Bab 34. Orang aneh di dalam kurungan
Yo Kang senang melihat kekasihnya
itu.
“Adikku,
kau beistirahatlah,” katanya kemudian. “Nanti aku masak air untuk kau mencuci
muka!”
“Mana
kau bisa memasak air!” Oey
Yong menyelak. “Aku yang nanti
pergi masak. Engko
Ceng, mari!”
Nona
ini ingin berduaan dengan kekasihnya itu. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam Cu
sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang,
romannya pun dingin.
“Tunggu
dulu!” demikian katanya. “Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan
keagunganmu!”
Muka
Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia menjublak,
tetapi di dalam hatinya ia berkata: “Rupanya dia telah mendapat dengar apa yang
tadi aku bicarakan dengan hu-ong…”
Liam Cu melihat muka orang
agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka rahasia bahwa orang she Yo
inilah yang melepaskan Wanyen
Lieh. Ia tahu, dalam gusarnya Oey Yong
bisa membinasakan tunangannya itu.
“Kau
memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?” ia berkata, dingin. “Tidakkah
itu terdengarnya lebih erat? Kenapa justru kau memanggil hu-ong?”
Yo
Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran.
Oey Yong tidak bercuriga, ia
menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih, maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng.
“Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka
akan akur pula…” bisiknya.
Kwee Ceng tertawa, ia mengikut
keluar.
Sampai
di depan Oey
Yong berkata dengan perlahan: “Engko Ceng,
mari kita curi dengar pembicaraan
mereka.”
“Jangan
bergurau, aku tidak mau pergi!” kata si pemuda.
“Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!” Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.
“Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!” Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.
Justru
itu terdengar suara Lim
Cu: “Kau mengakui bangsat menjadi
ayahmu, itulah masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama
dan kau pun belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar,
itulah yang bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri…! Ini,
ini….!”
Saking
murka dan pepat hati, Liam
Cu tidak dapat berbicara lebih
jauh.
“Adikku,
aku…” berkata Yo Kang sambil tertawa.
Tapi
ia dibentak nona Bok: “Siapa adikmu?! Jangan pegang
aku!”
Lalu
terdengar suara “Plak!” maka muka Yo Kang kena ditampar.
Oey Yong tertawa, dia
berlompat turun, terus masuk di jendela.
“Kalau
ada bicara, bicaralah baik-baik!” ia berkata, tertawa. Ia tidak menduga jelek.
Ia melihat muka Liam
Cu merah gusar dan paras Yo Kang
pucat berkhawatir, ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat.
Ia memikir untuk mengakuri.
Baru
ia hendak membuka mulutnya, atau Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu:
“Bagus!” kata orang she Yo itu. “Kau menyambut yang baru dan membuang yang
lama! Di dalam hatimu sudah ada orang
lain, maka begitulah kau berlaku terhadap aku!”
“Kau,
kau bilang apa?!” kata nona Bok.
“Kau
telah ikut Auwyang
Kongcu itu! Dia pintar surat dan pandai silat,
dia menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!”
Liam Cu mendongkol hingga
kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan.
“Yo
Toako, jangan kau omong sembarangan,” berkata Oey Yong.
“Kalau enci Bok menyukai telur busuk itu, mustahil
dia menaruh enci di dalam peti mati ini?”
“Palsu
atau bukan, sama saja!” berkata Yo Kang. “Dia kena ditawan, dia kehilangan
kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama pula dengannya?!”
“Aku
kehilangan kesucian apa?!” tanya Liam Cu
sengit.
“Kau
telah terjatuh di tangan orang untuk banyak hari, kau dipeluk dan dirangkul
pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih?!”jawab pemuda itu.
Liam Cu begitu mendongkol
hingga ia memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh ke belakang.
Hampir
Yo Kang berlompat untuk menubruk atau dia ingat, Liam Cu sudah ketahui
rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya itu pecah di
hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana
ia melompat tembok untuk menyingkir terus.
Oey Yong menguruti Liam Cu
sekian lama, baru nona itu sadar. Ia berdiam sebentar, lantas ia tidak menangis
pula, sikapnya pun tenang.
“Adik,
hendak aku meminjam pisau belati yang baru-baru ini aku serahkan padamu!”
katanya kemudia.
“Engko Ceng,
mari!” Oey Yong
memanggil sebelum ia sahuti si nona.
Kwee Ceng dengar panggilan
itu, ia lantas muncul.
“Coba
kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako,” kata
nona Oey.
Kwee
Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya Bwee
Tiauw Hong, pisau mana dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf-hurufnya,
yang terukir dengan jarum. Ia tidak tahu, itulah rahasianya Kiu Im
Cin Keng.
Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam Cu.
Oey Yong pun mengeluarkan
pisau belatinya, ia berkata perlahan: “Pisaunya engko Ceng ada padaku, mana itu
kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci, inilah jodoh yang sudah
ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itulah tidak ada artinya, jangan kau
berbuat duka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku. Sekarang ini bersama
engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia untuk mencari Wanyen Lieh,
maka itu enci, jikalau kau senang, mari
kau turut bersama kami pesiar. Aku percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama.”
“Ya,
mana saudara Yo?” Kwee
Ceng tanya.
Oey Yong mengulur lidahnya,
lekas ia berkata: “Barusan ia berselisih dengan enci, dalam gusarnya enci telah
menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi…”
“Aku
tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana,” berkata Liam Cu.
“Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah
itu tidak nanti berada di Pak-khia. Dia takut nanti
kamu pergi mencarinya untuk menuntut balas! Engko Kwee,
adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, beruntungan kamu pun bagus….”
Ia
berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana
ia mengenjot tubuhnya, ia berlompat naik ke atas genting.
Melihat
orang muntah darah, hati Oey
Yong tidak tenang. Lantas ia
menyusul. Ia masih sempat melihat nona Bok berada di
bawah sebuah pohon besar, tangan kiriny diangkat tinggi, tangan kanannya
diangkat ke atas kepalanya dan sinar pisau belati berkelebat di cahaya
matahari. Ia terkejut.
“Enci,
jangan!” ia berteriak.
Tentu
ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka jauh
sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampirkan.
Liam Cu tidak menikam
lehernya atau dadanya, hanya dengan piasu belati itu ia membabat kutung
rambutnya, lalu ia membuangnya, terus kakinya berlari-lari.
“Enci!
Enci!” Oey Yong berteriak-teriak memanggil.
Liam Cu tidak
memperdulikannya, ia lari terus sampai ia lenyap dari pandangan mata, sedang Oey Yong
cuma bisa melihat rambut berterbangan berhamburan ke selokan, ke sawah dan
pepohonan di dekat-dekat situ.
Semenjak
kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia
menginsyafi apa yang dinamakan kedukaan. Senang ia tertawa lebar, jengkel ia
menangis menggerung-gerung, sejenak kejengkelan itu hilang. Tetapi sekarang ia
menyaksikan peristiwa hebat itu di depan matanya, ia dapat merasainya untuk
pertama kalinya. Ia jadi berduka dan terharu. Dengan perlahan-lahan ia kembali
ke rumah abu. Kepada
Kwee Ceng
ia beritahukan perbuatannya Liam
Cu itu, yang terus menghilang.
“Entah
kenapa enci Bok berlaku demikian,” berkata Kwee Ceng,
yang tidak mengerti duduknya hal. “Dia beradat keras sekali.”
Oey Yong heran hingga ia
berpikir: “Mustahilkah seorang perempuan yang dirangkul-rangkul dan
dipeluk-peluk hilang kesucian dirinya? Hingga sekalipun orang yang mencintainya
dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata kepadanya, sampai ia tidak
diambil peduli lagi?”
Terus
si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk
menyender di tiang dengan mata dimeramkan, hingga akhirnya ia tertidur pulas.
Ketika
sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan seperti
yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya itu, serta
Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong masih
tetap tidak muncul. Lee
Seng ketahui tabiat aneh dari
pangcu itu, ia tidak mengambil peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu.
Semua orang sangat menyukai anak-anak muda itu. Bahkan nona Thia turut
mematangi beberapa rupa barang santapan dan memerintahkan budaknya
mengantarinya tempat pesta itu.
Habis
berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng
dan Oey Yong berdamai. Wanyen Lieh
tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk menacri padanya, dari itu perlu mereka
memenuhkan janji pergi ke Tho Hoa To. Untuk itu, tentu saja mereka mesti pergi
dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam
Liok Koay,
untuk berembuk terlebih jauh.
Oey Yong akur, maka itu
besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka ke Selatan.
Itu
waktu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik. Maka
cocok pepatah orang Kanglam yang membilang; “Bulan enam tanggal enam, telur
bebek terjemur hingga matang!” Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap
menyiksa.
Pada
suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin. Gurunya masih belum datang. Maka itu
iamenulis surat kepada keenam gurunya itu serta suratnya dititipkan kepada
kuasa rumah maka Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba,
supaya suratnya itu diserahkan. Ia menulis halnya bersama Oey Yong ia mau pergi
ke Tho Hoa To. Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.
Oey Yong girang bukan main
tiba di kampung halamannya sendiri.
“Ayah,
ayah!” dia berteriak-teriak, “Yong-jie pulang!” . Ia berlari-lari sambil terus
menggapai-gapai kepada Kwee
Ceng.
Kwee Ceng melihat orang lari
ke timur dan ke barat tak ketentuan, atau dilain saat nona itu lenyap dari
pandangan matanya. Ia heran, ia lekas lari menyusul. Baru lari belasan tembok,
ai sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat penjuru, tak tahu ia jalan
mana yang ia mesti ambil. Tempo ia memaksa maju terus, sebentar kemudian ia
kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan di Kwie-in-chung, yang
menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini mestinya sama mempunyai
jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan istimewa.
Untuk
tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng
duduk di bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong
kembali untuk menyambut padanya. Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum
muncul juga. Ia jadi tidak sabaran. Ia memanjat sebuah pohon tinggi, akan
memandang ke seputarnya. Di Selatan ada laut, di
barat ada batu gundul. Di timur dan
utara, semuanya pohon bunga dengan bunganya warna merah atau kuning, atau hijau
atau ungu. Tak nampak tembok, tak terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling
situ. Tanpa merasa, hati Kwee
Ceng menjadi tidak tenang. Lantas
ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Atau mendadak ia merandak,
separuh berseru, ia kata dalam hatinya: “Celaka! Aku pergi tanpa tujuan! Kalau Yong-jie
mencari aku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!” Maka ia lari balik. Apa mau,
ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat lain.
Pemuda
ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikuti padanya.
Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya menjadi
ketinggalan. ketika sang sore mendatangi, ia putus asa, ia duduk mendeprok di
tanah. Hendak ia menantikan si nona….
Senang
ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan laparnya,
yang mengganggu. Gangguan lapar jadi semakin hebat kapan ia ingat masakan yang
lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong…
Tiba-tiba
pemuda ini kaget dan bergelisah hatinya.
“Kalau Oey
Yong dikurung ayahnya dan dia
tidak dapat menolongi aku, bukankah aku bakal mati kelaparan di sini?”
pikirnya. Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit hati ayahnya belum terbalas. Ia
pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun pasir. Kalau ia mati, sama
siapa ibunya itu akan mengandal? Letih ia berpikir, lama-lama ia kepulasan
sendirinya.
Sampai
tengah malam, Kwee
Ceng bermimpi bersama Oey Yong
pesiar ke kota
raja Pak-khia, sama-sama dahar barang hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi
merdu untuknya. Tiba-tiba ia berdusin mendengar suara seruling. Ia memasang
kuping, matanya pun melihat sinar rembulan indah. Ia tahu yang ia tidak tidur
lagi. Ia hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh. Ia menjadi mendapat
hati, maka ia berbangkit, terus ia bertindak ke arah darimana suara itu datang.
Ketika ia mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.
Kemudian
pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in-chung, lantas ia berjalan terus,
kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon. Kali ini ia mendengar suara semakin
nyata, maka ia jalan semakin cepat. Akhirnya, ketika ia menikung, ia melihat
satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal mirip
sebuah telaga kecil. Di sini suara
seruling sebentar tinggi dan sebentar rendah. Anehnya, kalau ia dengar suara di
timur dan pergi ke sana,
suara itu pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara.
Demikian berulangkali. Atau mendadak seperti ada belasan orang yang meniup
seruling berbareng dan berada di sekitarnya. Ia bagaikan dipermainkan.
Kwee Ceng merasakan kepalanya
pusing setelah ia lari mondar-mandir sekian lama. Sekarang ia tidak pedulikan
suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana ada tanah munjul. Kiranya
itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya bertuliskan catatan: “Kuburan
dari Phang-sie, nyonya pemilik dari Tho Hoa To”
“Inilah
tentu kuburan ibunya Oey
Yong;” Kwee Ceng
berpikir. “Yong-jie kehilangan ibu sejak ia kecil, kasihan dia…” Ia lantas
berlutut di depan kuburan itu, untuk memberi hormat berlutut empat kali. Tengah
ia paykui itu, seruling berhenti secara toba-tiba, hingga suasana menjadi
sunyi. Tempo ia berbangkit, seruling berbunyi pula, terdengarnya di sebelah
depan.
“Biarpun
ada ancaman bencana, akan aku mengikutinya,” Kwee Ceng
pikir. Ia bertindak ke arah suara itu, ia tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia
baru berdiri menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya
seperti tertarik, hatinya berdebaran.
“Hebat,
lagu apakah itu?” ia tanya dirinya
sendiri.
Mulainya
kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-nari,
iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan
urat-urat tegang. Ia lantas menjatuhkan diri, untuk duduk bersemadhi seperti
ajaran Ma Giok. Mulanya ia masih terpengaruh, hampir ia berlompat bangun, untuk
menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap. Setelah mendapat
ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara
seruling itu, ia sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di
pohon, bahkan dahaga dan laparny apun lenyap. Ia merasa bahwa ia tidak bakal
terpengaruh lagi gangguan, maka ia berani membuka matanya. Maka ia melihat di
depannya, sepjarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.
“Entah
binatang apakah itu?” ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak.
Sekonyong-koyong
sinar itu lenyap.
“Benar
aneh pulau Tho Hoa To ini,” pikirnya. “Macan tutul atau rase yang bagaimana
gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini.”
Ia
tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu.
“Ah,
itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh…”
Ia
tertawa sendirinya. Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.
Suara
seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti suara
penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari seorang
wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar…
Kwee Ceng tidak kena
dipengaruhi lagu itu. Ia masih muda sekali dan semenjak kecil ia giat belajar
silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti. ia hanya heran mendengar
suara napas yang memburu itu yang tercampur rintihan, seperti orang tengah
mempertahankan diri melawan gangguan seruling itu.
Merasa
kasihan terhadap orang itu, Kwee
Ceng bertindak menghampirkan.
Sinar bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya.
Ketika sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu,
yang lagi duduk di bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun panjang, hingga lubang hidung
dan mulutnya ketutupan. Satu tangannya ia letaki di depan dadanya, yang lainnya
di belakangnya. Ia tercekat hati. Ia ingat dulu diajarakan semadhi dengan sikap
begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada di gurun pasir, di puncak
bukit. Itulah ilmu untuk menutup hati sendiri, siapa sudah mahir peryakinannya,
ia dapat tak memperdulikan suara guntur
atau air bah. Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.
Suara
seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat,
beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat
mempertahankan diri. Tapi
Kwee Ceng
mengerti, orang tak akan bertahan lama. Ia cemas sendirinya.
Irama
seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.
“Sudah,
sudah!” bersuara orang itu, agaknya hendak ia berlompat bangun.
Kwee Ceng kaget, tanpa
berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya dilomjorkan, untuk mencelat bahu
orang itu, sedang tangan kanannya dipakai menepuk pundak, di jalan darah
tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba
jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa panas dari tangan. Ia masih rendah
pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia perlu menepuk. Tapi ini menolong.
Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam dan memeramkan mata.
Tengah Kwee Ceng bergirang
sendirinya, mendadak dari belakangnya, ada yang membentak padanya: “Binatang
cilik, kau merusak usahaku!”
Suara
seruling itu pun berhenti.
Si
anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, ia hanya
seperti mengenali suaranya Oey
Yok Su.
Ia menjadi masgul. Sejenak itu ia menyesal.
“Entah
orang tua ini manusia baik atau jahat,” demikian pikirnya. “Kenapa aku lancang
menolongi dia… Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar….Kalau nanti dia ini satu
iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?”
Ia
menjadi bergelisah sendirinya.
Orang
tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya.
Kwee Ceng tidak menanya
apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun bersemadhi. Ia baru membuka
matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun telah turun.
Di antara sinar
matahari, yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah orang tua itu
dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua, cuma entah
sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan.
Tiba-tiba
kedua matanya orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam sekali. Ia
lantas saja tersenyum dan bertanya: “Kau muridnya salah satu dari Coan Cin Cit
Cu yang mana?”
Mendengar
suara orang itu sabar, hati Kwee
Ceng lega. Ia berbangkit untuk
menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit
Koay sebagai gurunya.
Orang
tua itu heran, ia tidak percaya.
“Kenapa Kanglam Cit
Koay mengerti ilmunya Coan Cin
Pay?” tanyanya.
“Sebenarnya
Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun tetapi ia belum
menerima teecu sebagai murid,” Kwee
Ceng menjelaskan.
Orang
tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi bergurau.
“Aku
mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?” dia tanya.
“Oey Tocu
dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari.”
“Untuk
apakah?” Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah.
“Teecu
berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa…”
“Apakah
kau tidak mendusta?” menegaskan orang tua itu.
“Tidak
berani teecu mendusta,” sahut Kwee
Ceng hormat sekali. Terus ia
membahasakan diri teecu (murid).
Orang
tua itu mengangguk-angguk.
“Bagus,
kai duduklah.”
Kwee Ceng menurut, ia duduk di
sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si orang tua bercokol di dalam
sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar kawat. Entah apa perlunya
kawat itu.
“Siapakah
yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?” tanya
si orang tua.
“Ialah
guruku yang baik budi Ang
Kiu Cie
Sin Kay,”
menyahut Kwee
Ceng sejujurnya.
Orang
tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa bukannya
tertawa. “Apakah
Ang Cit
Kong telah ajarkan kau ilmu?”
tanyanya cepat.
“Ya,”
menyahut Kwee
Ceng, yang omong terus terang. “Ia
pernah mengajarkan Hang Liong Sip-pat Ciang.”
“Apakah
dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?”
“Tidak.”
Orang
tua itu dongak mengawasi langit langit, lalu ia berkata seorang diri: “Dia
masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh
baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak
sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?” Dia benar-benar heran, maka
ia mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.
Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata:
“Coba kau mendorong telapakan tanganku, hendak aku mencoba tenagamu.”
Kwee Ceng menurut, ia mengulur
tangannya, menempel tangan si orang tua.
“Kerahkanlah
tenagamu,” kata orang tua itu.
Kwee Ceng menurut, ia
mengerahkan tenaganya.
“Hati-hati,”
si orang tua memperingatkan: Selagi orang bersiap, ia pun mengerahkan
tenaganya.
Kwee Ceng merasakan penolakan
keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia membantu
dengan tangan kirinya, atau mendadak si orang tua membalik tangannya,
telunjuknya mengenakan lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas
mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah
pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri
tetap.
Lantas
orang tua itu berkata lagi seorang diri: “Ia tak ada celaannya, kecuali belum
mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?”
“Thian-mo-bu”
itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit.
Kwee Ceng mengeluarkan napas
lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking heran, ia berpikir: “Orang tua
ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong
dan Oey Yok Su.
Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini?
Adakah ia See Tok atau Lam Tee?”
Mengingat
nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut: “Jangan-jangan aku terpedaya,”
pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak bengkak
atau merah, hatinya menjadi lega pula.
Orang
tua itu tertawa.
“Kau
badelah, siapa aku ini?” ia bertanya.
Kwee Ceng menyahuti: “Menurut
apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin
Kauwcu Ong Totiang telah menutup mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan
Oey Tocu teecu kenal, maka itu mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau
Toan Hongya?”
Orang
tua itu tertawa.
“Bukankah
kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?”
ia tanya.
“Pelajaranku
masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan,” sahut Kwee Ceng
berhati-hati. “Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa, kalau
bukan Ang Ingsu dan Oey
Tocu, belum pernah ada orang
ketiganya.”
Itulah
pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang
kebocah-bocahan.
“Aku
bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga entah apa Hongya, maka itu cobalah
kau menerka lagi sekali.” katanya.
Kwee Ceng berpikir, baru ia
menyahut: “Pernah teecu bertemu dengan seorang yang namanya berimbang sama
pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia cuma menang nama, kepandaiannya
biasa saja,” sahut nya. “Sebenarnya pengetahuan teecu masih sangat cetek, teecu
tidak ingat nama cianpwee.”
Orang
tua itu tertawa.
“Aku
she Ciu! Kau ingatkah sekarang?” dia tanya.
“Cianpwee
ialah Ciu Pek Thong?” tanya Kwee Ceng
cepat. Tetapi ia terkejut. ia sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka
lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata: “Teecu sudah berlaku tidak
hormat, harap cianpwee suka memberi maaf.”
Orang
tua itu tertawa pula.
“Tidak
salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!” katanya. “Kau menyebut namaku,
apakah yang tidak hormat? Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak
seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semuanya keponakan
muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut
cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!”
“Itulah
aku tidak berani,” kata Kwee
Ceng heran tetapi tetap hormat.
Tinggi
usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia tak
kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia ingat
suatu apa, ia lantas kata: “Saudara
Kwee, bagaimana kalau kita
mengangkat saudara?”
Kwee Ceng heran hingga ia
menjublak.
“Teecu
adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu
Totiang, seharusnya teecu
menghormati cianpwee sebagai sucouw-ya!” katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru.
Ciu
Pek Thong menggoyangi tangannya berulang-ulang.
“Kepandaianku
adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya,” ia bilang. “Ma Giok
dan Khu Cie Kee
semua tidak memandang aku sebagai yang terlebih tua, mereka pun tidak menghormati
aku sebagai yang terlebih tua itu…”
Berkata
sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu bujang tua,
yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa barang makanan.
“Ada makanan untuk
didahar!” kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa.
Bujang
itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua poci
arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangi dua cawan arak. kemudian ia berdiri
menantikan di pinggiran.
“Mana
nona Oey?” Kwee
Ceng tanya.
“Kenapa dia tidak datang kemari?”
Bujang
itu menggeleng kepala, ia menunjuki pada kuping dan mulutnya, suatu tanda ia
tuli dan gagu.
Ciu
Pek Thong tertawa, dia kata: “Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey Yok
Su. Coba kau suruh dia membuka
mulutnya.”
Kwee Ceng menurut, dengan
gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka mulutnya. Kesudahannya dia
terkejut. Lidah orang buntung.
“Semua
bujang di pulau ini sama saja.” Pek Thong memberitahukan. “Kau telah datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal
jadi seperti dia ini.”
Kwee Ceng berdiam, hatinya
mengatakan: “Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?”
Pek
Thong berkata pula: “Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku tidak
sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau
datang membantu aku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri
selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malaman! Mari,
mari disini ada arak dan barang
santapan, mari kita mengangkat
saudara, di belakang hari, ada untung kita cicipi bersama, ada kesusahan kita
tanggung bersama juga! Ketika dulu hari aku mengangkat saudara sama Ong Tiong
Yang, ia pun mula.mula main tolak-tolak. Bagaimana, eh apakah benar-benar katu
tidak sudi?”
Kwee Ceng melihat muka orang
berubah, lekas-lekas ia menyahuti; “Bukannya begitu, cianpwee. Sebenarnya
tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu
menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak
tahu diri! Dan kalau nanti teecu
bertemu sama Ma Totiang dan Khu
Totiang, apakah teecu tak malu
juga?”
“Ah,
kenapa kau memikir begitu jauh?” kata Pek Thong masgul. “Kau tidak sudi
mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut? Oh….”
Mendadak
orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya dikacau pergi
datang.
Kwee Ceng heran dan kaget. Ia
bingung.
“Baik,
baik, cianpwee teecu menurut…” katanya gugup.
Pek
Thong masih menangis ketika ia berkata: “Kau menuruti karena aku paksa, kalau
lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku! Aku tahu
kau tidak sudi angkat saudara denganku!”
Kwee Ceng merasa lucu
berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak mengindahkan ketuaannya
sendiri? Ia tidak ketahui bahwa Ciu Pek Thong itu, dalam kalangan Rimba
Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya memang sangat
ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya tinggi, tapi
sepak terjangnya mirip dengan bocah alias anak-anak. Begitu ia jumput sepiring
sayur, dia lemparkan itu keluar kurungan, tak mau ia dahar.
Si
bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti.
Meyaksikan
itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata: “Kakak
begini baik hati, bagaimana teecu bisa menampik itu? Mari,
kakak, marilah kita mengangkat saudara! Mari
kita gunai tanah sebagai gantinya hio!”
Mendengar
itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa.
“Aku
berada di dalam gua, tecegah kawat ini,” ia berkata. “Karena aku tidak bisa
keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!”
Kwee Ceng mengawasi kawat
kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek thong bisa terkurung di
situ. Tetapi ia menurut, ia menjalankan kehormatana dari luar kurungan itu.
Pek
Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara
kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua: “Teecu Ciu Pek Thong, hari ini
teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang
atau susah, kita sama-sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji,
biar Thian kutuk padanya!”
Kwee Ceng mengikuti mengangkat
sumpah itu.
Setelah
itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng
lalu paykui kepada kakak angkatnya itu.
Pek
Thong puas hingga ia tertawa terkakak.
“Sudah,
sudah!” katanya. Ia menuang araknya , ia menenggak sendiri. Ia menambahkan:
“Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak yang begini
tawar! Hanya pernah ada satu hari, si nona kecil
menyuguhkan aku arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah
datang pula…”
Kwee Ceng tahu, si nona yang
disebutkan itu ialah Oey
Yong. Bukankah si nona pernah
memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia ditegur
dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak ketahui
sebabnya si nona tidak pernah datang pula.
Kwee Ceng sudah lapar, ia
tidak pikirkan arak, ia hanya menyendok nasi dan memakannya, sampai ia
menghabiskan lima
mangkok.
Si
bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segala apa dan
berlalu.
“Eh,
adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?” kemudain Pek Thong tanya. “Coba kau tuturkan itu pada kakakmu.”
Kwee Ceng tuturkan halnya ia
sudah membinasakan Tan Hian Hong dan di Kwie-in-chung bertempur sama Bwee Tiauw
Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak
mencelakai Kanglam
Liok Koay,
maka itu ia berjanji untuk dalam tempo satu bulan datang ke pulau ini untuk
terima binasa.
Loo
Boan Tongp paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia
memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia
memotong dengan pertanyaannya.
“Kemudian
bagaimana?” tanya dia akhirnya.
“Kemudian
ialah sekarang ini, adikmu berada disini,” Kwee Ceng
menjawab.
Pek
Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir.
“Kiranya
budak cantik itu baik denganmu,” katanya. “Kenapa sepulangnya ini dia
menghilang? Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia…”
“Teecu
pun menduga demikian,” kata Kwee
Ceng masgul.
“Apa
kau bilang?” tanya Pek Thong, mukanya
merah.
Kwee Ceng tahu, ia salah
menggunakan bahasa “teecu” ituz, ia lekas menyahuti: “Adikmu kesalahan, harap
toako jangan berkecil hati.”
Pek
Thong tertawa. Ia berkata: “Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama
kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga
boleh!”
“Baik,
baik, toako,” sahut adik angkat itu.
Pek
Thong mengangguk.
“Coba
kau terka, kenapa aku berada di sini?” tanyanya kemudian.
“Justru
inilah adikmu hendak menanyakannya,” sahut Kwee Ceng.
“Ceritanya
panjang, nanti aku menutur perlahan-lahan,” menyahuti si kakak jenaka ini. “Kau
toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay
dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa San?”
Kwee Ceng mengangguk. “Pernah
adikmu mendengar itu,” sahutnya.
“Ketika
itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti membungkus
puncak,” sang kakak bercerita. “Mereka berlima itu mulut berunding, tangan
mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Di akhirnya Tong Shia, See Tok,
Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong Tiong Yang
sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu mengapa mereka
membuat pertemuan di Hoa San itu?”
“Tentang
itu adikmu belum pernah mendengarnya.”
“Itulah
buat gunanya sebuah kitab….”
“Kitab
Kiu Im Cin-keng!” Kwee
Ceng memotong.
“Benar!
Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum persilatan, Kiu
Im Cin-keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut penuturan, kitab
itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang ke negeri kita
ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama sahli-ahli silat kita,
diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk bersemadhi
menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun, kitab itu
muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli silat. Tidak
seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang, karena
perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih
daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapati itu, lantas ia
menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu
merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan
kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun
menggunai banyak akal muslihat…”
Kwee Ceng menghela napas.
“Kalau
beigitu, kitab itu adalah kitab celaka dalam dunia kita ini,” katanya. “Kalau Tan
Hian Hong
tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup berbahagia dengan Bwee Tiauw
Hong di dalam desa di mana mereka
mengumpatkan diri dan Oey Tocu tidak nanti menghendakinya….”
“Tetapi
ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!” sambung si kakak angkat.
Kwee Ceng menyahutinya, hanya
di dalam hatinya ia mengatakan: “Kalau begitu ini kakak tua sudah kegilaan ilmu
silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain orang yang seperti dia
gilanya….”
“Eh,
tadi aku bercerita sampai di mana?” Pek Thong tanya,
rupanya ia lupa.
“Sampai
di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab Kiu Im
Cin-keng itu.”
“Benar,
urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan dari Tho Hoa To, Ang Pangcu
dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan.
Berlima mereka itu merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling
lihay, ialah yang mendapatkan kitab itu.
“Akhirnya
kitab itu terjatuh dalam tangan kakak seperguruanmu,” kata Kwee Ceng.
“Memang!”
jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. “Persahabatanku dengan Ong Suko
memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudah bergaul rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia
mengatakan aku berlajar ilmu silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi
seperti tolol, katanya itulah bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak
menjadi murid Coan
Cin Kauw.
Di antara dia, katanya sebab terlalu
mengutamakan ilmu silat, ia jadi mengabaikan agama. Kalau belajar silat orang
mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw mestilah hati orang tawar. Jadi
kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya. Ma Giok
yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu silatnya sempurna.”
“Jikalau
demikian adanya, kenapa Ong
Cinjin dapat menjadi orang suci
sejati berbareng lihay juga ilmu silatnya?” tanya
Kwee Ceng tidak mengerti.
“Itulah
disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang mempelajari
segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan mendalam.
Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana? Kenapa kau memegatnya?”
“Sampai
di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng.”
“Benar!
Setelah mendapatkan kitab itu suka tidak memahamkan apa bunyinya, dia hanya
menyimpan buku itu di dalam kotak yang kotaknya ia tindihkan batu di bekalang
kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya itu. Suka
tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum saja. Ketika
aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau yang
menerka, apakah sebabnya itu?”
“Tentulah
itu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang curi?” menerka Kwee Ceng.
“Bukan,
bukan,” Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. “Siapakah yang berani
mencuri barangnya kaucu dari Coan
Cin Kauw?
Siapa berani berbuat begitu, itulah tandanya dia sudah bosan hidup!”
Kwee Ceng perpikir pula, lalu
ia lompat berjingkrak.
“Benar
memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!” katanya. “Sebetulnya. lebih
baik lagi kalau dibakar habis saja…”
Pek
Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu.
“Memang
dulu hari suko pun pernah mengatakan demikian,” katanya. “Hanya tidak dapat ia
melakukan itu, beberapa kali sudah ia mencoba, saban-saban gagal karena
kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?”
Merah
mukanya Kwee
Ceng.
“Aku
pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap nomor
satu,” menyahut Kwee
Ceng. “Aku pikir pula, dia
tentunya pergi ke Hoa San bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya
semata-mata untuk mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk
belajar lebih jauh, hanya untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit
supaya mereka tak usah terus-menerus saling membunuh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar