BAB
53
Gochin |
Tuli |
Kwee
Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda
dari keaadan berbahaya dari mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri
tidak bisa lekas-lekas keluar, untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan
waktu untuk memperkuat hawa di pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan?
Budi guru-gurunya itu sama dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia
menahan napas, ia meluncurkan sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu,
hingga pintu itu gempur.
Oey
Yonng kaget bukan main.
“Engko Ceng, jangan!” ia mencegah. Ia tahu kawan itu
mesti beristirahat.
Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah
hawa naik ke atas, ke jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik
pulang hawanya itu kembali ke pusar.
Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan
terbuka.
Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula
mereka lantas melihat muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat
mundur menghentikan pertempuran mereka.
Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak
matanya.
“Anak Yong, benarkah kau?” ia menanya. ia hampir tak
mempercayai matanya sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi.
Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee
Ceng, mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab
ayahnya itu.
Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas
mengerti. Untuknya, diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati
tetapi hidup pula. Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti
jiwanya sendiri. Ia lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus
menghampirkan Kwee Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk
mencekal tangan anak muda itu.
Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas
bergolak, sangat sukar ia melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau
berlompatan. Tapi, begitu lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas
hawa panasnya berkurang, dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey
Yok Su pun menguruti sekejur tubuhnya pemuda itu.
Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng
dapat menenangi diri betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar
dari bahaya, bahkan ia sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi
bertambah kuat. Maka itu, ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho
Hoa To itu, akan kemudian ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi
hormatnya kepada muridnya.
Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya,
menuturkan segala hal semenjak mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang
omong dengan putrinya, tangan siapa ia tuntun. Mereka gembira sekali,
saban-saban mereka tertawa gila.
Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik
hati. Mereka pun ketarik denagn suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam
mereka bertindak mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang
terus berbicara dengan ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan.
Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok
Koay, nona itu berkata sambil tertawa: “Sudahlah, tak usah aku bercerita
terus!”
Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: “Aku hendak
membinasakan empat orang, ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin
dan Yo Kang, maka anak yang baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian
itu!”
Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah,
tetapi dasar angkuh, ia terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk
menghibur diri, ia kata: “Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk
hingga aku tidak sampai mencelakai orang baik-baik!”
“Ayah,” kata Oey Yong tertawa, “Baiklah kau minta maaf
kepada beberapa suhu ini…”
“Hm,” jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. “Aku
hendak mencari See Tok, eh, anak Ceng, kau turut atau tidak?”
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat.
Kata anak ini, “Ayah, baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!”
Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus
bercerita terus sampai Oey Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey
Yong serta Ang Cit Kong mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta
keputusan guru-gurunya itu.
Kwa Tin Ok menjadi sangat girang.
“Kau sungguh beruntung!” katanya. “Dengan kau mendapati
Kiu Cie Sin Kay sebagai guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami
girang bukan kepalang! Masa dapat kami tidak memberikan perkenan kami? Cumalah
halnya Kha Khan dari Mongolia?”
Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan,
bahwa halnya murid ini adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas
membuka mulutnya. Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada
yang pentang dan Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang
monyet-monyetan dari kertas. Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil
tertawa: “Adik, apakah semangkamu telah habis dimakan? Seorang tua telah
menyuruhnya aku menyerahkan kunyuk-kunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main…”
Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia
menyambuti kena kerta itu acuh tak acuh.
Sa Kouw berkata pula: “Orang tua itu, yang rambutnya
ubanan, memesan juga supaya kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi
kau mencari gurumu.”
Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong,
maka ia lantas meneliti kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya,
maka ia lantas membukanya, hingga ia dapat membaca: “Si pengemis tua tak dapat
ditemukan, karenanya Loo Boan Tong menjadi tidak gembira.”
Si nona menjadi heran dan kaget.
“Ah, kenapa suhu lenyap?” serunya.
Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: “Loo Boan Tong
edan-edanan tetapi ia lihay sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia
dapat menolonginya. Hanya sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan
besar…”
“Bagaimana,
ayah?” Oey Yong menanya terkejut.
“Tongkatnya
si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh Yo Kang si
binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi lihay
otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu terbinasa di
tangannya? Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu, pastilah dia
bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay Pang. Mari
kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau tidak, pasti
celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan itu!”
Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala.
“Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin di sukar
dicandak,” kata Kwee Ceng.
“Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul,” kata
Po Kie.
Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi
girang sekali, lantas ia lari keluar seraya bersiul.
Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari
menghampirkan, dia mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak
hentinya.
Menampak demikian Oey Yok Su berkata: “Anak Yong,
pergilah kau bersama Kwee Ceng untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil
itu keras larinya, mungkin kamu dapat menyandak.”
Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di
samping mereka, nona itu tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan
gerak-gerik orang, ia ingat itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong.
“Apakah kau she Kiok?” ia tanya nona itu.
Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu.
“Aku tidak tahu,” sahutnya.
“Ayah, mari kau lihat!” berkata Oey Yong, mengajak
ayahnya, yang ia tuntun ke dalam kamar rahasia.
Begitu
melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah pengaturan
seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh Kiok Leng
Hong, muridnya itu.
“Ayah,
coba lihat benda di dalam peti besi itu,” Oey Yong berkata pula.
Oey
Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil
tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke
temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah
lubang. Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan
diri, lalu dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia
menarik keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya
sudah menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar.
Oey
Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas yang
penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya tidak
karuan macam, bunyinya:
“Surat
ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari istana
kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar lainnya,
yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali, selama
di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan
seorang anak perempuan…….”
Sampai
habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik yang
terang adalah titik-titik darah.
Melihat
surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka
murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya
itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong,
salah satu murid yang tetap setia itu.
Oey
Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka
setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan
gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia
menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung
pahlawan-pahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal,
maka sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi.
Sa
Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa haha-hhihi.
“Apakah
ilmu silatmu diajari ayahmu?” Oey Yok Su menegur si nona, suaranya bengis.
Sa
Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia
tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai
pula, lalu kembali ia bersilat lagi.
“Ayah,”
berkata Oey Yong, “Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok Suko.”
Ayah
itu mengangguk.
“Ya,”
katanya, “Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar
berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang… Eh, anak Yong, coba kau
serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!”
Kata-kata
yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak.
Oey
Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw, sembari
tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, “Sa Kouw, mari aku berlatih
bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!” Ia lantas menggerak dengan tangan
kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan degan sebat sekali.
Sa
Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena
ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah
ditunggu, begitu ia digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan
segera.
“Kau menggunai akal!” serunya. “Adik kecil, mari kita
mulai lagi!”
“Hus!”
membentak Oey Yok Su. “Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!”
“Kouw-kouw!”
Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya “adik kecil” dengan
“kouw-kouw” atau bibi.
Baru
sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari si
tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat
seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut,
mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya.
Dengan
terus menyebut “kouw-kouw” itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si nona
sebagai muridnya.
“Kenapa kau tolol?” ia tanya pula.
“Aku ialah Sa Kouw,” sahut si nona tertawa. “Tolol” ialah
“Sa”
“Mana ibumu?” tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut.
Nona itu meringis, “Ia sudah pulang…” sahutnya.
Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona
tidak karuan, maka ia menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol
semenjak dilahirkan atau karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali
Leng Hong hidup pula, tidak nanti ada lai orang yang mengetahui sebab-musabab
itu.
Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi
mayatnya Tiauw Hong.
“Anak Yong,” katanya selang sesaat, “Mari kita lihat
barang-barang Kiok Sukomu itu.”
Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke
dalam kamar rahasia.
Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su
berdiri mendelong, kemudian air matanya mengucur turun.
“Anak Yong,” katanya. “Diantara semua muridku, Leng Hong
yang paling pandai, maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak
nanti sanggup menawan dia!”
“Itulah wajar!” sahut putri itu. “Ayah, apakah kau mau
menerima Sa Kouw sebagai muridmu?”
“Ya,” ayahnya itu menyahut. “Aku akan ajarkan dia ilmu
silat, bersyair dan -menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu
sukomu niat pelajarkan, tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada
anaknya ini!”
Oey Yong mengulur lidahnya.
“Hebat penderitaan ayah,” pikirnya.
Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah
gambar, ia menhela napas.
“Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah
dilukisannya,” katanya, “Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan
kepada bangsa Kim….”
Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su
berseru, “Ih!”
“Ada apa ayah?” tanya Oey Yong.
“Kau lihat!” sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada
sebuah gambar san-sui, lukisan pemandangan alam, gunung dan air.
Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi
dengan puncak lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana
ada jurang yang berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang
penuh salju, yang semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin
Utara yang hebat, di puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon
cemara yang berdiri tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada
dilukisan seorang jenderal perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal
itu tak nampak jelas, tetapi dandannnya membuat siapa yang melihat, mesti
menaruh hormat. Seluruh gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini,
yang merah merong, hingga kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada
tanda-tanda pelukisnya, cuma ada syairnya seperti berikut:
“Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan
tanah,
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie,
Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup.
Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang.”
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie,
Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup.
Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang.”
Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari
yang lalu, di paseban Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat
syair itu yang ada tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor.
“Ayah,” katanya, “Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong,
sedang syairnya ialah buah kalamnya Gak Bu Bok.”
“Benar,” berkata ayahnya itu, “Gak Bu Bok menulis
syairnya ini melukiskan gunung Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang
dilukisan begini berbahaya keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri.
Latar belakang lukisan ini bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis
jempolan.”
Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat
ketarik sama syairnya yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu
dengan jeriji tangannya, dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya.
Maka itu ia kata kepada ayahnya: “Adaa baikkah gambar ini diberikan kepada
menantumu!”
Oey Yok Su tertawa dan berkata: “Memang anak perempuan
berpihak ke luar, maka itu, apa aku hendak bilang lagi?” Ia pun memilih
serenceng mutiara seraya berkata pula: “Mutiara yang dulu hari si Bisa
bangkotan seragkan kepadamu, aku telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar
pulang kepadanya, maka itu sekarang kau ambillah ini.”
Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia
mengangguk, ia menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia
sedang berbuat begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih
berbunyi keras beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia
sebenarnya sangat menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah
diambil oleh putri Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh
lari keluar, masih ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat
Kwee Ceng berada di bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk
bajunya di pundak dan menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari
seraya ia berbunyi tak hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutarai
Kwee Ceng, ia bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa dan bersorak.
“Yong-jie, mereka mendapat susah!” kata Kwee Ceng melihat
si nona muncul. “Mari kita pergi menolongi!”
“Siapa mereka?” Oey Yong menanya.
“Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!”
Nona itu memonyongkan mulutnya.
“Aku tidak mau pergi!” katanya.
Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia
berkata pula: “Ah, Yong-jie, jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!”
Habis berkata, ia menarik kudanya, ia lompat naik ke punggungnya.
“Habis, kau menghendaki aku atau tidak?” Oey Yong tanya.
Pemuda itu menjadi bingung.
“Kenapa aku tidak menghendaki kau?” ia balik menanya.
Dengan tangan kiri ia menahan kudanya, tangan kanannya diansurkan untuk
menyambuti si nona.
Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya,
sambil berkata nyaring: “Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama
keenam suhu baik turut juga!” Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya,
dengan begitu tubuhnya mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan
menyambuti tangan kanan Kwee Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas
melayang naik ke atas kuda hingga ia duduk di sebelah depan!
Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya,
setelah mana, ia melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabaur. Kedua burung
rajawali pun terus terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah
depan, untuk menunjuki jalan.
Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama
majikannya, dia lari keras dengan gembira, kalau burung bukannya burung
rajawali, mungkin keduanya ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke
sebuah rimba lebat di sebalah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti,
tanpa titah majikannya, ia lari terus ke arah rimba itu.
Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia
mendengar suara nyaring bagaikan cecer pecah, katanya: “Saudara Cian Jin, telah
lama aku mendengar Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengangguminya, maka
itu sekarang baiklah aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini
mengambil nyawa yang satu ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu
yang lihay itu terhadap yang lainnya. Setujukah kau, saudara?”
Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti
jeritan yang h menyayatkan hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian
atasnya, lalu jatuh roboh.
Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke
dalam rimba.
Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda
merah seraya berkata: “Pergi lekas menyambuti ayahku!” Kemudian ia menunjuk ke
jalan dari mana mereka datang.
Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi.
“Semoga ayah lekas datang…” kata nona Oey ini dalam
hatinya, “Kalau tidak, kita bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!” Lalu ia
lari ke dalam rimba tetapi dengan cara sembunyi.
Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget
sekali, hingga ia tercengang.
Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat
sedang tertawan, masing-masing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah
pohon, Auwyang Hong berdiri bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain,
ialah pohon yang sudah roboh, ada tertambat seorang lain, yang seragamnya
mewah, sebab ialah si punggawa perang Song yang mengantarkan keempat orang
Mongolia itu pulang ke negerinya. Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya
telah dihajar roboh oleh See Tok. Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka,
rupanya tentara itu telah diusir ini dua jago tua.
Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan
Auwyang Hong, tapi pun ia tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak
memegang derajatnya, selagi ia hendak menggunai alasan, guna menutup diri,
tiba-tiba ia melihat munculny Kwee Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna
girang. Ia segera mendapat pikiran.
“Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan
menyingkirkan bocah ini?” demikian pikirnya.
Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati
terkena pukulan ilmu Kodoknya.
Itu waktu putri Gochin Baki berseru: “Engko Ceng, lekas
tolongi aku!”
Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah
otaknya.
“Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!”
demikian ia peroleh akal.
Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak
kenal takut.
“Bangsat tua, apa kamu bikin di sini?!” ia mendamprat. “Kembali kamu mencelakai orang, ya?!”
Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin,
meski diperlakukan kurang ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si
orang she Kiu itu.
“Ha, binatang cilik yang baik!” dia membentak. “Di sini
ada Auwyang Sianseng, mengapa kau tidak berlutut memberi hormat? Apakah kau
sudah bosan hidup?!”
Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah
penginapan sudah ngaco belo, memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su,
dengan di sini kembali dia mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu
apa, ia menghampirkan, terus ia menyerang dadanya.
Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang,
yang sekarang talh maju jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam
bagian dan tenaga menarik empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya
cepat ditarik pulang. Kiu Cian Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya
tinju itu, tubuhnya mundur hanya diluar keinginannya, dia ditarik ke depan,
terus jatuh terjerunuk!
“Hm!” Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri
dilayangkan, guna menyambut muka muka orang, hendak ia menhajar hingga gigi
rontok dan lidah terkancing putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau
lagi menerbitkan gelombang yang tidak-tidak.
“Tahan!” berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat
keluar dari tempat persembunyiannya.
Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi
karena ia sebat, ia ubah gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah
leher, untuk mencekuk, setelah mana, ia mengangkat tubuh orang.
“Yong-jie, bagaimana?” ia menanya seraya ia berpaling.
Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu,
kalau itu sampai terjadi, pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah,
untuk ia menjalankan akalnya.
“Lekas lepaskan!” ia berkata. “Orang tua ini mempunyai
semacam kepandaian yang lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar,
tenaganya berbalik bekerja, kau pasti terluka di dalam!”
“Ah, mustahil?” kata Kwee Ceng yang tidak percaya.
“Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup,
seekor kerbau pun dapat terkelupas kulitnya!” kata pula si nona. “Masih kau
tidak lekas mengundurkan dirimu!”
Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia
menduga kekasihnya itu ada maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya.
“Syukur nona ini mengetahui bahaya,” Kiu Cian Jin
berkata. “Kita berdua tidak bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku
ambil sikap yang tua menindih yang muda dan sembarang melukakan kau?”
Oey Yong tertawa.
“Itu benar!” ia bilang. “Kepandaian kau yang lihay,
loosiansseng, aku sangat mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta
pengajaran dari kau, untuk beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau
melukakan aku…”
Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya,
tangan kirinya dikibaskan ke atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di
bawa ke mulutnya, untuk mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa
pula dan berkata: “Sambutlah ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup
Terompet Keong!”
“Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!” berkata Kiu Cian
Jin. “Auwyang Sianseng kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia
membiarkan kau tertawa mengejek dia..?”
Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya
melayang ke kuping orang, hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia
lantas tertawa dan berkata: “Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit
Tebal!”
Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara
orang tertawa yang disusul dengan pujian, “Bagus! Sekalian saja kau menggaplok
lagi satu kali!”
Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia
mengenali suara ayahnya. Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari
menyahuti, tangannya melayangp pulang. Kembali tangann yang kanan.
Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit.
Tapi gaplokan itu gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan
tangan kiri. Ia melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya
si nona melayang pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya.
Di akhirnya, kuping kanannya tergaplok pula!
Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat
untuknya. Maka ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya,
ia memaksa si nona mundur, setelah mana, ia lompat ke samping.
“Tahan!” ia berseru.
“Apa?” Oey Yong tertawa. “Apakah sudah cukup?”
Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
“Nona, kau telah dapat luka di dalam!” ia berkata. “Lekas
kau pulang untuk bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi
empatpuluh sembilan hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal
ketolongan!”
Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey
Yong tercengang, tetapi lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh,
kepalanya memain.
Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suarnya
saja, telah tiba bersama-sama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli
beramai menjadi orang tawanan.
Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu
Cian Jin. Ia tahu betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah
dengan tangannya yang seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada
jago-jago dari Heng San Pay, sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi,
maka itu kenapa sekarang ia kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan
melayani Oey Yong nampak tak berdaya? Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar
orang mempunyai kepandaian di kulit muka? Itulah kepandaian yang ia belum
pernah dengar, itu mirip khayal……
Selagi
si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su, hingga
ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah kantung
sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta. Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget.
Habis membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia
kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu.
“Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu
untuk membalas sakit hati muridnya?” Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan
suaranya menggetar: “Bagaimana dengan keponakanku?”
Oey Yok Su menjawab dingin: “Bagaimana dengan Bwee Tiauw
Hong muridku itu, demikian juga dengan keponakanmu!”
Auwyang
Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja
keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan dari
perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar telah
main gila dan terlahirlah “Keponakan” yang dimanjakan itu. Ia sangat kejam,
jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi,
menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu
bakal terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan
Coan Cin Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan
mengambil nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh
menerima nasibnya.
Oey
Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa dari
Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri.
“Siapa
yang membunuh keponakanku itu?” akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya serak.
“Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?”
See
Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang
kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan.
Dengan
tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: “Dia pernah mempelajari ilmu silat Coan
Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To. Pergilah
kau cari dia!”
Pemilik
Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee Ceng.
Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih
dapat menguasai dri.
“Nah,
apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?” ia tanya.
“Peta
Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang,” menyahut Oey Yok
Su. “Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah….”
“Kata-kata
yang bagu!” ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik sekali,
kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau duaribu
jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada kemungkinan ia
tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah didapatkan, dari itu,
soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang. Tapi di sini ada Kiu
Cian Jin.
“Dia
ada di sini, dia dapat membantu aku,” pikirnya. “Kalau dia dapat mengalahkan
Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat membantui
aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?”
Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas
ia menoleh kepada si orang she Kiu.
“Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang
ini, aku sendiri melayani Oey Lao Shia!” katanya.
Kiu
Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa.
“Begitu
pun bagus!” sahutnya. “Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku
membantui kau!”
“Benar
begitu!” menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus ia
berjongkok perlahan-lahan.
Oey
Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut “put teng
put pat”, ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan “tong hong it bok”. Ia
memasang mata jeli.
Oey
Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin.
“Baiklah
kau bunuh aku dulu!” bilangnya tertawa.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
“Ah, sebenarnya aku tidak tega…” katanya. “Aduh, aduh,
celaka!” ia terus menjerit. “Sungguh tidak kebetulan…!” ia lantas memegangi
perutnya, tubuhnya membungkuk.
“Kau kenapa?” Oey Yong tanya.
Kiu
Cian Jin meringis.
“Kau
tunggu sebentar, aku hendak membuang air…”
“Cis!”
si nona meludah.
“Aduh!”
Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus ia lari
ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan kebelet
ingin membuang air besar.
Oey
Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit perut
atau lagi menggunai akal bulus.
Tiba
di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok.
“Nah,
ini kertas untukmu!” berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu,
pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan
dari kantungnya.
Terima kasih!” mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke
gompolan rumput di mana ia berjongkok.
“Pergi jauhan sedikit!” kata Oey Yong yang memungut
sepotong batu kecil, dengan apa ia menimpuk orang tua itu.
Batu itu
melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
“Nona takut bau busuk?” katanya tertawa. “Baiklah, aku
akan menyingkir sedikit lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku
larang kamu pada melarikan diri…..!”
Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai
belasan tombak, di situ ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
“Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan
diri!” berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa.
“Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa,” sahutnya
guru yang nomor dua itu. “Kau ambillah dua rupa
barang ini untuk kau buat main….”
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan
dari besi di tangan gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak
Kiu Cian Jin, gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang
itu, lantas ia tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu
Cian Jin mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang
itu, tidak tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau
ngelepot tiga kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong.
“Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!” katanya
sambil tertawa, tangan kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas
dengan pedangnya Kiu Cian Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur
menjadi kaget, tetapi Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang
menjadi pendek, sembari memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan
rahasianya pedang tukang sulap itu.
Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: “Apa mungkin
tua bangka itu main gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?”
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika
ia melihat tubuh orang mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia
lantas menyambuti sarung tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia
melihat ukiran huruf “Ki” di telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada
ukiran seekor ular kecil serta seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi
satu. Ia ingat itulah lengpay atau tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu
Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di
dalam dunia kangouw, siapa yang membawa-bawa itu, dia dapat lewat dengan
merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang Kang atau di hulu dan hilir
sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih sangat jeri terhadapnya. Maka itu
heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada ini orang yang besar mulutnya
saja?
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu
kepada putrinya.
Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. “Ayah, sarung tangan ini bagus untuk
dibuat main, aku menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak
membutuhkannya! Nah ini, kau sambutlah!” Ia mengayaun tangannya, hendak
menimpukkan pedang-pedangan itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya
dengan Kiu Cian Jin jauh juga, ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di
sana. Maka pedang itu ia serahkan kepada ayahnya seraya membilangnya sambil
tertawa: “Ayah, kau saja yang menimpukkannya!”
Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin
mencobai Kiu Cian Jin, maka ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di
telapakan tangannya yang kiri, ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu
dengan jari tangan dari tangan kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu
meleset bagaikan terbang!
“Bagus!” berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk
tangan.
“Tiat Cie Sin-kang yang hebat!” Auwyang Hong memuji
di dalam hatinya. Ia kaget sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari
Timur ini.
Semua
mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak jongkok
tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu. Maka
cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serang
Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang kayu,
kalau sasarannya keba terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee
Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat
orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: “Celaka betul!” Tangannya pun lantas
mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: “Orangnya sudah
kabur!”
Kiu
Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia
tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di
pepohonan lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat
berbahaya itu. Dengan kecerdikannya ini ia terlah berhasil menjual Tong Shia
dan See tok yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak
dan saling mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar.
Auwyang
Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar untuk
dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah ketikanya
untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa,
terus ia menjura dalam sekali.
Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan
kirinya dilonjorkan, tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana,
Auwyang Hong mundur tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil.
Lantas ia kata: “Baiklah, kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!”
Sembari berkata begitu, ia mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya,
untuk berlalu.
Air
mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan
anak gadisnya.
Kwee
Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara
rahasia, menyerang Oey Yong dengan “Pek-hong-ciang”, yaitu ilmu silat tangan
kosong yang memerlukan anginnya saja. Ia hanya kalah jeli dengan Oey Yok Su.
Tapi ia berseru, dengan kedua tangannya ia lantas menyerang See Tok, untuk
memaksa orang membatalkan serangannya itu.
Auwyang
Hong melihat ia ditangkis Oey Yok Su, yang melindungi putrinya, ia lantas
menarik pulang serangannya itu, hanya bukan untuk dibatalkan, tetapi untuk
diteruskan, dipakai menyerang Kwee Ceng, selagi si anak muda menyerang padanya,
hingga serangan mereka bakal bentrok, keras sama keras. Kwee Ceng tahu diri, ia
tidak mau melayani, maka itu dengan sebat ia membuang diri, bergulingan, untuk
terus berlompat berdiri. Ia kaget hingga mukanya pucat sekali.
“Ha,
anak yang baik!” berseru Auwyang Hong. “Baru beberapa hari kau tidak terlihat,
kepandaianmu telah maju pesat sekali!”
Memang
adalah di luar dugaan, si anak muda lolos dari bokongannya itu.
Melihat
orang telah turun tangan, Kanglam Liok Koay segera memernahkan diri di
belakangnya Auwyang Hong, untuk memegat.
Auwyang
Hong maju terus, ia mendekati Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng. Mereka ini tidak
berani turun tangan, maka itu, merdeka See Tok berjalan melewati mereka, keluar
dari dalam rimba.
Oey Yok Su pun berdiam saja. Sebenarnya kalau ia mau
turun tangan, dengan dibantu Liok Koay, See Tok bisa dapat celaka, tetapi ia
berkepala besar, tidak mau ia mengepung si Bisa dari Barat itu, ia khawatir
nanti orang tertawakan. Ia memikir, lain kali saja, kalau ada ketikanya, mereka
bertempur satu sama satu. Ia tertawa dingin mengawasi punggung orang.
Ketika itu Kwee Ceng telah lepaskan Gochin Baki berempat
dari tambatan mereka.
Putrinya Jenghiz Khan ini girang sekali melihat si anak
muda tidak mati, maka itu dengan sengit ia menamprat Yo Kang yang dikatakan
sudah menjual cerita untuk mendustakan orang.
Tuli menambahkan dengan berkata: “Orang she Yo itu
membilang ia mempunyai urusan mesti lekas pergi ke Gak-ciu, kami menyangka dia
orang baik-baik, maka kecewa sekali kami memberikan dia tiga ekor kuda
pilihan…”
“Anda,” Kwee Ceng tanya, “Bagaimana caranya maka kamu
jadi bertemu sama itu dua siluman tua?”
Putri Mongolia itu, dalam kegembiraannya, mendahului
memberikan keterangan.
Mereka ini sangat berduka mendengar dari Yo Kang bahwa
Kwee Ceng telah meninggal dunia, dilain pihak, senang hati mereka mendengar Yo
Kang berniat mencari balas. Mereka menaruh kepercayaan besar, senang mereka
bergaul dengan orang she Yo itu. Itu malam mereka menginap bersama di sebuah
dusun. Yo Kang beberapa kali mencoba membokong Tuli, saban-saban ia gagal
disebabkan penjagaan yang keras dari kedua pengemis kurus dan gemuk
terhadapnya, kalau tidak si gemuk, tentulah si kurus yang meronda smabil
memegang tongkat keramatnya. Kecewa ia karena kegagalannya, dari itu, terpaksa
besoknya pagi ia minta saja tiga ekor kuda, dengan itu bersama kedua pengemis
itu ia berangkat ke barat.
Tuli berempat menuju ke utara, sedang kedua burung
rajawali terbang ke selatan, sampai lama, keduanya tidak kembali. Ia tahu pada
itu mesti ada sebabnya. Karena mereka tidak membikin perjalanan cepat, mereka
menantikan di rumah penginapan, sampai dua hari. Baru di hari ketiga, kedua
ekor burung rajawali itu kembali, keduanya menclok di pundak Gochin Baki seraya
berbunyi tak mau berhenti.
“Mari kita ikuti mereka,” berkata Tuli, yang merasa
heran.
Mereka kembali ke selatan dengan kedua rajawali itu
menjadi petunjuk jalan, hanya apa lacur, di rimba itu mereka bertemu Auwyang
Hong dan Kiu Cian Jin. Tuli, Jebe dan Borchu gagah tetapi menghadapi Auwyang
Hong, mereka tidak berdaya, dari itu bersama si opsir pengiringnya, dengan
gampang mereka kena ditawan dan dibelenggu. Malang si opsir, dia menjadi korban
paling dulu.
Kiu Cian In mendapat tugas dari negara Kim untuk mengacau
orang-orang kosen di Kanglam. Supaya mereka bentrk satu dengan lain, untuk
menggampangi usaha bangsa Kim itu menyerang ke Selatan. Bersama Auwyang Hong ia
berada di rimba itu, kapan ia melihat Tuli berlima, ia lantas menganjurkan
Auwyang Hong turun tangan. Syukur kedua burung rajawali telah bisa mencari
bantuan dan rombangannya Kwee Ceng ini datang tepat.
Gochin Baki sangat gembira, sembari menutur ia pegangi
tangan Kwee Ceng, ia tertawa tak hentinya.
Oey Yong mengawasi tingkah lakunya putri itu, ia merasa
tak puas. Ia jadi lebih tak senang karena si putri bicara dalam bahasa
Mongolia, yang ia tidak mengerti. Ia menjadi tidak sabaran.
Oey Yok Su melihat roman anak gadisnya itu, ia heran.
“Yong-jie,
siapakah ini perempuan asing?” ia tanya.
“Dialah
istrinya engko Ceng yang masih belum dinikah!” sahut sang gadis.
Ayah
itu heran hingga ia hampir tidak mempercayai kupingnya sendiri.
“Apa?!”
ia menanya, mengulangi.
“Ayah,
kau pergi tanya dia sendiri,” sahut si anak perlahan. ia malu untuk
menjelaskannya.
Cu
Cong mendapat dengar pembicaraan di antara ayah dan anak itu, ia mengerti
keadaan berbahaya untuk Kwee Ceng, karena ia tahu baik hal ikhwal putrinya
Jenghiz Khan itu dengan muridnya, ia lantas campur bicara, ia menuturkan
duduknya hal itu. Tentu saja ia menyebutkan, jodoh itu didesaki oleh Khan
tersebut.
Oey
Yok Su memangnya tidak penuju Kwee Ceng, kalau toh ia menjodohkan juga
putrinya, itulah saking terpaksa. Sekarang ia mendengar
ini soal yang baru untuknya, ia menjadi tidak puas. Ialah kepala suatu partai,
ia sangat menyayangi putrinya itu bagaikan mutiara mustika, dari itu mana dapat
putrinya ini menjadi istri kedua, artinya menjadi gundik?
“Yong-jie!” ia lantas kata kepada putrinya, suaranya
keras.
“Ayahmu hendak melakukan sesuatu, kau tidak boleh
mencegah!”
Anak itu kaget.
“Apakah itu, ayah?” ia tanya.
“Anak busuk itu, perempuan hina itu, dua-duanya mesti
dibunuh!” sahut sang ayah.
Oey Yong kaget, ia lompat menubruk tangan ayahnya itu.
“Tetapi, ayah, engko Ceng bilang dia sungguh mencintai
aku!” katanya.
Oey Yok Su tidak meronta, tetapi ia membentak kepada Kwee
Ceng. “Eh, bocah, kau bunuhlah perempuan asing itu, untuk membuktikan hatimu
sendiri!”
Kwee Ceng berdiri menjublak. Belum pernah ia menghadapi
soal sesulit ini. Ia memang kurang cerdas, dari itu, ia ayal mengambil keputusannya.
“”Lebih dulu kau sudah bertunangan, kenapa kau melamar
juga putriku?!” tanya Oey Yok Su bengis. “Apakah artinya perbuatanmu ini?!”
Kanglam Liok Koay memasang mata waspada. Sikapnya Tong
Shia luar biasa sekali. Sembarang waktu si Sesat dari Timur ini dapat
menurunkan tangan dahsyat, muka orang merah padam. Hati mereka goncang sebab
pemilik Tho Hoa To ini sangat lihay.
Kwee Ceng tidak pernah mendusta, maka ia menyahuti:
“Pengharapanku ialah dalam seumur hidup aku bisa berkumpul bersama Yong-jie saja,
lainnya hal tidak ada di hatiku.”
“Baik kalau begitu,” kata Oey Yok Su, yang hawa amarahnya
sedikit mereda. “Sekarang begini saja. Tidak apa kau tidak suka membinasakan
perempuan itu, tetapi kau, semenjak hari ini, aku larang kau bertemu pula
dengannya!”
Kwee Ceng berdiam, pikirannya bekerja.
“Bukankah kau pasti akan bertemu pula dengannya?” Oey
Yong bertanya.
“Di dalam hatiku, dialah mirip adik kandungku,” sahut
Kwee Ceng. “Kalau aku tidak bertemu dengannya, aku suka mengingat padanya.”
Mendengar itu Oey Yong tertawa.
“Kau suka melihat siapa, kau boleh melihatnya!” katanya.
“Tentang itu aku tidak memperdulikannya!”
“Baik, begini saja!” berkata Oey Yok Su.
“Saudaranya-saudaranya perempuan asing itu ada di sini, aku ada di sini, dan
keenam gurumu berada di sini juga, maka hayolah kau membilangnya jelas-jelas
bahwa yang kau bakal nikahi adalah putriku ini, bukan perempuan asing itu!”
Dengan bicara begitu, Oey Yok Su sudah menentang hatinya
sendiri, untuk keberuntungan gadisnya, ia suka mengalah.
Kwee Ceng berpikir sambil tunduk, maka ia lantas melihat
golok Kim-too hadiah dari Jenghiz Khan serta pisau belati pengasihnya Khi Cie
Kee. Ia menjadi bingung sekali. Ia berpikir: “Menurut pesan ayahku, dengan Yo
Kang aku mesti menjadi saudara sehidup semati, akan tetapi Yo Kang itu bersifat
lain, kelihatannya persaudaraanku dengannya tidak dapat dilundungi lagi. Pula
menurut pesan paman Yo, aku harus menikah sama adik Liam Cu. Bagaimana
sekarang? Seharusnya pesan orang tua mesti dijalankan. Dengan begitu, perangkapan
jodohku dengan putri Gochin Baki pun ada atas kehendak Jenghiz Khan, seorang
tua! Bolehkah karena kata-kata orang tua itu lantas aku mesti berpisah dengan
Yong-jie?”
Setelah memikir paling belakang itu, pemuda ini lantas
mengambil keputusan. Ia mengangkat kepalanya.
Sementara itu Tuli telah menanyakan Cu Cong tentang
pembicaraan di antara Kwee Ceng dengan Oey Yok Su itu, setelah mengetahui
duduknya hal dan menampak kesangsian si anak muda, ia menjadi tidak puas. Ia
gusar mengetahui orang tidak mencintai adiknya. Maka dari kantung panahnya, ia
menarik keluar sebatang anak panah bulu burung tiauw, sambil memegang itu di
tangannya, ia kata dengan nyaring: “Anda Kwee Ceng, seorang laki-laki yang mau
malang melintang di dalam dunia, dia mesti berbuat hanya dengan satu
kata-katanya yang apsti! Oleh karena kau tidak mencintai adikku, mana bisa
putri yang gagah dari Jenghiz Khan memohon-mohon meminta kepadamu? Oleh karena
itu, mulai hari ini, putus sudha persaudaraan di antara kita! Di masa mudamu,
kau pernah menolongi aku, kau juga telah menolongi ayahku, budi itu, kami ingat
baik-baik, dari itu, ibumu yang sekarang berada di Utara, akan aku mengirim
orang untuk mengantarkannya, tidak nanti aku membikin dia kurang suatu apa!
Kata-katanya seorang kesatria ada mirip gunung kekarnya, karenanya kau boleh
bertetap hati!”
Habis berkata begitu, ia patahkan anak panah itu dan
melemparkannya di depan kudanya.
Hati Kwee Ceng tergerak. Ia lantas ingat masa mudanya di
gurun pasir, bagaimana kekalnya pergaulannya sama Tuli. Ia jadi berpikir:
“Memang, perkataannya seorang kesatria mirip sebuah gunung. Jodohnya adik
Gochin Baki telah aku menerima dengan mulutku sendiri, bagaimana sekarang aku
boleh tidak memegang kepercayaanku? Tanpa kepercayaan, dapatkah aku menjadi
manusia? Biarlah Oey Tocu membunuh aku, biarlah Yong-jie membenci aku seumur
hidup, aku tidak dapat berbuat lain!” maka itu ia mengangkat kepalanya dan
berkata dengan tegas: “Oey Tocu, keenam guruku, anda Tuli, kedua guruku Jebe
dan Borchu, aku Kwee Ceng, aku bukannya seorang yang tidak mempunyai
kepercayaan, maka itu, mesti aku menikah sama adik Gochin!”
Kwee Ceng bicara dalam bahasa Tionghoa, lalu ia salin itu
ke dalam bahasa Mongolia, hingga kedua belah pihak mengerti. Kata-kata ini
membikin mereka itu menjadi heran sekali. Itulah diluar dugaan. Tuli dan Gochin
Baki heran berbareng girang. Kanglam Liok Koay memuji muridnya sebagai
laki-laki sejati! Adalah Oey Yok Su, yang tertawa dingin.
Oey Yong sangat kaget dan berduka, hingga ia terbengong
sekian lama. Ia maju beberapa tindak, untuk memandangi si putri Mongolia, tubuh
siapa kekar, alisnya lancip, matanya besar dan bagus, air mukanya gagah dan
agung. Tanpa merasa, ia menghela napas. Ia berkata kepada Kwee Ceng, “Engko
Ceng, aku mengerti kau. Dia dan kau benarlah orang dari satu kalangan, kamu
berdua ialah sepasang rajawali putih dari gurun pasir, kau sebaliknya, aku
hanya seekor burung walet di bawah cabang yangliu di Kanglam….”
Kwee Ceng maju satu tindak, ia mencekal tangan si nona.
Ia kata: “Yong-jie, aku tidak tahu perkataan kau tepat atau benar, tetapi di
dalam hatiku cuma ada kau satu orang! Kau mengerti aku, maka kalau aku
dicincang selaksa golok, tubuhku dibakar menjadi abu, dalam hatiku tetap ada
cuma kau sendiri!”
Air mata si nona mengembang.
“Habis kenapa kau hendak menikahi dia?” ia tanya.
“Aku seorang tolol, segala apa aku tidak mengerti,” sahut
si pemuda. “Aku cuma tahu, apa yang telah dijanjikan tidak dapat dibuat
menyesal. Aku tidak suka omong dusta, tidak peduli bagaimana, dalam hatiku cuma
ada kau seorang!”
Oey
Yong bingung. Ia girang tetapi juga bersusah hati.
“Engko
Ceng, aku sudah tahu,” katanya, tertawa tawar. “Kalau dari atas pulau Beng Hoo
To kita tidak kembali, bukankah itu terlebih bagus?”
“Inilah
gampang!” memotong Oey Yok Su sambil alisnya berdiri, sebelah tangannya
diayunkan ke arah putri Gochin Baki.
Oey
Yong telah melihat roman ayahnya, maka juga ia mendahulukan lompat untuk
menyambar tangannya putri dari Mongolia itu, ditarik turun dari kudanya.
Oey
Yok Su khawatir mencelekai gadisnya, gerakannya terlambat, sesudah putri itu
ditarik turun, baru tangannya menghajar pelana kuda. Mulanya tak apa-apa, hanya
sleang sesaat kemudian, kuda itu tunduk kepalanya, lemas empat kakinya, lalu
mendeprok sendirinya, jiwanya melayang.
Kuda
itu kuda Mongolia pilihan, besar dan kuat, tetapi dengan sekali hajar, dia
mampus, kejadian itu membuatnya Tuli semua kaget bukan main. Kalau Gochin Baki
kena terhajar, tidakkah tubuhnya ringsek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar