Bab 32. Musuh besar!!!
Liok Seng
Hong dan putranya serta Wanyen Kang
tidak mengerti, mereka mengikuti si anak muda. Tiba di ruang belakang, di sana api dipasang
terang-terang.
“Aku
pinjam pit dan kertas,” Kwee
Ceng memohon pula.
Seorang
bujang sudah lantas menyerahkan perabot tulis yang di minta itu.
Kwee Ceng segera menulis di
atas sehelai kertas, bunyinya:
“sincie
dari ayah almarhum, Kwee
Siauw Thian.”
Semua
huruf itu besar-besar, lantas itu di taruh di tengah-tengah ruangan.
Sampai
sebegeitu jauh Toan Thian Tek tidak tahu apa yang orang hendak perbuat, begitu
lekas ia membaca nama Kwee
Siauw Thian,
barulah ia kaget hingga umpama kata semangatnya terbang. Ia segera melihat
kelilingnya, lalu ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia seperti terkurung Kanglam Liok Koay
yang semuanya beroman keren. Tanpa merasa, celananya basah sendirinya.
Lebih-lebih ia tidak dapat melupakan Han Po Kie, si kate
gemuk, yang matanya tajam itu. tadi karena kaget dan ketakutan, ia tidak
memperhatikannya. Sekarang tubuhnya bergemetaran.
Tiba-tiba
tangannya Kwee
Ceng terangkat dan turun dengan
cepat. Satu suara nyaring menyusul itu. Itulah pecahnya sebuah meja di depan
mereka.
“Bilanglah,
kau mau mampus cepat dan senang atau kau menghendaki tubuhmu dibikin
berkeping-keping hingga kau merasakan penderitaan?!” berkata si anak muda,
suaranya bengis. Ia berbicara seraya mengawasi tajam musuh besarnya itu.
Sampai
di situ Toan
Thian Tek
merasa bahwa ia tidak bakal hidup pula.
“Memang
benar ayahmu itu akulah yang membunuhnya,” ia berkata. “Tetapi aku diperintah
oleh atasanku, aku tak bisa berbuat lain.”
Matanya Kwee Ceng bersinar, biji mata
itu seperti mau melompat keluar.
“Siapakah
itu yang memerintah kau?!” ia tanya.
“Siapa mengirim kau untuk membinasakan ayahku itu! Lekas bilang, lekas!”
“Itulah Liok-ongya
Wanyen Lieh, putra keenam dari negera Kim!”
sahut Toan Thian Tek.
Mendengar
itu Wanyen Kang terkejut. “Apa kau bilang?” dia
menanya.
Toan Thian Tek memang
mengharap-harap dapat menyeret orang, supaya dosanya menjadi terlebih ringan.
Maka itu ia lantas membeber, membuka rahasia bagaimana itu hari Wanyen Lieh
tertarik pada Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim, untuk mendapatkannya, orang
bekerja sama tentara kerajaan Song, dusun Gu-kee-cung didatangi, diserbu, kedua
keluarga Yo dan Kwee dibikin celaka. Tapi dengan berpura-pura baik hati, dia
sendiri menolongi Pauw
Sek Yok.
Hanya kemudian ia berpisah dari ibunya Kwee Ceng
itu dalam kekalutan tentara, ia kabur pulang ke Lim-an. Kemudian dengan
perlahan-lahan ia mendapat kenaikan pangkat sampai pada pangkatnya yang
sekarang ini. Ia menutur jelas perasaannya itu. Diakhirnya ia berlutut di depan
Kwee Ceng.
“Kwee Enghiong,
Kwee Tayjin,” ia berkata, “Hamba yang rendah
menerima titah orang, itulah bukan kedosaanku….” Ia pun mengangguk-angguk di
meja sincie dari Kwee
Siauw Thian.
“Kwee Looya,” ia berkata pula, “Arwahmu di langit mengerti, orang yang membikin
celaka keluargamu itu, ialah musuhmu Wanyen Lieh adanya, si pangeran keenam,
bukannya aku yang berjiwa semut. Kwee Looya,
hari ini putramu sudah menjdai begini besar dan gagah, kau tentunya girang dan
puas, maka itu aku mohon dengan perlindunganmu, supaya sukalah putramu ini
memberi ampun pada jiwa anjingku ini….”
Selagi
orang mengoceh itu, mendadak Wanyen
Kang lompat padanya, menghajar
batok kepalanya, yang lantas saja hancur pecah, tubuhnya roboh dan jiwanya
melayang.
Kwee Ceng mendekam di tanah,
ia menangis tersedu-sedu.
Baru
sekarang Seng Hong mengerti jelas, maka bersama anaknya ia menjalankan
kehormatan di depan sincie, perbuatannya ini dituruti oleh Kanglam Liok Koay.
Juga Wanyen Kang turut memberi hormat, beberapa kali
ia mengangguk-angguk, kemudian ia berkata: “Saudara Kwee,
baru sekarang aku ketahui…. Wanyen
Lieh adalah musuh besarmu. Tadinya
aku tidak ketahui peristiwa ini, aku telah melakukan segala apa yang
bertentangan, sungguh aku berdosa.”
Ia
pun lantas menangis karena ingat penderitaan ibunya.
Kwee Ceng mengangkat
kepalanya.
“Kau
hendak perbuat apa sekarang?” ia tanya
pada pangeran muda itu.
“Hari
ini barulah aku tahu, aku adalah orang she Yo, maka itu untuk selanjutnya aku
akan memakai namaku, Yo Kang,” menyahut Wanyen Kang.
“Bagus!”
kata Kwee Ceng. “Dengan begini barulah kau menjadi
satu laki-laki sejati! Besok aku hendak pergi ke Pak-hia, untuk membunuh Wanyen Lieh,
kau hendak turut atau tidak?”
Yo
Kang tidak lantas bisa memberikan jawabannya. Ia ingat budinya pangeran Kim itu yang telah merawat ia semenjak masih kecil.
Kapan ia lihat sinar matanya pemuda she Kwee itu, yang agaknya kurang puas, ia
menyahuti juga: “Siauwtee akan iku toako menuntut balas!”
Yo
Kang menyebut dirinya siauwtee (adik) dan memanggilnya toako (kakak), sedang
tadi ia hampir memanggil ayah angkat diwaktu menyebutkan namanya Wanyen Lieh
itu.
Kwee Ceng girang sekali.
“Bagus
saudara!” berseru dia. “Almarhum ayahmu dan ibuku pun pernah membilangi aku
bahwa dulu hari ayahmu dan ayahku telah membuat perjanjian untuk kita
mengangkat saudara. Aku ingin mewujudkan peasn itu, bagaimana pikiranmu?”
“Itulah
yang aku harap,” menyahut Yo Kang.
Lantas
keduanya menjalankan kehormatan di depan sincie, ini kali untuk mengangkat
saudara.
Sampai
di situ, bereslah segala apa, maka tuan rumah mempersilahkan semua tamunya
beristirahat. Besoknya pagi, Kanglam
Liok Koay
pamitan dari tuan rumah dengan mengajak Kwee Ceng dan Yo Kang.
Seng Hong membekalkan sesuatu
kepada tetamunya itu, yang ia antar sampai di luar rumahnya.
Kwee Ceng memberitahukan
gurunya bahwa bersama Yo Kang ia hendak pergi ke Utara untuk membunuh Wanyen Lieh, ia
minta petunjuk dari mereka itu.
“Janji
di harian Tiong Ciu masih lama, karena kami tidak punya urusan apa-apa, mari kami antar kamu,” kata Kwa Tin Ok.
“Begitupun
baik,” menyatakan Cu
Cong dan yang lainnya.
Kwee
Ceng bukannya menampik tetapi ia menegaskan sebenarnya tidak perlu gurunya
turut dia. Ia kata ilmu silatnya Wanyen Lieh biasa saja, dengan adanya Yo Kang
sebagai pembantu, ia sudah merasa cukup. Ia sebaliknya memperingatkan bahwa
guru-gurunya itu baru saja kembali, sudah seharusnya mereka beristirahat di kampung
halaman mereka. Ia pun tidak berani membikin pusing gurunya itu, yang budinya
sangat besar sekali.
Kanglam Liok Koay memikir alasan
muridnya ini pantas, mereka tidak memaksa untuk turut, mereka jadi memberikan
pesan saja.
“Janji
untuk pergi ke Thoa
Hoa To tidak usah kau penuhkan,”
kata Han Siauw Eng
kemudian. Ia memesan begini sebab ia tahu muridnya jujur dan berkhawatir
muridnya pergi ke pulau Tho Hoa To sedang Tong Sia Oey Yok Su itu telengas dan
tabiatnya sangat aneh.
“Jikalau
teecu tidak pergi, apakah itu bukan berarti tidak menepati janji?” tanya si murid.
“Sama
hantu itu mana dapat kita bicara perihal kepercayaan!” kata Yo Kang. “Toako,
kau terlalu kukuh!”
Tapi
Kwa Tin Ok berpikir lain. Atas suaranya Yo Kang itu ia memperdengarkan “Hm!”
kemudian ia bilang: “Anak
Ceng, kata-kata kami bangsa
laki-laki tidak boleh dibuat permainan! Sekarang ini ada bulan enam tanggal lima, nanti pada bulan
tujuh tanggal satu kita bertemu di Cui Sian Lauw di Kee-hin, dari san akita boleh berangkat
bersama-sama ke Tho Hoa To. Sekarang pergilah kau menaiki kuda merahmu menuju
Pak-khia untuk mencari balas. syukurlah jikalau kau berhasil, kalau tidak, kita
boleh minta bantuannya semua totiang dari Coan Cin Pay. Mereka adalah
orang-orang yang memuliakan perkebajikan, pastilah mereka tidak akan menapik
permohonan kita.”
Kwee Ceng bersyukur sangat
akan semua gurunya begitu bersungguh-sungguh, ia menghanturkan terima kasih
seraya menjatuhkan diri berlutut di tanah.
“Adik
angkatmu adalah dari keluarga agung, aku mesti hati-hati,” Lam Hie Jin memesan.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia
mengawasi.
Cu Cong tertawa, ia pun
berkata: “Putrinya
Oey Yok
Su beda
dari ayahnya, kami selanjutnya jangan membikin ia mendongkol pula. Benar bukan,
shatee?”
Han
Po Kie membuat main kumisnya.
“Anak
busuk itu mengatai aku di labu, rupanya dialah yang paling cantik!” kata si kate terokmok ini, yang akhirnya tertawa sendirinya.
Hatinya Kwee Ceng menjadi lega sekali.
Itu artinya gurunya tidak membenci pula Oey Yong.
Hanya kapan ia ingat si nona, yang entah dimana adanya, ia jadi berduka.
“Nah,
anak Ceng, kau lekas pergi lekas kembali!” berkata Coan Kim Hoat. “Kami menantikan kabar baik dari kau
di Kee-hin!”
Samapi
disitu, kanglam Liok
Koay lantas berangkat.
Kwee
Ceng berdiri di tepi jalanan sambil memegangi les kudanya, ia mengawasi sampai
semua gurunya itu sudah tidak nampak lagi, baru ia menoleh kepada Yo Kang
sambil berkata, “Yo hiantee, kudaku ini bisa lari keras, untuk ke Pak-khia
pergi dan pulang, cukup dengan belasan hari, maka itu marilah aku temani kau
jalna-jalan dulu untuk beberapa hari.”
Yo
Kang menurut, maka itu mereka melakukan perjalanan dengan perlahan-lahan.
Kalut
pikirannya Yo Kang. Ia membayangai baru berselang sebulan yang ia hidup mewah
dan mulia, datang ke Kanglam dengan diiringi secara besar. Bagaimana agung
kedudukannya utusan dari negara Kim
yang tangguh itu. Sekarang? Sekarang ia menuju ke kota raja seorang diri, dalam keadaan sangat
sepi. Tidakkah ia tengah bermimpi dan impiannya itu buyar dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng dapat melihat perubahan
roman orang itu, ia hanya menyangka orang tengah berduka karena mengingat ayah
dan ibunya. Ia lantas menghiburi.
Tengah
hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mereka mencari tempat pemondokan.
Justru itu satu pelayan penginapan menghampirkan mereka.
“Apakah
tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?” dia menanya sembari memberi hormat dan
tertawa. “Barang santapan sudah siap sedia, silahkan tuan-tuan turut aku pergi
bersantap dulu.”
Dua-dua
pemuda itu terkejut.
“Kenapa
kau mengenali kami?” menanya Yo Kang.
“Aku
menerima pesan, tuan-tuan,” sahut pelayan itu, tetap smabil tertawa. “Tadi
seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal bakal datangnya tuan-tuan. Aku
pun diberi lukisan tentang roman dan potongan tubuh tuan-tuan.” Semabri
berkata, ia menuntun kuda orang untuk dirawat.
“Sungguh
baik tuan dari Kwie-in-chung itu,” Kwee Ceng
memuji.
Mereka
duduk di meja menghadapi barang masakan pilihan yang mahal harganya, begitu pun
araknya. Kwee
Ceng mendapati masakan ayam yang
ia paling doyan.
Mereka
bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka hendak membayar uangnya.
“Tidak
usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar,” si pelayan menerangkan.
Kwee Ceng tertawa, ia memberi
upah kepada pelayan itu, yang mengucap terima kasih berulang-ulang dan dengan
hormat mengantari keluar.
Di tengah jalan, Kwee Ceng
memuji pula Liok
Chungcu, tetapi Yo Kang, yang
masih mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,: “Teranglah ia
menggunai muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah, pantas dia menjadi
kepala di Thay
Ouw!”
“Hiantee,
bukankah chungcu itu paman gurumu?” tanya
Kwee Ceng heran.
“Benar Bwee
Tiauw Hong
pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi dia bukanlah guruku,” menjawab
orang yang ditanya. “Coba aku mengetahui mereka itu ada dari golongan sesat,
tidak nanti aku kesudian belajar, hingga tak usahlah hari ini aku mengalami
kejadian ini…..”
Kwee Ceng jadi semakin heran.
“Hiantee,
bagaimana sebenarnya?” ia menanya.
Yo
Kang merasa ia kelepasan omong, mukanya menjadi merah.
“Aku
merasa Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni,” ia menyahut.
“Kau
benar, hiantee,” Kwee
Ceng mengangguk. “Tian Cun Cinjin
ada lihay sekali, ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau
menghanturkan maaf padanya, tentulah ia dapat memaafkan padamu.”
Yo
Kang berdiam.
Malam
itu mereka tiba di Kim-tan, di sana
pun ada pelayan penginapan yang menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan
dan penginapan tanpa bayaran, sebab sudah ada yang memesan dan membayarinya.
Mereka menerima itu tanpa banyak bertanya-tanya.
Kemudian,
beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka menjadi heran
sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari Kwie-in-chung. Tatkala mereka
melewati Ko-yu dan masih ada serupa penyambutan, denagn menyindir Yo Kang
berkata: “Hendak aku melihat sampai di mana Kwie-in-chung akan mengantar
tetamunya….”
Kwee Ceng lebih curiga lagi,
sebab pada setiap barang santapan tentu ada satu dua rupa santapan yang ia
paling gemari, kalau itu adalah perbuatan Liok Koan Eng, sungguh luar biasa.
Habis bersantap, ia kata: “Hiantee, nanti aku jalan lebih dulu, untuk mencari
tahu.”
Yo
Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.
Beruntun
tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng,
tidak ada lagi penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee
Ceng memilih penginapan yang
paling besar serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi ia
berada di dalam kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan, kelenengannya
berbunyi nyaring. Penunggang kuda itu berhenti di depan penginapan, dia masuk
ke dalam, dia lantas memesan makanan untuk besok, katanya untuk tuan Kwee dan
tuan Yo.
Kwee Ceng telah menduga kepada
Oey Yong, tetapi mendengar suara orang, ia
heran juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendakmain-main.
Maka ia menunggu sampai jam dua, diam-diam ia keluar dari kamarnya. Ia naik ke
atas genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba ia tampak bayangan orang
berkelebat, malah ia kenali Oey
Yong adanya.
“Heran,
malam-malam begini ia hendak kemana?” pikirnya. Ia membungkam, terus ia
menguntit.
Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak
tahu ada orang yang membayanginya. Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil.
Dibawah satu pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa
barang, terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan.
Malam
itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan juga ikat
pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di
sana sini
terdengar suara rupa-rupa serangga.
“Ini
engko Ceng….ini Yong-jie…” terdengar nona itu mengoceh sendirian.
Heran
Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke
belakang orang. Di bawah terangnya
sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-laki dan satu
perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang kesohor,
ynag pun kesohor di Thay
Ouw. Ia menjadi ketarik hatinya.
Ia maju lagi beberapa tindak. Di depan
boneka itu ada ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan kecil, ynag berisi
macam-macam bunga.
Kembali
terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; “Mangkok ini engko Ceng yang
dahar, cawan ini ilah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri. Enak
tidak?”
“Enak!
Enak sekali!” Kwee
Ceng menyahuti.
Oey Yong terperanjat, ia
menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa, memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat menghanpiri kepada anak
muda itu.
Mereka
lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka berbicara dengan
asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi yang
mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban tertawa,
hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati: “Yong-jie begini
mencintai aku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana
rasanya…?”
Ketika
malam itu Oey
Yong menceburkan diri, ia
bersembunyi lama, sesudah menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke
Kwie-in-chung. Ia girang akan mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu
apa. Ia menyesal juga ynag ia telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus
menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua
dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan
barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng,
selalu ia menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng
curiga dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya
gembira sekali.
Asyik
mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya, tanpa
merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee Ceng
khawatir orang mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam menyanderkan diri di
bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran.
Ketika
itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya terus.
Kwee Ceng yang mendusin paling
dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung berkicau, membuka matanya, ia
mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium
semerbaknya bunga-bunga.
Oey Yong tidur nyenyak,
napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya
yang mungil tersenyum, maka itu ia nampaknya manis
sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.
“Biarlah
ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya,” Kwee Ceng
berpikir.
Pemuda
ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya yang bagus dari
si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang lain, datangnya kira-kira
dua tombak lebih di sebelah kirinya.
“Telah
aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam taman yang
letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin,” demikian suara itu.
“Baiklah,
sebentar malam kita bekerja,” kata suara lain, terang suaranya orang tua.
Mereka
bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya.
Kwee Ceng terperanjat. Ia
lantas menyangka pada penjahat tukang petik bunga, yang gemar mengganggu
kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka itu.
Tiba-tiba
Oey Yong mencelat bangun.
“Engko Ceng,
hayo tangkap aku!” katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.
Kwee Cneg dapat menerka
maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah sambil tertawa geli,
bagaikan mereka itu tengah bermain petak. Hanya larinya mereka dibikin berat,
seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat.
Dua
orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah ada orang
lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat dua muda-mudi,
yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya karena itu, mereka lantas
ngeloyor pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong
melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping, tanda dandanan
pengemis. Mereka menanti sampai orang sudah cukup pergi jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari
nona Thia.
“Kebanyakan
maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?” kata Kwee Ceng.
“Memang
baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit
Kong atau bukan.” kata si nona.
“Aku
rasa bukan,” jawab si pemuda.
Mereka
lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi pesiar,
sampai ke kota
barat. Di situ mereka mendapatkan
rumah gadai Tong Jin, dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di
belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi
kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka
berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap,
akan kemudian beristirahat di kamar masing-masing.
Lewat
sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, untuk lari ke kota barat. Mereka melompati taman, hingga
mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas
lauwteng, akan menyangkel di payon, untuk mengintip ke dalam. Hawa malam panas,
jendela tidak ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat.
Di dalam kamar itu ada
tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan atau sembilanbelas
tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu. Mungkin dia si nona
Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis
itu. Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata,
tiga memegang golok sebatang, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda
serta sebatang tongkat besar yang panjang.
Melihat
keadaan mereka itu, Kwee
Ceng dan Oey Yong
mendugai si nona lihay. Sekarang keduannya berpikir lain. Hendak mereka
menonton dulu. Mestinya ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis.
Tidak
lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng,
buat diajak bersembunyi.
Segera
mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka ini
langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulannya perlahan.
“Orang-orang
gagah dari Kay
Pang di sana?” menanya satu budak seraya menyingkap
kere. “Silahkan naik.”
Dua
pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng.
Si
nona sudah lantas menyambut. Ia memberi horamt sambil menanyakan she dan nama
kedua tetamunya itu.
“Aku
yang rendah she Lee,” menyahuti si
pengemis tua. “Ini keponakan muridku, Ie Tiauw Hin.”
Melihat
muka orang yang penuh luka, Nona
Thia mengingat sesuatu.
“Bukankah
locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?” ia menanya.
“Tajam
matamu, nona!” tertawa si pengemis. “Aku yang rendah dan gurumu, Ceng Ceng
Sanjin, pernah berjodoh bertemu
satu kali, walaupun kita tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati.”
Mendengar
nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang disebut Sun Put
Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona Thia ini
bukanlah orang luar.
“Locianpwee
baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur,” berkata pula si nona.
“Di dalam segala hal, boanpwee akan
mendengar kata locianpwee.”
“Nona
ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oelh itu binatang, itu
pun sudah hebat,” berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga.
Mendengar
itu merah mukanya si nona.
“Sekarang,
silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan ditinggalkan beberapa
pelayanmu ini,” Lee
Seng memberi petunjuk. “Aku yang
rendah ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu.”
“Boanpwee
tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri
terhadap binatang itu,” berkata si nona. “Loacianpwee hendak bertanggungjawab
sendiri, sungguh aku malu….”
“Jangan
berkata demikian, nona,” berkata pula Lee Seng.
“Ang Pangcu kami ada bersahabat kental dengan
Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay kamu, kita dengan begitu menjadi
seperti orang sendiri.”
Sebenarnya
nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata tajam dari Lee Seng,
ia tidak berani membantah, maka ia lantas memberi hormat.
“Baiklah,
aku menurut saja kepada locianpwee,” bilangnya. Lantas ia turun dari
lauwtengnya.
Lee Seng segera menghampirkan
pembaringannya si nona, akan menyingkap kelambunya. Pembaringan itu indah
segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa membuka sapatu lagi, tak peduli
sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan diri.
“Pergi
kau turun,” ia menitahkan Ie Tiauw Hin, “Ramai-ramai kamu menjaga di bawah.
Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!”
Tiauw
Hin menurut, ia lantas berlalu.
Lee Seng menutup diri dengan
selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan kelambu dan memadam api juga.
Kemudian barulah mereka itu mengundurkan diri pula.
Oey Yong tertawa di dalam
hatinya menyaksikan kelakuan Lee
Seng itu.
“Semua
orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola
pemimpinnya,” semua suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa.”
Karena
sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng
mendekam terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.
Lantas
terdengar suara kentongan orang ronda
tanda jam tiga. Menyusul itu terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam
taman. Itulah batu tanda menanya dari orang yang biasa keluar malam.
Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng
untuk memberitahu.
Hanya
sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang,
yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan
api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.
Hanya
sejenak itu, Oey
Yong telah dapat melihat mukanya
orang-orang itu. Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu,
yaitu dua pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular.
Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu
itu. Si dua pria berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup
tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu
dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng
dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat
sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita
menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.
Kwee Ceng hendak berbangkit,
untuk menyusul, Oey
Yong mencegah padanya.
“Biarkan
orang-orang Kay
Pang jalan lebih dulu,” si nona
membisiki.
Kwee Ceng menurut, ia
mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan. Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari
sepuluh orang lainnya, mereka itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah
orang-orang Kay
Pang.
Menanti
sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong dan Kwee Ceng
keluar dari tempat persembunyian mereka, untuk menguntit. Seorang pengemis
berjalan di paling belakang.
Kedua
rombongan itu menuju ke luar kota,
pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan
Auwyang Kongcu
terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan diri
mengurung.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng,
buat diajak ke belakang, dari mana mereka melompat tembok masuk ke pekarangan
dalam.
Sekarang
ketahuan rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw, di pendopo ada
sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama almarhum yang
dihormati itu, semunya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi lima batang lilin besar.
Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas perlahan-lahan. Menduga
ialah Auwyang
Kongcu, Oey Yong
dan Kwee Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi
dan mengintai di bawah jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng
sanggup melayani pemuda yang lihay itu.
Sebentar
kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu.
“Kongcu,
nona Thia sudah disambut!” kata satu di antaranya.
Auwyang Kongcu mengasih dengar
suara tertawa dingin, bukannya ia menyambuti orangnya itu, hanya ia memandang
ke luar pendopo seraya berkata: “Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang
berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?”
“Hebat
orang ini,” pikir Kwee
Ceng.
Orang-orang
Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng,
tidak berani mereka lancang bertindak.
Auwyang Kongcu tidak berkata pula,
hanya ia memandang kepada kantung.
“Aku
tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!” katanya. Ia bertindak
menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya, kipas itu
tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis tionghoa)
Kwee Ceng dan Oey Yong
terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah yang berada di dalam
kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong-piauw, bersedia menolongi Lee Seng.
Mendadak
ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan
menyambar ke arah Auwyang
Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang
sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya.
Auwyang Kongcu membawa tangan
kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit, sebatang panah
tangan itu patah seketika.
Orang-orang
Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas
berseru: “Paman
Lee, keluarlah!”
Menyambut
seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung, lantas dua
batang golok menyambar, disusul mana bergelinding keluarnya tubuh Lee Seng,
tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah itu
pengemis ini berlompat berdiri.
Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu
lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk membokong, tapi ternyata ia gagal.
Auwyang Kongcu bebas dari sambaran
golok, bukannya kaget, ia justru tertawa.
“Si
nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang
jempolan!” katanya tertawa.
Lee Seng tidak menggubris
ejekan itu.
“Selama
tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah itu
perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?” ia balas mengejek.
Kongcu
itu tertawa pula.
“Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin,
kenapa sih orang-orang polisi dapat berubha menjadi segala tukang minta-minta?”
ia berkata dengan ejekannya.
Lee Seng pun tidak menjadi
gusar.
“Sebenarnya
aku pun tidak mengemis nasi di sini,” menyahut Lee Seng,
“Tetapi kemarin ini aku mendengar pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang
lenyapnya tak berbekas dari beberapa nona cantik manis,
adri itu timbullah kegembiraan aku si pengemis tua, maka aku jadi datang
melongok!”
Dengan
ogah-ogahan Auwyang
Kongcu berkata: “Sebenarnya
beberapa nona itu tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan
memandang mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!” Ia pun terus mengebasi
tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk
mengajak keluar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal romannya,
semuanya pada menangis.
Murka Lee Seng menyaksikan
keadaannya keempat nona itu.
“Tuan
yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?” ia menanya.
“Murid siapakah kau ini?”
Auwyang Kongcu tetap membawa
sikapnya acuh tak acuh.
“Aku
she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?”
“Mari kita main-main!” Lee Seng
berkata keras.
“Tidak
ada yang terlbeih baik dari itu!” kata si anak muda menyambut. “Silahkan kau
mulia dulu!”
“Bagus!”
seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan
kanannya. Tapi belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu
bayangan putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat.
Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat,
kalau tidak, lehernya itu bisa tercekuk!
Lee Seng ini berkedudukan
tinggi di dalam partainya, Kay
Pang, Partai Pengemis,
dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang
dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja,
hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh,
tangannya sudah mendahului melayang.
“Dia
juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang, “Oey Yong
berbisik pada Kwee
Ceng. Dan
si anak muda mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak berani
menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali. Selagi ia berkelit, Lee Seng
memutar tubuhnya. Lantas ini pengemis meju satu tindak, kedua tangannya di
angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang
gagal itu.
“Itulah
jurus dari ilmu silat Po-giok-kun,” Kwee Ceng
berbisik pada kekasihnya.
Si
nona pun mengangguk.
Mendapat
kenyataan orang lihay, Auwyang
Kongcu tidak berani berlaku acuh
tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah
berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang itu.
Lee Seng menangkis, habis
mana ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari Po-giok-kun.
Kali
ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia
menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping
lawan, terus ke belakang lawan itu. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga
segera ia dapat menyerang ke arah punggung lawan ini.
Dua-dua
Kwee Ceng dan Oey Yong
terkejut.
“Inilah
serangan yang sukar di tangkis…!” kata mereka dalam hati, kaget.
Ketika
itu orang-orangnya Lee
Seng, yang tadinya mengurung di
luar, sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam
bahaya, di antaranya ada yang berniat berlompat membantu.
Lee Seng sendiri merasakan
ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya. Tapi ia pun gesit sekali.
Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia menggunai ilmu silat Hang
Liong Sip-pat Ciang, jrus “Naga
Sakti menggoyang ekor”.
Auwyang Kongcu tidak berani
menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus dia berlompat mundur.
“Sungguh
berbahaya!” kata Lee
Seng dalam hatinya. Sekarang dia
sudah memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata,
dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia
terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolongan sama jurusnya “Sin liong
pa bwee” - “Naga Sakti memgoyang ekor itu” itu.
“Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus
pembela diri,” Oey
Yong berbisik pada Kwee Ceng.
Anak
muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio Cu
Ong dengan “Hang liong yu hui”
atau “Naga menyesal”. Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit
Kong. Lee Seng
yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia
sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat limabelas jurus.
Pertempuran
itu berjalan terus. Auwyang
Kongcu mendesak lawannya hingga
dipojok.
Lee Seng sudah berpengalaman,
ia dapat menerka maksud lawannya.mMaka ia lantas berdaya akan menggelakkan
diri, guna kembali ke tengah ruangan.
Sekonyong-konyong
Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa
kepalannya menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu.
Lee Sneg terkejut, ia
mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu
sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun tiga empat kali lagi ia kena
tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia menjadi sakit, kepalanya pusing, ia
begitu terhuyung, ia roboh.
Beberapa
pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi Auwyang Kongcu
menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan kepalanya satu dengan
lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi keder.
“Kau
kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis busuk?!”
berkata Auwyang
Kongcu tertawa mengejek. Ia terus
menepuk kedua tangannya, maka dari dalam lantas keluar dua murid wanitanya,
mendorong tubuhnya seorang nona yang tertelikung kedua tangannya, yang romannya
kucal sekali. Dialah si nona Thia yang hendak dilundungi oleh kawanan pengemis
itu.
Semua
orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan Kwee Ceng.
Auwyang Kongcu mengebasi tangannya,
atas itu nona Thia dibawa masuk pula. Dengan roman sangat bangga ia berkata
pula: “Selagi si pengemis tua nelusup masuk ke dalam kantong, aku yang rendah
menantikan di bawah lauwteng, lantas aku mengundang nona Thia, terus aku pulang
terlebih dahulu untuk menunggui kamu di sini!”
Semua
pengemis itu terbengong, mereka saling mangawasi. Pikir mereka, mereka
benar-benar roboh.
Auwyang Kongcu mengipasi dirinya,
ia tertawa ketika ia berkata pula: “Nama Partai Pengemis sangat kesohor
sehingga nama itu membuatnya orang tertawa hingga giginya copot! Apa yang dinamakan
ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, apa ynag disebut pukulan
mengemis nasi dan menangkap ular, semua itu telah dikeluarkan! Dibelakang hari,
masihkah kau berani usilan urusan kongcu kamu? Sekarang ini suka aku memberi
ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan, asal aku dapat meminjam dia punya
kedua cahaya terang sebagai tanda mata…!”
Sembari
berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan kedua jerijinya
mencongkel mata orang yang ia menyebutnya “Cahaya terang”
Kalau
mata Lee Seng kena dicongkel, butlah dia.
“Tahan!”
mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang berlompat masuk ke
dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang Kongcu.
Pemuda
ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia terhuyung. Inilah
hebat sebab semenjak ia keluar dari wilayah Barat, sering ia menghadapi lawan
yang berat tetapi belum pernah seberat ini. Ketika ia sudah melihat orangnya,
ia menjadi heran sekali. Sebab orang itu ialah si anak muda bernama Kwee Ceng,
dengan siapa ia pernah hadir bersama dalam pestanya Chao Wang.
Ia tahu orang berkepandaian biasa saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini
lihay.
“Kau
sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru mencelaki
orang!” orang itu menegur. “Apakah kau benar-benar tidak memlihat mata pada
semua orang gagah di kolong langit ini?”
Dia
memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam
lebih lama pula.
Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa.
“Jadi
kaukah si orang gagah di kolong langitnini?” dia mengejek.
“Aku
yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah,” manyahut Kwee Ceng
denagn merendah, “Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk memberi nasehat
kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau memerdekakannya nona Thia, habis itu
lekas-lekas kau pulang ke Wilayah
Barat!”
Auwyang Kongcu tertawa pula.
“Jikalau
aku tidak sudi dengar nasehatmu, sabahat cilik?” dia menanya.
Belum
lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong
dari luar jendela telah mendahului. Katanya; “Engo Ceng,
kau hajarlah ini telur busuk!”
Auwyang Ongcu terperanjat. Ia
dengar suara orang dan mengenali.
“Nona Oey!”
ia lantas berkata, “Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia,
inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau sudi,
bukan melainkan Nona
Thia, juga wanita-wanita disampingku,
akan aku merdekakan semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di belakang
hari aku tidak akan cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?”
“Itulah
bagus!” menyahut Oey
Yong, yang lompat masuk sambil
tertawa, “Kita pergi ke Wilayah
Barat untuk pesiar, sungguh
menarik! engko Ceng, bukankah bagus begitu?”
Belum
lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu
sudah mendahului.
“Aku
hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama,” katanya. “Buat apa
inibocah busuk turut bersama?!”
Mendadak Oey Yong menjadi gusar,
tangannya menyambar.
“Kau
berani memaki dia?!” serunya. “Kaulah si bocah busuk!”
Auwyang Kongcu kesemsem melihat Oey Yong
datang dengan senyumannya berseri-seri, orang nampaknya boto dan manis
sekali, maka itu ia berlaku ceriwis, ia pun tidak menyangka si nona bisa gusar
secara tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka “Plok!” pipi kirinya kena
ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari “Lok Eng Ciang” yang lihay itu. Beruntung untuknya,
si nona tidak menggunai seluruh tenaganya, ia hanya merasa pipinya itu panas
dan sakit.
“Fui!”
berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya menjambak ke dada si
nona.
Oey Yong tidak mau menyingkir
dari tangan si pemuda itu, sebaliknya dengan kedua tangannya ia menyerang ke
arah kepala orang.
Auwyang Kongcu adalah satu pemuda
ceriwis, melihat nona itu menangkis taua berkelit, ia girang bukan main.
Begitulah tanpa pedulikan kepalanya, ia mengulur terus tangannya itu. Hanya
ketika jari tangannya mengenakan dada orang, ia kaget sekali. Tangannya itu
terasa tertusuk dan sakit.
“Oh!”
ia menjerit. “Dia mengenakan baju lapis berduri”
Baru
sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia tidak
menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas menangkis kedua
tangan si nona.
“Tidak
gampang untuk kau menghajar aku!” kata Oey Yong
tertawa. “Cuma kau yang verhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!”
Auwyang Kongcu kewalahan, karena
ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap Kwee Ceng,
yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua.
“Biarlah
aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!” pikirnya. Dengan “dia”
ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey
Yong tetapi kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng
berdiri, mengarah dada si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay, ajarannya SeeTok Auwyang Hong,
pamannya yang kesohor itu.
Kwee Ceng seperti terbokong,
tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia tak sudi mandah saja dihajar, ia
segera membalas menyerang. Jadi keras lawan keras. Maka berbareng dua-dua
serangan mereka berhasil. Yang satu tertendang kempungannya, yang lainnya
terhajar pahanya yang dipakai menendang itu. Dua-dua lantas merasakan sangat
sakit. Akan tetapi dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya mereka mundur,
mereka malah maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur.
Semua
orang Kay Pang heran, apapula mereka mengenali
pukulannya Kwee
Ceng.
“Itulah
jurus istimewa dari Lee
Seng yang biasa dipakai untuk
menolong diri….” kata mereka. “Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya cepat
melebihkan Lee
Seng?”
Kwee Ceng memang menyerang
dengan “Sin liong bwee”
Dilain
pihak sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng,
yang mereka angkat bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa
menyaksikan pertempuran orang itu, hingga ia pun heran.
“Hang
Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu ynag tidak sembarangan
diturunkan,” memikir pemimpin pengemis ini, “Aku sudah berjasa untuk partai,
aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda ini lain, agaknya ia mengerti
banyak. Mungkinkah ia telah dapat mewariskannya semua?”
Juga
Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru
berselang dua bulan atau pemuda ini telah maju demikian pesat.
Cepat
sekali mereka sudah bertempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng
telah gunai semua limabelas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah memutar
balik itu. Dasar kalah jauh dari Auwyang
Kongcu, ia tidak
dapat merobohkannya, ia cuma dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan
jurus, ia kewalahan. Auwyang
Kongcu berlaku sangat gesit, ia
berlompatan ke segela penjuru, tinjunya saban-saban menyambar. Satu kali Kwee Ceng
kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung. Syukur ia tangguh, ia tidak dapat
celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-jurusnya.
Untuk
sementara ini Auwyang
Kongcu tidak berani mendesak,
berselang lagi sepuluh jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang,
baru ia merangsak pula. Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun
tangan.
Kwee Ceng sudah habis
menjalankan limabelas jurus, ia lantas memulai lagi pula dari seperti semula.
Inilah ketika yang justru ditunggu Auwyang Kongcu.
Kongcu ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak lawannya itu.
Kaget
sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi
diri dengan limabelas jurusnya itu. Disaat sangat berbahaya itu, ia berlaku
nekat. Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu silat menurut
caranya sendiri. Ini justru diluar terkaan Auwyang Kongcu
yang menjadi kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian.
Tidak ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke
belakang beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit, tulang
lengannya tidak panah atau remuk.
Kwee Ceng girang melihat
hasilnya itu, yang pun diluar dugaannya. Ia bahkan jadi insyaf akan dapat
diputarbalikkannya ilmu silat itu tanpa menurut aturannya. Ia hanya
menginsyafi, karena belum terlatih, tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak
demikian, celakalah tangannya pemuda dari Wilayah Barat
itu. Karena ini, hendak ia mencoba terus.
Lagi
sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng
hendak mencoba, Auwyang
Kongcu sebaliknya penasaran dan
hendak menuntut balas. Kesudahannya, pemuda she Auwyang ini menjadi heran
sekali. Ia mendapatkan kenyataan, disebelah jurus-jurus yang biasa, lawannya
mempunyai tiga jurus tambahan lainnnya, hingga sulit untuk dia memberi hajaran
tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng
dapat menutup kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang
diarah oleh lawannya.
Kwee Ceng berkelahi dengan
bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi tambahan tiga jurusnya itu hingga ia
seperti telah membikin lengkap delapanbelas jurus Hang Liong Sip-pat Ciang. Ia
pun menjadi semakin hapal, pertempuran itu seperti merupakan latihannya.
Segera Auwyang Kongcu melayani dengan
sabar, gerakannya jadi rada kendor. Ia memikir hendak menanti musuhnya itu
letih sendirinya. Dangan berkelahi secara begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya musuhnya. Ia cerdik, belum lama ia
sudah dapat melihat kekosongannya musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau
mensia-siakan ketika lagi, mendadak ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri
ia menggertak dengan menjambak, diam-diam kakinya melayang naik!
Kwee Ceng terkejut. Sulit
untuk ia menangkis atau berkelit.
Oey Yong menonton dengan
waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya, karena ia senantiasa siap
sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya, maka tujuh atau delapan jarum
kongcian menyambar kepada Auwyang
Kongcu.
Kaget
itu pemuda dari Wailayah
Barat, tetapi ia masih sampat
menebas denagn kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua
jarum, kakinya toh dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang
menancap di jalan darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai sasarn,
kenanya tidak hebat. Dengan kaget ia melompat mundur.
“Tikus
mana membokong kongcumu!” ia membentak. “Kalau kau berani, mari berlaku terus terang….”
Belum
lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar kepadanya,
sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya kemasukan serupa barang
yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget dan gusar, lekak-lekas ia
melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia melihat sepotong tulang ayam. Karena
ia tahu darimana datangnya sambaran, ia lantas angkat kepalanya, dongak melihat
ke penglari.
Justru
ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia berlompat ke
samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya untuk mendamprat. Kali
ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu kembali kemasukan tulang - tulang
kaki ayam, maka juga giginya kebentur hingga ia merasakan sakit pada giginya
itu!
Bukan
alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum peranh ada orang
hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas ia membuang tulang dari
mulutnya itu. Diwaktu itu dia melihat berkelebatnya suatu bayangan, ynag lompat
turun dari penglari itu. Dalam murkanya, ia pun berlompat untuk memapakinya,
guna menyerang bayangan itu. Tapi heran, bukannnya ia dapat menyerang, ia
justru kena memegang serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang itu,
mendongkolnya bukan kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang besar
digeragoti, yang sudah tidak ada dagingnya!
Berbareng
dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa lebar yang
disusul dengan pertanyaan, “Bagaimana? Bagaimana dengan ilmu silat mencuri ayam
dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?”
Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong
mendengar suara itu, keduanya girang bukan main.
“Cit Kong!”
mereka berseru tanpa tertahan lagi.
Semua
orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu mereka lihat Ang Cit
Kong tengah duduk dengan enteng
sekali, mulutnya lagi mengegerogoti sepaha ayam berikut dadanya, ynag dipegangi
sebelah tangannya.
Mengenali
orang tua itu, hatinya Auwyang
Kongcu menjadi dingin sekali.
“Ang Siepee
di sana?” ia
berkata, “Di sini titjie memberi
hormat!”
Benar-benar
ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk.
“Oh,
kau mengenal si pengemis tua?” tanya Ang Cit
Kong seraya terus menggayam
ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh.
“Memang
pernah titjie bertemu sama Ang siepee,” menyahut Auwyang Kongcu,
yang menyebut dirinya titjie, keponakan. “Titjie ada punya mata tetapi titjie
tidak mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja. Dahulu hari itu
titjie sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat, akan memohon petunjuk
dari pamanku, setelah itu barulah titjie mengetahui siepee. Pamanku itu
memesan, apabila titjie bertemu pula sama siepee, mesti titjie menyampaikan
hormatnya seraya mengharap kesehatan siepee.”
“Si
Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!” berkata Ang Cit Kong, yang menyebut si racun Tua kepada
See Tok Auwyang Hong. “Dia pun banyak mulutnya! Aku si pengemis tua, dapat aku
mencuri, dapat aku gegares, tetapi aku tidak merampas anak dara orang, maka
kenapa aku bolehnya tidak sehat? Bukankah pamanmu tidak sakit dan tidak
tumbuhan juga?”
Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia
menyahuti sembarangan saja.
“Barusan
aku mendengar kata-katamu,” berkata lagi Ang Cit Kong. “Bukankah kau menyebut-nyebut
tentang ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, tentang pukulan
mengemis nasi dan menangkap ular? Bukankah kau sangat memandang enteng kepada
semua ilmu silat itu?”
Di dalam hatinya Auwyang Kongcu
kata, “Aku tidak menyangka bahwa dia telah bersembunyi di atas penglari…” Tapi
toh ia menyahuti, “Siepee, aku mohon sukalah siepee memaafkan keponakanmu ini.
Tadi aku telah mengoceh tidak karuan karena aku tidak mengetahui ketua Partai
lo-enghiong ini justru siepee adanya…”
Ang Cit Kong tertawa terkakak,
selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun.
“Kau
menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau, maka itu kaulah
si enghong!” berkata ketua pengemis itu. “Apakah kau tidak malu? Haha-haha!”
Enghiong
ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua.
Auwyang Kongcu malu sekali dengan
hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia insyaf orang bukanlah tandingannya,
tidak berani ia turun tangan, tidak berani ia lancang mulut, maka ia terpaksa
merendahkan diri.
“Kau
mengandalkan ilmu silatnya si Racun
Tua, kau datang ke Tionggoan, ke
tenggara ini untuk malang
melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu, selama si pengemis belum mampus, aku
khawatir kau tidak akan mendapatkan tempatmu di sini!” berkata pula si pengemis
tua itu.
Auwyang Kongcu terus mesti
mengendalikan diri.
“Siepee
bersama pamanku ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala perintah
siepee,” ia berkata, merendah.
“Bagus,
ya!” berseru Cit
Kong. “Kau maksudkan aku si besar
menghina si kecil, si tua menghina kamu si anak muda?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar