya
tunggangannya dengan kencang sekali. Ia menduga kepada berita penting yang
mesti disampaikan kepada Khan yang terbesar itu. Tidak lama sejak masuknya dua
orang itu ke dalam markas, lalu terdengar ramai suara terompet, menyusul mana
dari pelbagai tangsi terlihat munculnya orang-orang peperangan.
Keras
disiplin tentaranya Temuchin yang mengatir barisannya dalam empat rombongan.
Yang pertama ialah sepuluh jiwa serdadu menjadi satu barisan kecil, komponi
yang dikepalai oleh datu opsir disebut siphu-thio, lalu sepuluh komponi, atau
satu eskadron, terdiri dari seratus jiwa dipimpin oleh satu pekhu-thio,
kemudian lagi sepuluh eskadron, atau satu resimen, dikepalai satu cianhu-thio,
dan sepuluh resimen, atau satu devisi, dipimpin oleh satu banhu-thio. Mereka
itu terlatih sempurna, merupakan sebagai satu badan, kalau ada titah dari
Temuchin, mereka menjadi bersatu, dari itu hebat penyerangan mereka.
Kwee
ceng bersama kawan-kawannya berdiri menonton. Mereka lihat, setelah terompet
yang pertama, semua serdadu sudah siap dengan senjata mereka dan naik kuda,
setelah terompet yang kedua, kaki kuda mereka berbunyi tak hentinya, tubuh
setiap serdadu bergoyang-goyang. Begitu terdengar terompet yang ketiga kali,
sunyi senyap semuanya, kecuali napasnya kuda, yang nampak adalah satu angkatan perang
besar yang terdiri dari lima
pasukan dari setiap sepuluh ribu jiwa.
Dengan
diiringi putra-putranya, Temuchin muncul dari dalam kemah.
“Kita
telah kalahkan banyak musuh, negeri Kim
pun telah tahu itu,” berkata ini pemimpin besar. “Begitulah negeri Kim itu sudah utus putranya yang ketiga bersama
putranya yang keenam datang kemari untuk menganugrahkan pangkat kepada Kha Khan kamu!”
Dengan
angkat tinggi golok mereka, tentara Mongol bersorak.
Tatkala
itu bangsa Kim telah menduduki Tiongkok Utara, pengaruhnya tersiar luas dan
jauh, sebaliknya bangsa Mongol adalah suatu suku kecil di tanah datar atau
padang pasir, maka itu Temuchin anggap adalah suatu kehormatan yang ia
dianugrahkan pangkat oleh kerajaan Kim itu.
Dengan
satu titah dari ayahnya, Juji si putra pertama maju bersama selaksa serdadunya
untuk sambut utusan Kim, sedang empat
laksa serdadu lainnya mengatur diri dengan rapi untuk menanti.
Beberapa
tahun yang lalu Wanyen Yung Chi telag diutus menganugrahkan pangkat kepada Wang
Khan dan Temuchin, kebetulan Temuchin lagi berperang, tentara musuh yang
dikalahkan sudah menyerbu dan membikin bubarnya pasukan pengiringnya Wanyen
Yung Chi, hingga Yung Chi mesti lari pulang ke Chungtu, Yangkhia.
Lewat
beberapa tahun setelah itu, raja Kim dengar Temuchin jadi semakin kuat, ia
khawatir Temuchin itu menjadi bahaya untuknya di bagian utara, maka sekarang
dia utus putranya itu dengan dibantu Wanyen Lieh, putranya yang keenam, yang ia
tahu cerdik. Ia ingin Temuchin dapat dipengaruhi dengan keangkerannya atau
dengan cara halus, tinggal lihat
gelagat saja untuk mewujudkan politik itu.
Kwee Ceng dan kawan-kawannya
terus tinggal menonton, sampai mereka nampak debu mengepul naik, tandanya Juji
telah dapat memapak dan menyambut utusan bangsa Kim
itu, yaitu wanyen Yung Chi dan Wanyen Lieh.
Kedua
saudara itu membawa selaksa serdadu pilihan, yang berseragam lapis baja,
senjatanya tombak panjang, kudanya tinggi dan besar, hingga tampaknya jadi
angker sekali. Belum lagi pasukan perang itu datang dekat, lebih dulu sudah
terdengar suara beradunya pakaian baja mereka.
Wanyen
Yung Chi datang berendeng bersama adiknya.
Temuchin
bersama putra-putranya ambil tempat di samping untuk menyambut.
Wanyen
Yung Chi lihat Kwee Ceng beramai, itu anak-anak Mongol yang dengan membuka
matanya lebar-lebar mengawasi kepadanya tanpa berkedip, ia lantas tertawa dan
merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup sejumlah uang emas, yang mana terus ia
lemparkan ke arah anak-anak itu. Sambil tertawa terus, ia berkata: “Itulah
persenan untuk kalian!”
Yung Chin tidak tinggi ilmu
silatnya akan tetapi uang emas hancur itu dapat ia lempar cukup jauh. Ia
mengharap anak-anak itu nanti berebut memungutinya, dan berteriakan. Dengan
berbuat begitu, pertama ia hendak unjuk keagungannya, dan kedua itulah sebagai
pelesiran. Akan tetapi kesudahannya ia menjadi kecewa.
Bangsa
Mongol paling mengutamakan menghormati tetamu, perbuatan Yung Chi ini justru
perbuatan yang memandang enteng, tidak menghargai tuan rumah, maka itu semua
serdadu Mongol saling memandang satu dengan lainnya.
Anak-anak
Mongol itu juga terdidik menghormati tetamu mereka, walaupun masih kecil,
mereka dapat menghargai diri sendiri, demikian menampak perbuatan Yung Chi itu,
mereka tidak memperdulikannya.
Yung
Chi menjadi penasaran. Ia merogoh pula sakunya untuk mengambil uang emas
lainnya, ia melemparkannya kembali sekalian ia beseru: “Hayo anak-anak,
ramai-ramai kamu merebutnya! Hayo rebut, setan-setan cilik!”
Mendengar
itu semua orang Mongol berubah air mukanya.
Dimasa
itu bangsa Mongol belum kenal mata surat, adat kebiasaan mereka masih “kasar”,
akan tetapi mereka biasa menaati adat istiadat, mereka polos dan pegang
derajat, terutama terhadap tetapi, mereka sangat menghormati, dari mulut mereka
tidak pernah keluar kata-kata kotor, dan terhadap musuh, atau tengah bergurau,
tidak pernah mereka mengutuk atau mencaci. Umpama ada tetamu mendatangi tenda
mereka, kenal atau tidak, tetamunya tentu disambut dan dilayani dengan baik.
Sebaliknya pihak tetamu tidak selayaknya berlaku tidak hormat atau memandang
enteng. Kalau tetamu berbuat tidak mengindahkan kehormatan diantara tuan rumah
dan tetamu, perbuatan itu dipandang sebagai kejahatan paling besar.
Kwee
Ceng bukan orang Mongol, selama berada bersama ibunya, sering ia dengar ibunya
itu bercerita tentang kajahatan bangsa Kim yang di Tiongkok, mereka suka
merampas dan memperkosa wanita, menganiaya dan membunuh rakyat jelata,
bagaimana bangsa Kim itu telah bersekongkol dengan pengkhianat-pengkhianat Han
untuk membinasakan Gak Hui dan lainnya, maka sekarang melihat orang Kim itu demikian
kurang ajar, ia lantas pungut beberapa potong emas, ia lari mendekati Yung Chi
kepada muka siapa ia menimpuk sambil ia berseru: “Siapa sudi mengambil emasmu
yang bau!”
Yung
Chi berkelit tapi ada juga uang yang mengenai pipinya, meski ia tidak merasakan
terlalu sakit, ia toh malu bukan main. Bukankah ia telah diperhina di depan
orang banyak? Adalah orang Mongol sendiri, dari Temuchin sampai pada semua
bawahannya pada merasa puas
“Setan
cilik, kau cari mampus?” Yung Chi membentak. Ia mendongkol bukan main. Biasanya di
Tiongkok, sedikit saja ia merasa tidak puas, ia
main bunuh orang. Belum pernah ada yang berani menghina dia. Ia lantas rampas
sebatang tombak panjang dari satu pengiringnya, dengan itu ia hendak menimpuk
kepada bocah she Kwee itu.
“Tahan,
shako!” Wanyen
Lieh mencegah. Ia lihat gelagat
jelek, tetapi tombak sudah melayang.
Disaat Kwee Ceng menghadapi saat
ajalnya, tiba-tiba sebatang anak panah menyambar dari pasukan Mongol yang kiri,
tombak itu kena terserang tepat sekali dan jatuh bersama anak panah itu. Kwee Ceng
ketolongan tetapi ia telah bermandikan keringat dingin, dengan ketakutan ia
mengangkat kaki. Sebaliknya tentara Mongol perdengarkan gemuruh seruan memuji
penyerangan panah itu.
“Shako,
jangan layani dia!” Wanyen
Lieh berkata kepada kakaknya.
Yung
Chi jeri akan saksikan keangkeran
tentara Mongolia
itu, akan tetapi memandang Kwee Ceng,
ia tetap panas hatinya, maka ia
mendelik kepada bocah itu. “Bocah haram jadah!” ia mencaci dengan perlahan.
Temuchin
bersikap tenang, bersama putra-putranya ia sambut kedua tetamu itu dengan
menyuguhkan koumiss dan daging kambing dan kuda.
Wanyen
Yung Chi membacakan firman dengan apa Temuchin diangkat menjadi Pak-kiang
Ciauwtouwsu dari negeri Kim, pangkat
turun temurun, untuk dia selamanya menjadi seperti alingan di utara dari negeri
Kim itu.
Temuchin
terima pengangkatannya sambil berlutut, ia menyambuti firman dan pelat emas
itu.
Malam
itu bangsa Mongol jamu tetamu-tetamunya yang dilayani dengan hormat dan
telaten.
Selagi
minum, Wanyen Yung Chi berkata,: “Besok kami hendak pergi menganugrahkan Wang
Khan, apakah Ciauwtouwsu suka turut pergi bersama?”
Temuchin
senang dengan ajakan itu, ia menyatakan suka turut.
Wang Khan itu adalah
pemimpin dari pelbagai suku di tanah datar, angkatan perangnya besar dan kuat.
Ia berasal dari suku Kerait, ia pun disebut Togrul Khan. Ia adalah
saudara angkat dari Yesukai, ayahnya Temuchin. Ketika dahulu hari Yesukai mati
diracuni musuhnya, Temuchin terlunta-lunta dan ia kemudian pergi ke Wang Khan untuk menumpang. Lalu Wang Khan angkat ia
jadi anak pungut. Kemudian tempo istrinya Temuchin dirampas bangsa Merkit,
musuhnya, ia dapat rampas pulang istrinya itu adalah dengan bantuan Wang Khan
dan adik angkatnya, yaitu Jamukha. Itu waktu Temuchin menikah belum lama dan
Juji, putranya masih belum lahir.Girang Temuchin akan ketahui ayah angkatnya
pun dianugerahkan pangkat.
“Siapakah
lagi yang dianugerahkan negara Kim
yang besar?” ia tanya.
“Tidak
ada lagi,” jawab Wanyen Yung Chi
Wanyen Lieh segera menambahkan:”
Untuk di utara ini, Khan sendiri
serta Wang Khan adalah
orang-orang gagah perkasa, orang lain tidak ada yang dapat disamakannya.”
“Kami
disini masih ada punya seorang gagah yang lain, liok-ongya mungkin belum pernah
mendengarnya,” berkata Temuchin. Ia membasakan “liok-ongya”, pangeran keenam
kepada Wanyen
Lieh.
“Apakah
benar?” Wanyen
Lieh berkata dengan cepat.
“Siapakah dia?”
“Dialah
adik angkatku, Jamukha,” jawab Temuchin. “Dia jujur dan berbudi tinggi, dia
pandai memimpin angkatan perang. Aku mohon sukalah sam-ongya dan liok-ongya
juga menganugerahkan dia sesuatu pangkat.”
Erat
sekali pergaulannya Temuchin dengan Jamukha, tempo mereka angkat saudara,
Temuchin baru berumur sebelas tahun. Adalah kebiasaan bangsa Mongolia,
diawaktu angkat saudara mereka saling mengasih barang tanda mata. Ketika itu
Jamukha memberikan Temuchin biji pie-sek yang terbuat dari tulang binatang, dan
Temuchin membalas dengan biji pie-sek yang terbuat dari tembaga. Pie-sek itu
adalah biji yang orang Mongol biasa pakai untuk menimpuk kelinci, tetapi
anak-anak gunakan itu untuk main timpuk-timpukan. Maka setelah angkat saudara,
keduanya bermain timpuk-timpukan di sungai Onon, yang airnya telah membeku
menjadi es. Ditahun kedua, selagi main panah-panahan dengan panah kecil yang
terbuat dari kayu, Jamukha hadiahkan kepada Temuchin kepala panah yang terbuat
dari tulang mata kerbau dan Temuchin sebaliknya menghadiahkan kepala panah yang
terbuat dari kau pek. Lagi sekali mereka mengangkat suadara. Kemudian setelah
keduanya dewasa, berdua mereka tinggal bersama-sama dengan Wang Khan, selalu
mereka saling menyayangi, setipa pagi mereka berlomba bangun pagi, siapa yang
menang, ia diberi minum susu dari gelas kumala dari Wang Khan. Maka tidak
heran, tempo istrinya Temuchin dirampas orang, Wang Khan dan Jamukha bekerja sama
membantu merampasnya pulang. Kali ini Temuchin dan Jamukha saling menghadiahkan
ban emas dan kuda. Inilah untuk ketiga kalinya mereka angkat saudara. Sekarang
saling mereka minum arak dari satu cawan, malam tidur berkerubung sehelai
selimut. Adalah kemudian karena masing-masing mencari air dan rumput sendiri
dan memimpin barisan sendiri-sendiri, mereka jadi berpencaran, tetapi hubungan
mereka masih tetap kekal. Demikian ingat saudara angkatnya itu, Temuchin
timbulkan usul ini.
Wanyen
Yung Chi telah minum hingga separuh mabuk, tanpa pikir ia langsung menjawab:
“Bangsa Mongolia
berjumlah banyak, kalau semuanya diberi pangkat, mana kami negeri Kim yang besar dapat punyakan demikian banyak
pembesar?”
Wanyen Lieh mengedipkan mata
kepada kakaknya, sang kakak tetapi tidak memperdulikannya.
Temuchin
tidak senang dengan jawaban itu. “Kalau begitu tidak apa, serahkan saja
pangkatku kepadanya!” ia bilang.
Yung
Chi tepuk pahanya, ia berseru: “Apakah kau pandang enteng pangkat yang
diberikan kerajaan Kim yang besar?!”
Temuchin
tahu diri, ia tutup mulutnya.
Wanyen Lieh pun lantas menyelak
dengan ia berbicara sambil tertawa, untuk simpangkan soal.
Di hari kedua, pagi
Temuchin berangkat dengan ajak keempat putranya serta lima ribu serdadunya, untuk mengantari
Wangyen Yung Chi dan Wanyen Lieh pergi menganugrahkan pangkat kepada Wang Khan.
Matahari telah memancarkan cahaya ketika Temuchin telah berada di atas kudanya
dan lima ribu
serdadunya telah siap dengan rapi.
Akan
tetapi itu waktu, tentara Kim masih
tidur nyenyak di kemahnya. Tadinya
Temchin gentar menyaksikan roman
gagah tentara Kim itu, mentereng
seragam dan alat senjatanya, besar-besar kuda tunggangannya, tetapi sekarang
menyaksikan doyannya tidur mereka, berulang kali ia kasih dengar suara di
hidung. Pada
Mukhali ia tanya:
“Bagaimana pandanganmu terhadap tentara Kim
itu?”
“Seribu
serdau kita dapat lawan lima
ribu serdadu mereka!” sahut Mukhali.
Temuchin girang sekali dengan jawaban itu.
“Pandanganmu sering cocok dengan pandanganku,” ia bilang. “Katanya negeri Kim
ada punya dua juta serdadu, kita hanya lima puluh laksa.”
Ketika itu ia menoleh, ia tampak kudanya
Tuli, tetapi Tuli sendiri tidak kelihatan orangnya.“Mana Tuli?!” ia tanya
dengan gusar.
Tuli itu putra yang keempat, masih kecil, akan tetapi
dalam hal mendidik anak atau melatih tentara, Temuchin pakai aturan keras, maka
itu tak senang ia tidak melihat anaknya itu.
Semua
orang menjadi cemas hatinya.
“Dia
biasanya tidak berani bangun sampai siang, nanti aku tengok,” berkata Boroul,
yang menjadi gurunya Tuli, yang khawatir pemimpin itu gusari putranya. Tapi
baru ia hendak putar kudanya, di sana
kelihatan dua bocah berlari-lari mendatangi sambil berpegangan tangan. Mereka
ialah Tuli bersama Kwee
Ceng.
“Ayah!”
panggil Tuli kapan ia tiba di depan ayahnya itu.
“Kema
kau pergi?!” tanya Temuchin.
“Barusan
aku membuat anda bersama saudara Kwee di tepi sungai,” sahut Tuli. “Dan dia menghadiahkan ini padaku.”
Membuat
“anda” itu berarti mengangkat sudara. “Anda” itu kata-kata Mongol.
Sambil
mengatakan demikian, Tuli ulapkan tangannya yang mencekal sepotong handuk merah
yang tersulam bunga-bungaan indah, ialah handuk buatan Lie Peng untuk putranya.
Temuchin
segera ingat halnya sendiri bersama Jamukha, tempo masih sangat muda mereka
juga telah mengangkat saudara, hatinya menjadi tergerak, ia menjadi tenang.
“Kau
sendiri, kau menghadiahkan apa padanya?” ia tanya
dengan sabar.
“Ini!”
Kwee Ceng mendahulukan menyahut seraya ia
tunjuk lehernya.
Temuchin
lihat kalung emas yang biasa dipakai oleh putra itu. Ia tersenyum. “Baik,”
katanya. “Selanjutnya kamu berdua mesti saling mencintai dan saling menyayangi
serta saling membantu!”
Tuli
bersama Kwee
Ceng menyahuti menerima pesan itu.
“Sekarang
semua naik kuda!” Temuchin lalu memerintah. “Kwee Ceng,
kau juga turut kami!”
Tuli
dan Kwee Ceng girang sekali, sama-sama mereka naiki
kuda mereka.
Orang
mesti lagi menanti setangah jam barulah Wanyen Yung Chi dan saudaranya selesai
dandan dan keluar dari kemahnya.
Wanyen Lieh lihat tentaranya Mongolia
demikian rapi, ia lantas perintahkan tentaranya lekas siap.
Wanyen
Yung Chi sebaliknya tunjuki tingkah polahnya satu putra raja, denagn
ayal-ayalan ia minum araknya dan dahar kue, habis mana dengan perlahan-lahan
juga ia naik ke atas kudanya. Maka itu, lagi kira setengah jam barulah tentara Kim itu siap berangkat.
Pasukan
perang itu menuju ke utara, sesudah jalan enam hari, barulah mereka dipapak
oleh wakilnya Wang Khan, yang mengutus putranya, Sangum bersama Jamukha.
Kapan Temuchin dengar Jamukha ada
bersama Sangum, ia lantas maju ke depan, akan temui saudara angkatnya itu, maka
keduanya lantas berpelukan. Hbais itu semua putra Temuchin menemui dan mengasih
hormat kepada paman angkatnya itu.
Wanyen Lieh lihat Jamukha
bertubuh jangkung kurus, kumis kuningnya jarang, akan tetapi sepasang matanya
sangat tajam dan berpengaruh, menandakan ketangkasannya. Dilain pihak, Sangum
adalah berkulit putih, tubuhnya gemuk, tanda dari hidup senang dan dimanjakan,
dia tidak mirip dengan seorang yang dibesarkan di gurun pasir.
Jalan
lagi satu hari, rombongan ini sudah mendekati tempat kediaman Wang Khan.
Justru
itu dua serdadunya Temuchin yang bertugas jalan dimuka sekali, lari balik
dengan laporannya bahwa di sebelah depan ada menghalang tentaranya bangsa
Naiman yang berjumlah tiga puluh ribu jiwa.
Wanyen
Yung Chi terkejut. “Hendak apakah mereka itu?” dia tanya,
hatinya goncang.
“Kelihatannya
mereka hendak menyerang,” sahut di juru warta.
“Jumlahnya
mereka agaknya lebih banyak dari jumlah kita…” kata Yung Chi tidak lancar.
Temuchin
tidak beri kesempatan untuk orang bicara lebih banyak. “Pergilah kau tanya mereka!” ia perintahkan Mukhali.
Dengan
membawa sepuluh pengiring, Mukhali larikan kudanya ke depan. Karena hal ini,
pasukan ini jadi tertunda keberangkatannya.
Berselang
tidak lama, Mukhali telah kembali dengan laporannya: “Bangsa Naiman
mendengar putra raja kerajaan Kim
datang menganugrahkan Khan kami yang terbesar, mereka juga menghendaki anugerah
itu. Mereka bilang, apabila mereka tidak diberi anugerah, mereka hendak tangkap
dan tahan kedua putra raja Kim.”
Wanyen
Yung Chi menjadi kaget, wajahnya berubah, tetapi ia mencoba mengendalikan diri.
Wanyen Lieh sebaliknya segera mengatur pasukan
perangnya, untuk bersiap sedia.
“Kakak,”
berkata Mukhali kepada Temuchin, “Bangsa Naiman
itu sering merampas binatang piaraan kita, mereka sangat suka mengganggu,
apakah hari ini kita mesti lepaskan saja pada mereka?”
Temuchin
melihat sekitarnya, ia telah lantas dapat memikirkannya. “Saudara,” katanya,
“Biarlah kedua putra raja Kim yang
besar ini melihat sepak terjang kita!” Ia pun lantas bersiul nyaring satu kali,
disusul sama dua kali cambukan ke udara dari cambuknya, atas mana tentara Mongolia
menyambut dengan seruan perang mereka berulangkali.
Dua
saudara Wanyen tidak menyangka mendengar itu dan dan menyaksikan sikap orang,
mereka terperanjat.
Segera
terlihat debu mengepul di sebelah depan, dan musuh segera mulai tampak.
Tentara
terdepan dari pihak Mongol sebaliknya telah mundur kepada barisan mereka.
“Adik,”
Wanyen Yung Chi teriaki saudaranya, “Lekas suruh tentara kita maju! Ini
orang-orang Mongol tidak ada gunanya!”
“Biarlah
mereka yang bertempur lebih dulu,” Wanyen Lieh
membisiki kakaknya.
Mendengar
itu barulah Yung Chi sadar dan manggut-manggut.
Tentara
Mongol masih perdengarkan suara mereka yang nyaring tetapi mereka tidak
bergeming.
“Taruh
kata kamu berterika-teriak hingga langit bergerak bumi bergoyang, apakah dengan
begitu dapat tentara musuh dibikin mundur?” berkata Yung Chi.
Itu
waktu Boroul berada di samping kiri, ia berkata kepada Tuli: “Pangeran kecil,
kau turut aku, jangan kau ketinggalan. Kau lihat bagaimana kami nanti menghajar
musuh!”
Tuli
mengangguk. Bersama-sama Kwee Ceng, ia telad tentaranya ialah berkoak-koak
dengan seruan peperangan.
Dalam
tempo yang cepat sekali, tentara musuh sudah datang dekat beberapa ratus
tindak, walaupun demikian, tentara Mongol tetap tidak bergerak, mereka tetap
berteriak-teriak saja.
Wanyen Lieh menjadi heran.
“Lepas panah!” ia mengasih titah. Ia khawatir tentara Naiman nanti keburu
mendahulukan menyerbu kepada mareka.
Tentara Kim menurut titah, mereka
lantas menghujani anak panah.
Jarak
di antara kedua pihak masih cukup jauh, anak panahnya tentara Kim ini tidak sampai kepada musuh, semuanya jatuh di
hadapan mereka itu. Hanya sementara itu, karena orang datang semakin dekat,
Wanyen Yung Chi dapat lihat wajah tentara Naiman itu sangat bengis, sambil
mengertak gigi, mereka kepraki kuda mereka untuk menerjang. Mau tidak mau, Yung
berkhawatir pula.
Siwaktu
itu, cambuknya Temuchin mengalun pula di tengah udara, suaranya nyaring. Sekali
ini serempak berhentilah seruan-seruan peperangan tentara Mongol itu, yang
sebaliknya lalu membagi diri dalam dua sayap, masing-masing dipimpin Temuchin
sendiri berdua dengan Jamukha, keduanya ini lantas lari ke tanah tinggi di
samping mereka, guna menduduki tempat yang bagus, tentara mereka mengikuti
untuk turut ambil kedudukan bagus itu. Sesudah itu, dari tempat yang lebih
tinggi, mereka lantas menyerang tentara Naiman. Karena ini adalah penyerangan
dari jauh, merka menggunai anak panah.
Kepala
perang Naiman rupanya melihat kedudukannya tak selayaknya, ia memimpin untuk
mencoba merampas kedudukan itu.
Tentara
Mongol membuat tembok bentengan yang terdiri dari semacam permadani, benda
tebal itu dipasang di depan mereka dengan diri mereka teraling, penyerangan
panah dilanjuti. Hampir semua panah mereka yang gagal.
Temuchin
dari tempat yang tinggi menyaksikan penyerangan pihaknya itu, yang membuat
musuh kacau, lantas ia berikan titahnya: “Jelmi, pergi kau serbu bagian
belakangnya!”
Jelmi
menerima titah itu, dengan membawa goloknya yang besar, ia pergi dengan seribu
serdadunya. Ia ambil jalan memotong.
Jebe dengan tombak panjang di tangan, maju di paling muka. Sebagai
orang baru, ia ingin membuat jasa. Ia mendekam di bebokong kudanya.Dalam tempo
yang pendek, barisan belakang Naiman menjadi kalu. Kejadian ini membingungkan
pasukan yang berada di sebelah depan.
Selagi
kepala perang Naiman bersangsi, Jamukha bersama Sangum menyerang dari kiri dan
kanan. Atas ini, musuh lantas lari serabutan, untuk kembali ke jalan darimana
tadi mereka datang.
Jelmi
tidak merintangi musuh lari terus, ia biarkan mereka dihajar oleh
kawan-kawannya, hanya sesudah musuh tinggal kira-kira dua ribu jiwa lebih, baru
ia memegat. Siasatnya ini memberi hasil. Musuh menjadi kecil nyalinya, mereka
turun dari kuda mereka dan menyerah.
Sebagi
kesudahan pertempuran, musuh terbinasa dan luka seribu lebih, tertawan dua ribu
lebih. Di pihak Mongolia,
kematian dan luka Cuma seratus lebih.
Temuchin
titahkan loloskan seragam tentara Naiman itu, jumlah mereka dua ribu lebih
dipecah empat yang sebagian diserahkan kepada dua saudara Wanyen, yang sebagian
untuk Wang Khan, yang sebagian untuk Jamukha san yang sisanya untuk dirinya
sendiri. Untuk serdadu-serdadunya yang terbinasa, ia memberi keluarganya lima ekor kuda serta
empat tawanan Naiman sebagai budak.
Baru
sekarang Wanyen Yung Chi sadar atas caranya bangsa Mongol itu berperang, dengan
gembira ia rundingkan itu.
Wanyen Lieh sebaliknya gentar
hatinya. Dengan jumlah yang lebih kecil, Temuchin dan Jamukha telah kalahkan
musuhnya yang lebih besar jumlahnya.
“Dengan
orang Mongol saling bunuh, maka kami bangsa Kim di Utara
dapat merasai aman sentosa,” ia berpikir. “Kalau Temuchin
dan Jamukha bisa persatukan pelbagai suku bangsa Mongol itu, itu artinya
negaraku tak aman lagi…” Oleh karena ini, ia menjadi berpikir keras.
Itu
waktu terlihat pula debu mengepul jauh di sebelah depan. Itulah tanda dari
datangnya lagi satu pasukan perang.
“Bagus!”
berseru Wanyen
Yung Chi.
“Hajar pula padanya!”
Akan
tetapi juru warta Mongol datang dengan wartanya: “Wang
Khan sendiri datang dengan pasukan
perangnya!”
Mendengar
itu Temuchin bersama Jamukha dan Sangum lantas pergi menyambut.
Wang Khan tiba untuk lantas lompat
turun dari kudanya, terus ia tuntun Temuchin dan Jamukha di tangan kiri dan
kanannya, untuk berjalan kaki menemui dua saudara Wanyen, di depan kuda dua
saudara ini, ia menjalankan kehormatan.
Wanyen Lieh memasang mata kepada
Wang Khan, yang tubuhnya gemuk, kumis dan jenggotnya telah putih bagaikan
perak. Dia mengenakan jubah hitam dari kulit binatang tiauw dengan pinggang
dilibat ikat pinggang emas. Nampaknya ia keren sekali.
Segera Wanyen Lieh turun dari kudanya,
guna membalas menghormat. Tidak demikian dengan Wanyen Yung Chi, yang Cuma
rangkap kedua tangannya dari atas kuda.
“Hamba
dengar bangsa Naiman hendak berbuat kurang ajar,” berkata Wang Khan. “Oleh
karena khawatir kedua pangeran kaget maka hamba datang bersama tentaraku ini.
Syukur ketiga anak-anakku telah dapat membinasakan mereka!”
Lantas
dengan hormat sekali, Wang Khan undung kedua utusan Kim
itu datang ke tendanya.
Wanyen Lieh berpikir apabila ia
dapatkan di dalam segala hal Wang Khan ada
lebih unggul dari Temuchin. Tidak heran kalau Khan ini menjagoi di
Utara.. banyak suka lainnya yang takluk padanya, dan tentaranya kuat.
Ia menginsyafi ancaman bahaya dari pihak ini.
Setelah selesai upacara penganugerahan,
malam itu Wang Khan jamu tetamunya.
Ia menyuguhkan nyanyian dan tari-tarian oleh budak-budak
wanitanya. Ramai sekali pesta itu.Tengah berpesta, Wanyen Lieh
berkata: “Aku ingin menyaksikan orang-orang gagah perkasa bangsa Mongolia.”
“Dua
anak angkatku ini adalah orang-orang gagah perkasa bangsa Mongol,” berkata Wang
Khan sambil
tertawa seraya menunjuk ke arah Temuchin dan Jamukha.
Sangum
tidak puas mendengar perkataan ayahnya itu, untuk mengendalikan diri,
saban-saban ia cegluk arakanya dari cawannya yang besar.
Wanyen Lieh awas matanya, ia
lihat ketidakpuasaan orang. “Putramu terlebih gagah lagi,” ia puji putra Khan
itu. “Kenapa loo-enghiong tidak menyebut-nyebut dia?”
Sengaja
pangeran Kim ini memanggil
loo-enghiong, pendekar tua, kepada Khan itu.
“Jikalau
aku telah menutup mata nanti, sudah sewajarnya dialah yang nanti menggantikan
aku memimpin suku kita,” berkata Wang Khan sambil tertawa. “Dia mana dapat
dibandingkan dengan kedua anak angkatku? Jamukha pandai dan cerdik, den Temuchin gagah tak tertandingkan. Dengan tangan kosong
Temuchin bakal membangun negara. Orang gagah yang mana yang tidak bakal menjual
jiwanya untuk Temuchin?”
“Apakah
sebawahan loo-engjiong tak dapat melawan dia?” Wanyen Lieh
tanya.
Temuchin
lirik putra raja Kim ini. Kata-kata
orang ada mengandung pancingan atau unsur merenggangkan. Ia lantas berhati-hati
sendirinya.
Wang Khan urut kumisnya, ia tidak
menjawab. Ia hanya menghirup araknya.
“Pernah
bangsa Naiman rampas beberapa laksa binatang ternakku,” katanya kemudian. “Syukur Temuchin
kirim empat panglimanya untuk membantu aku, dengan begitu semua binatang itu
dapat dirampas pulang. Anakku? Ah….”
Mendengar
itu, air mukanya Sangum berubah, ia letaki cangkir araknya dengan separuh
dibanting.
“Apakah
kegunaanku?” Temuchin lekas berkata, “Istriku dirampas orang, untuk itu adalah
ayah angkatku dan saudara angkatku yang membantu aku merampas pulang.”
“Bagaimana
dengan empat panglimamu yang kesohor gagah itu?” Wanyen Lieh
tanya. “Mana mereka itu? Aku ingin
melihatnya.”
“Suruhlah
mereka masuk kemari!” Wang Khan berkata
pula pada Temuchin.
Denga
perlahan-lahan Temuchin tepuk-tepuk tangannya, segera setelah itu empat perwira
masuk ke dalam tenda.
Wanyen Lieh mengawasi. Yang
pertama adalah satu orang yang romannya lemah lembut, yang kulitnya putih
sekali. Dialah
Mukhali yang pandai mengatur
tentara. Yang kedua ada bertubuh kekar dan sepasang matanya tajam seperti
burung elang, ialah sahabatnya Temuchin, yaitu Borchu. Yang ketiga ada
berpotongan kecil dan kate tetapi
gesit gerakkannya, ia adalah Boroul. Dan
yang keempat ada seorang yang dengan seluruh lengannya bercacat bekas bacokan
golok, yang mukanya merah bagai darah. Dialah Chi’laun
yang dulu hari pernah tolongi Temuchin dari ancaman malapetaka. Merekalah
orang-orang peperangan yang berjasa membangun negara Mongolia yang Temuchin sendiri
menyebutnya empat panglima gagah.”
Wanyen Lieh puji mereka itu satu
persatu, ia haturkan secawan arak pada masing-masingnya. Habis orang minum, ia
berkata pula: “Tadi di medan
perang, ada satu panglima dengan seragam hitam, dia menerjang musuh bukan main
gagahnya. Siapakah dia?”
“Dia
adalah Jebe, pemimpin komponiku yang baru,” Temuchin menjawab.
“Coba
suruh dia masuk kemari untuk minum satu cangkir,” Wanyen Lieh
minta.
Temuchin
meluluskan, ia beri titah untuk memanggil Jebe.
Jebe
sudah lantas muncul. Diberikan arak, ia menghanturkan terima kasih. Ketika ia
hendak hirup araknya itu, tiba-tiba Sangum berseru: “Kau cuma kepala komponi
yang rendah pangkatnya, cara bagaimana
kau beri minum dari cawan emasku?!”
Jebe kaget berbareng murka. Batal ia minum, ia lantas mengawasi
Temuchin.Menurut kebiasaan bangsa Mongol, mencegah orang minum arak adalah satu
penghinaan besar, apapula dilakukan di muka orang banyak. Maka itu Temuchin
berpikir: “Dengan memandang ayah angkat, biar aku kasih dia ampun.” “Mari cawan itu! Aku berdahaga, kasih aku yang minum!”
Ia ambil cawan itu dari tangannya punggawanya itu, ia lantas tenggak isinya.
Dengan
mata bengis Jebe awasi Sangum, terus ia bertindak keluar.
“Kau
kembali!” Sangum memanggil dengan membentak.
Jebe
tidak ambil peduli, ia bertindak terus seraya angkat kepalanya.
Sangum
kecele, tetapi ia kata kepada Temuchin: “Saudara Temuchin
ada punya empat pendekar tetapi asal aku keluarkan satu makhluk, tentu
empat-empatnya mereka dapat dimakan habis dengan sekali telan!” ia pun tertawa
dingin.
“Makhluk
apakah itu?” Wanyen Yung Chi bertanya.
“Mari kita pergi keluar untuk melihatnya,” Sangum
mengajak.
“Kita
lagi gembira minum arak di sini, kau hendak mengacau apa lagi!” Wang Khan menegur
putranya.
Wanyen
Yung Chi hendak melihat keramaian, ia berkata: “Minum arak saja pun kurang
gembira, mari kita melihat yang
lainnya!” Ia pun lantas berbangkit dan bertindak keluar. Terpaksa orang banyak
turut keluar pula.
Di luar tenda, bangsa
Mongol telah menumpuk beberapa ratus api unggun, mereka tengah berminum, kapan
mereka tampak Khan mereka muncul, semuanya lantas bangkit berdiri.
Di terangnya api
unggun, Temuchin lihat wajahnya Jebe merah. Ia mengerti bawahannya itu
penasaran dan gusar. Ia tahu juga bagaimana mesti perlakukan orang polos
demikian.
“Ambil
arak!” ia menitah. Dia lantas dibawakan satu poci besar. Ia angkat poci itu,
terus ia berkata dengan nyaring: “Hari ini kita hajar bangsa Naiman hingga
mereka dapatkan kekalahan besar, dengan begitu kamu semua telah bercape
lelah…!”
Tentara
itu berteriak: “Adalah Wang Khan, Temuchin Kha Khan dan Jamukha Khan yang
memimpin kita menghajar mereka!”
“Hari
ini aku telah lihat seseorang yang luar biasa beraninya yang sudah menyerbu ke
belakang barisan musuh,” Temuchin berkata pula: “Beruntun tiga kali dia
menyerbu bolak-balik! Siapakah dia?!”
“Itulah Siphu-thio
Jebe!” sahut banyak serdadu.
Dengan
begitu, dengan sendirinya, sejenak itu juga, Temuchin telah naiki pangkatnya
Jebe menjadi pemimpin eskadron.
Untuk
sejenak, orang melengak, tetapi segera mereka mengerti, maka dengan kegirangan
mereka berseru: “Jebe gagah berani, dia pantas menjadi pekhu-thio!”
“Ambil
kopiah perangku!” kata Temuchin kepada Jelmi.
Jelmi
menurut dan menyerahkan kopiah itu dengan kedua tangannya.
Temuchin
menyambuti, terus ia angkat kopiahnya itu tinggi-tinggi. “Inilah kopiahku, yang
aku pakai untuk membasmi musuh!” dia berkata dengan suara nyaring. “Sekarang
hendak aku pakai ini sebagai gantinya cawan arak!”
Ia
buka tutp poci arak, isinya ia tuang ke dalam kopiah besi itu. Ia lantas
menghirup satu ceglukan, habis itu, kopiah itu ia sadurkan kepada Jebe.
Pekhu-thio
itu menjadi sangat bersyukur, sambil tekuk sebelah kakinya, ia ulurkan
tangannya untuk menyambuti, terus ia mencegluk beberapa kali.
“Biarpun
cawan emas yang paling berharga di kolong langit ini, tidaklah itu dapat
melawan kopiah besi dari Kha Khan ini!”
katanya perlahan.
Temuchin
tersenyum. Ia sambuti pulang kopiahnya itu, untuk dipakai di kepalanya.
Semua
punggawa dan serdadu Mongol itu tahu Jebe telah menerima penghinaan, akan
tetapi menyaksikan sikapnya pemimpin mereka itu, mereka lantas bertempik sorak.
“Sungguh
satu manusia yang luar biasa!” pikir Wanyen Lieh.
“Kalau sekarang dia suruh Jebe mati, Jebe tentulah rela!”
Beda dari saudaranya, Wanyen Yung Chi justru
pikirkan saja kata-katanya Sangum tentang empat pahlawannya Temuchin. Ia suruh
pengiringnya ambil kursi kulit harimau, di atas itu ia duduk bercokol.
“Kau
ada punya makhluk apa yang demikian hebat, hingga ia dapat menelan keempat
pahlawan?” dia tanya Sangum.
Sangum
tersenyum. “Apakah emapt pahlawan saudara angkatnya Temuchin?” ia mengulangi.
“Mana dia empat pahlawan yang menggetarkan padang pasir itu?”
Mukhali
berempat lantas menghampirinya dan memberi hormat sambil menjura.
Sangum
berpaling, untuk bicara perlahan sekali dengan satu pengiringnya. Pengiring itu
menyahuti, terus ia mundurkan diri.
Tidak
selang lama lantas orang mendengar suara mengaumnya seekor binatang liar,
disusul mana munculnya binatang itu sendiri, yaitu dua ekor macam tutul yang
besar, yang bulunya belang bertotolan, dua pasang matanya bersinar mencorot,
jalannya ayal-ayalan tetapi sikapnya sangat bengis.
Wanyen
Yung Chi kaget hingga ia raba goloknya, setelah mana kedua macam tutul itu
sudah datang sekat api unggun, baru hatinya lega. Binatang itu dikalungi dengan
kalung kulit dan setiap ekornya dituntun dua orang yang tubuhnya besar, mereka
itu masing-masing mencekal sebatang galah. Sebab mereka itu adalah si
pemelihara binatang buas itu. Adalah umum orang Mongol memelihara macam tutul,
yang dipakai untuk berburu. Macam tutul baik tenaga maupun kegalakannya
melebihi anjing pemburu. Tapi binatang ini sangat kuat makannya, dari itu kalau
bukannya pangeran atau bangsawan, orang tak dapat memeliharanya.
“Kakak,”
kata Sangum kepada Temuchin. “Empat pahlawanmu adalah orang-orang gagah,
jikalau mereka dapat dengan tangan kosong membinasakan dua ekor macanku ini,
barulah aku sangat takluk kepadamu!”
Mendengar
ini, keempat pahlawan menjadi sangat dongkol. Mereka dalam hati kecilnya
berkata: “Sudah kau hinakan Jebe, sekarang kau hinakan kami juga. Adakah kami
babi hutan atau serigala maka kami hendak diadu sama macan tutulmu?”
Juga
Temuchin menjadi sangat tidak senang. Maka ia berkata: “Aku menyayangi keempat
pahlawanku sebagai jiwaku sendiri, cara
bagaimana aku bisa biarkan mereka berkelahi sama macan tutul?”
Sangum
tertawa terbahak. “Begitu?” ia mengejek. “Buat apakah mengepul menjadi orang
gagah kalau dua ekor macanku saja takut dilawan?”
Diantara
empat pahlawan itu, Chi’laun yang paling keras
tabiatnya. Ia lantas bertindak maju ke depan. “Khan yang maha besar,” katanya,
“Tidak apa orang tertawakan kami, tetapi kau, tak dapat kau hilang muka! Nanti
aku lawan macan tutul itu!”
Wanyen
Yung Chi menjadi sangat girang. Ia lantas loloskan sebuah cincinnya yang
bermata berlian, ia lempari itu ke tanah. “Asal kau menang, cincin itu menjadi
kepunyaanmu!” katanya.
Chi’laun tidak pandang cincin itu, ia hanya bertindak
lagi.
Mukhali
tarik kawannya itu. Dia berkata: “Kita menggentarkan padang pasir, membunuh musuh, kita telah
membunuh cukup banyak, tetapi macan tutul? bisakah binatang itu memimpin tentara?
Bisakah binatang itu mengatur tentara bersembunyi dan mengurung musuh?”
Temuchin
pun segera berkata: “ Saudara
Sangum, kau menang!” Dan ia bertindak menjemputi cincin tadi, untuk
diletaki di tangannya saudara angkat itu.
Sangum masuki cincin itu ke jari
tangannya, ia tertawa besar dan lama.
Ia angkat jari tangannya itu, ia pertontonkan ke empat penjuru. Tentaranya Wang Khan lantas
saja bersorak-sorai.Jamukha mengerutkan alis, ia
tapinya diam saja. Temuchin juga bersikap tenang dan agung. Sampai di situ, empat
pahlawannya itu mengundurkan diri.
Lenyap
kegembiraannya Yung Chi karena gagal menyaksikan pertandingan antara manusia
lawan binatang liar itu, tak sudi ia minum arak lebih jauh, ia lantas pulang ke
tendanya untuk tidur.
Besok
paginya Tuli dan Kwee
Ceng dengan bergandengan tangan
pergi bermain, tanpa terasa mereka bertindak semakin jauh dari tenda mereka.
Tiba-tiba ada seekor kelinci putih lari lewat di samping mereka. Tuli keluarkan
panah kecilnya dan memanah. Tepat kelinci itu terpanah perutnya. Tapi tenaganya
Tuli sangat terbatas, kelinci itu masih dapat lari terus dengan bawa anak panah
yang nancap diperutnya itu. Tuli bersama Kwee Ceng
lantas mengejar dengan berteriak-teriak.
Kelinci
itu lari serintasan, lantas ia roboh dengan sendirinya. Girang Tuli
berdua, mereka lompat maju untuk menubruk.
Justru
itu dari samping mereka, yang merupakan rimba, muncul serombongan anak-anak,
satu yang berumur kira-kira sepuluh tahun, dengan sangat sebat, telah
mendahului menyambar binatang itu, dia cabut anak panahnya dan lalu ia buang ke
tanah, kemudian setelah ia mengawasi Tuli berdua, dia lari bersama bangkai
kelinci itu!
Tuli
lantas berteriak: „Eh, kelinci itu akulah yang memanahnya! Kenapa kau bawa
lari?!“
Bocah
itu menoleh, dia tertawa. “Siapa yang bilang, kau yang memanah?” tanyanya.
“Panah
ini toh kepunyaanku!” jawab Tuli.
Bocah
itu yang telah berhenti berlari berdiri sepasang alisnya, matanya pun melotot.
“Kelinci ini adalah piaraanku!” dia kata. “Sudah bagus aku tidak minta ganti
rugi!”
“Tidak
tahu malu!” bentak Tuli. “Terang ini adalah kelinci liar!”
Bocah
itu galak, ia menghampiri Tuli dan mendorong pundak orang. “Kau maki siapa?!”
tegurnya. “Kakekku ialah Wang Khan! Ayahku ialah Sangum! kau tahu tidak?! Taruh
kata benar kelinci kaulah kau yang panahm kalau aku hendak ambil, habis
bagaimana?!”
“Ayahku Temuchin!”
kata Tuli dengan sama jumbawanya.
“Fui!”
bocah itu menghina. “Ayahmu adalah hantu cilik yang nyalinya kecil, dia takuti
kakekku, dia juga takuti ayahku!”
Bocah
itu adalah Tusaga, putra tunggal dari Sangum atau cucunya Wang Khan. Mulainya Sangum
dapat satu putri, selang lama, barulah ia dapatkan putranya ini, lalu ia tidak
punya anak lain lagi. Karena itu, putranya ini sangat disayangi dan dimanjakan,
hingga Tusaga menjadi kepala besar. Temuchin telah berpisah lama dengan Wang
Khan dan Sangum, karenanya, anak-anak mereka tidak kenal satu sama lain.
Tuli
gusar sekali yang ayahnya diperhina orang. “Siapa yang bilang?!” ia tanya dengan bengis. “Ayahku tidak takuti siapa
juga!”
“Ibumu
telah orang rampas, adalah ayahku dan kakekku yang pergi menolongi merampas
pulang!” sahut Tusaga. “Apakah kau sangka aku tidak ketahui hal itu? Maka apa
artinya kalau aku naru ambil ini kelinci kecil?”
Memang
dahulu hari Wang Khan telah
bantu anak angkatnya itu, Sangum ingat baik-baik peristiwa itu dan menceritakan
kepada orang lain hingga Tusaga yang masih kecil mendapat tahu juga. Sebaliknya Tuli
tidak tahu suatu apa, sebab Temuchin anggap hal itu memalukan dan tidak pernah
memberitahukan putranya, apapula putranya itu masih kecil.
Meski
begitu, Tuli gusar sekali. “Akan aku beritahu ayahku!” katanya. Ia putar
tubuhnya untuk berlalu.
Tusaga
tertawa terbahak. “Ayahmu takuti ayahku, kau mengadu juga bisa apa?” katanya.
“Tadi malam ayahku keluarkan dua macan tutulnya, empat pahlawan dari ayahmu
lantas tak berni bergiming!”
Tuli
bertambah gusar. Di antara empat
pahlawan, Boroul adalah gurunya. “Guruku tak takut harimau, apapula segala
macan tutul!” serunya sengit. “Hanya guruku tidak hendak melayani!”
Tiba-tiba
Tusaga maju dan tangannya melayang ke kuping orang. “Kau berani membantah?!”
dia membentak. “Kau tidak takuti aku?”
Tuli
melengak. Ia tidak sangka orang berani pukul padanya.
Kwee
ceng panas hati semenjak tadi, sekarang ia tidak dapat mengatasi pula dirinya.
Dia maju dan seruduk perutnya Tusaga!
Putranya Sangum juga tidak
menyangka-nyangka, tidak ampun lagi dia roboh terjengkang. Tuli tertawa seraya
tepuk-tepuk tangan. “Bagus!” dia bersorak. Kemudian dengan tarik tangannya Kwee
ceng, ia lari.
Kawan-kawannya
Tusaga tidak tinggal diam dan mengejar, maka itu, mereka lantas jadi berkelahi
bergumul, kepalan dan kaki digunakan semua.
Tusaga
murka sekali, dia merayap bangun, dia pun turut menyerbu. Pihaknya kebanyakan
terlebih tua usianya, dan merekapun berjumlah lebih banyak orang, sebentar saja
Kwee Ceng dan Tuli kena dipukul jatuh, lalu
ditindihkan.
Tubuh Kwee Ceng diduduki Tusaga,
sembari memukul bebokong orang, dia ini berkata: “Kau menyerah, aku kasih
ampun!”
Kwee Ceng berontak, sia-sia saja, ia tak
dapat bergerak. Tuli pun tak dapat bergeming, ditindih oleh dua lawan.Dalam
saat tegang dari bocah-bocah ini, dari kejauhan ada terdengar kelenengan unta,
lalu ditepi sungai tertampak rombongan pedagang dari gurun pasir. Salah satu
diantaranya yang menunggang kuda putih, tertawa apabila ia lihat bocah-bocah
itu sedang berkelahi.
“Bagus!
Kamu lagi berkelahi!” katanya. Tapi kapan ia telah datang dekat dan lihat dua
anak dikepung beramai, dua bocah itu telah babak-belur dan matang biru mukanya,
ia kata nyaring: “Tidak malukah kamu?! Lekas lepaskan mereka!”
“Minggir!
Jangan banyak omong disini!” bentak Tusaga. Dia adalah putranya satu jago di Utara, dia termanjakan, siapapun tidak berani lawan
padanya. Maka itu ia menjadi besar kepala.
“Hai
anak, kau galak sekali!” kata penunggang kuda itu. “Lepas tanganmu!”
Ketika
itu telah tiba beberapa yang lainnya, lalu satu nona berkata: “Shako, jangan
usilan, amri kita melanjutkan perjalanan.”
“Kau
lihat sendiri, kau lihat sendiri!” kata orang yang dipanggil shako itu – shako
– kakak nomor tiga.
Rombongan kalifah itu terdiri antaranya dari
Kanglam Cit Koay, itu tujuh Manusia Aneh dari Kanglam. Mereka dengar Toan Thian
Tek kabur ke utara, mereka menyusul hingga ke gurun pasir.
Untuk enam tahun lamanya mereka mondar-mandir, selama itu tidak
pernah mereka dengar halnya si orang she Toan itu. Mereka semua mengerti bahasa
Mongol.Han Siauw Eng adalah si nona, apabila ia telah melihat denagn tegas, ia
lompat turun dari kudanya, ia tarik dua bocah yang mengerubuti Tuli, ia
menyempar hingga orang berguling. “Dua mengepung satu, tak malukah kamu?!”
tegurnya.
Tuli
lompat bangun begitu lekas ia merasai tubuhnya enteng.
Tusaga
menyaksikan kejadian itu, ia heran. Justru ia melengek, Kwee Ceng
berontak dan loloskan dirinya seraya lompat bangun juga, lalu bersama kawannya
ia angkat kaki!
“Kejar!”
teriak Tusaga gusar. “Kejar!” Ia ajak kawan-kawannya mengubar.
Kanglam Cit Koay pada tersenyum,
Mereka ingat masa kecilnya mereka, yang pun bengal dan gemar berkelahi.
“Hayolah
jalan!” berkata Kwa Tin Ok. “Kita jangan bikin pasar keburu bubar, nanti kita
tak dapat menanyai orang!”
Itu
waktu Tusaga beramai telah dapat candak Tuli berdua, mereka itu kembali kena
dikurung.
“Menyerah
atau tidak?”Tusaga
tanya.
Tuli
dengan mata bersinar hawa amarah, menggelengkan kepala.
“Hajar
lagi padanya!” Tusaga memberi komando. Anak-anak itu pun lantas maju.
Tiba-tiba
sebuah benda berkelebat di tangannya Kwee Ceng.
“Siapa berani maju!” ia berseru. Nyata ia mencekal sebatang pisau belati.
Lie
Peng menyayangi putranya, senjata peninggalan suaminya itu ia serahkan kepada
sang putra, untuk sang putra yang simpan. Ia mengharap pisau belati itu,
sebagai mustika dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat.
Menampak
orang bersenjata, Tusaga semua tidak berani maju.
Biauw
Ciu Si-seng Cu
Cong, yang telah larikan kudanya,
lihat sinar berkelebat berkilau itu, ia manjadi heran. Banyak sudah ia mencuri
barang-barang berharga kepunyaan pembesar rakus atau hartawan jahat, maka itu
matanya tak pernah salah.
“Benda
itu pasti mustika adanya,” ia berpikir. “Perlu aku lihat, benda apakah itu…”
Maka
itu ia larikan kudanya ke arah anak-anak itu hingga ia menampak Kwee Ceng
dengan belati di tangan, sikapnya gagah sekali. ia menjadi heran. Kenapa sebuah
mustika berada di tangan satu bocah? Ia jadi awasi Kwee Ceng
begitu pun semua bocah lainnya. Semua mereka mengenakan kulit binatang yang
mahal, kecuali Kwee
Ceng yang dilehernya pun berkalung
gelang emas yang indah. Jadi mereka mestinya adalah anak-anak bangsawan Mongolia.
“Mestinya
bocah ini telah curi senjata ayahnya,” si setan tangan ulung berpikir pula.
“Dia tentu curi itu untuk dibuat main. Bukannya tak halal kalau aku ambil
barangnya orang bansawan…”
Dengan
timbul keinginannya akan punyai belati itu, Cu Cong
lompat turun dari kudanya, dia dekati semua bocah itu sambil ia tertawa
haha-hihi.
“Jangan
berkelahi, jangan berkelahi!” katanya. “Hayolah kamu baik-baik bermain…!”
Ia
menyelip di antara bocah-bocah itu, atau sekejap saja belati di tangan Kwee Ceng
telah pindah ke dalam cekalannya. Jangan kata baharu Kwee Ceng,
satu anak kecil, walaupun orang kosen lainnya, pasti dapat senjatanya
dirampasnya. Ia lompat pula untuk naik ke atas kudanya, sambil tertawa
berkakakan, ai susul kawan-kawannya.
“Tak jelek untungku hari ini, aku dapat mustika!” kata ia.“Jieko,
tak dapat kau ubah tabiatmu yang suka mencopet itu!” kata Siauw Bie To Thio A
Seng.
“Mustika
apakah itu? Mari kasih aku lihat,”
minta Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat.
Cu Cong ayun tangannya,
melemparkan. Bersinar berkilau belati itu diantara sinar matahari, bagaikan
sinar bianglala, hingga semua Kanglam
Cit Koay
heran dan memuji. Kim
Hoat pun merasa memegang benda
yang rasanya dingin.
“Bagus!”
ia segera memuji, lalu tangannya menyambar ke batu di dekatnya, batu mana terus
terbabat kutung. Kemudian ia lihat gagangnya pisau, ia jadi terperanjat. Ia
dapatkan ukiran dua huruf “ Yo kang”.
“Eh, ini namanya orang Han!” katanya. “Kenapa
belati ini terjatuh ke dalam tangan orang Mongol? Yo Kang? Yo Kang? Tidak
pernah aku dengar orang gagah dengan nama ini….Siapa tak gagah tak pantas ia
mempunyai belati ini…..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar