Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 2


Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal

Sekarang Pauw-sie dapat kenyataan orang belum mati dan pundaknya dia itu tertancapkan sebatang anak panah. Batang patah juga berbelepotan darah.
Nyonya ini bernama Sek Yok, nama ini tepat sama sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti “menyayangi yang lemah”. Begitulah diwaktu masih kecil, kalau ia lihat burung gereja atau ayam terluka, atapun kutu seperti semut, tentu ia mengobatinya, sampai binatang itu sembuh, kalau tidak, ia buatnya berduka. Karena ini, dikamarnya ia rawat banyak kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia menikah, dari itu kebetulan untuknya Yo Tiat Sim, suaminya tidak menentangi padanya, maka juga di belakang rumahnya ia ada pelihara banyak burung dan binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi ialah Pauw-sie tidak tega menyembelih binatang piaraannya untuk suaminya dahar ayam, ia sengaja beli di pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam itu.
Demikian kali ini, menampak orang terluka parah timbul rasa kasihannya, walaupun ia tahu orang bukannya orang baik-baik. Cuma bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk mengasih bangun suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk arak, ia tak mendusin kendati istrinya sudah gonyang-gonyang tubuhnya.
Pauw-sie menjadi sibuk. Ia tahu orang perlu lekas ditolongi. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-obatan suaminya, dengan bawa pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia kembali pada si luka. Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang luka. Begitu setelah belek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras tenaga, ia cabut anak panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya tercabut, darahnya muncrat mengenai bajunya si nyonya.
Dengan hati memukul sendirinya, Pauw-sie lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.
Selang sekian lama, si luka sadar pula, tapi ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.
Pauw-sie tidak kuat angkat tubuh orang, tetapi ia dapat akal, ia pulang untuk ambil sehelai papan pintu, ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas papan itu, lantas ia tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.
Sampai ia telah salin pakaian, hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak daging kuwah semangkok, lalu ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa lilin. Sejak di depan pintu gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi orang itu tidak mati. Ia masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.
Si luka makan sekira setengah mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.
Dengan bantuan api lilin, pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang tampan, hidungnya mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena bikin tetesan lilin jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya. Kaget ia akan lihat si nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah dadu.
“Apa yang kau rasakan baikan?” Pauw-sie toh menanya. “Mari makan habis daging kuwah ini…..”
Orang itu ulur tangannya, akan sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin mangkok itu terlepas. Maka terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu kemulutnya.
Habis makan kuwah, nampaknya orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si nyonya, agaknya ia berterima kasih.
Pauw-sie likat diawasi orang itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh orang itu, lalu dengan membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat tidur tenang, diwaktu pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya tombak mati orang itu atau dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu mesti lari ke mana. Beberapa kali ia mimpi, beberapa kali ia sadar, dengan hati tergoncang. Ketika akhirnya ia mendusin diwaktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombaknya. Ia ingat kejadian semalam, ia jadi kaget sendirinya. Diam-diam tapi dengan lekas, ia pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan! Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup angin dingin, baru ia sadar. Itu waktu ia pun merasai pinggangnya ngilu dan lemas, ia jadi lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.
Tiat Sim masak bubur putih, yang diletaki di atas meja. “Kau lihat!” kata suaminya dengan tertawa. “Bubur masakanku tak ada celaannya, bukan?”
Istri itu tertawa, ia tahu karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat menyayangi ia telah masaki ia bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia telah ambil keputusan akan tutup mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu, sebab ia tahu kebencian suaminya terhadap orang jahat, apabila suaminya diberitahukan, pasti ia bakal binasakan orang itu.
Sejak itu beberapa bulan telah berlalu; dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga telah lupai itu peristiwa yang ia sudah tolongi orang yang luka.
Pada suatu hari, Tiat Sim dan istrinya pergi ke rumah Siauw Thian, untuk bersantap dan minum arak, sorenya mereka pulang, akan terus masuk tidur. Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie mendusin dan melihat suaminya telah bangun juga dan sedang duduk di atas pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu hingga ia jadi terjaga dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika kupingnya dapat tangkap suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es, makin lama makin nyata, datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul sama suara serupa yang datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila ia dengar pula suara dari selatan dan utara.
“Toako!” katanya pada suaminya sambil bangun untuk berduduk, “Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?”
Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.
Tindakan kuda dari empat penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gongongan anjing kampung yang menyahutnya.
“Kita kena dikurung” kata Tiat Sim kemudian.
Pauw-sie terkejut. “Untuk apakah?” tanyanya
“Entahlah!” jawab suaminya itu. Ia terus serahkan pedang pengasihan dari Khu Cie Kee seraya memesan: “Kau pegang ini untuk jaga dirimu!”
Tiat Sim buka jendela, untuk melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentera, kurungannya berlapis. Ia dapat melihat karena tentera itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.
“Tangkap pengkhianat! Jangan kasih dia lolos!” demikian tentara itu mulai berseru-seru.
“Apakah ada pengkhianat yang lolos kemari?” Tiat Sim menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.
Tiba-tiba satu perwira berseru: “Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak, lekas muncul untk terima diringkus!”
Tiat Sim menjadi kaget, sedang Pauw-sie menjadi pucat mukanya.
“Entah kenapa pembesar negeri menfitnah rakyat,” kata Tiat Sim kemudian, “Tidak ada jalan lain, kita mesti menerobos keluar! Kau jangan takut, walaupun musuh berjumalh puluhan ribu, akan aku lindungi padamu!”
Dasar turunan orang peperangan. Tiat Sim tidak menjadi kacau pikirannya. dengan tenang tetapi sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi tangan kanan istrinya.
“Nanti aku berbenah dulu…” kata Pauw-sie.
“Apa lagi yang hendak dibenahkan?” kata suaminya itu. “Apa juga tak dapat.
Lemah hatinya istri itu, lalu tiba-tiba ia menangis. “Dan rumah ini?” katannya.
“Asal kita dapat lolos, nanti di lain tempat kita membangun pula rumah kita!” sahut sang suami.
“Dan itu anak-anak ayam dan anak-anak kucing?” istri itu menanya pula.
Tiat Sim menghela napas. “Ah, orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?”
Baru Tiat Sim mengucap demikian, di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar. Dua ruang di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut payon rumah.
Bukan main mendelunya Tiat Sim. Ia buka pintu dan muncul. “Aku Yo Tiat Sim!” ia perkenalkan diri. “Kamu hendak bikin apa?”
Dua serdadu itu kaget, mereka memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka lari balik.
Di antara cahya api, satu perwira maju dengan kudanya. “Kamu Yo Tiat Sim? Bagus!” ia berkata. “Mari ikut kami menghadap pembesar kami! Tangkap!”
Lima serdadu lantas merangsak.
Tiat Sim geraki tombaknya, dalam jurus “Ouw liong pa bwee”, atau “ Naga hitam menggoyang ekor,” lalu tiga serdadu roboh terguling, kemudian dengan susulannya “Cun lui cin nouw” atau “Geledak musim semi murka,” ia rubuhkan satu yang lain, yang tubuhnya ia lempar balik ke dalam barisannya.
“Untuk menangkap orang, kamu mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!” ia membentak.
“Pemberontak bernyali besar!” teriak si perwira. “Kanu berani melawan?!”
Mesti begitu ia gentar hari, tak berani ia maju mendekati. Adalah satu perwira lain yang berada dibelakangnya, mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini: “Baik-baik saja ikut kami ke kantor, kau akan bebas dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!”
“Kasih aku lihat!” bentak Tiat Sim.
“Masih ada satu pemberontak lainnya, yang she Kwee?!” kata perwira itu.
“Kwee Siauw Thian ada di sini!” sahut Siauw Thian yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah siap sedia.
Perwira itu terkejut, hatinya ciut.
“Letkai panahmu,” katanya. “Nanti aku bacakan surat titah ini….”
“Lekas baca!” bentak Siauw Thian, yang justru tarik semakin melengkung gandewanya itu.
Terpaksa dengan ketakutan, perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim dua penduduk Gu-kee-cun, yang dituduh berontak melawan negara, sudah bersekongkol sama penjahat besar.
“Surat titah ini datang dari kantor mana?” Siauw Thian tanya.
“Inilah surat titah tulisannya Han Sinsiang sendiri!” jawab perwira itu.
Dua-dua Siauw Thian dan Tiat Sim terkejut. “Hebat urusan, sampai Han Sinsiang sendiri yang turun tangan menulis surat titah?” mereka berpikir. “Mungkin ini disebabkan terbukanya rahasia Khu Cinjin telah membinasakan banyak hamba negara?”
“Siapakah yang mendakwa? Apa ada buktinya?” tanya Siauw Thian pula.
“Kita cuma mesti menawan orang!” kata si perwira. “Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!”
“Han Sinsiang gemar menfitnah orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?” kata Tiat Sim. “Kami tak sudi kena jebak!”
Dengan perlahan Tiat Sim kata pada istrinya: “Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda dia itu untukmu! Akan aku panah perwira itu, tenteranya bakal jadi kacau!” Dan terus ia tarik panahnya, maka setelah satu suara “Ser!” si perwira berkoak keras, tubuhnya terjungkal dari kudanya.
Semua serdadu lantas berteriak-teriak. “Maju! Tangkap!” berseru perwira yang satunya.
Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut busur-busurnya Siauw Thian dan Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh diantaranya rubuh seketika. Akan tetapi jumlah mereka ini besar, dibawah anjuran pembesarnya, mereka maju terus.
Tiat Sim menjdai mendongkol, ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu, Tiat Sim melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya terpelanting ke tanah.
Dengan menekan tombaknya ke tanah, Tiat Sim lompat ke atas kuda putih, maka sesaat saja, ia sudah menerjang ke muka pintu rumahnya. Ia tikam rubuh satu serdadu Song, yang menghalangi dia, kemudian dengan satu jembretan, ia angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu waktu Pauw-sie sudah siap menanti padanya.
“Kwee Toako, mari turut aku!” orang she So itu teriaki saudara angkatnya.
Siauw Thian tengah menyerang seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk istrinya Lie-sie yang bernama Peng.
Beberapa perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak panah.
“Enso, lekas naik!” seru Tiat Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.
“Tidak bisa….” berkata Lie-sie.
Diwaktu demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian mengikuti dari belakang, untuk melindungi.
Lolos belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentera itu, hebat serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos.
Sekonyong-konyong terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama Lie-sie, yang pun ikut berteriak.
Tiat Sim kaget tetapi ia tabah. “Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!” serunya. Lalu dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.
Kwee Siauw Thian berpikir lain daripada saudara angkatnya itu.
“Terang kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya.”
Maka itu, ia teriaki adik angkatnya itu: “Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!”
Tiat Sim heran, akan tetapi ia hampiri saudaranya itu.
Perwira pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. “Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!” ia berteriak.
“Toako, jangan kena diperdayakan!” Tiat Sim memberi ingat.
Siauw Thian menggeleng kepala, ia lemparkan sepasang tombaknya.
Tiat Sim lihat istrinya ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan panah dan tombaknya.
Atas itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat.
Tiat Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat: “Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak takut mampus?!”
“Bagus!” kata jago she Yo itu. “Siapakah namamu?!”
Perwira itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. “Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!” katanya dengan jumawa. “Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!”
Tiat Sim tidak takut, ia malah mengawasi dengan bengis.
“Ingat olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!” Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya.
Pauw-sie menangis. “Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia sampai begini?” tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki.
Tiat Sim meludah tepat mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut golok di pinggangnya.
“Aku akan bunuh dulu padamu, pemberontak!” teriaknya.
Tiat Sim tidak sudi mandat dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya.
Thian Tek membacok pula.
Tiat Sim tidak melihat lain jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.
Melihat bacokkannya kembali gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya.
Siauw Thian lihat adik angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak.
Thian Tek terkejut, ia batal menyerang, terus dia menangkis.
Siauw Thian lihay, ia tarik kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susl dari ilmu tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.
“Hajar mampus dia!” dia berseru.
Beberapa serdadu segera menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung!
Bukan main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belengguan pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk.
Thian Tek menginsyafi bahaya, ia sudah mendahului mundur.
Yo Tiat Sim
Yo Tiat Sim menyerang bagaikan kalap, matanya menjdi merah.
Semua serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran..
Tiat Sim tidak mengejar musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia kucurkan airmata.
“Adik sudah kau jangan pedulikan aku,” kata Siauw Thian lemah. “Lekas, lekas kau singkirkan diri…”
“Akan aku merampas kuda, mari kita pergi bersama!” kata Tiat Sim.
Siauw Thian tidak menyahut, ia hanya pingsan.
Tiat Sim buka bajunya, hendak ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.
Siauw Thian sadar pula. “ Adik, kau pergilah…” ia kata dengan suara yang sangat lemah. “Pergi kau tolong teehu serta ensomu…aku, aku sudah habis…” Dan ia meramkan matanya untuk selamanya.
Hampir Tiat Sim menyemburkan darah, sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Untuk kagetnya ia tidak dapat melihat mereka itu.
“Toako, aku akan balaskan sakit hatimu!” ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.
Toan Thian Tek memberi perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.
Tiat Sim maju terus seraya putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat.
Sekali lagi barisan serdadu itu lari buyar.
Tiat Sim mengejar, hingga ia lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.
Lagi sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bnagun. Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi.
Tiat Sim lari kepada wanita itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya.
Sek Yok kaget dan girang, ia lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.
“Mana enso?” Tiat Sim tanya. Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian.
“Ia ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!” sahut Pauw-sie.
Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak mendatanginya satu barisan lain.
“Toako telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!” ini adik angkat ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. “Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula…”
Sek Yok rangkul keras leher suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.
“Tak dapat kita berpisah!” ia kata. “Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?”
Tiat Sim peluki istrinya, hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat. Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya.
Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon.Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie.
Tidak ampun lagi, Tiat Sim tikam mampus mereka satu demi satu.
Lie-sie berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh….
“Mari!” katanya seraya melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur.
Sedang kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.
Tiat Sim sempat menangkis, dapat ia menikam.
Orang itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu.
Pernah Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan Liang San, Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas kabur.
Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika “Ser!” sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya.
“Encek, kau kenapa?” tanya Lie-sie kaget.
Tiat Sim tidak menyahuti, hanya di dalam hatinya ia kata: “Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini… Sebelum aku terbinasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!” Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke peparunya.
“Cabut panah ini!” ia kata.
Lie-sie tapi hatinya lemah, tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong.
Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur itu terus ia pandangi.
Anak panah itu nancap dalam kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah sembarang busur. tempo ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir tiga huruf “Wanyen Lieh” Ia terkejut.
“Wan-yen” itu adalah she, yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.
“Bagus!” serunya. “Benar-benar si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat negeri!”
Ia serahkan busur itu kepada Lie-sie. “Enso ingat baik-baik nama ini!” ia pesan. “Pesanlah anakmu untuk menuntut balas….!”
Habis berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya.
* * *
Hatinya Pauw-sie sakit bagai disayat-sayat karena tolakan suaminya, tempo ia mengawasi suaminya itu, sang suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadau telah mendatangi ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan, tubuhnya segara dikasih naik ke atas seekor kuda.
“Aku tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara-saudara kita!” berkata satu perwira sambil tertawa.
“Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!” kata satu perwira lain. “Eh, sahabatku Ciong, untuk cape kita ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!”
“Hm!” menyahut si Ciong itu. “Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit…!” Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya: “Kumpulkan barisan!” Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya
Pauw-sie menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana jadinya.
Ketika itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.
Mulanya Pauw-sie berkhawatir sangat kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya, kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah diperlakukan dengan manis dan hormat.
Barisan ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis: “Kawanan serdadu tak tahu malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan diri!”
Perwira yang pimpin barisan itu menjadi gusur. “Kawanan berandal dari mana ynag berani mengacau di wilayah kota raja?!” dia balas membentak. “Lekas menggelinding pergi!”
Pihak baju hitam itu tidak menggbris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, ialah tanpa bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang, dengan begitu pihak jadi bertempur kalut.
Kawanan baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat denag baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.
Menyaksikan pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie bergirang. “Bukankah mereka ini dalah kawan-kawannya suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?” demikian ia menduga-duga.
Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.
Sek Yok kaget dan ketakutan, ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.
Kuda itu kabur terus hingga beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datangnya kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atasan kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akan akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.
Pauw-sie kaget dan ketakutan, ia pun ngantuk dan lelah, karena kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia rubub ke tanah dan pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian, ia hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka sadarlah ia yang ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.
Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan menggantungnya.
“Oh, kau sudah mendusin?” pria itu tanya, perlahan suaranya.
Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.
Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. “Oh, panas sekali!” katanya. “Tabib akan segera datang…”
Sek Yok meramkan pula matanya, terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa orang pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: “ Engko Tiat! Engko Tiat!” Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.
Kapan kemudian Sek Yok mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk berduduk.
Seorang menghampiri dia. “Minum bubur?” tanya ia itu dari luar kelambu.
Pauw-sie kasih dengar suara perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya.
Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.
“Tempat ini tempat apa?” nyonya ini kemudian tanya. “Mana suamiku?”
Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.
“Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini,” ia berkata dengan perlahan. “Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku justru tolongi penolongku…” Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti: “Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang berada dirumahnya seorang petani, maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan diri. Harap nyonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya…”
Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk.
“Mana suamiku?” ia tanya.
“Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya,” kata pula si anak muda. “Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berikan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu.”
Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.
“Dia…dia kenapa, suamiku itu?” ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.
“Nyonya, jangan bergelisah tidak karuan,” orang itu menhibur, “Untukmu paling baik adalah merawat diri…”
“Apakah dia…dia telah meninggal dunia?” Sek Yok menanya.
Pemuda itu mengangguk.
“Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu…” ia beri penyahutan.
Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.
“Sudahlah,” si anak muda menghibur pula.
“Bagaimana caranya ia meninggal dunia?” Pauw-sie tanya.
“Bukankah suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?” si anak muda tegaskan.
“Benar dia.”
Pauw Sek Yok
“Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak punggungnya,” si anak muda beritahu.
Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.
Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati.
“Apa she dan nama Tuan?” kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. “Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?”
Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga.
“Aku ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain.” ia menyahut akhirnya
Merah mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan “jodoh”, ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.
“Apakah kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?” ia tanya
“Ke…kenapa?” Yen Lieh tanya.
“Bukankah baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?” Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.
“Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!” bsahut Yen Lieh. “Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?”
“Oh, kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?” berkata Sek Yok, romannya heran, “Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau.”
Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.
Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.
“Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?” ia menegur.
Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa.
“Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu,” ia menjawab. “Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka…”
Sek Yok menangis.
“Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama…?” katanya. “Baik kau pergi sendiri saja…”
“Tetapi Nyonya!” peringatkan Yen Lieh. “Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram…”
Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. “Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?” tanyanya.
Yen Lieh kelihatannya murka. “Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!” katanya keras. “Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya suamimu itu?”
Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. “Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek,” sahutnya kemudian. “Dia mempunyakan tanda biru di mukanya.”
“Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia,” berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji telur asin.
“Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?” katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telu asin itu kepada si nyonya.
Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.
Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada – yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan…. Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja.
Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata: “Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat.”
Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.
Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.
“Kita menuju kemana?” tanya Pauw-sie.
Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.
Belasan lie telah mereka lalui. “Kau hendak bawa aku kemana?” akhirnya Sek Yok menanya pula.
“Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu,” Yen Lieh jawab. “Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas.”
Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali.
“Yen, Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?” katanya.
“Jiwaku ini adalah nyonya yang tolongi,” sahut Yen Liah, “Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja.”
Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar.
Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: “Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!”
Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia gelar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri.
“Nyonya silakan tidur!” ia berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya.
Wang Yen Hung Lieh
Hatinya Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar