Bab 26. Memikiri Senantiasa
Menyusul itu terdengar pula
beberapa suara rumput bergerak-gerak, lalu terlihatlah beberapa ekor ular
lainnya. Dengan menggeraki tongkatnya, Ang Cit Kong singkirkan binatang berbisa
itu, untuk setiap kemplangannya, tongkatnya mengenai tepat di kepala ular, yang
terus mati.
Kalau
tadinya ia kaget, sekarang Oey Yong kegirangan hingga ia berseru memuji.
Tengah
ia tertawa, di belakangnya muncul dua ekor ular yang lain, yang menyambarsambil
membuka bacotnya, untuk menggigit.
“Lari!”
Ang Cit Kong berseru. Tapi sudah terlambat, si nona telah kena disambar dan
digigit. Ular itu kecil tubuhnya tetapi hebat bisanya, cuma tergigit satu kali,
celakalah orang, apapula sekarang menyambar sekali dua.
Ang
Cit Kong pun kaget. Kupingnya segera mendengar suara lain, yang terlebih
berisik, kapan ia mengawasi, ia tampak nyelosornya sekumpulan ular di tempat
kira-kira sepuluh tombak dari mereka. Tidak ayal lagi, ia sambar pinggang Kwee
Ceng, ia cekuk pundak Oey Yong, terus ia berlompat, lari keluar dari rimba itu.
Dia lari terus kembali ke tempat penginapan. Setibanya di muka pondokan,
pengemis itu awasi muka si nona, lantas hatinya menjadi lega. Nona itu tak
kurang suatu apa, dia ada seperti biasa.
“Bagaimana
kau merasakan?” ia menanya, hatinya girang.
Oey
Yong tertawa. “Tidak apa-apa!” sahutnya wajar.
Tapi
Kwee Ceng melihat ular tadi masih menyantel di badan kekasihnya, dia kaget, dia
ulur tangannya, untuk menangkap ular itu, untuk disingkirkan. “Jangan!” Cit
Kong berseru pula saking kagetnya.
Tapi
tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya mengeluarkan
darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya Ang Cit Kong
tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendirinya. “Tidak salah lagi!”
katanya. “Tentulah joan-wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!”
Memang
ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu terbinasa.
Selagi
Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari rimba.
Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masuki itu ke
dalam mulutnya untuk dikunyah. dari dalam rimba masih saja terlihat ular yang
keluar, hitung ratus, hitung ribu.
Maka
Kwee Ceng berseru; “Cit Kong, mari lekas pergi!”
Cit
Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka
sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulutnya, dicampur sama obat tadi,
sesudah mana ia menyembur ke arah ular-ular itu, ke kiri dan kanan, hingga
mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak
campur obat itu lantas rebah tak bergerak, ynag lainnya tak berani maju lebih
jauh, tapi kerana yang dibelakang amsih banyak dan maju terus, mereka jadi
kacau sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia
menepuk-nepuk tangan.
Selagi
si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu terlihat
tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal
masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, lagi berseru-seru
mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya dengan
bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambingnya.
Mual
rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.
Ang
Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua
jari kiri ia jepit leher ualr itu, dengan kelingking kanan ia menggurat
perutnya ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.
“Lekas
telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!” ia berkata kepada si nona.
Oey
Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak dan
segar sekali.
“Eh,
engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?” dia menanya.
Kwee
Ceng menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak mempan
racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigit padanya, cuma Ang
Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.
“Cit
Kong, ular ini mesti ada yang piara,” berkata Oey Yong.
Pak
Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih itu,
yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya,
malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampirkan.
“He,
kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?!” yang
satu menegur dengan bengisnya.
“Tepat!”
berseru Oey Yong dengan jawabannya. “Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah
tidak menghendaki jiwa kamu?!”
“Bagus!”
berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasannya si
nona, yang mulutnya lihay itu.
Tiga
orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia
pertengahan sudah lantas berlompat, menyodok si nona dengan pentungannya.
Melihat sambaran anginnya, dia bukannya sembarangan kepandaiannya.
Cit
Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu. Dengan
begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.
Penyerang
itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak dapat ia
menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat si
pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.
“Kau
pergilah!” berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya digentak.
Maka
terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya
hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah,
ular tak berani gigit padanya.
Dua
orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.
“Bagaimana,
toako?” mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu berlompat bangun
dengan gerakannya “Ikan gabus melentik”. Akan tetapi dia terbanting keras,
belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali menimpa ularnya,
hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan. Maka kawannya,
yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantui dia bangun.
Sekarang
mereka bertiga itu tidak berani menyerang pula, bahkan mereka lantas masuk ke
dalam kalangan ular mereka.
“Siapa
kamu!” kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. “Kalau kau laki-laki,
sebutkan nama kamu!”
Ang
Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.
“Kamu
orang-orang macam apa?!” Oey Yong sebaliknya menanya. “Kenapa kau menggiring
begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang?!”
Tiga
orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahuti, dari
dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai mahasiswa yang
putih mulus bajunya. Dia berjalan perlaha-lahan, tangannya mengerjakan
kipasnya. Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir
sendirinya.
Kwee
Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenali orang itu ialah Auwyang Kongcu, sancu
atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir daripadanya.
Tiga
pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya
menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.
Pemuda
itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju menghampir
Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian dia
tertawa dan berkata: “Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar kepada
locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf.” Terus ia memandang Oey Yong,
untuk meneruskan: “Kiranya nona ada di sini. Sungguh bersengsara aku mencari
padamu…”
Oey
Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis.
“Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!” ia memberitahu. “Kau
baiklah mengajar adat padanya!”
Ang
Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis. “Untuk
mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya juga!”
katanya. “Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan?!”
“Semua
ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar, mereka
jadi tidak dapat memakai aturan lagi,” menyahut si pemuda.
“Berapa
banyak orang telah kamu bikin celaka?” Cit Kong menegur pula.
“Kami
menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang,” menyahut si
anak muda.
“Hm!”
Cit Kong mengejek. “Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she
Auwyang?”
“Benar!”
dia menjawab itu. “Kiranya nona ini telah memberitahukannya padamu. Kau siapa,
lojinkee?” dia balik menanya.
Oey
Yong mendahului si pengemis. “Namamu yang busuk! Siapa yang sudi menyebutnya!”
kata dia. “Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan kepadamu, cuma-cuma
bakal membikin kau kaget!”
Auwyang
Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyaum.
“Kau
anaknya Auwyang Hong, bukankah?” Ang Cit Kong tanya.
Belum
si anak muda menyahuti, tiga kawannya sudah gusar duluan. “Pengemis bangkotan
tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut namanya sancu kami?!”
mereka menegur.
Ang
Cit Kong tertawa lebar.
“Lain
orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!” katanya. mendadak orang tua
itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu “Plak-plok!” muka mereka kena
ditampar datang-pergi, setelah mana dengan menekan tongkatnya, ia berlompat
balik ke tempatnya berdiri tadi.
“Kepandainmu
ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!” berkata Oey Yong, seperti ia tidak
menggubris peristiwa.
Cit
Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham orang.
Auwyang
Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolongi tiga orang itu. “Apakah cinpwee
mengenal pamanku?” ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.
“Oh,
kau jadinya keponakannya Auwyang Hong!” berkata Cit Kong. “Sudah berselang
duapuluh tahun yang aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu
itu! Apakah dia belum mampus?”
Panas
hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti mengenal
baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan yang
lihay. Maka berkatalah ia: “Pamanku sering membilang, sebelum
sahabat-sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang
ke langit…”
Ang
Cit Kong tertawa berlengak. “Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan jalan
mutar-balik!” katanya. “Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa
sekalian mustikamu ini?” Ia maksudkan semua ular itu.
“Biasanya
aku yang muda tinggal di barat,” Auwyang Kongcu menyahut, “Tapi kali ini aku
berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng – kesepian di
tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja.”
“Terang-terang
kau mendusta!” Oey Yong menyemprot. “Ada demikian banyak wanita yang menemani
kau, kau masih bilang iseng kesepian!”
Pemuda
itu menggoyangi kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu ia
tersenyum, lantas ia bersenandung: “Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain
orang? Karena kau, aku jadi bersenandung hingga jini!” Ia mengambil syair dari
Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.
Oey
Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. “Aku tidak membutuhkan kau
mengambil-ambil hatiku!” ia menganggapi. “Lebih baik tak perlulah kau
memikirkan aku!”
Pikiran
si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa….
Ang
Cit Kong lantas menegur; “Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di
Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan
kau masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok!
Dengan memandang pamanmu itu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau,
maka lekaslah kau pergi!”
Auwyang
Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan, cuma
untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; “Di sini
aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee tidak
dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku undang
cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di sana.”
Ang
Cit Kong tertawa.
“Nyata
kau telah menantang aku!” katanya. “Tapi aku si pengemis bangkotan tidak
biasanya main janji-janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takuti
pamanmu itu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian,
kita adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita
bertempur pula!” Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; “Masih kau
tidak hendak menyingkir jauh-jauh!”
Auwyang
Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; “Kepandaiannya pamanku belum
separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup
menjadi tandingannya….” karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik
kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.
Ketiga
pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara aneh.
Dengan itu mereka mengusir ular mereka. Maka juga semua binatang berbisa itu
membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersilah
tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh lendirnya
yang licin mengkilap.
“Cit
Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak,” berkata Oey Yong. “Benarkah
ular itu dipiara mereka?”
Cit
kong tidak lantas menyahuti, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk
menenggak araknya beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia
menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia
mengatakannya berulang-ulang: “Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya…!”
“Eh,
Cit Kong, kenapakah?” tanya kedua pemuda-pemudi itu heran.
“Untuk
sejenak aku dapat mengusir ular itu,” menyahut si pengemis kemudian: “Umpama
kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang itu
dapat ditangkis? Syukur beberapa bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak
mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan
itu ada di sini, oh, anak-anak, kamu bisa celaka….”
“Jikalau
kami tidak sanggup melawan, kami kabur!” berkata si Oey Yong.
Cit
Kong tertawa. “Aku si pengemis tua, aku tidak takuti dia!” katanya. “Tetapi
kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya
si racun bangkotan itu….”
“Siapakah
pamannya orang itu? Benarkah dia demikian lihay?” tanya Oey Yong.
“Kau
sangka ia tidak lihay? Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong Shia
See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Tentang
nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongannya Khu Cie Kee denagn
Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.
“Aku
tahu, aku tahu!” sahutnya. “Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan kauwcu
dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong.”
“Benar!
Adakah ini ayahmu yang membilangi? Ayahmu itu ialah Tong Shia dan Auwyang Hong
itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong langit ini yaitu
Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal kita berempat yang
kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan tail, hingga kita
jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak? Aku sendiri si pengemis lihay tidak?”
Oey
Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.
“Ayahku
orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?” ia tanya kemudian.
Ang
Cit Kong tertawa. “Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri,
mustahilkah dia bukannya si sesat?” dia menyahuti. “Bicara dari hal ilmu silat,
Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk
benar-benar dari mulut ke hati.” Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan;
“Kau telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?”
“Totiang
Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun,” sahut si anak muda hormat.
“Nah,
itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau dapat
mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku.”
“Habis,
siapakah itu Lam Tee?” tanya Oey Yong.
“Dialah
satu hongya, seorang kaisar,” sahut Cit Kong.
Kwee
Ceng dan Oey Yong heran. “Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?”
mereka menegasi.
“Memang
ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri tiga
bagian terhadapnya,” sahut si pengemis mengaku. “Api dari Selatan mengalahkan
Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan Auwyang Hong
itu.”
Dua-dua
muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka lantas
mendapatkan si pengemis dia menjublak, hingga mereka tidak berani menanya lebih
jauh.
Cit
Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai
dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak
mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke
pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar
paku di pintu dan sobek.
“Aih!”
seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak
mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, “Nanti aku tambalkan!” Lantas dia
cari nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju
sobek itu.
Cit
Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba saja
dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee Ceng
heran, mereka lari mengikuti.
Sesampainya
si luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu terlihat
satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!
Oey
Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya
dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan
napas lega.
“Berhasil!
Berhasil!” katanya. “Ya, beginilah….”
Oey
Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.
Ang
Cit Kong berkata; “Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar
memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan
segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang.” Ia berhenti sebenatr, lalu
ia menambahkan: “Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang
baik, jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan,
maka itu berbahayalah kalau kita bertemu pada pamannya itu, jadi aku si
pengemis tua tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk
melawannya mengalahkan segala binatang berbisa itu!”
Oey
Yong bertepuk tangan. “Jadi kau hendak menggunai jarum untuk menikam nancap
setiap ular berbisa itu di tanah!” katanya.
Ang
Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. “Ah, kau iblis cilik yang
licin!” ujarnya. “Orang baru menyebutnya bagian atas, kau sudah lantas dapat
mengetahui bagian bawahnya!”
“Bukankah
kau telah mempunyakan obat yang lihay?” Oey Yong tanya, “Bukankah kapan obat
itu dicampuri arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak berani datang
dekati padamu?”
“Daya
itu cuma dapat dipakai dalam sewaktu,” Ang Cit Kong memberi keterangan. “Sudah,
kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri dalam
ilmu ‘Boan-thian hoa ie’. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana
kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum….”
“Kalau
begitu, nanti aku menolongi kau membeli jarum,” berkata si nona, yang terus
lari keluar.
Ang
Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; “Sudah ada si tua bangkanya yang
cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik licinnya!”
“Tidak
lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia mengasih
keluar dua bungkus besar jarum menjahit.
“Semua
jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!” kata dia sambil tertawa. “Maka
besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh
istrinya!” katanya kemudian.
“Bagaimana
begitu?” Kwee Ceng tanya.
“Sebab
mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar, mereka
tidak mampu membeli jarum!” sahut si nona. “Sebatang pun tidak ada!” kata si
nona sambil tertawa.
Ang
Cit Kong tertawa tergelak. “Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!” katanya.
“Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa pihak perempuan! Nah,
mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua
mengajarkan kau menggunai senjata rahasia? Apakah kamu sanggup?”
Oey
Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.
“Cit
Kong, aku tidak mau belajar!” kata Kwee Ceng sebaliknya.
Ang
Cit Kong heran. “Kenapa, eh?” dia tanya.
“Lojinkee
sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup
mempelajarinya semua,” Kwee Ceng mengaku.
Ang
Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang jujur
dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak
sanggup belajar lebih jauh.
“Ah,
anak ini baik hatinya,” ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya Oey
Yong, “Mari kita saja yang berlatih.”
Kwee
Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang diri
dia menyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang
itu. Ia merasakan ia dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.
Berselang
sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari “Boan-thian Hoa Ie Teng
Kim-ciam”, ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan, ia
dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua itu
ke setiap jalan darah yang ia arah.
Pada
suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon
cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, yang mereka segera bakal perpisahan, ia
lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak
beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan
pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban
diayun, berlatih kosong dengan timpukannya. Ketika hampir sampai di tempat
penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas
menoleh. Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya ia
lantas kenali, ialah Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam,
mengawasi dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan
jodoh dengan Kwee Ceng. Ia memikir juga, “Apa baiknya wanita ini maka enam guru
engko Ceng dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah
dengannya?” Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati
panasanya. “Baik aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!” pikirnya pula.
Lantas
ia bertindak memasuki penginapannya. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang diri di
sebuah meja, romannya berduka sekali, seoarng pelayan sedang menanya dia hendak
mendahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.
“Apa
enaknya daging matang?” kata Oey Yong.
Liam
Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenali nona yang bersama Kwee Ceng naik seekor
kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.
“Oh,
adik pun ada di sini?” katanya. “Silahkan duduk!”
“Mana
itu semua imam?” tanya Oey Yong. “Mana si kate terokmok, si mahasiswa jorok?
Kemana perginya mereka semua?”
“Aku
sendiri saja,” menyahuti si Liam Cu. “Aku tidak bersama Khu Totiang beramai.”
Oey
Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jaaban si nona itu,
hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang
mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga
putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, ia mengharukan, tetapi justru itu,
wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati.
Ia ingat: “Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng,
pemberian ayah mereka masing-masing…” Maka ia berkata; “Enci, bolehkah aku
pinjam melihat pisau belatimu itu?”
Itulah
pisau yang Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya yang
terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau itu
telah jatuh di tangannya Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat
mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey
Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat
menolak. Ia mengasigkan sekalian bersama sarungnya.
Oey
Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir,
“Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?” Ia mencabut pisau
itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. “Sungguh pisau yang bagus!” pujinya. Ia
masuki pisau itu ke dalam sarungnya, terus ia masuki ke dalam sakunya sendiri.
“Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng,” katanya.
“Apa?!”
tanya Liam Cu tercengang.
“Disini
terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya,” berkata Oey Yong.
“Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya.”
Liam
Cu gusar. “Inilah warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku berikan
padamu?!” katanya keras. “Lekas pulangkan padaku!” Ia pun segera berbangkit.
“Kalau
kau bisa, ambilah!” sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit Kong
sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.
Liam
Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya, nona
itu bakal lolos.
Oey
Yong lari berliku-liku, sampai di bawahnya sebuah pohon yang besar, ia berdiri
diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia
berkata: “Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!”
“Adik,
jangan main-main,” kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. “Melihat pisau itu,
aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?”
“Siapa
adikmu?!” bentak si nona Oey, terus ia menyerang.
Liam
Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, “Buk! Buk!” dua kali dia kena
dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.
“Oey
Yong tertawa, “Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!” katanya, mengejek.
Liam
Cu heran, “Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?”
pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru
menggunai ilmu silat yang sama. “Tahan!” ia berseru seraya lompat mundur.
“Siapa yang ajari kau ilmu silatmu ini?”
“Aku
yang menciptkan sendiri!” sahut Oey Yong, tertawa. “Inilah ilmu yang kasar,
tidak ada keanehannya!” Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali
jurus-jurus dari Po-giok-kun itu – Kepalan Memecahkan Kumala.
Liam
Cu semakin heran. “Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?” ia menanya, sambil
menangkis.
“Dia
sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!” Oey Yong tertawa. “Kau gunai ilmu silat
pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak aku
mengalahkan kau!”
Nona
ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu
tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga
dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya,
tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey
Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang,
saban-saban hampir mengenakan kulit wajahnya. Liam Cu menutup matanya, ia tidak
merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia
membuka matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi
mendongkol. “Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!” ia membentak.
“Kita
tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?” kata Oey Yong tertawa. “Kau
dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!”
Liam
Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.
“Kalau
kau berani, kau bunuhlah!” ia menantang. “Untuk kau minta sesuatu dari aku,
bermimpi pun jangan kau harap!”
Oey
Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, “Nona begini elok, mati
muda, sungguh kecewa.”
Liam
Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.
Hening
sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: “Engko Ceng baik denganku, biar
dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya…”
Ia
menjadi heran, segera ia membuka matanya. “Apa kau bilang?” ia menanya.
“Kau
tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa,” kata Oey Yong, tanpa menjawab. “Biar
bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!”
“Sebenarnya
siapa yang baik padamu?” tanya Liam Cu semakin heran. “Kau bilang aku hendak
menikah dengan siapa?”
“Dengan
engko Ceng – Kwee Ceng!” Oey Yong jelaskan.
“Oh,
dia!” kata Liam Cu. “Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?”
“Aku
ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah
dengan engko Ceng itu!” sahut Oey Yong.
Akhirnya
Liam Cu tertawa. “Biarpun kau ancam aku dengan golokmu di leherku, tidak nanti
aku menikah dengan dia!” katanya.
Oey
Yong girang mendadak. “Benar?” tanyanya. “Kenapa begitu?”
“Benar
ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah dijodohkan
denagnnya, sebenarnya,” sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan perlahan
sekali; “Sebenarnya ayah angkatku itu telah sudah berlaku karena pelupaan, dia
lupa yang aku telah dijodohkan kepada lain orang…”
Oey
Yong menjadi girang sekali. “Oh, maaf!”katanya. “Aku telah menyangka keliru
terhadapmu….”
Ia
lantas menotok nona itu, akan membebaskan dari totokannya tadi, terus ia
menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegasi: “Enci, kau
telah berjodoh dengan siapa?”
Mukanya
Liam Cu menjadi merah. “Orang itu pernah kau melihatnya,” sahutnya.
Oey
Yong berpikir. “Orang mana yang pernah aku lihat?” ia tanya. “Mana ada lain
pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?”
Mau
tidak mau, nona Bok itu tertawa. “Apakah di kolong langit ini cuma ada satu
engko Cengmu yang paling baik?” dia membalas menaya.
Oey
Yong tertawa. “Enci,” katanya, “Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah karena
kau menganggap dia terlalu tolol?”
“Siapa
yang bilang engko Kwee itu tolol?” Liam Cu membaiki. “Yang benar dia ada sangat
polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya.”
Oey
Yong heran. “Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau diancam
denagn golok di lehermu?” tanyanya pula.
Melihat
orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. “Adikku,” katanya, “Di
dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau bertemu
lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan mencintai
lain orang, bukankah?”
Oey
Yong mengangguk, “Sudah pasti,” sahutnya. “Cuma tidak nanti ada orang yang
melebihkan dia!”
Liam
Cu tertawa. “Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa besar
kegirangannya,” katanya. “Kau tahu, di itu hari yang ayah angkatku mengajak aku
ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang mengalahkan aku…”
Oey
Yong lantas saja sadar. “Oh, aku tahu sekarang!” serunya. “Orang yang kau buat
pikirkan itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!”
“Dia
boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia
seorang,” Liam Cu mengaku. “Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi
orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!” Perlahan suara nona Bok,
tetapi tetap nadanya.
Oey
Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua
berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.
Cuma
sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. “Ini aku kembalikan,”
katanya.
Liam
Cu sebaliknya menolak. Katanya, “Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus
menjadi kepunyaanmu.”
Bukan
kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula piasu itu.
“Enci,
kau baik sekali!” katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan sesuatu apa
tetapi ia tidak ingat ia punya barang yang berharga untuk tanda mata. Maka ia
menanya: “Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk urusan apakah?
Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?”
Mukanya
Liam Cu bersemu merah. “Tidak ada urusan yang penting,” sahutnya.
“Kalau
begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong,” kata Oey Yong.
Liam
Cu menjadi sangat girang. “Cit Kong ada disini?” tanyanya cepat.
Oey
Yong mengangguk, lantas ia berlompat bangun seraya menarik tangan orang.
Justru
itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selemar kulit kayu,
disusul mana berkelebat satu bayangan seorang, ynag berlompatan di atas
pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan
pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, “Dua
nona yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin
menggaplokmu beberapa kali!” Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma
gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu ada perbuatannya Ang Cit Kong, maka
tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia
jengah sendirinya. Tapi ia ajak Liam Cu ke rima, di sana ia tak tampak Cit
Kong. terpaksa mereka balik ke pondokan.
Kwee
Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong bergandengan
tangan bersama Liam Cu.
“Enci
Bok, apakah kau dapat melihat guruku beramai?” ia tanya.
“Aku
telah berpisahan dari gurumu itu,” menjawab Liam Cu. “Mereka telah berjanji
untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu.”
“Baik-baikkah
mereka semua?” tanyannya.
“Jangan
kuatir, Kwee Sieheng,” sahut Liam Cu tersenyum. “Mereka semua tidak mendongkol
karena perbuatanmu itu.”
Tidak
lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali. Karena
ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.
Liam
Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit
Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.
“Kau
sangat beruntung, adikku,” kata Liam Cu, seraya menghela napas. “Kau dapat
berkumpul begitu lama bersama dia, sedanf aku sendiri, bertemu pun susah.”
“Tapi
diam-diam ia melindungimu, Enci,” Oey Yong menghibur. “Kalau tadi aku
benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongi padamu.”
Liam
Cu mengangguk, ia membenarkan.
Kwee
Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. “Yong-jie, bagaimana?” tanya.
“Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?”
Oey
Yong menoleh sambil tersenyum. “Tidak dapat aku menerangkan kepadamu,”
sahutnya.
“Dia
takut…dia takut….” kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani bicara
terus.
Oey
Yong mengitik, “Kau berani menceritakan atau tidak?” katanya.
Liam
Cu mengulurkan lidahnya. “Mana aku berani?” sahutnya. “Maukah aku bersumpah?”
“Cis!”
Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendirinya kapan
ia ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.
Kwee
Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.
Habis
bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong tanya
bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan
silat.
“Itu
waktu aku masih kecil,” menyahut Liam Cu bercerita. “Pada suatu hari ayah ajak
aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari aku
keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di
tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang
memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri….”
“Aku
mengerti,” memotong Oey Yong, “Kau tentu baik hati, kau rawat mereka.”
“Aku
tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke kamar
ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya,” Liam Cu melanjutkan. “Ktika ayah
pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memuji
aku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah
memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk mereka membeli
obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang
beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua
pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah
kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memuji aku, lantas ia
mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat
memahamkan. Dihari keempat, aku pergi kek kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah
pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu pula dengannya.”
Oey
Yong ketarik hatinya. “Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci,” ia
berkata. “Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari
kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui
perbuatanku, tidak nanti ia gusar.”
“Terima
kasih adik,” kata Liam Cu. “Sekarang ini aku ada punya urusan sangat penting,
tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku sendiri
yang akan minta padamu.”
Sabar
dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia
membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya
keterangan, lalu ia batal sendirinya.
Pagi
itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira. Oey
Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.
Malam
itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas
pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya
menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat,
untuk berpura-pura pulas.
Berselang
beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya, dengan
lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya,
dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan
sulam.
Tiba-tiba
Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.
Oey
Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin
perlahan-lahan, ia membuka matanya sedikit, akan mengintai. Ia dapatkan Liam Cu
jalan mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang
tadinya dia buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang,
yang didapat pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia
membayangi kejadian di harian itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia
menendang, lain kali kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.
Oey
Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang datang
dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela napas dan
berkata dengan perlahan: “Kau cantik sekali….” Mendadak nona itu membalik
tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, atau dilain saat ia sudah berada di
luar, melompati tembok pekarangan dan pergi…..”
Oey
Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, untuk menyusul. Ia
lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia
dapat berlari-lari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar ia tidak diketahui nona
she Bok itu.
Liam
Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru, dia
pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey Yong
pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan
terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu
membutuhkan uang.
Sebentar
saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari situ
terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang
bertuliskan huruf-huruf air emas: “Utusan Negara Kim”. Di bawah itu, di muka
pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.
Liam
Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk
dengan batu, untuk mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah
itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon
bunga, di gunung palsu.
Oey
Yong terus menguntit.
Liam
Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat
bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak
mengawasi bayangan orang itu.
Oey
Yong menduga, ia tapinya tidak sabaran.
“Baik
aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget,”
pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka
jendela, untuk berlompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak
masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal
menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentera, akan tiba lusa.
Orang
di dalam itu menyahuti, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.
“Terang
ini adalah utusan negara Kim, kalau beitu enci Bok ada punya maksud lain,” Oey
Yong berpikir, “Aku tidak boleh semberono.” Ia lantas membasahkan kertas
jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia heran
berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen
Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia
jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya.
Tempo pangeran itu datang dekat ke api, Oey Yong melihat tegas barang itu
adalah kepala tembok yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.
Nona
Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisannya Yo Tiat Sim, ayahnya si
pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia
tertawa di dalam hatinya dan berpikir: “Kamu lucu! Yang satu membuat main
juwiran jubah, ynag lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat
satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?”. Tanpa
merasa, ia tertawa.
Wanyen
Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. “Siapa?!” ia menanya seraya
mengebas mati api lilin.
Oey
Yong tidak menyahuti, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok
mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu
sembari tertawa ia berkata: “Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku
antarkan kau kepada kekasihmu itu!”
Wanyen
Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa satu
nona sambil terus berkata: “Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!” Ia
terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang
ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang
lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: “Enci,
bagaimana nanti kau membalas budiku?” Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap
bersama orangnya.
Disaat
itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.
Wanyen
Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia berkhawatir sudah melukai orang.
“Apakah
kau masih ingat aku?” ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.
Ia
kenali suara itu, ia terperanjat. “Kau?” katanya. “Oh!”
“Memang
aku,” sahutnya Liam Cu.
“Apakah
ada orang lain bersamamu?” tanya sang pangeran lagi.
“Yang
tadi itu adalah sahbatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar
tahuku.” jawab sang nona.
Wanyen
Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. “Nona mari masuk!” ia mengundang.
Liam
Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia tunduk
terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.
Wanyen
Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias
sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. tentu saja hatinya pun
memukul.
“Ada
apa malam-malam kau datang mencari aku?” ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak
menyahuti.
Wanyen
Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi
mengasihani nona ini.
“Adik,”
katanya kemudian, “Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau baik
tinggal bersama-sama aku. Aku nanti anggap kau sebagai adik kandungku.”
“Aku
adalah anka angkat ayah, bukan anak kandung…” kata Liam Cu. Wanyen Kang sadar.
“Dia bicara terhadap aku,” pikirnya. “Diantara kita jadinya tidak ada hubungan
darah….” Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia tersenyum.
Liam
Cu merah pula mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak terlepaskan.
Ia tunduk , ia membiarkan tangannya itu terus dipegangi. Hati Wanyen Kang
berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.
“Inilah
untuk ketiga kalinya aku memeluk kau,” ia berbisik di kuping orang. “Yang
pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini kita
ada bersama tanpa orang ketiga….”
Liam
Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. “Kenapa kau
mencari aku?” ia mendengar pula si pangeran bertanya.
“Semenjak
dari kota raja aku mengikuti kau,” menyahut si nona. “Setaip malam aku
mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani…” “Aku tidak mempunyai
ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-siakan aku…” kata pula Liam Cu kemudian,
suaranya sangat perlahan.
Pangeran
itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.
“Kau
jangan khawatir,” katanya. “Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kau
pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?”
Liam
Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.
“Pasti
aku akan nikah dengan kau,” katanya. “Kalau di belakang hari aku mensia-siakan
kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati tidak
utuh!” bersumpah sang pemuda.
Liam
Cu menangsi saking terharu. “Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku
bukannya satu manusia rendah,” ia berkata. “Jikalau kau benar mencintai aku,
kau juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun
leherku ditandalkan golok, apsti aku akan mengikuti kau.” Perlahan suara si
nona tetapi tetap.
Mau
tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. “Adikku, kau baik sekali,” ia
berkata.
Terbuka
hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: Aku akan menantikan kau di rumah ayah
angkatku di Gu-kee-cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang
perantaraanmu melamar diriku….” Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan:
“Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!”
“Jangan
bersangsi, adikku,” kata Wanyen Kang. “Setelah selesai tugasku, aku nanti
menyambutmu untuk kita menikah.”
Liam
Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.
“Jangan
lantas pergi, adikku!” Wanyen Kang memanggil. “Mari kita beromong-omong dulu….”
Nona
itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikannya.
Wanyen
Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri
menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana
masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar