Bab 31. Pemilik dari Pulau Tho Hoa To
Cu Cong mendengar suara itu, ia segera
lantas menoleh, maka terlihatlah olehnya menyambarnya suatu barang ke arah Bwee Tiauw
Hong, siapa sudah lantas
menangkis. Tepat tangkisannya itu, barang itu mengeluarkan suara keras, rusak
dan jatuh. Nyata itu adalah sebuah kursi.
Menyusul
itu terdengar angin dari datangnya suatu barang lain, yang terlebih besar. Kali
ini si Mayat
Besi mengeulur tangan kirinya,
untuk menangkap. Dan ia kena pegang
suatu barang lebar dan licin. Sebab itulah sebuah meja yang ebrada di samping Cu Cong,
yang patah kakinya tertimpa pilar. Penyerangnya pun Cu Cong
sendiri. Habis itu Tiauw
Hong menendang meja itu. Berbareng
dengan itu, Cu
Cong, yang mengulur tangan
kanannya, memasuki tiga benda bergerak ke leher bajunya si wanita lihay itu.
Tiauw Hong kaget hingga ia
menggigil. Ia merasakan barang yang hawanya dingin nelusup ke dadanya. Ia
menduga kepada senjata rahasia yang aneh atau permainan ilmu dukun. Ia lantas
merogoh, untuk menangkapnya. Ia kena pegang beberapa ekor ikan emas. Tapi yang
membuatnya kaget luar biasa ialah tangannya tidak dapat meraba botol obat di
dalam sakunya, obat mana lenyap berbareng bersama pisau belatinya serta kitab
Kiu Im Cin-keng. Ia sampai berdiri berjublak saja.
Si
cerdik Cu Cong sudah menggunai tiga ekor ikan emas itu untuk menyimpangkan
perhatiannya Bwee
Tiauw Hong
yang lihay itu. Itulah ikan-ikan emas, yang lolos dari jambangannya sebab
jambangannya pecah ketimpa runtuhan. Diwaktu memasuki ikan itu ke leher baju,
ia sekalian menyambar isinya saku orang. Setelah itu dengan cepat ia membuka
tutup botol kecil itu, yang dibawanya ke hidungnya Tin Ok, “Bagaimana?”
tanyanya.
“Untuk
dimakan dan ditarohkan, inilah obatnya!” berkata saudara tua itu, yang ada ahli
dalam pemakaian obat beracun.
Tiauw Hong dapat mendengar
pembicaraan orang itu, ia sadar, dengan berlompat, ia menerjang. Tapi ia
disambut tongkatnya Tin Ok, cambuknya Han Po Kie, dacinnya Coan Kim Hoat dan pikulannya Lam Hie Jin. Ia hendak
mengeluarkan cambuknya sendiri atau ia batalkan itu dengan mendadak karena
pedangnya Han
Siauw Eng
menikam ke arah dadanya.
“Kasih dia makan, torehkan
padanya!” kata Cu Cong pada Oey
Yong, kepada siapa ia
serahkan obat pemunah racun itu. Dilain pihak, ia sesapkan pisau belatina si Mayat Besi
kepada muridnya seraya memberitahukan: “Inilah piasu asal kepunyaanmu.” Setelah
itu, dengan mainkan kipas besinya, ia mau membantu saudara-saudaranya mengepung
musuh yang lihay itu.
Habet
pertempuran itu, karena berselang sepuluh tahu, Kanglam Liok
Koay telah memperoleh kemajuan
pesat.
Seng Hong dan anaknya heran
menyaksikan pertempuran itu. Mereka beranggapan, “Tiauw Hong
benar-benar lihay, tetapi pun jago-jago Kanglam itu tidak bernama kosong.” Tapi Seng
Hong sudah lantas berseru:
“Tuan-tuan, berhenti dulu! Mari dengar
aku!”
Orang
lagi itu bertarung hebat, tidak ada yang pedulikan teriakan itu, mereka itu
bertarung terus.
Tidak
lama sehabisnya makan obat, Kwee
Ceng mulai sadar. racun itu
menyerang cepat tetapi perginya cepat juga. Lukanya masih menimbulkan rasa
sakit tapi itu tidak mengganggu gerakan lengan kirinya yang terluka itu. Maka
itu setelah, memasukkan piasu belati ke dalam sakunya, ia berlompat bangun dari
rangkulannya Oey
Yong. Ia maju ke gelanggang
pertempuran, untuk berkelahi pula. Seperti tadi, ia menyerang dengan gerakan
perlahan, pada saatnya baru ia mengerahkan tenaganya.
Tiauw Hong repot melayani
musuh-musuhnya, ia juga tidak mendengar sambaran angin dari serangannya si anak
muda, tahu-tahui ia sudah kena terhajar. Kembali ia roboh. Justru itu
senjatanya Po Kie dan Hie Jin turun ke arah tubuhnya.
“Suhu,
ampunkan dia!” berseru Kwee
Ceng, yang menangkis sejata kedua
gurunya itu.
Liok Koay menurut, mereka
lantas berlompat mundur.
Tiauw Hong masih hendak membela
diri, ia bersiap sedia dengan cambuknya, cambuk Tok-liong-pian yang beracun.
Kwee Ceng tidak menyerang
lebih jauh, ia hanya berkata pada wanita lihay itu: “Hari ini baiklah
pertempuran diakhirkan secara baik! Kami tiak hendak membikin susah padamu, kau
pergilah!”
Tiauw Hong suka menyimpan
cambuknya.
“Kau
kembalikan kitabku!” katanya.
Cu Cong melengak. “Aku tidak
mengambil kitabmu!” katanya. “Kau tahu sendiri, tidak pernah Kanglam Liok Koay
berdusta!”
Ia
tidak tahu kertas kulit manusia di luar pisau belati adalah rahasianya Kiu Im
Cin-keng.
Tiauw Hong tahu Kanglam Cit Koay
jujur, karena ini ia mau percaya kitabnya pastilah telah terjatuh selagi ia
bertempur, dari itu ia lantas berdongko dan meraba-raba ke tanah. Sekian lama
ia bekerja, ia tidak berhasil mendapatkan barang yang dicari itu.
Menyaksikan
orang rape-rape itu, semua orang merasa kasihan juga. Tidakkah ia buta walaupun
ia sangat lihay?
Seng Hong lantas saja berkata:
“Suci, di sini benar-benar tidak ada barangmu! Mungkin kau kena bikin hilang di
tengah jalan…”
Tiauw Hong tidak menjawab, ia
pun tidak berhenti bekerja.
Sekonyong-koyong
mata orang banyak bagaikan berkelebat, lalu di hadapan mereka muncul pula si
orang baju hijau, yang gerakan tubuhnya bagaikan kilat. Tahu-tahu saja dia
sudah mencekal punggung Bwee
Tiauw Hong,
yang terus diangkat, untuk dibawa pergi. Perginya pun lenyapnya dalam sekejap,
lenyap di antara pepohonan di luar Kwie-in-chung itu.
Begitu
lihaynya si Mayat Besi, ia tidak berdaya.
Orang
semua melongo, mereka saling memandang. Sunyi si sekitar mereka, kecuali suara
gelombang, yang nanti terdengar, nanti tidak….
Masih
selewat sekian lama, barulah Kwa Tin Ok memecahkan kesunyian. Ia berkata kepada
tuan rumah: “Murid kami telah menempur wanita jahat itu, karena kami merusak
rumahmu, tuan, kami sangat menyesal.”
“Jangan
berucap demikian, tayhiap,” Seng
Hong berkata, “Justru aku girang
sekali yang tayhiap semua serta muridmu datang ke mari.
Justru aku hendak menghanturkan termia kasihku, sebab kalau tidak, mungkin
rumahku ini bakal ludas.”
“Aku
minta sukalah semua tuan duduk beristirahat,” Koan Eng menimpali ayahnya dengan
sikapnya yang ramah tamah. “Saudara
Kwee, apakah lukamu tidak sakit?”
“Tidak,”
sahut Kwee Ceng. Tapi, baru ia menutup mulutnya, atau
tiba-tiba sudah terlihat pula si baju hijau bersama Bwee Tiauw
Hong, datangnya seperrti tidak
nampak.
Bwee
Tiauw Hong berdiri dengan menolak pinggang, ia berkata dengan nyaring, “Eh,
bocah she Kwee, kau sudah menghajara aku dengan Hang Liong Sip-pat Ciang
ajarannya Ang Cit Kong, karena mataku buta, aku tidak dapat melihat segala
gerakanmu! Aku tidak ambil mumat, tetapi jikalau hal ini tersiar di kalangan
kangouw, apabila sampai ada yang membilang Bwee Tiauw
Hong tidak sanggup melawan
muridnya si pengemis, bukankah itu akan meruntuhkan namanya guruku dari pulau
Tho Hoa To? Maka itu mari, mari kita mencoba lagi sekali!”
Kwee Ceng berlaku sabar dan
jujur.
“Sebenarnya
aku bukanlah tandinganmu,” ia berkata, “Dengan mengandali matamu yang tidak
dapat melihat, aku dapat melindungi jiwaku. Aku sudah menyerah sejak-sejak
siang.”
“Hang
Liong Sip-pat Ciang terdiri dari delapanbelas jurus, kenapa kau tidak menggunai
itu semuanya?” Tiauw
Hong tanya.
“Oleh
karena sifatku tolo…..” sahut Kwee
Ceng. Justru itu Oey Yong
memberi tanda supaya ia jangan membuka rahasia, tetapi ia berkata terus, “Ang Locianpwee
cuma ajarkan aku limabelas jurus.”
“Bagus!”
kata Tiauw Hong pula. “Kau cuma bisa limabelas jurus,
Bwee Tiauw Hong
telah jatuh di tanganmu! Apakah benar Ang Cit Kong, si pengemis tua bangkotan itu
demikian lihay? Tidak, tidak bisa, kau mesti mencoba bertempur pula denganku!”
Orang
menjadi heran dan cemas. Nyata
Tiauw Hong
bukan hendak membalas sakit hati saja. Di
sini ada bibit bentrokan di antara Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Kwee Ceng masih berlaku sabar.
Ia kata, “Nona
Oey yang begitu muda muda masih
bukan tandinganku, apapula kau? Ilmu silat dari Tho Hoa To adalah ilmu silat
yang aku paling kagumi…”
“Eh,
Bwee Suci, kau masih hendak membilang apa
lagi?” Oey Yong tanya.
“Mustahilkah di kolong langit ini ada orang yang terlebih lihay daripada
ayahku?”
“Tidak
bisa, kita mesti bertempur satu kali lagi!” Tiauw Hong
berkukuh. Ia tutup perkataannya itu dengan sambaran tangannya.
Kwee Ceng berkelit. Sampai di
situ ia habis sabarnya.
“Kalau
begitu, silahkan Bwee
Cianpwee memberikan pengajaran
padaku!” katanya. Ia lantas menyerang dengan hebat, suara anginnya mendesir.
Tiauw Hong mengancam dengan
cengkeramannya.
“Kau
gunai serangan yang tak ada suaranya!” kata wanita kosen ini. “Dengan pukulanmu
yang bersuara itu, aku bukan tandinganku!”
Kwee Ceng berlompat beberapa
tindak.
“Guruku
she Kwa yang besar budinya tidak leluasa matanya,” berkata Kwee Ceng,
“Kalau lain orang menggunai tinju tak bersuara menghina dia, aku mestinya
sangat membenci lawannya itu, karena itu, mana dapat aku berlaku demikian
terhadapmu? Tadi aku telah tergores racunmu, untuk membela diri aku menggunai
tinju tanpa bersuara itu. Kalau sekarang kita bertempur pula dengan aku
menggunai caraku itu, aku tidak berlaku secara terhormat.”
Mendengar
suara orang bersungguh-sungguh, hati Tiauw Hong tergerak juga. “Ini anak muda
baik hatinya,” ia berpikir. Tapi ia membentak: “Aku menitahkan kau berkelahi
dengan tinjumu tanpa bersuara, aku ada punya caraku untuk memecahkannya! Perlu
apa kau banyak rewel seperti wanita tua?!”
Kwee Ceng melirik kepada si
baju hijau, ia berpikir; “Mungkinkah dalam sekejap saja ia telah mengajarkan
wanita ini ilmu memecahkan pukulanku tanpa bersuara itu?” Tapi karena orang
sangat mendesak, ia menyahuti: ” Baiklah, Bwee Cianpwee,
akan aku mencoba melayani kau lagi limabelas jurus!”
Pemuda
itu memikir untuk mengulangi limabelas jurusan itu, umpama kata ia tidak bisa
menghajarnya, ia pun dapat membela diri. Ia lantas berlompat maju, ia mulai
menyerang dengan perlahan. Justru itu segera ia mendengar suara “Ser” di
sampingnya, ia dapatkan tangannya Tiauw Hong sudah menbangkol ke arah lengannya
itu, orang seperti melihat gerakan tangannya - tangan kiri yang dipakai untuk
menyerang itu, terus ia menggeser ke kiri juga, untuk dari sini mengulangi
serangan, tetap dengan cara ayal-ayalan.
Kembali
ia menjadi heran. Baru tangannya itu dikeluarkan, Tiauw Hong
seperti sudah mengetahui serangannya itu, ia mendahului menyerang - cepat
melawan lambat. Ia berkelit, ia kurang sebat, hampir ia kena dijambret. Segera
ia lompat mundur.
“Sudah
aneh yang ia tahu aku bakal menyerang, tetapi sekarang ia malah dapat
mendahulukan aku, inilah terlebih aneh pula….” berpikir anak muda ini. Ia
lantas menyerang untuk ketiga kalinya dan dengan “Hang Liong Ya Hui” atau “Naga Menyesal”,
pukulannya yang paling lihay.
Kembali
terdengar suara “Ser” seperti tadi, kembali tangan berkuku dari Tiauw Hong
sudah menyambar ke lengan penyerangnya.
Pengalaman
membuat Kwee
Ceng cerdik. Ia menduga kepada
suara “Ser” itu. Ia lalu menyerang pula untuk keempat kalinya, sembari
menyerang ia melirik kepada si orang berbaju hijau itu. Sekarang ia melihat
nyata orang menyentil sebutir batu kecil, batu mana meleset ke udara, suara
ser-nya terdengar pula.
“Ah,
benar-benar dialah yang memberi petunjuk!” pikirnya. “Hanya kenapa ia kenal
ilmu silatku ini? Kenapa ia ketahui ke mana tinjuku bakal menuju…?” Ia berpikir
terus, hingga ia ingat: “Ya, aku ingat sekarang. Tempo hari Yong-jie bertempur
sama Nio Cu Ong,
Ang Cit Kong
saban-saban memecahkan dulu rahasia pukulannya Cu Ong
itu, sekarang orang itu menggunai cara
itu…. Baiklah setelah limajurus, aku mengaku kalah….”
Pertempuran
itu berlangsung terus, selalu Kwe
Ceng menjadi pihak si penyerang.
Kemudian terdengar tiga kali suara ser- ser, ialah sentilannya si baju hijau,
atas itu, dari pihak diserang, Tiauw
Hong berbalik menjadi pihak
penyerang. Tiga kali beruntun ia menyerang, Kwee Ceng
bisa membebaskan diri, lalu dua kali ia membalas.
Sekarang
para penonton pun dapat melihat si baju hijau itu memberi petunjuk kepada Bwee Tiauw
Hong, mereka heran. Pertempuran
sendiri berjalan bertambah hebat, anginnya berdesir-desir, saban-saban dalam
situ tercampur suara ser itu.
Oey Yong benar-benar cerdik,
ia segera dapat memikir akal. Dia-diam ia memungut hancuran bata, lantas ia
menelad orang. Ia berlaku licin, ialah ada kalanya ia menyerang ke udara, ke
tempat kosong, di lain saat, ia serang lansung batunya si baju hijau. Dengan
ini ia hendak membikin kacau Tiauw
Hong. Tapi hebat si baju hijau,
kapan batunya kena terpukul, batu itu justru mengasih dengar suara lebih
nyaring, petunjuknya tidak terganggu.
Tuan
rumah ayah dan anak dan Kanglam
Liok Koay
heran. Kenapa sentilan itu demikian lihay? Panah peluru pun tidak sehebat itu!
Bukankah celaka kalau orang kena tersentil?
Oey Yong berhenti mengacau,
ia menjublak mengawasi si baju hijau.
Di gelangang
pertempuran, Kwee
Ceng sudah lantas kena terdesak,
serangannya si Mayat
Besi menjadi terlebih berbahaya.
Tiba-tiba
ada terdengar dua suara nyaring, lalu terlihat dua butir batu menyerang ke
udara - yang di depan rada kendor, yang di belakangnya lebih cepat, lantas yang
di depan itu kena disusul, kena diserang, maka terdengarlah suara beradunya
kedua batu itu, yang memancerkan lelatu api hancurannya terbang berhamburan.
Justru itu, Tiauw
Hong lompat kepada lawannya untuk
menubruk, sedang Kwee
Ceng berlompat untuk menyingkir.
Sekonyong-konyong
Oey Yong menjerit, “Ayah!” lalu ia lari ke
arah si baju hijau itu, yang ia terus tubruk untuk memernahkan diri dalam
rangkulan orang itu. Ia menangis terus ketika ia berkata-kata: “Ayah, kenapa,
kenapa muka ayah berubah menjadi begini rupa…?”
Itulah
kejadian diluar dugaan, karenanya si baju hijau itu berdiri menjublak
Kwee Ceng lekas berpaling, ia
dapatkan Tiauw
Hong berdiri di hadapannya,
kupingnya lagi dipasang untuk mendengari suara ser seperti tadi. Inilah ketika
baik, yang ia tak mau kasih lewat, maka ia ulur tangannya perlahan-lahan ke
arah pundak wanita lihay itu. Hanya ketika ia menepuk, ia menggunai tenaganya
seluruhnya. Ia menyerang dengan tangan kanan yang segera disusul dengan tangan
kiri!
Tidak
tempo lagi, Bwee
Tiauw Hong
roboh berjumpalitan, terus ia tebah, tak dapat ia berbangkit pula!
Seng Hong mendengar Oey Yong
memanggil ayah, hanya sejenak ia berdiam, lalu ia menjadi kaget berbareng
girang, sampai ia melupai kakinya yang sakit, ia mencelat dengan niat berlompat
kepada si baju hijau itu. Tapi celaka untuknya, ia terguling di tempat kosong.
Si
baju hijau lantas merangkul Oey
Yong dengan sebelah tangannya,
tangannya yang lain dibawa ke mukanya, di situ ia menarik kulit mukanya, maka
di lain saat ia telah memperlihatkan muka yang lain. Nyatalah ia ada memakai
topeng kulit yang tipis sekali.
Belum
kering airmatanya Oey
Yong atau ia berseru kegirangan,
dia merampas topeng kulit itu untuk dipakai di mukanya, setelah mana ia
merangkul pula ayahnya itu, sembari memeluki leher orang dia tertawa dan
berjingkrakan. Sebab baju hijau yang aneh kelakuannya, yang luar biasa sebat
gerakan tubuhnya, adalah Oey
Yok Su,
tocu pemilik dari Tho Hoa To, pulau bunga Tho.
“Ayah,
kenapa kau datang ke mari?” kemudian
si anak menanya. “Tadi si tua bangka she Kiu mencaci kau, kenapa kau tidak
memberi hajaran padanya?”
“Kenapa
aku datang ke mari?” balik menanya si
ayah, romannya keren. “Aku justru mencari kau!”
Oey Yong girang bukan
kepalang.
“Ayah,
maksud hatimu telah kesampaian!” serunya. “Bagus! Bagus!” ia menepuk tangan.
“Maksud
hati apakah?!” berkata si ayah. “Apakah untuk mencari kau si budak!”
Oey Yong terharu hatinya. Ia
tahu ayahnya pernah mengangkat sumpah yang berat, ialah ayah itu telah
mengambil ketetapan akan berdiam terus di Tho Hoa To untuk menyakinkan Kiu Im
Cin-keng, supaya ia menjadi satu jago yang tak ada tandingannya di kolong
langit ini, maka bukan main menyesalnya tempo ia mendapat kenyataan sebagian
dari kitabnya itu dicuri Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, keudua muridnya.
Tentu sekali dengan lenyapnya kitab itu menggagalkan peryakinannya. Dalam murkanya
ia bersumpah tidak akan meninggalkan pulaunya itu. Tapi anak daranya itu nakal,
anak itu buron, untuk mencari si anak, dia telah melangggar sumpahnya sendiri,
dia meninggalkan pulaunya itu.
“Ayah,”
berkata si anak kemudian, “Ayah, selanjutnya aku akan menjadi anak yang baik,
yang sampai matipun nanti mendengar katamu.”
Mendapatkan
putrinya tidak kurang suatu apa, Oey Yok Su sudha girang, sekarang ia mendengar
janji anaknya itu, hatinya menjadi lega sekali.
“Kau
pimpin bangun sucimu,” ia memerintahkan.
Oey Yong mengasih bangun pada
Bwee Tiauw Hong.
Koan
Eng pun segera mengangkat bangun pada ayahnya, untuk mereka berdua menagsih
hormat kepada itu guru atau kakek guru.
Oey Yok Su menghela napas.
“Seng Honh,
kau baik sekali, kau bangun,” katanya. “Dulu hari itu aku sudah keburu nafsu,
aku telah berbuat tidak pantas terhadapmu….”
Sang
murid menangis sesegukan.
“Apakah
guru baik?” tanyanya dengan susah.
“Syukur
aku tidak mati karena orang membikin aku mendongkol,” sahut gurunya itu.
Oey Yong memandang ayahnya,
ia tertawa nakal.
“Toh
ayah maksudnya bukan aku?” katanya.
“Kau
pun termasuk sebagiannya!” kata ayah itu. “Hm!”
Anak
itu mengulur panjang lidahnya.
“Ayah,
mari aku ajar kau kenal dengan
beberapa sahabat!” katanya kemudian. “Inilah Kanglam
Liok Koay
yang kesohor dalam dunia kangouw, merekalah gurunya engko Ceng.”
Oey Yok membuka lebar
matanya, ia tidak perdulikan Liok
Koay. “Aku tidak mau ketemu orang
luar!” katanya kaku.
Kanglam Liok Koay tidak puas untuk
keangkuhan orang itu, tetapi karena orang terlalu besar namanya, mereka
terpaksa berdiam.
Kemudian Oey Yok Su berkata kepada anaknya: “Kau ada barang apa
hendak dibawa pulang! Pergilah lekas ambil, mari
kita pulang bersama!”
“Tidak
ada apa-apa,” sahut si anak tertawa. “Ada
juga hendak dipulangi kepada Liok
Suko.” Ia merogoh sakunya,
mengeluarkan obat Kiu-hoa Giok-louw-wan, yang ia terus angsurkan kepada Seng Hong.
Ia kata, ” Suko, terimalah kembali obatmu ini. Tidak gampang untuk membikin
ini, bersama engko Ceng aku telah menerima dua butir, itu pun sudah cukup, aku
bersyukur sekali.”
Seng Hong tidak menyambuti, ia
hanya berkata pada gurunya: “Hari ini teecu bertemu guru, hatiku girang bukan
main. Obat ini hendka aku menghanturkan kepada suhu. Umpama suhu sudi berdiam
di rumahku ini untuk beberapa waktu, aku terlebih-lebih….”
Oey Yok Su tidak menjawab,
hanya ia menunjuk kepada Koan Eng.
“Inikah
anakmu?” tanyanya.
“Ya,”
sahut sang murid.
Tanpa
dititah lagi, Koan Eng memberi hormat pula dengan paykui empat kali seraya
berkata; “Cucu murid memberi hormat kepada sucouw!”
“Sudahlah!”
kata kakek guru itu, ia bukannya memimpin orang bangun, ia justru menyambar ke
punggung, mencekal bajunya, untuk mengangkat tubuhnya, lalu dengan tangannya
yang lain ia memukul ke arah pundak.
Seng Hong kaget sekali.
“Suhu,
inilah anakku satu-satunya….” ia kata.
Hajaran Oey Yok Su ini membuatnya Koan Eng jumpalitan,
terpelanting tujuh atau delapan tindak, lalu terjungkal.
“Kau
baik,” ia terus berkata kepada muridnya. “Kau tidak mewariskan kepandaiamu
kepadanya! Adakah ia murid dari Hoat
Hoa Cong?”
Hatinya Seng Hong lega. Ia tahu guru
itu lagi menguji anaknya.
“Tidak
berani teecu melanggar aturan suhu,” ia berkata cepat. “Tanpa ijin dari suhu,
tidak berani teecu mengajari kepandaian suhu kepada lain orang. Memang anak ini
adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari Hoat Hoa
Cong…”
“Hm!”
kata guru yang bengis itu. “Kuow
Bok dengan kepandaiannya semacam
ini berani menyebutkan dirinya Taysu! Mulai besok kau sendiri yang mengajarkan
anakmu ini!”
“Taysu”
itu berarti guru besar.
Bukan
main girangnya Seng
Hong. “Lekas kau menghanturkan
terima kasih kepada sucouw!” ia menyuruh kepada anaknya.
Koan
Eng tahu diri, lekas-lekas ia memberi hormat pula, dengan berlutut empat kali
lagi.
Oey Yok Su tidak melihat lagi
kepada ini cucu murid, ia pun tidak memperdulikannya.
Melihat
sikap gurunya ini, Seng
Hong berdiam. Sebenarnya ia girang
bukan main. Ia menyesal yang ia tidak dapat mengajari sendiri pada putranya
ini, sampai ia kirim putranya itu pada lain guru. Dengan tidak mewariskan
kepandaiannya kepada anaknya, ia kecewa sekali. Maka perkenanan suhunya ini
membikin ia bersyukur.
“Siapa
kesudian obatmu ini!” kata si guru, yang mendelik kepada muridnya. “Kau
ambillah ini!”
Oey Yok Su menggerakkan
tangannya, dua lembar kertas putih lantas terbang ke arah muridnya itu.
Jarak
di antara guru dan murid itu ada setombak lebih tetapi kertas itu melayang
bagaikan layangan ke arah si murid, yang menyambutnya.
Menyaksikan
itu, Kanglam
Liok Koay
kagum sekali.
Pun
Oey Yong sangat puas.
“Engko Ceng,
bagaimana kau lihat kepandaian ayahku ini?” ia berbisik kepada Kwee Ceng.
“Ayahmu
hebat sekali,” sahut si engko Ceng itu. “Yong-jie, kalau kau sudah pulang
nanti, jangan kau termaha memain saja, kau mesti belajar dengan
sungguh-sungguh.”
“Kau
toh turut bersama!” kata si nona, cemas hatinya. “Mustahilkah kau tidak turut?”
“Aku
hendak mengikuti suhuku,” sahut Kwee
Ceng. “Lewat sedikit waktu, aku
akan pergi menjengukmu.”
Oey Yong menjadi sangat
gelisah. “Tidak! Tidak!” katanya. “Aku tidak mau berpisah denganmu!”
Kwee
ceng menyeringai. Sebenarnya ia pun berat akan berpisahan dari si nona.
Seng Hong sendiri lantas sudah
membeber kertas yang ia sambuti itu, ia melihat banyak huruf-hurufnya. Koan Eng
lekas mengambilkanapi, untuk menyuluhi, maka ayahnya segera dapat kenyataan,
itulah pengajaran ilmu silat. Ayah ini
pun masih mengenali tulisan tangan gurunya, yang sudha duapuluh tahun ia tak
menampaknya. Huruf-huruf gurunya itu masih tetap bagus dan keren. Di lembar pertama, di sebelah kanan, yang paling
atas, ada empat huruf “Sauw yap twie hoat”. Jadi itulah ilmu menendang. Ia
tahu, itulah ilmu yang bersama “Lok
Eng Ciang”
menjadi keistimewaan gurunya. Dari enam murid, tidak ada satupun yang
diwariskan ilmu itu. Coba dulu ia dapatkan ilmu itu, alangkah girangnya, tetapi
pun sekarang, ia pun sekarang masih bisa mengajari anaknya. Maka ia simpan
baik-baik kertas itu, kepada gurunya ia memberi hormat sambil menghanturkan
terima kasih.
“Ilmu
tendangan ini tidak sama dengan pengajaranku dulu, Oey Yok Su memberitahu. “Jalannya mirip tetapi di
mulai dengan latihan tenaga dalam. Kau menyakinkan ini sambil duduk bersemadhi,
selang lima
enam tahun, kau nanti dapat berjalan tanpa bantuannya tongkat!”
Seng Hong girang dan terharu,
ia sangat bersyukur.
“Kakimu
tidak dapat diobati lagi, bersilat di bawah pun kau tidak dapat,” berkata si
guru itu, “Tetapi jikalau kau bersungguh-sungguh mengikuti pelajaranku ini yang
baru, kau nanti dapat berjalan tak sulit seperti orang yang kakinya tak
bercacad. Ah….” Ia menyesal yang dulu hari, karena menuruti hawa amarahnya, ia
sudah siksa keempat muridnya tanpa mereka itu bersalah dosa. Tapi dasar beradat
keras, ia tidak sudi akui kekeliruannya itu. Hanya ia memesan: “Pergilah kau
cari tiga adik seperguruanmu dan kau ajari mereka ilmu ini…”
Seng Hong menyahuti “ya”, lalu
ia menambahkan: “Tentang sutee Leng
Hong Kiok,
tak pernah teecu mendengarnya. Tetapi kedua sutee Boe dan Phang, sudah lama
mereka itu menutup mata…”
Oey Yok Su bersedih, lalu sinar
matanya yang tajam itu beralih kepada Bwee Tiauw
Hong. Lain orang melihat sinar mata
itu, mereka terkejut. Syukur
Tiauw Hong
sendiri tidak melihatnya.
“Tiauw Hong!”
berkata guru itu dingin, “Kau sebenarny terlalu jahat, tapi kau juga telah
menderita hebat. Tapi si tua bangka she Kiu ngoceh menyumpahi aku mati, kau
mengucurkan air mata, kau juga hendak menuntut balas untukku, maka itu, dengan
memandang beberapa tetes air matamu itu, suka aku membiarkan kau hidup lebih
beberapa tahun lagi.”
Tiauw Hong tidak menyangka
gurunya dengan begitu gampang saja suka memberi ampun padanya, saking girang,
ia lantas menjatuhkan diri ke tanah, untuk memberi hormat, buat menghanturkan
terima kasih.
“Baik,baik,”
kata guru itu yang dengan perlahan menepuk punggungnya tiga kali.
Tiauw Hong merasakan sakit
tidak terkira, hampir ia pingsan, dengan suara menggetar ia memohon: “Suhu,
teecu ketahui kedosaanku tak terampunkan, maka itu teecu mohon sekarang juga
kau menghukum mati padaku, tetapi bebaskanlah teecu dari siksaan
Hu-kut-ciam…..”
Hu-kut-ciam
itu adalah jarum rahasia yang ditusukkan ke tulang-tulang. Tentang ini Tiauw
Honjg pernah mendengar dariBtan Hian
Hong. Katanya itulah senjata
rahasia guru mereka, bahwa asal tubuh lawan kena ditepuk perlahan, jarum itu
akan masuk ke dalam daging dan nacap di sambungan tulang-tulang, sakitnya bukan
main, sebab jarumnya dipakaikan racun. Katanya pula, lambat jalannya racun itu,
maka setiap hari enam kali orang akan tersiksa racun hebat, lalu selang lima bulan barulah sang
kematian datang. Semakin lihay ilmu silat orang, semakin hebat penderitaannya.
Mengetahui
ini, Tiauw Hong berputus asa, maka itu habis
mengeluh, mendadak ia menggeraki cambuknya buat menghajar kepalanya sendiri,
untuk menghabiskan jiwanya. Tapi
Oey Yok
Su sangat lihay, belum orang tahi
apa-apa, cambuk itu sudah kena dia rampas. Dengan dingin guru ini berkata:
“Kenapa tergesa-gesa? Untuk mati tidaklah gampang!”
Mendengar
perkataan guru itu, Tiauw
Hong menduga ia bakal disiksa,
supaya ia menderita, karenanya ia menoleh kepada Kwee Ceng,
samil tertawa meringis ia kata: “Aku berterima kasih yang kau telah membunuh
suamiku, dengan begitu lelaki busuk itu dapat kematiannya dengan enak sekali!”
Oey Yok Su tidak pedulikan apa
yang muridnya itu bilang, ia hanya kata: “Jarum Huu-kut-ciam
ini baru bekerja sesudah lewat satu tahun, selama tempo satu tahun ini , aku
berikan tiga macam tugas yang kau mesti rampungkan, habis itu kau boleh datang
ke pulau Tho Hoa To untuk menemui aku, aku ada mempunyai daya untuk mencabut
jarum itu.”
Girang
Tiauw Hng mendengar gurunya ini.
“Biar
mesti menerjang api berkobar, teecu nanti lalukan titah suhu itu!” ia berkata.
Tapi
gurunya itu mengash dengar suara dingin sekali ketika ia berkata; “Taukah kau
apa yang hendak aku menitahkan kau melakukannya hingga kau dapat menerimanya
begini cepat?”
Tiauw Hong tidak berani
menyahuti, ia menunduk saja.
Oey Yok Su segera
memberitahukan tiga syaratnya itu.
“Yang
pertama,” demikian katanya, “Kiu Im Cin-keng yang kau bikin lenyap itu kau
mesti cari dan mendapatinya kembali untuk dikembalikan padaku! Jikalau kitab
itu dapat dilihat orang lain, dia mesti dibinasakan! Seorang yang melihat,
seorang yang dibunuh, seratus orang melihat, seratus orang juga yang mesti
dibunuh itu! Umapama kau cuma membunuh sembilanpuluh sembilan orang, jangan kau
kembali padaku!”
Bergidik
orang yang mendengar syarat itu. Kanglam Liok
Koay berpikir: “Orang menyebutnya
Oey Yok Su sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, kelakuannya ini benar-benar
sesat sekali….”
“Sekarang
yang kedua,” Oey Yok Su berkata pula, “Tiga saudaramu Boe, Phang dan Kiok telah
menderita karena perbuatanmu, sekarang kau pergi cari Leng Hong, setelah itu
kau cari tahu dua saudara Boe dan Phang itu ada mempunyai turunan atau tidak,
semua turunan mereka itu kau bawa ke Kwie-in-chung ini, serahkan kepada Seng
Hong, supaya ia yang mengurusnya.”
Tiauw Hong memberikan janjinya.
Seng Hong pun berpikir, dapat
ia berbuat untuk syarat yang kedua itu tetapi sebab ia kenal baik adat gurunya
itu, ia berdiam saja.
Oey Yok Su angkat kepalanya
mendongak ke langit, mengawasi bintang-bintang.
“Kitab
Kiu Im Cin-keng itu kamulah yang mengambilnya sendiri,” ia berkata pula. “Ilmu
dalam kitab itu aku tidak mengajarkan kamu, kamu sendiri yang mempelajarinya.
Kamu tahu apa yang harus kau perbuat?” ia berdiam sejenak. “Nah, inilah yang
ketiga.”
Tiauw Hong tidak segera dapat
menerk apa maksud gurunya, sekian lama ia berpikir keras. Akhirnya ia sadar
juga. Maka dengar suara menggetar ia kata: “Sesudah teecu berhasil membereskan
yang pertama dan yang kedua itu, teecu ketahui bagaimana harus menghabiskan
sendiri kedua ilmu Kiu Im Pek-kut Ciauw serta Cwie-sim-ciang yang teecu
berhasil menyakinkannya.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia
tarik tangan bajunya Oey
Yong, dengan sinar matanya memain,
ia tanya si nona.
Oey Yong agaknya merasa berat
tetapi dengan tangan kanannya ia membacok ke tangan kirinya. Melihat ini,
pemuda itu mengerti, di dalam hatinya ia berkata: “Oh, kiranya dia hendak
mengutungi tangannya sendiri. Bwee
Tiauw Hong
ini memang jahat sekali, hanya setelah ia insyaf, kenapa ia mesti dihukum
secara demikian hebat? Mesti aku minta Yong-jie memohonkan keampunannya…”
Tengah
pemuda ini berpikir demikian, Oey
Yok Su
berpaling padanya seraya menggapaikan. “Kaukah yang bernama Kwee Ceng?”
ia menanya.
Kwee Ceng segera maju untuk
memberi hormatnya sambil menjura.
“Teecu Kwee
Ceng menghadap Oey Locianpwee,”
katanya hormat.
“Tan
Hian Hong yang emnjadi murid kepalaku, kaulah yang membinasakan, kepandaianmu
bukan main,” kata Oey
Yok Su.
Kwee Ceng terperanjat. Suara
tak berkesan baik untunya. Tapi ia lekas menjawab: “Ketika itu teecu masih muda
sekali dan belum tahu apa-apa, teecu kena tertangkap oleh Tan Cianpwee,
dalam ketakutan dan bingung, teecu kesalahan tangan telah membinasakan dia….”
“Hm!”
Oey Yok Su
memperdengarkan suara yang dingin. “Tan Hian Hong memang benar adalah murid
murtad dari kalanganku, tetapi untuk membinasakannya, itulah hak kami. Apakah
murid-murid dari Tho Hoa To boleh di bunuh orang luar?!”
Kwee Ceng tidak dapat
menjawab, ia berdiam.
“Ayah,”
Oey Yong berkata, “Ketika itu dia baru berumur
enam tahu, tahu apa dia?”
Oey Yok Su tidak melayani
putrinya itu, ia seperti tidak mendengar perkataan orang.
“Si
pengemis tua she Ang itu biasanya tidak suka menerima murid,” katanya sejenak
kemudian. “Tetapi sekarang ia telah mengajarkan kau Hang Ling Sip-pat Ciang
sampai limabelas jurus, itulah tentu kau ada punya sifat-sifat baik yang
melebihkan lain-lain orang. Tidak demikian, pastilah kau sudah bujuk dia dengan
akal apa, yang membuat hatinya girang, hingga ia suka menurunkan kepandaiannya
itu. Kau telah menggunai kepandaiannya si pengemis tua untuk merobohkan -
hm,hm! Kalau nanti si pengemis itu bertemu dengan aku, bukankah ia bakal banyak
bacot?”
Kembali Oey Yong memotong perkataan
ayahnya.
“Ayah,
memang benar ada digunai bujukan!” katanya sambil tertawa. “Tetapi bukannya dia
yang mengakalinya, hanya aku! Dia seorang yang polos, jangan ayah berlaku galak
dan membuatnya ketakutan.”
Oey Yok Su tidak melayani
gadisnya itu. Sebenarnya semenjak istrinya menutup mata, ia sangat menyayangi
gadisnya ini, karena itu anaknya menjadi termanjakan. Demikian sudah terjadi,
karena ditegur ayahnya, Oey
Yong minggat. Tadinya Oey Yok Su menyangka, sebagai seorang wanita,
setelah buron, anaknya bakal menderita sekali, siapa tahu, anak itu sehat dan
tetap manja seperti biasa. Melihat anak itu agak rapat sekali pergaulannya sama
Kwee Ceng, hingga seperti juga dia kurang rapat
dengan ayahnya sendiri, ia tidak puas. Maka itu, ia kata pula pada si anak
muda: “Dengan si pengemis tua mengajarkan kau ilmu silat, kau terang sudah dia
menertawakan partaiku tidak ada orangnya, bahwa setiap muridku tidak punya
guna…”
Oey Yong bisa menerka hati
ayahnya itu, yang tidak senang Tiauw Hong kena dikalahkan dengan Hang Liong
Sip-pat Ciang, kembali ia menyela: “Ayah, siapakah bilang partai Tho Hoa To
tidak ada orangnya? Dia ini beruntung sebab mata Bwee Suci
buta! Nanti aku membikin ayah puas!” Ia lantas lompat ke depan seraya berseru,
“Mari, mari!
Nanti aku gunai kebisaan biasa saja yang ayah ajarkan aku melayani kepandaian
istimewa Ang
Cit Kong!”
Ia menantang Kwee ceng, yang ia tahu kepandaiannya sudah maju jauh sekali
hingga hampir seimbang dengannya, kalau dalam beberapa puluh jurus mereka
berdua bertanding seri, itu saja sudah cukup untuk membikin puas ayahnya.
Kwee Ceng dapat mengerti
maskudnya si nona, justru Oey
Yong tidak membilang suatu apa, ia
menerima tantangan. Tetapi ia kata: “Biasanya aku aklah dari kau, baik aku
membiarkan kau menghajar aku dengan beberapa gebukan lagi!” Bahkan ia ayun
tangan kanannya seraya berlompat maju.
“Lihat
tanganku!” Oey
Yong pun berseru seraya ia
membacok dengan tangannya.
Itulah
bacokan dari samping, dengan satu jurus dari ilmu silat Lok Eng Ciang.
Kwee
Ceng melayani dengan Hnag Liong Sip-pat Ciang, tetapi ia menyayangi Oey Yong,
maka itu ia tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, di lain pihak, Lok Eng
Ciang memangnya lihay, maka itu setelah banyak jurus, beberapa kali ia kena
dihajar, malah untuk memuaskan ayahnya, si nona menggunai tenaga keras. Oey Yong
benari berbuat demikian karena ia tahu tubuh sahabatnya itu kuat.
“Kau
masih tidak mau menyerah!” Oey
Yong berseru sambil ia menerjang
tidak hentinya.
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia
hanya berkelahi terus. Didesak, ia membela diri.
Disaat
itu, mendadak Oey
Yok Su
mencelat ke arah mereka berdua. Hebat gerakkannya itu, orang sampai tidak
melihatnya, hanya tahu-tahu, kedua tanganya sudah diulur, dipakai menyambar
masing-masing leher bajunya kedua bocah itu, lalu ia menggentak, melemparkan
mereka itu. Oey
Yong disambar dengan tangan kiri,
dia dilempar asal saja. Kwee
Ceng dicekal dengan tangan kanan,
tangan itu dikerahkan tenaganya, maksudnya supaya si bocah roboh terbanting.
Kwee
Ceng tidak berdaya atas sambaran itu, tubuhnya terlempar dingin kebelakang,
akan tetapi ketika ia jatuh, kakinya turun lebih dulu, begitu kakinya itu
mengenai tanah, ia seperti menancap diri, ia tidak roboh terguling.
Sebenarnya
kalau bocah ini roboh dan mukanya babak belur atau ia tidak dapat bangun pula,
itulah untungnya, tetapi sekarang, melihat ketangguhan kuda-kudanya itu, Oey Yok
Su menjadi panas hatinya.
“Hai,
kamu bermain sandiwara untuk aku menontonnya?!” dia berseru. “Aku tidak
mempunyai murid, mari, kau
mencoba-coba menyambut kau beberapa jurus!”
Kwee Ceng terkejut,
lekas-lekas ia menjura memberi hormat.
“Biarnya
teecu bernyali sebesar langit, tidak nanti teecu berani melayani locianpwee,”
katanya hormat.
“Hm,
melayani aku!” kata Oey
Yok Su
tertawa dingin. “Kau tidak tepat, bocah! Aku akan berdiri di sini tanpa
bergerak, kau boleh menyerang aku dengan Hang Liong Sip-pat Ciang! Asal aku
berkelit atau menangkis, hitunglah aku kalah!”
“Teecu
tidak berani,” Kwee
Ceng berkata pula.
“Tidak
berani kau juga mesti beranikan!” mendesak Oey Yok Su.
Kwee Ceng menjadi serba salah.
“Kelihatannya tidak dapat aku tidak melayaninya,” pikirnya. “Apa boleh buat.
Dia tentu hendak meminjam tenagaku, untuk membikin aku roboh beberapa kali…?”
“Lekas
kau menyerang!” Oey
Yok Su
mendesak. Ia dapat kenyataan, walaupun bersangsi, orang sudah mempunyai niat.
“Jikalau tidak, aku akan menghajarmu!”
“Karena
locianpwe menitahkannya, teecu tidak berani membantah,” menyahut Kwee Ceng
kemudian. Ia terus membungkuk seraya memutar tangannya melingkar. Ia cuma
memakai tenaga enam bagian. Sebabnya ialah kesatu ia khawatir nanti melukai
ayah kekasihnya itu dan kedua, umpama ia dibikin terjungkal, robohnya tidak
hebat. Ia menyerang ke dada. Hanya aneh, ketika mengenai sasarannya, tangannya
itu seperti licin, lewat dengan begitu saja.
“Apa?
Kau tidak melihat mata padaku?!” menegur Oey Yok Su. “Apakah kau takut aku tidak sanggup
bertahan untuk pukulanmu? Benarkah?”
“Teecu
tidak berani,” menyahut si anak muda. Ia lantas menyerang untuk kedua kalinya.
Sekarang ia tidak menahan lagi tenaganya. Serangannya itu dibarengi sama
dikeluarkannya napas. Dengan tangan kiri ia mengancam, dengan tangan kanan ia
menyerang perut.
“Nah,
inilah baru pukulan benar,” berkata Oey Yok Su.
Kwee Ceng kaget bukan main.
Serangannya hebat tetapi tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya tangannya itu
seperti kena disedot, begitu keras hingga bagaikan tangannya itu copot. Ia
merasakan sakit bukan kepalang.
“Teecu
kurang ajar, harap locianpwee memaafkan,” ia berkata. Tangannya itu sementara
itu sudah tidak diangkat.
Kanglam Liok Koay heran, kaget dan
berkhawatir. Sungguh hebat Tong Shia ini, tanpa berkelit tanpa menangkis, ia
membikin lengan Kwee
Ceng itu mati kutu.
“Kau
pun rasai tanganku!” mendadak Oey
Yok Su
berseru. “Biarlah kau ketahui, yang mana yang lebih lihay, Hang Liong Sip-pat
Ciang dari si pengemis tua atau kepandaian dari Tho Hoa To!”
Belum
berhenti suara itu, angin sudah menyambar, Kwee Ceng
menahan sakit, ia mencelat, maksudnya untuk berkelit. Di
luar tahunya, belum tinju orang sampai, tinju itu telah didului gaetan kaki,
maka sedetik itu juga, robohlah Kwee
Ceng.
Oey Yong kaget.
“Jangan,
ayah!” ia menjerit seraya berlompat menubruk Kwee Ceng,
di atas tubuh siapa ia mendekam.
Oey Yok Su menyerang terus,
tetapi melihat anaknya, tinjunya diubah menjadi cengkeraman dengan apa ia
menjambak baju anak itu, untuk diangkat, kemudian tangan kirinya menggantikan
menyerang terus.
Kanglam Liok Koay kaget sekali. Mereka
tahu itulah pukulan dari kematian. Maka mereka maju dengan berbareng, untuk
menolongi murid mereka. Coan
Kim Hoat
berada paling depan, dengan dacinnya ia menghajar lengan kiri Tong Shia.
Oey Yok Su meletaki gadisnya di
sampingnya. Ia seperti tidak mengambil tahu serangannya Kim Hoat
yang disusul pedangnya Han Siauw Eng. Ketika kedua serangan itu mengenai
sasaran, mendadak saja dacin dan pedang patah menjadi empat potong!
Oey Yong lantas saja
menangis.
“Ayah,
kau bunuhlah dia!” dia berteriak. “Untuk selamanya aku tidak mau pula bertemu
denganmu….!” Tanpa menoleh lagi, ia lari ke arah telaga ke mana ia terjun!
“Bur!”
air itu berbunyi dan gusar berbareng. Ia tahu putrinya itu pandai berenang dan
selulup, semenjak kecil putri itu biasa mandi di Tang Hay, dapat ia tidak
mendarat selama satu hari dan satu malam, akan tetapi kali ini sang putri bakal
pergi entah untuk berapa lama, mungkin untuk tidak bertemu pula seperti kata si
anak, maka itu dalam kagetnya, ia memburu ke tepi telaga, akan berdiri bengong
mengawasi telaga itu.
Sampai
sekian lama barulah Tong Shia si Sesat dari Timur itu berpaling, ia lihat Cu
Cong tengah tolongi Kwee Ceng dengan menyambungi pula tangannya itu. Mendadak
ia menumpahkan hawa amarahnya terhadap mereka itu.
“Lekas
kamu bertujuh membunuh diri!” ia membentak mereka itu, suaranya dingin. “Tak
usah sampai aku turun tangan hingga kau menjadi menderita!”
Kwa
Tin Ok mengangkat tongkatnya.
“Satu
laki-laki tidak takut mampus!” dia kata dengan nyaring. “Apapula penderitaan!”
“Kanglam Liok Koay
sudah pulang ke kampung asalnya,” Cu Cong
pun berkata. “Kalau sekarang kita mengubur tulang-tulang kita di telaga Thay Ouw
ini, apakah lagi yang diberati?”
Lantas
mereka berenam, dengan senjata di tangan atau tangan kosong, memernahkan diri
untuk melawan jago dari Laut
Timur itu.
Kwee Ceng jadi berpikir keras.
Ia tahu keenam gurunya tidak bakalan sanggup melawan Oey Yok Su. Ia tidak ingin, karena urusannya
sendiri, mereka itu mengnatar jiwa percuma-cuma. Maka itu ia lantas melompat
untuk menyelak.
“Tan
Hian Hong terbinasa di tangan teecu sendiri!” ia berseru, “Kematiannya pun
tidak ada sangkut pautnya dengan semua guruku ini! Aku sendiri yang akan
mengganti jiwanya!” Ia tahu gurunya yang nomor satu serta yang nomor tiga dan
yang nomor tujuh beradat keras, kalau ia mati, mereka itu tentu nekat, maka itu
ia menambahkan, “Tapi sakit hati ayahku masih belum terbalas, maka itu apakah
locianpwee suka memberi tempo satu bulan kepadaku? Selewatnya tigapuluh hari
teecu bakal datang sendiri ke pulau Tho Hoa To untuk menerima binasa!”
Berat
pikirannya Oey
Yok Su,
karena ia ingat anaknya, hawa amarahnya lantas turut menjadi kendor. Tanpa
membilang suatu apa, ia mengebas tangannya, ia memutar tubuhnya, terus ia
ngeloyor pergi.
Kanglam Liok Koay heran, kenapa
kata-kata muridnya itu dapat membikin jago Tang Hay itu mengangkat kaki. Mereka
bercuriga, maka itu mereka tetap memasang mata. Tapi benar-benar orang telah
pergi.
Seng Hong pun menjublak sekian
lama. Kemudian barulah ia mengundang semua tetamunya kembali ke dalam.
Bwee Tiauw Hong tertawa dengan
mendadak, ia mengebasi tangan bajunya, lalu tubuhnya mencelat setombak lebih,
ketika tubuhnya itu diputar, ia pun lenyap dalam gelap gulita.
“Bwee Suci,
bawalah muridmu!” Seng
Hong berteriak.
Tidak
ada jawaban, sekitar mereka tetap sunyi, maka teranglah sudah, si Mayat Besi
pun telah pergi jauh.
Sampai
di situ Liok Koan Eng mengasih bangun pada Wanyen Kang.
Tapi orang berdiam saja. Sebab ia telah terkena totokan, tinggal kedua matanya
saja yang dapat bergerak-gerak.
“Aku
telah terima baik permintaan gurumu, kau pergilah!” berkata Seng Hong.
Tapi ia tak dapat membebaskan orang dari totokan, karena itu bukablah totokan
dari partainya, kalau ia berbuat demikian, ia jdai berlaku tidak manis
terhadap si penotok. Ia mengawasi semua tetamunya, hendak ia berbicara.
Justru
itu Cu Cong menghampirkan Wanyen
Kang, tanpa membilang apa-apa, ia
totok pangeran itu beberapa kali. Sebat totokannya itu, di pinggang beberapa
kali disusul sama tepukan beberapa kali di punggung.
Melihat
itu Seng ong kagum. “Dia lihay sekali,” pikirnya mengenai Cu Cong.
“Wanyen Kang bukan sembarang orang tetapi ia dapat ditotok tanpa berbuat
apa-apa.” Ia tidak tahu, Cu
Cong dapat menotok dengan hasil
bagus, karena keadaan lagi kacau sekali.
Wanyen Kang merasa sangat malu,
tanpa memberi hormat, tanpa membilang suatu apa, ia hendak mengangkat kaki.
“Orang
ini siapa`” berkata Cu Cong. “Kau bawalah dia pergi!” Ia pun lantas membebaskan
Toan Tayjin.
Komandan
tentara itu menduga jiwanya bakal hilang, maka itu bukan main girangnya ia yang
ia ditolongi dan dimerdekakan juga. Dengan tergesa-gesa ia memberi hormatnya.
“Enghiong,
untuk budi pertolonganmu ini, aku Toan Thian Tek tidak akan melupakan sekali
pun sampai akhir ajalku!” katanya.
Kapan Kwee Ceng mendapat dengar itu
nama Toan Thian Tek,
ia terkejut ia tercengang. Nama itu seperti mengaung di kupingnya.
“Kau…kau
bernama Toan
Thian Tek?”
ia menanya.
“Benar,”
komandan itu menyahut. “Enghiong kecil, kau ada punya pengajaran apa untukku?”
“Bukankah
delapanbelas tahun yang lampau selama di Lim-an, kau
ada menjadi opsir tentara?” Kwee
Ceng menanya pula.
“Benar,
enghiong kecil. Bagaimana kau ketahui itu?” kembali Thian Tek
menyahuti. Kemudian ia memandang pada Koan Eng, sebab barusan ia mendengar
keterangannya Seng Hong bahwa pemuda itu muridnya Kouw Bok Taysu. Ia berkata: “Aku adalah keponakan
yang tidak menyucikan diri dari Kouw
Bok Taysu
itu, karenanya kita menjadi orang sendiri, Haha!” Ia senang sekali, ia menjadi
tertawa girang.
Kwee Ceng tidak menanya pula,
ia hanya menoleh kepada tuan rumah.
“Liok Chungcu,”
katanya. “Aku yang rendah memohon pinjam ruangan belakang dari rumahmu ini.”
“Tentu
saja boleh,” sahut Seng
Hong.
Kwee Ceng mengucap terima
kasih, lalu ia tuntun Toan
Thian Tek,
buat diajak ke belakang. Cepat tindakannya itu.
Kanglam Liok Koay saling memandang, di
dalam hatinya masing-masing mereka berkata: “Thian sungguh adil, Siapa nyana
justru di sini kita dapat menemui si manusia jahat! Coba bukan dia menyebut
namanya sendiri, siapa yang tahu dialah yang dicari ubak-ubakan dan jauh
laksaan lie selama tujuh tahun…..?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar