Bab 4. Mengadu Kepandaian
Sembari bernyanyi si mahasiswa
melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar
tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang
perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baharu berhentilah ia merogoh
sakunya.
Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang
ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba
sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran
tidak kepalang.“Dia
Cuma tepuk pundakku dengan
kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?” demikian ia berpikir tak habis
herannya. “Sungguh kepandaian yang lihay……..”
Si
nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. “Jiko, hari ini kau
beruntung!” serunya. “Tidak tahu siapa yang apes malang….”
Si
mahasiswa melarat itu pun tertawa. “Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk
yang kau telah ketahui!” katanya.
“Oh, aku tahu!” sahut si nona. “Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?”Mahasiswa itu mengipasi uang di
depannya dengan tak hentinya. “Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau
tetapi uang itu masih dapat digunai!” katanya. Mendengar itu semua kawannya itu
tertawa terbahak-bahak.
Wanyen Lieh heran bukan
kepalang. “Aku menyamar sebagai orang Han, mirip
sekali, cara bagaimana ia masih
mengenali aku?” dia tanya dirinya
sendiri. Lantas dia gapekan pelayan untuk bisiki padanya: “Semua tuan-tuan ini
akulah yang undang berjamu…” Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia
letaki di atas meja. “Dan kau bawa
dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!” katanya pula.
Si
buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli
orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan
itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. “Saudara-saudara ada orang yang
mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!”
Si
mahasiswa menoleh kepada Wanyen
Lieh, matanya menyapu, lalu ia
mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: “Mana si
wanita baik-baik yang kau perdayakan?”
Wanyen Lieh sudah putuskan untuk
tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia
berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya tetapi
berkerja. Di situ ada sembilan buah
meja, sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang
masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi
tuan rumah?
Sampai
itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang
dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.
Tengah
putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng: “Amitabha Buddha!”
Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng.
“Nah,
Ciauw Bok Taysu
tiba!” seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam
kawannya: Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk menyambut orang yang
baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar.
“Ambithaba Buddha!”
kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama munculnya satu tubuh
kurus kering bagaikan pohon mampus, tetapi yang tindakannya cepat pesat seperti
ia tidak menginjak lantai.
Wanyen Lieh melihat satu pendeta
usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah kasee merah dengan lapis
dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang sepotong kayu, yang ujungnya
telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa faedahnya puntung kayu itu.
Pendeta
itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur, habis
itu si mahasiswa melarat pun pimpin tetamunya ke sebuah meja yang kosong untuk
silahkan ia duduk.
Si
hweshio menjura, dia berkata: “ Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng
merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang
liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur
lebur, tak dapat siauwceng membalasnya.”
Pendeta
itu ialah Ciauw
Bok Taysu,
merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya “siauwceng” si pendeta yang kecil
rendah.
“Harap
kau tidak sungkan, Ciauw
Bok Taysu,”
berkata si buta. “Kami tujuh bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa
melimpahkan kebaikan terhadap kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli
kepandaiannya, tanpa sebab tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu.
Dengan perbuatannya itu, mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan
di Kanglam ini? Karena
kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara
pasti tak mau sudah saja…”
Belum
lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara yang
sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu bukan
suara gajah tetapi sedikitnya kerbau…. Menyusul itu pun lantas terdengar suara
kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya: “Benda begitu berat mana dapat dibawa
naik ke atas…! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol…! Lekas, lekas cegah
dia, jangan kasih dia naik!”
Suara
berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan undakan
tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan
lainnya.
Bagaikan
orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu tojin, satu
imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar sekali, yang
mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan begitu –
rupanya – tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan
untuk kagetnya putra raja Kim ini, ia
kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee atau Tiang Cun
Cinjin!
Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya
menjadi utusan bangsa Kim ke
Tionggoan, kepada kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu
dia sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si
menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah
waktunya ia turun tangan. Utusan
Song yang datang dari Yankhia
menemani dia sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima
sogokan besar dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan
menakluk dan menjadi hambanya kerajaan Kim.
Dan menteri
yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh adalah Perdana Menteri Han To Cu. Girang
sekali ini putra raja Kim menampak
ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget
akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang
berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia
khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri
turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang
paling keras kepala hendak melawan negara Kim.
Yang pertama ia ingin singkirkan adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip-eng-thian
dan pengurus Ciong-yu-koan. Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas
pemerintahan, ia hanya pandai silat dan surat
berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia sangat
mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti semula,
sedang rakyat umumnya mengandal padanya. Kalau Han To Cu anggap paling baik
mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki
menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau
mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu.
Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia
tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat
menyandak Khu Cie Kee di Gu-kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh
yang terlalu tangguh untuk mereka. Wanyen Lieh
sendiri belum sampai turun tangan atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia
tak dapat lolos seperti orang-orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek
Yok. Ia lari ke istananya Han To
Cu, untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat
melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis,
meskipun sebagai putra raja, ia telah melihat banyak wanita elok. Setelah
sembuh dari lukanya, ia perintahkan orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu,
sesudah itu, ia minta Han To Cu mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan
Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri menyamar sebagi orang baik-baik sebagai
penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-sie tidak tahu akal muslihat orang, ia
menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka ia mengikuti, maka di luar tahunya
sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman putra raja Kim itu.Demikian Wanyen
Lieh, bukan main kagetnya ia akan tengok Khu Cie Kee, sampai ia tak dapat
menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh sepasang
sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali padanya,
sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia sudah lantas
jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok Taysu serta
tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu.
Lega
juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam tidak
perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya dilain
pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu yang
dibawa-bawa si imam itu. Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran
kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, yang sekarang
diisikan penuh dengan arak, hingga beratnya bertambah, melainkan di tangan si
imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunai tenaga. Akan
tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara
meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawah
loteng, orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak
terkecuali si kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-koki. Semua mereka itu
khawatir loteng ambruk dan mereka nanti ketimpa.
“Benar-benar
toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!”
terdengar suaranya Ciauw
Bok Taysu
keras tetapi dingin. “Sekarang
mari siauwceng perkenalkan dahulu
kau dengan Kanglam
Cit Koay!”
Khu Cie Kee menjura membungkuk
tubuh. “Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu,” ia berkata , “Disana ada pesan
untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui Sian Lauw ini untuk membuat
pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin taysu mengundang
sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama pinto dengar
nama besar dari Kanglam
Cit Koay,
sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nayatalah
pengharapanku seumur hidup telah kesampaian.”
Ciauw
Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya yang ia
sebutkan Kanglam Cit Koay itu – Tujuh Manusia aneh dari kanglam – dan menunjuk
kepada si imam, ia memperkenalkan: “ Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee
yang tuan-tuang telah lama kagumi nama besarnya!” Kemudian tanpa tunggu sesuatu
dari Kanglam
Cit Koay
itu seraya menunjuki si buta melanjuti: “Inilah tertua dari Cit Koay,
yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan
ini ialah….”
Lalu
dengan terus-terusan ia perkenalkan enam orang lainnya, selama mana, selama ia
menyebutkan setiap nama Khu
Cie Kee
menjura kepada orang-orang yang diperkenalkan itu.
Selagi
orang diajar kenal, Wanyen
Lieh memasang kuping dan matanya,
ia kerjakan otaknya akan mengingat baik-baik nama Kanglam Cit
Koay itu. Selain Kwa Tin Ok yang
berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua ialah
si mahasiswa melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu Sie-seng
Cu Cong, Mahasiswa Tangan Lihay. Orang yang datang paling dulu ke restoran
yaitu si kate terokmok yang menunggang
kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia
inilah yang tiga. Si orang tani yang membawa-bawa pikulan adalah orang yang
keempat, ialah Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan).
Yang kelima yang tubuhnya kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie
To Thio A Seng atau si Buddha
Tertawa. Yang keenam adalah orang
yang mirip pedagang, namanya Coan
Kim Hoat,
gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona nelayan
adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang
Gadis Wat,
ialah yang termuda dari Kanglam
Cit Koay.
Selama Ciauw Bok
Taysu memperkenalkan, Khu Cie
Kee tetap pegangi tempat araknya
yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang
yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, dia-diam mendaki loteng untuk
bicara. Katanya: “Kami menonton”
Habis
perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk berbicara,
“Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu silat tangan
kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga kami sangat
mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok
Taysu juga adalah satu sahabat
sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang berbedaan, satu
Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-orang Rimba Persilatan.
Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu telah berbuat salah
terhadap Totiang? Umpama kata Totiang sudi memandang muda kami bertujuh
saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya perselisihan dapat
disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau Totiang?”
“Sebenarnya
pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita juga tidak
punya dendaman dan tidak punya permusuhan,” menyahut Khu Cie Kee, “Oleh karena
itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah lain hari akan
pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan maaf.”
“Siapakah
orang yang harus diserahkan?” tanya
Kwa Tin OK.
“Dua
sahabatku,” sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. “Mereka telah difitnah dan
dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak beruntung untuk mereka, mereka telah
mendapatkan kebinasaannya hingga mereka mesti meninggalkan janda mereka yang
tidak ada lagi sanderannya, hingga mereka mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak
permintaan pinto ini?”
“Jangan
kata mereka adalah jandanya sahabat-sahabat totiang,” sahut si buta, “Walaupun
mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui perkaranya itu,
pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolongi mereka, Untuk itu kami
tak bakal menampik lagi.”
“Jelas!”
seru si imam. “Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok
taysu menyerahkan itu dua orang wanita yang bersengsara dan harus dikasihani
itu!”
Mendengar
itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh si putra
raja Kim itu.
“Mustahilkah
dia bukannya menyebutkan istri-istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw
Thian atau wanita yang lain?”
berpikir putra raja asing ini.
Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning
pucat, tak dapat ia membuka mulut. “Kau…kau…ngaco belo!” serunya kemudian.
Khu Cie Kee menjadi gusar. “Kau
juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan, bagaimana kau berani melakukan
kejahatan semacam ini?” ia menegur dengan bengis. Lantas ia ayun tangan
kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu yang beratnya ratusan
kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta.
Semua
orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam pada
lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga loteng.
Di
antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar, percaya
ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw Bok
Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua
tangannya sambil berbuat mana ia berseru: “Bagus!” Akan tetapi dia mesti pasang
kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan
menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah
loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit.
Di
dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas
Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang
Cun Cu. Itulah gerakan “Twie chong bong goat” – “Menolak daun jendela untuk
memandangi si putri malam”.
Khu Cie Kee ulur tangan
kanannya, dengan tenang ia menyambuti. “Kanglam Cit
Koay bukan bernama kosong saja!”
ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa sebentar, segera wajahnya menjadi
bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta dan membentak dengan pertanyaan:
“Bagaimana denagn dua wanita yang bercelaka itu? Hai, pendeta jahanam, jikalau
kau ganggu selembar saja rambut mereka itu, akan aku patah-patahkan hingga
menjadi abu semua tulang-tulangmu dan akan bakar musnah hingga menjadi tanah
putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!”
Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai
kata-kata imam itu. “Ciauw
Bok Taysu
adalah satu pendeta beribadat,” katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan
kepalanya di geleng-geleng. “Cara
bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji itu? Totiang, mestinya kau telah
keliru dengar omongannya segala manusia rendah! Itu ngaco belo, pasti tak dapat
dipercaya!”Khu
Cie Kee
menjadi mendongkol. “Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri, bagaimana
bisa jadi dusta?!” dia berkata.
Kanglam Cit Koay melengak semuanya.
“Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk
angkat namamu,” akhirnya Ciauw
Bok Taysu
dapat buka mulutnya, “Kenapa untuk itu kau mesti menodai nama baikku?
Kau…kau…kau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk menyelidiki! Mana bisa
aku, Ciauw Bok Taysu,
melakukan perbuatan semacam itu?!”Cie Kee
tertawa mengejek. “Bagus betul yah!” katanya dingin, “Kau telah undang banyak
kawan, kau memikir menggunai jumlah yang banyak untuk mendapatkan kemenangan!
Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!”
“Sabar Totiang!”
Kwa Tin Ok memotong. “Totiang menuduh Taysu menyembunyikan kedua nyonya itu,
Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari
kita bersama pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan
siapa sebenarnya yang benar, siapa yang salah! Mataku menang tidak dapat
melihat akan tetapi orang-orang di sini tidak buta semuanya“
Cu Cong berenam memberikan
persetujuan mereka.
“Apa?
Menggeledah kuil?” kata Khu
Cie Kee
dengan tawar. “Pinto sudah menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa
kali, tetapi walaupun pinto melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu
masuk ke situ, buktinya mereka tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak
ada jalan lain daripada si pendeta serahkan mereka itu!”
“Jadinya
dua wanita itu bukannya manusia!” berkata Cu Cong.
Khu Cie Kee melengak. “Apa”
katanya.
Dengan
sikapnya yang wajar, Cu
Cong menyahuti: “Mereka itu ada
bangsa dewi, jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah
menyingkir dengan ilmu pinjam tanah!”
Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum.Imam itu
menjadi gusur. “Bagus! Kamu permainkan aku!” dia berseru. “Kanglam Cit Koay
pasti membantu pihak si pendeta, bukankah?”
Kwa
Tin Ok jawab imam itu; “Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan
tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka ynag kenal
kami semua dapat mengatakan sepatah kata: ‘Walaupun Kanglam
Cit Koay
sedan-edanan lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus.’
Kamu tidak berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan
orang lain perhina kami!”
Khu Cie Kee tidak ingin layani
tujuh orang aneh dari Kanglam itu. “Perkaraku dengan si pendeta, biarlah aku
yang bereskan sendiri!” katanya kemudian. “Maafkan pinto, tidak dapat pinto
temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari
pergi!”
Ia
pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha
itu.
Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam
Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun lengannya, ia lolos dari cekalan si
pendeta.
Ma
Ong Sin Ho Po Kie
bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai kekerasan.
“Sebenarnya
kau hendak gunai aturan atau tidak?” dia tegur si imam.
“Habis
bagaimana, Han
Samya?” imam itu membalik
bertanya.
“Kami
percaya habis Ciauw
Bok Taysu,
satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!“ kata Cit Koay
yang ketiga itu. “Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat bicara
dusta?!”
Cie Kee nampaknya habis
sabarnya. “Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!” dia berkata. “Tuan-tuan
bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah itu?”
“Tidak
salah!” sahut Cit
Koay serempak.
“Baik!”
seru si imam. “Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh dengan
seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-tuan geraki tanganmu!”
Habis
berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu,
dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan.
“Silahkan!”
katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya kepada Siauw
Mie To Thio A Seng.
Si Buddha tertawa sudah lantas
berpikir.
“Jikalau
aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di atasan
kepalaku, cara bagaimanaaku dapat
meminumnya?” demikian katanya dalam hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas
mundur dua tindak, kedua tangannyaditaruh di depan dadanya. Tepat ketika
jambangan menyambar ke dadanya, ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh
terokmok, dadanya itu penuh dengan daging yang lembek, tetapi tempo jambangan
itu sampai, ia kerahkan tenata dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua
dadanya itu, berbareng dengan mana kedua tangannya bergerak untuk memeluk
jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke
dalam jambangan, menghirup arak di dalamnya!
“Oh,
arak yang harum!” dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia pindahkan
kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana
berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan
gerakannya, “Sia ciang ie san” atau “Sepasang tangan memindahkan bukit”. Maka
melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan
kepalang besarnya.
Wanyen Lieh menyaksikam itu
dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah menyaksikan suatu gerakan tenaga
dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay sekali.
Khu Cie Kee dengan tenang
sambuti pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula.
“Sekarang
aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!” ia berkata pula, berbareng dengan
mana jambanganarak itu dilemparkan ke arah si buta.
Wanyen Lieh heran dan
berkhawatir pula, tapi juga keras keinginan tahunya. “Cara
bagaimana dia dapat menyambutnya?” ia berpikir. “Sudah buta ia pun pincang….”
Kwa
Tin Ok ada tertua Kanglam
Cit Koay,
pasti ada punya kepandaian yang istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat
dengar suara sambarannya dan tahu tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang
besar yang anginnya seperti menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan
kepadanya, ia tetap duduk tetap dan tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya.
Wanyen Lieh berkhawatir sehingga
hampir ia berseru sendirinya.
Tepat
ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya, yang ia
pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di ujung
tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi
pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga.
Hebat kalau jembangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi
jambangan tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar
seperti pancuran, atas mana Kwa Tin Ok buka mulutnya akan menanggapi. Maka
dengangitulah ia menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia geraki
pula tongkatnya, membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia
tidak lagi menunda seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan kaget,
sampai jambangan seperti mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai
menolak tubuh jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan
mana jambangan itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan
itu masih mengasi dengar suara menguwang.
Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa.
“Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako gemar main putaran nenempan!”
kata ia. Sembari bicara, ia sambut jambangan araknya itu.“Diwaktu kecil,
Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis nasi,” sahut Tin
Ok dingin.
“Tentang
seorang gagah tidak ditanya asal usulnya,” berkata si imam. “Sekarang hendak
aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!” Ia lantas menghirup pula satu
segluk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin.
Lam
San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang ada pendiam tak doyan
berbicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, semikian juga kali
nini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat
kayu pikulannya untuk menahan itu sebelum jambangan turun. Kapan kayu pikulan
dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu
pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari
campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat
dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti
menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu
jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok
dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang
aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri.
Habis itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan
pulang!
Belum
lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In Hiap
Coan Kim Hoat, yang terus berkata: “Aku si pedagang kecil suka sekali mendapat
keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunai banyak tenaga untuk turut
minum arak!” Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun
jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar Sembunyai
di kota sudah
turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal. Dengan cepat ia pasang
kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat jambangan itu sudah
terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee.
“Bagus!
Bagus!” Biauw Ciu Sie-seng Cu
Cong memuji seraja ia
goyang-goyang kipasnya.
Tiang
Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. “Bagus! Bagus!”
ia pun turut memuji. “Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu Jieko!”
Belum
lagi jambangan itu dilemparkan, Cu
Cong sudah berjingkrak bangun. “Ayo! Tak dapat!” dia berseru. “Jangan! Aku si
mahasiswa cilik tak punya tenaga kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku
tak dapat memuat segantang arak, maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku
tidak mampus ketindihan, mungkin aku bakal mati karena mabuk…”
Akan
tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan sudah
lantas terbang melayang kearahnya.
“Tolong! Tolong!” dia berteriak-teriak selagi jambangan itu
mengancam padanya. “Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!” Di mulut ia mengoceh tidak karuan, kipasnya tapinya
ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok araknya untuk bawa itu
arak ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia segera menahan
turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi.“Brak!” demikian satu
suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya satu lobang besar ke
dalam mana tubuh si mahasiswa terjeblos masuk di waktu mana terdengar
jeritannya berulang-ulang: “Tolong! Tolong!”
Selagi
jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han Siauw Eng
telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki kanannya,
tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung walet
menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke dalam
jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya
sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis
dipandangnya.
Ahli
pedang Gadis
Wat lihay ilmu pedangnya, enteng
tubuhnya tetapi ia kurang tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan
kelincahan dan kecerdikannya. Ia insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki
kepadanya – gilirannya memang bakal tiba – tidak nanti ia sanggup
menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik ini untuk menengak arak tanpa
tunggu Khu Cie Kee
menyuguhkan kepadanya. Akal cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim
Hoat, Cuma Lauw-sie
In Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie
Kee.
Jambangan
itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang turun ke
luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak terkecuali.
Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang bakal tertimpa
dan menjadi korban.
Berbareng
kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu, guna
mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki itu.Justru
ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus nadanya:
“Sian-cay!” Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha.
Berbareng
dengan puji itu tubuhnya Ciauw
Bok Taysu
lompat melecat menyusuli jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah
hatinya, sekarang ia gunai hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk
korbankan diri, guna menolong siapa yang dapat ditolong dari bencana ketimpa
jambangan itu. Untuk itu ia perlu mendahului jambangan, karena untuk
mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia melakukannya.
Baru
pendeta itu melewati jendela, lain orang telah dalui ia. Itulah seorang dengan
baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul.
Mendengar
siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan besar di
betulan mulut jendela loteng itu.
Semua
mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda bagai
segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh
miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali
keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali
untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng!
Selagi
kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, ialah segumpal daging yang tadi telah
melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda itu,
kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki kanannya
menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda.
Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya
untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia
jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Habis itu, dengan sekali sebat dan
cerdik, ia pondong jambangan untuk dikasih turun dari bebokong kuda, guna
diletaki di lantai loteng. Ia lakukan itu sembari tertawa, tangannya yang
sebelah mengedut les kudanya, atas mana binatang itu sudah lantas lompat lewati
jendela untuk turun ke bawah. Ia sendiri masih bercokol terus di bebokong kuda.
Maka selang sesaat, dengan bergandengan tangan bersama Cu Cong,
sang kakak yang kedua dengan keduanya sambil tertawa, mereka sudah mendaki
loteng untuk kembali ke atas loteng!
Wanyen Lieh menyaksikan semua
semua itu, ia ulur keluar lidahnya.
Ciauw Bok Taysu juga sudah lantas
menyusul naik kembali ke loteng.
Khu Cie Kee tertawa, ia berkata:
“Benar-benar Kanglam
Cit tersohor bukan nama belaka.
Sesuatunya lihay sekali, pinto takluk! Sekarang, dengan memandang Tuan-tuan
bertujuh, pinto tidak hendak mempersulit pula kepada si pendeta, cukup asal dia
suka menyerahkan itu dua orang perempuan yang malang, yang harus dikasihani…”
“Tiang Cun
Cu Totiang,
inilah bagianmu yang tidak benar!” Kwa Tin Ok memotong. “Ciauw Bok
Taysu ini adalah seorang yang
beribadat dari beberpa puluh tahun, dan kuil Hoat Hoa Sin Sie
juga adalah berhala kenamaan dalam kota
Kee-hin ini, maka itu bagaimana bisa jadi taysu dapat menyembunyikan wanita
baik-baik dalam kuil itu?”
“Di kolong langit yang luas itu mesti ada manusia
palsu yang menipu duni!” berkata si imam dengan nyaring.
Han
Po Kie menjadi gusar. “Dengan kata-katamu ini, Totiang, kau jadinya tidak
percaya pada kami?!” tanyanya.
“Aku
hanya lebih mempercayai mataku sendiri!” sahut sang imam.
“Habis
itu apakah yang totiang kehendaki?” Po Kie tanya pula.
“Urusan
sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan-tuan bertujuh,” sahut Cie Kee,
“Akan tetapi Tuan-tuan tampaknya memaksa hendak mencampuri tahu, dengan begitu
teranglah Tuan-tuan terlalu andali kepandaiannya orang-orang lain! Tuan-tuan
pinto tolol, tetapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa pinto mesti mencoba
denganmu untuk menetapkan siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Umpama kata
pinto tak dapat melawan, terserah saja kepadaTuan-tuan, apa saja yang kamu
hendak perbuat!”
“Jikalau
sudah pasti totiang menghendaki demikian, silakan totiang tunjuki caramu!”
bilang Kwa Tin Ok.
Cie Kee berdiam sebentar, ia
perdengarkan suara perlahan. “Kita berdua sebenarnya tak saling dendam,” dia bilang
kemudian. “Pinto juga telah dengar lama yang Tuan-tuan adalah orang-orang yang
gagah mulia untuk wilayah Kanglam, oleh karenanya jikalau kita gunai senjata,
itu pasti bakal merusak kerukunan. Pinto pikir baik diatur demikian saja…”
Lantas ia teriaki si jongos untuk siapkan empatbelas cawan arak yang besar.
Sejak
tadi jongos-jongos umpatkan diri di bawah loteng, begitu dipanggil, lantas satu
diantaranya muncul dengan belasan cangkir yang diminta itu.
Cie Kee letaki jambangan
arak di lantai, lalu satu persatu cawan dia keroboki ke dalam arak itu, untuk
isikan penuh semuanya, sesudah itu, empatbelas cawan terisi arak itu diatur
dalam dua baris di lantai itu.
“Pinto
hendak adu kekuatan minum arak dengan tuan-tuanbertujuh,” katanya kemudian.
“Tuan-tuan bertujuh minum satu cawan, pinto sendiri akan minum tujuh cawan.
Perjanjian kita ialah sampai habisnya isi jambangan ini, siapa yang tidak
sinting, ialah yang menang. Tidakkah
cara ini bagus?”
Han
Po Kie dan Thi
A Seng
adalah tukang tenggak susu macan, mereka mendahului menyatakan akur. Akan
tetapi Kwa Tin Ok berkata: “ Kami bertujuh melawan satu, umpama kami menang,
itu tidaklah cara laki-laki! Totiang,
baiklah kau sebutkan lain cara!”
“Cara bagaimana tuan dapat merasa demikian pasti akan
memperoleh kemenangan?” Tiang Cun Cu tegaskan.
Wanyen Lieh pun heran sekali. Banyak cara
untuk adu pibu, - adu kepandaian – belum pernah ia dengar cara
seperti itu. Taruh kata si imam kuat minum tetapi berapakah besar perutnya?
Dapatkah satu perutnya melawan perut tujuh orang?
Han Siauw Eng adalah yang termuda
diantara Kanglam
Cit Koay,
ia pun polos dan bersikap jantan, atas perjanjiannya si imam, ia tidak menawar
lagi.
“Baiklah!”
demikian katanya, “Mari kita adu minum
arak dulu! Belum pernah aku mendapati orang yang begitu memandang enteng kepada
kami bertujuh, dan inilah yang pertama kali!” Dan
tanpa bersangsi lagi, ia jemput satu cawan dan jegluk isinya.
“Nona
Han adalah jantannya wanita!” Khu Cie
Kee puji nona itu. “Nah, Tuan,
Silakan!”Hampir berbareng enam manusia aneh lainnya dari Kanglam itu angkat
cawannya masing-masing dan mengiringnya seperti saudara angkat mereka yang
bungsu, sedang si imam pun tanpa banyak omong lagi, tenggak kering satu demi
satu tujuh cawan bagiannya.
Lalu
semua cawan diisi pula, lantas semua itu di cegluk habis!
Setelah
cawan yang ketiga, Nona
Han Siauw
Eng segera merasakan bahwa ia
bakal tak sanggup minum terlebih jauh. Ia memang bukan tukang minum.
“Citmoay,
mari kau wakilkan kau!” berkata Thio A
Seng kepada adik angkatnya yang ketujuh itu, yang ia lihat sudah lelah.
“Khu Totiang,
boleh tidak aku diwakilkan?” tanya si
nona kepada si imam. Sebagai satu jantan, ia menanyakan dulu pikirannya si imam
itu.
“Akur!”
jawab Khu Cie Kee.
“Siapa juga yang meminumnya sama aja!”
Maka
itu, A Seng lantas wakilkan adiknya.
Si
imam juga tenggak habis tujuh cawannya.
Kapan
hendak dilanjuti giliran yang lain, Coan Kim Hoat tampaknya sudah kewalahan. Khu Cie
Kee sebaliknya. Duapuluh cawan
telah ditenggak kering, ia masih segar seperti
biasa, air mukanya takberubah. Maka heranlah Kim Hoat
yang cerdik itu.
“Dengan
jebolnya aku dan citmoay, kita tinggalberlima,” ia berpikir. “Kelihatannya
untuk mereka minum lagi tiga atau empat cawan, mereka tentu masih sanggup.
Dengan si imam, apakah ia masih bisa menghabisi lagi duapuluh cawan?”
Oleh karena ia pikir begini, Kim Hoat
percaya pihaknya bakal menang. Tetapi tiba-tiba saja ia terperanjat. Kebetulan
ia melihat ke lantai, ia tampak lantai dimana si imam berdiri menjadi basah.
Ia lantas ingat sesuatu, ia segera bisiki Cu Cong,
“Jieko, coba lihat kakinya si imam!”Cu Cong
memandang ke tempat yang ditunjuki. “Hebat!” ia inipun berbisik. “Ia gunai
tenaga dalamnya memaksa arak turun ke kakinya…”
“Benar,”
Kim Hoat berbisik pula. “Begini lihay tenaga
dalamnya, habis bagaimana?”
Cu Cong jadi berpikir.
“Dengan dibantu tenaga dalamnya, lagi seratus cawan dia minum, dia tidak bakal
rubuh….” katanya.
Mereka
itu sudah keringi pula cawan mereka yang lainnya. Sekarang lantai di kakinya Khu Cie
Kee tertampak barang cair
mengembang dan mengalir. Lam Hie Jin dan kawan-kawannya dapat lihat itu. Mereka
tahu sebabnya itu, mereka kagumi si imam untuk tenaga dalamnya yang sempurna
itu.
Han
Po Kie letaki cawannya di meja, hendak ia menyerah kalah.
Cu Cong lihat perbuatan
adiknya itu, ia lantas mengedipi mata, tangannya sendiri menyambar satu cawan
yang besar, untuk di pakai itu menyendok arak.
“Khu Totiang,”
ia berkata, “Hebat tenaga dalammu, kami semua sangat mengaguminya, akan tetapi
dengan kami berlima melayani kamu, itu rasanya tidak terlalu adil…”
Cie Kee melengak. “Habis Cu
Jieko memikir bagaimana?” dia tanya.
Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay
tertawa. “Baiklah aku sendiri yang layani kau, satu lawan satu!” sahutnya.
Cie Kee heran, begitu juga
dengan pihak Kanglam
Cit Koay.
Lima orang
sudahke teter, bagaimana dia ini hendak melawan sendirian? Keenam Manusia
aneh menjadi heran, meskipun mereka tahu ini saudara yang kedua sangat cerdik
dan licin. Mereka berdiam, tetapi mereka duga saudara ini tentu ada akal
muslihatnya.
“Kanglam Cit Koay
sungguh hebat,” kata Cie
Kee kemudian. “Sekarang begini
saja. Cu Jieko, kau temani aku minum terus, setelah
kandasnya ini jambangan , akan pinto menyerah kalah. Tidakkah ini bagus?”
Arak di dalam jambangan
perunggu itu tinggal separuh, meski begitu, isi itu masih banyak, akan tetapi Cu Cong
seperti tidak pedulikan itu. Begitulah ia menantang. Ia tertawa ketika ia
berkata: “Sebenarnya aku tidak kuat minum akan tetapi tempo tahun lalu aku
pesiar ke daerah Selatan, di sana
aku pernah menangkan beberapa makhluk yang lihay. Mari
keringkan!”
Ia
goyang-goyang kipasnya di tangan kanan, ujung bajunya yang kiri pun dikibaskan,
dengan sikap wajar itu, ia minum araknya, cawan demi cawan.
Cie Kee turut minum juga.
“Apakah itu mahkluk yang lihay?” ia tanya.
“Satu
kali aku telah pergi ke India,”
sahut Cu Cong. “Di sana putra raja India seret keluar seekor lembu,
dia menghendaki aku lawan kerbau itu minum arak yang keras. Kesudahannya akulah
yang menang!”
“Cis!” Cie
Kee kasih dengar suaranya. Ia tahu
orang bicara ngaco, dengan itu dia dicaci sebagai kerbau. Dimana orang
berpura-pura edan-edanan, tak dapat ia bergusur.
Ia heran juga menyaksikan orang kuat minum dan sikapnya tenang. Ia
telah perhatikan, orang bukannya mengerahkan tenaga dalam, tidak ada arak yang
merembas keluar.Hanya rada aneh, perut si Manusia aneh rada
melendung.“Mustahilkah perutnya bisa kempas dan bisa kembang, bisa dibuat
main?” ia berpikir.
Selagi ia tetap belum mengerti, ia dengar orang berkata-kata
pula.“Pada tahun dulu aku telah pergi ke negeri Siam,” kata Cu Cong
itu. “Ah, di sini lebih hebat lagi! Raja Siam telah suruh keluarkan seekor
gajah putih yang besar, aku disuruh lawan gajah itu minum arak! Binatang dogol
itu telah sedot habis tujuh jambangan! Totiang tahu, berapa jambangan aku
tenggak habis?”
Tiang Cun Cutahu orang bergurau,
hanya orang bicara secara wajar sekali, sikapnya menarik hati. “Berapa
jambangan?” dia tanya sekenanya.
Dengan
tiba-tiba saja wajah Cu
Cong menjadi sungguh-sungguh.
“Sembilan jambangan!” katanya, perlahan tetapi mengesankan. Ia tidak tunggu
sampai orang membilang atau menunjukkan sesuatu apa, terus ia sambungi dengan
nyaring: “Mari minum! Lekas, lekas!”
Lantas
setelah itu, ia ngoceh pula, kaki dan tangannya digerak-geraki, saban-saban ia
tenggak araknya. Dikatakan mabuk, ia tidak sinting, dikatak gila, ia tidak
angot.
Tentu
saja, selama itu Khu
Cie Kee
mesti layani orang minum, hingga akhirnya jambangan arak itu nampak dasarnya!
Imam itu segera tunjuki
jempolnya. “Saudara Cu, kau benar satu manusia aneh!” serunya. “Aku menyerah!”
Cu Cong awasi imam itu, ia
tertawa. “Totiang minum dengan andalkan tenaga dalam,” katanya. “Aku?
Lihatlah!”
Ia
tertawa pula, bergelak-gelak lalu dengan sekonyong-konyongia lompat jumpalitan
ketika ia telah berdiri pula,tangannya mencekal sebuah tahang air, kapan tahang
air itu ia balingkan, bau arak tersiar menyampok hidung!
Orang
kedua dari Kanglam
Cit Koay
sudah perlihatkan kelihayannya. Disitu ia berhadapan dengan orang lihay akan
tetapi tidak ada seorang juga yang lihat darimana ia sembatnya tahang air itu!
perutnya tinggal kempes, sebab semua arak pindah ke dalam tahang air ini, yang
sekian lama disembunyikan di bawah jubahnya yang gerombongan.
Wajahnya Khu Cie Kee menjadi berubah.
Cu Cong pandai mencuri dan
mencopet, maka itu ia digelar sebagai Biauw Ciu Sie-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay.
Dengan”Tangan
Lihay” itu diartikan lihay
mencopetnya. Kepandaiannya itu menyembunyikan tahang air adalah kepandaian umum
di kalangan tukang sulap Tiongkok, suatu ilmu kepandaian turun temurun yang
hingga kini telah membuat kagum orang di Eropa dan kepulauan selatan. Mungkin
pembaca pernah menyaksikan pertunjukkan sulap semacam itu. Satu kali ia jungkir
balik, ditangannya ada sepelas ikan emas, dua kali ia jungkir balik di atas
pentes tambah semangkok air tawar, air mana dapat ditambah menjadi banyak. Dan Cu
Cong sekarang mengacau matanya
Tiang Cun Cu dengan ilmu kepandaiannya itu. Tentu saja si imam tidak menyangka
orang bergurau secara demikian, ia jadi kena dipermainkan.
“Ah!”
seru si imam kemudian. “Kepandaianmu ini toh tak dapatdibilang orang minum
arak?!”
“Kau
sendiri, Totiang, apakah kau juga minum arak?”si Manusia aneh membaliki.
“Arakku
kumpul di dalam tahang, arakmu kumpul dilantai! Ada apakah perbedaannya?” ia lantas jalan
mundar-mandir sampai ia kena injak lantai yang basah dengan araknya Khu Cie
Kee, di situ ia terpeleset,
tubuhnya rubuh membentur tubuhnya si imam.
Khu Cie Kee segera
menyambaruntuk pegangi tubuhnya orang itu.
Setelah
dapat berdiri pula, CuCong lompat mundur, terus ia putar tubuhnya, sembari
berputaran, mulutnya perdengarkan suara: “Syair yang bagus, syair yang bagus!
Sejak jaman purbakala di pertengahan musim rontok…..rembulan gilang gemilang…..Di Waktu tibanya angin yang sejuk…malam yang jernih
terang……..Suatu hari…….udara membuatnya. Jalan susu bagaikan tenggelam….Ikan
dan naga diempat penjuru lautan…….mentereng seperti siluman air………”
Panjang
nada syairnya. Khu
Cie Kee
heran hingga ia melengak.
“Itulah
syairku yang kutulis di harian Tiong Ciu tahun yang lalu, yang masih belum
selesai,” katanya di dalam hatinya. “Syair itu aku simpan, niatku adalah untuk
nanti meyambunginya, belum pernah aku perlihatkan orang syairku itu, mengapa
sekarang ia dapat mengetahuinya….?”
Lantas
ia merogoh ke sakunya, untuk cari syairnya itu, tapi ia melengak pula. Tak ada
syair itu didalam sakunya itu!
Cu Cong seperti tidak ambil
mumat orang terheran-heran, ia membeber kertas di atas meja. Itulah kertas
bermuatkan syair yang baru ia bacakan.
“Totiang
lihay ilmu silatnya, tidak kusangka, kau juga pandai ilmu surat!” katanya memuji, “Sungguh aku
kagum….!”
“Bagus!”
seru Cie Kee yang mengerti bahwa benar-benar ia
telah dipermainkan orang. Tentu saja ia sangat penasaran yang orang telah copet
syairnya itu tanpa ia merasa, “Kau benar-benar lihay! Sekarang pinto ingin
mohon pengajaran…!”
Rupanya
barusan selagi ia pura-pura terpeleset, selagi si imam pegangi dia, Biauw Ciu
Sie-seng gunai ketikanya untuk rogoh kantung si imam.
Tidak
tempo lagi, sebelah tangan si imam melayang.
Cu Cong berkelit ke samping.
“Totiang, benarkahkau berniat mencari keputusan dengan kepalan dan kaki?” ia
menegasi.
“Benar!”
sahut si imam memberikan kepastian. Dan
menyerang pula, kali ini tiga kali beruntun serangannya itu,anginnya mendesir.
Thio A Seng lihat saudaranya
sangat terdesak, sampai saudara itu sulit membela dirinya, ia lompat untuk
menghalang, sambil berlompat., ia menyerang ke dadanya si imam. Khu Cie
Kee dapat lihat serangan itu, ia
lantas menangkis.
Bukan
main kagetnya Siauw
Mie To si Buddha
tertawa. Tangkisan si imam itu membuat tangannya sakit dan gemetaran, rasanya
baal. Inilah lawan tangguh yang pertama kali iapernah ketemukan.
Coan Kim Hoat bisa duga perasaan
saudaranya itu. “Totiang, harap kau tak katakan kami tak tahu aturan!” ia
berkata sambil ia menggapekan kepada Lam Hie Jin dan Han Siauw
Eng, seraya ia melompat maju untuk
menyerang.
Lam
San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan dan
Wan Lie Kiam si Gadis Watsudah lantas taati ajakannya saudaranya itu, Manusia Aneh
yang keempat.
“Kamu
majulah berdelapan!” menentang Tiang Cun Cu menyaksikan orang pada turun
tangan.
“Jangan
mengepul!” Kwa Tin Ok kata dengan dingin.
Khu
Cie Kee tidak gubris sindiran itu, ia menyerang Lam Hie Jin dengan sebelah
tangan kirinya, atas mana Lam San Ciauw-cu menangkis dengan kedua tangannya,
yang dibawa ke depan dadanya. Hebat tangkisannya ini.
“Lam Sieya sungguh lihay!” si imam memuji mendapatkan tangkisan
itu. Tapi justru itu sekonyong-konyong wajahnya berubah. Ia pun segera berseru
dengan ejekan: “Bagus betul, kamu masih menjanjikan bantuan!
Biar di sana
ada ribuan tentera dan tidak pandang itu di matanya!“Thio A Seng merasa pihaknya diejek. “Kita ada
tujuh bersaudara!” ia bilang. “Untuk apa menjanjikan bantuan lagi?!”
Kwa
Tin Ok tidak berpikir seperti saudaranya yang kelima itu. Ia cacat mata akan
tetapi kupingnya awas bukan main. Ia telah mendengar puluhan orang berlari-lari
mendatangi ke restoran itu, suara mana tercampur suara bentrokkannya
senjata-senjata tajam. Maka ia lompat berdiri.
“Semua
mundur!” ia berseru. “Siapakan senjata!”
Thio A Seng semua segera lari
balik ke tempat duduknya masing-masing, untuk ambil senjata mereka
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar