Bab 29. Orang yang Berjalan di Atas Kali
Koan Eng dapat menduga tengkorak
itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu
berkhawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya itu.
“Barusan
orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak,” ia menerangkan. “Chunteng
kita mengira pada bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa
meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu
inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana.
Adapakah mengenai barang ini, ayah?”
Chungcu
tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang
di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu.
Koan
Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. “Adakah lubang ini dibikin dari tusukan
jari tangan?” tanyanya.
Sang
ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia
bilang: “Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan
ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun
memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka
meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu
bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in-chung ini, ada api atau kitar
berkurang, jangan mereka datang menolongi….!”
“Ayah,
apakah artinya ini?” Koan Eng tanya, kaget.
Liok
Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya ia berpaling
kepada kedua tetamunya untuk berkata: “Kita baru bertemu tetapi kita cocok
sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam
lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya
aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak
datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi
sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari
bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula….”
Terus
ia menoleh kepada kacungnya dan kata: “Pergi kau ambil uang emas empatpuluh
tail.”
Kacung
itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanya-tanya
lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya.
Sebentar
kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu
menyambuti itu, untuk terus dihanturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: “Nona ini
cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah
saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti
gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya.”
Mendengar
itu muka, Oey Yong merah sendirinya. “Tajam sekali mata orang ini,” pikirnya.
“Kiranya ia telah mengetaui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku
belum menikah sama engko Ceng?”
Kwee
Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghanturkan
terima kasih.
Di
meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa
butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus itu, kemudian ia kata pula:
“Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan
ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini
ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat
berkenalan, inilah sedikit hormatku.”
Obat
itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada obat yang dinamakan
pil “Kiu-hoa Giok-louw-wan”. Semasa kecil pernah ia mambantui ayahnya
mengumpuli sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat
obat. Memang tiadk gampang untuk membikin obat itu. Maka itu ia kata: “Tidak
gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini,” ia berkata, “Dari itu
sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja.”
Herang
chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. “Kenapa nona
ketahui namanya obat ini?” tanyanya.
“Dimasa
kecil tubuhku lemah sekali,” Oey Yong mendusta, “Kebetulan pandai kita bertemu
dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu,
kesehatanku pulih.”
Tuan
rumah tertawa menyeringai pula. “Jangan menampik, jiwi,” ia berkata.
“Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya.”
Oey
Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh,
maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih.
“Perahu
telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meinggalkan telaga ini,”
berkata lagi tuan rumah. “Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap
jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini.”
Sebenarnya
Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga
itu untuk memberikan bantuannya tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya,
terpaksa ia mengangguk.
“Aku
lancang, ingin aku menanyakan suatu hal,” kata Oey Yong.
“Apakah
itu, nona?” tanya si tuan rumah.
“Chungcu
sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak
menyingkir daripadanya? Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa membilang,
seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata….”
Chungcu
itu menghela napas.
“Tapi
dua orang itu telah membuatnya aku menderita,” katanya, masgul. “Cacad tubuhku
ini pun adalah pemberian mereka itu. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak
dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka untuk membuat perhitungan,
sekarang mereka itu datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan
Thian!”
Oey
heran mendengar orang menyebut dua orang. “Ah, ia tentunya masih menduga si
Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka
itu? Sayang aku tidak dapat menanyakannya….” Tapi ia tertawa. Ia lantas
menanya: “Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau
pun ketahui kami belum menikah? Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?”
Ditanya
begitu tuan rumah melengak. “Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak
dapat melihatnya? Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya…” pikirnya. Selagi ia
bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, “Pesan ayah sudah
disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang.
Mereka kata biarnya mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak
meninggalkan Kwie-in-chung!”
Liok
Chungcu menghela napas. “Sungguh mereka baik sekali,” katanya. “Nah, kau
antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini.”
Oey
Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan
keledai mereka.
“Naik
perahu atau tidak?” Kwee Ceng berbisik.
“Kita
pergi untuk kembali!” sahut Oey Yong, berbisik juga.
Koan
Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya
itu pergi, ia tidak memperhatikan sikapnya kedua tetamunya itu.
Disaat
Oey Yong berua hendak naik di perahu yang sudah disediakan, mendadak saja ia
menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan
cepat sekali di tepi telaga, di kepala itu ada dijunjung satu jambangan yang
besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut
mengawasi seperti si nona.
Sebentas
kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang
tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegnag sebuah kipas
yang besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya
terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping
Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia
terhuyung, lalu dari jambangan itu itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin
seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat
itu benar-benar hebat.
“Apakah
bisa menjadi dialah musuh ayah?” Koan Eng menduga-duga. Ia lanatas saja
menyusul.
Oey
Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti.
Cepat
jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie.
Koan
Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua.
Juga
Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia
ini melebihkan lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang
pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar
tetapi jambangan ini jauh lebih besar.
Si
orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat
yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi bersangsi. Ia pikir:
“Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia
menyembunyikan kawan-kawannya? Baiklah aku balik…” Tapi di depannya ada kali,
ia heran. Pikirnya pula: “Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat
bagaimana dia melewatinya…. Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian
barat…”
Selagi
ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak.
Si
orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas
betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletaki jambangan
di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia
berjalan setindak demi setindak kembali ke darat.
Kwee
Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman.
Tiba-tiba
si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. “Tuan, adakah kau
chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?” dia bertanya.
“Maaf,”
kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang.
“Ah,
masih ada dua engko kecil di sana!” kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng
dan Oey Yong. “Marilah kamu sama-sama datang ke mari!”
Koan
Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti
dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat ebrlari keras seperti dia
tanpa tindakannya bersuara.
Kwee
Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya
orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan - thay-kong -
orang tua yang dihormati.
Orang
tua itu tertawa pula; “Sudah, Sudah!” ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia
mengawasi Koan Eng dan berkata: ” Di sini bukan tempat yang tepat untuk
memasang omong, mari kita mencari tempatnya untuk berduduk-duduk.”
Koan
Eng tetap bersangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. “Apakah thaykong kenal
ayahku?” ia menanya.
“Kau
maksudkan chungcu yang tua? Belum pernah aku bertemu dengannya.” sahut si orang
tua.
Agaknya
orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: “Hari ini ayah menerima
serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?”
“Bingkisan
apakah itu yang aneh?” si orang tua balik menanya.
“Itulah
sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan….” sahut Koan Eng.
“Benar-benar
aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?” tanya si orang tua
lagi.
Mendengar
itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke
rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia
lantas menunjuk wajah gembira.
“Jikalau
thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum the,”
ia mengundang.
“begitupun
baik,” shaut orang tua itu setelah berpikir sejenak.
Buakn
main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka.
“Apakah
kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?” tanya si orang tua seraya ia menunjuk
Kwee Ceng dan Oey Yong.
“Kedua
tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku,” menyahut Koan Eng.
Lantas
orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat.
Kwee
Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di
Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia
sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya.
Tidak
lama, tuan rumah telah muncul dengan digotong dua orangnya. Ia numprah di atas
pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura
kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: “Maaf, tak tahu aku akan kedatangan
tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya.”
Orang
tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar
ketika ia berkata: “Tak usah menggunai banyak adat peradatan, Liok Chungcu.”
Tuan
rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya
itu.
“Aku
she Kiu, namaku Cian Jin,” sahutnya.
Tuan
rumah terkejut.
“Jadinya
locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang-piauw!” katanya. Ia ketahui baik nama
orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air.
“Bagus
sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku itu! Sudah duapuluh
tahun semenjak aku tidak muncul pula dalam dunia kangouw, aku menyangka orang
telah melupai aku.”
Memang
pada duapuluh tahun yang lampau itu, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor
sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupai dia. Liok
Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat.
“Untuk
apakah locianpwee datang ke sini?” ia menanya. “Bila aku sanggup, suka sekali
aku berbuat sesuatu untukmu.”
“Tidak
ada urusan yang penting,” sahut si orang tua tertawa. “Atau mungkin aku bakal
ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat
meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah
sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-lahan.”
Liok
Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan
tetapi ia tetap kurang tenang hatinya.
“Apakah
locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?” ia menanya.
“Hek
Hong Siang Sat? Apakah kedua iblis itu belum mampus?” si orang tua balik
menanya.
Lega
juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu.
“Anak
Eng, pergi kau minta locinpwee beristirahat di kamar tulis,” katanya kemudian.
Kiu
Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng.
Liok
Chungcu belum tahu kepandaiannya Kiu Cian Jin itu, hanya ia ketahu ketika dulu
hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima
mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya
karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia
bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat
datang, bolehlah tak usah ia terlalu berkhawatir.
“Jiwi
belum berangkat, inilah bagus,” katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong.
“Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya
aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silkana jiwi
beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya
sudah tak ada lagi!”
Oey
Yong tertawa. “Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?” ia bertanya lucu.
Tuan
rumah berpikir. “Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi
tidak bakal dapat melayani jiwi,” berkata dia. “Tapi baiklah, asal jiwi berdiam
saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini,
segala tikus tentulah tidak ada artinya!”
Oey
Yong bertepuk tangan saking girangnya.
“Aku
memang paling gemar menonton orang berkelahi!” katanya. “Ketika kemarin ini kau
menghajar pangeran cilik, sungguh senang untuk menyaksikannya!”
“Tapi
yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik itu,” Liok Chungcu
memberitahu. “Dia lihay sekali, karenanya aku berkhawatir.”
“Ah,
chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?” Oey Yong tanya, ia heran.
“Nona
tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti,” berkata tuan rumah. “Ketika si
pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu
sama denagn kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu.”
“Aku
mengerti sekarang!” kata Oey Yong. “Memang juga tulisan Souw Tong Po beda
dengan tulisannya Oey San Kok, sama seperri bedanya lukisan Too Koen Hong dari
lukisannya Cie Hie! Cuma ahli yang segera dapat menbedakannya!”
“Sungguh
kau cerdas, nona!” tertawa tuan rumah.
Oey
Yong tarik tangan Kwee Ceng. “Mari kita lihat itu orang tua yang kumisnya
ubanan!” katanya. “Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?”
“Eh,
jangan nona!” mencegah tuan rumah, terkejut. “Jangan kau membuatnya gusar!”
“Oh,
tidak ada!” kata Oey Yong, tertawa. Ia berbangkit, untuk berlalu.
Liok
Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi
bergelisah sendirinya.
“Nona
ini sangat nakal!” katanya. “Mana orang dapat diintai?” Terpaksa ia suruh
orangnya menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari
masih jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela.
Oey
Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, untuk
mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan
rumah supaya tuan rumah itu datang padanya.
Liok
Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia berkhawatir, kalau
ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut
mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia
lantas menjdai heran sekali.
Kiu
Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya
menghembus keluar tak habisnya serupa hawa mirip asap atau kabut. Ia luas
pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung
bajunya Kwee Ceng, untuk menyuruh orang jangan mengintai terlalu lama.
Kwee
Ceng seorang terhormat, ia mengindahi tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas ia
mencuri melihat lain orang, dari itu ia terus tariknya Oey Yong. Bersama-sama
tuan rumah mereka masuk ke perdalaman.
“Bagus
sekali permainannya tua bangka itu!” kata Oey Yong tertawa. “Di dalam perutnya
bisa api menyala!”
“Kau
tidak tahu, nona,” kata tuan rumah. “Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!”
“Mustahilkah
mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?” tanya Oey
Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang
keluar dari mulutnya tetamu tua itu.
“Kalau
itu benar api, itulah tidak mungkin,” berkata tuan rumah. “Aku percaya, itulah
semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan
sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?”
“Ya,
dengan hancuran bunga menghajar orang!” seru Oey Yong.
“Benar-benar
nona cerdas!” tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan
Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau
ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut
dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya.
Setelah
mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar
untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja
perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi
kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di
paling bawah.
Liok
Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani
menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang
tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
“Liok
Laotee,” kata Kiu Cian Jin kemudian. “Kau menjadi pemimpin di Kwie-in-chung
ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu
atau dua jurus kepadaku? Dengan begini mataku jadi dapat dibuka.”
“Kepandaianku
tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee,” kata
tuan rumah menghormat. “Laginya sudah lama aku bercacad, sedikit pelajaran yang
aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya.”
“Siapakah
itu gurumu, laotee?” tanya tetamu itu. “Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku
si orang tua mengenalnya.”
Liok
Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. “Kelakuanku tidak
selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu untuk aku
menyebutnya,” katanya selang sejenak.
Mendengar
itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir
gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu yang ayahnya lihay ilmu silatnya. Ia
percaya ayahnya itu ada punya lelakon yang menyedihkan.
“Liok
Chungcu,” berkata si orang tua, “Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak
hendak menggunai ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak
kepuasanmu itu? Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu
menjadi insyaf dan menyesal karenanya.”
“Aku
bercacad, aku bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali,
menyesal aku tidak dapat menerimanya,” sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara
dengan merendah.
“Chungcu
terlalu merendah. Di depan mataku ada satu jalan, hanya entahlah, chungcu
memang tidak melihatnya atau memang tidak memikirkannya….”
“Tolong
locianpwee memberi petunjuk”
Kiu
Cian Jin tersenyum, ia santap lauk pauknya, ia tidak menyahuti.
Tuan
rumah menduga pasti ada sebabnya kenapa orang tua ini muncul setelah ia
mengundurkan diri duapuluh tahun lamanya, ia hanya tidak dapat menerka maksud
orang itu. Orang pun ada dari kalangan terlebih atas, tidak dapat ia
menanyakannya, maka itu ia membiarkan saja sampai orang suka bicara sendiri.
“Tidak
apalah Chunngcu tidak sudi memberitahukan guru atau rumah perguruanmu,” kata
Kiu Cian Jin kemudian. “Kwie-in-chung begini kesohor, yang mengurusnya mesti
murid dari guru yang kenamaan….”
“Segala
apa disini diurus oleh Koan Eng, anakku,” menerangkan tuan rumah. “Ia adalah
muridnya Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di kota Lim-an.”
“Ah,
Kouw Bok Taysu itu adalah ahli waris yang menjadi ketua dari cabang Selatan
dari partai Hoat Hoa,” berkata Kiu Cian Jin. “Dialah ahli luar. Maukah
siauw-chungcu mempertunjuki sesuatu untuk aku meluaskan pandangan mataku?”
“Locianpwee
sudi memberi petunjuk, inilah untungnya anakku,” kata Liok Chungcu.
Koan
Eng memang ingin sekali diberi petunjuk, maka itu ia sudah lantas pergi ke
tengah ruang. “Tolong thay-kong mengajari aku,” katanya. Lalu ia mulai bersilat
dengan tipu silatnya yang ia paling gemari, yaitu Loo-han Hok-houw-kun, kuntauw
Arhat Menakluki Harimau. Setiap kepalannya memperdengarkan suara angin santar,
tindakannya pun gesit dan tetap. Dekat penutupnya ia berseru keras, bagaikan
harimau menderum, hingga api lilin pada bergoyang dan orang merasakan tersampar
angin dingin. Itulah artinya arhat bertempur sama raja hantu. Diakhirnya ia
menghajar batu sampai batu batanya hancur, lalu ia berdiri tegar, tangan
kirinya diangkat tinggi menunjang langit, kaki kanannya ditendangkan ke depan.
Dengan begitu ia memperlihatkan sikap dari arhat atau loohan.
“Bagus!
Bagus!” Kwee Ceng dan Oey Yong berseru memuji.
Habis
itu Koan Eng memberi hormat kepada Kiu Cian Jin. Ketika ia kembali ke kursinya,
air mukanya tidak berubah, napasnya tidak memburu, ia duduk dengan tenang
seperti bukan habis bersilat hebat sekali.
Kiu
Cian Jin tidak membilang suatu apa, ia melainkan tersenyum.
“Apakah
kebisaannya anakku ini masih dapat dilihat?” Liok Chungcu tanya.
“Begitulah,”
sahut si orang tua.
“Tolong
locianpwee beri petunjuk di mana yang perlu,” tuan rumah minta.
“Ilmu
silat putramu ini, kalau dipakai untuk memperkuat tubuh, sunggu tak ada yang
melebihkannya,” menyahut tetamu itu, “Hanya kalau ia hendak dipakai untuk
merebut kemenangan, dapat dikatakan itu tidak ada gunanya.”
Selagi
tuan rumah belum membilang suatu apa, Kwee Ceng merasa heran. Ia pikir: ”
Memang tidak terlalu lihay ilmu silatnya tuan rumah yang muda ini, akan tetapi
tidaklah tepat untuk mengatakan tidak ada gunanya….”
Tuan
rumah lantas berkata: “Tolong locianpwee memberikan petunjuk untuk sekalian
membuka pandangan kami yang cupat.”
Kiu
Cian Jin berbangkit, ia bertindak keluar ruangan. Ketika ia kembali, di kedua
tangannya masing-masing ada tercekal sepotong batu bata. Orang tidak lihat ia
mengerahkan tenaga, tahu-tahu ada terdengar suara meretek, lalu tertampak dua
potong batu bata itu sudah remuk, akan kemudian hancur menjadi seperti tepung.
Semua
orang terkejut.
Duduk
pula di kursinya, semberai tertawa ia berkata: “Chungcu muda dapat menhajar
batu hancur itu pun bukan sembarang pelajaran, tidak gampang untuk mendapatkan
itu, tetapi haruslah diingat, musuh bukan sepotong batu, musuh tidak mungkin
mandah saja diserang. Maka dalam ilmu silat, yang penting ialah menggunai
ketika terlebih dulu untuk menaklukkan musuh. Ini dia yang orang dahulu kala
menyebutnya, diam bagaikan anak dara, gesit bagaikan kelinci.”
Koan
Eng terdiam, menginsyafi kata-kata itu.
Kiu
Cian Jin menghela napas. Ia berkata pula: “Sekarang ini banyak orang yang
menyakinkan ilmu silat tetapin kepandaiannya berarti tidak ada seberapa….”
“Siapakah
beberapa orang itu, lojinkee?” Oey Yong tanya.
“Kaum
Rimba Persilatan menyebutnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin
Thong berlima,” menyahut si orang tua. “Semua mereka itu pernah aku ketemukan
sendiri, aku lihat diantaranya yang terlihay ialah Tiong Sin Thong, yang
lainnya, ada keistimewaannya tetapi pun ada kekurangannya masing-masing. Harus
diketahui, ada panjang mesti ada pendek, asal kita ketahui cacad orang, tak
susah untuk merobohkannya.”
Liok
Chungchu bersama Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat. Koan Eng sendiri tidak,
sebab ia tidak tahu siapa itu lima orang lihay yang disebutkan. Tapi Oey Yong
terkejut berbareng mendongkol. Suara orang itu bernada menghina ayahnya. ia
tidak memperdulikan lagi bahwa orang dapat berjalan di air sambil menjunjung
jambangan, napasnya mengeluarkan asap dan remasan tangannya kuat sekali.
“Apakah
tidak bagus jikalau locianpwee menghajar roboh kelima orang itu supaya namamu
jadi sangat kesohor di kolong langit ini?” ia menanya seraya tertawa.
Kiu
Cian Jin tidak menjawab, dia hanya melanjuti kata-katanya: “Sekarang ini Ong
Tiong Yang itu telah menutup mata. Ketika terjadi perundingan ilmu silat pedang
di gunung Hoa San itu, lantaran kebetulan ada urusan, aku tidak dapat turut
hadir, dengan begitu gelaran jago silat nomor satu di kolong laing ini telah
didapatkan imam tua yang telah meninggal dunia itu. Tatkala itu mereka berlima
memperebuti kitan Kiu Im Cin Keng, katanya siapa yang paling tangguh, dialah
yang mendapatkan kitab itu. Tujuh hari dan tujuh malam sudah mereka bertempur,
Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay menyerahlah mereka semua. Kemudian,
sesudah Ong Tiong Yang meninggal, timbul lagi gelombang. Katanya ketika si imam
tua hendak menutup mata, kitabnya itu dia wariskan kepada Ciu Pek Thong, adik
seperguruannya. Tong Shia Oey Yok Su sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong
itu, Ciu Pek Thong bukan tandingannya, kitabnya terampas sebagian. entahlah
kemudian bagaimana urusan kitab itu.”
Oey
Yong dan Kwee Ceng mengangguk dengan diam-diam. Baru sekarang mereka ketahui
lelakonnya kitab Kiu Im Cin Keng itu, yang sebagiannya lagi kena dicuri Hek
Hong Siang Sat.
“Oleh
karena lojinkee ialah orang yang nomor satu ilmu silatnya, sudah selayaknya
kitab itu menjadi kepunyaanmu,” berkata Oey Yong.
“Aku
malas untuk berebutan sama orang,” sahut Kiu Cian Jin. “Tong Shia, See Tok, Lam
Tee dan Pak Kay, mereka adalah setengah kati delapan tail. Selama beberapa
puluh tahun ini keras mereka berlatih, ingin mereka menjadi jago nomor satu.
Maka itu kalau terjadi pertemuan yang kedua di Hoa San, pastilah ramainya bukan
buatan.”
“Oh,
bakal terjadi pertempuran yang kedua di Hoa San?” si nona menegaskan.
“Duapuluh
lima tahun ialah satu generasi!” berakta Kiu Cian Jin. “Mereka ynag tua bakal
mati, yang muda bakal muncul, maka itu, lagi satu tahun akan tibalah saat
perundingan yang kedua di Hoa San itu. Aku lihat, yang bakal bertarung itu
kembali kami si orang-orang tua. Sayang sekarang tidak ada lagi anak-anak muda
yang berarti, ilmu silat menjadi lemah satu generasi demi satu generasi….!”
“Apakah
lain tahun lojinkee hendak mendaki gunung Hoa San itu?” Oey Yong menanya
terus-menerus. “Kalau benar lojinkee hendak pergi, maukah kau mangajak aku
untuk turut menyaksikan keramain itu? Akulah orang yang paling gemar menonton
orang berkelahi!”
“Ah,
mana dapat itu dikatakan pertempuran? Sebenarnya aku tidak mengandung niat
pergi. Bukankah kita si tua bakal masuk ke dalam tanah? ntuk apa segala nama
kosong? Hanya di hadapan kita sekarang ada satu urusan sangat besar, yang
mengenai keselamatan seluruh umat manusi. Jikalau aku termahai hidup senang
sendiri dan aku tidak manjat tinggi, celakalah semua umat dan makhluk!”
Inilah
hebat, maka Liok Chungcu berempat lantas menanyakan bencana apa itu yang
demikian hebat ancamannya.
“Inilah
rahasia sangat besar. Kedua engko kecil Kwee dan Oey, kamu bukan orang kangouw,
kamu lebih baik jangan ketahui urusan ini!”
Oey
Yong tidak menjadi kurang senang, sebaliknya ia tertawa. “Liok Chungcu ini
sahabatku yang baik sekali, asal kau menjelaskan kepadanya, tidak nanti ia
menyembunyikan itu kepadaku!” katanya.
“Ah,
anak nakal!” kata Liok Chungcu di dalam hatinya. Tapi ia berdiam.
“Kalau
begitu, baiklah aku menjelaskan kepada kamu semua!” kata Kiu Cian Jin. “Cuma
aku minta kemudian janganlah kau membocorkannya.”
“Kamu
bukan sanak bukan kandung, urusan rahasia ini baiklah kami tidak mendengarnya,”
pikir Kwee Ceng, yang terus berbnagkit dan berkata: “Maafkanlah aku serta
saudara Oey ini, ingin aku mengundurkan diri.”
“Jiwi
adalah sahabat-sahabat kekal dari Liok Chungcu, kamu bukan orang luar, silakan
duduk!” Kiu Cian Jin minta. Sembari berkata ia menekan pundaknya si anak muda.
Kwee
Ceng tidak merasakan tekanan keras, akan tetapi karena ia mengaku tidak
mengerti ilmub silat, ia tidak melawan, ia berduduk pula. Karena itu, Oey Yong
pun batal mengundurkan diri.
Kiu
Cian Jin berbangkit, ia mengangkat araknya untuk mengajak orang minum bersama.
“Tidak
sampai setengah tahun, kerajaan Song bakal menghadapi bencana besar,” katanya
kemudian. “Apakah tuan-tuan ketahui itu?”
Mendengar
ini, semua orang terkejut. Bahkan Koan Eng lantas menitahkan orang-orangnya
mundur sampai ke pintu dan semua pelayan dilarang datang dekat.
“Aku
telah mendapat keterangan pasti,” Kiu Cian Jin melanjuti. “Dalam tempo enam
bulan pastilah angkatan perang bangsa Kim bakal menyerbu ke Selatan. Kali ini
angkatan perangnya itu besar dan kuat, maka juga kerajaan Song pastilah tidak
dibelakan pula. Ya, inilah takdir, tidak dapat kita berbuat apa-apa….”
Kwee
Ceng terkejut hingga ia lantas berkata: “Kalau begitu haruslah locianpwee lekas
memberitahukan ancaman itu kepada pemerintah supaya pemerintah segera siap
sedia untuk menyambut musuh!”
Orang
tua itu mendelik kepada anak muda itu.
“Kau
tau apa?!” tegurnya. “Satu kali angkatan perang Song bersiap sedia, bahayanya
bakal terjadi terlebih hebat lagi!”
Kwee
Ceng terdiam. Tidak mengerti ia maksud orang. Oey Yong pun bungkam.
“Lama
aku telah memikirkan itu,” Kiu Cian Jin melanjuti omongannya. “Aku lihat cuma
ada satu jalan untuk membikin rakyat hiudp damai dan senang, supaya negera yang
indah ini tidak sampai menjadi habis terbakar. Inilah tujuanku kenapa aku telah
melakoni perjalanan ribuan lie jauhnya datang ke Kanglam ini. Kabarnya chungcu
telah menawan pangeran muda negara Kim serta komandan tentara Toan Tayjin,
tolongkan undang mereka hadir di sini untuk kita memasang omong. Maukah kau
meluluskan, chungcu?”
Liok
Chungcu terpengaruh kata-kata orang. Ia pun heran kenapa orang ini mendapat
tahu hal tertawannya dua orang itu. Ia lantas meluluskan, ia membawa menghadap
orang tawanannya itu, bahkan mereka dibebaskan dari belengguan dan disuruh
duduk disebelah bawah.
Kwee
Ceng dan Oey Yong mendapatkan, baru ditahan beberapa hari, roman Wanyen Kang
sudah kucel dan perok, sedang Toan Tayjin itu, yang berumur limapuluh lebih dan
berewokan ketakuan.
“Siauw-ongya,
kaget?!” kata kiu Cian Jin pada Wanyen Kang.
Pangeran
itu mengangguk, tetapi hatinya berkata: “Si Kwee dan si Oey ini berada di sini,
entah mau apa mereka… Dan adik Liam Cu itu, entah dia bawa ikat pinggangku
kepada guruku atau tidak….”
“Chungcu,”
berkata Kiu Cian Jin pada tuan rumah. “Di hadapanmu ada terbayang harta besar
dan kemuliaan, aku melihat itu tetapi tidak hendak mengambilnya, kenapakah?”
Tuan
rumah heran. “Kemuliaan apakah itu, locianpwee?” tanyanya.
“Kalau
nanti angkatan erang Kim itu menyerbu ke Selatan ini dan peperangan itu
terjadi, mesti banyak sekali orang yang terluka,” berkata Kiu Cian Jin, “Oleh
karena itu bukankah bagus jikalau chungcu menggabungi semua orang gagah untuk
melenyapkan ancaman perang itu?”
“Memang
itu urusan yang besar dan baik sekali,” pikir Liok Chungcu. Maka ia menjawab:
“Jikalau dapat aku mengeluarkan tenaga untuk negera dan juga dapat menolong
rakyat dari marabahaya - yang mana adalah tugas kita sebagai rakyat jelata -
tentu sekali sudi aku melakukannya. Sebenarnya aku setia kepada pemerintah,
tetapi sayang pemerintah sendiri yang tidak mengerti itu, sekarang ini kawanan
pengkhianatlah yang memegang tampuk pemimpin, maka itu sia-sialah belaka maksud
hatiku. Locianpwee, tolong kau menunjuk aku satu jalan yang terang, untuk itu
aku akan sangat bersyukur kepadamu.”
Kiu
Cian Jin mengusap kumisnya, ia tertawa lebar. ia baru hendak berkata pula atau
ia terhalang oleh datangnya satu chungteng yang memberi kabar: “Thio Cecu yang
kebetulan berada di tengah telaga sudah menyambutnya enam tetamu luar biasa,
yang sekarang sudah berada di depan.”
Kaget
tuan rumah itu. “Lekas mengundang!” titahnya.
Koan
Eng sudah lantas berlari keluar untuk menyambut.
Diantara
terangnya api terlihat enam tetamu yang tubuhnya tinggi dan kate tidak rata,
antaranya ada seorang wanita. Ketika mereka itu bertindak masuk, Kwee Ceng
berbareng girang, segera ia lari memapaki untuk berlutut di hadapan mereka itu.
“Suhu!”
katanya. “Apakah suhu semua baik?”
Keenam
tetamu itu memang Kanglam Liok Koay adanya. Mereka itu datang dari Utara,
setibanya mereka di telaga Thay Ouw, lantas ada beberapa orang yang
menyambutnya dengan manis. Sudah lama mereka meninggalkan Kanglam, mereka masih
rada asing. Maka itu Cu Cong yang melayani beberapa itu bicara. Kemudian
ternyata, pihak penyambut adalah Thio Cecu dari Kwie-in-chung. Sebenarnya tidak
tahu cecu itu siapa enam orang ini, ia doyong menduga kepada musuhnya chungcu
tua, maka itu selama menyambut, ia terbenam dalam kesangsian. Ia ditugaskan
Koan Eng berjaga-jaga, sekalian menyambut orang pandai, maka itu ia bertindak
secara hati-hati.
Liok
Koay pun heran melihat muridnya itu ada di sini.
“Eh,
bocah, mana silumanmu?!” Han Po Kie menanya. Ia menegur.
Han
Siauw Eng bermata tajam, segera ia melihat Oey Yong hadir bersama, maka itu ia
tarik ujung baju kakaknya seraya berbisik: “Sabar, urusan ini kita boleh
bicarakan perlahan-lahan kemudian.”
Nona
lihay ini dapat mengenali walaupun Oey Yong dandan sebagai seoarng pemuda.
Tuan
rumah tak kenal siapa enam orang itu tetapi karena Kwee Ceng memanggil guru
kepada mereka, ia lantas memberi hormat. Ia minta dimaafkan yang ia tidak dapat
berjalan. Ia pun segera memerintahkan menyiapkan sebuah meja untuk ini tetamu
baru.
Kwee
Ceng tidak berayal lagi menjelaskan perihal gurunya.
Liok
Chungcu menjadi girang sekali.
“Sudah
lama aku mendengar nama besar dari tuan-tuan, hari ini aku dapat meneminya,
sungguh aku beruntung!” katanya.
Bebeda
dari tuan rumah, Kiu Cian Jin duduk tetap di kursinya. Ia cuma tersenyum, terus
ia dahar dan minum seoarng diri.
“Siapa
tuan ini?” menanya Han Po Kie. Ia sebal atas sikap orang acuh tak acuh itu,
bahkan temberang.
“Baiklah
Liok-hiap ketahui,” tuan rumah berkata, “Tuan ini adalah gunung Tay San dan
Bintang Pak Tauw dari Kaum Rimba Persilatan di ini jaman, yang kepandaian ilmu
silatnya tidak ada orang di kolong langit ini yang dapat menandinginya….”
Mau
tidak mau Liok Koay heran.
“Apakah
dia Oey Yok Su dari Tho Hoa To?” tanya Han Siauw Eng.
“Apakah
dia Kiu Cie Sin Kay?” tanya Han Po Kie.
“Meskipun
tuan dari pulau Tho Hoa To serta Kiu Cie Sin Kay sangat lihay, tidak nanti
mereka dapat menandingi Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Locianpwee!” Liok Koan
Eng lantas memperkenalkan.
Kwa
Tin Ok heran. “Oh, Locianpwee Kiu Cian Jin!” katanya.
Kiu
Cian Jin tertawa keras, sampai rumahnya bagaikan tergetar.
Ketika
itu beberapa chungteng telah selesai menyiapkan meja serta barang hidangan dan
keenam tetamu itu sudah lantas mengambil tempat duduk mereka. Kwee Ceng pindah
duduk di sebelah bawah gurunya itu. Ia telah menarik tangannya Oey Yong untuk
diajak duduk bersama, si nona tapinya menggoyang kepala sambil tertawa, ia
menampik untuk pindah duduk.
Liok
Chungcu tertawa, ia kata: “Aku menyangka saudara Kwee tidak mengerti ilmu
silat, kiranya kau adalah muridnya enam orang pandai. Benar-benar mataku lamur,
tidak dapat aku melihat mustika yang disembunyikan….”
Kwee
Ceng berbangkit, ia memberi hormat.
“Kepandaianku
tidak seberapa,” ia berkata, “Dengan menerima pengajaran guruku, tidak berani
aku banyak bertingkah. Harap chungcu sudi memaafkannya.”
Senang
Tin Ok mendengar pembicaraan itu. Terang sudah Kwee Ceng pandai membawa diri.
“Tuan-tuan
adalah orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini,” berkata Kiu
Cian Jin. “Kebetulan sekali aku si orang tua ada punya urusan yang penting,
jikalau di dalam hal itu aku bisa memperoleh bantuan kamu, sungguh bagus
sekali!”
“Ketika
tuan-tuan datang, baru saja Kiu Locianpwee hendak memberi penjelasan,” berkata
tuan rumah. “Sekarang silakan locianpwee memberi petunjuk kepadaku.”
Kiu
Cian Jin menurut, ia lantas berkata: “Kita yang memernahkan diri dalam dunia
Rimba Persilatan, pokok penting dari tujuan kita adalah perbuatan-perbuatan
mulia, menolong rakyat dari kesengsaraan. Sekarang ini tinggal ditunggu harinya
saja yang angkatan perang negara Kim meluruk ke Selatan ini, jikalau kerajaan
Song tidak dapat melihat selatan dan dia tidak sudi menyerah, asal saja
peperangan terjadi, celakalah rakyat, entah berapa banyak jiwa yang bakal
terbinasa! Bukankah ada kata-kata, siapa menurut Thian dia makmur, siapa
menentang Thian dia musnah? Maka juga aku datang ke Selatan ini untuk
menggabungi semua orang gagah di Kanglam, untuk bersama menyambut angkatan
perang Kim itu, supaya Kerajaan Song digencet dari luar dan dalam, hingga
habislah tenaganya, tidak dapat ia melawan perang dan karenanya menyerah. Kalau
usaha ini berhasil, disebelahnya pangkat mulia dan kedudukan yang senang buat
kita, rakyat pasti sangat bersyukur. Dengan begitupun tidaklah sia-sia kita
telah mempunyai kepandaian silat yang lihay.”
Mendengar
itu, air muka Kanglam Liok Koay berubah, bahkan dua saudara Han saudh lantas
hendak membuka suaranya, syukur Coan Kim Hoat dapat lantas menarik ujung baju
mereka seraya matanya melirik kepada tuan rumah, menunjuki untuk melihat atau
mendengar sikapnya tuan rumah itu.
Sebegitu
jauh Liok Chungcu menghormati tetamunya yang tua itu, tetapi sekarang,
mendengar suara orang ia heran bukan main. Ia mencoba tertawa ketika ia berkata:
“Meskipun aku bodoh tetapi dengan menempatkan diri di dalam kalangan kaum
kangouw, masih mengerti juga aku tentang tiong dan gie, kesetian dan kebajikan
dan tidak dapat aku melupakannya. Angkatan perang Kim itu hendak menyerbu ke
Selatan ini, itu artinya mereka bakal mencelakai rakyat negeri, kalau itu
sampai terjadi, aku akan turut semua tindakannya orang gagah di Kanglam ini
untuk menentangnya hingga aku terbinasa! Untuk ini aku akan mengangkat sumpah!
Locianpwee, kata-katamu ini rupanya hendak memancing aku, bukan?”
“Laotee,
mengapa pandangan matamu begini pendek?” tanya tetamu itu. “Apakah kebaikannya
membantu kerajaan Song melawan bangsa Kim? Paling banyak kau bakal mengalami
nasib sebagai Gak Bu Bok yang terbinasa secara menyadihkan di paseban Hong Po
Teng…”
Mendengar
ini, tuan rumah kaget berbareng gusar. Ia mulanya mengharap mandapat bantuan
melawan Hek Hong Siang Sat, siapa tahu ia justru dibujuk untuk mengkhianati
negera sendiri! Maka sia-sia belaka orang tua ini pandai ilmu silatnya kalau jiwanya
demikian rendah, dia demikian tidak tahu malu. Ia lantas mengebaskan tangan
bajunya. Ia berkata: “Malam ini aku lagi menghadapi datangnya musuh, sebenarnya
aku berniat memohon batuan locianpwee, tetapi karena kita tidak sepaham,
walaupun leherku bakal memuncratkan darah, tidak berani aku melayani locianpwee
terlalu lama pula! Silahkan!” Ia memberi hormat pula, tandanya ia mengusir
tetamunya itu.
Kanglam
Liok Koay berikut Kwee ceng dan Oey Yong girang dalam hatinya.
Kiu
Cian in tidak tertawa, ia pun tidak menyahuti, dengan tangan kiri mencekal
cawan arak, tangan kanannya dibawa ke mulut cawan itu, terus diputar-putar,
mendadak tangan kanannya itu dikebaskan, disambarkan terbalik. Maka untuk
herannya semua orang, cawan arak itu terpapas separuhnya!
Liok
Chungcu berdiam dengan hatinya bekerja keras memikirkan daya untuk melayani
orang tua ini, yang sudah mengancam dengan kepandaiannya itu yang luar biasa.
Tapi
Ma Ong Sin Han Po Kie tidak dapat bersabar lagi, dia lompat bangun dari
kursinya menghadapi orang tua itu.
“Manusia
tak tahu malu, mari kita mengadu kepandaian!” ia menantang.
Kiu
Cian Jin tidak menjadi gentar.
“Sudah
lama aku mendengar nama Kanglam Cit Koay, baiklah hari ini diuji tulen
palsunya!” katanya, “Tuan-tuan, baiklah kau maju semua berbareng!”
Tuan
rumah mau menduga Han Po Kie bukan tandingan orang, mendengar tantangan itu, ia
girang sekali. Ia lantas berkata: “Memang biasanya Kanglam Liok Koay meju
berbareng mundur berbareng, musuh seorang mereka berenam, musuh sepasukan
tentara besar mereka berenam juga, tidak pernah ada salah satu di antaranya
yang sudi ketinggalan!”
Inilah
kata-kata yang disengaja. Mendengar ini Cu Cong ketahui maksud orang.
“Baiklah!”
dia berkata, “Biak kita bersama-sama melayani ini jago Rimba Persilatan yang
kenamaan!” Lalu dengan mengebaskan tangannya, lima saudaranya segera berbangkit
bangun bersiap-sedia.
Kiu
Cian Jin berdiri, ia angkat kursinya, lalu ia bertindak ke tengah ruangan, yang
mau dijadikan gelanggang pertarungan itu. Di situ ia letaki kursi itu, terus ia
berduduk pula, kaki kanannya disusun diatas kaki kirinya. Dengan duduk tenang,
ia berkata: “Sambil berduduk begini aku si orang tua akan menemani tuan-tuan
bermain-main!”
Tin
Ok terkesiap hatinya. Jikalau orang bukan lihay luar biasa, tidak nanti ia
membawa sikap demikian rupa.
Selagi
guru-gurunya belum bergerak, Kwee Ceng majukan diri ke depan. Ia pun mau
percaya semua gurunya bukan lawannya jago tua ini, yang kepandaianny telah ia
saksikan sendiri. Tentu saja ia bersedia binasa untuk membantu gurunya itu, maka
ia menjadi nekat.
“Locianpwee,
aku yang muda memohon pengajaran dari kau,” ia berkata seraya menjura.
Kiu Cian Jin melengak, akhirnya
ia tertawa.
“Tidak
mudah ayah dan ibumu memelihara kau, kenapa jiwa kecilmu hendak cuma-cuma
diantarkan di sini?” katanya.
“Anak Ceng,
mundur!” berseru Tin Ok, yang kagum dengan keberanian muridnya itu tetapi ia
menyayanginya.
Tapi Kwee Ceng sudah bulat
tekadnya. Ia khawatir nanti gurunya mencegah terus, maka tanpa berkata lagi, ia
tekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya digeraki melingkar, lalu dengan keras
tangannya itu ditolakkan maju!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar