Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 4



Bab 4. Mengadu Kepandaian

Sembari bernyanyi si mahasiswa melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baharu berhentilah ia merogoh sakunya. 
Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak kepalang.“Dia Cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?” demikian ia berpikir tak habis herannya. “Sungguh kepandaian yang lihay……..”
Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. “Jiko, hari ini kau beruntung!” serunya. “Tidak tahu siapa yang apes malang….”
Si mahasiswa melarat itu pun tertawa. “Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk yang kau telah ketahui!” katanya.

“Oh, aku tahu!” sahut si nona. “Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?”Mahasiswa itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. “Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunai!” katanya. Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak-bahak.
Wanyen Lieh heran bukan kepalang. “Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali, cara bagaimana ia masih mengenali aku?” dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia gapekan pelayan untuk bisiki padanya: “Semua tuan-tuan ini akulah yang undang berjamu…” Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letaki di atas meja. “Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!” katanya pula.
Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. “Saudara-saudara ada orang yang mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!”
Si mahasiswa menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: “Mana si wanita baik-baik yang kau perdayakan?”
Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya tetapi berkerja. Di situ ada sembilan buah meja, sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan rumah?
Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.
Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng: “Amitabha Buddha!” Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng.
“Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!” seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam kawannya: Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk menyambut orang yang baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar.
“Ambithaba Buddha!” kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama munculnya satu tubuh kurus kering bagaikan pohon mampus, tetapi yang tindakannya cepat pesat seperti ia tidak menginjak lantai.
Wanyen Lieh melihat satu pendeta usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah kasee merah dengan lapis dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang sepotong kayu, yang ujungnya telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa faedahnya puntung kayu itu.
Pendeta itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur, habis itu si mahasiswa melarat pun pimpin tetamunya ke sebuah meja yang kosong untuk silahkan ia duduk.
Si hweshio menjura, dia berkata: “ Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur lebur, tak dapat siauwceng membalasnya.”
Pendeta itu ialah Ciauw Bok Taysu, merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya “siauwceng” si pendeta yang kecil rendah.
“Harap kau tidak sungkan, Ciauw Bok Taysu,” berkata si buta. “Kami tujuh bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa melimpahkan kebaikan terhadap kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli kepandaiannya, tanpa sebab tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu. Dengan perbuatannya itu, mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini? Karena kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara pasti tak mau sudah saja…”
Belum lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara yang sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu bukan suara gajah tetapi sedikitnya kerbau…. Menyusul itu pun lantas terdengar suara kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya: “Benda begitu berat mana dapat dibawa naik ke atas…! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol…! Lekas, lekas cegah dia, jangan kasih dia naik!”
Suara berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan undakan tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan lainnya.
Bagaikan orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu tojin, satu imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar sekali, yang mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan begitu – rupanya – tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan untuk kagetnya putra raja Kim ini, ia kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee atau Tiang Cun Cinjin!
Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya menjadi utusan bangsa Kim ke Tionggoan, kepada kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu dia sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah waktunya ia turun tangan. Utusan Song yang datang dari Yankhia menemani dia sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima sogokan besar dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan menakluk dan menjadi hambanya kerajaan Kim.
Dan menteri yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh adalah Perdana Menteri Han To Cu. Girang sekali ini putra raja Kim menampak ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang paling keras kepala hendak melawan negara Kim. Yang pertama ia ingin singkirkan adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip-eng-thian dan pengurus Ciong-yu-koan. Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas pemerintahan, ia hanya pandai silat dan surat berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia sangat mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti semula, sedang rakyat umumnya mengandal padanya. Kalau Han To Cu anggap paling baik mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu. Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat menyandak Khu Cie Kee di Gu-kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh yang terlalu tangguh untuk mereka. Wanyen Lieh sendiri belum sampai turun tangan atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia tak dapat lolos seperti orang-orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek Yok. Ia lari ke istananya Han To Cu, untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis, meskipun sebagai putra raja, ia telah melihat banyak wanita elok. Setelah sembuh dari lukanya, ia perintahkan orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu, sesudah itu, ia minta Han To Cu mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri menyamar sebagi orang baik-baik sebagai penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-sie tidak tahu akal muslihat orang, ia menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka ia mengikuti, maka di luar tahunya sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman putra raja Kim itu.Demikian Wanyen Lieh, bukan main kagetnya ia akan tengok Khu Cie Kee, sampai ia tak dapat menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh sepasang sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali padanya, sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia sudah lantas jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok Taysu serta tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu.
Lega juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam tidak perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya dilain pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu yang dibawa-bawa si imam itu. Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, yang sekarang diisikan penuh dengan arak, hingga beratnya bertambah, melainkan di tangan si imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunai tenaga. Akan tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawah loteng, orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak terkecuali si kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-koki. Semua mereka itu khawatir loteng ambruk dan mereka nanti ketimpa.
“Benar-benar toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!” terdengar suaranya Ciauw Bok Taysu keras tetapi dingin. “Sekarang mari siauwceng perkenalkan dahulu kau dengan Kanglam Cit Koay!”
Khu Cie Kee menjura membungkuk tubuh. “Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu,” ia berkata , “Disana ada pesan untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui Sian Lauw ini untuk membuat pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin taysu mengundang sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama pinto dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nayatalah pengharapanku seumur hidup telah kesampaian.”
Ciauw Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya yang ia sebutkan Kanglam Cit Koay itu – Tujuh Manusia aneh dari kanglam – dan menunjuk kepada si imam, ia memperkenalkan: “ Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee yang tuan-tuang telah lama kagumi nama besarnya!” Kemudian tanpa tunggu sesuatu dari Kanglam Cit Koay itu seraya menunjuki si buta melanjuti: “Inilah tertua dari Cit Koay, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan ini ialah….”
Lalu dengan terus-terusan ia perkenalkan enam orang lainnya, selama mana, selama ia menyebutkan setiap nama Khu Cie Kee menjura kepada orang-orang yang diperkenalkan itu.
Selagi orang diajar kenal, Wanyen Lieh memasang kuping dan matanya, ia kerjakan otaknya akan mengingat baik-baik nama Kanglam Cit Koay itu. Selain Kwa Tin Ok yang berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua ialah si mahasiswa melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, Mahasiswa Tangan Lihay. Orang yang datang paling dulu ke restoran yaitu si kate terokmok yang menunggang kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia inilah yang tiga. Si orang tani yang membawa-bawa pikulan adalah orang yang keempat, ialah Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan). Yang kelima yang tubuhnya kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie To Thio A Seng atau si Buddha Tertawa. Yang keenam adalah orang yang mirip pedagang, namanya Coan Kim Hoat, gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona nelayan adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang Gadis Wat, ialah yang termuda dari Kanglam Cit Koay.
Selama Ciauw Bok Taysu memperkenalkan, Khu Cie Kee tetap pegangi tempat araknya yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, dia-diam mendaki loteng untuk bicara. Katanya: “Kami menonton”
Habis perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk berbicara, “Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu silat tangan kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga kami sangat mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok Taysu juga adalah satu sahabat sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang berbedaan, satu Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-orang Rimba Persilatan. Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu telah berbuat salah terhadap Totiang? Umpama kata Totiang sudi memandang muda kami bertujuh saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya perselisihan dapat disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau Totiang?”
“Sebenarnya pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita juga tidak punya dendaman dan tidak punya permusuhan,” menyahut Khu Cie Kee, “Oleh karena itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah lain hari akan pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan maaf.”
“Siapakah orang yang harus diserahkan?” tanya Kwa Tin OK.
“Dua sahabatku,” sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. “Mereka telah difitnah dan dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak beruntung untuk mereka, mereka telah mendapatkan kebinasaannya hingga mereka mesti meninggalkan janda mereka yang tidak ada lagi sanderannya, hingga mereka mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak permintaan pinto ini?”
“Jangan kata mereka adalah jandanya sahabat-sahabat totiang,” sahut si buta, “Walaupun mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui perkaranya itu, pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolongi mereka, Untuk itu kami tak bakal menampik lagi.”
“Jelas!” seru si imam. “Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok taysu menyerahkan itu dua orang wanita yang bersengsara dan harus dikasihani itu!”
Mendengar itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh si putra raja Kim itu.
“Mustahilkah dia bukannya menyebutkan istri-istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian atau wanita yang lain?” berpikir putra raja asing ini.
Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning pucat, tak dapat ia membuka mulut. “Kau…kau…ngaco belo!” serunya kemudian.
Khu Cie Kee menjadi gusar. “Kau juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan, bagaimana kau berani melakukan kejahatan semacam ini?” ia menegur dengan bengis. Lantas ia ayun tangan kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu yang beratnya ratusan kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta.
Semua orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam pada lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga loteng.
Di antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar, percaya ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw Bok Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua tangannya sambil berbuat mana ia berseru: “Bagus!” Akan tetapi dia mesti pasang kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit.
Di dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang Cun Cu. Itulah gerakan “Twie chong bong goat” – “Menolak daun jendela untuk memandangi si putri malam”.
Khu Cie Kee ulur tangan kanannya, dengan tenang ia menyambuti. “Kanglam Cit Koay bukan bernama kosong saja!” ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa sebentar, segera wajahnya menjadi bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta dan membentak dengan pertanyaan: “Bagaimana denagn dua wanita yang bercelaka itu? Hai, pendeta jahanam, jikalau kau ganggu selembar saja rambut mereka itu, akan aku patah-patahkan hingga menjadi abu semua tulang-tulangmu dan akan bakar musnah hingga menjadi tanah putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!”

Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai kata-kata imam itu. “Ciauw Bok Taysu adalah satu pendeta beribadat,” katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan kepalanya di geleng-geleng. “Cara bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji itu? Totiang, mestinya kau telah keliru dengar omongannya segala manusia rendah! Itu ngaco belo, pasti tak dapat dipercaya!”Khu Cie Kee menjadi mendongkol. “Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri, bagaimana bisa jadi dusta?!” dia berkata.
Kanglam Cit Koay melengak semuanya.
“Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk angkat namamu,” akhirnya Ciauw Bok Taysu dapat buka mulutnya, “Kenapa untuk itu kau mesti menodai nama baikku?
Kau…kau…kau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk menyelidiki! Mana bisa aku, Ciauw Bok Taysu, melakukan perbuatan semacam itu?!”Cie Kee tertawa mengejek. “Bagus betul yah!” katanya dingin, “Kau telah undang banyak kawan, kau memikir menggunai jumlah yang banyak untuk mendapatkan kemenangan! Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!”
“Sabar Totiang!” Kwa Tin Ok memotong. “Totiang menuduh Taysu menyembunyikan kedua nyonya itu, Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari kita bersama pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan siapa sebenarnya yang benar, siapa yang salah! Mataku menang tidak dapat melihat akan tetapi orang-orang di sini tidak buta semuanya“
Cu Cong berenam memberikan persetujuan mereka.
“Apa? Menggeledah kuil?” kata Khu Cie Kee dengan tawar. “Pinto sudah menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa kali, tetapi walaupun pinto melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu masuk ke situ, buktinya mereka tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak ada jalan lain daripada si pendeta serahkan mereka itu!”
“Jadinya dua wanita itu bukannya manusia!” berkata Cu Cong.
Khu Cie Kee melengak. “Apa” katanya.
Dengan sikapnya yang wajar, Cu Cong menyahuti: “Mereka itu ada bangsa dewi, jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah menyingkir dengan ilmu pinjam tanah!”

Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum.Imam itu menjadi gusur. “Bagus! Kamu permainkan aku!” dia berseru. “Kanglam Cit Koay pasti membantu pihak si pendeta, bukankah?”
Kwa Tin Ok jawab imam itu; “Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka ynag kenal kami semua dapat mengatakan sepatah kata: ‘Walaupun Kanglam Cit Koay sedan-edanan lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus.’ Kamu tidak berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan orang lain perhina kami!”
Khu Cie Kee tidak ingin layani tujuh orang aneh dari Kanglam itu. “Perkaraku dengan si pendeta, biarlah aku yang bereskan sendiri!” katanya kemudian. “Maafkan pinto, tidak dapat pinto temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari pergi!”
Ia pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha itu.
Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun lengannya, ia lolos dari cekalan si pendeta.
Ma Ong Sin Ho Po Kie bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai kekerasan.
“Sebenarnya kau hendak gunai aturan atau tidak?” dia tegur si imam.
“Habis bagaimana, Han Samya?” imam itu membalik bertanya.
“Kami percaya habis Ciauw Bok Taysu, satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!“ kata Cit Koay yang ketiga itu. “Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat bicara dusta?!”
Cie Kee nampaknya habis sabarnya. “Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!” dia berkata. “Tuan-tuan bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah itu?”
“Tidak salah!” sahut Cit Koay serempak.
“Baik!” seru si imam. “Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh dengan seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-tuan geraki tanganmu!”
Habis berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu, dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan.
“Silahkan!” katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya kepada Siauw Mie To Thio A Seng.
Si Buddha tertawa sudah lantas berpikir.
“Jikalau aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di atasan kepalaku, cara bagaimanaaku dapat meminumnya?” demikian katanya dalam hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas mundur dua tindak, kedua tangannyaditaruh di depan dadanya. Tepat ketika jambangan menyambar ke dadanya, ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh terokmok, dadanya itu penuh dengan daging yang lembek, tetapi tempo jambangan itu sampai, ia kerahkan tenata dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua dadanya itu, berbareng dengan mana kedua tangannya bergerak untuk memeluk jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke dalam jambangan, menghirup arak di dalamnya!
“Oh, arak yang harum!” dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia pindahkan kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan gerakannya, “Sia ciang ie san” atau “Sepasang tangan memindahkan bukit”. Maka melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan kepalang besarnya.
Wanyen Lieh menyaksikam itu dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah menyaksikan suatu gerakan tenaga dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay sekali.
Khu Cie Kee dengan tenang sambuti pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula.
“Sekarang aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!” ia berkata pula, berbareng dengan mana jambanganarak itu dilemparkan ke arah si buta.
Wanyen Lieh heran dan berkhawatir pula, tapi juga keras keinginan tahunya. “Cara bagaimana dia dapat menyambutnya?” ia berpikir. “Sudah buta ia pun pincang….”
Kwa Tin Ok ada tertua Kanglam Cit Koay, pasti ada punya kepandaian yang istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat dengar suara sambarannya dan tahu tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang besar yang anginnya seperti menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan kepadanya, ia tetap duduk tetap dan tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya.
Wanyen Lieh berkhawatir sehingga hampir ia berseru sendirinya.
Tepat ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya, yang ia pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di ujung tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga. Hebat kalau jembangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi jambangan tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar seperti pancuran, atas mana Kwa Tin Ok buka mulutnya akan menanggapi. Maka dengangitulah ia menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia geraki pula tongkatnya, membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia tidak lagi menunda seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan kaget, sampai jambangan seperti mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai menolak tubuh jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan mana jambangan itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan itu masih mengasi dengar suara menguwang.
Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa.
“Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako gemar main putaran nenempan!” kata ia. Sembari bicara, ia sambut jambangan araknya itu.“Diwaktu kecil, Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis nasi,” sahut Tin Ok dingin.
“Tentang seorang gagah tidak ditanya asal usulnya,” berkata si imam. “Sekarang hendak aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!” Ia lantas menghirup pula satu segluk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin.
Lam San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang ada pendiam tak doyan berbicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, semikian juga kali nini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat kayu pikulannya untuk menahan itu sebelum jambangan turun. Kapan kayu pikulan dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri. Habis itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan pulang!
Belum lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat, yang terus berkata: “Aku si pedagang kecil suka sekali mendapat keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunai banyak tenaga untuk turut minum arak!” Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar Sembunyai di kota sudah turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal. Dengan cepat ia pasang kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat jambangan itu sudah terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee.
“Bagus! Bagus!” Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong memuji seraja ia goyang-goyang kipasnya.
Tiang Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. “Bagus! Bagus!” ia pun turut memuji. “Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu Jieko!”
Belum lagi jambangan itu dilemparkan, Cu Cong sudah berjingkrak bangun. “Ayo! Tak dapat!” dia berseru. “Jangan! Aku si mahasiswa cilik tak punya tenaga kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku tak dapat memuat segantang arak, maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku tidak mampus ketindihan, mungkin aku bakal mati karena mabuk…”
Akan tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan sudah lantas terbang melayang kearahnya.

“Tolong! Tolong!” dia berteriak-teriak selagi jambangan itu mengancam padanya. “Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!” Di mulut ia mengoceh tidak karuan, kipasnya tapinya ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok araknya untuk bawa itu arak ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia segera menahan turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi.“Brak!” demikian satu suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya satu lobang besar ke dalam mana tubuh si mahasiswa terjeblos masuk di waktu mana terdengar jeritannya berulang-ulang: “Tolong! Tolong!”
Selagi jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han Siauw Eng telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki kanannya, tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung walet menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke dalam jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis dipandangnya.
Ahli pedang Gadis Wat lihay ilmu pedangnya, enteng tubuhnya tetapi ia kurang tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan kelincahan dan kecerdikannya. Ia insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki kepadanya – gilirannya memang bakal tiba – tidak nanti ia sanggup menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik ini untuk menengak arak tanpa tunggu Khu Cie Kee menyuguhkan kepadanya. Akal cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim Hoat, Cuma Lauw-sie In Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie Kee.
Jambangan itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang turun ke luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak terkecuali. Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang bakal tertimpa dan menjadi korban.
Berbareng kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu, guna mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki itu.Justru ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus nadanya: “Sian-cay!” Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha.
Berbareng dengan puji itu tubuhnya Ciauw Bok Taysu lompat melecat menyusuli jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah hatinya, sekarang ia gunai hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk korbankan diri, guna menolong siapa yang dapat ditolong dari bencana ketimpa jambangan itu. Untuk itu ia perlu mendahului jambangan, karena untuk mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia melakukannya.
Baru pendeta itu melewati jendela, lain orang telah dalui ia. Itulah seorang dengan baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul.
Mendengar siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan besar di betulan mulut jendela loteng itu.
Semua mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda bagai segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng!
Selagi kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, ialah segumpal daging yang tadi telah melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda itu, kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki kanannya menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda. Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Habis itu, dengan sekali sebat dan cerdik, ia pondong jambangan untuk dikasih turun dari bebokong kuda, guna diletaki di lantai loteng. Ia lakukan itu sembari tertawa, tangannya yang sebelah mengedut les kudanya, atas mana binatang itu sudah lantas lompat lewati jendela untuk turun ke bawah. Ia sendiri masih bercokol terus di bebokong kuda. Maka selang sesaat, dengan bergandengan tangan bersama Cu Cong, sang kakak yang kedua dengan keduanya sambil tertawa, mereka sudah mendaki loteng untuk kembali ke atas loteng!
Wanyen Lieh menyaksikan semua semua itu, ia ulur keluar lidahnya.
Ciauw Bok Taysu juga sudah lantas menyusul naik kembali ke loteng.
Khu Cie Kee tertawa, ia berkata: “Benar-benar Kanglam Cit tersohor bukan nama belaka. Sesuatunya lihay sekali, pinto takluk! Sekarang, dengan memandang Tuan-tuan bertujuh, pinto tidak hendak mempersulit pula kepada si pendeta, cukup asal dia suka menyerahkan itu dua orang perempuan yang malang, yang harus dikasihani…”
“Tiang Cun Cu Totiang, inilah bagianmu yang tidak benar!” Kwa Tin Ok memotong. “Ciauw Bok Taysu ini adalah seorang yang beribadat dari beberpa puluh tahun, dan kuil Hoat Hoa Sin Sie juga adalah berhala kenamaan dalam kota Kee-hin ini, maka itu bagaimana bisa jadi taysu dapat menyembunyikan wanita baik-baik dalam kuil itu?”
“Di kolong langit yang luas itu mesti ada manusia palsu yang menipu duni!” berkata si imam dengan nyaring.
Han Po Kie menjadi gusar. “Dengan kata-katamu ini, Totiang, kau jadinya tidak percaya pada kami?!” tanyanya.
“Aku hanya lebih mempercayai mataku sendiri!” sahut sang imam.
“Habis itu apakah yang totiang kehendaki?” Po Kie tanya pula.
“Urusan sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan-tuan bertujuh,” sahut Cie Kee, “Akan tetapi Tuan-tuan tampaknya memaksa hendak mencampuri tahu, dengan begitu teranglah Tuan-tuan terlalu andali kepandaiannya orang-orang lain! Tuan-tuan pinto tolol, tetapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa pinto mesti mencoba denganmu untuk menetapkan siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Umpama kata pinto tak dapat melawan, terserah saja kepadaTuan-tuan, apa saja yang kamu hendak perbuat!”
“Jikalau sudah pasti totiang menghendaki demikian, silakan totiang tunjuki caramu!” bilang Kwa Tin Ok.
Cie Kee berdiam sebentar, ia perdengarkan suara perlahan. “Kita berdua sebenarnya tak saling dendam,” dia bilang kemudian. “Pinto juga telah dengar lama yang Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah mulia untuk wilayah Kanglam, oleh karenanya jikalau kita gunai senjata, itu pasti bakal merusak kerukunan. Pinto pikir baik diatur demikian saja…” Lantas ia teriaki si jongos untuk siapkan empatbelas cawan arak yang besar.
Sejak tadi jongos-jongos umpatkan diri di bawah loteng, begitu dipanggil, lantas satu diantaranya muncul dengan belasan cangkir yang diminta itu.
Cie Kee letaki jambangan arak di lantai, lalu satu persatu cawan dia keroboki ke dalam arak itu, untuk isikan penuh semuanya, sesudah itu, empatbelas cawan terisi arak itu diatur dalam dua baris di lantai itu.
“Pinto hendak adu kekuatan minum arak dengan tuan-tuanbertujuh,” katanya kemudian. “Tuan-tuan bertujuh minum satu cawan, pinto sendiri akan minum tujuh cawan. Perjanjian kita ialah sampai habisnya isi jambangan ini, siapa yang tidak sinting, ialah yang menang. Tidakkah cara ini bagus?”
Han Po Kie dan Thi A Seng adalah tukang tenggak susu macan, mereka mendahului menyatakan akur. Akan tetapi Kwa Tin Ok berkata: “ Kami bertujuh melawan satu, umpama kami menang, itu tidaklah cara laki-laki! Totiang, baiklah kau sebutkan lain cara!”
“Cara bagaimana tuan dapat merasa demikian pasti akan memperoleh kemenangan?” Tiang Cun Cu tegaskan.
Wanyen Lieh pun heran sekali. Banyak cara untuk adu pibu, - adu kepandaian – belum pernah ia dengar cara seperti itu. Taruh kata si imam kuat minum tetapi berapakah besar perutnya? Dapatkah satu perutnya melawan perut tujuh orang?
Han Siauw Eng adalah yang termuda diantara Kanglam Cit Koay, ia pun polos dan bersikap jantan, atas perjanjiannya si imam, ia tidak menawar lagi.
“Baiklah!” demikian katanya, “Mari kita adu minum arak dulu! Belum pernah aku mendapati orang yang begitu memandang enteng kepada kami bertujuh, dan inilah yang pertama kali!” Dan tanpa bersangsi lagi, ia jemput satu cawan dan jegluk isinya.

“Nona Han adalah jantannya wanita!” Khu Cie Kee puji nona itu. “Nah, Tuan, Silakan!”Hampir berbareng enam manusia aneh lainnya dari Kanglam itu angkat cawannya masing-masing dan mengiringnya seperti saudara angkat mereka yang bungsu, sedang si imam pun tanpa banyak omong lagi, tenggak kering satu demi satu tujuh cawan bagiannya.
Lalu semua cawan diisi pula, lantas semua itu di cegluk habis!
Setelah cawan yang ketiga, Nona Han Siauw Eng segera merasakan bahwa ia bakal tak sanggup minum terlebih jauh. Ia memang bukan tukang minum.
“Citmoay, mari kau wakilkan kau!” berkata Thio A Seng kepada adik angkatnya yang ketujuh itu, yang ia lihat sudah lelah.
“Khu Totiang, boleh tidak aku diwakilkan?” tanya si nona kepada si imam. Sebagai satu jantan, ia menanyakan dulu pikirannya si imam itu.
“Akur!” jawab Khu Cie Kee. “Siapa juga yang meminumnya sama aja!”
Maka itu, A Seng lantas wakilkan adiknya.
Si imam juga tenggak habis tujuh cawannya.
Kapan hendak dilanjuti giliran yang lain, Coan Kim Hoat tampaknya sudah kewalahan. Khu Cie Kee sebaliknya. Duapuluh cawan telah ditenggak kering, ia masih segar seperti biasa, air mukanya takberubah. Maka heranlah Kim Hoat yang cerdik itu.
“Dengan jebolnya aku dan citmoay, kita tinggalberlima,” ia berpikir. “Kelihatannya untuk mereka minum lagi tiga atau empat cawan, mereka tentu masih sanggup. Dengan si imam, apakah ia masih bisa menghabisi lagi duapuluh cawan?”
Oleh karena ia pikir begini, Kim Hoat percaya pihaknya bakal menang. Tetapi tiba-tiba saja ia terperanjat. Kebetulan ia melihat ke lantai, ia tampak lantai dimana si imam berdiri menjadi basah.
Ia lantas ingat sesuatu, ia segera bisiki Cu Cong, “Jieko, coba lihat kakinya si imam!”Cu Cong memandang ke tempat yang ditunjuki. “Hebat!” ia inipun berbisik. “Ia gunai tenaga dalamnya memaksa arak turun ke kakinya…”
“Benar,” Kim Hoat berbisik pula. “Begini lihay tenaga dalamnya, habis bagaimana?”
Cu Cong jadi berpikir. “Dengan dibantu tenaga dalamnya, lagi seratus cawan dia minum, dia tidak bakal rubuh….” katanya.
Mereka itu sudah keringi pula cawan mereka yang lainnya. Sekarang lantai di kakinya Khu Cie Kee tertampak barang cair mengembang dan mengalir. Lam Hie Jin dan kawan-kawannya dapat lihat itu. Mereka tahu sebabnya itu, mereka kagumi si imam untuk tenaga dalamnya yang sempurna itu.
Han Po Kie letaki cawannya di meja, hendak ia menyerah kalah.
Cu Cong lihat perbuatan adiknya itu, ia lantas mengedipi mata, tangannya sendiri menyambar satu cawan yang besar, untuk di pakai itu menyendok arak.
“Khu Totiang,” ia berkata, “Hebat tenaga dalammu, kami semua sangat mengaguminya, akan tetapi dengan kami berlima melayani kamu, itu rasanya tidak terlalu adil…”
Cie Kee melengak. “Habis Cu Jieko memikir bagaimana?” dia tanya.
Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay tertawa. “Baiklah aku sendiri yang layani kau, satu lawan satu!” sahutnya.
Cie Kee heran, begitu juga dengan pihak Kanglam Cit Koay. Lima orang sudahke teter, bagaimana dia ini hendak melawan sendirian? Keenam Manusia aneh menjadi heran, meskipun mereka tahu ini saudara yang kedua sangat cerdik dan licin. Mereka berdiam, tetapi mereka duga saudara ini tentu ada akal muslihatnya.
“Kanglam Cit Koay sungguh hebat,” kata Cie Kee kemudian. “Sekarang begini saja. Cu Jieko, kau temani aku minum terus, setelah kandasnya ini jambangan , akan pinto menyerah kalah. Tidakkah ini bagus?”
Arak di dalam jambangan perunggu itu tinggal separuh, meski begitu, isi itu masih banyak, akan tetapi Cu Cong seperti tidak pedulikan itu. Begitulah ia menantang. Ia tertawa ketika ia berkata: “Sebenarnya aku tidak kuat minum akan tetapi tempo tahun lalu aku pesiar ke daerah Selatan, di sana aku pernah menangkan beberapa makhluk yang lihay. Mari keringkan!”
Ia goyang-goyang kipasnya di tangan kanan, ujung bajunya yang kiri pun dikibaskan, dengan sikap wajar itu, ia minum araknya, cawan demi cawan.
Cie Kee turut minum juga. “Apakah itu mahkluk yang lihay?” ia tanya.
“Satu kali aku telah pergi ke India,” sahut Cu Cong. “Di sana putra raja India seret keluar seekor lembu, dia menghendaki aku lawan kerbau itu minum arak yang keras. Kesudahannya akulah yang menang!”
“Cis!” Cie Kee kasih dengar suaranya. Ia tahu orang bicara ngaco, dengan itu dia dicaci sebagai kerbau. Dimana orang berpura-pura edan-edanan, tak dapat ia bergusur.
Ia heran juga menyaksikan orang kuat minum dan sikapnya tenang. Ia telah perhatikan, orang bukannya mengerahkan tenaga dalam, tidak ada arak yang merembas keluar.Hanya rada aneh, perut si Manusia aneh rada melendung.“Mustahilkah perutnya bisa kempas dan bisa kembang, bisa dibuat main?” ia berpikir.
Selagi ia tetap belum mengerti, ia dengar orang berkata-kata pula.“Pada tahun dulu aku telah pergi ke negeri Siam,” kata Cu Cong itu. “Ah, di sini lebih hebat lagi! Raja Siam telah suruh keluarkan seekor gajah putih yang besar, aku disuruh lawan gajah itu minum arak! Binatang dogol itu telah sedot habis tujuh jambangan! Totiang tahu, berapa jambangan aku tenggak habis?”
Tiang Cun Cutahu orang bergurau, hanya orang bicara secara wajar sekali, sikapnya menarik hati. “Berapa jambangan?” dia tanya sekenanya.
Dengan tiba-tiba saja wajah Cu Cong menjadi sungguh-sungguh. “Sembilan jambangan!” katanya, perlahan tetapi mengesankan. Ia tidak tunggu sampai orang membilang atau menunjukkan sesuatu apa, terus ia sambungi dengan nyaring: “Mari minum! Lekas, lekas!”
Lantas setelah itu, ia ngoceh pula, kaki dan tangannya digerak-geraki, saban-saban ia tenggak araknya. Dikatakan mabuk, ia tidak sinting, dikatak gila, ia tidak angot.
Tentu saja, selama itu Khu Cie Kee mesti layani orang minum, hingga akhirnya jambangan arak itu nampak dasarnya!
Imam itu segera tunjuki jempolnya. “Saudara Cu, kau benar satu manusia aneh!” serunya. “Aku menyerah!”
Cu Cong awasi imam itu, ia tertawa. “Totiang minum dengan andalkan tenaga dalam,” katanya. “Aku? Lihatlah!”
Ia tertawa pula, bergelak-gelak lalu dengan sekonyong-konyongia lompat jumpalitan ketika ia telah berdiri pula,tangannya mencekal sebuah tahang air, kapan tahang air itu ia balingkan, bau arak tersiar menyampok hidung!
Orang kedua dari Kanglam Cit Koay sudah perlihatkan kelihayannya. Disitu ia berhadapan dengan orang lihay akan tetapi tidak ada seorang juga yang lihat darimana ia sembatnya tahang air itu! perutnya tinggal kempes, sebab semua arak pindah ke dalam tahang air ini, yang sekian lama disembunyikan di bawah jubahnya yang gerombongan.
Wajahnya Khu Cie Kee menjadi berubah.
Cu Cong pandai mencuri dan mencopet, maka itu ia digelar sebagai Biauw Ciu Sie-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay. Dengan”Tangan Lihay” itu diartikan lihay mencopetnya. Kepandaiannya itu menyembunyikan tahang air adalah kepandaian umum di kalangan tukang sulap Tiongkok, suatu ilmu kepandaian turun temurun yang hingga kini telah membuat kagum orang di Eropa dan kepulauan selatan. Mungkin pembaca pernah menyaksikan pertunjukkan sulap semacam itu. Satu kali ia jungkir balik, ditangannya ada sepelas ikan emas, dua kali ia jungkir balik di atas pentes tambah semangkok air tawar, air mana dapat ditambah menjadi banyak. Dan Cu Cong sekarang mengacau matanya Tiang Cun Cu dengan ilmu kepandaiannya itu. Tentu saja si imam tidak menyangka orang bergurau secara demikian, ia jadi kena dipermainkan.
“Ah!” seru si imam kemudian. “Kepandaianmu ini toh tak dapatdibilang orang minum arak?!”
“Kau sendiri, Totiang, apakah kau juga minum arak?”si Manusia aneh membaliki.
“Arakku kumpul di dalam tahang, arakmu kumpul dilantai! Ada apakah perbedaannya?” ia lantas jalan mundar-mandir sampai ia kena injak lantai yang basah dengan araknya Khu Cie Kee, di situ ia terpeleset, tubuhnya rubuh membentur tubuhnya si imam.
Khu Cie Kee segera menyambaruntuk pegangi tubuhnya orang itu.
Setelah dapat berdiri pula, CuCong lompat mundur, terus ia putar tubuhnya, sembari berputaran, mulutnya perdengarkan suara: “Syair yang bagus, syair yang bagus! Sejak jaman purbakala di pertengahan musim rontok…..rembulan gilang gemilang…..Di Waktu tibanya angin yang sejuk…malam yang jernih terang……..Suatu hari…….udara membuatnya. Jalan susu bagaikan tenggelam….Ikan dan naga diempat penjuru lautan…….mentereng seperti siluman air………”
Panjang nada syairnya. Khu Cie Kee heran hingga ia melengak.
“Itulah syairku yang kutulis di harian Tiong Ciu tahun yang lalu, yang masih belum selesai,” katanya di dalam hatinya. “Syair itu aku simpan, niatku adalah untuk nanti meyambunginya, belum pernah aku perlihatkan orang syairku itu, mengapa sekarang ia dapat mengetahuinya….?”
Lantas ia merogoh ke sakunya, untuk cari syairnya itu, tapi ia melengak pula. Tak ada syair itu didalam sakunya itu!
Cu Cong seperti tidak ambil mumat orang terheran-heran, ia membeber kertas di atas meja. Itulah kertas bermuatkan syair yang baru ia bacakan.
“Totiang lihay ilmu silatnya, tidak kusangka, kau juga pandai ilmu surat!” katanya memuji, “Sungguh aku kagum….!”
“Bagus!” seru Cie Kee yang mengerti bahwa benar-benar ia telah dipermainkan orang. Tentu saja ia sangat penasaran yang orang telah copet syairnya itu tanpa ia merasa, “Kau benar-benar lihay! Sekarang pinto ingin mohon pengajaran…!”
Rupanya barusan selagi ia pura-pura terpeleset, selagi si imam pegangi dia, Biauw Ciu Sie-seng gunai ketikanya untuk rogoh kantung si imam.
Tidak tempo lagi, sebelah tangan si imam melayang.
Cu Cong berkelit ke samping. “Totiang, benarkahkau berniat mencari keputusan dengan kepalan dan kaki?” ia menegasi.
“Benar!” sahut si imam memberikan kepastian. Dan menyerang pula, kali ini tiga kali beruntun serangannya itu,anginnya mendesir.
Thio A Seng lihat saudaranya sangat terdesak, sampai saudara itu sulit membela dirinya, ia lompat untuk menghalang, sambil berlompat., ia menyerang ke dadanya si imam. Khu Cie Kee dapat lihat serangan itu, ia lantas menangkis.
Bukan main kagetnya Siauw Mie To si Buddha tertawa. Tangkisan si imam itu membuat tangannya sakit dan gemetaran, rasanya baal. Inilah lawan tangguh yang pertama kali iapernah ketemukan.
Coan Kim Hoat bisa duga perasaan saudaranya itu. “Totiang, harap kau tak katakan kami tak tahu aturan!” ia berkata sambil ia menggapekan kepada Lam Hie Jin dan Han Siauw Eng, seraya ia melompat maju untuk menyerang.
Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan dan Wan Lie Kiam si Gadis Watsudah lantas taati ajakannya saudaranya itu, Manusia Aneh yang keempat.
“Kamu majulah berdelapan!” menentang Tiang Cun Cu menyaksikan orang pada turun tangan.
“Jangan mengepul!” Kwa Tin Ok kata dengan dingin.
Khu Cie Kee tidak gubris sindiran itu, ia menyerang Lam Hie Jin dengan sebelah tangan kirinya, atas mana Lam San Ciauw-cu menangkis dengan kedua tangannya, yang dibawa ke depan dadanya. Hebat tangkisannya ini.
“Lam Sieya sungguh lihay!” si imam memuji mendapatkan tangkisan itu. Tapi justru itu sekonyong-konyong wajahnya berubah. Ia pun segera berseru dengan ejekan: “Bagus betul, kamu masih menjanjikan bantuan!
Biar di sana ada ribuan tentera dan tidak pandang itu di matanya!“Thio A Seng merasa pihaknya diejek. “Kita ada tujuh bersaudara!” ia bilang. “Untuk apa menjanjikan bantuan lagi?!”
Kwa Tin Ok tidak berpikir seperti saudaranya yang kelima itu. Ia cacat mata akan tetapi kupingnya awas bukan main. Ia telah mendengar puluhan orang berlari-lari mendatangi ke restoran itu, suara mana tercampur suara bentrokkannya senjata-senjata tajam. Maka ia lompat berdiri.
“Semua mundur!” ia berseru. “Siapakan senjata!”
Thio A Seng semua segera lari balik ke tempat duduknya masing-masing, untuk ambil senjata mereka masing-masing.
Hampir di waktu itu, di tangga loteng terdengar riuh tindakan kaki yang keras, lalu beberapa puluh orang tertampak merubul naik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar