Bab 27. Orang Tapakdaksa Dari Danau Thay Ouw
Oey Yong pulang
ke pondokannya untuk terus tidur. Ia puas karena ia merasa sudah melakukan
sesuatu perbuatan yang baik. Begitulah, ia tidur dengan nyenyak. Ketika besok
paginya ia mendusin, ia tuturkan pada Kwee Ceng apa yang ia lakukan itu. Si
anak muda pun senang. Keduanya lantas sarapan, terus mereka memasang omong.
Tunggu punya tunggu, sampai bersantap tengah hari, Liam Cu masih belum kembali.
“Baiklah
kita tidak usah menantikan dia, kita berangkat sekarang!” Oey Yong mengajak
akhirnya.
Kwee
Ceng setuju.
Mereka
pergi ke pasar, untuk membeli seekor kedelai, di waktu mereka mulai berangkat,
sengaja mereka memutar ke rumah keluarga Chio, di sana sudah tidak ada lagi
lentera tanda dari peruntusan negara Kim. Rupanya Wanyen Kang sudah berangkat.
Hal ini melegakan hatinya kedua anak muda itu.
Dalam
perjalanan ini, Oey Yong menyamar sebagai seorang pemuda, senang ia berpesiar.
Mengikuti saluran sunagi Oen Ho, mereka menuju ke Selatan. Kuda mereka kuat
jalannya, keledai yang mereka beli pun cukup tangguh, dengan begitu, walaupun
tidak terburu-buru, mereka juga dapat berjalan lekas.
Pada
suatu hari mereka tiba di Gie-hin, suatu tempat pembuatan barang tembikar yang
kesohor, di situ mereka menyaksikan aneka warna barang-barang itu. Inilah
pemandangan yang lain dengan pemandangan di lain-lain tempat.
Jalan
lebih jauh ke Timur, tak lama tibalah mereka di telaga Thay Ouw, pusat
tumpahnya air dari tiga kota Timur dan Selatan. Luasnya telaga sekitar lima
ratus lie, maka itu juga dinamakan Ngo Ouw atau Danau Lima.
Hatinya
Kwee Ceng tertarik. Belum pernah ia melihat air seluas itu. Ia berdiri
berendeng bersama Oey Yong di tepian, tangan mereka berpegangan satu pada lain.
Tanpa merasa ia berseru kegirangan.
“Mari
kita main-main di air,” Oey Yong mengajak.
Pemuda
itu setuju, dari itu mereka hampirkan perkampungan nelayan, di sebuah rumah
mereka menitipkan kuda dan keledai mereka, lalu mereka meminjam sebuah perahu
kecil, hingga di lain saat mereka sudah mengagayuh di permukaan air, meluncurkan
perahu itu, meninggalkan tepian. Dari perahu, mereka sekarang dapat melihat
sekitarnya, yang agaknya jadi terlbeih luas lagi.
Rambut
dan baju Oey Yong dipermainkan angin keras. Ia gembira sekali, sambil tertawa
ia berkata: “Dulu hari Hoan Tayhu telah menaiki perahu bersama-sama See Sie
pesiar di Danau Lima ini, dia sungguh cerdik sekali. Mati tua disini bukankah
ada lebih menang daripada seumur tahun repot sebagai pembesar negeri?”
Kwee
Ceng tidak tahu riwayatnya Hoan Tayhu itu. “Yong-jie, coba kau tuturkan tentang
Hoan Tayhu dan See Sie itu,” ia minta.
Oey
Yong suka memberikan keterangan. Maka ia menutur tentang Hoan Tayhu atau
Menteri Hoan itu yang bernama Lee, yang pandai, hingga ia berhasil membantu
Raja Wat menuntut balas membangun negara, tetapi sesuadh berhasil, ia kenal
batas, dia mengundurkan diri bersama-sama See Sie, akan hidup dalam kesunyian
dan ketenangan di telaga Thay Ouw ini. Pandai ia menutur hingga pemudanya
menjadi kesemsem saking tertarik harinya.
“Benar-benar
Hoan Lee itu cerdik,” kata si pemuda kemudian, “Tidaklah demikian dengan Ngouw
Cu Sih dan Bun Ciong, sampai hari ajalnya mereka masih bekerja setia untuk
negera. Sukar dicari orang-orang seperti mereka itu.”
“Memang!”
berkata si nona. “Ini dia yang disebut, ‘Negara adil, tak berubah, itulah
kegagahan, negera buruk, sampai mati tak berubah, itulah kegagahan.’”
Kwee
Ceng tidak mengerti, “Apakah artinya itu?” ia menanya.
“Itu
artinya, di dalam negeri bejaksana, kau menjadi pembesar negeri, kau tetap
tidak berubah kejujuranmu semenjak bermula, di dalam negara buruk, kau
berkorban jiwa raga, kau tetap tidak merusak kehormatan dirimu, itu pun satu
laki-laki sejati.”
Kwee
Ceng mengangguk. “Yong-jie, cara bagaimana maka kau dapat memikir demikian?” ia
bertanya pula.
“Aha!”
Oey Yong tertawa. “Kalau aku yang dapat memikir begitu, bukankah aku telah
berubah menjadi nabi? Itulah ujar-ujarnya Nabi Khong Hu-cu, diwaktu aku amsih
kecil, ayah paksa aku membacanya.”
“Sungguh
banyak aku tidak mengerti,” Kwee Ceng menghela napas. “Coba aku bersekolah,
pastilah aku ketahui itu semua.”
“Sebaliknya
aku menyesal telah belajar surat,” berkata Oey Yong. “Coba ayah tidak memaksa
aku bersekolah, melukis, menabuh khim, hanya aku dibiarkan menyakinkan ilmu
silat, pasti kita tak usah takuti Bwee Tiauw Hong dan si siluman bangkotan she
Nio itu!”
Asyik
mereka pasang omong tanpa merasa perahu mereka sudah meninggalkan tepian
belasan lie. Di dekat mereka, mereka melihat sebuah perahu kecil dimana seoarng
nelayan bercokol di kepala perahunya sedang mengail ikan sambil kepalanya
ditunduki, hingga dia nampak seperti lukisan gambar saja. Mereka bicara terus,
ketika mereka berpaling kepada si nelayan, dia tetap duduk tak bergerak.
“Sungguh
dia sabar dan ulet sekali!” kata Oey Yong tertawa. Kemudian di antara desiran
angin dia bernyanyi, dari gembira menjadi sedih. Sebab ia menyanyikan “Syair
Naga Air”. Ia bernyanyi baru separuh, tiba-tiba terdengar sambutan yangs erupa,
yang kemudian ternyata adalah suara si tukang pancing ikan itu.
Oey
Yong terbengong.
“Eh,
kau kenapakah?” tanya Kwee Ceng heran.
“Itulah
nyanyian yang sering dinyanyikan ayahku,” menyahut si nona. “Aku heran seorang
tukang pancing di sini pun dapat menyanyikan itu dan suaranya pun bersemangat
tetapi pun bernada duka. Mari kita lihat.”
Mereka
mengayuh, akan menghampirkan tukang pancing itu, siapa justru telah berhenti
memancing dan menyimpan pancingnya serta ia mengayuh perahunya pergi.
Ketika
kenderaan air mereka berpisah beberapa tombak lagi, tukang pancing itu
terdengar berkata: “Di tengah telaga bertemu sama sepasang tetamu mulia, aku
girang sekali! Sudikah kalau aku mengundang kalian bersama meminum arak?”
“Cuma
kami khawatir mengganggu lotiang,” Oey Yong menyahuti. Ia heran untuk kata-kata
rapi dari si tukang pancing itu.
“Tidak
sama sekali, malah aku bergirang. Silahkan!” dia itu mengundang pula.
Dengan
beberapa kali mengayuh pula, Oey Yong merapatkan perahunya kepada perahu si
nelayan itu, bersama Kwee Ceng ia pindah perahu, habis menambat perahunya
sendiri kepada perahu orang, mereka memberi hormat. Nelayan itu membalasi
sambil berduduk terus.
“Maaf,
jiwi, kakiku sakit, tidak dapat aku bangun berdiri.” katanya.
“Jangan
merendah, lotiang,” berkata muda-mudi itu.
Mereka
mendapatkan orang berusia empatpuluh lebih, mukanya kurus, mirip orang yang
lagi menderita sakit berat, tubuhnya jangkung, meski berduduk, ia jauh lebih
tinggi dari Kwee Ceng. Ia tidak bersendirian. Di buntut perahu ada satu kacung
lagi mengipasi perapian, dimana ia tengah memanasi arak.
Oey
Yong perkenalkan she mereka, bahwa saking gembira mereka bermain perahu. Ia
memohon maaf yang mereka sudah mengganggu ketentraman si nelayan.
“Kau
merendah,” kata si nelayan tertawa. “Aku she Liok. Apa jiwi berdua baru pertama
kali ini pesiar di telaga ini?”
“Benar,”
sahut Kwee Ceng.
Kedua
pemuda ini – sebab Oey Yong menyamar – lantas diundang minum dan dahar sayur
mayur yang terdiri dari empat rupa. Mereka mengucap teriam kasih, mereka minum
dan dahar bersama. Nyata araknya wangi dan sayurnya pun lezat, mesti itu
masakan orang hartawan.
“Siauwko,
kau muda sekali, tapi pandai kau menyanyikan syair Naga Air itu,” si orang she
Liok itu memuji.
“Lotiang
pun sama juga,” Oey Yong membalasi.
Keduanya
lantas bicara hal syair itu, dua-duanya gembira. Kwee Ceng tidak mengerti hal
syair, ia membungkam, ia cuma kagum.
Ketika
itu terlihat mega berkumpul. Si orang she Liok itu mengundang kedua tetamunya
berkunjung ke rumahnya, untuk berdiam beberapa hari. Ia kata rumahnya itu di
tepi telaga.
“Bagaimana,
engko Ceng?” Oey Yong tanya kawannya.
Belum
lagi Kwee Ceng menyahuti, si orang she Liok itu sudah berkata pula bahwa
rumahnya dekat dan di sana ada puncak yang indah. “Jiwi tengah pesiar, maka
itu, jangan kau menampik,” ia mendesak.
“Kalau
begitu, Yong-jie, mari kita membikin berabe tuan Liok!” akhirnya Kwee Ceng
menjawab kekasihnya. Ia pun mengucapkan terima kasih.
Si
orang she Liok itu girang, ia terus menyuruh kacungnya mengayuh. Sampai di
tepian, langit mulai gelap, Kwee Ceng kata ia hendak membayar pulang dulu
perahunya, sedang di rumah si tukang perahu ada kuda dan keledainya, hendak
binatang itu dititipkan terus.
“Tidak
usah,” kata si orang she Liok mencegah. “Disini semua kenal aku, hal itu biar
dia saja yang mengurusinya.” Dia menunjuk kacungnya.
“Kudaku
nakal,” kata Kwee Ceng.
“Kalau
begitu baiklah, nanti aku menanti di gubukku,” kata si orang she Liok itu. Dia
tertawa, lantas dia mengayuh perahunya, lenyap di antara pohon-pohon yangliu.
Tapi kacungnya ikut Kwee Ceng dan Oey Yong memulangi perahu dan mengambil kuda
serta keledai mereka. Kemudian mereka mesti berjalan berliku-liku akan sampai
di rumah si orang she Liok, yang merupakan suatu rumah besar dengan pekarangan
yang lebar luas. Untuk tiba di muka pekarangan, mereka mesti melintasi dulu
sebuah jembatan tunggu. Muda mudi itu saling mengawasi, kagum karena rumah orang
itu.
Di
muka pintu, kedua tetamu ini disambut seorang muda umur duapuluh lebih yang
membawa empat budak. Ia kata ia diutus ayahnya untuk menyambut. Kwee Ceng
membalas hormat, ia mengucap terima kasih. Ia melihat pemuda itu mengenakan
jubah panjang, wajahnya mirip ayahnya, cuma tubuhnya besar dan kekar. Ia lantas
minta belajar kenal.
Pemuda
itu menyebutkan namanya, Koan Eng.
Sembari
berbicara mereka bertindak masuk, memasuki hingga tiga ruangan. Kedua tetamu
ini menjadi terlebih kagum. Rumah itu indah tiang-tiangnya terukir.
“Lekas
silahkan tetamu masuk!” lantas terdengar suaranya si orang she Liok, yang
berada di ruang belakang.
“Ayahku
terganggu kakinya, sekarang ia menantikan di kamar tulis Timur,” Koan Eng
memberitahu.
Mereka
melintasi pintu angin, lantas mereka lihat pintu kamar tulis yang dipentang. Di
dalam situ si nelayan duduk di atas pembaringannya. Sekarang ia tidak dandan
lagi sebagai tukang pancing, hanya mengenakan pakaian mahasiswa atau sastrawan,
tangannya mencekal kipas. Ia menyambut dengan gembira, sambil tersenyum, ia pun
lantas mengundang duduk. Koan Eng tidak berani duduk bersama, ia berdiri di
samping.
Dua
tetamu itu mengagumi kamar tulis itu, yang banyak kitabnya serta juga rupa-rupa
barang kuno, tetapi Oey Yong terbengong ketika ia melihat sepasang lian di
tembok, bunyinya “Dalam tumpukan pakaian menyimpan pedang mustika” dan “Dalam
suara seruling dan tambur ada tetamu tua”. Ia heran untuk kata-katanya. Itulah
kata-kata yang suka disenandungkan ayahnya. Di bawah lian itu tertulis nama
penulisnya berikut keterangannya: “Coretan Ngo Ouw Hoat-jin selama dalam
sakitnya”. Kata-kata “Ngo Ouw Hoat-jin” itu berarti “Orang tapakdaksa dari Thay
Ouw”. Ia menduga, si orang tapakdaksa itu tentulah tuan rumah she Liok ini.
Bukankah ia lagi menderita sakit kaki?
Tuan
rumah heran. “Bagaimana pandanganmu tentang lian itu, laotee?” ia menanya.
“Kalau
aku mengaco, harap chung-cu tidak buat kecil hati,” sahut Oey Yong. Ia sekarang
memanggil “chung-cu” = tuan rumah. Ia kata lian itu mengandung kemurkaan dan
penasaran, sedang tulisannya bagus dan keren. Ia anggap orang telah menyimpan
pedangnya untuk hidup menyendiri di tempat sepi. Mendengar itu, tuan rumah
menghela napas, ia berdiam.
“Aku
masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap chung-cu
suka memaafkan,” berkata Oey Yong.
“Jangan
mengucap demikian, Oey Laotee,” berkata Liok Chung-cu. “Apa yang tersimpan di
dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai kau, maka
bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku ini.”
Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang hidangan.
Oey
Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan rumah
yang muda sudah lantas mengundurkan diri.
“Laotee,
pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin ayahmu ada
seorang sastrawan besar,” berekat tuan rumah. “Entah siapa ayahmu itu, bolehkah
aku mengetahui nama besarnya yang mulia?”
“Aku
tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji,” menyahut Oey Yong. “Ayahku
cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman.”
Tuan
rumah itu menghela napas. “Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik,
sejak dahulu hingga sekarang sama saja,” katanya. “Oey Laotee, kita ada
bagaikan sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku,
sebagai tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?”
Oey
Yong tersenyum. “Oh, chung-cu!” katanya. “Coretan buruk, cuma-cuma akan
membikin kotor mata chung-chu saja!”
Mengetahui
orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh kacungnya
lekas menyediakan perabot tulis. Si kacung sendiri yang menggosokan baknya.
Oey
Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan
gambarnya seorang mahasiswa usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang
berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang
permai, mahasiswa itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang
pedang, romannya keren. Di samping lukisan itu dituliskan syair: “Siauw Tiong
San” dari Gak Hui. Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she
Oey.
Liok
Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih. Ia senang
dengan gmabar itu.
Habis
bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula. Tuan rumah menyebutkan
halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan. Ia minta kedua tetamunya tinggal
beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.
“Sekarang
silahkan jiwi beristirahat,” katanya tuan rumah akhirnya.
Kwee
Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka berbangkit, untuk mengikuti
kedua bujang yang membawa lentera, yang hendak mengantar ke kamar yang telah
disediakan untuk mereka. Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka
terkejutlah ia menampak di atas pintu ada delapan lemabr besi merupakan patkwa.
Tapi ia tidak bilang suatu apa, ia mengikuti terus pengantarnya itu. Kamar yang
disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua. Kedua bujang menyediakan
the, ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa,
kedua tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran
pembaringan. Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya
itu pergi keluar.
“Engko
Ceng, lihat, tempat apa ini,” berbisik Oey Yong setelah kedua bujang menutup
pintu kamar dan berlalu. “Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?”
“Rumah
ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan kita
kesasar,” sahut Kwee Ceng.
“Bagaimana
engko lihat tuan rumah kita?” si nona menanya pula.
“Dia
mirip perwira yang telah mengundurkan diri!” jawab si anak muda.
“Tidak
salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi itu
patkwa besi di atas pintu kamar tulis?”
“Patkwa
besi? Apakah itu?” tanya si pemuda.
“Itulah
senjata yang menjadi alat untuk menyakinkan ilmu Pek-khong-ciang, latihan
memukul udara kosong. Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan, selang
beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat itu…”
“Kelihatannya
Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak membilang
sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon.”
Oey
Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api.
“Tanganmu
sungguh lihay!” Kwee Ceng memuji perlahan. “Yong-jie, adakah ini
Pek-khong-ciang?”
“Cuma
sebegini pelajaranku,” Oey Yong tertawa. “Ini ada untuk main-main, buat dipakai
menyerang orang, tidak dapat.”
Sampai
di sini, keduanya tidur.
Mereka
belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang meniup
terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu,
kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan
oleh satu orang. Suara menyambut itu pun samar-samar.
“Engko
Ceng, mari kita lihat,” Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran sebab
terompet itu terang saling sahutan.
“Lebih
baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-gara.” sahut si pemuda.
“Siapa
bilang untuk menerbitkan gara-gara? Aku mengatakan untuk melihat.” jawab si
nona bersikeras.
Kwee
Ceng terpaksa menurut, maka dengan berhati-hati keduanya membuka jendela, untuk
melongok dulu keluar. Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera,
beberapa lagi pergi datang, agaknya repot. Di atas genteng pun ada tiga empat
orang lagi mendekam. Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada
membekal senjata tajam. Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.
Oey
Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi ke
jendela sebelah barat. Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar.
Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.
Dengan
memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke
belakang. Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku. Heran adalah
setiap paseban di tikungan, modelnya sama. Maka dalam beberapa belokan saja,
tak dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara. Tapi
si nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi. Pernah
nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.
Heran
Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi si
belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia
kata pada kawannya: “Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal
jalanannya semua?”
Oey
Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda tutup
mulut. Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok belakang.
Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak, kemudian Kwee
Ceng dengar ia menyebutnya perlahan: “Cit satu…tun tiga…ie lima…hiu
tujuh…kun….” yang ia tak mengerti, akan akhirnya si nona kata sembari
tersenyum: “Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat
rahasia.” Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti.
“Pekarangan
ini diatur menurut patkwa,” Oey Yong memberi keterangan. “Inilah keahlian
ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!” Dan ia agaknya
puas sekali.
Keduanya
naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur, mereka
mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga. Oey Yong
memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus. Lantas
mereka sembunyi si belakang satu batu besar, mengintai ke tepian. Di situ
berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu. Sejenak saja, semua
api dipadamkan.
Oey
Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap gulita
mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang paling
besar, untuk lompat naik ke gubuk perahu. Gesit dan enteng tubuh mereka,
perbuatannya itu tidak ada yang ketahui. Mereka lantas mengintai di sela-sela
gubuk. Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan
Eng.
Semua
perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar suara
terompet. Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus meniup
terompet sebagai balasan. Masih perahu berlayar terus.
Selang
beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris-baris perahu kecil
berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah
berapa jumlahnya.
Tukang
terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas perahu
kecil segera datang menghampirkan dari perlbagai penjuru.
Oey
Yong dan Kwee Ceng heran betul. Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan Eng
tetap tenang sikapnya, tak seperti ia lagi mengahadapi musuh besar.
Lekas
sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu berlompat pindah
satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka memberi
hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat, duduknya
rapi. Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang duluan
duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru duduk di
kursi kepala. Sebentar saja, semua sudah berduduk. Mereka kelihatan keren,
bukan seperti nelayan.
“Thio
Toako, apa kabarmu?” tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya. Ia
memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu.
Seorang
yang kurus tubuhnya berbangkit. Ia menyahuti: “Peruntusan negara Kim itu sudah
mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan tiba
lagi dua jam. Dengan alasan menyambut peruntusan itu, di sepanjang jalan
Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat.”
“Berapa
banyak hasilnya itu?”
“Setiap
kota ada bingkisannya. Serdadu-serdadunya pun merampas di perkampungan. Aku
lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih yang
semua nampaknya sangat berat.”
“Berapa
banyak tentaranya itu?” Koan Eng menanya pula.
“Dua
ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan kaki.
Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa.”
“Saudara
semua, bagaimana pikiran kamu?” Koan Eng tanya para hadiran.
“Kami
menanti titah siauw chung-cu!” ia mendapat jawaban serempak.
Koan
Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata: “Semua itu keringat darah
rakyat, semuanya harta tak halal. Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak
ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semunya, nati separuhnya kita
amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua
markas!”
“Bagus!”
semua hadirin setuju.
Baru
sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala perampok
dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya!
“Kita
tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!” berkata Koan Eng
lagi. “Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di
depan!”
Si
orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.
Setelah
itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa penyambut atau
pembantu, siapa mesti jadi “siluman air”, akan selulup di dalam air untuk
memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta. Bahkan
ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh. Dia kelihatan lemah
tetatpi rapi pengaturannya itu. Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah kagum.
Disaat
orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin berbangkit dan berkata dengan
suara dingin: “Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita makan
dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara
negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?”
Kwee
Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, ynag suaranya mereka rasa mengenalinya.
Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini ialah
Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay, Empat
Iblis dari sungai Hong Ho, yang adalah muridnya See Thong Thian. Maka heran
mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.
Wajahnya
Liok Koan Eng menjadi merah padam. Belum lagi ia membuka suara, sudah ada dua
tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.
“Ma
Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini,” kata
Koan Eng mencoba bersikap sabar. “Bagi kami, satu kali semua orang sudah
mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biarnya kami semua ludas, kami tidak
menyesal!”
“Baiklah!”
kata Ceng Hiong. “Kamu lakuan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air keruh
kamu!” Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu.
Dua
orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu. “Ma Toako!” kata mereka
keras. “Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah, rejeki
sama dicicipi, bencana sama diderita!”
Ma
Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. “Minggir!” ia membentak, kedua
tangannya dikebaskan.
Sebagai
kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.
Disaat
iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya.
Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semcama pusut dengan apa
ia membalas menyerang dengan tikaman.
Penyerang
yang gesit itu adalah Liok Koan Eng. Dia menangkis, kakinya dimajukan, tangan
kanannya menyerang terus. Maka “Duk!” punggung Ceng Hiong kena terhajar hingga
dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa seketika.
“Bagus!”
berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong itu,
untuk digayor ke tengah telaga!
“Semua
saudara, berebutlah maju!” Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi apa yang
ia barusan lakukan.
Semua
orang menyahuti, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.
Sebentar
kemudian, semua kenderaan air itu sudah menuju ke timur. Perahu besar Koan Eng
mengiringi dari belakang. Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan beberapa
puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke barat.
Di
antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.
Kwee
Ceng dan Oey Yong memasang mata. Mereka tidak usah menanti lama atau kedua
pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lanats terdengar suara
bentakan-bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke
muka air.
Selang
tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh
telaga menjadi merah marong.
“Tentu
mereka sudah berhasil,” pikir Kwee Ceng berdua.
Tidak
seberapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam situ
terdengar laporan: “Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah tertawan!”
Koan
Eng girang sekali, dai pergi ke kepala perahu. Dia berseru: “Saudara-saudara,
bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negera Kim!”
Pembawa
kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah itu. Habis
itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua perahu memasang
layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.
Perahu
besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului ynag
lain-lain, pesat sekali lajunya.
Kwee
Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan. Tidak peduli
angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali. Coba tidak
lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi. Pula menarik akan melihat
perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.
Berlayar
kira-kira satu jam, di depan mulai tertampak cahaya terang. Maka dua buah
perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu
perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring: “Kita sudah
menemui perahu-perahu peruntusan negera Kim itu! Hoo Cecu sudah mulai
menyerang!”
“Bagus!”
Koan Eng menyahuti.
Lekas
sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan: “Kaki tangan
negera Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang tengah
mengepung mereka!”
Kapan
perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu ynag terluka itu
naik di perahu besar. Selagi Koan Eng hendak mengeobati cecu itu, sudah lantas
datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang tadi
disebutkan, ynag pun telah terluka. Pula dilaporkan yang, “Kwee Tauwnia dari
puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim, mayatnya
kecemplung ke telaga.”
Mendengar
itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. “Anjing Kim itu demikian galak, nanti aku
sendiri pergi membinasakan dia!” ia berseru.
Kwee
Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh bangsanya,
dilain pihak, mereka khawatirkan kebinasaan pangeran itu, yang tentu tidak
snaggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau dia
mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu
“Kita
tolongi dia atau jangan?” Oey Yong berbisik.
“Kita
tolongi dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal,” sahut anak muda ini.
Oey
Yong mengangguk.
Itu
waktu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua mukanya, dai
berlompat ke sebuah perahu kecil. “Lekas!” dia berseru.
“Mari
kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!” Oey Yong mengajak kawannya.
Disaat
kedua hendak berlompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok, kemudian
tertampak perahu-perahu rombongan perutusan Kim itu pada karam. Rupanya perahu
mereka itu telah dipahat bolong dasarnya. Kemudian, dengan bendera merahnya
dikibar-kibarkan, dau perahu datang melapor: “Anjing Kim itu kecemplung di air.
Dia sudah dapat dibekuk!”
Koan
Eng girang, dia berlompat kembali ke perahu besar.
Tidak
lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa
orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan
pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.
Kwee
Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya
meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.
Kebetulan
itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan matahari
dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya ular-ular
emas.
Liok
Koan Eng telah memberikan pengumumannya; “Semua cecu berkumpul di Kwie-in-chung
untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!”
Kaum
perampok bersorak-sorai, lantas tertampak mereka berpencaran, lenyap di
kejauhan. Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat
layar-layar putih. Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka
bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup….
Kwee
Ceng berdua menantikan orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam mereka
pun pulang, untuk berpura-pura tidur.
Beberapa
kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka
tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani
mengasih bangun.
Lewat
lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu. Lantas mereka diberi
selamat pagi oleh kedua pelayannya, yang pun cepat menyediakan sarapan pagi seraya
memberitahukan bahwa chung-cu menantikan di kamar tulis.
Keduanya
menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di mana Liok
Chung-cu sambil berduduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa; “Angin besar
di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu orang tidur!
Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?”
Kwee
Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahuti: “Tadi
malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam tengah
membaca doa.”
Tuan
rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin ia memperlihatkan kumpulan gambar
lukisannya kepada kedua tetamunya.
“Tentu
suka sekali kami melihat,” berkata Oey Yong. “Pasti itu ada lukisan-lukisan
yang sangat indah.”
Liok
Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambarnya itu, maka sebentar kemudian Oey
Yong sudah memandang menikmatinya.
Selagi
hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan disusul
berlari-larinya beberapa orang, seperti seorang lari dikejar beberapa orang.
Satu kali terdengar nyata bentakan: “Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-chung,
untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!”
Diam-diam
Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang tenang seperti biasa,
bagaikan dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari empat sastrawan
besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling digemari.
Selagi
Oey Yong hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba pintu kamar ada yang tabrak,
seorang nerobos masuk, pakaian orang itu basah kuyup. Ia lantas mengenali
Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki: “Lihat gambar, jangan
pedulikan dia…”
Keduanya
segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta perlbagai tulisan.
Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.
Orang
itu memang Wanyen Kang adanya. Dia tertawan karena ia kecemplung dan kena
meminum banyak air. Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya
terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia. Segera dia mengerahkan
tenaganya, sekali berontak, dia membuatnya belenggunya pada putus. Orang semua
kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap. Dia membuka kedua tangannya, dua
orang yang terdekat terpelanting roboh. Dia terus nerobos, untuk lari. Tapi
Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan
harap ia dapat lolos. Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar,
sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.
Liok
Koan Eng tidak berkhawatir orang lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk ke
kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang di
depan ayahnya itu. Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri
menghalang.
Dalam
kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey Yong
berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor: “Perampok sangat jahat, kau
sudah menggunai akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir
ditertawakan kaum kangouw?!”
Koan
Eng tertawa lebar. “Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua huruf
kangouw itu?” ia membaliki.
“Selama
di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan,” berkata
Wanyen Kang berani, “Buktinya – hm – ternyata hari ini kamu hanya….”
“Hanya
apa?!” Koan Eng memotong.
“Hanya
kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!” sahut pangeran muda
iru.
Koan
Eng gusar sekali dihina secara demikian. Ia muda tetapi ialah kepala untuk kaum
Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata: “Kau ingin bertempur satu sama satu, baru
kau mampus tidak menyesal?”
Inilah
jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah orang.
Maka ia kata; “Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan aku, aku
akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang hendak
memberikan pelajaran kepadaku?!” Ia pun bersikap temberang, matanya menyapu
semua orang, kedua tangannya digendong di belakangnya.
Kata-kata
tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong, juga
aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia menyerang
dengan kedua tangannya.
Wanyen
Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan itu,
kedua tangannya bekerja. Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan
kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah
kawan-kawannya di ambang pintu!
Koan
Eng terkejut. Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya. “Tuan, kau benar
lihay!” katanya. “Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau, mari
kita pergi ke thia!”
Tuan
rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti hebat, di
dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua tetamunya
itu yang tidak mengenal ilmu silat…
“Untuk
pibu, di manapun sama saja!” kata Wanyen Kang jumawa. “Apakah halangannya di
sini? Silahkan cecu memberi pengajaranmu!”
Koan
Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang. “Baik!” katanya. “Kau tetamu, kaulah yang
mulai!”
Wanyen
Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul sama
dengan tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunai jurus
dari Kiu Im Pek-kut Jiauw.
“Bocah
kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!” kata Koan Eng di dalam hatinya.
Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk meluncurkan
tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan kirinya
menyambar ke sepasang mata.
Wanyen
Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay. Inilah ia tidak sangka. Ia lantas
menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar tangan
menankap lengan lawan. Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.
Melihat
lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng. Maka ia
berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Koan
Eng itu sebenarnya ada murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw
Sie di Lim-an, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong. Ia pun
mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati-hati. Ia tidak kasih tubuhnya
dijambak.
Untuk
Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa, “Kepalan tiga bagian,
kaki tujuh bagian”, atau lagi, “Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal kaki
menendang orang,” Maka itu, Koan Eng bersilat mengaandal pada pribahasa itu.
Hebat
pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau kalah,
Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.
Setelah
bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar. Ia tahu, ia terkurung dan lama-lama ia
bisa kehabisan tenaga, kalau ia mesti banyak menempur banyak musuh bergantian,
celakalah dirinya. Ia pun sebenarnya masih lemah bekas disebabkan menenggak
terlalu banyak air. Karena itu, ingin ia lekas mengakhirkan pertandingan itu,
untuk menyingkirkan diri.
Lewat
lagi beberapa jurus, Koan Eng merasa ia keteter. Musuh telah mendesak sangat.
Satu kali ia terlambat, pundakny akena terhajar. Tidak tempo lagi ia terhuyung
mundur. Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir. Justru ia
maju, justru kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya. Itulah dupakan “Kaki
jahat” yang ebrbahaya sekali.
Wanyen
Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui itu
sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuhnya itu. Ia lantas menrasakan
dadanya itu sakit. Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja. Ia membalas
dengan membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya
dipakai menolak dengan keras seraya ia berseru: “Pergilah!”
Koan
Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga
mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur
pembaringan, mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kirinya menahan
punggungnya, lalu dengan perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu
terkejut melihat betis anaknya mengucurkan darah.
“Kurang
ajar!” ia berseru. “Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat?!”
Tanggapan
dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng sendiri,
anaknya. Sebab anak ini semenjak kecil ketahui ayahnya sudah bercacad kedua
kakinya, setiap hari ayah itu berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat
tetabuhan khim, gambar dan kitab. Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu
kepada tubuhnya. Tapi masih ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah
Oey Yong dan Kwee Ceng. Si nona karena ia melihat besi patkwa di pintu dan si
pemuda karena mendengar keterangan kekasihnya.
Wanyen
Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat. “Makhluk apa Hek Hong Siang
Sat itu?” ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong tetapi
Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya.
“Jangan
berlagak pilon!” membentak pula Liok Chung-cu. “Siapa yang ajarkan kau itu ilmu
Kiu Im Pek-ku Jiauw ynag jahat?!”
Wanyen
Kang bernyali besar. “Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak dapat
aku menemani kau!” katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah pintu.
Semua
cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi.
“Bagaimana
kata-katamu?!” Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis.”
Kata-katamu berharga atau tidak?!”
Muka
Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. “Kami kaum Thay Ouw bangsa terhormat!”
katanya. “Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong antar ia
keluar!”
Semua
cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya itu.
Thio
cecu pun sudah lantas membentak: “Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti kau
menemani jalanan bocah!”
“Mana
sekalian siwi dan pengiringku?” Wanyen Kang tanya.
“Mereka
semua pun dimerdekakan!” menyahut Koan Eng.
Pangeran
itu menunjuki jempolnya. “Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian cecu,
sampai bertemu pula di belakang hari!” Ia memutar tubuh untuk memberi
hormatnya, romannya sangat puas.
“Tunggu
dulu!” chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki.
Wanyen
kang segera menoleh, “Bagaimana?!” tanya ia.
“Aku
si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!”
menyahut tuan rumah yang tua ini.
“Bagus!
Bagus!” tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat.
Koan
Eng sangat berbakti, ia terkejut tetapi ia lantas menceagh. “Ayah, jangan
layani binatang ini!” katanya.
“Jangan
khawatir!” berkata si ayah itu. “Aku lihat belum sempurnya kepandaiannya itu.”
Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula: “Kakiku
sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!”
Wanyen
kang tertawa, tetapi ia tidak menghampirkan.
Koan
Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya
bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata; “Hendak aku mewakilkan ayahku
meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!”
“Bagus,
mari kita berlatih pula!” tertawa Wanyen Kang.
“Anak
Eng, mundur!” mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan kanannya
menekan pinggiran pembaringan, hingga tubuhnya mencelat maju, berbareng dengan
mana dengan tangan kiri ia menyerang ke arah embun-embun si pangeran.
Semua
orang terkejut, mereka berseru.
Wanyen
Kang tidak takut, ia menangkis. Tapi kesudahannya ia kaget bukan main. Ketika
kedua tangan beradu, ia merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul mana,
tangan kanan si orang tua menyambar bahunya. Ia lantas menangkis seraya
berontak untuk melepaskan tangan kanannya itu dari cekalan lawan.
Tubuh
Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandal tenaga lengan
si pangeran, yang ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya menyerang
pula, beruntun hingga lima enam kali. Wanyen Kang repot menangkis, ia berontak
tapi sia-sia saja. Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak ada
hasilnya.
Melihat
itu, para cecu heran dan girang. Semua mengawasi pertempuran ynag luar biasa
itu, yang hebat sekali.
Lagi
sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.
Wanyen
Kang menggunai lima jarinya, untuk membabat tangan lawan, atau mendadak lengan
si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai jalan
darah kinceng-hiat. Pangeran itu kaget, ia merasakan tubuhnya seperti mati
separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena
ditangkap lawannya, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena
dibikin terlepas!
Liok
Chungcu benar-benar sebat, ia mengandali kedua tangannya saja, dapat ia
bergerak dengan lincah. Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang
orang, berbareng dengan mana, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu
dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke
pembaringannya di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar