Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal
Sekarang
Pauw-sie dapat kenyataan orang belum mati dan pundaknya dia itu tertancapkan
sebatang anak panah. Batang patah juga berbelepotan darah.
Nyonya ini bernama Sek Yok, nama ini tepat sama
sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti “menyayangi yang
lemah”. Begitulah diwaktu masih kecil, kalau ia lihat burung gereja atau ayam
terluka, atapun kutu seperti semut, tentu ia mengobatinya, sampai binatang itu
sembuh, kalau tidak, ia buatnya berduka. Karena ini, dikamarnya ia rawat banyak
kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia menikah, dari itu kebetulan untuknya Yo
Tiat Sim, suaminya tidak menentangi padanya, maka juga di belakang rumahnya ia
ada pelihara banyak burung dan binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi
ialah Pauw-sie tidak tega menyembelih binatang piaraannya untuk suaminya dahar
ayam, ia sengaja beli di pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam
itu.
Demikian kali ini, menampak orang terluka parah timbul
rasa kasihannya, walaupun ia tahu orang bukannya orang baik-baik. Cuma
bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk mengasih bangun
suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk arak, ia tak
mendusin kendati istrinya sudah gonyang-gonyang tubuhnya.
Pauw-sie menjadi sibuk. Ia tahu orang perlu lekas
ditolongi. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-obatan suaminya, dengan bawa
pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia kembali pada si luka.
Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang luka. Begitu setelah
belek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras tenaga, ia cabut anak
panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya tercabut, darahnya muncrat
mengenai bajunya si nyonya.
Dengan hati memukul sendirinya, Pauw-sie
lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.
Selang sekian lama, si luka sadar pula, tapi
ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.
Pauw-sie
tidak kuat angkat tubuh orang, tetapi ia dapat akal, ia pulang untuk ambil
sehelai papan pintu, ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas
papan itu, lantas ia tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.
Sampai
ia telah salin pakaian, hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak
daging kuwah semangkok, lalu ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa
lilin. Sejak di depan pintu gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi
orang itu tidak mati. Ia masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.
Si
luka makan sekira setengah mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.
Dengan
bantuan api lilin, pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang
tampan, hidungnya mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena
bikin tetesan lilin jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya.
Kaget ia akan lihat si nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah
dadu.
“Apa
yang kau rasakan baikan?” Pauw-sie toh menanya. “Mari makan habis daging kuwah
ini…..”
Orang
itu ulur tangannya, akan sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin
mangkok itu terlepas. Maka terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu kemulutnya.
Habis
makan kuwah, nampaknya orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si
nyonya, agaknya ia berterima kasih.
Pauw-sie
likat diawasi orang itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh
orang itu, lalu dengan membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat
tidur tenang, diwaktu pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya
tombak mati orang itu atau dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu
mesti lari ke mana. Beberapa kali ia
mimpi, beberapa kali ia sadar, dengan hati tergoncang. Ketika akhirnya ia
mendusin diwaktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombaknya. Ia ingat
kejadian semalam, ia jadi kaget sendirinya. Diam-diam tapi dengan lekas, ia
pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi
terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan!
Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas
salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi
ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup
angin dingin, baru ia sadar. Itu waktu ia pun merasai pinggangnya ngilu dan
lemas, ia jadi lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.
Tiat Sim masak bubur putih,
yang diletaki di atas meja. “Kau lihat!” kata suaminya dengan tertawa. “Bubur
masakanku tak ada celaannya, bukan?”
Istri
itu tertawa, ia tahu karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat
menyayangi ia telah masaki ia bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia
telah ambil keputusan akan tutup mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu,
sebab ia tahu kebencian suaminya terhadap orang jahat, apabila suaminya
diberitahukan, pasti ia bakal binasakan orang itu.
Sejak
itu beberapa bulan telah berlalu; dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga
telah lupai itu peristiwa yang ia sudah tolongi orang yang luka.
Pada
suatu hari, Tiat
Sim dan istrinya pergi ke rumah Siauw Thian,
untuk bersantap dan minum arak, sorenya mereka pulang, akan terus masuk tidur.
Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie mendusin dan melihat suaminya telah
bangun juga dan sedang duduk di atas pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu
hingga ia jadi terjaga dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika
kupingnya dapat tangkap suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es,
makin lama makin nyata, datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul
sama suara serupa yang datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila
ia dengar pula suara dari selatan dan utara.
“Toako!”
katanya pada suaminya sambil bangun untuk berduduk, “Kenapa ada suara kuda dari
empat penjuru?”
Tiat Sim tidak menyahuti, ia
hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.
Tindakan
kuda dari empat penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gongongan
anjing kampung yang menyahutnya.
“Kita kena dikurung” kata Tiat Sim kemudian.
Pauw-sie
terkejut. “Untuk apakah?” tanyanya
“Entahlah!”
jawab suaminya itu. Ia terus serahkan pedang pengasihan dari Khu Cie
Kee seraya memesan: “Kau pegang
ini untuk jaga dirimu!”
Tiat Sim buka jendela, untuk
melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat
tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentera, kurungannya berlapis. Ia
dapat melihat karena tentera itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi.
Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.
“Tangkap
pengkhianat! Jangan kasih dia lolos!” demikian tentara
itu mulai berseru-seru.
“Apakah
ada pengkhianat yang lolos kemari?” Tiat Sim
menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.
Tiba-tiba
satu perwira berseru: “Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak,
lekas muncul untk terima diringkus!”
Tiat Sim menjadi kaget,
sedang Pauw-sie menjadi pucat mukanya.
“Entah
kenapa pembesar negeri menfitnah rakyat,” kata Tiat Sim
kemudian, “Tidak ada jalan lain, kita mesti menerobos keluar! Kau jangan takut,
walaupun musuh berjumalh puluhan ribu, akan aku lindungi padamu!”
Dasar
turunan orang peperangan. Tiat
Sim tidak menjadi kacau
pikirannya. dengan tenang tetapi sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi
tangan kanan istrinya.
“Nanti
aku berbenah dulu…” kata Pauw-sie.
“Apa
lagi yang hendak dibenahkan?” kata suaminya itu. “Apa juga tak dapat.
Lemah
hatinya istri itu, lalu tiba-tiba ia menangis. “Dan
rumah ini?” katannya.
“Asal kita dapat lolos, nanti di lain tempat
kita membangun pula rumah kita!” sahut sang suami.
“Dan itu anak-anak ayam dan anak-anak kucing?” istri
itu menanya pula.
Tiat Sim menghela napas. “Ah,
orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?”
Baru Tiat Sim mengucap demikian,
di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar. Dua ruang
di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut payon rumah.
Bukan
main mendelunya Tiat
Sim. Ia buka pintu dan muncul.
“Aku Yo Tiat Sim!” ia perkenalkan diri. “Kamu hendak bikin apa?”
Dua
serdadu itu kaget, mereka memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka
lari balik.
Di antara cahya api,
satu perwira maju dengan kudanya. “Kamu Yo Tiat Sim?
Bagus!” ia berkata. “Mari ikut kami
menghadap pembesar kami! Tangkap!”
Lima serdadu lantas merangsak.
Lima serdadu lantas merangsak.
Tiat
Sim geraki tombaknya, dalam jurus “Ouw liong pa bwee”, atau “ Naga hitam
menggoyang ekor,” lalu tiga serdadu roboh terguling, kemudian dengan susulannya
“Cun lui cin nouw” atau “Geledak musim semi murka,” ia rubuhkan satu yang lain,
yang tubuhnya ia lempar balik ke dalam barisannya.
“Untuk
menangkap orang, kamu mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!” ia
membentak.
“Pemberontak
bernyali besar!” teriak si perwira. “Kanu berani melawan?!”
Mesti
begitu ia gentar hari, tak berani ia maju mendekati. Adalah satu perwira lain
yang berada dibelakangnya, mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini:
“Baik-baik saja ikut kami ke kantor, kau akan bebas
dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!”
“Kasih
aku lihat!” bentak Tiat
Sim.
“Masih
ada satu pemberontak lainnya, yang she Kwee?!” kata perwira itu.
“Kwee Siauw
Thian ada di sini!” sahut Siauw Thian
yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah siap sedia.
Perwira
itu terkejut, hatinya ciut.
“Letkai
panahmu,” katanya. “Nanti aku bacakan surat
titah ini….”
“Lekas
baca!” bentak Siauw
Thian, yang justru tarik semakin
melengkung gandewanya itu.
Terpaksa
dengan ketakutan, perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian
dan Yo Tiat Sim dua penduduk Gu-kee-cun, yang dituduh berontak melawan negara,
sudah bersekongkol sama penjahat besar.
“Surat titah ini datang
dari kantor mana?” Siauw Thian
tanya.
“Inilah
surat titah
tulisannya Han
Sinsiang sendiri!” jawab perwira
itu.
Dua-dua
Siauw Thian dan Tiat Sim
terkejut. “Hebat urusan, sampai Han
Sinsiang sendiri yang turun tangan
menulis surat
titah?” mereka berpikir. “Mungkin ini disebabkan terbukanya rahasia Khu Cinjin
telah membinasakan banyak hamba negara?”
“Siapakah
yang mendakwa? Apa ada buktinya?” tanya
Siauw Thian pula.
“Kita cuma mesti menawan orang!” kata si
perwira. “Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!”
“Han Sinsiang
gemar menfitnah orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?” kata Tiat Sim.
“Kami tak sudi kena jebak!”
Dengan
perlahan Tiat Sim kata pada istrinya: “Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda
dia itu untukmu! Akan aku panah perwira itu, tenteranya bakal jadi kacau!” Dan terus ia tarik panahnya, maka setelah satu suara
“Ser!” si perwira berkoak keras, tubuhnya terjungkal dari kudanya.
Semua
serdadu lantas berteriak-teriak. “Maju! Tangkap!” berseru perwira yang satunya.
Sejumlah
serdadu taati titah itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut
busur-busurnya Siauw Thian dan Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh
diantaranya rubuh seketika. Akan tetapi jumlah mereka ini besar, dibawah
anjuran pembesarnya, mereka maju terus.
Tiat Sim menjdai mendongkol,
ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut
penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu, Tiat Sim
melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia
menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu
tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya
terpelanting ke tanah.
Dengan
menekan tombaknya ke tanah, Tiat
Sim lompat ke atas kuda putih,
maka sesaat saja, ia sudah menerjang ke muka pintu rumahnya. Ia tikam rubuh
satu serdadu Song, yang menghalangi dia, kemudian dengan satu jembretan, ia
angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu waktu Pauw-sie sudah siap menanti
padanya.
“Kwee Toako,
mari turut aku!” orang she So itu
teriaki saudara angkatnya.
Siauw Thian tengah menyerang
seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk
istrinya Lie-sie yang bernama Peng.
Beberapa
perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan
menggunai anak panah.
“Enso,
lekas naik!” seru Tiat
Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.
“Tidak
bisa….” berkata Lie-sie.
Diwaktu
demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim
cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia
bersama Siauw
Thian mengikuti dari belakang,
untuk melindungi.
Lolos
belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara
tentera itu, hebat serbuannya. Tiat
Sim dan Siauw Thian
mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan
lolos.
Sekonyong-konyong
terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih
terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama
Lie-sie, yang pun ikut berteriak.
Tiat Sim kaget tetapi ia
tabah. “Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!” serunya. Lalu
dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.
Kwee Siauw Thian berpikir lain
daripada saudara angkatnya itu.
“Terang
kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita
sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa
disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya.”
Maka
itu, ia teriaki adik angkatnya itu: “Adik, mari
kita ikuti mereka ke kantor!”
Tiat Sim heran, akan tetapi
ia hampiri saudaranya itu.
Perwira
pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung
rapat-rapat. “Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!” ia berteriak.
“Toako,
jangan kena diperdayakan!” Tiat
Sim memberi ingat.
Siauw Thian menggeleng kepala,
ia lemparkan sepasang tombaknya.
Tiat Sim lihat istrinya
ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan
panah dan tombaknya.
Atas
itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan
serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat.
Tiat
Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin
tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat: “Pemberontak bernyali besar,
benarkah kamu tidak takut mampus?!”
“Bagus!”
kata jago she Yo itu. “Siapakah namamu?!”
Perwira
itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. “Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!” katanya
dengan jumawa. “Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti
kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya kapan nanti kau bertemu
Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!”
Tiat Sim tidak takut, ia
malah mengawasi dengan bengis.
“Ingat
olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!” Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya.
Pauw-sie
menangis. “Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia
sampai begini?” tanya istri ini yang
tidak tega melihat suaminya dicambuki.
Tiat Sim meludah tepat
mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut
golok di pinggangnya.
“Aku
akan bunuh dulu padamu, pemberontak!” teriaknya.
Tiat Sim tidak sudi mandat
dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi
segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya.
Thian Tek membacok pula.
Tiat Sim tidak melihat lain
jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.
Melihat
bacokkannya kembali gagal, Thian
Tek terus menikam. Kali ini
goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo
itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya.
Siauw Thian lihat adik angkatnya
terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak.
Thian Tek terkejut, ia batal
menyerang, terus dia menangkis.
Siauw Thian lihay, ia tarik
kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susl dari ilmu
tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.
“Hajar
mampus dia!” dia berseru.
Beberapa
serdadu segera menyerang. Siauw
Thian melawan, ia dapat menendang
terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena
dibokong Thian
Tek yang sambar ia dari belakang,
hingga tangan kanannya terbacok kutung!
Bukan
main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si
perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali,
belengguan pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia
hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia
terus mengamuk.
Thian Tek menginsyafi bahaya,
ia sudah mendahului mundur.
Semua
serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran..
Tiat Sim tidak mengejar
musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa
ia kucurkan airmata.
“Adik
sudah kau jangan pedulikan aku,” kata Siauw Thian
lemah. “Lekas, lekas kau singkirkan diri…”
“Akan
aku merampas kuda, mari kita pergi
bersama!” kata Tiat
Sim.
Siauw Thian tidak menyahut, ia
hanya pingsan.
Tiat Sim buka bajunya, hendak
ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya
merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.
Siauw Thian sadar pula. “ Adik,
kau pergilah…” ia kata dengan suara yang sangat lemah. “Pergi kau tolong teehu
serta ensomu…aku, aku sudah habis…” Dan
ia meramkan matanya untuk selamanya.
Hampir Tiat Sim menyemburkan darah,
sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya
dan ensonya, istri Siauw
Thian. Untuk kagetnya ia tidak
dapat melihat mereka itu.
“Toako,
aku akan balaskan sakit hatimu!” ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya,
ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.
Toan Thian Tek memberi perintahnya,
maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.
Tiat Sim maju terus seraya
putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan
membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si
perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim
tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she
Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya
binatang tunggangan, Tiat
Sim bisa menyerang dengan terlebih
hebat.
Sekali
lagi barisan serdadu itu lari buyar.
Tiat Sim mengejar, hingga ia
lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak
mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu
serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat
panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh
bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.
Lagi
sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bnagun.
Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi.
Tiat Sim lari kepada wanita
itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya.
Sek Yok kaget dan girang, ia
lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.
“Mana enso?” Tiat Sim tanya. Dia lantas
ingat istrinya Siauw Thian.
“Ia
ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!” sahut Pauw-sie.
Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak
mendatanginya satu barisan lain.
“Toako
telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!” ini adik angkat
ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. “Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian
mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula…”
Sek Yok rangkul keras leher
suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.
“Tak
dapat kita berpisah!” ia kata. “Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti
binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan
demikian?”
Tiat Sim peluki istrinya,
hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia
sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia
lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang
mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah
muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi Lie-sie. Di
sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat.
Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang
Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya.
Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan
lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia
lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan
tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon.Maka di hadapannya terlihat dua
serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie.
Tidak
ampun lagi, Tiat
Sim tikam mampus mereka satu demi
satu.
Lie-sie
berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu
begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim
angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang
bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat
dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat
itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah.
Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang
diseret, maka sakitlah hatinya. Ia
percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh….
“Mari!” katanya seraya melompat naik ke atas kudanya
yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu
kesakitan dan lari kabur.
Sedang
kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam
semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.
Tiat Sim sempat menangkis,
dapat ia menikam.
Orang
itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun
lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu.
Pernah
Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan
Liang San, Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi
dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka
itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran,
kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas
menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal,
karena mana barisan serdadunya lantas kabur.
Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan
iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika “Ser!”
sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat,
hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya.
“Encek, kau kenapa?” tanya Lie-sie kaget.
Tiat Sim tidak menyahuti, hanya di dalam hatinya ia
kata: “Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini… Sebelum aku terbinasa,
aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!” Ketika ia geraki
tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke peparunya.
“Cabut panah ini!” ia kata.
Lie-sie tapi hatinya lemah, tenaganya tidak ada, tak
dapat ia menolong.
Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan
kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur
itu terus ia pandangi.
Anak panah itu nancap dalam kira tiga dim, gagangnya
memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah
sembarang busur. tempo ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir
tiga huruf “Wanyen Lieh” Ia terkejut.
“Wan-yen” itu adalah she, yaitu nama keluarga dari
bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya,
bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.
“Bagus!” serunya. “Benar-benar si pembesar jahanam itu
telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat
negeri!”
Ia
serahkan busur itu kepada Lie-sie. “Enso ingat baik-baik nama ini!” ia pesan.
“Pesanlah anakmu untuk menuntut balas….!”
Habis
berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di
punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia
menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya.
*
* *
Hatinya Pauw-sie sakit bagai
disayat-sayat karena tolakan suaminya, tempo ia mengawasi suaminya itu, sang
suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadau telah mendatangi
ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan,
tubuhnya segara dikasih naik ke atas seekor kuda.
“Aku
tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak
sedikit saudara-saudara kita!” berkata satu perwira sambil tertawa.
“Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!” kata
satu perwira lain. “Eh, sahabatku Ciong, untuk cape kita ini kita bakal dapat
persen tiga atau empat puluh tail perak!”
“Hm!”
menyahut si Ciong itu. “Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit…!”
Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya: “Kumpulkan barisan!”
Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya
Pauw-sie
menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu
bagaimana jadinya.
Ketika
itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu
lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.
Mulanya Pauw-sie berkhawatir sangat
kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya,
kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah
diperlakukan dengan manis dan hormat.
Barisan
ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang
yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu
muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling
depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis: “Kawanan serdadu tak tahu
malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan
serahkan diri!”
Perwira
yang pimpin barisan itu menjadi gusur. “Kawanan berandal dari mana ynag berani
mengacau di wilayah kota
raja?!” dia balas membentak. “Lekas menggelinding pergi!”
Pihak
baju hitam itu tidak menggbris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman
mereka, ialah tanpa bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang, dengan begitu
pihak jadi bertempur kalut.
Kawanan
baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat
denag baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.
Menyaksikan
pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie bergirang. “Bukankah mereka ini dalah
kawan-kawannya suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?”
demikian ia menduga-duga.
Selagi
pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung
kudanya Pauw
Sek Yok.
Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.
Sek Yok kaget dan ketakutan,
ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.
Kuda
itu kabur terus hingga beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar
datangnya kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat
sekali larinya kuda pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping
Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai
dadung panjang di atasan kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya,
dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok.
Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan
perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akan
akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba,
sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok
pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.
Pauw-sie
kaget dan ketakutan, ia pun ngantuk dan lelah, karena kuda itu berlompat
berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja
ia rubub ke tanah dan pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian, ia
hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya
dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia
buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu
kembang. Maka sadarlah ia yang ia telah tidur di
atas pembaringan. Ia menoleh ke samping,
ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu
orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.
Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya
bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan
menggantungnya.
“Oh,
kau sudah mendusin?” pria itu tanya,
perlahan suaranya.
Biar
bagaimana, Sek
Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia
mengawasi.
Si
pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. “Oh, panas sekali!” katanya.
“Tabib akan segera datang…”
Sek Yok meramkan pula
matanya, terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa
orang pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak
sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: “ Engko Tiat!
Engko Tiat!” Lalu ia merasa ada tangan pria yang
dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah
lembut.
Kapan
kemudian Sek
Yok mendusin pula, hari sudah
terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk berduduk.
Seorang
menghampiri dia. “Minum bubur?” tanya
ia itu dari luar kelambu.
Pauw-sie
kasih dengar suara perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya.
Sekarang
dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok
dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang
tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si
anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan
rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran
dari gudang kayu.
“Tempat ini tempat apa?” nyonya ini kemudian
tanya. “Mana suamiku?”
Pemuda
itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.
“Sebenarnya
aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini,” ia berkata dengan
perlahan. “Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak
puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang
telah menunjuki aku justru tolongi penolongku…” Ia berhenti sebentar, lalu ia
melanjuti: “Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang
berada dirumahnya seorang petani, maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan
diri. Harap nyonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah
suami Nyonya…”
Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan
tetapi ia mengangguk.
“Mana
suamiku?” ia tanya.
“Sekarang
kau letih dan lemah sekali, Nyonya,” kata pula si anak muda. “Nanti saja
setelah kesehatanmu pulih, aku berikan keteranganku. Sekarang baiklah kau
beristirahat dulu.”
Sek Yok terperanjat. Dari
caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.
“Dia…dia
kenapa, suamiku itu?” ia tanya,
tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.
“Nyonya,
jangan bergelisah tidak karuan,” orang itu menhibur, “Untukmu paling baik
adalah merawat diri…”
“Apakah
dia…dia telah meninggal dunia?” Sek
Yok menanya.
Pemuda
itu mengangguk.
“Ya,
ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu…” ia beri penyahutan.
Sek Yok kaget, ia lantas
pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.
“Sudahlah,”
si anak muda menghibur pula.
“Bagaimana
caranya ia meninggal dunia?” Pauw-sie tanya.
“Bukankah
suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang
bersenjatakan sebatang tombak panjang?” si anak muda tegaskan.
“Benar
dia.”
Pauw Sek Yok |
Lagi-lagi
Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada
suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad
untuk binasa bersama suaminya itu.
Si
pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan
hati.
“Apa
she dan nama Tuan?” kemudian Sek
Yok menanya. Ia menjadi tak enak
hati untuk bersikap tawar terus. “Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan
kau dapat menolongi?”
Pria
itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian
barulah ia bisa omong juga.
“Aku
ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu
satu dengan lain.” ia menyahut akhirnya
Merah
mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan “jodoh”, ia
balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak
bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.
“Apakah
kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?” ia tanya
“Ke…kenapa?”
Yen Lieh tanya.
“Bukankah
baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba
menawan Khu Totiang?” Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan
pemuda itu.
“Kejadian
hari itu sungguh membuat aku penasaran!” bsahut Yen Lieh. “Aku datang dari
utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba
sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku,
Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya
imam siapa yang hendak mereka tawan itu?”
“Oh,
kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka
itu?” berkata Sek
Yok, romannya heran, “Aku tadinya
menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang,
hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau.”
Sampai
di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena
mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.
Yen
Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok
dapat lihat kelakuan orang itu.
“Eh,
kau hendak dengari ceritaku atau tidak?” ia menegur.
Yen
Lieh terkejut, lalu ia tertawa.
“Ya,
ya aku tengah memikirkan cara
bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu,” ia menjawab.
“Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka…”
Sek Yok menangis.
“Suamiku
telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama…?” katanya. “Baik
kau pergi sendiri saja…”
“Tetapi Nyonya!”
peringatkan Yen Lieh. “Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu
belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak
meram…”
Nyonya
itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. “Aku seorang perempuan, bagaimana dapat
aku membalas dendam?” tanyanya.
Yen
Lieh kelihatannya murka. “Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam
untukmu, Nyonya!” katanya keras. “Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya
suamimu itu?”
Nyonya
Yo Tiat Sim berpikir sejenak. “Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya,
namanya Toan
Thian Tek,”
sahutnya kemudian. “Dia mempunyakan tanda biru di mukanya.”
“Dia
telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia,” berkata si anak
muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji
telur asin.
“Jikalau
kita tidak pelihara kesehatanmu, cara
bagaimana kau bisa menuntut balas?” katanya perlahan setelah ia bawakan bubur
dan telu asin itu kepada si nyonya.
Pauw-sie
anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.
Besok
paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia
hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu
merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia
berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang
cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada – yang satu tetap
menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan…. Ia menjadi sedih
sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja.
Yen
Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah
sedikit reda, ia berkata: “Tentera di luar sudah berlalu, mari
kita berangkat.”
Sek Yok susut air matanya,
ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.
Yen
Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda,
satu diantaranya adalah kudanya Sek
Yok, yang terkena panah, yang
sekarang telah diobati lukanya.
“Kita
menuju kemana?” tanya Pauw-sie.
Yen
Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain,
kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya
sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.
Belasan
lie telah mereka lalui. “Kau hendak bawa aku kemana?” akhirnya Sek Yok
menanya pula.
“Sekarang
kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu,” Yen Lieh jawab.
“Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah
suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian
tek si jahanam itu guna menuntut balas.”
Sek Yok lemah hatinya, lemah
lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar
omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia
bersyukur sekali.
“Yen,
Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?” katanya.
“Jiwaku
ini adalah nyonya yang tolongi,” sahut Yen Liah, “Maka itu tubuhku ini aku
serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan
tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah
selayaknya saja.”
Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka
singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh
mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu
kamar.
Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak
tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang
peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: “Asal dia berlaku kurang
ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!”
Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering,
ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput
kering itu ia gelar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi
dengan gudri.
“Nyonya silakan tidur!” ia berkata, sesudah mana terus ia
meramkan matanya.
Wang Yen Hung Lieh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar