Senin, 22 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 41

Lima Pendekar Terhebat: Racun Barat, Kaisar Selatan, Raja Tengah, Pengemis Utara dan Sesat Timur


BAB 41
Besoknya pagi-pagi, begitu ia mendusin Ang Cit Kong pantang bacotnya kepada Auwyang Kongcu. Katanya: “Aku si pengemis tua, ilmu silatku telah menjadi satu partai tersendiri, maka juga tidak aku termahai Kiu Im Cin-keng, umpama kata kitab itu dibeber di depan mukaku, tak nanti aku meliriknya! Cuma mereka yang tidak punya guna, yang ilmu silatnya sendiri tidak karuan, dia ingin sekali mencurinya! Sekarang kau kasih tahu paman anjingmu, Kiu Im Cin.keng bakal ditulis untuknya, biar ia menutup pintu, mengeram diri, untuk memahamlannya! Nanti, sepuluh tahun kemudian, biar ia muncul pula untuk mencoba menempur pula aku si pengemis tua! Kitab itu memang kitab bagus tetapi aku si pengemis tidak menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia mendapatkan kitab itu, apa dia bisa bikin terhadap aku si pengemis tua!”
Auwyang Hong berdiri diam di samping pintu, ia dengar semua ocehannya si pengemis. Ia menjadi girang sekali. Pikirnya: “Kiranya si pengemis bangkotan sangat jumawa, dia sangat mengandalkan kepandaiannya, hingga ia suka menyerahkan kitab padaku, kalau tidak, ia tidak dapat dipaksa…”
Akan tetapi Auwyang Kongcu menyangkal.
“Paman Ang, kata-katamu barusan keliru sekali!” demikian bantahnya. “Ilmu kepandaian pamanku sudah sampai dipuncaknya kemahiran! Paman boleh pandai tetapi paman tidak nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-keng? Sering pamanku itu mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab kosong belaka, melulu untuk mendustakan orang, maka hendak ia melihatnya, untuk ditunjuki bagian yang ngaco belo itu, supaya semua ahli silat di kolong langit ini dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah pembeberan itu ada faedahnya untuk kaum Rimba Persilatan?”
Ang Cit Kong menyambutnya dengan tertawa terbahak.
“Ha, kau tengah meniup kulit kerbau apa?” senggapnya. “Anak Ceng, kau tulislah Kiu Im Cin-keng dan kau serahkan pada mereka ini! Jikalau si bisa bangkotan dapat menemui kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si pengemis tua berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!”
Kwee Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia ke dalam gubuk besar, kemudian ia mengeluarkan pit dan kertas, bahkan dia sendiri yang menggosok bak, untuk membikin siap sedia segala apa untuk penulisan kitab mujizat itu.
Kwee Ceng belajar surat tak banyak tahun, tulisannya sangat jelek, sekarang pun ia mesti mengubah bunyinya kitab asli, menulisnya jadi sangat perlahan. Ada kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah huruf, ia minta Auwyang Kongcu yang menuliskannya. Sampai tengah hari, tempo bersantap, kitab bagian atas baru tercatat separuhnya. Selama itu Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul untuk menyaksikan orang bekerja, hanya setaip lembar yang telah ditulis rampung, Auwyang Kongcu lantas membawanya itu kepadanya di lain ruang dari perahu mereka itu.
Saban ia menerima sehelai tulisan, Auwyang Hong memeriksanya dengan seksama. Ia tidak dapat membaca mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya, ia tidak bercuriga. Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam artinya. Maka ia telah berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, handak ia memahamkannya dengan ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas akan dapat menguasai isi kitab itu, hingga akan terwujudlah cita-citanya beberapa puluh tahun akan mendapatkan pelajaran Kiu Im Cin-keng itu. Ia tidak mengambil mumat tulisan Kwee Ceng yang tidak karuan macam itu, ia hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan bagus, sama sekali tidak pernah ia menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan ajaran gurunya untuk membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik….!
Kwee Ceng menulis terus dengan keuletannya, maka ketika cuaca mulai gelap, ia berhasil menulis hingga separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu.
Auwyang Hong tidak menghendaki anak muda itu balik ke gubuk perahunya akan berkumpul sama Ang Cit Kong, dia khawatir si pengemis merubah ingatannya dan menyulitkan padanya. Masih ada kira separuh kitab berarti ia masih dapat dipersukar. Maka ia lantas perintah orangnya menyajikan barang hidangan untuk si anak muda, agar ia berdiam terus tanpa bersantap bersama gurunya.
Ang Cit Kong menanti sampai jam sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum kembali, ia merasakan hatinya tak tentram. Ia pun berkhawatir muridnya itu mendapat susah apabila Auwyang Hong bercuriga. Maka diam-diam ia keluar dari gubuknya. Ia dapat keluar karena sekarang tidak ada lagi penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu ada dua orang berpakaian serba putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu. Tidak sulit baginya untuk melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia menyerang ke arah layar, layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu berpaling, di waktu mana ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.
Dari jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong menghampirkan jendela itu, untuk mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee Ceng asyik duduk menulis. Dua nona dengan pakaian putih berdiri di sampingnya, untuk melayani memasang dupa, menuangi air teh serta menggosok bak. Jadi muridnya itu dilayani dengan baik. Hal ini membuat hatinya lega.
Tiba-tiba pengemis ini merasakan hidungnya disampk bau arak yang harum sekali. Ia lantas mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan muridnya.
“Si bisa bangkotan sangat pandai menjilat!” pikirnya. “Muridku menulis kitab untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku si pengemis tua, ia menyediakan arak yang tawar seperti air!” Ia jadi ingin mendapatkan arak itu. Ia berpikir pula: “Mestinya si bisa bangkotan menyimpan araknya di dasar perahu, baik aku meminumnya hingga puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air kencingku, biar nanti ia mencicipinya!”
Pengemis tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri arak, ia ada sangat pandai. Dulu hari pun di Lim-an, di dalam dapur istana kaisar, ia dapat menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan batang santapan untuk kaisar ia dapat mencicipinya terlebih dahulu! Penjagaan di istana rapat sekali tetapi ia dapat berdiam di situ dengan leluasa, ia dapat datang dan pergi dengan merdeka.
Demikian denga berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat siapa juga di situ. Dengan hati-hati ia membongkar papan lantai. Dengan menggunai hidungnya yang tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.
Ruang perahu itu gelap petang tetapi tidak menghalangi pengemis yang lihay ini. Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak dengan berhati-hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya. Di pojok ia melihat tujuh tahang arak, girangnya bukan kepalang. Segera ia mencari sebuah mangkok sempoak. Ia padamkan apinya, ia simpan itu di dalam sakunya, terus ia menghampirkan tahang.
Dengan menggoyang tahang, ia mendapat tahu tahang yang pertama kosong. Yang kedua ialah ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk membuka tutup tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dari dua orang. Enteng sekali tindakan itu, hingga ia menduga kepada Auwyang Hong dan keponakannya. Ia lantas menduga mungkin paman dan keponakan itu hendak melalukan sesuatu yang licik. Kalau tidak, perlu apa malam-malam mereka pergi ke belakang? Maka ia lantas bersembunyi di belakang tahang.
Kapan pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi pun bertindak masuk, berdiri di depan tahang. Cit Kong tidak dapat melihat akan tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga: “Mungkinkah mereka hendak minum arak? Tapi kenapa mereka tidak menitahkan orangnya?”
Lalu terdengar suaranya Auwyang Hong; “Apakah semua minyak dan belerang di semua ruang perahu ini sudah siap sedia?”
Atas itu terdengar tertawanya Auwyang Kongcu, yang terus menjawab: “Semua sudah siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan segera menjadi abu, hingga si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus ketambus!”
Cit Kong kaget. “Ah, mereka hendak membakar perahu?” katanya dalam hatinya.
Lalu terdengar pula suaranya Auwyang Hong: “Pergi kau kumpuli semua gundik yang paling disayangi di dalam ruang. Sebentar kalo si bocah Kwee sudah tidur pulas, kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang nanti pergi kemari untuk menyalakan api.”
“Ular kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?” Auwyang Kongcu menanya.
Auwyang Hong menjawab dengan dingin: “Si pengemis busuk ada jago silat kenamaan, kepala dari suatu partai, pantas ada orang-orang yang berkorban untuknya….”
Habis itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, atas mana Ang Cit Kong dapat mencium bau minyak. Dari dalam peti-peti kayu, paman dan keponakan itu mengeluarkan banyak bungkusan terisi belerang. Ketika minyak telah dituang melulahan, tatal atau hancuran kayu disebar di atasnya. Di atas itu ada palangan-palangan peranti meletaki bungkusan belerang. Selesai kerja, keduanya pergi ke luar.
Masih Cit Kong mendengar suaranya Auwyang Kongcu, yang berbicara sambil tertawa: “Paman, lagi satu jam maka bocah she Kwee itu bakal dikubur di dasar laut, setelah mana di dalam dunia ini tinggallah kau seorang yang mengetahui isinya kitab Kiu Im Cin-keng!”
“Tidak, ada dua!” sahut sang paman. “Mustahilkah aku tidak mewariskannya kepadamu?”
Auwyang Kongcu girang dan tangannya menutup pintu.
Ang Cit Kong gusar berbareng kaget.
“Kalau tidak malaikat menyuruh aku mencuri arak, mana aku ketahui aka keji dua orang ini?” pikirnya. “Kalau api dilepas, bagaimana kami bisa menyingkir?”
Ia menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk perahunya, di mana ia mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia mengasih bangun muridnya itu tatkala ia mendengar satu suara di luar pintu. Ia menduga Auwyang Hong tengah mengawasi, lantas ia bersuara nyaring berulang-ulang: “Arak yang wangi, arak yang wangi! Mari lagi sepuluh poci!”
Auwyang Hong, orang di luar kamar itu, tercengang.
“Ah, dia masih saja minum!” pikirnya.
Lalu ia mendengar pula suaranya si pengemis; “Tua bangka yang berbisa, mari kita bertempur pula sampai seribu jurus, untuk memastikan siapa tinggi, siapa rendah! Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!”
Mendengar sampai di situ, Auwyang Hong ketahui orang sebenarnya lagi mengigau atau ngelindur di dalam tidurnya.
“Lihat si pengemis bau, tinggal mampusnya saja masih dia ngaco belo!” katanya.
Cit Kong pura-pura ngigau tetapi kupingnya dipasang. Auwyang Hong boleh lihay ringan tubuhnya tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih terdengar si raja pengemis, yang mengetahui orang pergi ke kiri. Lekas-lekas ia menghampirkan muridnya, akan pasang mulutnya di kuping orang, yang pun ia bentur pundaknya dengan perlahan. Terus ia memanggil: “Anak Ceng!”
Kwee Ceng mendusin seketika, agaknya ia terkejut.
“Kau bertindak menuruti aku!” Cit Kong berbisik singkat. “Jangan menanyakan sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang dapat melihat!”
Kwee Ceng merayap bangun, sedangn gurunya menolak pintu, lalu menarik tangan bajunya. Mereka menuju ke kanan. Mereka pun berjalan sambil melapai. Auwyang Hong lihay, mereka khawatir mereka nanti terdengar si racun dari Barat itu.
Kwee Ceng heran tetapi ia mengikuti tanpa membuka mulutnya. Lekas juga mereka berada di luar.
Ang Cit Kong menggunai kepandaiannya “Cecak memain di tembok”, untuk bergerak turun, matanya mengwasi muridnya. Ia berkhawatir juga sebab papan perahu licin. Kalau tangan mereka terlepas, pasti mereka bakal tercebur ke laut dan mengasih dengar suara berisik.
Ilmu “Cecak memain di tembok” itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi dinding perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak gampang untuk merayap di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak. Syukur untuk Kwee Ceng, Ma Giok telah melatih sempurna padanya selama mereka berada di gurun di mana dia diwajibkan naik turun jurang.
Ang Cit Kong merayap terus, separuh tubuhnya berada di dalam air. Muridnya itu tetap mengikutinya.
Tiba di belakang, di tempat kemudi, Cit Kong melihat di situ ada ditambah sebuah perahu kecil. Ia menjadi girang sekali.
“Mari kita naiki perahu itu!” ia mengajak muridnya, segera bertindak. Ia mengenjot tubuhnya, untuk menyambar perahu kecil itu, ketika ia dapat memegang pinggarannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia tidak mengasih dengar suara apa juga.
Begitupun Kwee Ceng, yang menyusul gurunya.
“Lekas putuskan dadungnya!” Ang Cit Kong menitah.
Kwee Ceng menurut, dengan cepat ia menggunai pisau belatinya. Maka dilain saat, perahu kecil itu sudah terombang-ambing dipermainkan sang ombak.
Cit Kong menggunai pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang hebat.
Dengan lewatnya sang tempo, perahu besar lenyap dari pandangan mata. Hanya dilain saat, di sana terlihat api lentera yang dicekal Auwyang Hong, bahkan See Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu kecilnya lenyap. Kemudian jeritan itu disusuli dengan kutukan, tanda dari kemurkaan hebat.
Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu ia tertawa keras dan panjang.
Mendadak itu waktu, di arah kanan ada sebuah perahu enteng menerjang gelombang, menuju cepat ke arah perahu besar.
Heran Ang Cit Kong, hingga ia menanya dirinya sendiri: “Eh, perahu apakah itu?”
Hampir itu waktu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang terbang berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun berlompat satu tubuh dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu besar itu. Samar-samar terlihat berkilauannya gelang rambut emas di kepala orang itu.
“Yong-jie!” Kwee Ceng berseru perlahan.
Memang orang itu Oey Yong adanya. Ketika ia melihat kuda merah, ia ingat sepasang rajawali. Di laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung. Maka ia lantas bersuit keras memanggil dua burung piaran Kwee Ceng itu. Bersama burung itu, ia layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang matanya tajam, sudah lantas melihat perahu besar, maka keduanya lantas terbang pergi. Dengan begitu bertemulah mereka dengan tuan mereka, hingga Kwee Ceng bisa mengirim warta kepada si nona, untuk mengabarkan mereka berada dalam bahaya. Oey Yong lantas melayarkan perahunya dengan cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit Kong dan Kwee Ceng keburu naik perahu kecil kepunyaannya Auwyang Hong itu.
Keras Oey Yong mengingat keselamatan Kwee Ceng, maka itu begitu lekas ia melihat burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat dari perahunya itu naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan tempulingnya ketika ia berlompat itu.
Justru itu di perahunya, Auwyang Kongcu lagi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
“Mana Kwee Sieheng?!” tanya si nona. “Aku bikin apa terhadapnya?”
Auwyang ong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut minyak, tatkala ia mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang hendak ia pakai untuk menyingkirkan diri. Dalam keadaannya seperti itu, kupingnya mendapat dengar tertawanya Ang Cit Kong dari tengah laut. Maka mengertilah ia bahwa dia telah gagal mencelakai orang dan berbalik mencelakai diri sendiri. Tentu sekali ia menjadi sangat menyesal dan bingung, mendongkol dan berkhawatir. Tapi justru itu, dia melihat datangnya Oey Yong. Sekejab itu juga timbul harapannya - di otaknya muncul pikiran yang sesat. Dia berlompat sambil berseru: “Lekas naik ke perahu itu!” Dia maksudkan perahunya Oey Yong.
Akan tetapi perahu itu ada perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang gagu. Dia itu tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula dia memang ada bangsa licik. Selama berada dengan Oey Yong, dia takut, dia menurut saj atitah si nona. Begitu lekas nona itu lompat ke perahu besar, ia memutar perahunya, untuk dikayuh dengan segera, untuk dipasang layarnya. Maka dilain saat, dia sudah terpisah jauh dari perahu besar itu.
Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar, diwaktu mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik disusul sama berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa Auwyang Hong sudah bekerja.
“Api! Api!” berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.
“Si bisa bangkotan sudah membakar perahunya!” Ang Cit Kong pun berteriak. “Dengan caranya itu ia hendak membakar kita!”
“Lekas tolongi Oey Yong!” Kwee Ceng berteriak pula.
“Dekati perahu!” Cit Kong menyuruh.
Kwee Ceng menggunai tenaganya, untuk mengayuh. Perahu besar kecil itu pun bergerak menyusul perahu besar, untuk mendekati. Di atas perahu besar sendiri keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong - laki-laki dan perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan atau jeritan mereka riuh sekali.
“Yong-jie!” terdengar teriakannya Cit Kong. “Bersama Ceng-jie aku berada di sini! Mari lekas berenang! Lekas berenang ke mari!”
Langit gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong perdengarkan teriakannya itu oleh karena ia ketahui baik si nona pandai berenang. Pula di saat sepereti itu tidak dapat mereka tidak berlaku nekat untuk menolong diri.
Oey Yong dapat mendengar suara gurunya itu, ia girang. Tentu saja tidak sudi ia memperdulikan pula Auwyang ong dan keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi ia bertindak ke tepi perahu, untuk segera mengenjot tubuhnya guna terjun ke laut!
Sekonyong-konyong nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan keras sekali. Tubuhnya sudah mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak dapat terjun terus, ia kena ditarik kembali ke perahu. Ia terkejut sekali ketika ia menoleh akan mendapatkan, orang yang mencekal padanya adalah Auwyang Hong, si Bisa dari Barat yang lihay dan ganas itu.
“Lepas!” ia berteriak seraya dengan tangan kirinya ia meninju.
Hebat sekali Auwyang Hong, tangannya bergerak bagaikan kilat, maka tahu-tahu si nona telah tercekal pula tangan kirinya.
Sementara itu See Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada lagi harapan untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar hebat. Api telah melulahan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya. Di muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya perahu bakal segera karam, maka pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang diduduki Kwee Ceng dan Cit Kong itu.
“Pengemis busuk, Nona Oey ada di sini!” See Tok berseru. “Kau lihat tidak?!”
Ia mengerahkan tenaganya, kedua tangannya di angkat naik, dengan begitu tubuh Oey Yong pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak mengasih lihat tubuh nona itu.
Ketika itu api telah berkobar besar dan mendatangkan sinar terang maka Ang Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari Barat yang jahat itu.
Ang Cit Kong menjadi gusar sekali.
“Dengan menggunai Oey Yong, dia hendak memaksa kita!” katanya sengit. “Dia ingin naik ke perahu kita! Nanti aku merampas Yong-jie!”
“Aku turut, suhu!” berkata Kwee Ceng, Ia berkhawatir melihat api.
“Tidak!” mencegah si guru. “Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena dirampas si tua bangka yang berbisa itu!”
“Baiklah,” sahut Kwee Ceng, yang terus mengayuh pula, untuk mendekati perahu besar itu, yang sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Lekas juga perahu kecil itu mendekati perahu besar, begitu lekas Ang Cit Kong merasa ia dapat melompatinya, ia lantas menggeraki tubuhnya untuk berlompat sambil mengapungkan diri. Ia berlompat seperti tengkurap, maka tempo ia tiba di perahu, tangannya yang sampai terlebih dulu. Ia menggunai tangan kiri dengan kelima jarinya yang kuat, untuk dipakai mencengkeram tepian perahu, habis mana, dengan mengerahkan tenaga di tangannya itu, ia membuatnya tubuhnya tiba di atas perahu itu.
Auwyang Hong masih mencekali Oey Yong. Ia menyeringai.
“Pengemis bangkotan busuk, kau hendak apa!” dia menanya, menantang.
“Mari,mari!” Cit Kong juga menantang. “Mari kita bertempur pula seribu jurus!”
Jawaban itu dibarengi sama serangan kedua tangan saling susul.
Auwyang Hong berlaku licik, bukannya ia berkelit, ia menangkis dengan mengajukan tubuh Oey Yong sebagai tameng. mau tidak mau, Cit Kong mesti batalkan penyerangannya itu.
Ketika itu dipakai oleh Auwyang Hong untuk segera menotok jalan darah si nona, maka sesaat itu juga, lemaslah tubuh Oey Yong, tak dapat ia berkutik.
“Letaki dia di perahu!” Cit Kong menantang pula. “Marilah kita bertempur untuk memastikan menang atau kalah!”
Auwyang Hong ada terlalu licik untuk meletaki tubuh nona itu. Ia pun melihat keponakannya lagi didesak sambaran-sambaran api hingga ia mesti main mundur. Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak ia lemparkan Oey Yong kepada keponakannya itu.
“Pergi kamu lebih dulu ke perahu kecil!” memerintahnya.
Auwyang Kongcu menyambuti tubuh yang tak dapat bergerak itu. Ia melihat Kwee Ceng di perahu kecil. Ia mengerti, kalau ia melompat bersama si nona, mungkin perahu kecil itu akan karam karenanya. Maka ia menarik sehelai dadung, ia ikat itu di kaki tiang layar, habis itu dengan tangann kiri memeluki Oey Yong, dengan tangan kanan ia menarik dadung itu, untuk meluncur ke perahu kecil itu. Maka terayunlah tubuh mereka, turun menghampirkan perahu.
Kwee Ceng melihat Oey Yong tiba di perahunya, ia girang bukan main. Tentu sekali ia tidak mengetahui yang kekasihnya itu sudah kena orang totok hingga menjadi tidak berdaya. Ia lebih memerlukan mengawasi gurunya yang lagi bertempur sama Auwyang Hong. Biar bagaimana, ia bergelisah untuk gurunya itu.
Dengan api berkobar-kobar, tertampak nyata kedua jago tua itu lagi mengadu jiwa.
Mendadak saja terdengar suara nyaring seperti guntur, lalu tertampak perahu besar terbelah dua, sebab tulang punggungnya dimakan api dan pecah karenanya. Menyusul itu kelihatan bagian perahu yang belakang mulai tenggelam, perlahan-lahan karam ke dalam air.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bertempur terus. Kadang-kadang mereka mesti berkelit dari runtuhannya tulang layar atau dadungnya, yang jatuh termakan api.
Dalam pertempuran sengit ini, Ang Cit Kong lebih menang sedikit, dalam arti kata ia tidak merasakan hawa panas seperti lawannya. Itulah sebab pakaiannya basah bekas tadi merendam di air. Karena ini juga, dapat ia mendesak See Tok, yang sebaliknya mesti berkelahi sambil mundur perlahan-lahan.
Pernah Auwyang Hong memikir untuk terjun ke laut, ia hanya menyesal, pikirannya itu tidak dapat ia segera mewujudkannya. Ia didesak terlalu hebat, kalau ia memaksa terjun, itu artinya ia tidak dapat membela diri, mungkin nanti ia kena diserang lawannya yang lihay itu. Ada kemungkinan juga ia nanti terluka parah. Saking terpaksa, ia melayani terus dengan otaknya dikasih bekerja tak hentrinya untuk mencari jalan lolos….
Ang Cit Kong menyerang dengan hatinya terasakan puas. Bukankah ia terus mendesak? Tengah ia merangsak, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Kalau aku desak dia hingga dia terbakar, kalau ia sampai mengantar jiwanya, itu tak menarik hati,” demikian pikirannya yang menyandinginya itu. “Dia telah mendapatkan salinan kitab dari Ceng-jie, jikalau dia tidak mendapat kesempatan untuk mempelajarinya, bila nanti ia mampus, pastilah ia mampus tak puas! Tidak dapat tidak, dia mestinya dibikin kena batunya…!”
Karena ini Pak Kay lantas tertawa terbahak-bahak. “Bisa bangkotan, hari ini aku memberi ampun padamu!” ia berseru. “Kau naiklah ke perahu kecil itu!”
Kedua matanya Auwyang Hong mencelik, lantas ia terjun ke laut. Cit Kong hendak menyusul tatkala ia dengar teriakannya See Tok.
“Tahan dulu!” demikian si Bisa dari Barat itu berteriak. “Sekarang tubuhku pun basah, maka marilah kita berdua bertempur pula. Sekarang barulah adil, sama rata sama rasa!”
Suara itu disusul sama berkelebatnya satu tubuh, maka di lain detik, Auwyang Hong telah berdiri pula di atas perahu besar, di depan lawannya.
Sekejap Ang Cit Kong melengak, lalu ia tertawa lebar.
“Bagus, bagus!” serunya. “Seumur hidupnya si pengemis bangkotan, ini hari barulah ia bertempur paling memuaskan!”
Kembali dua orang itu bertarung dengan hebat. Dengan tubuh basah kuyup, agaknya See Tok menjadi segar sekali.
“Yong-jie,” berkata Kwee Ceng kepada kekasihnya. “Kau lihat See Tok ganas sekali!”
Oey Yong tengah ditotok, ia tak dapat bersuara.
“Apakah tidak baik aku minta suhu turun ke mari?” Kwee Ceng berkata pula menanyai si nona. “Perahu besar itu bakal lekas tenggelam….”
Oey Yong tetap tidak menyahuti.
Kwee Ceng heran, maka lekas ia berpaling. Semenjak tadi ia terus mengawasi ke gelanggang pertarungan. Maka gusarlah ia untuk menyaksikan Auwyang Kongcu lagi meringkus kedua tangan orang.
“Lepas!” ia lantas berteriak.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Jangan kau bergerak!” dia berseru. “Asal kau bergerak, satu kali saja, akan aku hajar hancur kepalanya!” Dan dia mengancam.
Kwee Ceng tidak menggubris ancaman itu, bahkan seperti tanpa berpikir sejenak juga, ia menyerang.
Auwyang Kongcu berlaku sebat, ia berkelit sambil mendak.
Kwee Ceng penasaran, ia menyerang pula ke muka orang. Ia seperti merabu tanpa jurus tipu silat.
Auwyang Kongcu bingung juga. Perahu kecil, tidak merdeka untuk ia terus main berkelit. Tapi ia mesti melawan. Maka ia membalas menyerang.
Kwee Ceng menangkis, dengan begitu kedua tangan bentrok. Auwyang Kongcu licik, sambil menyerang ia terus memutar kepalannya, menyerang pula, maka “Plak!” pipinya si anak muda kena terhajar.
Serangan itu keras, mata Kwee Ceng berkunang-kunang. Tapi ia mengerti bahaya, ia membuka matanya. Justru itu datang serangan yang kedua kali. Kembali ia menangkis.
Auwyang Kongcu menggunai tipu silat seperti tadi. Ia memutar balik kepalannya, untuk mengulangi serangan susulan. Tapi kali ini Kwee Ceng melenggaki kepalanya, tangan kanannya berbareng dipakai menolak ke depan.
Menurut aturan, sambil berlenggak tidak dapat orang pun menyerang. Tapi Kwee Ceng adalah lain daripada yang lain. Ia sudah dapat mewariskan kepandaiannya Ciu Pek Tong, ia bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti tangan dua orang, kedua tangannya dapat digeraki menurut rasa hatinya. Maka itu celakalah keponakannya Auwyang Hong, yang tidak mengetahui kebiasaan orang itu. Tangan kanannya itu, yang dipakai menyerang ke muka, kena ditangkis hebat, sedetik itu juga tangan itu patah!
Dalam ilmu silat, Auwyang Kongcu tidak ada dibawahan Ma Giok, Ong Cie It atau See Thong Thian atau lainnya lagi, maka itu dibandingkan sama Kwee Ceng, ia menang segala-galanya, hanya kali ini ia kebentur sama ilmu silat yang istimewa, yang asing untuknya, dari itu robohlah dia!
Selagi lawannya itu roboh, hingga Oey Yong terlepas dari pelukan tangan kirinya, Kwee Ceng pun tidak menggubris, pemuda ini lebih memerlukan berlompat kepada pacarnya, yang rebah tak bergeming. Sekarang ia mengerti si nona kena tertotok, lantas saja ia menotok untuk membebaskannya.
Syukur Auwyang Kongcu menggunai totokan yang umum, dengan begitu Kwee Ceng dapat menyadarkan nona itu.
“Lekas bantu suhu!” berteriak Oey Yong yang sesadarnya dia.
Kwee Ceng sudah lantas berpaling kepada gurunya. Ia melihat gurunya itu dan Auwyang Hong tengah berkelahi mati-matian. Suara beletak-beletok dari bekerjanya api seperti menambah serunya pertarungan itu.
Yang hebat ialah terlihatnya badan perahu mulai karam.
Maka itu juga Kwee Ceng menyambar pengayuh, untuk memajukan perahunya datang dekat ke perahu besar itu.
Di dalam pertempuran itu, suasana menjadi terbalik. Sudah lama sejak Ang Cit Kong kerendam air, sekarang pakaiannya sudah kering semua, pakaian itu gampang tersambar api dan terbakar, hawa api pun membikin tubuh panas. Di pihak lain, tubuhnya Auwyang Hong basah kuyup, ia tidak takut api, bahkan bekas nyebur, ia menjadi seperti mendapat tambahan tenaga dan semangat. Tapi hebat si Pak Kay, Pengemis dari Utara itu, walaupun ia terdesak, ia memaksakan diri untuk bertahan.
Mendadak sebatang tiang layar jatuh dengan apinya yang berkobar, jatuh di tengah-tengah kedua jago itu. Mau atau tidak, mereka itu sama-sama berlompat mundur, hingga selanjutnya mereka terpisahkan kayu menyala-nyala itu.
Auwyang Hong penasaran, dengan tongkat ular-ularannya dia menyerang pula.
Ang Cit Kong tidak diam saja, ia mencabut tongkatnya dari pinggangnya, guna menangkis.
Kalau tadi mereka bertarung dengan tangan kosong, sekarang mereka menggunai genggaman. Tentu sekali, sekarang ini mereka berkelahi semakin hebat.
Kwee Ceng terus mengayuh perahunya. Ia terus bergelisah untuk gurunya. Hanya ketika ia menyaksikan pertempuran dua orang itu, perhatiannya jadi tertarik, ia menghela napas saking kagumnya.
Di dalam kalangan persilatan ada kata-kata, “Belajar golok seratus hari, belajar tombak seratus hari, belajar pedang selaksa hari”. Itulah bukti yang ilmu silat pedang paling sukar dipelajarinya. Demikian pada duapuluh tahun yang lalu, dalam pertempuran di Hoa San terlihat nyata sempurnanya tetapi pun sulitnya ilmu pedang, maka juga dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong masih menukar senjata mereka. Ang Cit Kong memakai tongkatnya yang ia senantiasa bawa-bawa, ialah tongkat warisan Kay Pang atau tanda tertua dari Partai Pengemis itu. Tongkat itu lebih panjang satu kaki daripada pedang sebatang dan sifatnya lemas, tetapi di tangan Cit Kong, satu ahli luar, gwa kee, tongkat itu menjadi tegar sekali.
Tongkat ular-ularan dari Auwyang Hong pun suatu senjata istimewa. Dan See Tok menggunainya itu dengan campuran gerak-gerik toya dan tongkat. Di ujung kepala tongkat ada ukiran kepala orang yang mulutnya terbuka tertawa, yang kedua baris giginya terpentang dengan semua giginya tajam serta gigi itu dipakaikan racun ular, maka diwaktu dipakai bersilat, kepala orang-orangan itu bergerak-gerak bagaikan hantu mengangga. Pula, asal pesawat rahasianya dikasih bergerak, dari dalam mulut itu bakal tersemburkan senjata rahasia yang beracun juga. Yang lebih lihay lagi ialah itu dua ekor ular yang melilit di batang tongkat, yang bisa memagut orang secara tiba-tiba….
Hebat pertempuran ini karena mereka sama-sama lihaynya. Tongkat Auwyang Hong terlebih unggul, tetapi Cit Kong adalah kepala Pengemis di seluruh Tionggoan dan sebagai kepala pengemis, dialah penakluk ular yang nomor satu. Demikian tongkatnya bergerak-gerak, bukan cuma menyerang lawan tetapi juga menghamtam kedua ular berbisa itu. Hanya dengan kelicikannya, Auwyang Hong saban-saban dapat menolongi ularnya itu. Ia menjadi sengit, diam-diam ia mengutuk pangcu dari Kay Pang itu, yang kelihayannya mesti ia akui.
Kwee Ceng menonton dengan pikirannya bingung. Mau ia membantu gurunya tetapi ia tidak mempunyakan kesanggupannya. Bukankah musuh itu sangat lihay? Mana dapat ia menyelak di antara mereka berdua.
Tapi juga Auwyang Hong insyaf untuk bahaya yang mengancam. Perlahan-lahan ia merasakan tubuhnya berhawa panas. Yang hebat hanya ia merasakan badan perahu, yang tinggal sebelah itu, mulai tenggelam. Penyerangan lawan dahsyat sekali, kalau ia tidak keluarkan kepandaiannya, bisa-bia ia terbinasa di tangan si pengemis tua ini. Maka ia lantas menukar siasat. Tangan kanannya, yang memegang tongkat, ia tarik, dann tangan kirinya dipakai menyapu.
Dengan tongkatnya Ang Cit Kong mengejar tongkat lawan, dengan tangan kirinya ia menangkis sapuan tangan kiri lawannya itu. Atau mendadak tangan kiri Auwyang Hong dikelitkan, diputar, untuk secepat kilat dipakai menyerang pula ke arah pelipis kanan dari musuhnya!
See Tok menggunai tipu silat Kim Coa Kun atau Kuntauw Ular Emas. Itulah siasat ilmu silatnya yang istimewa. Bahkan ia hendak mengandalkan ini ilmu pada pertemuan yang kedua kali nanti di Hoa San, untuk menunduki semua lawannya. Keistimewaannya ialah selagi dipakai menyerang, tangannya dapat diputar balik, untuk dipakai menyerang pula secara dahsyat diluar dugaan lawan. Begitulah, ia menggunai tipu silatnya ini terhadap Pak Kay. Ia percaya si pengemis tidak kenal ilmu silatnya itu.
Memang, mulanya Ang Cit Kong tidak kenal Kim Coa Kun, ia pun melihatnya secara kebetulan, yaitu di Poo-eng, Auwyang Kongcu menggunai itu terhadap Kwee Ceng. Sebabnya Cit Kong tidak menghadari pestanya Lee Seng beramai itulah karena ia lagi memikir keras tipu silat untuk memecahkan ilmu Kim Coa Kun itu. Maka, kali ini, melihat Auwyang Hong menggunai tipu ilmu silat ini lagi, Cit Kong sudah siap sedia. Dengan menggunai tipu silat Kim-na-ciu, menangkap tangan, ia mengulur tangannya untuk menjambret.
Inilah Auwyang Hong tidak sangka, ia terkejut sambil berlompat mundur. Justru itu ada jatuh segumpal api, yang menyambar kepadanya.
Cit Kong juga terkejut, dia terus melompat mundur. Sekarang dia dapat melihat tegas, yang jatuh itu adalah kain layar yang termakan api.
Di dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong kena ketungkup, tetapi barusan ia sedang kaget dan heran sebab ilmu silatnya kena dipecahkan lawan, ia juga baru menaruh kaki, sedang jatuhnya layar secara tiba-tiba, maka tidak berdayalah ia untuk menyingkir.
Dalam kagetnya itu, Auwyang Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia lantas menggunai tongkatnya, akan menyingkap kain layar itu. Lacur untuknya, tongkatnya itu terhalang tiang layar, tidak dapat ia geraki. Baru setelah itu ia menghela napas dan mengeluh: “Habis sudah, hari ini aku mesti pulang ke langit…”
Sekonyong-konyong ia menampak sinar terang. Tadinya ia berada dalam gelap gulita. Ketika ia awasi, ia melihat Ang Cit Kong tengah menggunai tongkatbya menyontek menyingkap layar.
Pak Kay adalah seorang yang berperangai halus dan murah hati, walaupun ia sangat benci See Tok untuk kelicikan dan keganasannya, ia masih tidak tega menonton orang mampus terbakar. Maka tanpa banyak pikir, ia memberikan pertolongan itu.
Auwyang Hong telah terbakar pakaiannya, rambutnya dan alisnya. Ia berlompat, terus ia menjatuhkan diri, bergulingan di lantai perahu. Dengan caranya ini ia hendak membikin api padam. Selagi ia bergulingan itu, mendadak perahu miring, lalu rantai jankar jatuh menimpa ke arahnya.
Cit Kong kaget hingga ia menjerit, terus ia berlompat akan menyambar jangkar itu. Celaka untuknya, jangkar itu merah marong bekas terbakar, ketika kena terpegang, kontan tangannya terbakar hangus dengan mengeluarkan suara terbakarnya, tetapi ia masih sempat melemparkannya ke laut. Hanya, selagi menolong ini dan hendak lompat ke laut, mendadak ia merasakan punggungnya berikut pundaknya menjadi kaku. Untuk sesaat ia melengak, tak tahu ia apa sebabnya itu. Atau tiba-tiba ia ingat suatu apa, yang berkelebat di otaknya. Segera ia menoleh ke belakang. Di dalam hatinya ia berkata: “Aku telah tolongi See Tok, mustahilkah ia menggunai tongkat ularnya mencelakai aku?” Ia berpaling, justru tongkat bambu berkelebat di depan matanya, kedua mulutnya ular penuh darah hidup, kepalanya sedang digoyang-goyang. Bukan main murkanya Ang Cit Kong, kedua tangannya segera melayang ke arah Auwyang Hong.
See Tok dapat berkelit, maka itu, sebatang tiang layar dibelakangnya terhajar keras, menjadi patah dan roboh karenanya.
Cit Kong tidak berhenti sampai di situ, ia menyerang terus.
Auwyang Hong melihat orang seperti kalap, ia tidak mau melawan berkelahi, ia lebih banyak berkelit sambil berlompatan.
“Suhu! Suhu!” Kwee Ceng berteriak-teriak melihat kelakuan gurunya itu. Ia pun merayap naik ke perahu besar.
Adalah di saat itu, Ang Cit Kong terhuyung-huyung. Ia merasakan kepalanya pusing, hingga ia tak ingat suatu apa.
Auwyang Hong berlompat maju, dengan sebelah tangannya ia menghajar punggung si raja pengemis. Hebat serangannya ini.
Dalam keadaanya seperti itu, Ang Cit Kong tidak bisa mempertahankan dirinya. Ia lantas saja roboh sambil muntahkan darah hidup.
Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong sangat kesohor kegagahannya, Auwyang Hong ketahui dengan baik, hajarannya ini tidak dapat segera menghabiskan jiwa orang, dan ia ketahui juga, kalau nanti Ang Cit Kong sembuh dari lukanya ini, pembalasannya tak akan ada habisnya, maka itu, sudah kepalang, ia mengambil sikap: “Berkasihan tidak menurunkan tangan, menurunkan tangan tidak berkasihan”. Ia lantas berlompat maju, dengan kakinya ia menjejak punggung orang!
Kwee Ceng baru saja naik dari perahunya ketika ia menyaksikan keganasan See Tok terhadap gurunya itu, tidak sempat ia maju lebih jauh untuk menolongi, karena tidak ada jalan lain, ia menyerang dengan kedua tangannya dengan pukulan “Sepasang naga mengambil air”. Ia menyerang ke punggung bagian pinggang.
Auwyang Hong tahu si bocah lihay, ia tidak memandang hebat. Ia geraki tangan kiri untuk menangkis, dengan tangan kanannya ia membalas menyerang. Di sebelah itu, kakinya terus menginjak Ang Cit Kong!
Kwee Ceng kaget hingga ia melupakan segala apa, ia berlompat menubruk Auwyang Hong, batang leher siapa ia rangkul. Tapi justru ini, ia membuat dirinya kosong, maka enak saja rusuknya kena dihajar si Bisa dari Barat.
Dalam keadaan rapat seperti ini, tidak leluasa Auwyang Hong menyerang, tetapi dasar ia lihay, serangan itu hebat, hanya syukur untuk Kwee Ceng, tenaga dalamnya telah mempunyakan dasar, maka ia tidak segera roboh, dia cuma merasakan sakit sekali dan separuh tubuhnya hampir kaku. Karena ini dia menjadi nekat, ia perkeras rangkulannya, untuk mencekik leher orang.
Oleh karena perlawannan Kwee Ceng ini, tendangan Auwyang Hong kepada Ang Cit Kong menjadi batal, sebab untuk membela diri, ia mesti segera menarik pulang kakinya itu. Tapi ia tidak sanggup menggunakan kuntauw Kodok atau Ular Emas, untuk itu mereka ada terlalu rapat, maka ia cuma dapat menyerang muka orang. Kwee Ceng berkelit setiap kali ia dipukul. Untuk menangkis, ia tidak mampu, lantaran kedua tangannya lagi digunakan dengan sekuat tenaganya. Ia bisa berkelit di atas kepalanya - tidak bisa ia dibawah - yaitu rusuknya. Maka lagi-lagi See Tok menyikut.
Kwee Ceng mesti berkelit ke kanan, dengan begitu ia terpaksa melepaskan tangan kirinya, tetapi ia tidak berhenti berdaya, dengan lekas ia menggunai ilmu gulat bangsa Mongolia. Tangannya itu ditelesupkan ke antara iga dan lengan musuh, diulur untuk membangkol batang leher.
Auwyang Hong lihay tetapi sekarang ia pun merasakan sakit. Ia mengerti si anak muda menggunai tipu silat apa, hanya celakanya untuk dia, ia tidak mengerti caranya untuk menolongi diri, dari itu ia cuma bisa menggunai kepalan tangannya meninju ke belakang.
Melihat ini Kwee Ceng menjadi sangat girang. Segera ia melepaskan cekikannya, dengan tangan kanan itu, tangan ditelesupkan seperti tangan kiri taidi - kalau tadi di sebelah kiri, sekarang di sebelah kanan. Kembali ia membangko leher orang, berbareng dengan mana ia berseru mengerahkan tenaganya. Dengan menggunai dua tangan berbareng, ia menjadi berbahaya sekali. Ini dia yang dinamakan tipu “Menjirat mematahkan gunung”. Dalam halnya Auwyang Hong, dia terancam patah leher….
Cerdik sekali Auwyang Hong. Ia pun bertindak dengan sebat. Ia mengasih turun kepalanya, untuk nelusup ke selangkangan si anak muda sembari berbuat begitu ia juga meninju dengan kepalan kiri. Ia tidak mau mengasih ketika orang sempat mengerahkan tenaganya.
Sebelum ia kena ditinju, Kwee Ceng telah menyambar tangan kiri si jago yang berbisa itu. Ia tetap merapatkan tubuhnya kepada tubuh musuh, ia mencoba terus menggunai ilmu gulatnya. Ia menginsyafi, satu kali mereka renggang, ia bisa susah. Pula, dengan berkelahi rapat, ia dapat mencegah musuh mencelaki gurunya.
Oey Yong bingung sekali. Di satu pihak ia tampak Ang Cit Kong rebah di pinggir perahu, separuh tubuhnya berada di luar perahu, di lain pihak terlihat Kwee Ceng lagi bergulat mati-matian terhadap Auwyang Hong, keduanya bergulingan, tubuh mereka sudah tererap api. Karena ini dengan pengayuh ia mengahajar Auwyang Kongcu.
Walaupun dia telah terluka tangan kirinya, pemuda she Auwyang ini tetap kosen. Ia berkelit ke kiri, sambil berkelit, tangannya menyambar lengan si nona.
Oey Yong berkelit sambil menekan perahu, hingga perahu itu menjadi miring.
Auwyang Kongcu tidak bisa berenang, miringnya perahu membikin tubuhnya terhuyung. Untuk menetapkan diri, ia batal menyerang terus kepada si nona.
Menggunai saat perahu miring itu, Oey Yong terjun ke air. Ia pandai berenang, ia tidak takut. Hanya dengan beberapa kali menggunakan tangannya, tubuhnya sudah nyelosor ke perahu besar. Perahu itu tinggal separuh, sekarang separuh tubuh itu sudah kelam separuhnya lagi. Dengan gampang si nona naik ke parhu besar itu. Di situ ada sebuah tempuling, ia sambar itu hendak ia membantu Kwee Ceng.
Auwyang Hong dan si anak muda masih berkutat bergulingan, bergantian di bawah dan di atas, akan kemudian, karena ia terlebih hilay, Auwyang Hong terus berada di sebelah atas. Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng terus mengendalikan kedua tangan musuh, supaya musuh tidak dapat menyerang kepadanya.
Adalah di saat itu, Oey Yong berlompat maju sambil menikam.
Hebat Auwyang Hong. Ia mendapat tahu ada serangan di belakangnya, ia berkelit seraya mengerahkan tenaganya mengangkat tinggi tubuh Kwee Ceng, memakai si anak muda sebagai tameng.
Oey Yong mengubah serangannya, kali ini kepala See Tok.
Jago tua itu bisa berkelit, bahkan terus-terusan ia mengegos ke kiri dan ke kanan, menyingkir dari ujung tempuling.
Tiga kali oey Yong menikam dengan sia-sia, yang keempat kalinya, tempulingnya nancap di lantai perahu, hingga abunya mengepul naik mengenai matanya, hingga ia kelilipan dan matanya mengeluarkan air. Ia mengucak matanya itu. Justru itu ia merasakan kakinya sakit, tubuhnya limbung, malah terus ia roboh. Sebab Auwyang Hong telah sapu kakinya selagi ia tidak melihat.
Si nona roboh untuk terus menggulingkan diri, buat berlompat bangun. Karena robohnya itu, rambutnya kena kesambar api. Ia maju pula, untuk mengulangi serangannya. Atau mendadak Kwee Ceng berseru-seru: “Tolongi suhu dulu! Tolongi suhu dulu!”
Oey Yong mengerti tugasnya, ia lantas lari kepada Ang Cit Kong, ia tubruk tubuh orang, untuk dipeluk, setelah mana ia terjun ke air. Dengan menyeburkan diri, ia lantas merasakan tubuhnya adem, tak sepanasnya lagi seperti tadi. Ia berenang sambil menggendong gurunya, ia menuju ke perahu kecil.
Auwyang Kongcu berdiri di atas perahu kecil itu, sebelah tangannya mengangkat pengayuh.
“Lepaskan si pengemis tua! Cuma kau sendiri yang boleh naik!” demikian teriaknya dengan mengancam.
Sebelah tangan Oey Yong masih memegangi tempulingnya.
“Baiklah, mari kita bertempur di dalam air!” ia pun berseru, menjawab ancaman itu. Ia menyambar pinggiran perahu, ia menggoyangnya.
Auwyang Kongcu kaget dan ketakutan melihat perahu tergoncang keras. Kalau perahu itu terbalik dan karam, celakalah dia.
“Jangan, jangann goncang!” ia berteriak-teriak seraya keras memegangi perahu. “Nanti perahu ini karam…”
Oey Yong tertawa.
“Lekas tarik guruku naik!” ia menitah. “Hati-hati! Jikalau kau main gila, aku nanti lelapkan kau di dalam air selama tiga jam!”
Auwyang Kongcu tidak berdaya, terpaksa ia memegang bebokongnya Ang Cit Kong, untuk mengangkatnya naik ke perahu.
“Nah, beginilah baru anak manis!” berkata Oey Yong tertawa.
Sebenarnya Oey Yong hendak kembali ke perahu besar, untuk menolongi Kwee Ceng, atau mendadak ia mendengar satu suara nyaring sekali, lalu melihat gelombang besar dan tinggi medampar ke arahnya. Ia lantas memutar tubuhnya, habis itu ia berbalik pula, rambutnya di depan mukanya tersingkap ke belakang. Ia berdiri tercengang kapan ia sudah memandang ke depan.
Gelombang barusan berputar seperti usar-usaran air, di situ tidak terlihat lgi perahu besar yang tinggal separuh tadi, dengan begitu, lenyap juga Kwee Ceng dan Auwyang Hong yang tengah bergulat itu.
Oey Yong baru sadar ketika air asin menyambar masuk ke dalam mulutnya. Tadinya ia seperti lupa akan dirinya sebab hatinya mencelos mendapatkan pemuda pujaannya lenyap, lenyap dibawa air. Ia lantas melihat ke sekelilingnya. Di situ ia tidak nampak apa juga kecuali si perahu kecil. Rupanya semuanya sudah ditelan sang laut………………….
Oey Yong selulup, ia berenang ke arah air berputar itu. Ia tidak jeri untuk tenaga besar dari usar-usaran air itu, ia dapat mempertahankan diri dari sedotan yang keras. Di situ ia selulup ubak-ubakan, untuk mencari Kwee Ceng. Lama ia berputaran, Kwee Ceng tidak nampak, Auwyang Hong pun tidak ada. Maka maulah ia menduga, kedua orang itu telah kena terbawa perahu sampai di dasar laut…………
Lama-lama lelah juga Oey Yong. Tapi ia masih belum putus asa, ia bahkan penasaran. Maka ia mencari terus. Sangat ia mengharap-harapkan nanti dapat menemukan si anak muda. Diam-diam ia mengharapi bantuan Thian, mengasihani dia. Tapi masih sia-sia belaka usahanya itu. Saking letih, ia muncul ke muka air. Ia berenang ke perahu kecil. Di dalam hatinya ia berjanji, sebentar ia akan selulup pula, untuk mencari terlebih jauh.
Auwyang Kongcu melihat si nona menghampirkan, ia mengulur tangannya untuk membantui dia naik ke perahu. Ia pun sangat berkhawatir atas lenyapnya pamannya itu.
“Apakah kau melihat pamanku? Apakah kau melihat pamanku?” demikian pertanyaannya berulang-ulang.
Oey Yong tidak menyahuti, bahkan ia tak sadarkan diri sebab begitu lekas juga ia merasai matanya gelap….
Beberapa lama si nona pingsan, inilah ia tidak ketahui. Ketika ia mendusin, ia merasakan tubuhnya enteng, bagaikan melayang-layang di antara mega, kupingnya pun mendengar suara angin mendesir-desir. Lekas-lekas ia memusatkan pikirannya, kemudian ia menggeraki tubuhnya, untuk berduduk. Maka sekarang bisalah ia melihat ke sekitarnya.
Ia masih berada di atas perahu kecil, perahu itu hanyut mengikuti lairan gelombang. Auwyang Kongcu tidak mengerti urusan mengemudikan perahu, maka itu ia membiarkan perahunya berlayar sendirinya….
Pula, entah berapa jauh sudah terpisahnya perahu dengan tempat karamnya perahu besar itu.
Bukan main berduka dan sakitnya hati Oey Yong. Ia percaya ia tidak bakal bertemu pula dengan Kwee Ceng. Mendadak saja ia pingsan lagi.
Auwyang Kongcu duduk diam dengan sebelah tangannya keras-keras memegangi perahu, yang terombang-ambing itu.
Lewat sekian lama, Oey Yong sadar sendirinya. Ia benar-benar putus asa, hingga tawar untuk hidup lebih lama pula. Ketika ia menoleh kepada Auwyang Kongcu timbullah rasa muak dan bencinya. Pemuda itu lagi memperlihatkan roman ketakutan.
“Mana bisa aku mati bersama-sama binatang ini?” pikir si nona sesaat kemudian. Maka ia segera berlompat bangun.
“Lekas lompat ke laut!” ia membentak bengis.
Auwyang Kongcu kaget bukan main.
“Apa?!” dia menanya.
“Lompat ke laut!” sahut Oey Yong dengan bentakannya. “Kau tidak mau lompat? Baik! Akan aku terbaliki perahu ini!”
Lantas si nona lompat ke kanannya, maka kontan perahu itu miring ke kanan, dari situ ia lompat pula ke kiri, membuatnya perahu turut miring ke kiri itu, bahkan miringnya terlebih hebat.
Auwyang Kongcu ketakutan, ia menjerit keras.
Senang Oey Yong mendengar teriakan itu, sengaja ia menggoncang pula kenderaan itu lagi.
Dalam takutnya itu, Auwyang Kongcu masih dapat berpikir. Biar bagaimana, ia pun seorang lihay. Terpaksa ia mengambil tindakan. Setiap kali si nona lompat ke kanan, ia lompat ke kiri, demikian sebaliknya. Ia senantiasa mengimbangi nona itu.
Oey Yong kewalahan, tidak dapat ia menggoda terlebih jauh.
“Baik!” katanya kemudian. “Hendak aku membocorkan perahu, ingin aku lihat, kau bisa bikin apa!” Ia menghunus pisau belatinya, ia lompat ke tengah-tengah perahu itu.
Justru itu, Oey Yong melihat Ang Cit Kong lagi rebah tengkurup tanpa bergerak. Ia menjadi kaget sekali. Baru sekarang ia ingat pula akan gurunya itu. Segera ia mendekati, akan memasang kupingnya. Ia mendengar suara napas perlahan, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas mengangkat bangun tubuh orang, untuk dibalik, hingga ia dapat melihat wajah gurunya itu.
Mukanya Cit Kong sangat pucat, dadanya bergerak turun naik perlahan-lahan, jantungnya berdenyutan perlahan juga, tanda dari kelemahannya.
Keras keinginan si nona untuk menolongi gurunya, ia tak pedulikan lagi Auwyang Kongcu. Ia lantas membukai baju gurunya, untuk memeriksa lukanya.
Tiba-tiba saja perahu itu bergerak keras.
“Tepian! Tepian!” Auwyang Kongcu pun berseru-seru kegirangan.
Oey Yong segera menoleh. Ia melihat pepohonan yang lebat. Perahunya sudah berhenti bergerak. Kenderaan air kandas di tepian pulau yang berpasir. Masih jauh akan tiba di darat, tetapi air ke arah sana dangkal sekali, dasarnya tampak. Mungkin dalamnya air tak sebatas dada.
Dalam girangnya Auwyang Kongcu lompat turun dari perahu. Ia lantas jalan beberapa tindak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Oey Yong, terus ia berjalan kembali.
Oey Yong melihat pada tulang belikat kanan dari gurunya ada tapak tangan yang hitam, tapak itu dalam membekas di daging, seperti bekas dibakar. Di sekitar itu ada tanda hangus. Ia kaget sekali.
“Kenapa sehebat ini tangannya See Tok?” ia menanya di dalam hatinya.
Ia melihat punggung sebelah kanan dan leher, di sana ada dua lubang kecil sekali, hampir tak terlihat. Ia meraba dengan jari tangannya, ia merasakan sakit seperti terkena hawa panas, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu.
“Suhu, bagaimana?” ia menanya.
Ang Cit Kong bersuara, “Hm!” perlahan, ia tidak menyahuti.
“Eh, mari keluarkan obat pemunahmu!” Oey Yong tegur Auwyang Kongcu.
Pemuda itu menggeraki kedua tangannya, tanda putus asa.
“Semua obat ada di tangan pamanku,” sahutnya.
“Aku tidak percaya!” berkata si noa.
“Kau geledah saja!” Auwyang Kongcu menyerah. Ia buka bajunya, ia keluarkan semua isi sakunya.
Oey Yong mengawasi dengan melongo.
“Nah, mari bantu aku mengangkat guruku ke darat!” ia berkata kemudian.
Auwyang Kongcu menurut. Maka Ang Cit Kong lantas dikasih bangun, untuk dapat didukung. Kedua muda-mudi itu memasang pundak masing-masing, untuk menahan si orang tua. Kemudian Oey Yong memegang tangan kirinya Auwyang Kongcu untuk tangan mereka saling disilang, hingga si orang tua dapat duduk di tangan mereka yang terpalang melintang.
Hati Oey Yong cemas sekali. Ia merasakan tubuh gurunya gemetar.
Auwyang Kongcu sebaliknya girang. Ia merasakan tangan yang halus dan empuk memegang erat-erat tangannya. Ini ada kejadian yang sekalipun di dalam mimpinya ia tidak berani mengharapkannya. Maka ia amat menyesal yang cepat sekali mereka sudah tiba di darat.
Sambil berdongko dan membungkuk, Oey Yong menurunkan gurunya.
“Lekas ambil papan perahu!” ia menitahkan Auwyang Kongcu. “Jaga jangan basah!”
Habis menurunkan Ang Cit Kong, Auwyang Kongcu membawa tangannya ke bibirnya, ia berdiri menjublak. Itulah bagian tangan yang sejak tadi dipegang erat-erat oleh tangan yang halus dan empuk dari si nona. Karena itu, ia seperti tidak mendengar perkataan si nona. Syukur untuknya, Oey Yong tidak menyangka jelek terhadapnya, cuma sambil mendelik si nona mengulangi perintahnya.
Dengan cepat Auwyang Kongcu mengambil papan. Itu waktu Oey Yong telah tengkurapkan tubuh gurunya di rumput yang empuk, ia mencoba akan meringankan sakitnya. Maka diam-diam pemuda ini dapat lari ke tanjakan yang tinggi. Sembari lari ia menanya dirinya sendiri: “Tempat apakah ini?” Ketika ia sudah melihat ke sekelilingnya, ia kaget berbareng girang. Itulah sebuah pulau kecil, yang lebat dengan pepohonan, hingga ia tidak tahu, pulau itu ada penghuninya atau tidak. Ia kaget kapan ia mengingat, kalau pulau itu kosong, darimana mereka dapat makanan dan pakaian, dimana mereka bisa bernaung? Ia girang tempo ia ingat bahwa ia berada berduaan sama si nona manis, sedang si pengemis tua, ia percaya sukar dapat ditolongi lagi.
“Sama si cantik aku berdiam di sini, pulau kosong pun bagaikan sorga!” pikirnya. “Kalau toh aku mesti mati dalam sehari atau semalam, aku puas…”
Seking girangnya, ia berjingkrakan seperti orang menari. Hanya ia kaget tatkala ia angkat tangan kanannya. Baru sekarang ia ingat lengannya itu telah patah. Karena ini lekas-lekas ia menggunai lengan kirinya mematahkan dua cabang pohon, ia pun merobek ujung bajunya. Maka dilain saat ia sudah dapat menggantung tangannya itu.
Oey Yong sendiri telah memencet keluar darah hitam dari luka gurunya. Itulah darah bercampur racun. Habis itu, ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Di situ tidak ada obat. Ia cuma bisa pindahkan gurunya ke tempat di mana ada dua potong batu besar, untuk gurunya beristirahat.
“Coba kau lihat tempat ini tempat apa!” kemudian si nona teriaki Auwyang Kongcu. “Coba cari tahu kalau-kalau dekat sini ada rumah orang atau pondokan…”
“Inilah sebuah pulau,” menyahut Auwyang Kongcu sambil tertawa. “Terang sadah disini tidak ada pondokan. Tentang rumah orang, lihat saja peruntungan kita…”
Oey Yong terperanjat.
“Pergilah kau periksa!” ia menitah pula.
Senang si anak muda menerima titah si nona manis, ia lantas pergi. Ia masih dapat menggunai ilmunya ringan tubuh walaupun tangannya sakit. Mulanya ia lari ke timur di mana temapt lebat dengan pepohonan dan oyot berduri. Ia tidak mendapatkan apa-apa, maka ia putar ke utara. Di sini pun ia tidak melihat rumah orang atau gubuk, hanya dengan menggunai batu ia berhasil menimpuk roboh dua ekor kelinci, yang ia lantas bawa kembali.
“Benar-benar sebuah pulau kosong!” katanya.
Oey Yong melihat orang tersenyum, ia mendongkol.
“Pulau kosong? Habis, apanya yang lucu?!” ia menegur.
Pemuda itu mengulur lidahnya, ia tidak berani banyak omong, terus ia mengeset kulit kelinci, setelah mana, ia menyerahkannya kepada si nona.
Oey Yong merogoh sakunya, mengeluarkan terkesannya. Syukur ia menyimpannya dengan dibungkus dengan kertas minyak, alat penyala api itu tidak basah, maka dilain saat, ia sudah menyalakan api dengan apa dua ekor kelinci itu dipanggang. Sesudah matang, yang seekor ia lemparkan itu kepada si anak muda, yang seekor lagi ia beset sebelah pahanya, untuk diberikan kepada gurunya.
Ang Cit Kong terluka parah, ia masih belum sadar betul, tetapi begitu ia memcium bau daging, segera terbangun napsu daharnya. Memangnya ia penggemar gegares. Segera juga ia sudah mulai mengerogoti dan mengunyah daging kelinci itu. Habis sepaha, ia menunjuk sikap masih ingin pula, maka muridnya, yang hatinya girang, memberikan pula ia sepaha yang lain.
Setelah makan habis dua paha, Cit Kong menjadi lemah, malah dilain saat ia terus tidur pulas.
Oey Yong melihat cuaca mulai remang-remang, tandanya sang malam sudah tiba, dari itu lekas-lekas ia pergi mencari lubang gua, untuk memernahkan gurunya itu.
Auwyang Kongcu membantui tanpa diperintah atau diminta. Ia mencari rumput kering guna diampar sebagai kasur. Ia pun membantu memodong orang tua itu. Kemudian ia mencari rumput lagi, guna mengampar dua tempat, buat dia sendiri dan si nona.
Selama itu Oey Yong melainkan melirik saja, ia tidak ambil peduli pemuda itu, hanya disaat orang telah selesai bekerja dan lagi mengulet, untuk merebahkan diri, mendadak ia menghunus pisau belatinya.
“Pergi keluar!” ia mengusir.
Pemuda itu tertawa.
“Aku tidur disini toh tidak mengganggumu?” katanya. “Kenapa kau begini galak?”
“Kau pergi atau tidak?!” si nona menegaskan, alisnya bangkit.
“Akan aku tidur baik-baik, kau jangan takut,” berkata pula si anak muda tersenyum.
Oey Yong habis sabar, ia berbangkit untuk mengambil puntung api, ia bawa itu ke tempat si anak muda, ia bakar orang punya rumput amparan, maka sebentar saja habislah itu menjadi abu.
Auwyang Kongcu menyeringai, dengan terpaksa ia mengeloyor keluar dari gua itu. Di pulau seperti itu ia tidak takut ada binatang beracun atau buas, ia berlompat naik ke atas sebuah pohon di mana ia mencari cabang untuk memernahkan tubuhnya. Tapi tak gampang untuk tidur pulas, ia bergelisah, maka belasan kali ia naik turun, di pohon itu. Saban-saban ia menoleh ke arah gua di mana ada cahaya tabunan. Ia telah memikir untuk menyerbu ke dalam gua, senantiasa ia gagal, hingga ia mengatakan dirinya, kenapa ia demikian bernyali kecil. Biasanya pekerjaan mencuri, atau memaksa kesenangan seperti itu, sudah umum baginya, hanya terhadap nona ini, ia segan-segan. Sebenarnya, walaupun hanya dengan sebelah tangan, dapat ia melawan nona itu. Bukankah tak ada halangannya Ang Cit Kong berada bersama sebab si raja pengemis sudah tidak berdaya? Entah bagaimana, ia jerih sendirinya….
Dengan mata mendoleng, Auwyang Kongcu mengawasi Oey Yong merebahkan diri. Cahaya tabunan membuatnya ia dapat melihat. Ia cuma memandang, lain tidak.
Oey Yong sendiri rebah dengan mata meram tetapi tidak pernah ia pulas. Ia tidak mempercayai keponakannya Auwyang Hong itu, yang ia khawatir nanti menyerbu selagi ia tidur. Ia juga keras memikirkan lukanya Ang Cit Kong, yang belum tentu bisa diobati. Maka lega hatinya ketika sang pagi muncul. Baru sekarang ia berani tidur hingga lamanya satu jam. Ia mendusin ketika ia bermimpi gurunya itu merintih.
“Suhu, bagaimana?” ia menanya seraya ia melompat bangun, untuk berduduk.
Cit Kong mengangkat tangannya, menunjuki mulutnya, yang pun berkelemak-kelemik.
Si nona mengerti gurunya lapar, ia lantas memberika sisa daging semalam.
Habis dahar, agaknya Cit Kong memperoleh tenaga. Ia bisa bergerak untuk duduk, maka itu terus ia bersemadhi, akan membikin lurus jalan napasnya.
Oey Yong mengawasi. Ia tidak berani membuka mulut, khawatir mengganggu pemusatan pikiran gurunya itu. Beberapa kali ia melihat sinar dadu di muka yang pucat dari sang guru, lalu itu terganti dengan pucat pasi pula. Perubahan itu terjadi berulangkali. Itulah tandanya bekerjanya pemusatan pikiran. kemudian embun-embun si jago tua mengeluarkan hawa seperti asap, disusul sama mengucurnya peluh dingin di dahinya. Banyak peluh yang ekluar itu. Diakhirnya tubuh orang tua ini bergemetaran seperti menggigil.
Disaat itu di mulut gua terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Itulah Auwyang Kongcu, yang melongok untuk masuk ke dalam.
Oey Yong mengerti saat penting dari gurunya, kalau ia kena dibikin kaget, mungkin gagal pemusatan pikirannya itu, maka ia lantas membentak perlahan: “Lekas pergi!”
Pemuda itu tertawa.
“Aku ingin berdamai sama kau, bagaimana kita harus melewati hari di pulau kosong ini,” katanya. Ia tidak lantas menyingkir, hanya bertindak maju.
Ang Cit Kong membuka matanya. Ia rupanya dapat mendengar perkataan orang.
“Pulau kosong apa ini?” ia menanya.
“Kau berlatih terus, suhu!” Oey Yong memegat. “Jangan pedulikan dia!” Ia berpaling kepada si anak muda sambil ia berbangkit. “Mari turut aku, kita pergi keluar!” katanya.
Auwyang Kongcu menjadi girang, ia turut pergi.
Pagi itu cuaca terang sekali. Oey Yong memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan laut biru, langit seperti nempel dengan air itu. Ia melihat beberapa gumpal awan putih bagaikan tergantung di udara. Sama sekali tak nampak daratan lainnya.
Ia bertindak ke tempat di mana kemarin mereka mendarat. Mendadak ia terjaga.
“Mana perahu kita?!” ia menanya sambil berseru.
“Ah ya, ke mana perginya, ya?” balik tanya si pemuda. “Ah, tentu juga kena didampar air pasang……….”
Oey Yong mengawasi muka orang, yang tak kaget dan merasa aneh seperti dia, maka maulah ia menduga, tentulah tadi malam pemuda ini yang emndorong perahu itu untuk dibikin hanya terbawa gelombang. Dengan begitu si anak muda hendak membikin mereka tidak dapat berlalu dari pulau kosong ini.
“Sungguh dia jahat!” katanya dalam hatinya. Ia menjadi tidak takut. Ia memang sudah memikir sulit untuk kembali dengan masih bernyawa. Laginya perahu kecil itu tak mungkin dapat membawa orang ke darat. Hanya sekarang ia memikirkan gurunya, yang tentunya pun tak dapat pulang lagi ke Tionggoan…
Kembali si nona mengawasi Auwyang Kongcu dengan bersikap tenang. Ia tidak mengentarakan sesuatu. Pemuda itu tidak berani bentrok sama sinar mata si nona, lekas-lekas ia tunduk.
Oey Yong lompat naik ke atas sebuah batu tinggi, di situ ia bercokol sambil memeluk dengkul, matanya memandang jauh ke depan.
Auwyang Kongcu mengawasi, hatinya bekerja.
“Kalau tidak sekarang aku mencoba membaiki dia, hendak aku menanti sampai kapan lagi?” pikirnya. Maka ia pun berlompat naik ke batu itu, untuk berduduk dekat si nona.
Oey Yong berdiam saja, ia tidak gusar, ia pun tidak menggeser tubuhnya.
Menampak demikian, si anak muda menjadi mendapat hati. Diam-diam ia memindahkan tubuhnya, untuk datang lebih dekat kepada si nona.
“Adikku,” katanya, perlahan. “Kita berdua bakal hidup bersama di sini hingga di hari tua, hidup sebagai dewa-dewi. Aku tidak tahu, di penitisan yang sudah, kebaikan apa itu yang telah aku lakukan…”
Oey Yong tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa geli.
“Di pulau ini, bersama guruku kita cuma bertiga. Tidakkah itu sepi?”
Lega hatinya si anak muda melihat orang tertawa.
“Ada aku yang menemani kau, mana bisa sepi?” katanya. “Laginya, kalau kemudian kita mendapat anak, bukankah itu menjadi lebih-lebih tak sepi?”
“Siapa toh yang melahirkan anak?” si nona tanya, tertawa. “Aku sendiri tak bisa…”
Auwyang Kongcu tertawa.
“Nanti aku ajari kau!” katanya. Ia lantas mengulur tangannya yang kiri, untuk merangkul si nona.
Tiba-tiba ia merasakan hawa yang hangat di tangannya. Sebab, tahu-tahu si nona sudah menyodorkan tangannya sendiri, untuk mencekal tangannya itu. Tanpa merasa, hatinya jadi berlompatan. Inilah ia tak sangka, hingga ia lupa akan dirinya.
Oey Yong menyenderkan tubuhnya di dada orang, sembari berbuat begitu tangannya yang kiri berkisar ke nada orang itu.
“Ada yang bilang,” katanya perlahan, “Kehormatannya enci Bok Liam Cu dirusak kau, benarkah itu?”
Pemuda itu tertawa lebar.
“Perempuan she Bok itu tak tahu diri!” sahutnya. “Dia tidak sudi ikut padaku. Aku Auwyang Kongcu, kau tahu aku orang macam apa? Mustahil aku sudi memaksa dia?”
Si nona menghela napas.
“Kalau begitu, nyata orang keliru mempersalahkan kau,” katanya.
“Anak itu terlalu besar kepalanya, sayang, sayang!” Auwyang Kongcu bilang.
Mendadak Oey Yong berpaling ke laut, tangannya menunjuk.
“Eh, apakah itu?!” katanya, agak terperanjat.
Auwyang Kongcu memandang ke arah yang ditunjuk itu, ia tidak melihat apa juga, maka ia berpaling lagi, untuk menanya, atau mendadak ia rasakan tangannya tercekal keras dan sakit, sampai ia tidak dapat berkutik. Ia justru mengandalkan tangan kirinya itu.
Tangan Oey Yong yang sebelah lagi memegang tempuling, ia ayunkan itu ke belakang, untuk menikam perut si anak muda.
Mereka berada sangat dekat satu dengan lain, si anak muda pun tercengang, sedang tangan kanannya mati, tentu saja ia tidak dapat menangkis, bahkan untuk berkelitpun susah. Tapi ialah murid seorang pandai, tak percuma ia berlatih silat duapuluh tahun di Pek To San, maka di saat seujung rambut itu, ia masih ingat untuk membela diri. Bukan ia menangkis atua berkelit, justru dengan dadanya ia membentur punggungnya si nona.
Oey Yong tidak menyangka, maka begitu kena dibentur, tubuhnya terpelanting jatuh dari atas batu. Saking kagetnya, cekalan kepada tangan orang telah terlepas. Tikamannya juga melesat, cuma tidak sampai kosong. Sebagai ganti perutnya, tempuling nyempret di paha kanan si anak muda.
Auwyang Kongcu sudah lantas lompat turun juga dari batu itu, ketika menghadapi si nona, ia dapatkan nona itu lagi berdiri mengawasi ia sambil tertawa haha-hihi, tangannya tetap memegang tempulingnya. Ia pun lantas merasakan sakit pada dadanya yang dipakai membentur itu. Ia lantas mengerti, walaupun berusan ia lolos dari bahaya maut, ia tidak bebas dari durinya baju lapis joan-kwie-kah dari nona itu.
“Kau aneh!” nona itu menegur. “Selagi enak-enak kita bicara, kenapa kau membentur aku? Sudah masa bodoh!” Dan dia memutar tubuhnya untuk mengangkat kaki.
Auwyang Kongcu berdiri bengong. Ia mendongkol berbareng ketarik hatinya kepada si nona, ia kaget berbareng girang. Ia tidak dapat menyelami hati non aitu. Sampai sekian lama, masih ia menjublak saja.
Oey Yong balik ke gua, ia menyesal bukan main. Ia menyesal yang ilmu silatnya belum sempurna. Bukankah ia telah membikin hilang satu ketika yang sangat baik? Ia tiba di dalam akan mendapatkan gurunya lagi rebah dengan disampingnya melulahan darah bekas muntah. Ia menjadi sangat kaget.
“Suhu!” ia memanggil seraya ia berdongko. “Kau kenapa suhu? Apa kau merasa baikan?”
Guru itu menghela napas perlahan.
“Aku ingin minum arak…” sahutnya.
Sakit Oey Yong merasakan hatinya. Di mana bisa mendapatkan arak di pulau kosong ini? Terpaksa ia mesti menghibur gurunya itu. Maka ia menyahuti: “Nanti aku dayakan suhu. Bagaimana kau rasakan lukamu, apakah tidak ada halangannya?” Tanpa merasa ia mengucurkan air mata.
Menghadapi kemalangan lebih besar, belum pernah Oey Yong menangis, tetapi sekarang ia bersedih bukan main. Ia mendekam di dada gurunya itu, ia menangis menggerung-gerung.
Cit Kong mengusap-usap rambut orang serta punggungnya juga, I apun bingung. Ia lah seorang tua, sudah puluhan tahun ia malang melintang dalam dunia kangouw, segala macam bahaya pernah ia menempuhnya, tidak ia habis daya seperti sekarang menghadapo murid disayanginya ini.
“Jangan menangis, anak yang baik,” katanya. “Gurumu sangat menyayangi kau. Anak yang baik tidak menangis. Ya, gurumu tidak mau minum arak…”
Oey Yong tetap bersedih, ia menangis terus, tetap selang sesaat, tangisannya itu membuat hatinya lega. Ia angkat kepalanya. Ia lihat dada gurunya basah dengan air matanya. Tiba-tiba ia tertawa. Ia menyingkap rambut di mukanya.
“Tadi aku telah tikam itu jahanaman, sayang gagal,” katanya. Terus ia menuturkan apa yang ia barusan lakukan terhadap keponakannya Auwyang Hong itu.
Cit Kong tunduk, ia tidak membilang suatu apa.
“Gurumu sudah tidak berguna lagi,” katanya. “Bangsat jahat itu jauh lebih menang daripadaku. Untuk melawan dia tak dapat kita menggunai tenaga tetapi harus dengan kecerdikan…”
“Suhu,” berkata sang murid, yang hatinya cemas, “Baiklah suhu beristirahat beberapa hari, untuk memelihara dirimu. Kalau suhu sudah sehat, tidakkah baik apabila suhu menghajar dia satu kali saja, membikin dia habis?”
“Aku telah dipagut ular dua kali, aku juga terkena pukulan kuntauw Kodok dari See Tok,” katanya berduka, “Dengan menghabiskan seluruh tenaga dalamku, dapat aku mengusir racun itu, mana aku masih bisa menyambung jiwaku beberapa tahun lagi, hanya karena aku mesti mengerahkan semua tenagaku, musnahlah ilmu silatku dari beberapa puluh tahun, musnah dalam satu hari saja. Gurumu adalah seorang yang bercacad, telah habis semua kebisaannya…”
Oey Yong kaget dan bingung.
“Tidak, suhu, tidak!” serunya. “Itulah tidak bisa jadi!”
Cit Kong tertawa.
“Aku si pengemis tua benar bersemangat akan tetapi sekarang, setelah sampai di akhirnya, tidak dapat aku tidak melegakan hati,” katanya. Ia berhenti sebentar, lalu ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia menambahkan: “Anak, gurumu terpaksa meminta kau melakukan sesuatu yang sulit sekali. Itulah permintaan yang bertentangan dengan rasa hatimu. Dapatkah kau melakukannya?”
“Dapat, dapat, Suhu!” si nona menjawab cepat. “Silahkan suhu sebutkan!”
Cit Kong menghela napas.
“Sayang berkumpulnya kita guru dan murid sangat pendek harinya,” berkata ia masgul. “Aku menyesal ynag aku tidak dapat memberikan pelajaran apa-apa kepadamu sedang sekarang aku hendak memaksakan hal yang sulit untumu, suatu tanggung jawab yang berat hendak aku bebankan di pundakmu. Sebenarnya di dalam hal ini hati gurumu tak tentram….”
Oey Yong heran untuk sikap ragu-ragu guru ini, sedang biasanya Pak Kay paling terbuka dan paling cepat mengambil keputusan. Maka maula ia percaya, tugas itu masti penting dan berat sekali. Tapi ia tidak jeri.
“Silahkan bilang, Suhu!” ia mendesak. “sekarang Suhu terluka pun disebabkan untukku karena kau mendatangi pulau Tho Hoa To, untuk budimu itu, meskipun tubuhku hancur lebur, belum dapat aku membalasnya. Hanya muridmu khawatir sekali, khawatir usianya yang masih muda, ia tidak sanggup menjalankan pesanmu ini.”
Mendengar begitu, Ang Cit Kong memperlihatkan roman girang.
“Dengan begitu kau jadinya telah menerima baik?” ia menegaskan.
Oey Yong mengangguk.
“Silahkan Suhu menitahkan,” sahutnya.
Dengan tiba-tiba Ang Cit Kong berbangkit bangun, untuk berdiri tegar. Ia rangkapkan kedua tangannya, bersilang di depan dadanya, lalu ia menjura dalam ke arah utara. Lantas ia berkata,” Cauwsu-ya, kau telah membangun Kay Pang hingga sekarang ini telah diwariskan kepada muridmu ini, sayang sekali muridmu tidak mempunyakan kemampuan hingga tak dapat ia membuatnya Partai kita jadi semakin besar dan bercahaya. Hari ini keadaan ada sangat mendesak, mau tidak mau, muridmu mesti melepaskan tanggungjawabnya, maka itu dengan berkah pelindungan Cauwsu-ya, muridmu mohon supaya anak ini dijagai hingga kalau toh ada bahaya bisalah ia terbebas dan memperoleh keselamatan karenanya, supaya selanjutnya ia dapat berbuat kebaikan untuk orang-orang Partai kita yang bersengsara.” Habis mengucap begitu, kembali ia menjura.
Selama mendengari, Oey Yong bengong saja, kemudian barulah ia tercengang.
“Anak, kau berlutut,” berkata Cit Kong kemudian.
Oey Yong menurut, ia menekuk lutut.
Ang Cit Kong mengambil tongkatnya, yang dinamakan Lek-tiok-thung, atau Tongkat Bambu Hijau, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya, kedua tangannya dirangkap, lalu ia menyerahkan itu ke dalam tangannya si nona.
Oey Yong terbenam dalam keragu-raguan.
“Suhu, kau menyuruh aku menjadi…menjadi…” tanyanya gugup.
“Benar!” Cit Kong menjawab. “Aku angkat kau sebagai Pangcu, kepala dari Kay Pang, Partai Pengemis. Akulah Pangcu yang kedelapan belas, mak aturun kepada kau, kau menjadi Pangcu yang kesembilanbelas. Sekarang mari kita menghanturkan terima kasih kepada Couwsu-ya.”
Hati Oey Yong tidak tentram akan tetapi ia menyilangkan kedua tangannya, ia menelad Cit Kong untuk menjura ke arah utara.
Pak Kay menghela napas panjang, dari wajahnya nampak ia letih sekali, tetapi ia bersemangat, tanda dari riangnya hatinya.
Oey Yong mempepayang, untuk membantu gurunya itu merebahkan diri.
“Sekarang kau menjadi Pangcu, dengan begitu aku menjadi tianglo,” kata Cit Kong. “Tianglo masih dihormati oleh Pangcu tetapi di dalam urusan besar dan penting, tianglo tunduk kepada titah pangcu. Inilah aturan yang menjadi pesan Couwsu-ya, yang sekali-sekali tak dapat disangkal. Asal tongkat Lek-tiok-thung ini berada di tanganmu, begitu kau memberikan titahmu maka semua pengemis di dalam negeri kita ini mesti menerima dan menurut segala titah itu.”
Oey Yong masgul berbareng gugup, ia bingung. Apa artinya gurunya ini dengan tiba-tiba mewariskan kedudukan raja pengemis padanya? Mana ada alasannya? Tapi gurunya tengah terluka parah, ia pun sudah memberikan janjinya, tidak dapat ia menampik. Penampikan berarti menambah susah hati gurunya itu. Ia juga memikir: “Kita sekarang berada di pulau kosong ini…di bulan dan tahun kapan kita dapat kembali ke tanah Tionggoan? Laginya, engko Ceng sudah meninggal dunia, aku tidak ingin hidup lebih lama…Sekarang suhu menyuruh aku mengepalai pengemis dari seluruh negeri…” Maka ia menjadi berdiam saja.
Ang Cit Kong berkata pula; “Tahun ini tanggal limabelas bulan tujuh ada tanggal rapat besar setahun sekali yang bakal diadakan di kota Gakyang di tepinya telaga Tong Teng Ouw, di sana akan berkumpul semua kepala pengemis dari pelbagai tempat. Rapat itu diutamakan untuk semua pemimpin mendengar aku menunjuk bakal gnatiku sebagai Pangcu, siapa sangka sekarang aku terbengkalai di sini. Kau telah menjadi penggantiku, kau dapat pergi ke sana untuk memegang pemimpin. Dengan kau mencekal dan membawa tongkat ini, semua saudara akan segera mengerti maksudku. Di dalam urusan Kay Pang, keempat tianglo lainnya akan membantu padamu, maka tak usahlah aku memesan banyak. Hanya aku menyesal sekali, tanpa sebab dan secara begini mendadak aku memaksakan kau, satu nona yang manis, merendahkan diri masuk ke dalam kalangan bangsa pengemis….”
Walaupun ia mengucap demikian, Pak Kay toh tertawa girang. Tapi, karena tertawanya itu, ia merasakan lukanya nyeri, setelah meringis, ia batuk-batuk tak henti-hentinya.
Oey Yong mengusap-usap punggung gurunya itu.
“Aku si pengemis tua benar-benar sudah tak punya gua,” kata Cit Kong setelah berhenti batuk-batuk. “Karena aku tidak tahu kapan aku bakal berpulang ke alin dunia, mesti aku lekas-lekas menurunkan ilmu silat Pa-kauw-pang kepadamu…!”
Sudah puluhan macam ilmu silat didapat Oey Yong dari gurunya ini, belum pernah ia mendengar Pa-kauw-pang, yang berarti ilmu silat pentungan menghajar anjing. Ia memikir-mikir, kenapa tak enak sekali disebutnya nama ilmu silat itu - mementung anjing….
“Bagaimana galaknya seekor anjing, dia dapat dihajar mampus dengan sebuah kepalan,” ia berpikir pula, “Maka itu, untuk apa mesti mempelajari pula ilmu silat menemplang anjing? Tapi suhu bicara dengan sikap begini sungguh-sungguh, baiklah aku menurut…”
Maka mengangguklah ia, bersedia menerima warisan ilmu silat yang ia anggap aneh itu.
Ang Cit Kong mengawasi muridnya, ia tertawa.
“Meskipun kau menjadi Pangcu, kau tak usah mengubah macam atau dandanmu, tak usah mengubah tabiat atau sifatmu,” berkata ia, menjelaskan. “Kau doyan guyon bergurau, tetap kau boleh berpesta pora dengan kenakalanmu itu! Kami bangsa pengemis, kami justru paling kemaruk sama kemerdekaan dan kebebasan, sebab tanpa kebebasan, tak dapat kami menjadi pengemis. Kalau tidak demikian, kenapa kita tidak menjadi saja pembesar negeri atau seoarng hartawan? Nampaknya kau tidak puas dengan Pa-kauw-pang, benarkah? Kau bilanglah terus terang!”
Oey Yong tersenyum.
“Muridmu sebenarnya memikirkan berapa ketangguhannya seekor anjning..” ia menyahut. “Muridmu memikir untuk apa mesti diciptakan semacam ilmu silat..”
“Sekerang kau telah menjadi kepala pengemis, kau harus memikir sebagai pengemis juga!” katanya. “Tapi pakaianmu indah, romanmu mentereng sebagai satu nona hartawan, kalau ada anjing melihat padamu, mestinya anjing itu mengangguk-angguk dan menggoyang-goyang ekor terhadapmu. Dengan begitu, apa perlunya menghajar anjing itu? Tetapi kalau si pengemis tulen bertemu sama anjing, hebatlah akibatnya, sungguh menyedihkan! Bukankah pepatah kuno ada membilang, ‘Seorang miskin melarat tanpa pentungan dia diperhina oleh anjing’? Kau belum pernah menjadi seorang miskin, kau tidak mengerti kesengsaraannya si miskin.”
Mendengar itu Oey Yong tertawa seraya bertepuk tangan.
“Suhu, kali ini kau keliru!” katanya gembira.
Cit Kong heran, ia melengak.
“Kenapa keliru?” tanyanya.
“Ketika pada bulan ketiga yang baru lalu ini aku minggat dari Tho Hoa To dan aku pergi ke Utara, di sana aku telah menyamar sebagai pengemis!” sahut si nona. “Disepanjang jalan ada saja anjing yang menggonggong dan mengikuti aku, hendak menggigit, selalu aku hajar dia dengan dupakan, lantas dia lari sambil menggoyang-goyang ekornya!”
“Ya, itulah benar,” berkata Ang Cit Kong. “Hanya kalau anjing sangat galak hingga sukar ditendang, tidak dapat tidak, tongkat harus dipakai untuk mementungnya!”
Si nona menjadi berpikir.
“Di mana ada anjing demikian galak dan hebat?” Tapi hanya sejenak, lantas ia insyaf. Maka ia menambahkan: “Benar! Manusia jahat pun ada sama dengan anjing galak!”
Cit Kong tersenyum.
“Kau sungguh cerdas!” pujinya. “Jikalau….”
Ia sebenarnya hendak menyebutnya Kwee Ceng pasti tidak dapat menebak, tetapi ia berduka, ia batal melanjutinya. Ia bahkan terus berdiam.
Oey Yong dapat menerka hati orang, ia berpura-pura tidak tahu. ia pun sangat berduka.
“Pa-kauw-pang terdiri dari tigapuluh enam jurus,” kemudian Cit Kong berkata pula, memberi penjelasan. “Itulah ilmu silat yang diciptkan sendiri oleh Couwsa-ya. Sampai sebegitu jauh, menurut aturan dan kebiasaan, ilmu silat ini cuma diajari dan diwariskan kepada Pangcu, tidak kepada orang yang kedua. Katanya dulu Pangcu yang nomor sebelas, tempo ia berada di gunung Pak Kouw San, ia telah dikepung banyak orang kosen, dengan sepasang kepalannya, ia telah menghajar mati lima di antaranya. Ketika itu, ia menggunai ilmu silat Pa-kauw-pang.”
Oey Yong tertarik, tetapi ia menghela napas.
“Suhu,” tanyanya, “Ketika di perahu besar itu kau menempur See Tok Auwyang Hong, kenapa kau tidak menggunai ilmu silatmu itu?”
“Menggunai ilmu silat itu adalah urusan besar dari Partai kita,” menyahut sang guru. “Sekalipun aku tidak menggunai, tidak nanti See Tok dapat mengalahkan aku! Siapa sangka dia ada sangat hina dina, aku sudha tolongi dia, dia justru membokong menyerang punggungku…”
Diwaktu mengucap demikian, wajahnya Pak Kay muram. Oey Yong dapat menduga kemendongkolan dan kemasgulan gurunya itu, hendak ia menyimpang pembicaraan.
“Suhu,” ia berkata, “Sekarang kau ajarkanlah ilmu silat tongkat itu kepada Yong-jie, sesudah Yong-jie bisa, nanti Yong-jie pakai untuk membunuh See Tok guna membalaskan sakit hati suhu!”
Cit Kong tertawa secara tawar. Ia menumput sebatang cabang kering, setelah mana mulutnya membaca, tangannya digerak-geraki. Ia tetap rebah tetapi ia dapat menjalankan tigapuluh enam jurus dari Pa-kauw-pang itu. Yang mana kurang jelas, ia menambahkan dengan keterangannya. Dengan cara itu ia menurunkan ilmu silat peranti mementung anjing itu. Ia tahu Oey Yonng cerdas sekali, ia mengajari dengan sungguh-sungguh. Dilain pihak ia khawatir yang umurnya tidak panjang lagi…..
Nama ilmu silat pentungan itu tak sedap didengarnya, tetapi ilmu silatnya sendiri lihay, banyak perubahannya, kalau tidak, tidak nanti ilmu itu menjadi ilmu istimewa dalam Kay Pang dan diwariskan secara turun temurun. Maka itu, mesti Oey Yong cerdas luar biasa dan ia dapat menjalankan, tak semuanya segera ia dapat menangkap maksudnya.
Habis memberi pelajaran, Cit Kong menghela napas, ia bermandikan keringat.
“Aku mengajari kau terlalu singkat,” ia berkata, “Itulah tidak bagus. Sebenarnya, tidak dapat aku mengajari lebih jauh…” Mendadak ia menjerit, “Aduh!” dan tubuhnya roboh rebah.
Oey Yong kaget, ia berlompat menubruk.
“Suhu!” ia memanggil. Ia pun mengasih bangun.
Tangan dan kaki Cit Kong dingin, napasnya jalan sangat perlahan. Nampaknya ia tidak dapat ditolong pula…
Selama beberapa hari ini hebat penderitaannya si nona, maka itu ia mendekam di tubuh gurunya itu, ia menangis tanpa dapat mengeluarkan suara. Ia masih dapat mendengar denyutan jantung dari gurunya itu. Lantas ia menggunai kedua tangannya, ia memegang kedua bagian rusuk, untuk membantu sang guru bernapas. Adalah di itu saat genting untuk gurunya, ia mendengar satu suara perlahan di belakangnya. lantas sebuah tangan diangsurkan ke lengannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar