Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 29



Bab 29. Orang yang Berjalan di Atas Kali

Koan Eng dapat menduga tengkorak itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu berkhawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya itu.
“Barusan orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak,” ia menerangkan. “Chunteng kita mengira pada bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana. Adapakah mengenai barang ini, ayah?”
Chungcu tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu.
Koan Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. “Adakah lubang ini dibikin dari tusukan jari tangan?” tanyanya.
Sang ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia bilang: “Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in-chung ini, ada api atau kitar berkurang, jangan mereka datang menolongi….!”
“Ayah, apakah artinya ini?” Koan Eng tanya, kaget.
Liok Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya ia berpaling kepada kedua tetamunya untuk berkata: “Kita baru bertemu tetapi kita cocok sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula….”
Terus ia menoleh kepada kacungnya dan kata: “Pergi kau ambil uang emas empatpuluh tail.”
Kacung itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanya-tanya lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya.
Sebentar kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu menyambuti itu, untuk terus dihanturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: “Nona ini cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya.”
Mendengar itu muka, Oey Yong merah sendirinya. “Tajam sekali mata orang ini,” pikirnya. “Kiranya ia telah mengetaui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku belum menikah sama engko Ceng?”
Kwee Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghanturkan terima kasih.
Di meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus itu, kemudian ia kata pula: “Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat berkenalan, inilah sedikit hormatku.”
Obat itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada obat yang dinamakan pil “Kiu-hoa Giok-louw-wan”. Semasa kecil pernah ia mambantui ayahnya mengumpuli sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat obat. Memang tiadk gampang untuk membikin obat itu. Maka itu ia kata: “Tidak gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini,” ia berkata, “Dari itu sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja.”
Herang chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. “Kenapa nona ketahui namanya obat ini?” tanyanya.
“Dimasa kecil tubuhku lemah sekali,” Oey Yong mendusta, “Kebetulan pandai kita bertemu dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu, kesehatanku pulih.”
Tuan rumah tertawa menyeringai pula. “Jangan menampik, jiwi,” ia berkata. “Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya.”
Oey Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh, maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih.
“Perahu telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meinggalkan telaga ini,” berkata lagi tuan rumah. “Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini.”
Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga itu untuk memberikan bantuannya tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya, terpaksa ia mengangguk.
“Aku lancang, ingin aku menanyakan suatu hal,” kata Oey Yong.
“Apakah itu, nona?” tanya si tuan rumah.
“Chungcu sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak menyingkir daripadanya? Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa membilang, seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata….”
Chungcu itu menghela napas.
“Tapi dua orang itu telah membuatnya aku menderita,” katanya, masgul. “Cacad tubuhku ini pun adalah pemberian mereka itu. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka untuk membuat perhitungan, sekarang mereka itu datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan Thian!”
Oey heran mendengar orang menyebut dua orang. “Ah, ia tentunya masih menduga si Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka itu? Sayang aku tidak dapat menanyakannya….” Tapi ia tertawa. Ia lantas menanya: “Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau pun ketahui kami belum menikah? Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?”
Ditanya begitu tuan rumah melengak. “Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak dapat melihatnya? Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya…” pikirnya. Selagi ia bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, “Pesan ayah sudah disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang. Mereka kata biarnya mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak meninggalkan Kwie-in-chung!”
Liok Chungcu menghela napas. “Sungguh mereka baik sekali,” katanya. “Nah, kau antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini.”
Oey Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan keledai mereka.
“Naik perahu atau tidak?” Kwee Ceng berbisik.
“Kita pergi untuk kembali!” sahut Oey Yong, berbisik juga.
Koan Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya itu pergi, ia tidak memperhatikan sikapnya kedua tetamunya itu.
Disaat Oey Yong berua hendak naik di perahu yang sudah disediakan, mendadak saja ia menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan cepat sekali di tepi telaga, di kepala itu ada dijunjung satu jambangan yang besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut mengawasi seperti si nona.
Sebentas kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegnag sebuah kipas yang besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia terhuyung, lalu dari jambangan itu itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat itu benar-benar hebat.
“Apakah bisa menjadi dialah musuh ayah?” Koan Eng menduga-duga. Ia lanatas saja menyusul.
Oey Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti.
Cepat jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie.
Koan Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua.
Juga Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia ini melebihkan lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar tetapi jambangan ini jauh lebih besar.
Si orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi bersangsi. Ia pikir: “Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia menyembunyikan kawan-kawannya? Baiklah aku balik…” Tapi di depannya ada kali, ia heran. Pikirnya pula: “Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat bagaimana dia melewatinya…. Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian barat…”
Selagi ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak.
Si orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletaki jambangan di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia berjalan setindak demi setindak kembali ke darat.
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman.
Tiba-tiba si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. “Tuan, adakah kau chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?” dia bertanya.
“Maaf,” kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang.
“Ah, masih ada dua engko kecil di sana!” kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. “Marilah kamu sama-sama datang ke mari!”
Koan Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat ebrlari keras seperti dia tanpa tindakannya bersuara.
Kwee Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan - thay-kong - orang tua yang dihormati.
Orang tua itu tertawa pula; “Sudah, Sudah!” ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia mengawasi Koan Eng dan berkata: ” Di sini bukan tempat yang tepat untuk memasang omong, mari kita mencari tempatnya untuk berduduk-duduk.”
Koan Eng tetap bersangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. “Apakah thaykong kenal ayahku?” ia menanya.
“Kau maksudkan chungcu yang tua? Belum pernah aku bertemu dengannya.” sahut si orang tua.
Agaknya orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: “Hari ini ayah menerima serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?”
“Bingkisan apakah itu yang aneh?” si orang tua balik menanya.
“Itulah sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan….” sahut Koan Eng.
“Benar-benar aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?” tanya si orang tua lagi.
Mendengar itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia lantas menunjuk wajah gembira.
“Jikalau thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum the,” ia mengundang.
“begitupun baik,” shaut orang tua itu setelah berpikir sejenak.
Buakn main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka.
“Apakah kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?” tanya si orang tua seraya ia menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong.
“Kedua tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku,” menyahut Koan Eng.
Lantas orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya.
Tidak lama, tuan rumah telah muncul dengan digotong dua orangnya. Ia numprah di atas pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: “Maaf, tak tahu aku akan kedatangan tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya.”
Orang tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar ketika ia berkata: “Tak usah menggunai banyak adat peradatan, Liok Chungcu.”
Tuan rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya itu.
“Aku she Kiu, namaku Cian Jin,” sahutnya.
Tuan rumah terkejut.
“Jadinya locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang-piauw!” katanya. Ia ketahui baik nama orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air.
“Bagus sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku itu! Sudah duapuluh tahun semenjak aku tidak muncul pula dalam dunia kangouw, aku menyangka orang telah melupai aku.”
Memang pada duapuluh tahun yang lampau itu, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupai dia. Liok Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat.
“Untuk apakah locianpwee datang ke sini?” ia menanya. “Bila aku sanggup, suka sekali aku berbuat sesuatu untukmu.”
“Tidak ada urusan yang penting,” sahut si orang tua tertawa. “Atau mungkin aku bakal ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-lahan.”
Liok Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan tetapi ia tetap kurang tenang hatinya.
“Apakah locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?” ia menanya.
“Hek Hong Siang Sat? Apakah kedua iblis itu belum mampus?” si orang tua balik menanya.
Lega juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu.
“Anak Eng, pergi kau minta locinpwee beristirahat di kamar tulis,” katanya kemudian.
Kiu Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng.
Liok Chungcu belum tahu kepandaiannya Kiu Cian Jin itu, hanya ia ketahu ketika dulu hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat datang, bolehlah tak usah ia terlalu berkhawatir.
“Jiwi belum berangkat, inilah bagus,” katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. “Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silkana jiwi beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya sudah tak ada lagi!”
Oey Yong tertawa. “Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?” ia bertanya lucu.
Tuan rumah berpikir. “Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi tidak bakal dapat melayani jiwi,” berkata dia. “Tapi baiklah, asal jiwi berdiam saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini, segala tikus tentulah tidak ada artinya!”
Oey Yong bertepuk tangan saking girangnya.
“Aku memang paling gemar menonton orang berkelahi!” katanya. “Ketika kemarin ini kau menghajar pangeran cilik, sungguh senang untuk menyaksikannya!”
“Tapi yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik itu,” Liok Chungcu memberitahu. “Dia lihay sekali, karenanya aku berkhawatir.”
“Ah, chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?” Oey Yong tanya, ia heran.
“Nona tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti,” berkata tuan rumah. “Ketika si pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu sama denagn kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu.”
“Aku mengerti sekarang!” kata Oey Yong. “Memang juga tulisan Souw Tong Po beda dengan tulisannya Oey San Kok, sama seperri bedanya lukisan Too Koen Hong dari lukisannya Cie Hie! Cuma ahli yang segera dapat menbedakannya!”
“Sungguh kau cerdas, nona!” tertawa tuan rumah.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng. “Mari kita lihat itu orang tua yang kumisnya ubanan!” katanya. “Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?”
“Eh, jangan nona!” mencegah tuan rumah, terkejut. “Jangan kau membuatnya gusar!”
“Oh, tidak ada!” kata Oey Yong, tertawa. Ia berbangkit, untuk berlalu.
Liok Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi bergelisah sendirinya.
“Nona ini sangat nakal!” katanya. “Mana orang dapat diintai?” Terpaksa ia suruh orangnya menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari masih jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela.
Oey Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, untuk mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan rumah supaya tuan rumah itu datang padanya.
Liok Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia berkhawatir, kalau ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia lantas menjdai heran sekali.
Kiu Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya menghembus keluar tak habisnya serupa hawa mirip asap atau kabut. Ia luas pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung bajunya Kwee Ceng, untuk menyuruh orang jangan mengintai terlalu lama.
Kwee Ceng seorang terhormat, ia mengindahi tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas ia mencuri melihat lain orang, dari itu ia terus tariknya Oey Yong. Bersama-sama tuan rumah mereka masuk ke perdalaman.
“Bagus sekali permainannya tua bangka itu!” kata Oey Yong tertawa. “Di dalam perutnya bisa api menyala!”
“Kau tidak tahu, nona,” kata tuan rumah. “Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!”
“Mustahilkah mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?” tanya Oey Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang keluar dari mulutnya tetamu tua itu.
“Kalau itu benar api, itulah tidak mungkin,” berkata tuan rumah. “Aku percaya, itulah semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?”
“Ya, dengan hancuran bunga menghajar orang!” seru Oey Yong.
“Benar-benar nona cerdas!” tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya.
Setelah mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di paling bawah.
Liok Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
“Liok Laotee,” kata Kiu Cian Jin kemudian. “Kau menjadi pemimpin di Kwie-in-chung ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu atau dua jurus kepadaku? Dengan begini mataku jadi dapat dibuka.”
“Kepandaianku tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee,” kata tuan rumah menghormat. “Laginya sudah lama aku bercacad, sedikit pelajaran yang aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya.”
“Siapakah itu gurumu, laotee?” tanya tetamu itu. “Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku si orang tua mengenalnya.”
Liok Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. “Kelakuanku tidak selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu untuk aku menyebutnya,” katanya selang sejenak.
Mendengar itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu yang ayahnya lihay ilmu silatnya. Ia percaya ayahnya itu ada punya lelakon yang menyedihkan.
“Liok Chungcu,” berkata si orang tua, “Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak hendak menggunai ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak kepuasanmu itu? Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu menjadi insyaf dan menyesal karenanya.”
“Aku bercacad, aku bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali, menyesal aku tidak dapat menerimanya,” sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara dengan merendah.
“Chungcu terlalu merendah. Di depan mataku ada satu jalan, hanya entahlah, chungcu memang tidak melihatnya atau memang tidak memikirkannya….”
“Tolong locianpwee memberi petunjuk”
Kiu Cian Jin tersenyum, ia santap lauk pauknya, ia tidak menyahuti.
Tuan rumah menduga pasti ada sebabnya kenapa orang tua ini muncul setelah ia mengundurkan diri duapuluh tahun lamanya, ia hanya tidak dapat menerka maksud orang itu. Orang pun ada dari kalangan terlebih atas, tidak dapat ia menanyakannya, maka itu ia membiarkan saja sampai orang suka bicara sendiri.
“Tidak apalah Chunngcu tidak sudi memberitahukan guru atau rumah perguruanmu,” kata Kiu Cian Jin kemudian. “Kwie-in-chung begini kesohor, yang mengurusnya mesti murid dari guru yang kenamaan….”
“Segala apa disini diurus oleh Koan Eng, anakku,” menerangkan tuan rumah. “Ia adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di kota Lim-an.”
“Ah, Kouw Bok Taysu itu adalah ahli waris yang menjadi ketua dari cabang Selatan dari partai Hoat Hoa,” berkata Kiu Cian Jin. “Dialah ahli luar. Maukah siauw-chungcu mempertunjuki sesuatu untuk aku meluaskan pandangan mataku?”
“Locianpwee sudi memberi petunjuk, inilah untungnya anakku,” kata Liok Chungcu.
Koan Eng memang ingin sekali diberi petunjuk, maka itu ia sudah lantas pergi ke tengah ruang. “Tolong thay-kong mengajari aku,” katanya. Lalu ia mulai bersilat dengan tipu silatnya yang ia paling gemari, yaitu Loo-han Hok-houw-kun, kuntauw Arhat Menakluki Harimau. Setiap kepalannya memperdengarkan suara angin santar, tindakannya pun gesit dan tetap. Dekat penutupnya ia berseru keras, bagaikan harimau menderum, hingga api lilin pada bergoyang dan orang merasakan tersampar angin dingin. Itulah artinya arhat bertempur sama raja hantu. Diakhirnya ia menghajar batu sampai batu batanya hancur, lalu ia berdiri tegar, tangan kirinya diangkat tinggi menunjang langit, kaki kanannya ditendangkan ke depan. Dengan begitu ia memperlihatkan sikap dari arhat atau loohan.
“Bagus! Bagus!” Kwee Ceng dan Oey Yong berseru memuji.
Habis itu Koan Eng memberi hormat kepada Kiu Cian Jin. Ketika ia kembali ke kursinya, air mukanya tidak berubah, napasnya tidak memburu, ia duduk dengan tenang seperti bukan habis bersilat hebat sekali.
Kiu Cian Jin tidak membilang suatu apa, ia melainkan tersenyum.
“Apakah kebisaannya anakku ini masih dapat dilihat?” Liok Chungcu tanya.
“Begitulah,” sahut si orang tua.
“Tolong locianpwee beri petunjuk di mana yang perlu,” tuan rumah minta.
“Ilmu silat putramu ini, kalau dipakai untuk memperkuat tubuh, sunggu tak ada yang melebihkannya,” menyahut tetamu itu, “Hanya kalau ia hendak dipakai untuk merebut kemenangan, dapat dikatakan itu tidak ada gunanya.”
Selagi tuan rumah belum membilang suatu apa, Kwee Ceng merasa heran. Ia pikir: ” Memang tidak terlalu lihay ilmu silatnya tuan rumah yang muda ini, akan tetapi tidaklah tepat untuk mengatakan tidak ada gunanya….”
Tuan rumah lantas berkata: “Tolong locianpwee memberikan petunjuk untuk sekalian membuka pandangan kami yang cupat.”
Kiu Cian Jin berbangkit, ia bertindak keluar ruangan. Ketika ia kembali, di kedua tangannya masing-masing ada tercekal sepotong batu bata. Orang tidak lihat ia mengerahkan tenaga, tahu-tahu ada terdengar suara meretek, lalu tertampak dua potong batu bata itu sudah remuk, akan kemudian hancur menjadi seperti tepung.
Semua orang terkejut.
Duduk pula di kursinya, semberai tertawa ia berkata: “Chungcu muda dapat menhajar batu hancur itu pun bukan sembarang pelajaran, tidak gampang untuk mendapatkan itu, tetapi haruslah diingat, musuh bukan sepotong batu, musuh tidak mungkin mandah saja diserang. Maka dalam ilmu silat, yang penting ialah menggunai ketika terlebih dulu untuk menaklukkan musuh. Ini dia yang orang dahulu kala menyebutnya, diam bagaikan anak dara, gesit bagaikan kelinci.”
Koan Eng terdiam, menginsyafi kata-kata itu.
Kiu Cian Jin menghela napas. Ia berkata pula: “Sekarang ini banyak orang yang menyakinkan ilmu silat tetapin kepandaiannya berarti tidak ada seberapa….”
“Siapakah beberapa orang itu, lojinkee?” Oey Yong tanya.
“Kaum Rimba Persilatan menyebutnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima,” menyahut si orang tua. “Semua mereka itu pernah aku ketemukan sendiri, aku lihat diantaranya yang terlihay ialah Tiong Sin Thong, yang lainnya, ada keistimewaannya tetapi pun ada kekurangannya masing-masing. Harus diketahui, ada panjang mesti ada pendek, asal kita ketahui cacad orang, tak susah untuk merobohkannya.”
Liok Chungchu bersama Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat. Koan Eng sendiri tidak, sebab ia tidak tahu siapa itu lima orang lihay yang disebutkan. Tapi Oey Yong terkejut berbareng mendongkol. Suara orang itu bernada menghina ayahnya. ia tidak memperdulikan lagi bahwa orang dapat berjalan di air sambil menjunjung jambangan, napasnya mengeluarkan asap dan remasan tangannya kuat sekali.
“Apakah tidak bagus jikalau locianpwee menghajar roboh kelima orang itu supaya namamu jadi sangat kesohor di kolong langit ini?” ia menanya seraya tertawa.
Kiu Cian Jin tidak menjawab, dia hanya melanjuti kata-katanya: “Sekarang ini Ong Tiong Yang itu telah menutup mata. Ketika terjadi perundingan ilmu silat pedang di gunung Hoa San itu, lantaran kebetulan ada urusan, aku tidak dapat turut hadir, dengan begitu gelaran jago silat nomor satu di kolong laing ini telah didapatkan imam tua yang telah meninggal dunia itu. Tatkala itu mereka berlima memperebuti kitan Kiu Im Cin Keng, katanya siapa yang paling tangguh, dialah yang mendapatkan kitab itu. Tujuh hari dan tujuh malam sudah mereka bertempur, Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay menyerahlah mereka semua. Kemudian, sesudah Ong Tiong Yang meninggal, timbul lagi gelombang. Katanya ketika si imam tua hendak menutup mata, kitabnya itu dia wariskan kepada Ciu Pek Thong, adik seperguruannya. Tong Shia Oey Yok Su sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong itu, Ciu Pek Thong bukan tandingannya, kitabnya terampas sebagian. entahlah kemudian bagaimana urusan kitab itu.”
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangguk dengan diam-diam. Baru sekarang mereka ketahui lelakonnya kitab Kiu Im Cin Keng itu, yang sebagiannya lagi kena dicuri Hek Hong Siang Sat.
“Oleh karena lojinkee ialah orang yang nomor satu ilmu silatnya, sudah selayaknya kitab itu menjadi kepunyaanmu,” berkata Oey Yong.
“Aku malas untuk berebutan sama orang,” sahut Kiu Cian Jin. “Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, mereka adalah setengah kati delapan tail. Selama beberapa puluh tahun ini keras mereka berlatih, ingin mereka menjadi jago nomor satu. Maka itu kalau terjadi pertemuan yang kedua di Hoa San, pastilah ramainya bukan buatan.”
“Oh, bakal terjadi pertempuran yang kedua di Hoa San?” si nona menegaskan.
“Duapuluh lima tahun ialah satu generasi!” berakta Kiu Cian Jin. “Mereka ynag tua bakal mati, yang muda bakal muncul, maka itu, lagi satu tahun akan tibalah saat perundingan yang kedua di Hoa San itu. Aku lihat, yang bakal bertarung itu kembali kami si orang-orang tua. Sayang sekarang tidak ada lagi anak-anak muda yang berarti, ilmu silat menjadi lemah satu generasi demi satu generasi….!”
“Apakah lain tahun lojinkee hendak mendaki gunung Hoa San itu?” Oey Yong menanya terus-menerus. “Kalau benar lojinkee hendak pergi, maukah kau mangajak aku untuk turut menyaksikan keramain itu? Akulah orang yang paling gemar menonton orang berkelahi!”
“Ah, mana dapat itu dikatakan pertempuran? Sebenarnya aku tidak mengandung niat pergi. Bukankah kita si tua bakal masuk ke dalam tanah? ntuk apa segala nama kosong? Hanya di hadapan kita sekarang ada satu urusan sangat besar, yang mengenai keselamatan seluruh umat manusi. Jikalau aku termahai hidup senang sendiri dan aku tidak manjat tinggi, celakalah semua umat dan makhluk!”
Inilah hebat, maka Liok Chungcu berempat lantas menanyakan bencana apa itu yang demikian hebat ancamannya.
“Inilah rahasia sangat besar. Kedua engko kecil Kwee dan Oey, kamu bukan orang kangouw, kamu lebih baik jangan ketahui urusan ini!”
Oey Yong tidak menjadi kurang senang, sebaliknya ia tertawa. “Liok Chungcu ini sahabatku yang baik sekali, asal kau menjelaskan kepadanya, tidak nanti ia menyembunyikan itu kepadaku!” katanya.
“Ah, anak nakal!” kata Liok Chungcu di dalam hatinya. Tapi ia berdiam.
“Kalau begitu, baiklah aku menjelaskan kepada kamu semua!” kata Kiu Cian Jin. “Cuma aku minta kemudian janganlah kau membocorkannya.”
“Kamu bukan sanak bukan kandung, urusan rahasia ini baiklah kami tidak mendengarnya,” pikir Kwee Ceng, yang terus berbnagkit dan berkata: “Maafkanlah aku serta saudara Oey ini, ingin aku mengundurkan diri.”
“Jiwi adalah sahabat-sahabat kekal dari Liok Chungcu, kamu bukan orang luar, silakan duduk!” Kiu Cian Jin minta. Sembari berkata ia menekan pundaknya si anak muda.
Kwee Ceng tidak merasakan tekanan keras, akan tetapi karena ia mengaku tidak mengerti ilmub silat, ia tidak melawan, ia berduduk pula. Karena itu, Oey Yong pun batal mengundurkan diri.
Kiu Cian Jin berbangkit, ia mengangkat araknya untuk mengajak orang minum bersama.
“Tidak sampai setengah tahun, kerajaan Song bakal menghadapi bencana besar,” katanya kemudian. “Apakah tuan-tuan ketahui itu?”
Mendengar ini, semua orang terkejut. Bahkan Koan Eng lantas menitahkan orang-orangnya mundur sampai ke pintu dan semua pelayan dilarang datang dekat.
“Aku telah mendapat keterangan pasti,” Kiu Cian Jin melanjuti. “Dalam tempo enam bulan pastilah angkatan perang bangsa Kim bakal menyerbu ke Selatan. Kali ini angkatan perangnya itu besar dan kuat, maka juga kerajaan Song pastilah tidak dibelakan pula. Ya, inilah takdir, tidak dapat kita berbuat apa-apa….”
Kwee Ceng terkejut hingga ia lantas berkata: “Kalau begitu haruslah locianpwee lekas memberitahukan ancaman itu kepada pemerintah supaya pemerintah segera siap sedia untuk menyambut musuh!”
Orang tua itu mendelik kepada anak muda itu.
“Kau tau apa?!” tegurnya. “Satu kali angkatan perang Song bersiap sedia, bahayanya bakal terjadi terlebih hebat lagi!”
Kwee Ceng terdiam. Tidak mengerti ia maksud orang. Oey Yong pun bungkam.
“Lama aku telah memikirkan itu,” Kiu Cian Jin melanjuti omongannya. “Aku lihat cuma ada satu jalan untuk membikin rakyat hiudp damai dan senang, supaya negera yang indah ini tidak sampai menjadi habis terbakar. Inilah tujuanku kenapa aku telah melakoni perjalanan ribuan lie jauhnya datang ke Kanglam ini. Kabarnya chungcu telah menawan pangeran muda negara Kim serta komandan tentara Toan Tayjin, tolongkan undang mereka hadir di sini untuk kita memasang omong. Maukah kau meluluskan, chungcu?”
Liok Chungcu terpengaruh kata-kata orang. Ia pun heran kenapa orang ini mendapat tahu hal tertawannya dua orang itu. Ia lantas meluluskan, ia membawa menghadap orang tawanannya itu, bahkan mereka dibebaskan dari belengguan dan disuruh duduk disebelah bawah.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan, baru ditahan beberapa hari, roman Wanyen Kang sudah kucel dan perok, sedang Toan Tayjin itu, yang berumur limapuluh lebih dan berewokan ketakuan.
“Siauw-ongya, kaget?!” kata kiu Cian Jin pada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengangguk, tetapi hatinya berkata: “Si Kwee dan si Oey ini berada di sini, entah mau apa mereka… Dan adik Liam Cu itu, entah dia bawa ikat pinggangku kepada guruku atau tidak….”
“Chungcu,” berkata Kiu Cian Jin pada tuan rumah. “Di hadapanmu ada terbayang harta besar dan kemuliaan, aku melihat itu tetapi tidak hendak mengambilnya, kenapakah?”
Tuan rumah heran. “Kemuliaan apakah itu, locianpwee?” tanyanya.
“Kalau nanti angkatan erang Kim itu menyerbu ke Selatan ini dan peperangan itu terjadi, mesti banyak sekali orang yang terluka,” berkata Kiu Cian Jin, “Oleh karena itu bukankah bagus jikalau chungcu menggabungi semua orang gagah untuk melenyapkan ancaman perang itu?”
“Memang itu urusan yang besar dan baik sekali,” pikir Liok Chungcu. Maka ia menjawab: “Jikalau dapat aku mengeluarkan tenaga untuk negera dan juga dapat menolong rakyat dari marabahaya - yang mana adalah tugas kita sebagai rakyat jelata - tentu sekali sudi aku melakukannya. Sebenarnya aku setia kepada pemerintah, tetapi sayang pemerintah sendiri yang tidak mengerti itu, sekarang ini kawanan pengkhianatlah yang memegang tampuk pemimpin, maka itu sia-sialah belaka maksud hatiku. Locianpwee, tolong kau menunjuk aku satu jalan yang terang, untuk itu aku akan sangat bersyukur kepadamu.”
Kiu Cian Jin mengusap kumisnya, ia tertawa lebar. ia baru hendak berkata pula atau ia terhalang oleh datangnya satu chungteng yang memberi kabar: “Thio Cecu yang kebetulan berada di tengah telaga sudah menyambutnya enam tetamu luar biasa, yang sekarang sudah berada di depan.”
Kaget tuan rumah itu. “Lekas mengundang!” titahnya.
Koan Eng sudah lantas berlari keluar untuk menyambut.
Diantara terangnya api terlihat enam tetamu yang tubuhnya tinggi dan kate tidak rata, antaranya ada seorang wanita. Ketika mereka itu bertindak masuk, Kwee Ceng berbareng girang, segera ia lari memapaki untuk berlutut di hadapan mereka itu.
“Suhu!” katanya. “Apakah suhu semua baik?”
Keenam tetamu itu memang Kanglam Liok Koay adanya. Mereka itu datang dari Utara, setibanya mereka di telaga Thay Ouw, lantas ada beberapa orang yang menyambutnya dengan manis. Sudah lama mereka meninggalkan Kanglam, mereka masih rada asing. Maka itu Cu Cong yang melayani beberapa itu bicara. Kemudian ternyata, pihak penyambut adalah Thio Cecu dari Kwie-in-chung. Sebenarnya tidak tahu cecu itu siapa enam orang ini, ia doyong menduga kepada musuhnya chungcu tua, maka itu selama menyambut, ia terbenam dalam kesangsian. Ia ditugaskan Koan Eng berjaga-jaga, sekalian menyambut orang pandai, maka itu ia bertindak secara hati-hati.
Liok Koay pun heran melihat muridnya itu ada di sini.
“Eh, bocah, mana silumanmu?!” Han Po Kie menanya. Ia menegur.
Han Siauw Eng bermata tajam, segera ia melihat Oey Yong hadir bersama, maka itu ia tarik ujung baju kakaknya seraya berbisik: “Sabar, urusan ini kita boleh bicarakan perlahan-lahan kemudian.”
Nona lihay ini dapat mengenali walaupun Oey Yong dandan sebagai seoarng pemuda.
Tuan rumah tak kenal siapa enam orang itu tetapi karena Kwee Ceng memanggil guru kepada mereka, ia lantas memberi hormat. Ia minta dimaafkan yang ia tidak dapat berjalan. Ia pun segera memerintahkan menyiapkan sebuah meja untuk ini tetamu baru.
Kwee Ceng tidak berayal lagi menjelaskan perihal gurunya.
Liok Chungcu menjadi girang sekali.
“Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan-tuan, hari ini aku dapat meneminya, sungguh aku beruntung!” katanya.
Bebeda dari tuan rumah, Kiu Cian Jin duduk tetap di kursinya. Ia cuma tersenyum, terus ia dahar dan minum seoarng diri.
“Siapa tuan ini?” menanya Han Po Kie. Ia sebal atas sikap orang acuh tak acuh itu, bahkan temberang.
“Baiklah Liok-hiap ketahui,” tuan rumah berkata, “Tuan ini adalah gunung Tay San dan Bintang Pak Tauw dari Kaum Rimba Persilatan di ini jaman, yang kepandaian ilmu silatnya tidak ada orang di kolong langit ini yang dapat menandinginya….”
Mau tidak mau Liok Koay heran.
“Apakah dia Oey Yok Su dari Tho Hoa To?” tanya Han Siauw Eng.
“Apakah dia Kiu Cie Sin Kay?” tanya Han Po Kie.
“Meskipun tuan dari pulau Tho Hoa To serta Kiu Cie Sin Kay sangat lihay, tidak nanti mereka dapat menandingi Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Locianpwee!” Liok Koan Eng lantas memperkenalkan.
Kwa Tin Ok heran. “Oh, Locianpwee Kiu Cian Jin!” katanya.
Kiu Cian Jin tertawa keras, sampai rumahnya bagaikan tergetar.
Ketika itu beberapa chungteng telah selesai menyiapkan meja serta barang hidangan dan keenam tetamu itu sudah lantas mengambil tempat duduk mereka. Kwee Ceng pindah duduk di sebelah bawah gurunya itu. Ia telah menarik tangannya Oey Yong untuk diajak duduk bersama, si nona tapinya menggoyang kepala sambil tertawa, ia menampik untuk pindah duduk.
Liok Chungcu tertawa, ia kata: “Aku menyangka saudara Kwee tidak mengerti ilmu silat, kiranya kau adalah muridnya enam orang pandai. Benar-benar mataku lamur, tidak dapat aku melihat mustika yang disembunyikan….”
Kwee Ceng berbangkit, ia memberi hormat.
“Kepandaianku tidak seberapa,” ia berkata, “Dengan menerima pengajaran guruku, tidak berani aku banyak bertingkah. Harap chungcu sudi memaafkannya.”
Senang Tin Ok mendengar pembicaraan itu. Terang sudah Kwee Ceng pandai membawa diri.
“Tuan-tuan adalah orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini,” berkata Kiu Cian Jin. “Kebetulan sekali aku si orang tua ada punya urusan yang penting, jikalau di dalam hal itu aku bisa memperoleh bantuan kamu, sungguh bagus sekali!”
“Ketika tuan-tuan datang, baru saja Kiu Locianpwee hendak memberi penjelasan,” berkata tuan rumah. “Sekarang silakan locianpwee memberi petunjuk kepadaku.”
Kiu Cian Jin menurut, ia lantas berkata: “Kita yang memernahkan diri dalam dunia Rimba Persilatan, pokok penting dari tujuan kita adalah perbuatan-perbuatan mulia, menolong rakyat dari kesengsaraan. Sekarang ini tinggal ditunggu harinya saja yang angkatan perang negara Kim meluruk ke Selatan ini, jikalau kerajaan Song tidak dapat melihat selatan dan dia tidak sudi menyerah, asal saja peperangan terjadi, celakalah rakyat, entah berapa banyak jiwa yang bakal terbinasa! Bukankah ada kata-kata, siapa menurut Thian dia makmur, siapa menentang Thian dia musnah? Maka juga aku datang ke Selatan ini untuk menggabungi semua orang gagah di Kanglam, untuk bersama menyambut angkatan perang Kim itu, supaya Kerajaan Song digencet dari luar dan dalam, hingga habislah tenaganya, tidak dapat ia melawan perang dan karenanya menyerah. Kalau usaha ini berhasil, disebelahnya pangkat mulia dan kedudukan yang senang buat kita, rakyat pasti sangat bersyukur. Dengan begitupun tidaklah sia-sia kita telah mempunyai kepandaian silat yang lihay.”
Mendengar itu, air muka Kanglam Liok Koay berubah, bahkan dua saudara Han saudh lantas hendak membuka suaranya, syukur Coan Kim Hoat dapat lantas menarik ujung baju mereka seraya matanya melirik kepada tuan rumah, menunjuki untuk melihat atau mendengar sikapnya tuan rumah itu.
Sebegitu jauh Liok Chungcu menghormati tetamunya yang tua itu, tetapi sekarang, mendengar suara orang ia heran bukan main. Ia mencoba tertawa ketika ia berkata: “Meskipun aku bodoh tetapi dengan menempatkan diri di dalam kalangan kaum kangouw, masih mengerti juga aku tentang tiong dan gie, kesetian dan kebajikan dan tidak dapat aku melupakannya. Angkatan perang Kim itu hendak menyerbu ke Selatan ini, itu artinya mereka bakal mencelakai rakyat negeri, kalau itu sampai terjadi, aku akan turut semua tindakannya orang gagah di Kanglam ini untuk menentangnya hingga aku terbinasa! Untuk ini aku akan mengangkat sumpah! Locianpwee, kata-katamu ini rupanya hendak memancing aku, bukan?”
“Laotee, mengapa pandangan matamu begini pendek?” tanya tetamu itu. “Apakah kebaikannya membantu kerajaan Song melawan bangsa Kim? Paling banyak kau bakal mengalami nasib sebagai Gak Bu Bok yang terbinasa secara menyadihkan di paseban Hong Po Teng…”
Mendengar ini, tuan rumah kaget berbareng gusar. Ia mulanya mengharap mandapat bantuan melawan Hek Hong Siang Sat, siapa tahu ia justru dibujuk untuk mengkhianati negera sendiri! Maka sia-sia belaka orang tua ini pandai ilmu silatnya kalau jiwanya demikian rendah, dia demikian tidak tahu malu. Ia lantas mengebaskan tangan bajunya. Ia berkata: “Malam ini aku lagi menghadapi datangnya musuh, sebenarnya aku berniat memohon batuan locianpwee, tetapi karena kita tidak sepaham, walaupun leherku bakal memuncratkan darah, tidak berani aku melayani locianpwee terlalu lama pula! Silahkan!” Ia memberi hormat pula, tandanya ia mengusir tetamunya itu.
Kanglam Liok Koay berikut Kwee ceng dan Oey Yong girang dalam hatinya.
Kiu Cian in tidak tertawa, ia pun tidak menyahuti, dengan tangan kiri mencekal cawan arak, tangan kanannya dibawa ke mulut cawan itu, terus diputar-putar, mendadak tangan kanannya itu dikebaskan, disambarkan terbalik. Maka untuk herannya semua orang, cawan arak itu terpapas separuhnya!
Liok Chungcu berdiam dengan hatinya bekerja keras memikirkan daya untuk melayani orang tua ini, yang sudah mengancam dengan kepandaiannya itu yang luar biasa.
Tapi Ma Ong Sin Han Po Kie tidak dapat bersabar lagi, dia lompat bangun dari kursinya menghadapi orang tua itu.
“Manusia tak tahu malu, mari kita mengadu kepandaian!” ia menantang.
Kiu Cian Jin tidak menjadi gentar.
“Sudah lama aku mendengar nama Kanglam Cit Koay, baiklah hari ini diuji tulen palsunya!” katanya, “Tuan-tuan, baiklah kau maju semua berbareng!”
Tuan rumah mau menduga Han Po Kie bukan tandingan orang, mendengar tantangan itu, ia girang sekali. Ia lantas berkata: “Memang biasanya Kanglam Liok Koay meju berbareng mundur berbareng, musuh seorang mereka berenam, musuh sepasukan tentara besar mereka berenam juga, tidak pernah ada salah satu di antaranya yang sudi ketinggalan!”
Inilah kata-kata yang disengaja. Mendengar ini Cu Cong ketahui maksud orang.
“Baiklah!” dia berkata, “Biak kita bersama-sama melayani ini jago Rimba Persilatan yang kenamaan!” Lalu dengan mengebaskan tangannya, lima saudaranya segera berbangkit bangun bersiap-sedia.
Kiu Cian Jin berdiri, ia angkat kursinya, lalu ia bertindak ke tengah ruangan, yang mau dijadikan gelanggang pertarungan itu. Di situ ia letaki kursi itu, terus ia berduduk pula, kaki kanannya disusun diatas kaki kirinya. Dengan duduk tenang, ia berkata: “Sambil berduduk begini aku si orang tua akan menemani tuan-tuan bermain-main!”
Tin Ok terkesiap hatinya. Jikalau orang bukan lihay luar biasa, tidak nanti ia membawa sikap demikian rupa.
Selagi guru-gurunya belum bergerak, Kwee Ceng majukan diri ke depan. Ia pun mau percaya semua gurunya bukan lawannya jago tua ini, yang kepandaianny telah ia saksikan sendiri. Tentu saja ia bersedia binasa untuk membantu gurunya itu, maka ia menjadi nekat.
“Locianpwee, aku yang muda memohon pengajaran dari kau,” ia berkata seraya menjura.
Kiu Cian Jin melengak, akhirnya ia tertawa.
“Tidak mudah ayah dan ibumu memelihara kau, kenapa jiwa kecilmu hendak cuma-cuma diantarkan di sini?” katanya.
“Anak Ceng, mundur!” berseru Tin Ok, yang kagum dengan keberanian muridnya itu tetapi ia menyayanginya.
Tapi Kwee Ceng sudah bulat tekadnya. Ia khawatir nanti gurunya mencegah terus, maka tanpa berkata lagi, ia tekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya digeraki melingkar, lalu dengan keras tangannya itu ditolakkan maju!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar