Bab 16. Gara-Gara Sepatu Sulam Dan Jubah Salut
Emas
Tiba-tiba
Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas yang memegang tangannya. Ketika
ia menoleh, dengan lantas ia lihat Oey Yong,
yang setahu kapan telah turun dari lauwteng.“Jangan pedulikan dengan mereka, mari kita naik pula ke lauwteng!” berkata ini sahabat
baru.
“Mereka
ini hendak merampas kudaku,” kata Kwee Ceng.
“Setahu kenapa, mereka pada rubuh sendirinya….”
Meski
ia mengucap demikian, Kwee ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian juga si
anak muda itu.
Justru
mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga telah berada
di depan, malah ia sudah lantas membungkuk kana melihat delapan pemudi yang
menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak muda itu,
sinar matanya menandakan ia sangat heran.
Oey Yong tarik tangannya Kwee
ceng, untuk naik di tangga, kemudian sembari tertawa manis,
ia tuangi air the di cawannya pemuda itu.
“Toako,
kudamu itu bagus sekali!” katanya memuji.
Kwee
Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika ini tatkala ia dengar ramai suara kelengan
unta di depan rumah makan itu, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong, apabila
mereka melongok ke bawah, mereka lihat delapan nona serba putih itu berlalu
dengan unta mereka. salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang Kwee
Ceng, maka Kwee Ceng dapat melihat sinar matanya yang tajam, tanda dari kemurkaan,
sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang kanan,
atas mana dua potong ginso menyambar ke loteng, ke arah pemuda ini.
Cepat-cepat
Kwee Ceng cabuti kopiahnya, dengan niat
menyambuti torak perak itu. Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah
itu telah dului ia, dengan menyentil dua kali, ia melayangkan dua batang
senjata rahasia yang bersinar emas berkilauan, lalu di antara dua kali suara
tintong, ginso itu jatuh sendirinya, jatuh bareng bersama senjata penyerangnya.
kedua kacung lantas pungut empat senjata rahasia itu, diserahkan kepada si
pemuda, yang menyambuti seraya terus dikasih masuk ke dalam sakunya. Habis itu,
ia lantasbertindak naik di tangga lauwteng, dia terus menghampirkan Kwee Ceng,
di depan siapa ia berhenti, untuk terus segera memberi hormat sambil berjura.
“Aku
mohon tanya she dan nama mulia dari
toako,” ia minta.
Kwee
ceng cepat-cepat membalas hormat. “Siauwtw she Kwee, bernama ceng,” ia
menyahuti. “Kongcu ada pengajaran apakah?” lanjutnya.
“Apakah
saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay? pemuda itu menaya.
“Aku mohon tanya, ada urusan apakah
saudara datang ke mari?”
Ditanya
begitu, Kwee melengak. “Siauwtee datang dari gurun pasir utara,” ia menyahut.
“Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To itu. Barusan kongcu membnatu
aku, aku sangat berterima kasih.”
Kongcu
itu berkata: “Saudara
Kwee tak hendak mengenalkan diri,
nah di sini saja kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!” Lalu ia
menjura dalam sekali.
Kwee
ceng lekas-lekas membalasi, di waktu mana ia merasakan sambaran angin. Kongcu
itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke matanya.
Inilah Kwee ceng tidak sangka.
Sembari memberi hormat orang menyerang ia secara hebat sekali. Celaka kalau ia
kena tersampok. Maka dengan ia lantas tunduk, untuk masuki kepalanya ke
selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan. Meski begitu, pundaknya kena
tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring dan ia merasakan sakit ngilu
pada pundaknya itu. Karena ini, diwaktu ia sudah taruh kakinya, ia kaget dan
gusar dengan berbareng.
“Kau…kau….”
Tapi
si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata: Aku cuma mencoba ilmu
kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, ilmu silatmu tangan
kosong tapi biasa saja. Maaf…!” Kembali ia menjura.
Kwee
ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak.
Oey Yong agaknya kaget,
tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit ke kaki kongcu, disaat
kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong
pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian
kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng
ia tersenyum, terus ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng.
“Ini
untuk kau…” kata Oey
Yong dengan perlahan, tangannya
disodorkan.
Kwee Ceng melihat telapak
tangan anak muda ini, ia tercengang. Di
tangan kawan ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso,
yang bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan
dalam sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar
lantas ia ingat, ia mengerti. Ia sambuti tusuk konde emas dan ginso itu.
“Kongcu,
kau lupakan barangmu ini!” ia panggil si pemuda yang seperti anak bangsawan
itu.
Kongcu
itu menghentikan tindakannya, ia berpaling.
Kwee Ceng angsurkan kedua
barang emas dan perak itu.
Menampak
barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar biasa
tangannya menyambar ke arah Kwee ceng, lima
jarinya yang kuat seperti kuku garuda menyambar ke tangan Kwee Ceng itu.
Kwee Ceng kaget tidak terkira.
Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga orang bergerak dengan ilmu silat
Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya sering menuturkan kepadanya. Maka
ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi?
Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas
cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari pada lengannya, cuma ia dapat
membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya sebatnya dengan sambarannya si
Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau menyambuti cengkeraman itu, belum ia
terjambak, empat senjata di tangannya sudah lantas mencelat. cepat luar biasa
ia telah kerahkan tenaganya.
Kongcu
itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata itu
sudah mendahulukan menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu
berdiri tegar ditempatnya. Dengan terpaksa ia sambuti empat potong benda itu.
Setelah menatap, ia memutar tubuhnya untuk terus turun di tangga lauwteng.
Kapan Kwee Ceng kembali ke kursinya,
ia dapatkan Oey
Yong mengawasi ia sambil sahabat
itu tertawa geli.
“Kenapa
barang itu berada di tanganmu?” ia menanya, heran.
“Dia
membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!” sahut Oey Yong
masih tertawa.
Kwee Ceng jujur, ia tidak
menduga orang mendusta.
“Toako,
kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?” kemudian Oey Yong
menanya.
“Sebab
kudaku adalah han-hiat-po-ma,” jawab Kwee Ceng,
yang terus tuturkan perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu,
yang menyamar sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti:
“Setahu siapa yang membnatu aku secara diam-diam dengan merobohkan mereka itu.
Kalau tidak tentulah mesti terjadi pertempuran hebat…”
Oey Yong masih tersenyum.
“Kudaku
itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah lombai mereka seperjalanan tiga
hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul padaku…” Kwee Ceng
kemudian mengutarakan keheranannya. “Sungguh memusingkan kepala..”
“Aku
lihat di antara mereka ada satu yang mencekal sepasang burung dara,” kata Oey Yong.
Tiba-tiba
Kwee ceng menepuk meja. “Ya, aku ingat sekarang!” ia kata pula separuh berseru.
“Itu waktu memang aku lihat terbangnya dua ekor burung di atasan kepalaku.
Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar kepada lima kawannya, untuk
mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka gampang saja mencari
padaku.”
Setelah
itu, Oey Yong tanya
tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee ceng menuturkannya dengan jelas.
Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan secawan teh, lalu ia
tertawa.
“Toako,”katanya,
“Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi mengabulkannya?”
dia bertanya.
“Kenapa
tidak?” Kwee
Ceng menjawab.
“Sebenarnya
aku suka sekali dengan kudamu itu,” menerangkan Oey Yong.
“Baik,
hiantee, aku hadiahkan itu padamu!” kata Kwee Ceng
tanpa bersangsi.
Oey Yong terperanjat.
Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama bertemu? Ia malah
mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas mendekam di meja, terus
terdengar tangisannya sesegukan.
Sekarang
adalah giliran Kwee
Ceng yang menjadi heran. “Hiantee,
kau kenapakah?” ia menanya cpat. “Apakah kau kurang sehat?”
Oey Yong angkat kepalanya, ia
mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi sekarang ia tidak menangis,
sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir di kedua belah pipinya
itu, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris kulitnya yang putih
mulus.
“Toako,
marilah kita pergi!” ia mengajak.
Kwee Ceng menurut.
Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia membayar uang makan,
baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: “Aku haurkan kau kepada
sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya, jangan kau bawa
adatmu.” Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia mepersilakan:
“Hiantee, kau naiklah!”
Sebenarnya
kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang tidak
membangkang.
Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng
menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk kempolan kudanya itu. Dengan lantas
kuda itu berlari pergi.
Pemuda
itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia
mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari
rumah penginapan. Ketika disaat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri,
tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu.
“Siapa?”
ia tanya heran.
“Satu
sahabat,” sahut suara di luar, suaranya parau.
Kwee Ceng turun dari
pembaringan, ia membuka pintu. Di
antara cahaya lilin, ia tampak lima
orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut bukan main.
Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong Ho
Su Koay.
Dua orang yang ke lima,
yang usianya kurang lebih lima
puluh tahun, tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar,
romannya sangat tidak mengasih untuk diawasi.
Si
kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan
lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan,
sambil melirik, ia awasi tuan rumah.
Kwee Ceng pun mengawasi,
hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas luka-luka senjata tajam,
hingga dia itutak dapat melihat lepas ke depan.
Toan-hu-to
Sim Ceng Kong
si Golok Memutus Roh,
dengan dingin, lantas berkata: “Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw
Thong Hay yang sangat ternama besar! Lekas kau berlutut dan mengangguk-angguk
kepalanya!”
Kwee
Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah bukan
tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang julukannya
pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga.
“Tuan-tuan
ada punya urusan apa?” ia tanya sambil
menjura.
“Mana
guru-guru kamu?” Hauw Thong hay menanya.
“Guruku
tidak ada di sini,” sahut Kwee
Ceng.
“Ah!
Kalau begitu hendak aku memberi ketika padamu untuk hidup lagi setengah
harian!” kata Ular
Naga Kepala
Tiga itu. “Sekarang hendak kau
memberi pengajaran kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw
menghina anak kecil. Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong-lim di
luar kota, kau
datang ke sana
dengan minta gurumu semua temani padamu!” Habis berkata, ia berbangkit, tanpa
menanti penyahutannya Kwee Ceng,
ia sudah ngeloyor keluar.
Sesampai di luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng
Liat si Tombak Mengejar
Jiwa menutup pintu, hingga
terdengar suara membeletok.
Kwee Ceng memadamkan api,
terus ia duduk numprah di atas pembaringannya. Kapan ia memandang ke jendela,
ia tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang telah menjaga ia di luar
kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia dapat dengar apa-apa di
atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali, disusul sama bentakan:
“Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu menunggui kau disini!”
Jadi
terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk
tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti
gulak-galik saja.
Besok
pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan
sepasang kampaknya.
“Suhu
semua berada di tempat jauh, tidak nanti mereka dapat menolongi aku,” Kwee Ceng
berpikir. “Sudah terang aku tidak bakal dapat lolos, baiklah aku mati
bertempur!”
Oleh
karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di atas
pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi hingga
tengah hari, baru ia berbangkit turun.
“Mari kita pergi!” ia kata kepada Cian Ceng Kian.
Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie
lebih. Di sana ada sebuah rimba besar, yang menutupi
matahari. Seram suasana di situ. Di
sini Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah
dalam rimba.Kwee ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang,
setindak demi setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau
kanannya. Satu lie sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya.
Tiba-tiba ia dapat ingatan, ialah pesan gurunya yang keempat: “Jikalau tidak
ungkulan, lari!” Maka ia berpikir: “Sekarang tidak ada orang mengawasi aku,
rimba pun lebat, kenapa aku tidak hendak sembunyikan diri?” Maka hendak ia
segera mewujudkan pikirannya ini. Tapi tiba-tiba.
“Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!” demikian ia dengar
makian hebat.Sambil berlompat, Kwee
Ceng putar cambuknya, untuk melindungi
diri. Akan tetapi tidak ada serangan terhadapnya.
Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya, memandang ke arah dari
mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak!Di atas empat pohon di
dekatnya itu, ia tampak Hong Ho Su Koay tergantung masing-masing di sebuah
cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh mereka bergelantungan,
sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan mulut mereka yang dapat di
pentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabutan begitu lekas mereka tampak si
pemuda musuhnya itu.
Kwee Ceng heran bukan
kepalang, akan tetapi ia tertawa. “Apakah kau tengah main ayunan di sini?” dia
bertanya. “Sungguh menggembirkan, bukan?” Nah sampai bertemu pula! Sampai
bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lama-lama…!”
Sim Ceng Kong berempat mencaci
maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta tolong. Di
samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka itu yaitu Hauw Thong
Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee ceng bertindak, hampir ia lenyap dari
pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk Perampas Roh,
berubah pikirannya. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya.
“Kwee Enghiong,
kami menyerah kalah!” dia berteriak. “Aku mohon sukalah kau memerdekakan kami!”
Kwee Ceng sudah lantas berpikir:
“Sebenarnya aku tidak bermusuh dengan mereka, adalah mereka yang memusuhi aku,
maka itu apa perlunya aku membiarkan mereka mati bersengsara di sini?” Dengan
cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali dengan berlompatan, ia kasih
turun mereka itu satu per satu. Pantas
Hong Ho
Su Koay
tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah tambang
kulit yang kuat. Ia pun mengutanginya itu dengan golok emasnya.
Sesudah
empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka bergantian, maka
mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan mereka, habis mana
barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia berkata: “Lagi
dua belas jam baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka. Sebetulnya,
siapakah yang menggantung kamu di sini?”
“Kau
masih berpura-pura!” membentak Cian Ceng Kian mendongkol. “Kalau bukannya kau,
siapa lagi?”
Kwee Ceng heran. Ia lantas
saja mengangkat kaki, akan meninggalkan mereka itu. Ia heran orang menuduh
padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah tolongi ianya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir
paman guru mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas
menyingkir. Ia lari keluar rimba, terus ia balik ke kota, malah di sini ia segera membeli seekor
kuda untuk dengan itu ia lantas melanjuti perjalannya ke selatan.
“Siapakah
itu orang secara diam-diam menolongi aku?” ia berpikir di sepanjang jalan.
Keanehan itu tak dapat ia melupainya. “Hong Ho Su Koay
lihay tetapi mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh terlebih
lihay daripada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat padanya, hingga
mereka menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga
itu? dia tidak tertampak sekalipun bayangannya?”
Kwee Ceng terus melakukan
perjalannya itu. Pada suatu hari, tibalah ia di Tiongtouw, kota raja Tay Kim
Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai dan indah, sampai tidak
dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari kerajaan Song, atau
Lim-an, kota raja yang baru. Ia menjadi besar di gurun pasir, belum pernah ia
menyaksikan suasana kota
besar itu, yang indah lauwteng dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang
kereta-kereta bagus dengan semua kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan
besar. Di pelbagai rumah minum ia pun
dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan diwaktu
siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih erstoran yang
mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. habis berdahar, ia berjalan-jalan,
ia baru berhenti ketika di sebelah depannya ia dengar sorak-sorai yang ramai,
di sana ada
berkumpul sejumlah orang. Ia mendekati. Ia menyelak di antara banyak orang itu,
untuk melihat ke sebelah dalam.
Orang
banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera suram,
dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: “Pi Bu Ciauw Cin”. Artinya:
mencari jodoh denagn jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di
bawah bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang
pria, yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng
apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: “Dia lihay, kenapa dia
munculkan diri di tempat umum seperti ini?”
Selang
lagi beberapa jurus, nona itu menggunai akal. Si pria dapat melihat lowongan,
ia menjadi kegirangan, ia lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke arah
dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu tidak
sampai hati, ia batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan
terbuka, ia menolak ke arah pundak.
Luar
biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak
saling susul-menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang
penyerangnya itu, kapan tangan kirinya diayunkan, “Buk!” punggung si pria kena
terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah
memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat
bangun. Mukanya pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di
antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka
sekarang si nona tidaj menghajar hebat kepadanya.
Para penonton lantas saja
bertampik sorak.
Nona
itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu iamundur ke bawah bendera.
Kwee Ceng pandang nona itu,
yang cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau delapanbelas tahun,
sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat apa-apa, hingga ia berpikir:
“Kenapa aku seperti kenal dia? seperti aku pernah bertemu dengannya, entah
dimana…?” kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat: “Baharu saat ini kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain? Aku
tadinya menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok
semua, aku pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini
melebihkan mereka itu…. Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan
ini dimana-mana wanitanya cantik semuanya, maka tak usahlah aku menjadi heran…”
Pemuda
ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat
wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidaj
tergiur. Maka itu ia lantas memandang ke kiri dan kanannya.
Si nona lantas bicara perlahan sama
seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu mengangguk, terus ia mengangguk
keempat penjuru seraya terus berkata: “Aku yang rendah bernama Bok Ek, aku
lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari nama atau mencari uang,
hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia masih belum ketemu
jodohnya, maka itu sekarang aku lagi mencarikan jodohnya itu. Adalah
keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria
sejati yang mengerti ilmu silat.
Karena ini dengan beranikan diri, aku
mancarikan jadohnya dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga
puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu
kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya.
Kami berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga di
utara, sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemui
jodoh yang dicari itu, sebabnya rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah
atau mereka yang muda sungkan hatinya?” Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura
kepada orang banyak, baharu ia menambahkan: “Kota Pakhia ini adalah tempat
rebahnya harimau atau tempat sembunyi naga, disini mesti banyak orang berilmu
dan gagah, oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada
kata-kataku yang tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri,
untuk pulang ke rumah penginapan guna beristirahat, nanti besok kami datang
pula ke mari untuk melayani tuan-tuan.”Habis mengucap, lagi sekali orang itu
mengangguk, lalu ia cabut benderanya, itu bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba
saja.
“Tunggu dulu!”
Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah
kiri dan kanan, dari mana lantas terlihat dua orang berlompat ke dalam
kalangan.
Orang bnayak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua
tertawa geli. Yang muncul dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan
tubuh terokmok, mukanya penuh berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih,
dan umurnya juga sudah lewat lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat
itu lebih lucu pula. Dialah satu paderi yang kepalanya licin lanang!
“Eh, kamu tertawakan apa?” tanya si tua itu
kepada orang banyak, yang ia awasi. “Bukankah dia mau adu kepandaian untuk
mencari suami? Nah, aku masih belum menikah!
Mustahilkah aku tidak cocok?”Si paderi itu
awasi si tua, ia tertawa. “Oh, kakek-kakek!” katanya. “Taruh kata kau menang,
apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja bagaikan
sekuntum bunga? Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia menjadi
janda?”
Orang
tua itu menjadi gusar. “Habis kau, apakah kau mau dengan datang kemari?” ia
menegur.
Paderi
itu tersenyum. “Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan segera
pulang asal menjadi orang biasa lagi!” sahutnya.
Mendengar
itu, kembali riuhlah tertawa orang banyak.
Si
nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan
padanya, maka juga, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya
bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat ia menghajar kedua
manusia ceriwis itu.
Bok Ek tarik tangan
gadisnya. “Tenang, nanti aku yang melayani mereka,” ia membujuk.
Si empe dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit
sekali. Disamping mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa.
Tidakkah pemandangan itu sangat lucu?“Saudara-saudara, nah kamu pibulah
terlebih dulu!” satu penonton yang membuka mulut. “Nanti, siapa yang menang, ia
yang maju melawan si nonan manis!”
“Bagus!”
berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak itu.
“Aki-aki, mari kita berdua
main-main…!”
Paderi
ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya sudah
melayang.
Si
empe-empe berkelit, segera ia balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya
menjadi bertempur.
Kwee Ceng menonton. Ia
dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun dari ilmu silat Siauw
Lim Pay, sedang si empe menggunai ilmu silat Ngo Heng Kun. Jadi keduanya ada dari golongan
Gawkang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat berlompat danmendekam dengan cepat,
lincah gerakannya. Si empek sebaliknya tenang tegar, jangan pandang usianya
yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar.
Satu kali si paderi dapat meraptakan diri,
kepalannya menghajar tiga kali beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek
kuat sekali, ia terima serangan tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng
dengan itu, ia angkat tinggi tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah
kepala lawannya, bagaikan martil, kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap
dari si paderi. Tak tahan paderi itu, segera ia jatuh duduk, numprah di tanah.
Ia berdiam tidak lama, mendadak ia tarik
keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat kakinya
si tua!“Celaka!” berteriak orang banyak.
Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit,
berbareng dengan mana, tangannya meraba ke pinggangnya, untuk mengasih keluar
sepotong thiephie atau ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata.
Maka itu sekarang mereka melansungkan pertandingan itu dengan golok dan
ruyungnya masing-masing.
“Bagus!
Bagus!” teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru, mereka
pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya golok
kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet….
“Tuan-tuan,
tahan!” Bok Ek berseru seraya ia menghampirkan. “Di sini adalah kota
raja, tidak dapat kita sembarang menggunai senjata tajam!”
Dua
orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu.
Melihat
ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok
Ek menyerbu. Dengan satu dupakan,
ia membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas
ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan
ruyung sehingga golok itu patah dua!
Para penonton kagum,
mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok Ek
cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok
melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunai lagi!
Si
tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang
suatu apa lagi, keduanya nyelusup antara orang banyak, untuk angkat kaki!
Kwee Ceng mengawasi Bok Ek,
yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar dan kekar, tanda dari
tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping kupingnyas udah berwarna
kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan itu waktu, wajahnya guram. Dilihat
dari roman, ia mungkin telah berusia enam puluh hampir.
“Besok
kita pulang ke selatan…” berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela napas.
“Ya,”
menyahut si nona, yang diajak bicara.
Sampai
disitu, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir? Tapi justru itu,
mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh, Kwee Ceng
pun tak terkecuali.
Ke
situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut.
Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee
Ceng telah melihat si koncu,
lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si kongcu
yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan.
Kongcu
itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah, terus
ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan.
“Apakah
nona ynag mengadakan pibu untuk mencari jodoh?” ia menanya sambil ia memberi
hormat.
Nona
itu dengan wajah bersemu merah, melengos, ia tidak menyahuti. Adalah Bok Ek,
yang menghampirkan pemuda itu, untuk memberi hormat.
“Aku
yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apa apakah?”
ia menanya.
“Bagaimana
aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?” menanya si pemuda.
Bok Ek memberikan
keterangannya.
“Kalau
begitu, hendak aku mencoba-coba,” kata si pemuda.
“Ah,
kongcu bergurau!” berkata Bok
Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat.
“Kenapa
begitu?” si pemuda menegaskan.
“Kami
adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?” menyahut Bok Ek.
“Laginya ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai hari kemudian
dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku.”
Pemuda
itu mengawasi si nona. “Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu ini?” ia tanya pula.
“Sampai
sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga belas
propinsi,” menjawab Bok
Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu
tampaknya heran.
“Apakah
mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?” ia menegaskan. “Ah,
aku tidak percaya!” Ia tunjuki si nona.
Bok Ek tersenyum. “Sebabnya
mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah atau ia sungkan beradu
tangan dengan anakku,” ia menerangkan.
“Kalau
begitu, mari, mari!”
berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah kalangan.
Diam-diam
girang hatinya Bok
Ek. Ia dapatkan orang, muda dan
tampan. Si nona agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas
propinsi, belum pernah ia bertemu pemuda semacam ini. Maka itu ia loloskan
mantelnya, ia hampirkan si pemuda untuk memberi hormat.
Pemuda
itu membalas hormat, ia tersenyum. “Silakan mulai, nona!” ia kata.
“Silakan
kongcu membuka dulu bajumu,” berkata nona itu.
“Tidak
usah,” menyahuti si kongcu.
Para penonton pada
berkata dalam hatinya, “Si nona lihay sekali, sebentar kau nanti merasai…” Tapi
ada juga yang berpikir: “Bok
Ek ayah dan anak adalah orang
kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu? Tentu si kongcu bakal
dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya…”
“Silahkan,
kongcu!” berkata si nona.
Kali
ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-tiba ia memutar ke kanan, hingga
bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga, turut bergerak, lalu tangan kirinya
menyambar ke pundak si nona.
Terkejut
si nona itu apabila ia menyaksikan gerakn orang yang luar biasa itu. Sambil
mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di
luar dugaannya, orang ada sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si
pemuda yang menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan
itu, maka si nona menjejak tanah untuk mencelat mundur.
“Bagus!”
berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si nona
keburu menginjak tanah, ia mengebut pula.
Nona
itu bukan melainkan berlompat mundur, ia hanya berjumpalitan, maka itu ketika
si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si kongcu.
Untuk
membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka diwaktu
mereka menurunkan tubuh.
Penonton
semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona. Mereka itu
sama-sama lincah.
Si
nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si koncu yang main
berkelit. Maka ada menarik akan menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan
bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain.
Kwee Ceng pun kagum.
Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan elok, mereka pun pandai
silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan hidup, menjadi
suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk kelakuannya di
rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap-harap akan kemenangan si
kongcu.
Pertandingan
itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara “bret!” robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung
baju si kongcu dan ia menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu
putus dengan menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur
jauh-jauh, tangannya mengibaskan baju rampasannya itu!
“Tunggu
dulu!” Bok Ek segera kasih dengar suaranya. “Kongcu,
silakan kau loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!”
Kongcu
itu bermuram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah bajunya,
kancing-kancingnya jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya menyobeknya!
Satu
pengiring lari menghampirkan guna membantui meloloskan baju itu.
Sekarang
terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang indah,
yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan.
Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah.
Tanpa
berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunai tangan kirinya,
anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek
dan Kwee Ceng terperanjat. Mereka tidak sangka,
satu kongcu demikian lihay.
Setelah
menyaksikan lagi sekian lama, Kwee
Ceng jadi berpikir: “Ilmu silatnya
dia ini mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang itu
malam menempur aku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?”
Sekarang
si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena itu sukar untuk si nona membalas
mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit.
“Kongcu
ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya,” berpikir Kwee Ceng
setelah ia menyaksikan terlebih jauh. “Pasti jodoh mereka bakal terangkap…”
Bok Ek pun girang melihat
jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru: “Anak Liam,
sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh daripadamu…!”
Tapi
orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,: “Kalau
sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, Cuma aku tidak tega…”
Benar
saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal. Ia
tahu si nona bakal mengibas keluar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia
sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona
itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengnai tanah, tangan
kanan si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis
lantas berada di dalam pelukannya.
Orang
banyak bertempik bersorak, tapi ada juga yang menggerutu.
Si
nona menjadi sangat malu. “Lekas lepaskan aku!” ia minta, suaranya perlahan.
Si
kongcu tertawa. “Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!” sahutnya.
Nona
itu mendongkol. Itulah permintaann ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi sia-sia
saja, ia malah terpeluk semakin keras.
Bok Ek lantas maju. “Kongcu
sudah menang, tolong kau lepaskan anakku,” ia minta.
Pemuda
itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam sengitnya,
si nona menjejak.
Kongcu
itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan menangkap
kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh di nona.
Nona
ini penasaran, ia berontak sekuat tenaganya, tempo akhirnya ia bebas, ia jatuh
terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia raba
kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas.
Kongcu
itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang, yang ia
bawa ke hidungnya!
Melihat
itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru, “Harum!
Harum!”
“Kau
she apa kongcu?” Bok
Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak
menghiraukan sikap ceriwis si pemuda.
Kongcu
itu pun tertawa.
“Tidak
usah bicara lagi!” katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah sulamnya
dari pengiringnya. tapi ia menoleh kepada si nona yang ia awasi, sepatu siapa
ia masuki ke dalam sakunya.
“Kami
tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota
barat,” berkata Bok
Ek, “Mari
kita pergi sama-sama ke sana
untuk berbicara.”
“Aku
tidak sempat,” berkata si anak muda. “Apakah yang hendak dibicarakan?” tanya kemudian.
Bok Ek heran, air mukanya
sampai berubah. “Kau toh telah mengalahkan anakku!” ia kata. “Aku telah melepas
kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku ini denganmu. Ini ada
urusan seumur hidupnya manusia, mana bisa kita memandangnya enteng?”
Kongcu
itu melengak, ia tertawa besar. “Bukankah kita main-main dengan ilmu silat?”
katanya. “Tidakkah itu sangat menarik hati? Tentang perjodohan, terima kasih
banyak!”
Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia
sampai berdiam saja.
“Kau…!
Kau…!” katanya kemudian seraya menuding.
Pengiringnya
si kongcu tertawa dingin dan menyela, “Kau kira kongcu kami ini bangsa apa?
Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat dari kelas
tiga rendah empat bawah? Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di siang
bolong!”
Bukan
main gusarnya Bok
Ek, tangannya melayang, maka
pengiring itu berkoak kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya
rontok, seketika ia roboh di tanah, terus pingsan!
Kongcu
itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh lain pengiringnya tolongi
pengiring yang terluka itu, ia sendiri menghampirkan kudanya, untuk menaikinya.
“Jadi
kau sengaja mengganggu kami?!” berteriak Bok Ek.
Kongcu
itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi denagn sebelah kakinya.
Bok Ek habis sabar, dengan
tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu. “Baik!” serunya. “Anakku pun
tidak nanti nikah dengan kau, manusia hina dina!
Bayar pulang sepatu anakku itu!”
Kongcu
itu mengawasi, ia tertawa. “Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka sendiri
menghanturkannya kepadaku,” ia menyahuti. “Ada apa sangkut pautnya denganmu?”
Ia
terus geraki tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalannya Bok Ek.
“Akan
aku adu jiwa!” berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat
berjingkrak, kedua tangannya digeraki berbareng, untuk menyerang kedua pelipis
orang. Itulah jurus “Ciong kouw cie beng” atau “Gembreng dan tambur ditabuh
berbareng.”
Kongcu
ini berkelit sambil menjajak sanggurdinya, maka itu tubuhnya lantas mencelat ke
tengah kalangan.
“Jikalau
aku telag hajar roboh padamu, orang tua, kau tentunya tidak bakal memaksa aku
nikahi anakmu, bukan?” kata ia sambil tertawa, untuk mengejek.
Kecuali bangsa bergajul, semua penonton
menjadi panas hatinya, dari berkesan baik mereka menjadi jemu dan membenci.
Kongcu ini terang selain ceriwis pun kurang ajar dan keterlaluan.
Cumalah mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang berani membuka mulut.Bok Ek
sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu.
Kongcu
itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat berbahaya,
maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan kirinya
membalas menyerang perut dengan jurusnya “Tok coa sim hiat” yaitu “Ular berbisa
mencari lubang.”
Bok Ek berkelit ke kanan,
dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya mencari pundak bagian yang
kosong. Itulah salah satu jurus “Eng Jiauw Kun” atau
“Kuku Garuda” dari ilmu silat Utara.
Kongcu
itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos dari
bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau
tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu
telah diangkat ke depan mukanya, dalam sikap “Touw in hoat jit” atau “Nyelusup
ke mega menukar matahari”, guna melindungi mukanya.
Bok Ek tarik lengan
kirinya, dilain pihak, ia menyerang dengan tangan kanannya. Untuk membalas
serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika lawan itu
berkelit, ia mendesak, lagi ia menyerang, kali ini dengan kedua tangannya, ke
arah kedua belah pipi. Inilah pukulan “Wie Hok Hong cu” atau “Malaikat Wie
Hok mempersembahkan toya”.
Kongcu
itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka semua
serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak acuh
lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. mendadak saja kedua tangannya bergerak,
menyambar kedua tangannya Bok
Ek itu, pada bagian belakang
telapakan tangan, menyusul mana ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh
jarinya berubah menjadi merah semuanya.
Para penonton berseru
kaget. Sebab belakang telapakan tangan dari Bok Ek
telah berlumuran darah!
Si
nona menjadi kaget berbareng gusar, ai memburu kepada ayahnya itu, untuk
menolongi. Ia robek ujung baju si ayah, guna robekannya dipakai membalut
lukanya.
Bok Ek tolak mundur
anaknya. “Kau minggir!” katanya sengit. “Hari ini saku mesti mengadu jiwa
dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!”
Wajahnya si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda.
Tiba-tiba tangannya merogoh ke sakunya, akan mengasih keluar sebuah pisau
belati dengan apa ia terus tublas dadanya sendiri.Bok Ek kaget bukan main, lupa
kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan itu, maka sekarang ia terlukai
anaknya itu, sebab si nona tidak keburu membatalkan tikamannya.
Para penonton menjadi
mendongkol berberang berduka. Inilah mereka tidak sangka. Mereka pun tidak
berani mencampur tangan.
Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat
melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak menaiki pula kudanya, ia
bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. “Halo, sahabat! Perbuatanmu ini tidak
tepat!”
Kongcu
itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma sebentar
saja, terus ia tertawa. “Habis kau mau apa!” ia menantang. “Bagaimana baru
tepat?”
Semua
pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang
ketolol-tololan, dan lagu suaranya pun beda dari
lagu suara mereka, sikap dan lagu suara itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu
saja mereka menganggap itu lucu.
Kwee Ceng melongo sebentar. Ia
tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan padanya.
“Kau
harus menikah dengan baik-baik dengan nona ini!” ia menjawab kongcu itu.
Si
kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha-hihi. “Jikalau aku tidak sudi
nikahi dia?” dia tanya.
“Jikalau
kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam pertandingan?” Kwee Ceng
tanya. “Apakah kau tidak lihat itu
merek bendera yang menjelaskan pibu untuk pernikahan?”
Kongcu
itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. “Sebenarnya kau hendak
main gila denganku atau bagaimana? dia tanya
tegas kemudian.
Kwee
ceng tidak menjawab, hanya ia pun balik menanya. “Nona ini cantik dan ilmu
silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya? Jikalau kau
tidak hendak menikah sama nona macam vegini, di belakang hari ke mana lagi kau
hendak mencarinya?”
“Eh,
kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!” kata si kongcu. “Kau
sebenarnya murid siapa? Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho Hoa
To?”
Kwee Ceng menggoyangi
kepalanya. “Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!” ia jawab. “Aku tidak
tahu Oey Yok Su
itu orang macam apa.”
“Habis,
siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To it?” si
kongcu masih menanya.
“Ilmu
menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya,”
menjawab Kwee
Ceng.
“Siapa
itu gurumu yang kedua?” tanya kongcu
itu kemudian.
“Aku
tidak mau memberitahu” jawab Kwee
Ceng pula.
“Baiklah,
masa bodoh!” berkata itu pemuda yang lantas memutar tubuhnya.
Kwee Ceng ulur tangannya untuk
mencegah. “Eh, kenapa kau hendak pergi pula?” ia menanya.
“Habis
kenapa?” kata si kongcu lagi.
“Bukankah
aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?” kata Kwee Ceng.
Kongcu
itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan pergi.
Sampai
di situ, Bok
Ek hampairkan ini anak muda. Sajak
tadi ia mendengari orang pasang omong, disamping ia mendongkol terhadap si
kongcu, tahu ia bahwa anak muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia Cuma
merasa orang masih terlalu muda dan belum mengenal dunia.
“Saudara
kecil, jangan kau ladeni dia!” dia berkata. “Asal nyawaku masih ada, sakit hati
ini tidak dapat tidak dilampiaskan!” Terus ia kata dengan suara nyaring: “Anak
muda, kau tinggalkan she dan namamu!”
Kongcu
itu berpaling, ia tertawa. “Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil mertua
kepadamu, maka kenapa kau begini melit hendak mengetahui she dan namaku?” ia
bertanya.
Kwee Ceng menjadi habis sabar,
ia lompat kepada pemuda itu. “Kalau begitu, kau bayar
pulang sepatunya si nona!” ia membentak.
Kongcu
itu menatap. “Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!” ia berkata. “Bukankah
kau menaruh hati kepada nona itu?”
“Bukan!”
jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya.
“Sebenarnya kau hendak membayar pulang sepatu itu atau tidak?”
Dengan
mendadak saja anak muda ini menggeraki kedua tangannya, mencekal kedua nadi si
kongcu. Ia telah gunai salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang
semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk
menangkap tangan lawan.
Kongcu
itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. “Kau mau
mampus?!” tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawahan perut si anak muda.
Kwee Ceng tidak menangkis atau
berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu itu, hingga orang terlempar
tubuhnya, dengan begitu, ia bebsa dari tendangan orang itu.
Kongcu
itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia Cuma terpelanting,
tidak sampai ia mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah satu babak.
Ia menjadi gusar sekali.
“Kau
sudah bosan hidup, bocah?” ia berseru.
Kwee Ceng mengawasi, ia
menggeleng kepala. “Buat apakah aku bertempur denganmu?” ia berkata, “Kau tidak
mau nikahi dia, sudah saja, kau bayar pulang
sepatunya itu!”
Orang
banyak menyangka pemuda ini hendak membelai keadilan, mereka tidak ayana,
akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi
kecele.
Kongcu
ini jeri juga terhadap Kwee Ceng,
bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu cocok dengan keinginannya, akan tetapi
ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona, mana dapat ia mengalah: Tidakkah ia
berada di hadapan orang banyak? Maka itu seraya menyingkap jubahnya, ia memutar
tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa dingin.
“Apakah
kau hendak pergi?” menegur Kwee
Ceng seraya menyambar jubah orang
itu.
Si
kongcu lantas menggunai ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan
sekali, dipakai menungkrap kepala orang.
Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali
iganya kena dihajar, sebab si kongcu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang
baik itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar