Kwee
Ceng sendiri mengawasi dengan mendelong jalanan yang
diambil Oey Yong tadi.
“Adikku,
mari kita naik perahu!” Ciu Pek Thong
mengajak sambil tertawa. “Hendak aku melihatnya, apakah bisa perahu ini
membikin mampus kita bertiga?”
Lalu
dengan sebelah tangan menarik Ang
Cit Kong
dan sebelah tangan yang lain menarik adik angkatnya itu, ia bertindak turun ke
perahu yang besar dan indah itu. Di
situ ada delapan bujang gagu yang menanti untuk melayani mereka. Semua mereka
itu membungkam.
Melihat
mereka itu, Ciu Pek Thong tertawa pula.
“Mungkin
kalau satu hari Oey Lao Shia kumat tabiatnya, dia juga bakal mengutungi lidah
putrinya! Kalau itu sampai terjadi maka barulah aku percaya benar dia mempunyai
kepandaian lihay….?”
Kwee Ceng mendengar itu, ia
menggigil sendirinya. Memang hebat kalau benar-benar Oey Yok Su karena gusarnya memotong lidah anaknya.
“Apakah
kau takut?” menanya Pek Thong tertawa bergelak-gelak. Tanpa memanti jawaban, ia
memberi tanda kepada si orang-orang gagu itu untuk mulai memberangkatkan perahu
itu. Mereka berlayar mengikuti angin Selatan.
“Sekarang mari
kita periksa ke dasar perahu ada apanya yang aneh!” Cit Kong
mengajak.
Pek
Thong dan Kwee
Ceng menurut, maka itu mereka
lantas mulai bekerja. Mereka mulai dari depan, lalu ke tengah, terus ke
belakang. Semuanya dicat mengkilap. Barang makanan pun lengkap: ada beras, ada
daging, dan sayuran. Sama sekali tidak ada bagian yang mana juga yang
mencurigakan.
Ciu
Pek Thong menjadi sangat mendongkol.
“Oey
Lao Shia menipu!” teriaknya, sengit. “Dia bilang perahunya ini berbahaya, toh
bahayanya tidak ada! Sungguh menyebalkan!”
Cit Kong tapinya tetap
curiga. Ia lompat naik ke atas tiang layar, ia tidak dapatkan apa-apa yang luar
biasa. Maka lantas ia memandang jauh ke laut. Ia menampak hanya burung-burung
laut beterbangan, angin meniup-niup keras, membuatnya gelombang
mendampar-dampar tanpa pangkalnya, seperti nempel langit. Berdiam di atas
kapal, ia justru merasa segar.
Ditiup
angin, tiga batang layarnya membuatnya perahu menuju ke Utara.
Ketika Ang Cit Kong berpaling ke belakang, ia mendapatkan kendaraan airnya Auwyang Hong mengikuti sejarak dua lie,
terlihat nyata layarnya yang putih sulaman dari ular-ularan yang berkepala dua
sedang mengulur lidahnya.
Cit Kong lompat turun, kepada
anak-anak buah ia memberi tanda agar perahu diarahkan ke barat laut, ketika
jurusan telah diubah, ia lantas melihat pula ke belakang.
Juga
perahunya Auwyang
Hong turut berubah, tetap
mengikuti.
“Apa
perlunya ia mengikuti terus?” Pek
Kay menanya dirinya sendiri.
“Benar-benarkah ia bermaksud baik? Si tua bangka berancu itu tidak biasanya
bertabiat demikian baik budi…!”
Apa
yang dia pikirkan itu, Cit
Kong tidak beritahukan Pek Thong.
Ia tahu tabiat aneh dan aseran dari kawan ini, ia khawatir orang nanti kumat
amarahnya atau tabiat anehnya itu. Ia cuma menitahkan anak buah kapal kembali
mengubah tujuan ke timur lurus.
Karena
tujuan diubah, perahu berputar, bersama layar-layarnya kenderaan ini miring dan
menjadi kendor jalannya.
Belum
lama, lalu tertampak perahunya Auwyang
Hong pun menuju ke timur….
“Bagus
juga jikalau kita mengadu ilmu di tengah laut,” pikir Cit Kong
kemudian. Ia masuk ke dalam gubuk perahu. Ia tampak Kwee Ceng
duduk menjublak saja, suatu tanda pemuda itu kalut pikirannya.
“Muridku,”
menegur sang guru, “Mari aku ajarkan
kau semacam ilmu mengemis nasi, jikalau tuan rumah tetap tidak sudi mengamal,
kau libat dia selama tiga hari tiga malam, supaya kau buktikan nanti, dia suka
mengamal atau tidak!”
Pek
Thong tertawa mendengar perkataan orang itu.
“Jikalau
tuan rumah memelihara anjing galak?” tanyanya. “Jikalau kau tidak pergi, anjing
jahat itu bakal menggigitnya! Habis bagaimana?”
“Tuan
rumah yang demikian tidak berperasaan prikemanusiaan, kalau malamnya kau
santroni dan mencuri sepuasnya hartanya, itulah tidak melanggar hukum Thian…”
kata Cit Kong.
“Adikku,”
Pek Thong terus menanya Kwee
Ceng, “Mengertikah kau maksud
gurumu? Itu berarti dia menganjurkan kau menggerembengi mertuamu itu! Umpama
kata dia tetap tidak hendak menyerahkan putrinya dan bahkan hendak menghajar
kau, maka pergilah kau diwaktu malam membawa lari gadisnya itu!”
Mendengar
demikian, mau tidak mau, Kwee
Ceng tertawa. Kemudian ia
mengawasi orang jaqlan mondar-mandar, sikapnya tak tenang. Ia mendadak ingat
suatu apa.
“Toako,”
ia menanya, “Sekarang kau hendak pergi ke mana?”
“Tidak
ada tujuannya, adikku,” Pek Thong menyahut. “Ke mana saja asal pesiar…”
“Aku
hendak meminta sesuatu, toako….”
Pek
Thong segera menggoyangi tangannya.
“Jikalau
kau mau minta aku kembali ke Tho Hoa To untuk membantui kau mencuri istri,
itulah tidak nanti aku lakukan!”! sahutnya.
Merah
mukanya Kwee
Ceng.
“Bukannya
itu, toako!” ia menjelaskan. “Aku ingin toako pergi ke Kwie-in Chung di telaga Thay Ouw.”
Matanya
si orang tua mencelik.
“Untuk
apakah?” dia menanya.
“Chuncu
dari Kwie-in-chung yaitu Liok Seng Hong ada seorang kesatria,” Kwee Ceng
menerangkan. “Dia sebenarnya murid dari mertuaku, karena kerembet-rembet
urusannya Hek
Hong Siang
Sat, dia dihajar mertuaku itu hingga kedua kakinya gempor, susah untuk baik
kembali. Aku lihat kaki toako dapat sembuh, maka ingin aku agar toako
mengajarkan ia ilmunya supaya kakinya itu sembuh seperti sediakala!”
“Oh,
itulah gampang!” sahut Pek Thong.
Kwee Ceng girang, hendak ia
menghanturkan terima kasih, tatkala muncul suara menjeblaknya pintu, lalu
muncul seorang anak buah dengan romannya pucat saking ketakutan, tapi karena ia
tidak dapat bicara, dia cuma bisa menggerak-geraki tangannya.
Menduga
mesti terjadi sesuatu, Cit
Kong bertiga berlompat keluar
untuk melihat……
**
*
Oey Yong telah diajak pulang,
dia terus ditarik hingga ke dalam rumah. Tentu saja, karena dipaksa ayahnya
itu, tidak dapat ia berbicara dengan Kwee Ceng.
Ia menjadi masgul dan dongkol sekali. Terus ia masuk ke dalam kamarnya, ia
menguncikan pintu. Ia menangis dengan perlahan.
Oey Yok Su menyesal juga telah
mengusir Kwee
Ceng karena ia menuruti hawa
amarahnya, terutama karena ia anggap si anak muda lagi menghadapi bahaya maut.
Hendak ia menghibur gadisnya tetapi Oey Yong
tidak memperdulikannya. Anak ini terus tidak membuka pintu kamarnya, diwaktu
santap malam, ia tidak muncul untuk berdahar. Ketika sang ayah menyuruh
bujangnya perempuan membawa makanan naik dan lauknya, ia lemparkan itu ke
lantai hingga tumpah beserakan dan piring mangkoknya pecah hancur.
Keras Oey Yong berpkir.
“Ayah
akan lakukan apa yang dia ucapkan. Kalau engko Ceng datang pula ke mari, dia bakal di hajar mati. Kalau aku buron, dilain
hari aah pun tentu tidak bakal mengasih ampun…. Pula, dengan membiarkan dia tinggal seorang
diri saja, tidakkah ia menjadi kesepian?” Bukan main berdukanya nona ini. Ia
tidak dapat pikiran yang baik.
Ketika
beberapa bulan yang lalu ia dimaki ayahnya, itu waktu ia buron tanpa berpikir
lagi, setelah bertemu pula dengan ayahnya itu, ia mendapatkan rambut ayahnya
itu mulai ubanan, hingga baru selang beberapa bulan, si ayah seperti bertambah
puluhan tahun. Melihat itu, ia masgul sekali, hingga ia bersumpah tidak akan
membikin ayah itu berduka pula. Sekarang? Di
luar sangkaannya, ia menghadapi ini kesulitan. Tidak buron, ia pikirkan Kwee Ceng.
Kalau ia buron, ia berati ayahnya…. Maka ia menangis sambil mendekam di
pembaringan.
“Coba
ibu masih hidup, tentulah ibu dapat mengambil putusan untukku…. Tidak nanti ibu
membiarkan aku bersusah hati begini…” Begitu ia berpikir, mengingat ibunya yang
sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Ingat ibunya itu, ia menjadi terlebih
sedih. Ia berbangkit, ia membuka pintu, terus ia pergi ke thia, ruang depan.
Pintu
rumahnya Oey Yok Su di pulau Tho Hoa To ini ada dipasang seperti untuk
main-main saja. Pintu besarnya siang atau malam dipentang lebar-lebar, maka itu
dengan tindakan perlahan, Oey
Yong bisa keluar terus. Di luar pintu ia melihat bintang-bintang di langit.
Kembali ia berpikir keras.
“Tentulah
sekarang engko Ceng sudah terpisah beberapa puluh lie dari sini,” pikirnya.
“Entah sampai di kapan aku bakal dapat bertemu pula dengannya….”
Ia
menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung bajunya. Lalu ia bertindak ke
dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap cabang-cabang, ia mengebut-negbut
daun-daun, sampai ia berada di depan kuburan ibunya.
Di depan kuburan itu
tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat musim berbunga bergantian.
Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam Oey Yok Su sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang
diantara sinar rembulan, bunganya sendiri pun permai indah.
Oey Yong menolak batu nisan,
ke kira tiga kali, ke kanan tiga kali juga. Lalu ia menarik ke depan. Dengan
perlahan-lahan batu itu berkisar, memperlihatkan sebuah liang
atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke dalam lorong itu. Ia membelok tiga
kali. Kembali ia membuka pintu rahasia, yang terbuat dari batu. Maka tibalah ia
di dalam, di kuburan dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia menyalakan api,
untuk memasang pelita di muka kuburan sekali.
Pintu
kuburan semuanya tetlah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada seorang diri. Ia memandang
gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya sendiri. Ia berpikir keras.
“Seumurku
belum pernah aku melihat ibuku,” pikirnya. “Kalau nanti aku sudah mati, bisakah
aku bertemu dengannya? Bisakah ibu masih begini muda seperti gambar ini, begini
cantik? Di mana sekarang adanya ibu? Di atas langit atau di bawah langit? Apakah ibu masih
di dalam pekarangan yang luas ini? Baiklah aku berdiam di sini untuk
selama-lamanya, untuk menemani ibu….”
Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana diletaki
pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu juga yang tidak
indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari pelbagai tempat, ketika dulu
hari ia malang
melintang di kolong langit ini. Baik istana atau keraton, baik gedung
orang-orang berpangkat besar atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-sarang
berandal, hampir tak ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada barang
permata yang ia sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum mendapatkannya,
belum ia puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka ia bisa
mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang dikumpulkannya di
dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani arwah istrinya.
Semua
permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api.
Oey Yong berpkiri pula:
“Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi mereka benda yang hitung
ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku melihatnya. Bagaimana kala
nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah? Bukankah permata ini tetap berada di
dalam dunia? Benarkah makhluk yang berjiwa, makin dia cerdik makin pendek
umurnya? Oleh karena ibu cerdas luar biasa, dia cuma hidup duapuluh tahun, lalu
menutup mata…”
Ia
menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia pergi ke
tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama, lalu ia berduduk di
tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka sekali. Ia merasakan
seperti menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian lama, ia ketiduran dan pulas.
Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah
berada di kota
raja, di dalam istana Chao
Wang dimana seorang diri ia
melawan pelbagai jago. Lalu di tengah jalan di perbatasan ia bertemu Kwee Ceng.
Baru mereka bicara beberapa patah kata, mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak
dapat, tak terlihat tegas. Ibunya itu terbang ke langit, ia memburunya di bumi.
Ibu itu tertampak terbang makin lama makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara ayahnya, memanggil-manggil ibunya. Suara
itu makin lama terdengar makin nyata.
Sampai
di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya. Ia lantas
menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan bermimpi lagi.
Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya itu, berada bersama
dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya bawa ia ke dalam kuburan
ini, berdiam sambil memasang omong. Baru selama yang belakangan ini, jarang ia
bersama ayahnya memasukinya. Ia tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia
berdiam. Diantara ia dan ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia
lagi mendongkol, tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau keluar kalau nanti
ayahnya sudah pergi.
Lalu
ia mendengar suara ayahnya:
“Telah
aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai dapat, hendak aku
membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di langit mendapat ketahui.
Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau ingin ketahui apa bunyinya, aku
telah mencarinya sia-sia selama limabelas tahun. Barulah ini hari dapat aku
memenuhi keinginanmu itu….”
Oey Yong heran bukan main.
“Darimana
ayah mendapatkan kitab itu?” ia menanya dalam hatinya.
Ia
mendengar ayahnya bicara terus: “Bukan maksudku sengaja hendak membinasakan
mantumu itu. Siapa suruh mereka sendiri ingin menaiki perahu itu..?”
Oey Yong terkejut sendiri.
“Mantu
ibuku?” pikirnya. “Apakah ayah maksudkan engko Ceng? Kalau engko Ceng duduk di
dalam perahu itu, kenapakah?”
Maka
ia lantas memasang kupingnya pula.
Kali
ini ayah itu bicara dari hal kesusahan hatinya dan kesepiannya sendiri semenjak
ia ditinggal pergi istrinya itu, yang cantik dan baik hatinya, yang
mencintainya.
Tergetar
hati Oey Yong mendengari keluh kesah ayahnya itu.
“Aku
dan engko Ceng ada anak-anak baru belasan tahun, maka mustahil di belakang hari
kita tidak bakal bertemun pula,” pikirnya. “Sekarang ini tidak dapat aku
meninggalkan ayah…”
Belum
sempat Oey Yong berpikir lebih jauh, ia sudah dengar ayahnya berkata lebih
jauh: “Loo Boan Tong telah memusnahkan kitab bagian atas dan bagian bawah
dengan gencetan tangannya, ketika itu aku mengira tidak dapat aku mewujudkan
keinginanmu itu, siapa tahu seperti disuruh hantu atau malaikat, dia bersikeras
hendak menaiki itu perahu terpajang yang indah yang aku sengaja bikin untuk
pertemuan kita nanti…”
Kembali Oey Yong menjadi heran.
“Sering
aku minta naik perahu itu, ayah selalu melarang dengan keras. Kenapa ayah
membuatnya itu untuk ia bertemu sama ibu?”
Anak
ini ketahui tabiat ayahnya aneh tetapi ia masih belum tahu keinginan terakhir
dari ayahnya itu. Oey
Yok Su
aneh tetapi terhadap istrinya ia sangat mencinta, sedang istri itu menutup mata
karena dia. Maka ia telah memikir untuk mengorbankan diri untuk istrinya itu.
Ia tahu lihaynya kepandaiannya sendiri, tidak nanti ia terbinasa dengan jalan
menggantung diri atau meminum racun, maka ia memikir satu cara
lain. Ia pergi dari pulaunya, ia menculik pembikin perahu yang pandai, yang ia
suruh membuatnya perahu terpajang itu. Segala-galanya perahu itu sama dengan
perahu yang biasa, hanya papan dasarnya ia bukan memasangnya kuat-kuat dengan
paku, hanya ia ikat dengan tali yang dipakaikan getah. Memang, berlabuh di
muara, perahu itu terpandang indah, akan tetapi satu kali dia berlayar di laut
dan terdampar-dampar gelombang dahsyat, tidak sampai setengah harian, dia bakal
karam sendirinya. Sebab musnahlah itu “paku-pakun istimewa”. Oey Yok
Su telah memikir untuk membawa
jenazah istrinya ke dalam perahu itu, untuk berlayar dan nanti mati bersama di
dalam gelombang, hanya setiap kali ia mau berangkat, lalu hatinya tidak tega
membawa pula anak daranya yang manis itu. Ia juga
tidak tega meninggalkan anak itu sebatang kara.
Maka diakhirnya, ia membuatnya pekuburan ini. Karena itu, perahu berhias itu
dibiarkan saja tak terpakai, setiap tahun dicat baru, hingga nampaknya terus
baru dan bagus.
Oey Yong tidak ketahui
pikiran ayahnya itu, maka heranlah ia. Ia terus berdiam hingga ia mendengar
pula perkataan ayahnya: “Loo Boan Tong dapat membaca kitab Kiu Im Cin-keng di
luar kepalanya, dai hapal sekali. begitu pun dengan si bocah she Kwee itu, yang
menghapalnya tak salah. Sekarang aku mengirimkan jiwa mereka berdua, itu sama
artinya dengan membakar habis kitab tersebut. Maka arwah kau di langit, aku
percaya puas dan tenanglah kau. Hanya sayang si pengemis tua she Ang itu, tidak
karu-karuan turut mengantarkan nyawnya….. Di
dalam satu hari aku membinasakan tiga ahli silat kelas satu, dengan begitu aku
telah memenuhi janjiku kepadamu, maka jikalau di belakang hari kita bertemu
pula, pasti kau akan membilangnya suamimu telah membuktikan perkataannya!”
Oey Yong kaget hingga ia
bergidik. Ia belum mengetahui pasti tetapi ia dapat menduga perahu berhias itu
mestinya terpasangkan pesawat rahasia yang luar bhiasa. Ia ketahui baik
lihaynya ayahnya ini. Maka itu mungkin Kwee Ceng
bertiga sudah menjadi korban. Ia jadi sangat berkhawatir dan berduka, hampir ia
berlompat kepada ayahnya itu untuk memohon pertolongan untuk tiga orang itu.
Tapi ia terpengaruh kekhawatiran yang sangat, sampai kakinya menjadi lemas,
hingga tak kuat ia mengangkat kakinya unntuk bertindak, dan mulutnya pun tak
dapat mengeluarkan perkataan. Ia cuma mendengar suara tertawa ayahnya, yang terus
pergi berlalu.
Sekian
lama Oey Yong berdiam diri, ia mencoba menenangkan
diri. Ia cuma berpikir satu: “Aku mesti pergi menolongi engko Ceng! Jikalau aku
tidak berhasil, aku akan menemani dia mati…!”
Anak
ini mengerti, percuma ia meminta bantuan ayahnya. Ayah
itu terlalu mencintai istrinya
tidak akan bisa mengubah keputusannya. Maka ia lari keluar dari perkuburan,
terus ia ke pinggir laut, terus juga ia melompat naik ke sebuah perahu kecil.
Ia mengasih bangun seorang bujang gagu yang menjaga perahu itu, menitahkan dia
memasang layar dan mengayuh, untuk berlayar ke tengah laut.
Sementara
itu terdengar tindakan kaki kuda yang lari keras dan berbareng pun terdengar
juga suara seruling dari Oey
Yok Su,
Oey Yong berpaling ke darat, maka ia melihat
kuda merah dari Kwee
Ceng lagi lari mendatangi. Rupanya
binatang itu tak betah berdiam di pulau, malam itu ia keluar berlari-lari…
Oey Yong lantas berpkir; “Di laut begini luas, ke mana aku mesti cari engko
Ceng? Kuda kecil itu memang luar biasa tetapi begitu ia meninggalkan tanah, ia
pun tak dapat berbuat apa-apa lagi….”
Begitu lekas Ang Cit
Kong, Ciu Pek Thong dan Kwee Ceng
tiba di luar gubuk perahu, mereka merasakan kaki mereka basah. Nyata mereka
telah menginjak air, atau kaki mereka kena kerendam air. Tentu sekali mereka
menjadi sangat kaget. Tapi mereka sadar, maka itu dengan menjejak tanah, dengan
mengenjot tubuh, mereka berlompat naik ke tiang layar. Cit Kong
bahkan sambil menenteng dua bujang gagu. Ketika ia memandang ke sekitarnya,
yang nampak ialah laut yang luas, perahunya sudah tergenang air.
“Pengemis
tua, Oey Lao Shia benar hebat!” berteriak Pek Thong. “Bagaimana perahu ini
dibuatnya?”
“Aku
juga tidak tahu!” menjawab Ang
Cit Kong.
“Eh, anak Ceng, kau peluki tiang, jangan kau lepaskan….!”
Kwee Ceng belum menjawab
ketika mendadak, di antara suara keras, badan perahu terbelah menjadi dua.
Kedua anak buah kaget sekali, sampai pelukannya kepada tiang layar terlepas dan
tubuhnya kecebur ke air.
“Loo
Boan Tong, kau bisa berenang atau tidak?” Cit Kong tanya.
“Coba-coba
saja!” sahut Pek Thong tertawa. Suaranya tersampok angin hingga tak terdengar
nyata. Mereka terpisah.
Perlahan
perahu tenggelam, sebagaimana tiang layar melesak perlahan ke dalam air. Hanya
pasti, tidak lama lagi, tiang itu bakal tenggelam juga.
Ang Cit Kong mendapat pikiran.
“Anak Ceng!”
ia berkata, “Tiang ini menjadi satu dengan tubuh perahu, mari
kita patahkan! Mari!”
Kwee Ceng menurut, maka
keduanya lantas mengerahkan tenaga mereka. Dengan berbareng mereka menebas
dengan tangan mereka kepada batang tiang.
Tidak
peduli tangguhnya tiang, serangannya dua orang itu toh membuatnya patah. Maka
dengan keduanya memeluki terus hingga mereka jatuh ke air. Dengan terus
memegang tiang itu, mereka tidak kelelap. Mereka pun bisa berenang.
Cit Kong mengeluh di dalam
hati. Mereka sudah terpisah jauh dari tepian, di sekitarnya tak nampak daratan.
Tanpa pertolongan, biar bagaimana kosen, mereka toh akan mati haus dan
kelaparan.
Di sebelah selatan, di
tengah laut, terdengar suara tertawa berkakakan. Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
“Anak Ceng,
marilah kita hampirkan dia!” Cit
Kong mengajak.
Kwee Ceng menurut, maka dengan
berpegangan tiang, sambil mengayuh, mereka berenang ke arah si tua berandalan
itu. Beberapa kali mereka terdampar balik ombak yang keras. Angin keras,
gelombang berisik, suaranya Pek Thong toh masih terdengar lapat-lapat. Maka
mereka mencoba berenang terus.
Tidak
lama, terdengar pula suaranya Pek Thong itu: “Loo Boan Tong telah berubah
menjadi anjing kecemplung ke air! Inilah sup asin yang dipakai untuk menggodok
si anjing tua…!”
Mau
tidak mau, Kwee
Ceng tertawa. Masih saja kakak itu
bergurau, berguyon. Tidakkah mereka lagi menghadapi bahaya maut? Sekarang
terbukti benar-benar artinya “Loo Boan Tong”, si bocah bangkotan yang nakal.
Mereka
mencoba terus, akhirnya tidaklah sia-sia percobaan mereka itu. Tidak lama
berselang, mereka toh datang dekat satu pada lain. Sekarang terlihat nyata, Pek
Thong itu menolong diri dengan mengikat kakinya kepada papan perahu, dengan
begitu ia menjadi bisa berdiri di atas air dan berjalan dengan bantuan ilmunya
ringan tubuh, sang gelombang tidak menjadi rintangan. Pantas ia bisa berkelakar
seperti tidak menghiraukan bahaya kehausan dan kelaparan.
Kwee Ceng menoleh ke belakang.
Perahunya sudah lenyap dari muka laut. Dengan begitu paszi hilang sudah semua
anak buah perahu itu terkubur di dasar laut.
Disaat
itu, sekonyong-konyong terdengar teriakan Ciu Pek Thhong: “Ayo!
Hebat!”
Cit Kong dan Kwee Ceng
menoleh dengan cepat, mereka pun menanya ada apa. Pek Thong menuju ke arah jauh:
“Lihat di sana!
Cucut! Sebarisan ikan cucut!”
Kwee Ceng menjadi besar di
gurun pasir, tak tahu ia hebatnya ikan cucut atau hiu, maka heran ia menampak
gurunya berubah air mukanya. Kenapa guru itu nampak jeri
begitu pun Pek Thong, sedang keduanya sangat lihay?
Cit Kong menhajar tiang
layar, ia membikin patah, lalu potongan yang satu ia pegangi sendiri, yang lain
mau ia menyerahkannya pada Kwee
Ceng.
Hampir
itu waktu, air laut di depan mereka menjublar, lalu tertampak munculnya seekor
ikan cucut yang mulutnya dipentang, hingga nampak dua baris giginya yang putih
yang mirip gergaji, berkilau di bawah sinar matahari. Hanya sebentar saja, dia
sudah selam pula.
“Hajar
kepalanya!” kata Cit
Kong pada Kwee Ceng sambil
menyerahkan potongan tiang layar itu, untuk dijadikan pentungan.
Kwee Ceng tapinya merogoh ke
sakunya.
“Teecu
ada punya pisau belati!” sahutnya. Dan
ia lemparkan pentungan itu kepada Ciu Pek Thong, yang menyambutinya.
Lalu
datang empat atau lima
ekor ikan, yang mengurung mereka. Mungkin belum jelas, binatang laut itu tidak
segera menyerang.
Pek
Thong membungkuk, tangannya terayun. Hanya sekali kemplang, pecahlah kepalanya
seekor ikan.
Begitu
membaui darah, ikan-ikan itu menyambar tubuh kawannya, kemudian mereka disusul
sama yang lainnya, mungkin puluhan atau ratusan ekor. Mereka itu tak kenal
kawan, mereka cuma tahu daging harus dicaplok.
Kwee Ceng terkejut melihat
keganasan binatang-binatang itu! Selagi ia mengawasi, ia merasakan kakinya ada
yang bentur. Lekas-lekas ia tarik kakinya itu. Dengan bergeraknya air, seekor
cucut menyambar kepadanya. Ia mendorong tiang layar dengan tangan kirinya,
untuk berkelit ke kanan, sebaliknya tangan kanannya menyerang. Tepat serangan
itu, pisau belatinya pun pisau belati mustika, maka sekali tikam saja,
berlobanglah tubuh ikan, darahnya mengucur keluar. Maka ia pun lantas diserbu
kawan-kawannya…!
Demikian
tiga orang itu bertempur dengan kawanan ikan galak itu, mereka main berkelit,
saban hajarannya terus meminta korban. Bgausnya untuk mereka, asal ada korban,
korban itu dikepung ramai-ramai oleh ikan yang lainnya. Hanya menyaksikan
keganasan ikan-ikan itu, hati mereka terkesiap juga.
Yang
hebat, ikan itu banyak sekali, tak dapat semuanya dibunuh habis. Mungkin mereka
sudah membinasakan duaratus ikan ketika mereka mendapatkan matahari mulai
doyong ke barat….
“Pengemis
tua bangka! Adik
Kwee!” berseru Ciu Pek Tong.
“Kalau sebentar langit gelap, tubuh kita bertiga, sepotong demi sepotong bakal
masuk ke dalam perut ikan! Sekarang
mari kita bertaruh, siapakah yang
bakal paling dulu di gegares cucut…?”
Cit Kong nyata tak kurang
jenakanya.
“Yang
digegares cucut itu yang menang atau yang kalah?” tanyanya.
“Tentu
saja dia yang menang!” ia mendapat jawaban.
“Oh!”
berteriak Cit
Kong. “Kalau begitu, lebih suka
aku kalah!”
Kata-kata
ini disusuli sebatan tangan dengan jurus “Naga sakti menggoyang ekor”, maka
seekkor cucut, yang mendadak menyambar kepadanya, kena terhajar mampus, setelah
dua kali meletik, ikan itu berdiam, tubuhnya mengambang, kelihatan perutnya
yang putih. Besar sekali ikan itu.
“Tangan
yang lihay!” Pek Thong memuji. “Hayo, kau sebenarnya mau bertaruh atau tidak?!”
“Maafkan
aku, tidak dapat aku menemani kau!” Cit Kong
menolak, tetapi ia tertawa lebar.
Pek
Thong pun tertawa terbahak-bahak.
“Eh,
adik, kau takut atau tidak?” ia tanya
adik angkatnya.
“Mulanya
takut, tapi sekarang tidak lagi,” sahut Kwee Ceng.
Sebenarnya ia jeri tetapi menyaksikan
keberanian guru dan kakak angkatnya itu, yang demikian gembira, ia pun jadi
ketarik hatinya. Ia tengah berkata begitu ketika seekor ikan menyambar ke
arahnya. Ia lantas berkelit, tangan kirinya diangsurkan. Itulah pancingan. Ikan
itu kena dijebak. Dia berlompat ke muka air dan menuburuk!
Kwee Ceng menyingkirkan tangan
kirinya, yang hendak disambar itu, berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya
ia menikam. Pada tangan kanan ini ia mencekal pisau belatinya. Tepat pisau ini
menancap di tenggorokannya ikan. Tapi ikan lagi berlompat, piasu itu nyempret
ke bawah sampai di perutnya, hingga dia seperti terbelek. Segera ia mati,
perutnya udal-udalan, darahnya mengalir ke luar.
Itu
waktu Ang Cit Kong
dan Ciu Pek Thong juga telah dapat membinasakan masing-masing seekor lagi,
hanya kali ini, Pek Thong merasakan dadanya sakit. Inilah sebab sakitnya belum
pulih bekas dihajar Oey
Yok Su.
Tapi ia tertawa ketika ia berkata: “Pengemis tua, adik Kwee, maaf, tidak dapat
aku menemani kau lebih lama pula. Hendak aku berangkat lebih dulu ke dalam
perutnya si cucut!”
Habis
berkata, Pek Thong berpaling, justru ia melihat sebuah layar putih dan besar
lagi mendatangi.
Cit Kong juga sudah lantas
mendapat lihat layar itu, bahkan segera ia mengenali kayar perahunya Auwyang Hong.
Tiga
orang ini mendapat harapan, maka semangat mereka seperti terbangun. Kwee Ceng
mendekati Pek Thong, untuk membantu kakak angkatanya itu.
Lekas
sekali, perahu besar telah tiba, dari situ lantas dikasih turun dua perahu
kecil, untk menolongi tiga orang itu.
Pek
Thong memuntahkan darah tetapi ia masih bicara sambil tertawa, suatu tanda
nyalinya sangat besar, kematian dipandang sebagai berpulang…. Ia menunjuk
kepada kawanan hiu itu dan mencaci kalang kabutan.
Auwyang Hong dan keponakannya
menyambut di kepala perahunya. Hati mereka gentar akan menyaksikan di laut situ
berkumpul demikian banyak ikan hiu itu….
Tapi Auwyang Hong menjadi ketarik hatinya.
Ia suruh beberapa orangnya memancing, umpamnya daging, maka lekas sekali mereka
dapat mengail delapan ekor ikan ganas itu.
“Bagus!”
tertawa Ang Cit Kong
sambil menuding ikan itu. “Kau tidak dapat gegares kami, sekarang kamilah yang
bakal gegares dagingmu!”
Auwyang Kongcu tertawa.
“Keponakanmu
ada mempunyai daya untuk peehu membalas sakit hati!” katanya. Ia perintah
orangnya mengambil bambu, yang terus diraut lancip dan tajam, kemudian sesudah
dengan tombak mulut ikan dipentang, tonggak bambu itu dikasih masuk ke dalam
mulut ikan itu, yang akhirnya dilepas pulang ke laut.
“Inilah cara
untuk membikin mereka untuk selamanya tidak dapat makan!” berkata si anak muda
sambil tertawa. “Berselang delapan atau sepuluh hari, mereka bakal mampus
sendirinya!”
“Inilah
kekejaman!” pikir Kwee
Ceng. “Cuma kau yang dapat memikir
akal ini. Ikan yang doyan gegares ini bakal mati kelaparan, sungguh hebat!”
Ciu
Pek Thong melihat sikap tak puas dari Kwee
Ceng, ia tertawa dan
berkata: “Anak, kau tidak puas dengan ini cara,
kejam sekali, bukankah? Ini dia yang dibilang, kalau pamannya yang jahat mesti
ada keponakan yang jahat juga.”
Adalah
biasa bagi See Tok Auwyang Hong, jikalau orang mengatakan dia jahat, dia tidak
menjadi kurang senang, bahkan sebaliknya, dia girang sekali. Maka itu mendengar
perkatannnya Ciu Pek Thong, dia tersenyum.
“Loo
Boan Tong,” dia berkata, “Permainan kecil sebagai ini apabila dipadu sama
kepandaiannya si mahkluk berbisa bangkotan bedanya masih sangat jauh. Kamu
bertiga telah dikeroyok sekawanan cucut cilik, tetapi kamu sudah lelah hingga
tak dapat bernapas. Untukku, itulah keroyokan tidak berarti.”
“Oh,
si mahluk berbisa bangkotan sedang mengepul!” berkata Ciu Pek Thong. “Jikalau
kau dapat mengeluarkan ilmu kepandaianmu dan sanggup membuatnya semua cucut ini
terbasmi habis, maka aku si bocah bangkotan yang bakal berlutut dan
mengangguk-angguk di hadapanmu dan tigaratus kali dan aku akan memanggil
engkong padamu!”
“Sampai
begitu, itulah aku tidak berani terima,” berkata Auwyang Hong.
“Jikalau kau tidak percaya, bolehlah kita berdua bertaruh!”
“Bagus,
bagus!” berseru Pek Thong. “Bertaruh kepala pun aku berani!”
Ang Cit Kong sebaliknya
bersangsi.
“Biarnya
ia pandai mengukir langit, tidak nanti dia dapat membunuh ikan ratusan itu
semua,” pikirnya. “Aku khawatir dia mengandung maksud jahat lainnya…”
Auwyang Hong tertawa.
“Bertaruh
kepala orang, itulah tak usah!” katanya. “Jikalau aku menang, cukup aku minta
kau melakukan satu apa yang kau tidak dapat tampik, dan jikalau aku yang kalah,
terserah kepadamu kau hendak menitahkan apa padaku. Kau lihat, tidakkah ini
bagus?”
“Taruhan
apa juga yang kau kehendaki, aku terima!” menjawab Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong segera berpaling
kepada Ang Cit Kong.
“Aku
minta saudara Cit menjadi saksi!” katanya.
“Baik!”
Cit Kong menerima. “Hanya hendak aku menanya,
kalau seorang menang dan apa yang dia kehendaki, orang yang kalah tidak dapat
melakukannya atau dia menolak untuk melakukannya, bagaimana?”
“Dia
harus terjun ke laut supaya dia digegares cucut!” berkata Ciu Pek Thong.
Auwyang
Hong tersenyum, ia tidak membilang suatu apa, dia hanya menitah satu orangnya
membawakan dia sebuah cangkir kecil terisi arak, lalu dengan dua jari kanannya
ia menjepit lehernya ular di kepala tongkatnya, untuk mementang mulutnya, maka
dari mulut itu terus mengalir keluar racunnya, masuk ke dalam cawan itu, habis
mana itu cawan ia sambuti. Di situ
terlihat bisa ular memenuhi separuh cangkir, warnanya hitam. Kemudian ia
meletaki ularnya, ia ambil yang seekor pula, untuk dikeluarkan juga racunnya
seperti pertama tadi.
Habis
dikuras bisanya, kedua ular itu melilit di ujung tongkat, tubuhnya tak
berkutik, rupanya keduanya sangat letih dan tenaganya habis.
Auwyang Hong memerintah mengambil
seekor cucut, diletaki di lantai perahu. Dengan tangan kiri ia pegang mulutnya
ikan itu bagian atas, mulutnya bagian bawah ia injak dengan kakinya, begitu ia
mengerahkan tenaganya, mulut ikan itu terus terpentang lebar. Tidak tempo lagi,
bisa ular di dalam cawan itu dituang ke dalam mulut ikan. Setelah itu, mulut
ikan itu dilepaskan hingga menjadi tertutup pula. Akhirnya, See Tok
memperlihatkan kepandaiannya yang lihay. Ia geraki tangan kirinya, ia menyolok
menampak ke perut ikan itu, lalu ia mengangkat dengan kaget, menyusul mana
tubuh ikan yang besar itu terlempar ke laut, suaranya menjublar hebat, air
lautnya muncrat tinggi.
“Ah,
aku mengerti sekarang!” Pek Thong berseru tertawa. “Inilah caranya si pendeta
tua bangka mematikan kutu busuk!”
“Toako,
apakah artinya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk?” Kwee Ceng
tanya.
“Kau
belum tahu?” menyahut sang toako. “Di waktu dulu di kota Pianliang ada seorang
pendeta yang jalan mengitar di jalan-jalan besar sambil berteriak-teriak
menjual obat peranti membinasakan kutu busuk, katanya obatnya sangat manjur,
umpama kata obatnya itu tidak dapat membinasakan kutu busuk hingga habis
bersih, ia suka mengganti kerugian pada si pembeli dengan harganya obat sepuluh
kali lipat. Dengan caranya ini ia menjadi dapat banyak pembeli, obatnya sangat
laku. Tinggal si pembeli obat. Satu pembeli pulang untuk menyebar obatnya di
pembaringannya. Malamnya? Haha! Kawanan kutu busuk tetap datang bergumul-gumul,
dia digigiti hingga setengah mampus! Besoknya dia cari si pendeta, dia minta
ganti kerugian. ‘Tidak bisa jadi obatku todak mujarab!’ kata si pendeta. ‘Kalau
benar gagal, tentulah kau salah memakainya….’ Si pembeli tanya,
‘Habis bagaimana cara memakainya?’ Si
pendeta menyahuti: ‘ Kau tangkap si kutu busuk, kau pentang bacotnya, kau
cekuki dia obat ini. Jikalau kutu busuk itu tidak mampus, besok baru kau datang
pula padaku…’ Pembeli itu jadi mendongkol. Katanya, ‘Kalau aku dapat tangkap
kutu busuk itu, asal aku pencet, masa dia tidak mampus? Kalau begitu, untuk apa
aku beli obatmu?’ Lalu si pendeta menyahuti secara enak saja, ‘Memangnya aku
pun tidak larang kau memencetnya!’”
Mendengar
itu Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu
juga tertawa berkakak. Hanya See Tok si Bisa dari Barat meneruskan berkata:
“Obatku tidak sama dengan obat peranti mematikan kutu busuk dari pendeta itu.”
“Coba
kau menjelaskannya,” minta Ciu Pek Thong.
Auwyang Hong menunjuk ke laut.
“Nah,
kau lihat di sana!”
sahutnya.
Cucut
tadi, setelah jatuh di air, dia timbul pula, perutnya lebih dulu. Dia mati
dengan lantas. Segera setelah itu, tujuh atau delapan ekor cucut lainnya
datang, untuk menyambar menggigit, menggerogoti dagingnya, disusul oleh yang
lainnya lagi. Sebentar saja, cucut itu habis tinggal tulang-tulangnya yang
tenggelam ke dasar laut. Hanya aneh semua cucut yang menggerogoti itu, hanya
berselang beberapa menit, pada timbul pula dengan perut di atas, tubuhnya
mengambang. Sebab semauanya telah mati. Lalu mereka dikeroyok pula oleh yang
lain-lainnya, yang masih hidup. Kejadian ini terulang lagi. Setaip cucut yang
memakan daging kawannya lantas mati, dia digegaresi kawan lainnya, kawan ini
pun mati dan menjadi makanan kawannya lagi. Demikian seterusnya, matilah setiap
cucut yang makan daging kawannya sendiri. Maka juga selang sekian lama, bukan
puluhan melainkan ratusan mayat cucut pada mati ngambang. Mungkin itu akan
menjadi ribuan korban….
Menyaksikan
itu, Ang Cit Kong
menghela napas.
“Tua
bangka beracun, tua bangka beracun!” katanya. “Dayamu sungguh-sungguh sangat
jahat! Cuma bisanya dua ekor ular, korbannya begini banyak….”
Auwyang Hong tidak menjawab hanya
ia mengawasi Ciu Pek Thong, dia tertawa girang sekali, tandanya hatinya sangat
puas.
Pek
Thong membanting-banting kakinya, tangannya mencabuti kumisnya.
Di muka air, di sana sini, terlihat hanya
mengambangnya bangkai-bangkai cucut.
“Saudara Hong,”
kata Cit Kong kemudian, “Ada satu hal yang aku tidak mengerti, ingin
aku kau menerangkannya.”
“Apa
itu saudara Cit?” tanya Auwyang Hong.
“Racunmu
secangkir, kenapa lihaynya begitu rupa dapat membinasakan cucut begini banyak?”
“Itulah
sederhana saja!” Auwyang
Hong tertawa. “Inilah disebabkan
bisa ularku berbisa luar biasa. Kalau bisa ini dimakan seekor ikan, ikan itu
keracunan, lantas semua dagingnya menjadi beracun juga, kalau dia dimakan oleh
cucut yang lain, cucut itu pun mati keracunan. Keracunan ini terjadi
terus-menerus, racunnya bahkan jadi semakin hebat, bukannya menjadi berkurang. Dan bekerjanya racun tak habis-habisnya.”
Kata-katanya
See Tok ini dibuktikan dengan cepat. Kecuali bangkai cucut, di situ tidak ada
cucut lainnya lagi yang masih hidup. Mungkin ada yang telah kabur. Ikan-ikan
kecil pun menjadi korban cucut atau kabur juga….
Laut
lantas menjadi tenang seperti biasa.
“Lekas,
lekas menyingkir!” berkata Cit
Kong. “Hawa racun di sini sangat
hebat!”
Auwyang Hong memberikan titahnya
maka tiga buah layar perahunya dikerek naik, hingga di lain saat perahunya itu
sudah menggeleser menuruti sampokan angin Selatan menuju ke barat laut.
“Tua
bangka berbisa, benar-benar bisamu hebat,” berkata Pek Thong kemudian.
“Sekarang kau menghendaki aku berbuat apa? Kau bilanglah!”
Auwyang Hong tertawa.
“Silahkan
tuan-tuan masuk ke dalam dulu untuk menyalin pakaian,” ia berkata. “Kita pun
perlu dahar dan beristirahat. Tentang pertaruhan, kita boleh bicarakan
perlahan-lahan.”
“Tidak,
tidak bisa!” berkata Pek Thong, yang tidak sabaran. “Kau mesti menyebutkannya
sekarang juga!”
Auwyang Hong tertawa.
“Kalau
begitu, saudara Pek Thong, silahkan ikut aku!” katanya.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong melihat Pek Thong diajak Auwyang Hong
dan keponakannya ke perahu bagian belakang, mereka sendiri di minta datang ke
gubuk depan dimana empat nona berseragam putih muncul untuk melayani.
Cit Kong tertawa, dia
berkata; “Seumurku, aku si pengemis tua, belum pernah begini beruntung….!”
Ia
lantas dibukai pakaiannya, tubuhny digosoki dengan sabun.
Mukany Kwee Ceng merah, ia tidak
berani meloloskan pakaiannya.
“Takut
apa?” kata Ang
Cit Kong
tertawa. “Masa kau nanti digegares?”
Dua
nona menghampirkan, akan membukai sepatu dan ikat pinggangnya. Pemuda ini
lantas mendahului membuka sepatunya, ia menutupi diri dengan seprai, dengan cara itu ia menukar baju dalam.
Cit Kong tertawa lebar,
begitu pun keempat nona pelayan itu….
Baru
habis mereka berdandan, dua nona datang membawa masing-masing penampan
berisikan arak, sayur dan nasi putih. Katanya mereka, majikan mereka mempersilahkan
keduanya dahar seadanya saja,
Kwee Ceng sudah lapar, ia
lantas menyeret kursi.
“Mari, suhu!” ia mengajak.
“Kamu
pergi dulu,” kata Cit
Kong kepada kedua nona itu,
tangannya diangkat, “Aku si pengemis tua tidak dapat dahar, apabila aku melihat
nona-nona cantik manis!”
Kedua
nona itu tertawa, mereka berlalu seraya menutup pintu perahu perlahan-lahan.
“Lebih
baik jangan makan ini,” ia bilang. “Si tua bangka berbisa sangat licin dan
licik. Kita makan nasi putih saja.”
Habis
berkata, Cit
Kong menurunkan cupu-cupu araknya,
ia membuka tutupnya dan menggelogoki dua ceglukan, setelah itu, ia mulai dahar,
nasi saja. Kwee
Ceng turut dahar. Mereka makan
tiga mangkok. Sayurannya mereka tuang ke bawah lantai perahu.
“Entah
dia minta apa dari Ciu
Toako,” kata Kwee Ceng
kemudian.
“Entahlah,
tetapi pasti sudah bukan urusan benar!” sahut Cit Kong.
Ketika
itu pintu dibuka perlahan-lahan, satu nona berdiri di depan pintu.
“Ciu
Loo-ya-cu mengundang tuan Kwee ke belakang,” kata dia.
Kwee Ceng mengawasi gurunya,
terus ia ikut budak itu. Mereka jalan dari samping pergi ke belakang. Angin
mulai meniup keras, perahu terombang-ambing. Si nona bertindak perlahan, tetapi
terang ia mengerti ilmu silat. Di
belakang, ia mengetok pintu tiga kali, perlahan-lahan, lalu ia menanti
sebentar, untuk kemudian membukanya pintu dengan perlahan juga. Ia pun kata
dengan perlahan: “Tuan Kwee sudah datang!”
Kwee Ceng masuk ke dalam,
lantas pintu di belakang ditutup rapat. Ia lihat sebuah ruang kosong, tidak ada
orangnya. Ia heran. Tengah ia berpikir, pintu di samping kiri ditolak, di situ
muncul Auwyang
Hong serta keponakannya.
“Mana
Ciu Toako?” tanya
Kwee Ceng.
Auwyang Hong tidak lantas
menyahuti, ia hanya menutup dulu daun pintu, lalu ia maju satu tindak. Mandadak
saja ia mengulur sebelaha tangannya menyambar tangan kiri Kwee Ceng.
Pemuda ini tidak menyangka jelek, orang pun sangat sebat, tak dapat ia
menghindarkan diri. Bahkan ia terus dipencet nadinya hingga ia tak dapat
berkutik lagi. Di lain pihak Auwyang Kongcu
dengan sangat gesit menyambar pedang di dinding perahu, menghunus itu, ujungnya
terus diancamkan ke tenggorokan orang!
Kwee Ceng berdiri menjublak.
Ia bingung hingga ia merasakan kepalanya pusing. Ia tidak mengerti, apa
maksudnya itu paman dan keponakan.
Lalu
terdengar Auwyang
Hong tertawa tawar.
“Loo
Boan Tong telah kalah bertaruh denganku,” katanya, “Tetapi ketika aku titahkan
ia melakukan sesuatu, ia menolak!”
“Oh…!”
Kwee Ceng berseru tertahan. Ia mulai mengerti.
“Aku
menyuruh ia menulis Kiu Im Cin-keng untuk aku lihat,” Auwyang Hong
memberikan keterangan terus. “Lalu ia membilangnya bahwa itulah tidak masuk
hitungan!”
Kwee Ceng pun berpikir, “Tentu
sekali mana toako sudi mengajarimu…?” Ia lalu menanya: “Mana Ciu Toako?”
Auwyang Hong tertawa pula dengan
dingin.
“Dia
telah membilang, jikalau dia tidak bicara, ia nanti terjun ke laut untuk
tubuhnya dipakai memelihara ikan cucut,” ia menyahuti. “Kali ini dia tidak
menyangkal.”
Kwee Ceng kaget tidak terkira.
“Dia…dia…”
serunya. Ia mengangkat kakinya, berniat lari keluar. Tapi keras cekalannya See
Tok, ia terus ditarik kembali.
Auwyang Kongcu pun menggeraki
tangannya maka ujung pedangnya membuat baju orang pecah dan dan membentur
tubuh.
Auwyang Hong menuding ke meja di
mana ada alat-alat tulis.
“Di jaman ini cuma kau satu orang yang mengetahui seluruh
isi kitab,” ia berkata bengis, “Maka lekaslah kau tulis semua ittu!”
Anak
muda itu menggeleng kepala.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Kau
tahu,” katanya, “Sayur dan arak yang tadi kau gegares bersama si pengemis tua
telah dicampuri racun, jikalau kamu tidak makan obat pemunah istimewa buatan
kami, dalam tempo duabelas jam diwaktu mana racunnya bekerja, kamu akan mampus
seperti itu ikan-ikan hiu di dalam laut! Asal kau sudah menulis, jiwa kamu
berdua bakal diberi ampun….”
Kwee Ceng kaget. “Baiknya suhu
cerdik, kalau tidak, tentulah kita celaka!” pikirnya.
Menampak
orang berdiam saja, kemabali Auwyang
Hong tertawa dingin.
“Kau
telah mengingat baik bunyinya kitab, kau tulislah, untukmu tidak ada ruginya
sedikit juga,” ia membujuk. “Apa lagi yang kau sangsikan?”
Mendadak
kwee Ceng memberikan penyahutannya yang berani: “Kau sudah membikin celaka
kakak angkatku, denganmu aku mendendam sakit hati dalamnya seperti lautan!
Jikalau kau hendak bunuh, kau bunuhlah! Untuk memikir aku sudi menyerah, itulah
pikiran yang tidak-tidak!”
“Hm,
bocah yang baik!” kata Auwyang Hong dingin. “Kau benar bersemangat! kau tidak
takut, baik, tetapi apakah kau juga tidak hendak menolongi jiwa gurumu?”
Belum
lagi Kwee Ceng memberikan jawabannya, pintu perahu
bagian belakang itu bersuara sangat nyaring, lalu daun pintunya ambruk dan
pecah berantakan, yang mana disusul sama sambarannya air yang mengarah ke
mukanya Auwyang
Hong.
See
Tok terkejut tetapi ia telah dapat menduga, itulah mestinya perbuatannya Ang Cit
Kong, kapan ia sudah mengangkat kepalanya,
ia nampak Pak
Kay muncul di ambang pintu dengan
masing-masing tangannya menentang setahang air. Ia menginsyafi lihaynya si
Pengemis dari Utara itu, bahwa tenaga banjuran air itu hebat, bahwa kalau ia
kena dibanjur, meski ia tidak terluka parah, luka sedikit itulah mesti. Maka
itu sebat luar biasa ia menjejak dengan kedua kakinya, berlompat ke kiri.
Sambil berlompat, ia pun menenteng tubuhnya si anak muda. Ia tidak mau
melepaskan cekalannya yang kuat itu.
Hebat
banjuran itu, air muncrat ke segala penjuru.
Auwyang Konngcu tak sesebat
pamannya, sedangnya ia kaget, ia sudah kena dicekuk leher bajunya oelh Ang Cit
Kong, yang sambil memanjur sambil
lompat maju, hingga ia pun kena ditenteng tanpa berdaya.
Segera
si pengemis tua mengasih dengar tertawanya yang panjang.
“Makhluk
beracun bangkotan!” katanya, “Dengan segala daya kau hendak mencelakai aku,
syukur Thian tidak mengijinkannya!”
Benar-benar
licik si Bisa dari Barat ini. Begitu ia melihat keponakannya tertawan, ia
lantas tertawa.
“Saudara Cit,”
katanya, “Apakah kau hendak menguji juga kepandaianku? Kalau benar, nanti saja
di darat kita mengukur tenaga, temponya masih belum kasep.”
Ang Cit Kong juga tertawa,
sedikit pun ia tidak menunjuki kegusarannya.
“Kau
demikian baik sekali dengan muridku, hingga kau mencekal erat-erat padanya dan
tidak hendak melepaskan tanganmu!” katanya.
Auwyang Hong tidak sudi mengadu
bicara, ia merasa keteter.
“Aku
telah bertaruh dengan Loo Boan Tong, aku telah menang, bukan?” ia menanya,
menyingkir dari saling ejek. “Bukankah kau saksiknya? Loo Boan Tong menyalahi
janji, maka sekarang terpaksa aku mesti menanyakan kepadamu, bukankah?”
Cit Kong mengangguk
berulang-ulang.
“Tidak
salah,” sahutnya. “Mana Loo Boan Tong?”
Kwee Ceng tidak dapat menahan
diri.
“Ciu Toako
dipaksa dia hingga terjun mati ke laut!” ia memotong.
Cit Kong kaget, dengan
menenteng Auwyang
Kongcu ia pergi ke luar. Ia
melihat ke laut di sekitarnya. Ia tidak lihat Pek Thong, di sana hanya tampak sang ombak.
Sambil
menuntun Kwee
Ceng, Auwyang Hong
pun turut keluar, sampai di luar, ia kendorkan cekalannya.
“Kwee Sieheng,”
katanya, “Kepandaianmu belum terlatih mahir! Kau lihat, secara begini kau
dituntun orang, kau mengikuti saja. Pergi kau ikuti pula gurumu, akan belajar
lagi sepuluh tahun, sesudah itu baru kau merantau.”
Kwee Ceng sangat memikirkan
Pek Thong, tidak sudi ia melayani bicara. Ia terus merayap naik ke tiang layar,
untuk dari sana
memandang ke sekelilingnya.
Cit Kong mencekuk belakang
lehernya Auwyang
Kongcu, lalu ia melemparkan
keponakan orang itu kepada sang paman, sembari berbuat begitu, ia berkata
dengan membentak: “Makhluk beracun bangkotan, kau memaksakan kematiannya Loo
Boan Tong, buat itu nanti ada orang-orang Coan Cin Kauw yang membuat perhitungan denganmu!
Kau harus ketahui, biarnya kau sangat lihay, kau berdua dengan keponakanmu
tidak nanti sanggup melayani pengurungannya Coan Cin Cit Cu!”
Auwyang Kongcu tidak menanti
tubuhnya terlempar jatuh atau membentur pamannya, ia mengulur tangannya untuk
menekan lantai, maka dilain saat ia sudah bangun berdiri. Di
dalam hatinya ia mencaci: “Pengemis bau, tak uash sampai duabelas jam, kau
bakal bertekuk lutut di hadapanku untuk memohon ampun….!”
Auwyang Hong pun tersenyum.
Katanya, “Sampai itu waktu, sebagai saksi kau bakal tidak dapat meloloskan
diri!”
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
“Baiklah!”
jawabnya. “Sampai itu waktu aku nanti mencoba-coba lagi denganmu!”
Itu
waktu Kwee Ceng sudah lompat turun. Sekian lama ia
memandangi laut tanpa ada hasilnya. Sekarang ia tuturkan kepada gurunya
bagaimana barusan Auwyang Hong menawan dia dengan memencet nadinya memaksa ia
menulis bunyinya Kiu Im Cin-keng.
Ang Cit Kong mengangguk-angguk,
ia tidak membilang suatu apa. Ia malah masgul di dalam hati, karena pikirnya:
“Mahkluk berbisa bangkotan ini biasa tak melepaskan kehendaknya sebelum itu
terpenuhi, maka juga sebelum ia memperoleh kitab, tidak nanti ia mau sudah. Ini
artinya muridku bakal dilibat terus olehnya…”
“Mari,” ia mengajak muridnya, untuk masuk ke dalam
perahu. Ia tahu kenderaan itu lagi menuju ke barat, tak usah sampai dua hari,
mereka bakal tiba di darat, dari itu tak sudi ia memperdulikan Auwyang Hong.
Ia pergi ke belakang untuk mengambil nasi tanpa meminta lagi, ia ajak Kwee Ceng
berdahar dengan kenyang. Ia tidak meminta sayur atau lauk pauk lainnya, yang ia
khawatir dicampuri racun. Habis menangsal perut, ia ajak muridnya merebahkan
diri untuk beristirahat.
Auwyang Hong dan keponakannya
menanti sampai besoknya lohor, itu artinya sudah lewat empat - atau limabelas
jam semenjak mereka meracuni Ang Cit Kong
dan Kwee Ceng, sampai itu waktu, si pengemis dan
muridnya masih tidak kurang suatu apa. Mereka menjadi heran dan bercuriga. See
Tok sendiri berkhawatir, kalau mereka itu nanti mati keracunan, ia jadi tidak
dapat meminta atau memaksa Kwee
Ceng menulis kitab yang ia
kehendaki itu….
Kemudian
si Racun dari Barat itu pergi mengintai di sela-sela bilik perahunya. Ia
mendapat lihat Cit Kong dan Kwee Ceng
lagi duduk memasang omong. Ia menjadi lebih heran lagi.
“Jikalau
bukannya si pengemis licik hingga mereka tidak kena makan racun, tentulah
mereka mempunyai obat pemunah racun,” pikirnya. Karena ini ia jadi memikir lain
cara yang terlebih kejam pula….
Ang Cit Kong berbicara dengan
muridnya dengan menuturkan aturan Kay Pang,
partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu
yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.
“Sayang
kau tidak suka menjadi pengemis,” berkata guru ini, “Kalau tidak, kau sungguh
tepat. Di dalam partai kita tidak ada
orang yang berbakat lebih baik daripadamu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini
peranti mementung anjing, maka kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang
paling besar kekuasaannya!”
Ang Cit Kong menyebutkan
tongkatnya sebagai Pa-kauw-pang, yaitu tongkat peranti pengemplang anjing.
Tepat
mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara
dakdak-dukduk sebagai orang tengah mengampak kayu.
Cit Kong kaget hingga ia
lompat berjingkrak.
“Celaka!”
serunya. “Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!” Ia berseru kepada Kwee Ceng:
“Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!”
Belum
berhenti suaranya pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol dengan
gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara
sasss-sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan
ekor ular.
Cit Kong tertawa tetapi dia
berseru: ” Si makhluk tua yang berbisa menyerang dengan ularnya!” Sambil
berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan batang jarumnya, hingga
binatang-binatang merayap itu pada tertancap perutnya dan mengasih dengar suara
kesakitan.
Menyaksikan
ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng
kagum bukan main.
“Yong-jie
sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini,” pikirnya.
Selagi
anak muda ini berpikir, terlihat pula masuknya puluhan ular lainnya, dan Ang
Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu
menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya.
Hanya celakanya, habis itu, muncul pula yang lainnya.
“Bagus
betul!” berseru Ang
Cit Kong.
“Si tua bangka beracun memberikan aku sasaran untuk melatih diri!” Ia lantas
merogoh sakunya. Tempo tanganya mengenai isi sakunya itu, ia kaget sendirinya.
Ia mendapat kenyataan jarumnya itu tinggal hanya tujuh atau delapan puluh
batang. Inilah berbahaya sedang ular itu seperti tidak ada habisnya. Tengah ia
berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke dalam disusul sama sambaran
angin yang keras ke punggung.
Kwee Ceng berada di belakang
gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu, lekas-lekas ia bergerak untuk
menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia merasakan tolakan yang hebat
karena mana ia mesti kerahkan semua tenaganya. Dengan begitu baru ia dapat
mempertahankan diri, mencegah gurunya dibebokong.
Penyerang
gelap itu Auwyang
Hong adanya. Ia heran hingga ia
menyerukan suara “Ih!” perlahan, sebab pemuda itu sanggu menahan serangannya
yang dahsyat itu. Dengan lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik,
tangannya dipakai menyerang pula.
Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa ia tak
bakal sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan
tangan kirinya, dengan tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk
kanan dari See Tok. Di dalam keadaan
seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.
Auwyang Hong tidak berani
meneruskan serangannya itu. Ia menarik pulang tangannya itu dengan cepat, lalu
dengan cepat juga ia pakai menyerang pula, dari atas turun ke bawah, merupakan
bacokan.
Kwee Ceng mengerti ancaman
bahaya bagi dia dan gurunya. Kalau
Auwyang Hong
dapat menguasai pintu itu, tentulah sang ular tak dapat dibendung lagi. Maka
itu dengan terpaksa ia membuat perlawanan terus. Dengan tangan kiri ia
menangkis serangan, dengan tangan kanan ia menyerang, membalas. Terus menerus
ia menggunai siasatnya ini. Karena ia sangat lincah, sedang ilmu silat semacam
itu belum pernah Auwyang Hong melihatnya, See Tok menjadi heran, hingga ketika
ia tercengang, ia berbalik kena terdesak.
Dalam
keadaan wajar, biarnya ia bergerak dengan dua tangan yang berlainan gerak-geriknya,
hingga ia menjadi dua melawan satu, Kwee Ceng bukannya tandingan dari Auwyang
Hong, hanya karena anehnya ilmu silatnya ini, See Tok terdesak tanpa dia
menginsyafinya.
Walau
bagaimana, si Bisa dari Barat adalah satu jago kawakan. Cuma sebentar ia terdesak,
segera ia bisa memperbaiki diri. Ia lantas menyerang dengan dua tangan
berbareng. Tentu saja satu penyerangan yang hebat. Tidak dapat Kwee Ceng
menangkis serangan itu dengan hanya sebelah tangan kirinya itu. Sudah begitu,
disaat ia bakal terdesak, rombongan ular itu menggeleser di arah belakangnya.
“Bagus,
bagus sekali, mahkluk berbisa bangkotan!” berseru Ang Cit Kong dengan ejekannya. “Sekalipun muridku,
kau tidak sanggup melayaninya, maka mana dapat kau menyebut dirimu enghiong,
seorang gagah perkasa?”
Pak Kay bukan melainkan
mengejek, berbareng ia menggeraki tubuhnya. Ia mengenjot tubuhnya dengan kedua
kaki, lantas tubuh itu meleset tinggi, melewati Kwee Ceng dan Auwyang Hong,
akan tiba di lain bagian di mana dengan satu tendangan ia terus merobohkan
Auwyang Kongcu, hingga orang jungkir balik, setelah mana ia menyusuli dengan
sikutnya, hingga tubuh pemuda itu terpental terlebih jauh ke arah pamannya.
Mau
atau tidak mau, Auwyang
Hong mesti berkelit, supaya ia
terhindar dari benturan dengan tubuh keponakannya itu. Karena berkelit ini,
dengan sendirinya ia seperti menarik pulang serangannya, dengan begitu Kwee Ceng
jadi diperingan ancaman bahaya untuknya itu.
Pemuda
ini berkelahi dengan berbesar hati. Ia telah memikirnya: “Dia ini seimbang
dengan guruku, sekarang keponakannya bukan lagi tandinganku, bahkan si
keponakan sedang terluka, dari itu dua lawan dua, mestinya pihakku yang
menang.” Maka dengan itu ia menyerang Auwyang Hong
secara hebat sekali. Tadi ia dibokong, dengan gampang ia tercekuk, sekarang ia
waspada.
Ang Cit Kong berkelahi dengan
mata dipentang ke empat penjuru, dari itu ia melihat belasan ular lagi
mendekati muridnya. Celakan kalau muridnya itu diterjang binatang berbisa itu
dan kena dipagut.
“Anak Ceng,
lekas keluar!” ia berteriak dan sambil berteriak ia merangsak Auwyang Hong,
guna memberi kebebasan kepada muridnya.
Auwyang Hong merasakan sulitnya
diserang dari depan dan belakang, atas rangsakannya itu Pak Kay,
terpaksa ia berkelit, dengan begitu, Kwee Ceng
jadi terlepas dan bisa lompat ke luar gubuk perahu. Ia sekarang melayani Cit Kong
seorang.
Sementara
itu sang ular, jumlahnya ratusan lebih, mulai mendekati.
“Sungguh
tak punya muka!” mengejek Cit
Kong. “Satu laki-laki berkelahi
mesti dibantui segala binatang!”
Di mulut pengemis ini
menegur, di hati ia berkhawatir juga. Ia mainkan tongkatnya hebat sekali,
dengan begitu selain melayani Auwyang
Hong, dapat juga ie mengemplang
mampus belasan ular, setelah mana ia berlompat untuk terus mengajak Kwee Ceng
lari ke tiang layar.
Auwyang Hong terkejut. Ia
mengerti, kalau musuh sampai dapat memanjat layar, untuk sementara tak dapat ia
berbuat sesuatu terhadap mereka itu. Maka itu ia berlompat pesat sekali, dengan
maksud untuk menghalangi.
Ang Cit Kong dapat menerka maksud
orang, ia menyerang dengan kedua tangannya. Hebat serangannya itu, hingga Auwyang Hong
mesti menyambuti.
Kwee Ceng hendak membantu
gurunya ketika si guru teriaki padanya: “Lekas naik ke atas tiang layar!”
“Hendak
aku membikin mampus keponakannya untuk membalaskan sakit hatinya Ciu Toako!”
berkata Kwee
Ceng.
Tapi Cit Kong tidak
memperdulikannya. “Ular! Ular!” teriaknya memperingatkan.
Kwee Ceng pun melihat
mendekatinya binatang-binatang merayap yang berbisa itu, maka itu setelah ia
menanggapi sebatang Hui-yan ginso yang ditimpuki Auwyang Kongcu
kepadanya, ia berlompat ke tiang layar yang terpisah darinya setombak lebih.
Ia
menyambar tiang dengan tangan kirinya. Justru itu ada sambaran angin dan
senjata rahasia, ia menimpuk dengan torak musuh yang berada di dalam
cekalannya, maka sebagai kesudahan dari itu kedua torak bentrok keras mental ke
kiri dan kanan menyemplung ke laut.
Dengan
kedua tangannya merdeka, Kwee
Ceng terus memanjat. Dengan cepat
sekali ia telah sampai di tengah-tengah tiang.
Ang Cit Kong sebaliknya tidak
berhasil menyampaikan tiang layar itu. Ia dirintangi sangat oleh Auwyang Hong
yang merangsak dengan serangan-serangan bertubi-tubi.
Kwee Ceng melihat tegas
kesulitan gurunya, sedang ular datang semakin dekat. Tiba-tiba saja ia berseru,
tubuhnya merosot turun, tangannya tetap memeluki tiang. Berbareng dengan itu, Cit Kong
menjejak dengan kaki kirinya, untuk mengapungi tubuhnya, sementara kaki
kanannya sekalian dipakai menedang musuhnya. Sambil berlompat menyerang itu,
tongkatnya diulur ke depan.
Inilah
yang Kwee Ceng harap. Pemuda ini mengulur sebelah
tangannya, menyambar tongkat gurunya, setelah dapat mencekal, ia menarik dengan
keras. Justri
Ang Cit
Kong tengah mengapungkan tubuhnya,
tubuhnya itu terus tertarik terangkat naik oleh muridnya itu.
Pak Kay lantas saja tertawa
ponjang. Tengah tubuhnya terangkat, tangan kirinya menyambar layar, maka dilain
saat, ia seperti sudah tergantung di tengah udara, berada di sebelah atas dari
muridnya.
Sampai
itu waktu, guru dan murid itu telah berada di atas tiang layar, di atasan dari
kedua lawan mereka. Dengan begitu mereka jadi menang di atas angin.
Auwyang Hong tidak berani lompat
naik ke tiang layar, guna menyusul. Ia tahu kedudukannya yang lebih tak
menguntungkan.
“Baiklah!”
ia berseru, bersiasat. “Mari kita
bersiap! Putar haluan ke timur!”
Benar
saja, hanya dalam tempo sedetik, arah perahu telah berputar. Sementara itu di
kaki tiang layar, kawanan ular sudah berkumpul.
Ang
Cit Kong duduk bercokol, agaknya ia gembira sekali, karena ia sudah lantas
menyanyikan lagu “Lian Hoa Lok”, atau “Bunga teratai rontok”, nyanyian istimewa
untuk bangsa pengemis. Sebenarnya di dalam hati, ia sangat masgul. Ia
menginsyafi bahwa mereka terus terancam bahaya.
“Berapa
lama aku dapat berdiam di sini? Bagaimana kalau si mahluk beracun menebang
tiang ini?” Demikian pikirnya. “Kalau ular itu tak mau bubar, mana bisa aku
turun dari sini? Mereka itu boleh dahar dan tidur enak, kita berdua mesti makan
angin…..”
Mendadak
ia ingat suatu apa.
“Anak Ceng,
kasih mereka minum air kencing!” tiba-tiba ia serukan muridnya seraya ia
sendiri lantas mengendorkan ikat celananya.
Dasar
masih kekanak-kanakan, Kwee
Ceng turut itu anjuran
“Nah,
silahkan minum! Silahkan minum!” serunya.
Maka
berdua mereka menyiram ke bawah!
“Lekas
singkirkan ular!” teriak Auwyang
Hong kaget. Ia sendiri segera
berlompat mundur beberapa tindak, hingga ia tak usah kena tersiram air harum
itu.
Auwyang Kongcu heran atas seruan
pamannya, ia tercengang. Justru itu, air kencing mengenai mukanya!
Ia
menjadi sangat mendongkol dan gusar sekali. Ia memangnya satu pemuda yang
resik. Berbareng dengan itu, ia pun ingat bahwa ularnya takut air kencing.
Segera
terdengar suaranya seruling kayu, atas mana rombongan ular di kaki tiang lantas
bergerak, untuk merayap pergi, meski begitu, beberapa puluh ekor ular itu basah
kuyup basah, terus mereka bergulingan dan mulut mereka dipentang, untuk
menggigit satu pada lain, hingga mereka jadi kacau sekali.
Ular
itu semua ada ular yang Auwyang Hong kumpul dari lembah ular di gunung Pek To
San, gunung Unta
Putih, di See Hek, Wilayah Barat.
Semua ular beracun, tetapi ada pula kelemahannya yaitu jeri
terhadap kotoran atau kencingnya orang atau binatang kaki empat. Inilah
sebabnya mereka menjadi korban dan kacau itu.
Ang Cit Kong dan Kwee Ceng
menyaksikan sepak terjang kawanan ular itu, mereka tertawa lebar.
“Jikalau Ciu Toako
ada di sini, dia tentu sangat bergembira,” berpikir Kwee Ceng,
yang ingat kakak angkatnya. “Ah, sayang ia terjun ke laut yang luas ini, ia
tentulah menghadapi lebih banyak bencana daripada keselamatan….”
Auwyang Hong pun pandai menguasai
diri. Ia tidak mengambil mumat lawannya kegirangan. Ia membiarkan tempo lewat
kira dua jam, selagi cuaca mulai gelap, ia menitah orangnya menyiapkan barang
hidangan serta araknya, sengaja ia berdahar di tempat terbuka, bukan di dalam
gubuk perahu, dengan begitu, ia menyebabkan harumnya arak dan wangi lezat dari
barang hidangan itu terbawa angin, melulahan hingga ke atas tiang layar,
menyampok hidungnya kedua orang di atas tiang itu.
Cit Kong seorang yang gemar
minum dan dahar, napsu makannya segera kena juga dipancing, maka itu ia sudah
lantas mengambil cupu-cupunya, untuk menenggak araknya hingga cupu-cupu menjadi
kering seketika.
Untuk
menjaga diri, Pak
Kay bergilir dengan Kwee Ceng,
akan tidur atau beristirahat bergantian. Akan tetapi di bawah, beberapa orang
memasang obor terang-terang dan rombongan ular diatur mengurung kaki tiang,
hingga tak ada jalan untuk turun dari tiang layar itu.
Auwyang Hong menempatkan diri di
dalam gubuknya, ia tidak mengambil peduli Ang Cit Kong mencoba membangkitkan hawa marahnya
dengan mencaci ia kalang kabutan, dengan mengangkat juga leluhurnya beberapa
turunan!
Ang Cit Kong mengoceh sampai ia
letih sendirinya dan mulutnya kering, lalu ia tertidur sendirinya.
Kapan
sang malam telah lewat, Auwyang
Hong menitahkan orangnya
berteriak-teriak di bawah tiang layar: “Ang Pangcu!
Kwee Siauwya! Auwyang Looya
sudah menyajikan hidangan yang terpilih serta arak yang wangi, silahkan pangcu
dan siauwya turun untuk bersantap!”
“Kau
suruh Auwyang
Hong keluar, kami mengundang ia
minum air kencing!” Kwee
Ceng menyahuti.
Jawaban
ini tidak dipedulikan, hanya sebentar kemudian di kaki tiang itu orang mengatur
meja serta barang-barang hidangannya, sayurnya masih mengepul-ngepul asapnya,
hingga wangi lezat sayur, serta harumnya arak, menghembus naik tinggi. Kursi
disediakan hanya dua, diperuntukan khusus buat Ang Cit Kong dan Kwee Ceng berdua saja…..
Dalam
panasnya hati, Cit
Kong mencaci pula dengan
menyebut-nyebut “biang bangsat” dan anjing.
Dihari
ketiga Cit Kong dan murid merasakan kepala mereka
pusing saking mereka menahan lapar dan dahaga.
“Coba
murid wanitaku ada di sini,” berkata Ang Cit Kong, “Dia sangat cerdik, pasti dia dapat
mencari akal untuk menghadapi si racun tua ini. Kita berdua cuma bisa membuka
mata dan mengeluarkan ilar….”
Kwee Ceng menghela napas, ia
memandang ke sekitarnya. Di tiga penjuru ia tak nampak apa juga kecuali laut
tetapi di barat, di sana terlihat dua titik putih yang bergerak, mulanya samar
seperti gumpalan mega kecil, ketika ia mendapatkan dua titik itu makin tegas,
ia menjadi girang sekali. Itulah dua ekor rajawali putih, yang lekas juga
datang dekat hingga suaranya terdengar.
Tanpa
ayal sedetik jua, Kwee
Ceng masuki jari tangan kirinya ke
dalam mulutnya, untuk memperdengarkan satu suara nyaring dan panjang. Atas itu
kedua burung itu terbang berputaran, lalu menukik, menceklok di pundak si anak
muda.
Merekalah
dua ekor rajawali, yang Kwee
Ceng pelihara dari kecil di gurun
pasir.
“Suhu!”
berseru Kwee
Ceng girang. “Mungkin Yong-jie
mendatangi dengan naik perahu!”.
“Itulah
bagus!” seru Ang
Cit Kong.
“Kita terkurung dan tidak berdaya, biar dia datang menolongi kita!”
Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas itu ia mencoret dua huruf “dalam bahaya”, serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat itu di kakinya kedua burung itu, setelah mana ia berkata: “Lekas kamu terbang pula, kamu ajak Nona Yong ke mari!”
Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas itu ia mencoret dua huruf “dalam bahaya”, serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat itu di kakinya kedua burung itu, setelah mana ia berkata: “Lekas kamu terbang pula, kamu ajak Nona Yong ke mari!”
Dua
ekor burung itu mengerti, keduanya berbunyi nayaring, terus mereka terbang
pergi, sesudah berputaran di atasan kepala, mereka menuju ke barat, dari arah
mana mereka datang.
Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong
kembali mengatur meja perjamuan makan di muka perahu di bawah tiang layar.
Untuk ke sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng tidak dapat menahan
lapar dan nanti terpaksa turun untuk dahar pula.
Menyaksikan
lagak orang itu, Cit Kong
tertawa.
“Di antara empat yaitu arak, paras elok, harta dan
napsu, aku si pengemis tua cuma menyukai satu ialah arak!” ia berkata. “Dan kau justru menguji aku dengan arak! Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada
sedikit kelemahannya…. Anak
Ceng, mari
kita turun untuk menghajar mereka kalang kabutan. Setujukah kau?”
“Baiklah
sabar, suhu,” Kwee
Ceng menyahuti. “Burung rajawali
sudah membawa surat
kita, sebentar mesti ada kabarnya, sebentar pasti bakal terjadi suatu
perubahan.”
Cit Kong tertawa. Ia nyata
suka bersabar.
“Eh,
anak Ceng!” ia berkata, “Di kolong
langit ini ada suatu barang yang sari atau rasanya paling tidak enak, kau tahu
apakah itu?”
“Aku
tidak tahu, suhu. Apakah itu?” sahut sang murid sambil balik menanya.
“Satu
kali aku pergi ke Utara,” berkata sang guru, memberi keterangan, “Di sana
di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari. Jangan kata bajing,
sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana. Dengan terpaksa aku menggali sana dan menggali sini di
dalam salju, akhirnya aku dapat menggali juga lima makhluk berjiwa. Syukur aku si pengemis
tua berhasil mendapatkan makhluk itu, dengan begitu jadi ketolongan untuk satu
hari itu. Di hari kedua, aku beruntung
mendapatkan seekor serigala hingga aku dapat gegares kenyang.”
“Apakah
lima makhluk
bernyawa itu, suhu?”
“Itulah
cianglong dan gemuk-gemuk pula!”
Mendengar
disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng
belenak sendirinya, hingga hendak ia muntah-muntah. Cit Kong
sebaliknya tertawa terbahak-bahak. Karena sengaja ia menyebutkan binatang
paling kotor dan paling bau itu untuk melawan napsu dahar yang
merangsak-rangsak mereka yang disebabkan harum wangi arak dan lezat yang
tersajikan di kaki tiang layar itu.
“Anak Ceng,”
berkata pula Cit
Kong, “Kalau sekarang ada
cianglong di sini, hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang
paling kotor dan paling bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua
lebih suka makan kaki sendiri daripada memakan itu! Tahukah kau, barang apa
itu?”
Kwee Ceng menggeleng-geleng
kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti: “aku tahu sekarang! Itulah
najis!”
Tetapi
sang guru menggoyangkan kepalanya.
“Ada lagi yang terlebih
bau!” katanya.
Kwee Ceng mengawasi. Ia
menyebut beberapa rupa barang, ia masih salah menerka.
Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.
“Nanti
aku memberitahukan kepadamu!” katanya keras-keras. “Barang yang paling kotor
dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!”
Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa
berkakakan.
“Akur!
Akur!” serunya berulang-ulang.
Maka
cocok benarlah guru dan murid itu, hingga mereka membuatnya See Tok menjadi
sangat mengeluh.
Ketika
itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru angin meniup
perlahan. Memangnya perahu menggeleser perlahan,
dengan berhentinya sang angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti
sendirinya. Semua orang di atas perahu pada mengeluarkan peluh. Di muka air pun kadang-kadang tertampak ikan meletik
naik, suatu tanda air laut juga panas. hawanya.
Cit Kong memandang ke
sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan kosong. Maka heranlah
ia. Ia menggeleng kepala.
“Suasana
aneh sekali,” katanya perlahan.
Berselang sekian lama, ketika Cit Kong
tengah memandang ke arah tenggara, ia menampak ada mega hitam yang mendatangi
dengan sangat cepat. Melihat itu, ia menjadi keget hingga ia mengeluarkan
seruan tertahan.
“Ada apakah, suhu?” tanya Kwee
Ceng terperanjat.
“Ada angin aneh!” menyahut
Cit Kong. “Tidak aman kita berdiam di tiang
ini… Di bawah ada demikian banyak
ular….Bagaimana sekarang?” Ia menjadi seperti menggerutu ketika ia berkata
lebih jauh perlahan sekali: “Biar umpama kata kita bekerja sama mati-matian,
masih belum tentu kita bisa lolos dari ancaman ini, apapula jikalau kita
melanjuti pertempuran…”
Ketika
itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong
lantas merasa segar. Ia pun merasa dadung layar
bergerak sedikit.
“Anak Ceng,”
ia lalu berkata, “Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun. Jaga supaya
kau tidak terjatuh ke laut…”
Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana
bakal datang? Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia mengangguk.
Belum
lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan tembok tebal melayang
menghamprkan, datangnya dari arah tenggara itu, bergerak sangat cepat. Sebab
segera juga mereka terdampar, di antara satu suara nyaring, tiang layar
benar-benar patah pinggang, karena mana, tubuh perahu bergerak bagaikan
terbalik.
Kwee Ceng memeluk erat-erat
kepala tiang, ia menahan napas. Tanpa berbuat begitu, angin dapat membawa ia
terbang entah ke mana. Ketika kemudian ia membuka matanya, sekarang ia melihat
air bergerak bagaikan tembok, air muncrat tinggi sekali.
“Anak Ceng,
merosot turun!” terdengar teriakannya Cit Kong.
Kwee Ceng menurut, dengan
mengendorkan pelukannya, tubuhnya lansung merosot turun. Ia menahan diri
setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia mendapat kenyataan, layar berikut
tiangnya sebelah atas, yang patah, setahu dibawa kemana oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi ular, rupanya semua
binatang berbisa itu telah disapu sang badai dan gelombang. Si tukang kemudi
rebah dengan kepala pecah, jiwanya sudah melayang pergi. Perahu sendiri
terputar-putar di tengah laut itu, miring ke kiri dan ke kanan bergantian.
Lainnya barang di muka perahu pun tersapu habis ke laut.
“Anak Ceng,
kendalikan perahu!” kembali terdengar suaranya sang guru.
Memang
kenderaan itu terancam untuk terbalik dan karam.
Kwee Ceng lompat turun ke
buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia disambar sepotong kayu yang terbawa
angin, ia berkelit. Untuk mempertahankan diri, ia lantas menyambar rantai. Ia
orang Utara, belum pernah ia mengemudikan perahu, tetapi karena ia bertenaga
besar, bisa juga ia menguasai perahu itu, untuk mencegah bergoncang keras. Ia
mendengar suara angin dahsyat, ia melihat perahunya berlayar pesat atas
dorongan sang angin.
Tiang
layar bagian atas telah patah, ada layar yang diterbangkan angin dahsyat itu,
tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong
berdaya untuk menurunkan layar itu. Sudah ada dadung yang ia berhasil
memutuskannya. Tengah ia berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara
menantang: “Saudara
Cit, mari
Pak Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan
kepandaiannya!”
Di sebelah sana Auwyang Hong
mencekali keras ujung ynag lain dari layar itu.
“Turun!”
Cit Kong berseru sambil ia mengerahkan
tenaganya, ia menarik dengan keras.
Di pihak Auwyang Hong,
See Tok pun menggunai tenaganya.
Hebat
tenaganya kedua jago itu, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu, sampokan
angin menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras seperti tadi,
hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam.
Sebagai
ganti badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa muka,
rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu mulai
reda.
“Saudara Cit!”
berkata pula Auwyang Hong tertawa. “Jikalau tidak ada muridmu yang lihay itu,
pastilah kita sudah mati masuk ke dalam perut ikan! Maka itu marilah kita
sama-sama mengeringkan satu cawan, guna melepaskan hawa dingin! Jangan kau
takut, jikalau aku hendak meracunimu, biarlah aku Auwyang Hong
menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!”
Ang Cit Kong turut tertawa. Kali
ini mau percaya See Tok sebab sebagai ketua sebuah partai besar di jamannya
nitu, satu kali dia mengeluarkan kata-kata, dia mesti pegang itu.
“Mari!” ia berkata kepada Kwee Ceng,
yang ia suruh digantikan seorang anak buah guna mengendalikan kemudi.
Dengan
begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk dahar dan minum.
Pak Kay minum dan dahar
sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya kembali ke kamar mereka untuk tidur.
Tapi tengah malam ia mendusin. Ia mendengar suara ular sar-ser tak hentinya.
“Celaka!”
ia berseu.
Kwee Ceng pun sudah lantas
sadar. Maka keduanya berlompat bangun, sama-sama mereka membuka pintu untuk
melihat ke luar. Sekarang perahu itu sudah terjaga rapi oleh
rombangan-rombongan ular, yang memenuhi bagian depan dan belakang. Auwyang Kongcu,
dengan kipas di tangan, berdiri di tengah-tengah ularnya itu. Ia memperlihatkan
wajah tersungging senyuman.
“Paman Ang,
saudara Kwee!” ia berkata. “Pamanku cuma hendak meminjam lihat Kiu Im Cin-keng
sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!”
“Dasar
bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!” mendamprat Cit Kong,
perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia tidak
kentarakan sesuatu perasaan.
“Hai,
bangsat cilik!” ia mengasih dengar suaranya, “Nyata aku si tua kena
diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku mengaku
kalah. Lekas kau siapkan dulu barang hidangan dan arak, untuk kami dahar dulu,
urusan boleh dibicarakan besok pagi!”
Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa,
sesudah mana ia benar-benar menyuruh orang menyajikan barang hidangan, yang mesti dibawakan kepada kedua musuhnya itu.
Cit Kong mengunci pintu, ia
terus dahar dan minum. Ia menggerogoti paha ayam.
“Apakah
kali ini pun tidak ada racunnya?” Kwee Ceng
menanya berbisik.
“Anak
tolol!” sang guru menyahuti. “Jahanam itu hendak menitahkan kau menulis kitab,
mana bisa mereka mencelakai jiwamu? Mari
dahar sampai kenyang, nanti kita memikirkan daya upaya pula!”
Kwee Ceng percaya gurunya
benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia menghabiskan empat mangkok
nasi.
Ang Cit Kong menyusuti bibirnya
yang minyakan, lalu ia berbisik di kuping muridnya.
“Si
bisa bangkotan menghendaki ynag tulen, kau tulis yang palsu,” demikian
ajarannya.
“Yang
palsu?” murid itu menegasi, heran.
“Ya,
yang palsu! Di jaman ini melainkan kau
seorang yang ketahui kitab yang tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau
boleh tulis! Siapa yang akan ketahui itulah kitab yang tulen atau yang palsu?
Kau menulis jungkir balik bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi
kitab yang palsu itu, dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak
akan berhasil menyakinkan sekalipun satu jarus….!”
Girang Kwee Ceng mendengar ajaran
itu.
“Kali
ini benar-benar si bisa bangkotan kena batunya!” pikirnya. Tapi sesaat kemudian
ia berkata: “Auwyang
Hong sangat mahir ilmu suratnya,
kalau teecu menulis sembarangan, lantas ia ketahui, bagimana nantinya?”
“Kau
harus menggunai siasat halus,” Cit
Kong mengajari. “Tulis tiga baris
yang benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di
bagian latihannya, kau boleh tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut
delapanbelas kali, kau tulis duabelas kali atau duapuluh empat kali, biarnya si
bisa bangkotan sangat cerdik, tidak nanti ia dapat melihatnya. Biarnya aku
tidak gegares dan minum tujuh hari tujuh malam, suka aku menonton si bisa
bankotan itu mempelajari kitab palsu itu!”
Habis
berkata, Cit
Kong tertawa sendirinya, hingga
muridnya turut tertawa juga.
“Jikalau
ia menyakinkan kitab yang palsu,” kata Kwee Ceng
kemudian, “Bukan saja dia akan menyia-nyiakan ketika akan bercapai lelah tidak
puasnya, ada kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya.”
Cit Kong tertawa pula.
“Sekarang
bersiaplah kau untuk memikirannya!” ia menganjurkan. “Kalau sampai ia
bercuriga, itulah gagal artinya….”
Kwee Ceng menurut, ia lantas
kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im
Cin-keng, ia pikirkan
tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika ia sudah memikir puas, ia
menghela napas sendirinya.
“Inilah cara
mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako
paling menggemarinya,” pikirnya. “Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya
berpisah mati…. Kapan aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa
menuturkan bagaimana aku mempermainkan si bisa bangkotan ini…?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar