BAB
49
Pheng
Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka membelah kayu
untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak nasi. Hauw Thong Hay
pergi mencari mangkok, di dapur ia melihat itu mangkok besi, ketika ia angkat
itu, tidak bergerak, Ia heran hingga ia berseru. Lagi sekali ia menarik dengan
mengerahkan tenaganya, tetap ia tak berhasil.
Oey
Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu. Ia
terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan orang-orang di luar
itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja mereka berjumlah besar dan
semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat menggeraki tubuhnya. Maka itu ia
cemas hati, ia menjadi bingung.
See
Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik seperguruannya itu
berisik saja. Adik ini penasaran.
“Kalau
begitu, kaulah yang mengambilnya!” katanya sengit.
Thong
Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat.
“Ah…!”
serunya heran. Ia pun tak berdaya.
Berisiknya
mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia mengawasi mangkok itu.
“Pasti
ini ada rahasianya,” bilangnya kemudian. “See Toako, coba kau memutarnya ke
kiri atau ke kanan.”
Oey
Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada
kwee Ceng, ia sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat
tulang-belulang di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas mabil
kedua buah tengkorak, ia belesaki itu ke dalam buah semangka.
See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya
mangkok besi itu membuat pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja.
Ia riap-riapakan rambutnya hingga terurai tidak karuan dimukanya, tangannya
memegang semangka bertengkorak itu, ia ajukan ke depan, mulutnya
memperdengarkan suara meniru hantu.
Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan “berkepala dua”
itu, ia kaget bukan main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu? Maka
itu ia menjerit keras dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya,
yang hatinya menjadi ciut. Hingga disitu tinggal Auwyang Kongcu seorang, yang
rebah di atas rumput tanpa bergerak.
Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega.
Lekas-lekas ia menutup pula pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras,
untuk mencari lain jalan guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw
lihay, mesti Thong Hay beramai bakal datang pulang.
Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan
dibuka, lalu satu orang bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia
lantas mencekal tempulingnya dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu
lekas pintu dibuka dan orang terlihat, hendak ia mendahului menimpuk dengan
tempuling itu.
Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring
memanggil-manggil tuan rumah.
Oey
Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas-lekas ia
mengintai. Tidak keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu benar
seorang wanita, yang terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan indah
seperti seorang nona hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya tidak
kelihatan.
Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan
rumah, yang jawabannya tak juga kunjung tiba.
Oey Yong menjadi heran. Ia ingat sekarang suara nona itu.
“Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?” katanya dalam hati.
Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan
giranglah Nona Oey ini.
Tidak
salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga
sekarang, kenapa nona itu bisa berada di tempat ini.
Sementara itu Sa Kouw, yang tidur layap-layap, bangun
juga atas panggilan si nona. Ia menghampirkan.
“Tolong bikinkan aku barang makanan,” nona Thia minta.
Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang
makanan, tetapi justru itu, hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil
menoleh, ia lari ke dapur. Untuk herannya ia menampak nasih putih di dalam
tempulo. Itulah nasi Wanyen Lieh beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari
tahu darimana datangnya nasi itu, ia menyendoki satu mangkok untuk nona
tetamunya, ia sendiri turut dahar pula.
Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu
pun nasi keras, maka itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta
sumpitnya.
Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana
ia menepuk-nepuk perutnya, romannya menandakan ia sangat puas.
“Nona aku numpang tanya,” nona Thia menanya. “Tahukah kau
dusun Gu-kee-cun dari sini berapa jauh lagi?”
“Gu-kee-cun?” menyahut si tolol. “Ini justru Gu-kee-cun.
Hanya aku tak tahu berapa jauh terpisahnya..”
Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu
dadu, kepalanya terus ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya.
“Oh, kiranya inilah Gu-kee-cun!” katanya kemudian.
“Sekarang aku hendak tanyakan kau tentang satu orang, apakah kau tahu….kau
tahu…..”
Sa Kauw tidak menanti hingga orang mengucapakan habis
pertanyaannya, ia menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari keluar.
Oey
Yong sendiri, yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir.
“Ah, siapakah yang ia cari di sini? Ya, ia muridnya Sun
Put Jie, mungkin ia dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada
muridnya Khu Cie Kee…”
Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia
duduk dengan toapan, pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga
di samping kupingnya. Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi
pikirkan.
Oey Yong mengawasi terus.
Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar rumah
maka, lalu satu orang muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah.
“Sungguh kebetulan!” berkata Oey Yong di dalam hatinya.
“Kenapa orang-orang yang kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di
Gu-kee-cun ini?”
Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari
Kwie-in-chung. Ia berdiri di muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak
menegur, hanya kembali ia memanggil tuan rumah.
Nona Thia melihat seorang muda, ia malu dan likat, ia
lantas menoleh ke arah lain.
Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri.
“Kenapa ada nona cantik di sini dan dia sendirian saja?” Ia bertindak masuk,
terus ke dapur. Ia tidak menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan
ia mendapat lihat nasi di tempulo.
“Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku,
bolehkah bukan nona?” ia tanya nona Thia.
Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan
kepunyaannya sendiri, ia tertawa.
“Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!” katanya
tertawa.
Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan
dua mangkok.
“Terima kasih,” katanya kemudian seraya memberi hormat
kepada nona Thia. “Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun
Gu-kee-cun berapa jauh terpisahnya dari sini?”
Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak
terkecuali.
“Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun,” pikir nona
Oey.
“Tempat ini justru desa Gu-ke-cun,” menyahut Yauw Kee
sambil ia membalas hormatnya si anak muda.
Koan Eng menjadi girang.
“Bagus!” katanya. “Sekarang aku minta tanya nona tentang
satu orang…”
Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya
penduduk Gu-kee-cun itu, atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang
dicari pemuda ini. Maka itu ia menanti.
“Ada seorang muda she Kee nama Ceng, entah dia tinggal di
rumah yang mana di sini?” Koan Eng tanya. “Apakah ia berada di rumahnya?”
Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong.
“Mau apa dia mencari engko Ceng?” putrinya Tong Shia
tanya dirinya sendiri.
Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya
jadi merah, lekas-lekas ia menunduk.
Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan orang itu,
saking cerdiknya ia dapat menerka hari orang.
“Ah, kiranya!” pikirnya. “Engko Ceng telah menolongi dia
di Poo-eng, rupanya ia lantas mencintainya secara diam-diam…”
Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau
cemburu, maka itu mengetahui ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia
menjadi girang sekali.
Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini.
Yauw
Kee ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya dari
Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya Auwyang Kongcu,
tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina. Melihat Kwee Ceng muda,
romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia hatinya dan gagah, lantas ia
menjadi ketarik dan jatuh hati, maka seperginya pemuda itu, ia ingat dan
memikirkannya tak hentinya. Lama-lama tak dapat ia
menguasai dirinya lagi, setelah memikir pergi pulang, pada suatu malam ia pergi
secara diam-diam dari rumahnya. Ia mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia
melakukan perjalanan seorang diri dan jauh, dia asing dengan segala apa kaum
kangouw. Tetapi ia memberanikan diri. Ia mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee
ceng membilang ia berasal dari dusun itu dengan kotanya Lim-an. Untung nona
Thia, karena dandannya indah, di tengah jalan tidak ada orang yang
mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum tahu itulah desa
yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw. Begitu ia
mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun kacau.
Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia
mengharap-harap Kwee Ceng tak ada di rumah…kata ia di dalam hatinya: “Sebentar
aku mencuri datang ke rumahnya, setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat
pulang lagi. Aku tidak boleh membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia
melihat aku, aku malu sekali…”
Diluar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan
pemuda ini menanyakan Kwee Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah
“bersalah”? Ia mau menduga si anak muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia
menjadi malu sendirinya. Setelah berdiam sekian lama, ia bangun berdiri, dengan
niat mengangkat kaki. Tapi ia belum sempat ia mewujudkan itu, sebab mendadak
dari sebelah luar mongol satu kepala orang yang romannya jelek. Cepat sekali,
kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut hingga ia bertindak mundur.
Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula,
bahkan sekarang ia mengasih dengar suaranya: “Hantu kepala dua, kalau kau
berani, marilah muncul di terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia
untuk melayani kau bertempur!”
Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran.
Adakah mereka yang ditantang? Kalau benar, kenapakah?
“Hm!” Oey Yong menagsih dengar suara perlahan. “Dia toh
datang pula!”
Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw
Kee dan Koan Eng itu. Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay
ini. Maka ia pikir baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ.
Daya apa dia ada punya?
Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang
kabur lebih dulu, hingga kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka
munculnya pula si hantu istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia
berhenti, dengan begitu ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia bertabiat
keras, hatinya menjadi panas.
“Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari
bolong!” demikian ia dapat berpikir. “Tidak, aku si Lao Hauw tidaak takut, biar
aku balik pula untuk singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!”
Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski
begitu, hatinya toh kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat
melihat Koan Eng dan Yauw Kee. Pikirnya: “Celaka betul, sekarang hantu kepala
dua itu mencipta diri jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau mesti
waspada!”
Begitulah ia menantang.
Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak
memperdulikannya. Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya tak
beres.
Thong
Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita
tidak muncul menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan
tidak munculkan diri diwaktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin besar.
Untuk menyerbu, ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan bahwa hantu takut
sama kotoran manusia atau air kencing.
“Kenapa aku tidak hendak mencoba?” pikirnya Ia pun lantas
mengambil keputusan, maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk
mencari tempat kotoran itu. Di samping rumah makan ada sebuah. Saking
penasaran, ia melupakan segala apa. Untuk membungkus najis itu, ia pakai
bajunya ia loloskan. Dengan membawa kotoran itu, ia kembali ke rumah makan.
Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi itu lagi berduduk diam. Ia
menjadi gusar sekali.
“Hantu yang bernyali besar!” ia lantas membenatk. “Kau
lihat Hauw Looya kamu akan membikin segera memeprlihatkan diri asalmu!” lantas
ia bertindak masuk, tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga, tangan
kanannya membelak bungkusan najis.
Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat “si edan”
kembali, mereka melengak. Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu,
hidung mereka lantas mencium bau busuk yang santar.
Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir, “Aku dengar orang
bilang, setan pria kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aki hajar
dulu yang wanita!” Maka itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee.
Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak
berkelit, Koan Eng mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah
bangku. Hanya hebat tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya
berhamburan, siapa mendapat cium, ia pasti muak.
Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak: “Hantu kepala dua
sudah pulang ke asalnya!” Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam
kepada nona Thia! Dia semberono tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu
hebatlah tikamannya ini.
Koan
Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang bukan orang edan
hanya seorang gagah dari Rima Persilatan.
Tidak
ayal lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu.
“Kau siapa tuan?” ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak
tahu aturan.
Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia
hanya menuruti saja kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga
lagi tiga kali.
Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis
berulang-ulang, ia masih menanyakan nama orang.
Thong
Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu silat tetapi
tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia suka bicara. Ia
menyahuti: “Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya kau bisa menggunai
jampemu yang berbahaya? Tidak, tuan besarmu justru tidak hendak memberitahukan
namanya!”
Ia
menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia mengulangi
serangannya secara hebat.
Koan Enng segera juga keteter dan terdesak ke tembok. Ia
memang kalah gagah dan senjata bangku juga tidak cocok untuknya. Tidak ada
ketika untuknya mencabut golok di pinggangnya. Ia terdesak ke tembok di betulan
lobang tempat Oey Yong mengintai.
Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang
baik dengan hebat ia mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit,
maka itu, ujung senjata musuh menikam ke tembok di samping lobang.
Koan Eng berlaku sebat, belum lagi musuh mencabut
senjatanya, ia mendahulukan menghajar dengan bangkunya. Tapi Thong Hay lihay,
matanya awas, gesit gerakannya, sebelah kakinya terangkat naik, mendahului
menendang lengan lawannya itu, yang mengenai tepat, sedang dengan tangan
kirinya ia membarengi menyerang.
Koan Eng terkejut. Bangkunya terlepas dari tangannya.
Justru itu ia pun mesti berkelit dari serangan tangan kiri. Tengah ia mendak,
Thong Hay sudah mencabut senjatanya yang nancap di tembok itu.
Thia Yauw Kee, yang melihat bahaya, lompat kepada Koan
Eng, untuk menolongsi si anak muda menghunus goloknya, untuk diserahkan kepada
anak muda itu. “Terima kasih!” kata Koan Eng seraya menyambuti golok dari
tangan si nona. Ia kagum untuk kelincahan si nona itu, yang dalam saat genting
seperti itu dapat membantu padanya.
Sebab gerakannya Thong Hay, ia sudah menyerang pula.
Disaat senjata lawan hampir sampai didadanya, Koan Eng menangkis dengan keras,
maka keras juga bentrokan kedua senjata, hingga muncratlah lelatu apinya. Thong
Hay merasakan telapakan tangannya sakit.
Pertempuran berlanjut terus, kaki keduanya telah
menginjak kotoran. Selama itu Thong Hay bergelisah. Nyatanya lawannya itu
tangguh.
“Perlihatkan diri asalmu!” ia membentak sambil menikam ke
arah perut. Itulah pukulan “Menolak peragu menuruti aliran air”.
Menampak ilmu silat itu, Koan Eng lompat mundur tiga
tindak.
“Tahan dulu!” ia berseru. “Kau pernah apakah dengan
Kwie-bun Liong Ong?”
Thong
Hay melirik dengan tajam.
“Ha,
hantu, kau kenal juga nama sukoku!” katanya dingin.
Koan
Eng menduga kepada orang gila, yang menyerang ia kalng-kabutan, atau orang
salah menyangka, tetapi sekarang, mendengar orang menyebut siri sebagai adik
seperguruan dari See Thong Thian, tahulah ia bahwa orang ini datang menuntut
balas untuk Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hoang Hoo. Ia jadi
hendak membalaskan sakitnya Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong. Karena ini, ia lantas
berkelahi semakin hebat.
Tidak
lama, kembali Koan Eng kena terdesak, tidak peduli ia berlaku mati-matian.
Yauw Kee dapat melihat si pemuda terancam bahaya. Mulanya
ia berdiam saja di pojokan menyaksikan pertempuran itu, ia pun takut pada
kotoran, tetapi sekarang menampak ancaman bahaya itu, tidak dapat ia berdiam
terus-terusan. Ia mencabut pedangnya sambil mengajukan diri.
“Jangan takut, akan aku bantu kau!” ia berkata. Ia bahkan
segera menikam punggung lawan. Ia murid kepala dari Ceng Ceng Sanjin Sun Put
Jie, dari itu ia adalah orang dari kaum Coan Cin Pay.
Majunya nona ini ada dalam dugaan Hauw Thong Hay. Tidak
demikian dengan Koan Eng. Maka pemuda ini menjadi heran berbareng girang,
hingga terbangun semangatnya, kalau tadi ia repot membela diri, hingga ia tidak
dapat melakukkan penyerangan balasan, sekarang ia dapat melakukan itu.
Mulanya Thong Hay jeri juga, ia khawatir si nona lihay,
tetapi selang beberapa jurus, legalah hatinya. Dia mendapat kenyataan nona ini
kurang latihannya. Maka kemudian, walaupun dikepung berdua, ialah yang dapat
lebih banyak menyerang.
Oey Yong dari dalam kamar mengikuti terus pertempuran
itu. Ia menjadi berkhawatir. Ia mengetahui dengan baik, lama-lama muda-mudi itu
bisa becelaka di tangan musuh yang telengas ini. Ia berkhawatir sebab ada
keinginannya untuk membantui tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan. Mana
bisa ia tinggalkan Kwee Ceng?
“Nona kau pergilah!” berkata Koan Eng kemudian. “Urusan di sini bukan
urusanmu!”
Yauw
Kee tak mau mundur. Ia tahu pemuda itu mengkhawatirkan
keselamatanya. Untuk kebaikan hati itu, ia merasa sangat bersyukur. Tentu
sekali, tidak dapat ia mengangkat kaki membiarkan kawan itu menghadapi bahaya
maut. Maka itu ia menggeleng kepalanya.
“Kita bermusuh, maka itu kau carilah aku sendiri si orang
she Liok!” Koan serukan Thong Hay. “Lekas kau membuka jalan untuk nona ini
mengundurkan diri!”
Thong Hay tertawa lebar. Sekarang ia telah memperoleh
kepastian muda-mudi ini bukannya hantu atau iblis, hatinya menjadi besar. Ia pun sudah menang di atas angin! Bukankah si nona pun cantik manis?
“Hantu pria aku hendak tangkap, iblis wanita aku hendak
bekuk juga!” katanya dingin. Ia mengulangi serangannya yang hebat, hanya
terhadap Thia Yauw Kee, ia tidak menggunai tenaga sepenuhnya.
Koan Eng menjadi bertambah khawatir.
“Nona lekas kau menyingkir!” ia serukan nona itu. “Aku
berterima kasih padamu!”
“Kau she Liok?” tanya si nona perlahan tanpa menghiraukan
anjuran orang untuk mengangkat kaki.
“Benar,”
menyahut Koan Eng. “Nona sendiri she apa dan murid siapakah?”
“Guruku
she Sun, orang menyebutnya Ceng Ceng Sanjin,” sahut nona Thia. “Aku sendiri…aku…” Ia hendak menyebut namanya tetapi ia malu.
“Nona,” berkata Koan Eng. “Akan aku tahan dia, kau
pergilah menyingkir! Asal aku dapat menolong jiwaku, nanti aku susul padamu!”
Mukanya Yauw Kee merah. Ia tidak menjawab itu anak muda,
hanya ia membentaki lawannya: “Eh, siluman, jangan kau lukakan dia! Katahui
olehmu, guruku ialah Sun Cinjin dari Coan CinPay dan dia segera bakal datnag
kemrai!”
Nama Coan Cin Pay sangat terkenal, maka mendengar
disebutnya partai itu, hati Thong Hay tercekat. Bukankah Thie-kak-sian Giok
Yang Cu Ong Cie It pernah memperlihatkan kepandaiannya di dalam istana Chao
Wang? Meski begitu, ia tidak sudi mengasih lihat kelemahannya. Maka itu ia
sengaja berseru: “Biarnya tujuh siluman Coan Cit Cit Cu datang kemari, hendak
aku membinasakan semuanya!”
“Orang bosan hidup, kau ngaco belo!” mendadak terdengar
seruan dari arah luar.
Kaget ketiga orang itu, dengan sendirinya mereka pada
lompat mundur. Koan Eng khawatir Thong Hay main gila, ia tarik Yauw Kee ke
belakangnya, ia lantas berdiri di depan si nona seraya ia bersiap dengan
goloknya.
Semua mata mengawasi ke luar. Di ambang pintu berdiri
seorang tojin atau imam usia muda, romannya tampan, tangannya mencekal kebutan
atau hudtim. Ia bersenyum dingin ketika ia menegaskan pula: “Siapakah yang
membilang hendak membinasakan Coan Cin Cit Cu?”
“Itulah aku Hauw Looya yang membilangnya!” sahut Thong
Hay takabur. “Kau mau apa?!”
“Baiklah! Sekarang kau cobalah membunuhnya!” menantang si
imam muda. Kata-kata ini disusul sama gerakan tubuhnya seraya kebutannya
mengebut kemuka si Ular Naga Kepala Tiga.
Ketika itu selesailah Kwee Ceng dengan latihannya, tempo
kupingnya dapat mendengar suara berisik di luar kamar itu, ia lantas mengintai.
“Mungkinkah benar imam muda ini anggota Coan Cin Cit Cu?”
Oey Yong tanya.
Kwee Ceng segera mengenali imam muda itu, ialah In Cie
Peng muridnya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dialah yang dua tahun lampau pergi ke
Mongolia menyampaikan surat gurunya kepada Kanglam Liok Koay dan dalam pibu,
pertandingan itu, ia kena dikalahkan dia itu. Maka itu, ia beritahukan si nona
Oey siapa imam itu.
“Dia pun tak dapat melawan Hauw Thong Hay,” berkata Oey
Yong sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah lewat dua tahun, kepandaiannya In Cie Peng telah
bertambah, walaupun demikian, berkelahi sama-sama Liok Koan Eng mengepung Hauw
Thong Hay mereka cuma berimbang saja.
Yauw Kee menonton dengan bengong. Ia terkejut katika ia
dipegang oleh Koan Eng dan ditarik ke belakang si anak muda, habis mana anak
muda itu menyerang Thong Hay yang menyambuti serangannya In Cie Peng. ia tengah
mengusut-usut tangannya itu tatkala ia mendengar suara Koan Eng, “Nona, awas!”
Itulah Hauw Thong Hay, yang menggunai kesempatannya akan
membokongi si nona, yang ia tikam pundaknya. Ia tidak menyangka akan serangan
itu, atas pemberian ingat si anak muda, ia lantas berkelit, setelah mana dalam
murkanya ia maju menyerang. Dengan begitu, Thong Hay jadi dikerubuti bertiga.
Walaupun ia gagah, sekarang Thong Hay bingung juga.
Memang nona Thia ini tidak lihay, akan tetapi dikepung berdua, mereka sudah
berimbang, dengan bertambah satu tenaga lagi, ia merasa berat. Ia menjadi cemas
sendirinya, hendak ia meloloskan diri, tetapi kepungan rapat.
In Cie Peng mempermainkan kebutannya di muka lawannya
itu, lama-lama Thong Hay menjadi seperti kabur matanya, maka satu kali ia alpa,
gerakannya kurang sebat, ia merasakan pahanya sakit, sebab goloknya Koan Eng
mampir di pahanya itu. Ia menjadi murka sekali, ia mendamprat leluhur lawannya.
Masih si Ular Naga Kepala Tiga membuat perlawanan. Karena
luka dikakinya itu, kelincahannya menjadi berkurang. Masih ia diganggu kebutan
Cie Peng, yang membikin ia kewalahan. Kapan tiba saatnya ia mencoba menikam,
Cie Peng libat gaetannya itu, hingga keduanya jadi saling tarik.
Biar bagaimana, Thong Hay menang tenaga, kesudahannya
saling tarik itu, kebutannya Cie Peng kena tertarik hingga terlepas. Tapi
menang disini, Thong Hay kalah dilain pihak. Dengan mengadu tenaga sama Cie
Peng, ia menjadi lengah, maka juga ujung pedangnya Yauw Kee menusuk pundak
kanannya, atas mana terlepaslah tempulingnya yang bercagak tiga!
In Cie Peng lepas kebutannya itu, ia tidak menjadi kaget
atau bingung, bahkan ia memperlihatkan kegesitannya, ialah justru lawannya kena
tertikam, ia maju untuk menotok. Tepat ia mengenakan jalan darah hian-kie, atas
mana, Sam-tauw-kauw roboh seketika.
Koan Eng tidak berlaku ayal, ia berlompat untuk menubruk,
lalu dengan menggunai ikat pinggang lawan, ia ringkus lawannya itu, kedua
tangan siapa ditelikung.
“Lihat, muridnya Coan Cin Cit Cu saja kau tidak sanggup
lawan!” kata In Cie Peng mengejek. “Masihkah kau hendak membinasakan semua Coan
Cin Cit Cu?”
Thong Hay gusar, ia memaki kalang kabutan. Ia kata ia toh
dikepung bertiga.
Cie Peng tidak sabaran, ia sobek ujung baju orang dan
pakai itu untuk menyumbat mulut orang yang kotor itu, maka sekarang, si Ular
Naga Tiga Kepala melainkan bisa mendelik mata dan mukanya merah, mulutnya tak
bersuara lagi.
“Suci,” berkata Cie Peng kepada Yauw Kee sambil ia
memberi hormatnya. “Kau adalah murid dari Sun Susiok, maka terimalah hormatnya
suteemu.”
Yauw Kee membalas hormat sambil merendahkan diri.
“Entah suheng murid paman guru yang mana?” ia bertanya.
“Siauwtee ialah In Cie Peng, muridnya Tiang Cun Cu,”
menyahut saudara asal seperguruan ini.
Yauw Kee tidak pernah keluar pintu, ia tidak kenal keenam
saudara gurunya tetapi ia pernah mendengar dari gurunya tentang mereka itu,
maka tahulah ia siapa Tiang Cun Cu itu.
“Kalau begitu, In Suheng, kaulah suhengku,” katanya
perlahan. “Adikmu ini she Thia, kau panggil saja sumoy padaku.”
In Cie Peng bersenyum melihat sumoy itu, adaik
seperguruannya, tetapi meski begitu, ia melayani berbicara, setelah mana ia
belajar kenal dengan Liok Koan Eng.
Orang she Liok itu memberitahukan she dan namanya tetapi
ia tak menyebutkan nama dan gelaran ayahnya dan menyebut juga pekerjaannya
sebagai kepala perampok di telaga Thay Ouw, ia cuma menerangkan, ia bermusuh
dengan Hauw Thong Hay sebab ia telah membunuh Ma Ceng Hiong.
“Orang edan ini kosen, dia tidak dapat dimerdekakan!”
berkata nona Thia.
“Biarlah aku lantas binasakan dia!” berkata Liok Koan
Eng.
“Ah, jangan!” mencegah nona Thia, yang hatinya pemurah.
“Tidak apalah dia tidak dibikin mampus!” kata Cie Peng
tertawa. “Sumoy, sudah berapa lama kau berada disini?”
“Baru saja,” sahut si nona dengan wajahnya merah jengah.
Cie Peng mengawasi muda-mudi ini, pikirannya bekerja.
“Mereka rupanya pasangan, jangan aku berdiam lama di sini
membuat mereka muak saja…” pikirnya. Maka ia lantas berkata: “Aku sedang
menjalankan tuga yang diberikan suhu. Aku diperintah pergi ke dusun Gu-kee-cun
guna menyampaikan berita kepada satu orang. Nah, sampai di sini saja, harap
kita bisa bertemu pula!”
Yauw Kee masih likat.
“In Suheng, kau sedang mencari siapa?” tanyanya perlahan.
Cie Peng agaknya bersangsi, tetapi sejenak kemudian, ia
pikir: “Thia sumoy orang sendiri, dia berjalan sama anak muda ini, dia pun
bukan orang lain, tidak ada halangannya untuk aku bicara.” Maka ia menjawab
bahwa ia lagi mencari seorang kenalan she Kwee.
Keterangan ini membuatnya beberapa orang terkesiap
hatinya. Mereka yang berada di dalam kamar rahasia, begitu pun Liok Koan Eng,
bahkan pemuda she Liok ini lantas bertanya: “Adakah ia yang bernama Ceng?”
“Benar,”
sahut Cie Peng memberikan kepastian. “Saudara Liok kenal sahabat she Kwee itu?”
“Siauwtee
justru hendak mencari Kwee Susiok itu,” menyahut Koan Eng.
“Eh,
kau memanggil dia susiok?” tanya Cie Peng dan Yauw Kee berbareng. Nona ini pun
heran waktu pertama mendengar Cie Peng menyebut “sahabat she Kwee”
“Ayahku
setingkat derajatnya dengannya, maka itu siauwtee memanggil susiok,” Koan Eng
menjelaskan. (Susiok artinya paman guru)
Tingkat
Liok Seng Hong sederajat dengan Oey Yong, dengan sendirinya Koan Eng mesti
memanggil paman guru kepada Kwee Ceng. Mengenai Kwee Ceng itu, Yauw Kee tidak
membilang suatu apa akan tetapi perhatiannya tertarik.
“Apakah kau telah bertemu padanya. Ada di mana dia
sekarang?” Cie Peng menanya dengan cepat.
“Siauwtee pun baru tiba di sini, selagi siauwtee hendak
mencari keterangan, kita bertemu ini orang edan, tidak karuan dia menyerang
kita,” menerangkan Koan Eng.
“Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi mencarinya,”
kata Cie Peng kemudia.
Oey
Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi. Mereka telah
mendapat dengar semua pembicaraannya ketiga orang itu.
“Mereka pasti bakal kembali,” kata Kwee Ceng. “Yong-jie,
kau bukalah pintu.”
“Mana dapat?” si nona berkata. “Mereka mencari kamu tentu
untuk urusan penting. Kau lagi beristirahat, mana dapat kau memecah pikiranmu?”
“Tetapi urusannya mesti sangat penting,” si anak muda
bilang.
“Biarnya langit ambruk, tidak nanti aku membuka pintu,”
si nona kata pasti.
Hati
Kwee Ceng tidak tenang, tetapi Oey Yong benar. Ia pun khawatir si nona menjadi berduka. Maka terpaksa ia berdiam saja,
melanjuti istirahatnya itu.
Benar saja, selang tidak lama, Koan Eng bertiga kembali
ke rumah makannya Sa Kouw. Kaon Eng berduka, katanya: “Di kampung halamannya
sendiri susiok tidak dapat dicari. Bagaimana sekarang?”
“Urusan penting apakah itu antara kamu berdua, saudara
Liok?” Cie Peng tanya Koan Eng. “Bolehkah aku ketahui itu?”
Sebenarnya Koan Eng tidak suka memberitahu, tetapi ketika
ia menampak wajah nona Thia, ia mengubah pikirannya dalam sekejap.
“Omonganku panjang,” ia menyahut. “Biarlah aku bersihkan
dulu kotoran di sini, nanti baru kita bicara.”
Di rumahnya Sa Kouw ini, sapu pun tidak ada, maka itu
Koan Eng dan Cie Peng menggunai rumput untuk menyapu kotoran. Setelah itu
ketiganya duduk menghadapi meja.
Koan Eng hendak mulai bicara ketika Yauw Kee mencegah.
“Tunggu dulu!” katanya seraya ia berbangkit bertindak mendekati Hauw Thong Hay.
Ia memotong sejuwir ujung baju orang tawanan itu, yang mana ia pakai menyumpal
kedua kupingnya dia itu. “Biar dia jangan mendapat dengar!” ia menambahkan
dengan tertawa.
“Kau teliti, nona!” Koan Eng memuji. Ia pun tersenyum.
Oey
Yong dalam tempat persembunyiannya tertawa di dalam hatinya. Pikirnya: “Kau
masih bicara tentang teliti! Sudah kami berdua, sukar untuk mengetahuinya, di
sana pun ada rebah Auwyang Kongcu, kau masih belum ketahui juga……”
Thia
Yauw Kee masih hijau, inilah tidak heran. In Cie Peng biasa mengikuti gurunya tetapi ia dasarnya semberono. Sedang
Koan Eng, yang biasa memerintah, kurang waspada. Demikian mereka berbicara,
bertindak, tanpa memeriksa dulu tempat di sekitarnya.
Nona Thia mendapatkan kuping Thong Hay telah terpapas, ia
tercengang, tetapi hanya sejenak.
“Sekarang kau boleh bicara!” katanya tertawa pada Koan
Eng habis ia menyumbat.
Untuk
sesaat, agaknya pemuda she Liok itu bersangsi.
“Ah,
darimana aku harus mulai?” katanya. “Sekarang aku lagi mencari Kwee susiok.
Sebenarnya tidak seharusnya aku pergi mencari tetapi tanpa mencari, tak
dapat….”
“Inilah
aneh!” berkata Cie Peng.
“Memang.
Aku mencari Kwee Susiok bukan untuk urusannya sendiri hanya untuk keenam
gurunya.”
“Ah,
Kanglam Liok Koay?” Cie Peng tanya seraya menepuk meja. “Mungkin kita ada
bersamaan tujuan. Sekarang mari kita masing-masing menulis di tanah, lalu minta
Thia sumoy yang melihatnya, cocok atau tidak.”
Belum
lagi Koan Eng menyahuti, sambil tertawa Yauw Kee mendahului: “Bagus! Nah
putarlah tubuhmu dan menulislah!”
In
Cie Peng dan Liok Koan Eng memegang masing-masing sebatang puntung, sambil
belakang-membelakangi, mereka sudah lantas mencoret-coret di tanah.
“Thia
Sumoy!” kemudian kata Cie Peng tertawa, “Kau lihat tulisan kita sama atau
tidak?”
Yauw
Kee melihat coretan mereka itu.
“In
Suheng, kau menduga keliru,” katanya perlahan. “Tulisan kamu tidak sama.”
“Ah!”
seru Cie Peng sambil berbangkit.
Yauw
Kee tertawa dan menambahkan: “Kau menulis ‘Oey Yok Su’ dan dia menggambar
sebatang bunga tho.”
Oey
Yong heran.
“Mereka
mencari engko Ceng, mengapa toh ada sangkutannya sama ayahku?” ia menduga-duga.
Lalu
terdengar suara Koan Eng perlahan: “Apa yang ditulis In Suheng adalah nama dari
kakek guruku, dan siauwtee tidak berani menulisnya langsung…”
“Oh, kakek gurumu?” kata Cie Peng terperanjat. “Kalau
begitu, pikiran kita sama saja. Bukankah Oey Yok Su itu tocu dari pulau Tho Hoa
TO?”
Yauw Kee heran.
“Oh, kiranya begitu!” katanya.
“Karena saudara Liok ada orang kaum Tho Hoa To,” berkata
In Cie Peng, “Dengan begitu dengan mencari Kanglam Liok Koay, kau tentunya
bermaksud tak baik untuk mereka itu…”
“Sebaliknya, suheng…”
Cie Peng tidak puas orang omong sangsi-sangsi.
“Oleh karena saudara Liok tidak mengangap aku sebagai
sahabat, sudahlah, tak ada gunanya untuk kita bicara banyak-banyak,” katanya.
“Ijinkanlah aku meminta diri.”
Ia lantas berbangkit dan memutar tubuh, untuk berlalu.
“Tunggu,
In Suheng!” mencegah Koan Eng. “Aku hendak menutur sesuatu, aku pun hendak
memohon bantuanmu.”
Adalah
tabiat Cie Peng yang ia paling senang kalau orang memnita apa-apa padanya, dari
itu ia lantas menjadi girang.
“Baiklah!”
katanya. “Sekarang kau boleh bicara!”
“In
Suheng,” berkata Koan Eng menerangkan, “Kau adalah orang Coan Cin Pay, maka itu
bukankah ada semacam tugas dari kamu umpama kata kau mendengar sesuatu tentang
lain orang, kau akan lantas memberitahukan atau mengisikinya supaya orang itu
berhati-hati dan berjaga-jaga? Sekarang, andaikata, ada salah seorang dari
pihak seatasan kau hendak mencelakai seseorang, dan kau mengetahuinya itu,
pantas atau tidak kalau kau mengisiki orang itu untuk lari menyingkirkan diri?”
In
Cie Peng seperti dapat menduga maksud orang. Ia menepuk pahanya.
“Aku
mengerti sekarang,” katanya. “Teranglah di antara kamu pihak Tho oa To ada
orang yang tengah menghadapi kesulitan. Nah, kau bicaralah!”
“Di
dalam perkara ini,” berkata Koan Eng. “Jikalau aku memeluk tangan menonton
saja, aku jadi berbuat tak selayaknya, sebaliknya, apabila aku mencampurnya
tahu, aku jadi menentang kaumku sendiri. Maka itu, In Suheng, walaupun aku
ingin memohon bantuanmu, tak dapat aku membuka mulutku…”
Cie
Peng mau menduga, akan tetapi karena orang tidak menjelaskannya, ia pun tidak
dapat mengambil putusan, maka itu ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Ia nampaknya likat sendiri.
Yauw
Kee memandang kedua orang itu, ia mendapat jalan.
“In
Suheng,” katanya, “Kau tanyalah Liok Toako. Kalau ia mengangguk, itulah
soalnya, kalau ia menggeleng kepalanya, itulah bukannya. Asal Liok Toako tidak
mengatakannya sendiri, itu berarti ia tidak melanggar aturan kaumnya.”
“Bagus dayamu ini, Thia Sumoy!” kata Cie Peng girang.
“Saudara Liok, mari dengar aku bicara dulu tentang urusanku. Guruku yaitu Tiang
Cun Cu Khu Cinjin, diluar keinginannya, telah mendapat suatu kabar penting,
ialah kabar halnya Tocu Tho Hoa To karena membenci Kanglam Liok Koay, berniat
membunuh jago-jago dari Kanglam itu, hendak membinasakan mereka serumah tangga.
Karena itu guruku lantas mendahulukan pergi untuk memberi kisikan. Nyatanya
Liok Koay tidak ada dirumahnya, mereka telah pergi pesiar. Atas itu guruku
lantas menitahkan semua anggota keluarga Liok Koay itu pergi menyingkirkan diri
masing-masing. Maka ketika Oey Yok Su sampai ke Kee-hin, ia tidak menemukan
seorang juga. Ia menjadi sangat gusar dan mendongkol, tetapi ia cuma dapat
menungkuli diri, dengan gondok ia berangkat ke Utara. Setelah itu taklah lagi
bagaimana kejadiannya peristiwa. Dan kau, tahukah kau tentang itu?”
Koan Eng mengangguk.
In Cie Peng berdiam sebentar habis itu ia berkata pula:
“Turut rasaku dia terus mencari kanglam Liok Koay. Sebenarnya di antara guruku
dan Liok Koay ada suatu perselisihan, tetapi perselisihan itu sudah dapat
disudahi sedang mengenai urusannya, kesalahan berada di pihak Oey Yok Su maka
itu kebetulan Coan Cin Cit Cu berkumpul di Kanglam, mereka lantas memisah diri
mencari Liok Koay untuk menasehati mereka untuk berhati-hati menjaga diri,
bahkan paling betul mereka menyingkir jauh-jauh, supaya mereka tak dapat dicari
kakek gurumu itu. Coba kau pikir, tindakan itu tepat atau tidak?”
Koan Eng mengangguk pula.
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berpikir: “Engko Ceng
sudah tiba di Tho Hoa To memenuhi janji, kenapa ayah hendak pergi mencari pula
Liok Koay?” Ia tidak tahu ayahnya telah kena dijual Leng Tie Siangjin dan
mempercayai yang ia telah mati kelelap di laut hingga dia menjadi sangat
berduka dan gusar dan karenanya hendak menumpahkan amarahnya kepada Kanglam
Liok Koay.
Kembali terdengar suaranya In Cie Peng: “Oleh karena
tidak dapat mencari Liok Koay, guruku ingat Kwee Ceng yang menjadi murid Liok
Koay itu. Kwee Ceng itu ada orang asal dusun Gu-kee-cun di Lim-an dan dipercaya
betul ia telah kembali ke kampung halamannya, dari itu aku dititahkan datang
kemari mencari dia di sini. Guruku percaya pastilah Kwee Ceng mengetahui di mana
adanya semua gurunya itu. Kau telah datang ke mari, saudara Liok, bukankah itu
untuk urusan yang sama?”
Lagi-lagi
Koan Eng mengangguk.
“Sekarang
telah ternyata Kwee Ceng belum kembali ke kampung halamannya ini,” berkata Cie
Peng pula, “Meskipun begitu guruku telah melakukan kewajibannya terhadap Liok
Koay itu, maka itu walaupun dia tidak dapat mencari mereka itu, itulah
disebabkan habis daya. Melihat yang mereka dukar dicari, aku percaya, Oey Yok
Su juga tentu tak akan dapat mencari mereka. Nah, saudara Liok, kau hendak
memohon bantuanku, bukankah itu urusan mengenai urusan ini juga?”
Untuk
kesekian kalinya, Liok Koan Eng kembali mengangguk.
“Kau hendak menitahkan apa padaku, saudara Liok, silahkan kau
mengatakannya,” kata Cie Peng. “Di mana yang aku bisa, pasti aku akan
memberikan bantuanku padamu.”
Atas
ini, Liok Koan Eng membungkam.
Yauw
Kee tertawa.
“In
Suheng, kau lupa,” katanya mengingati. “Saudara Liok tak dapat membuka
mulutnya!”
Cie Peng sadar, ia pun tertawa.
“Benar!” ujarnya. “Bukankah saudara Liok hendak memohon
aku berdiam terus disini untuk menanti sampai pulangnya sahabat Kwee Ceng itu?”
Koan Eng menggeleng kepala.
“Apakah kau menghendaki aku lekas pergi ke segala tempat
untuk mencari Kanglam Liok Koay dan sahabat she Kwee itu?” Cie Peng tanya pula.
Kembali Koan Eng menggeleng kepala.
“Ah, aku mengerti sekarang!” kata Cie Peng, “Kau
menghendaki aku menyampaikan kabar pada sahabat-sahabat di Kanglam, mereka
terkenal, mereka pasti ada punya sahabat-sahabat kekal, yang nantinya akan
mengisikinya mereka terlebih jauh. Benarkah begitu?”
Lagi-lagi Koan Eng menggeleng kepalanya.
Cie Peng mengutarakan pula beberapa dugaan akan tetapi
Koan Eng tidak membenarkan, Yauw Kee turur dua kali menanya, ia pun dijawab
dengan gelengan kepala. Maka itu, Oey Yong yang curi dengar turut menjadi
bingung juga.
Sekian lama mereka bertiga berdiam saja.
“Thia Sumoy,” akhirnya In Cie Peng berkata, “Perlahan
saja kau bicara sama saudara Liok ini, aku tidak dapat main teka-teki
terus-terusan, hendak aku keluar sebentar. Lagi satu jam, aku akan kembali.”
Habis berkata, benar-benar Cie Peng bertindak keluar.
Maka itu di dalam ruangan, kecuali Hauw Thong Hay, tinggal Liok Koan Eng berdua
dengan Thia Yauw Kee. Si nona bertunduk, ia berpikir. Ia tetap mendapati Koan
Eng berdiam saja, diam-diam ia melirik, justru itu, Koan Eng pun memandang
padanya, maka sinar mata mereka jadi saling bentrok. Ia jengah sendirinya,
dengan muka merah, ia lekas-lekas melengos, terus ia tunduk, kedua tangannya
membuat main runce gagang pedangnya.
Setelah itu Koan Eng berbangkit dengan perlahan, untuk
menghampirkan perapian. Di muka dapur itu ada gambarnya malaikat dapur, kepada
malaikat itu ia berkata: “Touw Ongya, hambamu mempunyai satu urusan, yang sulit
untukku memberitahukannya kepada lain orang, maka itu baiklah hambamu
menjelaskannya pada ongya saja, dan hambamu mengharap semoga ongya suka
memayunginya.”
Mendengar
itu girang hatinya Yauw Kee.
“Orang yang pintar!” ia memuji di dalam hatinya. Ia
lantas mengangkat kepalanya untuk mendengar terlebih jauh.
“Hambamu she Liok bernama Koan Eng,” berkata pula si anak
muda. “Hambamu ialah anak dari Chungcu Liok Seng Hong dari dusun Kwie-in-chung
di tepi telaga Thay Ouw. Ayahku itu telah mengangkat Tocu Oey Yok Su dari Tho
Hoa To sebagai gurunya. Beberapa hari yang lalu guru ayahku itu, ialah kakek
guruku datang ke Kwie-in-chung, ia mengatakan ia hendak membinasakan semua
keluarga Kanglam Liok Koay, maka itu ia menitahkan ayahku dan supee Bwee Tiauw
Hong turut mencari Kanglam Liok Koay. Bwee supee bermusuhan dengan Kanglam Liok
Koay, inilah hal yang sangat menggirangkan hatinya. Tidak demikian dengan
ayahku, yang mengagumi kemuliaan Kanglam Liok Koay. Ayahku menganggap tidaklah
pantas membinasakan orang-orang gagah seperti mereka itu. Karena itu, ayahku
menjadi berduka. Ayah berniat menitahkan aku mengisiki Kanglam Liok Koay, untuk
Liok Koay menyingkir, tetapi ayah tidak berani berbuat demikian sebab itu
berarti mendurhaka kepada kakek guru. Maka juga pada suatu malam ayah
menghadapi gambar yang dilukis Sukouw Oey Yong, yang menjadi putrinya kakek
guru, untuk mengutarakan kesulitannya itu. Hambamu ini telah mendapat dengar
pengutaraan ayahku itu, karenanya hamba segera berangkat mencari Kanglam Liok
Koay, guna menyampaikan berita dari ancaman bahaya itu….”
Mendengar itu, Yauw Kee dan Oey Yong kata dalam hatinya:
“Dia cerdik juga, dengan kata-katanya ini dia ingin lain orang dapat
mendengarnya. Dengan caranya ini, dia menjadi tidak berdurhaka kepada
partainya.”
Lalu terdengar suara Koan Eng lebih lanjut: “Karena
hambamu tidak dapat mencari Kanglam Liok Koay, hambamu lantas berangkat kemari.
Hambamu ingat kepada muridnya mereka ialah Kwee Susiok. Siapa tahu, Kwee Susiok
pun tak ketahuan dimana adanya, Kwee Susiok itu ialah menantu dari kakek
guruku…”
Yauw Kee menaruh hati kepada Kwee Ceng. Ia menaruh hati
sendirinya. Maka ia terkesiap juga mendengar bahwa Kwee Ceng menantunya Oey Yok
Su. Cuma sebentar perasaannya itu, lantas ia dapat melegakan hati. Bukankah
sekarang perhatiannya telah ditumpleki kepada Liok Koan Eng, pemuda di
hadapannya ini, yang lebih tampan daripada pemuda she Kwee itu?
Koan Eng masih bicara seorang diri: “Asal hambamu dapat
mencari Kwee Susiok, maka ia dapat bersama Oey Sukouw meminta kakek guru
membatalkan niatannya itu. Kakek guru boleh keras hatinya tetapi tidak nanti ia
dapat menolak permintaan anak mantunya. Hanya, dari suaranya ayahku, mungkin
Kwee Susiok dan Oey Sukouw telah menampak suatu bencana… Di dalam hal ini,
tidak dapat hambamu menanyakan keterangan ayah.”
Mendengar kata-kata ini, Oey Yong tanya dalam hatinya:
“Mustahilkah ayah sudah ketahui engko Ceng telah terluka parah? Tidak, tidak
nanti ia ketahui itu. Mungkinkah ayah ketahui yang kita terlunta-lunta di pulau
kosong…?”
“In Suheng ialah seorang yang sungguh-sungguh hati dan
nona Thia cerdas dan lemah-lembut,” terdengar suaranya Koan Eng, terlebih
lanjut. Mendengar pujian ini Yauw Kee girang berbareng mukanya merah. “Meski
demikian, mereka tidak dapat menebak apa yang aku pikir. Sulit adalah Kanglam
Liok Koay. Mereka adalah orang-orang gagah yang kenamaan, benar mereka bukan
tandingan kakek guru, akan tetapi untuk meminta mereka menyingkir jauh-jauh,
itulah rasanya tidak mungkin. Menyingkir bagi mereka berarti merusak nama baik
mereka, itu tandanya mereka jeri. Pastilah mereka tidak akan melakukan itu.
Bahkan hambamu percaya, kalau mereka mendengar kabar yang mereka lagi dicari,
mungkin mereka justru akan berbalik menncari kakek guru!”
Diam-diam Oey Yong memuji Koan Eng, yang tidak kecewa
menjadi kepala perampok di Thay Ouw, sebab nyata ia berpandangan jauh.
“Maka sekarang aku memikir lain,” Koan Eng masih
berkata-kata terus. “Coan Cin Cit Cu gagah dan mulia hatinya, nama mereka
kesohor, ilmu silat mereka mahir, jikalau In Suheng dan nona Thia yang memohon
bantuan guru mereka, suka mengajukan diri sebagai juru pendamai, mungkin kakek
guruku sudi mendengar suara mereka. Tidak mungkin ada permusuhan hebat di
antara kakek guru dan Kanglam Liok Koay, dan biarpun Kanglam Liok Koay umpama
kata benar bersalah terhadapnya, jikalau ada orang kenamaan yang mendamaikan,
hambamu percaya perdamaian bakal didapatkan. Touw Ongya, inilah kesulitan
hambamu. Sia-sia belaka hambamu mempunya pikiran ini tetapi tidak dapat ia
mengutarakannya kepada lain orang. Dari itu hambamu mohon sudi apakah ongya
dapat mengaturnya…”
Yauw Kee tahu pembicaraan orang akan berakhir, maka tidak
nanti sampai Koan Eng berhenti bocara, ia sudah memutar tubuhnya bertindak
keluar untuk mencari Cie Peng, guna menyampaikannya,hanya baru ia tiba di
ambang pintu, kembali ia mendengar lagi suaranya pemuda she Liok ini. Kata dia
ini: “Touw Ongya, jikalau Coan Cin Cit Cu suka membantu mendamaikan, sungguh
ini suatu perbuatan sangat besar dan bagus, hanya hambamu berharap dengan
sangat, kapan nanti Coan Cin Cit Cu bicara sama kakek guru, biarlah mereka
tidak menyentuh hingga kakek guru merasa tersinggung. Kalau tidak, satu ombak
belum sirap, lain gelombang datang menyusul, itulah artinya celaka. Ongya,
sampai disinilah kata-kata hambamu, tidak ada lagi…”
Mendengar itu Yauw Kee tertawa. Di dalam hatinya ia kata:
“Kau sudah bicara habis, sekarang akulah yang akan bekerja untukmu!” Ia
berjalan keluar untuk mencari In Cie Peng, tetapi telah ia memutari sekitar
rumah makan, tidak ia melihat bayangan si kakak seperguruan itu. Terpaksa ia
berjalan kembali. Atau tiba-tiba ia mendengar suaranya Cie Peng, perlahan
sekali: “Thia Sumoy…”
“Oh, kau di sini!” kata si nona girang.
Cie Peng memberi tanda dengan tangannya agar si nona yang
berisik. I apun segera menunjuk ke arah Barat, sambil berkata pula, tetap dengan
perlahan sekali. “Di sana ada orang, tindakannya sebagai setan. Dia membawa
senjata di tubuhnya…”
“Mungkinkah dia orang yang tengah lewat di sini?” kata
Yauw Kee, menghampirkan kakak seperguruannya itu. Ia mengatakan demikian karena
perhatiannya terpengaruh kata-kata Koan Eng.
In Cie Peng sebaliknya bersikap sungguh-sungguh. Katanya
pula: “Di sana ada beberapa orang, lincah tubuh mereka, mestinya mereka lihay.”
Orang-orang yang ia lihat itu adalah rombongannya Pheng
Lian Houw. Mereka itu menanti Thong Hay, yang lama tak kembali, mereka menjadi
menduga kawan itu mendapat kecelakaan, tetapi walaupun demikian, karena mereka
sangat mementingkan diri sendiri, mereka tidak berani pergi untuk mencari dan
menolongi. Mereka jeri terhadap itu orang yang menyamar hantu di istana, yang
sangat lihay…..”
In Cie Peng menanti sekian lama, setelah tidak dapat
melihat bayangan orang, iabertindak menghampirkan ke tempat mereka itu tadi.
Nyata mereka sudah tidak nampak lagi.
Sampai di situ, Yauw Kee menuturkan ocehannya Koan Eng
tadi kepada malaikat dapur.
“Begitu rupanya yang ia pikir, mana dapat orang
menerkanya,” berkata Cie Peng. “Sekarang begini, sumoy. Pergi kau bicara sama
Sun Susiok, aku sendiri akan minta bantuan guruku. Asal Coan Cin Cit Cu suka
membantu, di kolong langit ini tak ada urusan yang tak dapat diselesaikan.”
“Hanya kita harus waspada agar urusan tidak berubah
menjadi keonaran,” kata nona Thia itu, yang menyampaikan kata-kata terakhir
dari Koan Eng tadi.
“Hm!” kata Cie Peng. “Oey Yok Su itu makhluk macam apa,
mustahil dia dapat melebihkan Coan Cin Cit Cu?” Ia tertawa dingin.
Yauw Kee ingin minta orang jangan takabur, tetapi melihat
wajah orang muram, ia membatalkan niatnya itu.
Bersama-sama mereka lantas kembali ke rumah makan.
“Aku hendak meminta diri,” kata Koan Eng kepada dua orang
itu. “Lain hari, kalau kamu lewat di Thay Ouw, harap kamu berdua sudi mampir di
Kwie-in-chung untuk singgah buat beberapa hari.”
Yauw Kee tercengang. Berat rasanya untuk segera berpisah
dengan pemuda itu.
In Cie Peng sendiri memutar tubuh menghadapi malaikat
dapur, untuk berkata: “Touw Ongya, Coan Cin Cit Cu paling gemar mendamaikan
segala persengketaan. Urusan tak adil bagaimana juga dalam kalangan kangouw,
asal murid-murid Coan Cin mengetahuinya, pasti mereka tak nanti berpeluk tangan
saja tak mengurusnya!”
Koan Eng mengerti kata-kata itu ditujukan kepadanya, maka
ia pun berkata: “Touw Ongya, semoga ongya dapat membereskan urusan ini dengan
baik, dan hambamu sangat bersyukur kepada sekalian budiman untuk kebaikannya
sudi mengeluarkan tenaganya.”
In
Cie Peng pun berkata pula. “Touw Ongya, silahkan legakan hati. Coan Cin Cit Cu
tersohor di kolong langit ini, asal mereka suka turun tangan, tidak ada urusan
yang tidak dapat diselesaikan.”
Koan
Eng melengak. Di dalam hatinya ia kata: “Kalau Coan Cin Cit Cu memaksakan
perdamainan, mana kakek guruku puas?” Maka lekas-lekas ia berkata pula: “Touw
Ongya, ongya mengetahui sendiri kakek guru biasa bawa maunya sendirinya, dia
tidak suka memperdulikan orang lain, kalau lain orang sudi bersahabat
dengannya, dia suka mendengarnya, tetapi bila orang bicara dari hal kepantasan,
itulah yang ia paling sebal.”
Cie Peng lantas mengasih dengar pula suaranya: “Haha,
Touw Ongya! Coan Cin Cit Cu mana pernah jerih terhadap lain orang? Urusan ini
memang tidak ada sangkutannya sama pihak kami, guruku pun cuma menyuruh aku
mengasih kabar saja kepada orang lain, tetapi kalau orang berani main gila
terhadap Coan Cin Cit Cu, hm, biar dia Oey Yok Su atak Hek Yok Su, nanti Coan
Cin Kauw memperlihatkan dia apa yang bagus!”
Kata-kata Oey Yok Su dan Hek Yok Su itu berarti ejekan,
karena disini “Oey” itu bukan diartikan she, hanya “oey - kuning” dan “hek -
hitam”
Mendengar itu, Liok Koan Eng menjadi tidak senang. Maka
ia pun lantas berkata: “Touw Ongya, apa yang barusan hambamu telah
mengatakannya, harap dipandang saja sebagai kata-kata ngelindur. Umpama kata
ada orang tak melihat mata kepada kami, pasti kami tak sudi menerimanya!”
Mereka itu masing-masing bicara kepada malaikat dapur,
diluar dugaan, kata-kata mereka menjadikan bentrokan satu pada lain. Yauw Kee
menjadi serba salah, mau ia datang sama tengah tetapi mereka itu sama-sama muda
dan darahnya panas.
Begitulah In Cie Peng telah berkata pula: “Touw Ongya,
ilmu silat Coan Cin Pay adalah ilimu silat sejati di kolong langit ini, ilmunya
orang lain kaum yang sesat, biar bagaimana luar biasa juga, tidak nanti dapat
dibandingkannya!”
“Touw Ongya,” berkata Koan Eng, “Hambamu juga telah lama
mendengar tentang ilmu silat Coan Cin Pay itu, bahwa banyak orangnya yang
lihay, akan tetapi di antaranya tak mustahil tak ada si tukang ngobrol belaka!”
Bukan main gusarnya Cie Peng, tangannya segera menyampok.
Maka gempurlah sebelah kepalanya patung malaikat dapur itu. Dia berseru:
“Binatang yang baik, kau berani mendamprat orang?!”
Koan Eng pun menyampok membikin gempur sebelah yang lain
dari kepala malaikat dapur itu, sambil ia berseru: “Mana aku berani mendamprat
kau? Aku hanya mencaci manusia tak tahu diri, yang tak melihat orang!”
In Cie Peng telah menyaksikan kepandaian orang, ia berada
di sebelah atas, ia menjadi tidak takut, maka ia tertawa dingin dan berkata:
“Baiklah, mari kita main-main, untuk melihat siapa sebenarnya yang tidak
memandang orang!”
Koan Eng menginsyafi bahwa ia kalah kosen tetapi ia tidak
senang yang pihaknya dpandang enteng, ia menjadi tengah menunggang harimau
hingga tak dapat turun, maka dengan tangan kanan menghunus golok, dengan tangan
kirinya ia memberi hormat. Ia berkata: “Baiklah, siauwtee suka sekali menerima
jurus-jurus yang lihay dari Coan Cin Pay!”
Yauw Kee bertambah bingung. Beberapa kali ia hendak
mencegah, saban-saban ia batal sendirinya, hingga cuma air matanya yang
berlinang-linang. Ia tidak mempunyai keberanian untuk maju di tengah antara
mereka itu.
Cie Peng sudah lantas mengebut hudtimnya, ia bertindak
maju. Mereka berdua sudah lantas bertempur.
Koan Eng tidak mengharapi kemenangan, ia lebih
mengutamakan pembelaan diri. Ia mainkan sungguh-sungguh ilmu golok warisan Kouw
Bok Taysu, ilmu golok Lo Han Too-hoat.
In Cie Peng memandnag enteng kepada lawannya, ia lancang
maju, maka kagetlah ia ketika hampir saja lengan kirinya kena terbacok. Karena
ini barulah ia berkaku waspada, kemudian barulah ia menang di angin.
Oey Yong dari tempat sembunyinya mendengar dan
menyaksikan itu semua. Ia terus menonton. Ia mendongkol juga kepada In Cie
Peng, yang berani mengatai ayahnya yang dikatakan berilmu sesat.
“Kalau bukan engko Ceng lagi sakit, akan aku kasih rasa
padanya!” katanya dalam hati. Tiba-tiba saja, ia menjerit, “Ah, celaka!”
Koan Eng membacok begitu hebat hingga ia kehilangan
sasarannya. Golok itu terpancing hudtim Cie Peng, setelah mana orang she In ini
menbalas menotok, dengan jitu, hingga golok lawan terlepas dan jatuh, setelah
mana dia mengebut terus ke muka orang seraya berkata jumawa: “Ingat baik-baik,
inilah jurus lihay dari Coan Cin Pay!”
Diantara bulu hudtim itu ada tercampur kawat halus, kalau
muka Koan Eng kena terkebut, pasti wajahnya yang tampan bakal penuh baret dan
berlumuran darah.
Koan
Eng melihat bahaya, ia berkelit sambil tunduk.
Cie tak mau sudah, ia menyusul dengan kebutannya itu.
“In
Suko!” Yauw Kee berseru. Kali ini si nona
berlompat maju seraya menangkis dengan piasunya.
Ketika ini dipakai oleh Koan Eng untuk memungut goloknya.
“Bagus!”
berseru Cie Peng, tertawa dingin. “Kau telah membantu
orang luar, Thia Sumoy! Nah, kamu berdua, majulah bersama!”
“Apa katamu!” menegur Yauw Kee murka.
Cie Peng tidak menyahuti, ia hanya menyerang beruntun
tiga kali, membuatnya si nona repot menangkis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar