Senin, 22 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 40

BAB 40

Auw Yang Hong

Kwee Ceng sendiri mengawasi dengan mendelong jalanan yang diambil Oey Yong tadi.
“Adikku, mari kita naik perahu!” Ciu Pek Thong mengajak sambil tertawa. “Hendak aku melihatnya, apakah bisa perahu ini membikin mampus kita bertiga?”
Lalu dengan sebelah tangan menarik Ang Cit Kong dan sebelah tangan yang lain menarik adik angkatnya itu, ia bertindak turun ke perahu yang besar dan indah itu. Di situ ada delapan bujang gagu yang menanti untuk melayani mereka. Semua mereka itu membungkam.
Melihat mereka itu, Ciu Pek Thong tertawa pula.
“Mungkin kalau satu hari Oey Lao Shia kumat tabiatnya, dia juga bakal mengutungi lidah putrinya! Kalau itu sampai terjadi maka barulah aku percaya benar dia mempunyai kepandaian lihay….?”
Kwee Ceng mendengar itu, ia menggigil sendirinya. Memang hebat kalau benar-benar Oey Yok Su karena gusarnya memotong lidah anaknya.
“Apakah kau takut?” menanya Pek Thong tertawa bergelak-gelak. Tanpa memanti jawaban, ia memberi tanda kepada si orang-orang gagu itu untuk mulai memberangkatkan perahu itu. Mereka berlayar mengikuti angin Selatan.
“Sekarang mari kita periksa ke dasar perahu ada apanya yang aneh!” Cit Kong mengajak.
Pek Thong dan Kwee Ceng menurut, maka itu mereka lantas mulai bekerja. Mereka mulai dari depan, lalu ke tengah, terus ke belakang. Semuanya dicat mengkilap. Barang makanan pun lengkap: ada beras, ada daging, dan sayuran. Sama sekali tidak ada bagian yang mana juga yang mencurigakan.
Ciu Pek Thong menjadi sangat mendongkol.
“Oey Lao Shia menipu!” teriaknya, sengit. “Dia bilang perahunya ini berbahaya, toh bahayanya tidak ada! Sungguh menyebalkan!”
Cit Kong tapinya tetap curiga. Ia lompat naik ke atas tiang layar, ia tidak dapatkan apa-apa yang luar biasa. Maka lantas ia memandang jauh ke laut. Ia menampak hanya burung-burung laut beterbangan, angin meniup-niup keras, membuatnya gelombang mendampar-dampar tanpa pangkalnya, seperti nempel langit. Berdiam di atas kapal, ia justru merasa segar.
Ditiup angin, tiga batang layarnya membuatnya perahu menuju ke Utara.
Ketika Ang Cit Kong berpaling ke belakang, ia mendapatkan kendaraan airnya Auwyang Hong mengikuti sejarak dua lie, terlihat nyata layarnya yang putih sulaman dari ular-ularan yang berkepala dua sedang mengulur lidahnya.
Cit Kong lompat turun, kepada anak-anak buah ia memberi tanda agar perahu diarahkan ke barat laut, ketika jurusan telah diubah, ia lantas melihat pula ke belakang.
Juga perahunya Auwyang Hong turut berubah, tetap mengikuti.
“Apa perlunya ia mengikuti terus?” Pek Kay menanya dirinya sendiri. “Benar-benarkah ia bermaksud baik? Si tua bangka berancu itu tidak biasanya bertabiat demikian baik budi…!”
Apa yang dia pikirkan itu, Cit Kong tidak beritahukan Pek Thong. Ia tahu tabiat aneh dan aseran dari kawan ini, ia khawatir orang nanti kumat amarahnya atau tabiat anehnya itu. Ia cuma menitahkan anak buah kapal kembali mengubah tujuan ke timur lurus.
Karena tujuan diubah, perahu berputar, bersama layar-layarnya kenderaan ini miring dan menjadi kendor jalannya.
Belum lama, lalu tertampak perahunya Auwyang Hong pun menuju ke timur….
“Bagus juga jikalau kita mengadu ilmu di tengah laut,” pikir Cit Kong kemudian. Ia masuk ke dalam gubuk perahu. Ia tampak Kwee Ceng duduk menjublak saja, suatu tanda pemuda itu kalut pikirannya.
“Muridku,” menegur sang guru, “Mari aku ajarkan kau semacam ilmu mengemis nasi, jikalau tuan rumah tetap tidak sudi mengamal, kau libat dia selama tiga hari tiga malam, supaya kau buktikan nanti, dia suka mengamal atau tidak!”
Pek Thong tertawa mendengar perkataan orang itu.
“Jikalau tuan rumah memelihara anjing galak?” tanyanya. “Jikalau kau tidak pergi, anjing jahat itu bakal menggigitnya! Habis bagaimana?”
“Tuan rumah yang demikian tidak berperasaan prikemanusiaan, kalau malamnya kau santroni dan mencuri sepuasnya hartanya, itulah tidak melanggar hukum Thian…” kata Cit Kong.
“Adikku,” Pek Thong terus menanya Kwee Ceng, “Mengertikah kau maksud gurumu? Itu berarti dia menganjurkan kau menggerembengi mertuamu itu! Umpama kata dia tetap tidak hendak menyerahkan putrinya dan bahkan hendak menghajar kau, maka pergilah kau diwaktu malam membawa lari gadisnya itu!”
Mendengar demikian, mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Kemudian ia mengawasi orang jaqlan mondar-mandar, sikapnya tak tenang. Ia mendadak ingat suatu apa.
“Toako,” ia menanya, “Sekarang kau hendak pergi ke mana?”
“Tidak ada tujuannya, adikku,” Pek Thong menyahut. “Ke mana saja asal pesiar…”
“Aku hendak meminta sesuatu, toako….”
Pek Thong segera menggoyangi tangannya.
“Jikalau kau mau minta aku kembali ke Tho Hoa To untuk membantui kau mencuri istri, itulah tidak nanti aku lakukan!”! sahutnya.
Merah mukanya Kwee Ceng.
“Bukannya itu, toako!” ia menjelaskan. “Aku ingin toako pergi ke Kwie-in Chung di telaga Thay Ouw.”
Matanya si orang tua mencelik.
“Untuk apakah?” dia menanya.
“Chuncu dari Kwie-in-chung yaitu Liok Seng Hong ada seorang kesatria,” Kwee Ceng menerangkan. “Dia sebenarnya murid dari mertuaku, karena kerembet-rembet urusannya Hek Hong Siang Sat, dia dihajar mertuaku itu hingga kedua kakinya gempor, susah untuk baik kembali. Aku lihat kaki toako dapat sembuh, maka ingin aku agar toako mengajarkan ia ilmunya supaya kakinya itu sembuh seperti sediakala!”
“Oh, itulah gampang!” sahut Pek Thong.
Kwee Ceng girang, hendak ia menghanturkan terima kasih, tatkala muncul suara menjeblaknya pintu, lalu muncul seorang anak buah dengan romannya pucat saking ketakutan, tapi karena ia tidak dapat bicara, dia cuma bisa menggerak-geraki tangannya.
Menduga mesti terjadi sesuatu, Cit Kong bertiga berlompat keluar untuk melihat……
** *
Oey Yong telah diajak pulang, dia terus ditarik hingga ke dalam rumah. Tentu saja, karena dipaksa ayahnya itu, tidak dapat ia berbicara dengan Kwee Ceng. Ia menjadi masgul dan dongkol sekali. Terus ia masuk ke dalam kamarnya, ia menguncikan pintu. Ia menangis dengan perlahan.
Oey Yok Su menyesal juga telah mengusir Kwee Ceng karena ia menuruti hawa amarahnya, terutama karena ia anggap si anak muda lagi menghadapi bahaya maut. Hendak ia menghibur gadisnya tetapi Oey Yong tidak memperdulikannya. Anak ini terus tidak membuka pintu kamarnya, diwaktu santap malam, ia tidak muncul untuk berdahar. Ketika sang ayah menyuruh bujangnya perempuan membawa makanan naik dan lauknya, ia lemparkan itu ke lantai hingga tumpah beserakan dan piring mangkoknya pecah hancur.
Keras Oey Yong berpkir.
“Ayah akan lakukan apa yang dia ucapkan. Kalau engko Ceng datang pula ke mari, dia bakal di hajar mati. Kalau aku buron, dilain hari aah pun tentu tidak bakal mengasih ampun…. Pula, dengan membiarkan dia tinggal seorang diri saja, tidakkah ia menjadi kesepian?” Bukan main berdukanya nona ini. Ia tidak dapat pikiran yang baik.
Ketika beberapa bulan yang lalu ia dimaki ayahnya, itu waktu ia buron tanpa berpikir lagi, setelah bertemu pula dengan ayahnya itu, ia mendapatkan rambut ayahnya itu mulai ubanan, hingga baru selang beberapa bulan, si ayah seperti bertambah puluhan tahun. Melihat itu, ia masgul sekali, hingga ia bersumpah tidak akan membikin ayah itu berduka pula. Sekarang? Di luar sangkaannya, ia menghadapi ini kesulitan. Tidak buron, ia pikirkan Kwee Ceng. Kalau ia buron, ia berati ayahnya…. Maka ia menangis sambil mendekam di pembaringan.
“Coba ibu masih hidup, tentulah ibu dapat mengambil putusan untukku…. Tidak nanti ibu membiarkan aku bersusah hati begini…” Begitu ia berpikir, mengingat ibunya yang sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Ingat ibunya itu, ia menjadi terlebih sedih. Ia berbangkit, ia membuka pintu, terus ia pergi ke thia, ruang depan.
Pintu rumahnya Oey Yok Su di pulau Tho Hoa To ini ada dipasang seperti untuk main-main saja. Pintu besarnya siang atau malam dipentang lebar-lebar, maka itu dengan tindakan perlahan, Oey Yong bisa keluar terus. Di luar pintu ia melihat bintang-bintang di langit. Kembali ia berpikir keras.
“Tentulah sekarang engko Ceng sudah terpisah beberapa puluh lie dari sini,” pikirnya. “Entah sampai di kapan aku bakal dapat bertemu pula dengannya….”
Ia menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung bajunya. Lalu ia bertindak ke dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap cabang-cabang, ia mengebut-negbut daun-daun, sampai ia berada di depan kuburan ibunya.
Di depan kuburan itu tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat musim berbunga bergantian. Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam Oey Yok Su sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang diantara sinar rembulan, bunganya sendiri pun permai indah.
Oey Yong menolak batu nisan, ke kira tiga kali, ke kanan tiga kali juga. Lalu ia menarik ke depan. Dengan perlahan-lahan batu itu berkisar, memperlihatkan sebuah liang atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke dalam lorong itu. Ia membelok tiga kali. Kembali ia membuka pintu rahasia, yang terbuat dari batu. Maka tibalah ia di dalam, di kuburan dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia menyalakan api, untuk memasang pelita di muka kuburan sekali.
Pintu kuburan semuanya tetlah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada seorang diri. Ia memandang gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya sendiri. Ia berpikir keras.
“Seumurku belum pernah aku melihat ibuku,” pikirnya. “Kalau nanti aku sudah mati, bisakah aku bertemu dengannya? Bisakah ibu masih begini muda seperti gambar ini, begini cantik? Di mana sekarang adanya ibu? Di atas langit atau di bawah langit? Apakah ibu masih di dalam pekarangan yang luas ini? Baiklah aku berdiam di sini untuk selama-lamanya, untuk menemani ibu….”
Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana diletaki pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu juga yang tidak indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari pelbagai tempat, ketika dulu hari ia malang melintang di kolong langit ini. Baik istana atau keraton, baik gedung orang-orang berpangkat besar atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-sarang berandal, hampir tak ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada barang permata yang ia sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum mendapatkannya, belum ia puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka ia bisa mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang dikumpulkannya di dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani arwah istrinya.
Semua permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api.
Oey Yong berpkiri pula: “Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi mereka benda yang hitung ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku melihatnya. Bagaimana kala nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah? Bukankah permata ini tetap berada di dalam dunia? Benarkah makhluk yang berjiwa, makin dia cerdik makin pendek umurnya? Oleh karena ibu cerdas luar biasa, dia cuma hidup duapuluh tahun, lalu menutup mata…”
Ia menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia pergi ke tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama, lalu ia berduduk di tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka sekali. Ia merasakan seperti menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian lama, ia ketiduran dan pulas.
Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah berada di kota raja, di dalam istana Chao Wang dimana seorang diri ia melawan pelbagai jago. Lalu di tengah jalan di perbatasan ia bertemu Kwee Ceng. Baru mereka bicara beberapa patah kata, mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak dapat, tak terlihat tegas. Ibunya itu terbang ke langit, ia memburunya di bumi. Ibu itu tertampak terbang makin lama makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir. Sekonyong-konyong ia mendengar suara ayahnya, memanggil-manggil ibunya. Suara itu makin lama terdengar makin nyata.
Sampai di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya. Ia lantas menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan bermimpi lagi. Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya itu, berada bersama dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya bawa ia ke dalam kuburan ini, berdiam sambil memasang omong. Baru selama yang belakangan ini, jarang ia bersama ayahnya memasukinya. Ia tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia berdiam. Diantara ia dan ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia lagi mendongkol, tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau keluar kalau nanti ayahnya sudah pergi.
Lalu ia mendengar suara ayahnya:
“Telah aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai dapat, hendak aku membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di langit mendapat ketahui. Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau ingin ketahui apa bunyinya, aku telah mencarinya sia-sia selama limabelas tahun. Barulah ini hari dapat aku memenuhi keinginanmu itu….”
Oey Yong heran bukan main.
“Darimana ayah mendapatkan kitab itu?” ia menanya dalam hatinya.
Ia mendengar ayahnya bicara terus: “Bukan maksudku sengaja hendak membinasakan mantumu itu. Siapa suruh mereka sendiri ingin menaiki perahu itu..?”
Oey Yong terkejut sendiri.
“Mantu ibuku?” pikirnya. “Apakah ayah maksudkan engko Ceng? Kalau engko Ceng duduk di dalam perahu itu, kenapakah?”
Maka ia lantas memasang kupingnya pula.
Kali ini ayah itu bicara dari hal kesusahan hatinya dan kesepiannya sendiri semenjak ia ditinggal pergi istrinya itu, yang cantik dan baik hatinya, yang mencintainya.
Tergetar hati Oey Yong mendengari keluh kesah ayahnya itu.
“Aku dan engko Ceng ada anak-anak baru belasan tahun, maka mustahil di belakang hari kita tidak bakal bertemun pula,” pikirnya. “Sekarang ini tidak dapat aku meninggalkan ayah…”
Belum sempat Oey Yong berpikir lebih jauh, ia sudah dengar ayahnya berkata lebih jauh: “Loo Boan Tong telah memusnahkan kitab bagian atas dan bagian bawah dengan gencetan tangannya, ketika itu aku mengira tidak dapat aku mewujudkan keinginanmu itu, siapa tahu seperti disuruh hantu atau malaikat, dia bersikeras hendak menaiki itu perahu terpajang yang indah yang aku sengaja bikin untuk pertemuan kita nanti…”
Kembali Oey Yong menjadi heran.
“Sering aku minta naik perahu itu, ayah selalu melarang dengan keras. Kenapa ayah membuatnya itu untuk ia bertemu sama ibu?”
Anak ini ketahui tabiat ayahnya aneh tetapi ia masih belum tahu keinginan terakhir dari ayahnya itu. Oey Yok Su aneh tetapi terhadap istrinya ia sangat mencinta, sedang istri itu menutup mata karena dia. Maka ia telah memikir untuk mengorbankan diri untuk istrinya itu. Ia tahu lihaynya kepandaiannya sendiri, tidak nanti ia terbinasa dengan jalan menggantung diri atau meminum racun, maka ia memikir satu cara lain. Ia pergi dari pulaunya, ia menculik pembikin perahu yang pandai, yang ia suruh membuatnya perahu terpajang itu. Segala-galanya perahu itu sama dengan perahu yang biasa, hanya papan dasarnya ia bukan memasangnya kuat-kuat dengan paku, hanya ia ikat dengan tali yang dipakaikan getah. Memang, berlabuh di muara, perahu itu terpandang indah, akan tetapi satu kali dia berlayar di laut dan terdampar-dampar gelombang dahsyat, tidak sampai setengah harian, dia bakal karam sendirinya. Sebab musnahlah itu “paku-pakun istimewa”. Oey Yok Su telah memikir untuk membawa jenazah istrinya ke dalam perahu itu, untuk berlayar dan nanti mati bersama di dalam gelombang, hanya setiap kali ia mau berangkat, lalu hatinya tidak tega membawa pula anak daranya yang manis itu. Ia juga tidak tega meninggalkan anak itu sebatang kara. Maka diakhirnya, ia membuatnya pekuburan ini. Karena itu, perahu berhias itu dibiarkan saja tak terpakai, setiap tahun dicat baru, hingga nampaknya terus baru dan bagus.
Oey Yong tidak ketahui pikiran ayahnya itu, maka heranlah ia. Ia terus berdiam hingga ia mendengar pula perkataan ayahnya: “Loo Boan Tong dapat membaca kitab Kiu Im Cin-keng di luar kepalanya, dai hapal sekali. begitu pun dengan si bocah she Kwee itu, yang menghapalnya tak salah. Sekarang aku mengirimkan jiwa mereka berdua, itu sama artinya dengan membakar habis kitab tersebut. Maka arwah kau di langit, aku percaya puas dan tenanglah kau. Hanya sayang si pengemis tua she Ang itu, tidak karu-karuan turut mengantarkan nyawnya….. Di dalam satu hari aku membinasakan tiga ahli silat kelas satu, dengan begitu aku telah memenuhi janjiku kepadamu, maka jikalau di belakang hari kita bertemu pula, pasti kau akan membilangnya suamimu telah membuktikan perkataannya!”
Oey Yong kaget hingga ia bergidik. Ia belum mengetahui pasti tetapi ia dapat menduga perahu berhias itu mestinya terpasangkan pesawat rahasia yang luar bhiasa. Ia ketahui baik lihaynya ayahnya ini. Maka itu mungkin Kwee Ceng bertiga sudah menjadi korban. Ia jadi sangat berkhawatir dan berduka, hampir ia berlompat kepada ayahnya itu untuk memohon pertolongan untuk tiga orang itu. Tapi ia terpengaruh kekhawatiran yang sangat, sampai kakinya menjadi lemas, hingga tak kuat ia mengangkat kakinya unntuk bertindak, dan mulutnya pun tak dapat mengeluarkan perkataan. Ia cuma mendengar suara tertawa ayahnya, yang terus pergi berlalu.
Sekian lama Oey Yong berdiam diri, ia mencoba menenangkan diri. Ia cuma berpikir satu: “Aku mesti pergi menolongi engko Ceng! Jikalau aku tidak berhasil, aku akan menemani dia mati…!”
Anak ini mengerti, percuma ia meminta bantuan ayahnya. Ayah itu terlalu mencintai istrinya tidak akan bisa mengubah keputusannya. Maka ia lari keluar dari perkuburan, terus ia ke pinggir laut, terus juga ia melompat naik ke sebuah perahu kecil. Ia mengasih bangun seorang bujang gagu yang menjaga perahu itu, menitahkan dia memasang layar dan mengayuh, untuk berlayar ke tengah laut.
Sementara itu terdengar tindakan kaki kuda yang lari keras dan berbareng pun terdengar juga suara seruling dari Oey Yok Su, Oey Yong berpaling ke darat, maka ia melihat kuda merah dari Kwee Ceng lagi lari mendatangi. Rupanya binatang itu tak betah berdiam di pulau, malam itu ia keluar berlari-lari…
Oey Yong lantas berpkir; “Di laut begini luas, ke mana aku mesti cari engko Ceng? Kuda kecil itu memang luar biasa tetapi begitu ia meninggalkan tanah, ia pun tak dapat berbuat apa-apa lagi….”

Begitu lekas Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong dan Kwee Ceng tiba di luar gubuk perahu, mereka merasakan kaki mereka basah. Nyata mereka telah menginjak air, atau kaki mereka kena kerendam air. Tentu sekali mereka menjadi sangat kaget. Tapi mereka sadar, maka itu dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuh, mereka berlompat naik ke tiang layar. Cit Kong bahkan sambil menenteng dua bujang gagu. Ketika ia memandang ke sekitarnya, yang nampak ialah laut yang luas, perahunya sudah tergenang air.
“Pengemis tua, Oey Lao Shia benar hebat!” berteriak Pek Thong. “Bagaimana perahu ini dibuatnya?”
“Aku juga tidak tahu!” menjawab Ang Cit Kong. “Eh, anak Ceng, kau peluki tiang, jangan kau lepaskan….!”
Kwee Ceng belum menjawab ketika mendadak, di antara suara keras, badan perahu terbelah menjadi dua. Kedua anak buah kaget sekali, sampai pelukannya kepada tiang layar terlepas dan tubuhnya kecebur ke air.
“Loo Boan Tong, kau bisa berenang atau tidak?” Cit Kong tanya.
“Coba-coba saja!” sahut Pek Thong tertawa. Suaranya tersampok angin hingga tak terdengar nyata. Mereka terpisah.
Perlahan perahu tenggelam, sebagaimana tiang layar melesak perlahan ke dalam air. Hanya pasti, tidak lama lagi, tiang itu bakal tenggelam juga.
Ang Cit Kong mendapat pikiran.
“Anak Ceng!” ia berkata, “Tiang ini menjadi satu dengan tubuh perahu, mari kita patahkan! Mari!”
Kwee Ceng menurut, maka keduanya lantas mengerahkan tenaga mereka. Dengan berbareng mereka menebas dengan tangan mereka kepada batang tiang.
Tidak peduli tangguhnya tiang, serangannya dua orang itu toh membuatnya patah. Maka dengan keduanya memeluki terus hingga mereka jatuh ke air. Dengan terus memegang tiang itu, mereka tidak kelelap. Mereka pun bisa berenang.
Cit Kong mengeluh di dalam hati. Mereka sudah terpisah jauh dari tepian, di sekitarnya tak nampak daratan. Tanpa pertolongan, biar bagaimana kosen, mereka toh akan mati haus dan kelaparan.
Di sebelah selatan, di tengah laut, terdengar suara tertawa berkakakan. Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
“Anak Ceng, marilah kita hampirkan dia!” Cit Kong mengajak.
Kwee Ceng menurut, maka dengan berpegangan tiang, sambil mengayuh, mereka berenang ke arah si tua berandalan itu. Beberapa kali mereka terdampar balik ombak yang keras. Angin keras, gelombang berisik, suaranya Pek Thong toh masih terdengar lapat-lapat. Maka mereka mencoba berenang terus.
Tidak lama, terdengar pula suaranya Pek Thong itu: “Loo Boan Tong telah berubah menjadi anjing kecemplung ke air! Inilah sup asin yang dipakai untuk menggodok si anjing tua…!”
Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Masih saja kakak itu bergurau, berguyon. Tidakkah mereka lagi menghadapi bahaya maut? Sekarang terbukti benar-benar artinya “Loo Boan Tong”, si bocah bangkotan yang nakal.
Mereka mencoba terus, akhirnya tidaklah sia-sia percobaan mereka itu. Tidak lama berselang, mereka toh datang dekat satu pada lain. Sekarang terlihat nyata, Pek Thong itu menolong diri dengan mengikat kakinya kepada papan perahu, dengan begitu ia menjadi bisa berdiri di atas air dan berjalan dengan bantuan ilmunya ringan tubuh, sang gelombang tidak menjadi rintangan. Pantas ia bisa berkelakar seperti tidak menghiraukan bahaya kehausan dan kelaparan.
Kwee Ceng menoleh ke belakang. Perahunya sudah lenyap dari muka laut. Dengan begitu paszi hilang sudah semua anak buah perahu itu terkubur di dasar laut.
Disaat itu, sekonyong-konyong terdengar teriakan Ciu Pek Thhong: “Ayo! Hebat!”
Cit Kong dan Kwee Ceng menoleh dengan cepat, mereka pun menanya ada apa. Pek Thong menuju ke arah jauh: “Lihat di sana! Cucut! Sebarisan ikan cucut!”
Kwee Ceng menjadi besar di gurun pasir, tak tahu ia hebatnya ikan cucut atau hiu, maka heran ia menampak gurunya berubah air mukanya. Kenapa guru itu nampak jeri begitu pun Pek Thong, sedang keduanya sangat lihay?
Cit Kong menhajar tiang layar, ia membikin patah, lalu potongan yang satu ia pegangi sendiri, yang lain mau ia menyerahkannya pada Kwee Ceng.
Hampir itu waktu, air laut di depan mereka menjublar, lalu tertampak munculnya seekor ikan cucut yang mulutnya dipentang, hingga nampak dua baris giginya yang putih yang mirip gergaji, berkilau di bawah sinar matahari. Hanya sebentar saja, dia sudah selam pula.
“Hajar kepalanya!” kata Cit Kong pada Kwee Ceng sambil menyerahkan potongan tiang layar itu, untuk dijadikan pentungan.
Kwee Ceng tapinya merogoh ke sakunya.
“Teecu ada punya pisau belati!” sahutnya. Dan ia lemparkan pentungan itu kepada Ciu Pek Thong, yang menyambutinya.
Lalu datang empat atau lima ekor ikan, yang mengurung mereka. Mungkin belum jelas, binatang laut itu tidak segera menyerang.
Pek Thong membungkuk, tangannya terayun. Hanya sekali kemplang, pecahlah kepalanya seekor ikan.
Begitu membaui darah, ikan-ikan itu menyambar tubuh kawannya, kemudian mereka disusul sama yang lainnya, mungkin puluhan atau ratusan ekor. Mereka itu tak kenal kawan, mereka cuma tahu daging harus dicaplok.
Kwee Ceng terkejut melihat keganasan binatang-binatang itu! Selagi ia mengawasi, ia merasakan kakinya ada yang bentur. Lekas-lekas ia tarik kakinya itu. Dengan bergeraknya air, seekor cucut menyambar kepadanya. Ia mendorong tiang layar dengan tangan kirinya, untuk berkelit ke kanan, sebaliknya tangan kanannya menyerang. Tepat serangan itu, pisau belatinya pun pisau belati mustika, maka sekali tikam saja, berlobanglah tubuh ikan, darahnya mengucur keluar. Maka ia pun lantas diserbu kawan-kawannya…!
Demikian tiga orang itu bertempur dengan kawanan ikan galak itu, mereka main berkelit, saban hajarannya terus meminta korban. Bgausnya untuk mereka, asal ada korban, korban itu dikepung ramai-ramai oleh ikan yang lainnya. Hanya menyaksikan keganasan ikan-ikan itu, hati mereka terkesiap juga.
Yang hebat, ikan itu banyak sekali, tak dapat semuanya dibunuh habis. Mungkin mereka sudah membinasakan duaratus ikan ketika mereka mendapatkan matahari mulai doyong ke barat….
“Pengemis tua bangka! Adik Kwee!” berseru Ciu Pek Tong. “Kalau sebentar langit gelap, tubuh kita bertiga, sepotong demi sepotong bakal masuk ke dalam perut ikan! Sekarang mari kita bertaruh, siapakah yang bakal paling dulu di gegares cucut…?”
Cit Kong nyata tak kurang jenakanya.
“Yang digegares cucut itu yang menang atau yang kalah?” tanyanya.
“Tentu saja dia yang menang!” ia mendapat jawaban.
“Oh!” berteriak Cit Kong. “Kalau begitu, lebih suka aku kalah!”
Kata-kata ini disusuli sebatan tangan dengan jurus “Naga sakti menggoyang ekor”, maka seekkor cucut, yang mendadak menyambar kepadanya, kena terhajar mampus, setelah dua kali meletik, ikan itu berdiam, tubuhnya mengambang, kelihatan perutnya yang putih. Besar sekali ikan itu.
“Tangan yang lihay!” Pek Thong memuji. “Hayo, kau sebenarnya mau bertaruh atau tidak?!”
“Maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau!” Cit Kong menolak, tetapi ia tertawa lebar.
Pek Thong pun tertawa terbahak-bahak.
“Eh, adik, kau takut atau tidak?” ia tanya adik angkatnya.
“Mulanya takut, tapi sekarang tidak lagi,” sahut Kwee Ceng. Sebenarnya ia jeri tetapi menyaksikan keberanian guru dan kakak angkatnya itu, yang demikian gembira, ia pun jadi ketarik hatinya. Ia tengah berkata begitu ketika seekor ikan menyambar ke arahnya. Ia lantas berkelit, tangan kirinya diangsurkan. Itulah pancingan. Ikan itu kena dijebak. Dia berlompat ke muka air dan menuburuk!
Kwee Ceng menyingkirkan tangan kirinya, yang hendak disambar itu, berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya ia menikam. Pada tangan kanan ini ia mencekal pisau belatinya. Tepat pisau ini menancap di tenggorokannya ikan. Tapi ikan lagi berlompat, piasu itu nyempret ke bawah sampai di perutnya, hingga dia seperti terbelek. Segera ia mati, perutnya udal-udalan, darahnya mengalir ke luar.
Itu waktu Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong juga telah dapat membinasakan masing-masing seekor lagi, hanya kali ini, Pek Thong merasakan dadanya sakit. Inilah sebab sakitnya belum pulih bekas dihajar Oey Yok Su. Tapi ia tertawa ketika ia berkata: “Pengemis tua, adik Kwee, maaf, tidak dapat aku menemani kau lebih lama pula. Hendak aku berangkat lebih dulu ke dalam perutnya si cucut!”
Habis berkata, Pek Thong berpaling, justru ia melihat sebuah layar putih dan besar lagi mendatangi.
Cit Kong juga sudah lantas mendapat lihat layar itu, bahkan segera ia mengenali kayar perahunya Auwyang Hong.
Tiga orang ini mendapat harapan, maka semangat mereka seperti terbangun. Kwee Ceng mendekati Pek Thong, untuk membantu kakak angkatanya itu.
Lekas sekali, perahu besar telah tiba, dari situ lantas dikasih turun dua perahu kecil, untk menolongi tiga orang itu.
Pek Thong memuntahkan darah tetapi ia masih bicara sambil tertawa, suatu tanda nyalinya sangat besar, kematian dipandang sebagai berpulang…. Ia menunjuk kepada kawanan hiu itu dan mencaci kalang kabutan.
Auwyang Hong dan keponakannya menyambut di kepala perahunya. Hati mereka gentar akan menyaksikan di laut situ berkumpul demikian banyak ikan hiu itu….
Tapi Auwyang Hong menjadi ketarik hatinya. Ia suruh beberapa orangnya memancing, umpamnya daging, maka lekas sekali mereka dapat mengail delapan ekor ikan ganas itu.
“Bagus!” tertawa Ang Cit Kong sambil menuding ikan itu. “Kau tidak dapat gegares kami, sekarang kamilah yang bakal gegares dagingmu!”
Auwyang Kongcu tertawa.
“Keponakanmu ada mempunyai daya untuk peehu membalas sakit hati!” katanya. Ia perintah orangnya mengambil bambu, yang terus diraut lancip dan tajam, kemudian sesudah dengan tombak mulut ikan dipentang, tonggak bambu itu dikasih masuk ke dalam mulut ikan itu, yang akhirnya dilepas pulang ke laut.
“Inilah cara untuk membikin mereka untuk selamanya tidak dapat makan!” berkata si anak muda sambil tertawa. “Berselang delapan atau sepuluh hari, mereka bakal mampus sendirinya!”
“Inilah kekejaman!” pikir Kwee Ceng. “Cuma kau yang dapat memikir akal ini. Ikan yang doyan gegares ini bakal mati kelaparan, sungguh hebat!”
Ciu Pek Thong melihat sikap tak puas dari Kwee Ceng, ia tertawa dan berkata: “Anak, kau tidak puas dengan ini cara, kejam sekali, bukankah? Ini dia yang dibilang, kalau pamannya yang jahat mesti ada keponakan yang jahat juga.”
Adalah biasa bagi See Tok Auwyang Hong, jikalau orang mengatakan dia jahat, dia tidak menjadi kurang senang, bahkan sebaliknya, dia girang sekali. Maka itu mendengar perkatannnya Ciu Pek Thong, dia tersenyum.
“Loo Boan Tong,” dia berkata, “Permainan kecil sebagai ini apabila dipadu sama kepandaiannya si mahkluk berbisa bangkotan bedanya masih sangat jauh. Kamu bertiga telah dikeroyok sekawanan cucut cilik, tetapi kamu sudah lelah hingga tak dapat bernapas. Untukku, itulah keroyokan tidak berarti.”
“Oh, si mahluk berbisa bangkotan sedang mengepul!” berkata Ciu Pek Thong. “Jikalau kau dapat mengeluarkan ilmu kepandaianmu dan sanggup membuatnya semua cucut ini terbasmi habis, maka aku si bocah bangkotan yang bakal berlutut dan mengangguk-angguk di hadapanmu dan tigaratus kali dan aku akan memanggil engkong padamu!”
“Sampai begitu, itulah aku tidak berani terima,” berkata Auwyang Hong. “Jikalau kau tidak percaya, bolehlah kita berdua bertaruh!”
“Bagus, bagus!” berseru Pek Thong. “Bertaruh kepala pun aku berani!”
Ang Cit Kong sebaliknya bersangsi.
“Biarnya ia pandai mengukir langit, tidak nanti dia dapat membunuh ikan ratusan itu semua,” pikirnya. “Aku khawatir dia mengandung maksud jahat lainnya…”
Auwyang Hong tertawa.
“Bertaruh kepala orang, itulah tak usah!” katanya. “Jikalau aku menang, cukup aku minta kau melakukan satu apa yang kau tidak dapat tampik, dan jikalau aku yang kalah, terserah kepadamu kau hendak menitahkan apa padaku. Kau lihat, tidakkah ini bagus?”
“Taruhan apa juga yang kau kehendaki, aku terima!” menjawab Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong segera berpaling kepada Ang Cit Kong.
“Aku minta saudara Cit menjadi saksi!” katanya.
“Baik!” Cit Kong menerima. “Hanya hendak aku menanya, kalau seorang menang dan apa yang dia kehendaki, orang yang kalah tidak dapat melakukannya atau dia menolak untuk melakukannya, bagaimana?”
“Dia harus terjun ke laut supaya dia digegares cucut!” berkata Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak membilang suatu apa, dia hanya menitah satu orangnya membawakan dia sebuah cangkir kecil terisi arak, lalu dengan dua jari kanannya ia menjepit lehernya ular di kepala tongkatnya, untuk mementang mulutnya, maka dari mulut itu terus mengalir keluar racunnya, masuk ke dalam cawan itu, habis mana itu cawan ia sambuti. Di situ terlihat bisa ular memenuhi separuh cangkir, warnanya hitam. Kemudian ia meletaki ularnya, ia ambil yang seekor pula, untuk dikeluarkan juga racunnya seperti pertama tadi.
Habis dikuras bisanya, kedua ular itu melilit di ujung tongkat, tubuhnya tak berkutik, rupanya keduanya sangat letih dan tenaganya habis.
Auwyang Hong memerintah mengambil seekor cucut, diletaki di lantai perahu. Dengan tangan kiri ia pegang mulutnya ikan itu bagian atas, mulutnya bagian bawah ia injak dengan kakinya, begitu ia mengerahkan tenaganya, mulut ikan itu terus terpentang lebar. Tidak tempo lagi, bisa ular di dalam cawan itu dituang ke dalam mulut ikan. Setelah itu, mulut ikan itu dilepaskan hingga menjadi tertutup pula. Akhirnya, See Tok memperlihatkan kepandaiannya yang lihay. Ia geraki tangan kirinya, ia menyolok menampak ke perut ikan itu, lalu ia mengangkat dengan kaget, menyusul mana tubuh ikan yang besar itu terlempar ke laut, suaranya menjublar hebat, air lautnya muncrat tinggi.
“Ah, aku mengerti sekarang!” Pek Thong berseru tertawa. “Inilah caranya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk!”
“Toako, apakah artinya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk?” Kwee Ceng tanya.
“Kau belum tahu?” menyahut sang toako. “Di waktu dulu di kota Pianliang ada seorang pendeta yang jalan mengitar di jalan-jalan besar sambil berteriak-teriak menjual obat peranti membinasakan kutu busuk, katanya obatnya sangat manjur, umpama kata obatnya itu tidak dapat membinasakan kutu busuk hingga habis bersih, ia suka mengganti kerugian pada si pembeli dengan harganya obat sepuluh kali lipat. Dengan caranya ini ia menjadi dapat banyak pembeli, obatnya sangat laku. Tinggal si pembeli obat. Satu pembeli pulang untuk menyebar obatnya di pembaringannya. Malamnya? Haha! Kawanan kutu busuk tetap datang bergumul-gumul, dia digigiti hingga setengah mampus! Besoknya dia cari si pendeta, dia minta ganti kerugian. ‘Tidak bisa jadi obatku todak mujarab!’ kata si pendeta. ‘Kalau benar gagal, tentulah kau salah memakainya….’ Si pembeli tanya, ‘Habis bagaimana cara memakainya?’ Si pendeta menyahuti: ‘ Kau tangkap si kutu busuk, kau pentang bacotnya, kau cekuki dia obat ini. Jikalau kutu busuk itu tidak mampus, besok baru kau datang pula padaku…’ Pembeli itu jadi mendongkol. Katanya, ‘Kalau aku dapat tangkap kutu busuk itu, asal aku pencet, masa dia tidak mampus? Kalau begitu, untuk apa aku beli obatmu?’ Lalu si pendeta menyahuti secara enak saja, ‘Memangnya aku pun tidak larang kau memencetnya!’”
Mendengar itu Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu juga tertawa berkakak. Hanya See Tok si Bisa dari Barat meneruskan berkata: “Obatku tidak sama dengan obat peranti mematikan kutu busuk dari pendeta itu.”
“Coba kau menjelaskannya,” minta Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong menunjuk ke laut.
“Nah, kau lihat di sana!” sahutnya.
Cucut tadi, setelah jatuh di air, dia timbul pula, perutnya lebih dulu. Dia mati dengan lantas. Segera setelah itu, tujuh atau delapan ekor cucut lainnya datang, untuk menyambar menggigit, menggerogoti dagingnya, disusul oleh yang lainnya lagi. Sebentar saja, cucut itu habis tinggal tulang-tulangnya yang tenggelam ke dasar laut. Hanya aneh semua cucut yang menggerogoti itu, hanya berselang beberapa menit, pada timbul pula dengan perut di atas, tubuhnya mengambang. Sebab semauanya telah mati. Lalu mereka dikeroyok pula oleh yang lain-lainnya, yang masih hidup. Kejadian ini terulang lagi. Setaip cucut yang memakan daging kawannya lantas mati, dia digegaresi kawan lainnya, kawan ini pun mati dan menjadi makanan kawannya lagi. Demikian seterusnya, matilah setiap cucut yang makan daging kawannya sendiri. Maka juga selang sekian lama, bukan puluhan melainkan ratusan mayat cucut pada mati ngambang. Mungkin itu akan menjadi ribuan korban….
Menyaksikan itu, Ang Cit Kong menghela napas.
“Tua bangka beracun, tua bangka beracun!” katanya. “Dayamu sungguh-sungguh sangat jahat! Cuma bisanya dua ekor ular, korbannya begini banyak….”
Auwyang Hong tidak menjawab hanya ia mengawasi Ciu Pek Thong, dia tertawa girang sekali, tandanya hatinya sangat puas.
Pek Thong membanting-banting kakinya, tangannya mencabuti kumisnya.
Di muka air, di sana sini, terlihat hanya mengambangnya bangkai-bangkai cucut.
“Saudara Hong,” kata Cit Kong kemudian, “Ada satu hal yang aku tidak mengerti, ingin aku kau menerangkannya.”
“Apa itu saudara Cit?” tanya Auwyang Hong.
“Racunmu secangkir, kenapa lihaynya begitu rupa dapat membinasakan cucut begini banyak?”
“Itulah sederhana saja!” Auwyang Hong tertawa. “Inilah disebabkan bisa ularku berbisa luar biasa. Kalau bisa ini dimakan seekor ikan, ikan itu keracunan, lantas semua dagingnya menjadi beracun juga, kalau dia dimakan oleh cucut yang lain, cucut itu pun mati keracunan. Keracunan ini terjadi terus-menerus, racunnya bahkan jadi semakin hebat, bukannya menjadi berkurang. Dan bekerjanya racun tak habis-habisnya.”
Kata-katanya See Tok ini dibuktikan dengan cepat. Kecuali bangkai cucut, di situ tidak ada cucut lainnya lagi yang masih hidup. Mungkin ada yang telah kabur. Ikan-ikan kecil pun menjadi korban cucut atau kabur juga….
Laut lantas menjadi tenang seperti biasa.
“Lekas, lekas menyingkir!” berkata Cit Kong. “Hawa racun di sini sangat hebat!”
Auwyang Hong memberikan titahnya maka tiga buah layar perahunya dikerek naik, hingga di lain saat perahunya itu sudah menggeleser menuruti sampokan angin Selatan menuju ke barat laut.
“Tua bangka berbisa, benar-benar bisamu hebat,” berkata Pek Thong kemudian. “Sekarang kau menghendaki aku berbuat apa? Kau bilanglah!”
Auwyang Hong tertawa.
“Silahkan tuan-tuan masuk ke dalam dulu untuk menyalin pakaian,” ia berkata. “Kita pun perlu dahar dan beristirahat. Tentang pertaruhan, kita boleh bicarakan perlahan-lahan.”
“Tidak, tidak bisa!” berkata Pek Thong, yang tidak sabaran. “Kau mesti menyebutkannya sekarang juga!”
Auwyang Hong tertawa.
“Kalau begitu, saudara Pek Thong, silahkan ikut aku!” katanya.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong melihat Pek Thong diajak Auwyang Hong dan keponakannya ke perahu bagian belakang, mereka sendiri di minta datang ke gubuk depan dimana empat nona berseragam putih muncul untuk melayani.
Cit Kong tertawa, dia berkata; “Seumurku, aku si pengemis tua, belum pernah begini beruntung….!”
Ia lantas dibukai pakaiannya, tubuhny digosoki dengan sabun.
Mukany Kwee Ceng merah, ia tidak berani meloloskan pakaiannya.
“Takut apa?” kata Ang Cit Kong tertawa. “Masa kau nanti digegares?”
Dua nona menghampirkan, akan membukai sepatu dan ikat pinggangnya. Pemuda ini lantas mendahului membuka sepatunya, ia menutupi diri dengan seprai, dengan cara itu ia menukar baju dalam.
Cit Kong tertawa lebar, begitu pun keempat nona pelayan itu….
Baru habis mereka berdandan, dua nona datang membawa masing-masing penampan berisikan arak, sayur dan nasi putih. Katanya mereka, majikan mereka mempersilahkan keduanya dahar seadanya saja,
Kwee Ceng sudah lapar, ia lantas menyeret kursi.
“Mari, suhu!” ia mengajak.
“Kamu pergi dulu,” kata Cit Kong kepada kedua nona itu, tangannya diangkat, “Aku si pengemis tua tidak dapat dahar, apabila aku melihat nona-nona cantik manis!”
Kedua nona itu tertawa, mereka berlalu seraya menutup pintu perahu perlahan-lahan.
“Lebih baik jangan makan ini,” ia bilang. “Si tua bangka berbisa sangat licin dan licik. Kita makan nasi putih saja.”
Habis berkata, Cit Kong menurunkan cupu-cupu araknya, ia membuka tutupnya dan menggelogoki dua ceglukan, setelah itu, ia mulai dahar, nasi saja. Kwee Ceng turut dahar. Mereka makan tiga mangkok. Sayurannya mereka tuang ke bawah lantai perahu.
“Entah dia minta apa dari Ciu Toako,” kata Kwee Ceng kemudian.
“Entahlah, tetapi pasti sudah bukan urusan benar!” sahut Cit Kong.
Ketika itu pintu dibuka perlahan-lahan, satu nona berdiri di depan pintu.
“Ciu Loo-ya-cu mengundang tuan Kwee ke belakang,” kata dia.
Kwee Ceng mengawasi gurunya, terus ia ikut budak itu. Mereka jalan dari samping pergi ke belakang. Angin mulai meniup keras, perahu terombang-ambing. Si nona bertindak perlahan, tetapi terang ia mengerti ilmu silat. Di belakang, ia mengetok pintu tiga kali, perlahan-lahan, lalu ia menanti sebentar, untuk kemudian membukanya pintu dengan perlahan juga. Ia pun kata dengan perlahan: “Tuan Kwee sudah datang!”
Kwee Ceng masuk ke dalam, lantas pintu di belakang ditutup rapat. Ia lihat sebuah ruang kosong, tidak ada orangnya. Ia heran. Tengah ia berpikir, pintu di samping kiri ditolak, di situ muncul Auwyang Hong serta keponakannya.
“Mana Ciu Toako?” tanya Kwee Ceng.
Auwyang Hong tidak lantas menyahuti, ia hanya menutup dulu daun pintu, lalu ia maju satu tindak. Mandadak saja ia mengulur sebelaha tangannya menyambar tangan kiri Kwee Ceng. Pemuda ini tidak menyangka jelek, orang pun sangat sebat, tak dapat ia menghindarkan diri. Bahkan ia terus dipencet nadinya hingga ia tak dapat berkutik lagi. Di lain pihak Auwyang Kongcu dengan sangat gesit menyambar pedang di dinding perahu, menghunus itu, ujungnya terus diancamkan ke tenggorokan orang!
Kwee Ceng berdiri menjublak. Ia bingung hingga ia merasakan kepalanya pusing. Ia tidak mengerti, apa maksudnya itu paman dan keponakan.
Lalu terdengar Auwyang Hong tertawa tawar.
“Loo Boan Tong telah kalah bertaruh denganku,” katanya, “Tetapi ketika aku titahkan ia melakukan sesuatu, ia menolak!”
“Oh…!” Kwee Ceng berseru tertahan. Ia mulai mengerti.
“Aku menyuruh ia menulis Kiu Im Cin-keng untuk aku lihat,” Auwyang Hong memberikan keterangan terus. “Lalu ia membilangnya bahwa itulah tidak masuk hitungan!”
Kwee Ceng pun berpikir, “Tentu sekali mana toako sudi mengajarimu…?” Ia lalu menanya: “Mana Ciu Toako?”
Auwyang Hong tertawa pula dengan dingin.
“Dia telah membilang, jikalau dia tidak bicara, ia nanti terjun ke laut untuk tubuhnya dipakai memelihara ikan cucut,” ia menyahuti. “Kali ini dia tidak menyangkal.”
Kwee Ceng kaget tidak terkira.
“Dia…dia…” serunya. Ia mengangkat kakinya, berniat lari keluar. Tapi keras cekalannya See Tok, ia terus ditarik kembali.
Auwyang Kongcu pun menggeraki tangannya maka ujung pedangnya membuat baju orang pecah dan dan membentur tubuh.
Auwyang Hong menuding ke meja di mana ada alat-alat tulis.
“Di jaman ini cuma kau satu orang yang mengetahui seluruh isi kitab,” ia berkata bengis, “Maka lekaslah kau tulis semua ittu!”
Anak muda itu menggeleng kepala.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Kau tahu,” katanya, “Sayur dan arak yang tadi kau gegares bersama si pengemis tua telah dicampuri racun, jikalau kamu tidak makan obat pemunah istimewa buatan kami, dalam tempo duabelas jam diwaktu mana racunnya bekerja, kamu akan mampus seperti itu ikan-ikan hiu di dalam laut! Asal kau sudah menulis, jiwa kamu berdua bakal diberi ampun….”
Kwee Ceng kaget. “Baiknya suhu cerdik, kalau tidak, tentulah kita celaka!” pikirnya.
Menampak orang berdiam saja, kemabali Auwyang Hong tertawa dingin.
“Kau telah mengingat baik bunyinya kitab, kau tulislah, untukmu tidak ada ruginya sedikit juga,” ia membujuk. “Apa lagi yang kau sangsikan?”
Mendadak kwee Ceng memberikan penyahutannya yang berani: “Kau sudah membikin celaka kakak angkatku, denganmu aku mendendam sakit hati dalamnya seperti lautan! Jikalau kau hendak bunuh, kau bunuhlah! Untuk memikir aku sudi menyerah, itulah pikiran yang tidak-tidak!”
“Hm, bocah yang baik!” kata Auwyang Hong dingin. “Kau benar bersemangat! kau tidak takut, baik, tetapi apakah kau juga tidak hendak menolongi jiwa gurumu?”
Belum lagi Kwee Ceng memberikan jawabannya, pintu perahu bagian belakang itu bersuara sangat nyaring, lalu daun pintunya ambruk dan pecah berantakan, yang mana disusul sama sambarannya air yang mengarah ke mukanya Auwyang Hong.
See Tok terkejut tetapi ia telah dapat menduga, itulah mestinya perbuatannya Ang Cit Kong, kapan ia sudah mengangkat kepalanya, ia nampak Pak Kay muncul di ambang pintu dengan masing-masing tangannya menentang setahang air. Ia menginsyafi lihaynya si Pengemis dari Utara itu, bahwa tenaga banjuran air itu hebat, bahwa kalau ia kena dibanjur, meski ia tidak terluka parah, luka sedikit itulah mesti. Maka itu sebat luar biasa ia menjejak dengan kedua kakinya, berlompat ke kiri. Sambil berlompat, ia pun menenteng tubuhnya si anak muda. Ia tidak mau melepaskan cekalannya yang kuat itu.
Hebat banjuran itu, air muncrat ke segala penjuru.
Auwyang Konngcu tak sesebat pamannya, sedangnya ia kaget, ia sudah kena dicekuk leher bajunya oelh Ang Cit Kong, yang sambil memanjur sambil lompat maju, hingga ia pun kena ditenteng tanpa berdaya.
Segera si pengemis tua mengasih dengar tertawanya yang panjang.
“Makhluk beracun bangkotan!” katanya, “Dengan segala daya kau hendak mencelakai aku, syukur Thian tidak mengijinkannya!”
Benar-benar licik si Bisa dari Barat ini. Begitu ia melihat keponakannya tertawan, ia lantas tertawa.
“Saudara Cit,” katanya, “Apakah kau hendak menguji juga kepandaianku? Kalau benar, nanti saja di darat kita mengukur tenaga, temponya masih belum kasep.”
Ang Cit Kong juga tertawa, sedikit pun ia tidak menunjuki kegusarannya.
“Kau demikian baik sekali dengan muridku, hingga kau mencekal erat-erat padanya dan tidak hendak melepaskan tanganmu!” katanya.
Auwyang Hong tidak sudi mengadu bicara, ia merasa keteter.
“Aku telah bertaruh dengan Loo Boan Tong, aku telah menang, bukan?” ia menanya, menyingkir dari saling ejek. “Bukankah kau saksiknya? Loo Boan Tong menyalahi janji, maka sekarang terpaksa aku mesti menanyakan kepadamu, bukankah?”
Cit Kong mengangguk berulang-ulang.
“Tidak salah,” sahutnya. “Mana Loo Boan Tong?”
Kwee Ceng tidak dapat menahan diri.
“Ciu Toako dipaksa dia hingga terjun mati ke laut!” ia memotong.
Cit Kong kaget, dengan menenteng Auwyang Kongcu ia pergi ke luar. Ia melihat ke laut di sekitarnya. Ia tidak lihat Pek Thong, di sana hanya tampak sang ombak.
Sambil menuntun Kwee Ceng, Auwyang Hong pun turut keluar, sampai di luar, ia kendorkan cekalannya.
“Kwee Sieheng,” katanya, “Kepandaianmu belum terlatih mahir! Kau lihat, secara begini kau dituntun orang, kau mengikuti saja. Pergi kau ikuti pula gurumu, akan belajar lagi sepuluh tahun, sesudah itu baru kau merantau.”
Kwee Ceng sangat memikirkan Pek Thong, tidak sudi ia melayani bicara. Ia terus merayap naik ke tiang layar, untuk dari sana memandang ke sekelilingnya.
Cit Kong mencekuk belakang lehernya Auwyang Kongcu, lalu ia melemparkan keponakan orang itu kepada sang paman, sembari berbuat begitu, ia berkata dengan membentak: “Makhluk beracun bangkotan, kau memaksakan kematiannya Loo Boan Tong, buat itu nanti ada orang-orang Coan Cin Kauw yang membuat perhitungan denganmu! Kau harus ketahui, biarnya kau sangat lihay, kau berdua dengan keponakanmu tidak nanti sanggup melayani pengurungannya Coan Cin Cit Cu!”
Auwyang Kongcu tidak menanti tubuhnya terlempar jatuh atau membentur pamannya, ia mengulur tangannya untuk menekan lantai, maka dilain saat ia sudah bangun berdiri. Di dalam hatinya ia mencaci: “Pengemis bau, tak uash sampai duabelas jam, kau bakal bertekuk lutut di hadapanku untuk memohon ampun….!”
Auwyang Hong pun tersenyum. Katanya, “Sampai itu waktu, sebagai saksi kau bakal tidak dapat meloloskan diri!”
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
“Baiklah!” jawabnya. “Sampai itu waktu aku nanti mencoba-coba lagi denganmu!”
Itu waktu Kwee Ceng sudah lompat turun. Sekian lama ia memandangi laut tanpa ada hasilnya. Sekarang ia tuturkan kepada gurunya bagaimana barusan Auwyang Hong menawan dia dengan memencet nadinya memaksa ia menulis bunyinya Kiu Im Cin-keng.
Ang Cit Kong mengangguk-angguk, ia tidak membilang suatu apa. Ia malah masgul di dalam hati, karena pikirnya: “Mahkluk berbisa bangkotan ini biasa tak melepaskan kehendaknya sebelum itu terpenuhi, maka juga sebelum ia memperoleh kitab, tidak nanti ia mau sudah. Ini artinya muridku bakal dilibat terus olehnya…”
“Mari,” ia mengajak muridnya, untuk masuk ke dalam perahu. Ia tahu kenderaan itu lagi menuju ke barat, tak usah sampai dua hari, mereka bakal tiba di darat, dari itu tak sudi ia memperdulikan Auwyang Hong. Ia pergi ke belakang untuk mengambil nasi tanpa meminta lagi, ia ajak Kwee Ceng berdahar dengan kenyang. Ia tidak meminta sayur atau lauk pauk lainnya, yang ia khawatir dicampuri racun. Habis menangsal perut, ia ajak muridnya merebahkan diri untuk beristirahat.
Auwyang Hong dan keponakannya menanti sampai besoknya lohor, itu artinya sudah lewat empat - atau limabelas jam semenjak mereka meracuni Ang Cit Kong dan Kwee Ceng, sampai itu waktu, si pengemis dan muridnya masih tidak kurang suatu apa. Mereka menjadi heran dan bercuriga. See Tok sendiri berkhawatir, kalau mereka itu nanti mati keracunan, ia jadi tidak dapat meminta atau memaksa Kwee Ceng menulis kitab yang ia kehendaki itu….
Kemudian si Racun dari Barat itu pergi mengintai di sela-sela bilik perahunya. Ia mendapat lihat Cit Kong dan Kwee Ceng lagi duduk memasang omong. Ia menjadi lebih heran lagi.
“Jikalau bukannya si pengemis licik hingga mereka tidak kena makan racun, tentulah mereka mempunyai obat pemunah racun,” pikirnya. Karena ini ia jadi memikir lain cara yang terlebih kejam pula….
Ang Cit Kong berbicara dengan muridnya dengan menuturkan aturan Kay Pang, partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.
“Sayang kau tidak suka menjadi pengemis,” berkata guru ini, “Kalau tidak, kau sungguh tepat. Di dalam partai kita tidak ada orang yang berbakat lebih baik daripadamu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini peranti mementung anjing, maka kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang paling besar kekuasaannya!”
Ang Cit Kong menyebutkan tongkatnya sebagai Pa-kauw-pang, yaitu tongkat peranti pengemplang anjing.
Tepat mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara dakdak-dukduk sebagai orang tengah mengampak kayu.
Cit Kong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
“Celaka!” serunya. “Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!” Ia berseru kepada Kwee Ceng: “Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!”
Belum berhenti suaranya pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol dengan gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara sasss-sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan ekor ular.
Cit Kong tertawa tetapi dia berseru: ” Si makhluk tua yang berbisa menyerang dengan ularnya!” Sambil berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan batang jarumnya, hingga binatang-binatang merayap itu pada tertancap perutnya dan mengasih dengar suara kesakitan.
Menyaksikan ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng kagum bukan main.
“Yong-jie sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini,” pikirnya.
Selagi anak muda ini berpikir, terlihat pula masuknya puluhan ular lainnya, dan Ang Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya. Hanya celakanya, habis itu, muncul pula yang lainnya.
“Bagus betul!” berseru Ang Cit Kong. “Si tua bangka beracun memberikan aku sasaran untuk melatih diri!” Ia lantas merogoh sakunya. Tempo tanganya mengenai isi sakunya itu, ia kaget sendirinya. Ia mendapat kenyataan jarumnya itu tinggal hanya tujuh atau delapan puluh batang. Inilah berbahaya sedang ular itu seperti tidak ada habisnya. Tengah ia berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke dalam disusul sama sambaran angin yang keras ke punggung.
Kwee Ceng berada di belakang gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu, lekas-lekas ia bergerak untuk menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia merasakan tolakan yang hebat karena mana ia mesti kerahkan semua tenaganya. Dengan begitu baru ia dapat mempertahankan diri, mencegah gurunya dibebokong.
Penyerang gelap itu Auwyang Hong adanya. Ia heran hingga ia menyerukan suara “Ih!” perlahan, sebab pemuda itu sanggu menahan serangannya yang dahsyat itu. Dengan lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik, tangannya dipakai menyerang pula.
Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa ia tak bakal sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan tangan kirinya, dengan tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk kanan dari See Tok. Di dalam keadaan seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.
Auwyang Hong tidak berani meneruskan serangannya itu. Ia menarik pulang tangannya itu dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia pakai menyerang pula, dari atas turun ke bawah, merupakan bacokan.
Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya bagi dia dan gurunya. Kalau Auwyang Hong dapat menguasai pintu itu, tentulah sang ular tak dapat dibendung lagi. Maka itu dengan terpaksa ia membuat perlawanan terus. Dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia menyerang, membalas. Terus menerus ia menggunai siasatnya ini. Karena ia sangat lincah, sedang ilmu silat semacam itu belum pernah Auwyang Hong melihatnya, See Tok menjadi heran, hingga ketika ia tercengang, ia berbalik kena terdesak.
Dalam keadaan wajar, biarnya ia bergerak dengan dua tangan yang berlainan gerak-geriknya, hingga ia menjadi dua melawan satu, Kwee Ceng bukannya tandingan dari Auwyang Hong, hanya karena anehnya ilmu silatnya ini, See Tok terdesak tanpa dia menginsyafinya.
Walau bagaimana, si Bisa dari Barat adalah satu jago kawakan. Cuma sebentar ia terdesak, segera ia bisa memperbaiki diri. Ia lantas menyerang dengan dua tangan berbareng. Tentu saja satu penyerangan yang hebat. Tidak dapat Kwee Ceng menangkis serangan itu dengan hanya sebelah tangan kirinya itu. Sudah begitu, disaat ia bakal terdesak, rombongan ular itu menggeleser di arah belakangnya.
“Bagus, bagus sekali, mahkluk berbisa bangkotan!” berseru Ang Cit Kong dengan ejekannya. “Sekalipun muridku, kau tidak sanggup melayaninya, maka mana dapat kau menyebut dirimu enghiong, seorang gagah perkasa?”
Pak Kay bukan melainkan mengejek, berbareng ia menggeraki tubuhnya. Ia mengenjot tubuhnya dengan kedua kaki, lantas tubuh itu meleset tinggi, melewati Kwee Ceng dan Auwyang Hong, akan tiba di lain bagian di mana dengan satu tendangan ia terus merobohkan Auwyang Kongcu, hingga orang jungkir balik, setelah mana ia menyusuli dengan sikutnya, hingga tubuh pemuda itu terpental terlebih jauh ke arah pamannya.
Mau atau tidak mau, Auwyang Hong mesti berkelit, supaya ia terhindar dari benturan dengan tubuh keponakannya itu. Karena berkelit ini, dengan sendirinya ia seperti menarik pulang serangannya, dengan begitu Kwee Ceng jadi diperingan ancaman bahaya untuknya itu.
Pemuda ini berkelahi dengan berbesar hati. Ia telah memikirnya: “Dia ini seimbang dengan guruku, sekarang keponakannya bukan lagi tandinganku, bahkan si keponakan sedang terluka, dari itu dua lawan dua, mestinya pihakku yang menang.” Maka dengan itu ia menyerang Auwyang Hong secara hebat sekali. Tadi ia dibokong, dengan gampang ia tercekuk, sekarang ia waspada.
Ang Cit Kong berkelahi dengan mata dipentang ke empat penjuru, dari itu ia melihat belasan ular lagi mendekati muridnya. Celakan kalau muridnya itu diterjang binatang berbisa itu dan kena dipagut.
“Anak Ceng, lekas keluar!” ia berteriak dan sambil berteriak ia merangsak Auwyang Hong, guna memberi kebebasan kepada muridnya.
Auwyang Hong merasakan sulitnya diserang dari depan dan belakang, atas rangsakannya itu Pak Kay, terpaksa ia berkelit, dengan begitu, Kwee Ceng jadi terlepas dan bisa lompat ke luar gubuk perahu. Ia sekarang melayani Cit Kong seorang.
Sementara itu sang ular, jumlahnya ratusan lebih, mulai mendekati.
“Sungguh tak punya muka!” mengejek Cit Kong. “Satu laki-laki berkelahi mesti dibantui segala binatang!”
Di mulut pengemis ini menegur, di hati ia berkhawatir juga. Ia mainkan tongkatnya hebat sekali, dengan begitu selain melayani Auwyang Hong, dapat juga ie mengemplang mampus belasan ular, setelah mana ia berlompat untuk terus mengajak Kwee Ceng lari ke tiang layar.
Auwyang Hong terkejut. Ia mengerti, kalau musuh sampai dapat memanjat layar, untuk sementara tak dapat ia berbuat sesuatu terhadap mereka itu. Maka itu ia berlompat pesat sekali, dengan maksud untuk menghalangi.
Ang Cit Kong dapat menerka maksud orang, ia menyerang dengan kedua tangannya. Hebat serangannya itu, hingga Auwyang Hong mesti menyambuti.
Kwee Ceng hendak membantu gurunya ketika si guru teriaki padanya: “Lekas naik ke atas tiang layar!”
“Hendak aku membikin mampus keponakannya untuk membalaskan sakit hatinya Ciu Toako!” berkata Kwee Ceng.
Tapi Cit Kong tidak memperdulikannya. “Ular! Ular!” teriaknya memperingatkan.
Kwee Ceng pun melihat mendekatinya binatang-binatang merayap yang berbisa itu, maka itu setelah ia menanggapi sebatang Hui-yan ginso yang ditimpuki Auwyang Kongcu kepadanya, ia berlompat ke tiang layar yang terpisah darinya setombak lebih.
Ia menyambar tiang dengan tangan kirinya. Justru itu ada sambaran angin dan senjata rahasia, ia menimpuk dengan torak musuh yang berada di dalam cekalannya, maka sebagai kesudahan dari itu kedua torak bentrok keras mental ke kiri dan kanan menyemplung ke laut.
Dengan kedua tangannya merdeka, Kwee Ceng terus memanjat. Dengan cepat sekali ia telah sampai di tengah-tengah tiang.
Ang Cit Kong sebaliknya tidak berhasil menyampaikan tiang layar itu. Ia dirintangi sangat oleh Auwyang Hong yang merangsak dengan serangan-serangan bertubi-tubi.
Kwee Ceng melihat tegas kesulitan gurunya, sedang ular datang semakin dekat. Tiba-tiba saja ia berseru, tubuhnya merosot turun, tangannya tetap memeluki tiang. Berbareng dengan itu, Cit Kong menjejak dengan kaki kirinya, untuk mengapungi tubuhnya, sementara kaki kanannya sekalian dipakai menedang musuhnya. Sambil berlompat menyerang itu, tongkatnya diulur ke depan.
Inilah yang Kwee Ceng harap. Pemuda ini mengulur sebelah tangannya, menyambar tongkat gurunya, setelah dapat mencekal, ia menarik dengan keras. Justri Ang Cit Kong tengah mengapungkan tubuhnya, tubuhnya itu terus tertarik terangkat naik oleh muridnya itu.
Pak Kay lantas saja tertawa ponjang. Tengah tubuhnya terangkat, tangan kirinya menyambar layar, maka dilain saat, ia seperti sudah tergantung di tengah udara, berada di sebelah atas dari muridnya.
Sampai itu waktu, guru dan murid itu telah berada di atas tiang layar, di atasan dari kedua lawan mereka. Dengan begitu mereka jadi menang di atas angin.
Auwyang Hong tidak berani lompat naik ke tiang layar, guna menyusul. Ia tahu kedudukannya yang lebih tak menguntungkan.
“Baiklah!” ia berseru, bersiasat. “Mari kita bersiap! Putar haluan ke timur!”
Benar saja, hanya dalam tempo sedetik, arah perahu telah berputar. Sementara itu di kaki tiang layar, kawanan ular sudah berkumpul.
Ang Cit Kong duduk bercokol, agaknya ia gembira sekali, karena ia sudah lantas menyanyikan lagu “Lian Hoa Lok”, atau “Bunga teratai rontok”, nyanyian istimewa untuk bangsa pengemis. Sebenarnya di dalam hati, ia sangat masgul. Ia menginsyafi bahwa mereka terus terancam bahaya.
“Berapa lama aku dapat berdiam di sini? Bagaimana kalau si mahluk beracun menebang tiang ini?” Demikian pikirnya. “Kalau ular itu tak mau bubar, mana bisa aku turun dari sini? Mereka itu boleh dahar dan tidur enak, kita berdua mesti makan angin…..”
Mendadak ia ingat suatu apa.
“Anak Ceng, kasih mereka minum air kencing!” tiba-tiba ia serukan muridnya seraya ia sendiri lantas mengendorkan ikat celananya.
Dasar masih kekanak-kanakan, Kwee Ceng turut itu anjuran
“Nah, silahkan minum! Silahkan minum!” serunya.
Maka berdua mereka menyiram ke bawah!
“Lekas singkirkan ular!” teriak Auwyang Hong kaget. Ia sendiri segera berlompat mundur beberapa tindak, hingga ia tak usah kena tersiram air harum itu.
Auwyang Kongcu heran atas seruan pamannya, ia tercengang. Justru itu, air kencing mengenai mukanya!
Ia menjadi sangat mendongkol dan gusar sekali. Ia memangnya satu pemuda yang resik. Berbareng dengan itu, ia pun ingat bahwa ularnya takut air kencing.
Segera terdengar suaranya seruling kayu, atas mana rombongan ular di kaki tiang lantas bergerak, untuk merayap pergi, meski begitu, beberapa puluh ekor ular itu basah kuyup basah, terus mereka bergulingan dan mulut mereka dipentang, untuk menggigit satu pada lain, hingga mereka jadi kacau sekali.
Ular itu semua ada ular yang Auwyang Hong kumpul dari lembah ular di gunung Pek To San, gunung Unta Putih, di See Hek, Wilayah Barat. Semua ular beracun, tetapi ada pula kelemahannya yaitu jeri terhadap kotoran atau kencingnya orang atau binatang kaki empat. Inilah sebabnya mereka menjadi korban dan kacau itu.
Ang Cit Kong dan Kwee Ceng menyaksikan sepak terjang kawanan ular itu, mereka tertawa lebar.
“Jikalau Ciu Toako ada di sini, dia tentu sangat bergembira,” berpikir Kwee Ceng, yang ingat kakak angkatnya. “Ah, sayang ia terjun ke laut yang luas ini, ia tentulah menghadapi lebih banyak bencana daripada keselamatan….”
Auwyang Hong pun pandai menguasai diri. Ia tidak mengambil mumat lawannya kegirangan. Ia membiarkan tempo lewat kira dua jam, selagi cuaca mulai gelap, ia menitah orangnya menyiapkan barang hidangan serta araknya, sengaja ia berdahar di tempat terbuka, bukan di dalam gubuk perahu, dengan begitu, ia menyebabkan harumnya arak dan wangi lezat dari barang hidangan itu terbawa angin, melulahan hingga ke atas tiang layar, menyampok hidungnya kedua orang di atas tiang itu.
Cit Kong seorang yang gemar minum dan dahar, napsu makannya segera kena juga dipancing, maka itu ia sudah lantas mengambil cupu-cupunya, untuk menenggak araknya hingga cupu-cupu menjadi kering seketika.
Untuk menjaga diri, Pak Kay bergilir dengan Kwee Ceng, akan tidur atau beristirahat bergantian. Akan tetapi di bawah, beberapa orang memasang obor terang-terang dan rombongan ular diatur mengurung kaki tiang, hingga tak ada jalan untuk turun dari tiang layar itu.
Auwyang Hong menempatkan diri di dalam gubuknya, ia tidak mengambil peduli Ang Cit Kong mencoba membangkitkan hawa marahnya dengan mencaci ia kalang kabutan, dengan mengangkat juga leluhurnya beberapa turunan!
Ang Cit Kong mengoceh sampai ia letih sendirinya dan mulutnya kering, lalu ia tertidur sendirinya.
Kapan sang malam telah lewat, Auwyang Hong menitahkan orangnya berteriak-teriak di bawah tiang layar: “Ang Pangcu! Kwee Siauwya! Auwyang Looya sudah menyajikan hidangan yang terpilih serta arak yang wangi, silahkan pangcu dan siauwya turun untuk bersantap!”
“Kau suruh Auwyang Hong keluar, kami mengundang ia minum air kencing!” Kwee Ceng menyahuti.
Jawaban ini tidak dipedulikan, hanya sebentar kemudian di kaki tiang itu orang mengatur meja serta barang-barang hidangannya, sayurnya masih mengepul-ngepul asapnya, hingga wangi lezat sayur, serta harumnya arak, menghembus naik tinggi. Kursi disediakan hanya dua, diperuntukan khusus buat Ang Cit Kong dan Kwee Ceng berdua saja…..
Dalam panasnya hati, Cit Kong mencaci pula dengan menyebut-nyebut “biang bangsat” dan anjing.
Dihari ketiga Cit Kong dan murid merasakan kepala mereka pusing saking mereka menahan lapar dan dahaga.
“Coba murid wanitaku ada di sini,” berkata Ang Cit Kong, “Dia sangat cerdik, pasti dia dapat mencari akal untuk menghadapi si racun tua ini. Kita berdua cuma bisa membuka mata dan mengeluarkan ilar….”
Kwee Ceng menghela napas, ia memandang ke sekitarnya. Di tiga penjuru ia tak nampak apa juga kecuali laut tetapi di barat, di sana terlihat dua titik putih yang bergerak, mulanya samar seperti gumpalan mega kecil, ketika ia mendapatkan dua titik itu makin tegas, ia menjadi girang sekali. Itulah dua ekor rajawali putih, yang lekas juga datang dekat hingga suaranya terdengar.
Tanpa ayal sedetik jua, Kwee Ceng masuki jari tangan kirinya ke dalam mulutnya, untuk memperdengarkan satu suara nyaring dan panjang. Atas itu kedua burung itu terbang berputaran, lalu menukik, menceklok di pundak si anak muda.
Merekalah dua ekor rajawali, yang Kwee Ceng pelihara dari kecil di gurun pasir.
“Suhu!” berseru Kwee Ceng girang. “Mungkin Yong-jie mendatangi dengan naik perahu!”.
“Itulah bagus!” seru Ang Cit Kong. “Kita terkurung dan tidak berdaya, biar dia datang menolongi kita!”
Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas itu ia mencoret dua huruf “dalam bahaya”, serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat itu di kakinya kedua burung itu, setelah mana ia berkata: “Lekas kamu terbang pula, kamu ajak Nona Yong ke mari!”
Dua ekor burung itu mengerti, keduanya berbunyi nayaring, terus mereka terbang pergi, sesudah berputaran di atasan kepala, mereka menuju ke barat, dari arah mana mereka datang.
Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong kembali mengatur meja perjamuan makan di muka perahu di bawah tiang layar. Untuk ke sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng tidak dapat menahan lapar dan nanti terpaksa turun untuk dahar pula.
Menyaksikan lagak orang itu, Cit Kong tertawa.
“Di antara empat yaitu arak, paras elok, harta dan napsu, aku si pengemis tua cuma menyukai satu ialah arak!” ia berkata. “Dan kau justru menguji aku dengan arak! Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada sedikit kelemahannya…. Anak Ceng, mari kita turun untuk menghajar mereka kalang kabutan. Setujukah kau?”
“Baiklah sabar, suhu,” Kwee Ceng menyahuti. “Burung rajawali sudah membawa surat kita, sebentar mesti ada kabarnya, sebentar pasti bakal terjadi suatu perubahan.”
Cit Kong tertawa. Ia nyata suka bersabar.
“Eh, anak Ceng!” ia berkata, “Di kolong langit ini ada suatu barang yang sari atau rasanya paling tidak enak, kau tahu apakah itu?”
“Aku tidak tahu, suhu. Apakah itu?” sahut sang murid sambil balik menanya.
“Satu kali aku pergi ke Utara,” berkata sang guru, memberi keterangan, “Di sana di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari. Jangan kata bajing, sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana. Dengan terpaksa aku menggali sana dan menggali sini di dalam salju, akhirnya aku dapat menggali juga lima makhluk berjiwa. Syukur aku si pengemis tua berhasil mendapatkan makhluk itu, dengan begitu jadi ketolongan untuk satu hari itu. Di hari kedua, aku beruntung mendapatkan seekor serigala hingga aku dapat gegares kenyang.”
“Apakah lima makhluk bernyawa itu, suhu?”
“Itulah cianglong dan gemuk-gemuk pula!”
Mendengar disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng belenak sendirinya, hingga hendak ia muntah-muntah. Cit Kong sebaliknya tertawa terbahak-bahak. Karena sengaja ia menyebutkan binatang paling kotor dan paling bau itu untuk melawan napsu dahar yang merangsak-rangsak mereka yang disebabkan harum wangi arak dan lezat yang tersajikan di kaki tiang layar itu.
“Anak Ceng,” berkata pula Cit Kong, “Kalau sekarang ada cianglong di sini, hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang paling kotor dan paling bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua lebih suka makan kaki sendiri daripada memakan itu! Tahukah kau, barang apa itu?”
Kwee Ceng menggeleng-geleng kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti: “aku tahu sekarang! Itulah najis!”
Tetapi sang guru menggoyangkan kepalanya.
“Ada lagi yang terlebih bau!” katanya.
Kwee Ceng mengawasi. Ia menyebut beberapa rupa barang, ia masih salah menerka.
Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.
“Nanti aku memberitahukan kepadamu!” katanya keras-keras. “Barang yang paling kotor dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!”
Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa berkakakan.
“Akur! Akur!” serunya berulang-ulang.
Maka cocok benarlah guru dan murid itu, hingga mereka membuatnya See Tok menjadi sangat mengeluh.
Ketika itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru angin meniup perlahan. Memangnya perahu menggeleser perlahan, dengan berhentinya sang angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti sendirinya. Semua orang di atas perahu pada mengeluarkan peluh. Di muka air pun kadang-kadang tertampak ikan meletik naik, suatu tanda air laut juga panas. hawanya.
Cit Kong memandang ke sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan kosong. Maka heranlah ia. Ia menggeleng kepala.
“Suasana aneh sekali,” katanya perlahan.

Berselang sekian lama, ketika Cit Kong tengah memandang ke arah tenggara, ia menampak ada mega hitam yang mendatangi dengan sangat cepat. Melihat itu, ia menjadi keget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan.
“Ada apakah, suhu?” tanya Kwee Ceng terperanjat.
“Ada angin aneh!” menyahut Cit Kong. “Tidak aman kita berdiam di tiang ini… Di bawah ada demikian banyak ular….Bagaimana sekarang?” Ia menjadi seperti menggerutu ketika ia berkata lebih jauh perlahan sekali: “Biar umpama kata kita bekerja sama mati-matian, masih belum tentu kita bisa lolos dari ancaman ini, apapula jikalau kita melanjuti pertempuran…”
Ketika itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong lantas merasa segar. Ia pun merasa dadung layar bergerak sedikit.
“Anak Ceng,” ia lalu berkata, “Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun. Jaga supaya kau tidak terjatuh ke laut…”
Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana bakal datang? Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia mengangguk.
Belum lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan tembok tebal melayang menghamprkan, datangnya dari arah tenggara itu, bergerak sangat cepat. Sebab segera juga mereka terdampar, di antara satu suara nyaring, tiang layar benar-benar patah pinggang, karena mana, tubuh perahu bergerak bagaikan terbalik.
Kwee Ceng memeluk erat-erat kepala tiang, ia menahan napas. Tanpa berbuat begitu, angin dapat membawa ia terbang entah ke mana. Ketika kemudian ia membuka matanya, sekarang ia melihat air bergerak bagaikan tembok, air muncrat tinggi sekali.
“Anak Ceng, merosot turun!” terdengar teriakannya Cit Kong.
Kwee Ceng menurut, dengan mengendorkan pelukannya, tubuhnya lansung merosot turun. Ia menahan diri setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia mendapat kenyataan, layar berikut tiangnya sebelah atas, yang patah, setahu dibawa kemana oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi ular, rupanya semua binatang berbisa itu telah disapu sang badai dan gelombang. Si tukang kemudi rebah dengan kepala pecah, jiwanya sudah melayang pergi. Perahu sendiri terputar-putar di tengah laut itu, miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Lainnya barang di muka perahu pun tersapu habis ke laut.
“Anak Ceng, kendalikan perahu!” kembali terdengar suaranya sang guru.
Memang kenderaan itu terancam untuk terbalik dan karam.
Kwee Ceng lompat turun ke buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia disambar sepotong kayu yang terbawa angin, ia berkelit. Untuk mempertahankan diri, ia lantas menyambar rantai. Ia orang Utara, belum pernah ia mengemudikan perahu, tetapi karena ia bertenaga besar, bisa juga ia menguasai perahu itu, untuk mencegah bergoncang keras. Ia mendengar suara angin dahsyat, ia melihat perahunya berlayar pesat atas dorongan sang angin.
Tiang layar bagian atas telah patah, ada layar yang diterbangkan angin dahsyat itu, tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong berdaya untuk menurunkan layar itu. Sudah ada dadung yang ia berhasil memutuskannya. Tengah ia berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara menantang: “Saudara Cit, mari Pak Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan kepandaiannya!”
Di sebelah sana Auwyang Hong mencekali keras ujung ynag lain dari layar itu.
“Turun!” Cit Kong berseru sambil ia mengerahkan tenaganya, ia menarik dengan keras.
Di pihak Auwyang Hong, See Tok pun menggunai tenaganya.
Hebat tenaganya kedua jago itu, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu, sampokan angin menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras seperti tadi, hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam.
Sebagai ganti badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa muka, rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu mulai reda.
“Saudara Cit!” berkata pula Auwyang Hong tertawa. “Jikalau tidak ada muridmu yang lihay itu, pastilah kita sudah mati masuk ke dalam perut ikan! Maka itu marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan, guna melepaskan hawa dingin! Jangan kau takut, jikalau aku hendak meracunimu, biarlah aku Auwyang Hong menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!”
Ang Cit Kong turut tertawa. Kali ini mau percaya See Tok sebab sebagai ketua sebuah partai besar di jamannya nitu, satu kali dia mengeluarkan kata-kata, dia mesti pegang itu.
“Mari!” ia berkata kepada Kwee Ceng, yang ia suruh digantikan seorang anak buah guna mengendalikan kemudi.
Dengan begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk dahar dan minum.
Pak Kay minum dan dahar sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya kembali ke kamar mereka untuk tidur. Tapi tengah malam ia mendusin. Ia mendengar suara ular sar-ser tak hentinya.
“Celaka!” ia berseu.
Kwee Ceng pun sudah lantas sadar. Maka keduanya berlompat bangun, sama-sama mereka membuka pintu untuk melihat ke luar. Sekarang perahu itu sudah terjaga rapi oleh rombangan-rombongan ular, yang memenuhi bagian depan dan belakang. Auwyang Kongcu, dengan kipas di tangan, berdiri di tengah-tengah ularnya itu. Ia memperlihatkan wajah tersungging senyuman.
“Paman Ang, saudara Kwee!” ia berkata. “Pamanku cuma hendak meminjam lihat Kiu Im Cin-keng sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!”
“Dasar bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!” mendamprat Cit Kong, perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia tidak kentarakan sesuatu perasaan.
“Hai, bangsat cilik!” ia mengasih dengar suaranya, “Nyata aku si tua kena diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku mengaku kalah. Lekas kau siapkan dulu barang hidangan dan arak, untuk kami dahar dulu, urusan boleh dibicarakan besok pagi!”
Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa, sesudah mana ia benar-benar menyuruh orang menyajikan barang hidangan, yang mesti dibawakan kepada kedua musuhnya itu.
Cit Kong mengunci pintu, ia terus dahar dan minum. Ia menggerogoti paha ayam.
“Apakah kali ini pun tidak ada racunnya?” Kwee Ceng menanya berbisik.
“Anak tolol!” sang guru menyahuti. “Jahanam itu hendak menitahkan kau menulis kitab, mana bisa mereka mencelakai jiwamu? Mari dahar sampai kenyang, nanti kita memikirkan daya upaya pula!”
Kwee Ceng percaya gurunya benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia menghabiskan empat mangkok nasi.
Ang Cit Kong menyusuti bibirnya yang minyakan, lalu ia berbisik di kuping muridnya.
“Si bisa bangkotan menghendaki ynag tulen, kau tulis yang palsu,” demikian ajarannya.
“Yang palsu?” murid itu menegasi, heran.
“Ya, yang palsu! Di jaman ini melainkan kau seorang yang ketahui kitab yang tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau boleh tulis! Siapa yang akan ketahui itulah kitab yang tulen atau yang palsu? Kau menulis jungkir balik bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi kitab yang palsu itu, dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak akan berhasil menyakinkan sekalipun satu jarus….!”
Girang Kwee Ceng mendengar ajaran itu.
“Kali ini benar-benar si bisa bangkotan kena batunya!” pikirnya. Tapi sesaat kemudian ia berkata: “Auwyang Hong sangat mahir ilmu suratnya, kalau teecu menulis sembarangan, lantas ia ketahui, bagimana nantinya?”
“Kau harus menggunai siasat halus,” Cit Kong mengajari. “Tulis tiga baris yang benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di bagian latihannya, kau boleh tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut delapanbelas kali, kau tulis duabelas kali atau duapuluh empat kali, biarnya si bisa bangkotan sangat cerdik, tidak nanti ia dapat melihatnya. Biarnya aku tidak gegares dan minum tujuh hari tujuh malam, suka aku menonton si bisa bankotan itu mempelajari kitab palsu itu!”
Habis berkata, Cit Kong tertawa sendirinya, hingga muridnya turut tertawa juga.
“Jikalau ia menyakinkan kitab yang palsu,” kata Kwee Ceng kemudian, “Bukan saja dia akan menyia-nyiakan ketika akan bercapai lelah tidak puasnya, ada kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya.”
Cit Kong tertawa pula.
“Sekarang bersiaplah kau untuk memikirannya!” ia menganjurkan. “Kalau sampai ia bercuriga, itulah gagal artinya….”
Kwee Ceng menurut, ia lantas kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im Cin-keng, ia pikirkan tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika ia sudah memikir puas, ia menghela napas sendirinya.
“Inilah cara mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako paling menggemarinya,” pikirnya. “Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya berpisah mati…. Kapan aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa menuturkan bagaimana aku mempermainkan si bisa bangkotan ini…?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar