Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 24



Bab 24. Pengemis Dengan Sembilan Jeriji

“Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke Barat,” menyahut si nona. “Belum pernah kami berdiam di suatu tempat lamanya sepuluh hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak mencari satu orang….seorang engko she Kwee…..”
Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.
Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. “Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan kau?” ia tanya si nona pula.
“Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an,” Liam Cu menyahut pula. “Sejak kecil aku telah tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang sama seorang bibiku. Bibi itu tidak perlakukan baik padaku, demikian pada suatu hari ia telah memukul aku serta tidak memberikan aku nasi untuk berdahar, selagi aku menangis di depan pintu, lewatlah ayah angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara sama pamanku, lalu ia ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak merantau, diajari ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah merantau. Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan….”
“Nah, inilah soalnya,” berkata Khu Cie Kee. “Baiklah kau mengerti, ayahmu itu bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau baik memakai she Yo juga.”
“Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok,” berkata si nona itu. Ia bersangsi.
“Kenapa? Apakah kau tidak percaya aku?” tanya si imam.
“Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok.”
Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka? Ia tidak tahu, didalam hatinya, Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen kang itu berayah she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she Yo, mana bisa mereka menikah?
Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan pakai obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengari pembicaraan saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona bertanding sama Wanyen Kang.
“Eh,” tanyanya,” Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau lebih gagah daripada ayahmu itu?”
“Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun, aku bertemu sama seorang berilmu, Liam Cu menyahut. “Untuk tiga hari lamanya dia ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku mewariskan semua pelajaran yang diajarkan itu…” kata si nona pula.
“Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay daripada ayahmu?” imam itu menanya pula. “Siapakah orang berilmu itu?”
“Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah mengangkat sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya.”
Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus, ia mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen Kang. Sekian lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali. Hal ini membuatnya bertambah heran.
“Khu Suko,” akhirnya ia tanya kakaknya, “Bukankah kau telah mengajari Wanyen Kang selama delapan atau sembilan tahun?
“Tepatnya sembilan tahun enam bulan,” menjawab Khu Cie kee. “Ah, aku tidak sangka sekali bocah itu ada begini punya tidak berbudi….”
“Ah, benar-benar aneh?” Cit It bilang.
Cie Kee heran. “Kenapa?” tanyanya.
Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.
“Khu Totiang,” Tin Ok menanya. “Bagaimana caranya kau dapat mencari turunannya Yo Toako itu?”
“Itulah terjadi secara kebetulan,” sahut Tian Cun Cu. “Semenjak kita membuat perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga Yo dan Kwee itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil. Karena ini aku merasa bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah kalah. Tapi aku tidak putus asa. Aku mencari terus. Kembali aku balik ke Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat beberapa hamba negeri pergi ke rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi semua barang perabotan rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di luar dugaan mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka bukanlah sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikutnya pangeran Chao Wang dari negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkuti isi rumahnya saudara Yo. Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak terkecuali bangku, meja dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku heran, aku jadi bercuriga, maka aku menguntit mereka terus sampai di Tiongtouw.”
Mendengar sampai disitu, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam gedung Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan rumahnya sangat miskin….
Khu Cie Kee melanjuti keterangannya: “Malamnya aku pergi memasuki gedung pangeran itu. Ingin aku mendapat kepastian apa perlunya barang-barang demikian diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh kenyataan, aku menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu sekali. Ternyata Pauw Sek Yok, istrinya saudara Yo itu, sudah menjadi onghui, menjadi istrinya Pangeran Chao Wang itu. Saking murkanya, berniat aku lantas membunuh Sek Yok itu. Kemudian aku mengubah pikiranku itu. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok tinggal di sebuah rumah batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap tombaknya saudara Yo, semalam-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat melupakan suaminya itu. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian lagi aku mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah putranya saudara Yo. Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen Kang bertambah, aku mulai memberikan dia pelajaran ilmu silat.”
“Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya sendiri?” Tin Ok menanya.
“Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu,” berkata Khu Cie Kee. “Aku mendapat kenyataan ia telah terpengaruh sangat harta dan kemuliaan, karena itu, aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak menunggu sampai ia bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak mengakurkan mereka, untuk kemudian menolongi ibunya, untuk pernahkan mereka di suatu tempat tersembunyi. Aku tidak sangka sama sekali, sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-sama saudaraku, kita kena terpedayakan hingga beginilah pengalaman kami yang pahit. Ah…!”
Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.
Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo Tiat Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam itu.
Semau orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa, tetapi akhirnya dia berkorban untuk kehormatannya untuk cinta sucinya terhadap suaminya.
Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan kedelapan.
“Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?” berkata Cu Cong.
“Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita menjadi terlebih sedikit,” Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.
“Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?” Cie Kee bertanya.
“Bukan begitu, sutee,” berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas. “Selama beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan, hingga kau dapat memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di sebelah itu, jangan kita melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan menuruti adat muda…”
Cie Kee tertawa. “Jadi kita harus ketahui, bahwa diluar langit ada yang terlebih tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih pandai?” katanya.
“Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak ada dibawahan kita? Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang, maka dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu sukar ditentukan dari sekarang, siapa bakal kalah, siapa bakal menang….” jawab Ma Giok lagi.
“Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam itu?” Khu Cie Kee menegasi.
“Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya ialah kejadian tadi. Kalau tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan runtuh nama baik kita yang sejak beberapa puluh tahun? Tidakkah kita bertiga bakal kehilangan nyawa kita disini?” kata Ma Giok.
Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. “Mereka itu telah menggunakan akal muslihat,” kata mereka. “Kemenangan mereka itu tak dapat dibuat sebutan.”
Ma Giok menghela napas. “Memang kita harus berhati-hati,” katanya. “Lihat saja Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaiannya guru kita, kepandaiannya itu sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu mengandalkan diri, sampai sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui dimana adanya dia. Maka itu Ciu Susiok itu harus dijadikan contoh.”
Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.
Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai susiok, paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak nerani menanyakan keterangan.
Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.
Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. “Kwa Toako,” katanya tertawa. “Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo Sutee mendapatkan baba mantu seperti ini, ia mati pun meram….”
Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk keluar.
Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak, mendadak berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebab sekali ia turun dari atas pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.
Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk. Tapi tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat ditolong. Dia heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.
Ong Cie It lantas tertawa. “Jangan kaget, Nona,” katanya. “Aku sedang menguji kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau ilmu silat cuma tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan dandannya sebagai pengemis?”
Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. “Eh, mengapakah totiang ketahui itu?” dia balik menanya.
Cit It tertawa pula. “Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh sepak terjangnya,” ia berkata, menerangkan. “Dia mirip dengan naga sakti yang nampak kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat pengajaran dari dia, Nona, kau beruntung sekali. Sebenarnya ada sangat sukar akan mendapatkan ketika seperti kau itu.”
“Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa mengajari tiga hari lamanya,” menambahkan si nona.
“Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?” Ong Cie It menegaskan. “Kau tahu, pengajarannya itu tiga hari melebihkan pengajaran lain orang sepuluh tahun!”
“Totiang benar juga,” kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma sejenak, terus ia menanya: “Apakah totiang ketahui dimana adanya Ang Locianpwee itu sekarang?”
Cit It tertawa pula. “Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!” ia berkata. “Adalah pada duapuluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncaknya gunung Hoa San, habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula.”
Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak keluar.
“Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?” Han Siauw Eng menanya. Sejak tadi si nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang ada dari tingkat lebih tinggi dan tua (locianpwee).
Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.
“Han Lie-hiap,” Ong Cie It menanaya, “Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Nona Han itu berpikir. “Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa artinya itu semua.”
Tiba-tiba Kwa Tin Ok memeotong: “Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam Tee Pak Kay itu?”
“Benar,” Ong Cie It memberikan jawabannya. “Tiong Sin Thong itu adalah almarhum Ong Cinjin yang menjadi guru kami.”
Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan gurunya Coan Cin Cit Cu.
Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: “Bakal istrimu itu ada muridnya Kiu Cie Sin Kay yang ternama besar, di belakang hari siapa yang nanti berani menghinamu?”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, berniat ia membantah tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.
“Ong Totiang,” kemudian Han Siauw Eng menanya pula. “Kau cuma menekan pundaknya si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah muridnya Kiu Cie Sin Kay itu?”
Selagi Cie It belum menyahuti, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa sudah lantas datang menghampirkan. Mendadak saja ia menekan pundak si anak muda.
Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasianya ilmu dalam dari Ma Giok, pelajaran yang disebut Hian-bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya ular, tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan si imam.
Khu Cie Kee tertawa. “Anak yang baik!” katanya seraya mengangkat tekanannya.
Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi justru itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampuj lagi, ia roboh terjengkang, sebab ia tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling, begitu pula tangannya mengenakan tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.
Menyaksikan itu, semua orang tertawa.
“Anak Ceng,” Cu Cong lantas berkata, “Khu Totiang telah memberikan kau pelajaran, kau ingatlah baik-baik.”
Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.
“Han Lie-hiap,” Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng, “Siapa pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan secara barusan, mesti ia roboh terjengkang, cuma ilmu silatnya Kiu Cie Sin Kay yang tidak mempan tekanan, paling-paling orang terhuyung ke depan. Sebabnya ini ialah kepandaian Ang Locianpwee itu banyak yang bertentangan sama ilmu silat yang kebanyakan.”
Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.
“Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?” Cu Cong tanya.
“Pada duapuluh tahun dulu itu,” menyahut Ong Cie It, “Kiu Cie Sin Kay telah berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di mana mereka merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa mendampingi guruku, aku jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin Kay itu.”
“Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?” Tin Ok tanya pula.
“Benar,” menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee ceng sambil tertawa mengatakan: “Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi si antara kamu belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin terbit salah paham. Kau mesti terlebih rendah tingkatannya daripada bakal istrimu itu, dengan begitu seumurmu, tidak nanti kau dapat menanjak naik….”
Kwee ceng jengah, mukanya merah. “Tidak dapat aku menikah dengannya,” katanya.
Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. “Kenapakah?” tanyanya.
Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakilkan menyahut. “Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki, maka itu selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan besar dari Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to Hu-ma.”
Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. “Bagus betul!” katanya. “Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda daripada yang lainnya. Tetapi disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah kamu tidak memeprdulikan itu?!”
Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. “Teecu belum pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum,” ia berkata, “Dari itu tidak tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang memberi petunjuk?”
Cie Kee tertawa. “Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!” katanya. Tadi ia tak ingat akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapanbelas tahun yang lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh, bagaimana ia menyusul dua orang itu hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian pibu antara keturunannya Siauw Thian dan Tiat Sim itu.
Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang dirinya sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana belum terbalas. Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua gurunya.
Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: “Sudah lumrah, laki-laki mempunyakan tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari bolehlah kau memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan menikah dua istri. Ini toh untuk kebaikan kedua pihak, bukan?”
Kwee Ceng menepas air matanya. “Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!” katanya.
Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. “Kenapakah?” tanyanya.
“Aku tidak senang ia menjadi istriku,” Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.
“Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?” Siauw Eng menanya pula.
“Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin menikah dengannya.”
Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. “Anak yang baik, kau bersemangat!” pujinya. “Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri, kau baiklah turut pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah dengan nona barusan!”
Kwee Ceng menggeleng kepala. “Aku juga tidak akan nikahi nona ini,” katanya.
Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.
“Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?” tanya Siauw Eng perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.
Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.
Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. “Siapakah nona itu?!” tanya mereka keras.
Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.
Sedeik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah perhatikan ketika malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu beramai di dalam istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit putih bersih dan cantik menarik.
“Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?” ia tegaskan muridnya itu.
Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.
“Siapakah dia itu?” Khu Cie Kee tanya si nona Han.
“Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya suhu…” menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan wanita dan suhu = suhu)
Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat bangun. “Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?” tanya mereka berbareng.
Siauw Eng tarik tangan muridnya, untuk si murid datang dekat kepadanya. “Anak Ceng, apakah nona itu she Oey?” ia menanya perlahan.
Kwee Ceng mengangguk. “Ya,” sahutnya, perlahan juga.
Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.
“Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?” tanya Cu Cong.
“Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya,” si murid menjawab.
“Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?” Cu Cong menanya pula.
Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.
“Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi dia?”
“Tidak pernah dikatakan begitu…” sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam, tetapi sesaat kemudian ia menambahkan: “Tidak usahlah itu dijelaskan lagi. Aku tidak dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak mempunyai aku, hati kita sama mengetahuinya….”
Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas. “Habis bagaimana jadinya!” ia membentak.
Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: “Kau tahu tidak, ayahnya nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang tidak pernah mengicap matanya? Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam mencuri mengambil hati anak gadisnya, apa kau sangka kau masih mempunyai jiwamu itu? Bwee Tiauw Hong belum mewariskan satu persepuluh dari kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat lihay, maka jikalau tuan dari Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa yang dapat menolonginya?”
“Yong-jie demikian baik, aku pikir….aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang baik-baik,” berkata si murid perlahan.
“Angin busuk!” membentak Po Kie, yang tetap murka. “Kau mesti bersumpah bahwa untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!”
Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah membinasakan Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan sendirinya mereka jadi membenci juga guru orang itu.
Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya yang telah melepas budi banyak kapadanya, dilain pihak adalah cinta sejati. Ia pikir, kalau seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah artinya hidupnya itu – buat apa ia menjadi manusia? Ia jujur dan polos, dari itu halus sekali perasaannya. Tempon ia mendapat lihat guru-gurunya itu mengawasi ia dengan bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk lutut, air matanya turun mengalir di kedua pipinya.
Han Po Kie lantas maju setindak. “Lekas bicara!” ia membentak.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, di luar jendela sudah terdengar suaranya seorang wanita muda: “Kenapa kamu main paksa orang?!” Tercenganglah Tin Ok semua. Sedang begitu, si nona itu telah berkata pula: “Engko Ceng, lekas keluar!”
Kwee ceng kenali suaranya Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia lantas berbangkit dan memburu keluar. Di depannya berdiri si nona cantik, tangan kirinya memegangi pelana kuda Han-hiat Po-ma.
Kuda merah itu meringkik panjang, apabila ia melihat ini anak muda, lalu kedua kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.
Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu keluar, diikuti Khu Cie Kee berempat.
Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya berkata; “Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukannya siluman!”
Oey Yong menjadi gusar. “Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman?!” dia menanya sambil membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi jawabannya Ma Ong Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambhakan: “Ada lagi kau, mahasiswa iblis yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku? Kenapa kau katakan ayahku satu iblis besar yang membunuh orang tidak mengicap mata?!”
Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi melayani seorang nona, maka itu ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini sangat cantuk, seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang melebihkannya, jadi tidaklah heran yang Kwee Ceng menjadi jatuh hati kepada si nona.
Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main, sampai kumisnya bangun berdiri. “Pergi kau! Lekas kau pergi!” ia mengusir.
Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-nepuk tangan, ia bernyanyai; “Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu kali, lalu bergelindingan!”
“Jangan nakal, Yong-jie!” kata Kwee Ceng lekas mencegah. “Inilah guruku….”
Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangannya akan menolak si nona itu untuk diangkat pergi.
Masih Oey Yong bernyanyai: “Labu parang! Bola kulit bundar!” Ia pun mundur dari tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur, mendadak tangannya menyambar pinggang Kwee Ceng, yang etrus ia bawa berlompat, maka sedetik kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda merah, tempo mana si nona itu mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka tindakan lebar dan kabur!
Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak snaggup ia menyandak kuda jempolan itu.
Ketika kemudian Kwee Ceng sempat menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua terlihat hanya samar-samar saja, lantas bergelempang hitam, terus lenyap, saking keras larinya si kuda merah itu!
Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang tangannya si anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama mereka berpisahan, Kwee Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya akan perpisahan secara demikian dari keenam gurunya itu, sebaliknya, pepat juga hatinya kapan ia mengingat gurunya itu hendak memisahkan ia dari pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka itu?
Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah duaratus lie dari kota Yan-khia. Sampai disitu barulah Oey Yong menarik tali les kudanya, untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat turun dari binatanag tunggangannya itu, diturut oleh pemuda pujaannya itu. Kuda itu menggosok-gosok lehernya ke pinggang si anak muda, menandakan kelulutannya.
Sepasang muda-mudi ini berpegagan tangan, mereka berhadapan tanpa mengucapkan sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang berbicara satu pada lain……….
Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan Kwee Ceng. Ia merogoh ke kantung kulit di pelana, ia menarik keluar sepotong sapu tangan, terus ia pergi ke tepi kali kecil di dekatnya, untuk mencelup saputangan itu, kemudian ia kembali ke pemudannya.
“Kau pakailah ini,” katanya perlahan, meminta orang menyusut mukannya yang keringatan.
Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak menyambuti saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras; “Yong.jie, tidak dapat kita berbuat begini….”
Pemudi itu terperanjat, ia menatap, “Apa katamu?” tanyanya.
“Kita harus kembali,” Kwee Ceng bilang. “Kita mesti menemui guruku semua…!”
Kembali Oey Yong terperanjat. “Kembali?” ia menegasi. “Kita kembali bersama?”
“Benar!” sahut pemuda itu. “Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku semua dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; ‘Inilah Yong-jie! Dia bukannya siluman perempuan!’” Sembari berkata begitu, ia menarik tangan yang putih mulus dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya, untuk mengawasi wajah orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; “Suhu, budi kamu besar laksana gunung, walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku membalasnya…Tapi, tapi Yong-jie bukannya siluman, dialah satu nona yang baik sekali…” ia hendak omong banyak, tapi cuma sampai di situ, berhentilah pikirannya melamun.
Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi kemudian hatinya tergerak. Ia lantas berkata: “Engko Ceng, semua gurumu sangat benci aku, percuma kau omong banyak dengan mereka itu. Sudahlah, jangan engkau kembali! Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke sebuah pulau mencil di laut, supaya mereka itu selama umurnya tidak dapat mencari kita….”
Kwee Ceng tetap menatap. “Yong-jie,” katanya, suaranya mantap, “Tidak dapat tidak, kita mesti kembali.”
“Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula,” kata si nona pula.
“Biarnya mati, kita tidak bakal berpisah!” si pemuda memastikan.
Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya itu menjadi mantap.
“Benar!” pikirnya. “Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih hebat dari kematian?” Maka ia kata: “Engko ceng, untuk selama-lamanya aku akan dengar perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!”
“Memang!” sahut si anak muda. “Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang manis!”
Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang ia mengeluarkan sepotong besar daging mentah, ia gulung itu dengan lumpur, terus ia tambus. Ia menyalakan api dengan kayu kering.
“Biarlah si kuda lecil merah beristirahat,” kata pula si nona. “Habis beristirahat baru kita kembali.”
Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.
Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda mereka juga sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan menaiki kuda, mereka ambil jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu lohor, mereka tiba di hotel. Turun dari kudanya, Kwee Ceng pegang tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.
Pelayan hotel girang melihat kembalinya anak si muda, ia menyambuti dengan wajah berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.
“Kau baik, Tuan?” tegurnya. “Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar apa, silakan sebutkan.” katanya.
Tapi Kwee Ceng terperanjat. “Mereka sudah pergi?” ia mengulangi. “Adakah pesanannya?”
“Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam.” jawab si jongos.
“Mari kita susul mereka!” Kwee Ceng mengajak kekasihnya.
Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka kaburkan kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran menampak orang pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka memasang mata. Sampai sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok Koay.
“Mungkin suhu telah mengambil lain jalan,” kata Kwee Ceng. Ia membaliki kudanya.
Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat lari tak kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca gelap, mereka tetap tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang Coan Cin Pay. Kwee Ceng menjadi masgul.
Oey Yong menghibur. Katanya: “Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkeumpul di Yan Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan mereka.”
“Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi,” kata si anak muda, lesu.
Tapi si nona tertawa manis. “Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar ke segala tempat kenamaan!” katanya. “Apakah itu tidak terlebih bagus?”
Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.
Keduanya lantas memasuki dusun, akan mencari penginapan, guna melewatkan sang malam.
Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, untuk ia, supaya Oey Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka terus menunggang seekor kuda.
Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.
Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanp tujuan. sering mereka turun dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau singgah dan bermalam, mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka lapang, tidak ada pikirab yang bukan-bukan yang menyandingi mereka. Mereka melainkan memikirkan pesiar dan terbukalah hari mereka.
Pada suatu hari tibalah meteka di Baratnya perbatasan antara Liongkeng-hu dan Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketik aitu sudah mendekati hari raya Toan-yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong telah berkeringatan. Selagi mereka hendak cari tempat untuk meneduh, si nona mendengar suara mengericiknya air . Ia lantas larikan kudanya ke arah suara itu. Untuk girangnya ia mendapatkan sebuah kali kecil, sampai ia berseru.
Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.
Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada tumbuh banyka pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di dalam air pun terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.
Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.
Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega. Segera ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor ikan yang panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air, ekornya kedua ikan itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.
“Sambut!” si nona berseru, kedua tangannya terayun.
Kwee Ceng sudah lantas menyambuti, ia bisa memegang kedua ikan itu, tetapi saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di mana keduanya berloncatan.
Oey Yong tertawa geli. “Engko Ceng, mari turun, kita berenang!” ia memanggil.
Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia menjadi besar di gurun pasir.
“Turunlah, nanti aku ajari!” kata si nona.
Pemuda ini menjadi tertarik, maka ia pun membuka baju luarnya, lalu turun ke kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan perlahan-lahan, tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia menghampirkan, tahu-tahu ia telah merabuh kaki orang, maka tidak tempo lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting. Ia kaget, karenanya, ia menegak air! Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia menertawai.
“Begini menggeraki tangan,” si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun membilangi, untuk selulup mesti menahan napas dan mata dapat dirapati atau dimeleki.
Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat mengatur napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia bisa berenang hilir mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi bertambah gembira, sedang kawannya demikian manis dan lincah.
Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik, sampai kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian ternyata, di Selatan itu ada air terjun yang yang tingginya lebih daripada sepuluh tombak, bagaikan rantai perak, air meluncur turun.
“Engko Ceng,” kata si nona sangat bergembira, “Mari kita mendaki air tumpah itu!”
“Baik, mari kita mencoba!” Kwee Ceng menyambut. “Kau pakailah baju lapismu!”
“Tidak usah!” menyahut si nona. “Mari kita mulai!”.
Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan mana, si pemuda pun menggeraki kaki tangannya. Tapi air deras sekali, keduanya gagal. Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak berhasil.
Kwee Ceng penasaran sekali. “Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!” katanya pada kawannya.
“Baik!” tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.
Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak lebih. Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah suatu latihan bagus bagi mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna. Latihan ini terus dilakukan terus, maka juga di hari kedelapan, Kwee Ceng bisa menyampaikan puncak air terjun itu, dengan menyambar dan menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik juga.
Bukan main girangnya muda mudi ini.
“Mari kita turun pula!” Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air tumpah itu.
Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng dapat berenang dengan baik walaupun ia masih kalan lincah dari si nona, ialah untuk menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi.
Puaslah hatinya sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru mereka melanjuti perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang Kang, hari mulai sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesarannya sungai itu, yang airnya terus mengalir, gelombangnya saling susun.
“Kau mau berenang, engko ceng?” tanya si nona. “Marilah!”
“Baik!” sahut si anka muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, yang tepuk kempolannya. “Kau tidak punya guna, pergilah!” Ia pun melepaskan tali les. Dilain pihak, ia menghampirkan kuda merah.
Kapam kuda merah itu telah ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai, sembari terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenag pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya kuda merah itu, dia mendahului di muka.
Di tempat dimana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka tidak menarik perhatian siapa juga.
Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah lantas bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian terdengarlah suara guntur saling susul dan terlihat kilat menyambar-nyambar.
“Takutkah kau, Yong-jie?” Kwee Ceng tanya.
“Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!” menjawab si nona tertawa.
Pemuda itu tersenyum.
Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana mereka mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun, ketika itu tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di langit yang bersih. Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.
Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api ungun, di situ mereka memanggang pakaian mereka hingga kering, kemudian keduanya rebah tidur di udara terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat suatu apa.
Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.
“Aku lapar!” berkata Oey Yong, yang menguap. Ia berbangkit, untuk lari ke rumah tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor ayam jago yang besar di tangannya.
“Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita,” Kwee Ceng mengajak.
Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie kira-kira. Kuda merah terus mengikuti mereka. Disini Oey Yong sembelih ayam itu, lalu di cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk ditambus. Maka dilain saat matanglah ayam itu, rontok bulu dan kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk. Disaat si nona hendak membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari belakangnya; “Besetlah menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!”
Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay? Kenapa mereka tidak dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka? Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka terlihatlah seorang pengemis usia pertengahan, pakaiannya banyak tambalannya, cuma anehnya, bahannya semua tersulam, hingga mirip pakaian pengemis di atas pentas. Dia pun memegang sebatang tongkat yang mirip batu pualam, sedang dipunggungnya tergemblok sebuah cupu-cupu besar yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar sekali.
Belum lagi si muda-mudi itu memberi penyahutan, mereka suka memabgi ayam mereka atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di hapadan mereka, tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia terus buka, maka di detik itu juga tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki arak itu beberapa ceglokan, terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.
“Eh, bocah, kau minumlah!” katanya.
Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat itu, tetapi karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar. “Aku tidak minum arak, lojinkee, kau minumlah sendiri!” sahutnya hormat.
“Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?” si pengemis itu menanya Oey Yong.
Si nona tidak menyahuti, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat jeli matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si pengemis yang memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu cuma sembilan, lenyap satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas ingat kata-katanya Ong Cie It dan Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay, si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.
“Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?” ia tanya diri sendiri. “Baiklah aku dengar suaranya.”
Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si pengemis yang terus memandangi ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak, mulutnya berkelemikan tanda mengilarnya. Tetapi ia tidak memikir untuk menjaili orang, maka ia lantas besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia sodorkan pada orang tua itu. Pengemis itu menyambuti seperti menyambar, terus ia masuki ayam itu kemulutnya, dan terus menggayem. Sangat bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu termakan habis! Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.
“Sungguh lezat! Sungguh lezat!” ia memuji berulang-ulang. “Biarnya aku si leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!”
Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.
“Ah, mana dapat!” pengemis itu menolak. “Kamu berdua belum makan….” Mulutnya mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambuti, maka dilain saat, habis sudah sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk-nepuk perutnya. “Hai, perutku, perutku!” ia mengoceh seorang diri, “Bukankah jarang sekali kau gegares ayam begini lezat?”
Mau tidak mau, si nona tertawa geli.
Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang mana ia sodorkan kepada Kwee Ceng. “Bocah, kau ambillah ini!” katanya.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami tidak menginginkan uang,” jawabnya.
Pengemus itu menyeringai, agaknya ia likat. “Inlah sulit,” katanya. “Meskipun aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikit juga.”
“Apakah artinya seekor ayam?” berkata Kwee Ceng tertawa. “Laginya, ayam ini pun kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari pemiliknya….”
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. “Ah, anak muda, tabiatmu sama dengan tabiatku!” katanya. “Mari, mari bilangi aku, kau ada niat apa, kau kasih aku dengar!”
Belum lagi si pemuda menyahuti, Oey Yong sudah dului padanya. “Aku masih punya beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!” katanya manis. “Maukah kau turut kami pergi ke pasar di sana?”
Pengemis itu nampaknya sangat girang. “Bagus, bagus!” ia menyahuti.
“Lojinkee she apa?” Kwee Ceng menanya.
“Aku she Ang, anak yang ketujuh,” menjawab pengemis itu. “Maka kamu berdua, anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong.”
“Ha, benar saja dia!” kata Oey Yong di dalam hatinya. “Tapi dia masih begini muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit Cu?….”
Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang suatu apa. Bertiga mereka sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuha dusun namanya Kiang-bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.
“Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu,” kata Oey Yong, yang terus pergi meninggalkan mereka.
Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee Ceng, “Adakah dia itu istrimu?”
Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang Cit Kong tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di kursinya, matanya meram melek.
Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke dapur untuk matangi itu. Kwee Ceng hendak membantui, sembari tertawa, pemuda ini ditolaknya.
Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus. “Ah, harum sekali!” katanya. “Masakan apakah itu, ah?!” Ia melongok ke arah dapur, lehernya diulur panjang-panjang.
Melihat tingkah lauk orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga muncul. Si pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula, duduk kembali.
“Kau tahu tabiatku?” katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. “Mulutku aneh, asal aku merasai makanan lezat, lantas aku lupa segala apa!” Kali ini ia tidak likat-likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia menambahkan: “Orang dahulu membilang, jari telunjuk dapat bergerak, inilah benar. Aku, asal aku melihat orang dahar makanan lezat jeriji telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak hentinya, maka satu kali, sangking sengit, aku bacok kutung padanya….”
“Oh….!” Kwee Ceng berseru.
Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; “Meski jari tanganku lenyap, tabiatku tetap ada tak berubah…!”
Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada dua mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok sayuran. Dua magkok sayuran itu lantas dipindahlan ke meja.
Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada semangkok masakan daging yang menyiarkan bau terliebih harum lagi. Semangkok yang lainnya pula masakan rebung campur-campu, kuahnya hijau.
Oey Yong mengisikan cawan, ia letaki itu di depan si pengemis.
“Cit Kong, mari cobai masakanku!” katanya sembari tertawa.
Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak araknya, lalu ia menyumpit dua potong bakso di masuki ke dalam mulutnya, terus ia menggayem, dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat lezat.
“Ah, aku tahu!” katanya kemudian. “Bakso ini adalah campuran daging kambing, daging babi, daging kerbau, dan daging…..daging….” Dan ia tidak dapat menyebutkan itu.
“Kalau kau bisa membade, betul kau lihay, Cit Kong!” Oey Yong tertawa. Tapi belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudha berseru: “Itulah daging mencak dicampur daging kelinci!”
Si nona bertepuk tangan. “Bagus! Bagus!” pujinya. “Kau sungguh lihay!”
Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. “Hebat Yong-jie!” pikirnya. “Bagaimana dapat ia memasak semua ini?”
Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang dimasak bersama sayur kuwah hijau itu. “Aku tahu, inilah sup daun teratai campur rebung campur engtoh!” katanya. Ia masuki engtoh itu ke dalam mulutnya dan mengunyah. Mendadak ia mengasih dengar suara “Ah!” berulang-ulang.
Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.
“Ah, nona kecil, aku takluk padamu!” kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah menguyah. “Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini di dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!”
Oey Yong tertawa. “Cit Kong,” katanya, “Coba bilangi, di dapur kaisar ada makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku bisa memasaki untukmu…”
Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan sayurnya, maka dilain saat, maka semua makanan itu tinggal dua persepuluh bagian. Baru kemudian ia berkata; “Di dapur kaisar tidak ada barang makanan yang dapat melebihkan masakanmu ini!”
Kwee Ceng heran, “Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?” tanya ia.
Cit Kong tertawa tergelak-gelak. “Betul, kaisar telah mengundang aku!” jawabnya. Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga bulan aku sembunyi di atas penglari dapur kaisar, semua barang hidangannya kaisar telah aku cobai satu demi satu, mana yang lezat, aku hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan si kaisar yang gegaras! Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan di dapurnya itu muncul dewa si rase besar!”
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka berkata: “Ini orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya pun gede…!”
“Eh, bocah!” tertawa pula si pengemis. “Kepandaian masak istrimu ini inilah nomor satu di kolong langit ini! Seumurmu, kau sangat berbahagia! Sungguh heran, kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona semacam dia….?”
Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas berdahar, Si nona perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng sebaliknya menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya ia tidak perhatikan. Sayurannya telah dikonpa si pengemis!
Habis meludaskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya. “Eh, anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat,” katanya tiba-tiba. “Dan kau bocah perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku taju, kau tidak mengandung maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku mengajarkan kau beberapa jurus! Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai hidangan lezat, tidak enak jikalau aku tidak mengajari kau! Mari, ikut aku!”
Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan keluar.
Tanpa membilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah rimba.
“Kau ingin mempelajari apa?” Cit Kong tanya Kwee Ceng.
Pemuda itu berpikir; “Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit ini. Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup mengajarinya?” selagi si pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.
“Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku,” katanya. “Dia sering marah-marah, ingin sekali dia menandingi aku!”
“Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu…?” tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengedipi mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulutnya.
Cit Kong tertawa, ia berkata: “Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak sanggup melawan dia? Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau lihat!”
Oey Yong jalan beberapa tindak. “Engko Ceng, mari!” ia memanggil.
Pemuda itu bersangsi.
“Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?” si nona berkata. “Marilah!”
Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si pengemis: “Apa yang pernah aku pelajarkan tidak sempurna, aku minta sukalah lojinkee memberi petunjuk.”
Cit Kong tersenyum. “Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itulah lain!” katanya.
Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong berteriak. “Awas!” seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas ia menangkis. Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya menggantikan merabuh ke bawah.
“Bagus nona cilik!” berseru Ang Cit Kong. “Kau lihay!”
Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee Ceng: “Mari bertempur sungguh-sungguh….”
Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia keluarkan ilmu silat ajarannya Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat.Hebat permainannya ini disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah berapa lipat.
Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia keluarkan kepandaian ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu “Lok Eng Ciang”. Dengan begitu tenaganya lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai mengamuk rimba pohon tho. Kwee Ceng kontan menjadi repot, selagi ia kelabakan, empat kali ia terhajar punggungnya. Habis itu si nona berlompat keluar dari gelanggang, dia tertawa.
“Yong-jie, kau lihay!” Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu, sebaliknya ia girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar