Selasa, 30 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 42

BAB 42

Dalam kedukaan dan kekhawatiran, Oey Yong cuma ingat menolongi gurunya, maka itu tahu ia kapannya Auwyang Kongcu masuk ke dalam gua, hingga ia seperti lupa yang di belakangnya ada seekor anjing yang galak.
“Berat sakitnya suhu, lekas kau pikirkan daya untuk menolongi,” ia berkata pada pemuda itu. Ia berpaling, mengawasi dengan air mata berlinang-linang.
Melihat roman orang yang sangat menyedihakan itu, Auwyang Kongcu merasa kasihan. Ia berjongkok untuk melihat Ang Cit Kong, kulit muka siapa pucat dan kedua matanya terbalik. Melihat keadaan orang itu, ia justru menjadi girang sekali. Ia berdampingan sama si noa, ia mendapat cium baru harum dari tubuh si nona itu, sedang mukanya kena kebentur rambut orang. Betapa menyenangkan itu?
Kembali pemuda ini tidak dapat mengendalikan diri. Kalau tadi ia cuma menyentuh lengan si nona, sekarang ia mengulur tangan kirinya untuk merangkul pinggang orang.
Oey Yong terkejut, ia menyikut dengan meninju, tempo si anak muda berkelit, ia berlompat bangun.
Auwyang Kongcu jeri kepada Ang Cit Kong, sekarang ia mendapatkan orang tengah rebah sebagai mayat, hatinya menjadi besar sekali. Kalau tadinya ia takut menggunai kekerasan terhadap Oey Yong, sekarang ia berani. Hendak ia memaksa. Maka ia berlompat ke mulut gua, untuk menghalang. Ia tertawa.
“Adik yang baik,” katanya manis, “Terhadap lain orang aku tak biasanya menggunai kekerasan, tetapi kau begini cantik manis, kau botoh sekali, tidak dapat aku menguati hati lagi. Marilah, adik, kau mengasihkan aku satu cium…”
Sembari mengucap demikian, pemuda itu mementang tangan kirinya, ia maju setindak demi setindak.
Hatinya Oey Yong bergoncang keras.
“Ancaman bencana atas diriku hari ini berlipat sepuluh kali daripada ancamana bahaya semasa aku berada di istana Chao Wang,” berpikir si nona ini. “Kalau tidak dapat membinasakan dia, aku mesti membunuh diri. Hanya, mana aku puas…?”
Hanya dengan satu kali menggeraki tangannya, Oey Yong sudah siap dengan tempuling dan jarumnya.
Auwyang Kongcu lantas tersenyum. Ia lantas meloloskan bajunya, untuk dipakai sebagai cambuk lemas. Kembali ia maju dua tindak.
Oey Yong berdiri diam, matanya mengawasi tajam. Ia menanti orang mengangkat kaki. Belum lagi kaki itu diturunkan ke tanah, tiba-tiba ia melompat ke kiri.
Menampak itu, Auwyang Kongcu meneruskan berlompat ke kiri juga, untuk merintangi si nona itu. Tapi justru itu Oey Yong mengayunkan tangannya. Lihay si anak muda, dia menggeraki sabuk bajunya, untuk menangkis serangan jarum itu. Tapi si nona pun lihay, ia memang menggunai siasat, maka tengah pemuda itu membeli diri, ia berlompat, melesat ke luar gua!
Auwyang Kongcu benar-benar lihay, walaupun dia repot, dia toh dapat berlaku gesit luar biasa. Dia berlompat untuk menyusul, maka itu tengah lari, Oey Yong mendengar desiran angin di belakangnya. Itulah desirannya pukulan ke arah punggung. Ia tidak takut, sebaliknya, ia menjadi girang. Bukankah ia memakai baju lapis berduri? Bukankah ia pun sudah nekat? Ia tidak takut mati, asal ia dapat melukai musuh. Maka itu, ia tidak mau menangkis, hanya ia memutar tubuhnya untuk membarengi menyerang!
Auwyang Kongcu tidak berniat membinasakan si nona, kalau ia menyerang, ia melainkan mengancam, ia hendak menggoda saja, maka ketika serangan itu datang, ia batal menyerang terus, ia menangkis serangan itu, lalu ia melompat lebih jauh, untuk mendahului tiba di mulut gua.
Oey Yong berkelehai seperti kalap. Ia menyerang tanpa mengingat pembelaan diri. Dengan begini, kegagahannya seperti tambah satu kali lipat.
Adalah maksudnya Auwyang Kongcu membuat si nona itu letih, tetapi sekarang ia mesti menghadapi serangan bertubi-tubi, terpaksa ia mesti melayani juga. Di dalam keadaan seperti itu, walaupun ia lebih kosen, ia toh kewalahan juga, kesatu ia memang tidak berniat mengambil nyawa si noa, kedua ia mesti berkelahi dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain lagi sakit.
Pertempuran telah berlangsung kira enampuluh jurus ketika mendadak Oey Yong menubruk, sambil menubruk, ia menimpuk dengan jarumnya.
Auwyang Kongcu repot menangkis jarum itu, untuk itu ia mesti mengebas dengan sabuk bajunya. Disamping itu, hebat tubrukkannya Oey Yong, yang menikam ke arah tangan kanannya yang sakit itu. Hendak ia menangkis pula dengan tangan kirinya tetapi sudah tidak keburu, ujung tempuling telah mengenai lukanya itu.
Tapi juga Oey Yong tidak dapat bergirang karena hasil tikamannya itu. Baru ia menikam atau ia merasakan tangannya kesemutan, terus senjatanya terlepas jatuh ke tanah. Sebab di luar sangkaannya, walaupun dia kena ditikam, Auwyang Kongcu mengubah tangkisannya menjadi totokan kepada lengan nona itu dan tepat totokannya itu.
Si nona kaget, ia berlari terus. Ia lari sembari membungkuk.
Auwyang Kongcu tidak hendak melepaskan bakal mangsanya ini. Ia berlompat dengan pesat, ia juga membungkuk, tangan kirinya dilonjorkan ke depan, untuk menotok kaki orang, yang lagi diangkat untuk berlari. Ia berhasil, dua kali ia dapat menotok jitu, mulanya di jalan darah koanciong-hiat di kaki kiri si nona, kemudian di jalan darah tiongtouw-hiat di kaki kanan. Maka tak tempo lagi, baru bertindak dua kali, nona itu sudah lantas terguling roboh!
Lagi sekali Auwyang Kongcu berlompat, bahkan dia mendahului, untuk membeber bajunya, hingga si nona terjatuh di atas hamparan baju itu. Pemuda itu pun menggoda, sembari tertawa ia berkata: “Ah, jangan sampai kau merasa nyeri!”
Oey Yong mendapat pelajaran langsung dari ayahnya, Auwyang Kongcu mewariskan kepandaian pamannya, yang menyayang ia sebagai anak sendiri, maka itu mereka sama-sama mempunyai kepandaian yang lihay. Oey Yok Su gagah, begitu juga dengan Auwyang Hong, bahkan mereka berdua ini berimbang. Dengan demikian, pemuda dan pemudi ini seharusnya sama kosennya juga. Tapi toh Oey Yong kalah! Kenapa? Pada itu ada terselip selisih usia mereka dan temponya latihan. Oey Yong baru berumur limabelas tahun, Auwyang Kongcu sudah lebih dari tigapuluh tahun, maka itu, perbedaan waktu belajar mereka ada kira-kira duapuluh tahun. Benar Oey Yong mendapat pelajaran juga dari Ang Cit Kong tetapi belum lama dan latihannya belum sempurna. Karenanya, walaupun si pemuda terluka tangannya, ia tetap lebih unggul.
Oey Yong kaget karena robohnya itu tetapi pikirannya tidak kacau. Begitu ia jatuh, begitu ia berbalik sambil menimpuk dengan jarumnya. Kemudian ia geraki tubuhnya untuk berlompat bangun. Tidak beruntung untuknya, kedua kakinya tidak mau menurut perintah, maka juga tidak dapat ia berlompat bangun untuk berlari. Ia baru bergerak sedikit atau ia terguling pula.
Ketika itu Auwyang Kongcu mengulur sebelah tangan dengan maksud mengasih bangun. Dalam murkanya, Oey Yong meninju dengan tangan kirinya. Tapi si anak muda dapat melihat serangan itu, dengan leluasa ia menyambuti dengan tangan kirinya, dengan totokan, maka matilah tangan kiri si nona, seperti tangan kanannya yang erus ditotok juga, hingga kaki tangannya tak dapat bergerak semua. Ia mirip orang yang dibelenggu kaki tangannya itu.
Bukan main panasnya hati nona ini, ia sangat menyesal yang barusan ia tidak membunuh diri saja, hingga sekarang ia jadi kena tertawan. Ia ada begitu murka dan mendongkol. Mendadak ia merasai matanya gelap dan kepalanya pusing, seketika itu juga ia rebah tak sadarkan dirinya.
“Jangan takut, jangan takut,” berkata Auwyang Kongcu sambil tertawa, suaranya halus. Ia bertindak seraya mengulur tangan, berniat memondong nona itu. Atau mendadak
“Kau mau hidup atau mati?!” demikian satu suara keras dan kejam, suara dingin yang disusul sama tertawa ejekan.
Pemuda itu terperanjat, dengan cepat ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat Ang Cit Kong berdiri di mulut gua, tangannya memegang tongkat, matanya melirik tajam. Disaat itu pada otaknya berkelebat penuturannya pamannya dulu hari halnya Ong Tiong Yang berpura-pura mati untuk mengalahkan lawannya.
“Hai, kiranya si pengemis tua ini berpura-pura mampus!” pikirnya. “Ah, habislah aku hari ini!” Ia ketahui baik sekali kegagahannya Ang Cit Kong, ia putus asa. Tanpa berpikir lagi, ia menekuk kedua kakinya sambil berlutut ia berkata: “Aku cuma bermain-main saja sama adik Oey ini, tidak ada niatku untuk berbuat jahat terhadapnya….”
“Hm!” Pak Kay mengasih dengar suara bengis. “Bangsat bau, masih kau tidak hendak menotok bebas jalan darahnya? Apakah aku si orang tua harus turun tangan?”
Auwyang Kongcu jeri.
“Ya, ya,” ia menyahuti seraya terus menotok kaki tangannya si nonya.
“Lagi satu kali kau menginjak gua ini, jangan kau sesalkan aku!” Ang Cit Kong mengancam. “Lekas pergi!”
Sembari berkata begitu, jago tua itu bertindak ke samping.
Keponakan See Tok bagaikan menerima putusan pengampunan, cepat-cepat ia ngeloyor pergi.
Oey Yong tak tahu apa yang sudah terjadi, ketika ia sadar, ia sadar dengan perlahan-lahan. Ia membuka kedua matanya seraya merasa bagaikan tengah bermimpi.
Ang Cit kOng tidak dapat berdiri lama-lama, ia roboh sendirinya.
Melihat gurunya jatuh, Oey Yong kaget. Lupa ia pada tangan atau kakinya bekas ditotok, ia menekan tanah untuk berlompat bangun, guna menghampirkan gurunya, yang segera ia pegangi untuk dikasih bangun. Ia melihat mulut guru itu berlumuran darah, sebab ternyata tiga buah giginya sudah copot bekas kebentur tanah. Ia menjadi sangat berduka.
“Suhu!” ia memanggil.
Ang Cit Kong sadar, ia pegang ketiga buah giginya itu, terus ia tertawa.
“Gigiku, gigiku!” katanya. “Kau tidak mensia-siakan aku! Kau telah membuatnya aku si pengemis tua telah dapat mencicip segala macam barang hidangan paling lezat dan sedap di kolong langit ini! Sekarang aku si pengemis sudah sampai pada usiaku, kau telah mendahului meninggalkan aku…!”
Memang hebat sekali lukanya Pak Kay kali ini, cuma saking kuatnya tubuhnya, ia tidak mati lantas di bawah tangan jahat dari Auwyang Hong. Celaka untuk ia, ia tidak dapat obat untuk mengobati luka-lukanya itu, luka racun ular dan gempuran kuntauw Kodok yang dahsyat.
Cit Kong melihat kedukaan muridnya.
“Selama napasku masih ada, jahanam itu tidak nanti berani datang pula mengganggu padamu,” ia menghibur si nona.
Tapi Oey Yong memikir lain.
“Kita berada di dalam gua, memang jahanam itu tidak berani masuk ke mari,” demikian pikirnya. “Tetapi bagaimana dengan makan dan minum kita?”
Cit Kong pun sudah merasakan lapar. Ia melihat si nona tunduk saja.
“Bukankah kau sedang memikirkan daya mencari barang makanan?” ia menanya. Oey Yong tidak menjawab, ia melainkan mengangguk.
“Mari kau pepayang aku ke pesisir untuk menjemur di matahari,” menyuruh orang tua itu.
Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat mengerti maksud orang.
“Bagus!” serunya kegirangan. Ia pun tertawa. “Kita menangkap ikan!”
Maka bukan lagi ia pepayang gurunya itu, ia hanya menggendong, cuma jalannya dengan perlahan-lahan.
Hari ini cuaca terang berderang, angin meniup halus. Begitu terjodoh sinar matahari, begitu Ang Cit Kong merasa segar, hingga semangatnya jadi terbangun. Ia pun melihat Auwyang Kongcu lagi berdiri di tempat jauh dari mereka, ketika pemuda itu mendapatkan mereka keluar dan mengawasi padanya, dia bertindak pergi lebih jauh sedikit. Rupanya ia jeri. Dari tempat jauh itu ia terus mengawasi.
Dua-dua Cit Kong dan Oey Yong berduka, hati mereka berpikir: “Jahanam itu sangat cerdas, lama-lama pasti dia dapat mengetahui keadaan kita yang tidak berdaya…” Karena itu, mereka pun membawa sikap tenang.
Auwyang Kongcu pun agaknya lega melihat ia tidak dihampirkan.
Oey Yong sudah lantas bekerja. Lebih dulu ia pernahkan Ang Cit Kong, supaya guru ini dapat duduk sambil menyender pada sebuah batu besar, kemudian ia mencari cabang pohon yang panjang untuk dijadikan joran panjang. Untuk talinya, ia mencari babakan pohon dan untuk panjangnya, ia menekuk sebatang jarumnya hingga ujungnya bengkok. Sebagai umpan, ia mencari udang di tepian. Maka tak lama kemudian, ia sudah mulai memancing.
Satu jam tempo dipakai untuk memancing itu, akhirnya si nona memperoleh tiga ekor ikan, yang mana cukuplah untuk mereka berdua menangsal perut. Ikan itu dipanggang seperti biasanya kaum pengemis memanggang ayam.
Setelah beristirahat sebentar, Cit Kong mengajari Pak-kauw-pang. Ia memberi petunjuk sambil ia duduk menyender terus cuma tangannya digerak-geraki. Tapi ini pun menolong banyak untuk si nona yang otaknya terang, hingga dia dapat mengerti lebih banyak. Demikian mendekati sore, Oey Yong telah dapat menjalankan ilmu tongkat itu dengan baik, hingga tinggal dia berlatih terus untuk memahirkan itu.
Sesudah hilang letihnya, Oey Yong membuka baju luarnya, terus ia nyebur ke laut untuk membersihkan tubuh. Ia berenang pergi datang hingga ia ingat suatu cerita dongeng jaman Tong katanya di dalam laut ada istana raja naga serta putrinya yang elok sekali.
“Mungkin engo Ceng telah pergi ke sana?” ia ngelamun.
Karena ini ia lantas menyelam. Tiba-tiba ia merasakan kakinya sakit, lekas-lekas ia menarik pulang. Ia mendapat kenyataan kakinya itu dijepit sesuatu. Ia tidak kaget, ia menduga kepada simpling atau kerang besar. Ia lantas membungkuk, untuk melihat. Baru sekarang ia terkejut juga. Kakinya dijempit simping yang besar sekali, yang beratnya mungkin duaratus kati. Sia-sia ia menarik akkinya, sia-sia ia mencoba memengkang membuka kedua batok simping itu. Bahkan kakinya dijepit semakin keras, sampai ia merasakan sakit sekali. Saking kerasnya ia berkutatan, dua kali ia kena menenggak air laut asin.
Tentu sekali nona ini menjadi sangat penasaran. Tidak ikhlas ia mati di tangannya binatang laut itu, walaupun sebenarnya ia bersedia mati-mati bersama gurunya andaikata tetap mereka tak berdaya untuk berlalu dari pulau kosong itu. Ia memikir akal. Ia mencoba memungut batu dengan apa ia ketoki batok simping itu. Ini pun tidak memberi hasil. Batoknya simping telalu keras dan batunya terlalu kecil.
Lagi sekali ia menenggak air. Baru sekarang ia ingat suatu akal. Maka ia lepaskan batunya, sebagai gantinya ia meraup pasir, yang mana ia kasih masuk di sela-sela mulut simping itu.
Nyata binatang laut itu takut sekali pasir, begitu dia merasakan pasir masuk ke dalam mulutnya, dia pentang mulutnya itu.
Begitu ia merasakan jepitan kendor, begitu lekas juga Oey Yong menarik keras kakinya. Kali ini bebaslah ia, maka terus saja ia berenang untuk muncul di muka air. Paling dulu, ia membuang napas, untuk melegakan diri.
Cit kong di darat berkhawatir melihat si nona menyelam demikian lama, ia menduga muridnya itu menghadapi bahaya. Ia menyesal yang ia sendiri tidak dapat bergerak hingga tak bisa ia menolongi. Ia melainkan bisa mengawasi ke laut dengan jantungnya berdenyutan.
Akhir-akhirnya muncul juga si nona, maka legalah hatinya guru ini, sampai ia bersorak.
Oey Yong tidak naik ke darat, sesudah mengulapkan tangan kepada gurunya itu, ia selulup pula. Ia telah mendapat satu pikiran. Ia pergi ke tempat tadi, tapi sekarang dengan sudah bersiap. Ia turun di dekat simping itu tanpa si simping dapat mencakop padanya. Nyata binatang itu nempel batoknya dengan batu karang, dia jadi tidak bisa berenang pergi. Si nona mencoba menggempur karang itu, setelah berhasil, ia memegang simping dari bawah, terus ia bawa naik ke atas. Ia menampah seraya kakinya menjejak dasar laut, terus ia berenang ke tempat yang dangkal. Di sini simping itu tak berdaya lagi. Hanya saking beratnya binatang laut itu, tidak kuat Oey Yong mengangkat buat dibawa ke gua, maka ia mengambil saja batu besar yang mana ia pakai mennghajar batoknya. Hanya dengan beberapa kali hajaran, remuklah batok simping itu.
Puas hatinya si nona, yang kakinya sakit bekas dijepit. Bahkan malam itu bersama gurunya ia bisa menangsal perut secara memuaskan karena adanya daging simping itu yang lezat sekali.
Besok paginya, begitu mendusin, Ang Cit Kong merasai sakit pada tubuhnya berkurang. Ia mencoba memainkan napasnya, ia merasakan lega. Tanpa merasa ia berseru bahna girangnya.
Oey Yong mendusin untuk segera bangun berduduk.
“Suhu, kenapa?” ia menanya, kaget.
“Setelah tidur semalaman, aku merasai lukaku mendingan,” sahut sang guru. “Sakitnya tidak sehebat kemarin.”
Oey Yong menjadi girang.
“Mungkin ini disebabkan guru makan daging simping!” katanya. Maka berlari-larilah ia keluar guanya, ke tepi laut, untuk memotong sisa daging simping itu. Saking kegirangan, ia sampai melupai Auwyang Kongcu. Ia baru memotong dua keping tatkala ia melihat bayangan orang mendekati perlahan-lahan ke arahnya. Ia kaget tetapi ia mengerti ancaman bahaya. Baru sekarang ia ingat keponakannya See Tok itu. Diam-diam ia memungut batok simping, lalu dengan sekonyong-konyong ia menimpuk ke belakang, tubuhnya sendiri terus berlompat setombak lebih hingga ia berada di pinggiran air.
Auwyang Kongcu dapat berkelit. Dia tidak gusar, sebaliknya ia tertawa.
Sekian lama pemuda ini tidak pergi jauh dari itu orang tua dan nona, terutama ia memperhatikan gerak-geriknya Ang Cit Kong, hingga timbullah kecurigaannya bahwa raja pengemis itu tidak berdaya, tak dapat berjalan karena lukanya yang hebat. Meski begitu, ia tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk menyerbu ke dalam gua. Maka ia terus memasang mata. Pagi itu ia melihat Oey Yong keluar sendirian, pergi ke pasir, ia mengikuti. Ia girang bukan main, ia anggap ia dkaruniai ektika yang baik sekali oleh Thian. Maka ia menghampirkan si nona sambil berindap-indap. Hanya sayang, bayangannya telah menggagalkan maksudnya.
“Adik yang baik, jangan pergi!” ia berkata dengan manis. “Aku hendak bicara denganmu!”
“Orang tidak menggubrismu, apa perlunya kau menggerembengi orang?” si nona menanya. “Apakah kau tidak tahu malu?”
Melihat orang tidak gusar, senang hatinya Auwyang Kongcu. Ia jadi semakin berani. Ia mendekati pula dua tindak. Lagi-lagi ia tertawa.
“Semuanya dasar kau!” katanya. “Siapa suruh kau ada begini cantik dan manis, hingga kau membikinnya hati orang terbetot keras?”
Oey Yong tertawa.
“Aku bilang tidak menggubrismu, tetp aku tidak mau memperdulikan!” kata ia. “Percuma saja kau mengambil-ambil hatiku, membaiki padaku!”
Pemuda itu maju ppula satu tindak.
“Ah, aku tidak percaya!” katanya, tertawa. “Hendak aku mencobanya!”
Tiba-tiba si nona memperlihatkan roman keren.
“Lagi satu tindak kau maju, akan aku minta suhu menghajar padamu!” ia mengancam.
“Sudahlah!” tertawa si anak muda, membelar. “Apakah si pengemis tua masih dapat berjalan? Apakah tidak baik jikalau aku menggendong dia?”
Oey Yong terkejut, hingga ia mundur dua tindak. Inilah yang ia khawatirkan. Ia takut kalau pemuda ceriwis ini mengetahui gurunya sudah tidak berdaya.
Auwyang Kongcu tertawa pula.
“Jikalau kau ingin terjun ke laut, nah terjunlah!” katanya. “Akan aku menunggui kau di darat! Marilah kita lihat, kau yang dapat berdiam lebih lama di dalam air atau aku yang di daratan.”
“Baiklah!” si nona berseru. “Kau menghina aku, untuk selamanya aku tidak sudi bergaul denganmu!”
Nona ini lantas menutar tubuhnya, untuk lari, atau baru tiga tindak, ia roboh terguling seraya menjerit “Aduh!” karena kakinya kena menginjak batu dan terpeleset.
Keponakan Auwyang Hong ini benar-benar licin. Ia khawatir si nona hanya menggunakan tipu untuk menyerangnya dengan jarumnya tatkala ia berlompat menubruk, maka juga sebelumnya maju ia membuka dulu baju luarnya, untuk dipakai sebagai senjata pelindung diri. Ia bertindak perlahan-lahan.
“Jangan datang mendekat!” membentak si nona. Ia bangun, untuk bertindak pula, atau baru satu tindak, ia roboh kembali. Bahkan kali ini ia terguling hingga separuh tubuhnya rebah di air, ia bagaikan pingsan. Tubuhnya itu tidak bergerak lagi.
“Budak, kau sangat licik tidak nanti aku kasih diriku diperdayakan!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. Ia berdiri seraya mengawasi.
Ada seketika sehirupan the, masih si nona tidak berkutik, tubuhnya dari kepala sampai di dada masuk ke dalam air.
“Ah, dia benar-benar telah pingsan,” pikir si kongcu kemudian. “Jikalau aku tidak tolongi dia, mungkin dia mati kelelap, sayang begini cantik dan manis….”
Ia lantas bertindak maju, ia memegang kaki orang. Ia terperanjat ketika ia sudah menarik, sebab ia merasakan nona itu dingin sekali seperti membeku. Ia lekas-lekas membungkuk, untuk memeluk tubuh orang, niatnya untuk diangkat ke darat. Baru saja ia merangkul ketika kedua tangan si nona memeluk kedua kakinya seraya nona itu membentak, “Turunlah kau!”
Dalam keadaan seperti itu, Auwyang Kongcu tidak berdaya lagi, maka terceburlah ia ke laut bersama-sama si nona, yang berseru sambil membetot membuang dirinya ke laut.
Bukan kepalang kagetnya Auwyang Kongcu, hatinya terkesiap. Biarpun ia ada terlebih kosen daripada si nona, di dalam air, habislah dayanya. Ia menyesal yang walaupun ia sangat berhati-hati, masih ia kena diperdayakan si nona yang cerdik itu. Maka pikirnya: “Habislah aku kali ini…”
Oey Yong yang telah berhasil dengan tipu dayanya itu, dengan hati sangat bernafsu ia menarik orang ke tengah, ke tempat yang terlebih dalam. Percuma si anak muda mencoba berontak, ia kena teseret ke tengah. Ia telah dijambak pada kepalanya, kepala itu dibeleseki di dalam air.
Berulang-ulang pemuda itu menenggak air laut, mulanya masih terdengar suara gelogokan di tenggorokannya, habis itu ia mati daya, cuma tangan dan kakinya yang menjambret-jambret dan menendang-nendang, rupanya untuk menjambret atau menendang si nona tetapi ia tidak berhasil. Sebab Oey Yong tahu diri, dia sudah menjauhkan dirinya.
Selang sesaat, Auwyang Kongcu merasakan kakinya menginjak tanah. Ia sudah minum banyak air tetapi ia belum pingsan, ia masih ingat akan dirinya. Dasar ia lihay, pikirannya tidak menjadi kacau. Selama di tengah air, karena ia tidak bisa berenang ia tidak dapat berbuat apa-apa, akan tetapi selekasnya merasa menginjak dasar laut, mendadak ia membungkuk, untuk memegang dasar laut itu, sambil berbuat mana, ia menahan napas. Ia berhasil mengerahkan tenaga dalamnya. Ia lantas menduga-duga yang maa arah darat, tetapi di dalam air, ia tidak dapat mengenali timur atau barat, selatan atau utara. Ia mencoba berjalan juga, tangannya mencekal sebuah batu besar. Ia bertindak cepat ke arah dasar laut yang tinggi, yang menanjak.
Oey Yong melepaskan cekalannya sesudah orang kena dilelapkan dan kelabakan tidak karuan, ia muncul di muka air, akan tetapi menanti sekian lama ia tidak melihat orang timbul, ia menjadi heran. Lekas-lekas ia selulup pula.
Ia dapat menentang matanya di dalam iar, dari itu ia dapat melihat orang sedang bertindak ke arah darat. Ia terperanjat saking heran dan kagumnya. Tak ayal lagi ia berenang, menyusul. Ia menggerakkan tangan dan kakinya tanpa bersuara, setelah datang dekat, ia menikam dengan tempulingnya.
Kebetulan Auwyang Kongcu lagi mempercepat tindakannya, ia lolos dari tikaman itu. Sementara itu, ia sudah tiba di tempat yang dangkal, ia dapat berdiri dengan kepalanya di luar air. Ia melepaskan pegangannya, ia membuka kedua matanya, dan menghela napas, melegakan hatinya.
Oey Yong pun menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap anak muda itu, terpaksa ia selulup pergi.
Auwyang Kongcu merayap naik ke darat, ia merasakan kupingnya pengang dan matanya kaburm, tetapi ia masih ingat untuk lekas rebah tengkurap di tanah, untuk mengundal ke luar air dari dalam perutnya. Habis itu ia merasakan lemah sekali, seperti juga ia baru sembuh dari semacam penyakit yang berat. Terus ia beristirahat. Tentu sekali, hatinya menjadi mendongkol dan panas, hingga muncullah niatnya yang kejam.
“Biar aku mampusi dulu si pengemis bangkotan!” demikian keputusannya. “Hendak aku lihat, budak itu nanti menurut padaku atau tidak!”
Walaupun ia telah berkeputusan demikian, Auwyang Kongcu tidak segera turun tangan untuk mewujudkan itu. Ia masih sangat lelah maka ia beristirahat terus. Ia menjalankan napasnya, untuk meluruskan pernapasannya.
Sesudah berselang lama, baru ia berbangkit bangun, akan mencari sebatang pohon yang kuat, yang ia patahkan, untuk dipakai sebagai senjata, untuk menotok jalan darah. Tiba di dekat gua, ia bertindak dengan hati-hati. Biar bagaimana, ia masih jeri terhadap pengemis tua itu. Di mulut gua ia memasang kupingnya. Ia tidak dapat mendengar suara apa juga. Ia masih menanti beberapa saat, baru ia bertindak masuk. Tidak berani ia masuk langsung, ia mepet-mepet di pinggiran, majunya setindak demi setindak. Sekarang ia bisa melihat Pak Kay lagi duduk bersila menghadap matahari, orang tua itu lagi berlatih dengan ilmu dalamnya, dilihat dari air mukanya yang segar, ia seperti tidak tengah menderita luka parah.
“Baiklah aku mencoba dulu, untuk mengetahui dia dapat berjalan atau tidak,” berpikir si anak muda, yang sangat berhati-hati. Setelah diperdayakan Oey Yong, ia menjadi semakin cerdik.
“Paman Ang!” ia berseru. “Celaka! celaka…!”
Ang Cit Kong dapat mendengar teriakan itu, ia sudah lantas membuka matanya.
“Ada apa?” ia menanya.
“Adik Oey mengejar kelinci, dia terjatuh ke dalam jurang…!” ia menyahut, suaranya dibikin tak lancar. “Dia terluka parah, sampai ia tak dapat bangun!”
Nampaknya Ang Cit Kong kaget.
“Lekas tolongi dia!” dia berseru.
Mendengar perkataan orang itu, girangnya Auwyang Kongcu bukan kepalang. Ia mengerti, kalau bukannya pengemis tua itu tidak dapat berjalan, mestinya ia sendiri sudah berlompat bangun dan berlari pergi, guna menolong nona itu. Maka ia bertindak maju di mulut gua seraya sembari tertawa lebar ia berkata: “Dia telah menggunakan seribu satu akal untuk mencelakai aku, mana sudi aku menolongi dia? Pergi kau sendiri yang menolonginya?!”
Ang Cit Kong terperanjat. Kata-katanya si anak muda dan sikapnya itu menandakan bahwa orang tak jeri lagi kepadanya.
“Rupanya ia telah mendapat ketahui kepandaianku sudah musnah,” pikirnya. “Inilah tandanya telah habis lelakon hidupku…!”
Tapi Pak Kay tidak hendak menyerah dengan begitu saja, maka ia bersiap sedia untuk mati bersama. Diam-diam ia mencoba mengumpul tenaganya di tangan, untuk menghajar dengan sekali pukul. Kesudahannya ia kaget sekali. Begitu bertenaga, ia merasakan luka si punggungnya sakit, semua tulang-tulangnya seperti hendak buyar belarakan. Sementara itu ia melihat mendatangi sambil memperlihatkan muka menyeringai. Tanpa merasa ia menghela napas panjang, lantas ia meramkan kedua matanya untuk menantikan kebinasaannya….
Ketika itu Oey Yong di dalam air telah berpikir, menduga bahwa selanjutnya makin sukar melayani Auwyang Kongcu, yang mestinya jadi semakin licin. Ia selulup beberapa tombak jauhnya, baru ia muncul di muka air. Ketika ia melihat daratan, itulah bukan tempat dimana tadi ia telah bergulat sama Auwyang Kongcu. Di sini pepohonannya lebih lebat. Tiba-tiba saja ia dapat ingat pulaunya sendiri, maka ia berpikir: “Alangkah baiknya kalau aku dapat cari suatu tempat bersembunyi, untuk aku berdiam bersama suhu sambil merawati suhu, tentulah si bangsat tidak gampang-gampang dapat mencari kita…”
Habis berpikir, si nona mendarat. Ia tidak berani lantas jalan begitu saja, ia berjalan di sepanjang tepian. Ia khawatir nanti ketemu sama keponakannya Auwyang Hong itu.
“Coba dulu aku tidak terlalu gemar memain dan aku pelajari ilmu Kie-bun Ngo-heng, sekarang tentulah dapat aku melayani bangsat itu,” pikirnya pula. Ia seperti ngelamun. “Ah, sayang ayah telah menyerahkan peta Tho Hoa To kepadanya! Jahanam itu sangat cerdas, tentulah ia pun dapat memahamkan peta itu…
Berjalan seperti melamun, Oey Yong kurang memperhatikan jalanan yang dilalui. Tiba-tiba ia keserimpat oyot rotan dan terhuyung karenanya. Berbareng dengan itu di kepalanya terdengar bunyi apa-apa yang disusul sama meluruk jatuhnya butir-butir tanah keras seperti batu. Segera ia lompat nyamping, terus ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Apa yang ia saksikan membuatnya kaget sekali, hingga jantungnya berdenyutan.
Di atas itu, yang merupakan lamping, ada sebuah batu besar. Batu itu seperti merongkong sebelah, nampaknya seperti bergoyangan, hingga sembarang waktu bisa jatuh ke bawah. Pelurukan batu barusan datangnya dari bawah batu besar itu. Di batu itu pun ada melibat banyak pohon rotan, satu di antaranya ialah yang meroyot ke bawah, yang barusan kena ia injak sehingga ia keserimpat. Hancur remuk tubuhnya, andaikata batu itu jatuh dan menimpa padanya….
Masih Oey Yong dongak mengawasi, sampai kagetnya lenyap. Ia heran atas keletakannya batu itu. Itulah pengaruh sang alam. Hanya dengan disentil sekali saja mungkin batu itu jatuh ambruk. Entah sudah berapa puluh tahun batu itu bercokol di tepi jurang itu.
Sampai di situ, batal Oey Yong maju terus. Ia sekarang berjalan kembali. Ingin ia melihat gurunya. Ia belum berjalan jauh ketika mendadak ia mendapat satu pikiran.
“Yang Maha Kuasa hendak membinasakan jahanam itu maka juga telah diciptakan ini batu luar biasa,” demikian pikirnya. “Kenapa aku jadi setolol ini?”
Girang luar biasa nona ini hingga ia berjingkrakan jungkir balik dua kali. Ia lantas lari kembali ke tempat batu tadi, ia memasang mata untuk memperhatikan keletakannya. Di samping itu ada banyak pohon yang besar dan tinggi. Kalau orang berlompat menyingkir, paling jauh juga orang dapat berlompat empat atau lima kaki. Kalau batu jatuh, burung sekalipun tak keburu terbang menyingkir….
Segera nona ini mengeluarkan pisau belatinya, yang panjang empat dim kira-kira. Itulah pisau peranti menyembelih ayam atau memotong daging. Ia cekal itu di tangan kanan, lantas ia bertindak turun ke lembah. Ia perdatakan tujuh atau delapan oyot rotan yang melibat batu besar itu, ia tidak mengganggunya, hanya ia memotong putus beberapa puluh oyot lainnya. Ia bekerja cepat, saban-saban ia menahan napas dan menghela. Ia pun berlaku hati-hati, supaya ia tidak usah membikin batu itu kena tertarik. Karena ia mesti mengutungi puluhan oyot, ia menjadi mandi keringat. Kemudian, setelah mengumpulkan semua oyot itu, agak tak kentara sudah diputuskan, baru ia bertindak pergi. Ia mencoba mengingati baik-baik tempat ini. Ia berjalan sambil bernyanyi dengan perlahan, suatu tanda ia merasa puas sekali.
Selagi mendekati gua, si nona tidak melihat Auwyang Kongcu. Ia berjalan terus. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tertawa panjang dan nyaring yang keluar dari dalam gua. Ia kenali suaranya si anak muda, yang mana disusul sama kata-katanya yang nyaring: “Kau sombongkan kepandaianmu yang lihay, sekarang kau roboh di tangan kongcumu? Kau takluk tidak? Baiklah, karena aku berkasihan untuk usiamu yang sudah lanjut, aku menyerah untuk kau menyerang dulu tiga kali! Bagaimana?”
Takutnya Oey Yong bukan main. Ia insyaf bahaya yang mengancam gurunya itu. Ia tapinya cerdik luar biasa. Disaat berbahya seperti itu, ia mendapat akal.
“Ayah, ayah!” ia berteriak-teriak. “Kenapa kau datang ke mari? Eh, kau juga Auwyang Peehu? Kenapa kau pun datang?”
Nyaring suaranya si nona, suara itu terdengar sampai di dalam gua.
Auwyang Kongcu tengah mempermainkan Ang Cit Kong, yang ia hendak membinasakannya, dia menjadi kaget sekali mendengar suara si nona.
“Ah, kenapa pamanku bisa datang bersama-sama Oey Lao Shia?” pikirnya. Ia sangat bersangsi, hingga ia memikir pula: “Jangan ini pun main gilanya si budak cilik. Ia hendak menolongi pengemis bangkotan ini, dia menipu aku supaya aku keluar…. Tapi tak apa, baik aku melihat dulu, pengemis ini toh tak bakal lolos dari tanganku!”
Maka ia bertindak keluar dari gua.
Oey Yong berada di tepian, di pasir.
“Ayah! Ayah!” suaranya terdengar, tangannya di ulap-ulapkan.
Auwyang Kongcu memandang jauh, di sekitarnya juga. Ia tidak melihat siapa juga di antara mereka apa pula Oey Yok Su atau pamannya. Maka ia tertawa terbahak-bahak.
“Adikku, kau memancing aku supaya aku menemani kau?” katanya. “Kau lihat, bukankah aku sudah keluar?”
Si nona menoleh, ia tertawa, matanya pun memain.
“Siapa kesudian mendustai kau?” katanya manis. Dan ia lari di sepanjang pasir.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Kali ini aku telah bersiaga,” katanya. “Jikalau kau memikir untuk menyeret pula aku ke laut, marilah kita mencoba-coba!”
Sembari berkata, pemuda ini lari untuk mengejar. Hebat ilmunya ringan tubuh, sebentar saja dia sudah datang dekati si nona.
“Celaka…” mengeluh Oey Yong. “Kalau aku tidak keburu sampai di batu itu, pasti dia bakal dapat menawan aku…” Maka ia lari terus sekuatnya.
Lagi beberapa puluh tombak, Auwyang Kongcu telah datang semakin dekat.
Oey Yong lari ke kiri, mendekati laut, tinggal lagi beberapa kaki.
Benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi cerdik, tidak mau ia mendekati.
“Baiklah, mari kita main perak umpat!” katanya tertawa. Ia maju pula, ia terus waspada.
Oey Yong menghentikan tindakannya, ia juga tertawa.
“Di depan sana ada seekor harimau galak,” katanya, “Jikalau kau tetap menyusul aku, kau nanti diterkam dan digegares olehnya!”
“Aku sendiri pun harimau!” tertawa si anak muda. Ia tidak percaya perkataan orang. “Aku pun hendak mencplok padamu!”
Oey Yong tertawa, tanpa menyahuti ia lari pula.
Demikian mereka main lari-larian atau kejar-kejaran hingga mereka datang dekat ke batu separuh tergantung itu. Di sini Oey Yong lari makin keras. Ia harus menang tempo.
“Mari!” ia menantang. Dan ia berlompat pesat ke arah depan batu.
Hanya sekelebatan, ia merasa melihat bayangan orang di pesisir. Tapi ia lagi menghadapi saat tegang itu, biar pun ia heran,ia tidak sempat mencari tahu. Ia lari terus sampai di tempat oyot rotan tadi. Dengan tiga kali lompatan, tibalah ia di lembah.
“Mana si harimau?” tanya Auwyang Kongcu mengejek. Ia pun menambah pesatnya larinya, sehingga ia juga tiba di depan lembah.
Sekonyong-konyong pemuda ini mendengar suara berkeresek di atasan kepalanya, suaranya itu disusul sama sambaran angin. Ia lantas menagangkat kepalanya, dongak untuk melihat. Bukan main kagetnya ia. Ia menampak sebuah batu besar justru jatuh ke arahnya. Tidak ada jalan lain. Ia berlompat ke samping. Ia lompat tanpa melihat lagi arahnya. Ia terkejut ketika ia merasakan tubuhnya membentur sebuah pohon, yang terus patah dan bagian patahannya melukai punggungnya. Lupa ia pada rasa sakit, ia cuma ingat menyingkir, menyingkir…. Ia mencoba berlompat pula….
Disaat seperti itu, Auwyang Kongcu sudah seperti pingsan, tetapi ia masih merasakan ada tangan yang kuat yang menyambar menjambak batang lehernya, terus ia ditarik. Meski begitu, jatuhnya batu cepat luar biasa, ia masih ketimpa juga, maka robohlah ia dibarengi jeritannya yang hebat sekali, debu dan batu pun muncrat! Debu itu mengepul bagaikan uap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar