Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 26



Bab 26. Memikiri Senantiasa

Menyusul itu terdengar pula beberapa suara rumput bergerak-gerak, lalu terlihatlah beberapa ekor ular lainnya. Dengan menggeraki tongkatnya, Ang Cit Kong singkirkan binatang berbisa itu, untuk setiap kemplangannya, tongkatnya mengenai tepat di kepala ular, yang terus mati.
Kalau tadinya ia kaget, sekarang Oey Yong kegirangan hingga ia berseru memuji.
Tengah ia tertawa, di belakangnya muncul dua ekor ular yang lain, yang menyambarsambil membuka bacotnya, untuk menggigit.
“Lari!” Ang Cit Kong berseru. Tapi sudah terlambat, si nona telah kena disambar dan digigit. Ular itu kecil tubuhnya tetapi hebat bisanya, cuma tergigit satu kali, celakalah orang, apapula sekarang menyambar sekali dua.
Ang Cit Kong pun kaget. Kupingnya segera mendengar suara lain, yang terlebih berisik, kapan ia mengawasi, ia tampak nyelosornya sekumpulan ular di tempat kira-kira sepuluh tombak dari mereka. Tidak ayal lagi, ia sambar pinggang Kwee Ceng, ia cekuk pundak Oey Yong, terus ia berlompat, lari keluar dari rimba itu. Dia lari terus kembali ke tempat penginapan. Setibanya di muka pondokan, pengemis itu awasi muka si nona, lantas hatinya menjadi lega. Nona itu tak kurang suatu apa, dia ada seperti biasa.
“Bagaimana kau merasakan?” ia menanya, hatinya girang.
Oey Yong tertawa. “Tidak apa-apa!” sahutnya wajar.
Tapi Kwee Ceng melihat ular tadi masih menyantel di badan kekasihnya, dia kaget, dia ulur tangannya, untuk menangkap ular itu, untuk disingkirkan. “Jangan!” Cit Kong berseru pula saking kagetnya.
Tapi tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya mengeluarkan darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya Ang Cit Kong tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendirinya. “Tidak salah lagi!” katanya. “Tentulah joan-wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!”
Memang ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu terbinasa.
Selagi Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari rimba. Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masuki itu ke dalam mulutnya untuk dikunyah. dari dalam rimba masih saja terlihat ular yang keluar, hitung ratus, hitung ribu.
Maka Kwee Ceng berseru; “Cit Kong, mari lekas pergi!”
Cit Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulutnya, dicampur sama obat tadi, sesudah mana ia menyembur ke arah ular-ular itu, ke kiri dan kanan, hingga mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak campur obat itu lantas rebah tak bergerak, ynag lainnya tak berani maju lebih jauh, tapi kerana yang dibelakang amsih banyak dan maju terus, mereka jadi kacau sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia menepuk-nepuk tangan.
Selagi si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu terlihat tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, lagi berseru-seru mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya dengan bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambingnya.
Mual rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.
Ang Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua jari kiri ia jepit leher ualr itu, dengan kelingking kanan ia menggurat perutnya ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.
“Lekas telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!” ia berkata kepada si nona.
Oey Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak dan segar sekali.
“Eh, engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?” dia menanya.
Kwee Ceng menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak mempan racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigit padanya, cuma Ang Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.
“Cit Kong, ular ini mesti ada yang piara,” berkata Oey Yong.
Pak Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih itu, yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya, malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampirkan.
“He, kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?!” yang satu menegur dengan bengisnya.
“Tepat!” berseru Oey Yong dengan jawabannya. “Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki jiwa kamu?!”
“Bagus!” berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasannya si nona, yang mulutnya lihay itu.
Tiga orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia pertengahan sudah lantas berlompat, menyodok si nona dengan pentungannya. Melihat sambaran anginnya, dia bukannya sembarangan kepandaiannya.
Cit Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu. Dengan begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.
Penyerang itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak dapat ia menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat si pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.
“Kau pergilah!” berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya digentak.
Maka terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah, ular tak berani gigit padanya.
Dua orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.
“Bagaimana, toako?” mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu berlompat bangun dengan gerakannya “Ikan gabus melentik”. Akan tetapi dia terbanting keras, belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali menimpa ularnya, hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan. Maka kawannya, yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantui dia bangun.
Sekarang mereka bertiga itu tidak berani menyerang pula, bahkan mereka lantas masuk ke dalam kalangan ular mereka.
“Siapa kamu!” kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. “Kalau kau laki-laki, sebutkan nama kamu!”
Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.
“Kamu orang-orang macam apa?!” Oey Yong sebaliknya menanya. “Kenapa kau menggiring begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang?!”
Tiga orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahuti, dari dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai mahasiswa yang putih mulus bajunya. Dia berjalan perlaha-lahan, tangannya mengerjakan kipasnya. Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir sendirinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenali orang itu ialah Auwyang Kongcu, sancu atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir daripadanya.
Tiga pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.
Pemuda itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju menghampir Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian dia tertawa dan berkata: “Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar kepada locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf.” Terus ia memandang Oey Yong, untuk meneruskan: “Kiranya nona ada di sini. Sungguh bersengsara aku mencari padamu…”
Oey Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis. “Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!” ia memberitahu. “Kau baiklah mengajar adat padanya!”
Ang Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis. “Untuk mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya juga!” katanya. “Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan?!”
“Semua ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar, mereka jadi tidak dapat memakai aturan lagi,” menyahut si pemuda.
“Berapa banyak orang telah kamu bikin celaka?” Cit Kong menegur pula.
“Kami menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang,” menyahut si anak muda.
“Hm!” Cit Kong mengejek. “Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she Auwyang?”
“Benar!” dia menjawab itu. “Kiranya nona ini telah memberitahukannya padamu. Kau siapa, lojinkee?” dia balik menanya.
Oey Yong mendahului si pengemis. “Namamu yang busuk! Siapa yang sudi menyebutnya!” kata dia. “Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan kepadamu, cuma-cuma bakal membikin kau kaget!”
Auwyang Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyaum.
“Kau anaknya Auwyang Hong, bukankah?” Ang Cit Kong tanya.
Belum si anak muda menyahuti, tiga kawannya sudah gusar duluan. “Pengemis bangkotan tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut namanya sancu kami?!” mereka menegur.
Ang Cit Kong tertawa lebar.
“Lain orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!” katanya. mendadak orang tua itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu “Plak-plok!” muka mereka kena ditampar datang-pergi, setelah mana dengan menekan tongkatnya, ia berlompat balik ke tempatnya berdiri tadi.
“Kepandainmu ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!” berkata Oey Yong, seperti ia tidak menggubris peristiwa.
Cit Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham orang.
Auwyang Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolongi tiga orang itu. “Apakah cinpwee mengenal pamanku?” ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.
“Oh, kau jadinya keponakannya Auwyang Hong!” berkata Cit Kong. “Sudah berselang duapuluh tahun yang aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu itu! Apakah dia belum mampus?”
Panas hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti mengenal baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan yang lihay. Maka berkatalah ia: “Pamanku sering membilang, sebelum sahabat-sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang ke langit…”
Ang Cit Kong tertawa berlengak. “Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan jalan mutar-balik!” katanya. “Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa sekalian mustikamu ini?” Ia maksudkan semua ular itu.
“Biasanya aku yang muda tinggal di barat,” Auwyang Kongcu menyahut, “Tapi kali ini aku berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng – kesepian di tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja.”
“Terang-terang kau mendusta!” Oey Yong menyemprot. “Ada demikian banyak wanita yang menemani kau, kau masih bilang iseng kesepian!”
Pemuda itu menggoyangi kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu ia tersenyum, lantas ia bersenandung: “Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain orang? Karena kau, aku jadi bersenandung hingga jini!” Ia mengambil syair dari Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.
Oey Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. “Aku tidak membutuhkan kau mengambil-ambil hatiku!” ia menganggapi. “Lebih baik tak perlulah kau memikirkan aku!”
Pikiran si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa….
Ang Cit Kong lantas menegur; “Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan kau masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok! Dengan memandang pamanmu itu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau, maka lekaslah kau pergi!”
Auwyang Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan, cuma untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; “Di sini aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee tidak dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku undang cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di sana.”
Ang Cit Kong tertawa.
“Nyata kau telah menantang aku!” katanya. “Tapi aku si pengemis bangkotan tidak biasanya main janji-janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takuti pamanmu itu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian, kita adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita bertempur pula!” Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; “Masih kau tidak hendak menyingkir jauh-jauh!”
Auwyang Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; “Kepandaiannya pamanku belum separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup menjadi tandingannya….” karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.
Ketiga pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara aneh. Dengan itu mereka mengusir ular mereka. Maka juga semua binatang berbisa itu membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersilah tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh lendirnya yang licin mengkilap.
“Cit Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak,” berkata Oey Yong. “Benarkah ular itu dipiara mereka?”
Cit kong tidak lantas menyahuti, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk menenggak araknya beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia mengatakannya berulang-ulang: “Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya…!”
“Eh, Cit Kong, kenapakah?” tanya kedua pemuda-pemudi itu heran.
“Untuk sejenak aku dapat mengusir ular itu,” menyahut si pengemis kemudian: “Umpama kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang itu dapat ditangkis? Syukur beberapa bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan itu ada di sini, oh, anak-anak, kamu bisa celaka….”
“Jikalau kami tidak sanggup melawan, kami kabur!” berkata si Oey Yong.
Cit Kong tertawa. “Aku si pengemis tua, aku tidak takuti dia!” katanya. “Tetapi kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya si racun bangkotan itu….”
“Siapakah pamannya orang itu? Benarkah dia demikian lihay?” tanya Oey Yong.
“Kau sangka ia tidak lihay? Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong Shia See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Tentang nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongannya Khu Cie Kee denagn Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.
“Aku tahu, aku tahu!” sahutnya. “Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan kauwcu dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong.”
“Benar! Adakah ini ayahmu yang membilangi? Ayahmu itu ialah Tong Shia dan Auwyang Hong itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong langit ini yaitu Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal kita berempat yang kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan tail, hingga kita jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak? Aku sendiri si pengemis lihay tidak?”
Oey Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.
“Ayahku orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?” ia tanya kemudian.
Ang Cit Kong tertawa. “Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri, mustahilkah dia bukannya si sesat?” dia menyahuti. “Bicara dari hal ilmu silat, Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk benar-benar dari mulut ke hati.” Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan; “Kau telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?”
“Totiang Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun,” sahut si anak muda hormat.
“Nah, itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau dapat mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku.”
“Habis, siapakah itu Lam Tee?” tanya Oey Yong.
“Dialah satu hongya, seorang kaisar,” sahut Cit Kong.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. “Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?” mereka menegasi.
“Memang ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri tiga bagian terhadapnya,” sahut si pengemis mengaku. “Api dari Selatan mengalahkan Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan Auwyang Hong itu.”
Dua-dua muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka lantas mendapatkan si pengemis dia menjublak, hingga mereka tidak berani menanya lebih jauh.
Cit Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar paku di pintu dan sobek.
“Aih!” seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, “Nanti aku tambalkan!” Lantas dia cari nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju sobek itu.
Cit Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba saja dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee Ceng heran, mereka lari mengikuti.
Sesampainya si luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu terlihat satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!
Oey Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan napas lega.
“Berhasil! Berhasil!” katanya. “Ya, beginilah….”
Oey Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.
Ang Cit Kong berkata; “Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang.” Ia berhenti sebenatr, lalu ia menambahkan: “Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang baik, jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan, maka itu berbahayalah kalau kita bertemu pada pamannya itu, jadi aku si pengemis tua tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk melawannya mengalahkan segala binatang berbisa itu!”
Oey Yong bertepuk tangan. “Jadi kau hendak menggunai jarum untuk menikam nancap setiap ular berbisa itu di tanah!” katanya.
Ang Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. “Ah, kau iblis cilik yang licin!” ujarnya. “Orang baru menyebutnya bagian atas, kau sudah lantas dapat mengetahui bagian bawahnya!”
“Bukankah kau telah mempunyakan obat yang lihay?” Oey Yong tanya, “Bukankah kapan obat itu dicampuri arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak berani datang dekati padamu?”
“Daya itu cuma dapat dipakai dalam sewaktu,” Ang Cit Kong memberi keterangan. “Sudah, kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri dalam ilmu ‘Boan-thian hoa ie’. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum….”
“Kalau begitu, nanti aku menolongi kau membeli jarum,” berkata si nona, yang terus lari keluar.
Ang Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; “Sudah ada si tua bangkanya yang cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik licinnya!”
“Tidak lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia mengasih keluar dua bungkus besar jarum menjahit.
“Semua jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!” kata dia sambil tertawa. “Maka besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh istrinya!” katanya kemudian.
“Bagaimana begitu?” Kwee Ceng tanya.
“Sebab mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar, mereka tidak mampu membeli jarum!” sahut si nona. “Sebatang pun tidak ada!” kata si nona sambil tertawa.
Ang Cit Kong tertawa tergelak. “Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!” katanya. “Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa pihak perempuan! Nah, mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua mengajarkan kau menggunai senjata rahasia? Apakah kamu sanggup?”
Oey Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.
“Cit Kong, aku tidak mau belajar!” kata Kwee Ceng sebaliknya.
Ang Cit Kong heran. “Kenapa, eh?” dia tanya.
“Lojinkee sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup mempelajarinya semua,” Kwee Ceng mengaku.
Ang Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang jujur dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak sanggup belajar lebih jauh.
“Ah, anak ini baik hatinya,” ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya Oey Yong, “Mari kita saja yang berlatih.”
Kwee Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang diri dia menyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang itu. Ia merasakan ia dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.
Berselang sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari “Boan-thian Hoa Ie Teng Kim-ciam”, ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan, ia dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua itu ke setiap jalan darah yang ia arah.
Pada suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, yang mereka segera bakal perpisahan, ia lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban diayun, berlatih kosong dengan timpukannya. Ketika hampir sampai di tempat penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas menoleh. Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya ia lantas kenali, ialah Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam, mengawasi dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan jodoh dengan Kwee Ceng. Ia memikir juga, “Apa baiknya wanita ini maka enam guru engko Ceng dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah dengannya?” Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati panasanya. “Baik aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!” pikirnya pula.
Lantas ia bertindak memasuki penginapannya. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang diri di sebuah meja, romannya berduka sekali, seoarng pelayan sedang menanya dia hendak mendahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.
“Apa enaknya daging matang?” kata Oey Yong.
Liam Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenali nona yang bersama Kwee Ceng naik seekor kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.
“Oh, adik pun ada di sini?” katanya. “Silahkan duduk!”
“Mana itu semua imam?” tanya Oey Yong. “Mana si kate terokmok, si mahasiswa jorok? Kemana perginya mereka semua?”
“Aku sendiri saja,” menyahuti si Liam Cu. “Aku tidak bersama Khu Totiang beramai.”
Oey Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jaaban si nona itu, hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, ia mengharukan, tetapi justru itu, wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati. Ia ingat: “Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng, pemberian ayah mereka masing-masing…” Maka ia berkata; “Enci, bolehkah aku pinjam melihat pisau belatimu itu?”
Itulah pisau yang Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau itu telah jatuh di tangannya Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat menolak. Ia mengasigkan sekalian bersama sarungnya.
Oey Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir, “Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?” Ia mencabut pisau itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. “Sungguh pisau yang bagus!” pujinya. Ia masuki pisau itu ke dalam sarungnya, terus ia masuki ke dalam sakunya sendiri. “Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng,” katanya.
“Apa?!” tanya Liam Cu tercengang.
“Disini terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya,” berkata Oey Yong. “Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya.”
Liam Cu gusar. “Inilah warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku berikan padamu?!” katanya keras. “Lekas pulangkan padaku!” Ia pun segera berbangkit.
“Kalau kau bisa, ambilah!” sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit Kong sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.
Liam Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya, nona itu bakal lolos.
Oey Yong lari berliku-liku, sampai di bawahnya sebuah pohon yang besar, ia berdiri diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia berkata: “Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!”
“Adik, jangan main-main,” kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. “Melihat pisau itu, aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?”
“Siapa adikmu?!” bentak si nona Oey, terus ia menyerang.
Liam Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, “Buk! Buk!” dua kali dia kena dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.
“Oey Yong tertawa, “Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!” katanya, mengejek.
Liam Cu heran, “Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?” pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru menggunai ilmu silat yang sama. “Tahan!” ia berseru seraya lompat mundur. “Siapa yang ajari kau ilmu silatmu ini?”
“Aku yang menciptkan sendiri!” sahut Oey Yong, tertawa. “Inilah ilmu yang kasar, tidak ada keanehannya!” Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali jurus-jurus dari Po-giok-kun itu – Kepalan Memecahkan Kumala.
Liam Cu semakin heran. “Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?” ia menanya, sambil menangkis.
“Dia sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!” Oey Yong tertawa. “Kau gunai ilmu silat pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak aku mengalahkan kau!”
Nona ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya, tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang, saban-saban hampir mengenakan kulit wajahnya. Liam Cu menutup matanya, ia tidak merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia membuka matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi mendongkol. “Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!” ia membentak.
“Kita tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?” kata Oey Yong tertawa. “Kau dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!”
Liam Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.
“Kalau kau berani, kau bunuhlah!” ia menantang. “Untuk kau minta sesuatu dari aku, bermimpi pun jangan kau harap!”
Oey Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, “Nona begini elok, mati muda, sungguh kecewa.”
Liam Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.
Hening sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: “Engko Ceng baik denganku, biar dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya…”
Ia menjadi heran, segera ia membuka matanya. “Apa kau bilang?” ia menanya.
“Kau tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa,” kata Oey Yong, tanpa menjawab. “Biar bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!”
“Sebenarnya siapa yang baik padamu?” tanya Liam Cu semakin heran. “Kau bilang aku hendak menikah dengan siapa?”
“Dengan engko Ceng – Kwee Ceng!” Oey Yong jelaskan.
“Oh, dia!” kata Liam Cu. “Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?”
“Aku ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah dengan engko Ceng itu!” sahut Oey Yong.
Akhirnya Liam Cu tertawa. “Biarpun kau ancam aku dengan golokmu di leherku, tidak nanti aku menikah dengan dia!” katanya.
Oey Yong girang mendadak. “Benar?” tanyanya. “Kenapa begitu?”
“Benar ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah dijodohkan denagnnya, sebenarnya,” sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan perlahan sekali; “Sebenarnya ayah angkatku itu telah sudah berlaku karena pelupaan, dia lupa yang aku telah dijodohkan kepada lain orang…”
Oey Yong menjadi girang sekali. “Oh, maaf!”katanya. “Aku telah menyangka keliru terhadapmu….”
Ia lantas menotok nona itu, akan membebaskan dari totokannya tadi, terus ia menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegasi: “Enci, kau telah berjodoh dengan siapa?”
Mukanya Liam Cu menjadi merah. “Orang itu pernah kau melihatnya,” sahutnya.
Oey Yong berpikir. “Orang mana yang pernah aku lihat?” ia tanya. “Mana ada lain pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?”
Mau tidak mau, nona Bok itu tertawa. “Apakah di kolong langit ini cuma ada satu engko Cengmu yang paling baik?” dia membalas menaya.
Oey Yong tertawa. “Enci,” katanya, “Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah karena kau menganggap dia terlalu tolol?”
“Siapa yang bilang engko Kwee itu tolol?” Liam Cu membaiki. “Yang benar dia ada sangat polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya.”
Oey Yong heran. “Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau diancam denagn golok di lehermu?” tanyanya pula.
Melihat orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. “Adikku,” katanya, “Di dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau bertemu lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan mencintai lain orang, bukankah?”
Oey Yong mengangguk, “Sudah pasti,” sahutnya. “Cuma tidak nanti ada orang yang melebihkan dia!”
Liam Cu tertawa. “Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa besar kegirangannya,” katanya. “Kau tahu, di itu hari yang ayah angkatku mengajak aku ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang mengalahkan aku…”
Oey Yong lantas saja sadar. “Oh, aku tahu sekarang!” serunya. “Orang yang kau buat pikirkan itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!”
“Dia boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia seorang,” Liam Cu mengaku. “Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!” Perlahan suara nona Bok, tetapi tetap nadanya.
Oey Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.
Cuma sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. “Ini aku kembalikan,” katanya.
Liam Cu sebaliknya menolak. Katanya, “Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus menjadi kepunyaanmu.”
Bukan kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula piasu itu.
“Enci, kau baik sekali!” katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan sesuatu apa tetapi ia tidak ingat ia punya barang yang berharga untuk tanda mata. Maka ia menanya: “Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk urusan apakah? Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?”
Mukanya Liam Cu bersemu merah. “Tidak ada urusan yang penting,” sahutnya.
“Kalau begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong,” kata Oey Yong.
Liam Cu menjadi sangat girang. “Cit Kong ada disini?” tanyanya cepat.
Oey Yong mengangguk, lantas ia berlompat bangun seraya menarik tangan orang.
Justru itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selemar kulit kayu, disusul mana berkelebat satu bayangan seorang, ynag berlompatan di atas pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, “Dua nona yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin menggaplokmu beberapa kali!” Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu ada perbuatannya Ang Cit Kong, maka tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia jengah sendirinya. Tapi ia ajak Liam Cu ke rima, di sana ia tak tampak Cit Kong. terpaksa mereka balik ke pondokan.
Kwee Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong bergandengan tangan bersama Liam Cu.
“Enci Bok, apakah kau dapat melihat guruku beramai?” ia tanya.
“Aku telah berpisahan dari gurumu itu,” menjawab Liam Cu. “Mereka telah berjanji untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu.”
“Baik-baikkah mereka semua?” tanyannya.
“Jangan kuatir, Kwee Sieheng,” sahut Liam Cu tersenyum. “Mereka semua tidak mendongkol karena perbuatanmu itu.”
Tidak lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali. Karena ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.
Liam Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.
“Kau sangat beruntung, adikku,” kata Liam Cu, seraya menghela napas. “Kau dapat berkumpul begitu lama bersama dia, sedanf aku sendiri, bertemu pun susah.”
“Tapi diam-diam ia melindungimu, Enci,” Oey Yong menghibur. “Kalau tadi aku benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongi padamu.”
Liam Cu mengangguk, ia membenarkan.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. “Yong-jie, bagaimana?” tanya. “Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?”
Oey Yong menoleh sambil tersenyum. “Tidak dapat aku menerangkan kepadamu,” sahutnya.
“Dia takut…dia takut….” kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani bicara terus.
Oey Yong mengitik, “Kau berani menceritakan atau tidak?” katanya.
Liam Cu mengulurkan lidahnya. “Mana aku berani?” sahutnya. “Maukah aku bersumpah?”
“Cis!” Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendirinya kapan ia ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.
Kwee Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.
Habis bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong tanya bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan silat.
“Itu waktu aku masih kecil,” menyahut Liam Cu bercerita. “Pada suatu hari ayah ajak aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari aku keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri….”
“Aku mengerti,” memotong Oey Yong, “Kau tentu baik hati, kau rawat mereka.”
“Aku tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke kamar ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya,” Liam Cu melanjutkan. “Ktika ayah pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memuji aku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk mereka membeli obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memuji aku, lantas ia mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat memahamkan. Dihari keempat, aku pergi kek kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu pula dengannya.”
Oey Yong ketarik hatinya. “Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci,” ia berkata. “Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui perbuatanku, tidak nanti ia gusar.”
“Terima kasih adik,” kata Liam Cu. “Sekarang ini aku ada punya urusan sangat penting, tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku sendiri yang akan minta padamu.”
Sabar dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya keterangan, lalu ia batal sendirinya.
Pagi itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira. Oey Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.
Malam itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat, untuk berpura-pura pulas.
Berselang beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya, dengan lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya, dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan sulam.
Tiba-tiba Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.
Oey Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin perlahan-lahan, ia membuka matanya sedikit, akan mengintai. Ia dapatkan Liam Cu jalan mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang tadinya dia buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang, yang didapat pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia membayangi kejadian di harian itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia menendang, lain kali kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.
Oey Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang datang dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela napas dan berkata dengan perlahan: “Kau cantik sekali….” Mendadak nona itu membalik tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, atau dilain saat ia sudah berada di luar, melompati tembok pekarangan dan pergi…..”
Oey Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, untuk menyusul. Ia lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia dapat berlari-lari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar ia tidak diketahui nona she Bok itu.
Liam Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru, dia pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey Yong pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu membutuhkan uang.
Sebentar saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari situ terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang bertuliskan huruf-huruf air emas: “Utusan Negara Kim”. Di bawah itu, di muka pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.
Liam Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk dengan batu, untuk mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon bunga, di gunung palsu.
Oey Yong terus menguntit.
Liam Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak mengawasi bayangan orang itu.
Oey Yong menduga, ia tapinya tidak sabaran.
“Baik aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget,” pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka jendela, untuk berlompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentera, akan tiba lusa.
Orang di dalam itu menyahuti, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.
“Terang ini adalah utusan negara Kim, kalau beitu enci Bok ada punya maksud lain,” Oey Yong berpikir, “Aku tidak boleh semberono.” Ia lantas membasahkan kertas jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia heran berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya. Tempo pangeran itu datang dekat ke api, Oey Yong melihat tegas barang itu adalah kepala tembok yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.
Nona Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisannya Yo Tiat Sim, ayahnya si pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia tertawa di dalam hatinya dan berpikir: “Kamu lucu! Yang satu membuat main juwiran jubah, ynag lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?”. Tanpa merasa, ia tertawa.
Wanyen Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. “Siapa?!” ia menanya seraya mengebas mati api lilin.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu sembari tertawa ia berkata: “Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku antarkan kau kepada kekasihmu itu!”
Wanyen Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa satu nona sambil terus berkata: “Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!” Ia terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: “Enci, bagaimana nanti kau membalas budiku?” Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap bersama orangnya.
Disaat itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.
Wanyen Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia berkhawatir sudah melukai orang.
“Apakah kau masih ingat aku?” ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.
Ia kenali suara itu, ia terperanjat. “Kau?” katanya. “Oh!”
“Memang aku,” sahutnya Liam Cu.
“Apakah ada orang lain bersamamu?” tanya sang pangeran lagi.
“Yang tadi itu adalah sahbatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar tahuku.” jawab sang nona.
Wanyen Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. “Nona mari masuk!” ia mengundang.
Liam Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia tunduk terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.
Wanyen Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. tentu saja hatinya pun memukul.
“Ada apa malam-malam kau datang mencari aku?” ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak menyahuti.
Wanyen Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi mengasihani nona ini.
“Adik,” katanya kemudian, “Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau baik tinggal bersama-sama aku. Aku nanti anggap kau sebagai adik kandungku.”
“Aku adalah anka angkat ayah, bukan anak kandung…” kata Liam Cu. Wanyen Kang sadar. “Dia bicara terhadap aku,” pikirnya. “Diantara kita jadinya tidak ada hubungan darah….” Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia tersenyum.
Liam Cu merah pula mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak terlepaskan. Ia tunduk , ia membiarkan tangannya itu terus dipegangi. Hati Wanyen Kang berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.
“Inilah untuk ketiga kalinya aku memeluk kau,” ia berbisik di kuping orang. “Yang pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini kita ada bersama tanpa orang ketiga….”
Liam Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. “Kenapa kau mencari aku?” ia mendengar pula si pangeran bertanya.
“Semenjak dari kota raja aku mengikuti kau,” menyahut si nona. “Setaip malam aku mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani…” “Aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-siakan aku…” kata pula Liam Cu kemudian, suaranya sangat perlahan.
Pangeran itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.
“Kau jangan khawatir,” katanya. “Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kau pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?”
Liam Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.
“Pasti aku akan nikah dengan kau,” katanya. “Kalau di belakang hari aku mensia-siakan kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati tidak utuh!” bersumpah sang pemuda.
Liam Cu menangsi saking terharu. “Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku bukannya satu manusia rendah,” ia berkata. “Jikalau kau benar mencintai aku, kau juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun leherku ditandalkan golok, apsti aku akan mengikuti kau.” Perlahan suara si nona tetapi tetap.
Mau tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. “Adikku, kau baik sekali,” ia berkata.
Terbuka hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: Aku akan menantikan kau di rumah ayah angkatku di Gu-kee-cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang perantaraanmu melamar diriku….” Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan: “Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!”
“Jangan bersangsi, adikku,” kata Wanyen Kang. “Setelah selesai tugasku, aku nanti menyambutmu untuk kita menikah.”
Liam Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.
“Jangan lantas pergi, adikku!” Wanyen Kang memanggil. “Mari kita beromong-omong dulu….”
Nona itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikannya.
Wanyen Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar