Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 32



Bab 32. Musuh besar!!!

Liok Seng Hong dan putranya serta Wanyen Kang tidak mengerti, mereka mengikuti si anak muda. Tiba di ruang belakang, di sana api dipasang terang-terang.
“Aku pinjam pit dan kertas,” Kwee Ceng memohon pula.
Seorang bujang sudah lantas menyerahkan perabot tulis yang di minta itu.
Kwee Ceng segera menulis di atas sehelai kertas, bunyinya:
“sincie dari ayah almarhum, Kwee Siauw Thian.”
Semua huruf itu besar-besar, lantas itu di taruh di tengah-tengah ruangan.
Sampai sebegeitu jauh Toan Thian Tek tidak tahu apa yang orang hendak perbuat, begitu lekas ia membaca nama Kwee Siauw Thian, barulah ia kaget hingga umpama kata semangatnya terbang. Ia segera melihat kelilingnya, lalu ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia seperti terkurung Kanglam Liok Koay yang semuanya beroman keren. Tanpa merasa, celananya basah sendirinya. Lebih-lebih ia tidak dapat melupakan Han Po Kie, si kate gemuk, yang matanya tajam itu. tadi karena kaget dan ketakutan, ia tidak memperhatikannya. Sekarang tubuhnya bergemetaran.
Tiba-tiba tangannya Kwee Ceng terangkat dan turun dengan cepat. Satu suara nyaring menyusul itu. Itulah pecahnya sebuah meja di depan mereka.
“Bilanglah, kau mau mampus cepat dan senang atau kau menghendaki tubuhmu dibikin berkeping-keping hingga kau merasakan penderitaan?!” berkata si anak muda, suaranya bengis. Ia berbicara seraya mengawasi tajam musuh besarnya itu.
Sampai di situ Toan Thian Tek merasa bahwa ia tidak bakal hidup pula.
“Memang benar ayahmu itu akulah yang membunuhnya,” ia berkata. “Tetapi aku diperintah oleh atasanku, aku tak bisa berbuat lain.”
Matanya Kwee Ceng bersinar, biji mata itu seperti mau melompat keluar.
“Siapakah itu yang memerintah kau?!” ia tanya. “Siapa mengirim kau untuk membinasakan ayahku itu! Lekas bilang, lekas!”
“Itulah Liok-ongya Wanyen Lieh, putra keenam dari negera Kim!” sahut Toan Thian Tek.
Mendengar itu Wanyen Kang terkejut. “Apa kau bilang?” dia menanya.
Toan Thian Tek memang mengharap-harap dapat menyeret orang, supaya dosanya menjadi terlebih ringan. Maka itu ia lantas membeber, membuka rahasia bagaimana itu hari Wanyen Lieh tertarik pada Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim, untuk mendapatkannya, orang bekerja sama tentara kerajaan Song, dusun Gu-kee-cung didatangi, diserbu, kedua keluarga Yo dan Kwee dibikin celaka. Tapi dengan berpura-pura baik hati, dia sendiri menolongi Pauw Sek Yok. Hanya kemudian ia berpisah dari ibunya Kwee Ceng itu dalam kekalutan tentara, ia kabur pulang ke Lim-an. Kemudian dengan perlahan-lahan ia mendapat kenaikan pangkat sampai pada pangkatnya yang sekarang ini. Ia menutur jelas perasaannya itu. Diakhirnya ia berlutut di depan Kwee Ceng.
“Kwee Enghiong, Kwee Tayjin,” ia berkata, “Hamba yang rendah menerima titah orang, itulah bukan kedosaanku….” Ia pun mengangguk-angguk di meja sincie dari Kwee Siauw Thian. “Kwee Looya,” ia berkata pula, “Arwahmu di langit mengerti, orang yang membikin celaka keluargamu itu, ialah musuhmu Wanyen Lieh adanya, si pangeran keenam, bukannya aku yang berjiwa semut. Kwee Looya, hari ini putramu sudah menjdai begini besar dan gagah, kau tentunya girang dan puas, maka itu aku mohon dengan perlindunganmu, supaya sukalah putramu ini memberi ampun pada jiwa anjingku ini….”
Selagi orang mengoceh itu, mendadak Wanyen Kang lompat padanya, menghajar batok kepalanya, yang lantas saja hancur pecah, tubuhnya roboh dan jiwanya melayang.
Kwee Ceng mendekam di tanah, ia menangis tersedu-sedu.
Baru sekarang Seng Hong mengerti jelas, maka bersama anaknya ia menjalankan kehormatan di depan sincie, perbuatannya ini dituruti oleh Kanglam Liok Koay. Juga Wanyen Kang turut memberi hormat, beberapa kali ia mengangguk-angguk, kemudian ia berkata: “Saudara Kwee, baru sekarang aku ketahui…. Wanyen Lieh adalah musuh besarmu. Tadinya aku tidak ketahui peristiwa ini, aku telah melakukan segala apa yang bertentangan, sungguh aku berdosa.”
Ia pun lantas menangis karena ingat penderitaan ibunya.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
“Kau hendak perbuat apa sekarang?” ia tanya pada pangeran muda itu.
“Hari ini barulah aku tahu, aku adalah orang she Yo, maka itu untuk selanjutnya aku akan memakai namaku, Yo Kang,” menyahut Wanyen Kang.
“Bagus!” kata Kwee Ceng. “Dengan begini barulah kau menjadi satu laki-laki sejati! Besok aku hendak pergi ke Pak-hia, untuk membunuh Wanyen Lieh, kau hendak turut atau tidak?”
Yo Kang tidak lantas bisa memberikan jawabannya. Ia ingat budinya pangeran Kim itu yang telah merawat ia semenjak masih kecil. Kapan ia lihat sinar matanya pemuda she Kwee itu, yang agaknya kurang puas, ia menyahuti juga: “Siauwtee akan iku toako menuntut balas!”
Yo Kang menyebut dirinya siauwtee (adik) dan memanggilnya toako (kakak), sedang tadi ia hampir memanggil ayah angkat diwaktu menyebutkan namanya Wanyen Lieh itu.
Kwee Ceng girang sekali.
“Bagus saudara!” berseru dia. “Almarhum ayahmu dan ibuku pun pernah membilangi aku bahwa dulu hari ayahmu dan ayahku telah membuat perjanjian untuk kita mengangkat saudara. Aku ingin mewujudkan peasn itu, bagaimana pikiranmu?”
“Itulah yang aku harap,” menyahut Yo Kang.
Lantas keduanya menjalankan kehormatan di depan sincie, ini kali untuk mengangkat saudara.
Sampai di situ, bereslah segala apa, maka tuan rumah mempersilahkan semua tamunya beristirahat. Besoknya pagi, Kanglam Liok Koay pamitan dari tuan rumah dengan mengajak Kwee Ceng dan Yo Kang.
Seng Hong membekalkan sesuatu kepada tetamunya itu, yang ia antar sampai di luar rumahnya.
Kwee Ceng memberitahukan gurunya bahwa bersama Yo Kang ia hendak pergi ke Utara untuk membunuh Wanyen Lieh, ia minta petunjuk dari mereka itu.
“Janji di harian Tiong Ciu masih lama, karena kami tidak punya urusan apa-apa, mari kami antar kamu,” kata Kwa Tin Ok.
“Begitupun baik,” menyatakan Cu Cong dan yang lainnya.
Kwee Ceng bukannya menampik tetapi ia menegaskan sebenarnya tidak perlu gurunya turut dia. Ia kata ilmu silatnya Wanyen Lieh biasa saja, dengan adanya Yo Kang sebagai pembantu, ia sudah merasa cukup. Ia sebaliknya memperingatkan bahwa guru-gurunya itu baru saja kembali, sudah seharusnya mereka beristirahat di kampung halaman mereka. Ia pun tidak berani membikin pusing gurunya itu, yang budinya sangat besar sekali.
Kanglam Liok Koay memikir alasan muridnya ini pantas, mereka tidak memaksa untuk turut, mereka jadi memberikan pesan saja.
“Janji untuk pergi ke Thoa Hoa To tidak usah kau penuhkan,” kata Han Siauw Eng kemudian. Ia memesan begini sebab ia tahu muridnya jujur dan berkhawatir muridnya pergi ke pulau Tho Hoa To sedang Tong Sia Oey Yok Su itu telengas dan tabiatnya sangat aneh.
“Jikalau teecu tidak pergi, apakah itu bukan berarti tidak menepati janji?” tanya si murid.
“Sama hantu itu mana dapat kita bicara perihal kepercayaan!” kata Yo Kang. “Toako, kau terlalu kukuh!”
Tapi Kwa Tin Ok berpikir lain. Atas suaranya Yo Kang itu ia memperdengarkan “Hm!” kemudian ia bilang: “Anak Ceng, kata-kata kami bangsa laki-laki tidak boleh dibuat permainan! Sekarang ini ada bulan enam tanggal lima, nanti pada bulan tujuh tanggal satu kita bertemu di Cui Sian Lauw di Kee-hin, dari san akita boleh berangkat bersama-sama ke Tho Hoa To. Sekarang pergilah kau menaiki kuda merahmu menuju Pak-khia untuk mencari balas. syukurlah jikalau kau berhasil, kalau tidak, kita boleh minta bantuannya semua totiang dari Coan Cin Pay. Mereka adalah orang-orang yang memuliakan perkebajikan, pastilah mereka tidak akan menapik permohonan kita.”
Kwee Ceng bersyukur sangat akan semua gurunya begitu bersungguh-sungguh, ia menghanturkan terima kasih seraya menjatuhkan diri berlutut di tanah.
“Adik angkatmu adalah dari keluarga agung, aku mesti hati-hati,” Lam Hie Jin memesan.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengawasi.
Cu Cong tertawa, ia pun berkata: “Putrinya Oey Yok Su beda dari ayahnya, kami selanjutnya jangan membikin ia mendongkol pula. Benar bukan, shatee?”
Han Po Kie membuat main kumisnya.
“Anak busuk itu mengatai aku di labu, rupanya dialah yang paling cantik!” kata si kate terokmok ini, yang akhirnya tertawa sendirinya.
Hatinya Kwee Ceng menjadi lega sekali. Itu artinya gurunya tidak membenci pula Oey Yong. Hanya kapan ia ingat si nona, yang entah dimana adanya, ia jadi berduka.
“Nah, anak Ceng, kau lekas pergi lekas kembali!” berkata Coan Kim Hoat. “Kami menantikan kabar baik dari kau di Kee-hin!”
Samapi disitu, kanglam Liok Koay lantas berangkat.
Kwee Ceng berdiri di tepi jalanan sambil memegangi les kudanya, ia mengawasi sampai semua gurunya itu sudah tidak nampak lagi, baru ia menoleh kepada Yo Kang sambil berkata, “Yo hiantee, kudaku ini bisa lari keras, untuk ke Pak-khia pergi dan pulang, cukup dengan belasan hari, maka itu marilah aku temani kau jalna-jalan dulu untuk beberapa hari.”
Yo Kang menurut, maka itu mereka melakukan perjalanan dengan perlahan-lahan.
Kalut pikirannya Yo Kang. Ia membayangai baru berselang sebulan yang ia hidup mewah dan mulia, datang ke Kanglam dengan diiringi secara besar. Bagaimana agung kedudukannya utusan dari negara Kim yang tangguh itu. Sekarang? Sekarang ia menuju ke kota raja seorang diri, dalam keadaan sangat sepi. Tidakkah ia tengah bermimpi dan impiannya itu buyar dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng dapat melihat perubahan roman orang itu, ia hanya menyangka orang tengah berduka karena mengingat ayah dan ibunya. Ia lantas menghiburi.
Tengah hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mereka mencari tempat pemondokan. Justru itu satu pelayan penginapan menghampirkan mereka.
“Apakah tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?” dia menanya sembari memberi hormat dan tertawa. “Barang santapan sudah siap sedia, silahkan tuan-tuan turut aku pergi bersantap dulu.”
Dua-dua pemuda itu terkejut.
“Kenapa kau mengenali kami?” menanya Yo Kang.
“Aku menerima pesan, tuan-tuan,” sahut pelayan itu, tetap smabil tertawa. “Tadi seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal bakal datangnya tuan-tuan. Aku pun diberi lukisan tentang roman dan potongan tubuh tuan-tuan.” Semabri berkata, ia menuntun kuda orang untuk dirawat.
“Sungguh baik tuan dari Kwie-in-chung itu,” Kwee Ceng memuji.
Mereka duduk di meja menghadapi barang masakan pilihan yang mahal harganya, begitu pun araknya. Kwee Ceng mendapati masakan ayam yang ia paling doyan.
Mereka bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka hendak membayar uangnya.
“Tidak usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar,” si pelayan menerangkan.
Kwee Ceng tertawa, ia memberi upah kepada pelayan itu, yang mengucap terima kasih berulang-ulang dan dengan hormat mengantari keluar.
Di tengah jalan, Kwee Ceng memuji pula Liok Chungcu, tetapi Yo Kang, yang masih mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,: “Teranglah ia menggunai muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah, pantas dia menjadi kepala di Thay Ouw!”
“Hiantee, bukankah chungcu itu paman gurumu?” tanya Kwee Ceng heran.
“Benar Bwee Tiauw Hong pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi dia bukanlah guruku,” menjawab orang yang ditanya. “Coba aku mengetahui mereka itu ada dari golongan sesat, tidak nanti aku kesudian belajar, hingga tak usahlah hari ini aku mengalami kejadian ini…..”
Kwee Ceng jadi semakin heran.
“Hiantee, bagaimana sebenarnya?” ia menanya.
Yo Kang merasa ia kelepasan omong, mukanya menjadi merah.
“Aku merasa Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni,” ia menyahut.
“Kau benar, hiantee,” Kwee Ceng mengangguk. “Tian Cun Cinjin ada lihay sekali, ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau menghanturkan maaf padanya, tentulah ia dapat memaafkan padamu.”
Yo Kang berdiam.
Malam itu mereka tiba di Kim-tan, di sana pun ada pelayan penginapan yang menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan dan penginapan tanpa bayaran, sebab sudah ada yang memesan dan membayarinya. Mereka menerima itu tanpa banyak bertanya-tanya.
Kemudian, beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka menjadi heran sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari Kwie-in-chung. Tatkala mereka melewati Ko-yu dan masih ada serupa penyambutan, denagn menyindir Yo Kang berkata: “Hendak aku melihat sampai di mana Kwie-in-chung akan mengantar tetamunya….”
Kwee Ceng lebih curiga lagi, sebab pada setiap barang santapan tentu ada satu dua rupa santapan yang ia paling gemari, kalau itu adalah perbuatan Liok Koan Eng, sungguh luar biasa. Habis bersantap, ia kata: “Hiantee, nanti aku jalan lebih dulu, untuk mencari tahu.”
Yo Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.
Beruntun tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng, tidak ada lagi penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee Ceng memilih penginapan yang paling besar serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi ia berada di dalam kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan, kelenengannya berbunyi nyaring. Penunggang kuda itu berhenti di depan penginapan, dia masuk ke dalam, dia lantas memesan makanan untuk besok, katanya untuk tuan Kwee dan tuan Yo.
Kwee Ceng telah menduga kepada Oey Yong, tetapi mendengar suara orang, ia heran juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendakmain-main. Maka ia menunggu sampai jam dua, diam-diam ia keluar dari kamarnya. Ia naik ke atas genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba ia tampak bayangan orang berkelebat, malah ia kenali Oey Yong adanya.
“Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?” pikirnya. Ia membungkam, terus ia menguntit.
Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak tahu ada orang yang membayanginya. Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil. Dibawah satu pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang, terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan.
Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan juga ikat pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini terdengar suara rupa-rupa serangga.
“Ini engko Ceng….ini Yong-jie…” terdengar nona itu mengoceh sendirian.
Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke belakang orang. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-laki dan satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang kesohor, ynag pun kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi ketarik hatinya. Ia maju lagi beberapa tindak. Di depan boneka itu ada ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan kecil, ynag berisi macam-macam bunga.
Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; “Mangkok ini engko Ceng yang dahar, cawan ini ilah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri. Enak tidak?”
“Enak! Enak sekali!” Kwee Ceng menyahuti.
Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa, memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat menghanpiri kepada anak muda itu.
Mereka lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka berbicara dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati: “Yong-jie begini mencintai aku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana rasanya…?”
Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia girang akan mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu apa. Ia menyesal juga ynag ia telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu ia menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng curiga dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira sekali.
Asyik mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya, tanpa merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee Ceng khawatir orang mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam menyanderkan diri di bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran.
Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya terus.
Kwee Ceng yang mendusin paling dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga.
Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, maka itu ia nampaknya manis sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.
“Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya,” Kwee Ceng berpikir.
Pemuda ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya yang bagus dari si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang lain, datangnya kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya.
“Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam taman yang letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin,” demikian suara itu.
“Baiklah, sebentar malam kita bekerja,” kata suara lain, terang suaranya orang tua.
Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya.
Kwee Ceng terperanjat. Ia lantas menyangka pada penjahat tukang petik bunga, yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka itu.
Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun.
“Engko Ceng, hayo tangkap aku!” katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.
Kwee Cneg dapat menerka maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah sambil tertawa geli, bagaikan mereka itu tengah bermain petak. Hanya larinya mereka dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat.
Dua orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah ada orang lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat dua muda-mudi, yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya karena itu, mereka lantas ngeloyor pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping, tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang sudah cukup pergi jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari nona Thia.
“Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?” kata Kwee Ceng.
“Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit Kong atau bukan.” kata si nona.
“Aku rasa bukan,” jawab si pemuda.
Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah gadai Tong Jin, dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, akan kemudian beristirahat di kamar masing-masing.
Lewat sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, untuk lari ke kota barat. Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, akan menyangkel di payon, untuk mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat.
Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan atau sembilanbelas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu. Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis itu. Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga memegang golok sebatang, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta sebatang tongkat besar yang panjang.
Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mendugai si nona lihay. Sekarang keduannya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu. Mestinya ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis.
Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak bersembunyi.
Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka ini langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulannya perlahan.
“Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?” menanya satu budak seraya menyingkap kere. “Silahkan naik.”
Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng.
Si nona sudah lantas menyambut. Ia memberi horamt sambil menanyakan she dan nama kedua tetamunya itu.
“Aku yang rendah she Lee,” menyahuti si pengemis tua. “Ini keponakan muridku, Ie Tiauw Hin.”
Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu.
“Bukankah locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?” ia menanya.
“Tajam matamu, nona!” tertawa si pengemis. “Aku yang rendah dan gurumu, Ceng Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walaupun kita tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati.”
Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang disebut Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona Thia ini bukanlah orang luar.
“Locianpwee baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur,” berkata pula si nona. “Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata locianpwee.”
“Nona ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oelh itu binatang, itu pun sudah hebat,” berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga.
Mendengar itu merah mukanya si nona.
“Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan ditinggalkan beberapa pelayanmu ini,” Lee Seng memberi petunjuk. “Aku yang rendah ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu.”
“Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang itu,” berkata si nona. “Loacianpwee hendak bertanggungjawab sendiri, sungguh aku malu….”
“Jangan berkata demikian, nona,” berkata pula Lee Seng. “Ang Pangcu kami ada bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay kamu, kita dengan begitu menjadi seperti orang sendiri.”
Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka ia lantas memberi hormat.
“Baiklah, aku menurut saja kepada locianpwee,” bilangnya. Lantas ia turun dari lauwtengnya.
Lee Seng segera menghampirkan pembaringannya si nona, akan menyingkap kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa membuka sapatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan diri.
“Pergi kau turun,” ia menitahkan Ie Tiauw Hin, “Ramai-ramai kamu menjaga di bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!”
Tiauw Hin menurut, ia lantas berlalu.
Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan kelambu dan memadam api juga. Kemudian barulah mereka itu mengundurkan diri pula.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu.
“Semua orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola pemimpinnya,” semua suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa.”
Karena sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.
Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul itu terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu tanda menanya dari orang yang biasa keluar malam.
Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu.
Hanya sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang, yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.
Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu. Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular. Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu itu. Si dua pria berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.
Kwee Ceng hendak berbangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah padanya.
“Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu,” si nona membisiki.
Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan. Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari sepuluh orang lainnya, mereka itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah orang-orang Kay Pang.
Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong dan Kwee Ceng keluar dari tempat persembunyian mereka, untuk menguntit. Seorang pengemis berjalan di paling belakang.
Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan diri mengurung.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak ke belakang, dari mana mereka melompat tembok masuk ke pekarangan dalam.
Sekarang ketahuan rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw, di pendopo ada sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama almarhum yang dihormati itu, semunya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda yang lihay itu.
Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu.
“Kongcu, nona Thia sudah disambut!” kata satu di antaranya.
Auwyang Kongcu mengasih dengar suara tertawa dingin, bukannya ia menyambuti orangnya itu, hanya ia memandang ke luar pendopo seraya berkata: “Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?”
“Hebat orang ini,” pikir Kwee Ceng.
Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak berani mereka lancang bertindak.
Auwyang Kongcu tidak berkata pula, hanya ia memandang kepada kantung.
“Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!” katanya. Ia bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya, kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis tionghoa)
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong-piauw, bersedia menolongi Lee Seng.
Mendadak ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya.
Auwyang Kongcu membawa tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit, sebatang panah tangan itu patah seketika.
Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas berseru: “Paman Lee, keluarlah!”
Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung, lantas dua batang golok menyambar, disusul mana bergelinding keluarnya tubuh Lee Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah itu pengemis ini berlompat berdiri.
Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk membokong, tapi ternyata ia gagal.
Auwyang Kongcu bebas dari sambaran golok, bukannya kaget, ia justru tertawa.
“Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang jempolan!” katanya tertawa.
Lee Seng tidak menggubris ejekan itu.
“Selama tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?” ia balas mengejek.
Kongcu itu tertawa pula.
“Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin, kenapa sih orang-orang polisi dapat berubha menjadi segala tukang minta-minta?” ia berkata dengan ejekannya.
Lee Seng pun tidak menjadi gusar.
“Sebenarnya aku pun tidak mengemis nasi di sini,” menyahut Lee Seng, “Tetapi kemarin ini aku mendengar pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya tak berbekas dari beberapa nona cantik manis, adri itu timbullah kegembiraan aku si pengemis tua, maka aku jadi datang melongok!”
Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata: “Sebenarnya beberapa nona itu tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!” Ia pun terus mengebasi tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk mengajak keluar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal romannya, semuanya pada menangis.
Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu.
“Tuan yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?” ia menanya. “Murid siapakah kau ini?”
Auwyang Kongcu tetap membawa sikapnya acuh tak acuh.
“Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?”
“Mari kita main-main!” Lee Seng berkata keras.
“Tidak ada yang terlbeih baik dari itu!” kata si anak muda menyambut. “Silahkan kau mulia dulu!”
“Bagus!” seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan kanannya. Tapi belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat. Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat, kalau tidak, lehernya itu bisa tercekuk!
Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai Pengemis, dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja, hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh, tangannya sudah mendahului melayang.
“Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang, “Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Dan si anak muda mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali. Selagi ia berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas ini pengemis meju satu tindak, kedua tangannya di angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang gagal itu.
“Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun,” Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya.
Si nona pun mengangguk.
Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang itu.
Lee Seng menangkis, habis mana ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari Po-giok-kun.
Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang lawan itu. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang ke arah punggung lawan ini.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut.
“Inilah serangan yang sukar di tangkis…!” kata mereka dalam hati, kaget.
Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar, sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam bahaya, di antaranya ada yang berniat berlompat membantu.
Lee Seng sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya. Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia menggunai ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jrus “Naga Sakti menggoyang ekor”.
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus dia berlompat mundur.
“Sungguh berbahaya!” kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata, dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolongan sama jurusnya “Sin liong pa bwee” - “Naga Sakti memgoyang ekor itu” itu.
“Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus pembela diri,” Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng.
Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio Cu Ong dengan “Hang liong yu hui” atau “Naga menyesal”. Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat limabelas jurus.
Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga dipojok.
Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya.mMaka ia lantas berdaya akan menggelakkan diri, guna kembali ke tengah ruangan.
Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu.
Lee Sneg terkejut, ia mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia menjadi sakit, kepalanya pusing, ia begitu terhuyung, ia roboh.
Beberapa pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi Auwyang Kongcu menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan kepalanya satu dengan lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi keder.
“Kau kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis busuk?!” berkata Auwyang Kongcu tertawa mengejek. Ia terus menepuk kedua tangannya, maka dari dalam lantas keluar dua murid wanitanya, mendorong tubuhnya seorang nona yang tertelikung kedua tangannya, yang romannya kucal sekali. Dialah si nona Thia yang hendak dilundungi oleh kawanan pengemis itu.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan Kwee Ceng.
Auwyang Kongcu mengebasi tangannya, atas itu nona Thia dibawa masuk pula. Dengan roman sangat bangga ia berkata pula: “Selagi si pengemis tua nelusup masuk ke dalam kantong, aku yang rendah menantikan di bawah lauwteng, lantas aku mengundang nona Thia, terus aku pulang terlebih dahulu untuk menunggui kamu di sini!”
Semua pengemis itu terbengong, mereka saling mangawasi. Pikir mereka, mereka benar-benar roboh.
Auwyang Kongcu mengipasi dirinya, ia tertawa ketika ia berkata pula: “Nama Partai Pengemis sangat kesohor sehingga nama itu membuatnya orang tertawa hingga giginya copot! Apa yang dinamakan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, apa ynag disebut pukulan mengemis nasi dan menangkap ular, semua itu telah dikeluarkan! Dibelakang hari, masihkah kau berani usilan urusan kongcu kamu? Sekarang ini suka aku memberi ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan, asal aku dapat meminjam dia punya kedua cahaya terang sebagai tanda mata…!”
Sembari berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan kedua jerijinya mencongkel mata orang yang ia menyebutnya “Cahaya terang”
Kalau mata Lee Seng kena dicongkel, butlah dia.
“Tahan!” mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang berlompat masuk ke dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang Kongcu.
Pemuda ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia terhuyung. Inilah hebat sebab semenjak ia keluar dari wilayah Barat, sering ia menghadapi lawan yang berat tetapi belum pernah seberat ini. Ketika ia sudah melihat orangnya, ia menjadi heran sekali. Sebab orang itu ialah si anak muda bernama Kwee Ceng, dengan siapa ia pernah hadir bersama dalam pestanya Chao Wang. Ia tahu orang berkepandaian biasa saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini lihay.
“Kau sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru mencelaki orang!” orang itu menegur. “Apakah kau benar-benar tidak memlihat mata pada semua orang gagah di kolong langit ini?”
Dia memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam lebih lama pula.
Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa.
“Jadi kaukah si orang gagah di kolong langitnini?” dia mengejek.
“Aku yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah,” manyahut Kwee Ceng denagn merendah, “Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk memberi nasehat kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau memerdekakannya nona Thia, habis itu lekas-lekas kau pulang ke Wilayah Barat!”
Auwyang Kongcu tertawa pula.
“Jikalau aku tidak sudi dengar nasehatmu, sabahat cilik?” dia menanya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong dari luar jendela telah mendahului. Katanya; “Engo Ceng, kau hajarlah ini telur busuk!”
Auwyang Ongcu terperanjat. Ia dengar suara orang dan mengenali.
“Nona Oey!” ia lantas berkata, “Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia, inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau sudi, bukan melainkan Nona Thia, juga wanita-wanita disampingku, akan aku merdekakan semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di belakang hari aku tidak akan cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?”
“Itulah bagus!” menyahut Oey Yong, yang lompat masuk sambil tertawa, “Kita pergi ke Wilayah Barat untuk pesiar, sungguh menarik! engko Ceng, bukankah bagus begitu?”
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu sudah mendahului.
“Aku hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama,” katanya. “Buat apa inibocah busuk turut bersama?!”
Mendadak Oey Yong menjadi gusar, tangannya menyambar.
“Kau berani memaki dia?!” serunya. “Kaulah si bocah busuk!”
Auwyang Kongcu kesemsem melihat Oey Yong datang dengan senyumannya berseri-seri, orang nampaknya boto dan manis sekali, maka itu ia berlaku ceriwis, ia pun tidak menyangka si nona bisa gusar secara tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka “Plok!” pipi kirinya kena ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari “Lok Eng Ciang” yang lihay itu. Beruntung untuknya, si nona tidak menggunai seluruh tenaganya, ia hanya merasa pipinya itu panas dan sakit.
“Fui!” berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya menjambak ke dada si nona.
Oey Yong tidak mau menyingkir dari tangan si pemuda itu, sebaliknya dengan kedua tangannya ia menyerang ke arah kepala orang.
Auwyang Kongcu adalah satu pemuda ceriwis, melihat nona itu menangkis taua berkelit, ia girang bukan main. Begitulah tanpa pedulikan kepalanya, ia mengulur terus tangannya itu. Hanya ketika jari tangannya mengenakan dada orang, ia kaget sekali. Tangannya itu terasa tertusuk dan sakit.
“Oh!” ia menjerit. “Dia mengenakan baju lapis berduri”
Baru sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia tidak menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas menangkis kedua tangan si nona.
“Tidak gampang untuk kau menghajar aku!” kata Oey Yong tertawa. “Cuma kau yang verhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!”
Auwyang Kongcu kewalahan, karena ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap Kwee Ceng, yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua.
“Biarlah aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!” pikirnya. Dengan “dia” ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey Yong tetapi kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng berdiri, mengarah dada si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay, ajarannya SeeTok Auwyang Hong, pamannya yang kesohor itu.
Kwee Ceng seperti terbokong, tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia tak sudi mandah saja dihajar, ia segera membalas menyerang. Jadi keras lawan keras. Maka berbareng dua-dua serangan mereka berhasil. Yang satu tertendang kempungannya, yang lainnya terhajar pahanya yang dipakai menendang itu. Dua-dua lantas merasakan sangat sakit. Akan tetapi dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya mereka mundur, mereka malah maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur.
Semua orang Kay Pang heran, apapula mereka mengenali pukulannya Kwee Ceng.
“Itulah jurus istimewa dari Lee Seng yang biasa dipakai untuk menolong diri….” kata mereka. “Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya cepat melebihkan Lee Seng?”
Kwee Ceng memang menyerang dengan “Sin liong bwee”
Dilain pihak sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng, yang mereka angkat bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa menyaksikan pertempuran orang itu, hingga ia pun heran.
“Hang Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu ynag tidak sembarangan diturunkan,” memikir pemimpin pengemis ini, “Aku sudah berjasa untuk partai, aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda ini lain, agaknya ia mengerti banyak. Mungkinkah ia telah dapat mewariskannya semua?”
Juga Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru berselang dua bulan atau pemuda ini telah maju demikian pesat.
Cepat sekali mereka sudah bertempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng telah gunai semua limabelas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah memutar balik itu. Dasar kalah jauh dari Auwyang Kongcu, ia tidak dapat merobohkannya, ia cuma dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan jurus, ia kewalahan. Auwyang Kongcu berlaku sangat gesit, ia berlompatan ke segela penjuru, tinjunya saban-saban menyambar. Satu kali Kwee Ceng kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung. Syukur ia tangguh, ia tidak dapat celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-jurusnya.
Untuk sementara ini Auwyang Kongcu tidak berani mendesak, berselang lagi sepuluh jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang, baru ia merangsak pula. Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun tangan.
Kwee Ceng sudah habis menjalankan limabelas jurus, ia lantas memulai lagi pula dari seperti semula. Inilah ketika yang justru ditunggu Auwyang Kongcu. Kongcu ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak lawannya itu.
Kaget sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi diri dengan limabelas jurusnya itu. Disaat sangat berbahaya itu, ia berlaku nekat. Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu silat menurut caranya sendiri. Ini justru diluar terkaan Auwyang Kongcu yang menjadi kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian. Tidak ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke belakang beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit, tulang lengannya tidak panah atau remuk.
Kwee Ceng girang melihat hasilnya itu, yang pun diluar dugaannya. Ia bahkan jadi insyaf akan dapat diputarbalikkannya ilmu silat itu tanpa menurut aturannya. Ia hanya menginsyafi, karena belum terlatih, tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak demikian, celakalah tangannya pemuda dari Wilayah Barat itu. Karena ini, hendak ia mencoba terus.
Lagi sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng hendak mencoba, Auwyang Kongcu sebaliknya penasaran dan hendak menuntut balas. Kesudahannya, pemuda she Auwyang ini menjadi heran sekali. Ia mendapatkan kenyataan, disebelah jurus-jurus yang biasa, lawannya mempunyai tiga jurus tambahan lainnnya, hingga sulit untuk dia memberi hajaran tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng dapat menutup kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang diarah oleh lawannya.
Kwee Ceng berkelahi dengan bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi tambahan tiga jurusnya itu hingga ia seperti telah membikin lengkap delapanbelas jurus Hang Liong Sip-pat Ciang. Ia pun menjadi semakin hapal, pertempuran itu seperti merupakan latihannya.
Segera Auwyang Kongcu melayani dengan sabar, gerakannya jadi rada kendor. Ia memikir hendak menanti musuhnya itu letih sendirinya. Dangan berkelahi secara begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya musuhnya. Ia cerdik, belum lama ia sudah dapat melihat kekosongannya musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau mensia-siakan ketika lagi, mendadak ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri ia menggertak dengan menjambak, diam-diam kakinya melayang naik!
Kwee Ceng terkejut. Sulit untuk ia menangkis atau berkelit.
Oey Yong menonton dengan waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya, karena ia senantiasa siap sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya, maka tujuh atau delapan jarum kongcian menyambar kepada Auwyang Kongcu.
Kaget itu pemuda dari Wailayah Barat, tetapi ia masih sampat menebas denagn kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua jarum, kakinya toh dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang menancap di jalan darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai sasarn, kenanya tidak hebat. Dengan kaget ia melompat mundur.
“Tikus mana membokong kongcumu!” ia membentak. “Kalau kau berani, mari berlaku terus terang….”
Belum lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar kepadanya, sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya kemasukan serupa barang yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget dan gusar, lekak-lekas ia melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia melihat sepotong tulang ayam. Karena ia tahu darimana datangnya sambaran, ia lantas angkat kepalanya, dongak melihat ke penglari.
Justru ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia berlompat ke samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya untuk mendamprat. Kali ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu kembali kemasukan tulang - tulang kaki ayam, maka juga giginya kebentur hingga ia merasakan sakit pada giginya itu!
Bukan alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum peranh ada orang hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas ia membuang tulang dari mulutnya itu. Diwaktu itu dia melihat berkelebatnya suatu bayangan, ynag lompat turun dari penglari itu. Dalam murkanya, ia pun berlompat untuk memapakinya, guna menyerang bayangan itu. Tapi heran, bukannnya ia dapat menyerang, ia justru kena memegang serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang itu, mendongkolnya bukan kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang besar digeragoti, yang sudah tidak ada dagingnya!
Berbareng dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa lebar yang disusul dengan pertanyaan, “Bagaimana? Bagaimana dengan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?”
Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong mendengar suara itu, keduanya girang bukan main.
“Cit Kong!” mereka berseru tanpa tertahan lagi.
Semua orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu mereka lihat Ang Cit Kong tengah duduk dengan enteng sekali, mulutnya lagi mengegerogoti sepaha ayam berikut dadanya, ynag dipegangi sebelah tangannya.
Mengenali orang tua itu, hatinya Auwyang Kongcu menjadi dingin sekali.
“Ang Siepee di sana?” ia berkata, “Di sini titjie memberi hormat!”
Benar-benar ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk.
“Oh, kau mengenal si pengemis tua?” tanya Ang Cit Kong seraya terus menggayam ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh.
“Memang pernah titjie bertemu sama Ang siepee,” menyahut Auwyang Kongcu, yang menyebut dirinya titjie, keponakan. “Titjie ada punya mata tetapi titjie tidak mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja. Dahulu hari itu titjie sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat, akan memohon petunjuk dari pamanku, setelah itu barulah titjie mengetahui siepee. Pamanku itu memesan, apabila titjie bertemu pula sama siepee, mesti titjie menyampaikan hormatnya seraya mengharap kesehatan siepee.”
“Si Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!” berkata Ang Cit Kong, yang menyebut si racun Tua kepada See Tok Auwyang Hong. “Dia pun banyak mulutnya! Aku si pengemis tua, dapat aku mencuri, dapat aku gegares, tetapi aku tidak merampas anak dara orang, maka kenapa aku bolehnya tidak sehat? Bukankah pamanmu tidak sakit dan tidak tumbuhan juga?”
Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia menyahuti sembarangan saja.
“Barusan aku mendengar kata-katamu,” berkata lagi Ang Cit Kong. “Bukankah kau menyebut-nyebut tentang ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, tentang pukulan mengemis nasi dan menangkap ular? Bukankah kau sangat memandang enteng kepada semua ilmu silat itu?”
Di dalam hatinya Auwyang Kongcu kata, “Aku tidak menyangka bahwa dia telah bersembunyi di atas penglari…” Tapi toh ia menyahuti, “Siepee, aku mohon sukalah siepee memaafkan keponakanmu ini. Tadi aku telah mengoceh tidak karuan karena aku tidak mengetahui ketua Partai lo-enghiong ini justru siepee adanya…”
Ang Cit Kong tertawa terkakak, selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun.
“Kau menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau, maka itu kaulah si enghong!” berkata ketua pengemis itu. “Apakah kau tidak malu? Haha-haha!”
Enghiong ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua.
Auwyang Kongcu malu sekali dengan hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia insyaf orang bukanlah tandingannya, tidak berani ia turun tangan, tidak berani ia lancang mulut, maka ia terpaksa merendahkan diri.
“Kau mengandalkan ilmu silatnya si Racun Tua, kau datang ke Tionggoan, ke tenggara ini untuk malang melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu, selama si pengemis belum mampus, aku khawatir kau tidak akan mendapatkan tempatmu di sini!” berkata pula si pengemis tua itu.
Auwyang Kongcu terus mesti mengendalikan diri.
“Siepee bersama pamanku ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala perintah siepee,” ia berkata, merendah.
“Bagus, ya!” berseru Cit Kong. “Kau maksudkan aku si besar menghina si kecil, si tua menghina kamu si anak muda?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar