BAB 51
Bok Liam Cu |
“Bagus!” seru
keponakannya Auwyang Hong. “Begini barulah anak manis! Nah, pergilah kau
menutup pintu!”
Yauw Kee berdiri diam.
“Kau dengar tidak kataku?” Auwyang Kongcu membentak.
Takut Yauw Kee, maka dengan terpaksa, dengan hati
berdebaran, ia menutup pintu.
“Bagus!” anak muda itu tertawa grang. “Tadi malam kamu
berdua menikah, aku mendengarnya dengan nyata, cuma anehnya, di dalam kamar
pengantin, kamu tidak membuka pakaian. Di kolong langit ini tidak ada
suami-istri seperti kamu! Sekarang kau loloskanlah semua pakaianmu, sepotong
juga tak boleh ketinggalan. Jikalau kau tidak menurut, segera aku kirim suamimu
ke alam baka, hingga kau lantas menjadi janda muda!”
Koan Eng tidak dapat menggeraki kaki tangannya, tetapi
kupingnya mendengar segala apa dengan nyata dan matanya melihat segala sesuatu,
maka itu ia murka bukan main, hingga matanya seperti mau melompat keluar,
hatinya seperti mau meledak. Ia hendak meneriaki istrinya buat jangan menuruti
permintaan itu, supaya istri itu pun melarikan diri, apa celaka, ia tidak dapat
membuka mulutnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam kamarnya telah siap
sedia. Ialah yang mengunci pula pintu rahasia selagi Auwyang Kongcu merobohkan
Liok Koan Eng. Ia mencekal pisaunya kalau-kalau si anak muda menyerang untuk
kedua kalinya. Maka ia kaget, mendongkol berbareng gusar mendengar Auwyang
Kongcu menitah Yauw Kee melepaskan pakaiannya untuk bertelanjang bulat. Dilain
pihak, dasar sifatnya kekanak-kanakan, ia ingin melihat Yauw Kee akan
meluluskan atau tidak permintaan kongcu Auwyang itu….
Maka itu masih menantikan….
“Mengapa sulit untuk meloloskan pakaian?” berkata pula
Auwyang Kongcu. “Ketika kau dilahirkan dari dalam perut ibumu, apakah kau pun
berpakaian? kau bilang, kau hendak melindungi mukamu atau jiwanya dia?”
Kembali ia menuding kepada Koan Eng.
Nona Thia berdiam, otaknya bekerja keras.
“Nah, kau bunuhlah dia!” kata dia akhirnya, suaranya
dalam.ä
Auwyang Kongcu melengak. Sungguh dia tidak menyangka si
nona dapat memberikan jawaban itu. Itu menjadi terlebih kaget ketika ia melihat
nona itu mengayun pedangnya ke arah lehernya sendiri. Dengan lantas ia menimpuk
dengan sebatang jarumnya, jarum Touw-kut-ciam, maka jatuhlah pedang di
tangannya nona itu.
Yauw Kee membungkuk, untuk menjumput pula pedangnya itu.
Atau tiba-tiba:
“Pengurus hotel! Pengurus hotel!”
Itulah suaranya seorang wanita, yang memanggil pemilik
hotel.
Yauw Kee menjadi dapat harapan. Setelah mencekal
pedangnya, ia lompat ke pintu, untuk segera membukai itu. Maka ia melihat
seorang wanita muda, yang pakaiannya putih, berdiri di muka pintu, rambutnya
dibungkus dengan kain putih juga dan dipinggangnya tersoren sebatang golok. Dia
beroman kucel tetapi itu tidak menutupi kecantikannya. Ia tidak kenal nona itu
tetapi dia mau anggap orang adalah penolongnya.
“Silahkan masuk, nona!” katanya lekas.
Nona itu berdiri bengong melihat “pemilik” rumah
berpakaian mewah tetapi tangan mencekal pedang. Ia mengawasi sekian lama, baru
ia berkata: “Di luar ada dua peti mati, bolehkah itu dibawa ke dalam?”
Kalau di dalam rumah orang biasa, pasti sekali jenazah
orang tidak dapat dibawa masuk, lain adalah dengan rumah penginapan, bahkan
kali ini dalam suasana luar biasa itu. Untuk Yauw Kee, jangan kata baru dua
buah, seratus pun ia akan mengijinkannya dibawa masuk.
“Baik, baik!” sahutnya cepat. “Silahkan!”
Nona itu heran mendapatkan pelayanan istimewa dari
“pemilik” rumah penginapan ini akan tetapi ia lantas menoleh keluar, untuk
menggapaikan. Maka lantas juga masuk delapan orang yang menggotong dua buah
peti mati, di bawa ke ruang dalam. Ketika ia berpaling ke arah Auwyang Konngcu,
ia kaget sekali, dengan segera ia menghunus golok dipinggangnya.
Auwyang Kongcu sudah lantas tertawa lebar.
“Inilah dia jodoh yang telah ditakdirkan Thian!” katanya
nyaring. “Dari jodoh telah tertakdir itu, orang tidak dapat meloloskan diri!
Inilah peruntungan baik yang diantarkan sendiri! Jikalau peruntungan ini tidak
diterima, sungguh durhaka!”
Nona itu bukan lain daripada Bok Liam Cu, yang pernah ia
tawan.
Sesudah bentrok hebat sama Yo Kang di Poo-eng, ludas
sudah pengharapan nona Bok ini, hatinya menjadi tawar, cuma tinggal satu hal
yang ia berati, maka itu ia lantas ke Tiong-touw (Peking) dimana ia ambil
jenazah ayah dan ibunya untuk dibawa pulang ke dusun Gu-kee-cun di Lim-an,
untuk dikubur di kampung halamannya itu. Hebat untuknya, seorang wanita,
membawa-bawa peti mati orang tuanya disaat negara demikian kacau. Ketika itu
tentara Mongolia tengah menyerang negara Kim. Ia pun, ketika ia meninggalkan
kampung halamannya, usianya baru baru lima tahun, maka ia tidak ingat lagi
kampung halamannya itu. Maka juga setibanya, begitu melihat pondokannya Sa
Kouw, lantas ia memikir untuk singgah terlebih dahulu, sambil singgah, ia
mencari keterangan. Maka adalah diluar sangkaannya, disini ia justru bertemu
pula sama keponakannya Auwyang Hong itu. Tentu sekali ia tidak tahu nona itu
dengan pakaian mewah itu tengah diperhina si anak muda. Ia belum pernah bertemu
dangan nona Thia dan sekarang ia menyangka nona Thia itu ialah gula-gulanya
pemuda itu. Dengan menghunus goloknya, ia lantas membacok si anak muda, habis
mana ia berlompat untuk lari keluar. Atau ia merasakan angin menyambar, dari
orang yang lompat lewat diatasan kepalanya. Ia lantas membacok ke atasan
kepalanya itu.
Auwyang Kongcu lihay sekali. Dengan tangan kanannya,
dengan dua jeriji, dia menekan belakang golok, dengan tangan kiri, ia menangkap
lengan si nona, maka sedetik itu juga, terlepaslah goloknya Liam Cu, hingga
berbareng mereka jatuh ke atas sebuah peti mati. Keempat tukang gotong kaget
hingga mereka berteriak, mereka roboh, peti matinya jatuh, mereka babak belur
mukanya sebab terkena pikulan dan saling tubruk.
Dengan tangan kanan merangkul nona Bok, dengan tangan
kanan Auwyang Kongcu menghajar tukang-tukang gotong itu hingga mereka ini
menjerit-jerit dan terus merayap, untuk lari keluar, diturut oleh empat tukang
gotong lainnya, hingga mereka tidak memikir untuk meminta upah pula.
Selama kejadian itu, Yauw Kee lompat kepada Koan Eng,
yang rebah di lantai, untuk dikasih bangun. Ia bingung sekali, tidak tahu ia
bagaimana harus menyingkirkan diri mereka.
Auwyang Kongcu melihat sikapnya Yauw Kee, dengan sebelah
tangan menekan peti mati, sambil terus merangkul Liam Cu, ia lompat kepada nona
Thia itu, yang mana ia terus peluk dengan tangan kanannya, setelah mana ia
duduk di atas kursi. Sambil tertawa lebar, ia berkata: “Adik Oey, kau juga
datang ke mari!”
Sedangnya pemuda ini kegirangan, mendadak ada bayangan
yang berlompat dari luar, masuk ke dalam, maka dilain saat ketahuanlah dia
adalah Yo Kang!
Yo Kang ini, sehabisnya dihinakan Oey Yok Su, tidak
meninggalkan Gu-kee-cun. ia bersakit hati dan ingin sangat dapat
melampiaskannya. Karena kerasnya hati, ia dengan perkenan Wanyen Lieh, ia
memisahkan diri. Di luar Gu-kee-cun, dia berdiam di dalam pepohonan yang lebat.
Diwaktu malam, ia melihat Oey Yok Su, Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong bertiga
mondar-mandir, tentu sekali terhadap mereka ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Lantas paginya ia melihat Bok Liam Cu membawa jenazah orang tuanya. Diam-diam
ia menguntit nona ini sampai di rumahnya Sa Kouw. Baru nona ini masuk ke dalam
atau lantas tukang-tukang gotong peti itu lari serabutan. Ia menjadi heran,
maka lantas ia memburu ke dalam. Di pintu ia mengintai, ia tidak melihat Oey
Yok Su, sebaliknya ia mendapatkan Auwyang Kongcu duduk di kursi dengan air muka
terang, dirangkulannya kiri kanan ada kedua nona cantik, ialah Bok Liam Cu dan
Thia Yauw Kee, yang lagi dipermainkan. Tidak ayal lagi, ia melompat masuk.
“Oh, siauw-ongya, kau telah kembali!” menegur Auwyang
Kongcu kapan ia melihat pangeran itu.
Yo Kang mengangguk.
Auwyang Kongcu melihat muka orang muram, ia lantas
menghibur.
“Jangan kecil hati, jangan berduka, siauw-ongya,”
katanya. “Juga di jaman dulu Han Si pernah menerima penghinaan merangkak di
bawah selangkangan orang: Seorang laki-laki dia harus dapat berlaku keras dan
lunak. Itulah tidak ada artinya. Kau sabar saja, kau tunggu sampai kembalinya
pamanku nanti kau boleh melampiaskan sakit hatimu ini!”
Ia menduga pangeran ini berduka karena bekas diperhina.
Yo Kang mengangguk pula, tetapi matanya mengawasi Liam
Cu.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Siauw-ongya,” katanya, “Tidakkah kedua si cantik
kepunyaanku ini tak ada kecelaannya?”
Kembali pangeran ini mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak tahu ada hubungan apa di antara si
pangeran dengan Liam Cu itu sebab tempo mereka itu berdua mengadu kepandaian di
jalan besar di Tong-touw, ia tidak hadir bersama. Mulanya Yo Kang tidak
memperhatikan si nona, sampai si nona itu mencintai dia dengan sungguh-sungguh
hati, hingga ada janji untuk menikah, maka itu sekarang, melihat nona itu dalam
rangkulan Auwyang Kongcu, hatinya panas. Ia dapat mengendalikan diri, dari itu
ia tidak mengentarakan suatu apa.
Lagi-lagi Auwyang Kongcu tertawa dan berkata: “Semalam
ada orang menikah di sini, maka itu di dalam almari ada arak dan daging ayam!
Siauw-ong tolong kau ambilkan itu, mari kita minum bersama. Nanti aku menyuruh
kedua si cantik ini meloloskan semua pakaiannya, supaya mereka menari untuk menggembirakan
kau minum arak!”
“Itulah
bagus!” sahut Yo Kang tertawa.
Bukan
main panasnya hati Liam Cu melihat sikapnya Yo Kang ini, karenanya hatinya
menjadi dingin, ingin ia membunuh diri di depan kekasihnya itu, supaya ia bebas
dari penderitaan ini. Segera juga ia melihat Yo Kang mengambil arak dan ayam
dan kemudian duduk minum dan dahar bersama Auwyang Kongcu.
Auwyang
Kongcu mengisikan dua cawan arak, ia bawa itu ke depan mulutnya nona itu,
sembari tertawa ia kata: “Mari minum arak dulu, baru kamu menari!”
Kedua
nona ini gusarnya bukan main, hampir mereka pingsan. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa juga. Tubuh mereka sudah di totok
pemuda itu. Ketika cawan arak ditempelkan ke mulut mereka, masih mereka tidak
berdaya. Maka diakhirnya, mereka mesti menenggak air kata-kata itu.
“Auwyang Sianseng,” berkata Yo Kang, “Sungguh aku
mengagumi kepandaian kau! Mari aku beri selamat padamu dengan secawan arak,
habis itu baru kita menonton tarian!”
Auwyang Kongcu tertawa bergelak, ia menyambuti araknya
itu, untuk dihirup kering. Habis itu ia menotok bebas Yauw Kee dan Liam Cu,
cuma kedua tangannya masih menekann jalan darah mereka yang dinamakan
sintong-hiat, yang adanya dipunggung. Ia kata: “Baik-baik saja kamu mendengar
perkataanku, dengan begitu kamu tidak bakal menderita, sebaliknya, kamu akan
mendapat kesenangan!”
Liam Cu menunjuk kepada kedua peti mati itu.
“Yo Kang!” katanya, bengis, “Kau lihat, jenazah siapakah
itu?!”
Pangeran itu memandang ke peti mati yang ditunjuk itu.
Yang pertama ia tampak ialah tulisan tinta merah yang berbunyi: “Tay Song
Gie-su Yo Tiat Sim Sim cie-leng”. Artinya, “Jenazah dari Yo Tiat Sim, orang
gagah dari jaman ahala Song”. Sebenarnya hatinya terkesiap, tetapi ia
menguatkan diri, ia menunjuki sikap acuh tak acuh. Bahkan ia kata kepada Auwyang
Kongcu: “Auwyang Sianseng, kau pegangi kedua nona manis ini, hendak aku
meraba-raba kaki mereka, untuk membuktikan siapakah yang kakinya terlebih
mngil…”
Auwyang Kongcu tertawa.
“Siauw-ongya sungguh jenaka!” katanya. “Aku lihat
tentulah kaki dia ini yang terlebih mungil!”
Dan ia meraba kakinya Thia Yauw Kee.
“Ah, belum tentu!” berkata Yo Kang, yang terus saja
membungkuk hingga ke kolonng meja.
Dua-dua Liam Cu dan Yauw Kee sudah mengambil putusan,
begitu mereka diraba, mereka hendak menendang tempilingan pangeran itu.
Yo Kang, tidak segera meraba, hanya ia tertawa.
“Auwyang Sianseng, kau minum lagi satu cawan!” katanya,
“Habis minum nanti aku beritahu, dugaanmu cocok atau tidak….”
“Bagus!” sahut Auwyang Kongcu, seraya ia mengangkat
cawannya.
Yo Kang sambil membungkuk melirik di saat pemuda itu
dongak untuk minum, kemudian ia mengeluarkan tombak buntung dari sakunya,
dengan itu dengan sekuat tenaga - sambil ia mengertak gigi - ia menikam ke arah
perut orang, hingga tombak itu nancap dalam lima atau enam dim, menyusul mana,
ia membaliki meja!
Kejadian ini mendadak sekali dan luar biasa juga, maka
itu Oey Yong dan Kwee Ceng, juga Bok Liam Cu, Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee
menjadi kaget dan heran sekali.
Auwyang Kongcu menggeraki kedua tangannya, ia membuatnya
Liam Cu dan Yauw Kee terbalik dari kursinya, sedang cawan arak di tangannya
ditimpuki ke arah Yo Kang!
Pangeran ini berkelit sambil mendak, maka jatuhlah cawan
itu ke lantai, pecah hancur dengan mengasih dengar suara nyaring.
Yo Kang berkelit dengan terus menjatuhkan diri, untuk
bergulingan, maksudnya buat lari ke pintu, apa mau ia terhalang peti mati.
Terpaksa ia berlompat bangun dan memutar tubuhnya, mengawasi Auwyang Kongcu.
Hatinya menjadi ciut kapan ia melihat pemuda itu berdiri dengan tubuh doyong ke
depan, kedua tangannya berpegangan pada kursi, sepasang matanya mendelik,
wajahnya seperti tertawa dan bukannya tertawa. Ia menggigil sendirinya.
Sebenarnya ia berniat lari menyingkir tetapi itu sepasang mata tajam dan bengis
membuatnya kakinya seperti terpaku.
Auwyang Kongcu melengak dan tertawa.
“Aku si orang she Auwyang telah malang melintang seumur
hidupku, aku tidak menyangka bahwa hari ini aku mesti mati di tangan kau,
binatang!” katanya bengis. “Cuma satu hal yang aku tidak mengerti! Siauw-ongya,
mengapa kau mencoba membunuh aku?”
Yo Kang tidak menjawab, hanya dengan menenjot diri, ia
hendak berlompat ke pintu, guna melarikan diri. Ia telah pikir, setelah berada
di luar pintu, baru ia hendak memberikan keterangannya. Selagi tubuhnya
melayang, mendadak ia merasakan belakang lehernya kena dicengkram keras sekali,
bagaikan terbangkol gaetan besi, hingga ia tak mampu berlompat lebih jauh,
bahkan sebaliknya, ia jatuh ke atas peti mati - jatuh bersama-sama tubuhnya
Auwyang Kongcu - yang telah melompat menyambar padanya.
“Kau tidak mau bicara, apakah kau hendak membikin aku
mati tak meram?!” kata Auwyang Kongcu sembari tertawa. Nyata ia masih kuat
sekali.
Yo Kang tahu ia ada bagian mati, hatinya menjadi besar.
Ia tertawa dingin.
“Baiklah, nanti aku memberi keterangan padamu!” sahutnya.
“Tahukah kau, siapa dia?” Ia menunjuk kepada nona Bok.
Auwyang Kongcu memandang Liam Cu. Nona ini memegang golok
di tangan, siap untuk menerjang, guna menolongi si pangeran, cuma ia masih
bersangsi sebab ia khawatir nanti melukai kekasihnya.
“Dia…dia..” kata Auwyang Kongcu, yang terus
terbatuk-batuk.
“Dialah tunanganku!” Yo Kang meneruskan. “Dua kali kau
menghina dia, mana aku dapat membiarkannya?”
“Benar,” kata Auwyang Kongcu. Dia masih tertawa. “Mari
kita sama-sama pergi ke neraka…!” Dia mengangkat kepalannya, untuk di kasih
turun ke batok kepalanya si pangeran…….
Liam Cu kaget hingga ia berteriak, hendak ia menolong
tetapi sudah tidak keburu.
Yo Kang memeramkan kedua matanya, ia menantikan
kebinasaannya. Tapi ia menanti sekian lama, ia tidak merasakan hajaran kepada
batok kepalanya. Saking herannnya, ia membuka matanya.
Auwyanng Kongcu mengasih lihat senyumannya, tapi
tangannya yang mencekuk leher sudah terlepas, maka tempo si pangeran berontak,
ia lantas jatuh menimpa peti mati. Sebab ia sudah putus jiwa……..
Yo Kang melengak, Liam Cu melongo. Hanya sejenak, lantas
keduanya lari saling menghampirkan, untuk terus saling berpegangan tangan.
Dalam keadaan seperti itu banyak kata-kata yang hendak dikeluarkan tetapi tak
sepatah yang dapat diucapkan. ketika mereka memandang mayat Auwyang Kongcu,
lantas terbayang apa yang barusan terjadi, sendirinya mereka bergidik.
Yauw Kee sendiri mengasih bangun pada Koan Eng, yang
totokannya ia bebaskan.
Koan Eng ketahui Yo Kang adalah pangeran Kim tetapi orang
telah membinasakan Auwyang Kongcu, itu artinya orang telah menolongi padanya,
mak aitu ia lantas memberi hormat sambil menjura, habis mana dengan membungkam,
ia tuntun tangannya istrinya untuk diajak berlalu dari situ. Sebagai laki-laki,
yang mengenal budi, taidak sudi ia menyerang pangeran itu untuk membunuhnya.
Senang hatinya Oey Yong menyaksikan Yo Kang dan Liam Cu
bertemu pula satu dengan lain dan bertemunya dengan itu cara luar biasa. Kwee
Ceng pun mengharap-harap Yo Kang itu nanti mengubah kelakuannya. Dengan Oey
Yong ia saling memandang, lalu keduanya tersenyum.
Itu waktu terdengar suara Liam Cu.
“Jenazah ayah dan ibumu telah aku bawa pulang,” katanya
kepada Yo Kang.
“Sebenarnya itulah kewajibanku, maka aku hanya membuat
kau bercapai lelah, adikku,” Yo Kang bilang.
Liam Cu tidak mau menimbulkan soal lama, ia lalu menanya
bagaimana penguburan harus dilakukan.
Yo Kang mencabut tombaknya dari perut Auwyang Kongcu.
“Paling dulu, kita kubur mayat dia ini,” katanya. “Kalau
kejadian ini diketahui pamannya, walaupun dunia ini lebar, bai kita tak ada
tempat untuk menyembunyikan diri…”
Liam Cu menurut, dari itu keduanya lantas bekerja. Mayat
Auwyang Kongcu dikubur begitu saja di dalam pekerangan rumah penginapan Sa Kouw
itu. Sesudah beres, mereka pergi ke kampung, untuk meminta bantuan sejumlah
penduduk guna menggotong dan mengubur jenazah itu dibelakang rumah. Di sini Yo
Kang seperti tidak punya kenalan lagi, tidak ada orang yang yang menanyakan dia
ini dan itu.
Setelah penguburan, hari pun sudah malam. Untuk tidur,
Liam Cu menumpang pada seorang penduduk sedang Yo kang mengambil tempat di
pondokan. Besoknya pagi si nona pergi menyamperi ke rumah penginapan, ia
mendapat Yo Kang justru lagi membanting-banting kaki dan menyesalkan diri tak
hentinya.
“Kau kenapa?” tanya si nona.
“Aku menyesal yang kemaren kita tidak sekalian
membinasakan itu dua orang,” Yo Kang menyahuti. Ia maksudkan Yauw Kee dan Koan
Eng. “Aku tolol, aku dibikin bingung tidak karuan. Mereka sudah pergi, ke mana mereka harus di cari?”
Nona Bok heran.
“Perlu apa kita membinasakan mereka?” tanyannya.
“Sebab aku telah membunuh Auwyang Kongcu. Kalau mereka
membuka rahasia, kita terancam bahaya….”
Liam Cu berpikir lain. Ia mengerutkan alisnya.
“Seorang laki-laki, dia mesti berani berbuat berani juga
bertanggung jawab!” katanya. “Jikalau kau takut kemarin tak seharusnya kau
membinaskan dia!”
Yo Kang menutup mulutnya, akan tetapi hatinya memikirkan
bagaimana ia harus mencari Koan Eng dan Yauw Kee itu, untuk membinasakan
mereka.
“Pamannya Auwyang Kongcu benar lihay,” kata lagi Liam Cu,
“Tetapi jikalau kita menyningkir jauh, musthail dia dapat mencari kita?”
“Adikku, aku memikir lain,” berkata Yo Kang. “Pamannya
itu lihay sekali, aku hendak mengangkat dia menjadi guruku.”
“Oh, begitu!” kata si nona heran.
“Sebenarnya sudah lama aku kandung niatku ini,” Yo Kang
menerangkan. “Hanya di pihak Auwyang Kongcu itu ada aturannya yang ditaati
turun-temurun, ialah warisan saban-saban cuma diturunkan kepada satu orang.
Sekarang Auwyang Kongcu telah mati, maka pasti pamannya itu suka menerima aku
sebagai muridnya!”
Pangeran ini berbicara dengan bangga sekali, tandanya ia
sangat girang.
Liam Cu berdiam, hatinya tawar.
“Jadinya kau membunuh dia bukannya untuk menolongi aku?”
tanyanya. “Kau jadinya ada maksudmu sendiri!”
“Adikku, kau terlalu bercuriga!” kata Yo Kang tertawa. “Untukmu aku rela tubuhku hancur lebur!”
“Tentang itu baiklah kita bicarakan di belakang hari
saja,” berkata si nona kemudian. “Sekarang apa yang kau pikir. kau suka menjadi
rakyat yang bersetia dari kerajaan Song yang maha agung atau karena
keserakahanmu untuk kedudukan mulia, kau tetap mengakui musuh sebagai ayahmu?”
Yo Kang mengawasi nona itu, wajah yang cantik dan
potongan tubuhnya yang bagus sangat menggiurkan hatinya. Hanya kata-kata yang tajam
itu membuatnya tidak senang.
“Kedudukan yang mulia?” katanya. “Kedudukan mulia apakah
itu? Sekarang ini kota Tiong-touw dari kerajaan Kim telah diserang bangsa
Mongolia! Setiap diserang, setiap kali bangsa Kim itu kalah! Di depan mataku
sekarang ini ada bayangan dari kemusnahan negara Kim itu!”
Tapi Liam Cu tidak senang mendengar urusan itu.
“Negara Kim kalah, itulah yang paling kita harapkan!”
katanya nyaring. “kau sebaliknya membuatnya sayang….”
“Adikku, untuk apa kau menimbulkan urusan ini?” Yo Kang
membujuk. “Kau tahu, semenjak kau pergi, hatiku bersengsara memikirkanmu…”
Dengan tindakan perlahan ia mendekati si nona untuk mencekal tangnnya.
Mendengar suara orang yang lemah, hatinya Liam Cu menjadi
lemah juga, maka itu ia membiarkan tangannya dicekal, digenggam perlahan. Cuma
karena itu, kulit mukanya menjadi merah.
Yo Kang hendak merangkul nona itu dengan tangannya yang
hendak ketika tiba-tiba kupingnya mendengar beberapa kali suara burung yang
lagi terbang, suaranya sangat nyaring. Ia lantas mengangkat kepala, dongak.
Maka ia melihat dua ekor rajawali putih yang besar terbang berputaran.
Ketika dulu hari Wanyen Lieh mengejar Tuli, Yo Kang
melihat dua ekor rajawali itu, yang kemudian dibawa pergi ke oleh Oey Yong.
Maka itu ia jadi berpikir dan menanya dalam hatinya: “Kenapa burung ini
sekarang berada disini?” Dengan mencekal terus tangan Liam Cu, ia pergi keluar.
Ia melihat burung itu terbang berputaran di atasan mereka. Di dekat pohon yang
besar sebaliknya terlihat seorang nona, yang duduk di atas seekor kuda bagus,
lagi memandang ke tempat yang jauh. Nona itu memakai sepatu kulit, tangannya
mencekal cambuk, dia dandan sebagai wanita Mongolia.
Sesudah terbang berputaran, kedua burung itu terbang ke
arah jalan besar, hanya tak lama mereka kembali. Tidak lama dari jalan besar
itu terdengar riuh rendah tindakan kaki kuda, yang dikasih lari.
“Rupanya burung itu memanggil orang,” Yo Kang pikir.
“Supaya mereka itu berkumpul sama ini nona Mongolia…”
Segera juga terlihat debu mengepul naik, disusul sama
mendatanginya tiga penunggang kuda. Selagi mereka itu mendatangi dekat,
terdengarlah suara melesetnya sebatang anak panah, yang dilepaskan ke arah
rumah penginapan.
Si nona muda mengeluarkan busur dan anak panahnya, ia
terus memanah.
Kapan ketiga penunggang kuda itu mendengar suara panah
tersebut, mereka berseru kegirangan, kudanya lantas dikasih lari lebih keras
lagi. Si nona pun melarikan kudanya untuk memapaki.
Kedua pihak sudah datang dekat sekira tiga tombak,
kedua-duanya berseru berbareng, tubuh mereka mencelat turun dari kuda
masing-masing, belum lagi tubuh mereka tiba di tanah, tangan mereka itu sudah
saling menyambar, maka itu, akhirnya mereka turun di tanah berbareng.
Menyaksikan kegesitan mereka itu, Yo Kang kaget dan
kagum.
“Bangsa Mongolia demikian pandai menunggang kuda dan
menggunai panah, pantaslah kalau bangsa Kim kalah!” katanya dalam hati.
Oey Yong dan Kwee Ceng di dalam kamar juga dapat
mendengar suara burung dan kuda berlari-larian. Mereka tetap memasang kuping.
Tidak lama dari bitu, mereka mendengar orang mendatangi rumah penginapan sambil
berbicara. Kwee
Ceng terperanjat bukan main.
“Ah,
kenapakah mereka datang ke mari?” katanya. Ia kenal baik suara mereka itu. Si nona Mongolia adalah putri Gochin Baki,
yang oleh Jengiz Khan ditunangkan kepadanya, dan tiga lainnya ialah Tuli, Jebe
dan Borchu.
Putri itu berbicara samvil tertawa dengan kakaknya, Oey
Yong tidak mengerti sepatah kata juga apa yang dibicarakan itu, sebab mereka
menggunai bahasa Mongolia. Kwee Ceng sebaliknya, hingga kulit mukanya pucat dan
,erah bergantian. Di dalam hatinya pemuda ini berkata: “Di dalam hatiku sudah
ada Yong-jie, pasti aku tidak dapat menikah dengannya, tetapi sekarang ia
menyusul aku sampai di sini… Mana dapat aku merusak kepercayaannya. Bagaimana
sekarang?”
“Engko Ceng, siapakah itu nona?” Oey Yong tanya berbisik,
“Apakah itu yang mereka bicarakan? Kenapa kelihatannya kau tidak tenang?”
Kwee Ceng polos dan jujur, sudah beberapa kali ia hendak
mengasih keterangan pada Oey Yong, setiap kali ia hendak membuka mulutnya, ia
gagal selalu, dengan sendirinya ia menarik pulang apa yang ia pikir untuk
diucapkan itu, tetapi sekarang ia ditanya, mana dapat ia berdusta?
“Dialah putrinya Jenghiz Khan, Kha Khan dari Mongolia,”
menyahut dia. “Dialah tunanganku….”
Oey Yong tercengang, lalu air matanya keluar mengucur.
“Kenapa kau tidak pernah memberitahukan hal ini padaku?”
ia menanya kemudian.
“Pernah aku memikir untuk memberitahukan kau, tetapi
selalu batal, sebab aku berkhawatir kau tidak senang,” Kwee Ceng menyahut.
“Pula ada waktunya aku tidak ingat urusan itu.”
“Dialah tunanganmu, kenapa kau boleh tidak ingat?” Oey
Yong tanya.
“Aku pun tidak tahu jelas. Aku hanya memikir dia sebagai
saudara kandungku….Sebenarnya aku tidak ingin menikah dengannya.”
Oey Yong heran.
“kenapa begitu?” ia menanya.
“Karena pertunangan kami itu ditetapkan oleh Kha Khan
sendiri. Ketika itu perasaanku tidak ketentuan, ada kalanya aku senang, ada
kalanya tidak. Aku melainkan pikir bahwa perkataannya Kha Khan itu tidak salah.
Sekarang ini Yong-jie, mana dapat aku menyia-nyiakan kau untuk menikah dengan
orang lain?”
“Nah, habis bagaimana?”
“Aku juga tidak tahu…”
Oey Yong berdiam, lalu ia menghela napas.
“Asal didalam hatimu kau selalu perlakukan baik padaku,
biarnya kau menikah dengannya, aku tidak ambil peduli…” Katanya sesaat
kemudian. Ia berhenti pula sejenak, untuk lantas menambahkan; “Hanya aku pikir,
lebih baik kau tidak menikah dengannya. Aku tidak bergembira melihat lain
wanita setiap hari mengintil saja padamu, hingga aku khawatir nanti satu waktu
darahku naik hingga aku membuatnya lubang pedang di dalam dada dia! Kalau
sampai itu terjadi, tentulah kau bakal mencaci aku…Coba dengar, apa saja yang
mereka itu bicarakan?”
Di luar kamar rahasia itu, keempat orang Mongolia itu
memang asyik bicara terus.
Putri Mongolia itu lagi bicara tentang perpisahan mereka
sama saudara-saudara itu.
Sebenarnya, setelah Kwee Ceng dan Oey Yong lenyap di
hutan, kedua burung itu sia-sia mencari mereka, sebab di tengah laut itu tak
ada tempat untuk menclok, akhirnya mereka terbang ke darat, karena mereka ingat
majikan mereka yang lama, terus mereka terbang pulang ke Utara. Gochin Baki
heran melihat pulangnya kedua burung itu. Ia melihat ada potongan kain diikat
di kaki burung. Itulah robekan kain layar. Dirobekan kain itu ada tulisan
hurunf Tionghoa. Ia tidak mengerti bahasa Tionghoa, ia lantas bawa itu kepada
ibunya Kwee Ceng, Nyonya Kwee atau Lie Peng. Huruf-huruf itu bunyinya “Yoe Lan”
artinya “Mendapat bahaya”. Tentu saja sang putri menjadi berkhawatir, maka ia
lantas berangkat ke Selatan. Itu waktu Jenghiz Khan lagi memimpin angkatan
perangnya menyerang bangsa Kim dan pertempuran lagi berlangsung di luar dan di
dalam Tembok Besar, maka itu, ke mana si putri mau pergi, tidak ada orang yang
melarangnya.
Kedua burung rajawali itu mengerti maksud nona majikannya
itu, mereka membawa si nona ke Selatan, untuk mencari Kwee Ceng. Di dalam satu
hari, mereka bisa terbang jauhnya beberapa ratus lie, siang mereka terbang
pergi, malam mereka terbang kembali. Diakhirnya tibalah mereka di Liam-an. Di
sini Gochin Baki tidak dapat menemui Kwee Ceng, sebaliknya ia bertemu dengan
kakak ketiganya.
Tuli ini lagi menerima tugas dari ayahnya. ia di utus ke
Lim-an untuk berserikat sama kerajaan Song untuk sama-sama menyerang bangsa
Kim. Raja Song - Song Selatan - merasa kedudukannya aman, ia pun jeri terhadap
bangsa Kim, dari itu ia menyambutnya ajakan Tuli dengan tawar. Dia pernahkan
Tuli di gedung tetamu, dia berlaku acuh tak acuh terhadap utusan Mongolia itu.
Selama itu datang kabar baik yang pihak Mongolia menang terus-terusan, sampai
pun kota Tiong-tpuw telah kena dipukul jatuh, itu waktu lantas berubahlah
sikapnya menteri-menteri Song itu, lantas saja mereka berlaku manis kepada
Tuli, pangeran Mongolia itu. Tuli tidak puas sekali, akan tetapi karena malang
sama tugasnya, untuk berserikat sama negara Song, terpaksa ia melayani mereka
itu. Demikian perserikatan dilangsungkan. Karena ini berangkatlah ia kembali ke
Utara. Di luar kota Lim-an, kebetulan ia melihat burung rajawali adiknya, ia
menyangka kepada Kwee Ceng, tidak tahunya ia bertemu sama adiknya itu. Karena
ia ada bersama Jebe dan Borchu, mereka jadi ada berempat. Mereka terus singgah
di tempatnya Sa Kouw itu.
“Apakah kau bertemu sama anda Kwee Ceng?” sang adik
menanya kakaknya.
Tuli baru mau menjawab atau di luar terdengar suara
berisik dari satu pasukan tentara, yang kemudian ternyata adalah satu barisan
tentara Song yang ditugaskan mengantar pasukan Mongolia itu.
Yo Kang melihat benderanya pasukan Song itu di mana
dituliskan: “Dengan segala kehormatan mengantarkan Utusan Mongolia pulang ke
Utara”. Melihat itu hanya menjadi bimbang. Baru beberapa puluh hari yang lalu,
dia pun pangeran yang menjadi utusan rajanya atau sekarang dia sebatang kara.
Dapatkah ia menyia-nyiakan kedudukan yang mulia itu?
Liam Cu mengawasi pemuda itu dengan
tingkahnya yang tidak wajar, ia mengerti yang orang tidak dapat melupakan
kedudukan mulia atau penghidupan yang mewah, ia menjadi berduka.
Ketika itu punggawa perang yang mengepalai pasukan
pengiring pihak Song itu masuk ke dalam rumah penginapan, dengan hormat sekali
ia menghadap Tuli, dengan siapa ia berbicara. Tuli pun mengatakan sesuatu.
Habis itu ia memutar tubuhnya, untuk dengan membentak memberikan titahnya:
“Pergi kamu menanyakan setiap rumah di kampung ini, apa di rumah mereka ada
Kwee Ceng Kwee Koanjin! Jikalau tidak ada, kamu pergi mencari ke lain tempat!”
Titah itu diterima oleh pasukannya, setelah menyahuti,
tentaranya itu bubar.
Tidak lama setelah itu terdengarlah suara ayam ribut
beterbangan atau anjing berlarian serta juga jeritan-jeritan dari laki-laki
serta tangisan dari orang-orang perempuan. Teranglah sudah kawanan serdadu itu
telah menggunai ketikanya yang baik untuk melakukan perampasan.
Mendengar suara berisik itu, Yo Kang mendapat pikiran.
“Kenapa aku tidak mau menggunai ketika ini untuk
bersahabat dengan pangeran-pangeran Mongolia ini?” demikian pikirnya. “Dalam
tempo beberapa hari pastilah dapat aku membinasakan mereka itu. Kalau Kha Khan
dari Mongolia mengetahui itu, pasti ia menyangka itulah perbuatannya pihak
Song, dengan begitu dengan sendirinya perserikatan mereka bakal bubar. Dan
itulah apsti menguntungkan pihak Kim….”
Dengan cepat Yo Kang mengambil keputusan.
“Adikku, kau tunggu sebentar,” ia berkata kepada Liam Cu.
Terus ia pergi menghampirkan si punggawa Song, ketika ia membentak, tangannya
digeraki, dengan tangan kirinya ia membikin punggawa itu terguling jatuh
celentang, hingga untuk sesaat dia tidak dapat merayap bangun.
Tuli dan Gochin Baki menyaksikan itu, mereka heran.
Yo Kang melihat keheranan orang itu, ia lantas bertindak
ke ruang tengah. Di sini ia keluarkan tombak buntungnya, ia angkat itu tinggi
melewati kepalanya untuk terus diletaki di atas meja. Lalu, setelah menekuk
kedua lututnya, mendadak ia menangis menggerung-gerung. Ia segera mengeluh:
“Oh, saudara Kwee Ceng, kau mati secara menyedihkan sekali…..Pasti aku membalas
dendam untukmu! Oh, saudara Kwee Ceng……”
Tuli dan saudaranya beramai tidak mengerti bahasa
Tionghoa, tetapi mereka mendengar nama Kwee Ceng disebut-sebut, mereka menjadi
heran, maka itu selagi punggawa merayap bangun, mereka menitahkan punggawa ini
memberikan keterangan.
Dengan suara terputus-putus Yo Kang kata: “Aku ialah
saudara angkatnya Kwee Ceng. Saudara Kwee Ceng telah orang bunuh mati dengan
ditikam dengan ujung tombak, aku hendak pergi mencari musuhnya guna membalaskan
sakit hatinya itu.”
Kapan Tuli dan saudaranya dikasih mengerti, mereka
berdiri menjublak. Jebe dan Borchu sebaliknya, mereka menangis sambil menumbuki
dada. Mereka ini ingat benar persahabatannya dengan Kwee Ceng itu.
Yo Kang mengarang cerita terlebih jauh dengan menuturkan
halnya ia menghajar mundur bangsa Kim di Poo-eng. Cerita ini dpercayai Tuli
beramai, bahkan mereka menanyakan penjelasan dan kebinasaannya Kwee Ceng itu.
Yo Kang pandai sekali mengatur ceritanya, seperti juga itulah peristiwa benar.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia mendengar ocehan itu, ia
pun terbengong. Sebaliknya Gochin Baki, si putri Mongolia, mendadak ia
menghunus golok di pinggangnya, untuk membunuh diri. Hanya ketika golok itu
hampir mengenai lehernya, tiba-tiba ia memikir sesuatu, goloknya itu terus ia
bacoki kepada meja sambil ia bersumpah: “Jikalau aku tidak membalaskan sakit
hatinya anda Kwee Ceng, aku sumpah tidak sudi menjadi manusia!”
Yo Kang senang sekali. Nyata akalnya sudah termakan. Ia
terus tunduk, ia menangis pula. Karena ia tunduk, tiba-tiba matanya melihat
tongkatnya Oey Yong, yang dirampas Auwyang Kongcu. Itulah tongkat yang bersinar
hijau bagus. Ia ketarik hatinya, maka ia jumput tongkat itu.
Oey Yong melihat tongkatnya diambil pemuda itu, ia
mengeluh. Tentu sekali ia tidak bisa keluar untuk merampasnya.
Tidak lama tentara datang dengan barang hidangan, Gochin
Baki semua tak ada nafsunya untuk menangsal perut mereka. Bahkan mereka lantas
minta Yo Kang mengantarkan mereka untuk mencari pembunuhnya Kwee Ceng.
“Marilah!” jawab Yo Kang. Ia membawa tongkat Oey Yong
serta terus bertindak ke pintu, diikuti rombongan orang Mongolia itu.
“Siapakah yang Yo kang bakal cari?” Kwee Ceng berbisik
pada Oey Yong.
Si
nona menggeleng kepala.
“Aku
tidak tahu,” sahutnya. “Bukankah dia sendiri yang membacok padamu? Dia sangat
licik, di dalam halnya kelicikan, aku kalah…”
Justru
itu di luar rumah terdengar suara orang bersenandung dengan nada tinggi,
katanya: “Malang-melintang dengan mereka, tanpa ikatan, jikalau hati tidak
kemaruk akan kemulian, diri sendiri taklah terhina…! Eh, nona Bok, kenapa kau
ada di sini?”
Itulah
suaranya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dia menanya Bok Liam Cu
selagi si nona baru muncul di ambang pintu. Belum lagi si nona menyahuti, Yo
Kang pun bertindak keluar. Kaget ia melihat gurunya itu, hatinya berdenyutan.
Tentu sekali ia tidak dapat ketika untuk menyingkirkan diri, maka dengan
terpaksa dia menghampirkan guru itu, di depan siapa dia memberi hormat sambil
berlutut dan mengangguk.
Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang
Cu Ma Giok, Giok Yang Cu Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie
Peng, muridnya. Kedatangan Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini.
Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su
hingga giginya copot, ia mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada
di Lim-an. Dia kaget dan gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma Giok
sabar, ia mencegah.
“Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan
almarhum guru kita,” kata Cie Kee. “Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee
yang pernah bertemu dengannya selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee
mengagumi dia, memang siauwtee ingin bertemu dengannya, maka inilah ketikanya
yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk menempur dia, kenapa suheng mencegah?”
Ma Giok tertawa dan berkata: “Aku dengar Oey Lao Shia itu
aneh tabiatnya, sedang kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka,
kebanyakan bisa terbit onar. Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng, itu
tandanya ia menaruh muka…”
Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu
Ma Giok lantas mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka
sudah berkumpul tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi
terlebih dulu. Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan di luar
kampung itu, bersiap membantu kalau ada perlunya. Diluar sangkaan mereka, bukan
mereka bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali
nona itu, maka itu selagi bersandung, ia menegur lebih dulu.
Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara
di hidung, “Hm!” Dia tidak memperdulikan.
“Suhu,” Cie Peng berkata, “Tocu dari Tho Hoa To menghina
teecu justru di dalam ini rumah penginapan.”
Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey
Lao Shia, yang berarti si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi
ia ditegur oleh Ma Giok, maka ia mengubah sebutannya.
Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu,
dengan nyaring ia berkata: “Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai,
datang menghadap kepada Oey Tocu dari Tho Hoa To!”
“Di dalam tidak ada orang,” Yo Kang memberitahukan.
“Sayang,
sayang,” kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas tanya
muridnya: “Kau di sini, apa kau bikin?”
Hati
Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya itu, maka
atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawabannya.
Sementara
itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan, terus ia
berseru: “Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih.
Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!”
Putri
Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana kedua ekor
burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.
Ma Giok tersenyum, ia mengangguk.
“Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?” ia
menanya.
Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan “dia” itu,
lantas saja ia menangis.
“Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!”
katanya sengit. “Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!”
Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa
Tionghoa ia lalu memberi keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri
itu.
Khu Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng
mereka lantas menanyakan apa sebenarnya telah terjadi.
Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang.
“Dialah yang membawa berita, katanya ia melihatnya
sendiri,” bilangnya. “Coba kau tanyakan dia sendiri!”
Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang
berkhawatir, maka itu ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu: “Kamu tunggu
dulu di sebelah depan sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar
aku susul kamu.”
Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu
Tuli mengangguk, lantas ia ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara
kampung itu.
“Siapa
yang membunuh Kwee Ceng?!” Cie Kee menanya, bengis.
“Lekas bicara!”
Dalam takutnya Yo Kang berpikir: “Kwee Ceng itu aku
sendiri yang membunuhnya sendiri, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan
kepada siapa…? Baiklah aku menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia,
supaya dia mengantarkan jiwanya sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku
bebas dari mara bahaya…” Maka dengan lagu suara sangat membenci, ia menjawab:
“Dialah tocu dari Tho Hoa To!”
Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar
tertawa lebar yang samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya
cecer rombeng, lalu disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi
meskipun perlahan, terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran di luar
kampung lantas pergi jauh………
Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang.
“Itulah tertawanya Ciu Susiok,” katanya.
“Ketiga Suheng pergi menyusul!” kata Sun Put Jie.
“Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi
seperti lagi menyusul susiok,” kata Ong Cie It.
Ma Giok nampaknya berduka.
“Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di
bawahan Ciu Susiok,” katanya.
“Entah mereka itu orang pandai darimana? Ciu Susiok
bersendirian melawan dua musuh, aku khawatir…” Ia lantas menggoyang-goyangi
kepalanya.
Khu
Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu lenyap, rupanya
orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi.
“Ada
Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok,” kata Sun Put Jie
kemudian.
“Aku
khawatir mereka tidak dapat menyandak,” bilang Cie Kee. “Coba Ciu Susiok mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari…”
Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia
tertawa sendirinya.
“Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka
berandalan tengah mengadu kepandaian lari!” katanya di dalam hatinya. “Mereka
itu bukannya lagi berkelahui. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu
beberapa imam hendak membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa
bangkotan itu?”
Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua
orang lantas masuk ke dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.
“Eh, mari aku tanya kau!” kata Cie Kee pada muridnya.
“Aku mau tahu, sekarang ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?”
Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam
memandang padanya. Kalau ia salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka
lekas-lekas ia menjawab: “Jikalau bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok
yang memberi petunjuk, sampai sekarang tentu juga teecu masih dalam kegelapan,
masih teecu tetap mengaku musuh sebagai ayahku. Sekarang ini tentu sekali teecu
she Yo. Baru saja tadi malam berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah
ayah bundaku.”
Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia
mengangguk-angguk, air mukanya pun berubah tak bermuram lagi seperti tadi.
Sebagai imam jujur, ia mempercayai orang.
Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat sekarang Yo
Kang ada bersama Liam Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan murid itu
menyangkal perjodohannya dengan nona Bok.
Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar
matanya bentrok sama tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee
Siauw Thian. Ia lantas memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka.
“Pada sembilanbelas tahun yang lampau,” katanya perlahan,
“Di sini aku telah berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang
sesudah belasan tahun lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang
sahabatku itu telah pulang ke alam baka…..”
Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main.
Katanya dalam hatinya: “Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi
aku sendiri tidak pernah melihat wajah ayahku itu….”
Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey
Yok Su membunuh Kwee Ceng.
Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita.
Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali.
Mereka pun mengenal baik itu pemuda she Kwee.
Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah
berjanji kepada Tuli dan Gochin Baki.
“Apakah kamu berdua sudah menikah?” kemudian Ong Cie It
tanya keponakan murid itu, yang ia awasi.
“Belum,” sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani
berdusta.
“Lebih baik kalian lekas menikah!” Ong Cie It bilang.
“Khu Suko, baiklah hari ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas
menikah.”
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya,
mereka kata: “Benarkah malam ini kembali kita akan menonton sepasang
pengantin?”
Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat:
“Terserah kepada suhu!”
Tapi Bok Liam Cu berkata: “Mesti dipenuhkan dulu satu
permintaanku, yang menjadi syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi
menikah!”
Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu
ia beda daripada Yauw Kee.
Khu Cie Kee tersenyum.
“Baiklah!” bilangnya. “Apakah itu, nona, kau bilanglah!”
“Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh
negaraku,” menyahut nona Bok, “Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati
ayahku itu!”
“Bagus!” berseru Cie Kee bertepuk tangan. “Nona, pikiranmu
cocok sama pikirannya si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau? Kau
setujukah?”
Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi
ragu-ragu. Selagi ia berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan
terdengar suara orang bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu
“Lian Hoa Lok”, nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama
satu suara halus dan tajam, katanya: “Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah
hati, mengamal untuk satu bun saja…!”
Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia
mengenali suara itu.
Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu
bertubuh jangkung dan gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk
itu umpama kata sebesar empak kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu sangat
luar biasa perbedaaan di antara mereka berdua. Sang tempo telah berselang
banyak tahun tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tigab elas
tahun dulu, ketika lukanya dibalut oleh pengemis itu, sedang Ang Cit Kong, yang
menyukai si nona, telah mengajari dia ilmu silat selama tiga hri. Liam Cu
hendak menghampirkan kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat
kedua pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah
mereka saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan
menyilangkan kedua tangan mereka, mereka memberi hormat.
Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya
melihat tindakan orang dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini
mesti lihay ilmu silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol
delapan buah kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum
Kay Pang. Hanya mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat
terhadap Yo kang.
Si pengemis kurus lantas berkata: “Saudara yang baik,
beruntung sekali yang di dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat
pangcu kami. Sebenarnya kami telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah
dimana tahu kemanakah perginya pangcu kami meminta amal?”
Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat
tetapi ia tidak tahu hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia
bagaimana harus menjawabnya.
Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat adalah sama
seperti mereka menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang
mereka berlaku sangat menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak
memperdulikan mereka, agaknya mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjuki
sikap lebih hormat pula.
Si pengemis gumuk turut berkata, katanya: “Pertemuan di
Gak-ciu sudah mendesak harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudha bergerak
ke barat.”
Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih
dengar, “Hm!” sekarang ia mengasih dengar pula suaranya itu.
Pengemis kurus pun berkata pula: “Oleh karena teecu
mencari tongkatnya pangcu, tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka
sekarang setelah kita bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu
baiklah sekarang teecu beramai menemani padamu!”
Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas menyingkir dari depan guru dan paman-paman
gurunya itu. Maka ia lantas berlutut kepada mereka, katanya: “Teecu ada
mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu menemani kepada suhu beramai, dari
itu, harap teecu dimaafkan!”
Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai
urusan penting dengan Kay Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan
Ong Tiong Yang, almarhum guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo
Kang. Malah sebaliknya, mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang
sikapnya demikian halus.
Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan
dua pengemis itu? Maka ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk
pamitan.
Begitulah,
berempat mereka berangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar