Bab 21. Semua Berkumpul
Tiat
Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya ke belakang,
untuk menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak lantas kena terpegang. Ia
telah mainkan ilmu silat Keluarga Yo bagian jurus “Hui ma chio” atau “Membaliki
kuda”, ialah tipu istimewa yang hanya diketahui keluarganya yang mewariskan
ilmu silat itu. Sebenarnya habis itu, tanpa menanti musuh menarik pulang
tombaknya, tangan kanannya sudah mesti membarengi menyerang, akan tetapi
sekarang ia memeluki Pauw Sek Yok dengan tangan kanannya itu, tidak dapat ia
menyerang. Maka seraya memutar tubuh, ia membentak: “Ilmu silatku ini
diwariskan cuma kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu
tentulah gurumu tidak dapat mengajarakan kepadamu!”
Memang benar, walaupun Khu Cie Kee lihay, tapi ia
tidak dapat mengerti sedalam-dalamnya ilmu silat Keluarga Yo itu, jadi
kepandaian Wanyen Kang menggunai tombak itu belum sempurna, maka ditegur
begitu, pangeran itu menjadi tercengang. Dengan
begitu, mereka mencekal masing-masing satu ujungnya tombak itu. Inilah hebatnya
untuk tombak itu sendiri, yang gagangnya sudah tua. Tempo keduanya saling
membetot, gagang tombak itu patah sendirinya.
Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: “Kau telah
bertemu dengan ayahmu sendiri, kenapa kau masih tidak berlutut untuk memberi
hormat!”
Wanyen
Kang bersangsi, ia menjadi tidak berayal.
Yo
Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan bawa istrinya , ia telah tiba di
luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu, maka bersama-sama
mereka melompati tembok untuk menyeingkirkan diri.
Kwee
Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari keluar. Disaat ia
hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Ia
menjadi kaget sekali, cepat sekali ia mendak. Meski begitu, angin menyambar
lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan kebaret pisau. Itulah menandakan
lihaynya si penyerang. Selagi ia terkejut, ia dengar bentakan: “Anak tolol, aku
si orang tua sudah lama menantikanmu di sini!”
Itulah
suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!
Pada
itu waktu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw mengatakan ialah
muridnya Hek Homh Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong kata kepada cecu itu: “Kau
kalah!” Ia berbicara dengan terpaksa, karena hatinya cemas bukan main mendengar
suaranya Kwee Ceng, maka habis berkata, ia terus putar tubuhnya dan bertindak
ke pintu.
Cuma
dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah mengahdang di ambang pintu.
“Oleh
karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat mengganggu
padamu,” berkata orang she Pheng ini. “Hanya kau bilanglah, apa perlunya gurumu
menitah kau datang kemari?”
Oey
Yong tertawa. Dia menyenggapi: “Kau sendiri yang bilang, jikalau dalam sepuluh
jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan membiarkannya aku
berlalu dari sini. Kau adalah satu laki-laki sejati, kenapa sekarang kau
menyangkal?”
Pheng
Lian Houw gusar sekali. Ia menyahuti dengan membentak: “Jurusmu yang terakhir
adaƶah jurus “Tindakannya si binatang sakti”. Apakah itu bukannya pengajaran
dari Hek Hong Siang Sat?!”
Oey
Yong tertawa pula. “Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat,” dia kata.
“Laginya, dengan kepandaian semacam itu dari mereka, mereka mana tepat menjadi
guruku?”
“Percuma
kau menyangkal!” bilang Lian Houw.
“Nama
Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar,” Oey Yong bilang tanpa pedulikan
perkataan orang. “Apa yang aku tahu tentang mereka ialah mereka pengrusak
perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan.
Mereka pun telah mendurhaka terhadap guru dan kakek guru mereka, jadinya mereka
adalah orang-orang dari Rimba Persilatan? Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan
mereka itu?”
Mulanya
orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan tetapi mendengar
ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat, yang dikatakan Pheng Lian
Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling mengawasi, dari heran mereka jadi
mau mempercayai. Orang boleh berdusta hebat tetapi tidak nanti ada murid yang
berani mencela dan mencaci guru sendiri di hadapan orang banyak.
Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.
“Nona
kecil, hitunglah kau telah menang,” katanya. “Aku si Lao Pheng kagum sekali
untukmu! Sekarang aku memikir untuk meminta tanya namamu yang harum.”
Oey
Yong tertawa lagi. “Maafkan, aku dipanggil Yong-jie,” ia menyahut.
“Apakah
shemu?” Lian Houw menanya pula.
“Aku
tidak punya she,” sahut si nona, yang tersenyum.
Semua
orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah menjadi
pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah terluka parah,
hingga tidak dapat ia menggeraki tubuhnya, kelihatannya cuma Auwyang Kongcu
yang bisa menghalangi nona ini, maka itu, semua mata ditujukan kepada pemuda
she Auwyang ini.
Auwyang
Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. “Aku yang rendah dan
bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari nona,” ia berkata.
Oey
Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih. “Mereka itu –
ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih – adakah mereka orang-orangmu?”
dia menanya, menegaskan.
Auwyang
Kongcu tertawa. “Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?” tanyanya.
“Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya dari kecantikanmu.”
Oey
Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. “Di sini ada beberapa tua
bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak membantu aku?” dia tanya.
Auwyang
Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa hatinya
gatal dan tulang-tulangnya lemas……
Anak
muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia menjagoi seorang
diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka juga sejak beberapa tahun
dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat, untuk mencari nona-nona cantik dan
manis, untuk dia ambil mereka itu sebagai gundik-gundiknya. Adalah
diwaktu-waktu yang senggang, ia ajarkan mereka itu ilmu silat dan ilmu surat,
dari itu dengan sendirinya mereka itu menjadi juga murid-muridnya. Kali ini ia
berlalu dari kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota
raja – Yan-khia – dengan mengajak sekalian gundik-gundiknya yang merangkap
murid-muridnya itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria, dengan
semua dimestikan mengenakan pakaian serba putih seraya menunggang unta-unta
putih juga. Oleh karena gundik-gundiknya itu banyak,
dia pecah mereka dalam beberapa rombongan. Serombongan di antaranya, yang
berjumlah delapan orang, adalah mereka yang di tengah jalan bertemu dengan
Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka dengar itu Biauw Ciu Sie-seng bicara
perihal kuda jempolan, yang keringatnya merah, mereka jadi ketarik hati dan
ingin merampasnya untuk diserahkan kepada Auwyang Kongcu, guna mengambil
hatinya suami merangkap guru itu. Di luar sangkaan mereka, mereka gagal.
Auwyang Kongcu pun bangga akan gundik-gundiknya itu, yang ia percaya adalah
tercantik di kolong langit ini, - sekalipun di dalam keraton raja, belum tentu
ada tandingannya, - ia tidak nyana mereka itu kalah dari Oey Yong, hingga ia
menjadi tergila-gila sampai umpama kata kepalanya pening. Demikian hatinya
goncang kana mendengar suara orang yang merdu itu.
“Nah,
hendak aku pergi!” katanya si nona pula. “Kalau mereka itu menghalangi aku, kau
bantu aku, maukah kau?”
Auwyang
Kongcu tertawa. “Untuk aku membantu kau, itu pun dapat,” katanya. “Asal kau
angkat aku menjadi gurumu dan untuk selamanya kau mengikuti aku.”
Si
nona tertawa. “Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk
selama-lamanya aku mengikuti kau!” dia bilang.
“Murid-muridku
beda daripada murid-muridnya orang lain,” Auwyang Kongcu bilang. “Semua muridku
wanita dan asal sekali saja aku memanggil, semuanya bakal datang.”
Oey
Yong miringkan kepalanya. “Aku tidak percaya!” ujarnya.
Auwyang
Kongcu hendak membuktikan perkatannya, ia lantas mengasih dengar suaranya.
Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita muda dengan pakaian
serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang ada yang kurus dan montok,
tinggi dan kate. Dengan lantas mereka berdiri berkumpul di belakangnya anak
muda itu. Mereka ini berkumpul di luar selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru
mereka muncul setelah ada panggilan.
Pheng
Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu, mereka
jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.
Ketika
di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia ketahui
kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja permainkan Auwyang
Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya itu. Ia mengharap, selagi
orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan untuk meloloskan diri. tapi
Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah dapat menerka, maka juga ia terus
pergi ke ambang pintu, dengan perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di
bawah sinar merah dari api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia
kelihatannya tenang dan puas.
Mengetahui
akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. “Jikalau kau benar-benar lihay,”
ia bilang. “Memang tidak ada yang terlebih baik daripada aku mengangkat kau
menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku tak usahlah menerima penghinaan
orang.”
“Apakah
kau hendak mencobanya?” Auwyang Kongcu menegaskan.
“Benar!”
jawab si nona.
“Baiklah!”
berkata kongcu itu. “Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku tidak akan
balas menyerang.”
“Bagaimana?”
si nona menanya. “Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat mengalahkan aku?
Benarkah?”
Pemuda
itu tertawa. “Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?” katanya
kemudian.
Lian
Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar ceriwis.
Mereka pikir: “Nona ini lihay, walaupun dia lebih pandai sepuluh lipat, mana
bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas menyerang? Mungkinkah dia hendak
menggunai ilmu siluman?”
“Aku
tidak percaya yang kau benar-benar tidak bakal balas menyerang!” bilang Oey
Yong pula. “Hendak aku telingkung tanganmu ke belakang!”
“Baik,”
sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia serahkan
kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke belakangnya, bersedia
untuk dibelenggu.
Oey
Yong heran, yang orang benar-benar menyerahkan diri untuk dibelenggu, pada
wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum, tetapi hatinya
terkesiap. Ia pikir: “Terang sekali orang ini tidak bermaksud baik, maka
sungguh hebat jikalau aku sampai kena dibekuk dia….” Karena ini, ia menjadi
berpikir keras. Lekas ia mengambil putusan: “Biarlah, aku bekerka setindak demi
setindak….” Maka ia sambuti ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra
tetapi kuat, dengan itu ia terus ikat tangan orang.
“Bagaimana
sekarang – bagaimana kalah menangnya?” si nona tanya.
Auwyang
Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu dengan kaki kiri
menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki kanannya terus menggurat,
maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran. Lingkarannya sendiri dalam kira
setengah dim, suatu tanda dari kuatnya kaki kanannya itu. Lingkaran pun seluas
enam kaki. Hal ini membuat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum sekali.
“Siapa
yang keluar dari lingkaran ini, dia yang kalah,” berkata Auwyang Kongcu,
kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
“Jikalau
dua-duanya yang keluar?” Oey Yong masih menanya.
“Begitu
pun boleh dianggap aku yang kalah,” jawab Auwyang Kongcu.
“Jikalau
kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?” si nona menegaskan.
“Tentu
saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut aku. Semua
orang tua di sini menjadi saksinya!” kongcu itu memberi kepastian.
“Baik!”
kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia bukan cuma
bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya bekerja, tangan kiri
dengan jurus “Angin menyambar yanglui”, yang satu enteng, yang lain berat, yang
satu lemah, yang lain keras, tetapi menerjangnya berbareng.
Auwyang
Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja ia berkelit,
kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu yang terkejut
adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai sasaran, ia menginsyafi
keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay tenaga dalamnya, dia membilang tidak
akan membalas menyerang, dia buktikan perkataannya itu, akan tetapi ia gunai
kepandaiannya, meminjam tenaga untuk menyerang tenaga, maka begitu serangn Oey
Yong mengenakan padanya, segera ia merasakan pukulannya itu membal balik,
hingga ia lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis lingkaran itu.
Ia tentu saja tidak berani menyerang untuk kedua kalinya. Sebaliknya, dengan
kecerdikannya, ia kata: “Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak dapat keluar dari
lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang mengatakannya, kalau kita
berdua sama-sama keluar dari lingkaran, kau yang kalah!”
Auwyang
Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak tanpa bisa
bicara apa-apa!
Si
nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, keluar dari
lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat tindakannya itu.
Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi perubahan. Maka terlihatlah
gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu berkeliauan dan bajunya yang putih
berkibar-kibar, sebenatr saja ia sudah tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat
berupa benda besar yang melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke
samping, tindakannya pun dihentikan. Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah
sebuah kursi thaysu, di atasnya mana ada bercokol satu paderi dari Tibet yang
tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia duduk di
kursi tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk seperti terpaku di
kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama kursinya itu.
Oey
Yong hendak menegur di pederi itu tetapi ia telah di dahului Leng Siangjin,
yang dari dalam jubahnya mengasih keluar sepasang cecer tembaga, begitu kedua
tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan itu hingga menulikan kuping.
Ia masih heran tatkala di depan matanya berkelebat suatu sinar, lalu sepasang
cecer itu menyambar ke arahnya….sebuah di atas, sebuah lagi di bawah.
Dalam
keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak berlompat itu
lari menyingkir, sebaliknya, dengan menjejak dengan kedua kakinya, ia justru
mencelat ke depan, tangan kanannya diangsurkan, untuk menampa dasarnya cecer,
kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di bawah tubuhnya dipengkeratkan,
maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di antara kedua senjata rahasia itu.
Cuma, walaupun itu sudah lolos dari bahaya, karena ia berlompat maju, ia
menjadi mendekati si orang suci itu.
Kali
ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan “Tay ciu ini”
atau “Tapak tangan besar”, dia memukul ke arah tubuhnya si nona.
Oey
Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus, hingga ia
seperti hendak menyerbu ke rangkulannya lawannya itu. Orang menjadi kaget
hingga mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis, pastilah bakal
runtuh di tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja tulang-tulangnya bakal
patah, juga isi perutnya, bakalan remuk semua….
Bahaya
tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segra terdengar. Serangannya Leng
Tie Siangjin tepat mengenai sasarannya, ialah punggung si nona. Selagi orang kaget, si nona sendiri melayang terus
bagaikan layangan putus, sampai di luar gedung!
Dari
kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka lihat
tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab telapakan
tangannya pecah menjadi sepuluh liang kecil.
Dalam
kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: “Budak itu memakai Joan-wie-kah! Itulah
mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang Hay!”
See Thong Thian pun berseru: “Dia masih begini muda, kenapa dia
dapat memiliki Joan-wie-kah itu?”
Sementara
itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari keluar. Biar bagaimana
tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya tempo ia sampai di luar, di
antara gelap petang tidak dapat lagi ia melihat bayangannya si nona. Ia penasaran, maka sambil serukan sekalian gundiknya,
ia lari mencari. Di dalam hatinya ia menghibur diri. “Dia dapat lolos, mungkin
ia tidak terluka, maka maulah dia nanti merangkulnya….”
Hauw Thong Hay, ynag tidak tahu apa itu Joan-wie-kah,
menanyakan itu kepada kakak seperguruannya.
“Pernahkah
kau melihat landak?” Pheng Lian Houw mendahului menanya
“Tentu
pernah aku melihatnya!” sahut orang she Hauw itu.
“Di
dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas,” Lian Houw lantas memberi
keterangan. “Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam seperti golok dan
tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri landak. Maka siapa memukul
atau menendangnya, dia mesti menderita sebab tertusuk duri-duri landak itu.”
Hauw
Thong Hay mengulur lidahnya. “Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak
itu…” katanya.
Sembari
berbicara, Thong Hay dan Lian Houw sertia Thong Thian turut pergi mengejar,
untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung Couw Tek mengepalai
barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana pangeran itu menjdai kacar
dan gempar!
Di
pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan main, dia
lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau utara, asal ke
tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan hebat. Som Sian Lao
Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!
Kwee
Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap, dengan
begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian dia sampai di
satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu muncul di sana-sini,
bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di tanah. Dia heran yang di
pekarangannya istana ada tempat yang demikian. Dia menjadi terlebih kaget,
ketika dia merasakan sakit pada kakinya, yang tertusuk duri. Mendadak kakinya
menjadi lemas, terus tubuhnya terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih
sadar, dia lantas siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia
jatuh terbanting. Mungkin ia menerka, dia terjatuh ke dalam sebuah liang, yang
dalamnya beberapa tombak. Ketika akhirnya kakinya tiba di dasar liang, dia kena
injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin, hingga tidak ampun
lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas ia merayap bangun,
tangannya terus dipakai mereba-raba kepada benda itu. Untuk kagetnya, dia
dapatkan sebuah tengkorak manusia.
“Rupanya
ini adalah lubang peranti membuang mayatnya orang yang dibunuh di istana….” ia
menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas sana, dia dengar
teriakannya Nio Cu Ong: “Bocah, lekas naik!”
“Aku
tidak ada begitu gila mau naik untuk mengantar jiwa….” pikir bocah ini. Dia pun
rtidak sudi memberi penyahutan, hanya ia lantas meraba ke belakangnya, sembari
meraba dia sembari mundur. Ini pun ada penjagaan untuk lari terus andaikata Nio
Cu Ong berlompat turun. Di belakangnya, ia tidak dapat meraba apa juga.
“Biarpun
kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul padamu!” terdengar pula
suaranya Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus lompat turun.
Kwee
Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba sesuatu
apa, yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus. Kemudian ia putar
tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya dilonjorkan ke depan. Dalam
liang gelap yang gelap itu, dia tidak dapat melihat apa juga.
Liang
itu merupakan sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tembok, Nio Cu Ong
telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan kepandaiannya, dia
menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap, dia bahkan tidak dapat
melihat jeriji tangan di hadapannya, dia bertindak dengan enteng, supaya ia
tidak mengasih dengar suara apa-apa. Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.
Kwee
Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. “Terowongan ini mesti ada
ujungnya, di sana habislah jiwaku….” ia mengeluh. Ia tidak melihat siapa juga
tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul padanya. Ia menjadi semakin
takut.
Lagi
beberapa tombak, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di mana
terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Itulah sebuah kamar
atau ruang bertembok tanah.
Nio
Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. “Ha, bocah, ke mana
kau hendak kabur?!” dia berseru.
Justru
itu, dari pojok kiri terdengar ini suara dingin seram: “Siapa berbuat kurang
ajar di sini?!”
Kwee
Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di temapt demikian boleh ada
penghuninya.
Sekalipun
Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.
Kembali
terdengar suara seram dingin tadi: “Siapa ke dalam gua ini, dia mesti mati, dia
tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup?!”
Terang
suara itu adalah suaranya seorang wanita, hanya kali ini suara itu disusul sama
napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang sedang sakit.
“Aku
datang kemari tidak sengaja,” berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti orang itu.
“Aku lagi dikejar-kejar orang….” Sebagai seorang polos, tidak dapat ia berdiam
saja atau mendusta.
Baru
Kwee Ceng berhenti bicara, atau ia telah dengar sambaran angin. tahulah ia, Nio
Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan. Ia lantas saja
berkelit.
Nio
Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.
Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia
berkelit ke kiri dan kanan.
“Siapa yang berani datang kemari menangkap
orang?!” terdengar pula suara wanita tadi.
Nio
Cu Ong tidak takut, ia bahka bergusar. “Apakah kau hendak menyamar menjadi
iblis untuk menakut-nakuti aku?!” dia menegur.
Wanita
itu tidak menyahuti, ia hanya kepada Kwee Ceng: “Eh, anak muda, mari kau
sembunyi padaku di sini!” Ia rupanya dapat menduga dari suara orang. Ia
mengucap demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.
Kwee
Ceng sedang bingung, di dalam keadaan seperti ini, tidak dapat lagi ia
bersangsi sedikit juga, maka ia lantas berlompat ke arah darimana suara itu
datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya disambar dan
dicekal tangan lain orang yang dingin enyam, besar tenaga orang itu, tubuhnya segera
tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah dipan tempat duduk bersemadhi.
Wanita
itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong: “Barusan seranganmu,
yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau ada satu jago Rimba
Persilatan dari Kwan-gwa?”
Nio
Cu Ong heran bukan buatan. “Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia sebaliknya
segera mengenali asal-usulnya ilmu silatku?” ia berpikir. “Dia lihay sekali!
Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?” Ia menjadi tidak mau berlaku
semberono, ia lantas menyahuti: “Aku adalah seoarng saudagar jinsom dari
Kwantong, she Nio. Bocah ini telah curi barangku, tidak dapat tidak, aku mesti
tangkap dia. Aku minta sukalah nyonya tidak menghalangi aku…”
“Oh,
kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!” berkata wanita itu. “Kalau lain orang,
yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia sudah tidak dapat
diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua sebuah partai! Apakah benar
kau tidak kenal aturan kaum Rimba Persilatan?!”
Som
Sian Lao Koay terperanjat. “Nyonya yang terhormat,
aku mohon tanya shemu yang mulia,” ia meminta.
“Aku….aku….”
sahut si wanita itu.
Kwee
Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya wanita itu
bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi kendor. Ia pun mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya
itu sangat menderita.
“Apakah
kau sakit?” ia tanya perlahan.
Nio
Cu Ong dapat mendengar suaranya kwee ceng itu, ia menjadi bergusar pula. Ia
sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si nyonya itu, yang
ia duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas ia ulur kedua tangannya,
untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja melanggar bajunya Kwee Ceng lalu
mendadak ia merasakan tangannya terbentur tenaga yang besar, hingga ia
terkejut, walaupun begitu, ia segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!
“Pergi!”
membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di bebokongnya Som
Sian Loa Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur tangguh ilmu dalamnya,
ia tidak sampai mendapat luka di dalam. Ia hanya heran atas kesebatan wanita
itu.
“He,
bangsat perempuan, mari maju!” ia berseru saking murkanya.
Wanita
itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.
Sekarang
Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, karena ini, ia menjadi
lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampirkan wanita itu. Disaat ia
hendak berlompat, untuk menerjang, tiba-tiba ia mendengar suara angin, lalu
sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya. Ia menjadi kaget sekali, tetapi ia
tidak mau kasih dirinya diserang demikian, sambil lompat mencelat, kakinya
terus menendang ke arah wanita itu!
Tendangan
orang she Nio ini ada sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa, ia kenamaan
duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat ia kaget tidak terkira.
Belum lagi tendangannya itu mengenai sasaran atau jalan darahnya kongsun-hiat,
tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah itu ada di batas mata kaki, biasanya
siapa kena tertotok, ia mesti lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun tubuhnya
untuk berjumpalitan, sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam hatinya ia
berkata: “Wanita ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan darah,
mungkinkah dia itu siluman?”
Juga
sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah dikerahkan sepenuhnya
kepada tangannya itu. Ia pun menduga orang lagi sakit, kalu serangannya
mengenai sasarannya, pastilah itu tidak bakal gagal.
Tiba-tiba
terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur panjang, ujung
kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia menangkis dengan tangan
kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi untuk kagetnya, ia rasakan
tangan lawan dingin sekali, bagaikan es, bukan seperti daging. Tidak ayal lagi,
ia buang dirinya ke tanah, untuk bergulingan pergi, bahkan dengan merayap,
terus ia keluar dari terowongan itu, hingga diluarnya dapatlah ia bernapas
lega.
“Sudah
beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini,”
pikirnya. “Benarkah di dalam dunia ini ada iblis? Ah, mungkin ongya ketahui
rahasia ini…” Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.
Kwee
Ceng dapat dengar sauara orang berlari pergi, hatinya jadi lega, dengan
kegirangan dan bersyukur, lantas ia berlulut di depan wanita itu untuk
mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: “Teecu mengucap banyak-banyak terima
kasih untuk pertolongan cianpwee.”
Wanita
itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah menggunakan
tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.
“Kenapa
Lao Koay hendak membunuh kau?” ia tanya selang seaat, setelah napasnya tidak terlalu
memburu lagi.
“Ong
Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang ke istana
ini…” Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia berpikir: “Wanita
ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya Wanyen Lieh?”
“Oh…!”
berseru si wanita. “Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku dengar kabar
ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan….”
“Apakah
cianpwee terluka?” menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak memperdulikan
perkataan orang. “Teecu ada punya empat macam obat yaitu thian-cit, hiat-kat,
him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak membutuhkan sebanyak itu. Kalau
cianpwee….”
“Mana
aku terluka!” memotong si wanita, agaknya ia gusar. “Siapa yang menghendaki
kebaikanmu itu!”
“Ya,
ya,” sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti membilang
apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apabila ia dengar suara napas
empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula: “Jikalau cianpwee tidak merdeka
untuk jalan, mari boanpwee menggendong buat pergi keluar…”
“Siapakah
ynag tua?!” wanita itu membentak. “Bocah tolol, cara bagaimana kau ketahui aku
sudah tua?”
“Ya,ya,”
sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus bungkam. Ia telah
lantas pikir, untuk meninggalkan pergi kepada wanita ini tetapi ia tidak tega
hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: “Kau menghendaki barang apa? Nanti aku
pergi mengambilkannya….”
“Ah,
kau benar baik….” kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia ulur tangan
kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.
Kwee
Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena ditarik hingga
ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah lehernya terasa dingin
dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita sudah merangkulnya.
“Gendong
aku pergi!” berseru si wanita itu, keren.
“Memang
aku pun hendak menggendong kau,” kata Kwee Ceng dalam hatinya. Ia lantas
menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.
“Adalah
aku yang memaksa kau menggendong aku keluar dari sini,” kata si wanita. “Tidak
dapat aku dijual orang…”
Mendengar
ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang tidak sudi menerima
budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan, ialah liang yang tadi. Ia
mengangkat kepalanya, akan melihat bintang-bintang di langit, habis itu ia
mencoba menggunai kedua tangannya, akan merayap naik. Dalam hal kepandaian ini,
ia telah berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu
cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.
Tidak
lama keluarlah mereka dari gua itu.
“Siapa
yang ajari kau ilmu ringan tubuh?!” si wanita tanya. “Lekas bicara!” Ia
memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar bernapas.
Saking
kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan cekikan. Ia
tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi semakin keras. Hanya
sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor sendirinya.
“Ha,
kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati,” seru wanita itu. “Kau bilang
barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang itu?”
Sebelum
menjawab, Kwee Ceng berpikir: “Kau telah tolongi padaku, segala apa kau boleh
tanyakan, tidak nanti aku mendusta. Kenapa kau berlaku begini kasar?” Tapi ia
toh menjawab: “Ong Totiang itu bernama Ong Cie It, orang dipanggil Giok Yang
Cu.”
Tiba-tiba
wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. “Jadinya kau adalah
muridnya Coan Cin Pay!” katanya. “Ong Cie It itu kau punya pernah apa? Kenapa
kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?”
Suhu
dan susiok ialah guru dan paman guru.
“Teecu
bukan murid Coan Cin Kauw,” Kwee Ceng berkata. “Adalah Tan Yan Cu Ma Giok,
yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan napas dan
bersemadhi.”
“Habis,
siapakah gurumu itu?!” si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.
“Guru
teecu semuanya ada tujuh orang,” sahut Kwee Ceng. “Merekalah yang disebut
Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui
Thian Pian-hok, seorang she Kwa.”
Wanita itu batuk-batuk beberapa kali,
agaknya susah ia berbicara. “Dialah Kwa Tin Ok!” katanya kemudian.
“Benar,” Kwee Ceng mengangguk.
“Apakah kau datang dari Mongolia?” tanya wanita itu
lagi.
“Benar,” sahut Kwee Ceng pula, yang heran sekali.
“Kenapa wanita ini ketahui aku datang dari Mongolia?” ia pikir.
“Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak?!” masih wanita
itu bertanya.
“Bukan,
teecu she Kwee,” menjawab si anak muda.
Wanita
itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik keluar serupa
barang, yang ia letaki di tanah. Itulah sebuah hungkusan, entah dari cita atau
kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di dalamnya tertampak barang yang
berkilauan. Itulah sebuah pisau belati, melihat mana, Kwee Ceng rasanya kenal.
Ia menjemput untuk dilihat teliti. Di gagangnya ia dapatkan dua hruf ukiran,
bunyinya : “Yo Kang”. Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan
Hian Hong si Mayat Perunggu.
Selagi
si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. “Kau kenal pisau
belati ini, bukan?!” dia tanya.
“Benar,”
menjawab Kwee Ceng. “Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini membunuh seorang
jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau ini….”
Belum
habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus di cekik. Ia kaget,
ia berontak, sebelah tangannya menyerangi si wanita. Tapi tangan itu sudah
lantas kena ditangkap!
Segera
si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. “Kau lihat, aku
ini siapa?!” ia tanya dengan bentakannya.
Diwaktu
malam seperti itu, seram suaranya.
Matanya
Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si wanita yang
rambutnya yang panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti kertas. Ia lantas
mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi, salah satu dari Hek Hong
Siang Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas berontak pula tetapi sia-sia
saja, tangannya telah dicekal keras, kuku orang sudah masuk ke dalam dagingnya…
Ketika
malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam Cit Koay dengan
Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati kepada Thi A Seng,
sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota tubuh kematiannya. Bwee Tiauw
Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia masih bisa bawa lari mayat suaminya
itu, ia lolos justru ketika itu turun hujan lebat. Sekarang denagn tiba-tiba
Kwee Ceng mengantarkan jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah
belasan tahun ia cari pembunuh suaminya denagn sia-sia. Segera ia menjadi
girang bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.
“Dulu
aku adalah satu nona yang lincah, setiap hari aku memain saja, aku dikasihi
oleh ayah dan ibuku,” demikian ia melamun, sedang tangannya terus memegang keras
si anak muda, “Baru kemudian,s esudah kedua orang tuaku menutup mata, orang
perhina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su, aku ditolongi dan dibawa ke pulau
Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu silat. Sekejap kemudian, seorang pemuda
yang matanya besar terbayang dihadapanku. Dialah Tan Hian Tong, kakak
seperguruanku. Sama-sama kita belajar ilmu silat, sampai hati kita coco satu
sama lain. Demikian pada suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho,
mendadak ia rangkul aku…”
Wajahnya
si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun dengar napas orang
memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.
Tiauw
Hong lantas melamun pula. Ia ingat sebab takut digusari guru mereka, mereka
buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Itu waktu Tan Hian Hong telah
memberitahukan bahwa ia telah mencuri sebagian kitab “Kiu Im Cie Keng”. Setelah
itu, mereka sembunyikan diri di gunung, untuk menyakinkan ilmu seperti
pengajaran kitab istimewa itu, hingga setelah pandai, mereka berkelana dan
menjagoi dunia kangouw. Banyak orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui
Thian Sin-liong Kwa Pek Sia telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka
bikin buta matanya.
Bwee
Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya itu: “Eh,
perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat curi sebagian saja,
bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan pelajaran tenaga dalam. Dengan
begitu, pelajaran kita jadi kepalang tanggung. Bagaimana sekarang?”
Atas
itu, ia ingat, ia menjawab dengan balik menanya: “Apa daya?”
“Kita
kembali ke Tho Hoa TO, kita curi pula yang sebagian itu!”
Ia
tidak berani pergi. Biar kepandaian merka sepuluh lipat lebh lihay, mereka
masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka. Hian Hong pun
jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya juga. Dia bilang pada
istrinya: “Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa tandingan di kolonng langit
ini, atau kau menjadi janda, perempuan busuk!” Ia tidak sudi menjadi janda,
maka kejadianlah mereka berdua berlaku nekad.
“Kami
tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar kegusarannya
itu,” Tiauw Hong melamun lebih jauh. “Dalam murkanya suhu telah putuskan
ototnya semua muridnya, yang terus ia usir, hingga selanjutnya dipulaunya itu
guru hidup berdua saja dengan istrinya serta beberapa budak pelayan. Ketika
kami tiba di pulau, kami menemukan berbagai peristiwa yang luar biasa. Kiranya
musuhnya suhu telah datang ke pulau untuk mengadu kepandaian. Pertandingan itu
itu membuatnya kami kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik aku kata kepada
suamiku, “Eh, lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas pergi!” Tapinya
suamiku menampik. Kami telah menyaksikan suhu telah dapat membekuk musuhnya,
kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi siapa aku tidak
dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang aku lihat adalah
meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi bersedih. Ditepi meja
abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di kursi, dia mengawasi aku sambil
tertawa. Bocha ini mirip dengan subo. Pastilah dia anaknya suboku itu. Aku
pikir, mungkinkah subo meninggal sehabis melahirkan yang sulit? Karena ini aku
pikir untuk tidak melahirkan anak juga! Selagi aku berpikir begitu, suhu telah
dapat dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja abu itu. Aku kaget hingga
lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku dengar bocah itu berseru,
‘Ayah, empo!’ Dia tertawa manis, dia pentang kedua tangannya dengan apa ia
tubruk ayahnya. Bocha itu menolong kami. Suhu khawatir dia jatuh, ia menyambuti
anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik tanganku,
untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut telah muncrat
memasuki perahu kami, hatiku memukul terus, seperti mau lompat keluar.”
Ketika
itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun mengasih
dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw Hong dapat dengar
itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang peristiwa dulu-dulu itu,
yang merupakan pengalamannya.
Demikian
ia berkata terus dalam hatinya: “Menyaksikan pertempuran dahsyat dari suhu,
barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, ‘Bukan cuma kepandaian suhu belum
dapat kita pelajari sebagian saja, juga kepandaian lawannya itu kita berdua
tidak dapat melawannya!’ Maka itu kami lantas meninggalkan wilayah Tionggoan,
kami menyingkir jauh sekali sampai di gurun pasir di Mongolia. Suamiku itu
berkhawatir kitabnya nanti ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak kasih lihat.
Aku juga tidak tahu dimana ia menyembunyikannya. Maka aku kata kapadanya,
‘Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!’ Dia jawab aku, ‘Eh,
perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jikalau kau lihat ini,
kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti ilmu dalam, tubuhmu bisa
rusak.’ Aku jawab, ‘Baiklah! Jangan kau terus mengaco-belo!’ Tapi ia
mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeramnan
Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di
atas gunung itu. Kanglam Cit Koay telah mengepung aku. ‘Mataku! Mataku!’ Ya,
aku merasakan sangat sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos
semangatku, aku lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta!
Suamiku pun binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan
mata adiknya dibikin buta.”
Mengingat
itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin keras dan
giginya pun bercatrukan.
“Matilah
aku kali ini…” kata Kwee Ceng di dalam hatinya. “Entah dia bakal gunai cara
kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa….” Karenanya, ia lantas
berkata: “Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup pula! Aku hendak minta suatu
apa padamu, harap kau suka meluluskannya.”
“Kau
hendak minta sesuatu dari aku?” Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.
“Ya,”
jawab Kwee Ceng. “Di tubuhku ada beberapa rupa obat, aku minta kau tolong
serahkan itu pada Onng Totiang yang sekarang ini lagi mondok di penginapan Ang
Ie, di luar kota barat.”
“Seumurku
aku tidak pernah melakukan kebaikan!” Tiauw Hong membilang.
Dia
tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan berapa banyak
jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di atas gunung itu, ia
masih ingat jelas sekali. Sekonyong-konyong matanya menjadi gelap, ia tidak
dapat melihat sinar bintang lagi.
“Suamiku
berkata,” dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, “’Aku tidak bakal
ketolongan lagi…rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku….’ Itulah kata-katanya
yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di tuang-tuang. Lalu Kanglam Cit
Koay perhebat serangannya atas diriku. bebokongku telah kena tertinju.
Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya, dia membikin aku merasa sakit sampai di
tulang-tulangku. Aku pondong tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak
dapat melihat musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah
aneh! Hujan turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu
tidak dapat melihat aku. Aku berlalri-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki
bangsat mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku pun
turut menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku bergemetar, dinginnya luar
biasa. ‘Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah mati?’ Aku bertanya. ‘Kau
yang begini lihay, kau mati tidak karuan?’ aku cabut pisau belati dari pusarnya,
darah lantas muncrat keluar. Sebenarnya apakah yang heran? Orang dibunuh,
darahnya pasti mengalir keluar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah
aku bunuh…. Sudahlah, aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya,
tanpa ada orang yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar! Lantas
aku bawa ujung belati ke mulutku, dibawah lidah. Itulah temapt kematianku.
Tiba-tiba aku kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu. Aku
lantas meraba-raba. Itulah dua huruf ‘Yo Kang’. Ah, kiranya pembunuh si lelaki
bangsat itu bernama Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut balas? Sebelum
membinasakan Yo Kang itu, mana boleh aku mati? Maka itu aku meraba ke dadanya
si lelaki bangsat, akan cari rahasianya kitab Kiu Im Cie Keng itu. Sia-sia aku
mencari, aku tidak mendapatkannya. Aku penasaran! Aku lalu mencari di rambut
kepalanya, terus ke bawah. Tidak ada bagian anggotanya yang aku bikin
kelompatan. Tempo aku meraba pula dadanya, di situ aku merasakan kulit
dagingnya yang rada luar biasa.”
Bwee
Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari tenggorokannya.
Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.
Bwee
Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar telah
membasahkan seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan panas sekali.
Dia merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia selalu panggil dengan
sebutan ‘lelaki bangsat’, sebagaimana dia sendiri dipanggil ‘perempuan bangsat’
oleh suaminya itu. Nyata dada itu dicacah dengan jarum, merupakan huruf-huruf
dan peta. Itu dia rahasianya Kiu Im Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya
dicuri orang, dia cacah tubuhnya sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya itu.
“Memang,”
demikian dia ngelamun pula, “Suhu yang demikian lihay, kitabnya masih kena kita
curi. Maka siapa berani tanggung yang kitab kami pun tak ada yang bakal
mencurinya? Maka ia kata pada waktu itu, ‘Bagus betul
pikiranmu ini. Ini artinya, selama orangnya masih hidup, kitabnya pun ada,
setelah orangnya mati, kitabnya lenyap bersama.’ Aku lantas gunai pisau belati
mengiris kulit dadanya si lelaki bangsat. Ah, hendak aku memberi obat kepada
kulit itu, supaya tidak menjadi nawoh dan rusak, ingin aku membawa-bawanya di
tubuhku. ‘Aku ingin kau selalu mendampingi aku…’ Ketika itu aku tidak bersedih
lagi sebaliknya aku tertawa terbahak-bahak. Dengan kedua tanganku, aku lantas
menggali sebuah liang besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. ‘Kau ajarkan
aku cengkaraman Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku
menggalikan kau liang kubur. Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua, aku
khawatir Kanglam Cit Koay dapat mencari aku. Sekarang ini aku bukannya
tandingan mereka, maka tunggulah aku selesai dengan pelajaranku. Hm! itu waktu
akan aku jambret setiap batok kepala, setiap hati manusia! Aku akan belajar,
tidak peduli aku bisa terluka di dalam atau tidak. Peduli apa! Berselang dua
hari, selagi perutku lapar, aku dengar suara pasukan tentara lewat di depan
guaku. Mereka itu bicara dengan bahasa Nuchen dari negara Kim, aku lantas keluar
dari tempat sembunyiku, aku minta barang makanan. Pangeran yang memimpin
pasukan itu mengasihani aku, dia suka menolong, malah ia terus ajak aku ke
istananya si Tiongtouw. Belakangan aku mendapat tahu, pangeran itu adalah
Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari raja Kim. Aku bekerja di taman
belakang, bekerja menyapui rumput, di situ secara diam-diam aku menyakinkan
ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa ada yang mengetahui
perbuatanku itu. Semua orang menganggap akulah seorang wanita tua yang buta
yang harus dikasihani.”
“Kemudian
pada suatu tengah malam…. Ah! Pangeran cilik yang nakal itu telah datang ke
taman belakang, untuk mencari telur burung, dia telah mempergoki aku lagi
menyakinkan cambuk perak.
Ia
lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran padanya.
Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah dapat belajar dengan
baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku jadi gembira, maka aku terus
mengajari dia. Aku hendak mengajari dia segala macam kepandaian asal dia suka
bersumpah tidak membuka rahasia kepada siapa juga, tidak kecuali kepada ongya
dan onghui. Aku mengancam, asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok
kepalanya!”
“Lewat
beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku, bahwa ongya
hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku diajak, agar aku
bisa bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima baik permintaan itu. Dia
sangat menyayangi pangeran kecil itu, yang segala keinginannya senantiasa
dipenuhi. Oh, disana tidak dapat aku mencari tulang-tulangnya si lelaki
bangsat. Lantas aku hendak mencari Kanglam Cit Koay. Sungguh aku sangat
beruntung, di sana aku dapatkan tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku
tidak bisa melihat, cara bagaimana aku bisa melawan mereka? Di antara mereka,
yang lihay tenaga dalamnya adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka
mulutnya, walaupun ia tidak berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di
tempat jauh. Perjalananku ke Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat mendesak
kepada Ma Giok, hingga ia secara sembarangan mengajari aku sepatah kata
rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya ke istana, aku berdiam di dalam terowongan
dalam tanah, di mana aku menyakinkan kepandaianku. Tidak dapat ilmu dalam itu
dipeljarakan tanpa petunjuk, aku mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya,
separuh tubuhku ini tidak dapat digeraki. Aku melarang si pangeran cilik datang
padaku. Ia tidak ketahui yang pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini
tidak menerobos masuk ke dalam terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di
dalam situ. Hm, rupanya dari si lelaki bangsat yang memimpin bocah itu datang
padaku, supaya ia menolongi aku, supaya kemudian aku bunuh si bocah untuk
menuntu balas untuknya!”
Saking
senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia tertawa
haha tercampur hmhm, tertawa dingin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar