BAB 42
Dalam
kedukaan dan kekhawatiran, Oey Yong cuma ingat menolongi gurunya, maka itu tahu
ia kapannya Auwyang Kongcu masuk ke dalam gua, hingga ia seperti lupa yang di
belakangnya ada seekor anjing yang galak.
“Berat
sakitnya suhu, lekas kau pikirkan daya untuk menolongi,” ia berkata pada pemuda
itu. Ia berpaling, mengawasi dengan air mata berlinang-linang.
Melihat
roman orang yang sangat menyedihakan itu, Auwyang Kongcu
merasa kasihan. Ia berjongkok untuk melihat Ang Cit Kong, kulit muka siapa pucat dan kedua
matanya terbalik. Melihat keadaan orang itu, ia justru menjadi girang sekali.
Ia berdampingan sama si noa, ia mendapat cium baru harum dari tubuh si nona
itu, sedang mukanya kena kebentur rambut orang. Betapa menyenangkan itu?
Kembali
pemuda ini tidak dapat mengendalikan diri. Kalau tadi ia cuma menyentuh lengan
si nona, sekarang ia mengulur tangan kirinya untuk merangkul pinggang orang.
Oey Yong terkejut, ia menyikut dengan meninju, tempo si
anak muda berkelit, ia berlompat bangun.
Auwyang Kongcu jeri kepada Ang Cit Kong, sekarang ia
mendapatkan orang tengah rebah sebagai mayat, hatinya menjadi besar sekali.
Kalau tadinya ia takut menggunai kekerasan terhadap Oey Yong, sekarang ia berani.
Hendak ia memaksa. Maka ia berlompat ke mulut gua, untuk menghalang. Ia
tertawa.
“Adik yang baik,” katanya manis, “Terhadap lain orang aku
tak biasanya menggunai kekerasan, tetapi kau begini cantik manis, kau botoh
sekali, tidak dapat aku menguati hati lagi. Marilah, adik, kau mengasihkan aku
satu cium…”
Sembari mengucap demikian, pemuda itu mementang tangan
kirinya, ia maju setindak demi setindak.
Hatinya Oey Yong bergoncang keras.
“Ancaman
bencana atas diriku hari ini berlipat sepuluh kali daripada ancamana bahaya
semasa aku berada di istana Chao
Wang,” berpikir si nona ini.
“Kalau tidak dapat membinasakan dia, aku mesti membunuh diri. Hanya, mana aku
puas…?”
Hanya
dengan satu kali menggeraki tangannya, Oey Yong
sudah siap dengan tempuling dan jarumnya.
Auwyang Kongcu lantas tersenyum. Ia
lantas meloloskan bajunya, untuk dipakai sebagai cambuk lemas. Kembali ia maju dua tindak.
Oey Yong berdiri diam, matanya mengawasi tajam. Ia
menanti orang mengangkat kaki. Belum lagi kaki itu diturunkan ke tanah, tiba-tiba
ia melompat ke kiri.
Menampak itu, Auwyang Kongcu meneruskan berlompat ke kiri
juga, untuk merintangi si nona itu. Tapi justru itu Oey Yong mengayunkan
tangannya. Lihay si anak muda, dia menggeraki sabuk bajunya, untuk menangkis
serangan jarum itu. Tapi si nona pun lihay, ia memang menggunai siasat, maka
tengah pemuda itu membeli diri, ia berlompat, melesat ke luar gua!
Auwyang Kongcu benar-benar lihay, walaupun dia repot, dia
toh dapat berlaku gesit luar biasa. Dia berlompat untuk menyusul, maka itu
tengah lari, Oey Yong mendengar desiran angin di belakangnya. Itulah desirannya
pukulan ke arah punggung. Ia tidak takut, sebaliknya, ia menjadi girang.
Bukankah ia memakai baju lapis berduri? Bukankah ia pun sudah nekat? Ia tidak
takut mati, asal ia dapat melukai musuh. Maka itu, ia tidak mau menangkis,
hanya ia memutar tubuhnya untuk membarengi menyerang!
Auwyang Kongcu tidak berniat membinasakan si nona, kalau
ia menyerang, ia melainkan mengancam, ia hendak menggoda saja, maka ketika
serangan itu datang, ia batal menyerang terus, ia menangkis serangan itu, lalu
ia melompat lebih jauh, untuk mendahului tiba di mulut gua.
Oey Yong berkelehai seperti kalap. Ia menyerang tanpa
mengingat pembelaan diri. Dengan begini, kegagahannya seperti tambah satu kali
lipat.
Adalah maksudnya Auwyang Kongcu membuat si nona itu
letih, tetapi sekarang ia mesti menghadapi serangan bertubi-tubi, terpaksa ia
mesti melayani juga. Di dalam keadaan seperti itu, walaupun ia lebih kosen, ia
toh kewalahan juga, kesatu ia memang tidak berniat mengambil nyawa si noa,
kedua ia mesti berkelahi dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain lagi
sakit.
Pertempuran telah berlangsung kira enampuluh jurus ketika
mendadak Oey Yong menubruk, sambil menubruk, ia menimpuk dengan jarumnya.
Auwyang Kongcu repot menangkis jarum itu, untuk itu ia
mesti mengebas dengan sabuk bajunya. Disamping itu, hebat tubrukkannya Oey
Yong, yang menikam ke arah tangan kanannya yang sakit itu. Hendak ia menangkis
pula dengan tangan kirinya tetapi sudah tidak keburu, ujung tempuling telah
mengenai lukanya itu.
Tapi juga Oey Yong tidak dapat bergirang karena hasil
tikamannya itu. Baru ia menikam atau ia merasakan tangannya kesemutan, terus
senjatanya terlepas jatuh ke tanah. Sebab di luar sangkaannya, walaupun dia
kena ditikam, Auwyang Kongcu mengubah tangkisannya menjadi totokan kepada
lengan nona itu dan tepat totokannya itu.
Si nona kaget, ia berlari terus. Ia lari sembari
membungkuk.
Auwyang Kongcu tidak hendak melepaskan bakal mangsanya
ini. Ia berlompat dengan pesat, ia juga membungkuk, tangan kirinya dilonjorkan
ke depan, untuk menotok kaki orang, yang lagi diangkat untuk berlari. Ia
berhasil, dua kali ia dapat menotok jitu, mulanya di jalan darah koanciong-hiat
di kaki kiri si nona, kemudian di jalan darah tiongtouw-hiat di kaki kanan.
Maka tak tempo lagi, baru bertindak dua kali, nona itu sudah lantas terguling
roboh!
Lagi sekali Auwyang Kongcu berlompat, bahkan dia
mendahului, untuk membeber bajunya, hingga si nona terjatuh di atas hamparan
baju itu. Pemuda itu pun menggoda, sembari tertawa ia berkata: “Ah, jangan
sampai kau merasa nyeri!”
Oey Yong mendapat pelajaran langsung dari ayahnya,
Auwyang Kongcu mewariskan kepandaian pamannya, yang menyayang ia sebagai anak
sendiri, maka itu mereka sama-sama mempunyai kepandaian yang lihay. Oey Yok Su
gagah, begitu juga dengan Auwyang Hong, bahkan mereka berdua ini berimbang.
Dengan demikian, pemuda dan pemudi ini seharusnya sama kosennya juga. Tapi toh
Oey Yong kalah! Kenapa? Pada itu ada terselip selisih usia mereka dan temponya
latihan. Oey Yong baru berumur limabelas tahun, Auwyang Kongcu sudah lebih dari
tigapuluh tahun, maka itu, perbedaan waktu belajar mereka ada kira-kira
duapuluh tahun. Benar Oey Yong mendapat pelajaran juga dari Ang Cit Kong tetapi
belum lama dan latihannya belum sempurna. Karenanya, walaupun si pemuda terluka
tangannya, ia tetap lebih unggul.
Oey Yong kaget karena robohnya itu tetapi pikirannya
tidak kacau. Begitu ia jatuh, begitu ia berbalik sambil menimpuk dengan
jarumnya. Kemudian ia geraki tubuhnya untuk berlompat bangun. Tidak beruntung
untuknya, kedua kakinya tidak mau menurut perintah, maka juga tidak dapat ia
berlompat bangun untuk berlari. Ia baru bergerak sedikit atau ia terguling
pula.
Ketika itu Auwyang Kongcu mengulur sebelah tangan dengan
maksud mengasih bangun. Dalam murkanya, Oey Yong meninju dengan tangan kirinya.
Tapi si anak muda dapat melihat serangan itu, dengan leluasa ia menyambuti
dengan tangan kirinya, dengan totokan, maka matilah tangan kiri si nona,
seperti tangan kanannya yang erus ditotok juga, hingga kaki tangannya tak dapat
bergerak semua. Ia mirip orang yang dibelenggu kaki tangannya itu.
Bukan main panasnya hati nona ini, ia sangat menyesal
yang barusan ia tidak membunuh diri saja, hingga sekarang ia jadi kena tertawan.
Ia ada begitu murka dan mendongkol. Mendadak ia merasai matanya gelap dan
kepalanya pusing, seketika itu juga ia rebah tak sadarkan dirinya.
“Jangan takut, jangan takut,” berkata Auwyang Kongcu
sambil tertawa, suaranya halus. Ia bertindak seraya mengulur tangan, berniat
memondong nona itu. Atau mendadak
“Kau mau hidup atau mati?!” demikian satu suara keras dan
kejam, suara dingin yang disusul sama tertawa ejekan.
Pemuda itu terperanjat, dengan cepat ia menoleh. Untuk
kagetnya, ia melihat Ang Cit Kong berdiri di mulut gua, tangannya memegang
tongkat, matanya melirik tajam. Disaat itu pada otaknya berkelebat penuturannya
pamannya dulu hari halnya Ong Tiong Yang berpura-pura mati untuk mengalahkan
lawannya.
“Hai, kiranya si pengemis tua ini berpura-pura mampus!”
pikirnya. “Ah, habislah aku hari ini!” Ia ketahui baik sekali kegagahannya Ang
Cit Kong, ia putus asa. Tanpa berpikir lagi, ia menekuk kedua kakinya sambil
berlutut ia berkata: “Aku cuma bermain-main saja sama adik Oey ini, tidak ada
niatku untuk berbuat jahat terhadapnya….”
“Hm!” Pak Kay mengasih dengar suara bengis. “Bangsat bau,
masih kau tidak hendak menotok bebas jalan darahnya? Apakah aku si orang tua
harus turun tangan?”
Auwyang Kongcu jeri.
“Ya, ya,” ia menyahuti seraya terus menotok kaki tangannya
si nonya.
“Lagi satu kali kau menginjak gua ini, jangan kau
sesalkan aku!” Ang Cit Kong mengancam. “Lekas pergi!”
Sembari berkata begitu, jago tua itu bertindak ke
samping.
Keponakan See Tok bagaikan menerima putusan pengampunan,
cepat-cepat ia ngeloyor pergi.
Oey Yong tak tahu apa yang sudah terjadi, ketika ia
sadar, ia sadar dengan perlahan-lahan. Ia membuka kedua matanya seraya merasa
bagaikan tengah bermimpi.
Ang Cit kOng tidak dapat berdiri lama-lama, ia roboh
sendirinya.
Melihat gurunya jatuh, Oey Yong kaget. Lupa ia pada
tangan atau kakinya bekas ditotok, ia menekan tanah untuk berlompat bangun,
guna menghampirkan gurunya, yang segera ia pegangi untuk dikasih bangun. Ia
melihat mulut guru itu berlumuran darah, sebab ternyata tiga buah giginya sudah
copot bekas kebentur tanah. Ia menjadi sangat berduka.
“Suhu!” ia memanggil.
Ang Cit Kong sadar, ia pegang ketiga buah giginya itu,
terus ia tertawa.
“Gigiku, gigiku!” katanya. “Kau tidak mensia-siakan aku!
Kau telah membuatnya aku si pengemis tua telah dapat mencicip segala macam
barang hidangan paling lezat dan sedap di kolong langit ini! Sekarang aku si
pengemis sudah sampai pada usiaku, kau telah mendahului meninggalkan aku…!”
Memang hebat sekali lukanya Pak Kay kali ini, cuma saking
kuatnya tubuhnya, ia tidak mati lantas di bawah tangan jahat dari Auwyang Hong.
Celaka untuk ia, ia tidak dapat obat untuk mengobati luka-lukanya itu, luka
racun ular dan gempuran kuntauw Kodok yang dahsyat.
Cit Kong melihat kedukaan
muridnya.
“Selama napasku masih ada, jahanam itu tidak nanti berani
datang pula mengganggu padamu,” ia menghibur si nona.
Tapi Oey Yong memikir lain.
“Kita
berada di dalam gua, memang jahanam itu tidak berani masuk ke mari,” demikian pikirnya. “Tetapi bagaimana dengan
makan dan minum kita?”
Cit Kong pun sudah merasakan
lapar. Ia melihat si nona tunduk saja.
“Bukankah kau sedang memikirkan daya mencari barang
makanan?” ia menanya. Oey Yong tidak menjawab, ia melainkan mengangguk.
“Mari kau pepayang aku ke pesisir untuk menjemur di
matahari,” menyuruh orang tua itu.
Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat mengerti maksud
orang.
“Bagus!” serunya kegirangan. Ia pun tertawa. “Kita
menangkap ikan!”
Maka bukan lagi ia pepayang gurunya itu, ia hanya
menggendong, cuma jalannya dengan perlahan-lahan.
Hari
ini cuaca terang berderang, angin meniup halus. Begitu terjodoh sinar matahari,
begitu Ang Cit Kong
merasa segar, hingga semangatnya jadi terbangun. Ia
pun melihat Auwyang
Kongcu lagi berdiri di tempat jauh
dari mereka, ketika pemuda itu mendapatkan mereka keluar dan mengawasi padanya,
dia bertindak pergi lebih jauh sedikit. Rupanya ia jeri.
Dari tempat jauh itu ia terus mengawasi.
Dua-dua Cit Kong dan Oey Yong berduka, hati mereka
berpikir: “Jahanam itu sangat cerdas, lama-lama pasti dia dapat mengetahui keadaan
kita yang tidak berdaya…” Karena itu, mereka pun membawa sikap tenang.
Auwyang Kongcu pun agaknya lega melihat ia tidak
dihampirkan.
Oey Yong sudah lantas
bekerja. Lebih dulu ia pernahkan Ang Cit Kong, supaya guru ini dapat duduk sambil
menyender pada sebuah batu besar, kemudian ia mencari cabang pohon yang panjang
untuk dijadikan joran panjang. Untuk talinya, ia mencari babakan pohon dan
untuk panjangnya, ia menekuk sebatang jarumnya hingga ujungnya bengkok. Sebagai
umpan, ia mencari udang di tepian. Maka tak lama kemudian, ia sudah mulai
memancing.
Satu
jam tempo dipakai untuk memancing itu, akhirnya si nona memperoleh tiga ekor
ikan, yang mana cukuplah untuk mereka berdua menangsal perut. Ikan itu
dipanggang seperti biasanya kaum pengemis memanggang ayam.
Setelah
beristirahat sebentar, Cit
Kong mengajari Pak-kauw-pang. Ia memberi petunjuk sambil ia duduk menyender terus cuma tangannya
digerak-geraki. Tapi ini pun menolong banyak untuk si nona yang otaknya terang,
hingga dia dapat mengerti lebih banyak. Demikian mendekati sore, Oey Yong telah
dapat menjalankan ilmu tongkat itu dengan baik, hingga tinggal dia berlatih
terus untuk memahirkan itu.
Sesudah hilang letihnya, Oey Yong membuka baju luarnya,
terus ia nyebur ke laut untuk membersihkan tubuh. Ia berenang pergi datang
hingga ia ingat suatu cerita dongeng jaman Tong katanya di dalam laut ada
istana raja naga serta putrinya yang elok sekali.
“Mungkin engo Ceng telah pergi ke sana?” ia ngelamun.
Karena ini ia lantas menyelam. Tiba-tiba ia merasakan kakinya
sakit, lekas-lekas ia menarik pulang. Ia mendapat kenyataan kakinya itu dijepit
sesuatu. Ia tidak kaget, ia menduga kepada simpling atau kerang besar. Ia
lantas membungkuk, untuk melihat. Baru sekarang ia terkejut juga. Kakinya dijempit
simping yang besar sekali, yang beratnya mungkin duaratus kati. Sia-sia ia menarik akkinya, sia-sia ia mencoba memengkang membuka kedua
batok simping itu. Bahkan kakinya dijepit semakin keras, sampai ia merasakan
sakit sekali. Saking kerasnya ia berkutatan, dua kali ia kena menenggak air
laut asin.
Tentu sekali nona ini menjadi sangat penasaran. Tidak
ikhlas ia mati di tangannya binatang laut itu, walaupun sebenarnya ia bersedia
mati-mati bersama gurunya andaikata tetap mereka tak berdaya untuk berlalu dari
pulau kosong itu. Ia memikir akal. Ia mencoba memungut batu dengan apa ia
ketoki batok simping itu. Ini pun tidak memberi hasil. Batoknya simping telalu
keras dan batunya terlalu kecil.
Lagi sekali ia menenggak air. Baru sekarang ia ingat
suatu akal. Maka ia lepaskan batunya, sebagai gantinya ia meraup pasir, yang
mana ia kasih masuk di sela-sela mulut simping itu.
Nyata binatang laut itu takut sekali pasir, begitu dia
merasakan pasir masuk ke dalam mulutnya, dia pentang mulutnya itu.
Begitu ia merasakan jepitan kendor, begitu lekas juga Oey
Yong menarik keras kakinya. Kali ini bebaslah ia, maka terus saja ia berenang
untuk muncul di muka air. Paling dulu, ia membuang napas, untuk melegakan diri.
Cit kong di darat berkhawatir melihat si nona menyelam
demikian lama, ia menduga muridnya itu menghadapi bahaya. Ia menyesal yang ia
sendiri tidak dapat bergerak hingga tak bisa ia menolongi. Ia melainkan bisa
mengawasi ke laut dengan jantungnya berdenyutan.
Akhir-akhirnya muncul juga si nona, maka legalah hatinya
guru ini, sampai ia bersorak.
Oey Yong tidak naik ke darat, sesudah mengulapkan tangan
kepada gurunya itu, ia selulup pula. Ia telah mendapat satu pikiran. Ia pergi
ke tempat tadi, tapi sekarang dengan sudah bersiap. Ia turun di dekat simping itu tanpa si simping dapat mencakop padanya.
Nyata binatang itu nempel batoknya dengan batu karang, dia jadi tidak bisa
berenang pergi. Si nona mencoba menggempur karang itu, setelah berhasil, ia
memegang simping dari bawah, terus ia bawa naik ke atas. Ia menampah seraya
kakinya menjejak dasar laut, terus ia berenang ke tempat yang dangkal. Di sini
simping itu tak berdaya lagi. Hanya saking beratnya binatang laut itu, tidak
kuat Oey Yong mengangkat buat dibawa ke gua, maka ia mengambil saja batu besar
yang mana ia pakai mennghajar batoknya. Hanya dengan beberapa kali hajaran,
remuklah batok simping itu.
Puas hatinya si nona, yang kakinya sakit bekas dijepit.
Bahkan malam itu bersama gurunya ia bisa menangsal perut secara memuaskan
karena adanya daging simping itu yang lezat sekali.
Besok paginya, begitu mendusin, Ang Cit Kong merasai
sakit pada tubuhnya berkurang. Ia mencoba memainkan napasnya, ia merasakan
lega. Tanpa merasa ia berseru bahna girangnya.
Oey Yong mendusin untuk segera bangun berduduk.
“Suhu, kenapa?” ia menanya, kaget.
“Setelah tidur semalaman, aku merasai lukaku mendingan,”
sahut sang guru. “Sakitnya tidak sehebat kemarin.”
Oey Yong menjadi girang.
“Mungkin ini disebabkan guru makan daging simping!”
katanya. Maka berlari-larilah ia keluar guanya, ke tepi laut, untuk memotong
sisa daging simping itu. Saking kegirangan, ia sampai melupai Auwyang Kongcu.
Ia baru memotong dua keping tatkala ia melihat bayangan orang mendekati
perlahan-lahan ke arahnya. Ia kaget tetapi ia mengerti ancaman bahaya. Baru
sekarang ia ingat keponakannya See Tok itu. Diam-diam ia memungut batok
simping, lalu dengan sekonyong-konyong ia menimpuk ke belakang, tubuhnya
sendiri terus berlompat setombak lebih hingga ia berada di pinggiran air.
Auwyang Kongcu dapat berkelit. Dia tidak gusar,
sebaliknya ia tertawa.
Sekian lama pemuda ini tidak pergi jauh dari itu orang
tua dan nona, terutama ia memperhatikan gerak-geriknya Ang Cit Kong, hingga
timbullah kecurigaannya bahwa raja pengemis itu tidak berdaya, tak dapat
berjalan karena lukanya yang hebat. Meski begitu, ia tidak mempunyai nyali yang
cukup besar untuk menyerbu ke dalam gua. Maka ia terus
memasang mata. Pagi itu ia melihat Oey Yong keluar sendirian, pergi ke pasir,
ia mengikuti. Ia girang bukan main, ia anggap ia dkaruniai ektika yang baik
sekali oleh Thian. Maka ia menghampirkan si nona sambil berindap-indap. Hanya
sayang, bayangannya telah menggagalkan maksudnya.
“Adik yang baik, jangan pergi!” ia berkata dengan manis.
“Aku hendak bicara denganmu!”
“Orang tidak menggubrismu, apa perlunya kau menggerembengi
orang?” si nona menanya. “Apakah kau tidak tahu malu?”
Melihat orang tidak gusar, senang hatinya Auwyang Kongcu.
Ia jadi semakin berani. Ia mendekati pula dua tindak. Lagi-lagi ia tertawa.
“Semuanya dasar kau!” katanya. “Siapa suruh kau ada begini
cantik dan manis, hingga kau membikinnya hati orang terbetot keras?”
Oey Yong tertawa.
“Aku bilang tidak menggubrismu, tetp aku tidak mau
memperdulikan!” kata ia. “Percuma saja kau mengambil-ambil hatiku, membaiki
padaku!”
Pemuda itu maju ppula satu tindak.
“Ah, aku tidak percaya!” katanya, tertawa. “Hendak aku
mencobanya!”
Tiba-tiba si nona memperlihatkan roman keren.
“Lagi satu tindak kau maju, akan aku minta suhu menghajar
padamu!” ia mengancam.
“Sudahlah!” tertawa si anak muda, membelar. “Apakah si pengemis
tua masih dapat berjalan? Apakah tidak baik jikalau aku menggendong dia?”
Oey Yong terkejut, hingga ia mundur dua tindak. Inilah
yang ia khawatirkan. Ia takut kalau pemuda ceriwis ini mengetahui gurunya sudah
tidak berdaya.
Auwyang Kongcu tertawa pula.
“Jikalau kau ingin terjun ke laut, nah terjunlah!”
katanya. “Akan aku menunggui kau di darat! Marilah kita lihat, kau yang dapat
berdiam lebih lama di dalam air atau aku yang di daratan.”
“Baiklah!” si nona berseru. “Kau menghina aku, untuk
selamanya aku tidak sudi bergaul denganmu!”
Nona ini lantas menutar tubuhnya, untuk lari, atau baru
tiga tindak, ia roboh terguling seraya menjerit “Aduh!” karena kakinya kena
menginjak batu dan terpeleset.
Keponakan Auwyang Hong ini benar-benar
licin. Ia khawatir si nona hanya menggunakan tipu untuk menyerangnya dengan
jarumnya tatkala ia berlompat menubruk, maka juga sebelumnya maju ia membuka
dulu baju luarnya, untuk dipakai sebagai senjata pelindung diri. Ia bertindak
perlahan-lahan.
“Jangan
datang mendekat!” membentak si nona. Ia bangun, untuk bertindak pula, atau baru
satu tindak, ia roboh kembali. Bahkan kali ini ia terguling hingga separuh
tubuhnya rebah di air, ia bagaikan pingsan. Tubuhnya itu tidak bergerak lagi.
“Budak,
kau sangat licik tidak nanti aku kasih diriku diperdayakan!” kata Auwyang Kongcu
dalam hatinya. Ia berdiri seraya mengawasi.
Ada seketika sehirupan
the, masih si nona tidak berkutik, tubuhnya dari kepala sampai di dada masuk ke
dalam air.
“Ah, dia benar-benar telah pingsan,” pikir si kongcu kemudian.
“Jikalau aku tidak tolongi dia, mungkin dia mati kelelap, sayang begini cantik
dan manis….”
Ia lantas bertindak maju, ia memegang kaki orang. Ia
terperanjat ketika ia sudah menarik, sebab ia merasakan nona itu dingin sekali
seperti membeku. Ia lekas-lekas membungkuk, untuk memeluk tubuh orang, niatnya
untuk diangkat ke darat. Baru saja ia merangkul ketika kedua tangan si nona
memeluk kedua kakinya seraya nona itu membentak, “Turunlah kau!”
Dalam keadaan seperti itu, Auwyang Kongcu tidak berdaya
lagi, maka terceburlah ia ke laut bersama-sama si nona, yang berseru sambil
membetot membuang dirinya ke laut.
Bukan kepalang kagetnya Auwyang Kongcu, hatinya
terkesiap. Biarpun ia ada terlebih kosen daripada si nona, di dalam air,
habislah dayanya. Ia menyesal yang walaupun ia sangat berhati-hati, masih ia
kena diperdayakan si nona yang cerdik itu. Maka pikirnya: “Habislah aku kali
ini…”
Oey Yong yang telah berhasil dengan tipu dayanya itu,
dengan hati sangat bernafsu ia menarik orang ke tengah, ke tempat yang terlebih
dalam. Percuma si anak muda mencoba berontak, ia kena teseret ke tengah. Ia
telah dijambak pada kepalanya, kepala itu dibeleseki di dalam air.
Berulang-ulang pemuda itu menenggak air laut, mulanya
masih terdengar suara gelogokan di tenggorokannya, habis itu ia mati daya, cuma
tangan dan kakinya yang menjambret-jambret dan menendang-nendang, rupanya untuk
menjambret atau menendang si nona tetapi ia tidak berhasil. Sebab Oey Yong tahu
diri, dia sudah menjauhkan dirinya.
Selang sesaat, Auwyang Kongcu merasakan kakinya menginjak
tanah. Ia sudah minum banyak air tetapi ia belum pingsan, ia masih ingat akan
dirinya. Dasar ia lihay, pikirannya tidak menjadi kacau. Selama di tengah air,
karena ia tidak bisa berenang ia tidak dapat berbuat apa-apa, akan tetapi
selekasnya merasa menginjak dasar laut, mendadak ia membungkuk, untuk memegang
dasar laut itu, sambil berbuat mana, ia menahan napas. Ia berhasil mengerahkan
tenaga dalamnya. Ia lantas menduga-duga yang maa arah darat, tetapi di dalam
air, ia tidak dapat mengenali timur atau barat, selatan atau utara. Ia mencoba
berjalan juga, tangannya mencekal sebuah batu besar. Ia bertindak cepat ke arah
dasar laut yang tinggi, yang menanjak.
Oey Yong melepaskan cekalannya sesudah orang kena
dilelapkan dan kelabakan tidak karuan, ia muncul di muka air, akan tetapi
menanti sekian lama ia tidak melihat orang timbul, ia menjadi heran.
Lekas-lekas ia selulup pula.
Ia dapat menentang matanya di dalam iar, dari itu ia
dapat melihat orang sedang bertindak ke arah darat. Ia terperanjat saking heran
dan kagumnya. Tak ayal lagi ia berenang, menyusul. Ia menggerakkan tangan dan
kakinya tanpa bersuara, setelah datang dekat, ia menikam dengan tempulingnya.
Kebetulan Auwyang Kongcu lagi mempercepat tindakannya, ia
lolos dari tikaman itu. Sementara itu, ia sudah tiba di tempat yang dangkal, ia
dapat berdiri dengan kepalanya di luar air. Ia melepaskan pegangannya, ia
membuka kedua matanya, dan menghela napas, melegakan hatinya.
Oey Yong pun menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap anak muda itu, terpaksa ia
selulup pergi.
Auwyang Kongcu merayap naik ke darat, ia merasakan
kupingnya pengang dan matanya kaburm, tetapi ia masih ingat untuk lekas rebah
tengkurap di tanah, untuk mengundal ke luar air dari dalam perutnya. Habis itu
ia merasakan lemah sekali, seperti juga ia baru sembuh dari semacam penyakit
yang berat. Terus ia beristirahat. Tentu sekali, hatinya menjadi mendongkol dan
panas, hingga muncullah niatnya yang kejam.
“Biar aku mampusi dulu si pengemis bangkotan!” demikian
keputusannya. “Hendak aku lihat, budak itu nanti menurut padaku atau tidak!”
Walaupun ia telah berkeputusan demikian,
Auwyang Kongcu tidak segera turun tangan untuk mewujudkan itu. Ia masih sangat
lelah maka ia beristirahat terus. Ia menjalankan napasnya, untuk meluruskan
pernapasannya.
Sesudah berselang lama, baru ia berbangkit bangun, akan
mencari sebatang pohon yang kuat, yang ia patahkan, untuk dipakai sebagai
senjata, untuk menotok jalan darah. Tiba di dekat gua, ia
bertindak dengan hati-hati. Biar bagaimana, ia masih jeri terhadap pengemis tua
itu. Di mulut gua ia memasang kupingnya. Ia tidak dapat mendengar suara apa
juga. Ia masih menanti beberapa saat, baru ia bertindak masuk. Tidak berani ia
masuk langsung, ia mepet-mepet di pinggiran, majunya setindak demi setindak.
Sekarang ia bisa melihat Pak Kay lagi duduk bersila menghadap matahari, orang
tua itu lagi berlatih dengan ilmu dalamnya, dilihat dari air mukanya yang
segar, ia seperti tidak tengah menderita luka parah.
“Baiklah aku mencoba dulu, untuk mengetahui dia dapat
berjalan atau tidak,” berpikir si anak muda, yang sangat berhati-hati. Setelah
diperdayakan Oey Yong, ia menjadi semakin cerdik.
“Paman Ang!” ia berseru. “Celaka! celaka…!”
Ang Cit Kong dapat mendengar teriakan itu, ia sudah
lantas membuka matanya.
“Ada apa?” ia menanya.
“Adik Oey mengejar kelinci, dia terjatuh ke dalam
jurang…!” ia menyahut, suaranya dibikin tak lancar. “Dia terluka parah, sampai
ia tak dapat bangun!”
Nampaknya Ang Cit Kong kaget.
“Lekas tolongi dia!” dia berseru.
Mendengar perkataan orang itu, girangnya Auwyang Kongcu
bukan kepalang. Ia mengerti, kalau bukannya pengemis tua itu tidak dapat
berjalan, mestinya ia sendiri sudah berlompat bangun dan berlari pergi, guna
menolong nona itu. Maka ia bertindak maju di mulut gua seraya sembari tertawa
lebar ia berkata: “Dia telah menggunakan seribu satu akal untuk mencelakai aku,
mana sudi aku menolongi dia? Pergi kau sendiri yang menolonginya?!”
Ang Cit Kong terperanjat. Kata-katanya si anak muda dan
sikapnya itu menandakan bahwa orang tak jeri lagi kepadanya.
“Rupanya ia telah mendapat ketahui kepandaianku sudah
musnah,” pikirnya. “Inilah tandanya telah habis lelakon hidupku…!”
Tapi Pak Kay tidak hendak menyerah dengan begitu saja,
maka ia bersiap sedia untuk mati bersama. Diam-diam ia mencoba mengumpul
tenaganya di tangan, untuk menghajar dengan sekali pukul. Kesudahannya ia kaget
sekali. Begitu bertenaga, ia merasakan luka si punggungnya sakit, semua
tulang-tulangnya seperti hendak buyar belarakan. Sementara itu ia melihat
mendatangi sambil memperlihatkan muka menyeringai. Tanpa merasa ia menghela
napas panjang, lantas ia meramkan kedua matanya untuk menantikan
kebinasaannya….
Ketika itu Oey Yong di dalam air telah berpikir, menduga
bahwa selanjutnya makin sukar melayani Auwyang Kongcu, yang mestinya jadi
semakin licin. Ia selulup beberapa tombak jauhnya, baru ia muncul di muka air.
Ketika ia melihat daratan, itulah bukan tempat dimana tadi ia telah bergulat
sama Auwyang Kongcu. Di sini pepohonannya lebih lebat. Tiba-tiba saja ia dapat
ingat pulaunya sendiri, maka ia berpikir: “Alangkah baiknya kalau aku dapat
cari suatu tempat bersembunyi, untuk aku berdiam bersama suhu sambil merawati
suhu, tentulah si bangsat tidak gampang-gampang dapat mencari kita…”
Habis berpikir, si nona mendarat. Ia tidak berani lantas
jalan begitu saja, ia berjalan di sepanjang tepian. Ia khawatir nanti ketemu
sama keponakannya Auwyang Hong itu.
“Coba dulu aku tidak terlalu gemar memain dan aku
pelajari ilmu Kie-bun Ngo-heng, sekarang tentulah dapat aku melayani bangsat
itu,” pikirnya pula. Ia seperti ngelamun. “Ah, sayang ayah telah menyerahkan
peta Tho Hoa To kepadanya! Jahanam itu sangat cerdas, tentulah ia pun dapat
memahamkan peta itu…
Berjalan seperti melamun, Oey Yong kurang memperhatikan
jalanan yang dilalui. Tiba-tiba ia keserimpat oyot rotan dan terhuyung
karenanya. Berbareng dengan itu di kepalanya terdengar bunyi apa-apa yang
disusul sama meluruk jatuhnya butir-butir tanah keras seperti batu. Segera ia
lompat nyamping, terus ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Apa yang ia
saksikan membuatnya kaget sekali, hingga jantungnya berdenyutan.
Di atas itu, yang merupakan lamping, ada sebuah batu
besar. Batu itu seperti merongkong sebelah, nampaknya seperti bergoyangan,
hingga sembarang waktu bisa jatuh ke bawah. Pelurukan batu barusan datangnya
dari bawah batu besar itu. Di batu itu pun ada melibat banyak pohon rotan, satu
di antaranya ialah yang meroyot ke bawah, yang barusan kena ia injak sehingga
ia keserimpat. Hancur remuk tubuhnya, andaikata batu itu jatuh dan menimpa
padanya….
Masih Oey Yong dongak mengawasi, sampai kagetnya lenyap.
Ia heran atas keletakannya batu itu. Itulah pengaruh sang alam. Hanya dengan
disentil sekali saja mungkin batu itu jatuh ambruk. Entah sudah berapa puluh
tahun batu itu bercokol di tepi jurang itu.
Sampai di situ, batal Oey Yong maju terus. Ia sekarang
berjalan kembali. Ingin ia melihat gurunya. Ia belum berjalan jauh ketika
mendadak ia mendapat satu pikiran.
“Yang Maha Kuasa hendak membinasakan jahanam itu maka
juga telah diciptakan ini batu luar biasa,” demikian pikirnya. “Kenapa aku jadi
setolol ini?”
Girang luar biasa nona ini hingga ia berjingkrakan
jungkir balik dua kali. Ia lantas lari kembali ke tempat batu tadi, ia memasang
mata untuk memperhatikan keletakannya. Di samping itu ada banyak pohon yang
besar dan tinggi. Kalau orang berlompat menyingkir, paling jauh juga orang
dapat berlompat empat atau lima kaki. Kalau batu jatuh, burung sekalipun tak
keburu terbang menyingkir….
Segera nona ini mengeluarkan pisau belatinya, yang
panjang empat dim kira-kira. Itulah pisau peranti menyembelih ayam atau
memotong daging. Ia cekal itu di tangan kanan, lantas ia bertindak turun ke
lembah. Ia perdatakan tujuh atau delapan oyot rotan yang melibat batu besar itu,
ia tidak mengganggunya, hanya ia memotong putus beberapa puluh oyot lainnya. Ia
bekerja cepat, saban-saban ia menahan napas dan menghela. Ia pun berlaku
hati-hati, supaya ia tidak usah membikin batu itu kena tertarik. Karena ia
mesti mengutungi puluhan oyot, ia menjadi mandi keringat. Kemudian, setelah
mengumpulkan semua oyot itu, agak tak kentara sudah diputuskan, baru ia
bertindak pergi. Ia mencoba mengingati baik-baik tempat ini. Ia berjalan sambil
bernyanyi dengan perlahan, suatu tanda ia merasa puas sekali.
Selagi mendekati gua, si nona tidak melihat Auwyang
Kongcu. Ia berjalan terus. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tertawa panjang
dan nyaring yang keluar dari dalam gua. Ia kenali suaranya si anak muda, yang
mana disusul sama kata-katanya yang nyaring: “Kau sombongkan kepandaianmu yang
lihay, sekarang kau roboh di tangan kongcumu? Kau takluk tidak? Baiklah, karena
aku berkasihan untuk usiamu yang sudah lanjut, aku menyerah untuk kau menyerang
dulu tiga kali! Bagaimana?”
Takutnya Oey Yong bukan main. Ia insyaf bahaya yang
mengancam gurunya itu. Ia tapinya cerdik luar biasa. Disaat berbahya seperti
itu, ia mendapat akal.
“Ayah, ayah!” ia berteriak-teriak. “Kenapa kau datang ke
mari? Eh, kau juga Auwyang Peehu? Kenapa kau pun datang?”
Nyaring suaranya si nona, suara itu terdengar sampai di
dalam gua.
Auwyang Kongcu tengah mempermainkan Ang Cit Kong, yang ia
hendak membinasakannya, dia menjadi kaget sekali mendengar suara si nona.
“Ah, kenapa pamanku bisa datang bersama-sama Oey Lao
Shia?” pikirnya. Ia sangat bersangsi, hingga ia memikir pula: “Jangan ini
pun main gilanya si budak cilik. Ia hendak menolongi
pengemis bangkotan ini, dia menipu aku supaya aku keluar…. Tapi tak apa, baik
aku melihat dulu, pengemis ini toh tak bakal lolos dari tanganku!”
Maka ia bertindak keluar dari gua.
Oey Yong berada di tepian, di
pasir.
“Ayah!
Ayah!” suaranya terdengar, tangannya di ulap-ulapkan.
Auwyang Kongcu memandang jauh, di
sekitarnya juga. Ia tidak melihat siapa juga di antara mereka apa pula Oey
Yok Su atau pamannya. Maka ia tertawa terbahak-bahak.
“Adikku, kau memancing aku supaya aku menemani kau?”
katanya. “Kau lihat, bukankah aku sudah keluar?”
Si nona menoleh, ia tertawa, matanya pun memain.
“Siapa kesudian mendustai kau?” katanya manis. Dan ia
lari di sepanjang pasir.
Auwyang Kongcu tertawa.
“Kali ini aku telah bersiaga,” katanya. “Jikalau kau
memikir untuk menyeret pula aku ke laut, marilah kita mencoba-coba!”
Sembari berkata, pemuda ini lari untuk mengejar. Hebat
ilmunya ringan tubuh, sebentar saja dia sudah datang dekati si nona.
“Celaka…” mengeluh Oey Yong. “Kalau aku tidak keburu
sampai di batu itu, pasti dia bakal dapat menawan aku…” Maka ia lari terus
sekuatnya.
Lagi beberapa puluh tombak, Auwyang Kongcu telah datang
semakin dekat.
Oey Yong lari ke kiri, mendekati laut, tinggal lagi
beberapa kaki.
Benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi cerdik, tidak
mau ia mendekati.
“Baiklah, mari kita main perak umpat!” katanya tertawa.
Ia maju pula, ia terus waspada.
Oey Yong menghentikan tindakannya, ia juga tertawa.
“Di depan sana ada seekor harimau galak,” katanya,
“Jikalau kau tetap menyusul aku, kau nanti diterkam dan digegares olehnya!”
“Aku sendiri pun harimau!” tertawa si anak muda. Ia tidak
percaya perkataan orang. “Aku pun hendak mencplok padamu!”
Oey Yong tertawa, tanpa menyahuti ia lari pula.
Demikian mereka main lari-larian atau kejar-kejaran
hingga mereka datang dekat ke batu separuh tergantung itu. Di sini Oey Yong
lari makin keras. Ia harus menang tempo.
“Mari!” ia menantang. Dan ia berlompat pesat ke arah
depan batu.
Hanya sekelebatan, ia merasa melihat bayangan orang di
pesisir. Tapi ia lagi menghadapi saat tegang itu, biar pun ia heran,ia tidak
sempat mencari tahu. Ia lari terus sampai di tempat oyot rotan tadi. Dengan
tiga kali lompatan, tibalah ia di lembah.
“Mana si harimau?” tanya Auwyang Kongcu mengejek. Ia pun
menambah pesatnya larinya, sehingga ia juga tiba di depan lembah.
Sekonyong-konyong pemuda ini mendengar suara berkeresek
di atasan kepalanya, suaranya itu disusul sama sambaran angin. Ia lantas
menagangkat kepalanya, dongak untuk melihat. Bukan main kagetnya ia. Ia
menampak sebuah batu besar justru jatuh ke arahnya. Tidak ada jalan lain. Ia
berlompat ke samping. Ia lompat tanpa melihat lagi arahnya. Ia terkejut ketika
ia merasakan tubuhnya membentur sebuah pohon, yang terus patah dan bagian
patahannya melukai punggungnya. Lupa ia pada rasa sakit, ia cuma ingat
menyingkir, menyingkir…. Ia mencoba berlompat pula….
Disaat seperti itu, Auwyang Kongcu sudah seperti pingsan,
tetapi ia masih merasakan ada tangan yang kuat yang menyambar menjambak batang
lehernya, terus ia ditarik. Meski begitu, jatuhnya batu cepat luar biasa, ia
masih ketimpa juga, maka robohlah ia dibarengi jeritannya yang hebat sekali,
debu dan batu pun muncrat! Debu itu mengepul bagaikan uap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar