Bab 20. Tombak Besi Dan Pakaian Lama
Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus
bersama si kacung pergi untuk mengambil obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama
itu ia masih terus mengancam si pengurus, yang khawatir nanti jatuh atau main
gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio Cu Ong. Kacung itu membuka pintu,
ia masuk ke dalam dan menyulut lilin.
Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat
obat-obatan memenuhi meja, pembaringan dan lantai. Di situ pun ada
banyak botol dan guci, besar dan kecil. Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat
obat-obatan.
Kacung
itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk
menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Obat-obatan mana terus
ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang, yang tak tahan sabar, sudah
lantas mengulur tangannya, akan sambut obat-obatan itu, terus tanpa pedulikan
si koanke, ia bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun
ia telah terluka, pikirannya berekrja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu
sampai Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup
padam api lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci,
menyusul mana ia berteriak-teriak: “Ada penjahat! Ada penjahat!“
Kwee
Ceng terkejut, ia memutar tubuh, ia mencoba membuka pintu tetapi sia-sia
belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsunya, selagi begitu si
kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke
empang di dekat mereka.
Kacung
itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar
teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi
curiga, maka ia rampas obat itu dan dibuang.
Dalam
gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali ini
daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang
segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung
sudah lari. Dalam murkanya, ia berlompat untuk mengejar, segera ia berada di
balakang kacung itu, pundak siapa ia jambret.
Kacung
itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya
memutar tubuh, ia membalas menyerang denagn sapuan kakinya.
Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah
berkelit, ia menyerang dengan hebat. Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya,
cuma sebab ia masih keburu membuang mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah
kemudian, setelah kepalanya ke disampok, dia roboh dengan pingsan.
Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung
terlempar ke tempat tumbuh rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar.
Ia lantas menyalakan api. Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia
mengawasi obat, ia menjadi bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia
tidak perhatikan darimana orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di
peles obat tidak dapat ia baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat, tidak bisa ia memikir
lama-lama.
“Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil
semua obat ini, sebentar Ong Totiang yang pilih sendiri,” pikirnya kemudian.
Maka ia lantas ambil kertas, ia membungkus setiap obat.
Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena
langgar sebuah keranjang di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya
terbuka. Untuk kagetnya, ia lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang
tubuhnya merah mulus. Malah
ular itu segera menyambar!
Kwee
Ceng kaget, syukur ia masih sempat berlompat. Sekarang ia dapat melihat dengan
tegas, tubuh ular ada sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di dalam
keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh
adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua,
lidah itu bergerak-gerak tak hentinya.
Selagi
mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam, maka
ruangannya segera menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas lari
ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan
dipeluk, atau itu mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat
untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan
barang adem mengenakan lengannya.Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang
bahwa ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya
hendak ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau
obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, lalu mukanya terasa dingin. Itulah
ular yang telah menjilati mukanya!
Lagi
sekali ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan tangan
kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet.
Ular
itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia pentang
mulutnya, untuk mencoba mengigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia melibat
dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasai tubuhnya terlilit
keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai
berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia
menjadi mual, hendak ia muntah. Adalah sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga,
ia seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya…..
Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari
pingsannya. Dia mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu
telah kabur. Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, dia kabur kepada
gurunya itu.
Oey
Yong terkejut akan dengar keterangan si kacung, denagn gerakan “Burung meliwis
turun di pasir datar”, dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh kaki
tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah keperogok. Inilah
sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga.
Mereka memang semuanya orang-orang lihay.
Sejenak
saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang di
depan si nona. Dia lantas menegur; “Siapa kau?”
Oey
Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada yang
lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-tiba saja ia tertawa
dengan manis.
“Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya
setangkai untuk aku?” ia berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal
menghadapi satu nona, malah satu nona yang begitu cantik manis, yang suaranya
halus dan merdu. Tanpa merasa ia mengulurkan tangannya, akan memetik setangkai
bunga, yang untuk terus diangsukan kepada si nona.
Oey Yong menyambuti. “Loya-cu, terim kasih!” katanya,
kembali tertawa dengan suaranya yang halus merdu itu.
Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, merek
aitu berdiri mengawasi kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar
tubuhnya, untuk berlalu.
“Ongya,” Pheng Lian Houw menanya, “Adakah nona ini,
nona dari istana ini?”
“Bukan,” menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan
kepala.
Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian
ouw sudah mencelat ke depan si nona.
“Tunggu nona!” katanya, “Aku pun akan memetik
setangkai bunga untukmu…!” Terus ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap
lengan orang, tetap sebat luar biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si
nona.
Oey
Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu
silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah
sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia geraki tangan kanannya,
jari tangannya menyambuti tangan jago itu.
Lian
Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-hiat,
lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu, dengan begitu dia dapat lolos dari
bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia pun
tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian yang
Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek.
Yang lain-lain pun terkejut dan heran.
“Nona,
kau she apa?” Lian Houw lantas menanya, “Siapakah gurumu?”
“Bukankah
bunga bwee ini permai sekali?” tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus berlagak
pilon, ia tidak menunjukki kagetnya tadi. “Bukankah kau menghendaki aku
menancapnya di dalam pot?”
Sikap
ini kembali membuatnya orang heran dan menjadi menduga-duga.
“Kau
dengar apa tidak, apa yang kami tanya?” Lian Houw menegur. Ia tidak sabaran, dia lantas
menunjuki kesembronoannya dengan campur bicara.
“Apakah
itu yang kau bicarakan?” balik tanya Oey Yong, tertawa.
Justru
itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang diwaktu
siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang menyamar
menjadi satu bocah dekil.
“Lao
Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?” ia tanya sahabatnya. Ia tertawa.
Thong
hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan sebaliknya.
Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap.
“Ha,
anak busuk!” dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk
menubruk.
Dengan
berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki See
Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke
lengan. “Kau hendak lari ke mana?” menegur Kwie-bun
Liong Ong.
Oey
Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian. Tapi
ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan
kirinya ia menotok kepada kedua matanya si orang she See itu.
Hebat
See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga
tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal.
“Tidak
tahu malu!” mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali.
“Tidak
tahu malu apa?!” balik tanya See Thong Thian.
“Tua
bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!” Oey Yong
menyahuti.
See
Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang,
dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak
perempuan…..
“Masuk
ke dalam!” katanya seraya kendorkan cekalannya.
Oey
Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk.
“Nanti
aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!” kata Hauw Thong Hay, yang ada
sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu.
“Tanyakan
dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah ia itu datang ke mari!” berkata
Pheng Lian Houw.
Hauw
Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah lantas
melayang.
Oey
Yong berkelit. “Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?” ia menanya.
“Aku
hendak cegah kau melarikan diri!” jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona
minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar….
“Jikalau
kau benar hendak adu kepandaian denagn aku, baiklah!” kata Oey Yong yang
sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak di
atas meja. Cawan yang satu ia letaki di batok kepalanya dan dua yang lain ia
cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang: “Beranikah kau mencontoh
aku ini?”
“Setan
alas!” berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo.
Oey
Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata, “Aku
tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru
menggeraki tangan dan kena melukakan dia?”
Thong
Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. “Kau dapat melukakan aku? Kau?”
katanya sengit.
Kembali
Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula, “Dengan cara begini hendak aku
mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah
yang kalah? Akurkah kau?”
Nona
ini menggunai kecerdikannya. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri dari
orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma sebab
ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau secara demikian, ia bakal
dapat lolos.
“Siapa
kesudian main-main denganmu!” Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang
sambarannya bagaikan angin.
“Bagus!”
Oey Yong tertawa, seraya ia berkelit. “Pada tubuhku ada tiga buah cawan, kau
snediri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!”
Bukan
alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh terlebih tua, meski ia
tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya itu, ia toh
ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir sejenak
juga, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletaki di batok kepalanya, habis
mana ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian,
dengan sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan
kaki kanannya mendupak nona itu!
“Bagus!
Nah ini barulah namanya enghiong sejati!” Oey Yong berseru sambil tertawa,
seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjuti perkataannya atau dia sudah
ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena dengan kedua tangan mencekal cangkir
dan kepala ditaruhkan cangkir juga, Thong Hay tidak dapat berbuat lain dari
menggunai kedua kakinya.
Oey
Yong akhirnya repot akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau mengegos
tubuhnya, menyingkir dari tendangan. Untuk ini, ia mesti seperti memutari
ruangan itu.
Nio
Cu Ong memasang mata kepada gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan
bagaikan “Mega berjalan atau air mengalir”. Tubuh tetap tegak, tidak bergerak
sedikit juga, dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat.
Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar.
Si
nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, ia saban-saban mencoba dengan
sikutnya akan membentur lengan lawannya, supaya benturannya dapat membuat arak
tumpah atau ngeplok.
“Bocah
ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini rupa…”
berpikir jago tua ini. “Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan
tandingannya Lao Hauw…”
Disaat
itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginannya
menyaksikan pertempuran, ingin ia lari ke pintu, untuk terus ke kamarnya, guna
cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat memikir bagaimana halnya
dengan si pencuri obat sensiri……
Kwee
Ceng belum sampai pingsan tatkala ia merasakan bau ular menjadi semakin hebat.
Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut padanya.
Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak dapat
menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang masih
merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu apa. Lantas ia kuatkan hatinya, agar
tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget
dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi
semakin keras.
Tanpa
pedulikan apa juga, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap, menyedot
darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia juga
tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui, kalau
darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan
dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal
terlolos dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa
merasa, perutnya mulai kembung.
Dugaannya
bocah ini tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaganya binatang itu
segera menjadi berkurang, lilitannya segera menjadi kendor, atau sesaat
kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh sendirinya. Sebab itu
waktu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan!
Kwee
Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos semangatnya,
untuk menjalankan napasnya dengan beraturan. Dengan dapat bersemadhi lekas ia
dapat pulang tenaganyanya. Hanya aneh sekarang ia merasakan darahnya bergerak
keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya si ular yang lagi bekerja. Ia
terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh. Segera setelah
merasa segar betul, ia gunai tenaganya untuk mencelat bangun.
Yang
pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas meraba.
Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia segera
teringat pula kepada Bok Ek.
“Dia
dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu, bagaimana
dapat aku tidak menolongi mereka?” demikian ia berpikir. Ia lantas bekerja. Ia
tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan dengan
cepat ke arah kurungannya Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati kurungan, ia mendapati penjagaan kuat
di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke dalam. Ia
memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu cepat
sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia
hampirkan kurungan. Sembari memasang kuping, ia melihat ke sekeliling. Tidak
ada serdadu jaga di situ.
“Bok Cianpwee, aku datang untuk menolongi,” ia lantas
berkata dengan perlahan.
“Kau siapa, tuan?” ada jawabannya Bok Ek yang menanya.
Kwee Ceng perkenalkan dirinya.
Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu,
karena berisik dan ia pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di
tengah malam, ia mendengarnya dengan nyata.
“Kau…kau she Kwee?” tanyanya, menegaskan. Agaknya ia
terperanjat.
“Benar,” sahut si bocha hormat, “Aku yang muda adalah
orang yang tadi siang melawan si pangeran muda.”
“Siapakah ayahmu?” Bok Ek tanya pula.
“Ayahku
almarhum bernama Siauw Thian,” Kwee Ceng menyahut pula.
Dengan
tiba-tiba saja air matanya Bok Ek mengembang dan berlinang-linang, lalu ia
angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh: “Oh, Thian….Thian….” ia pun ulur
keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda
dengan erat.
Kwee
Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun menetes
jatuh ke belakang telapakan tangannya itu. Ia kata dalam hati kecilnya:
“Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong dia, dia menjadi girang luar
biasa.” Maka ia kata dengan perlahan sekali: “Aku punya golok yang tajam,
dengan itu kunci dapat dirusak untuk Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini…”
“Ibumu
she Lie, bukankah?” Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan perkataan orang.
“Apakah ibumu itu masih ada atau ia telah
menutup mata?”
Kwee
Ceng heran sehingga ia balik menanya: “Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku she
Lie? Ibu masih ada di Mongolia.”
Hatinya
Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak hendak
melepaskannya.
“Tolong,
lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini,” Kwee Ceng bilang.
Bok
Ek tetap memegangi erat-eart. Ia seperti mendapati sesuatu yang berharga dan
tak ingin itu lenyap pula.
“Ah,
kau telah menjadi begini besar…” katanya menghela napas. “Ah, dengan memeramkan
mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang telah
almarhum itu…”
Kwee
Ceng menjadi semakin heran. “Cianpwee kenal ayahku itu?” tanyanya.
“Ayahmu
adalah kakak angkatku,” Bok Ek beritahu. “Kita telah mengangkat saudara hingga
perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung….”
Orang
tua ini tidak dapat melanjuti kata-katanya, ia menangis sesegukan.
Tanpa
merasa, air matanya Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini adalah Yo
Tiat Sim, yang dulu hari itu, diwaktu bertempur bersama tentera negeri, sudah
terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia roboh
pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena tertawan.
Adalah besok paginya ia sadar sendirinya, dengan merayap dia pergi ke rumah
seorang petani di dekat tempat kejadian. Satu tahun lebih ia merawat dirinya,
baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya Kwee Siauw
Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak berhasil.
Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada di Utara.
Dia tidak pakai terus she dan namanya – Yo Tiat Sim – dia hanya rombak she Yo
itu, di ambil bagiannya ynag kiri, yaitu huruf “Bok” yang berarti “Kayu”. Tapi juga huruf “Bok” ini diganti lagi dengan huruf “Bok”
yang berarti “Akur”. Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama “Ek” dia ambil dari
huruf pecahan sebelah kanan dari huruf “Yo” shenya itu. Huruf “Yo” itu terdiri
dari dua huruf “Bok = kayu dan Ek = gampang atau tukar”. Selama delapan belas
tahun ia merantau. Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau
saudara angkatnya itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati?
Selama ayahnya itu berbicara sama si anak muda, Bok Liam
Cu berniat memberi ingat serta meminta Kwee Ceng menolongi dulu mereka, tentang
pasang omong, itu boleh dilanjuti lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka
mulutnya, lalu datang pikiran lain, yang membuatnya berubah. Ia kata dalam
hatinya: “Satu kali kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya
aku nanti tidak dapat bertemu dengan dia…”
Dengan “dia” yang dimaksud oleh Liam Cu adalah Wanyen
Kang, si pangeran muda. Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran
itu, hingga ia tak ingin pergi jauh, untuk memisahkan diri….
Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia
sudah lantas tarik keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia
hendak ayun goloknya, untuk menggempur kunci, mendadak ia tampak sinar terang
yang disusul sama suara tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan
goloknya, dengan gesit ia lompat sembunyi di belakang pintu.
Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pinttu
dipenntang, lalu terlihat masuknya beberapa orang, di antara siapa yang jalan
di muka adalah yang menenteng lentera.
Kwee Ceng heran akan melihat orang itu yang bukan lain
daripada onghui atau selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat
menerka orang datang dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya.
“Adakah
mereka ini yang hari ini dikurung siauw-ongya?” demikian Kwee Ceng dengan
pertanyaannya si nyonya mulia.
“Ya,”
menyahuti si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu.
“Sekarang
juga merdekakan mereka!” onghui memberi titah.
Opsir
itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat ia segera menjawab.
“Jikalau
siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka,” onghui berkata
pula menampak orang sangsi. “Lekas buka kuncinya!”
Sampai
di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula.
Setelah
ayah dan gadis itu sudah berada di luar kerangkeng, onghui merogoh sakunya
untuk mengeluarkan dua potong emas, yang mana ia angsurkan kepada Bok Ek atau
Yo Tiat Sim. Ia kata: “Nah, pergilah kamu baik-baik!”
Tiat
Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam.
Ditatap
demikian, onghui heran. “Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak sesalkan
dia…” dia berkata lagi kemudian.
Cuma
sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambuti itu emas, terus ia tuntun
tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar.
“Ha,
orang kasar!” membentak si opsir. “Kamu tidak membilang terima kasih kepada
onghui yang telah menolong jiwamu!”
Bagaikan
tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus.
Sampai
di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya.
Kwee
Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui sudah
jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia melihat ke
sekeliling, ia tidak dapatkan Bok Ek dan Liam Cu.
“Pasti
mereka sudah keluar dari istana,” pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa Cui
Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu buat jangan mengintai
lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It.
Baru
ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah lentera
serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke samping di
mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia segera
dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. “Siapa?!” Bahkan orang
itu sudah lantas berlompat maju dan tangannya menyambar.
Kwee
Ceng geraki tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia
terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau
pangeran muda.
Wanyen
Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari opsir
yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia kaget
dan kata dalam hatinya: “Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak memperdulikan
urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui ini, cara
bagaimana aku dapat menyangkal?” Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam Cu, maka ia
datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng.
Pemuda
she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang hendak
menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja bertempur
seru melebihkan pertandingan mereka tadi siang.
Bukan
main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk meloloskan
diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-ongya.
Sementara
itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru saja
memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia
perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia
membuat tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas
menyusul mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong
Hay dengan kedua tangannya.
Orang
she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak dapat ia
menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan kesebatannya, tangan kanan si nona
menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak dapat mengegos pula tubuhnya,
terpaksa ia menangkis!
Begitu
kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw itu tergerak,
isinya lantas tumpah, membasahkan lantai. Yang hebat adalah cawan di batok
kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara berisik
dan araknya melulahkan.
Oey
Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawannya,
yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia
letaki di batok kepalanya itu. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua
cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah!
“Bagus!”
seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang merebut
kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya itu.
Thong
Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan
mendongkolnya. “Mari kita bertanding pula!” ia menantang.
Oey
Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya “Tak malukah kau?” dia bertanya,
mengejek.
“Hm!”
See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu dibikin
malu secara demikian. “Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya gurumu!”
“Besok
akan aku mengasih keterangan kepada kau!” menjawab si nona tertawa. “Sekarang
aku mesti pergi dulu!”
Setahu
bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke
ambang pintu, untuk menghalangi di situ.
Oey
Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui,
hingga kedua tangannya tidak dapat digeraki lagi, sekarang ia menyaksikan cara
mencelat orang, yang ada dari tipu “Menukar wujud, mengganti kedudukan”,
semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia dapat menenangkan diri,
parasnya tidak menunjuki perubahan. Ia hanya mengkerutkan kening.
“Mau
apa kau menghalangi aku?” dia bertanya, berlagak pilon.
“Aku
ingin ketahui kau murid siapa?” menyahut See Thong Thian. “Aku ingin ketahui
untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?”
Sepasang
alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. “Jikalau aku tidak sudi mengasih
keterangan?” tanyanya, menantang.
“Pertanyaannya
Kwie-bun Liong Ong tidak dapat tidak dijawab!” sahut orang she See itu.
Oey
Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat ia
memaksa menerobos keluar. Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke
luar, ia lantas menegur.
“Lopepe,
dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?” katanya.
Hati
Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau
percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ai menjadi merasa suka
kepada si nona.
“Kau
jawablah pertanyaannya See Liong Ong,” ia kata, tertawa. “Setelah kau berikan
jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu.
Oey
Yong tertawa, tetap dengan manis. “Aku justru tidak sudi menjawab dia!”
sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam, “Jikalau kau tidak
mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi denagn cara paksa!”
See
Thong Thian tertawa dingin.”Asal kau mampu!” bilangnya.
“Tapi
awas, kau tidak boleh serang aku!” berkata si nona, ynag hendak menggunai pula
kecerdikannya.
“Untuk
memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan tangan?”
katanya.
“Bagus!”
seru Oey Yong. “Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah menjadi
kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana
apa?” Semabri mengucap, dia menunjuk ke arah kiri.
See
Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu.
Oey
Yong gunai kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya meleset, lewat di samping jago
tunggal dari sungai Hong Ho itu.
Benar-benar
lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, atau kepalanya sudah menghadang
di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan tubuhnya
hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia meundur dengan cepat.
See
Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona itu. Dua kali lagi ia mencoba, jago sugai Hong Ho itu
senantiasa menghadang di depannya.
Nio
Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. “See Liong Ong, adalah satu ahli tersebar,”
katanya. “Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah saja!”
Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja ia
tiba di ambang pintu atau hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat
terkejut.
“Celaka!”
serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang. Di situ
tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan. Hampir ia
menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun.
Som
Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu tabib,
maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa, resep
untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana,
untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah
dapatkan ularnya yang besar itu yang sanat berbisa. Lantas ular ini ia kasih
makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam
abu-abu, setelah makan banyak macan obat itu, warnanya lantas berubah menjadi
merah mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh
tahun lamanya. Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darahnya
ular itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya,
sebab ia berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya,
siapa tahu sekarang ularnya itu terbinasa, malah ia ketahui juga terbinasanya
ular itu sebab darahnya telah orang sedot.
Cepat
setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama lukanya,
maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari keluar,
ia lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, guna mencari si
pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul.
Berbangkit pula hawa amarahnya, maka dengan lantas ia lari ke arah taman.
Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah
bertempur. Baru ia datang atau hidungnya telah mendapat cium bau obat tercampur
bau amis yang datangnya dari arah si pemuda.
Dalam
halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini diwaktu
mulai bertempur, ai sudah lantas keteter, akan tetapi, begitu lewat beberapa
jurus, begitu juga datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa
perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya itu. Disaat itu
tenaganya lantas bertambah sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si
pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung.
“Heran,
kenapa tenaganya menjadi kuat?” tanya si pangeran dalam hatinya.
Kwee
Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti tidak
sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-mana ia merasakan
gatal pada tubuhnya.
“Kali
ini habislah jiwaku…” pikirnya. “Tentulah bisa ular lagi bekerja…”
Ingat
kepada bisa ular, hatinya pemuda ini menjadi kecil. Karena ini, ia pun menjadi
alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran, yang sudah dapat
memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan lainnya.
Biasanya kalo ia kena diserang, ia merasa sakit, tetapi sekarang, bukannya ia
merasa sakit hanya gatal, dan enak sekali rasa gatal itu. Ia menjadi heran
berbareng girang, hingga sengaja ia membuatnya lowongan, sampai Wanyen Kang
dapat menyerang sepuasnya. Tidak sedikit pun ia merasakan sakit lagi.
Siauw-ongya
itu turut menjadi heran, karena pelbagai pukulannya tidak menyebabkan orang
kesakitan atau roboh. “Kenapa sekalipun dengan pukulan yang membahayakan aku
tidak dapat melukai dia?” pikirnya.
Sedang
Kwee Ceng berpikir: “Heran, kenapa pukulannya empuk sekali, dia seperti
meggaruki gatalku?”
Adalah
aturan dari resepnya io Cu Ong itu, siapa habis minum darah ular, tubuhnya
mesti dipukuli, supaya dengan begitu, hawa darah itu buyar, supaya racunnya
tidak bekerja lagi, setelah mana, tubuh orang yang bersangkutan menjadi tambah
kuat. Maka itu kebetulan sekali Kwee Ceng bertempur sama Wanyen Kang.
Siauw-ongya tidak ketahui rahasia itu, tidak heran kalau ia menjadi bingung.
Tatkala
Nio Cu Ong tiba, telah cukup lama Kwee Ceng terhajar, maka itu tubuhnya menjadi
kuat luar biasa, pelbagai pukulannya Wanyen Kang menjadi tidak ada artinya. Menyaksikan itu, Cu Ong menjadi menyesal berbareng
penasaran dan mendongkol.
“Hai,
bangsat anjing!” dia menegu. “Siapa yang anjurkan kau mencuri ularku?!” Dia
percaya, sebagai bocah Kwee Ceng tentunya tidak ketahui rahasia resepnya itu,
mestinya si bocah diberi petunjuk oleh seorang berilmu, yang entah siapa.
Kwee
Ceng memang tidak tahu suatu apa mengenai resep itu atau darah ular yang ia
minum, oleh karena itu ia gusar yang ia telah dicaci.
“Bagus, kiranya kau yang piara ular
berbisa itu!” ia berseru. “Aku sekarang telah terkena bisanya binatang jahat
itu, hendak aku mengadu nyawa denganmu!” Ia lompat maju untuk menyerang itu
jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong merasakan pula sambaran bau obat dan amis
dari ular, yang leuar dari baju atau tubuhnya Kwee Ceng, mendadak hatinya
menjadi panas, lantas timbul pikirannya yang kejam. Ia pikir: “Dia telah minum
darah ularku, baik aku bunuh dia, untuk sedot darah dari tubuhnya itu, mungkin
kekuatannya obat masih ada atau mungkin kekuatan itu bertambah besar…” Karena
ini, ia menjadi girang, lantas ia menyambuti serangan. Dengan lantas ia dapat
menangkap tangannya si anak muda.
Tenaganya Kwee Ceng telah bertambah luar biasa, maka
itu ketika ia mengibaskan tangannya, untuk ditarik, tangan itu segera terlepas
dari cekalannya lawan.
Nio Cu Ong tidak menjadi heran yang ia tidak bisa
mencekal terus tangannya bocah itu, ia lantas menggunai akal. Ia menanti lain
serangan, lalu ia menangkap pula. Kali ini ia menunggu sampai orang berontak,
segera ia gunai kakinya untuk menggaet.
Jago ini lihay berlipat kali dari kwee Ceng, ia tentu
dapat berbuat sesukanya terhadap anak muda itu, yang kalah pandai dan kalah
pengalaman, kalah cerdik juga. Begitulah ketika kakinya kena digaet, Kwee Ceng
roboh dengan segera. Lantas Cu Ong menubruk, untuk memegang keras pundak orang,
yang ia tekankan kepada tanah, setelah mana ia majukan mukanya ke arah leher,
untuk menggigit leher itu, guna menyedot darah ularnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam Hoa Cui Kok masih
tidak dapat menerobos penjagaannya See Thong Thian, biarnya ia sangat lincah,
semua percobaannya sia-sia belaka. Sebenarnya, kalau Thong Thian menghendaki,
dengan gampang ia bisa bekuk nona itu, dengan mencekal tangannya, tetapi di
depan Chao Wang, dia hendak pertontonkan kepandaiannya, dia sengaja permainkan
nona itu.
Oey
Yong menjadi cemas. Akhirnya ia berhenti mencoba. “See Liong Ong,” katanya,
untuk menggunai akal pula, “Asal aku dapat lolos, kau tidak dapat mengganggu
pula padaku. Akurkah kau?”
“Asal
kau dapat molos, akan aku menyerah kalah!” Thong
Thian jawab.
Oey
Yong lantas menghela napas. “Sayang, sayang….” katanya dengan masgul. “Sayang,
ayahku cuma ajarkan aku menyerang masuk, dia tidak mengajarkan aku ilmu
menerjang keluar…..”
“Apakah
itu menyerang masuk dan menerjang keluar?” tanya See Thong Thian. Biar
bagaimana, ia belum pernah dengar hal ilmu masuk dann keluar itu.
“Itulah
ilmu untuk merobohkan kau,” sahut si nona. “Kau punya ilmu Menukar Wujud
Memindahkan Kedudukan ini, walaupun sudah tidak dapat dicela, apabila
dibandingkan sama kepandaian ayahku, bedanya masih jauh sekali!”
Thong
Thian gusar. Ia percaya ilmunya sudah dipuncak kemahiran. “Kau ngaco-belo,
budak cilik!” bentaknya. “Siapakah ayahmu itu?!”
“Jikalau
aku sebutkan nama ayahku, aku khawatir kau nanti kaget hingga semangatmu
terbang!” Oey Yong menjawab. “Ketika dulu hari ia ajarkan aku menyerang masuk,
ayahku itu menjaga di mulut pintu, aku memasukinya dari luar, beberapa kali aku
mencoba, aku gagal. Mengenai kepandaianmu ini, memang dari dalam aku tidak
sanggup menerjang keluar, akan tetapi kalau dari luar, tak usah menggunai
tenaga untuk meniup debu, pasti aku akan dapat molos.”
Thong
Thian mendongkol sekali. “Dari luar masuk ke dalam sama dari dalam pergi
keluar, tidakkah itu sama saja?” dia menanya. “Baiklah kau boleh coba dari luar!” Ia lantas
menggeser tubuhnya, guna mengasih si nona pergi keluar. Ingin ia menyaksikan
orang menyerang masuk, untuk mengetahui, apa macam ilmu menyerang masuk itu.
Oey
Yong lantas saja meleset keluar, terus ia tertawa geli.
“See
Liong Ong, kau telah tertipu olehku!” katanya nyaring. “Kau telah bilang
sendiri, asal aku berada di luar, kau akan menyerah kalah, kau tidak bakal
mengganggu pula aku. Kau lihat, bukankah aku sekarang telah berada di luar?
Nah, sampai ketemu pula!”
See
Thong Thian berdiri diam. Memang telah dibikin perjanjian itu, tidak peduli si
nona telah menggunai akal bulus. Saking menyesalnya, ia ketoki kepalanya sampai
tiga kali.
Pheng
Lian Houw bersahabat erat sekali sama Kwie-bun Liong, tidak suka ia membiarkan
kawannya itu diperdayakan secara demikian, ia pun tidak senang orang dapat
pergi dengan begitu saja, dari itu ia segera ayun kedua kedua tangannya. Maka
menyambarlah dua renteng senjata rahasia yang berupa kim-chie atau uang emas.
Adalah
umum kalau orang menyerang dengan kim-chie, serangannya itu untuk atas dan
bawah, hingga sulit orang lolos dari salah satunya. Orang she Pheng ini adalah
satu ahli, hingga ia peroleh gelarannya yang luar biasa – Cian Ciu Jin-touw,
yang berarti pembunuh manusia seribu tangan, maka tidaklah heran kalau ia ada
mempunyakan keistimewaannya sendiri. Senjata rahasianya itu adalah seperti
bumerang. Kim-chie lewat di atasannya kepala Oey Yong, lalu berbalik
sendirinya, terus menyerang ke bebokong.
Oey
Yong heran dan kaget. ia lihat serangan lewat di atasan kepalanya, ia menjadi
heran, hingga ia memikir, kenapa kepandaian orang ini begini buruk? Tapi justru
ia heran, ia dengar suara angin, lalu kedua senjata rahasia itu berbalik,
menyambar ai di kiri-kanan mengarah batok kepalanya. Ia menjadi kaget sekali.
Ia ada punya mustika pelindung tubuh, tidak demikian dengan kepalanya, kalau ia
terserang jitu, celakalah ia. Karena ini, ia lompat ke depan, Ia baru menaruh
kaki, atau kim-chie yang belakangan sudah menyambar pula. Hebat untuk dia, dua
renceng kim-chie dari Phen Lian Houw terdiri dari beberapa puluh biji,
datangnya saling susul. Tidak dapat kim-chie itu ditanggapi. Karena ini tidak
ada jalan lain, terpaksa ia melompat maju pula, ia berlompatan. Maka dilain
saat, ia telah kembali ke ruangan besar!
Tidak
ada niatnya Pheng Lian Houw untuk melukai si nona, ia menyerang denagn sennjata
rahasianya itu guna menggiring nona itu kembali ke dalam, kalau tidak demikian,
pasti Oey Yong tidak sanggup membebaskan diri dari bahaya maut atau entengnya
terluka. Menampak itu, semua orang bersorak saking gembira. Lian Houw sendiri
lantas berdiri di ambang pintu.
“Bagaimana?”
dia tertawa. “Kau kembali ke dalam?”
Oey
Yong membuat main mulutnya untuk mengejek. “Kepandaianmu menggunai senjata
rahasia bagus sekali,” bilangnya, tawar, “Melainkan sayang kau gunai itu untuk
menghina satu anak perempuan! Apakah yang aneh?”
“Siapa
menghina kau?” Lian Houw tanya. “Aku toh tidak melukai kamu?”
“Kalau
begitu, kau biarkanlah aku berlalu dari sini,” kata si nona.
“kau
bilang dulu, siapa yang ajarkan kamu ilmu silat,” Lian Houw bilang.
Nona
nakal itu tertawa. “Aku telah pelajarkan ini sejak aku dalam kandungan ibuku,”
jawabnya.
“Kau
tidak hendak memberitahu, apakah dengan begitu kau menyangka aku tidak akan
mengetahuinya?” Lian Houw berkata seraya sebelah tangannya menyemboki pundak
orang.
Oey
Yong tidak menangkis, ia pun tidak berkelit. Ia tahu tidak dapat ia lawan jago
ini, ia mencoba berlaku norek. Hendak ia menyangkal terus-menerus.
Lian
Houw lihat orang diam saja, disaat tangannya hampir mengenai pundak si nona, ia
lantas menarik pulang.
“Lekas
menangkis!” ia berseru. “Lekas! Di dalam sepuluh jurus, aku orang she Pheng
pasti akan ketahui asal-usulmu!” Dia memang luas pengetahuannya dan mengenali
ilmu silat pelbagai golongan, tetapi ilmu silat Oey Yong membuatnya bersangsi,
dari itu ingin ia menempur selama sepuluh jurus untuk memeproleh kepastian.
“Jikalau
sampai sepuluh jurus kau masih belum dapat mengetahui?” tanya Oey Yong.
“Aku
akan merdekakan padamu! Awas!” Sambil menjawab demikian, Lian Houw menyampok
dengan tangan kiri yang disusul sama tinju kanan, tinju mana dibarengi sama
tendangan kaki kanan. Inilah pukulan berantai tiga kali yang hebat.
Oey
Yong terkesiap juga melihat datangnya serangan saling susul dan berbareng itu,
akan tetapi ia tidak menjadi kaget dan gugup. Sebat sekali ia mundur sambil
memutar tubuh dengan sebelah kaki, hingga dengan begitu ia perlihatkan sikap
“Si ayam emas berdiri dengan satu kaki”. Dengan begitu, ia lolos dari bahaya.
Di
dalam hatinya, Pheng Lian Houw berkata, “Inilah ilmu silat Jie Long Kun dari
Keluarga Luow dari Ceciu, Shoatong. Keluarag itu memang mengutamakan
kelincahan. Coba aku desak pula dia dengan dua jurus.” Lalu pikiran ini ia
wujuskan denagn cepat sekali.
“Inilah
jurus yang kedua!” berseru si nona, yang menangkis dengan tangan kiri buat
memunahkan serangan orang. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Iwee-kee si ahli
dalam.
Pheng
Lian Houw menjadi heran. “Inilah jurus Pak-kek-sie dari ilmu silat Liok Hap
dari Kangpak,” ia berpikir pula. “Ilmu silat ini bertentangan dengan Jie Long
Kun, yang adalah dari pihak gwa-kee. Kenapa dia dapat menyakinkan dalam dan
luar dengan berbareng?”
Gwa-kee
ialah ahli luar.
Lantas
orang she Pheng ini melanjuti serangannya, ynag ketiga dan keempat, karena juga
yang kedua dan ketiga itu dapat dihindarkan si nona, demikian pun dengan yang
keempat ini.
Oey
Yong menolong diri dengan ilmu silat Keluarga Swee dari Thay-goan, yaitu ilmu
silat “Cut In Ciu” atau “Keluar dari Mega”.
Lian
Houw menjadi bertambah heran. “Heran bocah ini mempunyai ilmu silat campur aduk
seperti ini! Mungkinkah ia sengaja berbuat begini untuk mencegah aku dapat
mengenali asal-usulnya? Baik aku gunai pukulan yang telengas, denagn begitu
tidak dapat ia tidak menggunai ilmu silatnya yang sejati guna menolong diri,”
katanya dalam hati.
Oleh
karena berpikir begini, Lian Houw segera menyerang dengan jurusnya yang kelima,
yang hebat sekali. Kalau yang keempat pertama bengis, tapi tidak sekejam ini.
Semua
orang terkejut melihat kawannya bersikap telengas begitu, dengan sendirinya
mereka jadi berkhawatir untuk Oey Yong, sedang si nona pun segera menjadi
kelabakan. ia cuma bisa berkelit dan menangkis, tidak dapat ia mencoba membalas
menyerang.
Auwyang
Kongcu, san-cu atau pemilik dari Pek To San, lantas berkata: “Budak ini barusan
menggunai jurus Menggantung kumala di gantungan emas. Itulah ilmu silat Lo Cia
Sie dari partai Siong Yang Pay. Dia menyusuli itu dengan jurus Menunggang
harimau mengalah tindak dari ilmu silat Tiang Kun dari Kwan-tong, yang mirip
dengan ilmu silatnya saudara Som Sian Lao Koay. Ah, inilah Tepukan tiga kali
dan Gunting emas, jurus dari Cu-ngo Tay Kok Kiam dari Kanglam. Banyak benar
ragam ilmu silatnya. Ah,ah, dia celaka! Kenapa ia tidak berkelit ke kiri?”
Pheng
Lian Houw mendesak terus, sampai pada jurus yang kedelapan, tangan kirinya
menggertak, tangan kanannya meninju. Oey Yong tahu tangan kiri itu adalah
ancaman belaka, maka berniat ia berkelit ke kanan, tetapi justru itu, ia dengar
perkataan terakhir dari sancu dari Pek To San itu, tiba-tiba ia mendapat
pikiran baru, segera ia terjang tangan kiri si orang she Pheng itu denagn
jurusnya “Tibanya air mata es dingin,” salah satu jurus dari ilmu silat “Soat
San Pat To” dari See Hek, wilayah Barat.
Menampak
itu, Auwyang Kongcu tertawa dan mengatakan, “Ha, dia menggunai ilmu silatnya
tetanggaku!”
Pheng
Lian Houw mendelu mendengar suaranya orang she Auwyang itu. Terang si bocah
wanita ini telah diberi kisikan berterang, hingga gagallah serangannya itu.
Karena ini, ia menjadi mendongkol terhadap si nona . Ia kata dalam hatinya:
“Mustahil aku tidak mampu hajar mampus padamu, budak?!” Ia memang telengas,
kalau mulanya ia menaruh “belas kasihan”, itu disebabakan si nona cantik dan
manis, usianya pun masih sangat muda. Tapi sekarang, setelah ia dilayani dengan
ilmu silatnya delapan partai, ia menjadi penasaran, dari penasaran, ia menjadi
gusar, yang mana ditambah sama kisikannya san-cu dari Pek To San itu. Segera ia
menyerang denagn jurusnya yang kesembilan. Ia menggunai jurus “Menolak jendela
untuk memandang rembulan”, ia bergerak denagn kedua tangannya, tangan kiri di
balik ke bawah, tangan kanan ke atas.
Oey
Yong terkejut melihat gerakan lawan ini, sampai ia mengeluh di dalam hatinya.
Batok kepalanya bakal hancur luluh kalau ia sampai kena di serang. Untuk
menangkis sudah tidak keburu lagi. Terpaksa ia lantas berkelit, kepalanya di
aksih mendak, kedua tangannya ditekuk, untuk membalas menyikut naik dadanya penyeranganya
itu.
Pheng
Lian Houw menyerang dengan hebat, akan tetapi ia waspada, maka itu ia dapat
melihat perlawanan si nona. Dengan gampang ia membebaskan dirinya, sesudah
mana, ia melanjuti dengan jurusnya yang kesepuluh. Ia menggunai tipu silat
“Binatang jatuh di tengah udara”. Tapi ia tidak menyerang habis, disaat si nona
hendak memunahkannya. ia berhenti setengah jalan sambil terus berseru: “Kau
muridnya Hek Hong Siang Sat!” Dan seruan ini disusul sama gerakan tangan kanan,
atas mana Oey Yong terhuyung ke belakang, terpelanting tujuh-delapan tindak!
Semua
orang terperanjat dengan perkataan Pheng Lian Houw itu, kecuali Chao Wang.
Sebab mereka semua adalah orang-orang kangouw berpengalaman dan terhadap Hek
Hong Siang Sat, rata-rata orang jeri. Benar terkabar kalau Tong Sie Tan Hian
Hong si Mayat Perunggu telah meninggal dunia akan tetapi tidak ada diantara
mereka ini yang pernah menyaksikan sendiri, mereka jadinya ragu-ragu. Pheng
Lian Houw telah dapat membuktikan ilmu silatnya Oey Yong di jurus kesembilan,
dari itu pada jurus kesepuluh batal ia dengan maksudnya menghajar si nona, ia
cuma mendorong saja denagn keras.
Oey
Yong dapat mempertahankan diri, setelah berdiri tetap, mendadak ia rasakan
sakit pada dadanya yang kiri. Sebenarnya hendak ia bicara, ketika denagn
sekonyong-konyong. di malam yang tenang itu, ia dengar satu suara keras dari
kejauhan, malah ia segera kenali suaranya Kwee Ceng, suara mana bernada kaget
dan gusar. Ia menjadi kaget, mukanya menjadi pucat. Ia menduga kawannya itu
telah menghadapi ancaman malapetaka.
Memang
juga itu waktu, Kwee Ceng telah dibikin tak berdaya oleh Nio Cu Ong. Ia telah
ditekan ke tanah, tangannya dan kakinya telah dicekal keras, hingga habislah
tenaganya, tak dapat ia berkutik. Ia kaget bukan main, waktu ia rasakan
mulutnya orang si she Nio itu mengenai batang lehernya. Setahu dari mana
datangnya, mendadak saja ia dapat tenaga pula, terus ia berontak
sekuat-kuatnya, hingga Nio Cu Ong tidak dapat menguasai ia terlebih lama. Ia
tidak lantas menginsyafi bahwa ia dapat tenaga besar berkat darah ular yang
dicampur latihan tenaga dalam dari Tan Yang Cu Ma Giok. Dengan satu gerakan “Ikan gabus meletik” ia kasih dengar
jeritannya itu.
Nio
Cu Ong bukan melainkan membikin terlepas cekalannya, juga kedua telapakan
tangannya pecah dan berdarah, darahnya mengalir keluar. Ia menjadi kaget berbareng gusar. Segera ia maju untuk
menyerang pemuda itu.
Kwee
Ceng berkelit dengan berlompat ke belakang, tetapi Nio Cu Ong ada sangat gesit,
tangannya tiba di bebokongnya. Kali ini, pukulannya Nio Cu Ong bukan seperti
pukulannya Wanyen Kang, pukulan ini mendatangkan rasa sangat sakit. Maka itu,
karena sakitnya dan kaget, Kwee Ceng lantas lari sekeras-kerasnya. Dia memang
ringan tubuhnya, setelah meminum darah ular, tenaganya bertambah, hingga itu
Nio Cu Ong tidak dapat segera menyandak, hingga mereka berlari-larian di taman,
di antara pohon-pohon dan gunung-gunungan. Satu kali Cu Ong berlompat,
tangannya menjambak. Kwee Ceng berayal, bajunya kena terpegang, baju itu lantas
robek sebagian, bebokongnya kena terjambret hingga berdarah, bertapak tanda
lima jari, sakitnya bukan main. Saking takut, Kwee Ceng lari terus. Kebetulan
ia tiba di depan rumah petani dari onghui, ia lompat masuk ke dalam rumah itu.
Di situ ia mendekam.
Nio
Cu Ong tidak dapat mencari. Kemudian ia disusul oleh Wanyen Kang, denagn siapa
ia berbicara. Selama itu Kwee Ceng terus diam saja, cuma kupingnya mendengar
pembicaraan orang itu. Di dalam hatinya ia berpikir: “Onghui murah hati,
mungkin ia dapat menolong aku…” Karena ini, ia keluar dari tempat sembunyinya,
ia lari ke dalam kamar si nyonya agung. Ia dapatkan sebuah kamar yang diterangi
lilin tetapi penghuninya tidak ada, onghui kebetulan berada di kamar yang lain.
Ia melihat ke seluruh kamar. Di sebelah timur ada sebuah lemari besar, ia
hampirkan itu, akan buka pintunya, lalu ia masuk ke dalamnya, untuk
menyembunyikan diri. Dengan masih mencekal terus goloknya, ia menghela napas
lega.
Segera
tedengar tindakan kaki perlahan masuk ke dalam kamar. Dari sela-sela lemari,
Kwee Ceng mengintai. Ia lihat yang datang itu onghui sendiri.
Nyonya
agung itu duduk di samping meja, matanya bengong mengawasi lilin.
Tidak
antara lama, Wanyen Kang bertindak masuk. “Ma,” sapanya. “Apakah tidak ada
orang jahat masuk ke mari?”
Onghui
menggeleng kepala. Cuma sebegitu jawabannya.
Putra
itu lantas keluar pula, untuk bersama Io Cu Ong dan yang lainnya pergi mencari
ke lain-lain bagian dari istana itu.
Sebentar
kemudian, onghui mengunci pintu. Hendak ia beristirahat.
“Setelah
sebentar ia meniup lilin, aku akan lari dari jendela,” Kwee Ceng pikir. “Aku
percaya adik Yong sudah lama pulang….”
Hampir
di itu waktu, di jendela terdengar satu suara keras, disusul sama menjublaknya
daun jendela itu dan mana segera lompat masuk satu orang.
Kwee
Ceng terkejut, begitu juga onghui, malah nyonya itu mengasih dengar jeritan
tertahan.
Orang
yang datang itu adalah Yo Tiat Sim yang menyebut dirinya Bok Ek. Kedatangannya
ini pastilah diluar dugaannya Kwee Ceng dan onghui. Kwee Ceng menyangka orang
sudah ajak gadisnya pergi menyingkir.
Onghui
dapat menenangkan diri, ia mengawasi Bok Ek itu. “Kau baiklah lekas pergi,”
bilangnya kemudian. “Tidak boleh mereka dapat lihat kita….”
“Terima
kasih untuk kebaikan onghui,” berkata Yo Tiat Sim. “Jikalau aku tidak datang
sendiri untuk menghanurkan terima kasihku, meskipun aku mati tidaklah aku dapat
memeramkan mata.” Suara itu berirama sedih.
“Ya,
sudahlah,” onghui itu menghela napas. “Dalam kejadian itu adalah anakku yang
salah, dia membuatnya kamu ayah dan anak bersusah hati….”
Tiat
Sim tidak menyahuti, ia hanya memandang seluruh kamar. Tiba-tiba ia menjadi
sangat berduka, kedua matanya menjadi merah, tanpa ia dapat menahan, air
matanya menguncur turun. Dengan uujung bajunya, ia susuti air matanya itu. Ia
bertindak ke tembok, di situ ia kasih turun tombak besi yang tergantung. Ia
meneliti gagang tombak itu. Tepat enam dim dekat tajamnya tombak, di situ ada
terukir empat huruf “Tiat Sim Yo-sie”, yang artinya, “Istrinya Yo Tiat Sim”.
Lantas ia pegang terus tombak itu, ia mengusap-usap. Akhir-akhirnya sambil
menghela ia berkata, “Tombak ini sudah karatan, tandanya sudah lama tidak
pernah digunakan lagi….”
Agakanya
onghui heran atas lagak-lagu orang itu. “Aku minta janganlah kau raba tombak
itu,” katanya perlahan.
“Kenapakah?”
Tiat Sim tanya.
“Itulah
barang yang aku paling hargai,” sahut si nyonya agung.
“Ah…”
Tiat Sim bersuara perlahan, terus ia gantung tombak itu. Sekarang ia mengawasi
lanjam yang berada si pinggiran tombak itu.
“Ujung
lanjam ini sudah rusak, biarlah besok besok suruh Thio Bok-jie dari dusun timur
memperbaikinya dengan tambah setengah kati besi…” katanya peralahan.
Mendengar
kata-kata itu, tubuh onghui bergemetar. Ia berdiam aja mengawasi Tiat Sim.
Sampai sekian lama baru ia dapat membuka mulutnya. “Kau…kau kata apa?”
tanyanya.
“Aku
bilang lanjam ini sudah rusak,” Tiat Sim menyahuti, “maka besok baiklah suruh
Thio Bok-jie dari dusun timur membetulkannya, dengan menambah setengah kati
besi…”
Tiba-tiba
saja onghui menjadi lemas kedua kakinya, ia roboh di kursi. “Kau…kau siapa?”
tanyanya, suaranya menggetar. “Kenapa…kenapa kau ketahui kata-katanya suamiku
pada itu malam dari saat kematiannya…?”
Hancur
hatinya onghui ini yang sebenarnya bukan lain daripada Pauw Sek Yok atau nyonya
Yo Tiat Sim. Rumah tangganya telah runtuh, famili pun tidak ada, mana ia
percaya suaminya telah menutup mata, dengan terpaksa ia turut Wanyen Lieh pergi
ke Utara. Tidak dapat ia menampik bujukannya pangeran itu yang perlakukan ia
dengan baik sekali, di akhirnya ia serahkan dirinya dijadikan onghui atau selir.
Sudah delapan belas tahun ia tinggal di istana, selama itu wajahnya tidak
berubah banyak. Sebaliknya To Tiat Sim yang mesti hidup dalam pengembaraan, ia
tidak lagi seperti masa mudanya, maka itu sekalipun mereka berada di dalam
sebuah kamar, Pauw Sek Yok tidak dapat lantas mengenali suaminya itu.
Yo
Tiat Sim tidak menjawab, ia hanya bertindak ke samping meja, untuk menarik
lacinya meja itu. Di dalam situ ada tersimpan beberapa potong pakaian pria,
baju dan celana biru. Itulah pakaian yang ia pakai pada dulu hari. Ia jumput
sepotong baju, ia kerebongi itu pada tubuhnya: “Bajuku telah cukup dipakai.
Tubuhmu lemah, kau pun tengah mengandung, kau baik-baiklah beristirahat, tak
usah kau membikin pakaian lagi untukku…”
Sek
Yok terkejut. Ia ingat betul, itulah kata-kata suaminya dulu hari tempo ia
tengah hamil membuatkan sepotong baju baru. Ia lantas berbangkit, akan
hampirkan Tiat Sim, baju siapa ia tarik, kemudian ia gulung tangan bajunya,
hingga ia dapat lihat di lengan kiri orang satu tanda bekas luka. Sekarang ia
tidak bersangsi pula, maka lantas saja ia tubruk suaminya itu dan merangkulnya
erat-erat seraya ia menangis sedih sekali.
“Aku
tidak takut!” katanya kemudian. “Lekas kau bawa aku pergi….Aku akan turut kau
ke lain dunia, untuk mati bersama…Aku lebih suka menjadi setan untuk tetap
berada bersama denganmu…!”
Tiat
Sim rangkul istrinya itu, air matanya turun bercucuran. “Kau lihat, apakah aku
setan?” kata suaminya ini kemudian.
See
Yok memeluk erat-erat. “Tidak peduli kau manusia atau setan, tidak dapat aku lepaskan
kau!” katanya. Hanya sejenak kemudian ia bertanya: “Mustahilkah kau belum mati?
Mustahilkah kau masih hidup?”
Tiat
Sim hendak menyahuti istrinya itu tatkala mereka mendengar suara Wanyen Kang
dari luar kamar: “Mama, kenapakah kau berduka pula? Dengan siapakah kau
berbicara?”
Se
Yok kaget tetapi ia lantas menyahuti: “Aku tidak apa-apa, aku hendak tidur….”
Wanyen
Kang tidak lantas pergi hanya ia jalan mengitari rumah itu. Ia menjadi curiga
sebab tadi terang ia dengar suara orang berbicara. Di pintu ia berhenti dan mengetok perlahan beberapa kali.
“Ma, hendak aku bicara denganmu,” katanya.
“Besok
saja,” sahut sang ibu. “Sekarang aku letih sekali.”
Mendapatkan
ibu itu tidak hendak membuka pintu, siauw-ongya ini menjadi semakin bercuriga. “Aku hendak omong sedikit saja, lantas aku pergi,” ia
berkata pula.
Tiat
Sim menduga orang bakal masuk ke dalam, ia lepaskan Sek Yok dan bertindak ke
jendela dengan niat lompat keluar, tetapi ketika ia menolak, jendela itu keras,
rupanya ada orang yang menahannya dari sebelah luar.
Pauw
Sek Yok segera menunjuk ke lemari, maksudnya menganjurkan suaminya itu masuk ke
dalamnya untuk bersembunyi.
Tiat
Sim suka menurut. Ia memang tidak rela meninggalkan istrinya itu. Ia lantas
bertindak ke lemari yang ditunjuk itu, untuk menjambret pintunya untuk dibuka.
Begitu
pintu lemari terpentang, tiga orang menjadi terkejut sekali. Di dalam lemari
itu tertampak Kwee Ceng, melihat siapa onghui menjadi tergugu, hingga ia
mengeluarkan jeritan tertahan.
Wanyen
Kang berkhawatir mendengar jeritan ibunya itu, ia takut ibunya diganggu orang
jahat. Dengan pundaknya, ia segera tabrak pintu kamar itu, hingga daun pintunya
mejeblak terbuka.
Sebelum
orang nerobos masuk, Kwee Ceng tarik Tiat Sim masuk ke dalam lemari, yang
pintunya ia segera tutup pula.
Wanyen
Kang dapatkan ibunya bermuka pucat dan mukanya itu bermandikan air mata. Di
dalam kamar itu tapinya tidak ada lain orang. Ia menjadi curiga sekali. “Ma,
ada terjadi apakah?” ia menanya.
“Tidak
apa-apa,” sahut si ibu, yang menenangkak dirinya. “Hatiku tidak tentram.”
Putra
itu menghampiri ibunya, di tubuh siapa ia menyanderkan diri. “Ma, aku tak akan
main gila lagi,” katanya. “Aku minta supaya kau jangan bersusah hati. Dasar
anakmu yang buruk….”
“Nah,
kau pergilah,” kata ibu itu. “Aku mau tidur.”
“Ma,
apakah tidak ada orang masuk ke mari?” putra itu tanya pula.
“Siapakah
dia?” tanya ibunya, hatinya berdenyut.
“Orang
jahat telah nyelusup masuk kedalam istana,” Wanyen Kang beritahu.
“Begitu?”
tanya ibunya. “Sekarang lekas kau pergi tidur. Urusan itu kau jangan campur
tahu!”
Wanyen
Kang tertawa. “Tentara pengawal semuanya kantong nasi!” katanya. “Ma, baiklah,
kau tidurlah!”
Putra
ini memberi ucapan selamat malam, tapi disaat ia hendak mengundurkan diri, ia
dapat melihat ujung baju di sela-sela lemari, maka kembali timbul
kecurigaannya. Ia batal pergi, ia lantas ambil tempat duduk. Ia pun menuang the
ke dalam cangkir, untuk di minum dengan perlahan-lahan. Sembari minum, hatinya
bekerja.
“
Di dalam lemari itu ada seorang sembunyi, entah ibu mengetahuinya atau tidak.”
demikian pikirnya. Ia masih menghirup beberapa kali, baru ia berbangkit,
bertindak perlahan-lahan.
“Ma,”
katanya. “Bagaimana tadi permainan tombakku, bagus atau tidak?”
“Lain
kali aku larang kau menghina orang karena kau andalkan pengaruhmu,” sang ibu
bilang.
“Siapa
mengandalkan pengaruh, Ma?” sahut si anak. “Aku tempur itu anak tolol dengan
andalkan kepandaianku.”
Ia
telah sampai di tembok, tangannya diulur kepada tombak, begitu lekas ia
mencekal dengan baik – yang mana ia lakukan dengan luar biasa cepat – mendadak
saja ia menikam ke arah lemari. Itulah gerakan “burung hong terbang, ular naga
melayang”.
Pauw
Sek Yok melihat itu, ia kaget bukan main, hingga ia lantas roboh pingsan.
Tapi
Wanyen Kang telah menahan gerakan tangannya, batal ia menikam lemari disaat
ujung tombak hampir mengenai daun pintu lemari. Ia pun lihat ibunya itu roboh.
“Ah,
ibu tahu di dalam lemari ini ada orang…” pikirnya. Ia lantas senderkan
tombaknya, untuk mengasih bangun pada ibunya. Sambil berbuat begitu, ia tetap
mengawasi ke lemari.
Sek
Yok sadar dengan perlahan-lahan, kapan ia dapatkan lemari tidak kurang satu
apa, hatinya menjadi lega. Hanya karena kagetnya itu, tubuhnya menjadi lemah
sekali.
Wanyen
Kang telah menyaksikan kelakuan ibunya ini. “Ma,” katanya keras, “Aku ini anak
kandungmu atau bukan?”
“Tentu
saja,” sahut ibunya itu. “Kenapa kau menanya begini?”
“Kalau
begitu, kenapa ada apa-apa yang disembunyikan kepadaku?” si anak bertanya pula.
Hatinya
Pauw Sek Yok goncang keras. Ia pikir: “Kejadian ini mesti dijelaskan kepada
anak ini, biarlah mereka ayah dan anak bertemu, habis itu barulah aku mencari
jalan pendekku…. Aku telah hilang kehormatan diriku, inilah kesalahan besar
yang tidak dapat diperbaiki lagi, maka dalam dunia ini tidak bisa aku hidup
pula bersama Tiat Sim.”
Karena
memikir ini, air matanya lantas bercucuran deras.
Wanyen
Kang mengawasi ibunya, ia heran dan bercuriga.
“Kau
duduklah baik-baik, kau dengari aku bicara,” kemudian kata si ibu.
Putra
itu menurut, ia berduduk, tetapi tombaknya masih dipegangi.
“Apakah
kau sudah lihat itu ukiran empat huruf di gagang tombak?” Pauw Sek Yok tanya.
“Sedari
aku masih kecil telah aku menanyakannya,” menjawab anak itu. “Tetapi ibu tidak
hendak menjelaskan siapa Yo Tiat Sim itu.
“Sekarang
aku akan menerangkannya kepadamu,” kata ibu itu.
Tiat
Sim dalam lemari telah dengar nyata pembicaraan di antara ibu dan anak itu,
hatinya tergoncang keras. Ia pun berpikir: “Sekarang dia telah menjadi satu
onghui, mana dapat ia mengikuti pula aku seorang rakyat kasar? Dia hendak
membuka rahasia, mungkinkah ia hendak menyuruh anaknya itu mencelakai aku?”
Ia
lantas dengar perkataannya Pauw Sek Yok: “Tombak ini tadinya berada di dusun
Gu-kee-cun di kota Lim-an, ibukota dari kerajaan Song di Kanglam. Aku sengaja
menitahkan orang melakukan perjalanan jauh ribuan lie untuk mengambilnya. Itu
lanjam di tembok dan semua perabotan dalam ruangan ini, seperti meja, bangku,
lemari dan pembaringan, tidak ada satu yang bukan dibawanya dari Lim-an.”
“Sampai
sebegitu jauh aku tidak mengerti,” berkata Wanyen Kang, “Kenapa mama suka
sekali tinggal di ini rumah bobrok, anakmu membawakan kau perabot rumah tangga
yang baru tetapi semua itu ibu tolak.”
“Kau
menyebutkan rumah ini bobrok?” tanya sang ibu. “Aku justru merasa ini jauh
terlebih bagus dibandingkan istana yang indah, yang segalanya serba dilukis dan
diukir dan diperaboti mentereng! Anak, kau tidak punyai untung bagus, kau tidak
dapat tinggal di rumah bobrok ini bersama-sama dengan ayah dan ibu kandungmu
snediri….”
Jantungnya
Tiat Sim berdenyut, pedih ia merasa.
Wanyen
kang tertawa. “Ma, makin lama kau bicara, makin aneh!” katanya. “Mana bisa ayah
tinggal di sini?”
Sek
Yok menghela napas. “Kasihan ayahmu itu, selama delapan belas tahun dia
berkelana di duni kangouw,” berkata dia. “Oleh karena itu mana bisa dia berdiam
dengan tenang dan tentram di rumah ini….”
Sang
putra heran hingga ia mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar. “Ma, apakah
katamu?” tanyanya saking heran.
“Taukah
kau siapa ayahmu yang sebenarnya?” Sek Yok menanya, suaranya keras.
“Ayahku
adalah adiknya sri baginda, dialah pangeran Chao Wang,” sahut Wanyen Kang.
“Kenapa mama menanya begitu?”
Ibu
itu berbangkit, ia peluki tombak besi itu, lantas air matanya turun dengan
deras. “Kau tidak tahu, anak, inilah tidak heran,” katanya sesegukan.
“Kau
tidak dapat disesalkan. Tombak ini…inilah senjatanya ayahmu yang sejati…” Ia
pun lantas menunjuk pada ukiran empat huruf di gagang tombak: “Ini barulah
namanya ayahmu itu!”
Tubuhnya
sang putra bergemetar. “Ma, pikiranmu was-was,” katanya, “Nanti aku pergi panggil
tabib.”
“Aku
was-was kenapa?” ibu itu bilang. “Apakah kau sangka kau adalah orang bangsa
Kim? Kau adalah orang Han! Kau bukannya bernama Wanyen Kang, tetapi nama kau
ialah Yo Kang!”
Mendengar
di sebutnya nama Yo Kang itu, Kwee Ceng ingat segera ingat satu nama yang ia
rasa kenal baik. Ia hanya lupa, di mana ia pernah dengar itu, Kemudian ia
ingat, tempo ia masih kecil, di sana ada sebuah piasu belati yang gagangnya
berukiran dua huruf “Yo Kang” itu. Kemudian piasu itu telah dipakai menikam
mati pada Tan Hian Hong si Mayat Perunggu. Kemudian lagi piasu itu lenyap entah
ke mana.
Wanyen
Kang heran bukan kepalang. Ia lantas memutar tubuhnya. “Nanti aku minta ayah
datang ke mari!” katanya.
“Ayahmu
ada disini!” Sek Yok bilang. Lantas dia bertindak cepat le arah lemari, untuk
buka pintunya, sesudah mana, ia pegang tangannya Yo Tiat Sim, untuk di tarik
keluar.
“Oh,
kiranya kau!” seru pangeran itu, yang mendadak saja menikam Bok Ek, yang di
arah tenggorokannya.
Tiat
Sim berkelit, sedang Sek Yok menjerit: “Inilah ayahmu! Apakah kau masih tidak
percaya?” Lantas ia benturkan kepalanya ke tembok hingga tubuhnya terus roboh
ke lantai.
Wanyen
Kang kaget, ia putar tubuhnya, akan lihat ibunya itu, yang kepalanya mandi
darah dan napasnya empas-empis. Saking tergugu, ia jadi berdiri menjublak.
Tiat
Sim tubruk istrinya itu, yang ia terus peluk dan angkat untuk dibawa lari
keluar dari rumah bobrok itu.
“Lepaskan!”
teriak Wanyen Kang, yang kaget sekali. Tapi ia masih sadar, maka juga sambil
berlompat dengan gerakan “Seekor belibis keluar dari rombongannya”, ia serang
bebokongnya Yo Tiat Sim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar