Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 46

BAB 46
Sa Kouw




Wanyen Lieh menjadi tidak enak hati menyaksikan paderi itu dibuat permainan seperti itu. Ia mengerti, jangan kata ada Auwyang Hong, melihat kepandaiannya Pek Thong saja, semua orang pasti bukan tandingannya, maka itu, lekas ia bertindak.
“Sudahlah, Ciu Loosianseng, tak usah kau bergurau pual,” katanya. “Nanti siauw-ongya mengirimkan perahu untuk kamu berempat mendarat.”
Sebagaimana biasanya, pangeran ini membasakan diri siauw-ongya, pangeran yang kecil.
“Baiklah!” menyahut Ciu Pek Thong. “Kau juga boleh mencoba-coba! Sambutlah!”
Menelad Auwyang Hong. Loo Boan Tong melemparkan tubuhnya Leng Tie.
Wanyen Lieh mengerti ilmu silat, tetapi itu cuma permainan golok atau tombak dan hanya di atas kuda, tentu sekali ia tidak sanggup menyambuti tubuh si paderi, kalau ia paksa menyambuti juga, ia bisa tertubruk roboh, terluka atau mati. Hal ini diketahui See Thong Thian, maka orang she See ini sudah lantas berlompat maju dengan gerakannya “Menggeser tindakan, menukar wujud”, dengan lantas ia berada di depannya si pangeran. Ia mengerti, kalau ia menyambuti dengan tangan seperti biasa, mungkin si paderi mendapat luka, maka ingin ia berbuat seperti Auwyang Hong atau Ciu Pek Thong.Selagi memikir begini, ia tidak mengukur tenaga kepandaian sendiri. Bukankah ia telah menyaksikannya See Tok dan Loo Boan Tong seperti tidak menggunakan tenaga sama sekali? Maka ia ulur tangan kanannya, untuk menyambar batang lehernya Leng Tie. Ia berhasil, hanya ketika ia dapat memegang batang leher orang, ia kaget dengan mendadak. Ia merasakan hawa yang panas pada tangannya itu. Itulah suatu tangkisan yang dahsyat. Ia insyaf, kalau ia melawan, maka tangannya itu bisa patah karenanya. Maka dalam kagetnya itu, ia menarik tangan kanannya itu sambil tangan kiri ia menyerang, untuk menolak tubuh si paderi.
Leng Tie telah diputar balik Auwyang Hong dan dilemparkannya, lalu ia merasakan pengelaman serupa dari Ciu Pek Thong, ia menjadi bermata kabur dan berkepala pusing, darahnya mengalir dan menjadi panas, pada itu ditambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Ia masih dapat mendengar seruannya Ciu Pek Thong, lantas ia menduga, orang yang bakal menyambutinya tentulah musuh adanya, maka itu selagi tubuhnya melayang, ia mengerahkan tenaganya, begitu See Thong Thian memegang batang lehernya, ia membarengi menyerang dengan pukulannya Tay-ciu-in.
Di dalam halnya tenaga, Leng Tie Siangjin dan See Thong Thian berimbang. See Thong Thian berdiri jejak, ia sudah siap sedia, sebenarnya ia lebih unggul. Tapi juga Leng Tie telah mengerahkan tenaganya, ia dalam gusar dan mendongkol, tenaganya jadi bertambah besar berlipat ganda. Maka itu sebagai kesudahannya, See Thong Thian kena terpukul mundur tiga tindak dan terus jatuh berguling. Berbareng dengan itu, Leng Tie sendiri pun tidak luput. Karena dihajar tangan kiri See Thong Thian, tubuhnya roboh melintang di atas perahu. Hanya paderi itu cuma jatuh sebentar, begitu mengenakan lantai, ia dapat melompat bangun pula.
Begitu lekas ia dapat berdiri, Leng Tie dapat mengetahui orang yang menyambuti dan menyerang padanya adalah See Thong Thian. Ia tidak ketahui maksud orang, menjadi gusar, di dalam hatinya, ia kata: “Celaka betul, kau juga hendak mempermainkan aku!” Terus ia maju, berniat menghajar Thong Thian.
Pheng Lian Houw mengerti paderi itu salah terka, lekas-lekas ia maju menghalang seraya ia berkata nyaring: “Taysu, jangan gusar, jangan salah mengerti! Sebenarnya See Toako bermaksud baik!”
Sementara itu perahu kecil telah dikasih turun.
Ciu Pek Thong memegang tongkat di dalam mulut ikan, ia mengangkat dan mengibat. Atas itu, tubuh ikan yang besar itu terangkat dan terlempar, tercebur di laut. Dengan kibasannya itu, Pek Thong membuatnya tongkat patah. Kapan ikan hiu itu merasakan mulutnya tidak tergalang pula, pasti ia girang bukan main dan terus selulup untuk berenang pergi….
Oey Yong tertawa.
“Engko Ceng,” ia berkata, “Lain kali marilah bersama Ciu Toako kita menaiki masing-masing seekor ikan untuk berlomba main cepat-cepatan!”
“Bagus!” berseru Loan Boan Tong sambil ia bertepuk tangan sebelumnya Kwee Ceng sempat memberi penyahutan.
Sampai di situ, berempat mereka turun ke perahu kecil.
Wanyen Lieh pintar sekali. Melihat lihaynya Auwyang Hong, ia lantas ingat berapa besar faedahnya kalau orang ini suka membantu ia mencari surat wasiatnya Gak Hui. Maka itu ia lantas cekal tangannya Leng Tie Siangjin, untuk ditarik hingga di depan orang kosen itu.
“Kita sama-sama sahabat satu dengan lain, aku minta sianseng jangan buta kecil hati,” ia berkata, untuk mengakurkan. “Aku harap Siangjin juga tidak memandang secara sungguh-sungguh. Aku minta, dengan memandang kepadaku, sukalah urusan dipandang sebagai guyon saja.”
Auwyang Hong tertawa, ia mengulurkan tangannya.
Leng Tie Siangjin masih belum puas, pikirnya. “Tak lebih tak kurang kau menggunai ilmu silat menangkap Kim-na-hoat, kau juga menyerang secara tiba-tiba. Ilmu silatku Tay-in-ciu, yang telah aku pahamkan beberapa puluh tahun ini, mustahilkah ilmu itu tak dapat melawanmu?” Karena ini ia angsurkan tangannya dengan tenaganya telah dikerahkan, ia memencetnya dengan keras. Justru itu, mendadak ia merasakan seperti memegang baja yang terbakar marang, panas dan sakitnya bukan buatan, dengan kelabakan ia melepaskan cekalannya untuk menarik pulang tangannya itu.
Auwyang Hong mengerti maksud orang, ia tidak sudi berbuat keterlaluan, maka itu ia mengganda bersenyum saja.
Leng Tie lantas melihat tangannya, ia tidak dapatkan tanda atau bekas apa-apa, sedang barusan ia merasakan seperti terbakar. Ia menjadi heran sekali, hingga ia menduga: “Mestinya orang ini mengenal ilmu gaib…”
Auwyang Hong melihat Nio Cu Ong masih rebah di lantai tanpa bergeming, ia bertindak mendekati. Ia dapat menduga, ketika orang didesak Kwee Ceng hingga kecebur, dia disambuti Ciu Pek Thong sambil ditotok, maka itu setelah melihat sebentar, ia pun menotok jalan darah orang.
Hanya melihat saja, Sam Sian Lao Koay sadar akan dirinya.
Wanyen Lieh girang bukan main. Ia lantas perintah orangnya segera menyajikan barang hidangan, untuk manjamu itu paman dan keponakannya. Karena dengan sendirinya Auwyang Hong dipandang sebagai kepala rombangan orang kosen itu….
Sambil menjamu, Wanyen Lieh menuturkan kepada Auwyang Hong tentang niatnya mencuri surat wasiat Gak Hui di kota Lim-an dan ia minta supaya See Tok suka memberikan bantuannya.
Auwyang Hong memang pernah dengar hal itu dari keponakannya, diminta demikian hatinya tergerak. Ia lantas mandapat suatu pikiran lain. Pikirnya: “Aku Auwyang Hong, kamu kira aku orang macam apa? Mana dapat aku diperintah olehmu? Aku tahu Gak Hui itu tidak saja pandai mengatur tentara tetapi juga lihay ilmu silatnya, maka di dalam surat wasiat itu, kecuali ilmu perang, mungkin ada catatan tentang ilmu silat. Baiklah, aku terima permintaan ini, untuk aku melihat dulu surat wasiat itu. Mustahil aku si makhluk tua yang berbisa tidak dapat mengangkangi surat itu?”
Maka itu ia lantas menyambut baik permintaannya Wanyen Lieh.
Dua orang itu ada masing-masing pikirannya sendiri. Wanyen Lieh membutuhkan surat wasiat Gak Hui, supaya ia dapat mengatur tentaranya, untuk mencapai maksud gerakannya. Tidak pernah ia memikir bahwa lain orang pun sama mengarahnya, bahkan lain orang itu lebih cerdik daripadanya.
Nio Cu Ong membantu menggembirakan perjamuan itu. Cuma Auwyang Kongcu yang tidak dapat memuaskan diri. Ia minum sedikit arak, ia bersantap, habis itu ia mendahului masuk ke dalam perahu untuk beristirahat, karena ia lagi menderita luka dikakinya.
Orang masih sedang berjamu tatkala mendadak saja Auwyang Hong menunda cawan araknya serta wajahnya berubah. Melihat perubahan itu, semua orang terkejut. Mereka tidak tahu, di dalam hal apa mereka berbuat salah kepada ini orang lihay.
Wanyen Lieh baru mau minta keterangan, atau Auwyang Hong telah berkata: “Dengar!”
Orang lantas pada memasang kupingnya. Mereka tidak mendengar suara apa juga kecuali desiran angin laut dan damparannya gelombang. Maka mereka mnejadi heran, semua mata lantas diarahkan kepada orang she Auwyang itu.
Auwyang Hong masih terus memasang kupingnya, sampai sesaat kemudian ia berkata: “Kamu sudah mendengar atau belum? Itulah suara seruling!”
Sekarang benar-benar orang mendengar suara seruling itu, walaupun masih samar-samar, sebab suara itu terganggu angin dan ombak laut. Coba mereka tidak diberikan keterangan oleh Auwyang Hong, masih mereka belum mendengarnya.
Auwyang Hong berbangkit, ia pergi ke kepala perahu. Di sana ia lantas berdongko, dari mulutnya terdengar suara kowak-kowek yang dalam. Maka ia benar-benar sangat mirip dengan seekor kodok besar.
Menyaksikan itu, semua orang heran berbareng merasa lucu, walaupun demikian tidak seorang juga yang berani tertawa. Orang terus mendengarinya. Tidak lama, mereka lantas mendengar nyata suara seruling dan suara seperti kodok itu, bahkan mereka dapat mengetahui juga, seruling dan suara kodok itu saling sahutan, merupakan sebuah lagu. Mereka masih mendengari terus, atau sekarang mereka merasakan hati mereka menjdai tidak tentram, seperti terombang-ambing dalam kebimbangannya.
Leng Tie Siangjin mencoba menentramkan dirinya. Ia kata dalam hatinya: “Benar-benar inilah ilmu sesat! Entah ia hendak memainkan lelakon apa! Aku mesti berhati-hati!”
Anak-anak buah perahu bersama Wanyen Lieh adalah orang yang paling dulu tidak sanggup mempertahankan diri dari tenaga menarik dari seruling dan suara seperti kodok itu. Mereka sudah lantas berjingkrakan.
Menampak demikian, tiba-tiba saja Auwyang Hong menghentikan suaranya yang aneh itu, sebagai gantinya, ia berseru keras sekali. Serentak dengan itu, nerhenti juga suara seruling tadi. Ia lantas saja memandang jauh ke laut.
Sekarang semua orang berani memghampirkan, mereka turut mengawasi ke arah yang dipandang itu, hanya hati mereka kebat-kebit, khawatir nanti menyaksikan pula sesuatu yang mukjizat. Mereka berdiri di belakang See Tok beberapa kaki, untuk bersiap sedia kalau-kalau ada bahaya….
Belum terlalu lama, di kejauhan terlihat tiga lembar layar hijau. Itulah layar dari sebuah perahu enteng, yang lajunya sangat pesat, yang lagi mendatangi ke arah perahu besar mereka.
Semua orang menjadi heran.
“Mungkinkah suara seruling itu datangnya dari dalam perahu ini?” mereka menduga-duga, “Terpisahnya kita begini jauh, bisakah suara itu terdengar sampai di sini?”
Auwyang Hong sendiri sudah lantas menitahkan anak buah perahu memutar haluan kendaraan air itu, untuk menampaki perahu enteng itu. Maka lekas juga kedua perahu mulai datang dekat satu dengan lain.
Di kepala perahu enteng itu berdiri seoarng yang memakai jubah panjang warna hijau, di tangannya benar-benar dia mencekal sebatang seruling kuningan. Ia pun sudah lantas mengasih dengar suaranya yang tinggi muluk: “Saudara Hong, adakah kau melihat anak perempuanku?”
“Putrimu itu sangat temberang, mana berani aku main gila terhadapnya!” See Tok menjawab.
Kedua perahu terpisah hanya lagi beberapa tembok, tak terlihat bergeraknya orang dengan jubah hijau itu, hanya terlihat berkelebatan satu bayangan, tahu-tahu dia sudah berada di perahu besar.
Menyaksikan orang demikian lihay, kumat sifatnya Wanyen Lieh akan mengambil hati orang. Ia lantas menyambut. Katanya: “Sianseng, bolehkah aku mendapat ketahui she mu? Sungguh beruntung yang aku dapat bertemu dengan sianseng!”
Hebat pangeran ini, sebagai seorang bangsawan ia telah berlaku demikian merendah terhadap seseorang yang tidak dikenal.
Akan tetapi orang itu, apabila ia melihat dandan mentereng orang Kim ini, dia cuma melirik, lantas dia tidak memperdulikannya lagi.
Auwyang Hong melihat ongyanya tidak mendapat muka, ia lantas berkata: “Saudara Yok, mari aku perkenalkan! Tuan ini adalah Chao Wang, putra keenam raja dari negara Kim!” Lalu ia berpaling kepada Wanyen Lieh, akan meneruskan: “Inilah Tocu Oey Yok Su dari Pulau Tho Hoa To, yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini, yang tak ada tandingannya.”
Mendengar itu, Pheng Lian Houw semua mencelat mundur. Memang mereka telah mengetahui ayahnya Oey Yong adalah orang yang luar biasa, dari itu mereka menjadi jeri sendirinya. Semua berdiam terus.
Semenjak putrinya minggat, Oey Yok Su telah menduga tentulah Kwee Ceng yang disusul. Mulanya ia gusar sekali, ia tidak memperdulikannya, akan tetapi lewat beberapa hari, hatinya menjadi berkhawatir juga. Ia khawatir putrinya itu nanti bertemu sama Kwee Ceng di perahu hiasnya itu. Kalau benar, Oey Yong pasti terancam bahaya besar. Maka diakhirnya ia melayarkan perahu, ia menuju ke tengah laut untuk mencari. Bagaimana sulit untuk mencari perahu hiasnya itu. Suadah beberapa hari ia berada di tengah laut, belum juga ia menemukannya. Maka itu hari ia meniup serulingnya dengan mengharap-harap putrinya nanti mendengarnya. Di luar dugaannya, Auwyang Hong yang menyambutinya dan keduanya jadi bertemu pula.
Oey Yok Su tidak mengenal Pheng Lian Houw sekalian, mendengar orang di depannya itu satu pangeran bangsa Kim, ia semakin tidak menggubrisnya. Melirik lebih jauh pun ia tidak sudi lagi. Hanya, dengan mengangkat tangan terhadap See Tok, untuk memberi hormatnya, ia berkata: “Aku hendak lekas-lekas menyusul anakku, maaf tidak dapat aku menemani lebih lama pula!”
Lalu ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi.
Leng Tie Siangjin baru saja dipermainkan Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong, ia merasakan perutnya panas sekali, dadanya mau meledak, sekarang ia menghadapi pula seorang yang sangat jumawa, bahkan Auwyang Hong memperkenalkan si pangeran secara demkian merendah kepada orang itu, ia jadi berpikir: “Mustahilkah di kolong langit ini ada demikian banyak orang kosen? Mungkinkah orang-orang ini cuma mengerti ilmu gaib atau ilmu sesat, cuma untuk menggertak orang saja?! Baiklah aku coba-coba padanya, untuk mengakalinya….” Maka lantaslah ia berkata kepada Oey Yok Su: “Apakah yang kau cari itu satu bocah perempuan umur lima - atau enambelas tahun?”
Oey Yok Su menghentikan tindakannya, wajahnya nampak gembira.
“Benar!” sahutnya. “Adakah taysu dapat melihat dia?”
Leng Tie Siangjin menjawab, tetapi dengan suara dingin; “Melihat aku ada melihat, cuma aku melihat yang sudah mati, bukannya yang masih hidup.”
Mendengar itu, Oey Yok Su terkejut.
“Apakah taysu bilang?” tanyanya lekas, suaranya pun menggetar.
“Pada tiga hari yang lalu, aku pernah melihat mayatnya satu bocah perempuan ngambang di laut,” berkata pula si paderi dari Tibet itu. “Dia mengenakan baju putih dan rambutnya memakai gelang emas, romannya cukup cantik.”
Paderi ini melukiskan pakaian dan romannya Oey Yong.
Hebat Oey Yok Su merasakan gempuran pada hatinya, tubuhnya sampai terhuyung, mukanya menjadi pucat pias.
“Benarkah itu, taysu?” tanyanya pula selang sesaat.
Semua orang mendengar pembicaraannya kedua orang itu, mereka tahu Leng Tie Siangjin tengah mendustakan orang, maka itu dengan sendirinya hati mereka kebat-kebit. Mereka melihat tegas kedukaannya Oey Yok Su tetapi terus mereka membungkam.
Masih Leng Tie Siangjin menambahkan keterangannya pula. Katanya, “Di samping mayat bocah perempuan itu ada mengambang tiga mayat lainnya, yang satu mayat anak muda, yang lain lagi satu pengemis tua, yang lainnya lagi satu tua bangka yang rambut dan kumisnya sudah ubanan.” Ia menyebutnya Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong.
Sampai di situ, Oey Yok Su tak bersangsi lagi. Maka ia lirik Auwyang ong.
“Kau kenal anakku, mengapa kau tidak hendak memberitahukannya siang-siang?” pikirnya.
Auwyang Hong dapat melihat sinar matanya Oey Yok Su, ia pun mengetahui baik kedukaan orang, maka itu ia berkhawatir untuk banyak orang itu. Kalau Tong Shia turun tangan, ia boleh tak usah mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi yang lainnya, mana mereka sanggup malawan? Maka hebat permainannya Leng Tie Siangjin ini. Tetapi sebagai seorang licin, ia lantas mendapatkan daya untuk meredakan suasana. Maka lekas-lekas ia berkata: “Saudara Yok, aku baru saja naik ini perahu, sedang dengan semua tuan-tuan ini, inilah pertemuan kita yang pertama kali. Mayat yang dilihat taysu itu belum tentu ada mayat putrimu…” Ia menghela napas, ia menambahkan: “Putrimu itu cantik sekali, kalau benar dia berumur pendek, sungguh sayang…”
Auwyang Hong hendak membersihkan diri dari kedua belah pihak, tetapi di kupingnya Oey Yok Su, perkataannya itu terdengarnya lain. Tapi Tong Shia ini bertabiat paling gemar menggumbar hawa amarahnya terhadap lain orang, kalau tidak, ketika dulu hari Hek Hong Siang Sat mencuri kitabnya, tidak nanti dia gusari Liok Seng Hong dan lainnya yang tidak bersalah dosa, yang dia bikin bercacad kemudian diusirnya. Demikian kali ini, ia merasakan tubuhnya menjadi panas dingin mendengar hal kematian putrinya yang ia sangat sayangi itu. Ia berduka hebat sama seperti ketika ia kematian istrinya yang ia sangat cintai. Kedua tangannya bergemetaran keras, mukanya pucat dan merah bergantian.
Semua orang, dengan mulut membungkam, mengawasi saja. Maka itu, sesaat itu, perahu besar itu menjadi sangat sunyi senyap. Cuma suara angin dan gelombang saja yang terdengar.
Tiba-tiba Oey Yok Su mengasih dengar suara tertawanya yang panjang, bagaikan menggeramnya naga seperti tak putusnya.
Suara itu mengejutkan semua orang.
Oey Yok Su tertawa hingga berlenggak, tertawanya itu makin lama makin nyaring. Pada nada suara itu bagaikan ada sifatnya yang dingin, hingga orang menjadi semakin heran. Lalu dilain saat, tertawa itu berubah menjadi tangisan, tangisannya menggerung-gerung, sedihnya bukan kepalang.
Di antara banyak orang itu, cuma Auwyang Hong yang kenal lagak-lagunya Tong Shia, yang suka bernyanyi dan menangis tak ketentuan, dari itu ia menjadi tidak terlalu heran. Hanya, ketika ia mendengar tangisan jadi demikian sedih, ia berpikir juga: “Secara begini, Oey Lao Shia menangis, dia pasti akan terluka tubuhnya. Di jaman dulu Gwan Sek kematian ibunya, ia menangis hingga memuntahkan darah segantang lebih. Kemungkinan ini bisa terjadi dengan si Sesat dari Timur ini. Sayang tiat-cengku tenggelam bersama perahu yang karam, kalau tidak, bolehlah aku menabuhnya untuk meramaikan tangisannya ini.”
Lebih jauh Auwyang Hong berpikir; “Oey Lao Shia bertabiat luar biasa sekali, sekali dia gusar, dia sukar diurusnya. Kalau dia sampai menghadapi sesuatu maka lain kali, dalam pertemua kedua di Hoa San, aku jadi kekurangan seorang lawan yang tangguh. Ah sayang, sayang…”
Habis menangis, Oey Yok Su mengangkat serulingnya, dengan itu ia mengetok pinggiran perahu, setelah mana ia bernyanyi: “Dengan firmannya Tuhan, mengapakah dibikinya dia umurnya demikian pendeka? Atau orang ubanan sampai akhir usianya, atau orang bercelaka karena melahirkan anak? Kenapa belum lagi keduakaan lama lenyap atau sekarang datang bersusun yang baru? Kenapa baru pagi lantas datang sang sore, atau fajar berembun lantas melenyap pula? Yang lenyap itu tak terkejar, atau sekarang mendadak orang hilang akal budinya? Langit demikian tinggi tak ujung pangkalnya, kepada siapa aku mesti mengadukan penasaranku ini…?”
Hanya terdengar suara “Tok!” maka serulingnya Tong Shia terpatah dua. Lalu tanpa berpaling lagi, Oey Yok Su bertindak ke kepala perahu.
Leng Tie Siangjin bertindak maju, dengan kedua tangannya ia menghalang.
“Kau menangis dan tertawa,” katanya dengan dingin, “Kenapa kau mengacau secara edan begini?!”
Wanyen Lieh terperanjat.
“Siangjin hangan….” katanya atau ia tidak dapat meneruskannya.
Belum sempat pangeran ini mengucap habis cegahannya itu, tangannya Oey Yk Su sudah berkelebat ke belakang lehernya si paderi dari Tibet itu, hanya dengan satu kali gerakan tangan, tubuh orang yang besar itu telah terangakat lalu terputar hingga Leng Tie Siangjin menjadi berkepala di bawah, berkaki di atas dan tempo tubuhnya dilemparkan, tidak ampun lagi kepalanya yang besar melesak masuk ke lantai perahu sampai di pundak!
Habis itu Oey Yok Su bernyanyi: “Langit kekal, bumi abadi, berapakah lamanya manusia hidup? Yang sudah, yang mendatang, semuanya tak terasa, semua itu ada batas temponya…” Lalu tubuhnya berkelebat, maka tibalah ia kembali di perahunya sendiri, perahu itu lantas berlayar pergi……..
Semua orang tercengang, hanya bentaran, lantas mereka bergerak hendak menolongi Leng Tie Siangjin yang entah hidup entah mati, akan tetapi belum lagi mereka keburu bertindak, mendadak, mereka mendengar suara berisik dari bergeraknya lantai perahu, lalu muncullah satu anak muda yang bibirnya merah dan giginya putih, yang romannya tampan. Dan dialah Yo Kang, putranya Wanyen Lieh.
Semenjak dia bentrok sama Bok Liam Cu, Yo Kang cuma ingat saja kata-katanya Wanyen Lieh, yang ayah, bahwa kebahagiannya tak ada batasnya. Di Hoay Utara ia lantas berhubungan sama pembesar-pembesar Kim, maka kemudina ia dapat mencari ayahnya itu, hingga bersama-sama mereka berangkat ke Selatan. Ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, ia lantas menyembunyikan diri, tak berani ia keluar. Dari dalam perahu ia hanya mengintai saja, maka segala kejadian ke atas perahu, semuanya ia dapat melihatnya dengan tegas dan nyata. Sampai telah berlalunya Oey Yok Su, baru ia merasa dirinya aman, dari itu ia lantas munculkan diri.
Hebat Leng Tie Siangjin merasakan hajaran itu, tetapi dasar ia tangguh, dia tidak terluka, cuma kepalanya pusing. Begitu ia lekas dapat menetapkan hati, dengan kedua tangannya ia menekan lantai perahu, maka dilain saat tubuhnya sudah mencelat bangun, di lantai itu tertampaklah suatu liang besar dan bundar.
Orang heran dan kagum, diakhirnya mereka merasa lucu, tetapi tak seorang juga yang berani mengasih dengar suara tertawanya. Karena menahankan hati, mereka menjadi pada menyeringai.
“Anak, mari menemui Auwyang Sianseng!” Wanyen Lieh kata kepada putranya. Dengan begitu ia pun memecahkan ketegangan.
Yo Kang sendiri sudah lantas menjura kepada Auwyang Hong, ia berlutut dan mengangguk empat kali. Itulah satu kehormatan besar, sedang ia adalah seorang pangeran, maka orang semua menjadi heran.
Selama di dalam istana, Yo Kang sudah sangat mengaggumi Leng Tie Siangjin, tetapi sekarang ia telah menyaksikan lihaynya Auwyang Hong, Ciu Pek Thong dan Oey Yok Su, kekagumannya pindah kepada ketiga orang itu. Bukankah Leng Tie Siangjin telah dapat dicekuk dan dilempar pergi datang bagaikan dia ada satu bocah cilik? Bukankah itu menandakan suatu kepandaian yang luar biasa? Bukankah ini serupa dengan artinya kata-kata: “Di luar langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang lainnya?” Dia sudah lantas ingat peristiwa di Kwie-in-chung di Thay Ouw waktu ia kena dibekuk, selama ketakutannya di rumah abu keluarga Lauw ketika ia menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong. Semua itu disebabkan ilmu silatnya yang tiadk berarti. Sekarang di depannya ada seorang yang berilmu tinggi, jikalau ia tidak mengangkatnya orang menjadi gurunya, pasti sudah ia membikin hilang satu ketika paling baik. Maka itu, dengan kecerdikannya itu ia telah menjalankan itu kehormatan besar. Kemudian ia menoleh kepada Wanyen Lieh sambil berkata: “Ayah, anak ingin mengangkat sianseng ini menjadi guruku.”
Wanyen Lieh senang dengan kelakukan anaknya itu, maka ia pun menjura kepada See Tok seraya berkata: “Putraku ini gemar ilmu silat, hanya ia belum bertemu guru yang pandai, jikalau Sianseng tidak mensia-siakannya dan sudi memberika dia pelajaran, Siauw-ong ayah dan anak sangat berterima kasih untuk budimu yang sangat besar.”
Di matanya lain orang, hebat untuk menjadi guru dari seorang pangeran, untuk memintanya pun sulit, tetapi Auwyang Hong berpikir lain. Ia membalas hormat seraya berkata: “Di dalam partaiku ada suatu aturan yang dihormati, yaitu ilmu silat kami hanya diwariskan kepada satu turunan, tidak kepada lain orang. Sekarang ini kebisaanku telah diturunkan kepada keponakanku, karenanya aku tidak dapat menerima lain murid lagi. Mengenai ini aku mohon ongya sudi memaafkannya.”
Mendengar ini Wanyen Lieh menyesal, tetapi ia tidak memaksa, maka itu ia lantas memerintah orangnya segera menyediakan barang santapan guna menjamu ini orang berilmu.
Yo Kang pun berputus asa.
Kemudian Auwyang Hong berkata sambil tertawa: “Pangeran muda hendak mengambil aku sebagai guru, inilah tidak berani aku menerimanya, tetapi untuk memberikan dia beberapa petunjuk, itulah tidak sukar. Hal ini baiklah diurus perlahan-lahan belakangan.”
Biarnya ia putus asa, mendengar janji Auwyang Hong itu, lega juga hatinya Yo Kang. Ia ketahui baik kegagahannya Auwyang Kongcu, bahkan orang banyak gundiknya, kalau ia mendapat petunjuk dari See Tok, mesti ia mendapat kemajuan pesat, mungkin ia tidak selihay Auwyang Kongcu, toh sedikitnya ia bisa menjagoi juga.
Sembari berjamu, pembicaraan berpokok kepada kemujawaan Oey Yok Su. Orang anggap pantaslah ia dipermainkan Leng Tie Siangjin.
“Suheng, dia menangis dan tertawa, dia pun bernyanyi, kenapa?” Hauw Thong Hay menanya kakak seperguruannya.
See Thong Thian tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka ia menyahuti secara sembarangan saja: “Siapa kesudian memperdulikan segala perbuatannya yang edan itu?”
“Yang ia nyanyikan itu ialah syair karangannya Co Cu Kian di jaman Sam Kok,” Yo Kang memberitahu. “Co Cu Kian itu kematian anak perempuannya, dia membuat dua ruas syairnya itu. Dengan itu dia mengatakan, ada orang hidup sampai tua sekali, ada yang berumur sangat pendek, mati muda-muda, maka ia bertanya mengapa Thian demikian tidak adil. Maka ia menyesal, langit tinggi tidak ada tangganya, hingga tak dapat ia naik untuk mengajukan pengaduannya. Akhirnya ia membilang bahwa dia sangat berduka, bahwa tak lama lagi waktunya dia menyusul putrinya itu.”
“Siauw ongya benar-benar terpelajar!” orang banyak memuji si pangeran. “Kita orang-orang kasar, mana kita ketahui itu?”
Wanyen Lieh girang mendengar kepintaran putranya itu.
“Suara serulingnya itu membuat hatiku tidak tentram, apakah sebabnya itu?” ia tanya.
“Itulah disebabkan semacam tenaga dalam yang mahir sekali,” menyahut Nio Cu Ong. “Auwyang Sianseng telah perdengarkan suaranya di kepala perahu, itulah jawaban timpalan untuknya, yang satu memanggil, yang lain bertahan. Benarkah begitu, Auwyang Sianseng?”
Auwyang Hong tersenyum, dan mengangguk..
Lagi sekali orang memberi pujian, sekarang kepada See Tok.
Yo Kang sendiri sementara itu telah berpikir: “Jikalau dihitung-hitung, Oey Yok Su adalah kakek guruku, hanya disebabkan Bwee Suhu telah bersalah terhadapnya, dan ada urusan anaknya yang mencurigai aku, jikalau lain hari aku bertemu pula dengannya, itulah berbahaya untukku. Selama di Kwie-in-chung, aku menduga dia tidak ada lawannya, siapa nyana sekarang ada Auwyang Sianseng ini yang seimbang dengannya. Ah, sayang Auwyang Sianseng tidak dapat menerima murid……..”
Selagi pangeran ini bepikir dan yang lainnya berpesta, Oey Yok Se berlayar sendiri dengan tidak karuan rasa. Ia berduka dan mendongkol. Ia penasaran sekali, ada kalanya ia mengutuk langit dan bumi, dilain saat ia mencaci segala hantu atau iblis. Ia mengatakan Thian tidak adil. Kemudian ia perintahkan anak buahnya mengarahkan perahunya ke pinggiran di mana ia mendarat. Lebih dulu daripada itu, dalam kalapnya, ia telah bunuh anak-anak buahnya itu. Sambil berdongak, ia berteriak-teriak: “Siapakah yang membinasakan anakku Yong-jie? Siapakah membinasakan anakku Yong-jie? Ah, itu bocah she Kwe, tidak salah, mestilah dia! Jikalau tidak karena dia, cara bagaimana Yong-jie pergi ke perahunya itu? Hanya sayang bocah itu menemani Yong-jie terbinasa. Sekarang kepada siapa aku mesti melampiaskan hatiku?!”
Berpikir sampai di situ Tong Shia mendadak ingat keenam gurunya Kwee Ceng.
“Kanglam Liok Koay adalah biang dari kebinasaannya anakku Yong-jie,” ia memikir. “Jikalau mereka tidak mengajari silat kepada bocah she Kwee itu, mana dia dapat berkenalan dengan Yong-jie? Jikalau aku tidak kutungkan tangan dan kaki dari setiap mereka itu, tidak dapat penasaranku ini dilampiaskan!”
Ia lantas pergi ke kota untuk bersantap sembari dia pikirkan jalannya untuk mencari Kanglam Liok Koay.
“Ilmu mereka tidak tinggi tetapi nama mereka besar,” katanya di dalam hatinya. “Mungkin mereka ada punya apa-apa yang melebihkan kebanyakan orang…. Mungkin mereka banyak akal muslihatnya! Jikalau aku datangi mereka secara berterang pasti tidak dapat aku mencarinya, maka itu baiklah aku tunggu sampai malam gelap petang, aku menyerbu ke rumahnya, aku bunuh mereka berikut semua anggota keluarganya, tua dan muda!”
Panas hatinya Tong Shia, maka sehabisnya bersantap, dengan tindakan lebar ia menuju ke Utara, ke Kee-hin.
*
* *
Ang Cit Kong bersama Ciu Pek Thong, Kwee Ceng dan Oey Yong berempat, dengan perahu kecilnya, berlayar ke daratan. Kwee Ceng duduk di belakang memegang kemudi. Oey Yong bicara tak habisnya menanyakan Ciu Pek Thong perihal pesiarnya di laut dengan ikan hiu. Agaknya ia sangat mengaguminya. Pek Thong pun gembira, hingga disaat itu ia ingin menangkap pula ikan hiu untuk pesiar bersama si nona.
Kwee Ceng sementara itu mengawasi gurunya, air muka siapa beda daripada biasanya.
“Suhu, bagaimana kau merasa sekarang?” ia bertanya.
Cit Kong tidak menjawab, hanya napasnya memburu dan keras suaranya. Dia telah tertotok dengan ilmu totok Touw-kut Ta-hiat-hoat dari Auwyang Hong, walaupun dia sudah ditotok bebas, dia telah terluka dalam.
Ciu Pek Thong sedang gembiranya, ia tidak memperhatikan orang lagi menghadapi bahaya maut, Oey Yong tapinya mengetahui keadaan gurunya itu, berulangkali ia mengedipi mata dan memberi tanda dengan tangannya agar si orang tua berandalan itu tak menerbitkan suara ribut yang mengganggu Pak Kay tapi si orang tua itu tetap saja ngoceh.
Oey Yong mengerutkan alis.
“Kau hendak menangkap ikan hiu, tapi kau tidak punya umpannya, buat apa kau omong saja?” kata si nona akhirnya.
Loo Boan Tong tua tetapi seperti tak menghargai dirinya, ditegur orang muda, ia tidak mengambil peduli.
“Ada akalnya!” katanya selang sesaat, “Saudara Kwee, mari! Aku nanti tarik tanganmu, kau rendam separuh tubuhmu di dalam air!”
Kwee Ceng sangat menghormati kakak angkat itu, walaupun ia tidak ketahui maksud orang, hendak ia menurut. Tidak demikian dengan Oey Yong.
“Engko Ceng, jangan ladeni dia!” si nona mencegah. “Dia hendak pakai tubuhmu seperti umpan guna memancing ikan hiu!”
Nona ini dapat menerka maksud orang.
“Benar!” Pek Thong bersorak. “Begitu lekas ikan hiu itu datang, aku nanti sambar dia dan mengangkatnya ke atas. Kau boleh percaya, tidak nanti dia dapat melukakan kau!”
“Tapi perahu kita ini kecil, heranlah kalau perahu tak karam!” berkata Oey Yong.
“Karam itu terlebih baik lagi!” berkata Loo Boan Tong. “Kita boleh sekalian turun ke laut untuk pelesiran!”
“Habis bagaimana dengan guru kami?” menanya si nona. “Apakah kau tidak menghendaki dia hidup terus?”
Pek Thong menggaruk-garuk kepalanya, tak dapat ia menjawab. Hanya kemudian ia persalahkan Auwyang Hong yang melukai Pak Kay.
“Jikalau tetapi kau masih ngoceh tidak karuan, kita bertiga nanti tidak sudi bicara pula denganmu!” mengancam Oey Yong, yang agaknya habis sabar.
Pek Thong mengulur lidahnya, ia tidak berani mementang bacot pula. Ia lantas menyambuti pengayuh dari tangannya Kwee Ceng untuk mengayuh perahu itu.
Daratan tak jauh nampaknya, tetapi untuk tiba di tepian, mereka mesti memakan tempo sampai langit mulai gelap. Karena itu, terpaksa mereka bermalam di pesisir.
Besoknya pagi ternyata penyakitnya Ang Cit Kong jadi bertambah berat. Kwee Ceng berduka dan berkhawatir sangat hingga ia menangis.
Pak Kay sebaliknya tertawa.
“Walaupun aku hidup lagi seratus tahun, di akhirnya toh aku mesti mati,” katanya. “Anak yang baik, aku hanya mempunyai satu keinginan, maka kmu pergilah untuk mendapatkannya!”
Pek Thong memegat: “Si makhluk berbisa bangkotan itu, melihat cecongornya tidaklah senang aku, maka itu, kalau kau mati, kau matilah, kau legakan hatimu, nanti aku balaskan sakit hatimu, akan aku bunuh mampus padanya!”
Ang Cit Kong tertawa pula.
“Membalas sakit hati?” tanyanya. “Itulah bukannya keinginanku! Sebenarnya aku menghendaki dahar masakan Wanyoh Ngo-tin-kwee dari istana kaisar.”
Tadinya tiga kawan itu menyangka kehendak terakhir itu ada urusan yang sangat besar, tidak tahunya urusan gegares, maka legalah hati mereka.
“Itu gampang suhu,” Oey Yong lantas berkata, “Dari sini tak terpisah jauh dengan kota Lim-an, nanti aku pergi ke istana kaisar untuk mencuri beberapa mangkok masakan itu untuk kau dahar sepuasnya.”
“Aku juga ingin dahar!” Pek Thong menyelak.
Oey Yong mendelik pada “Bocah” bangkotan itu.
“Tahu apa kau tentang makanan lezat atau tidak?!” tegurnya.
“Wanyoh Ngo-tin-kwee itu, sekalipun di dalam istana tak gampang-gampang dibikinnya,” Ang Cit Kong mengasih tahu. “Ketika dulu ahti aku bersembunyi selama tiga bulan di dapur istana, cuma satu kali pernah aku merasainya. Lezatnya masakan itu, kapan aku ingat, membikin aku hendak mengeluarkan ilar…”
“Kalau begitu, aku ada punya satu pikiran,” Pek Thong turut bicara. “Kita pergi mencuri koki raja, kita suruh dia masak untuk kita.”
“Pikirannya Loo Boan Tong ini tak buruk,” Oey Yong bilang.
Bukan main girangnya Pek Thong dipuji si nona.
Sebaliknya Ang Cit Kong menggeleng kepala.
“Tak dapat itu dilakukan,” katanya Pengemis dari Utara. “Barang hidangan itu, segala apanya mesti istimewa, sampai baranya, mangkoknya juga, kalau tidak, rasanya tidak lezat, salah sedikit pun tidak boleh. Paling benar kita pergi sendiri ke istana untuk memakannya.”
Tiga orang itu tak takut pergi ke istana.
“Itu memang paling bagus!” kata mereka bareng. “Nah, mari kita berangkat sekarang!”
Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, buat dibawa ke dalam desa yang berdekatan. Di situ mereka minta nasi dan arak, untuk mereka menangsal perut. Mereka hendak membayar uang makanan itu ketika mereka mendapat kenyataan kantung mereka kosong.
Orang yang mempunyai rumah itu ada satu nyonya, dia baik budi, bukan saja ia tidak menghendaki uang makan, bahkan ia mengantarkannya ke kota.
Cit Kong berempat menghanturkan terima kasih, lantas mereka pamitan. Ketika melewati sebuah rumah gadai, mendadak Pek Thong gusar dan berseru: “Ini dia usaha membunuh orang tanpa melihat darah!” Lantas ia hendak menyerbu untuk merampas uang dari pengadaian itu.
“Buat apa terburu nafsu?” Oey Yong mencegah. Ia loloskan gelang rambutnya, ia masuk ke dalam rumah gadai itu, untuk menggadaikan itu buat empatbelas tail perak, kemudian mereka mencari hotel dimana mereka beristirahat. Sehabis bersantap, Kwee Ceng bertiga tidak melihat Oey Yong ada bersama.
Berkata Pek Thong kepada adik angkatnya: “Itu istrimu yang lihay, kalau aku Loo Boan Tong melihat padanya, aku takut sekali!”
Kwee Ceng tersenyum.
Tidak lama terlihat Oey Yong muncul dari luar dengan wajahnya berseri-seri.
“Kenapa kau takut padaku?” tanyanya pada si tua berandalan.
Pek Thong mengawasi, ia melihat rambut orang ada gelang emasnya.
“Eh, kenapa kau lantas menebusnya kembali?” ia tanya heran. “Kalau begitu, kita mesti mencari daya untuk membayar uang sewaan kamar dan makanan kita ini…”
Oey Yong tidak segera menjawab, hanya dari sakunya ia tarik keluar empat kantung uang.
“Untuk apa mesti ditebus?” katanya tertawa. “Rumah gadai itu akulah yang usahakan, maka berapa banyak aku menghendaki, berapa banyak aku boleh ambil!”
Pek Thong kagum bukan main orang dapat pergi dan pulang dengan cepat untuk mengambil balik gelangnya berikut uang, maka ia memberikan pujiannya. Katanya: “Ini nona kecil benar-benar dapat mewariskan kepandaian keluarganya, dia pandai sekali!”
“Jikalau aku dibandingkan sama Biauw Ciu Sie-seng yang menjadi guru nomor dua dari engko Ceng, kepandaianku ini sungguh tidak berharga setengah peser juga!” kata si nona tertawa.
“Oh, ada orang yang demikian lihay?” kata Pek Thong. “Aku ingin bertemu dengannya!”
Sementara itu terlihat sakitnya Ang Cit Kong bertambah berat sedang di kota itu tidak ada tabib terkenal, maka Kwee Ceng bertiga menyewa sebuah kereta keledai untuk Pak Kay, dengan itu mereka berangkat menuju ke utara, ke kota Lim-an. Pada suatu hari tibalah mereka di sungai Cian Tong, darimana mereka pergi ke luar kota Lim-an. Mereka tidak keburu masuk ke dalam kota karena cuaca mulai gelap, burung-burung gowak tengah terbang pulang. Karena itu mereka memikir mencari rumah penduduk, buat menumpang bermalam. Mereka melihat sedikit jauh dari situ ada aliran air yang mengitari tujuh atau delapan rumah.
“Kampung itu bagus, mari kita singgah di sana?” Oey Yong mengajak.
“Bagus apa?” tanya Pek Thong, matanya mencilak.
“Kau lihat, bukankah pemandangannya indah bagaikan gambar?” si nona bilang.
“Kalau indah bagaikan gambar, habis bagaimana?” tanya Loo Boan Tong.
Si nona heran, hingga ia melengak.
“Jikalau kau bilang jelek, kita jangan singgah di sini,” katanya kemudian. “Tapi kita tidak dapat pergi ke lain tempat…”
“Kalau kamu tidak pergi perlu apa aku pergi sendiri?” berkata si orang tua yang lagi kumat berandalannya.
Sementara itu mereka sudah tiba di kampung itu. Nyata itulah sebuah kampung rudin, sebab di sana sini telihat tembok-tembok runtuh. Di muka kampung sebelah timur terlihat sebuah warung arak, maka mereka menuju ke sana. Di bawah payon ada dua buah meja papan, mejanya tebal debunya.
“Hallo!” Pek Thong lantas memanggil.
Dari dalam lantas muncul satu nona umur tujuh - atau delapanbelas tahun, rambutnya awut-awutan tetapi rambut itu ditancap sebatang tusuk konde. Dia mementang matanya lebar-lebar mengawasi ketiga orang itu.
“Kasihkan aku nasi dan arak,” Oey Yong minta.
Si nona menggeleng kepalanya.
“Kau tidak punya arak dan nasi, habis untuk apa kau membuka rumah makan?” menegur Pek Thong.
“Aku tidak tahu,” sahut si nona, yang kembali menggoyang kepalanya.
“Ah, kau benar-benar nona tolol!” kata Pek Thong.
Si nona tertawa.
“Memang aku si Sa Kouw!” sahut nona itu.
“Sa Kouw” berarti “nona tolol”!
Mendengar jawaban itu Oey Yong bertiga girang. Oey Yong terus masuk ke dalam terus ke dapur untuk melihat-lihat. Ia mendapatkan banyak galagasi. Nasi tinggal nasi dingin. Di atas pembaringan, tikarnya pun tikar butut. Itulah tanda kemelaratan, maka ia terharu.
“Apakah kau bersendirian saja di sini?” ia menanya si nona rumah.
Sa Kouw mengangguk sambil tersenyum.
“Ibumu?” Oey Yong tanya pula.
“Sudah mati,” sahut si nona. Ia mengusap matanya, seperti mau menangis.
“Ayahmu?”
Nona itu menggeleng kepala tanda tak tahu.
Oey Yong melihat tangan dan muka orang kotor, seperti sudah beberapa bulan tidak pernah ketemu air, maka di dalam hatinya ia berkata: “Taruh kata dia masak nasi, tentulah aku tak dapat emndaharnya….” Tapi ia toh menanya: “Ada beras?”
Nona itu mengangguk, kembali ia tersenyum. Ia pergi mengeluarkan paso besar, yang isinya separuh.
Oey Yong lantas turun tangan sendiri, mencuci beras dan memasaknya.
Kwee Ceng lantas pergi ke kampung sebelah barat dimana ia membeli dua ekor ikan serta seekor ayam, terus bersama Oey Yong ia kerjakan itu. Tempo nasi dan barang makanan itu matang dan disajikan, sang malam tiba.
Oey Yong minta minyak, untuk memasang lampu, tapi Sa Kouw menggeleng kepala.
Terpaksa nona Oey mencari sebatang cemara, ia sulut itu. Ia pergi ke dapur, akan mencari mangkok dan sumpit. Ketika ia membuka lemari, ia dapat cium bau busuk. Ia menyuluhi, maka terlihatlah tujuh atau delapan mangkok hijau yang sudah sombeng di sana sini. Di sininya ada belasan bangkai cecurut….
Kwee Ceng membantui mengambil mangkok.
“Pergi kau cuci bersih sekalian ambil beberapa batang cabang pohon untuk dipakai sebagai sumpit,” berkata Oey Yong.
Si anak muda menurut, ia berlalu dengan mangkok kotornya itu.
Oey Yong menjumput mangkok yang terakhir ketika ia merasakan mangkok itu dingin seperti es, beda dari mangkok biasa. Ia mengangkatnya, tapi mangkok itu diam di tempatnya seperti terpaku. Ia menjadi terlebih heran. Ia tidak berani memaksa mengambil, khawatir mangkok itu pecah. Ia hanya mencoba lagi tetapi kembali gagal.
“Mustahilkah karena dibiarkan lama di sini, mangkok ini penuh debu dan jadi nempel lengket karenanya?” ia berpikir. Maka itu ia mengawasi terus, sampai ia lihat mangkok itu karatan, sebab mangkok itu ternyata terbuat dari besi.
Sendirinya nona itu tertawa geli.
“Mangkok emas, mangkok perak, mangkok kumala, semuanya aku pernah lihat,” katanya di dalam hati. “Tetapi belum pernah aku dengar ada mangkok besi.”
Ia mencoba menarik dengan menggunai sedikit tenaga, tetap mangkok itu tak bergeming. Ia heran bukan main. Mestinya mangkok itu dapat terangkat berikut papannya. Maka ia mau menduga papannya itu pun besi. Ia lantas menyentil. Ia mendengar suara nyaring. Benarlah dugaannya.
Oey Yong pegang mangkok itu, ia memutar ke kiri. Mangkok diam saja. Ia mencoba memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembok memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembol dapur itu terbelah dua, memperlihatkan suatu lobang yang gelap. Dari situ lantas menghembus bau busuk, sampai si nona mau muntah, lekas-lekas ia lompat ke samping.
Kwee Ceng bersama Ciu Pek Thong mendengar suara si nona, mereka lantas datang melihat.
“Jangan-jangan inilah rumah makan gelap,” berkata Oey Yong, yang menjadi curiga. “Mungkin Sa Kouw berpura-pura tolol.” Tiba-tiba ia berlompat ke samping nona tolol itu, yang berada di ruang dapur itu, kedua tangannya diulur untuk menangkap lengan orang.
Ruang itu gelap tetapi Sa Kouw mendengar suara angin, ia menarik tangannya dengan jurus “Melepas jubah menyerahkan kedudukan,” setelah bebas, ia membalas menyerang, ke arah pundak orang.
Oey Yong menduga orang mungkin tidak bermaksud jahat hanya ia tidak menyangka nona itu demikian gesit dan serangannya pun ganas, ia menjadi kaget. Dengan tangan kiri ia menangkis, terus membangkol dengan tangan kanan ia menyerang dua kali beruntun. Setelah menyakinkan Ie-kin Toan-kut-pian, ia menjadi sebat sekali dan tenaganya bertambah, maka itu Sa Kouw lantas saja menjerit kesakitan karena lengannya kena terpukul, meski begitu, ia melawan terus.
Sungguh Oey Yong tidak menyangka, di dusun sepi itu ada rumah makan gelap, bahkan pelayan seorang nona jorok itu, bahkan dia cukup gagah karena dia dapat bertahan sampai tujuh atau delapan jurus.
Kwee Ceng dan Pek Thong turut menjadi heran.
Kemudian Pek Thong dengar suara anginnya Oey Yong berubah hebat, lanats ia berteriak: “Eh, nona Oey, jangan kau ambil jiwanya!”
Selagi begitu, Kwee Ceng berjaga-jaga di sisinya Ang Cit Kong, ia khawatir ada penghuni jahat lainnya, yang bisa membokong gurunya itu.
Lagi beberapa jurus, Oey Yong menghajar lengan orang hingga lengan itu dikasih turun, tak dapat digeraki lagi. Kalau mau, ia dapat membinasakan, tetapi ia merasa kasihan.
“Berlutut!” ia menitah. “Akan aku beri ampun padamu!”
“Aku tidak sudi!” menjawab nona itu, yang mendadak menyerang pula dengan tangan kanannya, bahkan jurusnya ada jurus “Lok Eng Ciang-hoat” ajarannya Oey Yok Su.
Oey Yong kaget dan heran. Sambil menangkis, ia menanya: “Darimana kau pelajarkan ini jurus Lok Eng Ciang-hoat? Siapakah gurumu?”
Nona tolol itu tertawa.
“Aku tidak suka menjawab. Habis kau mau apa?” ia menantang.
Melihat suara orang tak lagi seperti orang tolol, Oey Yong mengulang serangannya, kedua tangannya bergerak saling susul dua kali, kemudian itu disusul sama serangan yang kelima, untuk menggertak, sebab berbareng dengan itu, kakinya bekerja.
“Bruk!” demikian Sa Kouw roboh terguling.
“Ah, kau memakai akal!” serunya. “Mari kita bertempur pula!” Ia terus merayap bangun.
Oey Yong tidak sudi memberi ketika, ia menubruk dan menindih, lalu ia merobek baju orang untuk dipakai mengikat tangannya dia itu.
“Bukankah Lok Eng Ciang-hoatku lebih baik daripada kepunyaanmu?” ia bilang.
“Kau menggunai akal, aku tidak terima!” nona itu membelar. Dan ia mengulanginya perkataannya itu.
Melihat si tolol sudah kena dibikin tidak berdaya, Kwee Ceng lari keluar, untuk terus melompat naik ke atas wuwungan, untuk mengawasi sekelilingnya. Ia tidak melihat apa juga. Tapi ia turun ke bawah, ia jalan mengitari rumah makan itu. Rumah itu mencil sendirian dan pintunya pun cuma satu. Dengan merasa lega, ia masuk pula ke dalam.
Oey Yong tengah mengancam Sa Kouw dengan pisaunya diarahkan ke mata orang.
“Siapa yang mengajari kau ilmu silat?” demikian tanyanya. “Lekas bilang! Kalau kau tidak suka bicara, aku nanti tikam mampus padamu!”
Sa Kouw tidak menjadi takut, bahkan ia tertawa haha-hihi. Dia seperti tidak kenal bahaya, dia rupanya menyangka nona tetamunya tengah main-main dengannya.
Oey Yong penasaran, ia ulangi pertanyaannya.
“Aku tidak mempunya guru,” sahut si tolol akhirnya. “Siapa yang membilang ada orang yang mengajar aku?”
“Budak ini tidak suka bicara, mari kita masuk ke dalam lobang ini untuk memeriksa,” berkata Oey Yong kemudian. “Ciu Toako, tolong kau lindungi guruku serta menjagai budak ini. Engko Ceng, mari kau bersama aku…”
“Tidak, tidak!” Pek Thong menggoyangi tangannya. “Aku pergi bersama kau!”
Si nona mengkerutkan keningnya.
“Tidak, aku tidak mau pergi bersama kau!” ia menolak.
Pek Thong lihay, usianya pun tinggi, entah kenapa, terhadap si nona tak berani ia membantah, bahkan sebaliknya, ia lantas memohon.
“Nona yang baik, lain kali aku tidak berani pula…” katanya.
Oey Yong lantas saja tertawa untuk kejenakan orang tua itu. Ia mengangguk. Pek Thong jadi sangat girang, lekas ia mencari dua cabang cemara, untuk disulut menyala, untuk dipakai ia menyuluhi ke dalam gua, yang ia asapkan sekian lama.
Oey Yong sendiri malah melemparkan sebatang cemara yang apinya menyala ke dalam lobang itu, setelah itu ia mendengar suara bentroknya batang itu dengan dinding. Maka teranglah tempat rahasia itu tidak dalam.
Dengan memimjam penerangan obor kayu cemara itu orang memandang ke dalam gua. Tidak ada bayangan orang di dalam situ, tidak ada suara apa-apa. Maka itu tanpa bersangsi lagi, Ciu Pek Thong lantas lantas bertindak masuk. Dia disusul oleh Oey Yong.
Setelah memperhatikan seketika, nyata gua itu ada sebuah kamar kecil.
“Kita terjebak, kita terjebak!” Pek Thong berseru-seru. “Tak bagus!”
Oey Yong sebaliknya mengeluarkan suara kaget. Dia melihat ke bawah dan ia menampak tulang belulang seorang manusia, yang rebah celentang. Pakaiannya sudah rusak, hingga tak dapat dikenali, semasa hidupnya dia orang macam apa. Di pojok timur pun ada tulang-belulang serupa, terletak di atas sebuah peti besi. Sebatang golok tajam panjang satu kaki tengah menancap di punggung di atas tutup peti besi itu.
Pek Thong mendapatkan ruang kecil dan kotor dan seram dengan adanya tulang-belulang itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, tetapi karena Oey Yong masih memperhatikan segala apa, ia berlaku sabar untuk menemani, hanya kemudian, ia tak dapat menahan sabar pula.
“Nona yang baik,” katanya, “Hendak aku pergi keluar, bolehkah?”
“Baiklah,” menjawab si nona. “Pergi kau menggantikan engko Ceng, supaya ia datang ke mari.”
Pek Thong girang bukan main, ia keluar seperti burung terbang, akan dilain saat Kwee Ceng datang masuk.
Oey Yong mengangkat obor kayu cemaranya, untuk menyuluhi, supaya Kwee Ceng dapat melihat segala apa terutama itu tulang-belulang manusia, kemudian ia menanya bagaimana atau apa yang menyebabkan kematiannya dua orang itu.
“Dia ini tentu lagi hendak membuka besi itu, lantas ada orang yang hendak membokong dari belakang,” kata Kwee Ceng seraya menunjuk tulang-tulang di atas peti besi. “Yang di tanah itu, karena tulang-tulangnya pada patah, mestinya diserang dengan tangan kosong.”
“Aku juga menduga demikian, hanya duduknya hal-hal disini membuatnya aku tidak mengerti,” menyatakan si nona.
“Apa yang kau maksudkan?”
“Umpama Sa Kouw,” sahut si nona. “Dia mengerti ilmu silat Lok Eng Ciang-hoat, benar ia menyakininya belum sempurna tetapi itu ada pelajaran yang sejati. Darimana ia dapatkan itu? Dua orang ini mati disini, ada hubungan apakah di antara mereka dan Sa Kouw? Sebelum ketahui jelas semua ini, tak tentram hatiku…”
“Baiklah kita tanya pula nona itu,” Kwee Ceng mengusulkan. Ia tidak mau menyebutnya nona itu nona tolol, karena ia sendiri sering dikatakan tolol.
“Menurut penglihatanku, dia memang benar-benar tolol,” kata Oey Yong. “Dia tidak suka bicara, percuma kita menanya pula padanya. Mari kita memeriksa pula dengan seksama, barangkali saja kita mendapati sesuatu.”
Maka ia angkat obornya, menyuluhi pula dua perangkat tulang-belulang manusia itu. Ketika ia menyuluhi ke peti besi, di kaki itu ada suatu benda yang bergemerlap. Ia lanta jumput itu, ialah sebuah pay emas dan di tengahnya ditabur dengan sebutir batu permata sebesar jempot tangan. Ia membalik pay itu, maka ia menampak sebaris ukiran huruf-huruf, bunyinya: “Cio Gan Keng, panglima kota Tiongciu, gelar Bu Kong Tayhu”.
“Pay ini kepunyaannya ini setan mati, pangkatnya bukan kecil,” kata si nona.
“Seorang berpangkat tinggi terbinasa di sini, sungguh aneh,” Kwee Ceng mengutarakan keherannnya.
Oey Yong memeriksa pula tulang-tulang di tanah, ia tidak dapatkan apa, hanya tulang punggung itu rada munjul, maka ia mengoreknya dengan ujung cabang cemara, tempo debunya sudah berkisar, di bawah itu ada selembar besi. Ia kaget hingga ia berseru, cepat sekali ia sambar besi lempangan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar