Bab 38
Auwyang Hong melihat Cit Kong
tidak segera menjawab, ia mendahului: “Baiklah begini keputusan kita!
Sebenarnya saudara Yok sudah menerima naik keponakanku tetapi karena memandang
mukanya saudara Cit, biarlah kedua bocah itu diuji pula! Aku lihat cara ini tidak sampai merenggangkan kerukunan.” Ia
lantas berpaling kepada keponakannya, akan membilang: “Sebentar, apabila kau
tidak sanggup melawan Kwee
Sieheng, itu tandanya kau sendiri
yang tidak punya guna, kau tidak dapat menyesalkan lain orang, kita semua mesti
dengan gembira meminum arak kegirangannya Kwee Sieheng
itu! Jikalau kau memikir lainnya, hingga timbul lain kesulitan, bukan saja
kedua locianpwee bakal tidak menerima kau, aku sendiri pun tidak
gampang-gampang memberi ampun padamu!”
Ang Cit Kong tertawa berlenggak.
“Makhluk
berbisa bangkotan, teranglah sudah kau merasa sangat pasti untuk kemenangan
pihakmu ini!” ia berkata. “Kata-katamu ini sengaja kau perdengarkan untuk kami
mendengarnya, supaya kami tidak usah mengadu kepandaian lagi dan lantas saja
menyerah kalah!”
Auwyang Hong tertawa pula.
“Jikalau
kau ketahui itu, bagus! Saudara
Yok, silahkan kau menyebutkan
syarat atau cara ujianmu itu!”
Oey Yok Su sudah berkeputusan
akan menyerahkan gadisnya kepada Auwyang
Kongcu, ia telah
mengambil putusan akan mengajukan tiga soal yang mesti dapat dimenangkan calon
baba mantunya. Tetapi, sedang ia memikir untuk membuka mulutnya, Ang Cit
Kong dului ia.
“Main
ujian? Itu pun baik!” kata Pak
Kay. “Kita ada bangsa memainkan
pukulan dan tendangan, maka itu saudara Yok, jikalau kau mengajukan syarat,
mestilah itu mengenai ilmu silat. Umpama kata kau mengajukan urusan syair dan
nyanyian, atau soal mantera dan melukis gambar dan lainnya, maka kami berdua
terang-terang akan mengaku kalah saja, kami akan menepuk-nepuk kempolan kami
dan mengangkat kaki, tak usah lagi mempertontonkan keburukan kami di depan
kamu!”
“Itulah
pasti!” Oey Yok Su
memberikan kepastiannya. “Yang pertama-tama ialah mengadu silat…”
“Itulah
tak dapat!” Auwyang
Hong menyelak. “Sekarang ini
keponakanku tengah terluka.”
“Inilah
aku ketahui,” kata Oey
Yok Su
tertawa. “Aku juga tidak nanti membiarkan kedua sieheng mengadu kepandaian si
Tho Hoa To ini, sebab itu dapat merenggangkan kerukunan kedua pihak.”
“Jadi
bukannya mereka berdua mengadu silat?” Auwyang Hong
menegaskan.
“Tidak
salah!” sahut Oey
Yok Su.
Auwyang Hong girang, ia tertawa.
“Benar!”
katanya. “Apakah kepala penguji hendak memperlihatkan beberapa jurus untuk
setiap orang mencoba-coba jurus itu?”
“Itu
juga bukan,” Oey
Yok Su
menggeleng kepalanya. “Dengan
cara itu sudah
dipertanggungjawabkan yang aku nanti tidak berlaku berat sebelah. Bukankah
diwaktu menggeraki tangan dapat orang membikin enteng atau berat sesuka hati? Saudara Hong,
kepandaianmu dan sudara Cit sudah sampai dipuncaknya kemahiran dan barusan pun,
sampai seribu jurus lebih, kamu masih sama tangguhnya. Sekarang baiklah kau
mencoba Kwee Sieheng dan saudara Cit mencoba Auwyang Sieheng.”
Mendengar
itu Ang Cit Kong
tertawa.
“Cara ini tidak jelek!” bilangnya. “Mari, mari
kita coba-coba!” sembari berkata, ia terus menggapaikan Auwyang Kongcu.
“Tunggu
dulu!” berkata Oey
Yok Su
cepat. “Kita harus mengadakan aturannya. Pertama-tama; Auwyang Sieheng
lagi terluka, tidak dapat ia mengempos semangatnya dan berkeras menggunkana
tenaganya, dari itu kita harus menguji kepandaiannya tetapi bukan tenaganya.
Kedua; kamu berempat harus bertempur di atas bambu, siapa yang terlebih dulu
jatuh ke tanah, dialah yang kalah. Dan
yang ketiga; Siapa yang melukai pihak anak muda, dialah yang kalah.”
Ang Cit Kong heran.
“Melukai
anak muda dihitung kalah?” dia bertanya.
“Demikian
selayaknya!” menjawab Oey
Yok Su.
“Kamu berdua sangat lihay, jikalau tidak diadakan aturan semacam ini, sekali
kamu turun tangan, apakah kedua sieheng masih ada nyawanya? Saudara Cit,
asal kau membikin lecet saja kulitnya Auwyang Sieheng,
kau teranggap kalah! Demikian juga dengan saudara Hong!”
Pak Kay menggaruk-garuk
kepalanya. Tapi ia tertawa.
“Oey
Lao Shia si Sesat bangkotan benar-benar sangat ajaib bin aneh, bukan percuma
namanya disohorkan!” katanya. “Pikir saja, siapa yang melukai musuh dia justru
yang kalah! Aturan ini adalah aturan paling aneh sejak jaman purbakala! Tapi
baiklah, mari kita bertindak menurut
aturan ini!”
Oey
Yok Su memberi tanda dengan kipasan tangannya, keempat orang itu sudah lantas
berlompat naik ke atas pohon, merupakan dua rombongan; Ang Cit Kong bersama
Auwyang Kongcu di kanan, dan Auwyang Hong bersama Kwee Ceng di kiri.
Oey Yok Su masgul. Ia ketahui
baik, Auwyang
Kongcu terlebih llihay daripada Kwee Ceng,
benar pemuda itu terluka tetapi dengan mengadu ringan tubuh, dia masih terlebih
unggul.
Oey Yok Su sudha lantas
berseru; “Asal aku menghitung habis satu, dua dan tiga, kamu semua boleh mulai
bertempur! Auwyang
Sieheng dan Kwee Sieheng,
siapa saja di antara kamu yang jatuh lebih dulu, dialah yang kalah!”
Mendengar
begitu, Oey Yong berpikir keras, memikirkan daya untuk
membantu Kwee
Ceng. Ia bingung, Auwyang Hong
sangat lihay, bagaimanaia dapat menyelak di antara mereka itu?
Segera Oey Yok Su menghitung: “Satu! Dua…! Tiga!”
Maka
bergeraklah keempat orang di atas tiang bambu itu, bergerak-gerak bagaikan
bayangan.
Oey Yong mengkhawatirkan Kwee Ceng, ia
memasang mata. Ia melihat, cepat sekali sudah lewat belasan jurus. Ia menjadi
heran, tidak kecuali Oey
Yok Su,
yang tidak menyangka pemuda itu demikian pesat kemajuannya.
“Aneh,
mengapa dia masih belum kalah?” pikir Tong Sia si Sesat dari Timur.
Auwyang Hong sendiri berduka
sangat, ia menjadi bergelisah sendirinya, dengan sendirinya ia mulai gunai
tenaganya, untuk mendesak. Ia heran untuk lihaynya si bocah. Dipihak lain,
tidak dapat ia melukakan si bocah itu. Tapi ia berpikir keras, maka lekas juga
ia mendapat jalan. Dengan tiba-tiba saja ia menyapu dengan kedua kakinya untuk
membikin lawannya roboh, begitu lekas serangan pertama gagal, ia mengulanginya
saling susul, bertubi-tubi.
Diserang
secara hebat berantai begitu, Kwee Ceng membuat perlawanan dengan Hang Liong
Sip-pat Ciang jurus “Naga Terbang di Langit”, tubuhnya beruulang-ulang
berlompat, membal ke atas, sedang kedua tangannya, yang dibuka dan nampaknya
tajam seperti golok atau gunting, senantiasa dipakai membabat ke arah kaki
lawannya yang lihay itu. Ia jadi selalu berkelit sambil menyerang.
Hatinya Oey Yong berdebaran
menyaksikan pertempuran dahsyat itu. Ketika ia melirik kepada Ang Cit
Kong dan Auwyang Kongcu, ia
mendapatkan cara mereka bertempur pun beda.
Auwyang Kongcu memperlihatkan
kepandaian enteng tubuhnya, ia berlari-lari ke Timur dan Barat, sama sekali ia
tidak sudi berhadapan sama Ang
Cit Kong
untuk bertempur sekalipun satu jurus. Kalau Ang
Cit Kong
merangsak, ia lekas-lekas menyingkir.
“Binatang
ini main menyingkir saja, ia memperlambat tempo,” pikir Cit Kong.
“Kwee Ceng sebaliknya tolol, dia melayani Auwyang Hong
emngadu tenaga dan kepandaian, pasti dia bakal jatuh lebih dulu…”
Pengemis
dari Utara ini segera berpikir. “Hm!” ia perdengarkan suara di hitungnya, lalu
tiba-tiba saja ia lompat mencela tinggi, menubruk kepada si anak muda, kedua
tangannya diulur dengan sembilan jarinya dibuka merupakan cengkeraman ceker
baja.
Menampak
demikian, Auwyang
Kongcu terkejut. Segera ia
menjejak dengan kaki kirinya, berkelit berlompat ke kanan.
Ang
Cit Kong menubruk tempat kosong tetapi ia sudah dapat menduga orang bakal
menyingkir ke kanan itu, maka juga dengan menjumpalitkan tubuhnya, ia
mendahului lompat ke kanan, di sana segera ia bersiap dengan kedua tangan
sambil ia berseru: “Biarlah aku kalah asal kau mampus lebih dulu!”
Auwyang Kongcu kaget bukan main,
kaget karena gerakan orang yang sebat, yang seperti memegat jalannya, dan kaget
untuk ancaman. Tidak berani ia menangkis serangan itu untuk membela dirinya. Di luar keinginannya, belum sempat ia memikirkan
daya, kakinya sudah menginjak tempat kosong, maka terus saja ia jatuh. Ia telah
memikir, kalahkah ia dalam pertandingan ini? Hanya ketika itu, Kwee Ceng
pun jatuh di sampingnya!
Auwyang Hong telah berpikir keras
karena sudah sekian lama ia tidak dapat merobohkan bocah lawannya. Kejadian ini
membuatnya bergelisah. ia telah berpikir: “Jikalau aku mesti melayani dia sampai
lebih daripada limapuluh jurus, ke mana perginya pamornya See Tok?” Karena ini
ia mendesak, bagaikan kilat tangan kirinya menyambar ke belakang lehernya Kwee Ceng.
Ia pun berseru: “Kau turunlah!”
Pemuda
itu berkelit sambil mendak, tangan kirinya diulur, niatnya untuk menangkis,
disaat mana, mendadak Auwyang
Hong mengerahkan tenaganya. Ia
menjadi kaget hingga ia menegur; “Kau…kau….” Ia hendak menanya: “Kenapa kau
tidak menaati peraturan?” dan ia mengerahkan tenaganya. Atau mendadak Auwyang Hong
tertawa dan menanya: “Aku kenapa?” Dengan mendadak juga ia membatalkan
pengerahan tenaganya itu.
Kwee Ceng mengatur tenaganya,
untuk melawan. Ia berkhawatir jago tua itu nanti menggunai kuntauw kodoknya, ia
takut nanti terluka di dalam. Siapa sangka tengah ia berkuat-kuat, tiba-tiba
saja penyerangnya itu lenyap dari hadapannya. Di dalam latihan dan pengalaman,
sudha tentu ia kalah jauh dibandingkan dengan See Tok, maka syukur untuknya,
dari Ciu Pek Thong ia telah memperoleh ilmu silat “Kong Beng Kun” yang terdiri dari
tujuhpuluh dua jurus itu, yang sifatnya dalam “keras ada kelembekannya”, kalau
tidak pastilah akan terjadi seperti di Kwie-in-chung tempo melayani Oey Yok Su,
tangannya salah urat. Meski demikian, ia toh terjerumuk, kakinya limbung, tidak
ampun lagi ia jatuh kepala di bawah, kaki di atas!
Kalau Auwyang Kongcu jatuh lurus,
berdiri, Kwee
Ceng menjadi terbalik. Keduanya
jatuh berbareng. Tubuh mereka pun berada berdekatan. Auwyang Kongcu
melihat tegas saingannya itu, mendadak saja timbul pikirannya yang sesat.
Mendadak ia majukan kedua tangannya, untuk menekan kedua kakinya Kwee Ceng
itu, berbareng dengan mana, meminjam kaki orang, ia apungi tubuhnya naik.
Dengan demikian, selagi ia mumbul, Kwee Ceng
sendiri turun semakin cepat.
Oey Yong kaget tidak terkira.
Itulah artinya Kwee
Ceng pemuda pujaannya bakal kalah.
Tanpa merasa, ia menjerit; “Ayo!”
Hampir
berbareng dengan jeritan itu, terlebihlah tubuh Kwee Ceng
berbalik mencelat ke atas, di lain pihak, tubuhnya Auwyang Kongcu
turun pula, bahkan terus jatuh ke tanah. Di
lain pihak lagi, Kwee
Ceng telah tiba di atas pohon,
berdiri di sebatang cabang, lalu dengan meminjam tenaga cabang itu ia mendekam!
Menyaksikan
kejadian itu dari kaget bukan main, Oey Yong
menjadi girang bukan kepalang. Sungguh-sungguh ia tidak mengerti kenapa bisa
terjadi demikian rupa sedang pada Kwee Ceng
ia tidak nampak sesuatu aksi. Bukankah pemuda itu terpisah hanya lagi beberapa
kaki dari tanah?
Auwyang Hong dan Ang Cit
Kong pun sudah sama-sama berlompat
turun, Ang Cit Kong
tertawa terbahak-bahak, berulang-ulang ia berseru: “Sungguh indah! Bagus!”
Parasnya
See Tok, sebaliknya muram.
“Saudara Cit,
muridmu yang lihay ini campur aduk sekali ilmu kepandaiannya!” ia berkata, “Dia
pun sampai dapat mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongolia!”
Ang Cit Kong tertawa.
“Tetapi
aku sendiri tidak becus ilmu gulat itu!” katanya, mengaku terus-terang.
“Bukanlah aku yang mengajarkan dia, maka itu janganlah kau main gila denganku!”
Sebenarnya Kwee Ceng kaget sekali yang Auwyang Kongcu
sudah menekan kakinya itu berbareng si kongcu sendiri mengapungkan diri. Dia
mengerti, hebat kalau dia jatuh, sedang si kongcu itu bakal berada di
atasannya. Itulah artinya ia kalah dan bercelaka. Disaat segenting itu, ia
tidak menjadi gugup. Ia melihat kaki orang di depan mukanya, hebat luar biasa,
ia menyambar dengan kedua tangannya, menarik dengan keras seraya tubuhnya pun
diapungkan ke atas. Memang itulah ilmu gulat orang Mongolia, supaya sesudah roboh
dapat berlompat. Itulah ilmu gulat yang tak ada bandingannya turun temurun. Kwee
Ceng menjadi besar di gurun pasir, sebelum ia berguru dengan Kanglam Cit Koay,
ia sudah bergaul erat dengan Tuli dan lainnya bocah bangsa Mongolia itu, dengan
sendirinya sering mereka adu gulat. Sekarang ia menghadapi bahaya, hampir tanpa
berpikir, ia menggunai ilmu kepandaiannya itu. Ia pun meminjam tenaga lawan
sama seperti Auwyang
Kongcu meminjam tenaganya. Dan ia memperoleh kemenangan!
“Kali
ini Kwee Sieheng yang menang!” Oey Yok
Su sudah lantas mengasih dengar
putusannya. “Kau jangan bersusah hati, saudara Hong, jangan panas. Auwyang Sieheng
lebih lihay, siapa tahu pertandingan kedua dan ketiga dia nanti yang menang?”
“Kalau
begitu, silahkan saudara Yok menyebutkan acara pertandingan yang kedua itu,”
meminta Auwyang
Hong.
“Pertandingan
yang nomor dua dan nomor tiga ini adalah pertandingan sacara bun,” berkata Oey Yok
Su. Cara
“bun” ialah cara halus, tanpa
kekerasan.
Mendengar
ayahnya itu, Oey
Yong menjerit.
“Ayah,
terang-terangan kau berat sebelah!” katanya. “Kenapa kau menggunai cara bun? Ah, engko Ceng, sudahlah kau jangan mau
bertanding pula!”
“Kau
tahu apa?!” berkata sang ayah. “Dalam ilmu silat, kalau telah dicapai puncaknya
kemahiran, apa orang akan terus main keras-kerasan saja? Acaraku yang kedua
ini, kau tahu, adalah untuk meminta kedua sieheng mengenal sebuah lagu
serulingku….”
Girang Auwyang Kongcu mendengar halnya
acara itu. Katanya dalam hatinya: “Si tolol ini, apakah tahunya tentang ilmu
tetabuhan? Kali ini pastilah aku ynag bakal menang…”
Auwyang Hong tapinya berkata;
“Anak-anak muda masih lemah sekali latihannya bersemedhi menenangkan hati, aku
khawatir tidak dapat mereka bertahan dari lagumu, saudara Yok.”
“Laguku
lagu biasa saja, saudara Hong, jangan kau khawatir,” Oey Yok Su menghibur. Lalu ia menghadapai Auwyang
Kongcu dan Kwee
Ceng, untuk berkata: “Kedua
sieheng, silahkan kau masing-masing mematahkan secabang pohon, kapan nanti kamu
mendengar suara laguku, lantas kamu menimpali dengan mengetok-ngetok batang
pohon itu. Siapa yang dapat menimpali paling tepat, paling bagus, dialah yang
menang.”
Kwee Ceng maju menghampirkan
tuan rumah, ia menjura.
“Oey
tocu,” katanya hormat. “Teecu ini sangat tolol, tentang ilmu tetabuhan teecu
tidak vtahu satu nol puntul, maka itu dalam pertandingan yang kedua ini teecu
menyerah kalah saja….”
“Jangan
kesusu, jangan kesusu!” Ang
Cit Kong
mencegah. “Biar bakal kalah, apakah halangannya untuk mencoba dulu? Apakah kau
khawatir nanti ditertawakan orang? Jangan takut!”
Mendengar
perkataan gutu itu, pikiran Kwee
Ceng berubah. Ia pun melihat Auwyang Kongcu
sudah lantas mematahkan sebatang cabang, maka ia lantas mencari secabang yang
lain.
Oey Yok Su tertawa, ia berkata,
“Saudara Cit berada disini, sungguh siauwtee
membuatnya kau nanti menertawainya!”
Pemilik
Tho Hoa To ini sudah lantas membawa seruling ke bibirnya, maka sedetiknya
kemudian, ia sudah mulai meniup.
Auwyang Kongcu memasang kuping
mendengar irama, cuma sebentar, ia lantas menabuh cabang pohonnya itu,
memperdengarkan suara seperti timpalan kecrek. Ia mengerti lagu, dapat ia
menimpali dengan baik.
Sebaliknya Kwee Ceng agaknya bingung, ia
angkat bambunya tetapi ia tidak mengetok itu, maka juga ketika serulingnya Oey Yok
Su sudah berbunyi lamanya
sehirupan teh, ia masih belum menimpali sekali juga….
Melihat
itu Auwyang Hong dan keponakannya menjadi girang
sekali. Mereka merasa pasti, kali ini mereka bakal menang. Bukankah acara yang
ketiga pun acara bun? Mereka percaya, mereka pun bakal menangi acara yang
ketiga itu….
Oey Yong adalah sebaliknya
dari itu paman dan keponakan. Ia bergelisah sangat. Ia berkhawatir sekali Kwee Ceng
kalah. Maka dengan jari tangannya yang kanan, ia menepuk-nepuk lengannya yang
kiri. Ia mengharap-harapi si anak muda melihatnya dan nanti menelad caranya
itu. Untuk kecelenya, ia mendapat Kwee Ceng
dongak mengawasi langit, berdiam saja, tak ia melihat pertandaannya itu….
Oey Yok Su masih meniup terus
lagunya.
Sejenak
kemudian, mendadak Kwee
Ceng menepuk batang bambunya itu.
Ia menepuk di tengah-tengah antara bagian dua tepukan.
Auwyang Kongcu tertawa terkekeh.
“Baru
mengetok, dia sudah kalah!” pikirnya pemuda ini.
Kwee Ceng kembali menepuk
pula, kembali di bagian tengah seperti tadi. Ketika ia mengulangi sampai empat
kali, semuanya itu tidak tepat.
Oey Yong menggeleng-geleng
kepala.
“Aku
punya engko tolol ini tidak mengerti ilmu tetabuhan, tidak selayaknya ayah
justru menguji ia dengan lagu!” katanya dalam hatinya. Sembari berpikir begitu,
ia menoleh kepada ayahnya. Untuk herannya, ia menampak air muka ayahnya yang
berubah. Ayah itu
agaknya merasa aneh.
Kwee Ceng masih
memperdengarkan pula kecrek bambunya itu, atas mana lau terdengar irama
seruling seperti rancu, hanya sebentar kemudian, irama itu balik kembali dengan
rapi menuruti lagunya.
Masih
saja Kwee Ceng menepuk, tetap ia sama caranya itu, di tengah-tengah di antara
dua bagian kecrekan, hanya caranya sebentar cepat sebentar perlahan, sebentar
mendahului, sebentar ketinggalan. Cara
ini hampir-hampir mengacaukan lagunya Oey Yok Su.
Kejadian
ini bukan cuma mengherankan pemilik pulau Tho Hoa To itu, yang perhatiannya
menjadi tertarik sekali, juga Auwyang Hong dan Ang Cit Kong tidak mengerti. Mereka turut menjadi
heran.
Tadi
Kwee Ceng telah mendengarnya suara pertempuran di antara seruling, ceng dan
siulan, tanpa merasa ia menginsyafinya irama pertempuran istimewa itu, sekarang
mendengar lagunya Oey Yok Su, mulanya ia memasang kuping dengan melongo, lalu
akhirnya ia mengasih dengar suara bambunya untuk mengacau itu. Ia mengetok
dengan keras, suaranya “Bung! Bung! Bung!”
Tidak
peduli telah mahir ilmu menetapkan atau menenangkan hati dari Oey Yok
Su, ia pun tergempur suara bambu
orang itu, beberapa kali hampir ia membuatnya lagunya berbalik mengikuti ini
suara kecrek istimewa dari Kwee
Ceng: “Bung! Bung!”
Lantas Oey Yok Su mengasih bangun semangatnya.
“Hebat
kau, bocah!” pikirnya. Ia meniup pula serulingnya, sekarang dengan irama
perlahan tetapi banyak perubahannya, selalu berganti tekukannya.
Auwyang Kongcu memasang kupingnya,
untuk menangkap lagu itu, baru sesaat, tanpa merasa ia mengangkat bambunya,
sendirinya terus ia bergerak-gerak menari!
Auwyang Hong terkejut, ia
menghela napas. Segera ia maju, untuk mencekal lengan keponakannya itu, menekan
nadinya. Menyusuli itu, ia mengelarkan sapu tangan sutera, untuk menyumbat
kuping orang, supaya Auwyang
Kongcu tidak dapat mendengar lagu
itu. Ketika kemudian si keponakan mulai tetap hatinya, baru ia lepaskan cekalan
dan tekanannya itu.
Oey Yong sendiri tidak
terganggu seruling ayahnya itu. Seperti sang ayah, ia sudah biasa mendengar itu
lagu “Thia Mo Bu” atau “Tarian Hantu Langit”. Ia hanya berkhawatir untuk Kwee Ceng,
takut si anak muda tak dapat menenangi diri, menetapi hati, untuk
mempertahankan diri…………..
Kwee Ceng sudah lantas duduk
bersila di tanah, ia menenangkan diri dengan latihan tenaga dalam Coan Cin
Kauw, dengan begitu ia menentang
rayuan atau bujukannya irama seruling yang menggoncangkan hati itu. Berbareng
dengan itu, tak hentinya ia memperdengarkan kecrek bambunya, untuk mengacau
lagu itu.
Tadi
Oey Yok Su bertiga Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, dengan lagu-lagu mereka telah
mengadu irama, mereka dapat saling menyerang, saling membela diri, mereka tidak
saja tak kena terbujuk atau terserang, sebaliknya mereka dapat menyerang. Sekarang Kwee Ceng
kalah latihan tenaga dalam, ia tidak dapat menyerang, ia cuma bisa membela
diri, malah rapat penjagaannya itu. Benar ia tidak bisa melakukan penyerangan
membalas tetapi juga benar oey Yok
Su tidak dapat menaklukinya.
Selang
sesaat kemudian, suara seruling semakin lama jadi makin perlahan dan halus,
sampai sukar terdengarnya. mendengar itu, Kwee Ceng
berhenti dengan ketokan bambunya, ia memasang kupingnya.
Justru
inilah lihaynya Oek
Yok Su.
Makin perlahan suara serulingnya, makin besar tenaga menariknya. Begitu Kwee Ceng
diam mendengari, bekerjalah pengaruh menarik itu. Irama seruling dan irama
bambu bergabung menjadi satu, mestinya pemusatan pikiran si anak muda kena
terbetot.
Tetapi Kwee Ceng bukannya lain orang.
Coba lain orang, mestinya ia sudah runtuh, tak dapat ia meloloskan diri. Ia
pernah menyakinkan ilmu saling serang dengan tangan sendiri, sebagimana ia
telah lama berlatih dengan Ciu Pek Thong, maka itu, hatinya satu tetapi ia
dapat memecahnya menjadi dua. Maka begitu ia mendengar suara aneh itu, yang
membetot keras hatinya, ia memecah hatinya menjadi dua. Ia insyaf akan bahaya
yang mengancam. Dengan demikian, sambil menetapi hati, menenangi diri, ia
memperdengarkan pula suara sebatang bambunya yang ia pegang dengan tangan
kirinya, maka mendengung pulalah suara bung-bung.
Oey Yok Su menjadi terperanjat
saking herannya.
“Bocah
ini mempunyai kepandaian luar biasa, tidak dapat ia dipandang enteng,”
pikirnya. Tapi ia penasaran, ia mencoba pula. Tidak lagi ia berdiri diam,
dengan mengangkat kakinya, ia bertindak dalam penjuru patkwa, delapan persegi,
sembari jalan ia meniup terus serulingnya.
Kwee Ceng masih menepuk terus,
kedua tangannya mengasih dengar tepukan yang berbeda, dengan begitu ia bagaikan
dua orang yang menentang Oey
Yok Su
satu orang. Tenaganya pun bertambha sendirinya.
Oey Yocu bukan sembarang
orang, makin ditentang ia jadi makin gagah, lalu nada serulingnya menjadi
tinggi dan rendah, makin luar biasa terdengarnya iramanya itu.
Kwee Ceng terus melawan, tetap
ia mempertahankan diri, sampai mendadak ia dapat merasakan dari suara seruling
itu seperti ada hawa dingin yang menyambar kepadanya, bagaikan hawa dingin dari
es membungkus dirinya. Tanpa merasa, ia mengigil.
Biasanya
suara seruling halus dan lemah mengalun, panjang kali ini perubahannya ialah
menjadi keras, bagaikan penyerangan dahsyat, maka itu Kwee Ceng
merasakan hawa dingin meresap ke tulang-tulangnya. lekas-lekas ia memusatkan
pikirannya lagi, ia memecah dua pula. Ia mengingat kepada matahari panas terik
tergnatung di udara, di waktu musim panas memukul besi, atau dengan tangan
memegang obor besar memasuki dapur ynag apinya marong dan panas sekali.
Pemusatan perumpamaan ini berhasil mengurangi serangannya hawa dingin itu.
Kembali Oey Yok Su menjadi heran. Ia melihatnya ditubuh sebelah
kiri Kwee Ceng ada sifat dingin, sebaliknya di tubuh sebelah kanan tertampak
keringat keluar tanda dari hawa panas. Ia lantas merubha pula irama lagunya. Ia
melenyapkan hawa dinginnya, ia mengganti itu dengan hawa panas dari musim
panas.
Kwee Ceng terkejut karena
perubahan itu, disaat ia hendak menentang lagi, suara batang bambunya sudah
menjadi kacau sendirinya.
Oey Yok Su menyaksikan itu,
katanya dalam hatinya: “Kalau ia memaksa melawan, ia masih dapat bertahan
sekian lama, hanya kalau ia tetap terserang terus hawa panas dan dingin
bergantian, kesudahannya ia bakal dapat sakit berat.” Karena memikir demikian,
ia berhenti meniup serulingnya, maka sedetik saja, iramanya seperti lenyap di
rimba. Maka berhentilah lagu seruling itu.
Kwee Ceng segera mengerti
orang telah mengalah terhadapnya, ia lantas berlompat bangun, untuk memberi
hormat kepada Oey
Yok Su
seraya menghanturkan terima kasih untuk kebaikan hati orang, yang ia bahsakan “Oey Tocu.”
Oey Yok Su heran hingga ia mau
menduga; “Bocah ini masih sangat muda usianya, siapa tahu ilmu dalamnya begini
bagus. Mustahilkah sengaja ia memperlihatkan sikap ketolol-tololan sedang
sebenarnya ia cerdas luar biasa? Jikalau tapat dugaanku ini, anakku mesti
dijodohkan dengannya. Baiklah aku mencoba pula!”
Begitulah
ia tersenyum.
“Kau
baik sekali!” katanya manis. “Kau masih memanggil Oey Tocu
kepadaku?”
Dengan
pertanyaannya itu Oey
Yok Su
hendak memberi tanda, “Dari tiga ujian, kau sudah lulus yang dua, karenanya
sudah boleh kau mengubah panggilan menjadi gakhu tayjin.”
Arti
“gakhu tayjin” ialah ayah mertua yang terhormat.
Kwee Ceng ada seorang yang
jujur dan polos, ia tidak mengerti yang kata-kata orang mengandung dua maksud,
maka ia menjadi gugup.
“Aku…aku…”
katanya, lalu ia tak dapat meneruskannya. Lalu matanya mengawasi kepada Oey Yong,
untuk memohon bantuan dari si nona…..
Oey Yong girang bukan main.
Ia lantas menekuk-nekuk jempol kanannya. Itu berarti anjuran untuk Kwee Ceng
bertekuk lutut kepada Oey
Yok Su.
Kebetulan Kwee Ceng mengerti tanda itu,
tanpa bersangsi lagi ia menjatuhkan diri di depan tuan rumah sambil mengangguk
sampai empat kali. Meski ia memberi hormat secara begitu, tetapi mulutnya tetap
bungkam.
“Kau
memberi hormat kepadaku, kenapa?” tanya
Oey Yok Su
tertawa.
“Yong-jie
yang menyuruh aku,” sahut si tolol.
Auw Yang Hok |
“Aku,
akur!” Auwyang
Hong cepat-cepat memberi
persetujuannya. Ia tahu keponakannya sudah kalah, ia tidak menyangka yang Oey Yok
Su si juru pemisah sudah berbuat
berat sebelah.
Ang Cit Kong menyaksikan itu
semua, ia cuma tersenyum, tidak ia memperdengarkan suaranya. Melainkan di dalam
hatinya ia bilang: “Si
Sesat bangkotan, anak ialah
anakmu, jikalau kau suka menikahkan dia sama pemuda doyang berfoya-foya, lain
orang tidak dapat mencampur tahu! Tetapi aku si pengemis tua, aku ingin sekali
menempur padamu. Sekarang aku berada bersendirian saja, dua tanganku tidak
nanti sanggup melayani empat buah tangan, biarlah, nanti aku mencari dulu Toan Hongya,
untuk ia membantu aku. Sampai itu waktu nanti jelaslah segala apa!”
Itu
wkatu Oey Yok Su sudah merogoh sakunya untuk mengeluarkan sejilid buku yang
bagian mukanya dilapisi cita merah, sembari berbuat begitu, ia berkata:
“Bersama istriku aku mempunyai cuma ini seorang anak perempuan, tidak beruntung
istriku itu, ia menutup mata habis melahirkan anaknya ini, sekarang aku merasa
beruntung yang saudara Cit dan saudara Hong memandang mata kepadaku,
bersama-sama kamu melamar gadisku ini. Jikalau istriku masih hidup, tentu ia
girang sekali………..”
Merah
matanya Oey Yong mendengar ayahnya menyebut-nyebut
almarhum ibunya.
“Buku
ini ialah buku yang ditulis sendiri oleh istriku semasa hidupnya istriku itu,” Oey Yok
Su berkata pula. “Jadi inilah
warisan dari hati dan darahnya… Sekarang aku minta kedua sieheng membaca buku
ini, setelah selesai kau mesti membaca pula di luar kepala, siapa yang dapat
menghapalnya lebih banyak kali dan tidak bersalah, akan aku serahkan anakku ini
kepadanya…”
Ia
berhenti sebentar. Ia menoleh kepada Ang Cit
Kong, ia mendapatkan Pak Kay
tersenyum. Lalu ia meneruskan; “Menurut aturan, Kwee Sieheng sudah menang satu
pertandingan, tetapi kitab ini ada sangkut pautnya dengan kehidupanku, dan
istriku pun meninggal dunia karena kitab ini, maka itu sekarang hendak aku
memuji di dalam hatiku supaya ialah sendiri yang nanti memilih baba mantunya,
biar ia memayungi salah satu sieheng ini.”
Sampai
di situ habis sudah sabarnya Ang
Cit Kong.
Tadi ia masih dapat menguasai diri, dia hanya bersenyum. Sekarang tidak.
“Oey
si bangkotan sesat!” ia berkata nyaring. “Siapa kesudian mendengari obrolan
setanmu panjang-panjang? Terang kau mengetahui muridku tolol, dia tidak
mengerti ilmu surat
dan syair, sekarang kau suruh ia membaca dan menghapalnya di luar kepala, lalu
kau menggertak dengan istrimu ynag sudha mati! Sungguh kau tidak tahu malu!”
Habis
berkata, si pengemis mengibas tangannya, terus ia memutar tubuhnya untuk
bertindak pergi.
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Saudara Cit!”
ia berkata, “Jikalau kau datang ke Tho hoa To ini untuk banyak tingkah,
mestinya kau belajar pula ilmu silatmu untuk lagi beberapa tahun!”
Ang Cit Kong membalik pula
tubuhnya, sepasang alisnya berbangkit.
“Apa?!”
tanyanya bengis.
“Kau
tidak mengerti ilmu Kie-bun Ngo-heng, jikalau kau tidak dapat perkenan dari
aku, jangan kau harap nanti dapat keluar dari pulau ini!” menjawab si tuan
rumah.
“Akan
aku melepaskan api membakar ludas semua bunga dan pohonmu ynag bau!” Cit Kong
berkata keras.
“Jikalau
kau ada mempunyai kepandaianmu, cobalah kau bakar!” Oey Yok Su menentang.
Melihat
kedua orang tua itu hendak berkelahi, Kwee Ceng
maju sama tengah.
“Oey Tocu!
Ang Locianpwee!” ia berkata. “Biarlah nanti
teecu mencoba bersama Auwyang toako membaca buku itu dan menghapalnya di luar
kepala. Teecu memang bebal, umpama teecu kalah, itulah sudah selayaknya…”
Oey Yok Su mendelik kepada si
anak muda.
“Kau
memanggil apa kepada gurumu?!” ia menegur.
“Teecu
baru saja mengangkat guru, oleh karena teecu masih belum memberitahukan itu
kepada enam guruku, sekarang ini belum berani teecu merubah panggilan,” Kwee Ceng
memberi keterangan.
“Hah!
Di mana sih ada sekian banyak
kerewelan!” katanya Tong Shia sebal.
Luas
pengetahuannya Oey
Yok Su
tetapi sepak terjangnya biasa menyalahi aturan atau kebiasaan, maka itu
tidaklah ia puas mendapatkan pemuda itu demikian menjunjung ada peradatan.
“Bagus!”
berseru Ang Cit Kong.
“Aku masih belum terhitung gurumu! Kau sudi mendapat malu, terserah padamu!
Silahkan, silahkan!”
Oey Yok Su tidak membilang
suatu apa, hanya berpaling kepada anaknya.
“Kau
duduklah baik-baik, jangan kau main gila!” katanya. Ia memesan demikian, karena
ia khawatir anak itu membantu pula Kwee Ceng.
Oey Yong tersenyum, ia tidak
menyahuti. Tapi ia berdiam dengan hatinya bekerja. Ia tahu kali ini pastilah Kwee Ceng
bakal kalah, maka ia mengasah otaknya mencari jalan keluar untuk nanti buron
bersama-sama pemuda itu….
Oey Yok Su lantas menitahkan
Kwee Ceng dan Auwyang
Kongcu duduk berendeng di sebuah
batu besar, ia berdiri di depan mereka, ia memegangi kitabnya, yang ia ansurkan
untuk mereka itu melihatnya, sebab mereka mesti membaca dengan berbareng.
Judul
kitab ada “Kiu Im Cin-keng” Bagian Bawah, model hurufnya model Toan-jie. Begitu
melihat itu, Auwyang
Kongcu girang luar biasa. Ia
berkata dalam hatinya: “Dengan segala macam akal aku memaksa Bwee Tiauw
Hong menyerahkan kitab ini, siapa
tahu sekarang mertuaku ini hendak berbuat baik kepadaku, ia membiarkan aku
membaca kitab luar biasa ini!”
Kwee Ceng melihat enam huruf
itu, tak sehuruf juga yang ia kenal. Ia berpikir: “Dia sengaja hendak membikin
susah padaku! Surat
yang berlugat-legot bagaikan cacing ini mana aku kenal? Biarlah, aku menyerah
kalah…”
Ketika
itu Oey Yok Su
sudah mulai membalik kulitnya buku itu. Nyata huruf-huruf di dalamnya mermodel
huruf Kay-jie, ialah huruf biasa dan huruf-hurufnya tertulis bagus sekali.
Teranglah itu tulisannya seorang wanita. Ketika ia sudah membaca baris pertama,
hatinya goncang. Baris itu berbunyi: “Aturan dari langit, rusak itu berlebihan,
tambalan tak kecukupan, maka itu kosong lebih menang daripada luber, tak cukup
menang menang…. Semuanya itu sudah pernah ia mendengarnya dari Ciu Pek Thong,
yang pernah ia sudah menghapalnya. Maka ia lantas melihat lebih jauh. Untuk
kegirangannya, semua itu adalah huruf-huruf yang ia sudah hapal benar.
Oey Yok Su menunggu sampai ia
merasa orang sudah membaca habis, ia membalik pula halaman lainnya. Hal ini
dilakukan terus selang sesaat. Hanya huruf-huruf itu makin lama makin tak lengkap
susunannya, di bagian belakang menjadi kacau, sedang tulisannya sendiri makin
lemah, seperti ditulis dengan kehabisan tenaga.
Terkesiap
hati Kwee Ceng, karena sekarang ia ingat keterangannya Ciu Pek Thong halnya Oey
Hujin, yaitu istrinya Oey Yok Su, yang sudah menuliskan isi kitab secara
dipaksakan, kerana tubuhnya menjadi lemah, hingga diwaktu melahirkan Oey Yong,
tenaganya habis dan menjadi meninggal dunia. Inilah kitab yang ditulis
disaat-saat kematiannya nyonya itu.
“Mungkinkah
yang Ciu Toako menitahkan aku menghapalkannya
adalah isi kitab ini?” Kwee
Ceng berpikir pula. “Adakah ini
Kiu Im Cin-keng? Tidak, tidak bisa jadi! Kitab itu bagian bawahnya sudah
dibikin lenyap oleh Bwee
Tiauw Hong,
bagaimana sekarang bisa berada di tangannya Oey Yok Su ini?”
Oey Yok Su melihat orang
bengong, ia menduga mestinya kepala pemuda ini sudah pusing. Ia tidak mengambil
mumat, ia terus membalik-balik pelbagai halaman setelah temponya, ia merasa,
orang sudah membaca habis.
Mulanya Auwyang Kongcu dapat membaca dengan
baik, kemudian toba kepada penjelasan cara
melatihnya ilmu silat itu, ia bingung karena kata-katanya seperti terputar
balik. Kemudian lagi, hatinya mencelos akan mendapatkan ada huruf-huruf yang
berlompatan, hingga karangan tak lagi lancar. Di
dalam hatinya ia menghela napas dan berkata: “Kiranya dia masih tidak hendak
memperlihatkan kitab yang tulen…” Tapi ia dapat memikir sebaliknya; “Benar aku
tidak dapat melihat isi kitab yang lengkap, tetapi toh aku jauh lebih banyak
dapat mengingatnya daripada si tolol ini, mak adalam ujian ini pastilah aku
yang bakal menang. Oh, si nona yang sangat cantik manis
yang bagaikan putri kayangan ini, akhirnya toh bakal menjadi orangku juga…!”
Kwee
Ceng juga melihat dan membaca setiap halaman yang dibalik terus oleh Oey Yok Su
itu, ia mendapat kenyataan semua isinya itu sama seperti yang ia diajarkan Ciu
Pek Thong, cuma bagian-bagian yang lompat saja yang tak terbaca tetapi ia
ketahui itu, sebab ia masih hapal semua ajaran kakak angkatnya si orang tua
yang jenaka dan berandalan itu. Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah
pohon, ia tidak dapat menduga apa hubungannya ajaran Ciu Pek Thong itu dengan
kitab ini.
Tidak
lama, setelah membalik halaman terakhir, Oey Yok Su emngawasi kedua pemuda itu.
“Nah,
siapa yang hendak membaca terlebih dulu di luar kepala?” dia menanya.
Sebelum
menjawab, Auwyang
Kongcu sudah berpikir untuk
jawaban itu. Pikirnya: “Isi kitab kacau sekali, sangat sukar untuk
dihapalkannya, maka baiklah aku menggunakan ketika aku baru saja habis membaca
akan menghapalnya, dengan begitu pastilah aku akan dapat membaca lebih banyak…”
Ia mau mengartikan, kesalahannya apstilah lebih sedikit. Karenanya, segera ia
menyahuti: “Aku yang menghapal lebih dulu!”
Oey Yok Su mengangguk.
“Kau
pergi ke ujung rimba ini, jangan kau mendengari dia lagi menghapal,” ia
menitahkan Kwee
Ceng kepada siapa ia berpalinng.
Kwee Ceng menurut, ia pergi
jauhnya beberapa puluh tindak.
Oey Yong menjadi girang
sekali. Ia pikir inilah ketikanya yang paling baik. Bukankah dengan begitu ia
bisa mengajak si anak muda kabur bersama? Maka ia lantas angkat kakinya, hendak
ia bertindak perlahan-lahan menghampirkan pemuda itu. Atau mendadak:
“Yong-jie,
mari!” memanggil Oey Yok
Su. “Kau juga mendengarinya mereka
membaca diluar kepala, supaya kau jangan nanti mengatakannya aku berat
sebelah!”
Mencelos
hatinya si nona. Katanya ayah itu adil, tetapi kenyataannya sangat berat
sebelah untuknya. Bukankah ia jadinya dicegah mendekati Kwee Ceng?
maka itu ia berkata: “Ayah yang berat sebelah, tak usah ayah menyebutkannya
orang lain!”
Oey Yok Su tidak gusar, bahkan
ia tertawa.
“Tidak
tahu aturan! Mari!” dia memanggil
pula.
“Aku
tidak mau datang!” sahut si anak, membelar. Di
mulut ia mengucap demikian, tapi kakinya bertindak menghampirkan. Ia cerdik
sekali, ia pun tahu tabiat ayahnya itu, kalau si ayah berjaga-jaga, sulit untuk
ia kabur pula. Maka juga ia hendak memikir perlaha-lahan, untuk mencari akal.
Ketika ia sudah datang dekat, ia memandang Auwyang Kongcu
sambil tertawa manis.
“Auwyang Toako,
ada apakah sih bagusnya aku?” ia bertanya. “Kenapa kau begini sangat menyukai
aku?”
Bukan
main girangnya Auwyang
Kongcu. Manis
sekali si nona. Hingga hatinya berdenyutan. Inilah ia tidak sangka.
“Adik,
kau….” katanya kegirangan sangat, hingga ia seperti lupa ingatan, hingga tak dapat
ia meneruskan kata-katanya.
“Toako,
janganlah kau terburu-buru hendak pulang ke See Hek,” berkata pula Oey Yong,
tetap dengan manis budi. “Kau diamlah di Tho Hoa To
ini untuk beberapa hari lagi. Di See Hek itu sangat dingin, bukankah?”
“See
Hek itu luas sekali wilayahnya,” menyahut Auwyang Kongcu.
“Memang di sana
ada banyak daerahnya yang dingin tetapi pun ada yang hangat dan nyaman seperri
Kanglam.”
“Ah,
aku tidak percaya!” berkata lagi si nona, yang membawa aksinya yang
menggiurkan. Ia tertawa. “Kau memang paling suka memperdayakan orang!”
Auwyang Kongcu masih hendak
melayani bicara, untuk membantah si nona itu, atau segera ia dihalangi oleh Auwyang Hong.
See Tok sudah lantas dapat membade maksud Oey Yong
si cerdik ini, bahwa sikap manisnya itu adalah daya belaka untuk mengacau
otaknya Auwyang
Kongcu, supaya pikirannya
disesatkan ke lain soal, si keponakan jadi lupa kepada isinya kitab Kiu Im
Cin-keng.
“Eh,
anak!” demikian menegurnya. “Omongan yang tak perlunya baiklah kau bicarakan
perlahan-lahan nanti, mari belum
kasep. Sekarang lekas kau membaca di luar kepala!”
Auwyang Kongcu terkejut. Memang,
karena perhatiannya ditarik Oey Yong,
ia dapat melupakan apa yang
barusan dihapalnya. Dan benar-benar
ada yang ia lupa. Maka lekas-lekas ia memusatkan pikirannya. Sesudah itu,
barulah dengan perlahan-lahan ia mulai membaca. Ia berhasil membaca
permulaannya, ia lantas melanjuti. Tentu saja ia lupa di bagian-bagian yang
penjelasan ilmu silatnya sulit, seperti Oey Hujin
sendiri tidak ingat seanteronya.
Oey Yok Su tertawa kapan pemuda
yang dipenujunya itu selesai membaca.
“Kau
telah mendapat membaca banyak, bagus!” katanya. “Kwee sieheng, mari, sekarang giliranmu!”
Kwee Ceng bertindak
menghampirkan. Ia melihat Auwyang
Kongcu kegirangan, ia kagum, di
dalam hatinya ia kata:” Anak ini benar-benar lihay, sekali membaca saja ia
sudah dapat menghapal di luar kepala sedang tulisan itu kacau balau.
Benar-benar aku tidak sanggup, maka sekarang baiklah aku menghapal seperti yang Ciu Toako
ajari aku.”
Ang Cit Kong melihat sikap muridnya
itu, ia tertawa.
“Anak
tolol, mereka itu sengaja hendak membikin kita bagus ditonton!” Ia berkata.
“Baiklah kita mengaku kalah saja!”
“Memang
aku pun sebenarnya tak dapat melawan Auwyang Toako,”
Kwee Ceng membilang.
Mendadak Oey Yong berlompat ke ke atas
payon paseban, yang telah roboh sebagian, di sana ia berdiri seraya menghunus pisau
belati, yang ia letaki di depan dadanya. Ia berseru; “Ayah! Jikalau kau memaksa
aku ikut si manusia busuk itu pergi ke See Hek, hari ini anakmu akan binasa
untuk kau lihat!”
Oey Yok Su kenal baik tabiat
anaknya itu.
“Letaki
senjatamu!” ia berkata, “Kita dapat berbicara dengan perlahan-lahan.”
Sementara Auwyang Hong telah bekerja.
Mendadak ia menekan tongkatnya ke tanah, segera terdengar satu suara aneh,
terus dari tongkat itu melesat serupa senjata gelap yang luar biasa, menyambar
ke arah Oey Yong.
Hebat
melesatnya senjata rahasia ini, belum Oey Yong
menginsyafinya, pisau belati di tangannya sudah kena terhajar hingga terlepas
dan jatuh ke tanah. Dilain pihak tubuh Oey Yok Su pun berkelebat, sedetik saja ia sudah
sampai di atas pesaben, dimana ia mengulur tangan merangkul pinggang putrinya.
“Benar-benarkah
kau tidak sudi menikah?” katanya, perlahan. “Baiklah! Mari
kau berdiam di Tho Hoa To menemani ayahmu seumur hidupmu!”
Oey Yong meronta-ronta, ia
menangis.
“Ayah,
kau tidak sayang Yong-jie, kau tidak sayang Yong-jie…!” katanya.
Menyaksikan
itu, Ang Cit Kong
tertawa berkakak. Ia tidak nyana Oey Yok Su, yang hatinya keras dan telangas,
kewalahan melayani putrinya itu.
Selagi Ang Cit Kong berkpikir begitu, Auwyang Hong
berpikir lain. Ia ini kata di dalam hatinya; “Baik aku menanti hingga sudah ada
keputusan ujian ini, setelah itu hendak aku membikin habis pengemis tua serta
si bocah she Kwee ini. Urusan lainnya pasti gampang diurus belakangan. Anak itu
manja sekali, apa aku peduli?”
Karena
ini, ia berkata: “Kwee
Sieheng lihay sekali, kau sungguh
satu pemuda gagah, maka itu di dalam ilmu surat
kau tentu pandai juga. Saudara
Yok, silahkan minta Kwee Sieheng
mulai menghapal!”
Itulah
kata-kata baik tetapi itu sebenarnya adalah desakan.
“Baiklah,”
menyahut Oey
Yok Su.
“Yong-jie, kalau kau mengacau lagi, nanti kacau juga pikirannya Kwee Sieheng.”
Mendengar
itu, benar-benar Oey
Yong lantas menutup mulutnya.
Auwyang Hong ingin sekali si anak
muda mendapat malu, ia mendesak; “Kwee Sieheng,
silahkan mulai! Kami ramai-ramai akan mendengar dengan perhatian pembacaanmu di
luar kepala.”
Mukanya Kwee Ceng merah seluruhnya.
“Mana
dapat aku menghapal?” pikirnya pula. “Baik aku membaca ajarannya Ciu Toako…”
Dan lantas ia membaca. Sebenarnya
sudah beratus kali ia menghapal “Kiu Im Cin-keng”, karena Ciu Pek Tong tak
bosannya mengajari ia, dari itu, ia masih ingat dengan baik itu semua. Demikian
kali ini, mulai dengan perlahan, ia menghapal terus, makin lama makin lancar,
selama itu tak sepatah kata yang salah atau berlompatan.
Orang
semua tercengang. Bukankah bocah ini baru melihat hanya satu kali kitab yang
dijadikan ujian itu? Maka kesannya ialah: “Bocah ini cerdas sekali tetapi ia
nampaknya tolol. Kiranya dia sebenarnya berotak sangat terang!”
Oey Yok Su heran, apa pula
setelah Kwee ceng sudah habis menghapal halaman keempat. Ia dapat kenyataan,
kata-katanya si anak muda lebih rapi daripada kitabnya, seperti ditambahkan
sepuluh lipat. Dan itulah memang
bunyinya atau isi aslinya “Kiu Im Cin-keng” itu. Karena ini, tanpa merasa ia
mengeluarkan peluh dingin.
“Mustahilkah
istriku yang telah menutup mata itu demikian cerdas hingga di alam baka dia
dapat mengingat kitab yang asli dan dia telah mengajarinya semuanya kepada
pemuda ini?” ia bertanya dalam hatinya. Selagi ia berpikir, kupingnya mendengar
terus suara yang lancar dan terang dari Kwee Ceng,
yang menghapal terus-terusan. Maka ia mau percaya benar-benar istrinya sudah
mewariskannya kepada si anak muda. Ia lantas mengangkat kepalanya, mendongak ke
langit, dari mulutnya terdengar suara tak tedas: “A Heng, A Heng, sungguh kau
sangat mencinta kepadaku, hingga kau pinjam mulutnya pemuda ini untuk mengajari
aku Kiu Im Cin-keng…… Kenapa kau membiarkan aku tak dapat melihat pula wajahmu
barang satu kali lagi? Setiap malam aku meniup serulingku, kau dengarkah itu?”
“A
Heng” itu ialah nama kecil dari Oey
Hujin, istri yang Oey Yok
Su sangat mencintainya. Nama itu,
sekalipun Oey
Yong gadisnya, tidak mendapat tahu.
Orang
banyak heran melihat sikapnya tocu dari Tho Hoa To ini, air mukanya berubah,
air matanya mengembang, dan entah apa yang diucapkannya itu.
Cuma
sebentar Oey
Yok Su
berada dalam keadaan yang luar biasa itu, mendadak ia kembali pada dirinya
sendiri. Sekarang ia seperti bermuram durja. Ia mengibaskan tangannya, terus ia
menanya Kwee
Ceng dengan suara keras, sikapnya
bengis: “Apakah kitab Kiu Im Cin-keng yang lenyap di tangannya Bwee Taiuw
Hong terjatuh ke dalam tanganmu?!”
Kwee Ceng terkejut, hatinya
pun ciut.
“Tee…teecu
tidak mengetahui kitabnya Bwee
Cianpwee itu terlenyap di mana….”
sahutnya guup, suaranya tak lancar. “Jikalau aku mendapat tahu, pasti sekali
aku suka membantu mencarinya, untuk dibayar pulang kepada tocu…”
Oey Yok Su mengawasi wajah orang
dengan tajam, pada itu ia tidak nampak kepalsuan, maka itu maulah ia percaya
orang tidak berdusta. Karenanya ia jadi mau percaya juga yang istrinya, dari
dalam alam baka, sudah mewariskannya kepada pemuda ini.
“Baiklah,
saudara Cit dan saudara Hong!” katanya kemudian, suaranya terang, “Inilah baba
mantu pilihannya istriku almarhum, maka itu sekarang aku tidak dapat membilang
apa-apa lagi. Anak, aku menjodohkan Yong-jie kepadamu, kau haruslah
memperlakukan dia baik-baik. Yonng-jie telah termanjakan olehku, dari itu
haruslah kau suka mengalah tiga bagian….”
Oey Yong girang bukan
kepalang. Ia lantas saja tertawa. Sama sekali ia tidak menjadi likat karena
keputusan itu.
“Ayah,
bukankah aku satu anak baik?” ia berkata. “Siapa yang bilang aku telah
termanjakan olehmu?”
Kwee
Ceng benar tolol tetapi kali ini, tanpa menanti tanda pengajaran dari Oey Yong,
sudah lantas ia menekuk lutut di hadapannya Oey Yok Su, untuk paykui empat kali
seraya ia memanggil: “Gakhu Tayjin!” Tapi, belum sempat ia berbangkit, tiba-tiba
Auwyang Kongcu membentak: “Tahan dulu!”
Ang Cit Kong girang bukan main,
ia sampai ternganga, tetapi ketika ia mendengar suaranya Auwyang Kongcu, ia
dapat berbicara.
“Apa?!”
dia tanya. “Apakah kau belum juga
menyerah?”
“Apa
yang dibacakan saudara Kwee barusan jauh terlebih banyak daripada isinya kitab
ini,” berkata Auwyang
Kongcu. Ia pun rupanya menginsyafi
itu. “Mestinya ia telah mendapatkan Kiu Im Cin-keng yang asli! Aku yang muda
hendak membesarkan nyali, hendak aku menggeledah tubuhnya!”
“Oey Tocu
sudah selesai menjodohkan putrinya, perlu apa kau menimbulkan kerewelan baru?!”
Ang Cit Kong
menegur. “Kau dengar apa kata pamanmu barusan?”
Matanya Auwyang Hong terbalik.
“Aku Auwyang
Hong, mana dapat aku diakali
orang?” dia berkata dengan nyaring. Ia mau percaya tuduhan keponakannya dan
merasa pasti di tubuhnya Kwee Ceng ada kitab “Kiu Im Cin-keng” yang asli,
bahkan sekejap itu ingin ia merampas kitab itu, hingga ia melupakan yang Oey
Yok Su sudah memutuskan pilihan baba mantunya itu.
Kwee Ceng tidak takut digeledah,
mana dia lantas meloloskan ikat pinggangnya.
“Auwyang Cianpwee,
silahkan kau periksa!” ia menantang, ia berserah diri. Ia pun terus mengasih
keluar segala isi sakunya, yang mana ia letaki di atas batu.
Auwyang Hong mellihat semua
barang itu adalah uang perak, sapu tangan, batu api dan lainnya, tidak ada
kitab, maka ia mengulurkan tangannya ke tubuh si anak muda.
Oey Yok Su kenal baik si See
Tok yang sangat licik dan telangas, yang di dalam murkanya yang sangat dapat
menurunkan tangan jahat. Kalau si Bisa dari Barat ini keburu menurunkan tangan,
walaupun ia lihay, tidak nanti ia dapat mengobati menantunya itu. Maka hendak
ia mencegah. Sambil batuk-batuk ia lonjorkan tangannya yang kiri, diletaki di
tulang punggung Auwyang
Kongcu. Itulah tulang paling
penting pada tubuh manusia, asal Tong Shia menurunkan tangannya yang lihay,
habis sudah tulang itu, terbinasalah Auwyang Kongcu di situ juga.
Ang Cit Kong dapat melihat sepak
terjangnya Oey Yok Su, ia dapat menduga maksud orang, ia tertawa di
dalam hatinya. Pikirnya: “Oey Lao Shia benar-benar sangat memihak! Sekarang ia
menyayangi baba mantunya, dia lantas melindungi muridku yang tolol ini….”
Sebenarnya
juga Auwyang Hong berniat menggunai pukulan kodoknya akan menghajar dengan
meraba perutnya Kwee
Ceng. Asal ia dapat menekan perut
itu, selang tiga tahun, Kwee
Ceng bakal dapat sakit dan akan
mati karenanya. Tapi ia bermata awas, ia dapat melihat penjagaannya Oey Yok
Su itu, lantas ia membatalkan
niatnya itu. Ia menggeledah tubuh Kwee
Ceng, ia tidak
mendapatkan lainnya barang. Ia berdiam sesaat. Ia tidak mempercayai almarhum Oey Hujin
benar-benar mewariskan kitab itu dari alam baka, untuk memilih menantunya.
Setelah itu, ia dapat memikir lainnya lagi.
“Anak
ini tolol, memang tak mungkin ia mendusta. Kalau aku menanya padany, mungkin
sekali ia akan memberikan keterangannya yang sebenarnya…”
Maka
ia gerakilah tongkat ularnya, hingga gelang emasnya berbunyi berkontrang,
hingga dua ekor ularnya melilit-lilit.
Menampak
itu, Kwee Ceng dan Oey Yong
mundur bersama.
“Kwee Sieheng,”
Auwyang Hong menanya, suaranya tajam, “Dari
manakah kau mempelajarinya isi kitab Kiu Im Cin-keng ini?”
“Aku
ketahui tentang sejilid kitab Kiu Im Cin-keng akan tetapi belum pernah aku
melihatnya,” menyahut Kwee
Ceng, jujur. “Kitab bagian atas ada
pada Toako Ciu Pek Thong…”
Ang Cit Kong heran hingga ia
menyelak.
“Eh,
eh, mengapa kau panggil toako kepada Pek Thong?” ia menanya.
“Ciu Toako
telah mengangkat saudara dengan teecu,” Kwee Ceng
menyahut, kembali dengan sejujurnya.
“Yang
satu tua bangka, yang lain muda belia, sungguh edan!” tertawa Ang Cit
Kong. “Kacaulah aturan peradatan!”
“Kitab
bagian bawah?” Auwyang
Hong tanya
pula.
“Kitab
itu telah dibikin lenyap di telaga Thay Ouw,
oleh Suci Bwee Tiauw
Hong,” Kwee Ceng
menyahut pula. “Sekarang
Bwee Suci
sedang dititahkan gakhu untuk mencari kitab itu. Aku telah memikir, setelah
memberitahukan kepada gakhu, ingin aku pergi untuk membantu mencari.”
Dengan
keponakannya, Auwyang
Hong saling memandang.
“Kau
belum pernah melihat Kiu Im Cin-keng, cara
bagaimana kau dapat membacanya di luar kepala?” tanya
pula Auwyang
Hong, kali ini dengan bengis.
“Apakah
yang aku baca barusan itu Kiu Im Cin-keng?” Kwee Ceng
balik menanya. “Tidak, tidak bisa jadi! Itulah Ciu
Toako yang mengajari aku
menghapalnya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar