Add caption |
Bab 15. Oey Yong
“Anak akan pergi bersama keenam
guruku, tak usah anak membawa pengiring,” sahut Kwee Ceng.
Ia anggap dengan pergi bersama guru-gurunya, ia tentu bakal berhasil, sedang
membawa pengiring-pengiring, yang tidak mengerti ilmu enteng tubuh, melainkan
menambah berabe saja. Ia senang sekali dengan easn Khan ini, untuk membinasakan
Wanyen Lieh. Memang semenjak kecil ia telah
diempos ibunya, yang sangat membenci bangsa Kimn itu.Jenhiz Khan menerima baik,
ia pesan pula: “Sekarang ini kuda kita belum terpelihara gemuk dan tentara kita
belum terlatih sempurna, kita belum dapat menandingi negara Kim, maka itu kau harus bekerja baik-baik supaya kau
tidak meninggalkan bekas-bekas!”
Kwee Ceng memberikan janjinya.
Jenghis Khan lantas hadiahkan baba mantu
itu uang emas tigapuluh tael, untuk ongkos di jalan, sedang Kanglam Liok Koay
dipersen barang-barang emas dan berharga bekas rampasan dari Wang Khan.
Di hari ketiga, setelah
pamitan dati ibunya dengan keduanya mengucurkan air mata, Kwee Ceng
berangkat bersama guru-gurunya. Lebih dahulu mereka sambangi kuburannya Thio A
Seng, untuk ambil selamat berpisah
dari rohnya guru almarhum itu. Lalu tujuan mereka adalah selatan.
Baharu
mereka jalan sepuluh lie lebih, di atasan kepala mereka terlihat dua ekor
burung rajawali kepala putih terbang berputaran, lalu terlihat Tuli datang
bersama Gochin dengan dua saudara itu merendengi kuda mereka. Tuli memberi
bingkisan sepotong baju bulu tiauw yang mahal, yang pun adalah barang rampasan
dari Wang Khan.
Gochin
datang menemui bakal suaminya itu, akan tetapi ia tidak dapat berbicara, cuma
kulit mukanya menjadi bersmu merah.
“Adikku,
kau bicaralah dengannya, aku tak akan mendengarinya!” berkata Tuli sambil
tertawa, terus ia larikan kudanya, untuk menjauhkan diri.
Gochin
menoleh, ia masih belum dapat bicara. Selang beberapa lama, barulah ia pesan:
“Kau mesti lekasan pulang…..”
Kwee Ceng mengangguk. “Ada pesan lagi?” ia
menanya.
Gochin
menggelengkan kepalanya.
Kwee Ceng dekati itu putri, ia
pondong tubuhnya, terus ia bawa kepada Tuli. Lalu ia pun saling rangkul dengan
Tuli itu, habis mana ia larikan kudanya guna menyusul keenam gurunya, yang
sudah berjalan jauh juga.
Gochin
melongo, hatinya menjadi tawar. Ia dapatkan sikap Kwee Ceng
sama seperti biasa, bukan sebagai satu tunangan. Saking masgul, ia hajar
kudanya hingga binatang itu lari berjimpratan.
Kwee Ceng sendiri berjalan
terus, keenam gurunya ajak dia menuju ke timur selatan, siang jalan, malam
singgah. Segera juga mereka melintasi tanah datar gurun pasir. Pada suatu hari
hampir tiba di Hek Sui Ho, tak jauh lagi dari Kalgan,
Kwee Ceng lantas merasakan suasana bertukar.
Belum pernah ia melintas dari gurun, sekarang ia mulai tiba di Tionggoan, ia
dapatkan pemandangan mata yang lain. Tanpa merasa, ia gencet perut kudanya,
membikin kudanya itu lari pesat. Maka lekas sekali tibalah ia di Hek Sui
o, disebuah rumah makan di tepi jalanan.
Kwee Ceng merasa kasihan
melihat kudanya yang kecil itu lari demikian keras hingga bermandikan keringat,
ia ambil sabuk dengan apa ia menyusuti. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Sabuk
itu menjadi merah seluruhnya. Tempo ia meraba kudanya dengan tangannya,
tangannya itu juga menjadi merah, penuh dengan darah. Hampir ia mengucurkan air
mata saking menyesal sudah menyiksa kudanya itu. Tidakkah kuda itu bercelaka
diluar keinginannya? Maka ia rangkul leher kuda itu, untuk menghibur.
Kuda
itu sebaliknya nampak segar bugar, tidak ada
tanda-tandanya terluka.
Kwee Ceng menoleh, akan
mengawasi ke jalan besar darimana tadi ia datang. Ia mengharap-harap segera
tibanya gurunya yang ketiga, Han Po Kie, supaya guru itu suka tolong mengobati
kudanya itu. Ia tidak melihat guru-gurunya, yang ketinggalan jauh, maka
berulangkali ia menoleh dan menoleh pula.
Masih
enam guru itu tak nampak, sebaliknya, kupingnya bocah ini mendengar mengalunnya
kelenengan unta. Apabila ia mengawasi, ia lihat mendatanginya empat ekor unta
bulu putih, yang penunggangnya pun berpakaian serba putih putih . Mereka itu
pria semua.
Belum
pernah Kwee ceng melihat unta-unta yang begitu bagus, ia menjadi mengawasi. Ia
pun menjadi tertarik dan heran akan mendapatkan keempat penunggangnya semua
masih muda-muda, mungkin baru berumur duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun,
dan semuanya pun beroman tampan.
Setibanya
di depan restauran, keempat penunggang unta itu lompat turun dari punggung
masing-masing untanya, terus mereka bertindak ke dalam rumah makan itu. Dari
gerak-geriknya mereka itu, terang mereka itu mengerti silmu silat. Disamping
pakaian mereka yang putih, di leher mereka itu terlihat bulu rase.
Satu
pemuda melihat Kwee
Ceng mengawasi padanya, ia menjadi
likat, wajahnya pun bersemua dadu, lekas-lekas ia tunduk. Adalah satu kawannya
menjadi tidak senang.
“Eh,
bocah kau awasi apa?” ia menegur.
Kwee Ceng terperanjat,
lekas-lekas ia melengos. Ia lantas dengar mereka itu berbicara satu pada lain,
entah apa yang mereka bicarakan itu, habis itu mereka tertawa riuh. Ia malu
sendirinya. tentu orang tengah menertawainya. Ia sempat berpikir untuk menukar
tempat singgahnya. Syukur unttuknya, ia dapatkan tibanya Han Po Kie. Ia lari
kepada gurunya itu, untuk terus beritahukan hal kudanya mengeluarkan keringat
darah.
“Begitu?”
tanya guru itu heran. Ia dekati kuda Kwee Ceng, ia
raba punduknya kuda itu, setelah mana, ia bawa tangannya yang berlepotan darah
itu ke arah matahari. Ia mengawasi sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa
lebar.
“Ini
bukannya darah, inilah keringat!” serunya.
Kwee Ceng tercengang.
“Keringat?” ia menanya. “Ada
keringat merah?”
Po
Kie tidak sahuti muridnya itu, hanya dengan bersemangat ia kata; “Anak Ceng,
kau telah dapatkan han-hiat po-ma, yang untuk seribu tahun sukar didapatkan!”
Kwee Ceng heran dan girang. Ia bergirang
sebab kudanya tidak terluka. Ia heran akan mendengar halnya han-hiat po-ma,
ialah kuda istimewa dengan keringat seperti darah.“Suhu, kenapa dia
mengeluarkan keringat bagaikan darah?” ia menegasi.
“Dulu pernah aku dengar keterangannya guruku,
almarhum,” sahut Po Kie. “Turut katanya guruku itu, di tanah barat, yaitu di
daerah Ferghana, ada kedapatan sebangsa kuda liar biasa, yang disebut kuda
langit, punduk kuda itu mengeluarkan keringat merah seperti darah, bahwa kuda
itu keras larinya, satu hari dapat menempuh jarak seribu lie.
Tentu itu baru cerita saja, belum pernah ada
yang melihat buktinya.”Selagi guru dan murid ini berbicara, rombongannya Tin Ok
tiba. Mereka lantas beritahukan tentang kuda berkeringat merah itu.
Cu Cong adalah seorang
sastrawan, ia luas pengetahuannya.
“Tentang
itu ada ditulis jelas dalam Kitab Hikayat dan Kitab Jaman Han,” berkata Cu
Cong. “Ketika dahulu hari itu bangsawan Pok-bong-houw Thio Kian diutus ke Tanah
Barat, di Ferghana dia telah melihat seekor kuda han-hiat po-ma itu,
sekembalinya ke negerinya, ia memberitahukannya kepada rajanya, Kaisar Han Bu
Tee. Kaisar menjadi kagum, ingin ia mempunyai kuda itu, terus ia kirim utusan
membawa emas seribu kati serta seekor kuda-kudaan emas, sebesar kuda biasa, ke
Barat itu, untuk dipakai menukar dengan kuda istimewa itu. Raja Ferghana
menolak permintaan itu, dia mengatakannya: ‘Kuda itu adalah kuda pusaka negara
Ferghana, jadi kuda itu tidak dapat dihadiahkan kepada bangsa Han.’
Utusan Han itu menjadi gusar, mengumbar
tabiatnya, ia hajar rusak kuda emas itu, terus ia pulang. Raja Ferghan pun
gusar, dia perintah menawan utusan itu, terus dibunuh, emas dan kuda emas itu
dirampas.”
Kwee Ceng berseru heran.
Cu Cong menghirup air
tehnya.
“Kemudian
bagaimana?” tanya murid itu.
Dipihak
lain, keempat pemuda serba putih itu juga memperhatikan cerita itu.
“Shatee,”
tanya Cu Cong
sehabis ia minum pula tehnya, “Kau ahli pemelihara kuda, takukha kau darimana
asalnya po-ma?”
“Menurut
keterangan guruku, po-ma terlahir dari perkawinan kuda rumahan dengan kuda
liar!” sahut Po Kie.
“Benar!”
berkata Cu Cong. “Menurut kitab, di negara Ferghana itu ada sebuah gunung di
dalam mana kedapatan sebangsa kuda liar, yang dapat lari seperti terbang,
hingga orang liar tidak dapat mengejarnya. Tapi orang Ferghana telah mendapat
satu akal bagus.Pada suatu malam hari musim semi, mereka lepas satu ekor kuda
betina yang berwarna lima
di kaki gunung. Kuda liar itu kena terpincuk, dia kawin dengan kuda pancingan
itu, ketika kemudian kuda biang itu mendapat anak, anak kuda itu ialah po-ma
tersebut. Anak
Ceng, mungkin sekali kudamu itu
adalah keturunan dari kuda Ferghana itu.
“Bagaimana
dengan Kaisar Han Bu Tee itu, apa dia mau sudah saja?” menanya Han Siauw
Eng, yang tertarik denagn cerita
kakak angkatnya itu.
“Mana
mau dia sudah begitu saja,” kata Cu Cong.
“Dia lantas perintah Jenderal Lie Kong mengepalai beberapa laksa serdadu pergi
ke Ferghana untk mendapatkan kuda itu. Untuk itu, Lie Kong diangkat menjadi
jenderal istimewa. Tapi Ferghana adalah negera gurun pasir, tak ada rangsum dan
air disana, selama perjalanan banyak tentara terbinasa, sebelum mencapai tempat
tujuan, pasukan tentara itu tinggal hanya tiga bahagian. Lie Kong kalah oerang, ia terpaksa mundur ke Tun-hong,
darisana ia meminta rajanya mengirim pula bala bantuan. Raja gusar, ia kirim
utusan membawa pedang, ke kota
Gak-bun-kwan, untuk menjaga. Utusan itu diberi tugas dan kekuasaan: Panglima
atau serdadu mana saja yang pergi berperang benani memasuki kota Gak-bun-kwan itu, dia mesti dihukum
mati! Lie Kong menjadi serba salah,
terpaksa ia menunda di Tun-hong itu.”
Ketika itu terdengar pula kelenengan unta,
lalu tertampak datangnya lagi empat penunggang unta seperti empat yang pertama
itu.
Melihat mereka itu, yang masuk ke dalam restauran, Kwee Ceng
heran. Mereka itu muda dan tampan dan pakaiannya serba putih seprti rombongan
yang pertama. Dan mereka dua rombongan
lantas duduk bersama-sama.Cu Cong melanjuti ceritanya: “Kaisar Han Bu Tee tidak
puas, ia merasa malu. Dengan kalah perang, ia khawatir bangsa lain memendang
enteng bangsa Han. Maka ia mengerahkan pula lebih
daripada duapuluh laksa serdadu, ia siapkan serbau, kuda dan rangsum tak
terhingga banyaknya. Masih ia khawatir tentaranya itu belum cukup, ia menambah
dengan semua orang hukuman, pamong praja rendah, baba-baba mantu dan kaum
pedagang, yang dijadikan serdadu, hingga negera menjadi gempar. Pula dua ahli kuda diberi
pangkat tinggi, ialah satu menjadi Kie-ma Kawm-oet, yang lainnya menjadi Cit-ma
Kauw-oet, tugasnya ialah nanti sesudah Ferghana dipukul pecah mereka mesti
memilih kuda jempolan. Lioktee, kerajaan Han itu mengutamakan tani dan
sebaliknya memandang enteng bangsa saudagar, kalau kau hidup di jaman Kaisar
Han Bu Tee, apeslah kau, sebaliknya dengan shatee, dia bisa memangku pangkat!
Ha ha ha!”
“Dan baba-baba mantu itu, apakah salahnya mereka?” Siauw Eng
menanya.
“Siapa
miskin dan tak punya sanderan, siapa kesudian dipungut mantu?” Cu Cong
menjawab. “Kali ini Lie Kong memimpin angkatan perang yang besar itu. Untuk
lebih daripada empatpuluh hari, ia kurung dan serang kota musuh. Banyak panglima musuh terbinasa.
Akhirnya kaum ningrat Ferghana menjadi ketakutkan, mereka berontak, rajanya
dibunuh, kepala raja diserahkan. Mereka mohon menakluk. Mereka pun serahkan
kuda yang diperebuti itu. Lie Kong
pulang dengan kemenangan besar, raja sangat girang, dia di anugrahkan menjadi
bangsawan Hay-see-houw. Orang-orang peperangan yang lainnya pun turut kenaikan
pangkat. untuk seekor kuda po-ma itu, entah berapa banyak jiwa sudha melayang,
setahu berapa banyak uang sudah dikorbankan. Kaisar mengadakan satu pesta
besart, ia perintah mengarang syair untuk memuji kuda langit itu, yang dianggap
melainkan naga yang pantas menjadi kawannya….”
Mendengar
cerita itu, delapan pemuda itu mengawasi kudanya Kwee Ceng,
agaknya mereka sangat tertarik.
Cu
Cong berkata pula: “Kuda langit menjadi kuda jempolan sebab perkawinannya
dengan kuda liar, Kaisar Bu Han Tee sudah kerahkan kekuatan seluruh negeri
untuk mendapatkan beberapa ekor kuda itu tapi kemudian ia tidak mendapatkan
kuda liar, maka selang beberapa turunan, semua kuda itu tak lagi menjadi po-ma
dan keringatnya pun tidak merah…”
Habis Cu Cong bercerita, mereka melanjuti memasang omong sambil
dahar mie.Delapan pemuda itu duduk jauh-jauh, mereka kasak-kusuk tetapi
kupingnya Kwa Tin Ok lihay, ia dapat mendengar jelas pembicaraan mereka.
“Kalau
kita hendak rampas kuda itu, cukup dengan satu kali turun tangan,” berakta satu
pemuda, “Satu kali kita sudah naik atas punggung kuda itu, siapa dapat
mengubarnya?”
“Tapi
disini ada banyak orang lain dan ia pun ada kawan-kawannya…” kata seorang yang
lain.
“Jikalau
kawannya berani membantui, kita bunuh saja semua!” kata seorang lagi.
Hu
Thian Pian-hk Kwa Tin Ok menjadi heran sekali. “Mereka berdelapan wanita
semuanya, mengapa mereka jadi begini galak dann telengas?” tanya ia dalam hatinya. Ia berdiam saja, ia sengaja
berpaling ke luar rumah makan. dengan begitu delapan pemuda itu menjdai tidak
bercuriga.
“Setelah
mendapatkan kuda jempolan ini, kita menghadiahkannya kepada San-cu,” berkata
seorang pula. “Dengan menungggang kuda ini, San-cu pergi ke kota raja,tentunya dia menjadi semakin terang
mukanya! Pasti seklai Som Sian lao Koay dari Tiang Pek San dan Leng Tie Sianjin
jago Bit Cong Pay dari Tibet tak dapat menangkan keagungannya…!”
Tin
Ok berpikir. Ia pernah dengar namanya Leng Tie siangkin, seorang paderi
kenamaan dari Tibet
itu, tetapi tak tahu ia perihal Som Sian Lao Koay. Ia terus memasang kupingnya.
“Dalam
beberapa hari ini di tengah jalan kita menemui tak sedikit sahabat dari Jalan
Hitam,” berkata seorang muda yang lainnya lagi, “Katanya mereka adalah
bawahannya Cian-ciu jin-touw Peng
Lian Houw.
Merek aitu tentu hendak berkumpul juga di kota
raja, maka kalau mereka dapat lihat kuda ini, mana kita dapat kebagian?”
Tentang Peng Lian
Houw ini Tin Ok ketahui dengan
baik. Dialah kepala penjahat paling berpengaruh untuk wilayah Hopak dan
Shoasay, yang pun sangat kejam, maka juga dia dapat gelarannya itu, “Pembunuh Ribuan Jiwa”.
Maka ia berpikir, “Orang lihay itu pergi ke kota raja, mereka hendak bikin apa di sana? Delapan wanita ini,
siapakah mereka?”Mendengar terlebih jauh, Tin Ok mendapat kepastian mereka itu
hendak merampas kudanya Kwee
Ceng. Merek ahendak pergi lebih
dulu, guna memegat di tengah jalan.
Habis
mengambil keputusan, delapan pemuda itu, yang Tin Ok mengatakannya
pemudi-pemudi, lalu berkasak-kusuk tentang asmara, mereka pun bergurau. Ada yang kata “San-cu paling sukai kamu!” Ada yang membilang,
“Diwaktu begini tentulah San-cu lagi menantikanmu!” maka ia menjadi mengerutkan
keningnya, ia menajdi sebal….
“Kalau
kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-vu bakal
menghadiahkan apa kepada kita?” berkata satu orang, yang kembali ke urusan
kuda.
Yang
seorang tertawa dan berkata: “ Pasti
San-cu menghendaki kau menemani ia
tidur untuk beberapa malam…!
“Kurang
ajar!” membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lain-lain lantas
tertawa geli.
“Kira-kira,
hati-hatilah!” seorang memperingati. “Jangan kita membocorkan rahasia
sendiri…!”
“Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat,” kata
satu orang. “Dia juga cnatik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, baharulah
heran anadikata San-cu melihat dia dan tidak menjadi kerindu-rinduan…”Tin Ok
tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-bulanan, ia
mendongkol. ia percaya orang yang dipanggil “San-cu” itu atau “majikan gunung”
mestilah bukan orang baik-baik.
“Awas,
jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan nona manis untuknya…!” memperingati satu kawan.
Orang
itu tertawa, ia tidak menyahuti.
“Kita
harus berhati-hati,” berkata pula seorang yang lain. “Kali ini kita datang ke
Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menakluki orang kosen, supaya orang-orang
kosen di kolong langit ini ketahui kegagahan kita dari Pek To San, maka itu
haruslah kita waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay
yang sial dankalan itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!”
Tin
Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, ada dari partai
mana, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay – Empat Siluman dari
sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng.
Seorang
berkata pula: “Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah murid-murid
paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu,
namanya sangat kesohor, maka itu adalah sangat aneh yang mereka kabarnya roboh
ditangannya satu bocah umur belasan tahun…”
Satu
kawannya menyahuti: “Ada
orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw, karena tubuhnya Hong Ho
Su Koay
itu masing-masing meninggalkan beberapa bekas cengkeraman…”
“Maka
hati-hatilah kau!” tertawa satu kawannya, “Supaya kau jangan sampai kena
dijambak bocah itu!”
“Cis!”
sang kawan berludah.
Maka
lagi sekali, mereka itu tertawa.
Mendengar
pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol berbareng merasa lucu. “Sungguh pesat sekali
tersiarnya kabaran dalam dunia kangouw!” katanya. “Hanyalah tidak tepat untuk
menyiarkan berita anak ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu mana dapat
dikuasai tanpa penyakinan belasan tahun? Anak umur belasan tahun mana
mempunyakan semacam ilmu silat itu?”
Diam-diam
Tin Ok puas yang murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay,
maka tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini.
Habis
dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya.
Tin
Ok tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia tanya
adiknya yang kedua: “Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita
itu?”
“Wanita?”
Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia
menjawab.
“Habis?”
sang kakak membalasi.
“Oh,
mereka menyamar demikian sempurna!” berkata Cu Cong.
“Nampaknya mereka luar biasa, mirip mengerti ilmu silat, rupanya seperi tidak
mengerti…”
“Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?” Tin Ok tanya pula.“Tidak,” sahut Cu Cong
setelah berpikir sejenak.
Tin
Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong
semua tertawa. Besar nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San….
“Perkara kecil niat mereka merampas kuda ana Ceng,” Tin Ok berkata
pula. “Yang penting ialah pembilangan bahwa ada banyak orang gagah hendak
berkumpul di kota
raja. Mungkin ada gerakan rahasia apa-apa. Aku pikir tak dapat kita membiarkannya
saja, perlu kita mencari tahu.”“Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba
harinya, tidak dapat kita main ayal-ayalan,” Coan Kim Hoat memperingati.
Mereka
itu berdiam, mereka itu merasa sulit juga.
“Kalau
begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!” Lam Hie Jin menyarankan.
“Apakah
sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin? Kita menyusul dia
sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang berkumpul di kota raja?” Siauw Eng
menegaskan.
Lam
Hie Jin mengangguk.
“Benar,”
Cu Cong menyatakan setuju. “Biar anak Ceng
berjalan seorang diri, untuk mencari pengalaman.”
Mendengar
itu Kwee Ceng merasa puas. Tidak menggembirakan
untuk ia berjalan seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu.
“Orang
begini besar masih bersifat kebocahan!” Tin Ok menegur.
Siauw Eng lantas membujuki:
“Kau pergi lebih dahulu di sana
menunggui kita. Tak sampai satu bulan, kami akan menyusul. Umpama di harian
pibu kita tidak dapat kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba
untuk mengurus kamu. Jangan kau khawatir.”
Dengan
terpaksa Kwee
Ceng memberikan persetujuannya.
“Delapan
wanita itu hendak merampas kudamu,” Tin Ok pesan, “Pergi kau ambil jalan kecil,
untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, tidak nanti dapat mereka
menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan terganggu
urusan sampingan.”
“Umpama
benar mereka main gila, Kanglam
Cit Koay
tidak nanti lepaskan mereka!” berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit
Koay meskipun sudah belasan tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal
berenam (Liok
Koay). Itulah tandanya ia tidak
bisa melupakan saudara angkatnya itu.
Habis
bersantap, Kwee
Ceng lantas memberi hormat kepada
keenam gurunya, untuk mengucapak selamat jalan.
Liok Koay berlega melepaskan
muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan menyaksikan perlawanannya
terhadap Hong
Ho Su
Koay. Memang perlu murid ini
membuat perjalanan sendiri, sebab pengalaman tak dapat diajari, itu mesti
diperoleh sendiri. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin
singkat saja: “Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!” Pesan ini diberikan sebab
ia melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho,
muridnya ini ngotot hingga ia membahayakan diri sendiri.
“Memang,”
berkata Coan
Kim Hoat,
“Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung ada gunung lainnya lebih tinggi,
di sebelah orang ada lagi lain orang yang terlebih pandai, biarpun kau sangat
lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di kolong langit. Maka ingatlah pesa
gurumu yang keempat ini.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia payku
kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke selatan. Belum ada dua lie, ia
sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti pesan Tin Ok, ia lantas ambil
jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil dan berliku-liku, di sini
sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun sukar, banyak kolar dan
pasirnya, ada pepehonan kecil yang liar. Untungnya untuk dia, ia menunggang
kuda dan kudanya pun dapat lari pesat.
Sekira
tujuh atau delapan lie, Kwee
Ceng tiba di jalanan pegunungan
yang sulit dan berbahaya, jalanan sempit dan banyakl batu besarnya. mau tidak
mau, ia berlaku hati-hati. I apun meraba ganggang pedangnya.
“Kalau
sam-suhu melihat sikapku nini, dia pasti akan damprat aku…” pikirnya.
Selagi
jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng
terkejut. Di depan ada tiga nona
dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta. Mereka
itu melintag di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya pun
tercekat. “Numpag jalan!” ia lantas berkata, suaranya nyaring.
Ketiga
nona itu tertawa tergelak. “Adik kecil, takut apa?” kata satu diantaranya.
“Lewat saja! Kami pun tidak nanti gegares padamu!”
Kwee Ceng jengah, mukanya
dirasai panas. Ia bersangsi. Bicara dulu atau menerjang saja?
“Kudamu
bagus, mari kasih aku lihat!” kata
satu nona lain. Ia mengasih dengar nada lagi bicara sama anak kecil.
Tentu
saja tak puas Kwee
Ceng diperlakukan demikian. Ia
mengawasi jalanan yang sempit itu. Di
tempat begitu, tak dapat ia tempur mereka itu. Maka ia lantas ambil keputusan.
Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit. Dengan ini cara,
ia kasih kudanya kaget, untuk lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak
menerjang ketiga orang itu.
“Awas!
Buka jalan!” ia berseru seraya ia hunus pedangnya.
Pesat
lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat.
Satu
nona lompat turun dari untanya, iamaju seraya ulur tangannya, maksudnya hendak
menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee
Ceng membentak, kudanya berbenger,
terus berlompat tinggi, lompat lewati tiga nona itu!
Ketiga
nona itu terkejut, Kwee
Ceng sendiri tidak tak terkecuali,
saking heran atas lihaynya kuda itu, untuk pengalamannya ini yang luar biasa.
Belum sempat ia menoleh ke belakang, ia sudah dengar bentakan ketiga nona itu,
tepat waktu ia menoleh, ia lihat menyambarnya dua rupa barang berkilauan. Ia
mau berlaku hati-hati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia
menyambuti dengan kopiahnya, yang ia lekas cabut.
“Bagus!”
memuji dua nona.
Kwee Ceng periksa kopiahnya.
Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau torak terbuat dari perak yang
indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua pinggirannya.
“Kamu telengas hendak mengambil jiwaku,”
pikir si anak muda denagn mendongkol. “Bukankah kita tidak kenal satu sama lain
dan tidak bermusuhan?” Tapi ia tidak mau membalas, tak sudi iamelayani, gin-so
itu ia masuki dalam sakunya.
Ia hanya dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan
unta-unta kecil.Sampai disitu, pemuda ini larikan pula kudanya. Ia tidak
menaruh perhatian ketika ia dengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas
kepalanya, dari utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang memegat
pula. Tidak sampai satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah
sebentar, terus ia jalan pula. belum sore, ia sudah tiba di Kalgan.
ia percaya ketiga nona tadi tidak bakal dapat candak dia, sebab ia duga jarak
mereka kedua pihak ada jarak seperjalanan tiga hari…….
Kalgan adalah kota hidup untuk
perhubungan antara selatan dan utara, penduduknya padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu
binatang, yang datangnya dari tempat lain tempat. Di
sini Kwee Ceng turun dari kudanya, ia berjalan
seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Belum
pernah ia melihat kota
seramai ini. Kebetulan tiba di depan restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat
kudanya di luar, ia masuk ke dalam, akan pilih tempat duduk.
Ia minta sepring daging kerbau dan dua kati mie. Seorang diri ia
dahar dengan bernafsu. Ia hanya tidak pakai sumpit, ia turut kebiasaan orang Mongolia,
memakai tangannya.Tengha bersantap, ia dengar suara kerisik di luar rumah
makan. Ia lantas ingat kepada kudanya, ia lompat bangun, untuk melongok keluar.
Ia dapatkan kudanya sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak
berisik adalah dua jongos terhadap satu pemuda ynag tubuhnya kurus dan
pakaiannya butut.
Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun,
kepalanya ditutup dengan kopiah kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya
pun hitam mehongan, hingga tidak terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun
di musim semi, hawa udara dingin, dan pemuda ini tidak memakai sepatu.
Teranglah ia seorang melarat. Di
tangannya ia mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan
tertawa, hingga terlihat dua baris giginya yang putih, rata, hingga gigi bagus
itu tak sembabat sama dandannya yang compang-camping itu.“Mau apa lagi?!”
menegur satu jongos, “Kenapa kau tidak mau lantas pergi?!”
“Baiklah,
pergi ya pergi…” kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya.
“Eh,
lepas bakpauw itu!” menitah jongos yang satunya.
Pemuda
itu letaki bakpauw itu yang tapinya sekarang tertanda tapak tangan, hitam dan
kotor. Tentu saja kue itu tak laku dijual.
Jongos
itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan lewat
diatasan kepalanya.
Kwee Ceng menjadi kasihan. ia
tahu orang tentu sudah lapar. “Jangan!” ia cegah si jongos. “Aku yang membayar
uangnya.” Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan kepada si pemuda.
Pemuda
itu menyambuti. “Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!” berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di
depan pintu.
Anjing
itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares bakpauw
itu.
“Sayang…sayang…”
kata satu jongos. “Bakpauw yang lezat dikasihi ke anjing….”
Kwee Ceng pun heran, tetapi ia
diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjuti bersantap. Pemuda itu mengikuti
ke dalam, ia mengawasi ana muda kita
Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. “Mari dahar bersama!” ia mengundang.
Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. “Mari dahar bersama!” ia mengundang.
“Baik!”
tertawa pula pemuda itu. “Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi mencari
kawan.” Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng
mengerti omongan orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Cit-kang, dan ia
biasa dengar ibunya bicara? Ia malah girang mendengar lagu suara orang
sekampung.
Pemuda
itu menghampiri, untuk duduk bersama.
Kwee
ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan
ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu.
“Apakah
kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang makananmu?” si
pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. “Aku khawatir, meski kau
menyuguhkan makananmu yang paing jempol, bagiku itu rasanya masih kurang
cocok.” lanjutnya lagi.
“Apa?!”
sahut jongos itu tawar, “Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat
membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk
membayarnya!”
Dengan
sengaja ia menyebut “lojinkee” atau orang tua yang dihormati, untuk menyindir.
Pemuda
itu mengawasi Kwee
Ceng. “Tidak peduli aku dahar
berapa banyak, maukah kau yang mentraktir?” tanyanya.
“Pasti!”
sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh
kepada si jongos, akan memerintahkan: “Potongi aku sekati daging kerbau serta
setengah kati hati daging kambing!” Ia telah hidup terlalu lama di
Mongolia hingga tahunya, makanan yang paling lezat di kolong langit
ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh pula kepada si anak muda:
“Kita minum arak atau tidak?” ia tanya.
“Kita
jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!” menyahuti si
anak muda. Ia lantas kata pada jongos: “Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan
empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar,
dua yang asam manis, dua yang manis
bermadu.”
Jongos
itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian
takabur.
“Toaya
menghendaki buah apa yang segar bermadu?” tanyanya,
suaranya tawar.
“Rumah
makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti tidak
dapat kamu menyediakan barang bagus,” berkata si anak muda. “Sekarang begini
saja! Empat rupa buah kering itu ialah leeci, lengkeng, co dan ginheng. Buah
yang segar yaitu kau cari yang baharu dipetik, yang
asam aku ingin uah ento harum, dan kiang-sie-bwee. Entah disini ada yang jual
atau tidak? Yang manis bermadu? Ialah jeruk
tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw dan buah
lay-hauwlongkun….”
Mendengar
itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang enteng
kepada anak muda ini.
Si
anak muda berkata pula; “Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan
yang biasa!”
Jongos
itu mengawasi. “Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?” ia tanya.
“Ah,
tidak dijelaskan, tidak beres!” berkata si anak muda itu. “Delapan rupa masakan
itu ialah puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto
manjangan keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso
kelinci, paha mencak dan kaki babi hong.”
Mendengari
itu mulutnya si jongos ternganga.
“Delapan
masakan itu mahal harganya,” kata kemudian. “Untuk ceker bebek dan lidah ayam
saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam….
Si
anak muda menunjuki Kwee
Ceng. “Tuan ini yang mentraktir,
apakah kau kira dia tidak kuat membayaranya?” tanya
ia.
Jongos
mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu tiauw, ia
duga bukan sembarang orang.
“Baiklah,”
sahutnya kemudian. “Apakah sudah cukup semua ini?”
“Habis
itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi,” berkata pula si anak
muda. “Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!”
Jongos
itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan lainnya.
Setelah pesan koki, baharu ia keluar pula. Sekarang ia tanya
tetamunya, hendak minum arak apa. Ia kata, ia ada punya arak Pek-hun-ciu
simpanan sepuluh tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci?
“Baiklah!”
sahut si anak muda yang mengenai arak tak banyak cerewet.
Tidak
terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susul-menyusul.
Kwee
ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang
dulu-dulunya ia belum pernah cicipi.
Sembari
dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di Kanglam.
Kwee ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarinya. Rupanya orang
luas pengetahuannya. Ia sampai mau percaya, anak muda itu ada lebih pintar
daripada gurunya yang kedua.
“Aku
menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi,” katanya dalam
hatinya.
Selang
kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan atas dua
meja disambung menjadi satu.
Anak
muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan, yang ia pilih, ia pun Cuma
dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada Kwee Ceng,
yang mengaku datang dari padang
pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya, ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia
jadi Cuma bicara tentang memburu binatang liar, memanah burung rajawali,
menunggang kuda dan menggembala kambing. tapi si anak muda sangat tertarik
hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk tangan.
Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama ini kawan baru.
Di gurun pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada
perbedaannya, ialah Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi
putri itu kadang-kadang manja sekali dan ia tidak sudi mengalah, maka sering
mereka bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak,
kecuali hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu
kali, saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras.
Hanya aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan
menunduk.Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kult
muka itu agakanya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak
memperhatikannya.
“Sudah terlalu lama kita bicara, barang hidangan keburu dingin,”
kata si anak muda seraya tarik tangannya. “Nasi pun sudah dingin…”“Benar,”
sahut Kwee ceng, sadar. “Baik suruh panasi lagi…”
“Tidak
usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar,” berkata si anak muda, yang
tapinya memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin dengan
yang baru!
Jongos
dan kuasa brumah menjadi heran. Seumurnya, baru kalin ini mereka mendapatkan
tetamu seaneh ini. Tapi mereka iringi kehendak itu.
Kwee
Ceng pun berdiam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.
Sesudah
barang makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu ia
mengatakannya sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee ceng dalam
hatinya: “Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!”
Kapan
kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu berjumlah
tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu, Kwee Ceng
mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael perak.
Sehabis membayar, Kwee ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa restoran
dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat, mereka
mengantar keluar kedua tetamunya itu.
Di
luar salju memenuhi jalan besar.
“Aku
telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan,” si anak muda meminta diri seraya
memberi hormat.
Kwee Ceng berhati mulia,
melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan baju kulit tiauwnya, ia
kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata: “Saudara, kita baharu ketemu
tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat kekal, maka aku minta sukalah kau
pakai baju ini!” Tidak
Cuma baju, ia pun memberikan uang.
Ia masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju
tiauw itu.
Si
anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus ia negeloyor
pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang,
hingga ia tampak Kwee
Ceng lagi berdiri bengong dengan
tangan memegangi les kuda merahnya, seperti juga pemuda itu kehilangan sesuatu.
ia lantas saja angkat tangannya, untuk menggapaikan.
Kwee Ceng lihat itu panggilan,
ia menghampirkan dengan cepat. “Saudaraku, apakah kau masih kekurangan
apa-apa?” ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik (hiantee).
Anak
muda itu tersenyum. “Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang
mulia,” ia menyahuti.
Kwee
ceng pun tertawa. “Benar, benar!” katanya. “aku pun sampai lupa! Aku she Kwee,
namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?”
“Aku
she Oey, namaku pun satu, Yong,” jawab anak muda itu.
“Sekarang
hiantee hendak pergi kemana?” Kwee ceng tanya.
“Umpama kata hiantee hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita berjalan
bersama?”
Oey Yong menggeleng kepala.
“Aku tidak niat pulang ke Selatan,” sahutnya. “Tapi toako, aku merasa lapar
pula…” ia menambahkan.
“Baiklah,mari aku temani lagi kau bersantap,” jawab Kwee ceng,
yang tidak merasa aneh atau mendongkol.
Kali
ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih
rumah makan yang paling besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran
Tiang Keng Lauw, yang bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian
Liang, ibukota dahulu. Hanya kali nini ia tidak meminta banyak macam makanan,
cuma empat rupa serta sepoci the Liong-ceng.
Di sini kembali mereka
pasang omong.
Kapan Oey Yong dengar Kwee ceng
omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia menjadi tertarik hatinya.
“Justru
sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja ke Mongolia,” ia
kata. “Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu
untuk aku buat main.”
“Hanya
sukar untuk mencari anaknya,” Kwee ceng beritahu.
“Tapi
kau toh dapat menemuinya,” berkata si anak muda.
Kwee Ceng tidak dapat
menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan.
“Eh,
hiantee, rumahmu di mana?” ia tanya.
“Kenapa kau tidak mau pulang saja?”
Tiba-tiba
saja mata Oey
Yong menjadi merah. “Ayahku tidak
menginginkan aku…” ia menyahut.
“Kenapa
begitu?” Kwee
Ceng tanya.
“Ayahku
larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi,” sahut Oey Yong.
“Ayah damprat
aku. Karena itu malam-malam aku minggat….”
“Sekarang
pasti ayahmu tengah memikirkan kau,” Kwee ceng berkata pula. “Dan ibumu?”
“Ibuku
sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil…”
“Kalau
begitu, habis pesiar, kau mesti pulang.” kata Kwee ceng lagi.
Oey Yong menangis. “Ayahku
tidak menginginkan aku lagi…” katanya.
“Ah,
tak bisa jadi,” Kwee
Ceng bilang.
“Jikalau
begitu, kenapa ayah tidak cari aku?” kata si anak muda lagi.
“Mungkin
ia mencari, Cuma tidak ketmu…” Kwee ceng mencoba menghibur.
Oey Yong tertawa. “Kalau
begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!” katanya. “Cuma aku mesti dapati dulu
dua ekor anak rajawali putih…”
Selagi
kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara
tindakan kaki, lalu tertampak munculnya tiga orang, ialah dua kacung yang
mengiringi satu pemuda denagn baju sulam yang indah. pemuda itu tampan sekali,
wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilanbelas tahun. Ia
memandang Kwee Ceng dan Oey
Yong. Melihat pakaian orang yang
kotor, ia mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Atas
itu kedua kacung menghampirkan meja yang ditunjuk itu, untuk mengatur mangkok
dan sepasang sumpit, yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana
disimpan dalam sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tetamu baru ini.
Kwee Ceng mengawasi sebentar,
lantas ia tidak pedulikan lagi tetamu itu. Ia kembali mengobrol bersama sahabat
barunya itu.
Belum lama, di bawah lauwteng terdengar
suara kuda meringkik, disusul mana beberapa kali bentakan dari beberapa orang.
Ia ingat akan kudanya, maka ia lari ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia
dapatkan beberapa orang dengan pakaian serba putih tengah mengurung kudanya
itu, yang hendak ditangkap, tetapi kuda itu berjinkrakan, hingga ia tak dapat
didekatkan. Ia menjadi gusar sekali, terutama sebab ia lantas kenali,
orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang memang berniat merampas
kudanya itu. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul ia demikian lekas.
Lantas ia berseru: “Di siang bolong kamu berani merampas kudaku?” Lantas ia
lari turun dari lauwteng. Setibanya ia di depan rumah makan, di sana ia
dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa berkutik. Ia
menjadi heran sekali, sehingga ie berdiri menjublak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar