Lima Pendekar Terhebat: Racun Barat, Kaisar Selatan, Raja Tengah, Pengemis Utara dan Sesat Timur |
BAB 41
Besoknya
pagi-pagi, begitu ia mendusin Ang Cit Kong
pantang bacotnya kepada Auwyang
Kongcu. Katanya: “Aku si pengemis
tua, ilmu silatku telah menjadi satu partai tersendiri, maka juga tidak aku
termahai Kiu Im Cin-keng, umpama kata kitab itu dibeber di depan mukaku, tak
nanti aku meliriknya! Cuma mereka yang tidak punya guna, yang ilmu silatnya
sendiri tidak karuan, dia ingin sekali mencurinya! Sekarang kau kasih tahu
paman anjingmu, Kiu Im Cin.keng bakal ditulis untuknya, biar ia menutup pintu,
mengeram diri, untuk memahamlannya! Nanti, sepuluh tahun kemudian, biar ia muncul
pula untuk mencoba menempur pula aku si pengemis tua! Kitab itu memang kitab
bagus tetapi aku si pengemis tidak menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia
mendapatkan kitab itu, apa dia bisa bikin terhadap aku si pengemis tua!”
Auwyang Hong berdiri diam di
samping pintu, ia dengar semua ocehannya si pengemis. Ia menjadi girang sekali.
Pikirnya: “Kiranya si pengemis bangkotan sangat jumawa, dia sangat mengandalkan
kepandaiannya, hingga ia suka menyerahkan kitab padaku, kalau tidak, ia tidak
dapat dipaksa…”
Akan
tetapi Auwyang
Kongcu menyangkal.
“Paman Ang,
kata-katamu barusan keliru sekali!” demikian bantahnya. “Ilmu kepandaian
pamanku sudah sampai dipuncaknya kemahiran! Paman boleh pandai tetapi paman
tidak nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-keng?
Sering pamanku itu mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab kosong
belaka, melulu untuk mendustakan orang, maka hendak ia melihatnya, untuk
ditunjuki bagian yang ngaco belo itu, supaya semua ahli silat di kolong langit
ini dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah pembeberan itu ada faedahnya untuk
kaum Rimba Persilatan?”
Ang Cit Kong menyambutnya dengan
tertawa terbahak.
“Ha,
kau tengah meniup kulit kerbau apa?” senggapnya. “Anak Ceng,
kau tulislah Kiu Im Cin-keng dan kau serahkan pada mereka ini! Jikalau si bisa
bangkotan dapat menemui kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si
pengemis tua berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!”
Kwee
Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia ke dalam gubuk
besar, kemudian ia mengeluarkan pit dan kertas, bahkan dia sendiri yang
menggosok bak, untuk membikin siap sedia segala apa untuk penulisan kitab
mujizat itu.
Kwee Ceng belajar surat tak banyak tahun,
tulisannya sangat jelek, sekarang pun ia mesti mengubah bunyinya kitab asli,
menulisnya jadi sangat perlahan. Ada
kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah huruf, ia minta Auwyang Kongcu
yang menuliskannya. Sampai tengah hari, tempo bersantap, kitab bagian atas baru
tercatat separuhnya. Selama itu Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul untuk
menyaksikan orang bekerja, hanya setaip lembar yang telah ditulis rampung, Auwyang Kongcu
lantas membawanya itu kepadanya di lain ruang dari perahu mereka itu.
Saban
ia menerima sehelai tulisan, Auwyang
Hong memeriksanya dengan seksama.
Ia tidak dapat membaca mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya, ia tidak
bercuriga. Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam artinya. Maka ia
telah berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, handak ia memahamkannya dengan
ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas akan dapat menguasai isi kitab
itu, hingga akan terwujudlah cita-citanya beberapa puluh tahun akan mendapatkan
pelajaran Kiu Im Cin-keng itu. Ia tidak mengambil mumat tulisan Kwee Ceng yang
tidak karuan macam itu, ia hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan
bagus, sama sekali tidak pernah ia menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan
ajaran gurunya untuk membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik….!
Kwee Ceng menulis terus dengan
keuletannya, maka ketika cuaca mulai gelap, ia berhasil menulis hingga
separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu.
Auwyang Hong tidak menghendaki
anak muda itu balik ke gubuk perahunya akan berkumpul sama Ang Cit
Kong, dia khawatir si pengemis
merubah ingatannya dan menyulitkan padanya. Masih ada kira separuh kitab
berarti ia masih dapat dipersukar. Maka ia lantas perintah orangnya menyajikan
barang hidangan untuk si anak muda, agar ia berdiam terus tanpa bersantap
bersama gurunya.
Ang Cit Kong menanti sampai jam
sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum kembali, ia merasakan hatinya tak
tentram. Ia pun berkhawatir muridnya itu mendapat susah apabila Auwyang Hong
bercuriga. Maka diam-diam ia keluar dari gubuknya. Ia dapat keluar karena
sekarang tidak ada lagi penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu ada dua orang
berpakaian serba putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu. Tidak sulit
baginya untuk melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia menyerang ke arah
layar, layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu berpaling, di waktu mana
ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.
Dari
jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong
menghampirkan jendela itu, untuk mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee Ceng
asyik duduk menulis. Dua nona dengan pakaian putih berdiri di sampingnya, untuk
melayani memasang dupa, menuangi air teh serta menggosok bak. Jadi muridnya itu
dilayani dengan baik. Hal ini membuat hatinya lega.
Tiba-tiba
pengemis ini merasakan hidungnya disampk bau arak yang harum sekali. Ia lantas
mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan muridnya.
“Si
bisa bangkotan sangat pandai menjilat!” pikirnya. “Muridku menulis kitab
untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku si pengemis tua, ia
menyediakan arak yang tawar seperti air!” Ia jadi ingin mendapatkan arak itu.
Ia berpikir pula: “Mestinya si bisa bangkotan menyimpan araknya di dasar
perahu, baik aku meminumnya hingga puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air
kencingku, biar nanti ia mencicipinya!”
Pengemis
tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri arak, ia ada sangat
pandai. Dulu hari pun di Lim-an, di dalam dapur
istana kaisar, ia dapat menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan batang
santapan untuk kaisar ia dapat mencicipinya terlebih dahulu! Penjagaan di
istana rapat sekali tetapi ia dapat berdiam di situ dengan leluasa, ia dapat
datang dan pergi dengan merdeka.
Demikian
denga berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat siapa juga di situ.
Dengan hati-hati ia membongkar papan lantai. Dengan menggunai hidungnya yang
tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.
Ruang
perahu itu gelap petang tetapi tidak menghalangi pengemis yang lihay ini.
Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak dengan
berhati-hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya. Di pojok ia melihat tujuh tahang arak, girangnya
bukan kepalang. Segera ia mencari sebuah mangkok sempoak. Ia padamkan apinya,
ia simpan itu di dalam sakunya, terus ia menghampirkan tahang.
Dengan
menggoyang tahang, ia mendapat tahu tahang yang pertama kosong. Yang kedua
ialah ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk membuka tutup
tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dari dua orang. Enteng sekali
tindakan itu, hingga ia menduga kepada Auwyang Hong
dan keponakannya. Ia lantas menduga mungkin paman dan keponakan itu hendak
melalukan sesuatu yang licik. Kalau tidak, perlu apa malam-malam mereka pergi
ke belakang? Maka ia lantas bersembunyi di belakang tahang.
Kapan
pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi pun bertindak masuk,
berdiri di depan tahang. Cit
Kong tidak dapat melihat akan
tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga: “Mungkinkah mereka
hendak minum arak? Tapi kenapa mereka tidak menitahkan orangnya?”
Lalu
terdengar suaranya Auwyang
Hong; “Apakah semua minyak dan
belerang di semua ruang perahu ini sudah siap sedia?”
Atas
itu terdengar tertawanya Auwyang
Kongcu, yang terus menjawab:
“Semua sudah siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan segera
menjadi abu, hingga si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus ketambus!”
Cit Kong kaget. “Ah, mereka
hendak membakar perahu?” katanya dalam hatinya.
Lalu
terdengar pula suaranya Auwyang
Hong: “Pergi kau kumpuli semua
gundik yang paling disayangi di dalam ruang. Sebentar kalo si bocah Kwee sudah
tidur pulas, kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang nanti pergi
kemari untuk menyalakan api.”
“Ular
kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?” Auwyang Kongcu
menanya.
Auwyang Hong menjawab dengan
dingin: “Si pengemis busuk ada jago silat kenamaan, kepala dari suatu partai,
pantas ada orang-orang yang berkorban untuknya….”
Habis
itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, atas mana Ang Cit Kong dapat mencium bau minyak. Dari dalam
peti-peti kayu, paman dan keponakan itu mengeluarkan banyak bungkusan terisi
belerang. Ketika minyak telah dituang melulahan, tatal atau hancuran kayu
disebar di atasnya. Di atas itu ada
palangan-palangan peranti meletaki bungkusan belerang. Selesai kerja, keduanya
pergi ke luar.
Masih Cit Kong mendengar suaranya Auwyang Kongcu,
yang berbicara sambil tertawa: “Paman, lagi satu jam maka bocah she Kwee itu
bakal dikubur di dasar laut, setelah mana di dalam dunia ini tinggallah kau
seorang yang mengetahui isinya kitab Kiu Im Cin-keng!”
“Tidak,
ada dua!” sahut sang paman. “Mustahilkah aku tidak mewariskannya kepadamu?”
Auwyang Kongcu girang dan tangannya
menutup pintu.
Ang Cit Kong gusar berbareng
kaget.
“Kalau
tidak malaikat menyuruh aku mencuri arak, mana aku ketahui aka keji dua orang
ini?” pikirnya. “Kalau api dilepas, bagaimana kami bisa menyingkir?”
Ia
menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia keluar
dari tempatnya bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk perahunya, di mana ia
mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia mengasih bangun muridnya itu
tatkala ia mendengar satu suara di luar pintu. Ia menduga Auwyang Hong
tengah mengawasi, lantas ia bersuara nyaring berulang-ulang: “Arak yang wangi, arak yang wangi! Mari lagi sepuluh poci!”
Auwyang Hong, orang di luar kamar
itu, tercengang.
“Ah,
dia masih saja minum!” pikirnya.
Lalu
ia mendengar pula suaranya si pengemis; “Tua bangka yang berbisa, mari kita bertempur pula sampai seribu jurus, untuk
memastikan siapa tinggi, siapa rendah! Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!”
Mendengar
sampai di situ, Auwyang
Hong ketahui orang sebenarnya lagi
mengigau atau ngelindur di dalam tidurnya.
“Lihat
si pengemis bau, tinggal mampusnya saja masih dia ngaco belo!” katanya.
Cit Kong pura-pura ngigau
tetapi kupingnya dipasang. Auwyang
Hong boleh lihay ringan tubuhnya
tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih terdengar si raja pengemis,
yang mengetahui orang pergi ke kiri. Lekas-lekas ia menghampirkan muridnya,
akan pasang mulutnya di kuping orang, yang pun ia bentur pundaknya dengan
perlahan. Terus ia memanggil: “Anak
Ceng!”
Kwee Ceng mendusin seketika,
agaknya ia terkejut.
“Kau
bertindak menuruti aku!” Cit
Kong berbisik singkat. “Jangan
menanyakan sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang dapat
melihat!”
Kwee Ceng merayap bangun,
sedangn gurunya menolak pintu, lalu menarik tangan bajunya. Mereka menuju ke
kanan. Mereka pun berjalan sambil melapai. Auwyang Hong
lihay, mereka khawatir mereka nanti terdengar si racun dari Barat itu.
Kwee Ceng heran tetapi ia
mengikuti tanpa membuka mulutnya. Lekas juga mereka berada di luar.
Ang Cit Kong menggunai
kepandaiannya “Cecak memain di tembok”, untuk bergerak turun, matanya mengwasi
muridnya. Ia berkhawatir juga sebab papan perahu licin. Kalau tangan mereka
terlepas, pasti mereka bakal tercebur ke laut dan mengasih dengar suara
berisik.
Ilmu
“Cecak memain di tembok” itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi dinding
perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak gampang untuk
merayap di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak. Syukur untuk Kwee Ceng,
Ma Giok telah melatih sempurna padanya selama mereka berada di gurun di mana
dia diwajibkan naik turun jurang.
Ang Cit Kong merayap terus,
separuh tubuhnya berada di dalam air. Muridnya itu tetap mengikutinya.
Tiba
di belakang, di tempat kemudi, Cit
Kong melihat di situ ada ditambah
sebuah perahu kecil. Ia menjadi girang sekali.
“Mari kita naiki perahu itu!” ia mengajak muridnya,
segera bertindak. Ia mengenjot tubuhnya, untuk menyambar perahu kecil itu,
ketika ia dapat memegang pinggarannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia
tidak mengasih dengar suara apa juga.
Begitupun Kwee Ceng, yang menyusul
gurunya.
“Lekas
putuskan dadungnya!” Ang
Cit Kong
menitah.
Kwee Ceng menurut, dengan
cepat ia menggunai pisau belatinya. Maka dilain saat, perahu kecil itu sudah
terombang-ambing dipermainkan sang ombak.
Cit Kong menggunai
pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang hebat.
Dengan
lewatnya sang tempo, perahu besar lenyap dari pandangan mata. Hanya dilain
saat, di sana
terlihat api lentera yang dicekal Auwyang Hong,
bahkan See Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu kecilnya
lenyap. Kemudian jeritan itu disusuli dengan kutukan, tanda dari kemurkaan
hebat.
Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga
dalamnya, lalu ia tertawa keras dan panjang.
Mendadak
itu waktu, di arah kanan ada sebuah perahu enteng menerjang gelombang, menuju
cepat ke arah perahu besar.
Heran
Ang Cit Kong,
hingga ia menanya dirinya sendiri: “Eh, perahu apakah itu?”
Hampir
itu waktu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang terbang
berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun berlompat satu
tubuh dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu besar itu. Samar-samar
terlihat berkilauannya gelang rambut emas di kepala orang itu.
“Yong-jie!”
Kwee Ceng berseru perlahan.
Memang
orang itu Oey
Yong adanya. Ketika ia melihat
kuda merah, ia ingat sepasang rajawali. Di
laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung. Maka ia lantas bersuit keras
memanggil dua burung piaran Kwee
Ceng itu. Bersama burung itu, ia
layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang matanya tajam, sudah lantas melihat
perahu besar, maka keduanya lantas terbang pergi. Dengan begitu bertemulah
mereka dengan tuan mereka, hingga Kwee Ceng
bisa mengirim warta kepada si nona, untuk mengabarkan mereka berada dalam
bahaya. Oey Yong lantas melayarkan perahunya dengan
cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit Kong
dan Kwee Ceng keburu naik perahu kecil kepunyaannya Auwyang Hong
itu.
Keras Oey Yong mengingat
keselamatan Kwee
Ceng, maka itu begitu lekas ia
melihat burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat dari
perahunya itu naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan tempulingnya
ketika ia berlompat itu.
Justru
itu di perahunya, Auwyang
Kongcu lagi kelabakan seperti semut
di atas kuali panas.
“Mana
Kwee Sieheng?!” tanya
si nona. “Aku bikin apa terhadapnya?”
Auwyang
ong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut minyak, tatkala ia
mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang hendak ia pakai untuk menyingkirkan
diri. Dalam keadaannya seperti itu, kupingnya mendapat dengar tertawanya Ang Cit
Kong dari tengah laut. Maka
mengertilah ia bahwa dia telah gagal mencelakai orang dan berbalik mencelakai
diri sendiri. Tentu sekali ia menjadi sangat menyesal dan bingung, mendongkol
dan berkhawatir. Tapi justru itu, dia melihat datangnya Oey Yong.
Sekejab itu juga timbul harapannya - di otaknya muncul pikiran yang sesat. Dia
berlompat sambil berseru: “Lekas naik ke perahu itu!” Dia maksudkan perahunya Oey Yong.
Akan
tetapi perahu itu ada perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang gagu. Dia itu
tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula
dia memang ada bangsa licik. Selama berada dengan Oey Yong,
dia takut, dia menurut saj atitah si nona. Begitu lekas nona itu lompat ke
perahu besar, ia memutar perahunya, untuk dikayuh dengan segera, untuk dipasang
layarnya. Maka dilain saat, dia sudah terpisah jauh dari perahu besar itu.
Cit Kong dan Kwee Ceng dapat
melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar, diwaktu
mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik disusul sama
berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa Auwyang Hong
sudah bekerja.
“Api!
Api!” berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.
“Si
bisa bangkotan sudah membakar perahunya!” Ang Cit Kong pun berteriak. “Dengan caranya itu ia
hendak membakar kita!”
“Lekas
tolongi Oey Yong!” Kwee Ceng
berteriak pula.
“Dekati
perahu!” Cit
Kong menyuruh.
Kwee Ceng menggunai tenaganya,
untuk mengayuh. Perahu besar kecil itu pun bergerak menyusul perahu besar,
untuk mendekati. Di atas perahu besar
sendiri keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong
- laki-laki dan perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan atau
jeritan mereka riuh sekali.
“Yong-jie!”
terdengar teriakannya Cit
Kong. “Bersama Ceng-jie
aku berada di sini! Mari lekas
berenang! Lekas berenang ke mari!”
Langit
gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong
perdengarkan teriakannya itu oleh karena ia ketahui baik si nona pandai
berenang. Pula
di saat sepereti itu tidak dapat mereka tidak berlaku nekat untuk menolong
diri.
Oey Yong dapat mendengar
suara gurunya itu, ia girang. Tentu saja tidak sudi ia memperdulikan pula
Auwyang ong dan keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi ia bertindak ke
tepi perahu, untuk segera mengenjot tubuhnya guna terjun ke laut!
Sekonyong-konyong
nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan keras sekali. Tubuhnya sudah
mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak dapat terjun terus, ia kena ditarik
kembali ke perahu. Ia terkejut sekali ketika ia menoleh akan mendapatkan, orang
yang mencekal padanya adalah Auwyang
Hong, si Bisa dari Barat yang
lihay dan ganas itu.
“Lepas!”
ia berteriak seraya dengan tangan kirinya ia meninju.
Hebat
sekali Auwyang
Hong, tangannya bergerak bagaikan
kilat, maka tahu-tahu si nona telah tercekal pula tangan kirinya.
Sementara
itu See Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada lagi harapan
untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar hebat. Api telah
melulahan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya. Di muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya
perahu bakal segera karam, maka pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang
diduduki Kwee Ceng dan Cit
Kong itu.
“Pengemis
busuk, Nona Oey ada di sini!” See Tok berseru. “Kau
lihat tidak?!”
Ia
mengerahkan tenaganya, kedua tangannya di angkat naik, dengan begitu tubuh Oey Yong
pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak mengasih lihat tubuh nona
itu.
Ketika
itu api telah berkobar besar dan mendatangkan sinar terang maka Ang Cit
Kong dan Kwee Ceng dapat melihat
tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari Barat yang jahat itu.
Ang Cit Kong menjadi gusar
sekali.
“Dengan
menggunai Oey
Yong, dia hendak memaksa kita!”
katanya sengit. “Dia ingin naik ke perahu kita! Nanti aku merampas Yong-jie!”
“Aku
turut, suhu!” berkata Kwee Ceng,
Ia berkhawatir melihat api.
“Tidak!”
mencegah si guru. “Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena dirampas
si tua bangka yang berbisa itu!”
“Baiklah,”
sahut Kwee Ceng, yang terus mengayuh pula, untuk
mendekati perahu besar itu, yang sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Lekas
juga perahu kecil itu mendekati perahu besar, begitu lekas Ang Cit
Kong merasa ia dapat melompatinya,
ia lantas menggeraki tubuhnya untuk berlompat sambil mengapungkan diri. Ia
berlompat seperti tengkurap, maka tempo ia tiba di perahu, tangannya yang
sampai terlebih dulu. Ia menggunai tangan kiri dengan kelima jarinya yang kuat,
untuk dipakai mencengkeram tepian perahu, habis mana, dengan mengerahkan tenaga
di tangannya itu, ia membuatnya tubuhnya tiba di atas perahu itu.
Auwyang Hong masih mencekali Oey Yong.
Ia menyeringai.
“Pengemis
bangkotan busuk, kau hendak apa!” dia menanya, menantang.
“Mari,mari!”
Cit Kong juga menantang. “Mari kita bertempur pula seribu jurus!”
Jawaban
itu dibarengi sama serangan kedua tangan saling susul.
Auwyang Hong berlaku licik,
bukannya ia berkelit, ia menangkis dengan mengajukan tubuh Oey Yong
sebagai tameng. mau tidak mau, Cit
Kong mesti batalkan penyerangannya
itu.
Ketika
itu dipakai oleh Auwyang
Hong untuk segera menotok jalan
darah si nona, maka sesaat itu juga, lemaslah tubuh Oey Yong,
tak dapat ia berkutik.
“Letaki
dia di perahu!” Cit
Kong menantang pula. “Marilah kita
bertempur untuk memastikan menang atau kalah!”
Auwyang Hong ada terlalu licik
untuk meletaki tubuh nona itu. Ia pun melihat keponakannya lagi didesak
sambaran-sambaran api hingga ia mesti main mundur. Tiba-tiba ia mendapat akal.
Mendadak ia lemparkan Oey
Yong kepada keponakannya itu.
“Pergi
kamu lebih dulu ke perahu kecil!” memerintahnya.
Auwyang Kongcu menyambuti tubuh
yang tak dapat bergerak itu. Ia melihat Kwee Ceng
di perahu kecil. Ia mengerti, kalau ia melompat bersama si nona, mungkin perahu
kecil itu akan karam karenanya. Maka ia menarik sehelai dadung, ia ikat itu di
kaki tiang layar, habis itu dengan tangann kiri memeluki Oey Yong, dengan
tangan kanan ia menarik dadung itu, untuk meluncur ke perahu kecil itu. Maka
terayunlah tubuh mereka, turun menghampirkan perahu.
Kwee Ceng melihat Oey Yong
tiba di perahunya, ia girang bukan main. Tentu sekali ia tidak mengetahui yang
kekasihnya itu sudah kena orang totok hingga menjadi tidak berdaya. Ia lebih
memerlukan mengawasi gurunya yang lagi bertempur sama Auwyang Hong.
Biar bagaimana, ia bergelisah untuk gurunya itu.
Dengan
api berkobar-kobar, tertampak nyata kedua jago tua itu lagi mengadu jiwa.
Mendadak
saja terdengar suara nyaring seperti guntur,
lalu tertampak perahu besar terbelah dua, sebab tulang punggungnya dimakan api
dan pecah karenanya. Menyusul itu kelihatan bagian perahu yang belakang mulai
tenggelam, perlahan-lahan karam ke dalam air.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong
bertempur terus. Kadang-kadang mereka mesti berkelit dari runtuhannya tulang
layar atau dadungnya, yang jatuh termakan api.
Dalam
pertempuran sengit ini, Ang
Cit Kong
lebih menang sedikit, dalam arti kata ia tidak merasakan hawa panas seperti
lawannya. Itulah sebab pakaiannya basah bekas tadi merendam di air. Karena ini
juga, dapat ia mendesak See Tok, yang sebaliknya mesti berkelahi sambil mundur
perlahan-lahan.
Pernah Auwyang Hong memikir untuk terjun
ke laut, ia hanya menyesal, pikirannya itu tidak dapat ia segera mewujudkannya.
Ia didesak terlalu hebat, kalau ia memaksa terjun, itu artinya ia tidak dapat
membela diri, mungkin nanti ia kena diserang lawannya yang lihay itu. Ada kemungkinan juga ia
nanti terluka parah. Saking terpaksa, ia melayani terus dengan otaknya dikasih
bekerja tak hentrinya untuk mencari jalan lolos….
Ang Cit Kong menyerang dengan
hatinya terasakan puas. Bukankah ia terus mendesak? Tengah ia merangsak,
tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Kalau
aku desak dia hingga dia terbakar, kalau ia sampai mengantar jiwanya, itu tak
menarik hati,” demikian pikirannya yang menyandinginya itu. “Dia telah
mendapatkan salinan kitab dari Ceng-jie, jikalau dia tidak mendapat kesempatan
untuk mempelajarinya, bila nanti ia mampus, pastilah ia mampus tak puas! Tidak
dapat tidak, dia mestinya dibikin kena batunya…!”
Karena
ini Pak Kay lantas tertawa terbahak-bahak. “Bisa
bangkotan, hari ini aku memberi ampun padamu!” ia berseru. “Kau naiklah ke
perahu kecil itu!”
Kedua
matanya Auwyang
Hong mencelik, lantas ia terjun ke
laut. Cit Kong hendak menyusul tatkala ia dengar
teriakannya See Tok.
“Tahan
dulu!” demikian si Bisa dari Barat itu berteriak. “Sekarang tubuhku pun basah,
maka marilah kita berdua bertempur pula. Sekarang barulah adil, sama rata sama
rasa!”
Suara
itu disusul sama berkelebatnya satu tubuh, maka di lain detik, Auwyang Hong
telah berdiri pula di atas perahu besar, di depan lawannya.
Sekejap Ang Cit Kong melengak, lalu ia tertawa lebar.
“Bagus,
bagus!” serunya. “Seumur hidupnya si pengemis bangkotan, ini hari barulah ia
bertempur paling memuaskan!”
Kembali
dua orang itu bertarung dengan hebat. Dengan tubuh basah kuyup, agaknya See Tok
menjadi segar sekali.
“Yong-jie,”
berkata Kwee
Ceng kepada kekasihnya. “Kau lihat
See Tok ganas sekali!”
Oey Yong tengah ditotok, ia
tak dapat bersuara.
“Apakah
tidak baik aku minta suhu turun ke mari?”
Kwee Ceng berkata pula menanyai si nona.
“Perahu besar itu bakal lekas tenggelam….”
Oey Yong tetap tidak
menyahuti.
Kwee Ceng heran, maka lekas ia
berpaling. Semenjak tadi ia terus mengawasi ke gelanggang pertarungan. Maka
gusarlah ia untuk menyaksikan Auwyang
Kongcu lagi meringkus kedua tangan
orang.
“Lepas!”
ia lantas berteriak.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Jangan
kau bergerak!” dia berseru. “Asal kau bergerak, satu kali saja, akan aku hajar
hancur kepalanya!” Dan dia mengancam.
Kwee Ceng tidak menggubris
ancaman itu, bahkan seperti tanpa berpikir sejenak juga, ia menyerang.
Auwyang Kongcu berlaku sebat, ia
berkelit sambil mendak.
Kwee Ceng penasaran, ia
menyerang pula ke muka orang. Ia seperti merabu tanpa jurus tipu silat.
Auwyang Kongcu bingung juga. Perahu
kecil, tidak merdeka untuk ia terus main berkelit. Tapi ia mesti melawan. Maka
ia membalas menyerang.
Kwee Ceng menangkis, dengan
begitu kedua tangan bentrok. Auwyang
Kongcu licik, sambil menyerang ia
terus memutar kepalannya, menyerang pula, maka “Plak!” pipinya si anak muda
kena terhajar.
Serangan
itu keras, mata Kwee
Ceng berkunang-kunang. Tapi ia
mengerti bahaya, ia membuka matanya. Justru itu datang serangan yang kedua
kali. Kembali ia menangkis.
Auwyang Kongcu menggunai tipu silat
seperti tadi. Ia memutar balik kepalannya, untuk mengulangi serangan susulan.
Tapi kali ini Kwee
Ceng melenggaki kepalanya, tangan
kanannya berbareng dipakai menolak ke depan.
Menurut
aturan, sambil berlenggak tidak dapat orang pun menyerang. Tapi Kwee
Ceng adalah lain daripada yang
lain. Ia sudah dapat mewariskan kepandaiannya Ciu Pek Tong, ia
bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti tangan dua orang, kedua tangannya
dapat digeraki menurut rasa hatinya. Maka itu celakalah keponakannya Auwyang Hong,
yang tidak mengetahui kebiasaan orang itu. Tangan kanannya itu, yang dipakai
menyerang ke muka, kena ditangkis hebat, sedetik itu juga tangan itu patah!
Dalam
ilmu silat, Auwyang Kongcu tidak ada dibawahan Ma Giok, Ong Cie It atau See
Thong Thian atau lainnya lagi, maka itu dibandingkan sama Kwee Ceng, ia menang
segala-galanya, hanya kali ini ia kebentur sama ilmu silat yang istimewa, yang
asing untuknya, dari itu robohlah dia!
Selagi
lawannya itu roboh, hingga Oey
Yong terlepas dari pelukan tangan
kirinya, Kwee
Ceng pun tidak menggubris, pemuda
ini lebih memerlukan berlompat kepada pacarnya, yang rebah tak bergeming.
Sekarang ia mengerti si nona kena tertotok, lantas saja ia menotok untuk
membebaskannya.
Syukur Auwyang Kongcu menggunai totokan
yang umum, dengan begitu Kwee
Ceng dapat menyadarkan nona itu.
“Lekas
bantu suhu!” berteriak Oey
Yong yang sesadarnya dia.
Kwee Ceng sudah lantas
berpaling kepada gurunya. Ia melihat gurunya itu dan Auwyang Hong
tengah berkelahi mati-matian. Suara beletak-beletok dari bekerjanya api seperti
menambah serunya pertarungan itu.
Yang
hebat ialah terlihatnya badan perahu mulai karam.
Maka
itu juga Kwee Ceng menyambar pengayuh, untuk memajukan perahunya datang dekat
ke perahu besar itu.
Di dalam pertempuran
itu, suasana menjadi terbalik. Sudah lama sejak Ang Cit Kong kerendam air, sekarang pakaiannya
sudah kering semua, pakaian itu gampang tersambar api dan terbakar, hawa api
pun membikin tubuh panas. Di pihak
lain, tubuhnya Auwyang
Hong basah kuyup, ia tidak takut
api, bahkan bekas nyebur, ia menjadi seperti mendapat tambahan tenaga dan
semangat. Tapi hebat si Pak
Kay, Pengemis dari Utara itu,
walaupun ia terdesak, ia memaksakan diri untuk bertahan.
Mendadak
sebatang tiang layar jatuh dengan apinya yang berkobar, jatuh di tengah-tengah
kedua jago itu. Mau atau tidak, mereka itu sama-sama berlompat mundur, hingga selanjutnya
mereka terpisahkan kayu menyala-nyala itu.
Auwyang Hong penasaran, dengan
tongkat ular-ularannya dia menyerang pula.
Ang Cit Kong tidak diam saja, ia
mencabut tongkatnya dari pinggangnya, guna menangkis.
Kalau
tadi mereka bertarung dengan tangan kosong, sekarang mereka menggunai
genggaman. Tentu sekali, sekarang ini mereka berkelahi semakin hebat.
Kwee Ceng terus mengayuh
perahunya. Ia terus bergelisah untuk gurunya. Hanya ketika ia menyaksikan
pertempuran dua orang itu, perhatiannya jadi tertarik, ia menghela napas saking
kagumnya.
Di dalam kalangan
persilatan ada kata-kata, “Belajar golok seratus hari, belajar tombak seratus
hari, belajar pedang selaksa hari”. Itulah bukti yang ilmu silat pedang paling
sukar dipelajarinya. Demikian pada duapuluh tahun yang lalu, dalam pertempuran
di Hoa San terlihat nyata sempurnanya tetapi pun sulitnya ilmu pedang, maka
juga dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong masih menukar senjata mereka. Ang Cit
Kong memakai tongkatnya yang ia
senantiasa bawa-bawa, ialah tongkat warisan Kay Pang
atau tanda tertua dari Partai Pengemis itu. Tongkat itu lebih panjang satu kaki
daripada pedang sebatang dan sifatnya lemas, tetapi di tangan Cit Kong,
satu ahli luar, gwa kee, tongkat itu menjadi tegar sekali.
Tongkat
ular-ularan dari Auwyang
Hong pun suatu senjata istimewa.
Dan See Tok menggunainya itu dengan campuran gerak-gerik toya dan tongkat. Di ujung kepala tongkat ada ukiran kepala orang yang
mulutnya terbuka tertawa, yang kedua baris giginya terpentang dengan semua
giginya tajam serta gigi itu dipakaikan racun ular, maka diwaktu dipakai
bersilat, kepala orang-orangan itu bergerak-gerak bagaikan hantu mengangga. Pula, asal pesawat
rahasianya dikasih bergerak, dari dalam mulut itu bakal tersemburkan senjata
rahasia yang beracun juga. Yang lebih lihay lagi ialah itu dua ekor ular yang
melilit di batang tongkat, yang bisa memagut orang secara tiba-tiba….
Hebat
pertempuran ini karena mereka sama-sama lihaynya. Tongkat Auwyang
Hong terlebih unggul, tetapi Cit Kong
adalah kepala Pengemis di seluruh Tionggoan dan sebagai kepala pengemis, dialah
penakluk ular yang nomor satu. Demikian tongkatnya bergerak-gerak, bukan cuma
menyerang lawan tetapi juga menghamtam kedua ular berbisa itu. Hanya dengan
kelicikannya, Auwyang
Hong saban-saban dapat menolongi
ularnya itu. Ia menjadi sengit, diam-diam ia mengutuk pangcu dari Kay Pang
itu, yang kelihayannya mesti ia akui.
Kwee Ceng menonton dengan
pikirannya bingung. Mau ia membantu gurunya tetapi ia tidak mempunyakan
kesanggupannya. Bukankah musuh itu sangat lihay? Mana dapat ia menyelak di
antara mereka berdua.
Tapi
juga Auwyang Hong insyaf untuk bahaya yang mengancam. Perlahan-lahan ia
merasakan tubuhnya berhawa panas. Yang hebat hanya ia merasakan badan perahu,
yang tinggal sebelah itu, mulai tenggelam. Penyerangan lawan dahsyat sekali,
kalau ia tidak keluarkan kepandaiannya, bisa-bia ia terbinasa di tangan si
pengemis tua ini. Maka ia lantas menukar siasat. Tangan kanannya, yang memegang
tongkat, ia tarik, dann tangan kirinya dipakai menyapu.
Dengan
tongkatnya Ang
Cit Kong
mengejar tongkat lawan, dengan tangan kirinya ia menangkis sapuan tangan kiri
lawannya itu. Atau mendadak tangan kiri Auwyang Hong
dikelitkan, diputar, untuk secepat kilat dipakai menyerang pula ke arah pelipis
kanan dari musuhnya!
See
Tok menggunai tipu silat Kim
Coa Kun
atau Kuntauw
Ular Emas.
Itulah siasat ilmu silatnya yang istimewa. Bahkan ia hendak mengandalkan ini
ilmu pada pertemuan yang kedua kali nanti di Hoa San, untuk menunduki semua
lawannya. Keistimewaannya ialah selagi dipakai menyerang, tangannya dapat
diputar balik, untuk dipakai menyerang pula secara dahsyat diluar dugaan lawan.
Begitulah, ia menggunai tipu silatnya ini terhadap Pak Kay.
Ia percaya si pengemis tidak kenal ilmu silatnya itu.
Memang,
mulanya Ang Cit Kong
tidak kenal Kim
Coa Kun,
ia pun melihatnya secara kebetulan, yaitu di Poo-eng,
Auwyang Kongcu menggunai itu terhadap Kwee Ceng.
Sebabnya Cit Kong
tidak menghadari pestanya Lee
Seng beramai itulah karena ia lagi
memikir keras tipu silat untuk memecahkan ilmu Kim Coa Kun itu. Maka, kali ini, melihat Auwyang Hong
menggunai tipu ilmu silat ini lagi, Cit Kong
sudah siap sedia. Dengan menggunai tipu silat Kim-na-ciu, menangkap tangan, ia
mengulur tangannya untuk menjambret.
Inilah Auwyang Hong tidak sangka, ia
terkejut sambil berlompat mundur. Justru itu ada jatuh segumpal api, yang
menyambar kepadanya.
Cit Kong juga terkejut, dia
terus melompat mundur. Sekarang dia dapat melihat tegas, yang jatuh itu adalah
kain layar yang termakan api.
Di
dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong kena ketungkup, tetapi barusan ia
sedang kaget dan heran sebab ilmu silatnya kena dipecahkan lawan, ia juga baru
menaruh kaki, sedang jatuhnya layar secara tiba-tiba, maka tidak berdayalah ia
untuk menyingkir.
Dalam
kagetnya itu, Auwyang
Hong tidak menjadi gugup atau
bingung. Ia lantas menggunai tongkatnya, akan menyingkap kain layar itu. Lacur
untuknya, tongkatnya itu terhalang tiang layar, tidak dapat ia geraki. Baru
setelah itu ia menghela napas dan mengeluh: “Habis sudah, hari ini aku mesti
pulang ke langit…”
Sekonyong-konyong
ia menampak sinar terang. Tadinya ia berada dalam gelap gulita. Ketika ia
awasi, ia melihat Ang
Cit Kong
tengah menggunai tongkatbya menyontek menyingkap layar.
Pak Kay adalah seorang yang
berperangai halus dan murah hati, walaupun ia sangat benci See Tok untuk
kelicikan dan keganasannya, ia masih tidak tega menonton orang mampus terbakar.
Maka tanpa banyak pikir, ia memberikan pertolongan itu.
Auwyang Hong telah terbakar
pakaiannya, rambutnya dan alisnya. Ia berlompat, terus ia menjatuhkan diri,
bergulingan di lantai perahu. Dengan caranya ini ia hendak membikin api padam.
Selagi ia bergulingan itu, mendadak perahu miring, lalu rantai jankar jatuh
menimpa ke arahnya.
Cit Kong kaget hingga ia
menjerit, terus ia berlompat akan menyambar jangkar itu. Celaka untuknya,
jangkar itu merah marong bekas terbakar, ketika kena terpegang, kontan
tangannya terbakar hangus dengan mengeluarkan suara terbakarnya, tetapi ia
masih sempat melemparkannya ke laut. Hanya, selagi menolong ini dan hendak
lompat ke laut, mendadak ia merasakan punggungnya berikut pundaknya menjadi
kaku. Untuk sesaat ia melengak, tak tahu ia apa sebabnya itu. Atau tiba-tiba ia
ingat suatu apa, yang berkelebat di otaknya. Segera ia menoleh ke belakang. Di dalam hatinya ia berkata: “Aku telah tolongi See
Tok, mustahilkah ia menggunai tongkat ularnya mencelakai aku?” Ia berpaling,
justru tongkat bambu berkelebat di depan matanya, kedua mulutnya ular penuh
darah hidup, kepalanya sedang digoyang-goyang. Bukan main murkanya Ang Cit
Kong, kedua tangannya segera
melayang ke arah Auwyang
Hong.
See
Tok dapat berkelit, maka itu, sebatang tiang layar dibelakangnya terhajar
keras, menjadi patah dan roboh karenanya.
Cit Kong tidak berhenti
sampai di situ, ia menyerang terus.
Auwyang Hong melihat orang
seperti kalap, ia tidak mau melawan berkelahi, ia lebih banyak berkelit sambil
berlompatan.
“Suhu!
Suhu!” Kwee Ceng berteriak-teriak melihat kelakuan
gurunya itu. Ia pun merayap naik ke perahu besar.
Adalah
di saat itu, Ang
Cit Kong
terhuyung-huyung. Ia merasakan kepalanya pusing, hingga ia tak ingat suatu apa.
Auwyang Hong berlompat maju,
dengan sebelah tangannya ia menghajar punggung si raja pengemis. Hebat
serangannya ini.
Dalam
keadaanya seperti itu, Ang
Cit Kong
tidak bisa mempertahankan dirinya. Ia lantas saja roboh sambil muntahkan darah
hidup.
Kiu
Cie Sin Kay Ang Cit Kong sangat kesohor kegagahannya, Auwyang Hong ketahui
dengan baik, hajarannya ini tidak dapat segera menghabiskan jiwa orang, dan ia
ketahui juga, kalau nanti Ang Cit Kong sembuh dari lukanya ini, pembalasannya
tak akan ada habisnya, maka itu, sudah kepalang, ia mengambil sikap:
“Berkasihan tidak menurunkan tangan, menurunkan tangan tidak berkasihan”. Ia
lantas berlompat maju, dengan kakinya ia menjejak punggung orang!
Kwee Ceng baru saja naik dari
perahunya ketika ia menyaksikan keganasan See Tok terhadap gurunya itu, tidak
sempat ia maju lebih jauh untuk menolongi, karena tidak ada jalan lain, ia
menyerang dengan kedua tangannya dengan pukulan “Sepasang naga mengambil air”.
Ia menyerang ke punggung bagian pinggang.
Auwyang Hong tahu si bocah lihay,
ia tidak memandang hebat. Ia geraki tangan kiri untuk menangkis, dengan tangan
kanannya ia membalas menyerang. Di
sebelah itu, kakinya terus menginjak Ang Cit Kong!
Kwee Ceng kaget hingga ia
melupakan segala apa, ia berlompat menubruk Auwyang Hong,
batang leher siapa ia rangkul. Tapi justru ini, ia membuat dirinya kosong, maka
enak saja rusuknya kena dihajar si Bisa dari Barat.
Dalam
keadaan rapat seperti ini, tidak leluasa Auwyang Hong menyerang, tetapi dasar
ia lihay, serangan itu hebat, hanya syukur untuk Kwee Ceng, tenaga dalamnya
telah mempunyakan dasar, maka ia tidak segera roboh, dia cuma merasakan sakit
sekali dan separuh tubuhnya hampir kaku. Karena ini dia menjadi nekat, ia
perkeras rangkulannya, untuk mencekik leher orang.
Oleh
karena perlawannan Kwee Ceng ini, tendangan Auwyang Hong kepada Ang Cit Kong
menjadi batal, sebab untuk membela diri, ia mesti segera menarik pulang kakinya
itu. Tapi ia tidak sanggup menggunakan kuntauw Kodok atau Ular Emas,
untuk itu mereka ada terlalu rapat, maka ia cuma dapat menyerang muka orang. Kwee Ceng
berkelit setiap kali ia dipukul. Untuk menangkis, ia tidak mampu, lantaran
kedua tangannya lagi digunakan dengan sekuat tenaganya. Ia bisa berkelit di
atas kepalanya - tidak bisa ia dibawah - yaitu rusuknya. Maka lagi-lagi See Tok
menyikut.
Kwee Ceng mesti berkelit ke
kanan, dengan begitu ia terpaksa melepaskan tangan kirinya, tetapi ia tidak
berhenti berdaya, dengan lekas ia menggunai ilmu gulat bangsa Mongolia.
Tangannya itu ditelesupkan ke antara iga dan lengan musuh, diulur untuk
membangkol batang leher.
Auwyang Hong lihay tetapi
sekarang ia pun merasakan sakit. Ia mengerti si anak muda menggunai tipu silat apa, hanya celakanya untuk dia, ia tidak mengerti
caranya untuk menolongi diri, dari itu ia cuma bisa menggunai kepalan tangannya
meninju ke belakang.
Melihat
ini Kwee Ceng menjadi sangat girang. Segera ia
melepaskan cekikannya, dengan tangan kanan itu, tangan ditelesupkan seperti
tangan kiri taidi - kalau tadi di sebelah kiri, sekarang di sebelah kanan.
Kembali ia membangko leher orang, berbareng dengan mana ia berseru mengerahkan
tenaganya. Dengan menggunai dua tangan berbareng, ia menjadi berbahaya sekali.
Ini dia yang dinamakan tipu “Menjirat mematahkan gunung”. Dalam halnya Auwyang Hong,
dia terancam patah leher….
Cerdik
sekali Auwyang
Hong. Ia pun bertindak dengan
sebat. Ia mengasih turun kepalanya, untuk nelusup ke selangkangan si anak muda
sembari berbuat begitu ia juga meninju dengan kepalan kiri. Ia tidak mau
mengasih ketika orang sempat mengerahkan tenaganya.
Sebelum
ia kena ditinju, Kwee
Ceng telah menyambar tangan kiri
si jago yang berbisa itu. Ia tetap merapatkan tubuhnya kepada tubuh musuh, ia
mencoba terus menggunai ilmu gulatnya. Ia menginsyafi, satu kali mereka
renggang, ia bisa susah. Pula,
dengan berkelahi rapat, ia dapat mencegah musuh mencelaki gurunya.
Oey Yong bingung sekali. Di satu pihak ia tampak Ang Cit Kong rebah di pinggir perahu, separuh
tubuhnya berada di luar perahu, di lain pihak terlihat Kwee Ceng lagi bergulat
mati-matian terhadap Auwyang
Hong, keduanya bergulingan, tubuh
mereka sudah tererap api. Karena ini dengan pengayuh ia mengahajar Auwyang Kongcu.
Walaupun
dia telah terluka tangan kirinya, pemuda she Auwyang ini tetap kosen. Ia
berkelit ke kiri, sambil berkelit, tangannya menyambar lengan si nona.
Oey Yong berkelit sambil
menekan perahu, hingga perahu itu menjadi miring.
Auwyang Kongcu tidak bisa berenang,
miringnya perahu membikin tubuhnya terhuyung. Untuk menetapkan diri, ia batal
menyerang terus kepada si nona.
Menggunai
saat perahu miring itu, Oey
Yong terjun ke air. Ia pandai
berenang, ia tidak takut. Hanya dengan beberapa kali menggunakan tangannya,
tubuhnya sudah nyelosor ke perahu besar. Perahu itu tinggal separuh, sekarang
separuh tubuh itu sudah kelam separuhnya lagi. Dengan gampang si nona naik ke
parhu besar itu. Di situ ada sebuah
tempuling, ia sambar itu hendak ia membantu Kwee Ceng.
Auwyang Hong dan si anak muda masih
berkutat bergulingan, bergantian di bawah dan di atas, akan kemudian, karena ia
terlebih hilay, Auwyang
Hong terus berada di sebelah atas.
Dalam keadaan seperti itu, Kwee
Ceng terus mengendalikan kedua
tangan musuh, supaya musuh tidak dapat menyerang kepadanya.
Adalah
di saat itu, Oey
Yong berlompat maju sambil
menikam.
Hebat Auwyang Hong. Ia mendapat tahu
ada serangan di belakangnya, ia berkelit seraya mengerahkan tenaganya
mengangkat tinggi tubuh Kwee
Ceng, memakai si anak muda sebagai
tameng.
Oey Yong mengubah
serangannya, kali ini kepala See Tok.
Jago
tua itu bisa berkelit, bahkan terus-terusan ia mengegos ke kiri dan ke kanan,
menyingkir dari ujung tempuling.
Tiga
kali oey Yong menikam dengan sia-sia, yang keempat kalinya, tempulingnya nancap
di lantai perahu, hingga abunya mengepul naik mengenai matanya, hingga ia
kelilipan dan matanya mengeluarkan air. Ia mengucak matanya itu. Justru itu ia
merasakan kakinya sakit, tubuhnya limbung, malah terus ia roboh. Sebab Auwyang
Hong telah sapu kakinya selagi ia
tidak melihat.
Si
nona roboh untuk terus menggulingkan diri, buat berlompat bangun. Karena
robohnya itu, rambutnya kena kesambar api. Ia maju pula, untuk mengulangi
serangannya. Atau mendadak Kwee
Ceng berseru-seru: “Tolongi suhu
dulu! Tolongi suhu dulu!”
Oey Yong mengerti tugasnya,
ia lantas lari kepada Ang Cit Kong,
ia tubruk tubuh orang, untuk
dipeluk, setelah mana ia terjun ke air. Dengan menyeburkan diri, ia lantas
merasakan tubuhnya adem, tak sepanasnya lagi seperti tadi. Ia berenang sambil
menggendong gurunya, ia menuju ke perahu kecil.
Auwyang Kongcu berdiri di atas
perahu kecil itu, sebelah tangannya mengangkat pengayuh.
“Lepaskan
si pengemis tua! Cuma kau sendiri yang boleh naik!” demikian teriaknya dengan
mengancam.
Sebelah
tangan Oey Yong masih memegangi tempulingnya.
“Baiklah,
mari kita bertempur di dalam air!” ia
pun berseru, menjawab ancaman itu. Ia menyambar pinggiran perahu, ia
menggoyangnya.
Auwyang Kongcu kaget dan ketakutan
melihat perahu tergoncang keras. Kalau perahu itu terbalik dan karam, celakalah
dia.
“Jangan,
jangann goncang!” ia berteriak-teriak seraya keras memegangi perahu. “Nanti
perahu ini karam…”
Oey Yong tertawa.
“Lekas
tarik guruku naik!” ia menitah. “Hati-hati! Jikalau kau main gila, aku nanti
lelapkan kau di dalam air selama tiga jam!”
Auwyang Kongcu tidak berdaya,
terpaksa ia memegang bebokongnya Ang Cit Kong, untuk mengangkatnya naik ke perahu.
“Nah,
beginilah baru anak manis!” berkata Oey Yong
tertawa.
Sebenarnya Oey Yong hendak kembali ke
perahu besar, untuk menolongi Kwee
Ceng, atau mendadak ia mendengar
satu suara nyaring sekali, lalu melihat gelombang besar dan tinggi medampar ke
arahnya. Ia lantas memutar tubuhnya, habis itu ia berbalik pula, rambutnya di
depan mukanya tersingkap ke belakang. Ia berdiri tercengang kapan ia sudah
memandang ke depan.
Gelombang
barusan berputar seperti usar-usaran air, di situ tidak terlihat lgi perahu
besar yang tinggal separuh tadi, dengan begitu, lenyap juga Kwee Ceng dan Auwyang Hong
yang tengah bergulat itu.
Oey Yong baru sadar ketika
air asin menyambar masuk ke dalam mulutnya. Tadinya ia seperti lupa akan
dirinya sebab hatinya mencelos mendapatkan pemuda pujaannya lenyap, lenyap
dibawa air. Ia lantas melihat ke sekelilingnya. Di
situ ia tidak nampak apa juga kecuali si perahu kecil. Rupanya semuanya sudah
ditelan sang laut………………….
Oey Yong selulup,
ia berenang ke arah air berputar itu. Ia tidak jeri
untuk tenaga besar dari usar-usaran air itu, ia dapat mempertahankan diri dari
sedotan yang keras. Di situ ia selulup
ubak-ubakan, untuk mencari Kwee
Ceng. Lama ia berputaran, Kwee Ceng
tidak nampak, Auwyang
Hong pun tidak ada. Maka maulah ia
menduga, kedua orang itu telah kena terbawa perahu sampai di dasar laut…………
Lama-lama
lelah juga Oey
Yong. Tapi ia masih belum putus
asa, ia bahkan penasaran. Maka ia mencari terus. Sangat ia mengharap-harapkan
nanti dapat menemukan si anak muda. Diam-diam ia mengharapi bantuan Thian,
mengasihani dia. Tapi masih sia-sia belaka usahanya itu. Saking letih, ia
muncul ke muka air. Ia berenang ke perahu kecil. Di
dalam hatinya ia berjanji, sebentar ia akan selulup pula, untuk mencari
terlebih jauh.
Auwyang Kongcu melihat si nona
menghampirkan, ia mengulur tangannya untuk membantui dia naik ke perahu. Ia pun
sangat berkhawatir atas lenyapnya pamannya itu.
“Apakah
kau melihat pamanku? Apakah kau melihat pamanku?” demikian pertanyaannya
berulang-ulang.
Oey Yong tidak menyahuti,
bahkan ia tak sadarkan diri sebab begitu lekas juga ia merasai matanya gelap….
Beberapa
lama si nona pingsan, inilah ia tidak ketahui. Ketika ia mendusin, ia merasakan
tubuhnya enteng, bagaikan melayang-layang di antara mega, kupingnya pun
mendengar suara angin mendesir-desir. Lekas-lekas ia memusatkan pikirannya,
kemudian ia menggeraki tubuhnya, untuk berduduk. Maka sekarang bisalah ia melihat
ke sekitarnya.
Ia
masih berada di atas perahu kecil, perahu itu hanyut mengikuti lairan
gelombang. Auwyang
Kongcu tidak mengerti urusan
mengemudikan perahu, maka itu ia membiarkan perahunya berlayar sendirinya….
Pula, entah berapa jauh
sudah terpisahnya perahu dengan tempat karamnya perahu besar itu.
Bukan
main berduka dan sakitnya hati Oey
Yong. Ia percaya ia tidak bakal
bertemu pula dengan Kwee
Ceng. Mendadak saja ia pingsan
lagi.
Auwyang Kongcu duduk diam dengan
sebelah tangannya keras-keras memegangi perahu, yang terombang-ambing itu.
Lewat
sekian lama, Oey
Yong sadar sendirinya. Ia
benar-benar putus asa, hingga tawar untuk hidup lebih lama pula. Ketika ia
menoleh kepada Auwyang
Kongcu timbullah rasa muak dan
bencinya. Pemuda itu lagi memperlihatkan roman ketakutan.
“Mana
bisa aku mati bersama-sama binatang ini?” pikir si nona sesaat kemudian. Maka
ia segera berlompat bangun.
“Lekas
lompat ke laut!” ia membentak bengis.
Auwyang Kongcu kaget bukan main.
“Apa?!”
dia menanya.
“Lompat
ke laut!” sahut Oey
Yong dengan bentakannya. “Kau
tidak mau lompat? Baik! Akan aku terbaliki perahu ini!”
Lantas
si nona lompat ke kanannya, maka kontan perahu itu miring ke kanan, dari situ
ia lompat pula ke kiri, membuatnya perahu turut miring ke kiri itu, bahkan
miringnya terlebih hebat.
Auwyang Kongcu ketakutan, ia
menjerit keras.
Senang Oey Yong mendengar teriakan
itu, sengaja ia menggoncang pula kenderaan itu lagi.
Dalam
takutnya itu, Auwyang
Kongcu masih dapat berpikir. Biar
bagaimana, ia pun seorang lihay. Terpaksa ia mengambil tindakan. Setiap kali si
nona lompat ke kanan, ia lompat ke kiri, demikian sebaliknya. Ia senantiasa
mengimbangi nona itu.
Oey Yong kewalahan, tidak
dapat ia menggoda terlebih jauh.
“Baik!”
katanya kemudian. “Hendak aku membocorkan perahu, ingin aku lihat, kau bisa
bikin apa!” Ia menghunus pisau belatinya, ia lompat ke tengah-tengah perahu
itu.
Justru
itu, Oey Yong melihat Ang Cit Kong lagi rebah tengkurup tanpa bergerak.
Ia menjadi kaget sekali. Baru sekarang ia ingat pula akan gurunya itu. Segera
ia mendekati, akan memasang kupingnya. Ia mendengar suara napas perlahan,
hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas mengangkat bangun tubuh orang, untuk
dibalik, hingga ia dapat melihat wajah gurunya itu.
Mukanya Cit Kong sangat pucat,
dadanya bergerak turun naik perlahan-lahan, jantungnya berdenyutan perlahan
juga, tanda dari kelemahannya.
Keras
keinginan si nona untuk menolongi gurunya, ia tak pedulikan lagi Auwyang Kongcu.
Ia lantas membukai baju gurunya, untuk memeriksa lukanya.
Tiba-tiba
saja perahu itu bergerak keras.
“Tepian!
Tepian!” Auwyang
Kongcu pun berseru-seru
kegirangan.
Oey Yong segera menoleh. Ia
melihat pepohonan yang lebat. Perahunya sudah berhenti bergerak. Kenderaan air
kandas di tepian pulau yang berpasir. Masih jauh akan tiba di darat, tetapi air
ke arah sana
dangkal sekali, dasarnya tampak. Mungkin dalamnya air tak sebatas dada.
Dalam
girangnya Auwyang
Kongcu lompat turun dari perahu.
Ia lantas jalan beberapa tindak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Oey Yong,
terus ia berjalan kembali.
Oey Yong melihat pada tulang
belikat kanan dari gurunya ada tapak tangan yang hitam, tapak itu dalam
membekas di daging, seperti bekas dibakar. Di
sekitar itu ada tanda hangus. Ia kaget sekali.
“Kenapa
sehebat ini tangannya See Tok?” ia menanya di dalam hatinya.
Ia
melihat punggung sebelah kanan dan leher, di sana ada dua lubang kecil sekali, hampir tak
terlihat. Ia meraba dengan jari tangannya, ia merasakan sakit seperti terkena
hawa panas, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu.
“Suhu,
bagaimana?” ia menanya.
Ang Cit Kong bersuara, “Hm!”
perlahan, ia tidak menyahuti.
“Eh,
mari keluarkan obat pemunahmu!” Oey Yong
tegur Auwyang
Kongcu.
Pemuda
itu menggeraki kedua tangannya, tanda putus asa.
“Semua
obat ada di tangan pamanku,” sahutnya.
“Aku
tidak percaya!” berkata si noa.
“Kau
geledah saja!” Auwyang
Kongcu menyerah. Ia buka bajunya,
ia keluarkan semua isi sakunya.
Oey Yong mengawasi dengan
melongo.
“Nah,
mari bantu aku mengangkat guruku ke
darat!” ia berkata kemudian.
Auwyang Kongcu menurut. Maka Ang
Cit Kong
lantas dikasih bangun, untuk dapat didukung. Kedua muda-mudi itu memasang
pundak masing-masing, untuk menahan si orang tua. Kemudian Oey
Yong memegang tangan kirinya Auwyang Kongcu
untuk tangan mereka saling disilang, hingga si orang tua dapat duduk di tangan
mereka yang terpalang melintang.
Hati Oey Yong cemas sekali. Ia
merasakan tubuh gurunya gemetar.
Auwyang Kongcu sebaliknya girang.
Ia merasakan tangan yang halus dan empuk memegang erat-erat tangannya. Ini ada
kejadian yang sekalipun di dalam mimpinya ia tidak berani mengharapkannya. Maka
ia amat menyesal yang cepat sekali mereka sudah tiba di darat.
Sambil
berdongko dan membungkuk, Oey
Yong menurunkan gurunya.
“Lekas
ambil papan perahu!” ia menitahkan Auwyang Kongcu.
“Jaga jangan basah!”
Habis
menurunkan Ang
Cit Kong,
Auwyang Kongcu membawa tangannya ke bibirnya, ia
berdiri menjublak. Itulah bagian tangan yang sejak tadi dipegang erat-erat oleh
tangan yang halus dan empuk dari si nona. Karena itu, ia seperti tidak
mendengar perkataan si nona. Syukur untuknya, Oey Yong
tidak menyangka jelek terhadapnya, cuma sambil mendelik si nona mengulangi
perintahnya.
Dengan
cepat Auwyang
Kongcu mengambil papan. Itu waktu Oey Yong
telah tengkurapkan tubuh gurunya di rumput yang empuk, ia mencoba akan
meringankan sakitnya. Maka diam-diam pemuda ini dapat lari ke tanjakan yang
tinggi. Sembari lari ia menanya dirinya sendiri: “Tempat apakah ini?” Ketika ia
sudah melihat ke sekelilingnya, ia kaget berbareng girang. Itulah sebuah pulau
kecil, yang lebat dengan pepohonan, hingga ia tidak tahu, pulau itu ada
penghuninya atau tidak. Ia kaget kapan ia mengingat, kalau pulau itu kosong,
darimana mereka dapat makanan dan pakaian, dimana mereka bisa bernaung? Ia
girang tempo ia ingat bahwa ia berada berduaan sama si nona manis,
sedang si pengemis tua, ia percaya sukar dapat ditolongi lagi.
“Sama
si cantik aku berdiam di sini, pulau kosong pun bagaikan sorga!” pikirnya.
“Kalau toh aku mesti mati dalam sehari atau semalam, aku puas…”
Seking
girangnya, ia berjingkrakan seperti orang menari. Hanya ia kaget tatkala ia
angkat tangan kanannya. Baru sekarang ia ingat lengannya itu telah patah.
Karena ini lekas-lekas ia menggunai lengan kirinya mematahkan dua cabang pohon,
ia pun merobek ujung bajunya. Maka dilain saat ia sudah dapat menggantung
tangannya itu.
Oey Yong sendiri telah
memencet keluar darah hitam dari luka gurunya. Itulah darah bercampur racun.
Habis itu, ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Di
situ tidak ada obat. Ia cuma bisa pindahkan gurunya ke tempat di mana ada dua potong
batu besar, untuk gurunya beristirahat.
“Coba
kau lihat tempat ini tempat apa!” kemudian si nona teriaki Auwyang Kongcu.
“Coba cari tahu kalau-kalau dekat sini ada rumah orang atau pondokan…”
“Inilah
sebuah pulau,” menyahut Auwyang
Kongcu sambil tertawa. “Terang
sadah disini tidak ada pondokan. Tentang rumah orang, lihat saja peruntungan
kita…”
Oey Yong terperanjat.
“Pergilah
kau periksa!” ia menitah pula.
Senang
si anak muda menerima titah si nona manis, ia lantas
pergi. Ia masih dapat menggunai ilmunya ringan tubuh walaupun tangannya sakit.
Mulanya ia lari ke timur di mana temapt lebat dengan pepohonan dan oyot
berduri. Ia tidak mendapatkan apa-apa, maka ia putar ke utara. Di sini pun ia tidak melihat rumah orang atau gubuk,
hanya dengan menggunai batu ia berhasil menimpuk roboh dua ekor kelinci, yang
ia lantas bawa kembali.
“Benar-benar
sebuah pulau kosong!” katanya.
Oey Yong melihat orang
tersenyum, ia mendongkol.
“Pulau
kosong? Habis, apanya yang lucu?!” ia menegur.
Pemuda
itu mengulur lidahnya, ia tidak berani banyak omong, terus ia mengeset kulit
kelinci, setelah mana, ia menyerahkannya kepada si nona.
Oey Yong merogoh sakunya,
mengeluarkan terkesannya. Syukur ia menyimpannya dengan dibungkus dengan kertas
minyak, alat penyala api itu tidak basah, maka dilain saat, ia sudah menyalakan
api dengan apa dua ekor kelinci itu dipanggang. Sesudah matang, yang seekor ia
lemparkan itu kepada si anak muda, yang seekor lagi ia beset sebelah pahanya,
untuk diberikan kepada gurunya.
Ang Cit Kong terluka parah, ia
masih belum sadar betul, tetapi begitu ia memcium bau daging, segera terbangun
napsu daharnya. Memangnya ia penggemar gegares. Segera juga ia sudah mulai
mengerogoti dan mengunyah daging kelinci itu. Habis sepaha, ia menunjuk sikap
masih ingin pula, maka muridnya, yang hatinya girang, memberikan pula ia sepaha
yang lain.
Setelah
makan habis dua paha, Cit
Kong menjadi lemah, malah dilain
saat ia terus tidur pulas.
Oey Yong melihat cuaca mulai
remang-remang, tandanya sang malam sudah tiba, dari itu lekas-lekas ia pergi
mencari lubang gua, untuk memernahkan gurunya itu.
Auwyang Kongcu membantui tanpa
diperintah atau diminta. Ia mencari rumput kering guna diampar sebagai kasur.
Ia pun membantu memodong orang tua itu. Kemudian ia mencari rumput lagi, guna
mengampar dua tempat, buat dia sendiri dan si nona.
Selama
itu Oey Yong melainkan melirik saja, ia tidak
ambil peduli pemuda itu, hanya disaat orang telah selesai bekerja dan lagi
mengulet, untuk merebahkan diri, mendadak ia menghunus pisau belatinya.
“Pergi
keluar!” ia mengusir.
Pemuda
itu tertawa.
“Aku
tidur disini toh tidak mengganggumu?” katanya. “Kenapa kau begini galak?”
“Kau
pergi atau tidak?!” si nona menegaskan, alisnya bangkit.
“Akan
aku tidur baik-baik, kau jangan takut,” berkata pula si anak muda tersenyum.
Oey Yong habis sabar, ia
berbangkit untuk mengambil puntung api, ia bawa itu ke tempat si anak muda, ia
bakar orang punya rumput amparan, maka sebentar saja habislah itu menjadi abu.
Auwyang Kongcu menyeringai, dengan
terpaksa ia mengeloyor keluar dari gua itu. Di
pulau seperti itu ia tidak takut ada binatang beracun atau buas, ia berlompat
naik ke atas sebuah pohon di mana ia mencari cabang untuk memernahkan tubuhnya.
Tapi tak gampang untuk tidur pulas, ia bergelisah, maka belasan kali ia naik
turun, di pohon itu. Saban-saban ia menoleh ke arah gua di mana ada cahaya
tabunan. Ia telah memikir untuk menyerbu ke dalam gua, senantiasa ia gagal,
hingga ia mengatakan dirinya, kenapa ia demikian bernyali kecil. Biasanya
pekerjaan mencuri, atau memaksa kesenangan seperti itu, sudah umum baginya,
hanya terhadap nona ini, ia segan-segan. Sebenarnya, walaupun hanya dengan
sebelah tangan, dapat ia melawan nona itu. Bukankah tak ada halangannya Ang Cit
Kong berada bersama sebab si raja
pengemis sudah tidak berdaya? Entah bagaimana, ia jerih sendirinya….
Dengan
mata mendoleng, Auwyang
Kongcu mengawasi Oey Yong
merebahkan diri. Cahaya tabunan membuatnya ia dapat melihat. Ia cuma memandang,
lain tidak.
Oey Yong sendiri rebah dengan
mata meram tetapi tidak pernah ia pulas. Ia tidak mempercayai keponakannya Auwyang Hong
itu, yang ia khawatir nanti menyerbu selagi ia tidur. Ia juga keras memikirkan
lukanya Ang Cit Kong,
yang belum tentu bisa diobati. Maka lega hatinya ketika sang pagi muncul. Baru
sekarang ia berani tidur hingga lamanya satu jam. Ia mendusin ketika ia
bermimpi gurunya itu merintih.
“Suhu,
bagaimana?” ia menanya seraya ia melompat bangun, untuk berduduk.
Cit Kong mengangkat
tangannya, menunjuki mulutnya, yang pun berkelemak-kelemik.
Si
nona mengerti gurunya lapar, ia lantas memberika sisa daging semalam.
Habis
dahar, agaknya Cit
Kong memperoleh tenaga. Ia bisa
bergerak untuk duduk, maka itu terus ia bersemadhi, akan membikin lurus jalan
napasnya.
Oey Yong mengawasi. Ia tidak
berani membuka mulut, khawatir mengganggu pemusatan pikiran gurunya itu.
Beberapa kali ia melihat sinar dadu di muka yang pucat dari sang guru, lalu itu
terganti dengan pucat pasi pula. Perubahan itu terjadi berulangkali. Itulah
tandanya bekerjanya pemusatan pikiran. kemudian embun-embun si jago tua
mengeluarkan hawa seperti asap, disusul sama mengucurnya peluh dingin di
dahinya. Banyak peluh yang ekluar itu. Diakhirnya tubuh orang tua ini
bergemetaran seperti menggigil.
Disaat
itu di mulut gua terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Itulah Auwyang Kongcu,
yang melongok untuk masuk ke dalam.
Oey Yong mengerti saat
penting dari gurunya, kalau ia kena dibikin kaget, mungkin gagal pemusatan
pikirannya itu, maka ia lantas membentak perlahan: “Lekas pergi!”
Pemuda
itu tertawa.
“Aku
ingin berdamai sama kau, bagaimana kita harus melewati hari di pulau kosong
ini,” katanya. Ia tidak lantas menyingkir, hanya bertindak maju.
Ang Cit Kong membuka matanya. Ia
rupanya dapat mendengar perkataan orang.
“Pulau
kosong apa ini?” ia menanya.
“Kau
berlatih terus, suhu!” Oey
Yong memegat. “Jangan pedulikan
dia!” Ia berpaling kepada si anak muda sambil ia berbangkit. “Mari turut aku, kita pergi keluar!” katanya.
Auwyang Kongcu menjadi girang, ia
turut pergi.
Pagi
itu cuaca terang sekali. Oey
Yong memandang ke sekitarnya, ia
mendapatkan laut biru, langit seperti nempel dengan air itu. Ia melihat
beberapa gumpal awan putih bagaikan tergantung di udara. Sama sekali tak nampak
daratan lainnya.
Ia
bertindak ke tempat di mana kemarin mereka mendarat. Mendadak ia terjaga.
“Mana
perahu kita?!” ia menanya sambil berseru.
“Ah
ya, ke mana perginya, ya?” balik tanya
si pemuda. “Ah, tentu juga kena didampar air pasang……….”
Oey Yong mengawasi muka
orang, yang tak kaget dan merasa aneh seperti dia, maka maulah ia menduga, tentulah
tadi malam pemuda ini yang emndorong perahu itu untuk dibikin hanya terbawa
gelombang. Dengan begitu si anak muda hendak membikin mereka tidak dapat
berlalu dari pulau kosong ini.
“Sungguh
dia jahat!” katanya dalam hatinya. Ia menjadi tidak takut. Ia memang sudah
memikir sulit untuk kembali dengan masih bernyawa. Laginya perahu kecil itu tak
mungkin dapat membawa orang ke darat. Hanya sekarang ia memikirkan gurunya,
yang tentunya pun tak dapat pulang lagi ke Tionggoan…
Kembali
si nona mengawasi Auwyang
Kongcu dengan bersikap tenang. Ia
tidak mengentarakan sesuatu. Pemuda itu tidak berani bentrok sama sinar mata si
nona, lekas-lekas ia tunduk.
Oey Yong lompat naik ke atas
sebuah batu tinggi, di situ ia bercokol sambil memeluk dengkul, matanya
memandang jauh ke depan.
Auwyang Kongcu mengawasi, hatinya
bekerja.
“Kalau
tidak sekarang aku mencoba membaiki dia, hendak aku menanti sampai kapan lagi?”
pikirnya. Maka ia pun berlompat naik ke batu itu, untuk berduduk dekat si nona.
Oey Yong berdiam saja, ia tidak
gusar, ia pun tidak menggeser tubuhnya.
Menampak
demikian, si anak muda menjadi mendapat hati. Diam-diam ia memindahkan
tubuhnya, untuk datang lebih dekat kepada si nona.
“Adikku,”
katanya, perlahan. “Kita berdua bakal hidup bersama di sini hingga di hari tua,
hidup sebagai dewa-dewi. Aku tidak tahu, di penitisan yang sudah, kebaikan apa
itu yang telah aku lakukan…”
Oey Yong tidak gusar,
sebaliknya, ia tertawa geli.
“Di pulau ini, bersama guruku kita cuma bertiga.
Tidakkah itu sepi?”
Lega
hatinya si anak muda melihat orang tertawa.
“Ada aku yang menemani
kau, mana bisa sepi?” katanya. “Laginya, kalau kemudian kita mendapat anak,
bukankah itu menjadi lebih-lebih tak sepi?”
“Siapa
toh yang melahirkan anak?” si nona tanya,
tertawa. “Aku sendiri tak bisa…”
Auwyang Kongcu tertawa.
“Nanti
aku ajari kau!” katanya. Ia lantas mengulur tangannya yang kiri, untuk
merangkul si nona.
Tiba-tiba
ia merasakan hawa yang hangat di tangannya. Sebab, tahu-tahu si nona sudah
menyodorkan tangannya sendiri, untuk mencekal tangannya itu. Tanpa merasa,
hatinya jadi berlompatan. Inilah ia tak sangka, hingga ia lupa akan dirinya.
Oey Yong menyenderkan
tubuhnya di dada orang, sembari berbuat begitu tangannya yang kiri berkisar ke
nada orang itu.
“Ada yang bilang,” katanya
perlahan, “Kehormatannya enci Bok Liam Cu dirusak kau, benarkah itu?”
Pemuda
itu tertawa lebar.
“Perempuan
she Bok itu tak tahu diri!” sahutnya. “Dia tidak
sudi ikut padaku. Aku
Auwyang Kongcu,
kau tahu aku orang macam apa? Mustahil aku sudi memaksa dia?”
Si
nona menghela napas.
“Kalau
begitu, nyata orang keliru mempersalahkan kau,” katanya.
“Anak
itu terlalu besar kepalanya, sayang, sayang!” Auwyang Kongcu
bilang.
Mendadak Oey Yong berpaling ke laut,
tangannya menunjuk.
“Eh,
apakah itu?!” katanya, agak terperanjat.
Auwyang Kongcu memandang ke arah
yang ditunjuk itu, ia tidak melihat apa juga, maka ia berpaling lagi, untuk
menanya, atau mendadak ia rasakan tangannya tercekal keras dan sakit, sampai ia
tidak dapat berkutik. Ia justru mengandalkan tangan kirinya itu.
Tangan Oey Yong yang sebelah lagi
memegang tempuling, ia ayunkan itu ke belakang, untuk menikam perut si anak
muda.
Mereka
berada sangat dekat satu dengan lain, si anak muda pun tercengang, sedang
tangan kanannya mati, tentu saja ia tidak dapat menangkis, bahkan untuk
berkelitpun susah. Tapi ialah murid seorang pandai, tak percuma ia berlatih
silat duapuluh tahun di Pek To San, maka di saat
seujung rambut itu, ia masih ingat untuk membela diri. Bukan ia menangkis atua
berkelit, justru dengan dadanya ia membentur punggungnya si nona.
Oey Yong tidak menyangka,
maka begitu kena dibentur, tubuhnya terpelanting jatuh dari atas batu. Saking
kagetnya, cekalan kepada tangan orang telah terlepas. Tikamannya juga melesat,
cuma tidak sampai kosong. Sebagai ganti perutnya, tempuling nyempret di paha
kanan si anak muda.
Auwyang Kongcu sudah lantas lompat
turun juga dari batu itu, ketika menghadapi si nona, ia dapatkan nona itu lagi
berdiri mengawasi ia sambil tertawa haha-hihi, tangannya tetap memegang
tempulingnya. Ia pun lantas merasakan sakit pada dadanya yang dipakai membentur
itu. Ia lantas mengerti, walaupun berusan ia lolos dari bahaya maut, ia tidak
bebas dari durinya baju lapis joan-kwie-kah dari nona itu.
“Kau
aneh!” nona itu menegur. “Selagi enak-enak kita bicara, kenapa kau membentur
aku? Sudah masa bodoh!” Dan dia
memutar tubuhnya untuk mengangkat kaki.
Auwyang Kongcu berdiri bengong. Ia
mendongkol berbareng ketarik hatinya kepada si nona, ia kaget berbareng girang.
Ia tidak dapat menyelami hati non aitu. Sampai sekian lama, masih ia menjublak
saja.
Oey Yong balik ke gua, ia
menyesal bukan main. Ia menyesal yang ilmu silatnya belum sempurna. Bukankah ia
telah membikin hilang satu ketika yang sangat baik? Ia tiba di dalam akan
mendapatkan gurunya lagi rebah dengan disampingnya melulahan darah bekas
muntah. Ia menjadi sangat kaget.
“Suhu!”
ia memanggil seraya ia berdongko. “Kau kenapa suhu? Apa kau merasa baikan?”
Guru itu menghela napas
perlahan.
“Aku
ingin minum arak…” sahutnya.
Sakit Oey Yong merasakan hatinya. Di mana bisa mendapatkan arak di pulau kosong ini?
Terpaksa ia mesti menghibur gurunya itu. Maka ia menyahuti: “Nanti aku dayakan
suhu. Bagaimana kau rasakan lukamu, apakah tidak ada halangannya?” Tanpa merasa
ia mengucurkan air mata.
Menghadapi
kemalangan lebih besar, belum pernah Oey Yong
menangis, tetapi sekarang ia bersedih bukan main. Ia mendekam di dada gurunya
itu, ia menangis menggerung-gerung.
Cit Kong mengusap-usap rambut
orang serta punggungnya juga, I apun bingung. Ia lah seorang tua, sudah puluhan
tahun ia malang
melintang dalam dunia kangouw, segala macam bahaya pernah ia menempuhnya, tidak
ia habis daya seperti sekarang menghadapo murid disayanginya ini.
“Jangan
menangis, anak yang baik,” katanya. “Gurumu sangat menyayangi kau. Anak yang
baik tidak menangis. Ya, gurumu tidak mau minum arak…”
Oey Yong tetap bersedih, ia
menangis terus, tetap selang sesaat, tangisannya itu membuat hatinya lega. Ia
angkat kepalanya. Ia lihat dada gurunya basah dengan air matanya. Tiba-tiba ia
tertawa. Ia menyingkap rambut di mukanya.
“Tadi
aku telah tikam itu jahanaman, sayang gagal,” katanya. Terus ia menuturkan apa
yang ia barusan lakukan terhadap keponakannya Auwyang Hong
itu.
Cit Kong tunduk, ia tidak
membilang suatu apa.
“Gurumu
sudah tidak berguna lagi,” katanya. “Bangsat jahat itu jauh lebih menang
daripadaku. Untuk melawan dia tak dapat kita menggunai tenaga tetapi harus
dengan kecerdikan…”
“Suhu,”
berkata sang murid, yang hatinya cemas, “Baiklah suhu beristirahat beberapa
hari, untuk memelihara dirimu. Kalau suhu sudah sehat, tidakkah baik apabila
suhu menghajar dia satu kali saja, membikin dia habis?”
“Aku
telah dipagut ular dua kali, aku juga terkena pukulan kuntauw Kodok dari See
Tok,” katanya berduka, “Dengan menghabiskan seluruh tenaga dalamku, dapat aku
mengusir racun itu, mana aku masih bisa menyambung jiwaku beberapa tahun lagi,
hanya karena aku mesti mengerahkan semua tenagaku, musnahlah ilmu silatku dari
beberapa puluh tahun, musnah dalam satu hari saja. Gurumu adalah seorang yang
bercacad, telah habis semua kebisaannya…”
Oey Yong kaget dan bingung.
“Tidak,
suhu, tidak!” serunya. “Itulah tidak bisa jadi!”
Cit Kong tertawa.
“Aku
si pengemis tua benar bersemangat akan tetapi sekarang, setelah sampai di
akhirnya, tidak dapat aku tidak melegakan hati,” katanya. Ia berhenti sebentar,
lalu ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia menambahkan: “Anak, gurumu
terpaksa meminta kau melakukan sesuatu yang sulit sekali. Itulah permintaan
yang bertentangan dengan rasa hatimu. Dapatkah kau melakukannya?”
“Dapat,
dapat, Suhu!” si nona menjawab cepat. “Silahkan suhu sebutkan!”
Cit Kong menghela napas.
“Sayang
berkumpulnya kita guru dan murid sangat pendek harinya,” berkata ia masgul.
“Aku menyesal ynag aku tidak dapat memberikan pelajaran apa-apa kepadamu sedang
sekarang aku hendak memaksakan hal yang sulit untumu, suatu tanggung jawab yang
berat hendak aku bebankan di pundakmu. Sebenarnya di dalam hal ini hati gurumu
tak tentram….”
Oey Yong heran untuk sikap
ragu-ragu guru ini, sedang biasanya Pak Kay
paling terbuka dan paling cepat mengambil keputusan. Maka maula ia percaya,
tugas itu masti penting dan berat sekali. Tapi ia tidak jeri.
“Silahkan
bilang, Suhu!” ia mendesak. “sekarang Suhu terluka pun disebabkan untukku
karena kau mendatangi pulau Tho Hoa To, untuk budimu itu, meskipun tubuhku
hancur lebur, belum dapat aku membalasnya. Hanya muridmu khawatir sekali,
khawatir usianya yang masih muda, ia tidak sanggup menjalankan pesanmu ini.”
Mendengar
begitu, Ang Cit Kong
memperlihatkan roman girang.
“Dengan
begitu kau jadinya telah menerima baik?” ia menegaskan.
Oey Yong mengangguk.
“Silahkan Suhu
menitahkan,” sahutnya.
Dengan
tiba-tiba Ang
Cit Kong
berbangkit bangun, untuk berdiri tegar. Ia rangkapkan kedua tangannya,
bersilang di depan dadanya, lalu ia menjura dalam ke arah utara. Lantas ia
berkata,” Cauwsu-ya, kau telah membangun Kay Pang
hingga sekarang ini telah diwariskan kepada muridmu ini, sayang sekali muridmu
tidak mempunyakan kemampuan hingga tak dapat ia membuatnya Partai kita jadi
semakin besar dan bercahaya. Hari ini keadaan ada sangat mendesak, mau tidak
mau, muridmu mesti melepaskan tanggungjawabnya, maka itu dengan berkah
pelindungan Cauwsu-ya, muridmu mohon supaya anak ini dijagai hingga kalau toh
ada bahaya bisalah ia terbebas dan memperoleh keselamatan karenanya, supaya
selanjutnya ia dapat berbuat kebaikan untuk orang-orang Partai kita yang
bersengsara.” Habis mengucap begitu, kembali ia menjura.
Selama
mendengari, Oey
Yong bengong saja, kemudian
barulah ia tercengang.
“Anak,
kau berlutut,” berkata Cit
Kong kemudian.
Oey Yong menurut, ia menekuk
lutut.
Ang
Cit Kong mengambil tongkatnya, yang dinamakan Lek-tiok-thung, atau Tongkat
Bambu Hijau, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya, kedua tangannya
dirangkap, lalu ia menyerahkan itu ke dalam tangannya si nona.
Oey Yong terbenam dalam
keragu-raguan.
“Suhu,
kau menyuruh aku menjadi…menjadi…” tanyanya gugup.
“Benar!”
Cit Kong menjawab. “Aku angkat kau sebagai
Pangcu, kepala dari Kay
Pang, Partai Pengemis.
Akulah Pangcu yang kedelapan belas, mak aturun
kepada kau, kau menjadi Pangcu yang kesembilanbelas. Sekarang mari
kita menghanturkan terima kasih kepada Couwsu-ya.”
Hati Oey Yong tidak tentram akan
tetapi ia menyilangkan kedua tangannya, ia menelad Cit Kong
untuk menjura ke arah utara.
Pak Kay menghela napas panjang,
dari wajahnya nampak ia letih sekali, tetapi ia bersemangat, tanda dari
riangnya hatinya.
Oey Yong mempepayang, untuk
membantu gurunya itu merebahkan diri.
“Sekarang
kau menjadi Pangcu, dengan begitu aku menjadi tianglo,” kata Cit Kong.
“Tianglo masih dihormati oleh Pangcu tetapi di dalam urusan besar dan penting,
tianglo tunduk kepada titah pangcu. Inilah aturan yang menjadi pesan Couwsu-ya,
yang sekali-sekali tak dapat disangkal. Asal tongkat Lek-tiok-thung ini berada
di tanganmu, begitu kau memberikan titahmu maka semua pengemis di dalam negeri
kita ini mesti menerima dan menurut segala titah itu.”
Oey Yong masgul berbareng
gugup, ia bingung. Apa artinya gurunya ini dengan tiba-tiba mewariskan
kedudukan raja pengemis padanya? Mana ada alasannya? Tapi gurunya tengah
terluka parah, ia pun sudah memberikan janjinya, tidak dapat ia menampik.
Penampikan berarti menambah susah hati gurunya itu. Ia juga memikir: “Kita
sekarang berada di pulau kosong ini…di bulan dan tahun kapan kita dapat kembali
ke tanah Tionggoan? Laginya, engko Ceng sudah meninggal dunia, aku tidak ingin
hidup lebih lama…Sekarang suhu menyuruh aku mengepalai pengemis dari seluruh
negeri…” Maka ia menjadi berdiam saja.
Ang Cit Kong berkata pula; “Tahun
ini tanggal limabelas bulan tujuh ada tanggal rapat besar setahun sekali yang
bakal diadakan di kota
Gakyang di tepinya telaga Tong Teng Ouw, di sana akan berkumpul semua kepala pengemis
dari pelbagai tempat. Rapat itu diutamakan untuk semua pemimpin mendengar aku
menunjuk bakal gnatiku sebagai Pangcu, siapa sangka sekarang aku terbengkalai
di sini. Kau telah menjadi penggantiku, kau dapat pergi ke sana untuk memegang pemimpin. Dengan kau
mencekal dan membawa tongkat ini, semua saudara akan segera mengerti maksudku. Di dalam urusan Kay Pang,
keempat tianglo lainnya akan membantu padamu, maka tak usahlah aku memesan
banyak. Hanya aku menyesal sekali, tanpa sebab dan secara begini mendadak aku
memaksakan kau, satu nona yang manis, merendahkan
diri masuk ke dalam kalangan bangsa pengemis….”
Walaupun
ia mengucap demikian, Pak
Kay toh tertawa girang. Tapi,
karena tertawanya itu, ia merasakan lukanya nyeri, setelah meringis, ia
batuk-batuk tak henti-hentinya.
Oey Yong mengusap-usap
punggung gurunya itu.
“Aku
si pengemis tua benar-benar sudah tak punya gua,” kata Cit Kong
setelah berhenti batuk-batuk. “Karena aku tidak tahu kapan aku bakal berpulang
ke alin dunia, mesti aku lekas-lekas menurunkan ilmu silat Pa-kauw-pang
kepadamu…!”
Sudah
puluhan macam ilmu silat didapat Oey Yong
dari gurunya ini, belum pernah ia mendengar Pa-kauw-pang, yang berarti ilmu
silat pentungan menghajar anjing. Ia memikir-mikir, kenapa tak enak sekali
disebutnya nama ilmu silat itu - mementung anjing….
“Bagaimana
galaknya seekor anjing, dia dapat dihajar mampus dengan sebuah kepalan,” ia
berpikir pula, “Maka itu, untuk apa mesti mempelajari pula ilmu silat
menemplang anjing? Tapi suhu bicara dengan sikap begini sungguh-sungguh,
baiklah aku menurut…”
Maka
mengangguklah ia, bersedia menerima warisan ilmu silat yang ia anggap aneh itu.
Ang Cit Kong mengawasi muridnya,
ia tertawa.
“Meskipun
kau menjadi Pangcu, kau tak usah mengubah macam atau dandanmu, tak usah
mengubah tabiat atau sifatmu,” berkata ia, menjelaskan. “Kau doyan guyon
bergurau, tetap kau boleh berpesta pora dengan kenakalanmu itu! Kami bangsa
pengemis, kami justru paling kemaruk sama kemerdekaan dan kebebasan, sebab
tanpa kebebasan, tak dapat kami menjadi pengemis. Kalau tidak demikian, kenapa
kita tidak menjadi saja pembesar negeri atau seoarng hartawan? Nampaknya kau
tidak puas dengan Pa-kauw-pang, benarkah? Kau bilanglah terus terang!”
Oey Yong tersenyum.
“Muridmu
sebenarnya memikirkan berapa ketangguhannya seekor anjning..” ia menyahut.
“Muridmu memikir untuk apa mesti diciptakan semacam ilmu silat..”
“Sekerang
kau telah menjadi kepala pengemis, kau harus memikir sebagai pengemis juga!”
katanya. “Tapi pakaianmu indah, romanmu mentereng sebagai satu nona hartawan,
kalau ada anjing melihat padamu, mestinya anjing itu mengangguk-angguk dan
menggoyang-goyang ekor terhadapmu. Dengan begitu, apa perlunya menghajar anjing
itu? Tetapi kalau si pengemis tulen bertemu sama anjing, hebatlah akibatnya,
sungguh menyedihkan! Bukankah pepatah kuno ada membilang, ‘Seorang miskin
melarat tanpa pentungan dia diperhina oleh anjing’? Kau belum pernah menjadi
seorang miskin, kau tidak mengerti kesengsaraannya si miskin.”
Mendengar
itu Oey Yong tertawa seraya bertepuk tangan.
“Suhu,
kali ini kau keliru!” katanya gembira.
Cit Kong heran, ia melengak.
“Kenapa
keliru?” tanyanya.
“Ketika
pada bulan ketiga yang baru lalu ini aku minggat dari Tho Hoa To dan aku pergi
ke Utara, di sana
aku telah menyamar sebagai pengemis!” sahut si nona. “Disepanjang jalan ada
saja anjing yang menggonggong dan mengikuti aku, hendak menggigit, selalu aku
hajar dia dengan dupakan, lantas dia lari sambil menggoyang-goyang ekornya!”
“Ya,
itulah benar,” berkata Ang
Cit Kong.
“Hanya kalau anjing sangat galak hingga sukar ditendang, tidak dapat tidak,
tongkat harus dipakai untuk mementungnya!”
Si
nona menjadi berpikir.
“Di mana ada anjing demikian galak dan hebat?” Tapi
hanya sejenak, lantas ia insyaf. Maka ia menambahkan: “Benar! Manusia jahat pun
ada sama dengan anjing galak!”
Cit Kong tersenyum.
“Kau
sungguh cerdas!” pujinya. “Jikalau….”
Ia
sebenarnya hendak menyebutnya Kwee
Ceng pasti tidak dapat menebak,
tetapi ia berduka, ia batal melanjutinya. Ia bahkan terus berdiam.
Oey Yong dapat menerka hati
orang, ia berpura-pura tidak tahu. ia pun sangat berduka.
“Pa-kauw-pang
terdiri dari tigapuluh enam jurus,” kemudian Cit Kong
berkata pula, memberi penjelasan. “Itulah ilmu silat yang diciptkan sendiri
oleh Couwsa-ya. Sampai sebegitu jauh, menurut aturan dan kebiasaan, ilmu silat
ini cuma diajari dan diwariskan kepada Pangcu, tidak kepada orang yang kedua.
Katanya dulu Pangcu yang nomor sebelas, tempo ia berada di gunung Pak Kouw San,
ia telah dikepung banyak orang kosen, dengan sepasang kepalannya, ia telah
menghajar mati lima di antaranya. Ketika itu, ia menggunai ilmu silat
Pa-kauw-pang.”
Oey Yong tertarik, tetapi ia
menghela napas.
“Suhu,”
tanyanya, “Ketika di perahu besar itu kau menempur See Tok Auwyang Hong, kenapa
kau tidak menggunai ilmu silatmu itu?”
“Menggunai
ilmu silat itu adalah urusan besar dari Partai kita,” menyahut sang guru.
“Sekalipun aku tidak menggunai, tidak nanti See Tok dapat mengalahkan aku!
Siapa sangka dia ada sangat hina dina,
aku sudha tolongi dia, dia justru membokong menyerang punggungku…”
Diwaktu
mengucap demikian, wajahnya Pak
Kay muram. Oey Yong
dapat menduga kemendongkolan dan kemasgulan gurunya itu, hendak ia menyimpang
pembicaraan.
“Suhu,”
ia berkata, “Sekarang kau ajarkanlah ilmu silat tongkat itu kepada Yong-jie,
sesudah Yong-jie bisa, nanti Yong-jie pakai untuk membunuh See Tok guna
membalaskan sakit hati suhu!”
Cit Kong tertawa secara tawar.
Ia menumput sebatang cabang kering, setelah mana mulutnya membaca, tangannya
digerak-geraki. Ia tetap rebah tetapi ia dapat menjalankan tigapuluh enam jurus
dari Pa-kauw-pang itu. Yang mana kurang jelas, ia menambahkan dengan
keterangannya. Dengan
cara itu ia menurunkan ilmu silat
peranti mementung anjing itu. Ia tahu Oey Yonng
cerdas sekali, ia mengajari dengan sungguh-sungguh. Dilain pihak ia khawatir
yang umurnya tidak panjang lagi…..
Nama
ilmu silat pentungan itu tak sedap didengarnya, tetapi ilmu silatnya sendiri
lihay, banyak perubahannya, kalau tidak, tidak nanti ilmu itu menjadi ilmu
istimewa dalam Kay
Pang dan diwariskan secara turun
temurun. Maka itu, mesti Oey
Yong cerdas luar biasa dan ia
dapat menjalankan, tak semuanya segera ia dapat menangkap maksudnya.
Habis
memberi pelajaran, Cit
Kong menghela napas, ia
bermandikan keringat.
“Aku
mengajari kau terlalu singkat,” ia berkata, “Itulah tidak bagus. Sebenarnya,
tidak dapat aku mengajari lebih jauh…” Mendadak ia menjerit, “Aduh!” dan
tubuhnya roboh rebah.
Oey Yong kaget, ia berlompat
menubruk.
“Suhu!”
ia memanggil. Ia pun mengasih bangun.
Tangan
dan kaki Cit Kong dingin, napasnya
jalan sangat perlahan. Nampaknya ia tidak dapat ditolong pula…
Selama
beberapa hari ini hebat penderitaannya si nona, maka itu ia mendekam di tubuh
gurunya itu, ia menangis tanpa dapat mengeluarkan suara. Ia masih dapat
mendengar denyutan jantung dari gurunya itu. Lantas ia menggunai kedua
tangannya, ia memegang kedua bagian rusuk, untuk membantu sang guru bernapas.
Adalah di itu saat genting untuk gurunya, ia mendengar satu suara perlahan di
belakangnya. lantas sebuah tangan diangsurkan ke lengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar