Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 11



Bab 11. Memanah Burung Rajawali

Angin mulai reda, salju yang turun secara besar-besaran baru berhenti, walaupun demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih dingin. Dalam iklim demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay membawa barang-barang sembahyangan ke kuburannya Thio A Seng, untuk sembahyangi saudara yang sudah beristirahat untuk selamanya di alam baka itu. Kwee Ceng juga diajak bersama.
Tempat kediaman bangsa Mongol tidak berketentuan, maka itu untuk pergi ke kuburan, rombongan ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian, baru mereka tiba. Mereka itu atur barang sembahyangan, mereka pasang hio, lalu pai-kui. Malah Siauw Eng berkata dalam hatinya: “Ngo-ko, belasan tahu kami didik anak ini, sayang di bebal, dia tidak dapat teriam semua pengajaran kita, maka itu aku mohon bantuan kau, untuk lindungi padanya, biarlah tahun lusa, dalam pertandingan di Kee-hin, dia tidak sampai memalukan nam akita Kanglam Cit Koay!”
Sepuluh tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambu dan kumis jenggot
mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik
dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetpa menarik hati.
Di situ ada tulang-tulang yang berserakan, Cu Cong jadi seperti melamun. Ia ingat pada Bwee Tiauw Hong, yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak ketemu, mayatnya juga tidak kedapat. Kalau tidak mati, si Mayat Besi mestinya tak bisa bersembunyi terus-menerus. Kemana perginya wanita seperti siluman itu?
Dalam sepuluh tahun itu, kepandaiannya Liok Koay juga turut bertambah. Umpamnya Tin Ok, ia utamakan “Hok Mo Thung-hoat”, ilmu tongkatnya, “Tongkat Menakluk Iblis”. Ia bersiap sedia menyambut Tiauw Hong.
Lam Hie Jin paling menyanyangi Kwee Ceng, si bebal tapi rajin. Ia ingat, dulu ia pun ulet seprti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee Ceng, yang mebuat ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng berbangkit, apa mau ia kena injak sebuah batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat sekali, ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim Hoat, yang pun melihatnya.
“Mari!” katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri melindungi diri, dengan tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.
Kwee Ceng terkejut tapi ia dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya itu, lekas ia kasih turun pula!
Menampak itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.
“Coba kau kasih lihat kebiasaanmu, kau layani sie-suhu berlatih,” Saiuw Eng menganjurkan. “Kau kaih ngo-suhu lihat padamu!”
“Sie-suhu” yaitu guru keempat dan “ngo-suhu” guru ke lima.
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti, sedang serangannya Hie Jin pun dibatalkan ditengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan kiri ke pinggang. kali ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi Hie Jin lebih cepat pula, dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat ini sudah menyusul dan tangan kanannya kembali menjambak pundak. dengan mendak, Kwee Ceng luputkan dirinya.
“Balas menyerang, anak tolo!” Po Kie berseru. “Kenapa manda diserang selalu?”
Anjuran ini diturut, setelah itu, Kwee Ceng membalas. Ia gunai ajaran Lo Han Kun, ilmu silat “Tangan Arhat” dari guru she Han itu, yaitu bagian Kay San Ciang-hoat. Membuka Gunung. Ia pun dapat menempur dengan seru.
Selang beberapa jurus, dengan satu tolakan, Kwee Ceng dibikin terpental dan jatuh, tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma mukanya yang merah.
Hie Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.
Selagi guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa, ynag datangnya dari pepohonan lebat disamping mereka. Cu Cong dan Kim Hoat terperanjat. “Siapa?!” mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah jalanan orang buat lari turun.
Orang yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya bersembunyi, hingga tampak nyata ialah satu nona elok dengan muka putih potongan telur dan kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum.
“Engko Ceng, apakah kau kena dihajar suhu?” ia tanya.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Siapa suruh kau datang ke mari?” ia menegur.
Nona itu tertawa. “Aku senang melihat kau dihajar!” sahutnya.
Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos dan jenaka. ia pun bukan lain daripada Gochin Baki, putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda she Kwee ini, usianya tak berjauhan serta biasa mereka bergaul, main bersama-sama. Ia sangat disayangi ayah ibunya, ia rada manja, sedang Kwee Ceng jujur dan rada tolol. Sering Kwee Ceng digoda, sampai mereka bentrok, tapi tak lama mereka akur pula, selamanya si nona mengaku yang salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup rukun seperti saudara saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng telah menolongi putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering diantarkan pakaian dan binatang ternak, pergaualan kedua anak muda itu juga tidak dilarang.
Hari itu Gochin tahu Kwee Ceng hendak pergi pai-bong (sembahyang kuburan), ia pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di antara pepohonan lebat, hingga ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng rubuh, baru ia muncul untuk menggodai anak muda itu.
Kwee Ceng malu, kurang senang dan berbareng girang.
“Apakah kau tidak senang aku datang?” tanya si nona dengan tertawa. “Baiklah, nanti aku pulang…!” Ia bicara dengan merdeka, meskipun disana ada enam orang lainnya.
“Oh, tidak, tidak!” kata Kwee Ceng lekas. “Kita pulang bersama sebentar.”
Gochin tertawa, tak jadi ia pergi.
Senang Cu Cong semua menyaksikan eratnya hubungan anak-anak ini, mereka tersenyum.
“Mana orang yang ikut padamu?” kemudian tiba-tiba Tin Ok tanya si putri.
Gochin melengak. “Siapa?” ia tanya. “Aku datang sendirian.“
“Bukannkah kakakmu pun datang, dia dibelakangmu, untuk bergurau?”
“Kakak tidak datang! Benar aku datang sendirian.”
“Liok-tee, coba lihat!” Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan lebat di belakang kuburan.
Coan Kim Hoat pergi memeriksa. “Disini tidak ada orang,” katanya.
“Terang sekali aku dengar suaranya dua orang!” Tin Ok berkukuh. Tadi dengar tertawanya Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka orang itu adalah kawannya si nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar tidak ada orang disitu, ia menjadi heran. Ia lantas berpikir.
“He, tengkorak hilang satu!” tiba-tiba Kim Hoat berseru.
Dengan berlari-lari, semua orang hampirkan saudara she Coan itu. Memang telah lenyap sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru saja orang curi itu. Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat menjelaskan semuanya kepada Tin Ok.
“Cegat di empat penjuru!” seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri mendahului lari turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari, ia apsang kupingnya.
“Disana ada tindakan kaki kuda, lekas susul!” toako ini menitah, tongkatnya menuju ke selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada mengejar ke arah selatan itu.
“Apakah aku yang salah?” tanya Gochin pada si anak muda, perlahan bicaranya.
“Ini bukan urusanmu,”sahut Kwee Ceng. “Rupanya telah datang musuh yang lihay”.
Si nona ulur lidahnya.
Tidak lama dari itu muncul beberapa puluh penunggnag kuda, semuanya orang Mongolia, yang dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu eskadron. Melihat tuan putrinya, dia itu lompat turun dari kudanya, untuk memberi hormat.
“Tuan putri, Kha Khan titahkan aku menyambut,” katanya.
“Untuk apakah?” tanya si putri, keningnya mengerut.
“Ada datang utusannya Wang Khan.” sahut perwira itu.
Tidak senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. “Aku tak mau pulang!” katanya sengit.
Pekhu-thio itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya: ”Kalau tuan putri tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini…”
Gochin dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul dengan Kwee Ceng, meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan berpisah sama ini anak muda. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama Tusaga, yang sombong dan galak itu. Maka tak mau ia pulang.
Siauw Eng tidak turut saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia kata pada Kwee Ceng: “Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang.” Tanpa tunggu jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul saudara-saudaranya.
Gochin masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentangi ayahnya.
Wang Khan itu mengantar panjar, Temuchin ingin putrinya temui si utusan.
Kwee Ceng tidak mengantar terus sampai di tenda Temuchin, ia terus balik ke tendanya sendiri, di mana ia tinggal bersama ibunya. Ia berduka, maka ia duudk diam saja. Ketika Lie Peng, ibunya, bertanya, ia tetap membungkam.
Itu waktu terdengar suara tetabuan, itulah tanda penyambutan pada utusan Wang Khan. Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya ini. Ia lantas menghibur: “Tuan putri benar baik sama kau, tetapi kita tetap orang Han, maka itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang Khan…”
“Ibu, aku bukan pikiran itu,” Kwee Ceng akhirnya mau juga buka mulutnya. “Hanya Tusaga itu kasar dan kejam, denagn menikah sama dia, tuan putri bakal bersengsara…”
Lie Peng tahu baik hati anakanya itu, ia menghela napas. “Habis apa daya kita sekarang?” katanya.
Kwee Ceng berdiam terus sampai habis bersantap malam, setelah mana ia pergi ke tenda gurunya, yang semuanya sudah pulang. Mereka itu sia-sia belaka menyusul penunggang kuda atau pencuri tengkorak itu. Kim Hoat lantas ajari muridnya jurus-jurus dari Tiang Kun, habis berlatih, muridnya pulang, untuk naik pembaringan tanpa salin pakaian lagi.
Lapat-lapat Kwee Ceng dengar tetabuan, ia tidur terus sampai pulas. Adalah kira-kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia dengar tanda tiga kali tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke tendanya akan menyingkap dengan hati-hati. Untuk kagetnya, di antara sinar rembulan, ia tampak satu tengkorak tepat di jalanan di muka kemahnya. Ia pun dapat lihat tegas lima liang pada tengkorak itu.
“Musuh datang cari musuh…” pikirnya. “Suhu tidak ada di sini, seorang diri mana aku sanggup melawan? Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam tenda untuk melukai ibuku?”
Ia ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. lalu ia sinngkap tenda dengan tiba-tiba, untuk lompat keluar, untuk segera dupak tengkorak itu hingga mental jauh beberapa tembok. Untuk lindungi diri, ia putar goloknya. Setelah itu, dengan sipa sedia, ia memandang ke sekitarnya. Di sebelah kiri di bawah pohon ia tampak seorang berdiri diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma kata: “Kalau kau berani, mari turut aku?!”. Dia bicara dalam bahasa Tionghoa, bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.
“Siapa kau?” tanya Kwee Ceng. “Mau apa kau cari aku?”
“Kau toh Kwee Ceng?!” orang itu tegasi.
“Habis kau mau apa?!” tanya Kwee Ceng.
“Mana pisau belatimu yang tajam mempan besi? Mari kasih aku lihat!”
Tiba-tiba ia melompat mencelat, sampai di sisi anak si muda, kakinya menendang jatuh golok orang, menyusul mana sebelah tangannya menekan ke dada orang.
Sebat gerakan orang itu, sampai Kwee Ceng tidak bisa lindungi goloknya. Tapi ia sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu, tangan kirinya menyerang sikut. Inilah jurus “Orang-orang patah bahunya” salah satu dari jurus ilmu silat, “Membagi urat memisah Tulang”. Kalau orang itu kena diserang, tanpa ampun lagi, bahu kanannya mesti patah, terlepas sambungan sikutnya.
Ilmu silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan ini karena ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im Pek-kut Ciauw dari Bwee Tiauw Hong yang setiap waktu lambat atau cepat, bakal cari padanya. Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab tadinya ia tidak pikirkan untuk pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay, ia bisa asah otaknya menciptakan ilmu silat itu. dan sekarang Kwee Ceng menggunai itu untuk melawan musuhnya.
Orang itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya Kwee Ceng. Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah Kwee Ceng, yang lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia lepaskan kedua tangannya dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih merasa sakit terkena sambaran anginnya serangan lawan itu.
Setelah itu Kwee Ceng lihat orang adalah satu imam muda yang mukanya bersih dan tampan, yang usianya delapan atau sembilanbelas tahun. Ia pun dengar si imam atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: “Tak kecewa pelajarannya, tidak sia-sia pengajarannya Kanglam Liok Koay selama sepuluh tahun…”
“Kau siapa?!” tegur Kwee Ceng, yang masih berjaga-jaga. “Untuk apakah kau mencari aku?”
“Mari kita berlatih pula!” kata si imam, yang tidak gubris perkataan orang. Ia pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.
Kwee Ceng menanti tidak bergeming, kapan tangan imam itu sudah hampir sampai pada dadanya, ia mengegos ke kiri, tangan kirinya menyambar lengan si imam dan tangan kanannya menyambar ke batang leher. Kalau ia berhasil, akan copotlah batang leher si imam itu. Jurus ini oleh Cu Cong dengan lucu dinamakan “Sembari tertawa dan berbicara melepaskan rahang”.
Imam itu kenali serangan berbahaya itu, ia bebaskan diri pula.
Setelah belasan jurus, melihat keringan tubuh orang, yang dapat bergerak-gerak dengan pesat sekali, Kwee Ceng segera mengerti bahwa imam ini ada terlebih pandai daripadanya. Keinsyafan ini, ditambah sama kekhawatirannya akan munculnya Bwee Tiauw Hong, membuat hatinya gentar, maka juga, tempo kakinya lawan melayang, kempolan kanannya kena didupak. Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan tak hebat, ia cuma terhuyung, tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri dengan rapat, hingga ia menjadi terdesak. Disaat kewalahan, tiba-tiba ia dengar seruan dari belakangnya: “Serang bagian bawahannya!”
Dengan tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng. Ia kenali suaranya sam-suhu, gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas menggeser ke kanan untuk terus menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak keenam suhunya itu telah hadir semua. Saking memusatkan perhatian pada lawan, ia sampai tidak ketahui munculnya keenam gurunya itu. Segera, menuruti petunjuknya Po Kie, ia mulai menyerang di bawah.
Imam itu licah gerakannya, tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini terlihat tegas oleh Kanglam Liok Koay, maka itu Po Kie sadarkan muridnya. Karena ini, lantas saja si imam berbalik terdesak, hingga terpaksa ia main mundur.
Kwee Ceng merangsak maju, sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak tempo lagi, kedua kakinya saling sambar dengan tipunya Lian-hoan Wan-yoh-twie – kaki Burung Wanyoh Berantai. Ia sampai tidak menyangka bahwa musuhnya bakal menggunai akal.
“Awas!” teriak po Kie dan Siauw Eng yang terkejut.
Kwee Ceng kurang pengalaman, meskipun ia telah diperingatkan, sudah terlambat, kaki kanannya kena dicekal lawan, terus disempar, maka itu tak ampun lagi, tubuhnya melayang, dengan suara keras, tubuhnya itu jatuh celentang, hingga ia merasakan sakit sekali. Saking gesitnya, ia dapat lantas berlompat bangun dengan gerakannya “Ikan Tambra Meletik”. Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya sudah mulai kurung si imam muda.
Tosu itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak menunjukkan tanda hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya dengan rangkap kedua tangannya, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok Koay. Ia kata: “Teecu In Cie Peng, atas titah guruku Tiang Cun Cu Khu Totiang, teecu datang untuk memujikan suhu semua sehat-sehat!” Lantas ia berlutut untuk mengangguk-angguk.


Cu Cong berenam bersangsi, mereka tidak mengulurkan tangan untuk mengasih bangun, maka itu si imam bangkit snediri untuk terus merogoh ke dalam sakunya guna menarik keluar sesampul surat, yang mana dengan kedua tangannya, ia angsurkan kepada enam manusia aneh itu – tegasnya kepada Cu Cong.“Mari kita bicara di dalam,” kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan kaki mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa Monglia.
Tanpa sangsi, In Cie Peng turut masuk.
Coan Kim Hoat menyulut lilin.
Tenda itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong tinggal berlima, karena Siauw Eng tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia. Melihat itu, Cie Peng mengerti orang hidup bukan main sederhananya. ia menjura ketika ia mulai berkata: “Suhu berlima banyak cape! Guruku sangat bersyukur, dia titahkan teecu datang kemari untuk menghanturkan banyak-banyak terima kasih”.
“Hm!” Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: “Kalau kau datang dengan maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng? Bukankah kau sengaja datang untuk pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya bertanding?”
Itu waktu Cu Cong telah membuka sampul dan membaca suratny. Khu Cie Kee memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A Seng. Ia memberitahu bahwa pada sembilan tahun yang lalu ia telah berhasil mencari turunan Yo Tiat Sim.
Mengetahui ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan Cin Kauw banyak pengikutnya, yang tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu nyonya yang lenyap, benar-benar sulit. Tidak diayana, Cie Kee begitu cepat menemui nyonya itu serta anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng secara kebetulan.
Surat itu diakhir dengan pemberitahuan bahwa lagi dua tahun, mereka berdua pihak bakal bertemu pula di Cui Sian lauw di Kee-hin, disaat bunga-bunga mekar.
“Memang ini tulisannya Khu Totiang,” kata Cu Cong akhirnya.
“Anak turunan she Yo itu bernama Yo Kang?” Tin Ok bertanya.
“Benar,” sahut Cie Peng.
“Dia toh adik seperguruanmu?” Tin Ok menegaskan.
“Dialah kakak seperguruanku,” sahut pula tosu she In itu. “Walaupun usiaku lebih tua, diwaktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului dua tahun.”
Dingin hatinya Kanglam Cit Koay mendengar keterangan itu. Kwee Ceng kalah oleh In Cie Peng, satu sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo Kang, sang suheng? Pula heran, Khu Cie Kee ketahui jelas tentang mereka, hal mereka dapatkan Kwee Ceng, hal kematiannya Thio A Seng, dan hal sekarang mereka berdiam di padang gurun ini…. Sebaliknya, mereka sendiri tidak tahu suatu apa perihal imam itu! Inilah tanda mereka sudah berada di bawah angin.
“Apakah barusan kau layani dia untuk mencoba-coba?” Tin Ok tanya pula, suaranya dingin.
“Teecu tidak berani,” jawab Cie Peng, yang berkhawatir oleh sikap orang.
“Sekarang kau sampaikanlah kepada gurumu itu,” bilang Tin Ok, “Walaupun Kanglam Liok Koay tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak bakal digagalkan, jadi dia tidak usah khawatir suatu apa pun. Bilang bahwa kami tidak usah membalas dengan surat.”
Cie Peng likat, hingga ia berdiam saja.
“Ach ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia!” Tin Ok tanya pula.
Cie Peng berdiam. Tak sangka ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu. Ia diperintah gurunya pergi ke utara untuk menyampaikan surat, ia dipesan untuk sekalian selidiki Kwee Ceng, tentang sifatnya dan ilmu silatnya. Khu Cie Kee memperhatikan putra sahabatnya, ia bermaksud baik, tetapi muridnya ini menyeleweng sedikit, walaupun ia tidak bermaksud jahat. Setibanya di Mongolia, di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak segera menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia mencuri lihat Kwee Ceng berlatih, malah ia menguntit juga orang pay-bong terhadap Thio A Seng hingga ia saksikan semuanya, tetapi ia diperogoki oleh Tin Ok dan kabur. Coba ia lari tanpa sebat tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak nanti ia menerbitkan kecurigaan.
“Apakah kau ada punya hubungan sama Hek Hong Siang Sat?” tanya Tin Ok sebab orang diam saja. “Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu diantaranya terbinasa di bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?”
Baharu Cie Peng menjawab: “Teecu ambil tengkorak itu untuk dibuat main, tak ada maksud lainnya. Tentang Hek Hong Siang Sat dan Kiu Im Pek-ku Jiauw, teecu tidak tahu-menahu…”
“Hm!” bersuara Tin Ok yang terus berdiam.
Cie Peng jadi jengah. “Teecu memohon diri,” katanya kemudian.
Tin Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng memberi hormat lagi sekali. Mendadak orang she Kwa ini berseru: “Kau pun jumpalitan!” dan tangan kirinya menyambar ujung baju orang di betulan dada.
Saking kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk membebaskan diri. Inilah hebatnya, coba dia diam saja, dia Cuma akan jungkir balik. Kali ini ia membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay. Tin Ok angkat tubuh orang dan membanting. maka jatuhlah ia dengan hebat, bebokongnya sakit, sampai sekian lama, baharu ia bisa merayap bangun, untuk dengan terpincang-pincang ngeloyor pergi…..
“Imam cilik itu tak tahu adat, tepat toako ajaradat padanya,” kata Po Kie.
Tin Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti kedukaan toako ini, mereka turut masgul pula.
“Ya, apa boleh buat….” kata Hie Jin kemudian.
“Benar, sieko,” Siauw Eng bilang. “Kita bertujuh saudara sudah puas berkelana, banyak pengalaman kita, baik pun yang berbahaya, kita belum pernah mengkerat atau mundur!”
Tin Ok mengangguk. “Sekarang pergilah kau pulang dan tidur,” katanya pada Kwee Ceng. “Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia.”
Cu Cong semua gegutan. Hebat senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini. Senjata itu adalah senjata rahasia istimewa penjaga diri sejak si kakak tak dapat melihat matahari, tak pernah dipakai kecuali disaat genting, pula tak pernah diwariskan kepada lain orang, tapi sekarang hendak siturunkan kepada murid ini.
“Anak Ceng, lekas menghanturkan terima kasih kepada toa-suhu,” Siauw Eng ajari muridnya itu.
Kwee Ceng mengucap terima kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baharu ia mengundurkan diri.
Tin Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng dapat wariskan kepandaiannya itu dengan sempurna.
Semenjak itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak mereka agar si murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan Khu Cie Kee menampak kemajuannya In Cie Peng itu. Akan tetapi sulit bagi mereka untuk mewujudkan kehendak itu. Sekalipun seorang yang berotak cemerlang ada sulit untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek, apa pula Kwee Ceng yang bebal itu, yang lambat kesadarannya, malah makin didesak, ia membuatnya semakin banyak kesalahan.
Itu pagi Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam dijurus keempat yang bernama “Di cabang pohong menyerang lutung putih”. Untuk itu perlu orang berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini mencoba berlompat, selama tujuh atau delapan kali, ia gagal senantiasa, percuma gurunya ajari ia mesti begini mesti begitu. Siauw Eng menjadi sangat berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan lemparkan pedangnya, ia tinggalkan muridnya.
Kwee Ceng terperanjat, ia menyusul, ia memanggil-manggil, tapi gurunya berjalan terus. Ia menjadi masgul sekali, hingga ia berdiri menjublak. Ia tahu semua gurunya ingin ia maju, maka itu, ia mejadi sangat menyesal. ia menjadi gelisah menampak guru-gurunya mulai perlihat roman tidak puas. ia masih berdiam tatkala dari belakang, ia dengar teriakannya putri Gochin: “Engko Ceng, mari lekas, mari lekas!”
Kapan ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor kuda, mengasih lihat roma cemas bernareng gembira. “Ada apa?” ia tanya.
“Mari lekas lihat!” sahut putri Temuchin itu. “Banyak burung rajawali lagi bertarung!”
“Aku lagi berlatih,” Kwee Ceng beritahu.
Putri itu tertawa. “Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali dimarahin gurumu?” dia tanya.
Kwee Ceng jujur, ia mengangguk.
Putri itu masih tertawa. “Hebat pertarungan itu!” ia kata pula mendesak. “Mari lekas lihat!”.
“Aku tidak mau,” sahut Kwee Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng barusan, ia berduka sekali, ia lenyap kegembiraannya.
Akhirnya si putri menjadi tidak sabaran. “Aku sendiri sampai tidak melihat, karena aku datang untuk mengajak kau!” katanya. “Kalau tetap kau tidak hendak pergi melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku lagi!”
“Pergi kau kembali dan melihatnya sendiri,” Kwee Ceng bilang. “Bukankah sama kalau sebentar kau menceritakannya kepadaku?”
Gochin lompat turun dari kudanya, ia kasih moyong mulutnya. “Sudahlah, kau tidak mau pergi, aku juga tidak mau pergi…” bilangnya sambil cemberut. “Aku todak tahu, rajawalai yang hitam yang menang atau yang putih…”
“Apakah itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?” Kwee Ceng tanya.
“Benar! Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor si hitam yang mampus…”
Mendengar itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. “Mari!” katanya, dan ia tarik tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas kudanya itu, guna kabur ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali hitam tengah mengurung dan menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka pada rontok berhamburan. Rajawali putih lebih besar dan patuknya terlebih kuat, hebat setiap patukan dan cengkeramannya. Demikian seekor musuhnya yang terlambat berkelit, kena disambarnya, lalu bangkainya jatuh di depan Gochin.
Gochin
Sebentar saja sudah bnayak penduduk yang datang melihat pertempuran rajawali itu, malah Temuchin yang mendengar kabar itu juga turut muncul. Ia datang dengan mengajak Ogotai dan Tuli.
Sering Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu, hampir setiap hari mereka tampak sepasang burung rajawali putih itu, terhadap burung itu mereka mendapat kesan yang baik, maka itu tidak heran kalau sekrang mereka mengharapi kemenangannya si putih hingga mereka berteriak-teriak menganjuri si putih itu. Kata mereka itu saling ganti: “Hayo putih, patuk padanya! Awas di kiri, ada musuh, lekas berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!”
Lagi dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih juga telah mendapat luka, bulunya yang putih ternodai dengan darahnya yang merah.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih mengejar.
Habis pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara terdengar riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam terbang kembali, ke jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil merapikan bulunya.
“Bagus!” berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.
Hebat si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi akhirnya ia jatuh karena luka-lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh ekor musuhnya itu masih menyerbu terus.
Kwee Ceng bertiga, Tuli dan Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin lantas menangis. “Ayah, lekas panah!” ia teriaki ayahnya.
Temuchin sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: “Si rajawali hitam menang perang, mereka itu menggunai siasat, maka ingatlah kamu!”
Dua putra itu mengangguk
Habis membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang di atas jurang, dai liang itu tertampak munculnya dua kepala anak rajawali putih yang mencoba membuat perlawanan.
“Ayah, masih kau tidak mau memanah?” tanya Gochin sambil menangis.
Temuchin tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu anak panahnya nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh terbinasa dengan segera.
Riuh tempik sorak memuji Khan yang besar itu.
“Coba kau memanah!” kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.
Putra itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.
Tuli pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua sisa burung rajawali hitam itu terbang kabur.
Panglima-panglima Teuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung hitam itu sudah terbang tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung itu dapat menyampok anak panah.
“Siapa yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!” Temuchin berseru.
Jebe si Jago Panah berdiri di samping Temuchin, ia berniat pertontonkan ilmu panahnya Kwee Ceng, ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk menyerahkan panahnya itu. “Kau berlutut! Kau panah lehernya burung itu!” ia menyuruh dengan suara perlahan.
Kwee Ceng sambuti panah itu, ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan mencekal anak panah berikut talinya, ia lantas menarik hingga busur itu, atau tangannya menjadi melengkung. Busur itu beratnya dua ratus kati tapi ia dapat menariknya, karena setelah sepuluh tahun berguru kepada Kanglam Liok Koay, tenaganya menjadi besar sekali.
Justru itu dua ekor burung rajawali hitam terbang beredeng, datangnya dari arah kiri. Tidak tempo lagi, Kwee Ceng menarik tangan kanannya, menarik habis hingga busur itu melengkung sepenuhnya, semabri menarik, ia mengincar.
“Ser!” demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia ia mencoba berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah itu tembus, terus menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi rubuh bersama di sampingnya si tukang panah.
Menampak itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang dibilang, sekali memanah dua ekor burung. Dan karena ini, sisa burung yang lainnya terbang kabur, tidak lagi berputaran di atas jurang.
“Serahkan burung itu kepada ayahku!” Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.
Si anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada Temuchin, di depan siapa ia etkuk sebuah lututnya, kedua tangannya diangkat tinggi, untuk persembahkan burung itu.
Seumurnya Temuchin paling menyukai panglima yang gagah perkasa dan orang kosen, sekarang ia saksikan Kwee Ceng serta sikapnya itu, ia menjadi girang sekali.
Harus diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali ada besar luar biasa, kalau sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai setombak lebih, bulu sayapnya pun kuat seumpama besi, kapan ia menyambar ke bawah, ia dapat cekuk seekor kuda kecil atau kambing besar, malah adakalanya harimau atau macan tutul pun mesti lari dari burung ini. Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua ekor, itulah hebat!
Temuchin suruh pengiringnya ambil burung itu. “Anak yang baik, kau hebat!” ia kata pada si bocah.
“Inilah guruku yang mengajari,“ sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan Jebe, gurunya itu.
Temuchin tertawa pula. “Gurunya Jebe, muridnya juga Jebe!” pujinya. Di dalam bahasa Mongol, “Jebe” itu berarti “ahli panah yang lihay atau dewa panah”
Tuli hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, “Ayah tadi bilang, siapa yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu, sekarang saudaraku ini memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak menghadiahkan dia apakah?”
“Apa pun boleh!” sahut ayahnya itu, yang terus tanya Kwee Ceng, “Kau menghendaki apa?”
Tuli girang sekali. “Benarkah barang apa pun boleh?” ia tegaskan ayahnya.
“Apakah aku dapat mendustai anak-anak?” ayahnya itu tertawa.
Semua orang mengawasi Kwee Ceng, sebab heran mereka atas sikapnya Khan mereka itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal minta.
“Khan yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah punyakan segala apa, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa lagi,” berkata Kwee Ceng dengan jawabannya.
Temuchin tertawa lebar. “Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau lebih dulu ingat ibumu!” katanya. “Kau sendiri, apakah yang kau kehendaki? Kau sebutkan saja, jangan takut!”
Kwee Ceng perdengarkan suara perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut di depan kudanya khan yang besar itu. Ia berkata: “Aku sendiri tidak menghendaki apa-apa, aku hendak mewakilkan seseorang mohon suatu hal…”
“Apakah itu?” tanya Temuchin.
“Tusaga, cucunya Wang Khan itu busuk dan jahat,” ia berkata. “Kalau Putri Gochin dinikahkan dengannya, dibelakang hari mestinya tuan putri menderita, maka itu aku mohon denagn sangat supaya janganlah tuan putri dijodohkan dengan dia itu” sambungnya kemudian.
Melengak Temuchin mendengar permintaan itu, lalu akhirnya ia tertawa terbahak.
“Sungguh ucapan kanak-kanak!” katanya. “Mana dapat. Baiklah, hendak aku menghadiahkan kau serupa mustika!” Ia loloskan golok pendek di pinggangnya, ia sodorkan itu pada si bocah.
Semua panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik hati. Golok pendek itu adalah goloknya khan mereka sendiri, golok mustika yang pernah dipakai membinasakan bnayak musuh. Coba tidak khan itu telah melepas kata, tidak nanti ia serahkan goloknya itu.
Kwee Ceng menhanturkan terima kasih, ia sambuti golok itu, yang sarungnya terbuat dari emas dan gagang golok berukirkan emas berkepala harimau, ditabur sepotong batu kumala hitam, dimana ada terukir pula kata-kata: “Golok pribadi dari Khan Temuchin”. Di sebelah itu masih ada ukiran dua baris kata-kata, bunyinya: “Membunuh musuh dan memusnahkan musuh bagai menyembelih harimau dan kambing”.
Temuchin berkata, “Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang membunuhnya, kau anak kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh mereka!”
Belum lagi Kwee Ceng sahuti si khan itu, mendadak Gochin menangis, terus ia lompat naik atas kudanya yang lantsa kasih kabur!
Temuchin keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya yang paling ia sayangi itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah, maka juga ie menghela napas. Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke kemahnya.
Semua panglima dan pangeran mengikuti dari jauh-jauh.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, ia hunus golok pendek itu dan melihat sinarnya yang tajam, yangs seperti mendatangkan hawa dingin adem. Pada golok itu berpeta tanda darah, yang menyatakan entah berapa banyak korban yang telah dimakan. habis membuat main itu golok, ia masuki ke dalam sarungnya. Kemudian ia cabut pedangnya sendiri, untuk melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih tidak berhasil menyempurnakan jurus “Di cabang pohon menyerang lutung putih”. Kalau ia tidak melompat terlalu rendah ia tentu tak keburu menggerakkan pedangnya. Ia menahan sabar, ai mencoba pula, ia malah makin gagal, hingga ia bermandikan keringat. Tengah ia berlatih, ia dengar suara berkelengannya kuda, lalu ia tampak Gochin lari mendatangi dengan kudanya.
Putri itu tiba untuk terus lompat turun dari kudanya, buat terus rebahkan diri di atas rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang kepalanya. Ia tidak ganggu Kwee Ceng, yang lagi berlatih, hanya ia menontoni. Hanya ketika ia saksikan kawan itu sangat mengeluarkan tenaga, ia berkata: “Sudah, engko Ceng, jangan berlatih terus, mari beristirahat!”
“Kau jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara,” kata Kwee Ceng.
Gochin berdiam, lalu ia tertawa mengawasi kawannya itu. Ia menanti sekian lama, lalu ia mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia gumpal masing-masing sesudah mana, ia timpuki itu kepada si anak muda. “Kau sustlah peluhmu!” katanya.
Kwee Ceng bersuara perlahan, agaknya ia terkejut, tetapi ia antap sapu tangan jatuh di sampingnya, ia sendiri terus berlatih.
Gochin terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar suara berisik dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing, menyusul mana segera terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari si rajawali putih besar yang terbang datnag. Dialah burung tadi, yang mengejar kawanan burung hitam itu, yang rupanya baharu kembali. Dia rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui kebinasaan pasangannya. Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.
Kwee Ceng berhenti berlatih, ia mengawasi burung itu.
“Engko Ceng, lihat bagaimana harus dikasihani burung itu…” berkata Gochin.
“Pasti ia sangat berduka,” sahut si engko Ceng itu.
Lagi sekali burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke atas seprti memasuki mega.
“Mau apa ia terbang ke atas?” tanya tuan putri itu.
Belum berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula, sangat cepat, tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu gunung yang besar, maka di detik lain, ia sudah roboh dengan tidak bernyawa lagi!
Dua-dua Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka menjerit dan sama-sama mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya kadi terdiam.
“Sungguh harus dihormati! Sungguh harus dihormati!” tiba-tiba mereka dengar satu suara nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi heran, lekas-lekas keduanya berpaling. Mereka melihat satu tosu atau imam, yang berkumis abu-abu tetapi mukanya merah dadu, yang tangannya mencekal hudtim atau kebutan pertapa, yang aneh dandannya, sebab ia telah mebuat tiga konde kecil di atas kepalanya, beroman sebagai huruf “pin”, sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya sedikit juga, tidak biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan ia pun berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Gochin tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula, memandang ke atas tebing, dan segera ia berkata: “Bagaimana dengan kedua anak burung itu? Bapak dan ibunya telah mati…”
Sarang di liang di atas tebing itu sukar dipanjat orang, kedua burung itu masih kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari makan? Bukankah mereka itu bakal mati kelaparan….?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar