Bab 11. Memanah Burung Rajawali
Angin mulai reda, salju yang turun secara besar-besaran baru
berhenti, walaupun demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih
dingin. Dalam iklim demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay membawa
barang-barang sembahyangan ke kuburannya Thio A Seng, untuk sembahyangi saudara
yang sudah beristirahat untuk selamanya di alam baka itu. Kwee Ceng
juga diajak bersama.
Tempat
kediaman bangsa Mongol tidak berketentuan, maka itu untuk pergi ke kuburan, rombongan
ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian, baru mereka tiba. Mereka itu
atur barang sembahyangan, mereka pasang hio, lalu pai-kui. Malah Siauw
Eng berkata dalam hatinya:
“Ngo-ko, belasan tahu kami didik anak ini, sayang di bebal, dia tidak dapat
teriam semua pengajaran kita, maka itu aku mohon bantuan kau, untuk lindungi
padanya, biarlah tahun lusa, dalam pertandingan di Kee-hin, dia tidak sampai
memalukan nam akita
Kanglam Cit Koay!”
Sepuluh
tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambu dan kumis jenggot
mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik
dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetpa menarik hati.
mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik
dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetpa menarik hati.
Di situ ada
tulang-tulang yang berserakan, Cu
Cong jadi seperti melamun. Ia
ingat pada Bwee
Tiauw Hong,
yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak ketemu, mayatnya juga tidak kedapat.
Kalau tidak mati, si Mayat
Besi mestinya tak bisa bersembunyi
terus-menerus. Kemana perginya wanita seperti siluman itu?
Dalam
sepuluh tahun itu, kepandaiannya Liok Koay
juga turut bertambah. Umpamnya Tin Ok, ia utamakan “Hok Mo
Thung-hoat”, ilmu tongkatnya, “Tongkat
Menakluk Iblis”.
Ia bersiap sedia menyambut Tiauw
Hong.
Lam
Hie Jin paling menyanyangi Kwee
Ceng, si bebal tapi rajin. Ia
ingat, dulu ia pun ulet seprti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee Ceng,
yang mebuat ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng
berbangkit, apa mau ia kena injak sebuah batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat
sekali, ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim Hoat,
yang pun melihatnya.
“Mari!” katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri
melindungi diri, dengan tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.
Kwee Ceng terkejut tapi ia
dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya itu, lekas ia kasih turun
pula!
Menampak
itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.
“Coba
kau kasih lihat kebiasaanmu, kau layani sie-suhu berlatih,” Saiuw Eng
menganjurkan. “Kau kaih ngo-suhu lihat padamu!”
“Sie-suhu”
yaitu guru keempat dan “ngo-suhu” guru ke lima.
Baru
sekarang Kwee
Ceng mengerti, sedang serangannya
Hie Jin pun dibatalkan ditengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan
kiri ke pinggang. kali ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi Hie
Jin lebih cepat pula, dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat ini sudah
menyusul dan tangan kanannya kembali menjambak pundak. dengan mendak, Kwee Ceng
luputkan dirinya.
“Balas
menyerang, anak tolo!” Po Kie berseru. “Kenapa manda diserang selalu?”
Anjuran
ini diturut, setelah itu, Kwee
Ceng membalas. Ia gunai ajaran Lo Han
Kun, ilmu silat “Tangan Arhat” dari guru she Han
itu, yaitu bagian Kay
San Ciang-hoat. Membuka Gunung.
Ia pun dapat menempur dengan seru.
Selang
beberapa jurus, dengan satu tolakan, Kwee Ceng
dibikin terpental dan jatuh, tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma
mukanya yang merah.
Hie
Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.
Selagi
guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa, ynag datangnya
dari pepohonan lebat disamping mereka. Cu Cong
dan Kim Hoat terperanjat. “Siapa?!” mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah jalanan orang
buat lari turun.
Orang
yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya bersembunyi,
hingga tampak nyata ialah satu nona elok dengan muka putih potongan telur dan
kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum.
“Engko Ceng,
apakah kau kena dihajar suhu?” ia tanya.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
“Siapa suruh kau datang ke mari?” ia
menegur.
Nona
itu tertawa. “Aku senang melihat kau dihajar!” sahutnya.
Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos
dan jenaka. ia pun bukan lain daripada Gochin Baki,
putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda she Kwee ini, usianya tak
berjauhan serta biasa mereka bergaul, main bersama-sama. Ia sangat disayangi
ayah ibunya, ia rada manja, sedang Kwee Ceng
jujur dan rada tolol. Sering
Kwee Ceng
digoda, sampai mereka bentrok, tapi tak lama mereka akur pula, selamanya si
nona mengaku yang salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup rukun
seperti saudara saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng telah
menolongi putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering diantarkan
pakaian dan binatang ternak, pergaualan kedua anak muda itu juga tidak
dilarang.
Hari
itu Gochin tahu Kwee
Ceng hendak pergi pai-bong
(sembahyang kuburan), ia pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di
antara pepohonan lebat, hingga ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng
rubuh, baru ia muncul untuk menggodai anak muda itu.
Kwee Ceng malu, kurang senang
dan berbareng girang.
“Apakah
kau tidak senang aku datang?” tanya si
nona dengan tertawa. “Baiklah, nanti aku pulang…!” Ia bicara dengan merdeka,
meskipun disana ada enam orang lainnya.
“Oh,
tidak, tidak!” kata Kwee
Ceng lekas. “Kita pulang bersama
sebentar.”
Gochin
tertawa, tak jadi ia pergi.
Senang Cu Cong semua menyaksikan
eratnya hubungan anak-anak ini, mereka tersenyum.
“Mana
orang yang ikut padamu?” kemudian tiba-tiba Tin Ok tanya
si putri.
Gochin
melengak. “Siapa?” ia tanya. “Aku
datang sendirian.“
“Bukannkah
kakakmu pun datang, dia dibelakangmu, untuk bergurau?”
“Kakak
tidak datang! Benar aku datang sendirian.”
“Liok-tee,
coba lihat!” Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan lebat di
belakang kuburan.
Coan Kim Hoat pergi memeriksa.
“Disini tidak ada orang,” katanya.
“Terang
sekali aku dengar suaranya dua orang!” Tin Ok berkukuh. Tadi dengar tertawanya
Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka orang itu adalah kawannya si
nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar tidak ada orang disitu, ia menjadi
heran. Ia lantas berpikir.
“He,
tengkorak hilang satu!” tiba-tiba Kim Hoat
berseru.
Dengan
berlari-lari, semua orang hampirkan saudara she Coan itu. Memang telah lenyap
sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru saja orang curi itu.
Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat
menjelaskan semuanya kepada Tin Ok.
“Cegat
di empat penjuru!” seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri mendahului lari
turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari, ia apsang kupingnya.
“Disana
ada tindakan kaki kuda, lekas susul!” toako ini menitah, tongkatnya menuju ke
selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada mengejar ke arah selatan itu.
“Apakah
aku yang salah?” tanya Gochin pada si
anak muda, perlahan bicaranya.
“Ini
bukan urusanmu,”sahut Kwee
Ceng. “Rupanya telah datang musuh
yang lihay”.
Si
nona ulur lidahnya.
Tidak
lama dari itu muncul beberapa puluh penunggnag kuda, semuanya orang Mongolia, yang
dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu eskadron. Melihat tuan putrinya,
dia itu lompat turun dari kudanya, untuk memberi hormat.
“Tuan
putri, Kha Khan titahkan
aku menyambut,” katanya.
“Untuk
apakah?” tanya si putri, keningnya
mengerut.
“Ada datang utusannya Wang Khan.”
sahut perwira itu.
Tidak
senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. “Aku tak mau pulang!”
katanya sengit.
Pekhu-thio
itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya: ”Kalau tuan putri
tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini…”
Gochin
dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul dengan Kwee
Ceng, meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan berpisah sama ini
anak muda. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama Tusaga, yang sombong dan
galak itu. Maka tak mau ia pulang.
Siauw Eng tidak turut
saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia kata pada Kwee Ceng:
“Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang.”
Tanpa tunggu jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul saudara-saudaranya.
Gochin
masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentangi ayahnya.
Wang Khan itu mengantar panjar,
Temuchin ingin putrinya temui si utusan.
Kwee Ceng tidak mengantar
terus sampai di tenda Temuchin, ia terus balik ke tendanya sendiri, di mana ia
tinggal bersama ibunya. Ia berduka, maka ia duudk diam saja. Ketika Lie Peng,
ibunya, bertanya, ia tetap membungkam.
Itu
waktu terdengar suara tetabuan, itulah tanda penyambutan pada utusan Wang Khan.
Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya ini. Ia lantas menghibur:
“Tuan putri benar baik sama kau, tetapi kita tetap orang Han,
maka itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang Khan…”
“Ibu,
aku bukan pikiran itu,” Kwee
Ceng akhirnya mau juga buka
mulutnya. “Hanya
Tusaga itu kasar dan kejam, denagn
menikah sama dia, tuan putri bakal bersengsara…”
Lie
Peng tahu baik hati anakanya itu, ia menghela napas. “Habis apa daya kita sekarang?”
katanya.
Kwee Ceng berdiam terus sampai
habis bersantap malam, setelah mana ia pergi ke tenda gurunya, yang semuanya
sudah pulang. Mereka itu sia-sia belaka menyusul penunggang kuda atau pencuri
tengkorak itu. Kim
Hoat lantas ajari muridnya jurus-jurus
dari Tiang Kun, habis berlatih, muridnya pulang,
untuk naik pembaringan tanpa salin pakaian lagi.
Lapat-lapat
Kwee Ceng dengar tetabuan, ia tidur terus
sampai pulas. Adalah kira-kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia
dengar tanda tiga kali tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke tendanya
akan menyingkap dengan hati-hati. Untuk kagetnya, di antara sinar rembulan, ia
tampak satu tengkorak tepat di jalanan di muka kemahnya. Ia pun dapat lihat
tegas lima liang pada tengkorak itu.
“Musuh
datang cari musuh…” pikirnya. “Suhu tidak ada di sini, seorang diri mana aku
sanggup melawan? Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam tenda untuk melukai
ibuku?”
Ia
ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. lalu ia sinngkap
tenda dengan tiba-tiba, untuk lompat keluar, untuk segera dupak tengkorak itu
hingga mental jauh beberapa tembok. Untuk lindungi diri, ia putar goloknya.
Setelah itu, dengan sipa sedia, ia memandang ke sekitarnya. Di sebelah kiri di bawah pohon ia tampak seorang berdiri
diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma kata: “Kalau kau berani, mari turut aku?!”. Dia bicara dalam bahasa Tionghoa,
bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.
“Siapa
kau?” tanya Kwee Ceng.
“Mau apa kau cari aku?”
“Kau
toh Kwee Ceng?!” orang itu tegasi.
“Habis
kau mau apa?!” tanya Kwee Ceng.
“Mana
pisau belatimu yang tajam mempan besi? Mari
kasih aku lihat!”
Tiba-tiba
ia melompat mencelat, sampai di sisi anak si muda, kakinya menendang jatuh
golok orang, menyusul mana sebelah tangannya menekan ke dada orang.
Sebat
gerakan orang itu, sampai Kwee
Ceng tidak bisa lindungi goloknya.
Tapi ia sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu, tangan
kirinya menyerang sikut. Inilah jurus “Orang-orang patah bahunya” salah satu
dari jurus ilmu silat, “Membagi urat memisah Tulang”. Kalau orang itu kena
diserang, tanpa ampun lagi, bahu kanannya mesti patah, terlepas sambungan
sikutnya.
Ilmu
silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan ini karena
ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im Pek-kut Ciauw
dari Bwee Tiauw Hong yang setiap waktu lambat atau cepat, bakal cari padanya.
Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab tadinya ia tidak pikirkan untuk
pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay,
ia bisa asah otaknya menciptakan ilmu silat itu. dan sekarang Kwee Ceng
menggunai itu untuk melawan musuhnya.
Orang
itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya Kwee Ceng.
Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah Kwee Ceng,
yang lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia lepaskan kedua
tangannya dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih merasa sakit terkena
sambaran anginnya serangan lawan itu.
Setelah
itu Kwee Ceng lihat orang adalah satu imam muda
yang mukanya bersih dan tampan, yang usianya delapan atau sembilanbelas tahun.
Ia pun dengar si imam atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: “Tak kecewa
pelajarannya, tidak sia-sia pengajarannya Kanglam Liok
Koay selama sepuluh tahun…”
“Kau
siapa?!” tegur Kwee
Ceng, yang masih berjaga-jaga.
“Untuk apakah kau mencari aku?”
“Mari kita berlatih pula!” kata si imam, yang tidak
gubris perkataan orang. Ia pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.
Kwee Ceng menanti tidak
bergeming, kapan tangan imam itu sudah hampir sampai pada dadanya, ia mengegos
ke kiri, tangan kirinya menyambar lengan si imam dan tangan kanannya menyambar
ke batang leher. Kalau ia berhasil, akan copotlah batang leher si imam itu.
Jurus ini oleh Cu
Cong dengan lucu dinamakan
“Sembari tertawa dan berbicara melepaskan rahang”.
Imam itu kenali serangan
berbahaya itu, ia bebaskan diri pula.
Setelah
belasan jurus, melihat keringan tubuh orang, yang dapat bergerak-gerak dengan
pesat sekali, Kwee
Ceng segera mengerti bahwa imam
ini ada terlebih pandai daripadanya. Keinsyafan ini, ditambah sama
kekhawatirannya akan munculnya Bwee
Tiauw Hong,
membuat hatinya gentar, maka juga, tempo kakinya lawan melayang, kempolan
kanannya kena didupak. Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan tak hebat, ia
cuma terhuyung, tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri dengan rapat,
hingga ia menjadi terdesak. Disaat kewalahan, tiba-tiba ia dengar seruan dari
belakangnya: “Serang bagian bawahannya!”
Dengan
tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng.
Ia kenali suaranya sam-suhu, gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas
menggeser ke kanan untuk terus menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak keenam
suhunya itu telah hadir semua. Saking memusatkan perhatian pada lawan, ia
sampai tidak ketahui munculnya keenam gurunya itu. Segera, menuruti petunjuknya
Po Kie, ia mulai menyerang di bawah.
Imam itu licah gerakannya,
tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini terlihat tegas oleh Kanglam Liok Koay,
maka itu Po Kie sadarkan muridnya. Karena ini, lantas saja si imam berbalik
terdesak, hingga terpaksa ia main mundur.
Kwee Ceng merangsak maju,
sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak tempo lagi, kedua kakinya saling
sambar dengan tipunya Lian-hoan Wan-yoh-twie – kaki Burung Wanyoh
Berantai. Ia sampai tidak
menyangka bahwa musuhnya bakal menggunai akal.
“Awas!”
teriak po Kie dan Siauw
Eng yang terkejut.
Kwee
Ceng kurang pengalaman, meskipun ia telah diperingatkan, sudah terlambat, kaki
kanannya kena dicekal lawan, terus disempar, maka itu tak ampun lagi, tubuhnya
melayang, dengan suara keras, tubuhnya itu jatuh celentang, hingga ia merasakan
sakit sekali. Saking gesitnya, ia dapat lantas berlompat bangun dengan
gerakannya “Ikan
Tambra Meletik”.
Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya sudah mulai kurung si imam muda.
Tosu
itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak menunjukkan tanda
hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya dengan rangkap kedua
tangannya, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok
Koay. Ia kata: “Teecu In Cie Peng,
atas titah guruku Tiang
Cun Cu
Khu Totiang,
teecu datang untuk memujikan suhu semua sehat-sehat!” Lantas ia berlutut untuk
mengangguk-angguk.
Cu Cong berenam bersangsi, mereka
tidak mengulurkan tangan untuk mengasih bangun, maka itu si imam bangkit
snediri untuk terus merogoh ke dalam sakunya guna menarik keluar sesampul
surat, yang mana dengan kedua tangannya, ia angsurkan kepada enam manusia aneh
itu – tegasnya kepada Cu Cong.“Mari
kita bicara di dalam,” kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan kaki
mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa Monglia.
Tanpa
sangsi, In Cie Peng turut masuk.
Coan Kim Hoat menyulut lilin.
Tenda
itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong
tinggal berlima, karena Siauw Eng tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia.
Melihat itu, Cie
Peng mengerti orang hidup bukan
main sederhananya. ia menjura ketika ia mulai berkata: “Suhu berlima banyak
cape! Guruku sangat bersyukur, dia titahkan teecu datang kemari untuk
menghanturkan banyak-banyak terima kasih”.
“Hm!”
Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: “Kalau kau datang dengan
maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng? Bukankah kau sengaja datang untuk
pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya bertanding?”
Itu
waktu Cu Cong telah membuka sampul dan membaca
suratny. Khu
Cie Kee
memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di
Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A Seng. Ia memberitahu bahwa pada sembilan
tahun yang lalu ia telah berhasil mencari turunan Yo Tiat Sim.
Mengetahui
ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan
Cin Kauw
banyak pengikutnya, yang tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu
nyonya yang lenyap, benar-benar sulit. Tidak diayana, Cie Kee
begitu cepat menemui nyonya itu serta anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng
secara kebetulan.
Surat itu diakhir dengan
pemberitahuan bahwa lagi dua tahun, mereka berdua pihak bakal bertemu pula di
Cui Sian lauw di Kee-hin, disaat bunga-bunga mekar.
“Memang
ini tulisannya Khu
Totiang,” kata Cu Cong
akhirnya.
“Anak
turunan she Yo itu bernama Yo Kang?” Tin Ok bertanya.
“Benar,”
sahut Cie Peng.
“Dia
toh adik seperguruanmu?” Tin Ok menegaskan.
“Dialah
kakak seperguruanku,” sahut pula tosu she In itu. “Walaupun usiaku lebih tua,
diwaktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului dua tahun.”
Dingin
hatinya Kanglam
Cit Koay
mendengar keterangan itu. Kwee
Ceng kalah oleh In Cie Peng, satu
sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo Kang, sang suheng? Pula heran, Khu
Cie Kee ketahui jelas tentang mereka, hal mereka dapatkan Kwee Ceng, hal
kematiannya Thio A Seng, dan hal sekarang mereka berdiam di padang gurun ini….
Sebaliknya, mereka sendiri tidak tahu suatu apa perihal imam itu! Inilah tanda
mereka sudah berada di bawah angin.
“Apakah
barusan kau layani dia untuk mencoba-coba?” Tin Ok tanya
pula, suaranya dingin.
“Teecu
tidak berani,” jawab Cie
Peng, yang berkhawatir oleh sikap orang.
“Sekarang
kau sampaikanlah kepada gurumu itu,” bilang Tin Ok, “Walaupun Kanglam
Liok Koay
tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak bakal digagalkan, jadi dia
tidak usah khawatir suatu apa pun. Bilang bahwa kami tidak usah membalas dengan
surat.”
Cie Peng likat, hingga ia
berdiam saja.
“Ach
ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia!” Tin Ok tanya
pula.
Cie Peng berdiam. Tak sangka
ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu. Ia diperintah gurunya pergi ke utara
untuk menyampaikan surat,
ia dipesan untuk sekalian selidiki Kwee Ceng,
tentang sifatnya dan ilmu silatnya. Khu Cie Kee memperhatikan putra sahabatnya, ia
bermaksud baik, tetapi muridnya ini menyeleweng sedikit, walaupun ia tidak
bermaksud jahat. Setibanya di Mongolia, di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak
segera menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia mencuri lihat Kwee Ceng berlatih,
malah ia menguntit juga orang pay-bong terhadap Thio A Seng hingga ia saksikan
semuanya, tetapi ia diperogoki oleh Tin Ok dan kabur. Coba ia lari tanpa sebat
tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak nanti ia menerbitkan kecurigaan.
“Apakah
kau ada punya hubungan sama Hek
Hong Siang
Sat?” tanya Tin Ok sebab orang diam
saja. “Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu diantaranya terbinasa di
bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?”
Baharu Cie Peng menjawab: “Teecu
ambil tengkorak itu untuk dibuat main, tak ada maksud lainnya. Tentang Hek Hong
Siang Sat dan Kiu Im Pek-ku Jiauw,
teecu tidak tahu-menahu…”
“Hm!”
bersuara Tin Ok yang terus berdiam.
Cie Peng jadi jengah. “Teecu
memohon diri,” katanya kemudian.
Tin
Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng
memberi hormat lagi sekali. Mendadak orang she Kwa ini berseru: “Kau pun
jumpalitan!” dan tangan kirinya menyambar ujung baju orang di betulan dada.
Saking
kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk
membebaskan diri. Inilah hebatnya, coba dia diam saja, dia Cuma akan jungkir
balik. Kali ini ia membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay.
Tin Ok angkat tubuh orang dan membanting. maka jatuhlah ia dengan hebat,
bebokongnya sakit, sampai sekian lama, baharu ia bisa merayap bangun, untuk
dengan terpincang-pincang ngeloyor pergi…..
“Imam cilik itu tak tahu
adat, tepat toako ajaradat padanya,” kata Po Kie.
Tin
Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti kedukaan
toako ini, mereka turut masgul pula.
“Ya,
apa boleh buat….” kata Hie Jin kemudian.
“Benar,
sieko,” Siauw
Eng bilang. “Kita bertujuh saudara
sudah puas berkelana, banyak pengalaman kita, baik pun yang berbahaya, kita
belum pernah mengkerat atau mundur!”
Tin
Ok mengangguk. “Sekarang pergilah kau pulang dan tidur,” katanya pada Kwee Ceng.
“Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia.”
Cu Cong semua gegutan. Hebat
senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini. Senjata itu adalah senjata rahasia
istimewa penjaga diri sejak si kakak tak dapat melihat matahari, tak pernah
dipakai kecuali disaat genting, pula tak pernah diwariskan kepada lain orang,
tapi sekarang hendak siturunkan kepada murid ini.
“Anak Ceng,
lekas menghanturkan terima kasih kepada toa-suhu,” Siauw Eng
ajari muridnya itu.
Kwee Ceng mengucap terima
kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baharu ia mengundurkan diri.
Tin
Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng
dapat wariskan kepandaiannya itu dengan sempurna.
Semenjak
itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak mereka agar si
murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan Khu Cie Kee menampak kemajuannya In Cie Peng itu.
Akan tetapi sulit bagi mereka untuk mewujudkan kehendak itu. Sekalipun seorang
yang berotak cemerlang ada sulit untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek,
apa pula Kwee Ceng yang bebal itu, yang lambat kesadarannya, malah makin
didesak, ia membuatnya semakin banyak kesalahan.
Itu
pagi Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam dijurus keempat yang
bernama “Di cabang pohong menyerang
lutung putih”. Untuk itu perlu orang berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini
mencoba berlompat, selama tujuh atau delapan kali, ia gagal senantiasa, percuma
gurunya ajari ia mesti begini mesti begitu. Siauw Eng
menjadi sangat berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan lemparkan
pedangnya, ia tinggalkan muridnya.
Kwee Ceng terperanjat, ia
menyusul, ia memanggil-manggil, tapi gurunya berjalan terus. Ia menjadi masgul
sekali, hingga ia berdiri menjublak. Ia tahu semua gurunya ingin ia maju, maka
itu, ia mejadi sangat menyesal. ia menjadi gelisah menampak guru-gurunya mulai
perlihat roman tidak puas. ia masih berdiam tatkala dari belakang, ia dengar
teriakannya putri Gochin: “Engko
Ceng, mari
lekas, mari lekas!”
Kapan
ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor kuda, mengasih
lihat roma cemas bernareng gembira. “Ada
apa?” ia tanya.
“Mari lekas lihat!” sahut putri Temuchin itu. “Banyak
burung rajawali lagi bertarung!”
“Aku
lagi berlatih,” Kwee
Ceng beritahu.
Putri
itu tertawa. “Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali dimarahin
gurumu?” dia tanya.
Kwee Ceng jujur, ia
mengangguk.
Putri
itu masih tertawa. “Hebat pertarungan itu!” ia kata pula mendesak. “Mari lekas lihat!”.
“Aku
tidak mau,” sahut Kwee
Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng
barusan, ia berduka sekali, ia lenyap kegembiraannya.
Akhirnya
si putri menjadi tidak sabaran. “Aku sendiri sampai tidak melihat, karena aku
datang untuk mengajak kau!” katanya. “Kalau tetap kau tidak hendak pergi
melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku lagi!”
“Pergi
kau kembali dan melihatnya sendiri,” Kwee Ceng
bilang. “Bukankah sama kalau sebentar kau menceritakannya kepadaku?”
Gochin
lompat turun dari kudanya, ia kasih moyong mulutnya. “Sudahlah, kau tidak mau
pergi, aku juga tidak mau pergi…” bilangnya sambil cemberut. “Aku todak tahu,
rajawalai yang hitam yang menang atau yang putih…”
“Apakah
itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?” Kwee Ceng
tanya.
“Benar!
Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor si
hitam yang mampus…”
Mendengar
itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. “Mari!”
katanya, dan ia tarik tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas
kudanya itu, guna kabur ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali
hitam tengah mengurung dan menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka pada
rontok berhamburan. Rajawali putih lebih besar dan patuknya terlebih kuat,
hebat setiap patukan dan cengkeramannya. Demikian seekor musuhnya yang
terlambat berkelit, kena disambarnya, lalu bangkainya jatuh di depan Gochin.
Gochin |
Sering
Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu, hampir setiap hari
mereka tampak sepasang burung rajawali putih itu, terhadap burung itu mereka
mendapat kesan yang baik, maka itu tidak heran kalau sekrang mereka mengharapi
kemenangannya si putih hingga mereka berteriak-teriak menganjuri si putih itu.
Kata mereka itu saling ganti: “Hayo putih, patuk padanya! Awas di kiri, ada
musuh, lekas berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!”
Lagi
dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih juga telah
mendapat luka, bulunya yang putih ternodai dengan darahnya yang merah.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih mengejar.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih mengejar.
Habis
pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara terdengar
riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam terbang kembali, ke
jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil merapikan bulunya.
“Bagus!”
berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.
Hebat
si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi akhirnya ia
jatuh karena luka-lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh ekor musuhnya itu
masih menyerbu terus.
Kwee Ceng bertiga, Tuli dan
Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin lantas menangis. “Ayah, lekas
panah!” ia teriaki ayahnya.
Temuchin
sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: “Si rajawali hitam menang perang,
mereka itu menggunai siasat, maka ingatlah kamu!”
Dua
putra itu mengangguk
Habis
membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang
di atas jurang, dai liang itu tertampak munculnya
dua kepala anak rajawali putih yang mencoba membuat perlawanan.
“Ayah,
masih kau tidak mau memanah?” tanya
Gochin sambil menangis.
Temuchin
tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu anak panahnya
nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh terbinasa dengan
segera.
Riuh
tempik sorak memuji Khan yang besar itu.
“Coba
kau memanah!” kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.
Putra
itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.
Tuli
pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua sisa
burung rajawali hitam itu terbang kabur.
Panglima-panglima
Teuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung hitam itu sudah terbang
tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung itu dapat menyampok anak panah.
“Siapa
yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!” Temuchin berseru.
Jebe
si Jago Panah berdiri di samping Temuchin, ia berniat pertontonkan ilmu
panahnya Kwee Ceng, ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk menyerahkan
panahnya itu. “Kau berlutut! Kau panah lehernya burung itu!” ia menyuruh dengan
suara perlahan.
Kwee Ceng sambuti panah itu,
ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan
mencekal anak panah berikut talinya, ia lantas menarik hingga busur itu, atau
tangannya menjadi melengkung. Busur itu beratnya dua ratus kati tapi ia dapat
menariknya, karena setelah sepuluh tahun berguru kepada Kanglam Liok
Koay, tenaganya menjadi besar
sekali.
Justru
itu dua ekor burung rajawali hitam terbang beredeng, datangnya dari arah kiri.
Tidak tempo lagi, Kwee
Ceng menarik tangan kanannya,
menarik habis hingga busur itu melengkung sepenuhnya, semabri menarik, ia
mengincar.
“Ser!”
demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia ia mencoba
berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah itu tembus, terus
menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi rubuh bersama di sampingnya
si tukang panah.
Menampak
itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang dibilang, sekali
memanah dua ekor burung. Dan karena
ini, sisa burung yang lainnya terbang kabur, tidak lagi berputaran di atas
jurang.
“Serahkan
burung itu kepada ayahku!” Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.
Si
anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada Temuchin,
di depan siapa ia etkuk sebuah lututnya, kedua tangannya diangkat tinggi, untuk
persembahkan burung itu.
Seumurnya Temuchin paling menyukai
panglima yang gagah perkasa dan orang kosen, sekarang ia saksikan Kwee Ceng
serta sikapnya itu, ia menjadi girang sekali.
Harus
diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali ada besar luar biasa, kalau
sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai setombak lebih, bulu
sayapnya pun kuat seumpama besi, kapan ia menyambar ke bawah, ia dapat cekuk
seekor kuda kecil atau kambing besar, malah adakalanya harimau atau macan tutul
pun mesti lari dari burung ini. Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua
ekor, itulah hebat!
Temuchin
suruh pengiringnya ambil burung itu. “Anak yang baik, kau hebat!” ia kata pada
si bocah.
“Inilah
guruku yang mengajari,“ sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan Jebe,
gurunya itu.
Temuchin
tertawa pula. “Gurunya
Jebe, muridnya juga Jebe!”
pujinya. Di dalam bahasa Mongol,
“Jebe” itu berarti “ahli panah yang lihay atau dewa panah”
Tuli
hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, “Ayah tadi bilang, siapa
yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu, sekarang saudaraku ini
memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak menghadiahkan dia apakah?”
“Apa
pun boleh!” sahut ayahnya itu, yang terus tanya
Kwee Ceng, “Kau menghendaki apa?”
Tuli
girang sekali. “Benarkah barang apa pun boleh?” ia tegaskan ayahnya.
“Apakah
aku dapat mendustai anak-anak?” ayahnya itu tertawa.
Semua
orang mengawasi Kwee
Ceng, sebab heran mereka atas
sikapnya Khan mereka itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal
minta.
“Khan
yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah punyakan segala
apa, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa lagi,” berkata Kwee Ceng
dengan jawabannya.
Temuchin
tertawa lebar. “Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau lebih dulu ingat
ibumu!” katanya. “Kau sendiri, apakah yang kau kehendaki? Kau sebutkan saja,
jangan takut!”
Kwee Ceng perdengarkan suara
perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut di depan kudanya khan yang besar
itu. Ia berkata: “Aku sendiri tidak menghendaki apa-apa, aku hendak mewakilkan
seseorang mohon suatu hal…”
“Apakah
itu?” tanya Temuchin.
“Tusaga,
cucunya Wang Khan itu
busuk dan jahat,” ia berkata. “Kalau
Putri Gochin
dinikahkan dengannya, dibelakang hari mestinya tuan putri menderita, maka itu
aku mohon denagn sangat supaya janganlah tuan putri dijodohkan dengan dia itu”
sambungnya kemudian.
Melengak Temuchin mendengar permintaan
itu, lalu akhirnya ia tertawa terbahak.
“Sungguh
ucapan kanak-kanak!” katanya. “Mana dapat. Baiklah, hendak aku menghadiahkan
kau serupa mustika!” Ia loloskan golok pendek di pinggangnya, ia sodorkan itu pada
si bocah.
Semua
panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik hati. Golok
pendek itu adalah goloknya khan mereka sendiri, golok mustika yang pernah
dipakai membinasakan bnayak musuh. Coba tidak khan itu telah melepas kata,
tidak nanti ia serahkan goloknya itu.
Kwee Ceng menhanturkan terima
kasih, ia sambuti golok itu, yang sarungnya terbuat dari emas dan gagang golok
berukirkan emas berkepala harimau, ditabur sepotong batu kumala hitam, dimana
ada terukir pula kata-kata: “Golok pribadi dari Khan Temuchin”. Di
sebelah itu masih ada ukiran dua baris kata-kata, bunyinya: “Membunuh musuh dan
memusnahkan musuh bagai menyembelih harimau dan kambing”.
Temuchin
berkata, “Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang membunuhnya, kau anak
kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh mereka!”
Belum
lagi Kwee Ceng sahuti si khan itu, mendadak Gochin
menangis, terus ia lompat naik atas kudanya yang lantsa kasih kabur!
Temuchin
keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya yang paling ia sayangi
itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah, maka juga ie menghela napas.
Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke kemahnya.
Semua
panglima dan pangeran mengikuti dari jauh-jauh.
Kwee Ceng tunggu sampai orang
sudah pergi semua, ia hunus golok pendek itu dan melihat sinarnya yang tajam,
yangs seperti mendatangkan hawa dingin adem. Pada golok itu berpeta tanda
darah, yang menyatakan entah berapa banyak korban yang telah dimakan. habis
membuat main itu golok, ia masuki ke dalam sarungnya. Kemudian ia cabut
pedangnya sendiri, untuk melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih tidak berhasil
menyempurnakan jurus “Di cabang pohon
menyerang lutung putih”. Kalau ia tidak melompat terlalu rendah ia tentu tak
keburu menggerakkan pedangnya. Ia menahan sabar, ai mencoba pula, ia malah
makin gagal, hingga ia bermandikan keringat. Tengah ia berlatih, ia dengar
suara berkelengannya kuda, lalu ia tampak Gochin lari mendatangi dengan
kudanya.
Putri
itu tiba untuk terus lompat turun dari kudanya, buat terus rebahkan diri di atas
rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang kepalanya. Ia tidak ganggu Kwee Ceng,
yang lagi berlatih, hanya ia menontoni. Hanya ketika ia saksikan kawan itu
sangat mengeluarkan tenaga, ia berkata: “Sudah, engko Ceng, jangan berlatih
terus, mari beristirahat!”
“Kau
jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara,” kata Kwee Ceng.
Gochin
berdiam, lalu ia tertawa mengawasi kawannya itu. Ia menanti sekian lama, lalu
ia mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia gumpal masing-masing
sesudah mana, ia timpuki itu kepada si anak muda. “Kau sustlah peluhmu!”
katanya.
Kwee Ceng bersuara perlahan,
agaknya ia terkejut, tetapi ia antap sapu tangan jatuh di sampingnya, ia
sendiri terus berlatih.
Gochin
terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar suara berisik
dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing, menyusul mana segera
terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari si rajawali putih besar yang
terbang datnag. Dialah burung tadi, yang mengejar kawanan burung hitam itu,
yang rupanya baharu kembali. Dia rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui
kebinasaan pasangannya. Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.
Kwee Ceng berhenti berlatih,
ia mengawasi burung itu.
“Engko Ceng,
lihat bagaimana harus dikasihani burung itu…” berkata Gochin.
“Pasti
ia sangat berduka,” sahut si engko Ceng itu.
Lagi
sekali burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke atas
seprti memasuki mega.
“Mau
apa ia terbang ke atas?” tanya tuan
putri itu.
Belum
berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula, sangat cepat,
tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu gunung yang besar, maka
di detik lain, ia sudah roboh dengan tidak bernyawa lagi!
Dua-dua
Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka
menjerit dan sama-sama mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya kadi terdiam.
“Sungguh
harus dihormati! Sungguh harus dihormati!” tiba-tiba mereka dengar satu suara
nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi heran, lekas-lekas keduanya berpaling.
Mereka melihat satu tosu atau imam, yang berkumis abu-abu tetapi mukanya merah
dadu, yang tangannya mencekal hudtim atau kebutan pertapa, yang aneh dandannya,
sebab ia telah mebuat tiga konde kecil di atas kepalanya, beroman sebagai huruf
“pin”, sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya sedikit juga, tidak
biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan
ia pun berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Gochin
tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula, memandang ke atas
tebing, dan segera ia berkata: “Bagaimana dengan kedua anak burung itu? Bapak
dan ibunya telah mati…”
Sarang di liang di atas tebing itu sukar
dipanjat orang, kedua burung itu masih kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari makan? Bukankah
mereka itu bakal mati kelaparan….?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar