Bab 17. Pangeran Wanyen
Kang
Kena dihajar secara demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata.
Tidak sempat ia mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia
telah peroleh latihan tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun ia
terhajar hebat, ia tidak terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya, ia cuma
merasakan sangat sakit. Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya, maka tidak
membuat tempo lagi, ia melakukan pembalasan, dengan tendangan beruntun Wanyoh
Lian-hoan-twie, maka dalam sekejap saja, ia dapat menendang terus-terusan
sembilan kali, semuanya cepat dan hebat. Inilah pelajaran yang ia wariskan dari
Ma Ong Sin Han Po Kie di Malaikat Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah
robohkan beberapa jago dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng
belum mendapatkan kesempurnaannya.Kongcu itu menjadi repot, ia berklit dan
berlompatan tiada hentinya. Tujuh tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang
kedelapan dan kesembilan, telah mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur
untuknya, karena berberang ia berkelit, ia tak sampai tertendang roboh, ia cuma
terjerunuk.
Karena
ini keduanya menjadi terpisah. Kwee
Ceng lantas aja singkirkan jubah
sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan mendongkol.
Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa untuknya. Mulanya di Mongolia ia
menghadapi orang-orang jujur, lalu perlahan-lahan ia melihat perubahan. Ia
merasa asing untuk kelakuan curang.
Kongcu
itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera maju seraya
tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda.
Kwee Ceng menangkis, atau ia
menjadi kaget. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit pada dadanya. Karena ini
ketika ia didesak, ia kewalahan, maka tempo kakinya disambar, dengan mengasih
dengar suara “Bruk!” ia roboh memegang tanah!
Semua
pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa.
Kongcu
itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. “Dengan kepandaian
begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?” ia mengejek. “Hm, baik kau
pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu sedikitnya buat duapuluh tahun!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia
hanya menjalankan napasnya, hingga ia merasakan sakit di dadanya itu berkurang.
Ia berlompat bangun kapan ia lihat orang kembali hendak ngeloyor pergi.
“Lihat kepalan!” ia berseru sambil menyerang.Dengan mendak, kongcu
itu berkelit. Kwee
Ceng tidak berhenti sampai disitu,
tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua tangan
lantas bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga dalam Kwee Ceng
terlatih besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu silatnya. Maka itu mereka
menjadi berimbang.
Kwee Ceng menyedot napas, ia
hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu ia masih tetap menolak. Tiba-tiba
ia rasai tenaga lawan lenyap, tak sempat ia menahan dirinya, tubuhnya terhuyung
ke depan. Ketika ia bisa menahan dirinya, dari belakangnya datang serangan. Ia
sudah terjerunuk melewati lawannya, dalam keadaan sulit itu, ia menangkis dari
belakang, tubuhnya sekalian diputar.
“Kau
pergi!” berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras.
Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh
ngusruk, tetapi sikutnya mengenai tanah, dengan cepat ia mencelat bangun,
kakinya dibarengi dipakai menendang dada lawannya.
Ia berlaku sangat sebat, ia ingin membalas, untuk mencari kemenangan.Kongcu
itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda yang bersilat
dengan “Hun-kin Co-kut Ciu” yaitu ilmu silat untuk memisah otot-otot dan
tulang.
Kongcu
ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya beda
daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong,
maka itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu, keduanya
bertempur terus. Selama tujuhpuluh jurus, mereka berimbang dengan
ketangguhannya.
Menampak
demikian si kongcu menggunai akal.
Kwee Ceng tidak tahu lawannya
lagi memancing, ia lantas menyerang. Ia hendak menotok jalan darah
hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia tidak bermusuhan sama si kongcu, ia
lantas geser incarannya ke sisi sasanan semula. Maka adalah diluar dugaannya
ketika si kongcu, yang menangkis dengan tangan kiri, sudah membarengi menyerang
dengan tangan kanan kanan ke arah pinggang, malah tinjuan itu dilakukan saling
susul hingga tiga kali.
Kwee Ceng berkelit, dengan
menggeser pinggangnya, lalu ia membalas. Ketika ini digunai si kongcu, untuk
memegang tangan orang yang kanan itu, buat terus ditarik dengan kaget sambil
berbareng kakinya dipakai menjejak paha si pemuda. Maka tidak ampun lagi,
pemuda itu terguling jatuh.
Bok Ek menonton dari bawah
benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh putrinya. mendapatkan tiga kali Kwee Ceng
roboh, ia lantas maju, untuk mengasih bangun. Ia tahu sekarang, pemuda itu
bukan lawan si kongcu, yang menang seurat. Ia pun
kata: “Lao-tee, mati kita pergi, jangan kita layani segala manusia hina!”
Kwee Ceng roboh dengan mata
kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar sekali, maka setelah dikasih bangun,
ia lepaskan diri dari tangan Bok
Ek, ia maju pula, untuk menyerang.
“Eh,
kau masih belum takluk?” berkata si kongcu, seraya mundur.
Kwee Ceng tidak menyahuti,
hanya ia merangsak.
“Jikalau
kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!” kongcu itu mengancam.
“Kau pulangi sepatu orang!” bentak Kwee Ceng.
“Kalau tidak, aku tidak mau mengerti!”Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh,
romannya ketolol-tololan. “Bukankah nona itu bukan adikmu?” ia bertanya,
“Kenapa kau seperti hendak mengadu jiwa memaksa aku menjadi toakomu!”
“Kurang ajar!” mencaci Kwee Ceng.
“Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia adikku!” Ia gusar sebab kongcu itu ejek
dia sebagai toaku, ipar. Itulah cacian di antara orang Pakhia, tetapi ia tidak
tahu, ia cuma mendongkol. Karena dicaci begitu, ia ditertawai sekalian pengikut
si kongcu.Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. “Tolol, awas!” ia
berseru seraya menyerang.
Kwee Ceng melawan, dari itu,
mereka menjadi bergumul pula. Kali ini pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi
ia kena dipancing. ia kalah pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si
kongcu.
Pertempuran
seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek
jadi merasa tidak enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah,
sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar
setempat. Ia juga berkhawatir untuk banyaknya orang, i antara siapa ia tampak
beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal
senjata. Di sebelah mereka, yang
bicarakan silat kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal
menang.
Dengan
perlahan-lahan Bok
Ek menggeser ke tempat
pengiring-pengiringnya si kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga
orang yang menarik perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya
besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan. Dia berdiri
tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang kedua sudah lanjut
usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya
bercahaya segar, dan tidak keriputan. Dia pun
bermata tajam. Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga usianya
yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate
dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya
mencorong tajam. Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut
hatinya.
“Leng
Tie Siangjin,” berkata satu pengiring, “Baik kau maju dan hajar bocah itu,
kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka,
hilanglah jiwa kami semua…”
Itulah
se pendeta Tibet
yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah si rambut ubanan yang
berkata sambil tertawa: “Paling juga kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya
hendak mengehndaki jiwamu?”
Bok Ek terperanjat. Orang
disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan pangeran. Kalau begitu,
benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya itu terluka. Tidakkah
di antara pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah
dan lihay?”
“Jangan
takut!” berkata si orang kate dan
kecil. “Siauw-ongya lebih lihay daripada lawannya itu!”
Orang
ini kate dan kecil akan tetapi
suaranya mengejutkan. Suara itu nyaring, hingga beberapa orang disampingnya
menjadi terkejut, semua pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar,
hingga mereka lekas-lekas melengos.
Si
rambut putih tertawa, dia pun berkata: “Siauw-ongya telah belajar ilmu silat
belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia
tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya…”
“Eh,
saudara Nio, coba bilang,” berkata si kate
kecil, “Ilmu silat siauw-ongya itu ada dari partai mana?” Kali ini ia berbicara
dengan perlahan.
Si
rambut putih tertawa. “Haouw
Laotee, kau lagi uji mataku,
bukan?” ia berkata. “Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin
Kauw.”
“Sungguh
begitu, sungguh aneh!” kata si kate
kecil itu. “Bukankah kaum Coan
Cin Kauw
itu bangsa aneh? Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada
siauw-ongya…?”
“Ongya
pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?” kata pula si rambut ubanan
itu. “Umpama kau sendiri, Haouw
Laotee. Kau biasa menjagoi di dua
propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?”
Si kate kecil itu
mengangguk.
Si
ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu. Ia
dapatkan Kwee
Ceng berubah silatnya, ialah
gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali
siauw-ongya menyerang padanya.
“Haouw Laotee,
coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?” ia tanya.
“Kelihatannya
kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya,” sahut si kate kecil itu kemudian.
“Pheng Ceecu
benar,” berkata seorang di pinggiran, “Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay.”
Bok Ek pandang ornag itu,
yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia
kata di dalam hatinya: “Dia memanggil Pheng Ceecu,
mungkinkah si kate kecil ini adalah
kepala berandal? Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar
mereka masih hidup?”
Selagi Bok Ek berpikir, si muka
biru dan kurus itu sudah berlompat maju ke tengah kalangan seraya ia berseru:
“Hai bocah, kau ke sini!” Dia pun menarik keluar sebatang kongce atau cagak
dari dalam sakunya.
Orang
banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek
pun tidak kurang kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng.
Tentu saja ia tidak kenal si orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,
paman gurunya Hong
Ho Su
Koay.
Hauw
Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak, di
antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya
compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit “Ayo!” seraya
terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang. Thong Hay mengejar terus, ia
diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.
Kwee Ceng sedang bertempur, ia
heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ai
terkejut. Pemuda dengan pakaian tidak karuan itu adalah Oey Yong,
sahabat barunya. Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang si kongcu.
“Tahan
dulu!” ia berseru seraya lompat keluar kalangan. “Aku hendak pergi sebentar,
segera aku kembali!”
“Lebih baik kau mengaku kalah!” mengejek
si kongcu.
Kwee
Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatirkan
keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba ia
tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik
kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di belakangnya tampak Thong Hay tengah
mengajar tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabutan, setelah datang
dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu!
Oey Yong sangat lincah,
selalu dapat ia kelit tubuhnya.
Kongce
itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya
berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi
nyaring setiap kali digeraki. tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong.
Ia nyelusup sana
dan nyelusup sini di antara orang banyak.
Segera
juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang kiri
dan kanan, tambah tanda tapak lima
jari tangan, tanda arang hitam. Terang sudah dia telah kena ditampar oleh
lawannya yang licin itu.
“Mari! Mari!”
Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat
pisahkan diri jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam,
menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang.
“Jikalau
aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu, aku
Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!” Thong Hay sesumbar. Ia berteriakan,
ia mengejar.
Oey Yong menanti sampai orang
sudah datang dekat, kembali ia lari. Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya
Thong Hay, membuatnya orang banyak saban-saban tertawa riuh.
Dalam
saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya
tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian Ceng
Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.
Itu
waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu
silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah
menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing kepada Hauw Thong Hay.
“Bagus
perbuatannya,” ia pikir.
Kelakuan
Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong,
menyebabkan rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.
Leng
Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya ialah
ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi mukanya
tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai Tiang
Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia tetap awet muda sebab sejak masih kecil
ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao
Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa yang
menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom,
dan siapa bukan orang-orang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua.
Dan orang ynag matanya tajam bagaikan
kilat itu adalah orang ynag sangat terkenal di Tionggoan,
namanya Pheng
Lian Houw,
julukannya Cian-ciu Jin
Touw, Pembunuh Sribu
Tangan. Di
selatan dan utara Sungai
Besar, sekalipun wanita umumnya
kenal namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti; “Peng Lian
Houw datang!” tentulah berhenti
tangisnya.
Berkatalah
Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: “Selama aku di Kwan-gwa, telah aku dengar nama
besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali, kenapa adik
seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak
sanggup layani?”
Pheng Lian Houw mengkerutkan
keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong
Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka “bekerja tanpa modal”, dan ia
tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi
demikian tidak berdaya?
Selagi Oey Yong permainkan Hauw
Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng
dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya telah robohkan Kwee Ceng
lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia pun
berdahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya.
Dipihak
lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu
Ciauw-cin, ia hampirkan Kwee
Ceng untuk dihiburkan, untuk
diajak pulang ke penginapannya, untuk beristirahat. Tapi, belum kebeuru mereka
berangkat, mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang
konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar oleh
Hauw Thong Hay. Tangannya
Oey Yong
sambil mengibar-ibarkan dua potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiaannya
menjadi tidak karuan macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju
dalamnya yang putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma
Ceng Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari
mendatangi dengan napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong
dan Hauw Thong Hay saudh lenyap pula.
Semua
orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu, mereka
menjadi tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas dengar
bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan
orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang
kalang-kabutan ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir
pergi. Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan.
Menyausul rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong
sebuah joli besar yang indah.
“Ong-hui
datang! Ong-hui datang!” pengikut-pengikutnya si siauw-ongya berseru
berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu.
Siauw-ongya
lantas mengerutkan keningnya.
“Rewel!”
ia menggerutu. “Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?”
Tidak
ada berani ynag menjawab. Segara juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua
pengikut maju untuk memberi hormat.
Dari
dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita,
suara yang halus: “Kenapa berkelahi? Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk
angin!”
Bok Ek dapat mendengar
tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu seperti mengaung di
kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir keras.
“Kenapa
suara ini sama suaranya orangku ini?” katanya di dalam hatinya. Tiba-tiba ia
tertawa sendirinya. Ia berpikir pula: “Orang ini adalah onghui dari negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah
pikun? Sungguh gila untuk memikir yang tidak-tidak…”
Tidak
dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk mendekati
joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli diulur keluar sebelah
tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa
mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari
berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan,
hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si
saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir seorang
pangeran atau raja.
“Ibu,
aku senang bermain-main,” terdengar suaranya pangeran muda itu. “Tidak
apa-apa…”
“Lekas
pakai bajumu, mari kita pulang
bersama!” kata si onghui kembali.
Kembali
si Bok Ek terperanjat. “Benarkah di kolong langit
ini ada dua orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?” ia menanya
dalam hatinya, yang terus berdebaran.
Satu
pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat begitu, ia
pandang Kwee
Ceng dengan bengis dan memdamprat:
“Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!”
Satu
pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke arah
kepala si anak muda, atas mana, Kwee
Ceng berkelit, sebelah tangannya
diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan mana, satu kakinya
menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling. Tapi Kwee
Ceng tidak berhenti sampai disitu,
ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali.
“Siapa
suruh kau menganiaya rakyat jelata!” ia menegur.
Orang
senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi kawannya
itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng,
satu demi satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul.
Siauw-ongya
menjadi gusar. “Kau masih berani main gila?!” tegurnya. Ia terus lompat, untuk
tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, habis mana, ia tendang
itu anka muda.
Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan
begitu, keduanya jadi bertempur lagi.
“Jangan!
Jangan berkelahi!” onghui berseru mencegah.
Terhadap
ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti termanjakan. Ia
berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti: “Tidak, ibu , tidak dapat
tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!”
Setelah
belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia hendak
banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng
lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah.
Selama
itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa
disekitarnya, sepasang matanya terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka
tempo tenda tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli
dan rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda
yang lagi bertarung itu. Mengawasi mata orang itu, Bok Ek
berdiri menjublak bagaikan patung.
Kwee Ceng dirobohkan dua kali,
dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat
dirobohkan pula. Ia bertubuh kuat, ia dapat melayani pukulan berulang-ulang
kepada tubuhnya itu. Ia pun menang ‘kang-lat’ atau tenaga latihan, ia menjadi
ulet sekali.
Itu
waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di rambutnya
Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw atau tanda
barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual kepalanya
itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong,
lawannya yang lincah dan licik itu. Di
belakang mereka tidak tertampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena
dirobohkan pemuda itu.
Nio Cu Ong bertiga menjadi
heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong
itu sebenarnya orang macam apa.
Selagi
bertempur, lengan Kwee
Ceng kena dihajar satu kali, lalu
ia membalas memukul paha siauw-ongya. Mereka jadi semakin sengit berkelahinya. Kwee Ceng
berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang
musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri
ari tujuh puluh dua jurus. Maka itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa
atau terluka parah. Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata rahasia
mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam jiwanya. Mereka
adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee Ceng,
sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng
menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.
Makin
lama Kwee Ceng makin gagah. Inilah tidak heran sebab
ia hidup di tanah gurun. Sebaliknya
siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja, ia kalah ulet, maka ia lantas
terdesak.
Satu
kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw-ongya itu.
Siauw-ongya berkelit, terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan,
dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng
dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan itu, lalu tangan
kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan. Siauw-ongya terkejut, ia
membalas membangkol dan memegang leher lawannya itu. Maka keduanya menjadi
berkutat, yang satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik.
Semua
orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari tenda. Putrinya Bok Ek,
ynag tadinya numprah di tanah, berlompat bangun, parasnya pun pucat.
Disaat
itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng
kena digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng
merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih sadar,
sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia
angkat tubuh siauw-ongya, untuk dilemparkan. Ia nyata telah menggunai ilmu
silat bangsa Mongolia,
yang ia peroleh dari Jebe.
Siauw-ongya
dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya, dengan cepat
ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan begitu, ia tidak
terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki lawannya itu, ia
menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling tindih, hanya
siauw-ongya berada disebelah atas. Dia ini sebat, dia lompat, tangannya
menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan
tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng.
Dengan
menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia dikam
terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk ia
melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu.
Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu
Tiauw-cin. Di sini ia gunai kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai
menangkis, sesudah mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan
membalas. Maka sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng
hanya bergenggaman tiang bendera.
Tiang
bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, ynag bersilat denagn
tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pian-hok Kwa
Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan baik.
Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena
didesak hingga ia mesti selalu membela diri.
Bok
Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia menjadi
makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu tombak Keluarga Yo,
ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan.
Yang menegrti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka
heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya itu? Ia terus mengawasi,
sampai akhirnya ia merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia mencegah mengucurnya
air matanya.
Nona
Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.
Diakhirnya
terdengar teriakannya onghui: “Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi lagi!”
Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat.
Mendengar
suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan. ia segera geraki
tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Atas itu, Kwee Ceng merasakan
telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas terlepas dari cekalannya, mental
ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus.
Anak
muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia menemui
tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau satu pukulan telah
menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan
cepat, tetapi tidak urung, lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia
terguling roboh.
Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling
kepada si pangeran muda dan berkata sambil tertawa: “Siauw-ongya, akan aku
bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh…” Sembari berkata,
ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si
anak muda lagi merayap bangun.
Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya
sakit. Untuk
tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga.
Disaat
anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan dari
antara orang banyak: “Perlahan!” Lalu terlihat melesetnya satu bayangan abu-abu
perak disusul serangan semacam senjata, yang terus saja melibat tangannya si
orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal. Tetapi Lian Houw tidak diam
saja, ia segera menarik pulang tanagnnya, begitu keras, hingga senjata yang
melibatnya ia terputus.
Orang
yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi lekas
juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk, setelah mana, ia lompat
mundur.
Sekarang
orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan, jubahnya
warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya kebutan
itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangannya Lian Houw.
Ia terus mengawasi pada Lian Houw, yang kemudian berkata: “Tuan, adakah kau
Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor? Hari ini aku dapat bertemu denganmu,
sungguh aku merasa sangat girang!”
“Tidak
berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi
olehmu,” sahut Lian Houw. “Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang.”
Semua
orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya toapan, yang kumis dan
janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abu-abu
bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan satu
tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu, di
tanah lalu tertapak dalam. Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.
Melihat
tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. “Jadinya totiang adalah Thie Kak
Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?” ia menanya.
Imam
itu menjura. “Teecu terlalu memuji kepadaku,” ia menyahut. “Memang benar, pinto
adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin.”
Peng
Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin
mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu
Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka
menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung. Coba
tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak
kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si
Dewa Kaki Besi yang pernah menakluki jago-jago di Utara.
Ong
Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata: “Pinto tidak
kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya berusan, hatiku
menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng
Ceecu memberi ampun kepada jiwanya.”
Melihat
sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw, Peng
Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, ia memberikan
persetujuannya.
Ong
Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar tubuh,
ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali.
“Siapakah
namamu?” ia menanya bengis, “Siapakah gurumu?!”
Siauw-ongya
itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk berlalu,
tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahuti: “Namaku Wanyen Kang. Nama
guruku tidak dapat aku beritahukan padamu.”
“Bukankah
gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri? Ong Cit It tanya
pula.
Wanyen
Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak matanya
si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia untuk
main gila. Ia lantas mengangguk.
“Memang
telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu,” berkata Ong Cinjin. “Hm,
bagus benar perbuatanmu ya? Pada mula kali gurumu hendak mengajarkan silat
padamu, apakah ia telah bilang padamu? Apakah pesannya?”
Wanyen
Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk.
“Anak,
lekas pulang!” demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.
Anak
ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat satu
pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat. Maka itu,
lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia berkata: “Totiang kenal guruku itu,
terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah
totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe anti mendengar segala pengajaranmu.”
Dengan
lantas siauw-ongya ini membahasakan diri “boanpwe”, orang dari tingkat lebih
rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang
tingkat derajatnya terlebih tua.
“Hm!”
Ong Cie It perdengarkan suaranya.
Wanyen
Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah lantas
menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata: “Saudara Kwee, kalau
kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu sama lain. Ilmu silat kau
saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu, aku pun minta suka kau bersama
totiang berkunjung ke rumahku. Sukalah kau kalau kita mengikat persahabatan?”
Kwee
Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya serta
bertanya: “Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?”
Wanyen
Kang menjadi likat. “Hal itu kita perlahan-lahan saja kita bicarakan pula,”
katanya.
Mendengar
itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. “Engko Kwee kecil, mari kita pulang!”
berkata ia. “Buat apa kau layani pula manusia hina dina ini?”
Wanyen
Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia hanya menjura
pula kepada Ong Cie It seraya berkata: “Totiang, bownpwe menantikan segala
kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang tanyakan saja istananya
Chao Wang.”
Habis
berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu pengiringnya
bawa kepadanya, terus ia lompat naik ke atas kuda itu, yang pun ia kasih lari
ke antara orang banyak, hingga mereka itu berlari-lari untuk menyingkir dari
bahaya kena diterjang kuda.
Ong
Cie It mendongkol untuk sikap keagung-agungan itu. Tapinya ia berkata kepada
Kwee ceng, “Engko kecil, kau turut aku,”
“Aku
hendak menantikan dulu sahabatku…” Kwee ceng menjawab.
Belum
berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari antara orang banyak, lantas
saja ia berkata sambil tertawa: “Aku tidak kenapa-kenapa! Sebentar aku pergi mencari padamu…!” Baru ia mengucap,
kemudian ia menyelinap di antara orang banyak itu. Ia memang bertubuh kecil dan
lincah.
Di
lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.
Melihat
si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati. Tapi ia pun
cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin. “Totiang, banyak-banyak
terima kasih,” ia berkata.
Ong
Cie It tidak bilang suatu apa, ia cekal tangan si bocah, untuk diajak pergi,
hingga dilain saat mereka sudah tinggalkan orang banyak itu dan tengah menuju
keluar kota.
Cepat
tindakannya si imam, sebentar saja mereka sudah berada diluar kota. Selang lagi
beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak buklit. Di sini si imam
berjalan semakin cepat. Memang ia hendak menguji enteng tubuhnya si bocah.
Sampai
sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti denagn baik kepada si imam itu. Ia
sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan dibawah pimpinan Tan Yang Cu Ma
Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa berlari-lari tanpa napasnya
memburu atau hatinya berdenyutan.
Ong
Cie It cekala tangan orang, ia lari terus-terusan, tiba-tiba ia melepaskannya.
Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.
“Dasarmu
tidak jelek!” ia berkata dalam herannya itu. “Kenapa kau tidak dapat
mengalahkan dia itu?”
Kwee
Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja.
“Siapakah
gurumu?” Ong Cinjin menanya lagi.
Kwee
Cneg tahu di antara adik seperguruan dari ma Giok ada yang bernama Ong Cie It,
ialah ini imam, dari itu, tidak mau ia mendusta. Ia menyebutkan Kanglam Cit
Koay dan Ma Giok.
Mendengar
itu Ong Cie It menjadi girang sekali. “Toasuko telah ajarkan kau ilmu silat,
bagus!” katanya. “Sekarang aku tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi!”
Kwee
Ceng heran, ia mengawasi imam itu.
“Orang
dengan siapa tadi kau bertempur, yang dipanggil setahu apa siauw-ongya Wanyen
Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau tahu atau tidak? bertanya
si imam.
Bocah
itu tercengang. “Apa?” dia menanya. “Aku tidak tahu…”
Ma
Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak tahu
tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar pertanyaannya
Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In Cie Peng hingga ia
ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu silatnya In Cie Peng itu.
Ia lantas menunduki kepala.
“Teecu
tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu telah berlaku
kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf,” ia memohon.
Ong Cie It tertawa bergelak.
“Hatimu
mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!” ia berkata.
Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh : “Kami kaum Coan Cin
Kauw ada punya aturan yang keras, kalau ada murid yang bersalah, dia dapat
dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau dieloni. Siauw-ongya itu
sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta toasuko menghukum padanya!”
“Asal
ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun padanya,”
berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin merekoki jodohnya
nona Bok.
Ong
Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam hatinya tapinya
ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah. kemudian setelah berpikir, ia
berkata-kata seorang diri: “Toasuko biasanya benci kejahatan sebagai musuh
besarnya, dia lebih-lebih membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia bolehnya
mengajari silat kepada satu pangeran Kim? Sungguh membikin pusing kepala…”
Terus ia mengawasi Kwee Ceng dan berkata pula: “Khu Toasuko telah menjanjikan
aku bertemu di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentulah ia bakal tiba, maka
setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segala apa. Toasuka telah
menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu pergi ke Kee-hin
untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana kepandaiannya murdi she Yo itu,
nanti kau jangan khawatir. Di sini ada aku, tidak nanti aku bikin kau memdapat
susah….”
Kwee
Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal duapuluh empat bulan tiga
sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan pergi ke Kee.hin itu,
gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka itu ia heran atas
kata-katanya imam ini.
“Totiang,
pibu apakah itu?” ia bertanya.
Ong
Cie It dapat menduga, ia menghela napas. “Gurumu belum membilang suatu apa
kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan,” ia menjawab.
Ong
Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay. Dia telah mendengar lelakonnya kedua
keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit Koay pasti menghendaki
kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia Aneh dari Kanglam itu tidak mau
menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng, maksudnya pasti untuk mencegah Kwee Ceng
menjadi bersusah hati hingga pernyakinan ilmu silatnya menjadi terganggu. Atau
mungkin disebabkan musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee Ceng itu nanti
berkelahi tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi tidak memperoleh
kemenangan.
“Sekarang
masri kita lihat itu orang she Bok dan gadisnya,” berkata Ong Cie It kemudian.
“Nonan itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti menerbitkan bencana jiwa…”
Kwee
Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya lantas berjalan
dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan Kho Seng di jalan besar
utama. Baharu mereka sampai di depan pintu, dari dalam hotel sudah muncul
beberapa pengiring dengan pakaian seragam bersulamnya, semua lantas memberi
hormat kepada Ong Cinjin seraya berkata: “Kami diperintahkan siauw-ongya
mengundang totiang serta Tuan Kwee menghadiri pesat di gedung kami.” Mereka
lantas menyerahkan sehelai kartu nama di atas mana ada tertera: “Hormat dari
teecu Wanyen Kang.”
“Sebentar
kita datang,” berkata Ong Cie It.
“Dan
ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee sudi
menerimanya,” berkata pula si pengiring. “Dimana totiang dan Tuan Kwee tinggal?
Nanti kami pergi mengantarkan ke sana.”
Beberapa
pengiring lainnya lantas maju untuk mengsih lihat barang antaran mereka, yang
terdiri dari duabelas, isinya semua adalah makanan dan bebuahan yang istimewa.
“Oey
Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk dia,” Kwee Ceng
berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu.
Ong
Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik, akan tetapi
kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima itu. Ia tersenyum, di dalam
hatinya ia berkata: “Dasar bocah! Dia tidak harus dipersalahkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar