Kwee Ceng pun berseru saking heran kapan ia telah melihat
benda itu.
“Kau
kenal ini?” Oey Yong tanya.
“Ya.
Inilah patkwa besi kepunyaannya Liok Chungcu di Kwie-in-chung.”
“Tapi
belum tentu kepunyaannya Liok Suheng sendiri.”
“Mungkin.
Melihat rusaknya pakaian, mayat ini mestinya sudah berada di sini sepuluh
tahun.”
Oey
Yong berdiam akan tetapi otaknya bekerja. Habis itu ia sambar golok di atas peti
besi itu, ia bawa itu ke depan matanya, untuk melihat dengan teliti. Ia
mendapatkan ukiran sebuah huruf “Kiok”. Atas itu dengan kaget ia berseru: “Yang
rebah di tanah ini adalah kakak seperguruanku!”
Kembali Kwee Ceng memperdengarkan suara heran.
“Menurut Liok Suheng, Kiok Suheng masih hidup, siapa tahu
dia telah terbinasa di sini,” berkata Oey Yong kemudian. “Engko Ceng, coba kau
lihat ini tulang kakinya.”
Kwee Ceng berdongko.
“Kedua tulang pahanya patah,” ia berkata. “Ah, ia telah
dihajar patah oelh ayahmu…”
Si nona mengangguk.
“Kakak seperguruan ini bernama Liok Leng Hong,” ia
memberi keterangan. “Pernah ayah menerangkan, di antara enam muridnya, Kiok
Suheng ini paling pandai dan ia pun paling disayangi…”
Belum habis ia berkata, Oey Yong sudah lompat untuk lari
ke luar dari ruang rahasia itu. Kwee Ceng, yang merasa heran lari mengikuti.
Oey Yong lari kepada Sa Kouw.
“Kau she Kiok, bukankah?” ia menanya.
Sa Kouw tidak menyahuti, ia hanya tertawa geli.
“Nona, apakah shemu?” Kwee Ceng menanya, sabar.
“Aku tidak
tahu,” menyahut nona itu menggeleng kepala.
Selagi dua
orang itu hendak menanyakan terlebih jauh, Pek Thong menjerit-jerit; “Aku sudah
lapar! Aku sudah lapar! Aku bisa mati kelaparan!”
“Benar,”
berkata Oey Yong. “Mari kita bersantap dulu.” Ia membukai ikatannya Sa Kouw, ia
ajak nona itu bersantap bersama.
Sa Kouw
tidak menampik, ia tertawa, ia angkat mangkoknya dan dahar.
Sembari bersantap Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia itu.
Sembari bersantap Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia itu.
Pak Kay pun heran.
“Rupanya orang she Cio itu menghajar mati suhengmu itu,
lantas ia hendak membuka peti besi itu,” katanya, mengutarkan dugaannya. “Tidak
tahunya suhengmu itu belum mati dan ia menimpuk dengan golok itu.”
“Melihat keletakannya, mungkin begitu kejadiannya,” Oey
Yong membenarkan. Ia lantas memperlihatkan golok lancip itu serta patkwa besi
pada si nona tolol. Ia menanya, “Apakah kau tahu siapa punya ini?”
Melihat itu, wajahnya Sa Kouw berubah. Ia berpaling,
agaknya ia berpikir, tapi ia tidak dapat mengingat apa-apa. Akhirnya ia menggeleng
kepalanya, hanya tangannya memegangi golok itu, tak mau dilepaskan.
“Rupanya pernah ia melihat golok ini, sekarang dia tidak
ingat,” bilang Oey Yong.
Habis bersantap, sesudah memernahkan Ang Cit Kong, yang
merebahkan diri untuk tidur, Oey Yong ajak Kwee Ceng pergi pula ke kamar gelap
itu, untuk memeriksa terlebih jauh. Sekarang perhatian mereka ditujukan kepada
peti besi itu, yang entah apa isinya.
Semua tulang di atas tutup peti disingkirkan. Gampang
sekali mengangkatnya, sebab peti tidak dikunci. Peti itu menyinarkan cahaya
bergemerlapan, sebab isinya adalah pelbagai macam batu permata.
Kwee Ceng hanya merasa aneh, tetapi Oey Yong ketahui
itulah harta besar sekali. Ayahnya biasa mengumpulkan permata tetapi tak
sebanyak ini.
Nona Oey meraup permata itu, lalu ia melepaskan pula.
Batu-batu itu mengasih dengar suara nyaring.
“Semua permata ini mestinya ada riwayatnya,” kata si nona
kemudian. “Kalau ayahku ada disini, ia tentu mengetahuinya.”
Lalu ia menjelaskan kepada Kwee Ceng namanya setiap batu
permata itu.
Kwee Ceng gelap untuk semua permata itu, belum pernah ia
melihatnya, belum pernah ia mendengarnya.
Oey Yong meraup pula, sampai dalam. Tangannya membentur
dasarnya peti besi. Ia merasakan lantai yang keras. Ia jadi menduga peti besi
itu ada lapisannya. Ia lantas meneliti pinggirannya peti itu. Sekarang ia
melihat gelang kecil di kira dan di kanan, yang tadinya kealingan batu-batu
permata. Ia menggunai kedua tangannya memegang sepasang gelang itu, lalu ia
mengangkat. Untuk herannya, ia mendapatkan di dasar peti itu sejumlah barang
kuno dari perunggung dan lainnya dan mestinya pun dari pelbagai jaman yang
telah lampau. Jadi inilah benda-benda yang lebih berharga daripada batu-batu
permata itu.
Masih ada lagi lain lapisan peti itu. Ketika lapisan ini pun
diangkat, di dalam situ terlihat pelbagai gambar lukisan dan tulisan huruf
segulung demi segulung.
“Mari bantui aku,” si nona minta pada Kwee Ceng, untuk
membeber gambar-gambar itu. Kesudahannya, ia menjadi heran dan kagum. Sebab ia
melihat lukisan-lukisan dari Gouw Too Cu, Co Pa, Kie Jian dan Lie Houw-cu
kaisar dari dinasti Tong Selatan, dan lainnya lagi, jumlahnya duapuluh lembar
lebih. Dan semua itu pun barang-barang yang harganya luar biasa.
Saking kagum, Oey Yong tidak mau melihat lebig lama,
semua itu ia masuki ke dalam peti itu, lalu ditutup dengan rapi, kemudian
sambil memeluk dengkul, ia duduk bercokol di atasnya. Ia berpikir keras.
“Ayahku pengumpul semua permata dan barang kuno, tetapi
apa yang ia peroleh tidak ada satu sepersepuluh dari harta karun ini,”
pikirnya. “Kenapa Kiok Suheng ada demikian lihay hingga ia dapat memeproleh
semua ini?”
Tidak sempat nona ini berpikir terus, ia mendengar suara
nyaring Ciu Pek Thong, “He, keluar kamu semua! Mari kita pergi ke rumahnya
kaisar untuk dahar Wanyoh Ngo-tin-kwee!”
“Kita pergi malam ini?” tanya Kwee Ceng.
“Lebih cepat satu hari lebih baik,” berkata Cit Kong.
“Kalau kita berlambat, aku khawatir aku tak dapat bertahan lebih lama pula…”
“Suhu,” berkata Oey Yong, “Paling cepat juga baru besok
pagi kita dapat masuk ke dalam kota. Suhu jangan dengarkan ocehannya Loo Boan
Tong!”
“Ya, sudah, sudahlah!” berkata Ciu Pek Thong. “Memang
sagalanya aku yang salah!”
Terus ia menutup mulutnya.
Besoknya pagi, Oey Yong berdua dengan Kwee Ceng mematangi
nasi, lalu mereka sarapan bersama-sama Sa Kouw. Oey Yong memikirkan tempat yang aman
untuk menyimpan harta karun itu.
“Sudah,
mari kita lekas pergi!” Pek Thong mengajaki. “Itu toh bukannya bendamu! Perlu
apa kau capaikan hati?”
Si nona memikir, memang tempat itu adalah tempat yang
paling aman. Bukankah harta karun itu sudah berdiam di dalam kamar rahasia itu
untuk belasan tahun? Maka ia lantas bekerja, menutup rapat pula pintu rahasia
dan benahkan segala apa yang seperti bermula mereka datang.
Selama itu Sa Kouw tidak memperdulikan perbuatan orang,
ia tidak tahu menahu, ia hanya lebih suka membuat main golok tajam itu.
Ketika mau pergi, Oey Yong memberikan uang perak dua
potong.
Sa Kouw menerimanya untuk terus dilempar secara
sembarangan ke atas meja.
“Jikalau kau lapar, pakailah uang ini untuk membeli beras
dan daging,” pesan Oey Yong.
Nona itu acuh tak acuh, ia cuma tertawa saja.
Oey Yong berduka sangat, ia mengasihi nona tolol itu ini.
Ia mau percaya dia ada hubungannya sama Kiok Leng Hong, mungkin sanak atau
muridnya suheng itu. Ia pun tidak mengerti, orang tolol semenjak kecil atau
hanya baru belakangan saja karena sesuatu serangan otak. Tadinya ia hendak
mencari keterangan di kampung itu tetapi Ciu Pek Thong mendesak tak hentinya,
terpaksa ia turut juga. Maka berempat mereka pergi menuju ke kota. Cit Kong
tetap naik kereta.
Kota Lim-an ialah kota Hangciu yang tersohor indah, kota
ini dijadikan kota raja oleh karena pemerintahan Song berpindah ke Selatan. Oey
Yong berempat memasuki pintu kota timur, Cit Kong mendesak untuk pergi ke
istana kaisar, dari itu mereka menuju ke pintu Lee-ceng-mui.
Pek Thong bertiga memandang istana, yang indah, yang
berukir dan bergambar dan juga dicat merah dan air emas. Wuwungannya ditutup
dengan genteng kuningan yang berkilauan, yang pun diukir dengan naga-nagaan dan
burung hong.
“Bagus!”
Pek Thong berseru, kagum. “Mari kita masuk!”
Di
muka istana ada serdadu-serdadu pengawal, mereka mendengar suara berisik itu,
mereka melihat seorang tua dan sepasang muda-mudi mengiringi kereta keledai,
empat diantaranya lantas maju mendekati untuk menangkap. Mereka semua
bergenggaman kampak.
Pek
Thong si berandalan gembira sekali, tidak perduli orang bertibih kekar dan
romannya garang, ia hendak maju melayani mereka itu.
“Jangan!”
mencegah Oey Yong. “Mari kita lekas pergi!”
“Takut
apa?!” mata Pek Thong mencelik. “Masa mereka dapat gegares aku?”
“Jikalau
kau tidak mau dengar aku, lain kali aku tidak mau memperdulikan pula padamu!”
kata Oey Yong yang terus mencambuk kedelai hingga keretanya menggelinding cepat
ke arah barat.
Kwee
Ceng lantas menyusul.
Pek
Thong takut juga nanti ditinggal pergi hingga ia tidak dapat turut pesiar, ia
turut pula berlalu dengan meninggalkan keempat pengawal pintu itu. Mereka ini
tidak mengejar, hanya mereka menertawai. Mereka menduga itulah rombongan orang
desa….
Oey
Yong larikan keretanya ke tempat sepi di mana tidak ada lain orang, di situ ia
berhenti.
“Kenapa
tidak menerjang masuk ke istana?” kata Pek Thong. “Itu segala kantung nasi, mana mereka bisa mencegah kita?”
“Menerjang masuk memang tidak sukar,” menyahut Oey Yong.
“Tetapi kita datang ke mari untuk bertarung atau untuk pergi ke dapur raja
untuk mencari barang makanan? Dengan menerjang masuk, kau membuatnya gaduh,
dengan begitu, mana bisa kau mendapatkan Wanyon Ngo-tin-kwee untuk guruku?”
Pek Thong berdiam, tak dapat ia menjawab.
“Baiklah, kembali aku yang salah!” katanya kemudian.
“Dasarnya salah!” kata Oey Yong.
“Ya, sudahlah!” kata pula si tua berandalan itu. Ia terus
perbaling kepada Kwee Ceng untuk mengatakan: “Wanita di kolong langit semuanya
galak-galak, maka itu juga Loo Boan Tong tidak sudi menikah seumur hidupnya…”
Oey Yong tertawa.
“Engko Ceng orang baik, orang tidak nanti menggalaki
dia!” katanya.
“Kalau begitu, apakah aku bukannya orang baik?”
“Habis apa kau sebenarnya orang baik? Coba bilang, kau
yang tidak hendak menikah atau si nona yang tak sudi menikah denganmu?”
Pek
Thong miringkan kepalanya, ia tidak menjawab.
“Mari
kita mencari penginapan dulu,” Kwee Ceng datang sama tengah. “Sebentar malam
baru kita memasuki istana.”
“Benar,”
kata Oey Yong. “Setelah suhu berdiam di hotel, nanti aku masak unntuk kamu
dahar.”
“Bagus,
bagus!” Cit Kong memuji. Ia girang sekali.
Mereka
lantas menuju ke Jalan Gie-gay, untuk menyewa kamar di penginapan Kim Hoa. Oey
Yong benar saja lantas pergi ke dapur itu untuk memasak tiga rupa barang
hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga orang-orang di penginapan itu
menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana yang pandai masak itu.
Diwaktu
bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak ada wanita yang
sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja ngambek….!
Habis
bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng mengajak Pek Thong
jalan-jalan, Loo boan Tong tetap ngambek.
“Kalau
begitu, baik-baiklah kau temani guruku,” kata Oey Yong tertawa. “Sebentar aku
belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau buat main.”
Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu.
“Apakah kau tidak mendustakan aku?” tanyanya.
“Pasti tidak!” si nona memberikan perkataannya.
Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya di musim semi,
pernah ia pergi ke kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To,
hanya karena khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama-lama
di situ, sekarang ia luang tempo, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga See
Ouw yang tersohor itu.
Biar bagaimana, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira.
Oey Yong melihat itu, ia menduga itulah disebabkan si pemuda memikirkan
sakitnya Cit Kong. Maka ia berkata: “Suhu bilang ada serupa barang yang dapat
menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkannya, bahkan ia
melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimana, aku hendak berdaya untuk
mendapatkannya, buat mengobati dia hingga sembuh!”
“Yong-jie,
itulah paling bagus!” kata Kwee Ceng girang. “Apakah kau merasa pasti akan bisa
mendapatkannya itu?”
“Aku
tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku menanyakan
keterangan suhu. Disaat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba ia sadar,
lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek keterangannya.”
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega.
Sembari berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan
buntung di tepi telaga. Inilah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw,
dimana orang bisa mendapat lihat sisa salju, cuma karena sekarangt musim panas,
yang terlihat ialah pohon-pohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong
jembatan itu.
“Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga
teratai,” Oey Yong mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil
yang nampaknya resik.
Kwee Ceng akur, maka berdua mereka pergi ke rumah makan
itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa barang santapan yang rasanya lezat.
Sembari
minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di jendela timur ada
sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia lantas mendekati itu. Nyata
di bawahnya itu ada tulisan yang berupa syair.
“Syairnya
indah juga,” katanya.
“Apakah
artinya itu?” tanya Kwee Ceng.
Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; “Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan….”
Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; “Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan….”
“Benar begitu,” sahut Oey Yong. “Maka itu ayahku paling
jemu semua orang semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin
ia cari penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong….”
Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin
yang berkata: “Jiwi tahu apa maka kamu bicara semabarangan di sini?”
Kwee
Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan dandanan
sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empatpuluh tahun, yang masih saja
tertawa dingin. Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata: “Aku yang rendah
tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya.”
“Kau
tahu inilah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari tahun Sun-hie,”
kata orang itu. “Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke mari untuk minum arak,
dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi, lalu di itu hari juga ia
memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena karyanya itu. Itulah untuk bagus
dari seorang sastrawan. Maka kenapa jiwi bicara sembarangan saja?”
“Jadi
kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?” tanya Oey Yong.
“Bukan
itu saja!” kata orang itu, tetap tertawa dingin. “Coba lihat itu bagian
kata-kata ‘Besok datang kembali dengan sisa mabuk’: Bukankah pada itu ada dua
tanda hurufnya yang diubah?”
Oey
Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan
itu.
“Sebenarnya
Jie Kok Po menulis, ‘Besok datang pula dengan membawa sisa arak,’ tetapi kaisar
cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia mengubahnya yaitu huruf ‘bawa’
ditukar dengan huruf ‘mendukung’ dan huruf ‘ arak’ ditukar dengan huruf
‘mabok’. Sebenarnya Jie Kok Po menulis, ‘Besok datang pula dengan membawa sisa
arak’. Kalau kaisar tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?”
Habis
berkata orang itu menggeleng kepala dan menghela napas.
“Ha,
satu kaisar begitu gila arak!” seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak
terbalik kekosol itu, hingga rusak.
Sejak
masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal kekejaman
bangsa Kim, ia menyangka itu hanya disebabkan kelemahannya kerajaan Song, maka
ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti bergiat memajukan negera,
untuk menuntut balas, siapa tahu, raja gila pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia
hajar sekosol ini, terus ia jambak si sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia
roboh masuk ke jambangan arak. Kepala di bawah, kaki di atas!
“Bagus!”
Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu, lalu dengan
sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan.
Pemilik
rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi apa, lari keluar
dengan ketakutan.
Kwee
Ceng lantas mengamuk seperti Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga
tiang itu patah dan rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa,
sambil berpegangan tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang
berani menyusul mereka.
“Puas
juga sekarang!” kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula.
“Ya,
apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!” Oey Yong membenarkan.
“Bagus
begitu!”
Jalan
lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di batu, di
pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas.
“Kalau
begini, tak bisa kita menghajar semua,” ia bilang. “Kau cerdik, Yong-jie, kau
ada punya daya apa?”
“Aku
lihat ada syairnya yang baik,” sahut si nona.
“Ah,
peduli apa!”
Selagi
bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada paseban Cui Bie
Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng melihat itu, sebab Han
See Tong ialah panglima tersohor yang menentang bangsa Kim. Ia bertindak masuk
ke dalam paseban itu.
Di
dalam itu ada sebuah syair tulisan Han See Tiong.
“Bagus
syair ini!” Kwee Ceng memuji.
“Sebenarnya
itulah syairnya Bu Bok Ong Gak Hui,” kata Oey Yong.
“Eh,
mengapa kau ketahui itu?”
“Ayah
pernah menuturkan itu padaku. Tempo tahun Ciauw-hin ke 11 di musim dingin, Gak
Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di lain tahunnya di musim
semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai tanda peringatan dan ia
menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus diukir.”
Kwee
Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam mengawasi syairnya,
yang pun ia usap-usap. Sedang begitu, mendadak Oey Yong mendak seraya menarik
ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti, masuk ke dalam gombolan pohon bunga.
Di situ pundaknya di tekan, hingga ia berjongkok seperti si nona.
Hampir
di itu waktu, mereka mendengar tindakan kaki memasuki paseban itu.
“Han
See Tiong itu memang seorang enghiong,” berkata seorang. “Tetapi istrinya pun
gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah turut maju di medan
perang dan telah memukul tambur untuk mengajurkan suaminya memperoleh
kemenangan?”
Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat ia suara
siapa itu.
“Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka
kalah dengan kaisar,” kata seorang lain. “Bukankah kaisar menghendaki
kematiannya dan semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang?
Mereka gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang
tak dapat ditentang!”
Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia
menduga-duga, mengapa pemuda ini berada di tempat ini.
Justru itu terdengar satu suara lain, yang seperti cecer
pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget. Itulah suaranya See Tok Auwyang
Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang Hong: “Benar! Asal kaisar gelap pikiran
yang bertahta dan segala dorna memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli
satu enghiong terbesar, ia tak ada gunanya!”
“Maka kalau raja bijaksana,” berkata orang yang pertama,
“Pastilah orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan
kegagahan dan kepandaiannya!”
Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh,
putra keenam dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam
tempo pebdek, ia tak segera mendapat ingat.
Mereka berdiam tidak lama di dalam paseban, habis bicara
dan tertawa, mereka berlalu pula.
“Coba duga,” kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh, “Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka itu?”
“Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah,” menyahut si nona. “Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?”
“Aku juga tidak mengerti,” kata Kwee Ceng.
“Coba duga,” kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh, “Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka itu?”
“Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah,” menyahut si nona. “Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?”
“Aku juga tidak mengerti,” kata Kwee Ceng.
Oey Yong
lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di istana Chao Wang
baru-baru ini. Ia menambahkan: “Wanyen Lieh telah mengumpulkan Pheng Lian Houw
dan kambrat-kambratnya, maksudnya untuk mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka
mau aku menduga surat wasiat itu mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh
celaka rakyat Song kita apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh di tangan
mereka itu!”
Tergetar hatinya Kwee Ceng.
Memang itulah hebat.
“Yong-jie,” katanya. “Kita mesti
mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!”
“Hanya sulitnya mereka itu ada
bersama si Bisa dari Barat itu…”
“Apakah kau jeri?”
“Apakah kau sendiri tidak takut?”
“Memang aku takut terhadap See
Tok, tetapi urusan ada begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja.”
Oey Yong tertawa.
“Kau tidak takut, aku juga tidak
takut!” katanya.
“Bagus! Sekarang mari kita susul
mereka!”
Mereka berlalu dari paseban itu,
tetapi mereka tak dapat menyandak Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka
ubak-ubakan di dalam kota. Hangciu kota besar, dalam tempo yang singkat, kota
itu tak dapat diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang
sore mendatangi, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu.
Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendah membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langitdan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu.
Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendah membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langitdan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu.
“Entah rumah makan apa itu?” kata
Oey Yong. Ia mendapat cium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko
topeng itu.
“Rupanya jiwi bukan orang sini
maka jiwi tidak ketahui,” berkata pelayan toko tertawa. “Itulah restoran Sam
Goan Lauw, yang kesohor nomor satu di kota kita. Jangan jiwi melewatkan
kesempatanmu ini!”
Oey Yong ketarik hatinya, ia
menyambuti topengnya, lantas ia tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi.
Rumah makan itu dipajang indah,
catnya pun bagus. Diatas lauwtengnya ada
dipanjar banyak tengloleng. Di pekarangannya dalam ada pohon-pohon bunga dan
lainnya. Setibanya mereka di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis,
menunjuki mereka tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan
itu mengundurkan diri.
Dari
terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan pakaiannya
yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak menanyakan pelayan
atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya segera mendapat dengar
satu suara dari balik tembok: “Baik juga! Coba suruh mereka bernyanyi menemani
kita minum arak!”
Itulah
suaranya Wanyen Lieh.
Kwee Ceng dan Oey Yong saling
merilik. Di dalam hatinya mereka kata: “Bagus!”
Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini.
Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini.
Lalu
terdengar suara memanggil dari pelayan, atas mana satu nona bunga raja
menyahuti lantas datang menghampirkan. Dia bertindak elok dan tangannya
memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara bernyanyi yang
merdu, nyanyian yang memujikan sungai Cian-tong dan kotanya yang indah.
“Bagus!”
demikian terdengar pujiannya Wanyen Lieh dan Yo Kang diakhirnya lagu itu.
Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar.
Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar.
“Anak,”
kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. “Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada
hubungannya sama negara Kim yang besar?”
“Anak tidak
tahu, coba ayah menjelaskannya,” terdengar jawabannya Yo Kang.
Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan.
Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan.
Yang dibilang syairnya Liu Eng
itu ialah syair “Bong Hay Tiauw” atau “Memandang gelombang” yang tadi
dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu.
Lantas
terdengar penjelasan Wanyen Lieh. “Di dalam tahun Ceng-liong dari negara Kim
yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu Eng itu yang memuji
telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke Selatan, sekalian dikirim
juga seorang pelukis, buat dia menggambar panorama kota Lim-an dalam mana
dilukiskan juga Junjungan kita lagi berdiri bersama kudanya di puncak bukit
Gouw San, kemudian Junjungan sendiri yang menulis syair di dalam gambar itu,
syair yang menguraikan ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di
puncak ke satu dari bukit Gouw San itu.”
“Sungguh
bagus!” Yo Kang memuji.
Kwee Ceng
meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya.
Lalu
terdengar Wanyen Lieh menghela napas yang berkata dengan menyesal: “Sayang tak
tercapai cita-cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke Selatan untuk
mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu sekarang akan ditelad
oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan itu terbukti dengan syair
yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya, ‘Kalau gagang kipas ada di tangan,
maka angin sejuk akan memenuhi kolong langit’.”
Di waktu
mengucap begitu, pastilah semangat Wanyen Lieh tengah tersengsam.
Setelah itu
terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata: “Kalau di lain hari
ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan tercapai itu cita-cita
berdiri di puncak gunung Gouw Wan!”
“Semoga
terjadi apa yang sianseng katakan,” kata Wanyen Lieh perlahan. “Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum
saja.”
Sampai di
situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka itu bertiga. Mereka berbicara
tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya.
“Mereka
minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!”
Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran!
Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran!
Dalam
sekejap berisiklah suara orang yang berteriak-teriak dari berlari-larian:
“Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!”
“Mari lekas
ke depan!” si nona membisiki lawannya. “Nanti mereka keburu lenyap lagi!”
“Malam ini
mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!” kata Kwee Ceng sengit.
“Tapi kita
mesti temani suhu masuk dulu ke istana,” kata Oey Yong. “Kemudian kita minta
Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa menghadap itu sepasang manusia
celaka!”
“Benar!”
kata Kwee Ceng setuju.
Mereka lantas turut berdesakan
pergi ke depan dimana justru Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong
terlihat lagi keluar dari rumah makan. Mereka menguntit dari kejauhan,
melintasi sejumlah jalan dan gang, sampai di penginapan Siang Hong di
See-sie-tiang. Sekian lama mereka menantikan, tidak juga Wanyen Lieh keluar,
maka mereka menduga tentulah tiga orang itu mondok di hotel itu.
“Mari kita pulang, setelah
mengajak Ciu Toako, baru kita satroni pula mereka!” kata Oey Yong.
Kwee Ceng menurut.
Kwee Ceng menurut.
Mereka pulang ke penginapan Kim
Hoa. Baru sampai di depan penginapan, mereka sudah dengar suara berisik dari
Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget, ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk.
Tiba di pekarangan, hatinya lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama
beberapa anak-anak. Nyata dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan
anak-anak itu tidak mau mengerti.
Melihat
Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk.
Oey
Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona mengeluarkan
macam-macam topeng yang ia beli itu, ia perlihatkan pada si orang tua.
Pek
Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, hingga sebentar ia jadi hakim
neraka, sebentar ia jadi hantu.
Oey Yong
lantas bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu ia untuk menghadapi
Auwyang Hong.
“Baik!” Pek
Thong menjawab. “Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam
ilmu silat juga!”
Oey Yong
khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab menghukum diri
disebabkan menggunai ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia sudah ikat kedua tangannya
untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia lantas berkata: “See Tok itu manusia
sangat busuk, kalau kau gunai Kiu Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu
tidak melanggar larangan kakak seperguruanmu!”
“Ah, itu
tidak dapat!” menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar matanya. “Aku toh
sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunai Kim Im Cin-keng itu.”
Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu nanti ngambek.
Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dengan sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja.
Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dengan sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja.
Istana
terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma apinya yang
terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi mereka ini sudah
keburu tidur pulas.
Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit
Kong di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggerataki almari untuk
mencari barang hidangan seadanya, maka dilain saat, berempat mereka sudah
menggoyang janggut.
“Ah, pengemis bangkotan, barang
makanan di sini mana lebih lezat daripada masakannya Nona Oey,” kata Pek Tong
menggeleng kepala. “Jauh-jauh kau datang kemari, habisnya tak menggembirakan….”
“Sebenarnya aku ingin dahar
Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah pergi kemana,” sahut Ang Cit Kong.
“Yang ada di sini ialah barang makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok
kita bekuk itu koki dan suruh ia memasaki.”
“Aku tidak percaya dia dapat
menangkan masakan Nona Oey!” kata pula Pek Thong.
Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng.
“Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu,” kata Cit Kong. “Kalau kau tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku.”
Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng.
“Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu,” kata Cit Kong. “Kalau kau tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku.”
Pek Thong membekal topengnya, ia
pakai topeng malaikat kota.
“Tidak, aku akan ebrdiam di sini
menemani kau!” katanya tertawa. “Besok aku akan pakai topeng ini untuk menemui
raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu awasi See Tok jangan sampai ia berhasil
mencuri surat wasiatnya Gak Bu Bok.”
“Loo Boan Tong benar, maka
pergilah kamu lekas,” kata Ang Cit Kong. “Asal kamu waspada.”
Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati pesan itu.
“Malam itu jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihar aku!” Pek Thong memesan pula.
Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati pesan itu.
“Malam itu jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihar aku!” Pek Thong memesan pula.
“Meskipun kita tidak menang, kita
mesti tempur dia,” Oey Yong bilang. Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu,
maksudnya pergi ke penginapan Siang Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga.
Dua pendopo istana telah dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta
kupingnya mendengar suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga.
Oey Yong memang paling menggemari
bunga, mendapat cium bau semerbak itu, ia lantas berpikir di istana ini, di
dekatnya, bunga-bunga di istana mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia
melihatnya. Karena ini ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat ajak si anak muda
pergi mencari pohon bunga itu.
Tidak gampang untuk muda-mudi ini
sampai di tempat tujuannya, mereka hanya merasai hawa semakin dingin dan suara
air makin keras dan berisik. Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong
panjang dan menikung, lalu sampai di satu tempat di mana ada ditaman rapi
banyak pohon cemara dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem.
Oey Yong bergembira. Ia dapatkan
jalanan di dalam istana ini kalah dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu,
tetapi pepohonannya tidak usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di
hadapannya ia melihat air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak,
jatuhnya ke sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon
teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah
paseban indah dengan merknya Cui Han Tong.
Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong
bertindak masuk ke dalam paseban itu di mana di bagian depannya terlihat banyak
macam bunga musim panas, seperti melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan
di sebelah belakangnya ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya
pesaben itu. Di atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti obi
teratai, semangka, tho dan lainnya. Di atas kursi ada beberapa buah kipas. Mungkin
tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur.
“Sungguh raja berbahagia!” Kwee Ceng mengeluh.
“Sungguh raja berbahagia!” Kwee Ceng mengeluh.
“Nah, kau pun mencobai menjadi
raja barang satu kali!” kata Oey Yong tertawa seraya ia tarik tangan si anak
muda itu, untuk orang bercokol di atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa
rupa buah, ia menyuguhinya sambil berlutut dan berkata: “Silahkan Sri baginda
bahar bebuahan!”
Kwee Ceng tertawa, sambil
tangannya mengambil buah piepee, ia berkata: “Silahkan bangun!”
“Salah!” berkata Oey Yong. “Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!”
Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona.
“Salah!” berkata Oey Yong. “Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!”
Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona.
Selagi mereka gembira itu, hingga
mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan: “Siapa di
sana?!” Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat, untuk terus sembunyi
di belakang gunung-gunungan.
Teguran itu disusul sama tindakan
cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan mana lega hatinya si pemuda
dan pemudi itu.
“Jangan pedulikan mereka!” Oey
Yong berbisik. “Dua kantong nasi itu tidak bakal menemui kita!”
Itu waktu lantas terlihat dua
orang, yang tubuhnya besar, tiba di paseban, tangan mereka masing-masing
mencekal sebatang golok. Mereka itu
lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa.
“Ah. Lao Su,
kau melihat setan!” katanya.
“Ya, dalam
beberapa hari ini mataku seperti lamur!” sahut kawannya yang dipanggil Lao Su
itu, artinya Su si tua.
Kemudian dua
orang itu mengundurkan diri.
Oey Yong
tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng niatnya untuk diajak
keluar, tetapi belum lagi mereka muncul dari tempat persembunyiannya mereka
itu, kuping mereka mendapat dengar seruan tertahan dari dua centeng istana itu,
benar suara itu perlahan akan tetapi si noa dan si pemuda mengerti, itulah
suara dari orang yang kena ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir:
“Tentu Ciu Toako tak sabaran, dia pun lantas keluar pesiar!”
“Itu paseban
di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!” tiba-tiba Oey Yong dan Kwee Ceng
mendnegar suara orang, perlahan. “Mari kita pergi ke sana.”
Muda-mudi
ini terperanjat. Mereka mengenali suaranya Wanyen Lieh. keduanya saling
menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan diri mereka. Tubuh
mereka tidak berkutik, tetpai mata mereka dipasang, diincarkan ke depan.
Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian,
Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian,
Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong.
“Heran, mau
apa mereka datang ke istana…” pikir muda mudi ini. “Tak mungkin mereka pun
hendak mencuri barangan makanan raja…”
“Siauw-ong
telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok,” terdengar suaranya Wanyen
Lieh, “Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua kaisar Kho Cong dan Hauw
Cong, mak aitu berani siauw-ong memastikan surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya
disimpan di sini, lima belas tindak di Timur Cui Han Tong ini.”
Sembari
berkata pangeran Kim itu menunjuk dengan tangannya, maka semua kawannya
memandang ke arah tempat yang di tunjuk itu. Di sana adalah air tumpah, tidak
ada benda lainnya.
“Di dalam
air tumpah mana bisa di simpan barang?” berkata Wanyen Lieh heran, “Toh
bukti-bukti memastikan demikian…”
See Thong
Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si Raja Naga Pintu
Setan, maka ia lantas berkata: “Nanti aku terjun akan memeriksa air tumpah
ini.”
Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan padanya.
Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan padanya.
“Ongya benar pandai!” kata orang
she See ini. “Di belakang air tumpah ini ada sebuah gua dengan pintunya besi
yang terkunci.”
Wanyen Lieh menjadi sangat
girang.
“Surat wasiat Gak Bu Bok mesti di
simpan di dalam gua itu!” katanya nyaring. “Sekarang siauw-ongya minta
tuan-tuan suka pergi membuka pintu besi itu.”
Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan-kawan itu.
Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan-kawan itu.
See Thong Thian maju paling dulu.
Begitu ia melewati air tumpah, mendadak ada
angin menyambar padanya. Dia lihay tetapi dia tidak menyangka jelek, maka itu
hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya kena orang cekal terus ditolak
dengan keras, hingga ia terpental balik menubruk Nio Cu Ong!
Syukur,
dua-dua mereka lihay, keduanya tidak terluka, mereka melainkan terhuyung
mundur.
Semua orang
heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong Thian sudah
menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia berseiap sedia. Ia
melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air, atau sebuah kepalan sudah
meninju kepadanya. Karena ia sudah bersedia, ia menangkis dengan tangan kirinya
seraya kepalan tangan kanan dipakai membarengi menyerang membalas.
Ketika itu
Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya, ia dipapaki
tongkat. Ia kaget, ia tidak sempat menangkis, maka itu ia berkelit dengan
melenggakan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh ke air dan kena
ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar lihay, ia masih sempat
lompat keluar dari air tumpah.
Berbareng
dengan itu, See Thong Thian pun mesti keluar lagi karena ia kena didesak tinju
yang dahsyat.
Hauw Thong
Hay telah menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia tidak ingat bahwa
ilmu silat ia kalah dari See Thong Thian, sang kakak seperguruan, ia lantas
maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya bisa berenang dan di dalam air bisa
membuka matanya.
Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam kawan ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju, atau suatu benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusl sama jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu.
Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam kawan ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju, atau suatu benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusl sama jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu.
Lian Houw
lantas lompat menghampirkan.
“Perlahan,
saudara Hauw!” ia memperingati, berbisik. “Kau kenapa?”
“Celaka,
kempolanku kena terhajar!” sahut Sam-tauw-kauw Si Ular Naga Kepala Tiga.
Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.
Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.
“Sebenarnya
telah terjadi apa?” ia menegasi. Ia meraba kempolan orang, di situ ia tidak
merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak mau sembarang menyerbu
air tumpah itu. Maka ia menanya pula: “Ada orang di dalam? Siapakah dia?”
“Mana aku tahu?” sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. “Begitu aku masuk begitu aku terhajar keluar!”
“Mana aku tahu?” sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. “Begitu aku masuk begitu aku terhajar keluar!”
Lian Houw
tercengang.
Justru itu
Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya berkibaran, memasuki air tumpah itu, atau
dilain saat dia perdengarkan suaranya dalam bahasa Tibet, dia berbicara sambil
berseru-seru dan terdengar juga suara pertarungannya.
Maka
teranglah ia pun dapat sambutan dan jadi berkelahi.
Wanyen Lieh
semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan. Tidak tahu mereka, ada
musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See Thong Thian dan Nio Cu Ong,
mereka samar-samar melihat sepasang pemuda-pemudi, si pemuda dengan tangan
kosong, si pemudi dengan tongkat.
Kembali
terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia pun
“menderita”…
“Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?” kata Wanyen Lieh sambil mengerutkan kening. “Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah kita mencuri wasiat?”
Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini terlempar keluar dari dalam air tumpah itu.
“Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?” kata Wanyen Lieh sambil mengerutkan kening. “Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah kita mencuri wasiat?”
Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini terlempar keluar dari dalam air tumpah itu.
Hauw Thong
Hay khawatir cecer itu jatuh dengan menerbitkan suara berisik, ia lomat untuk
menangkapinya.
Dari dalam
air tumpah lagi sekali terdengar dampratan Leng Tie Siangjin, hanya kali ini
disusul sama mencelatnya tubuhnya yang besar, akan tetapi karena ia lihay,
ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan tegar.
“Itulah
bocah dan budak yang kita ketemukan di perahu!” Leng Tie kata dengan
sengit.
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang bersembunyi di belakang gunung,
mendengar nyata pembicaraannya Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak
mencuri surat wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat itu kena
didapatkan pangeran itu. Inilah hebat. Dengan menggunai siasatnya Gak Hui itu,
pasti bangsa Kim bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana itu bisa
dicegah? Diantara orang-orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang Hong yang lihay.
Oey Yong mencoba mencari akal, untuk membikin mereka itu kaget dan nanti lari
kabur. Kwee Ceng sebaliknya tidak sabaran, karena tidak ada tempo lagi untuk
berpikir lama-lama atau mengatur tipu. Akhirnya pemudi ini menarik tangan si
pemuda, untuk diajak pergi ke belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa
ada yang lihat dan tanpa ada yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik.
Muda-mudi
ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air tumpah itu,
dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini membikin mereka
berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah buahnya pernyakinan mereka
atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian.
Demikian
mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga pendeta
Tibet ini mencaci kalang kabutan.
“Engko
Ceng, mari lekas!” Oey Yong mengajak. “Mari kita keluar dan berteriak-teriak,
biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan begitu mereka ini tentulah tak
dapat bekerja terlebih jauh melakukan pencurian!”
Oey
Yong berkata berpikir demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin,
Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka tidak
berdaya lagi.
“Pergi
kau keluar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!”
“Tapi
ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!” Oey Yong memesan.
“Aku
mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!”
Baru
Oey Yong mau keluar atau mendadak mereka merasakan tolakan angin keras sekali.
Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya dengan berbareng keduanya
lompat ke samping masing-masing.
Hebat
tolakan itu, yang ada Kap-mo-kang, pukulam Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong.
Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai tepat pintu besai
dari gua, maka itu terdengarlah satu suara nyaring sedang air muncrat ke segala
penjuru.
Oey
Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok angin. Dalam
sekejap itu ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang,
akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya berdiam sejenak, untuk memusatkan
pikiran, segera ia melompat keluar, akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya:
“Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!” Dan sembari
berteriak-teriak, ia kabur ke depan.
Wanyen
Lieh semua kaget.
“Marilah
kita hajar mampus dulu budak ini!” Pheng Lian Houw berseru bahna mendongkolnya.
Ia gusar dan penasaran. Segera ia melompat, untuk mengejar.
Suaranya
Oey Yong mendengung dalam malam yang sunyai itu, suara itu dapat didengar
rombongan-rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat penjuru istana. Paling
dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang, untuk saling memberi tanda, habis
itu mereka lantas bergerak.
Oey
Yong berlompat naik ke atas genting, ia mencabuti genting dengan apa ia
menimpuk kalang-kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara berisik.
Pheng
Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati si nona.
Dalam
keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap tenang. Ia menoleh ke sisinya,
kepada seorang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam juga.
“Anak
Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah untuk mengambil
surat wasiat itu!” katanya. Pangeran itu masih belum mau melepaskan ikhtiarnya
mencuri surat yang dia sangat harapkan itu.
Orang
dismapingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra pungutnya .
Auwyang
Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan tenaganya, guna
menggunai Kuntauw Kodok menyerang pula ke arah air tumpah, maka itu, begitu ia
menyerang, terdengar pula suara berisik seperti tadi. Bahkan kali ini kedua
daun pintu gua tertolak mundur ke dalam.
Setelah
berhasil dengan serangannya itu, Auwyang Hong mau berlompat maju guna masuk ke
dalam air tumpah, guna memasuki gua dan mengambil surat wasiat yang diarah itu.
Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan orang yang berkelebat dari
samping, dan belum lagi bayangan itu tiba, angin serangannya sudah mendahului.
Ia mengenali, itulah pukulan Hui Liong Thay-thian, Naga Terbang ke Langit.
“Hm!”
pikir See Tok sambil ia berkelit. “Memang aku hendak tanyakan dia keterangan
kitab Kiu Im Cin-keng, kebetulan sekali, sekarang baik aku sekalian membekuk
dia…!”
Karena
ini, sambil berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menjambak
penyerang itu.
Si
penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia bertekad
membelai surat wasiatnya Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli musuh lihay dan Oey
Yong telah melarang ia menempur See Tok. Ia harap, dalam tempo yang pendek,
kawanan siewie akan sudah tiba di situ. Ketika ia menampak gerakannya Auwyang
Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat telengas, ia hanya hendak ditangkap.
Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada ketika untuk menduga-duga maksud orang.
Dengan tangan kirinya ia menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang ke pundak.
Ia menggunai satu jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong.
Kwee
Ceng menggunai ilmu silatnya ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang tangan saling
berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus Khong-beng-kun, meskipun
itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh tak dapat dipandang enteng. Tidak
heran kalau Auwyang Hong terkejut.
“Bagus!” berseru See Tok yang
lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah tangannya dilonjorkan, guna
menangkap lengannya si penyerang. Biar bagaimana, ia berkelahi dengan waspada,
sebab ia dapat kenyataan, tiap hari kepandaiannya pemuda ini bertambah terus.
Auwyang
Hong penasaran yang ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im Cin-keng, ia ingin
mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah ketika ia dengar ocehan Ang
Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf bahwa ia tengah dipermainkan bocah
she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im Cin-keng yang berada di tangannya ialah kitab
yang tidak karuan macam, yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya, hingga
tak dapat diartikan lagi.
Sementara
itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api terang bagaikan
siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombangan, mereka itu lari ke
arah darimana terdengar teriakan-teriakan, ialah teriakannya Oey Yong.
Wanyen
Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak masuknya Auwyang
Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak kelihatan muncul kembali.
Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey Yong, siapa sedang menungkuli
dua-dua Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong yang terus mengejar padanya. Untuk
sementara, wilayah air tumpah itu masih selamat. Walapun begitu, pangeran ini
membanting-banting kakinya, tangannya menggapai-gapai tak hentinya.
“Lekas!
Lekas!” ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya.
“Jangan
sibuk, ongya!” berkata Leng Tie. “Nanti siauwceng masuk pula!”
Pendeta
Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, dimana ia melihat Auwyang Hong sedang
menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos masuk, tidak
mendapatkan ketikanya.
Leng
Tie Siangjin tidak puas mengawasi pertempuran itu. Bukankah tempo mereka sudah
sangat mendesak? Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih?
“Auwyang
Sianseng, mari aku bantu kau!” ia berseru.
“Minggir
jauh-jauh!” Auwyang Hong membentak.
Leng
Tie menjadi tidak puas. Di dalam hatinya ia kata: “Disaat seperti ini mana
dapat kau masih bertingkah seperti satu enghiong? Jangan kau masih bawa lagakmu
sebagai guru besar!” Lantas ia maju ke samping, ke arah Kwee Ceng, sebelah
tangannya melayang ke tempilingan kiri si bocah.
Menampak
demikian, Auwyang Hong menjadi gusar sekali. Ia maju sambil menjambil pundaknya pendeta Tibet itu, terus ia
mengangkatnya, terus ia melemparkannya!
Tepat serangannya See Tok ini. leng ie Siangjin itu lihay
dan tangannya pun ada racunnya, maka untuk melayani dia, anggota tubuhnya yang
tak berbahayayang mesti dihadapi.
Bukan main murkanya pendeta Tibet itu, tidak
memperdulikan pula orang lihay dan dipandang Wanyen Lieh, ia mencaci kalang-kabutan,
cuma ia memakai bahasa Tibet, Auwyang Hong tidak mengerti. Ia pun tak bisa
mencaci lama-lama atau segera ia tak dapat bersuara lagi, sebab mulutnya lantas
kemasukan air. Karena oleh Auwyang Hong ia dilemparkan ke air tumpah, hingga
mulutnya tersumpal air!
Wanyen Lieh terkejut akan melihat tubuh Leng Tie Siangjin
terlempar keluar air tumpah. Justru itu kupingnya juga mendengar suara berisik
dari arah Cui Han Tong di mana ternyata, pot kembang yang besar di depan
paseban itu telah jatuh hancur. Menyusul itu, ia menampak munculnya sejumlah
siwi.
“Celaka!” ia mengeluh dalam hati. Tidak ayal lagi, dengan
menjinjing jubahnya, dia berlompat ke air tumpah, untuk masuk ke situ, guna
menyembunyikan diri. Ia mengerti ilmu silat, tetapi di tempat begitu, kepandaiannya
masih belum berarti, begitu kakinya menginjak tanah, begitu ia terpeleset
jatuh. Syukur untuknya, Yo Kang dapat melihatnya dan putra ini segera lompat
menyambar, menolongi padanya.
Dengan
melongo pangeran Kim itu melihat ke sekitarnya.
“Auwyang
Sianseng, apakah bocah ini dapat kau usir?” ia tanya See Tok.
Pertanyaan
ini menandakan Wanyen Lieh seorang besar. Ia bukan memerintah, ia hanya
menanya. Pertanyaannya itu membangkitkan hawa amarah orang. Hatinya Auwyang
Hong menjadi panas.
“Kenapa
tidak bisa?” menjawab Auwyang Hong, yang terus berjongkok seraya mulutnya
mengasih dengar suara seperti kerak-keroknya kodok. Dengan begitu ia bersiap
dengan Kuntauw Kodoknya, lalu terus kedua tangannya dimajukan ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar