Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 49



BAB 49

Pheng Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka membelah kayu untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak nasi. Hauw Thong Hay pergi mencari mangkok, di dapur ia melihat itu mangkok besi, ketika ia angkat itu, tidak bergerak, Ia heran hingga ia berseru. Lagi sekali ia menarik dengan mengerahkan tenaganya, tetap ia tak berhasil.
Oey Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu. Ia terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan orang-orang di luar itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja mereka berjumlah besar dan semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat menggeraki tubuhnya. Maka itu ia cemas hati, ia menjadi bingung.
See Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik seperguruannya itu berisik saja. Adik ini penasaran.
“Kalau begitu, kaulah yang mengambilnya!” katanya sengit.
Thong Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat.
“Ah…!” serunya heran. Ia pun tak berdaya.
Berisiknya mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia mengawasi mangkok itu.
“Pasti ini ada rahasianya,” bilangnya kemudian. “See Toako, coba kau memutarnya ke kiri atau ke kanan.”
Oey Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada kwee Ceng, ia sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat tulang-belulang di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas mabil kedua buah tengkorak, ia belesaki itu ke dalam buah semangka.
See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya mangkok besi itu membuat pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja. Ia riap-riapakan rambutnya hingga terurai tidak karuan dimukanya, tangannya memegang semangka bertengkorak itu, ia ajukan ke depan, mulutnya memperdengarkan suara meniru hantu.
Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan “berkepala dua” itu, ia kaget bukan main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu? Maka itu ia menjerit keras dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya, yang hatinya menjadi ciut. Hingga disitu tinggal Auwyang Kongcu seorang, yang rebah di atas rumput tanpa bergerak.
Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega. Lekas-lekas ia menutup pula pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras, untuk mencari lain jalan guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw lihay, mesti Thong Hay beramai bakal datang pulang.
Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan dibuka, lalu satu orang bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia lantas mencekal tempulingnya dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu lekas pintu dibuka dan orang terlihat, hendak ia mendahului menimpuk dengan tempuling itu.
Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring memanggil-manggil tuan rumah.
Oey Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas-lekas ia mengintai. Tidak keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu benar seorang wanita, yang terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan indah seperti seorang nona hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya tidak kelihatan.
Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan rumah, yang jawabannya tak juga kunjung tiba.
Oey Yong menjadi heran. Ia ingat sekarang suara nona itu.
“Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?” katanya dalam hati.
Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan giranglah Nona Oey ini.
Tidak salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga sekarang, kenapa nona itu bisa berada di tempat ini.
Sementara itu Sa Kouw, yang tidur layap-layap, bangun juga atas panggilan si nona. Ia menghampirkan.
“Tolong bikinkan aku barang makanan,” nona Thia minta.
Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang makanan, tetapi justru itu, hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil menoleh, ia lari ke dapur. Untuk herannya ia menampak nasih putih di dalam tempulo. Itulah nasi Wanyen Lieh beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari tahu darimana datangnya nasi itu, ia menyendoki satu mangkok untuk nona tetamunya, ia sendiri turut dahar pula.
Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu pun nasi keras, maka itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta sumpitnya.
Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana ia menepuk-nepuk perutnya, romannya menandakan ia sangat puas.
“Nona aku numpang tanya,” nona Thia menanya. “Tahukah kau dusun Gu-kee-cun dari sini berapa jauh lagi?”
“Gu-kee-cun?” menyahut si tolol. “Ini justru Gu-kee-cun. Hanya aku tak tahu berapa jauh terpisahnya..”
Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu dadu, kepalanya terus ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya.
“Oh, kiranya inilah Gu-kee-cun!” katanya kemudian. “Sekarang aku hendak tanyakan kau tentang satu orang, apakah kau tahu….kau tahu…..”
Sa Kauw tidak menanti hingga orang mengucapakan habis pertanyaannya, ia menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari keluar.
Oey Yong sendiri, yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir.
“Ah, siapakah yang ia cari di sini? Ya, ia muridnya Sun Put Jie, mungkin ia dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada muridnya Khu Cie Kee…”
Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia duduk dengan toapan, pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga di samping kupingnya. Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi pikirkan.
Oey Yong mengawasi terus.
Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar rumah maka, lalu satu orang muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah.
“Sungguh kebetulan!” berkata Oey Yong di dalam hatinya. “Kenapa orang-orang yang kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di Gu-kee-cun ini?”
Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari Kwie-in-chung. Ia berdiri di muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak menegur, hanya kembali ia memanggil tuan rumah.
Nona Thia melihat seorang muda, ia malu dan likat, ia lantas menoleh ke arah lain.
Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri. “Kenapa ada nona cantik di sini dan dia sendirian saja?” Ia bertindak masuk, terus ke dapur. Ia tidak menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan ia mendapat lihat nasi di tempulo.
“Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku, bolehkah bukan nona?” ia tanya nona Thia.
Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan kepunyaannya sendiri, ia tertawa.
“Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!” katanya tertawa.
Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan dua mangkok.
“Terima kasih,” katanya kemudian seraya memberi hormat kepada nona Thia. “Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun Gu-kee-cun berapa jauh terpisahnya dari sini?”
Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak terkecuali.
“Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun,” pikir nona Oey.
“Tempat ini justru desa Gu-ke-cun,” menyahut Yauw Kee sambil ia membalas hormatnya si anak muda.
Koan Eng menjadi girang.
“Bagus!” katanya. “Sekarang aku minta tanya nona tentang satu orang…”
Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya penduduk Gu-kee-cun itu, atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang dicari pemuda ini. Maka itu ia menanti.
“Ada seorang muda she Kee nama Ceng, entah dia tinggal di rumah yang mana di sini?” Koan Eng tanya. “Apakah ia berada di rumahnya?”
Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong.
“Mau apa dia mencari engko Ceng?” putrinya Tong Shia tanya dirinya sendiri.
Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya jadi merah, lekas-lekas ia menunduk.
Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan orang itu, saking cerdiknya ia dapat menerka hari orang.
“Ah, kiranya!” pikirnya. “Engko Ceng telah menolongi dia di Poo-eng, rupanya ia lantas mencintainya secara diam-diam…”
Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau cemburu, maka itu mengetahui ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia menjadi girang sekali.
Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini.
Yauw Kee ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya dari Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya Auwyang Kongcu, tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina. Melihat Kwee Ceng muda, romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia hatinya dan gagah, lantas ia menjadi ketarik dan jatuh hati, maka seperginya pemuda itu, ia ingat dan memikirkannya tak hentinya. Lama-lama tak dapat ia menguasai dirinya lagi, setelah memikir pergi pulang, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam dari rumahnya. Ia mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia melakukan perjalanan seorang diri dan jauh, dia asing dengan segala apa kaum kangouw. Tetapi ia memberanikan diri. Ia mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee ceng membilang ia berasal dari dusun itu dengan kotanya Lim-an. Untung nona Thia, karena dandannya indah, di tengah jalan tidak ada orang yang mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum tahu itulah desa yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw. Begitu ia mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun kacau.
Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia mengharap-harap Kwee Ceng tak ada di rumah…kata ia di dalam hatinya: “Sebentar aku mencuri datang ke rumahnya, setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat pulang lagi. Aku tidak boleh membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia melihat aku, aku malu sekali…”
Diluar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan pemuda ini menanyakan Kwee Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah “bersalah”? Ia mau menduga si anak muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia menjadi malu sendirinya. Setelah berdiam sekian lama, ia bangun berdiri, dengan niat mengangkat kaki. Tapi ia belum sempat ia mewujudkan itu, sebab mendadak dari sebelah luar mongol satu kepala orang yang romannya jelek. Cepat sekali, kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut hingga ia bertindak mundur.
Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula, bahkan sekarang ia mengasih dengar suaranya: “Hantu kepala dua, kalau kau berani, marilah muncul di terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia untuk melayani kau bertempur!”
Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran. Adakah mereka yang ditantang? Kalau benar, kenapakah?
“Hm!” Oey Yong menagsih dengar suara perlahan. “Dia toh datang pula!”
Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw Kee dan Koan Eng itu. Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay ini. Maka ia pikir baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ. Daya apa dia ada punya?
Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang kabur lebih dulu, hingga kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka munculnya pula si hantu istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia berhenti, dengan begitu ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia bertabiat keras, hatinya menjadi panas.
“Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari bolong!” demikian ia dapat berpikir. “Tidak, aku si Lao Hauw tidaak takut, biar aku balik pula untuk singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!”
Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski begitu, hatinya toh kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat melihat Koan Eng dan Yauw Kee. Pikirnya: “Celaka betul, sekarang hantu kepala dua itu mencipta diri jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau mesti waspada!”
Begitulah ia menantang.
Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak memperdulikannya. Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya tak beres.
Thong Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita tidak muncul menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan tidak munculkan diri diwaktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin besar. Untuk menyerbu, ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan bahwa hantu takut sama kotoran manusia atau air kencing.
“Kenapa aku tidak hendak mencoba?” pikirnya Ia pun lantas mengambil keputusan, maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk mencari tempat kotoran itu. Di samping rumah makan ada sebuah. Saking penasaran, ia melupakan segala apa. Untuk membungkus najis itu, ia pakai bajunya ia loloskan. Dengan membawa kotoran itu, ia kembali ke rumah makan. Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi itu lagi berduduk diam. Ia menjadi gusar sekali.
“Hantu yang bernyali besar!” ia lantas membenatk. “Kau lihat Hauw Looya kamu akan membikin segera memeprlihatkan diri asalmu!” lantas ia bertindak masuk, tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga, tangan kanannya membelak bungkusan najis.
Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat “si edan” kembali, mereka melengak. Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu, hidung mereka lantas mencium bau busuk yang santar.
Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir, “Aku dengar orang bilang, setan pria kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aki hajar dulu yang wanita!” Maka itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee.
Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak berkelit, Koan Eng mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah bangku. Hanya hebat tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya berhamburan, siapa mendapat cium, ia pasti muak.
Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak: “Hantu kepala dua sudah pulang ke asalnya!” Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam kepada nona Thia! Dia semberono tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu hebatlah tikamannya ini.
Koan Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang bukan orang edan hanya seorang gagah dari Rima Persilatan.
Tidak ayal lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu.
“Kau siapa tuan?” ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak tahu aturan.
Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia hanya menuruti saja kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga lagi tiga kali.
Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis berulang-ulang, ia masih menanyakan nama orang.
Thong Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu silat tetapi tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia suka bicara. Ia menyahuti: “Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya kau bisa menggunai jampemu yang berbahaya? Tidak, tuan besarmu justru tidak hendak memberitahukan namanya!”
Ia menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia mengulangi serangannya secara hebat.
Koan Enng segera juga keteter dan terdesak ke tembok. Ia memang kalah gagah dan senjata bangku juga tidak cocok untuknya. Tidak ada ketika untuknya mencabut golok di pinggangnya. Ia terdesak ke tembok di betulan lobang tempat Oey Yong mengintai.
Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang baik dengan hebat ia mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit, maka itu, ujung senjata musuh menikam ke tembok di samping lobang.
Koan Eng berlaku sebat, belum lagi musuh mencabut senjatanya, ia mendahulukan menghajar dengan bangkunya. Tapi Thong Hay lihay, matanya awas, gesit gerakannya, sebelah kakinya terangkat naik, mendahului menendang lengan lawannya itu, yang mengenai tepat, sedang dengan tangan kirinya ia membarengi menyerang.
Koan Eng terkejut. Bangkunya terlepas dari tangannya. Justru itu ia pun mesti berkelit dari serangan tangan kiri. Tengah ia mendak, Thong Hay sudah mencabut senjatanya yang nancap di tembok itu.
Thia Yauw Kee, yang melihat bahaya, lompat kepada Koan Eng, untuk menolongsi si anak muda menghunus goloknya, untuk diserahkan kepada anak muda itu. “Terima kasih!” kata Koan Eng seraya menyambuti golok dari tangan si nona. Ia kagum untuk kelincahan si nona itu, yang dalam saat genting seperti itu dapat membantu padanya.
Sebab gerakannya Thong Hay, ia sudah menyerang pula. Disaat senjata lawan hampir sampai didadanya, Koan Eng menangkis dengan keras, maka keras juga bentrokan kedua senjata, hingga muncratlah lelatu apinya. Thong Hay merasakan telapakan tangannya sakit.
Pertempuran berlanjut terus, kaki keduanya telah menginjak kotoran. Selama itu Thong Hay bergelisah. Nyatanya lawannya itu tangguh.
“Perlihatkan diri asalmu!” ia membentak sambil menikam ke arah perut. Itulah pukulan “Menolak peragu menuruti aliran air”.
Menampak ilmu silat itu, Koan Eng lompat mundur tiga tindak.
“Tahan dulu!” ia berseru. “Kau pernah apakah dengan Kwie-bun Liong Ong?”
Thong Hay melirik dengan tajam.
“Ha, hantu, kau kenal juga nama sukoku!” katanya dingin.
Koan Eng menduga kepada orang gila, yang menyerang ia kalng-kabutan, atau orang salah menyangka, tetapi sekarang, mendengar orang menyebut siri sebagai adik seperguruan dari See Thong Thian, tahulah ia bahwa orang ini datang menuntut balas untuk Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hoang Hoo. Ia jadi hendak membalaskan sakitnya Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong. Karena ini, ia lantas berkelahi semakin hebat.
Tidak lama, kembali Koan Eng kena terdesak, tidak peduli ia berlaku mati-matian.
Yauw Kee dapat melihat si pemuda terancam bahaya. Mulanya ia berdiam saja di pojokan menyaksikan pertempuran itu, ia pun takut pada kotoran, tetapi sekarang menampak ancaman bahaya itu, tidak dapat ia berdiam terus-terusan. Ia mencabut pedangnya sambil mengajukan diri.
“Jangan takut, akan aku bantu kau!” ia berkata. Ia bahkan segera menikam punggung lawan. Ia murid kepala dari Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, dari itu ia adalah orang dari kaum Coan Cin Pay.
Majunya nona ini ada dalam dugaan Hauw Thong Hay. Tidak demikian dengan Koan Eng. Maka pemuda ini menjadi heran berbareng girang, hingga terbangun semangatnya, kalau tadi ia repot membela diri, hingga ia tidak dapat melakukkan penyerangan balasan, sekarang ia dapat melakukan itu.
Mulanya Thong Hay jeri juga, ia khawatir si nona lihay, tetapi selang beberapa jurus, legalah hatinya. Dia mendapat kenyataan nona ini kurang latihannya. Maka kemudian, walaupun dikepung berdua, ialah yang dapat lebih banyak menyerang.
Oey Yong dari dalam kamar mengikuti terus pertempuran itu. Ia menjadi berkhawatir. Ia mengetahui dengan baik, lama-lama muda-mudi itu bisa becelaka di tangan musuh yang telengas ini. Ia berkhawatir sebab ada keinginannya untuk membantui tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan. Mana bisa ia tinggalkan Kwee Ceng?
“Nona kau pergilah!” berkata Koan Eng kemudian. “Urusan di sini bukan urusanmu!”
Yauw Kee tak mau mundur. Ia tahu pemuda itu mengkhawatirkan keselamatanya. Untuk kebaikan hati itu, ia merasa sangat bersyukur. Tentu sekali, tidak dapat ia mengangkat kaki membiarkan kawan itu menghadapi bahaya maut. Maka itu ia menggeleng kepalanya.
“Kita bermusuh, maka itu kau carilah aku sendiri si orang she Liok!” Koan serukan Thong Hay. “Lekas kau membuka jalan untuk nona ini mengundurkan diri!”
Thong Hay tertawa lebar. Sekarang ia telah memperoleh kepastian muda-mudi ini bukannya hantu atau iblis, hatinya menjadi besar. Ia pun sudah menang di atas angin! Bukankah si nona pun cantik manis?
“Hantu pria aku hendak tangkap, iblis wanita aku hendak bekuk juga!” katanya dingin. Ia mengulangi serangannya yang hebat, hanya terhadap Thia Yauw Kee, ia tidak menggunai tenaga sepenuhnya.
Koan Eng menjadi bertambah khawatir.
“Nona lekas kau menyingkir!” ia serukan nona itu. “Aku berterima kasih padamu!”
“Kau she Liok?” tanya si nona perlahan tanpa menghiraukan anjuran orang untuk mengangkat kaki.
“Benar,” menyahut Koan Eng. “Nona sendiri she apa dan murid siapakah?”
“Guruku she Sun, orang menyebutnya Ceng Ceng Sanjin,” sahut nona Thia. “Aku sendiri…aku…” Ia hendak menyebut namanya tetapi ia malu.
“Nona,” berkata Koan Eng. “Akan aku tahan dia, kau pergilah menyingkir! Asal aku dapat menolong jiwaku, nanti aku susul padamu!”
Mukanya Yauw Kee merah. Ia tidak menjawab itu anak muda, hanya ia membentaki lawannya: “Eh, siluman, jangan kau lukakan dia! Katahui olehmu, guruku ialah Sun Cinjin dari Coan CinPay dan dia segera bakal datnag kemrai!”
Nama Coan Cin Pay sangat terkenal, maka mendengar disebutnya partai itu, hati Thong Hay tercekat. Bukankah Thie-kak-sian Giok Yang Cu Ong Cie It pernah memperlihatkan kepandaiannya di dalam istana Chao Wang? Meski begitu, ia tidak sudi mengasih lihat kelemahannya. Maka itu ia sengaja berseru: “Biarnya tujuh siluman Coan Cit Cit Cu datang kemari, hendak aku membinasakan semuanya!”
“Orang bosan hidup, kau ngaco belo!” mendadak terdengar seruan dari arah luar.
Kaget ketiga orang itu, dengan sendirinya mereka pada lompat mundur. Koan Eng khawatir Thong Hay main gila, ia tarik Yauw Kee ke belakangnya, ia lantas berdiri di depan si nona seraya ia bersiap dengan goloknya.
Semua mata mengawasi ke luar. Di ambang pintu berdiri seorang tojin atau imam usia muda, romannya tampan, tangannya mencekal kebutan atau hudtim. Ia bersenyum dingin ketika ia menegaskan pula: “Siapakah yang membilang hendak membinasakan Coan Cin Cit Cu?”
“Itulah aku Hauw Looya yang membilangnya!” sahut Thong Hay takabur. “Kau mau apa?!”
“Baiklah! Sekarang kau cobalah membunuhnya!” menantang si imam muda. Kata-kata ini disusul sama gerakan tubuhnya seraya kebutannya mengebut kemuka si Ular Naga Kepala Tiga.
Ketika itu selesailah Kwee Ceng dengan latihannya, tempo kupingnya dapat mendengar suara berisik di luar kamar itu, ia lantas mengintai.
“Mungkinkah benar imam muda ini anggota Coan Cin Cit Cu?” Oey Yong tanya.
Kwee Ceng segera mengenali imam muda itu, ialah In Cie Peng muridnya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dialah yang dua tahun lampau pergi ke Mongolia menyampaikan surat gurunya kepada Kanglam Liok Koay dan dalam pibu, pertandingan itu, ia kena dikalahkan dia itu. Maka itu, ia beritahukan si nona Oey siapa imam itu.
“Dia pun tak dapat melawan Hauw Thong Hay,” berkata Oey Yong sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah lewat dua tahun, kepandaiannya In Cie Peng telah bertambah, walaupun demikian, berkelahi sama-sama Liok Koan Eng mengepung Hauw Thong Hay mereka cuma berimbang saja.
Yauw Kee menonton dengan bengong. Ia terkejut katika ia dipegang oleh Koan Eng dan ditarik ke belakang si anak muda, habis mana anak muda itu menyerang Thong Hay yang menyambuti serangannya In Cie Peng. ia tengah mengusut-usut tangannya itu tatkala ia mendengar suara Koan Eng, “Nona, awas!”
Itulah Hauw Thong Hay, yang menggunai kesempatannya akan membokongi si nona, yang ia tikam pundaknya. Ia tidak menyangka akan serangan itu, atas pemberian ingat si anak muda, ia lantas berkelit, setelah mana dalam murkanya ia maju menyerang. Dengan begitu, Thong Hay jadi dikerubuti bertiga.
Walaupun ia gagah, sekarang Thong Hay bingung juga. Memang nona Thia ini tidak lihay, akan tetapi dikepung berdua, mereka sudah berimbang, dengan bertambah satu tenaga lagi, ia merasa berat. Ia menjadi cemas sendirinya, hendak ia meloloskan diri, tetapi kepungan rapat.
In Cie Peng mempermainkan kebutannya di muka lawannya itu, lama-lama Thong Hay menjadi seperti kabur matanya, maka satu kali ia alpa, gerakannya kurang sebat, ia merasakan pahanya sakit, sebab goloknya Koan Eng mampir di pahanya itu. Ia menjadi murka sekali, ia mendamprat leluhur lawannya.
Masih si Ular Naga Kepala Tiga membuat perlawanan. Karena luka dikakinya itu, kelincahannya menjadi berkurang. Masih ia diganggu kebutan Cie Peng, yang membikin ia kewalahan. Kapan tiba saatnya ia mencoba menikam, Cie Peng libat gaetannya itu, hingga keduanya jadi saling tarik.
Biar bagaimana, Thong Hay menang tenaga, kesudahannya saling tarik itu, kebutannya Cie Peng kena tertarik hingga terlepas. Tapi menang disini, Thong Hay kalah dilain pihak. Dengan mengadu tenaga sama Cie Peng, ia menjadi lengah, maka juga ujung pedangnya Yauw Kee menusuk pundak kanannya, atas mana terlepaslah tempulingnya yang bercagak tiga!
In Cie Peng lepas kebutannya itu, ia tidak menjadi kaget atau bingung, bahkan ia memperlihatkan kegesitannya, ialah justru lawannya kena tertikam, ia maju untuk menotok. Tepat ia mengenakan jalan darah hian-kie, atas mana, Sam-tauw-kauw roboh seketika.
Koan Eng tidak berlaku ayal, ia berlompat untuk menubruk, lalu dengan menggunai ikat pinggang lawan, ia ringkus lawannya itu, kedua tangan siapa ditelikung.
“Lihat, muridnya Coan Cin Cit Cu saja kau tidak sanggup lawan!” kata In Cie Peng mengejek. “Masihkah kau hendak membinasakan semua Coan Cin Cit Cu?”
Thong Hay gusar, ia memaki kalang kabutan. Ia kata ia toh dikepung bertiga.
Cie Peng tidak sabaran, ia sobek ujung baju orang dan pakai itu untuk menyumbat mulut orang yang kotor itu, maka sekarang, si Ular Naga Tiga Kepala melainkan bisa mendelik mata dan mukanya merah, mulutnya tak bersuara lagi.
“Suci,” berkata Cie Peng kepada Yauw Kee sambil ia memberi hormatnya. “Kau adalah murid dari Sun Susiok, maka terimalah hormatnya suteemu.”
Yauw Kee membalas hormat sambil merendahkan diri.
“Entah suheng murid paman guru yang mana?” ia bertanya.
“Siauwtee ialah In Cie Peng, muridnya Tiang Cun Cu,” menyahut saudara asal seperguruan ini.
Yauw Kee tidak pernah keluar pintu, ia tidak kenal keenam saudara gurunya tetapi ia pernah mendengar dari gurunya tentang mereka itu, maka tahulah ia siapa Tiang Cun Cu itu.
“Kalau begitu, In Suheng, kaulah suhengku,” katanya perlahan. “Adikmu ini she Thia, kau panggil saja sumoy padaku.”
In Cie Peng bersenyum melihat sumoy itu, adaik seperguruannya, tetapi meski begitu, ia melayani berbicara, setelah mana ia belajar kenal dengan Liok Koan Eng.
Orang she Liok itu memberitahukan she dan namanya tetapi ia tak menyebutkan nama dan gelaran ayahnya dan menyebut juga pekerjaannya sebagai kepala perampok di telaga Thay Ouw, ia cuma menerangkan, ia bermusuh dengan Hauw Thong Hay sebab ia telah membunuh Ma Ceng Hiong.
“Orang edan ini kosen, dia tidak dapat dimerdekakan!” berkata nona Thia.
“Biarlah aku lantas binasakan dia!” berkata Liok Koan Eng.
“Ah, jangan!” mencegah nona Thia, yang hatinya pemurah.
“Tidak apalah dia tidak dibikin mampus!” kata Cie Peng tertawa. “Sumoy, sudah berapa lama kau berada disini?”
“Baru saja,” sahut si nona dengan wajahnya merah jengah.
Cie Peng mengawasi muda-mudi ini, pikirannya bekerja.
“Mereka rupanya pasangan, jangan aku berdiam lama di sini membuat mereka muak saja…” pikirnya. Maka ia lantas berkata: “Aku sedang menjalankan tuga yang diberikan suhu. Aku diperintah pergi ke dusun Gu-kee-cun guna menyampaikan berita kepada satu orang. Nah, sampai di sini saja, harap kita bisa bertemu pula!”
Yauw Kee masih likat.
“In Suheng, kau sedang mencari siapa?” tanyanya perlahan.
Cie Peng agaknya bersangsi, tetapi sejenak kemudian, ia pikir: “Thia sumoy orang sendiri, dia berjalan sama anak muda ini, dia pun bukan orang lain, tidak ada halangannya untuk aku bicara.” Maka ia menjawab bahwa ia lagi mencari seorang kenalan she Kwee.
Keterangan ini membuatnya beberapa orang terkesiap hatinya. Mereka yang berada di dalam kamar rahasia, begitu pun Liok Koan Eng, bahkan pemuda she Liok ini lantas bertanya: “Adakah ia yang bernama Ceng?”
“Benar,” sahut Cie Peng memberikan kepastian. “Saudara Liok kenal sahabat she Kwee itu?”
“Siauwtee justru hendak mencari Kwee Susiok itu,” menyahut Koan Eng.
“Eh, kau memanggil dia susiok?” tanya Cie Peng dan Yauw Kee berbareng. Nona ini pun heran waktu pertama mendengar Cie Peng menyebut “sahabat she Kwee”
“Ayahku setingkat derajatnya dengannya, maka itu siauwtee memanggil susiok,” Koan Eng menjelaskan. (Susiok artinya paman guru)
Tingkat Liok Seng Hong sederajat dengan Oey Yong, dengan sendirinya Koan Eng mesti memanggil paman guru kepada Kwee Ceng. Mengenai Kwee Ceng itu, Yauw Kee tidak membilang suatu apa akan tetapi perhatiannya tertarik.
“Apakah kau telah bertemu padanya. Ada di mana dia sekarang?” Cie Peng menanya dengan cepat.
“Siauwtee pun baru tiba di sini, selagi siauwtee hendak mencari keterangan, kita bertemu ini orang edan, tidak karuan dia menyerang kita,” menerangkan Koan Eng.
“Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi mencarinya,” kata Cie Peng kemudia.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi. Mereka telah mendapat dengar semua pembicaraannya ketiga orang itu.
“Mereka pasti bakal kembali,” kata Kwee Ceng. “Yong-jie, kau bukalah pintu.”
“Mana dapat?” si nona berkata. “Mereka mencari kamu tentu untuk urusan penting. Kau lagi beristirahat, mana dapat kau memecah pikiranmu?”
“Tetapi urusannya mesti sangat penting,” si anak muda bilang.
“Biarnya langit ambruk, tidak nanti aku membuka pintu,” si nona kata pasti.
Hati Kwee Ceng tidak tenang, tetapi Oey Yong benar. Ia pun khawatir si nona menjadi berduka. Maka terpaksa ia berdiam saja, melanjuti istirahatnya itu.
Benar saja, selang tidak lama, Koan Eng bertiga kembali ke rumah makannya Sa Kouw. Kaon Eng berduka, katanya: “Di kampung halamannya sendiri susiok tidak dapat dicari. Bagaimana sekarang?”
“Urusan penting apakah itu antara kamu berdua, saudara Liok?” Cie Peng tanya Koan Eng. “Bolehkah aku ketahui itu?”
Sebenarnya Koan Eng tidak suka memberitahu, tetapi ketika ia menampak wajah nona Thia, ia mengubah pikirannya dalam sekejap.
“Omonganku panjang,” ia menyahut. “Biarlah aku bersihkan dulu kotoran di sini, nanti baru kita bicara.”
Di rumahnya Sa Kouw ini, sapu pun tidak ada, maka itu Koan Eng dan Cie Peng menggunai rumput untuk menyapu kotoran. Setelah itu ketiganya duduk menghadapi meja.
Koan Eng hendak mulai bicara ketika Yauw Kee mencegah. “Tunggu dulu!” katanya seraya ia berbangkit bertindak mendekati Hauw Thong Hay. Ia memotong sejuwir ujung baju orang tawanan itu, yang mana ia pakai menyumpal kedua kupingnya dia itu. “Biar dia jangan mendapat dengar!” ia menambahkan dengan tertawa.
“Kau teliti, nona!” Koan Eng memuji. Ia pun tersenyum.
Oey Yong dalam tempat persembunyiannya tertawa di dalam hatinya. Pikirnya: “Kau masih bicara tentang teliti! Sudah kami berdua, sukar untuk mengetahuinya, di sana pun ada rebah Auwyang Kongcu, kau masih belum ketahui juga……”
Thia Yauw Kee masih hijau, inilah tidak heran. In Cie Peng biasa mengikuti gurunya tetapi ia dasarnya semberono. Sedang Koan Eng, yang biasa memerintah, kurang waspada. Demikian mereka berbicara, bertindak, tanpa memeriksa dulu tempat di sekitarnya.
Nona Thia mendapatkan kuping Thong Hay telah terpapas, ia tercengang, tetapi hanya sejenak.
“Sekarang kau boleh bicara!” katanya tertawa pada Koan Eng habis ia menyumbat.
Untuk sesaat, agaknya pemuda she Liok itu bersangsi.
“Ah, darimana aku harus mulai?” katanya. “Sekarang aku lagi mencari Kwee susiok. Sebenarnya tidak seharusnya aku pergi mencari tetapi tanpa mencari, tak dapat….”
“Inilah aneh!” berkata Cie Peng.
“Memang. Aku mencari Kwee Susiok bukan untuk urusannya sendiri hanya untuk keenam gurunya.”
“Ah, Kanglam Liok Koay?” Cie Peng tanya seraya menepuk meja. “Mungkin kita ada bersamaan tujuan. Sekarang mari kita masing-masing menulis di tanah, lalu minta Thia sumoy yang melihatnya, cocok atau tidak.”
Belum lagi Koan Eng menyahuti, sambil tertawa Yauw Kee mendahului: “Bagus! Nah putarlah tubuhmu dan menulislah!”
In Cie Peng dan Liok Koan Eng memegang masing-masing sebatang puntung, sambil belakang-membelakangi, mereka sudah lantas mencoret-coret di tanah.
“Thia Sumoy!” kemudian kata Cie Peng tertawa, “Kau lihat tulisan kita sama atau tidak?”
Yauw Kee melihat coretan mereka itu.
“In Suheng, kau menduga keliru,” katanya perlahan. “Tulisan kamu tidak sama.”
“Ah!” seru Cie Peng sambil berbangkit.
Yauw Kee tertawa dan menambahkan: “Kau menulis ‘Oey Yok Su’ dan dia menggambar sebatang bunga tho.”
Oey Yong heran.
“Mereka mencari engko Ceng, mengapa toh ada sangkutannya sama ayahku?” ia menduga-duga.
Lalu terdengar suara Koan Eng perlahan: “Apa yang ditulis In Suheng adalah nama dari kakek guruku, dan siauwtee tidak berani menulisnya langsung…”
“Oh, kakek gurumu?” kata Cie Peng terperanjat. “Kalau begitu, pikiran kita sama saja. Bukankah Oey Yok Su itu tocu dari pulau Tho Hoa TO?”
Yauw Kee heran.
“Oh, kiranya begitu!” katanya.
“Karena saudara Liok ada orang kaum Tho Hoa To,” berkata In Cie Peng, “Dengan begitu dengan mencari Kanglam Liok Koay, kau tentunya bermaksud tak baik untuk mereka itu…”
“Sebaliknya, suheng…”
Cie Peng tidak puas orang omong sangsi-sangsi.
“Oleh karena saudara Liok tidak mengangap aku sebagai sahabat, sudahlah, tak ada gunanya untuk kita bicara banyak-banyak,” katanya. “Ijinkanlah aku meminta diri.”
Ia lantas berbangkit dan memutar tubuh, untuk berlalu.
“Tunggu, In Suheng!” mencegah Koan Eng. “Aku hendak menutur sesuatu, aku pun hendak memohon bantuanmu.”
Adalah tabiat Cie Peng yang ia paling senang kalau orang memnita apa-apa padanya, dari itu ia lantas menjadi girang.
“Baiklah!” katanya. “Sekarang kau boleh bicara!”
“In Suheng,” berkata Koan Eng menerangkan, “Kau adalah orang Coan Cin Pay, maka itu bukankah ada semacam tugas dari kamu umpama kata kau mendengar sesuatu tentang lain orang, kau akan lantas memberitahukan atau mengisikinya supaya orang itu berhati-hati dan berjaga-jaga? Sekarang, andaikata, ada salah seorang dari pihak seatasan kau hendak mencelakai seseorang, dan kau mengetahuinya itu, pantas atau tidak kalau kau mengisiki orang itu untuk lari menyingkirkan diri?”
In Cie Peng seperti dapat menduga maksud orang. Ia menepuk pahanya.
“Aku mengerti sekarang,” katanya. “Teranglah di antara kamu pihak Tho oa To ada orang yang tengah menghadapi kesulitan. Nah, kau bicaralah!”
“Di dalam perkara ini,” berkata Koan Eng. “Jikalau aku memeluk tangan menonton saja, aku jadi berbuat tak selayaknya, sebaliknya, apabila aku mencampurnya tahu, aku jadi menentang kaumku sendiri. Maka itu, In Suheng, walaupun aku ingin memohon bantuanmu, tak dapat aku membuka mulutku…”
Cie Peng mau menduga, akan tetapi karena orang tidak menjelaskannya, ia pun tidak dapat mengambil putusan, maka itu ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia nampaknya likat sendiri.
Yauw Kee memandang kedua orang itu, ia mendapat jalan.
“In Suheng,” katanya, “Kau tanyalah Liok Toako. Kalau ia mengangguk, itulah soalnya, kalau ia menggeleng kepalanya, itulah bukannya. Asal Liok Toako tidak mengatakannya sendiri, itu berarti ia tidak melanggar aturan kaumnya.”
“Bagus dayamu ini, Thia Sumoy!” kata Cie Peng girang. “Saudara Liok, mari dengar aku bicara dulu tentang urusanku. Guruku yaitu Tiang Cun Cu Khu Cinjin, diluar keinginannya, telah mendapat suatu kabar penting, ialah kabar halnya Tocu Tho Hoa To karena membenci Kanglam Liok Koay, berniat membunuh jago-jago dari Kanglam itu, hendak membinasakan mereka serumah tangga. Karena itu guruku lantas mendahulukan pergi untuk memberi kisikan. Nyatanya Liok Koay tidak ada dirumahnya, mereka telah pergi pesiar. Atas itu guruku lantas menitahkan semua anggota keluarga Liok Koay itu pergi menyingkirkan diri masing-masing. Maka ketika Oey Yok Su sampai ke Kee-hin, ia tidak menemukan seorang juga. Ia menjadi sangat gusar dan mendongkol, tetapi ia cuma dapat menungkuli diri, dengan gondok ia berangkat ke Utara. Setelah itu taklah lagi bagaimana kejadiannya peristiwa. Dan kau, tahukah kau tentang itu?”
Koan Eng mengangguk.
In Cie Peng berdiam sebentar habis itu ia berkata pula: “Turut rasaku dia terus mencari kanglam Liok Koay. Sebenarnya di antara guruku dan Liok Koay ada suatu perselisihan, tetapi perselisihan itu sudah dapat disudahi sedang mengenai urusannya, kesalahan berada di pihak Oey Yok Su maka itu kebetulan Coan Cin Cit Cu berkumpul di Kanglam, mereka lantas memisah diri mencari Liok Koay untuk menasehati mereka untuk berhati-hati menjaga diri, bahkan paling betul mereka menyingkir jauh-jauh, supaya mereka tak dapat dicari kakek gurumu itu. Coba kau pikir, tindakan itu tepat atau tidak?”
Koan Eng mengangguk pula.
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berpikir: “Engko Ceng sudah tiba di Tho Hoa To memenuhi janji, kenapa ayah hendak pergi mencari pula Liok Koay?” Ia tidak tahu ayahnya telah kena dijual Leng Tie Siangjin dan mempercayai yang ia telah mati kelelap di laut hingga dia menjadi sangat berduka dan gusar dan karenanya hendak menumpahkan amarahnya kepada Kanglam Liok Koay.
Kembali terdengar suaranya In Cie Peng: “Oleh karena tidak dapat mencari Liok Koay, guruku ingat Kwee Ceng yang menjadi murid Liok Koay itu. Kwee Ceng itu ada orang asal dusun Gu-kee-cun di Lim-an dan dipercaya betul ia telah kembali ke kampung halamannya, dari itu aku dititahkan datang kemari mencari dia di sini. Guruku percaya pastilah Kwee Ceng mengetahui di mana adanya semua gurunya itu. Kau telah datang ke mari, saudara Liok, bukankah itu untuk urusan yang sama?”
Lagi-lagi Koan Eng mengangguk.
“Sekarang telah ternyata Kwee Ceng belum kembali ke kampung halamannya ini,” berkata Cie Peng pula, “Meskipun begitu guruku telah melakukan kewajibannya terhadap Liok Koay itu, maka itu walaupun dia tidak dapat mencari mereka itu, itulah disebabkan habis daya. Melihat yang mereka dukar dicari, aku percaya, Oey Yok Su juga tentu tak akan dapat mencari mereka. Nah, saudara Liok, kau hendak memohon bantuanku, bukankah itu urusan mengenai urusan ini juga?”
Untuk kesekian kalinya, Liok Koan Eng kembali mengangguk.
“Kau hendak menitahkan apa padaku, saudara Liok, silahkan kau mengatakannya,” kata Cie Peng. “Di mana yang aku bisa, pasti aku akan memberikan bantuanku padamu.”
Atas ini, Liok Koan Eng membungkam.
Yauw Kee tertawa.
“In Suheng, kau lupa,” katanya mengingati. “Saudara Liok tak dapat membuka mulutnya!”
Cie Peng sadar, ia pun tertawa.
“Benar!” ujarnya. “Bukankah saudara Liok hendak memohon aku berdiam terus disini untuk menanti sampai pulangnya sahabat Kwee Ceng itu?”
Koan Eng menggeleng kepala.
“Apakah kau menghendaki aku lekas pergi ke segala tempat untuk mencari Kanglam Liok Koay dan sahabat she Kwee itu?” Cie Peng tanya pula.
Kembali Koan Eng menggeleng kepala.
“Ah, aku mengerti sekarang!” kata Cie Peng, “Kau menghendaki aku menyampaikan kabar pada sahabat-sahabat di Kanglam, mereka terkenal, mereka pasti ada punya sahabat-sahabat kekal, yang nantinya akan mengisikinya mereka terlebih jauh. Benarkah begitu?”
Lagi-lagi Koan Eng menggeleng kepalanya.
Cie Peng mengutarakan pula beberapa dugaan akan tetapi Koan Eng tidak membenarkan, Yauw Kee turur dua kali menanya, ia pun dijawab dengan gelengan kepala. Maka itu, Oey Yong yang curi dengar turut menjadi bingung juga.
Sekian lama mereka bertiga berdiam saja.
“Thia Sumoy,” akhirnya In Cie Peng berkata, “Perlahan saja kau bicara sama saudara Liok ini, aku tidak dapat main teka-teki terus-terusan, hendak aku keluar sebentar. Lagi satu jam, aku akan kembali.”
Habis berkata, benar-benar Cie Peng bertindak keluar. Maka itu di dalam ruangan, kecuali Hauw Thong Hay, tinggal Liok Koan Eng berdua dengan Thia Yauw Kee. Si nona bertunduk, ia berpikir. Ia tetap mendapati Koan Eng berdiam saja, diam-diam ia melirik, justru itu, Koan Eng pun memandang padanya, maka sinar mata mereka jadi saling bentrok. Ia jengah sendirinya, dengan muka merah, ia lekas-lekas melengos, terus ia tunduk, kedua tangannya membuat main runce gagang pedangnya.
Setelah itu Koan Eng berbangkit dengan perlahan, untuk menghampirkan perapian. Di muka dapur itu ada gambarnya malaikat dapur, kepada malaikat itu ia berkata: “Touw Ongya, hambamu mempunyai satu urusan, yang sulit untukku memberitahukannya kepada lain orang, maka itu baiklah hambamu menjelaskannya pada ongya saja, dan hambamu mengharap semoga ongya suka memayunginya.”
Mendengar itu girang hatinya Yauw Kee.
“Orang yang pintar!” ia memuji di dalam hatinya. Ia lantas mengangkat kepalanya untuk mendengar terlebih jauh.
“Hambamu she Liok bernama Koan Eng,” berkata pula si anak muda. “Hambamu ialah anak dari Chungcu Liok Seng Hong dari dusun Kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw. Ayahku itu telah mengangkat Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To sebagai gurunya. Beberapa hari yang lalu guru ayahku itu, ialah kakek guruku datang ke Kwie-in-chung, ia mengatakan ia hendak membinasakan semua keluarga Kanglam Liok Koay, maka itu ia menitahkan ayahku dan supee Bwee Tiauw Hong turut mencari Kanglam Liok Koay. Bwee supee bermusuhan dengan Kanglam Liok Koay, inilah hal yang sangat menggirangkan hatinya. Tidak demikian dengan ayahku, yang mengagumi kemuliaan Kanglam Liok Koay. Ayahku menganggap tidaklah pantas membinasakan orang-orang gagah seperti mereka itu. Karena itu, ayahku menjadi berduka. Ayah berniat menitahkan aku mengisiki Kanglam Liok Koay, untuk Liok Koay menyingkir, tetapi ayah tidak berani berbuat demikian sebab itu berarti mendurhaka kepada kakek guru. Maka juga pada suatu malam ayah menghadapi gambar yang dilukis Sukouw Oey Yong, yang menjadi putrinya kakek guru, untuk mengutarakan kesulitannya itu. Hambamu ini telah mendapat dengar pengutaraan ayahku itu, karenanya hamba segera berangkat mencari Kanglam Liok Koay, guna menyampaikan berita dari ancaman bahaya itu….”
Mendengar itu, Yauw Kee dan Oey Yong kata dalam hatinya: “Dia cerdik juga, dengan kata-katanya ini dia ingin lain orang dapat mendengarnya. Dengan caranya ini, dia menjadi tidak berdurhaka kepada partainya.”
Lalu terdengar suara Koan Eng lebih lanjut: “Karena hambamu tidak dapat mencari Kanglam Liok Koay, hambamu lantas berangkat kemari. Hambamu ingat kepada muridnya mereka ialah Kwee Susiok. Siapa tahu, Kwee Susiok pun tak ketahuan dimana adanya, Kwee Susiok itu ialah menantu dari kakek guruku…”
Yauw Kee menaruh hati kepada Kwee Ceng. Ia menaruh hati sendirinya. Maka ia terkesiap juga mendengar bahwa Kwee Ceng menantunya Oey Yok Su. Cuma sebentar perasaannya itu, lantas ia dapat melegakan hati. Bukankah sekarang perhatiannya telah ditumpleki kepada Liok Koan Eng, pemuda di hadapannya ini, yang lebih tampan daripada pemuda she Kwee itu?
Koan Eng masih bicara seorang diri: “Asal hambamu dapat mencari Kwee Susiok, maka ia dapat bersama Oey Sukouw meminta kakek guru membatalkan niatannya itu. Kakek guru boleh keras hatinya tetapi tidak nanti ia dapat menolak permintaan anak mantunya. Hanya, dari suaranya ayahku, mungkin Kwee Susiok dan Oey Sukouw telah menampak suatu bencana… Di dalam hal ini, tidak dapat hambamu menanyakan keterangan ayah.”
Mendengar kata-kata ini, Oey Yong tanya dalam hatinya: “Mustahilkah ayah sudah ketahui engko Ceng telah terluka parah? Tidak, tidak nanti ia ketahui itu. Mungkinkah ayah ketahui yang kita terlunta-lunta di pulau kosong…?”
“In Suheng ialah seorang yang sungguh-sungguh hati dan nona Thia cerdas dan lemah-lembut,” terdengar suaranya Koan Eng, terlebih lanjut. Mendengar pujian ini Yauw Kee girang berbareng mukanya merah. “Meski demikian, mereka tidak dapat menebak apa yang aku pikir. Sulit adalah Kanglam Liok Koay. Mereka adalah orang-orang gagah yang kenamaan, benar mereka bukan tandingan kakek guru, akan tetapi untuk meminta mereka menyingkir jauh-jauh, itulah rasanya tidak mungkin. Menyingkir bagi mereka berarti merusak nama baik mereka, itu tandanya mereka jeri. Pastilah mereka tidak akan melakukan itu. Bahkan hambamu percaya, kalau mereka mendengar kabar yang mereka lagi dicari, mungkin mereka justru akan berbalik menncari kakek guru!”
Diam-diam Oey Yong memuji Koan Eng, yang tidak kecewa menjadi kepala perampok di Thay Ouw, sebab nyata ia berpandangan jauh.
“Maka sekarang aku memikir lain,” Koan Eng masih berkata-kata terus. “Coan Cin Cit Cu gagah dan mulia hatinya, nama mereka kesohor, ilmu silat mereka mahir, jikalau In Suheng dan nona Thia yang memohon bantuan guru mereka, suka mengajukan diri sebagai juru pendamai, mungkin kakek guruku sudi mendengar suara mereka. Tidak mungkin ada permusuhan hebat di antara kakek guru dan Kanglam Liok Koay, dan biarpun Kanglam Liok Koay umpama kata benar bersalah terhadapnya, jikalau ada orang kenamaan yang mendamaikan, hambamu percaya perdamaian bakal didapatkan. Touw Ongya, inilah kesulitan hambamu. Sia-sia belaka hambamu mempunya pikiran ini tetapi tidak dapat ia mengutarakannya kepada lain orang. Dari itu hambamu mohon sudi apakah ongya dapat mengaturnya…”
Yauw Kee tahu pembicaraan orang akan berakhir, maka tidak nanti sampai Koan Eng berhenti bocara, ia sudah memutar tubuhnya bertindak keluar untuk mencari Cie Peng, guna menyampaikannya,hanya baru ia tiba di ambang pintu, kembali ia mendengar lagi suaranya pemuda she Liok ini. Kata dia ini: “Touw Ongya, jikalau Coan Cin Cit Cu suka membantu mendamaikan, sungguh ini suatu perbuatan sangat besar dan bagus, hanya hambamu berharap dengan sangat, kapan nanti Coan Cin Cit Cu bicara sama kakek guru, biarlah mereka tidak menyentuh hingga kakek guru merasa tersinggung. Kalau tidak, satu ombak belum sirap, lain gelombang datang menyusul, itulah artinya celaka. Ongya, sampai disinilah kata-kata hambamu, tidak ada lagi…”
Mendengar itu Yauw Kee tertawa. Di dalam hatinya ia kata: “Kau sudah bicara habis, sekarang akulah yang akan bekerja untukmu!” Ia berjalan keluar untuk mencari In Cie Peng, tetapi telah ia memutari sekitar rumah makan, tidak ia melihat bayangan si kakak seperguruan itu. Terpaksa ia berjalan kembali. Atau tiba-tiba ia mendengar suaranya Cie Peng, perlahan sekali: “Thia Sumoy…”
“Oh, kau di sini!” kata si nona girang.
Cie Peng memberi tanda dengan tangannya agar si nona yang berisik. I apun segera menunjuk ke arah Barat, sambil berkata pula, tetap dengan perlahan sekali. “Di sana ada orang, tindakannya sebagai setan. Dia membawa senjata di tubuhnya…”
“Mungkinkah dia orang yang tengah lewat di sini?” kata Yauw Kee, menghampirkan kakak seperguruannya itu. Ia mengatakan demikian karena perhatiannya terpengaruh kata-kata Koan Eng.
In Cie Peng sebaliknya bersikap sungguh-sungguh. Katanya pula: “Di sana ada beberapa orang, lincah tubuh mereka, mestinya mereka lihay.”
Orang-orang yang ia lihat itu adalah rombongannya Pheng Lian Houw. Mereka itu menanti Thong Hay, yang lama tak kembali, mereka menjadi menduga kawan itu mendapat kecelakaan, tetapi walaupun demikian, karena mereka sangat mementingkan diri sendiri, mereka tidak berani pergi untuk mencari dan menolongi. Mereka jeri terhadap itu orang yang menyamar hantu di istana, yang sangat lihay…..”
In Cie Peng menanti sekian lama, setelah tidak dapat melihat bayangan orang, iabertindak menghampirkan ke tempat mereka itu tadi. Nyata mereka sudah tidak nampak lagi.
Sampai di situ, Yauw Kee menuturkan ocehannya Koan Eng tadi kepada malaikat dapur.
“Begitu rupanya yang ia pikir, mana dapat orang menerkanya,” berkata Cie Peng. “Sekarang begini, sumoy. Pergi kau bicara sama Sun Susiok, aku sendiri akan minta bantuan guruku. Asal Coan Cin Cit Cu suka membantu, di kolong langit ini tak ada urusan yang tak dapat diselesaikan.”
“Hanya kita harus waspada agar urusan tidak berubah menjadi keonaran,” kata nona Thia itu, yang menyampaikan kata-kata terakhir dari Koan Eng tadi.
“Hm!” kata Cie Peng. “Oey Yok Su itu makhluk macam apa, mustahil dia dapat melebihkan Coan Cin Cit Cu?” Ia tertawa dingin.
Yauw Kee ingin minta orang jangan takabur, tetapi melihat wajah orang muram, ia membatalkan niatnya itu.
Bersama-sama mereka lantas kembali ke rumah makan.
“Aku hendak meminta diri,” kata Koan Eng kepada dua orang itu. “Lain hari, kalau kamu lewat di Thay Ouw, harap kamu berdua sudi mampir di Kwie-in-chung untuk singgah buat beberapa hari.”
Yauw Kee tercengang. Berat rasanya untuk segera berpisah dengan pemuda itu.
In Cie Peng sendiri memutar tubuh menghadapi malaikat dapur, untuk berkata: “Touw Ongya, Coan Cin Cit Cu paling gemar mendamaikan segala persengketaan. Urusan tak adil bagaimana juga dalam kalangan kangouw, asal murid-murid Coan Cin mengetahuinya, pasti mereka tak nanti berpeluk tangan saja tak mengurusnya!”
Koan Eng mengerti kata-kata itu ditujukan kepadanya, maka ia pun berkata: “Touw Ongya, semoga ongya dapat membereskan urusan ini dengan baik, dan hambamu sangat bersyukur kepada sekalian budiman untuk kebaikannya sudi mengeluarkan tenaganya.”
In Cie Peng pun berkata pula. “Touw Ongya, silahkan legakan hati. Coan Cin Cit Cu tersohor di kolong langit ini, asal mereka suka turun tangan, tidak ada urusan yang tidak dapat diselesaikan.”
Koan Eng melengak. Di dalam hatinya ia kata: “Kalau Coan Cin Cit Cu memaksakan perdamainan, mana kakek guruku puas?” Maka lekas-lekas ia berkata pula: “Touw Ongya, ongya mengetahui sendiri kakek guru biasa bawa maunya sendirinya, dia tidak suka memperdulikan orang lain, kalau lain orang sudi bersahabat dengannya, dia suka mendengarnya, tetapi bila orang bicara dari hal kepantasan, itulah yang ia paling sebal.”
Cie Peng lantas mengasih dengar pula suaranya: “Haha, Touw Ongya! Coan Cin Cit Cu mana pernah jerih terhadap lain orang? Urusan ini memang tidak ada sangkutannya sama pihak kami, guruku pun cuma menyuruh aku mengasih kabar saja kepada orang lain, tetapi kalau orang berani main gila terhadap Coan Cin Cit Cu, hm, biar dia Oey Yok Su atak Hek Yok Su, nanti Coan Cin Kauw memperlihatkan dia apa yang bagus!”
Kata-kata Oey Yok Su dan Hek Yok Su itu berarti ejekan, karena disini “Oey” itu bukan diartikan she, hanya “oey - kuning” dan “hek - hitam”
Mendengar itu, Liok Koan Eng menjadi tidak senang. Maka ia pun lantas berkata: “Touw Ongya, apa yang barusan hambamu telah mengatakannya, harap dipandang saja sebagai kata-kata ngelindur. Umpama kata ada orang tak melihat mata kepada kami, pasti kami tak sudi menerimanya!”
Mereka itu masing-masing bicara kepada malaikat dapur, diluar dugaan, kata-kata mereka menjadikan bentrokan satu pada lain. Yauw Kee menjadi serba salah, mau ia datang sama tengah tetapi mereka itu sama-sama muda dan darahnya panas.
Begitulah In Cie Peng telah berkata pula: “Touw Ongya, ilmu silat Coan Cin Pay adalah ilimu silat sejati di kolong langit ini, ilmunya orang lain kaum yang sesat, biar bagaimana luar biasa juga, tidak nanti dapat dibandingkannya!”
“Touw Ongya,” berkata Koan Eng, “Hambamu juga telah lama mendengar tentang ilmu silat Coan Cin Pay itu, bahwa banyak orangnya yang lihay, akan tetapi di antaranya tak mustahil tak ada si tukang ngobrol belaka!”
Bukan main gusarnya Cie Peng, tangannya segera menyampok. Maka gempurlah sebelah kepalanya patung malaikat dapur itu. Dia berseru: “Binatang yang baik, kau berani mendamprat orang?!”
Koan Eng pun menyampok membikin gempur sebelah yang lain dari kepala malaikat dapur itu, sambil ia berseru: “Mana aku berani mendamprat kau? Aku hanya mencaci manusia tak tahu diri, yang tak melihat orang!”
In Cie Peng telah menyaksikan kepandaian orang, ia berada di sebelah atas, ia menjadi tidak takut, maka ia tertawa dingin dan berkata: “Baiklah, mari kita main-main, untuk melihat siapa sebenarnya yang tidak memandang orang!”
Koan Eng menginsyafi bahwa ia kalah kosen tetapi ia tidak senang yang pihaknya dpandang enteng, ia menjadi tengah menunggang harimau hingga tak dapat turun, maka dengan tangan kanan menghunus golok, dengan tangan kirinya ia memberi hormat. Ia berkata: “Baiklah, siauwtee suka sekali menerima jurus-jurus yang lihay dari Coan Cin Pay!”
Yauw Kee bertambah bingung. Beberapa kali ia hendak mencegah, saban-saban ia batal sendirinya, hingga cuma air matanya yang berlinang-linang. Ia tidak mempunyai keberanian untuk maju di tengah antara mereka itu.
Cie Peng sudah lantas mengebut hudtimnya, ia bertindak maju. Mereka berdua sudah lantas bertempur.
Koan Eng tidak mengharapi kemenangan, ia lebih mengutamakan pembelaan diri. Ia mainkan sungguh-sungguh ilmu golok warisan Kouw Bok Taysu, ilmu golok Lo Han Too-hoat.
In Cie Peng memandnag enteng kepada lawannya, ia lancang maju, maka kagetlah ia ketika hampir saja lengan kirinya kena terbacok. Karena ini barulah ia berkaku waspada, kemudian barulah ia menang di angin.
Oey Yong dari tempat sembunyinya mendengar dan menyaksikan itu semua. Ia terus menonton. Ia mendongkol juga kepada In Cie Peng, yang berani mengatai ayahnya yang dikatakan berilmu sesat.
“Kalau bukan engko Ceng lagi sakit, akan aku kasih rasa padanya!” katanya dalam hati. Tiba-tiba saja, ia menjerit, “Ah, celaka!”
Koan Eng membacok begitu hebat hingga ia kehilangan sasarannya. Golok itu terpancing hudtim Cie Peng, setelah mana orang she In ini menbalas menotok, dengan jitu, hingga golok lawan terlepas dan jatuh, setelah mana dia mengebut terus ke muka orang seraya berkata jumawa: “Ingat baik-baik, inilah jurus lihay dari Coan Cin Pay!”
Diantara bulu hudtim itu ada tercampur kawat halus, kalau muka Koan Eng kena terkebut, pasti wajahnya yang tampan bakal penuh baret dan berlumuran darah.
Koan Eng melihat bahaya, ia berkelit sambil tunduk.
Cie tak mau sudah, ia menyusul dengan kebutannya itu.
“In Suko!” Yauw Kee berseru. Kali ini si nona berlompat maju seraya menangkis dengan piasunya.
Ketika ini dipakai oleh Koan Eng untuk memungut goloknya.
“Bagus!” berseru Cie Peng, tertawa dingin. “Kau telah membantu orang luar, Thia Sumoy! Nah, kamu berdua, majulah bersama!”
“Apa katamu!” menegur Yauw Kee murka.
Cie Peng tidak menyahuti, ia hanya menyerang beruntun tiga kali, membuatnya si nona repot menangkis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar