Sabtu, 20 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 20



Bab 20. Tombak Besi Dan Pakaian Lama

Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus bersama si kacung pergi untuk mengambil obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama itu ia masih terus mengancam si pengurus, yang khawatir nanti jatuh atau main gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio Cu Ong. Kacung itu membuka pintu, ia masuk ke dalam dan menyulut lilin.
Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat obat-obatan memenuhi meja, pembaringan dan lantai. Di situ pun ada banyak botol dan guci, besar dan kecil. Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat obat-obatan.
Kacung itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Obat-obatan mana terus ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang, yang tak tahan sabar, sudah lantas mengulur tangannya, akan sambut obat-obatan itu, terus tanpa pedulikan si koanke, ia bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun ia telah terluka, pikirannya berekrja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu sampai Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup padam api lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci, menyusul mana ia berteriak-teriak: “Ada penjahat! Ada penjahat!“
Kwee Ceng terkejut, ia memutar tubuh, ia mencoba membuka pintu tetapi sia-sia belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsunya, selagi begitu si kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke empang di dekat mereka.
Kacung itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi curiga, maka ia rampas obat itu dan dibuang.
Dalam gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali ini daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung sudah lari. Dalam murkanya, ia berlompat untuk mengejar, segera ia berada di balakang kacung itu, pundak siapa ia jambret.
Kacung itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya memutar tubuh, ia membalas menyerang denagn sapuan kakinya.
Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah berkelit, ia menyerang dengan hebat. Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya, cuma sebab ia masih keburu membuang mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah kemudian, setelah kepalanya ke disampok, dia roboh dengan pingsan.
Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung terlempar ke tempat tumbuh rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan api. Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia mengawasi obat, ia menjadi bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia tidak perhatikan darimana orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di peles obat tidak dapat ia baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat, tidak bisa ia memikir lama-lama.
“Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil semua obat ini, sebentar Ong Totiang yang pilih sendiri,” pikirnya kemudian. Maka ia lantas ambil kertas, ia membungkus setiap obat.
Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena langgar sebuah keranjang di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya terbuka. Untuk kagetnya, ia lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang tubuhnya merah mulus. Malah ular itu segera menyambar!
Kwee Ceng kaget, syukur ia masih sempat berlompat. Sekarang ia dapat melihat dengan tegas, tubuh ular ada sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di dalam keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua, lidah itu bergerak-gerak tak hentinya.
Selagi mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam, maka ruangannya segera menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas lari ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan dipeluk, atau itu mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan barang adem mengenakan lengannya.Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang bahwa ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya hendak ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, lalu mukanya terasa dingin. Itulah ular yang telah menjilati mukanya!
Lagi sekali ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan tangan kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet.
Ular itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia pentang mulutnya, untuk mencoba mengigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia melibat dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasai tubuhnya terlilit keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia menjadi mual, hendak ia muntah. Adalah sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga, ia seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya…..
Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari pingsannya. Dia mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu telah kabur. Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, dia kabur kepada gurunya itu.
Oey Yong terkejut akan dengar keterangan si kacung, denagn gerakan “Burung meliwis turun di pasir datar”, dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh kaki tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah keperogok. Inilah sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga. Mereka memang semuanya orang-orang lihay.
Sejenak saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang di depan si nona. Dia lantas menegur; “Siapa kau?”
Oey Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada yang lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-tiba saja ia tertawa dengan manis.
“Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya setangkai untuk aku?” ia berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal menghadapi satu nona, malah satu nona yang begitu cantik manis, yang suaranya halus dan merdu. Tanpa merasa ia mengulurkan tangannya, akan memetik setangkai bunga, yang untuk terus diangsukan kepada si nona.
Oey Yong menyambuti. “Loya-cu, terim kasih!” katanya, kembali tertawa dengan suaranya yang halus merdu itu.
Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, merek aitu berdiri mengawasi kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar tubuhnya, untuk berlalu.
“Ongya,” Pheng Lian Houw menanya, “Adakah nona ini, nona dari istana ini?”
“Bukan,” menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan kepala.
Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian ouw sudah mencelat ke depan si nona.
“Tunggu nona!” katanya, “Aku pun akan memetik setangkai bunga untukmu…!” Terus ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap lengan orang, tetap sebat luar biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si nona.
Oey Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia geraki tangan kanannya, jari tangannya menyambuti tangan jago itu.
Lian Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-hiat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu, dengan begitu dia dapat lolos dari bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia pun tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian yang Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek.
Yang lain-lain pun terkejut dan heran.
“Nona, kau she apa?” Lian Houw lantas menanya, “Siapakah gurumu?”
“Bukankah bunga bwee ini permai sekali?” tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus berlagak pilon, ia tidak menunjukki kagetnya tadi. “Bukankah kau menghendaki aku menancapnya di dalam pot?”
Sikap ini kembali membuatnya orang heran dan menjadi menduga-duga.
“Kau dengar apa tidak, apa yang kami tanya?” Lian Houw menegur. Ia tidak sabaran, dia lantas menunjuki kesembronoannya dengan campur bicara.
“Apakah itu yang kau bicarakan?” balik tanya Oey Yong, tertawa.
Justru itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang diwaktu siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang menyamar menjadi satu bocah dekil.
“Lao Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?” ia tanya sahabatnya. Ia tertawa.
Thong hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan sebaliknya. Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap.
“Ha, anak busuk!” dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk menubruk.
Dengan berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki See Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke lengan. “Kau hendak lari ke mana?” menegur Kwie-bun Liong Ong.
Oey Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian. Tapi ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan kirinya ia menotok kepada kedua matanya si orang she See itu.
Hebat See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal.
“Tidak tahu malu!” mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali.
“Tidak tahu malu apa?!” balik tanya See Thong Thian.
“Tua bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!” Oey Yong menyahuti.
See Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang, dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak perempuan…..
“Masuk ke dalam!” katanya seraya kendorkan cekalannya.
Oey Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk.
“Nanti aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!” kata Hauw Thong Hay, yang ada sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu.
“Tanyakan dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah ia itu datang ke mari!” berkata Pheng Lian Houw.
Hauw Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah lantas melayang.
Oey Yong berkelit. “Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?” ia menanya.
“Aku hendak cegah kau melarikan diri!” jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar….
“Jikalau kau benar hendak adu kepandaian denagn aku, baiklah!” kata Oey Yong yang sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak di atas meja. Cawan yang satu ia letaki di batok kepalanya dan dua yang lain ia cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang: “Beranikah kau mencontoh aku ini?”
“Setan alas!” berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo.
Oey Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata, “Aku tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru menggeraki tangan dan kena melukakan dia?”
Thong Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. “Kau dapat melukakan aku? Kau?” katanya sengit.
Kembali Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula, “Dengan cara begini hendak aku mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah yang kalah? Akurkah kau?”
Nona ini menggunai kecerdikannya. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri dari orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma sebab ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau secara demikian, ia bakal dapat lolos.
“Siapa kesudian main-main denganmu!” Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang sambarannya bagaikan angin.
“Bagus!” Oey Yong tertawa, seraya ia berkelit. “Pada tubuhku ada tiga buah cawan, kau snediri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!”
Bukan alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh terlebih tua, meski ia tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya itu, ia toh ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir sejenak juga, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletaki di batok kepalanya, habis mana ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian, dengan sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan kaki kanannya mendupak nona itu!
“Bagus! Nah ini barulah namanya enghiong sejati!” Oey Yong berseru sambil tertawa, seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjuti perkataannya atau dia sudah ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena dengan kedua tangan mencekal cangkir dan kepala ditaruhkan cangkir juga, Thong Hay tidak dapat berbuat lain dari menggunai kedua kakinya.
Oey Yong akhirnya repot akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau mengegos tubuhnya, menyingkir dari tendangan. Untuk ini, ia mesti seperti memutari ruangan itu.
Nio Cu Ong memasang mata kepada gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan bagaikan “Mega berjalan atau air mengalir”. Tubuh tetap tegak, tidak bergerak sedikit juga, dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat. Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar.
Si nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, ia saban-saban mencoba dengan sikutnya akan membentur lengan lawannya, supaya benturannya dapat membuat arak tumpah atau ngeplok.
“Bocah ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini rupa…” berpikir jago tua ini. “Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan tandingannya Lao Hauw…”
Disaat itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginannya menyaksikan pertempuran, ingin ia lari ke pintu, untuk terus ke kamarnya, guna cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat memikir bagaimana halnya dengan si pencuri obat sensiri……
Kwee Ceng belum sampai pingsan tatkala ia merasakan bau ular menjadi semakin hebat. Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut padanya. Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak dapat menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang masih merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu apa. Lantas ia kuatkan hatinya, agar tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi semakin keras.
Tanpa pedulikan apa juga, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap, menyedot darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia juga tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui, kalau darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal terlolos dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa merasa, perutnya mulai kembung.
Dugaannya bocah ini tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaganya binatang itu segera menjadi berkurang, lilitannya segera menjadi kendor, atau sesaat kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh sendirinya. Sebab itu waktu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan!
Kwee Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos semangatnya, untuk menjalankan napasnya dengan beraturan. Dengan dapat bersemadhi lekas ia dapat pulang tenaganyanya. Hanya aneh sekarang ia merasakan darahnya bergerak keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya si ular yang lagi bekerja. Ia terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh. Segera setelah merasa segar betul, ia gunai tenaganya untuk mencelat bangun.
Yang pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas meraba. Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia segera teringat pula kepada Bok Ek.
“Dia dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu, bagaimana dapat aku tidak menolongi mereka?” demikian ia berpikir. Ia lantas bekerja. Ia tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan dengan cepat ke arah kurungannya Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati kurungan, ia mendapati penjagaan kuat di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke dalam. Ia memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu cepat sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia hampirkan kurungan. Sembari memasang kuping, ia melihat ke sekeliling. Tidak ada serdadu jaga di situ.
“Bok Cianpwee, aku datang untuk menolongi,” ia lantas berkata dengan perlahan.
“Kau siapa, tuan?” ada jawabannya Bok Ek yang menanya.
Kwee Ceng perkenalkan dirinya.
Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu, karena berisik dan ia pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di tengah malam, ia mendengarnya dengan nyata.
“Kau…kau she Kwee?” tanyanya, menegaskan. Agaknya ia terperanjat.
“Benar,” sahut si bocha hormat, “Aku yang muda adalah orang yang tadi siang melawan si pangeran muda.”
“Siapakah ayahmu?” Bok Ek tanya pula.
“Ayahku almarhum bernama Siauw Thian,” Kwee Ceng menyahut pula.
Dengan tiba-tiba saja air matanya Bok Ek mengembang dan berlinang-linang, lalu ia angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh: “Oh, Thian….Thian….” ia pun ulur keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda dengan erat.
Kwee Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun menetes jatuh ke belakang telapakan tangannya itu. Ia kata dalam hati kecilnya: “Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong dia, dia menjadi girang luar biasa.” Maka ia kata dengan perlahan sekali: “Aku punya golok yang tajam, dengan itu kunci dapat dirusak untuk Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini…”
“Ibumu she Lie, bukankah?” Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan perkataan orang. “Apakah ibumu itu masih ada atau ia telah menutup mata?”
Kwee Ceng heran sehingga ia balik menanya: “Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku she Lie? Ibu masih ada di Mongolia.”
Hatinya Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak hendak melepaskannya.
“Tolong, lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini,” Kwee Ceng bilang.
Bok Ek tetap memegangi erat-eart. Ia seperti mendapati sesuatu yang berharga dan tak ingin itu lenyap pula.
“Ah, kau telah menjadi begini besar…” katanya menghela napas. “Ah, dengan memeramkan mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang telah almarhum itu…”
Kwee Ceng menjadi semakin heran. “Cianpwee kenal ayahku itu?” tanyanya.
“Ayahmu adalah kakak angkatku,” Bok Ek beritahu. “Kita telah mengangkat saudara hingga perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung….”
Orang tua ini tidak dapat melanjuti kata-katanya, ia menangis sesegukan.
Tanpa merasa, air matanya Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini adalah Yo Tiat Sim, yang dulu hari itu, diwaktu bertempur bersama tentera negeri, sudah terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia roboh pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena tertawan. Adalah besok paginya ia sadar sendirinya, dengan merayap dia pergi ke rumah seorang petani di dekat tempat kejadian. Satu tahun lebih ia merawat dirinya, baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya Kwee Siauw Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak berhasil. Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada di Utara. Dia tidak pakai terus she dan namanya – Yo Tiat Sim – dia hanya rombak she Yo itu, di ambil bagiannya ynag kiri, yaitu huruf “Bok” yang berarti “Kayu”. Tapi juga huruf “Bok” ini diganti lagi dengan huruf “Bok” yang berarti “Akur”. Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama “Ek” dia ambil dari huruf pecahan sebelah kanan dari huruf “Yo” shenya itu. Huruf “Yo” itu terdiri dari dua huruf “Bok = kayu dan Ek = gampang atau tukar”. Selama delapan belas tahun ia merantau. Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau saudara angkatnya itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati?
Selama ayahnya itu berbicara sama si anak muda, Bok Liam Cu berniat memberi ingat serta meminta Kwee Ceng menolongi dulu mereka, tentang pasang omong, itu boleh dilanjuti lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, lalu datang pikiran lain, yang membuatnya berubah. Ia kata dalam hatinya: “Satu kali kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya aku nanti tidak dapat bertemu dengan dia…”
Dengan “dia” yang dimaksud oleh Liam Cu adalah Wanyen Kang, si pangeran muda. Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran itu, hingga ia tak ingin pergi jauh, untuk memisahkan diri….
Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia sudah lantas tarik keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia hendak ayun goloknya, untuk menggempur kunci, mendadak ia tampak sinar terang yang disusul sama suara tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan goloknya, dengan gesit ia lompat sembunyi di belakang pintu.
Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pinttu dipenntang, lalu terlihat masuknya beberapa orang, di antara siapa yang jalan di muka adalah yang menenteng lentera.
Kwee Ceng heran akan melihat orang itu yang bukan lain daripada onghui atau selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat menerka orang datang dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya.
“Adakah mereka ini yang hari ini dikurung siauw-ongya?” demikian Kwee Ceng dengan pertanyaannya si nyonya mulia.
“Ya,” menyahuti si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu.
“Sekarang juga merdekakan mereka!” onghui memberi titah.
Opsir itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat ia segera menjawab.
“Jikalau siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka,” onghui berkata pula menampak orang sangsi. “Lekas buka kuncinya!”
Sampai di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula.
Setelah ayah dan gadis itu sudah berada di luar kerangkeng, onghui merogoh sakunya untuk mengeluarkan dua potong emas, yang mana ia angsurkan kepada Bok Ek atau Yo Tiat Sim. Ia kata: “Nah, pergilah kamu baik-baik!”
Tiat Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam.
Ditatap demikian, onghui heran. “Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak sesalkan dia…” dia berkata lagi kemudian.
Cuma sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambuti itu emas, terus ia tuntun tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar.
“Ha, orang kasar!” membentak si opsir. “Kamu tidak membilang terima kasih kepada onghui yang telah menolong jiwamu!”
Bagaikan tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus.
Sampai di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya.
Kwee Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui sudah jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia melihat ke sekeliling, ia tidak dapatkan Bok Ek dan Liam Cu.
“Pasti mereka sudah keluar dari istana,” pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa Cui Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu buat jangan mengintai lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It.
Baru ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah lentera serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke samping di mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia segera dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. “Siapa?!” Bahkan orang itu sudah lantas berlompat maju dan tangannya menyambar.
Kwee Ceng geraki tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau pangeran muda.
Wanyen Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari opsir yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia kaget dan kata dalam hatinya: “Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak memperdulikan urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui ini, cara bagaimana aku dapat menyangkal?” Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam Cu, maka ia datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng.
Pemuda she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang hendak menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja bertempur seru melebihkan pertandingan mereka tadi siang.
Bukan main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk meloloskan diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-ongya.

Sementara itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru saja memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia membuat tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas menyusul mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong Hay dengan kedua tangannya.
Orang she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak dapat ia menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan kesebatannya, tangan kanan si nona menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak dapat mengegos pula tubuhnya, terpaksa ia menangkis!
Begitu kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw itu tergerak, isinya lantas tumpah, membasahkan lantai. Yang hebat adalah cawan di batok kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara berisik dan araknya melulahkan.
Oey Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawannya, yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia letaki di batok kepalanya itu. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah!
“Bagus!” seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang merebut kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya itu.
Thong Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan mendongkolnya. “Mari kita bertanding pula!” ia menantang.
Oey Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya “Tak malukah kau?” dia bertanya, mengejek.
“Hm!” See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu dibikin malu secara demikian. “Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya gurumu!”
“Besok akan aku mengasih keterangan kepada kau!” menjawab si nona tertawa. “Sekarang aku mesti pergi dulu!”
Setahu bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke ambang pintu, untuk menghalangi di situ.
Oey Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui, hingga kedua tangannya tidak dapat digeraki lagi, sekarang ia menyaksikan cara mencelat orang, yang ada dari tipu “Menukar wujud, mengganti kedudukan”, semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia dapat menenangkan diri, parasnya tidak menunjuki perubahan. Ia hanya mengkerutkan kening.
“Mau apa kau menghalangi aku?” dia bertanya, berlagak pilon.
“Aku ingin ketahui kau murid siapa?” menyahut See Thong Thian. “Aku ingin ketahui untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?”
Sepasang alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. “Jikalau aku tidak sudi mengasih keterangan?” tanyanya, menantang.
“Pertanyaannya Kwie-bun Liong Ong tidak dapat tidak dijawab!” sahut orang she See itu.
Oey Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat ia memaksa menerobos keluar. Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke luar, ia lantas menegur.
“Lopepe, dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?” katanya.
Hati Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ai menjadi merasa suka kepada si nona.
“Kau jawablah pertanyaannya See Liong Ong,” ia kata, tertawa. “Setelah kau berikan jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu.
Oey Yong tertawa, tetap dengan manis. “Aku justru tidak sudi menjawab dia!” sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam, “Jikalau kau tidak mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi denagn cara paksa!”
See Thong Thian tertawa dingin.”Asal kau mampu!” bilangnya.
“Tapi awas, kau tidak boleh serang aku!” berkata si nona, ynag hendak menggunai pula kecerdikannya.
“Untuk memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan tangan?” katanya.
“Bagus!” seru Oey Yong. “Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah menjadi kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana apa?” Semabri mengucap, dia menunjuk ke arah kiri.
See Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu.
Oey Yong gunai kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya meleset, lewat di samping jago tunggal dari sungai Hong Ho itu.
Benar-benar lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, atau kepalanya sudah menghadang di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan tubuhnya hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia meundur dengan cepat.
See Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona itu. Dua kali lagi ia mencoba, jago sugai Hong Ho itu senantiasa menghadang di depannya.
Nio Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. “See Liong Ong, adalah satu ahli tersebar,” katanya. “Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah saja!” Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja ia tiba di ambang pintu atau hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat terkejut.
“Celaka!” serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang. Di situ tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan. Hampir ia menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun.
Som Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu tabib, maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa, resep untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana, untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah dapatkan ularnya yang besar itu yang sanat berbisa. Lantas ular ini ia kasih makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam abu-abu, setelah makan banyak macan obat itu, warnanya lantas berubah menjadi merah mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh tahun lamanya. Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darahnya ular itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya, sebab ia berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya, siapa tahu sekarang ularnya itu terbinasa, malah ia ketahui juga terbinasanya ular itu sebab darahnya telah orang sedot.
Cepat setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama lukanya, maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari keluar, ia lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, guna mencari si pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul. Berbangkit pula hawa amarahnya, maka dengan lantas ia lari ke arah taman. Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah bertempur. Baru ia datang atau hidungnya telah mendapat cium bau obat tercampur bau amis yang datangnya dari arah si pemuda.
Dalam halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini diwaktu mulai bertempur, ai sudah lantas keteter, akan tetapi, begitu lewat beberapa jurus, begitu juga datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya itu. Disaat itu tenaganya lantas bertambah sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung.
“Heran, kenapa tenaganya menjadi kuat?” tanya si pangeran dalam hatinya.
Kwee Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti tidak sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-mana ia merasakan gatal pada tubuhnya.
“Kali ini habislah jiwaku…” pikirnya. “Tentulah bisa ular lagi bekerja…”
Ingat kepada bisa ular, hatinya pemuda ini menjadi kecil. Karena ini, ia pun menjadi alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran, yang sudah dapat memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan lainnya. Biasanya kalo ia kena diserang, ia merasa sakit, tetapi sekarang, bukannya ia merasa sakit hanya gatal, dan enak sekali rasa gatal itu. Ia menjadi heran berbareng girang, hingga sengaja ia membuatnya lowongan, sampai Wanyen Kang dapat menyerang sepuasnya. Tidak sedikit pun ia merasakan sakit lagi.
Siauw-ongya itu turut menjadi heran, karena pelbagai pukulannya tidak menyebabkan orang kesakitan atau roboh. “Kenapa sekalipun dengan pukulan yang membahayakan aku tidak dapat melukai dia?” pikirnya.
Sedang Kwee Ceng berpikir: “Heran, kenapa pukulannya empuk sekali, dia seperti meggaruki gatalku?”
Adalah aturan dari resepnya io Cu Ong itu, siapa habis minum darah ular, tubuhnya mesti dipukuli, supaya dengan begitu, hawa darah itu buyar, supaya racunnya tidak bekerja lagi, setelah mana, tubuh orang yang bersangkutan menjadi tambah kuat. Maka itu kebetulan sekali Kwee Ceng bertempur sama Wanyen Kang. Siauw-ongya tidak ketahui rahasia itu, tidak heran kalau ia menjadi bingung.
Tatkala Nio Cu Ong tiba, telah cukup lama Kwee Ceng terhajar, maka itu tubuhnya menjadi kuat luar biasa, pelbagai pukulannya Wanyen Kang menjadi tidak ada artinya. Menyaksikan itu, Cu Ong menjadi menyesal berbareng penasaran dan mendongkol.
“Hai, bangsat anjing!” dia menegu. “Siapa yang anjurkan kau mencuri ularku?!” Dia percaya, sebagai bocah Kwee Ceng tentunya tidak ketahui rahasia resepnya itu, mestinya si bocah diberi petunjuk oleh seorang berilmu, yang entah siapa.
Kwee Ceng memang tidak tahu suatu apa mengenai resep itu atau darah ular yang ia minum, oleh karena itu ia gusar yang ia telah dicaci.
“Bagus, kiranya kau yang piara ular berbisa itu!” ia berseru. “Aku sekarang telah terkena bisanya binatang jahat itu, hendak aku mengadu nyawa denganmu!” Ia lompat maju untuk menyerang itu jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong merasakan pula sambaran bau obat dan amis dari ular, yang leuar dari baju atau tubuhnya Kwee Ceng, mendadak hatinya menjadi panas, lantas timbul pikirannya yang kejam. Ia pikir: “Dia telah minum darah ularku, baik aku bunuh dia, untuk sedot darah dari tubuhnya itu, mungkin kekuatannya obat masih ada atau mungkin kekuatan itu bertambah besar…” Karena ini, ia menjadi girang, lantas ia menyambuti serangan. Dengan lantas ia dapat menangkap tangannya si anak muda.
Tenaganya Kwee Ceng telah bertambah luar biasa, maka itu ketika ia mengibaskan tangannya, untuk ditarik, tangan itu segera terlepas dari cekalannya lawan.
Nio Cu Ong tidak menjadi heran yang ia tidak bisa mencekal terus tangannya bocah itu, ia lantas menggunai akal. Ia menanti lain serangan, lalu ia menangkap pula. Kali ini ia menunggu sampai orang berontak, segera ia gunai kakinya untuk menggaet.
Jago ini lihay berlipat kali dari kwee Ceng, ia tentu dapat berbuat sesukanya terhadap anak muda itu, yang kalah pandai dan kalah pengalaman, kalah cerdik juga. Begitulah ketika kakinya kena digaet, Kwee Ceng roboh dengan segera. Lantas Cu Ong menubruk, untuk memegang keras pundak orang, yang ia tekankan kepada tanah, setelah mana ia majukan mukanya ke arah leher, untuk menggigit leher itu, guna menyedot darah ularnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam Hoa Cui Kok masih tidak dapat menerobos penjagaannya See Thong Thian, biarnya ia sangat lincah, semua percobaannya sia-sia belaka. Sebenarnya, kalau Thong Thian menghendaki, dengan gampang ia bisa bekuk nona itu, dengan mencekal tangannya, tetapi di depan Chao Wang, dia hendak pertontonkan kepandaiannya, dia sengaja permainkan nona itu.
Oey Yong menjadi cemas. Akhirnya ia berhenti mencoba. “See Liong Ong,” katanya, untuk menggunai akal pula, “Asal aku dapat lolos, kau tidak dapat mengganggu pula padaku. Akurkah kau?”
“Asal kau dapat molos, akan aku menyerah kalah!” Thong Thian jawab.
Oey Yong lantas menghela napas. “Sayang, sayang….” katanya dengan masgul. “Sayang, ayahku cuma ajarkan aku menyerang masuk, dia tidak mengajarkan aku ilmu menerjang keluar…..”
“Apakah itu menyerang masuk dan menerjang keluar?” tanya See Thong Thian. Biar bagaimana, ia belum pernah dengar hal ilmu masuk dann keluar itu.
“Itulah ilmu untuk merobohkan kau,” sahut si nona. “Kau punya ilmu Menukar Wujud Memindahkan Kedudukan ini, walaupun sudah tidak dapat dicela, apabila dibandingkan sama kepandaian ayahku, bedanya masih jauh sekali!”
Thong Thian gusar. Ia percaya ilmunya sudah dipuncak kemahiran. “Kau ngaco-belo, budak cilik!” bentaknya. “Siapakah ayahmu itu?!”
“Jikalau aku sebutkan nama ayahku, aku khawatir kau nanti kaget hingga semangatmu terbang!” Oey Yong menjawab. “Ketika dulu hari ia ajarkan aku menyerang masuk, ayahku itu menjaga di mulut pintu, aku memasukinya dari luar, beberapa kali aku mencoba, aku gagal. Mengenai kepandaianmu ini, memang dari dalam aku tidak sanggup menerjang keluar, akan tetapi kalau dari luar, tak usah menggunai tenaga untuk meniup debu, pasti aku akan dapat molos.”
Thong Thian mendongkol sekali. “Dari luar masuk ke dalam sama dari dalam pergi keluar, tidakkah itu sama saja?” dia menanya. “Baiklah kau boleh coba dari luar!” Ia lantas menggeser tubuhnya, guna mengasih si nona pergi keluar. Ingin ia menyaksikan orang menyerang masuk, untuk mengetahui, apa macam ilmu menyerang masuk itu.
Oey Yong lantas saja meleset keluar, terus ia tertawa geli.
“See Liong Ong, kau telah tertipu olehku!” katanya nyaring. “Kau telah bilang sendiri, asal aku berada di luar, kau akan menyerah kalah, kau tidak bakal mengganggu pula aku. Kau lihat, bukankah aku sekarang telah berada di luar? Nah, sampai ketemu pula!”
See Thong Thian berdiri diam. Memang telah dibikin perjanjian itu, tidak peduli si nona telah menggunai akal bulus. Saking menyesalnya, ia ketoki kepalanya sampai tiga kali.
Pheng Lian Houw bersahabat erat sekali sama Kwie-bun Liong, tidak suka ia membiarkan kawannya itu diperdayakan secara demikian, ia pun tidak senang orang dapat pergi dengan begitu saja, dari itu ia segera ayun kedua kedua tangannya. Maka menyambarlah dua renteng senjata rahasia yang berupa kim-chie atau uang emas.
Adalah umum kalau orang menyerang dengan kim-chie, serangannya itu untuk atas dan bawah, hingga sulit orang lolos dari salah satunya. Orang she Pheng ini adalah satu ahli, hingga ia peroleh gelarannya yang luar biasa – Cian Ciu Jin-touw, yang berarti pembunuh manusia seribu tangan, maka tidaklah heran kalau ia ada mempunyakan keistimewaannya sendiri. Senjata rahasianya itu adalah seperti bumerang. Kim-chie lewat di atasannya kepala Oey Yong, lalu berbalik sendirinya, terus menyerang ke bebokong.
Oey Yong heran dan kaget. ia lihat serangan lewat di atasan kepalanya, ia menjadi heran, hingga ia memikir, kenapa kepandaian orang ini begini buruk? Tapi justru ia heran, ia dengar suara angin, lalu kedua senjata rahasia itu berbalik, menyambar ai di kiri-kanan mengarah batok kepalanya. Ia menjadi kaget sekali. Ia ada punya mustika pelindung tubuh, tidak demikian dengan kepalanya, kalau ia terserang jitu, celakalah ia. Karena ini, ia lompat ke depan, Ia baru menaruh kaki, atau kim-chie yang belakangan sudah menyambar pula. Hebat untuk dia, dua renceng kim-chie dari Phen Lian Houw terdiri dari beberapa puluh biji, datangnya saling susul. Tidak dapat kim-chie itu ditanggapi. Karena ini tidak ada jalan lain, terpaksa ia melompat maju pula, ia berlompatan. Maka dilain saat, ia telah kembali ke ruangan besar!
Tidak ada niatnya Pheng Lian Houw untuk melukai si nona, ia menyerang denagn sennjata rahasianya itu guna menggiring nona itu kembali ke dalam, kalau tidak demikian, pasti Oey Yong tidak sanggup membebaskan diri dari bahaya maut atau entengnya terluka. Menampak itu, semua orang bersorak saking gembira. Lian Houw sendiri lantas berdiri di ambang pintu.
“Bagaimana?” dia tertawa. “Kau kembali ke dalam?”
Oey Yong membuat main mulutnya untuk mengejek. “Kepandaianmu menggunai senjata rahasia bagus sekali,” bilangnya, tawar, “Melainkan sayang kau gunai itu untuk menghina satu anak perempuan! Apakah yang aneh?”
“Siapa menghina kau?” Lian Houw tanya. “Aku toh tidak melukai kamu?”
“Kalau begitu, kau biarkanlah aku berlalu dari sini,” kata si nona.
“kau bilang dulu, siapa yang ajarkan kamu ilmu silat,” Lian Houw bilang.
Nona nakal itu tertawa. “Aku telah pelajarkan ini sejak aku dalam kandungan ibuku,” jawabnya.
“Kau tidak hendak memberitahu, apakah dengan begitu kau menyangka aku tidak akan mengetahuinya?” Lian Houw berkata seraya sebelah tangannya menyemboki pundak orang.
Oey Yong tidak menangkis, ia pun tidak berkelit. Ia tahu tidak dapat ia lawan jago ini, ia mencoba berlaku norek. Hendak ia menyangkal terus-menerus.
Lian Houw lihat orang diam saja, disaat tangannya hampir mengenai pundak si nona, ia lantas menarik pulang.
“Lekas menangkis!” ia berseru. “Lekas! Di dalam sepuluh jurus, aku orang she Pheng pasti akan ketahui asal-usulmu!” Dia memang luas pengetahuannya dan mengenali ilmu silat pelbagai golongan, tetapi ilmu silat Oey Yong membuatnya bersangsi, dari itu ingin ia menempur selama sepuluh jurus untuk memeproleh kepastian.
“Jikalau sampai sepuluh jurus kau masih belum dapat mengetahui?” tanya Oey Yong.
“Aku akan merdekakan padamu! Awas!” Sambil menjawab demikian, Lian Houw menyampok dengan tangan kiri yang disusul sama tinju kanan, tinju mana dibarengi sama tendangan kaki kanan. Inilah pukulan berantai tiga kali yang hebat.
Oey Yong terkesiap juga melihat datangnya serangan saling susul dan berbareng itu, akan tetapi ia tidak menjadi kaget dan gugup. Sebat sekali ia mundur sambil memutar tubuh dengan sebelah kaki, hingga dengan begitu ia perlihatkan sikap “Si ayam emas berdiri dengan satu kaki”. Dengan begitu, ia lolos dari bahaya.
Di dalam hatinya, Pheng Lian Houw berkata, “Inilah ilmu silat Jie Long Kun dari Keluarga Luow dari Ceciu, Shoatong. Keluarag itu memang mengutamakan kelincahan. Coba aku desak pula dia dengan dua jurus.” Lalu pikiran ini ia wujuskan denagn cepat sekali.
“Inilah jurus yang kedua!” berseru si nona, yang menangkis dengan tangan kiri buat memunahkan serangan orang. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Iwee-kee si ahli dalam.
Pheng Lian Houw menjadi heran. “Inilah jurus Pak-kek-sie dari ilmu silat Liok Hap dari Kangpak,” ia berpikir pula. “Ilmu silat ini bertentangan dengan Jie Long Kun, yang adalah dari pihak gwa-kee. Kenapa dia dapat menyakinkan dalam dan luar dengan berbareng?”
Gwa-kee ialah ahli luar.
Lantas orang she Pheng ini melanjuti serangannya, ynag ketiga dan keempat, karena juga yang kedua dan ketiga itu dapat dihindarkan si nona, demikian pun dengan yang keempat ini.
Oey Yong menolong diri dengan ilmu silat Keluarga Swee dari Thay-goan, yaitu ilmu silat “Cut In Ciu” atau “Keluar dari Mega”.
Lian Houw menjadi bertambah heran. “Heran bocah ini mempunyai ilmu silat campur aduk seperti ini! Mungkinkah ia sengaja berbuat begini untuk mencegah aku dapat mengenali asal-usulnya? Baik aku gunai pukulan yang telengas, denagn begitu tidak dapat ia tidak menggunai ilmu silatnya yang sejati guna menolong diri,” katanya dalam hati.
Oleh karena berpikir begini, Lian Houw segera menyerang dengan jurusnya yang kelima, yang hebat sekali. Kalau yang keempat pertama bengis, tapi tidak sekejam ini.
Semua orang terkejut melihat kawannya bersikap telengas begitu, dengan sendirinya mereka jadi berkhawatir untuk Oey Yong, sedang si nona pun segera menjadi kelabakan. ia cuma bisa berkelit dan menangkis, tidak dapat ia mencoba membalas menyerang.
Auwyang Kongcu, san-cu atau pemilik dari Pek To San, lantas berkata: “Budak ini barusan menggunai jurus Menggantung kumala di gantungan emas. Itulah ilmu silat Lo Cia Sie dari partai Siong Yang Pay. Dia menyusuli itu dengan jurus Menunggang harimau mengalah tindak dari ilmu silat Tiang Kun dari Kwan-tong, yang mirip dengan ilmu silatnya saudara Som Sian Lao Koay. Ah, inilah Tepukan tiga kali dan Gunting emas, jurus dari Cu-ngo Tay Kok Kiam dari Kanglam. Banyak benar ragam ilmu silatnya. Ah,ah, dia celaka! Kenapa ia tidak berkelit ke kiri?”
Pheng Lian Houw mendesak terus, sampai pada jurus yang kedelapan, tangan kirinya menggertak, tangan kanannya meninju. Oey Yong tahu tangan kiri itu adalah ancaman belaka, maka berniat ia berkelit ke kanan, tetapi justru itu, ia dengar perkataan terakhir dari sancu dari Pek To San itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran baru, segera ia terjang tangan kiri si orang she Pheng itu denagn jurusnya “Tibanya air mata es dingin,” salah satu jurus dari ilmu silat “Soat San Pat To” dari See Hek, wilayah Barat.
Menampak itu, Auwyang Kongcu tertawa dan mengatakan, “Ha, dia menggunai ilmu silatnya tetanggaku!”
Pheng Lian Houw mendelu mendengar suaranya orang she Auwyang itu. Terang si bocah wanita ini telah diberi kisikan berterang, hingga gagallah serangannya itu. Karena ini, ia menjadi mendongkol terhadap si nona . Ia kata dalam hatinya: “Mustahil aku tidak mampu hajar mampus padamu, budak?!” Ia memang telengas, kalau mulanya ia menaruh “belas kasihan”, itu disebabakan si nona cantik dan manis, usianya pun masih sangat muda. Tapi sekarang, setelah ia dilayani dengan ilmu silatnya delapan partai, ia menjadi penasaran, dari penasaran, ia menjadi gusar, yang mana ditambah sama kisikannya san-cu dari Pek To San itu. Segera ia menyerang denagn jurusnya yang kesembilan. Ia menggunai jurus “Menolak jendela untuk memandang rembulan”, ia bergerak denagn kedua tangannya, tangan kiri di balik ke bawah, tangan kanan ke atas.
Oey Yong terkejut melihat gerakan lawan ini, sampai ia mengeluh di dalam hatinya. Batok kepalanya bakal hancur luluh kalau ia sampai kena di serang. Untuk menangkis sudah tidak keburu lagi. Terpaksa ia lantas berkelit, kepalanya di aksih mendak, kedua tangannya ditekuk, untuk membalas menyikut naik dadanya penyeranganya itu.
Pheng Lian Houw menyerang dengan hebat, akan tetapi ia waspada, maka itu ia dapat melihat perlawanan si nona. Dengan gampang ia membebaskan dirinya, sesudah mana, ia melanjuti dengan jurusnya yang kesepuluh. Ia menggunai tipu silat “Binatang jatuh di tengah udara”. Tapi ia tidak menyerang habis, disaat si nona hendak memunahkannya. ia berhenti setengah jalan sambil terus berseru: “Kau muridnya Hek Hong Siang Sat!” Dan seruan ini disusul sama gerakan tangan kanan, atas mana Oey Yong terhuyung ke belakang, terpelanting tujuh-delapan tindak!
Semua orang terperanjat dengan perkataan Pheng Lian Houw itu, kecuali Chao Wang. Sebab mereka semua adalah orang-orang kangouw berpengalaman dan terhadap Hek Hong Siang Sat, rata-rata orang jeri. Benar terkabar kalau Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu telah meninggal dunia akan tetapi tidak ada diantara mereka ini yang pernah menyaksikan sendiri, mereka jadinya ragu-ragu. Pheng Lian Houw telah dapat membuktikan ilmu silatnya Oey Yong di jurus kesembilan, dari itu pada jurus kesepuluh batal ia dengan maksudnya menghajar si nona, ia cuma mendorong saja denagn keras.
Oey Yong dapat mempertahankan diri, setelah berdiri tetap, mendadak ia rasakan sakit pada dadanya yang kiri. Sebenarnya hendak ia bicara, ketika denagn sekonyong-konyong. di malam yang tenang itu, ia dengar satu suara keras dari kejauhan, malah ia segera kenali suaranya Kwee Ceng, suara mana bernada kaget dan gusar. Ia menjadi kaget, mukanya menjadi pucat. Ia menduga kawannya itu telah menghadapi ancaman malapetaka.
Memang juga itu waktu, Kwee Ceng telah dibikin tak berdaya oleh Nio Cu Ong. Ia telah ditekan ke tanah, tangannya dan kakinya telah dicekal keras, hingga habislah tenaganya, tak dapat ia berkutik. Ia kaget bukan main, waktu ia rasakan mulutnya orang si she Nio itu mengenai batang lehernya. Setahu dari mana datangnya, mendadak saja ia dapat tenaga pula, terus ia berontak sekuat-kuatnya, hingga Nio Cu Ong tidak dapat menguasai ia terlebih lama. Ia tidak lantas menginsyafi bahwa ia dapat tenaga besar berkat darah ular yang dicampur latihan tenaga dalam dari Tan Yang Cu Ma Giok. Dengan satu gerakan “Ikan gabus meletik” ia kasih dengar jeritannya itu.
Nio Cu Ong bukan melainkan membikin terlepas cekalannya, juga kedua telapakan tangannya pecah dan berdarah, darahnya mengalir keluar. Ia menjadi kaget berbareng gusar. Segera ia maju untuk menyerang pemuda itu.
Kwee Ceng berkelit dengan berlompat ke belakang, tetapi Nio Cu Ong ada sangat gesit, tangannya tiba di bebokongnya. Kali ini, pukulannya Nio Cu Ong bukan seperti pukulannya Wanyen Kang, pukulan ini mendatangkan rasa sangat sakit. Maka itu, karena sakitnya dan kaget, Kwee Ceng lantas lari sekeras-kerasnya. Dia memang ringan tubuhnya, setelah meminum darah ular, tenaganya bertambah, hingga itu Nio Cu Ong tidak dapat segera menyandak, hingga mereka berlari-larian di taman, di antara pohon-pohon dan gunung-gunungan. Satu kali Cu Ong berlompat, tangannya menjambak. Kwee Ceng berayal, bajunya kena terpegang, baju itu lantas robek sebagian, bebokongnya kena terjambret hingga berdarah, bertapak tanda lima jari, sakitnya bukan main. Saking takut, Kwee Ceng lari terus. Kebetulan ia tiba di depan rumah petani dari onghui, ia lompat masuk ke dalam rumah itu. Di situ ia mendekam.
Nio Cu Ong tidak dapat mencari. Kemudian ia disusul oleh Wanyen Kang, denagn siapa ia berbicara. Selama itu Kwee Ceng terus diam saja, cuma kupingnya mendengar pembicaraan orang itu. Di dalam hatinya ia berpikir: “Onghui murah hati, mungkin ia dapat menolong aku…” Karena ini, ia keluar dari tempat sembunyinya, ia lari ke dalam kamar si nyonya agung. Ia dapatkan sebuah kamar yang diterangi lilin tetapi penghuninya tidak ada, onghui kebetulan berada di kamar yang lain. Ia melihat ke seluruh kamar. Di sebelah timur ada sebuah lemari besar, ia hampirkan itu, akan buka pintunya, lalu ia masuk ke dalamnya, untuk menyembunyikan diri. Dengan masih mencekal terus goloknya, ia menghela napas lega.
Segera tedengar tindakan kaki perlahan masuk ke dalam kamar. Dari sela-sela lemari, Kwee Ceng mengintai. Ia lihat yang datang itu onghui sendiri.
Nyonya agung itu duduk di samping meja, matanya bengong mengawasi lilin.
Tidak antara lama, Wanyen Kang bertindak masuk. “Ma,” sapanya. “Apakah tidak ada orang jahat masuk ke mari?”
Onghui menggeleng kepala. Cuma sebegitu jawabannya.
Putra itu lantas keluar pula, untuk bersama Io Cu Ong dan yang lainnya pergi mencari ke lain-lain bagian dari istana itu.
Sebentar kemudian, onghui mengunci pintu. Hendak ia beristirahat.
“Setelah sebentar ia meniup lilin, aku akan lari dari jendela,” Kwee Ceng pikir. “Aku percaya adik Yong sudah lama pulang….”
Hampir di itu waktu, di jendela terdengar satu suara keras, disusul sama menjublaknya daun jendela itu dan mana segera lompat masuk satu orang.
Kwee Ceng terkejut, begitu juga onghui, malah nyonya itu mengasih dengar jeritan tertahan.
Orang yang datang itu adalah Yo Tiat Sim yang menyebut dirinya Bok Ek. Kedatangannya ini pastilah diluar dugaannya Kwee Ceng dan onghui. Kwee Ceng menyangka orang sudah ajak gadisnya pergi menyingkir.
Onghui dapat menenangkan diri, ia mengawasi Bok Ek itu. “Kau baiklah lekas pergi,” bilangnya kemudian. “Tidak boleh mereka dapat lihat kita….”
“Terima kasih untuk kebaikan onghui,” berkata Yo Tiat Sim. “Jikalau aku tidak datang sendiri untuk menghanurkan terima kasihku, meskipun aku mati tidaklah aku dapat memeramkan mata.” Suara itu berirama sedih.
“Ya, sudahlah,” onghui itu menghela napas. “Dalam kejadian itu adalah anakku yang salah, dia membuatnya kamu ayah dan anak bersusah hati….”
Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya memandang seluruh kamar. Tiba-tiba ia menjadi sangat berduka, kedua matanya menjadi merah, tanpa ia dapat menahan, air matanya menguncur turun. Dengan uujung bajunya, ia susuti air matanya itu. Ia bertindak ke tembok, di situ ia kasih turun tombak besi yang tergantung. Ia meneliti gagang tombak itu. Tepat enam dim dekat tajamnya tombak, di situ ada terukir empat huruf “Tiat Sim Yo-sie”, yang artinya, “Istrinya Yo Tiat Sim”. Lantas ia pegang terus tombak itu, ia mengusap-usap. Akhir-akhirnya sambil menghela ia berkata, “Tombak ini sudah karatan, tandanya sudah lama tidak pernah digunakan lagi….”
Agakanya onghui heran atas lagak-lagu orang itu. “Aku minta janganlah kau raba tombak itu,” katanya perlahan.
“Kenapakah?” Tiat Sim tanya.
“Itulah barang yang aku paling hargai,” sahut si nyonya agung.
“Ah…” Tiat Sim bersuara perlahan, terus ia gantung tombak itu. Sekarang ia mengawasi lanjam yang berada si pinggiran tombak itu.
“Ujung lanjam ini sudah rusak, biarlah besok besok suruh Thio Bok-jie dari dusun timur memperbaikinya dengan tambah setengah kati besi…” katanya peralahan.
Mendengar kata-kata itu, tubuh onghui bergemetar. Ia berdiam aja mengawasi Tiat Sim. Sampai sekian lama baru ia dapat membuka mulutnya. “Kau…kau kata apa?” tanyanya.
“Aku bilang lanjam ini sudah rusak,” Tiat Sim menyahuti, “maka besok baiklah suruh Thio Bok-jie dari dusun timur membetulkannya, dengan menambah setengah kati besi…”
Tiba-tiba saja onghui menjadi lemas kedua kakinya, ia roboh di kursi. “Kau…kau siapa?” tanyanya, suaranya menggetar. “Kenapa…kenapa kau ketahui kata-katanya suamiku pada itu malam dari saat kematiannya…?”
Hancur hatinya onghui ini yang sebenarnya bukan lain daripada Pauw Sek Yok atau nyonya Yo Tiat Sim. Rumah tangganya telah runtuh, famili pun tidak ada, mana ia percaya suaminya telah menutup mata, dengan terpaksa ia turut Wanyen Lieh pergi ke Utara. Tidak dapat ia menampik bujukannya pangeran itu yang perlakukan ia dengan baik sekali, di akhirnya ia serahkan dirinya dijadikan onghui atau selir. Sudah delapan belas tahun ia tinggal di istana, selama itu wajahnya tidak berubah banyak. Sebaliknya To Tiat Sim yang mesti hidup dalam pengembaraan, ia tidak lagi seperti masa mudanya, maka itu sekalipun mereka berada di dalam sebuah kamar, Pauw Sek Yok tidak dapat lantas mengenali suaminya itu.
Yo Tiat Sim tidak menjawab, ia hanya bertindak ke samping meja, untuk menarik lacinya meja itu. Di dalam situ ada tersimpan beberapa potong pakaian pria, baju dan celana biru. Itulah pakaian yang ia pakai pada dulu hari. Ia jumput sepotong baju, ia kerebongi itu pada tubuhnya: “Bajuku telah cukup dipakai. Tubuhmu lemah, kau pun tengah mengandung, kau baik-baiklah beristirahat, tak usah kau membikin pakaian lagi untukku…”
Sek Yok terkejut. Ia ingat betul, itulah kata-kata suaminya dulu hari tempo ia tengah hamil membuatkan sepotong baju baru. Ia lantas berbangkit, akan hampirkan Tiat Sim, baju siapa ia tarik, kemudian ia gulung tangan bajunya, hingga ia dapat lihat di lengan kiri orang satu tanda bekas luka. Sekarang ia tidak bersangsi pula, maka lantas saja ia tubruk suaminya itu dan merangkulnya erat-erat seraya ia menangis sedih sekali.
“Aku tidak takut!” katanya kemudian. “Lekas kau bawa aku pergi….Aku akan turut kau ke lain dunia, untuk mati bersama…Aku lebih suka menjadi setan untuk tetap berada bersama denganmu…!”
Tiat Sim rangkul istrinya itu, air matanya turun bercucuran. “Kau lihat, apakah aku setan?” kata suaminya ini kemudian.
See Yok memeluk erat-erat. “Tidak peduli kau manusia atau setan, tidak dapat aku lepaskan kau!” katanya. Hanya sejenak kemudian ia bertanya: “Mustahilkah kau belum mati? Mustahilkah kau masih hidup?”
Tiat Sim hendak menyahuti istrinya itu tatkala mereka mendengar suara Wanyen Kang dari luar kamar: “Mama, kenapakah kau berduka pula? Dengan siapakah kau berbicara?”
Se Yok kaget tetapi ia lantas menyahuti: “Aku tidak apa-apa, aku hendak tidur….”
Wanyen Kang tidak lantas pergi hanya ia jalan mengitari rumah itu. Ia menjadi curiga sebab tadi terang ia dengar suara orang berbicara. Di pintu ia berhenti dan mengetok perlahan beberapa kali. “Ma, hendak aku bicara denganmu,” katanya.
“Besok saja,” sahut sang ibu. “Sekarang aku letih sekali.”
Mendapatkan ibu itu tidak hendak membuka pintu, siauw-ongya ini menjadi semakin bercuriga. “Aku hendak omong sedikit saja, lantas aku pergi,” ia berkata pula.
Tiat Sim menduga orang bakal masuk ke dalam, ia lepaskan Sek Yok dan bertindak ke jendela dengan niat lompat keluar, tetapi ketika ia menolak, jendela itu keras, rupanya ada orang yang menahannya dari sebelah luar.
Pauw Sek Yok segera menunjuk ke lemari, maksudnya menganjurkan suaminya itu masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Tiat Sim suka menurut. Ia memang tidak rela meninggalkan istrinya itu. Ia lantas bertindak ke lemari yang ditunjuk itu, untuk menjambret pintunya untuk dibuka.
Begitu pintu lemari terpentang, tiga orang menjadi terkejut sekali. Di dalam lemari itu tertampak Kwee Ceng, melihat siapa onghui menjadi tergugu, hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan.
Wanyen Kang berkhawatir mendengar jeritan ibunya itu, ia takut ibunya diganggu orang jahat. Dengan pundaknya, ia segera tabrak pintu kamar itu, hingga daun pintunya mejeblak terbuka.
Sebelum orang nerobos masuk, Kwee Ceng tarik Tiat Sim masuk ke dalam lemari, yang pintunya ia segera tutup pula.
Wanyen Kang dapatkan ibunya bermuka pucat dan mukanya itu bermandikan air mata. Di dalam kamar itu tapinya tidak ada lain orang. Ia menjadi curiga sekali. “Ma, ada terjadi apakah?” ia menanya.
“Tidak apa-apa,” sahut si ibu, yang menenangkak dirinya. “Hatiku tidak tentram.”
Putra itu menghampiri ibunya, di tubuh siapa ia menyanderkan diri. “Ma, aku tak akan main gila lagi,” katanya. “Aku minta supaya kau jangan bersusah hati. Dasar anakmu yang buruk….”
“Nah, kau pergilah,” kata ibu itu. “Aku mau tidur.”
“Ma, apakah tidak ada orang masuk ke mari?” putra itu tanya pula.
“Siapakah dia?” tanya ibunya, hatinya berdenyut.
“Orang jahat telah nyelusup masuk kedalam istana,” Wanyen Kang beritahu.
“Begitu?” tanya ibunya. “Sekarang lekas kau pergi tidur. Urusan itu kau jangan campur tahu!”
Wanyen Kang tertawa. “Tentara pengawal semuanya kantong nasi!” katanya. “Ma, baiklah, kau tidurlah!”
Putra ini memberi ucapan selamat malam, tapi disaat ia hendak mengundurkan diri, ia dapat melihat ujung baju di sela-sela lemari, maka kembali timbul kecurigaannya. Ia batal pergi, ia lantas ambil tempat duduk. Ia pun menuang the ke dalam cangkir, untuk di minum dengan perlahan-lahan. Sembari minum, hatinya bekerja.
“ Di dalam lemari itu ada seorang sembunyi, entah ibu mengetahuinya atau tidak.” demikian pikirnya. Ia masih menghirup beberapa kali, baru ia berbangkit, bertindak perlahan-lahan.
“Ma,” katanya. “Bagaimana tadi permainan tombakku, bagus atau tidak?”
“Lain kali aku larang kau menghina orang karena kau andalkan pengaruhmu,” sang ibu bilang.
“Siapa mengandalkan pengaruh, Ma?” sahut si anak. “Aku tempur itu anak tolol dengan andalkan kepandaianku.”
Ia telah sampai di tembok, tangannya diulur kepada tombak, begitu lekas ia mencekal dengan baik – yang mana ia lakukan dengan luar biasa cepat – mendadak saja ia menikam ke arah lemari. Itulah gerakan “burung hong terbang, ular naga melayang”.
Pauw Sek Yok melihat itu, ia kaget bukan main, hingga ia lantas roboh pingsan.
Tapi Wanyen Kang telah menahan gerakan tangannya, batal ia menikam lemari disaat ujung tombak hampir mengenai daun pintu lemari. Ia pun lihat ibunya itu roboh.
“Ah, ibu tahu di dalam lemari ini ada orang…” pikirnya. Ia lantas senderkan tombaknya, untuk mengasih bangun pada ibunya. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi ke lemari.
Sek Yok sadar dengan perlahan-lahan, kapan ia dapatkan lemari tidak kurang satu apa, hatinya menjadi lega. Hanya karena kagetnya itu, tubuhnya menjadi lemah sekali.
Wanyen Kang telah menyaksikan kelakuan ibunya ini. “Ma,” katanya keras, “Aku ini anak kandungmu atau bukan?”
“Tentu saja,” sahut ibunya itu. “Kenapa kau menanya begini?”
“Kalau begitu, kenapa ada apa-apa yang disembunyikan kepadaku?” si anak bertanya pula.
Hatinya Pauw Sek Yok goncang keras. Ia pikir: “Kejadian ini mesti dijelaskan kepada anak ini, biarlah mereka ayah dan anak bertemu, habis itu barulah aku mencari jalan pendekku…. Aku telah hilang kehormatan diriku, inilah kesalahan besar yang tidak dapat diperbaiki lagi, maka dalam dunia ini tidak bisa aku hidup pula bersama Tiat Sim.”
Karena memikir ini, air matanya lantas bercucuran deras.
Wanyen Kang mengawasi ibunya, ia heran dan bercuriga.
“Kau duduklah baik-baik, kau dengari aku bicara,” kemudian kata si ibu.
Putra itu menurut, ia berduduk, tetapi tombaknya masih dipegangi.
“Apakah kau sudah lihat itu ukiran empat huruf di gagang tombak?” Pauw Sek Yok tanya.
“Sedari aku masih kecil telah aku menanyakannya,” menjawab anak itu. “Tetapi ibu tidak hendak menjelaskan siapa Yo Tiat Sim itu.
“Sekarang aku akan menerangkannya kepadamu,” kata ibu itu.
Tiat Sim dalam lemari telah dengar nyata pembicaraan di antara ibu dan anak itu, hatinya tergoncang keras. Ia pun berpikir: “Sekarang dia telah menjadi satu onghui, mana dapat ia mengikuti pula aku seorang rakyat kasar? Dia hendak membuka rahasia, mungkinkah ia hendak menyuruh anaknya itu mencelakai aku?”
Ia lantas dengar perkataannya Pauw Sek Yok: “Tombak ini tadinya berada di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, ibukota dari kerajaan Song di Kanglam. Aku sengaja menitahkan orang melakukan perjalanan jauh ribuan lie untuk mengambilnya. Itu lanjam di tembok dan semua perabotan dalam ruangan ini, seperti meja, bangku, lemari dan pembaringan, tidak ada satu yang bukan dibawanya dari Lim-an.”
“Sampai sebegitu jauh aku tidak mengerti,” berkata Wanyen Kang, “Kenapa mama suka sekali tinggal di ini rumah bobrok, anakmu membawakan kau perabot rumah tangga yang baru tetapi semua itu ibu tolak.”
“Kau menyebutkan rumah ini bobrok?” tanya sang ibu. “Aku justru merasa ini jauh terlebih bagus dibandingkan istana yang indah, yang segalanya serba dilukis dan diukir dan diperaboti mentereng! Anak, kau tidak punyai untung bagus, kau tidak dapat tinggal di rumah bobrok ini bersama-sama dengan ayah dan ibu kandungmu snediri….”
Jantungnya Tiat Sim berdenyut, pedih ia merasa.
Wanyen kang tertawa. “Ma, makin lama kau bicara, makin aneh!” katanya. “Mana bisa ayah tinggal di sini?”
Sek Yok menghela napas. “Kasihan ayahmu itu, selama delapan belas tahun dia berkelana di duni kangouw,” berkata dia. “Oleh karena itu mana bisa dia berdiam dengan tenang dan tentram di rumah ini….”
Sang putra heran hingga ia mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar. “Ma, apakah katamu?” tanyanya saking heran.
“Taukah kau siapa ayahmu yang sebenarnya?” Sek Yok menanya, suaranya keras.
“Ayahku adalah adiknya sri baginda, dialah pangeran Chao Wang,” sahut Wanyen Kang. “Kenapa mama menanya begitu?”
Ibu itu berbangkit, ia peluki tombak besi itu, lantas air matanya turun dengan deras. “Kau tidak tahu, anak, inilah tidak heran,” katanya sesegukan.
“Kau tidak dapat disesalkan. Tombak ini…inilah senjatanya ayahmu yang sejati…” Ia pun lantas menunjuk pada ukiran empat huruf di gagang tombak: “Ini barulah namanya ayahmu itu!”
Tubuhnya sang putra bergemetar. “Ma, pikiranmu was-was,” katanya, “Nanti aku pergi panggil tabib.”
“Aku was-was kenapa?” ibu itu bilang. “Apakah kau sangka kau adalah orang bangsa Kim? Kau adalah orang Han! Kau bukannya bernama Wanyen Kang, tetapi nama kau ialah Yo Kang!”
Mendengar di sebutnya nama Yo Kang itu, Kwee Ceng ingat segera ingat satu nama yang ia rasa kenal baik. Ia hanya lupa, di mana ia pernah dengar itu, Kemudian ia ingat, tempo ia masih kecil, di sana ada sebuah piasu belati yang gagangnya berukiran dua huruf “Yo Kang” itu. Kemudian piasu itu telah dipakai menikam mati pada Tan Hian Hong si Mayat Perunggu. Kemudian lagi piasu itu lenyap entah ke mana.
Wanyen Kang heran bukan kepalang. Ia lantas memutar tubuhnya. “Nanti aku minta ayah datang ke mari!” katanya.
“Ayahmu ada disini!” Sek Yok bilang. Lantas dia bertindak cepat le arah lemari, untuk buka pintunya, sesudah mana, ia pegang tangannya Yo Tiat Sim, untuk di tarik keluar.
“Oh, kiranya kau!” seru pangeran itu, yang mendadak saja menikam Bok Ek, yang di arah tenggorokannya.
Tiat Sim berkelit, sedang Sek Yok menjerit: “Inilah ayahmu! Apakah kau masih tidak percaya?” Lantas ia benturkan kepalanya ke tembok hingga tubuhnya terus roboh ke lantai.
Wanyen Kang kaget, ia putar tubuhnya, akan lihat ibunya itu, yang kepalanya mandi darah dan napasnya empas-empis. Saking tergugu, ia jadi berdiri menjublak.
Tiat Sim tubruk istrinya itu, yang ia terus peluk dan angkat untuk dibawa lari keluar dari rumah bobrok itu.
“Lepaskan!” teriak Wanyen Kang, yang kaget sekali. Tapi ia masih sadar, maka juga sambil berlompat dengan gerakan “Seekor belibis keluar dari rombongannya”, ia serang bebokongnya Yo Tiat Sim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar