Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 53



BAB 53
Gochin

Tuli

Kwee Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda dari keaadan berbahaya dari mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri tidak bisa lekas-lekas keluar, untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan waktu untuk memperkuat hawa di pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan? Budi guru-gurunya itu sama dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia menahan napas, ia meluncurkan sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu, hingga pintu itu gempur.
Oey Yonng kaget bukan main.
“Engko Ceng, jangan!” ia mencegah. Ia tahu kawan itu mesti beristirahat.
Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah hawa naik ke atas, ke jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik pulang hawanya itu kembali ke pusar.
Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan terbuka.
Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula mereka lantas melihat muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat mundur menghentikan pertempuran mereka.
Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak matanya.
“Anak Yong, benarkah kau?” ia menanya. ia hampir tak mempercayai matanya sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi.
Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee Ceng, mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab ayahnya itu.
Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas mengerti. Untuknya, diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati tetapi hidup pula. Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti jiwanya sendiri. Ia lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus menghampirkan Kwee Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk mencekal tangan anak muda itu.
Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas bergolak, sangat sukar ia melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau berlompatan. Tapi, begitu lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas hawa panasnya berkurang, dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey Yok Su pun menguruti sekejur tubuhnya pemuda itu.
Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng dapat menenangi diri betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar dari bahaya, bahkan ia sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi bertambah kuat. Maka itu, ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho Hoa To itu, akan kemudian ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi hormatnya kepada muridnya.
Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya, menuturkan segala hal semenjak mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang omong dengan putrinya, tangan siapa ia tuntun. Mereka gembira sekali, saban-saban mereka tertawa gila.
Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik hati. Mereka pun ketarik denagn suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam mereka bertindak mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang terus berbicara dengan ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan.
Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok Koay, nona itu berkata sambil tertawa: “Sudahlah, tak usah aku bercerita terus!”
Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: “Aku hendak membinasakan empat orang, ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin dan Yo Kang, maka anak yang baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian itu!”
Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah, tetapi dasar angkuh, ia terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk menghibur diri, ia kata: “Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk hingga aku tidak sampai mencelakai orang baik-baik!”
“Ayah,” kata Oey Yong tertawa, “Baiklah kau minta maaf kepada beberapa suhu ini…”
“Hm,” jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. “Aku hendak mencari See Tok, eh, anak Ceng, kau turut atau tidak?”
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat. Kata anak ini, “Ayah, baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!”
Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus bercerita terus sampai Oey Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey Yong serta Ang Cit Kong mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta keputusan guru-gurunya itu.
Kwa Tin Ok menjadi sangat girang.
“Kau sungguh beruntung!” katanya. “Dengan kau mendapati Kiu Cie Sin Kay sebagai guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami girang bukan kepalang! Masa dapat kami tidak memberikan perkenan kami? Cumalah halnya Kha Khan dari Mongolia?”
Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan, bahwa halnya murid ini adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas membuka mulutnya. Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada yang pentang dan Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang monyet-monyetan dari kertas. Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil tertawa: “Adik, apakah semangkamu telah habis dimakan? Seorang tua telah menyuruhnya aku menyerahkan kunyuk-kunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main…”
Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia menyambuti kena kerta itu acuh tak acuh.
Sa Kouw berkata pula: “Orang tua itu, yang rambutnya ubanan, memesan juga supaya kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi kau mencari gurumu.”
Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong, maka ia lantas meneliti kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya, maka ia lantas membukanya, hingga ia dapat membaca: “Si pengemis tua tak dapat ditemukan, karenanya Loo Boan Tong menjadi tidak gembira.”
Si nona menjadi heran dan kaget.
“Ah, kenapa suhu lenyap?” serunya.
Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: “Loo Boan Tong edan-edanan tetapi ia lihay sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia dapat menolonginya. Hanya sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan besar…”
“Bagaimana, ayah?” Oey Yong menanya terkejut.
“Tongkatnya si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh Yo Kang si binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi lihay otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu terbinasa di tangannya? Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu, pastilah dia bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay Pang. Mari kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau tidak, pasti celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan itu!”
Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala.
“Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin di sukar dicandak,” kata Kwee Ceng.
“Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul,” kata Po Kie.
Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi girang sekali, lantas ia lari keluar seraya bersiul.
Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari menghampirkan, dia mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak hentinya.
Menampak demikian Oey Yok Su berkata: “Anak Yong, pergilah kau bersama Kwee Ceng untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil itu keras larinya, mungkin kamu dapat menyandak.”
Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di samping mereka, nona itu tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan gerak-gerik orang, ia ingat itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong.
“Apakah kau she Kiok?” ia tanya nona itu.
Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu.
“Aku tidak tahu,” sahutnya.
“Ayah, mari kau lihat!” berkata Oey Yong, mengajak ayahnya, yang ia tuntun ke dalam kamar rahasia.
Begitu melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah pengaturan seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh Kiok Leng Hong, muridnya itu.
“Ayah, coba lihat benda di dalam peti besi itu,” Oey Yong berkata pula.
Oey Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah lubang. Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan diri, lalu dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia menarik keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya sudah menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar.
Oey Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas yang penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya tidak karuan macam, bunyinya:
“Surat ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari istana kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar lainnya, yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali, selama di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan seorang anak perempuan…….”
Sampai habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik yang terang adalah titik-titik darah.
Melihat surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong, salah satu murid yang tetap setia itu.
Oey Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung pahlawan-pahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal, maka sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi.
Sa Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa haha-hhihi.
“Apakah ilmu silatmu diajari ayahmu?” Oey Yok Su menegur si nona, suaranya bengis.
Sa Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai pula, lalu kembali ia bersilat lagi.
“Ayah,” berkata Oey Yong, “Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok Suko.”
Ayah itu mengangguk.
“Ya,” katanya, “Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang… Eh, anak Yong, coba kau serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!”
Kata-kata yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak.
Oey Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw, sembari tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, “Sa Kouw, mari aku berlatih bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!” Ia lantas menggerak dengan tangan kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan degan sebat sekali.
Sa Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah ditunggu, begitu ia digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan segera.
“Kau menggunai akal!” serunya. “Adik kecil, mari kita mulai lagi!”
“Hus!” membentak Oey Yok Su. “Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!”
“Kouw-kouw!” Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya “adik kecil” dengan “kouw-kouw” atau bibi.
Baru sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari si tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut, mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya.
Dengan terus menyebut “kouw-kouw” itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si nona sebagai muridnya.
“Kenapa kau tolol?” ia tanya pula.
“Aku ialah Sa Kouw,” sahut si nona tertawa. “Tolol” ialah “Sa”
“Mana ibumu?” tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut.
Nona itu meringis, “Ia sudah pulang…” sahutnya.
Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona tidak karuan, maka ia menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol semenjak dilahirkan atau karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali Leng Hong hidup pula, tidak nanti ada lai orang yang mengetahui sebab-musabab itu.
Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi mayatnya Tiauw Hong.
“Anak Yong,” katanya selang sesaat, “Mari kita lihat barang-barang Kiok Sukomu itu.”
Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke dalam kamar rahasia.
Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su berdiri mendelong, kemudian air matanya mengucur turun.
“Anak Yong,” katanya. “Diantara semua muridku, Leng Hong yang paling pandai, maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak nanti sanggup menawan dia!”
“Itulah wajar!” sahut putri itu. “Ayah, apakah kau mau menerima Sa Kouw sebagai muridmu?”
“Ya,” ayahnya itu menyahut. “Aku akan ajarkan dia ilmu silat, bersyair dan -menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu sukomu niat pelajarkan, tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada anaknya ini!”
Oey Yong mengulur lidahnya.
“Hebat penderitaan ayah,” pikirnya.
Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah gambar, ia menhela napas.
“Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah dilukisannya,” katanya, “Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan kepada bangsa Kim….”
Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su berseru, “Ih!”
“Ada apa ayah?” tanya Oey Yong.
“Kau lihat!” sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada sebuah gambar san-sui, lukisan pemandangan alam, gunung dan air.
Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi dengan puncak lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana ada jurang yang berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang penuh salju, yang semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin Utara yang hebat, di puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon cemara yang berdiri tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada dilukisan seorang jenderal perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal itu tak nampak jelas, tetapi dandannnya membuat siapa yang melihat, mesti menaruh hormat. Seluruh gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini, yang merah merong, hingga kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada tanda-tanda pelukisnya, cuma ada syairnya seperti berikut:
“Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan tanah,
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie,
Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup.
Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang.”
Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari yang lalu, di paseban Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat syair itu yang ada tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor.
“Ayah,” katanya, “Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong, sedang syairnya ialah buah kalamnya Gak Bu Bok.”
“Benar,” berkata ayahnya itu, “Gak Bu Bok menulis syairnya ini melukiskan gunung Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang dilukisan begini berbahaya keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri. Latar belakang lukisan ini bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis jempolan.”
Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat ketarik sama syairnya yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu dengan jeriji tangannya, dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya. Maka itu ia kata kepada ayahnya: “Adaa baikkah gambar ini diberikan kepada menantumu!”
Oey Yok Su tertawa dan berkata: “Memang anak perempuan berpihak ke luar, maka itu, apa aku hendak bilang lagi?” Ia pun memilih serenceng mutiara seraya berkata pula: “Mutiara yang dulu hari si Bisa bangkotan seragkan kepadamu, aku telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar pulang kepadanya, maka itu sekarang kau ambillah ini.”
Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia mengangguk, ia menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia sedang berbuat begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih berbunyi keras beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia sebenarnya sangat menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah diambil oleh putri Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh lari keluar, masih ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat Kwee Ceng berada di bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk bajunya di pundak dan menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari seraya ia berbunyi tak hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutarai Kwee Ceng, ia bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa dan bersorak.
“Yong-jie, mereka mendapat susah!” kata Kwee Ceng melihat si nona muncul. “Mari kita pergi menolongi!”
“Siapa mereka?” Oey Yong menanya.
“Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!”
Nona itu memonyongkan mulutnya.
“Aku tidak mau pergi!” katanya.
Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia berkata pula: “Ah, Yong-jie, jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!” Habis berkata, ia menarik kudanya, ia lompat naik ke punggungnya.
“Habis, kau menghendaki aku atau tidak?” Oey Yong tanya.
Pemuda itu menjadi bingung.
“Kenapa aku tidak menghendaki kau?” ia balik menanya. Dengan tangan kiri ia menahan kudanya, tangan kanannya diansurkan untuk menyambuti si nona.
Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya, sambil berkata nyaring: “Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama keenam suhu baik turut juga!” Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya, dengan begitu tubuhnya mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan menyambuti tangan kanan Kwee Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas melayang naik ke atas kuda hingga ia duduk di sebelah depan!
Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya, setelah mana, ia melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabaur. Kedua burung rajawali pun terus terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah depan, untuk menunjuki jalan.
Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama majikannya, dia lari keras dengan gembira, kalau burung bukannya burung rajawali, mungkin keduanya ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke sebuah rimba lebat di sebalah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti, tanpa titah majikannya, ia lari terus ke arah rimba itu.
Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia mendengar suara nyaring bagaikan cecer pecah, katanya: “Saudara Cian Jin, telah lama aku mendengar Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengangguminya, maka itu sekarang baiklah aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini mengambil nyawa yang satu ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu yang lihay itu terhadap yang lainnya. Setujukah kau, saudara?”
Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti jeritan yang h menyayatkan hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian atasnya, lalu jatuh roboh.
Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke dalam rimba.
Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda merah seraya berkata: “Pergi lekas menyambuti ayahku!” Kemudian ia menunjuk ke jalan dari mana mereka datang.
Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi.
“Semoga ayah lekas datang…” kata nona Oey ini dalam hatinya, “Kalau tidak, kita bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!” Lalu ia lari ke dalam rimba tetapi dengan cara sembunyi.
Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat sedang tertawan, masing-masing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah pohon, Auwyang Hong berdiri bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain, ialah pohon yang sudah roboh, ada tertambat seorang lain, yang seragamnya mewah, sebab ialah si punggawa perang Song yang mengantarkan keempat orang Mongolia itu pulang ke negerinya. Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya telah dihajar roboh oleh See Tok. Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka, rupanya tentara itu telah diusir ini dua jago tua.
Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan Auwyang Hong, tapi pun ia tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak memegang derajatnya, selagi ia hendak menggunai alasan, guna menutup diri, tiba-tiba ia melihat munculny Kwee Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna girang. Ia segera mendapat pikiran.
“Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan menyingkirkan bocah ini?” demikian pikirnya.
Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati terkena pukulan ilmu Kodoknya.
Itu waktu putri Gochin Baki berseru: “Engko Ceng, lekas tolongi aku!”
Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah otaknya.
“Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!” demikian ia peroleh akal.
Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak kenal takut.
“Bangsat tua, apa kamu bikin di sini?!” ia mendamprat. “Kembali kamu mencelakai orang, ya?!”
Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin, meski diperlakukan kurang ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si orang she Kiu itu.
“Ha, binatang cilik yang baik!” dia membentak. “Di sini ada Auwyang Sianseng, mengapa kau tidak berlutut memberi hormat? Apakah kau sudah bosan hidup?!”
Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah penginapan sudah ngaco belo, memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su, dengan di sini kembali dia mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu apa, ia menghampirkan, terus ia menyerang dadanya.
Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, yang sekarang talh maju jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam bagian dan tenaga menarik empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya cepat ditarik pulang. Kiu Cian Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya tinju itu, tubuhnya mundur hanya diluar keinginannya, dia ditarik ke depan, terus jatuh terjerunuk!
“Hm!” Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri dilayangkan, guna menyambut muka muka orang, hendak ia menhajar hingga gigi rontok dan lidah terkancing putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau lagi menerbitkan gelombang yang tidak-tidak.
“Tahan!” berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi karena ia sebat, ia ubah gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah leher, untuk mencekuk, setelah mana, ia mengangkat tubuh orang.
“Yong-jie, bagaimana?” ia menanya seraya ia berpaling.
Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu, kalau itu sampai terjadi, pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah, untuk ia menjalankan akalnya.
“Lekas lepaskan!” ia berkata. “Orang tua ini mempunyai semacam kepandaian yang lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar, tenaganya berbalik bekerja, kau pasti terluka di dalam!”
“Ah, mustahil?” kata Kwee Ceng yang tidak percaya.
“Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup, seekor kerbau pun dapat terkelupas kulitnya!” kata pula si nona. “Masih kau tidak lekas mengundurkan dirimu!”
Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia menduga kekasihnya itu ada maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya.
“Syukur nona ini mengetahui bahaya,” Kiu Cian Jin berkata. “Kita berdua tidak bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku ambil sikap yang tua menindih yang muda dan sembarang melukakan kau?”
Oey Yong tertawa.
“Itu benar!” ia bilang. “Kepandaian kau yang lihay, loosiansseng, aku sangat mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta pengajaran dari kau, untuk beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau melukakan aku…”
Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya, tangan kirinya dikibaskan ke atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di bawa ke mulutnya, untuk mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa pula dan berkata: “Sambutlah ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup Terompet Keong!”
“Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!” berkata Kiu Cian Jin. “Auwyang Sianseng kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia membiarkan kau tertawa mengejek dia..?”
Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya melayang ke kuping orang, hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia lantas tertawa dan berkata: “Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit Tebal!”
Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara orang tertawa yang disusul dengan pujian, “Bagus! Sekalian saja kau menggaplok lagi satu kali!”
Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia mengenali suara ayahnya. Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari menyahuti, tangannya melayangp pulang. Kembali tangann yang kanan.
Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit. Tapi gaplokan itu gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan tangan kiri. Ia melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya si nona melayang pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya. Di akhirnya, kuping kanannya tergaplok pula!
Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat untuknya. Maka ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya, ia memaksa si nona mundur, setelah mana, ia lompat ke samping.
“Tahan!” ia berseru.
“Apa?” Oey Yong tertawa. “Apakah sudah cukup?”
Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
“Nona, kau telah dapat luka di dalam!” ia berkata. “Lekas kau pulang untuk bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi empatpuluh sembilan hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal ketolongan!”
Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey Yong tercengang, tetapi lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh, kepalanya memain.
Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suarnya saja, telah tiba bersama-sama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli beramai menjadi orang tawanan.
Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu Cian Jin. Ia tahu betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah dengan tangannya yang seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada jago-jago dari Heng San Pay, sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi, maka itu kenapa sekarang ia kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan melayani Oey Yong nampak tak berdaya? Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar orang mempunyai kepandaian di kulit muka? Itulah kepandaian yang ia belum pernah dengar, itu mirip khayal……
Selagi si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su, hingga ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah kantung sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta. Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget. Habis membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu.
“Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu untuk membalas sakit hati muridnya?” Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan suaranya menggetar: “Bagaimana dengan keponakanku?”
Oey Yok Su menjawab dingin: “Bagaimana dengan Bwee Tiauw Hong muridku itu, demikian juga dengan keponakanmu!”
Auwyang Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan dari perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar telah main gila dan terlahirlah “Keponakan” yang dimanjakan itu. Ia sangat kejam, jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi, menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu bakal terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan Coan Cin Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan mengambil nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh menerima nasibnya.
Oey Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa dari Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri.
“Siapa yang membunuh keponakanku itu?” akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya serak. “Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?”
See Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan.
Dengan tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: “Dia pernah mempelajari ilmu silat Coan Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To. Pergilah kau cari dia!”
Pemilik Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee Ceng. Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat menguasai dri.
“Nah, apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?” ia tanya.
“Peta Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang,” menyahut Oey Yok Su. “Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah….”
“Kata-kata yang bagu!” ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik sekali, kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau duaribu jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada kemungkinan ia tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah didapatkan, dari itu, soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang. Tapi di sini ada Kiu Cian Jin.
“Dia ada di sini, dia dapat membantu aku,” pikirnya. “Kalau dia dapat mengalahkan Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat membantui aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?”
Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas ia menoleh kepada si orang she Kiu.
“Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang ini, aku sendiri melayani Oey Lao Shia!” katanya.
Kiu Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa.
“Begitu pun bagus!” sahutnya. “Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku membantui kau!”
“Benar begitu!” menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus ia berjongkok perlahan-lahan.
Oey Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut “put teng put pat”, ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan “tong hong it bok”. Ia memasang mata jeli.
Oey Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin.
“Baiklah kau bunuh aku dulu!” bilangnya tertawa.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
“Ah, sebenarnya aku tidak tega…” katanya. “Aduh, aduh, celaka!” ia terus menjerit. “Sungguh tidak kebetulan…!” ia lantas memegangi perutnya, tubuhnya membungkuk.
“Kau kenapa?” Oey Yong tanya.
Kiu Cian Jin meringis.
“Kau tunggu sebentar, aku hendak membuang air…”
“Cis!” si nona meludah.
“Aduh!” Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus ia lari ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan kebelet ingin membuang air besar.
Oey Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit perut atau lagi menggunai akal bulus.
Tiba di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok.
“Nah, ini kertas untukmu!” berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu, pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan dari kantungnya.
Terima kasih!” mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke gompolan rumput di mana ia berjongkok.
“Pergi jauhan sedikit!” kata Oey Yong yang memungut sepotong batu kecil, dengan apa ia menimpuk orang tua itu.
Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
“Nona takut bau busuk?” katanya tertawa. “Baiklah, aku akan menyingkir sedikit lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu pada melarikan diri…..!”
Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
“Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!” berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa.
“Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa,” sahutnya guru yang nomor dua itu. “Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau buat main….”
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di tangan gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu Cian Jin, gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang itu, lantas ia tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu Cian Jin mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang itu, tidak tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong.
“Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!” katanya sambil tertawa, tangan kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan pedangnya Kiu Cian Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget, tetapi Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi pendek, sembari memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan rahasianya pedang tukang sulap itu.
Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: “Apa mungkin tua bangka itu main gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?”
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat tubuh orang mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia lantas menyambuti sarung tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia melihat ukiran huruf “Ki” di telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada ukiran seekor ular kecil serta seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam dunia kangouw, siapa yang membawa-bawa itu, dia dapat lewat dengan merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang Kang atau di hulu dan hilir sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih sangat jeri terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada ini orang yang besar mulutnya saja?
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada putrinya.
Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. “Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak membutuhkannya! Nah ini, kau sambutlah!” Ia mengayaun tangannya, hendak menimpukkan pedang-pedangan itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga, ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan kepada ayahnya seraya membilangnya sambil tertawa: “Ayah, kau saja yang menimpukkannya!”
Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian Jin, maka ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan tangannya yang kiri, ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu dengan jari tangan dari tangan kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu meleset bagaikan terbang!
“Bagus!” berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan.
“Tiat Cie Sin-kang yang hebat!” Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia kaget sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini.
Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu. Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serang Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang kayu, kalau sasarannya keba terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: “Celaka betul!” Tangannya pun lantas mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: “Orangnya sudah kabur!”
Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di pepohonan lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat berbahaya itu. Dengan kecerdikannya ini ia terlah berhasil menjual Tong Shia dan See tok yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak dan saling mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar.
Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa, terus ia menjura dalam sekali.
Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong mundur tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia kata: “Baiklah, kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!” Sembari berkata begitu, ia mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu.
Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan anak gadisnya.
Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara rahasia, menyerang Oey Yong dengan “Pek-hong-ciang”, yaitu ilmu silat tangan kosong yang memerlukan anginnya saja. Ia hanya kalah jeli dengan Oey Yok Su. Tapi ia berseru, dengan kedua tangannya ia lantas menyerang See Tok, untuk memaksa orang membatalkan serangannya itu.
Auwyang Hong melihat ia ditangkis Oey Yok Su, yang melindungi putrinya, ia lantas menarik pulang serangannya itu, hanya bukan untuk dibatalkan, tetapi untuk diteruskan, dipakai menyerang Kwee Ceng, selagi si anak muda menyerang padanya, hingga serangan mereka bakal bentrok, keras sama keras. Kwee Ceng tahu diri, ia tidak mau melayani, maka itu dengan sebat ia membuang diri, bergulingan, untuk terus berlompat berdiri. Ia kaget hingga mukanya pucat sekali.
“Ha, anak yang baik!” berseru Auwyang Hong. “Baru beberapa hari kau tidak terlihat, kepandaianmu telah maju pesat sekali!”
Memang adalah di luar dugaan, si anak muda lolos dari bokongannya itu.
Melihat orang telah turun tangan, Kanglam Liok Koay segera memernahkan diri di belakangnya Auwyang Hong, untuk memegat.
Auwyang Hong maju terus, ia mendekati Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng. Mereka ini tidak berani turun tangan, maka itu, merdeka See Tok berjalan melewati mereka, keluar dari dalam rimba.
Oey Yok Su pun berdiam saja. Sebenarnya kalau ia mau turun tangan, dengan dibantu Liok Koay, See Tok bisa dapat celaka, tetapi ia berkepala besar, tidak mau ia mengepung si Bisa dari Barat itu, ia khawatir nanti orang tertawakan. Ia memikir, lain kali saja, kalau ada ketikanya, mereka bertempur satu sama satu. Ia tertawa dingin mengawasi punggung orang.
Ketika itu Kwee Ceng telah lepaskan Gochin Baki berempat dari tambatan mereka.
Putrinya Jenghiz Khan ini girang sekali melihat si anak muda tidak mati, maka itu dengan sengit ia menamprat Yo Kang yang dikatakan sudah menjual cerita untuk mendustakan orang.
Tuli menambahkan dengan berkata: “Orang she Yo itu membilang ia mempunyai urusan mesti lekas pergi ke Gak-ciu, kami menyangka dia orang baik-baik, maka kecewa sekali kami memberikan dia tiga ekor kuda pilihan…”
“Anda,” Kwee Ceng tanya, “Bagaimana caranya maka kamu jadi bertemu sama itu dua siluman tua?”
Putri Mongolia itu, dalam kegembiraannya, mendahului memberikan keterangan.
Mereka ini sangat berduka mendengar dari Yo Kang bahwa Kwee Ceng telah meninggal dunia, dilain pihak, senang hati mereka mendengar Yo Kang berniat mencari balas. Mereka menaruh kepercayaan besar, senang mereka bergaul dengan orang she Yo itu. Itu malam mereka menginap bersama di sebuah dusun. Yo Kang beberapa kali mencoba membokong Tuli, saban-saban ia gagal disebabkan penjagaan yang keras dari kedua pengemis kurus dan gemuk terhadapnya, kalau tidak si gemuk, tentulah si kurus yang meronda smabil memegang tongkat keramatnya. Kecewa ia karena kegagalannya, dari itu, terpaksa besoknya pagi ia minta saja tiga ekor kuda, dengan itu bersama kedua pengemis itu ia berangkat ke barat.
Tuli berempat menuju ke utara, sedang kedua burung rajawali terbang ke selatan, sampai lama, keduanya tidak kembali. Ia tahu pada itu mesti ada sebabnya. Karena mereka tidak membikin perjalanan cepat, mereka menantikan di rumah penginapan, sampai dua hari. Baru di hari ketiga, kedua ekor burung rajawali itu kembali, keduanya menclok di pundak Gochin Baki seraya berbunyi tak mau berhenti.
“Mari kita ikuti mereka,” berkata Tuli, yang merasa heran.
Mereka kembali ke selatan dengan kedua rajawali itu menjadi petunjuk jalan, hanya apa lacur, di rimba itu mereka bertemu Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin. Tuli, Jebe dan Borchu gagah tetapi menghadapi Auwyang Hong, mereka tidak berdaya, dari itu bersama si opsir pengiringnya, dengan gampang mereka kena ditawan dan dibelenggu. Malang si opsir, dia menjadi korban paling dulu.
Kiu Cian In mendapat tugas dari negara Kim untuk mengacau orang-orang kosen di Kanglam. Supaya mereka bentrk satu dengan lain, untuk menggampangi usaha bangsa Kim itu menyerang ke Selatan. Bersama Auwyang Hong ia berada di rimba itu, kapan ia melihat Tuli berlima, ia lantas menganjurkan Auwyang Hong turun tangan. Syukur kedua burung rajawali telah bisa mencari bantuan dan rombangannya Kwee Ceng ini datang tepat.
Gochin Baki sangat gembira, sembari menutur ia pegangi tangan Kwee Ceng, ia tertawa tak hentinya.
Oey Yong mengawasi tingkah lakunya putri itu, ia merasa tak puas. Ia jadi lebih tak senang karena si putri bicara dalam bahasa Mongolia, yang ia tidak mengerti. Ia menjadi tidak sabaran.
Oey Yok Su melihat roman anak gadisnya itu, ia heran.
“Yong-jie, siapakah ini perempuan asing?” ia tanya.
“Dialah istrinya engko Ceng yang masih belum dinikah!” sahut sang gadis.
Ayah itu heran hingga ia hampir tidak mempercayai kupingnya sendiri.
“Apa?!” ia menanya, mengulangi.
“Ayah, kau pergi tanya dia sendiri,” sahut si anak perlahan. ia malu untuk menjelaskannya.
Cu Cong mendapat dengar pembicaraan di antara ayah dan anak itu, ia mengerti keadaan berbahaya untuk Kwee Ceng, karena ia tahu baik hal ikhwal putrinya Jenghiz Khan itu dengan muridnya, ia lantas campur bicara, ia menuturkan duduknya hal itu. Tentu saja ia menyebutkan, jodoh itu didesaki oleh Khan tersebut.
Oey Yok Su memangnya tidak penuju Kwee Ceng, kalau toh ia menjodohkan juga putrinya, itulah saking terpaksa. Sekarang ia mendengar ini soal yang baru untuknya, ia menjadi tidak puas. Ialah kepala suatu partai, ia sangat menyayangi putrinya itu bagaikan mutiara mustika, dari itu mana dapat putrinya ini menjadi istri kedua, artinya menjadi gundik?
“Yong-jie!” ia lantas kata kepada putrinya, suaranya keras.
“Ayahmu hendak melakukan sesuatu, kau tidak boleh mencegah!”
Anak itu kaget.
“Apakah itu, ayah?” ia tanya.
“Anak busuk itu, perempuan hina itu, dua-duanya mesti dibunuh!” sahut sang ayah.
Oey Yong kaget, ia lompat menubruk tangan ayahnya itu.
“Tetapi, ayah, engko Ceng bilang dia sungguh mencintai aku!” katanya.
Oey Yok Su tidak meronta, tetapi ia membentak kepada Kwee Ceng. “Eh, bocah, kau bunuhlah perempuan asing itu, untuk membuktikan hatimu sendiri!”
Kwee Ceng berdiri menjublak. Belum pernah ia menghadapi soal sesulit ini. Ia memang kurang cerdas, dari itu, ia ayal mengambil keputusannya.
“”Lebih dulu kau sudah bertunangan, kenapa kau melamar juga putriku?!” tanya Oey Yok Su bengis. “Apakah artinya perbuatanmu ini?!”
Kanglam Liok Koay memasang mata waspada. Sikapnya Tong Shia luar biasa sekali. Sembarang waktu si Sesat dari Timur ini dapat menurunkan tangan dahsyat, muka orang merah padam. Hati mereka goncang sebab pemilik Tho Hoa To ini sangat lihay.
Kwee Ceng tidak pernah mendusta, maka ia menyahuti: “Pengharapanku ialah dalam seumur hidup aku bisa berkumpul bersama Yong-jie saja, lainnya hal tidak ada di hatiku.”
“Baik kalau begitu,” kata Oey Yok Su, yang hawa amarahnya sedikit mereda. “Sekarang begini saja. Tidak apa kau tidak suka membinasakan perempuan itu, tetapi kau, semenjak hari ini, aku larang kau bertemu pula dengannya!”
Kwee Ceng berdiam, pikirannya bekerja.
“Bukankah kau pasti akan bertemu pula dengannya?” Oey Yong bertanya.
“Di dalam hatiku, dialah mirip adik kandungku,” sahut Kwee Ceng. “Kalau aku tidak bertemu dengannya, aku suka mengingat padanya.”
Mendengar itu Oey Yong tertawa.
“Kau suka melihat siapa, kau boleh melihatnya!” katanya. “Tentang itu aku tidak memperdulikannya!”
“Baik, begini saja!” berkata Oey Yok Su. “Saudaranya-saudaranya perempuan asing itu ada di sini, aku ada di sini, dan keenam gurumu berada di sini juga, maka hayolah kau membilangnya jelas-jelas bahwa yang kau bakal nikahi adalah putriku ini, bukan perempuan asing itu!”
Dengan bicara begitu, Oey Yok Su sudah menentang hatinya sendiri, untuk keberuntungan gadisnya, ia suka mengalah.
Kwee Ceng berpikir sambil tunduk, maka ia lantas melihat golok Kim-too hadiah dari Jenghiz Khan serta pisau belati pengasihnya Khi Cie Kee. Ia menjadi bingung sekali. Ia berpikir: “Menurut pesan ayahku, dengan Yo Kang aku mesti menjadi saudara sehidup semati, akan tetapi Yo Kang itu bersifat lain, kelihatannya persaudaraanku dengannya tidak dapat dilundungi lagi. Pula menurut pesan paman Yo, aku harus menikah sama adik Liam Cu. Bagaimana sekarang? Seharusnya pesan orang tua mesti dijalankan. Dengan begitu, perangkapan jodohku dengan putri Gochin Baki pun ada atas kehendak Jenghiz Khan, seorang tua! Bolehkah karena kata-kata orang tua itu lantas aku mesti berpisah dengan Yong-jie?”
Setelah memikir paling belakang itu, pemuda ini lantas mengambil keputusan. Ia mengangkat kepalanya.
Sementara itu Tuli telah menanyakan Cu Cong tentang pembicaraan di antara Kwee Ceng dengan Oey Yok Su itu, setelah mengetahui duduknya hal dan menampak kesangsian si anak muda, ia menjadi tidak puas. Ia gusar mengetahui orang tidak mencintai adiknya. Maka dari kantung panahnya, ia menarik keluar sebatang anak panah bulu burung tiauw, sambil memegang itu di tangannya, ia kata dengan nyaring: “Anda Kwee Ceng, seorang laki-laki yang mau malang melintang di dalam dunia, dia mesti berbuat hanya dengan satu kata-katanya yang apsti! Oleh karena kau tidak mencintai adikku, mana bisa putri yang gagah dari Jenghiz Khan memohon-mohon meminta kepadamu? Oleh karena itu, mulai hari ini, putus sudha persaudaraan di antara kita! Di masa mudamu, kau pernah menolongi aku, kau juga telah menolongi ayahku, budi itu, kami ingat baik-baik, dari itu, ibumu yang sekarang berada di Utara, akan aku mengirim orang untuk mengantarkannya, tidak nanti aku membikin dia kurang suatu apa! Kata-katanya seorang kesatria ada mirip gunung kekarnya, karenanya kau boleh bertetap hati!”
Habis berkata begitu, ia patahkan anak panah itu dan melemparkannya di depan kudanya.
Hati Kwee Ceng tergerak. Ia lantas ingat masa mudanya di gurun pasir, bagaimana kekalnya pergaulannya sama Tuli. Ia jadi berpikir: “Memang, perkataannya seorang kesatria mirip sebuah gunung. Jodohnya adik Gochin Baki telah aku menerima dengan mulutku sendiri, bagaimana sekarang aku boleh tidak memegang kepercayaanku? Tanpa kepercayaan, dapatkah aku menjadi manusia? Biarlah Oey Tocu membunuh aku, biarlah Yong-jie membenci aku seumur hidup, aku tidak dapat berbuat lain!” maka itu ia mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas: “Oey Tocu, keenam guruku, anda Tuli, kedua guruku Jebe dan Borchu, aku Kwee Ceng, aku bukannya seorang yang tidak mempunyai kepercayaan, maka itu, mesti aku menikah sama adik Gochin!”
Kwee Ceng bicara dalam bahasa Tionghoa, lalu ia salin itu ke dalam bahasa Mongolia, hingga kedua belah pihak mengerti. Kata-kata ini membikin mereka itu menjadi heran sekali. Itulah diluar dugaan. Tuli dan Gochin Baki heran berbareng girang. Kanglam Liok Koay memuji muridnya sebagai laki-laki sejati! Adalah Oey Yok Su, yang tertawa dingin.
Oey Yong sangat kaget dan berduka, hingga ia terbengong sekian lama. Ia maju beberapa tindak, untuk memandangi si putri Mongolia, tubuh siapa kekar, alisnya lancip, matanya besar dan bagus, air mukanya gagah dan agung. Tanpa merasa, ia menghela napas. Ia berkata kepada Kwee Ceng, “Engko Ceng, aku mengerti kau. Dia dan kau benarlah orang dari satu kalangan, kamu berdua ialah sepasang rajawali putih dari gurun pasir, kau sebaliknya, aku hanya seekor burung walet di bawah cabang yangliu di Kanglam….”
Kwee Ceng maju satu tindak, ia mencekal tangan si nona. Ia kata: “Yong-jie, aku tidak tahu perkataan kau tepat atau benar, tetapi di dalam hatiku cuma ada kau satu orang! Kau mengerti aku, maka kalau aku dicincang selaksa golok, tubuhku dibakar menjadi abu, dalam hatiku tetap ada cuma kau sendiri!”
Air mata si nona mengembang.
“Habis kenapa kau hendak menikahi dia?” ia tanya.
“Aku seorang tolol, segala apa aku tidak mengerti,” sahut si pemuda. “Aku cuma tahu, apa yang telah dijanjikan tidak dapat dibuat menyesal. Aku tidak suka omong dusta, tidak peduli bagaimana, dalam hatiku cuma ada kau seorang!”
Oey Yong bingung. Ia girang tetapi juga bersusah hati.
“Engko Ceng, aku sudah tahu,” katanya, tertawa tawar. “Kalau dari atas pulau Beng Hoo To kita tidak kembali, bukankah itu terlebih bagus?”
“Inilah gampang!” memotong Oey Yok Su sambil alisnya berdiri, sebelah tangannya diayunkan ke arah putri Gochin Baki.
Oey Yong telah melihat roman ayahnya, maka juga ia mendahulukan lompat untuk menyambar tangannya putri dari Mongolia itu, ditarik turun dari kudanya.
Oey Yok Su khawatir mencelekai gadisnya, gerakannya terlambat, sesudah putri itu ditarik turun, baru tangannya menghajar pelana kuda. Mulanya tak apa-apa, hanya sleang sesaat kemudian, kuda itu tunduk kepalanya, lemas empat kakinya, lalu mendeprok sendirinya, jiwanya melayang.
Kuda itu kuda Mongolia pilihan, besar dan kuat, tetapi dengan sekali hajar, dia mampus, kejadian itu membuatnya Tuli semua kaget bukan main. Kalau Gochin Baki kena terhajar, tidakkah tubuhnya ringsek?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar