BAB
43
Oey Yong
melihat jebakannya telah memberi hasil, ia girang berbareng kaget. Ia
tidak menyangka bahwa jatuhnya batu demikian hebat. Ia menjatuhkan diri ke
tanah, untuk duduk menumprah seraya meletaki kedua tangannya di atasan
kepalanya. Ia baru mengangkat kepala dan membuka matanya ketika ia mendengar
sirapnya suara nyaring dan berisik. Samar-samar ia menampak dua tubuh orang
berdiri di sisi batu besar itu. Seperti orang lagi bermimpi, ia mengucak-ucak
kedua matanya. Lalu ia mengawasi pula, dengan perhatian dipusatkan. Tidak
salah, di situ ada dua orang lain, bahkan orang itu ialah Auwyang Hong dan Kwee
Ceng! Si anak muda yang ia seperti tidak tak dapat melupakannya….
“Engko Ceng!” akhirnya ia berseru seraya ia berlompat
bangun.
Kwee Ceng juga tidak menyangka di tempat itu dapat
menemui kekasihnya itu, ia juga berlompat menubruk, untuk merangkul erat-erat
si nona. Hingga keduanya lupa bahwa di samping mereka berada musuh besar
mereka!
Auwyang Hong dan Kwee Ceng tenggelam terbawa perahu
mereka yang masuk ke dasar laut terbawa oleh usar-usaran air. Memangnya perahu
itu, yang tinggal sebelah, telah kemasukan banyak air. Segera juga mulult dan
hidung mereka menyedot air asin, hingga keduanya menjadi kaget. Mereka
menginsyafi bahaya. Karena itu mereka tidak berkutat terlebih jauh, sama-sama
mereka melepaskan tangan mereka, untuk sebaliknya dipakai menekap hidung dan
kuping. Mereka pun terbawa arus hingga jauh. Ketika Kwee Ceng timbul di muka
air, untuk bernapas, ia melihat jagat gelap, perahu kecil entah pergi ke mana.
Ia menjerit-jerit, tidak ada yang menyahuti, meskipun sebenarnya Oey Yong
tengah mencari-cari padanya. Damparan gelombangan sangat berisik, angin juga
tak kurang ributnya.
Selagi Kwee Ceng berteriak-teriak pula, ia merasa ada
yang menarik kakinya yang kiri, atau dilain saat muncullah Auwyang Hong di
sisinya. Dia ini tidak pandai berenang, maka itu, kecebur di laut, ia habis
daya. Syukur dia dapat mencekal kakinya si anak muda, dia terus tidak mau
melepaskannya, bahkan ia memegang juga kaki yang kanan. Sia-sia Kwee Ceng
meronta-ronta.
Mereka berkutat pula, hingga mereka tenggelam kembali.
Tak lama, keduanya mengambang lagi.
“Lepaskan tanganmu!” Kwee Ceng berseru. “Aku tidak akan
tinggalkan kau!”
Auwyang Hong tidak mau melepaskannya, baru sesaat
kemudian, ia melepaskan kaki yang sebelah. Rupanya ia ingat, dengan bergulat
terus, mereka bakal mati bersama.
Kwee Ceng lantas berenang, sembari berenang ia mengangkat
sedikit rusuk jago tua itu. Untung untuk mereka, tidak lama mereka membentur
sepotong balok, maka si anak muda berpegang pada balok itu. Dengan begitu tak
usah ia memakai banyak tenaga lagi.
“Lekas peluki balok ini!” ia berteriak. “Jangan lepas!”
Auwyang Hong menurut.
Bukan
main girangnya pemuda ini.
Mereka
terombang-ambing di laut sehingga sang fajar datang. Sekarang ternyata balok
itu ada patahan tiang layar mereka. Hanya melihat kelilingan, mereka tak nampak
perahu.
Auwyang Hong sangat berduka.
Tongkatnya pun sudah lenyap, hingga ia menjadi sangat berkhawatir.
“Kalau
ada ikan cucut di sini, mana bisa aku melawan seperti Ciu Pek Thong…?”
pikirnya. “Ketika itu ada aku yang menolongi dia, tetapi sekarang, siapa yang
menolongi aku…?”
Mereka
lapar dan berdahaga. Syukur, untuk dahar mereka bisa mengunyah ikan mentah.
Kalau ada ikan yang lewat disampingnya, Kwee Ceng
menikam dengan piasu belatinya, dan Auwyang Hong
menhajar dengan tangannya. Hebat rasanya untuk menggerogoti ikan mentah itu.
Sekarangb
mereka tidak bergulat lagi. Maka itu hari, sampailah mereka di tepian pulau di
mana Cit Kong, Oey Yong
dan Auwyang Kongcu telah tiba. Mereka mendarat untuk beristirahat. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang
berbicara sambil tertawa-tawa. Keduanya heran, Auwyang Hong
yang berlompat paling dulu untuk melihat orangnya. Tepat ia melihat batu lagi
jatuh turun dan keponakannya lagi terancam, maka ia melesat akan menyambar
keponakannya itu. Ia masih terlambat, sebab kesudahannya kedua kaki Auwyang Kongcu
kena tertindih juga batu raksasa itu, anak muda itu menjerit untuk terus
pingsan.
Untuk
sejenak Auwyang
Hong memandang keliligan, setelah
merasa pasti tidak ada ancaman bahaya lainnya, ia menghampirkan keponakannya
itu. Ia mendapat kenyataan sang keponakan cuma pingsan, maka hatinya menjadi
sedikit lega. Ketika mencoba mendorong batu, ia tidak berhasil, tidak peduli
tenaganya besar luar biasa.
“Paman…”
memanggil keponakan itu perlahan, setelah ia sadar, sedang pamannya lagi
membungkuk.
“Tahan
sakit,” menyahut paman itu. Ia lalu memeluk, untuk
menarik.
Auwyang Kongcu menjerit, kembali pingsan. Hebat tarikan itu
sedang kaki tidak bergeming.
Paman
itu menjublak.
“Mana
suhu?” tanya Kwee Ceng,
yang menarik tangan Oey
Yong. Ia seperti tidak ingat itu
paman dan keponakannya.
“Di sana,”
sahut si nona, tangannya menunjuk.
Lega hatinya si anak muda. Selagi ia mau minta si nona
mengajak dia pergi kepada gurunya, justru ia mendengar jeritannya Auwyang
Kongcu itu. Dasar hatinya mulia, ia menjadi tidak tega.
“Mari aku bantu padamu!” ia berkata kepada Auwyang Hong.
Oey Yong menarik tangan pemuda itu.
“Mari kita lihat suhu!” ia mengajak. “Kita jangan
pedulikan manusia jahat!”
Auwyang Hong tidak tahu bahwa batu besar itu jatuh karena
ulahnya si nona, meski begitu ia gusar mendengar perkataan orang itu. Ia pun
mengingat suatu apa akan mendengar Ang Cit Kong masih hidup serta berada di
tempat itu. Ia membiarkan orang pergi, kepada keponakannya, ia berbisik. “Kau
tahan sabar, aku nanti cari akal untuk menolongmu.” Ia berlompat naik ke atas
pohon, mengawasi ke arah mana muda-mudi itu pergi. Panas hatinya menyaksikan
orang jalan rapat asyik sekali.
“Jikalau aku tidak dapat menyiksa kamu berdua bangsat
cilik hingga kau mati tidak hiudp juga tidak, percuma aku disebut See Tok!”
katanya dalam hatinya dengan sengit sekali. Habis itu ia lomat turun dari
pohon, untuk menguntit.
Kwee Ceng berdua bersama Oey Yong berjalan terus sampai
di mulut gua. Mereka tidak tahu bahwa mereka ada yang membayangi.
“Suhu!” memanggil si anak muda memasuknya ia di dalam
gua.
Cit Kong kelihatan lagi menyender di batu, matanya
tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Karena di ganggu Auwyang Kongcu,
penyakitnya yang baru baikan kumat pula. Karena itu ia berdiam saja mendengar
panggilan muridnya.
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong menghampirkan, yang
satunya membukai kancing bajunya, yang lainnya menguruti tangan dan kakinya.
Akhirnya Ang Cit Kong membuka matanya. Melihat Kwee Ceng,
yang ia segera mengenalinya, ia girang. Ia tersenyum.
“Anak Ceng, kau pun datang!” katanya lemah.
Kwee Ceng hendak menyahuti gurunya itu tatkala ia
terkejut mendengar suara nyaring dibelakangnya: “Pengemis tua, aku juga
datang!”
Itulah suaranya Auwyang Hong, yang telah menguntit sampai
di luar gua.
Kwee Ceng bangun untuk memutar tubuh dan berlompat maju,
ia menghalang di pintu dengan sikapnya “Sin liong pa bwee” atau “Naga sakti
menggoyang ekornya”. Oey Yong sendiri menyambar tongkat gurunya terus ia
berlompat ke samping pemudanya.
Auwyang Hong tertawa
“Pengemis bangkotan, keluar!” katanya nyaring. “Jikalau
kau tidak keluar, nanti aku yang masuk ke dalam!”
Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong dan mengedipi mata,
maksudnya memberitahu, apa juga bakal terjadi, hendak ia membela gurunya.
Auwyang Hong tidak memperoleh jawaban, ia tertawa lalu ia
mju. Atas itu tanpa bersangsi lagi, Kwee Ceng menyerang. Inilah See Tok telah
duga, malah ia menerka juga orang akan menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang, dari
itu ia sudah bersiaga untuk itu. Ia berkelit dengan berlompat ke kanan. Tapi di
sini ia dipapaki tongkat, kelihatannya tongkat menyontek ke atas, tidak tahunya
menyapu ke bawah berulang-ulang, hingga ia tidak dapat menduga tepat arah
serangan orang. Diam-diam hatinya terkesiap. Ia lantas melindungi dirinya,
untuk mencegah serangan apa juga.
Tapi hebat tongkat itu, ialah tongkatnya Oey Yong. paling
akhir ujung tongkat mencari jalan darah di pinggang.
Saking
kaget, Auwyang
Hong berlompat mundur, segera ia
melirik. Ia tidak menyangka si nona menjadi begini lihay.
Oey Yong mendapat hati
melihat musuh mundur.. Ia telah menggunai tipu-tipu dari Pa-kauw-pang, yang ia
belum dapat menguasai dengan mahir. Sebaliknya See Tok belum pernah melihat
ilmu silat itu.
“Hm!”
berseru si Bisa dari Barat sambil ia berlompat maju, tangannya diulur untuk
merampas tongkat si nona.
Oey Yong dapat berkelit,
ketika ia dirangsak, masih ia bisa menyingkir dari pelbagai serangan.
Kwee Ceng girang berbareng
heran menyaksikan ilmu silat kawannya itu. Ia tidak menonton lebih lama, ia lantas maju, untuk menyerang dari samping.
Auwyang Hong menjadi sangat gusar, ia berlompat mundur,
lalu ia berdongko, menyusul itu kedua tangannya menyerang dengan berbareng
hingga anginnya berdesir.
Hebat serangan itu, ialah serangan menurut Kuntauw Kodok.
Debu pun sampai kena dibikin terbang.
Kwee Ceng melihat ancaman bahaya, dengan cepat ia menolak
pundaknya Oey Yong - orang yang diserang itu - hingga si nona terhuyung, tetapi
dengan begitu ia terhindar dari bahaya.
Auwyang Hong penasaran, ia maju dua tindak, kembali ia
menolak dengan sepasang tangannya.
Memang hebat Kuntauw Kodok dari See Tok ini, sebagaimana
ternyata, Ang Cit Kong yang begitu lihay cuma bisa bertarung seri dengannya.
Segera juga Kwee Ceng dan Oey Yong kena didesak mundur,
sebab mereka main berkelit saja. Auwyang Hong dapat memasuki gua. Ketika ia
menyerang gagal ke kiri, ia menghantam pinggiran gua hingga batu dan tanahnya
gugur. Setelah itu ia menyerang dengan tangan kanannya ke arah Ang Cit Kong.
Pak Kay sedang menutup mata ketika ia mendengar desiran
angin dari pukulan-pukulan yang dahsyat itu, lantas ia membuka matanya.
“Ilmu silat yang bagus sekali!” pujinya. “Tangan yang
hebat!”
Mukanya Auwyang Hong menjadi merah, ia merasa diejek.
Bukankah ia sedang melayani segala bocah? Maka tangannya itu tak dapat
diteruskan.
“Guruku menolongi jiwamu, kau sekarang hendak mencelakai
guruku? Oey Yong berteriak. “Sungguh kau tidak mempunyai muka?!”
Batal menyerang, Auwyang Hong menolak dengan perlahan
tubuhnya si Pengemis dari Utara. Ia merasakan dada dan daging yang lembek,
hingga dada itukentop. Biasanya, ditekan begitu, tubuh seorang ahli silat mesti
membal untuk melawan, tapi ini sebaliknya, maka tahulah See Tok bahwa
kepandaian orang telah lenyap. Ia lantas membungkuk, berniat mengangkat
tubuhnya si pengemis.
“Kamu membantui aku menolongi keponakanku, nanti aku beri
ampun jiwanya ini penegemis tua!” ia berkata bengis. Ia mengancam si pemuda dan
pemudi.
“Thian yang menurunkan batu itu menindih dia, kau
melihatnya dengan matamu sendiri!” berkata Oey Yong, menyahuti. “Siapa sanggup
menolongi dia? Jikalau kau berbuat jahat, nanti Thian pun melemparkan batu
besar itu untuk menindih padamu sampai mampus!”
Auwyang Hong angkat tubuhnya Ang Cit Kong tinggi-tinggi,
ia mengancam hendak melemparkannya.
Kwee Ceng sangat mulia hatinya, ia tidak tahu bahwa orang
lagi menggertak.
“Lekas turunkan guruku!” ia berseru. “Nanti kita bantui
kau!”
Sebenarnya Auwyang Hong ingin lekas-lekas menolongi
keponakannya itu, tetapi ia tidak sudi kentarakan itu, ia justru membawa aksi.
Kemudian ia menurunkan tubuh Cit Kong dan meletakinya dengan baik.
“Untuk membantui kau menolongi dia tidaklah sukar!”
berkata Oey Yong. Ia masih penasaran, ia menyebutnya Auwyang Kongcu dengan
“dia”. Tetapi kita harus membuat dulu tiga perjanjian!”
“Eh, budak perempuan, kesulitan apa lagi kau hendak
mengajukannya?!” See Tok mendongkol.
“Sesudah kami membantu kau menolongi keponakanmu itu,
kita tinggal bersama-sama di pulau ini,” menjawab Oey Yong. “Selama itu kau
tidak boleh mengganggu pula kami guu dan murid bertiga!”
Auwyang Hong terus mengangguk, karena ia sudah lantas
ingat dia dan keponakannya tidak bisa berenang, untuk dapat pulang ke daratan,
mereka mengandal bantuannya tiga orang itu.
“Baik!” ia memberikan janjinya. “Selama berada di pulau
ini, aku pasti tidak akan turun tangan terhadap kamu, tetapi nanti di daratn,
itulah sukar untuk atau membilangnya…”
“Sampai itu waktu, biarnya kau tidak turun tangan, kami
yang bakal turun tangan terhadapmu!” kata Oey Yong menantang. “Sekarang yang
kedua. Ayahku telah menjodohkan aku dengan dia, kau melihatnya sendiri, kau
mendengarnya sendiri juga, maka itu kalau di belakang hari keponakanmu itu
menggerembengi pula padaku, ia lah binatang yang tak mirip-miripnya sekalipun
dengan anjing babi!”
“Hm!” terdengar suara tawar dari See Tok. “Baiklah,
tetapi ini pun terbatas selama kita berada di pulau ini, seberlalunya kita dari
sini, kita lihat saja nanti!”
Oey Yong tersenyum.
“Sekarang syarat yang ketiga!” ia berkata pula. “Kami
akan membantu kau dengan sungguh-sungguh akan tetapi umpama kata Thian hendak
mengantarkan jiwa keponakanmu itu pulang ke alam baka, itulah bukannya tenaga
manusia yang dapat mencegahnya, maka itu kau tidak boleh menimbulkan lain
urusan lagi!”
Kedua
mata Auwyang
Hong mendelik dan berputar.
“Jikalau
keponakanku sampai mati, si pengemis tua jangan harap dapat hidup lebih lama!”
katanya bengis. “Budak cilik, jangan kau ngaco belo lebih lama! lekas kau tolongi
keponakanku itu!”
Habis
berkata, jago dari Barat ini lantas lompat keluar dari gua, untuk berlari-lari
keras ke arah lembah.
Kwee Ceng hendak lompat
menyusul tetapi si nona tarik tangannya.
“Engko Ceng,”
ia berkata, memesan, “Kalau sebentar See Tok membantu mendorong batu besar itu,
kau gunai ketikamu untuk membokong dia untuk membikin habis jiwanya!”
“Cara membokong itu bukan cara
terhormat,” berkata Kwee
Ceng.
“Dia
bikin celaka suhu, adalah itu caranya terhormat?” tanya
si nona. Agaknya ia mendelu.
“Tetapi
kita telah mengeluarkan kata-kata, harus kita pegang itu,” Kwee Ceng
mengasih mengerti. “Sekarang kita tolongi dulu keponakannya itu, nanti di
belakang hari kita mencari jalan untuk membuat pembalasan.”
Mendengar itu, si nona tertawa.
“Baiklah,” katanya. “Kau seorang nabi, suka aku mendengar
katamu!”
Setelah memesan gurunya untuk menanti, kedua muda-mudi
ini lari ke lembah. Di sana mereka mendengar Auwyang Kongcu merintih, suaranya
sangat mengenaskan, menandakan ia menderita sangat.
“Lekas, lekas!” Auwyang Hong memanggil seraya membentak.
Kwee Ceng dan Oey Yong lantas mendekati batu, untuk
memasang kuda-kuda. Auwyang Hong sendiri sudah bersiap terlebih dulu. Dengan
satu tanda, dengan berbareng enam buah tangan memegang batu dan menolaknya.
Auwyang Hong adalah yang berseru; “Angkat!”
Ditolak oleh enam tangan yang kuat, batu itu tergerak,
tetapi cuma sebentar, sehabisnya tenaga orang, batu itu jatuh pula, pulang ke
tempat asalnya.
“Aduh!” menjerit Auwyang Kongcu yang tak sempat menarik
kedua kakinya. Ia ketimpa pula, lantas ia pingsan kembali.
Auwyang Hong kaget, ia berdongkol melihat keponakannya
itu, napas siapa empas-empis selekasnya dia sadar pula, dia menahan sakit
hingga ia menggigit keras bibirnya, sampai bibirnya mengeluarkan darah.
See
Tok menjadi sangat bingung. Terang sudah tenaga mereka betiga tidak cukup kuat
untuk mengangkat batu raksasa itu. Lama-lama keponakannya bisa mati karena
sakitnya itu. Ia menjadi lebih bingung lagi ketika ia merasakan kakinya dingin,
apabila ia mengangkat sebelah kakinya, nyata sepatunya sudah basah, tanah pasir
yang ia injaknya itu kerendam air. Itulah air laut pasang, yang naik sampai ke
lembah itu.
“He,
budak cilik!” See Tok membentak Nona
Oey. “Jikalau kau hendak menolongi
jiwa gurumu, lekas kau tolongi keponakanku ini!”
Oey Yong lagi berpikir keras
ketika ia ditegur itu. Batu begitu berat, di pulau ini tidak ada orang lain,
yang dapat membantu. Bagaimana? Ia mendongkol atas teguran itu.
“Coba
kalau guruku tidak terluka, pasti dia dapat membantu!” katanya. “Ilmu luar dari
guruku lihay sekali, tenaganya besar luar biasa, dengan kita berempat bekerja
sama, mestinya batu ini dapat digeser. Sekarang…”
Ia
angkat kedua tangannya, ia menggoyang-goyangkannya, tandanya ia putus asa.
Auwyang Hong tidak senang
mendengar itu tetapi itulah kenyataan, ia tidak bisa bilang suatu apa. Ia
pikir, memang benar kalau Ang
Cit Kong
tidak terluka, pengemis itu pasti dapat membantu mereka. Maka maulah ia memikir
itu adalah takdir, kebetulan keponakannya bercelaka, kebetulan Pak Kay
terluka…
“Paman,” terdengar suaranya Auwyang Kongcu perlahan. “Kau hajar saja aku supaya aku lantas mati…”
“Aku….aku tidak dapat bertahan lagi….”
Auwyang Hong mengawasi, lantas ia mencabut pisau
belatinya.
“Kau tahan sakit sedikit,” katanya seraya terus menggigit
gigi. “Tanpa sepasang kakimu, kau masih dapat hidup…!”
Ia maju mendekati, hendak ia menguntungi kedua kaki
orang.
“Paman, paman!” berteriak-teriak si keponakan. “Jangan,
jangan! Lebih baik kau tolong aku dengan membunuh aku saja…!”
Marah paman itu.
“Percuma aku mendidik kau banyak tahun, kenapa kau tidak
mempunyai semangat laki-laki?!” bentaknya.
Keponakan itu menutup mulutnya, dengan kedua tangannya ia
mendekap dadanya. Dengan begitu ia mencoba menahan sakitnya.
Menyaksikan itu, hatinya Oey Yong lemas juga. Ia lantas
berpikir pula, hingga ia ingat caranya ayahnya bekerja di Tho Hoa To waktu
ayahnya itu mengangkat batu dan balok.
“Tunggu!” ia berkata kepada Auwyang Hong. “Kalau kau
kutungi kedua kakinya, apakah itu bukan berari kau mengantarkan jiwanya? Aku
ada mempunyai satu daya, entah berhasil atau tidak, mari kita coba dulu.”
“Lekas bilang, lekas bilang, apa itu?” See Tok lantas
mendesak. “Nona yang baik, kali ini tentulah kau berhasil…”
“Hm,” pikir Oey Yong. “Kau sangat ingin menolongi
keponakanmu, sekarang kau tidak mencaci dan membentak-bentak aku pula, bahkan
memanggil aku nona yang baik.” Ia lantas tersenyum,
terus ia berkata: “Baiklah! Sekarang kau mesti dengar titahku. Lekas kau keset
pohon itu, kau membuatnya dadung yang panjang untuk menarik batu besar itu…”
“Siapakah
yang menariknya?” Auwyang
Hong memotong. Ia heran. Bukankah
mendorong dan menarik sama saja sebab mereka tetap bertiga?
“Kita
bekerja seperti dari atas perahu kita mengangkat jangkar,” Oey Yong
bilang.
Auwyang Hong mengerti, tiba-tiba
ia jadi mendapat harapan.
“Cocok,
cocok!” katanya. “Kita menarik sambil berputaran!”
Kwee Ceng tidak tahu caranya Oey Yong
akan bekerja, begitu mendengar si nona minta babakan pohon untuk diambil tali
seratnya, ia lantas saja mengeluarkan pisaunya, terus ia bekerja memotong
babakan pohon.
Auwyang Hong dan Oey Yong
juga turut bekerja.
Tidak
lama mereka sudah mendapatkan beberapa puluh lembar babakan yang panjang.
Auwyang Hong bekerja sambil
mengawasi keponakannya, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata dengan putus
asa: “Sudahlah, tak usah kita memotong lebih jauh….”
“Kenapa?”
tanya Oey Yong
heran. “Kenapa tidak jadi?”
See
Tok menunjuk ke arah keponakannya.
Oey Yong dan Kwee Ceng
mengawasi. Mereka melihat air pasang telah naik hingga tubuh Auwyang Kongcu
sudah kerendam separuhnya. Maka jangan kata untuk membikin tambang, memotong
babakan saja sudah tidak keburu….
Auwyang Kongcu sendiri berdiam, ia tidak bergerak, tidak
bersuara.
“Jangan
putus asa!” kata nona Oey kemudian. “Lekas potong terus!”
Auwyang Hong si iblis yang
biasanya malang-melintang, mendengar suaranya si nona, sudah lantas bekerja
pula. Ia bekerja dengan cepat sekali. Oey Yong
sendiri lompat dari atas pohon, ia lari kepada Auwyang Kongcu.
Ia angkat tubuh orang, ia mengganjalnya dengan satu batu
besar. Secara begini, pemuda itu tidak kerendam mukanya, maka dapatlah ia
bernapas terus.
“Adik yang baik, terima kasih banyak-banyak untuk
pertolonganmu,” berkata Auwyang Kongcu dengan perlahan. “Aku tidak bakal hidup
lebih lama pula, akan tetapi melihat kau begini sungguh-sungguh menolongi aku,
kalau aku nanti mati, aku mati senang….”
“Jangan mengucap terima kasih padaku,” kata Oey Yong yang
karena jujurnya merasa jengah sendirinya. “Kau terjebak karena akulah yang
mengaturnya, kau tahu?”
“Hus, jangan omong keras-keras!” mencegah Auwyang Kongcu.
“Kalau pamanku mendapat dengar, tidak nanti dia melepaskanmu! Sudah sedari
siang-siang aku dapat mengetahui perbuatanmu ini, tetapi terbinasa di tanganmu,
sedikit juga aku tidak menyesal….”
Oey Yong menghela napas, hatinya berpikir; “Meski orang
ini menjemukan tetapi terhadapku dia tidak buruk…” Ia lantas kembali ke bawah
pohon, untuk mulai bekerja. Ia melara, membuatnya sebuah dadung kasar. Ini
rupanya belum cukup kuat, maka empat helai itu ia melaranya pula menjadi satu
helai yang besar.
Auwyang Hong bersama Kwee Ceng tidak hentinya memotong
babakan pohon, untuk diambil seratnya, dan si nona pun tak henti-hentinya
melara. Semua bekerja cepat dan sungguh-sungguh. Mereka mesti berlomba sama
sair pasang. Air baru saja naik, tak gampang-gampang lekas surut.
Belum Oey Yong dapat melara kira-kira setombak
panjangnya, air sudah naik hingga dipinggirnya mulutnya Auwyang Kongcu, setelah
ia dapat lagi beberapa kaki, air itu sampai di pinggiran bibir, ya, ke bibir,
hingga dilain saat terlihat saja liang hidungnya si anak muda.
Menampak itu Auwyang Hong lompat turun dari atas pohon.
“Menyingkirlah kamu!” katanya pada Kwee Ceng dan Oey
Yong. “Aku hendak bicara sama keponakanku. Kamu sudah berbuat apa yang kamu
bisa, aku mengerti kebaikanmu ini.”
Kwee Ceng pun merasa bahwa harapan sudah lenyap, ia
lompat turun, dengan jalan berendeng sama si nona, ia bertindak pergi jauhnya
lebih dari sepuluh tombak.
“Mari kita pergi ke belakang batu besar itu, kita mencuri
dengar perkataannya,” bisik Oey Yong si cerdik.
“Urusan toh tidak mengenai kita?” berkata si anak muda.
“Laginya si tua bnagka yang lihay itu tentunya mengetahuinya….”
“Semampusnya keponakannya itu, mungkin dia akan
mengganggu suhu,” kata Oey Yong. “Kalau kita ketahui niatnya, dapat kita
bersiaga. Umpama kata si tua bangka beracun itu memergoki kita, kita bilang
saja kita kembali untuk mengambil selamat berpisah dari keponakannya itu…”
Kwee Ceng mengangguk. Ia anggap alasan itu tepat.
Bersama-sama mereka lantas jalan terus, untuk memutar dengan diam-diam,
selekasnya mereka tak nampak lagi oleh Auwyang Hong, lekas-lekas mereka
menghampirkan ke arah batu. Tentu sekali mereka tak sudi memperdengarkan
tindakan kaki mereka.
Tepat mereka sampai, mereka dapat mendengar kata-katanya
Auwyang Hong: “Kau pergilah dengan baik, aku mengerti maksud hatimu. Kau
berkeinginan mesti nikahi putrinya Oey Lao Shia sebagai istrimu, pasti aku akan
membikin keinginanmu itu terkabul.”
Kedua muda-mudi di belakang batu itu heran bukan main.
“Dia bakal segera mampus, cara bagaimana keinginan itu
dapat dikabulkan?” mereka berpikir. “Apakah artinya kata-kata si tua bangka
berbisa ini?”
Mereka memasang kuping terlebih jauh, setelah mana mereka
jadi kaget dan gusar, punggung mereka dialirkan peluh dingin. Auwyang Hong itu
berkata: “Akan aku bunuh putrinya Oey Lao Shia ini, nanti aku masuki tubuhnya
dalam satu liang kubur bersamamu! Bukankah semua orang mesti mati? Kau dan dia
tak dapat hidup bersama, tetapi mati dapat dikubur menjadi satu, kau tentu
merasa puas juga…”
Mulutnya Auwyang Kongcu telah kerendam air, tidak dapat
ia menjawab.
Oey Yong memencet tangannya Kwee Ceng, yang ia tarik,
dengan perlahan ia bertindak. Maka bersama-sama mereka menyingkir dari situ.
Auwyang Hong tengah berduka sangat, ia tidak mendengar
suara apa juga.
Tiba di tempat dimana mereka sudah berpisah cukup jauh,
Kwee Ceng berkata dengan sengit. “Yong-jie, lebih baik kita hampirkan si bisa
bangkotan itu untuk mengadu jiwa dengannya!”
“Bertempur sama dia, kita melawan dengan kecerdikan, tidak
dengan tenaga,” menyahut si nona tenang.
“Bagaimana caranya itu?”
“Aku lagi memikirkannya.”
Mereka jalan terus, sampai di tikungan. Di situ si nona
melihat gombolan pohon gelaga.
“Jikalau dia tidak jahat dan kejam, aku dapat jalan untuk
menolongi keponakannya itu,” berkata Oey Yong.
Kwee Ceng heran.
“Bagaimana itu?” dia tanya.
Oey Yong menghampirkan gombolan gelaga itu, ia memotong
sebatang, di antaranya lalu ia angkat itu, dimasuki ke dalam mulutnya, untuk
menyedot dan bernapas.
“Bagus!”
Kwee Ceng bertepuk tangan. “Oh, Yong-jie yang
baik bagaimana kau dapat memikirkan ini? Bagaimana sekarang, kita menolongi
atau jangan?”
Oey Yong memainkan bibirnya.
“Tentu aku tidak sudi menolongi dia!” sahutnya. “Si tua
bangka berbisa itu hendak membunuh aku, biarlah dia coba membunuhnya! Aku tidak
takut!”
Kwee Ceng heran, ia berdiam diri.
Si nona mengawasi, lalu ia tarik tangan orang.
“Engko Ceng,” katanya halus, “Mustahilkah kau menghendaki
aku menolongi manusia jahat itu? Adakah kau berkhawatir untuk keselamatanku? Jikalau
kita menolongi dia, belum tentu dua manusia jahat itu dapat berbauta baik
kepada kita…”
“Memang kau benar,” berkata Kwee Ceng. “Memang aku
memikirkan kau dan suhu. Aku pikir si tua bangka berbisa ada satu pemimpin
partai, mestinya perkataannya dapat dipercaya juga…”
Oey Yong mengambil keputusan
dengan cepat.
“Baik,
marilah kita menolongi dia!” katanya. “Habis itu, kita lihat saja nanti. Kita
boleh jalan setindak demi setindak.”
Keduanya
lantas jalan balik, mereka putarkan batu raksasa itu.
Sekarang Auwyang Hong berdiri di dalam
air, sebelah tangannya memegangi keponakannya. Ia melihat dua orang muda itu menghampirkan, matanya lantas bersinar,
sikapnya mengancam.
“Aku menyuruh kamu pergi, buat apa kamu kembali?!”
tanyanya bengis.
Oey Yong menghampirkan sepotong batu, di situ ia
berduduk.
“Aku datang untuk melihat dia sudah mampus atau belum?”
ia menyahut sembari tertawa geli.
“Habis kalau mati bagaimana, kalau hidup bagaimana?!” tanya See Tok, tetap
bengis, panas hatinya.
Si
nona menghela napas.
“Kalau
ia sudah mati, sayang, tidak ada daya lagi…” sahutnya.
Auwyang Hong heran, hingga ia
berjingkrak.
“Oh,
nona yang baik,” serunya. “Dia…dia masih belum
mati! Benarkah kau ada punyai daya? Lekas bicara!”
Oey Yong menyodorkan batang gelaganya.
“Kau masuki ini ke dalam mulutnya, dia tentu tidak mati,”
sahutnya enteng.
Auwyang Hong girang, ia menyambuti, ia lompat pula kepada
keponakannya. Dengan cepat ia masuki batang gelaga itu ke dalam mulut
keponakannya itu, hingga batang itu merupakan semacam pipa.
Keadaannya Auwyang Kongcu sedang hebatnya, tetapi ia
masih dapat mendengar pembicaraan di antara si nona dan pamannya itu, begitu
pipa dimasuki ke dalam mulutnya, ia telan air yang terakhir di mulutnya itu,
lalu ia dapat bernapas seperti biasa. Ia girang hingga sesaat ia melupakan
kakinya yang sakit.
“Lekas!” berseru Auwyang Hong. “Lekas kita melanjuti
membuat dadung itu!”
“Paman Auwyang,”
berkata si nona, sebelum ia menyambut ajakan itu, bukankah kau memikir untuk
membunuh aku untuk dikorbankan untuk keponakanmu itu?”
See
Tok melengak. “Kenapa ia dengar pembicaraanku barusan?” pikirnya.
Oey Yong masih tertawa, ia
berkata pula: “Kau hendak membunuh aku, kalau maksudmu kesampaian, habis itu
Thian sangat membenci kejahatanmu itu, kepada kau diturunkan sesuatu malapetaka,
siapakah nanti yang menolongi kamu?”
Auwyang Hong sangat membutuhkan
bantuan orang, ia tidak mengambil peduli gangguan itu, dengan berlagak tuli
dengkak, ia lari ke darat, ke bawah pohon untuk mulai lagi memotongi babakan
pohon.
Si
nona tidak mengganggu terlebih jauh, ia pun mengajak Kwee Ceng
untuk bekerja pula. Mereka sama-sama melara setelah babakan didapat cukup
banyak.
Masih
kira-kira satu jam melara beberapa kali, ia menghampirkan dadung, baru mereka
berhasil merampungkan sehelai dadung yang panjangnya tiga puluh tombak lebih.
Sementara itu kepalanya Auwyang
Kongcu sudah mulai kerendam air,
hingga tampak tinggal pipa gelaga itu.
Auwyang Hong berkhawatir,
beberapa kali ia menyam pirkan, untuk memeriksa nadi keponakannya itu. Untuk
kelegaan hatinya, nadi itu tetap berjalan baik. Ia pun menjadi terlebih lega
telah sesaat kemudian ternyata, air pasang sudah tiba saatnya untuk surut pula,
maka dilain detik, kepalanya si anak muda mulai tertampak pula.
“Cukuplah
sudah!” terdengar suaranya Oey
Yong keras habis ia mengulur-ulur
dadung buatannya itu. “Sekarang aku membutuhkan tiga batang kayu besar untuk
dipakai sebagai alat putaran.”
Auwyang Hong bersangsi. Mereka
tidak mempunyai kampak atau golok, bagaimana mereka bisa mendapatkan
potongan-potongan kayu yang dibutuhkan itu?
“Bagaimana itu harus dibuatnya?” ia menanya.
“Kau tak usah ambil tahu caranya, kau cari kayunya saja!”
membentak si nona.
See Tok berkhawatir juga nona itu benar-benar murka dan
nantinya tidak sudi membantu terlebih jauh, lantas ia pergi menghampirkan
pepohonan. Ia pilih yang batangnya tidak terlalu besar, ia berjongkok di situ,
ia pegang pohon dengan kedua tangannya, lalu sambil mengerahkan tenaga dari
Kuntauw Kodok, ia coba mendorong pohon itu. Nyata ia berhasil! Maka ia lantas
bekerja terus, merobohkan semuanya tiga buah pohon.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengulurkan lidahnya menyaksikan
tenaga orang yang besar itu.
Auwyang Hong masih bekerja. Ia mencari sebuah batu besar
dan lancip, ia menggunainya untuk membabat berulang-ulang, memutuskan semua
cabang kecil dari ketiga batang pohon itu, setelah semuanya merupakan sebagai
potongan balok, terus ia menyerahkan itu kepada si nona.
Oey Yong dan Kwee Ceng
menyambuti.
“Begini,”
kata si nona kepada kawannya. Ia pun lantas bekerja.
Kwee Ceng membantui tanpa
banyak omong.
Oey Yong mengikat ketiga
batang balok itu satu kepada lain, ia mengikat erat-erat, ia meninggalkan tiga
ujung yang panjang. Kemudian selebihnya dadung ia bawa ke batu besar itu, untuk
melibatnya dibagian tengahnya, lalu ujung itu diikat kepada balok-balok yang
sudah dipasang dan terikat rapi itu.
Ketiga
potong balok itu diikat di seputarnya sebuah pohon cemara tua yang besar
sekali, yang tumbuh di sebelah kanan batu raksasa itu. Besarnya pohon mungkin
tak terpeluk lima
atau enam orang.
“Bukankah
pohon cemara tua ini dapat melayani batu besar itu?” kemudian si nona tanya si Bisa dari Barat.
Auwyang Hong mengangguk. Sekarang
ia mengerti sudah maksudnya nona itu.
Tapi Oey Yong masih kurang puas, ia menyuruh si tua bangka berbisa membuat lagi dadung yang terlebih kecil, untuk dipakai itu mengikat lebih jauh ketiga potongan balok itu, supaya kekuatannya bertambah.
Tapi Oey Yong masih kurang puas, ia menyuruh si tua bangka berbisa membuat lagi dadung yang terlebih kecil, untuk dipakai itu mengikat lebih jauh ketiga potongan balok itu, supaya kekuatannya bertambah.
“Nona
yang baik, kau sungguh cerdik!” akhirnya See Tok memuji. “Inilah yang dibilang
keluarga pintar luar biasa, - ada ayahnya, ada putrinya!”
“Tapi
mana aku dapat menandingi keponakanmu itu?” berkata Oey Yong
tertawa. “ah, marilah kita mulai menarik memutar!”
Auwyang Hong menurut, begitu juga
dengan Kwee Ceng, maka setelah memegang masing-masing
ujungnya ketiga balok itu, mereka lantas saja menolak dengan mengeluarkan
tenaga mereka. Perlahan tetapi tentu, batu itu bergerak berkisar sedikit.
Sementara
itu dengan lewatnya sang waktu - matahari sudah doyong ke darat - air pun telah
surut habis, hingga sekarang Auwyang
Kongcu terlihat duduk mendeprok di
tanah yang merupakan lumpur berpasir. Ia mendelong mengawasi batu besar itu,
yang bergeraknya sangat ayal, nampaknya ia bergelisah dan bergirang……
Batang pohon cemara tua dan besar
itu bagaikan dilindas balok-balok itu, yang berputar di sekitarnya berputar tak
hentinya. Dengan babakan runtuh, batang itu menjadi terlebih licin dan
berputarnya balok-balok tak seberat semula.
Auwyang Hong tidak percaya Thian,
malaikat atau iblis, tetapi sekarang diam-diam ia memuji supaya mereka
diberikan tambahan tenaga, supaya batu raksasa itu dapat terangkat cukup tinggi
hingga kedua kaki keponakannya tak tertindih lebih lama lagi. Asal batu itu
dapat terangkat, Auwyang
Kongcu bisa diangkat untuk
disingkirkan.
Tengah
mereka mendorong mendadak terdengar satu suara keras dan nyaring, hingga
ketiganya kaget dan lompat minggir. Nyata dadung di tengah terputus, maka
dengan sendirinya batu besar itu balik pada kedudukannya yang lama. Mereka
sendiri, apabila mereka tidak berlompat pasti terkena balok-balok itu.
Auwyang Hong menjadi sangat lesu,
air mukanya tak enak dilihat.
Oey Yong pun masgul bukan
main. Inilah ia tak sangka.
“Marilah
kita membikin lagi dadung yang terlebih kasar,” kata Kwee Ceng
kemudian. Ia tidak melihat lain jalan. “Kita memakai dua rangkap.”
Auwyang Hong menggeleng kepala.
“Sulit,” katanya. “Kita bertiga tidak berdaya….”
“Kalau saja ada yang membantui….” Kwee Ceng berkata
sambil ngelamun.
Mendengar itu, Oey Yong melengak, lalu mendadak ia
berjingkrak seraya menepuk-nepuk tangan.
“Akur! Akur!” serunya. “Ada orang yang membantu….!”
Kwee Ceng heran, ia girang.
“Yong-jie,”
katanya, “Benarkah ada orang yang membantui?”
“Ah,
sayang engko Auwyang mesti menderita lagi satu hari…” berkata si nona. “Ia
mesti menanti sampai besok diwaktu air pasang barulah ia lolos dari
penderitaannya ini….”
Auwyang Hong heran begitu pun Kwee Ceng.
Keduanya mengawasi nona itu. Mereka berpikir hingga di dalam hatinya mereka
menanya: “Mustahilkah besok di waktu air pasang ada orang yang datang
membantu?”
Oey Yong tidak memperdulikan
mereka itu.
“Setelah
bekerja keras seharian, aku lapar!” katanya, tertawa. “Mari kita mencari makanan dulu baru kita bicara pula.”
“Nona,” akhirnya Auwyang Hong menanya, ” Kau bilang besok
bakal ada orang datang membantu, apakah artinya pembilanganmu itu?”
“Besok pada waktu begini, batu yang menindih tubuh
saudara Auwyang bakal disingkirkan,” menyahut si nona. “Inilah ada rahasia
alam, tak dapat aku membocorkannya….”
Melihat orang bicara secara demikian sungguh-sungguh,
Auwyang Hong menjadi separuh percaya dan separuh tidak. Pula, ia tidak
mempercayai, ia pun tidak mempunyai daya lain. Maka terpaksa ia berdiam saja
menemani keponakannya itu.
Oey Yong bersama Kwee Ceng sudah lantas pergi memburu
beberapa ekor kelinci, yang seekor mereka matangi, untuk dibagi kepada Auwyang
Hong dan keponakannya itu.
Mereka sendiri berdahar bertiga bersama Ang Cit Kong di
dalam gua. Sembari berdahar mereka dapat ketika pasang omong tentang segala
kejadian sejak mereka berpisahan. Si pemuda girang sekali mendapat penjelasan
bahwa Auwyang Kongcu roboh karena jebakan si nona.
Kemudian malam itu ketiganya tidur nyenyak. Mereka
percaya Auwyang Hong tidak bakal datang mengganggu sebab See Tok
mengharap-harapkan sangat bantuan mereka guna menolongi keponakannya itu.
Mereka menyalakan api ungun di mulut gua untuk mencegah masuknya binatang liar.
Besoknya fajar, baru Kwee Ceng membuka matanya, ia dapat
melihat satu bayangan orang berkelebat di muka gua. Ketika ia berlompat bangun,
ia mendapatkan Auwyang Hong.
“Apakah nona Oey sudah bangun?” menanya Auwyang Hong
perlahan.
Oey Yong mendusin, selagi Kwee Ceng berlompat bangun,
kapan ia dengar suaranya musuh ia pejamkan pula matanya dan menperdengarkan
gerosan napasnya untuk berpura-pura tidur nyenyak.
“Belum,”
Kwee Ceng menyahut, perlahan. “Ada apa?”
“Kalau sebentar dia sudah bangun, minta dia datang untuk
menolongi orang,” menyahuti See tOk.
“Baik,” menjawab Kwee Ceng.
Dari dalam, Cit Kong menyambar: “Aku telah kasih dia
minum arak yang wangi bernama Mabok Seratus Hari di dalam tempo tiga bulan
mungkin dia tak akan mendusin…!”
Auwyang Hong melengak justru mana Pak Kay tertawa
terbahak-bahak, maka taulah bahwa ia tengah digoda. Ia mendongkol bukan main
tetapi ia ngeloyor pergi.
Oey Yong melompat bangun, ia pun tertawa.
“Kalau bukan sekarang kita goda dia, kita hendak tunggu
kapan lagi?” katanya.
Dengann ayal-ayalan nona itu menyisir rambutnya dan
merapikan pakaiannya, habis mana ia membawa joran untuk pergi memancing ikan,
untuk memburu kelinci, yang semuanya dimatangi untuk mereka sarapan pagi.
Selama itu Auwyang Hong telah datang tujuh atau delapan kali, ia bergelisah seperti semut di atas kuali
panas.
“Yong-jie,” menanya Kwee Ceng, “Benarkah sebentar diwaktu
air pasang bakal datang orang membantui kita?”
“Kau percayakah bakal datang pembantu?” si nona balik
menanya, tertawa.
“Aku tidak percaya.” sahut si anak muda.
“Aku juga tidak percaya!” Dan si nona tertawa pula.
Kwee Ceng tercengang.
“Jadinya kau sengaja mempermainkan si tua bangka berbisa
itu?”
“Bukan seluruhnya aku mendustai dia,” sahut si nona.
“Diwaktu air pasang, aku ada mempunyai daya untuk menolongi keponakannya itu.”
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik sekali, ia tidak menanya
lebih jauh.
Oey Yong lantas ajak pemuda itu pergi ke pinggir laut
untuk mencari pelbagai macam batok kerang.
Nona Oey tidak mempunyai kawan semenjak kecil, ia biasa
main-main seorang diri, sekarang ia mendapat Kwee Ceng sebagai teman, ia
gembira bukan main. Begitulah diajakinya pemuda itu berlomba mendapati banyak
lokan dan ynag bagus-bagus juga. Dalam tempo yang pendek, mereka mendapatkan
banyak, saking gembira, saban-saban terdengar suara tertawa mereka. Sesaat itu
mereka seperti lupa bahwa mereka berada di pulau kosong di mana jiwa mereka
terancam bahaya maut………
“Eh, engko Ceng, rambutmu kusut, mari aku tolong
sisirkan,” kata si nona kemudian.
Kwee Ceng menurut, maka itu mereka duduk berduaan. Dari
sakunya, Oey Yong mengeluarkan sisirnya yang terbuat dari batu giok bersalut
emas. Ia membuka rambut orang dan menyisirnya dengan perlahan-lahan.
“Bagaimana dayanya untuk mengusir See Tok dan
keponakannya itu?” ia bertanya sambil tangannya bekerja. “Kalau mereka itu
sudah tidak ada, kita bertiga dapat berdiam dengan aman di sini. Tidakkah itu
bagus?”
“Tapi aku memikirkan ibuku serta enam guruku,” menyahut
Kwee Ceng.
“Ah, ya, masih ada ayahku juga…” menambah si nona. Ia
berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: “Entah bagaimana dengan enci Bok
sekarang….. Suhu telah menyuruh aku menjadi Pangcu dari Kay Pang, karena itu
aku pun jadi memikirkan itu kawanan pengemis………….”
Kwee Ceng tertawa.
“Maka itu aku pikir lebih baik kita pikirkan daya untuk
berlalu dari sini….” katanya.
Oey Yong sudah selesai menyisiri, lalu ia mengondekan
rambut pemuda itu.
“Yong-jie, kau menyisiri rambutku, kau mirip ibuku,” kata
Kwee Ceng.
“Kalau begitu, panggilah aku ibu!” Oey Yong tertawa.
Si anak muda diam saja, lantas si nona mengitik dia.
“Kau memanggil atau tidak?” nona itu pun menanya.
Kwee Ceng kaget kegelian, ia berjingkrak bangun, maka
kacaulah pula kondenya.
“Kau tidak mau memanggil, ya sudah saja!” berkata Oey
Yong tertawa. “Memang siapa yang sangat menginginkan itu? Kau tahu, di belakang
hari tentu bakal ada orang yang memanggil ibu kepadaku. Nah, kau duduklah!”
Kwee Ceng berduduk pula, untuk
si nona mengondekan pula rambutnya.
“Engko Ceng,” si nona menanya pula, “Bagaimana tentang
melahirkan anak. Tahukah kau?”
“Tahu.”
“Coba bilang.”
“Orang menikah menjadi suami istri, itu artinya mendapat
anak.”
“Hal itu pun aku tahu. Hanya bagaimana sebenarnya?”
“Sampai sebegitu jauh, aku tidak tahu. Cobalah kau
bilang.”
“Aku juga tidak tahu. Pernah aku tanya ayah, ayah
bilang….”
Kwee Ceng hendak menanya jelas ketika mereka mendadak
mendengar suara seperti cecer pecah di belakang mereka: “Urusan mendapat anak
itu nanti juga kamu mendapat tahu sendiri! Sekarang air pasang mau naik pula!”
Keduanya terkejut. Mereka tidak menyangka Auwyang Hong -
orang yang membuka suara nyaring itu - telah tahu-tahu berada di antara mereka.
Muka Oey Yong pun menjadi merah. Kwee Ceng menyusul kawannya itu.
Auwyang Kongcu tertindih batu sehari semalam, ia payah
bukan main.
“Nona Oey,!” berkata Auwyang Hong, suaranya keren. Ia pun menyusul mereka ini. “Kau yang bilang diwaktu air pasang bakal ada
orang datang membantu kita. Urusan ini mengenai jiwa manusia, bukannya urusan
main-main!”
“Ayahku
pandai ilmu meramalkan, putrinya pasti mengerti juga ilmu itu tiga bagian,”
menyahut si nona. “Apakah artinya baru ilmu meramalkan?”
Auwyang Hong memang ketahui baik
kepandaiannya Oey
Yok Su.
“Jadinya
ayahmu yang bakal datang?” dia menegaskan. “Bagus!”
“Hm!” si nona mendengarkan suara tawar. “Untuk urusan
remeh ini kenapa aku mesti sampai mengganggu ayahku? Laginya, jikalau ayah
dapat melihatmu, mana dia sudi mengasih ampun? Apakah yang kau buat girang?”
Disenggapi begitu, Auwyang Hong bungkam.
“Engko Ceng,” berkata si nona, tanpa menggubris pula See
Tok, “Coba kau tolong mencari bongkot pohon, semakin banyak semakin bagus. Pula
pilihlah yang besar-besar.”
Si anak muda bersedia untuk bekerja, ia lantas pergi. Oey
Yong lantas bekerja, melara dadung dan menyambung yang putus kemarin.
Auwyang Hong tidak dapat berdiri diam saja, ia tanya nona
itu apa benar Oey Yok Su bakal datang. Sia-sia belaka ia menanya sampai
beberapa kali, Oey Yong ganda ia dengan bernyanyi-nyanyi perlahan, tangannya
terus bekerja. Karenanya ia terpaksa ngeloyor pergi, untuk membantui Kwee Ceng
mencari balok. Ia dapat melihat Kwee Ceng merobohkan pohon dengan serangan Hang
Liong Sip-pat Ciang, dengan dua kali hajaran saja dia dapat mematahkan batang
sebesar mangkok.
“Hebat
bocah ini,” memikir See Tok. “Dia pun hapal Kiu Im Cin-keng, kalau dia terus
dikasih tinggal hidup, di belakang hari dia bakal menjadi bahaya untuk
pihakku…” Maka berpikirlah ia, keponakannya ketolongan atau tidak, pemuda ini
harus disingkirkan. Habis itu ia bekerja, ia membuatnya
Kwee Ceng heran dan kagum. Ia berdiri di antara dua pohon, begitu ia menggeraki
tangannya kedua pihak, dua-dua pohon itu roboh patah dengan berbareng.
“Paman Auwyang,” Kwee Ceng menanya, “Sampai kapan aku
dapat mencapai ilmu seperti ynag dipunyakan kau ini?”
Wajah Auwyang Hong bermuram durja, di dalam hatinya, ia
kata: “Tunggu sampai kau menitis pula…” Ia tidak memberikan jawaban pada pemuda
itu.
Setelah memperoleh belasan potong balok, Kwee Ceng dan
See Tok membawa itu semua kepada Oey Yongn. Matanya See Tok kemudian diarahkan
ke tengah laut. Ia mau melihat ada perahu datang atau tidak. Ketika itu air
mulai naik. Terang sekali ia sudah tidak sabaran sekali, maka juga ia mengajak
si nona dan pemuda lekas bekerja.
Kali ini Oey Yong mengikat potongan-potongan balok itu
kepada batu. Ia pakai balok-balok itu untuk meminjam tenaga mengambangnya.
Setelah itu, dengan dadung yang terikat rapi pula pada pohon besar, mereka
mulai lagi dengan usahanya mendorong mutar ujung-ujung balok yang diikat pada
pohon itu.
Percobaan si nona ini memberi hasil yang menyenangkan,
dengan dibantu tenaga mengambangnya balok-balok itu, batu besar itu dapat
terangkat hanya dengan beberapa putaran.
Auwyang Hong menyuruh muda-mudi itu menahan kuat-kuat, ia
sendiri lari ke batu. Air telah pasang dalam, maka untuk menolongi
keponakannya, ia mesti menahan napas untuk selulup. Tidak sukar untuknya
memondong Auwyang Kongcu, buat dibawa ke darat.
Kegirangannya Kwee Ceng tidak terhingga besarnya yang
pertolongan mereka itu telah berhasil, tanpa merasa ia bersorak-sorai, kemudian
ia tarik tangannya Oey Yong, untuk diseret berlari-lari ke gua mereka tanpa
memperdulikan pula itu paman dan keponakannya.
“Adik Yong, pantas atau tidak aku bersorak?” tanya Kwee
Ceng. “Hatimu lega atau tidak?”
“Aku hanya lagi memikirkan tiga soal yang aku merasakan
kesulitannya,” menyahut si nona.
“Kau sangat cerdas, kau pasti mempunyai dayanya,” berkata
pula Kwee Ceng. “Soal-soal apakah itu?”
Oey Yong menyebut-nyebut kesulitan tetapi ditanya begitu,
ia bersenyum. Hanya, belum lagi ia memberikan jawabannya atau kedua alisnya
telah dikerutkan.
“Soal yang pertama tidak apa,” berkata Ang Cit Kong yang
semenjak tadi berdiam saja. “Yang kedua dan yang ketiga memang sulit sekali,
sungguh itu dapat membuat orang tidak berdaya…….”
Kwee Ceng menjadi heran.
“Eh, mengapakah suhu mendapat tahu?” katanya. “Apakah
itu?”
“Aku dapat menerka pikirannya Yong-jie,” menyahut sang
guru. “Yang pertama-tama yaitu dengan cara bagaimana dia dapat mengobati
lukaku. Di sini tak ada tabib, tak ada obat, aku si pengemis tua menyerah saja
kepada takdir. Lihat saja, aku bakal mati atau bisa hidup terus… Yang kedua itu
ialah bagaimana caranya untuk melawan Auwyang Hong si licin dan berbisa itu.
Dia suka berbalik pikir, maka dia tak lah dapat dipercaya habis segala
pembilangannya. Dia sangat lihay, kamu berdua tidak nanti bisa menempur
padanya. Yang ketiga ialah soal bagaimana kita bisa dapat pulang ke daratan.
Benar bukan, Yong-jie?”
Nona itu mengangguk.
“Benar!” sahutnya. “Inilah soal sangat penting untuk
kita, soal bagaikan bencana di depan mata. Aku memikir jalan untuk dapat
mengendalikan si tua bangka berbisa itu, walaupun tidak sempurna, asal dia
dapat dibikin tidak berani memandang sebelah mata kepada kita.”
“Melihat keadaan, sekarang ini kita mesti melawan si bisa
bangkotan itu dengan otak bukannya dengan tenaga,” berkata Ang Cit Kong. “Hanya
dia sangat cerdik dan licin, inilah kesulitannya. Sukar dia dapat
diperdayakan…”
Oey Yong berdiam, ia berpikir. Kwee Ceng pun tidak berdaya.
Ang Cit Kong berpikir keras
sekali, ia merasakan dadanya sakit, karen
aitu ia lalu batuk-batuk.
Nona Oey kaget, lekas-lekas
ia pegangi guru itu, untuk dikasih rebah.
Disaat
itu, mendadak gua menjadi gelap, ada bayangan hitam yang mengalinginya. Si
nonalah yang paling dulu mengangkat kepalanya. Ia melihat Auwyang Hng berdiri
tegar seraya memondong keponakannya. Dengan suara serak tetapi bengis, See Tok
membentak: “Kamu semua keluar! Serahkan gua ini padaku untuk aku merawat
keponakanku!”
Kwee Ceng gusar hingga ia
berlompat bangun.
“Di sini ada guruku!” ia berseru.
Auwyang Hong mengasih dengar suara dingin: “Sekalipun
Giok Hong Taytee yang tinggal disini, dia juga mesti keluar!”
Kwee Ceng bertambah gusar, tetapi Oey Yong lekas menarik
tangan bajunya, kemudian si nona memondong tubuh gurunya, untuk dibawa keluar
dari gua itu.
Selagi
lewat di samping Auwyang
Hong, Cit Kong
menyeringai.
“Sungguh
gagah, sungguh angker!” ia menyindir.
Matanya Auwyang Hong mencilak. Kalau ia
menyerang, segera Ang
Cit Kong
akan terbinasa, entah kenapa ia merasakan suatu pengaruh aneh, maka lekas-lekas
ia berpaling ke arah lain, untuk menyingkir dari mata tajam si pengemis.
Walaupun begitu, mulutnya membilang: “Sebentar kamu membawakan barang makanan
untuk kami berdua. Dan kau, dua makhluk
cilik, jikalau kamu main gila dengan barang makanan itu, hati-hati jiwamu
bertiga!”
Ketiganya
berjalan terus, hati mereka panas. Kwee Ceng
sangat mendongkol, ia mengutuk tak hentinya. Pak Kay
dapat menutup mulut, demikian juga Oey Yong.
Hanya nona ini bekerja otaknya.
“Kamu
tunggu sebentar di sini, akan aku mencari tempat yang baru,” kata Kwee Ceng
kemudian.
Oey Yong menurut, ia berhenti
di bawah sebuah pohon yang teduh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar