Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 34



Bab 34. Orang aneh di dalam kurungan
Ciu Pek Thong

Yo Kang senang melihat kekasihnya itu.
“Adikku, kau beistirahatlah,” katanya kemudian. “Nanti aku masak air untuk kau mencuci muka!”
“Mana kau bisa memasak air!” Oey Yong menyelak. “Aku yang nanti pergi masak. Engko Ceng, mari!”
Nona ini ingin berduaan dengan kekasihnya itu. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam Cu sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang, romannya pun dingin.
“Tunggu dulu!” demikian katanya. “Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan keagunganmu!”
Muka Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia menjublak, tetapi di dalam hatinya ia berkata: “Rupanya dia telah mendapat dengar apa yang tadi aku bicarakan dengan hu-ong…”
Liam Cu melihat muka orang agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka rahasia bahwa orang she Yo inilah yang melepaskan Wanyen Lieh. Ia tahu, dalam gusarnya Oey Yong bisa membinasakan tunangannya itu.
“Kau memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?” ia berkata, dingin. “Tidakkah itu terdengarnya lebih erat? Kenapa justru kau memanggil hu-ong?”
Yo Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran.
Oey Yong tidak bercuriga, ia menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih, maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng.
“Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka akan akur pula…” bisiknya.
Kwee Ceng tertawa, ia mengikut keluar.
Sampai di depan Oey Yong berkata dengan perlahan: “Engko Ceng, mari kita curi dengar pembicaraan mereka.”
“Jangan bergurau, aku tidak mau pergi!” kata si pemuda.
“Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!” Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.
Justru itu terdengar suara Lim Cu: “Kau mengakui bangsat menjadi ayahmu, itulah masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama dan kau pun belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar, itulah yang bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri…! Ini, ini….!”
Saking murka dan pepat hati, Liam Cu tidak dapat berbicara lebih jauh.
“Adikku, aku…” berkata Yo Kang sambil tertawa.
Tapi ia dibentak nona Bok: “Siapa adikmu?! Jangan pegang aku!”
Lalu terdengar suara “Plak!” maka muka Yo Kang kena ditampar.
Oey Yong tertawa, dia berlompat turun, terus masuk di jendela.
“Kalau ada bicara, bicaralah baik-baik!” ia berkata, tertawa. Ia tidak menduga jelek. Ia melihat muka Liam Cu merah gusar dan paras Yo Kang pucat berkhawatir, ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat. Ia memikir untuk mengakuri.
Baru ia hendak membuka mulutnya, atau Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu: “Bagus!” kata orang she Yo itu. “Kau menyambut yang baru dan membuang yang lama! Di dalam hatimu sudah ada orang lain, maka begitulah kau berlaku terhadap aku!”
“Kau, kau bilang apa?!” kata nona Bok.
“Kau telah ikut Auwyang Kongcu itu! Dia pintar surat dan pandai silat, dia menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!”
Liam Cu mendongkol hingga kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan.
“Yo Toako, jangan kau omong sembarangan,” berkata Oey Yong. “Kalau enci Bok menyukai telur busuk itu, mustahil dia menaruh enci di dalam peti mati ini?”
“Palsu atau bukan, sama saja!” berkata Yo Kang. “Dia kena ditawan, dia kehilangan kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama pula dengannya?!”
“Aku kehilangan kesucian apa?!” tanya Liam Cu sengit.
“Kau telah terjatuh di tangan orang untuk banyak hari, kau dipeluk dan dirangkul pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih?!”jawab pemuda itu.
Liam Cu begitu mendongkol hingga ia memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh ke belakang.
Hampir Yo Kang berlompat untuk menubruk atau dia ingat, Liam Cu sudah ketahui rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya itu pecah di hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana ia melompat tembok untuk menyingkir terus.
Oey Yong menguruti Liam Cu sekian lama, baru nona itu sadar. Ia berdiam sebentar, lantas ia tidak menangis pula, sikapnya pun tenang.
“Adik, hendak aku meminjam pisau belati yang baru-baru ini aku serahkan padamu!” katanya kemudia.
“Engko Ceng, mari!” Oey Yong memanggil sebelum ia sahuti si nona.
Kwee Ceng dengar panggilan itu, ia lantas muncul.
“Coba kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako,” kata nona Oey.
Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya Bwee Tiauw Hong, pisau mana dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf-hurufnya, yang terukir dengan jarum. Ia tidak tahu, itulah rahasianya Kiu Im Cin Keng. Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam Cu.
Oey Yong pun mengeluarkan pisau belatinya, ia berkata perlahan: “Pisaunya engko Ceng ada padaku, mana itu kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci, inilah jodoh yang sudah ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itulah tidak ada artinya, jangan kau berbuat duka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku. Sekarang ini bersama engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia untuk mencari Wanyen Lieh, maka itu enci, jikalau kau senang, mari kau turut bersama kami pesiar. Aku percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama.”
“Ya, mana saudara Yo?” Kwee Ceng tanya.
Oey Yong mengulur lidahnya, lekas ia berkata: “Barusan ia berselisih dengan enci, dalam gusarnya enci telah menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi…”
“Aku tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana,” berkata Liam Cu. “Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah itu tidak nanti berada di Pak-khia. Dia takut nanti kamu pergi mencarinya untuk menuntut balas! Engko Kwee, adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, beruntungan kamu pun bagus….”
Ia berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana ia mengenjot tubuhnya, ia berlompat naik ke atas genting.
Melihat orang muntah darah, hati Oey Yong tidak tenang. Lantas ia menyusul. Ia masih sempat melihat nona Bok berada di bawah sebuah pohon besar, tangan kiriny diangkat tinggi, tangan kanannya diangkat ke atas kepalanya dan sinar pisau belati berkelebat di cahaya matahari. Ia terkejut.
“Enci, jangan!” ia berteriak.
Tentu ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka jauh sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampirkan.
Liam Cu tidak menikam lehernya atau dadanya, hanya dengan piasu belati itu ia membabat kutung rambutnya, lalu ia membuangnya, terus kakinya berlari-lari.
“Enci! Enci!” Oey Yong berteriak-teriak memanggil.
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia lari terus sampai ia lenyap dari pandangan mata, sedang Oey Yong cuma bisa melihat rambut berterbangan berhamburan ke selokan, ke sawah dan pepohonan di dekat-dekat situ.
Semenjak kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia menginsyafi apa yang dinamakan kedukaan. Senang ia tertawa lebar, jengkel ia menangis menggerung-gerung, sejenak kejengkelan itu hilang. Tetapi sekarang ia menyaksikan peristiwa hebat itu di depan matanya, ia dapat merasainya untuk pertama kalinya. Ia jadi berduka dan terharu. Dengan perlahan-lahan ia kembali ke rumah abu. Kepada Kwee Ceng ia beritahukan perbuatannya Liam Cu itu, yang terus menghilang.
“Entah kenapa enci Bok berlaku demikian,” berkata Kwee Ceng, yang tidak mengerti duduknya hal. “Dia beradat keras sekali.”
Oey Yong heran hingga ia berpikir: “Mustahilkah seorang perempuan yang dirangkul-rangkul dan dipeluk-peluk hilang kesucian dirinya? Hingga sekalipun orang yang mencintainya dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata kepadanya, sampai ia tidak diambil peduli lagi?”
Terus si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk menyender di tiang dengan mata dimeramkan, hingga akhirnya ia tertidur pulas.
Ketika sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan seperti yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya itu, serta Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong masih tetap tidak muncul. Lee Seng ketahui tabiat aneh dari pangcu itu, ia tidak mengambil peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu. Semua orang sangat menyukai anak-anak muda itu. Bahkan nona Thia turut mematangi beberapa rupa barang santapan dan memerintahkan budaknya mengantarinya tempat pesta itu.
Habis berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng dan Oey Yong berdamai. Wanyen Lieh tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk menacri padanya, dari itu perlu mereka memenuhkan janji pergi ke Tho Hoa To. Untuk itu, tentu saja mereka mesti pergi dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam Liok Koay, untuk berembuk terlebih jauh.
Oey Yong akur, maka itu besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka ke Selatan.
Itu waktu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik. Maka cocok pepatah orang Kanglam yang membilang; “Bulan enam tanggal enam, telur bebek terjemur hingga matang!” Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap menyiksa.
Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin. Gurunya masih belum datang. Maka itu iamenulis surat kepada keenam gurunya itu serta suratnya dititipkan kepada kuasa rumah maka Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba, supaya suratnya itu diserahkan. Ia menulis halnya bersama Oey Yong ia mau pergi ke Tho Hoa To. Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.
Oey Yong girang bukan main tiba di kampung halamannya sendiri.
“Ayah, ayah!” dia berteriak-teriak, “Yong-jie pulang!” . Ia berlari-lari sambil terus menggapai-gapai kepada Kwee Ceng.
Kwee Ceng melihat orang lari ke timur dan ke barat tak ketentuan, atau dilain saat nona itu lenyap dari pandangan matanya. Ia heran, ia lekas lari menyusul. Baru lari belasan tembok, ai sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat penjuru, tak tahu ia jalan mana yang ia mesti ambil. Tempo ia memaksa maju terus, sebentar kemudian ia kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan di Kwie-in-chung, yang menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini mestinya sama mempunyai jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan istimewa.
Untuk tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng duduk di bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong kembali untuk menyambut padanya. Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum muncul juga. Ia jadi tidak sabaran. Ia memanjat sebuah pohon tinggi, akan memandang ke seputarnya. Di Selatan ada laut, di barat ada batu gundul. Di timur dan utara, semuanya pohon bunga dengan bunganya warna merah atau kuning, atau hijau atau ungu. Tak nampak tembok, tak terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling situ. Tanpa merasa, hati Kwee Ceng menjadi tidak tenang. Lantas ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Atau mendadak ia merandak, separuh berseru, ia kata dalam hatinya: “Celaka! Aku pergi tanpa tujuan! Kalau Yong-jie mencari aku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!” Maka ia lari balik. Apa mau, ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat lain.
Pemuda ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikuti padanya. Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya menjadi ketinggalan. ketika sang sore mendatangi, ia putus asa, ia duduk mendeprok di tanah. Hendak ia menantikan si nona….
Senang ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan laparnya, yang mengganggu. Gangguan lapar jadi semakin hebat kapan ia ingat masakan yang lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong…
Tiba-tiba pemuda ini kaget dan bergelisah hatinya.
“Kalau Oey Yong dikurung ayahnya dan dia tidak dapat menolongi aku, bukankah aku bakal mati kelaparan di sini?” pikirnya. Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit hati ayahnya belum terbalas. Ia pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun pasir. Kalau ia mati, sama siapa ibunya itu akan mengandal? Letih ia berpikir, lama-lama ia kepulasan sendirinya.
Sampai tengah malam, Kwee Ceng bermimpi bersama Oey Yong pesiar ke kota raja Pak-khia, sama-sama dahar barang hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi merdu untuknya. Tiba-tiba ia berdusin mendengar suara seruling. Ia memasang kuping, matanya pun melihat sinar rembulan indah. Ia tahu yang ia tidak tidur lagi. Ia hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh. Ia menjadi mendapat hati, maka ia berbangkit, terus ia bertindak ke arah darimana suara itu datang. Ketika ia mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.
Kemudian pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in-chung, lantas ia berjalan terus, kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon. Kali ini ia mendengar suara semakin nyata, maka ia jalan semakin cepat. Akhirnya, ketika ia menikung, ia melihat satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal mirip sebuah telaga kecil. Di sini suara seruling sebentar tinggi dan sebentar rendah. Anehnya, kalau ia dengar suara di timur dan pergi ke sana, suara itu pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara. Demikian berulangkali. Atau mendadak seperti ada belasan orang yang meniup seruling berbareng dan berada di sekitarnya. Ia bagaikan dipermainkan.
Kwee Ceng merasakan kepalanya pusing setelah ia lari mondar-mandir sekian lama. Sekarang ia tidak pedulikan suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana ada tanah munjul. Kiranya itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya bertuliskan catatan: “Kuburan dari Phang-sie, nyonya pemilik dari Tho Hoa To”
“Inilah tentu kuburan ibunya Oey Yong;” Kwee Ceng berpikir. “Yong-jie kehilangan ibu sejak ia kecil, kasihan dia…” Ia lantas berlutut di depan kuburan itu, untuk memberi hormat berlutut empat kali. Tengah ia paykui itu, seruling berhenti secara toba-tiba, hingga suasana menjadi sunyi. Tempo ia berbangkit, seruling berbunyi pula, terdengarnya di sebelah depan.
“Biarpun ada ancaman bencana, akan aku mengikutinya,” Kwee Ceng pikir. Ia bertindak ke arah suara itu, ia tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia baru berdiri menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya seperti tertarik, hatinya berdebaran.
“Hebat, lagu apakah itu?” ia tanya dirinya sendiri.
Mulainya kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-nari, iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan urat-urat tegang. Ia lantas menjatuhkan diri, untuk duduk bersemadhi seperti ajaran Ma Giok. Mulanya ia masih terpengaruh, hampir ia berlompat bangun, untuk menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap. Setelah mendapat ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara seruling itu, ia sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di pohon, bahkan dahaga dan laparny apun lenyap. Ia merasa bahwa ia tidak bakal terpengaruh lagi gangguan, maka ia berani membuka matanya. Maka ia melihat di depannya, sepjarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.
“Entah binatang apakah itu?” ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak.
Sekonyong-koyong sinar itu lenyap.
“Benar aneh pulau Tho Hoa To ini,” pikirnya. “Macan tutul atau rase yang bagaimana gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini.”
Ia tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu.
“Ah, itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh…”
Ia tertawa sendirinya. Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.
Suara seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti suara penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari seorang wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar…
Kwee Ceng tidak kena dipengaruhi lagu itu. Ia masih muda sekali dan semenjak kecil ia giat belajar silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti. ia hanya heran mendengar suara napas yang memburu itu yang tercampur rintihan, seperti orang tengah mempertahankan diri melawan gangguan seruling itu.
Merasa kasihan terhadap orang itu, Kwee Ceng bertindak menghampirkan. Sinar bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya. Ketika sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu, yang lagi duduk di bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun panjang, hingga lubang hidung dan mulutnya ketutupan. Satu tangannya ia letaki di depan dadanya, yang lainnya di belakangnya. Ia tercekat hati. Ia ingat dulu diajarakan semadhi dengan sikap begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada di gurun pasir, di puncak bukit. Itulah ilmu untuk menutup hati sendiri, siapa sudah mahir peryakinannya, ia dapat tak memperdulikan suara guntur atau air bah. Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.
Suara seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat, beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat mempertahankan diri. Tapi Kwee Ceng mengerti, orang tak akan bertahan lama. Ia cemas sendirinya.
Irama seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.
“Sudah, sudah!” bersuara orang itu, agaknya hendak ia berlompat bangun.
Kwee Ceng kaget, tanpa berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya dilomjorkan, untuk mencelat bahu orang itu, sedang tangan kanannya dipakai menepuk pundak, di jalan darah tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa panas dari tangan. Ia masih rendah pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia perlu menepuk. Tapi ini menolong. Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam dan memeramkan mata.
Tengah Kwee Ceng bergirang sendirinya, mendadak dari belakangnya, ada yang membentak padanya: “Binatang cilik, kau merusak usahaku!”
Suara seruling itu pun berhenti.
Si anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, ia hanya seperti mengenali suaranya Oey Yok Su. Ia menjadi masgul. Sejenak itu ia menyesal.
“Entah orang tua ini manusia baik atau jahat,” demikian pikirnya. “Kenapa aku lancang menolongi dia… Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar….Kalau nanti dia ini satu iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?”
Ia menjadi bergelisah sendirinya.
Orang tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya.
Kwee Ceng tidak menanya apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun bersemadhi. Ia baru membuka matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun telah turun.
Di antara sinar matahari, yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah orang tua itu dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua, cuma entah sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan.
Tiba-tiba kedua matanya orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam sekali. Ia lantas saja tersenyum dan bertanya: “Kau muridnya salah satu dari Coan Cin Cit Cu yang mana?”
Mendengar suara orang itu sabar, hati Kwee Ceng lega. Ia berbangkit untuk menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit Koay sebagai gurunya.
Orang tua itu heran, ia tidak percaya.
“Kenapa Kanglam Cit Koay mengerti ilmunya Coan Cin Pay?” tanyanya.
“Sebenarnya Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun tetapi ia belum menerima teecu sebagai murid,” Kwee Ceng menjelaskan.
Orang tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi bergurau.
“Aku mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?” dia tanya.
“Oey Tocu dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari.”
“Untuk apakah?” Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah.
“Teecu berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa…”
“Apakah kau tidak mendusta?” menegaskan orang tua itu.
“Tidak berani teecu mendusta,” sahut Kwee Ceng hormat sekali. Terus ia membahasakan diri teecu (murid).
Orang tua itu mengangguk-angguk.
“Bagus, kai duduklah.”
Kwee Ceng menurut, ia duduk di sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si orang tua bercokol di dalam sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar kawat. Entah apa perlunya kawat itu.
“Siapakah yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?” tanya si orang tua.
“Ialah guruku yang baik budi Ang Kiu Cie Sin Kay,” menyahut Kwee Ceng sejujurnya.
Orang tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa bukannya tertawa. “Apakah Ang Cit Kong telah ajarkan kau ilmu?” tanyanya cepat.
“Ya,” menyahut Kwee Ceng, yang omong terus terang. “Ia pernah mengajarkan Hang Liong Sip-pat Ciang.”
“Apakah dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?”
“Tidak.”
Orang tua itu dongak mengawasi langit langit, lalu ia berkata seorang diri: “Dia masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?” Dia benar-benar heran, maka ia mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata: “Coba kau mendorong telapakan tanganku, hendak aku mencoba tenagamu.”
Kwee Ceng menurut, ia mengulur tangannya, menempel tangan si orang tua.
“Kerahkanlah tenagamu,” kata orang tua itu.
Kwee Ceng menurut, ia mengerahkan tenaganya.
“Hati-hati,” si orang tua memperingatkan: Selagi orang bersiap, ia pun mengerahkan tenaganya.
Kwee Ceng merasakan penolakan keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia membantu dengan tangan kirinya, atau mendadak si orang tua membalik tangannya, telunjuknya mengenakan lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri tetap.
Lantas orang tua itu berkata lagi seorang diri: “Ia tak ada celaannya, kecuali belum mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?”
“Thian-mo-bu” itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit.
Kwee Ceng mengeluarkan napas lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking heran, ia berpikir: “Orang tua ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong dan Oey Yok Su. Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini? Adakah ia See Tok atau Lam Tee?”
Mengingat nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut: “Jangan-jangan aku terpedaya,” pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak bengkak atau merah, hatinya menjadi lega pula.
Orang tua itu tertawa.
“Kau badelah, siapa aku ini?” ia bertanya.
Kwee Ceng menyahuti: “Menurut apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin Kauwcu Ong Totiang telah menutup mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan Oey Tocu teecu kenal, maka itu mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau Toan Hongya?”
Orang tua itu tertawa.
“Bukankah kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?” ia tanya.
“Pelajaranku masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan,” sahut Kwee Ceng berhati-hati. “Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa, kalau bukan Ang Ingsu dan Oey Tocu, belum pernah ada orang ketiganya.”
Itulah pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang kebocah-bocahan.
“Aku bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga entah apa Hongya, maka itu cobalah kau menerka lagi sekali.” katanya.
Kwee Ceng berpikir, baru ia menyahut: “Pernah teecu bertemu dengan seorang yang namanya berimbang sama pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia cuma menang nama, kepandaiannya biasa saja,” sahut nya. “Sebenarnya pengetahuan teecu masih sangat cetek, teecu tidak ingat nama cianpwee.”
Orang tua itu tertawa.
“Aku she Ciu! Kau ingatkah sekarang?” dia tanya.
“Cianpwee ialah Ciu Pek Thong?” tanya Kwee Ceng cepat. Tetapi ia terkejut. ia sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata: “Teecu sudah berlaku tidak hormat, harap cianpwee suka memberi maaf.”
Orang tua itu tertawa pula.
“Tidak salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!” katanya. “Kau menyebut namaku, apakah yang tidak hormat? Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semuanya keponakan muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!”
“Itulah aku tidak berani,” kata Kwee Ceng heran tetapi tetap hormat.
Tinggi usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia tak kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia ingat suatu apa, ia lantas kata: “Saudara Kwee, bagaimana kalau kita mengangkat saudara?”
Kwee Ceng heran hingga ia menjublak.
“Teecu adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu Totiang, seharusnya teecu menghormati cianpwee sebagai sucouw-ya!” katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru.
Ciu Pek Thong menggoyangi tangannya berulang-ulang.
“Kepandaianku adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya,” ia bilang. “Ma Giok dan Khu Cie Kee semua tidak memandang aku sebagai yang terlebih tua, mereka pun tidak menghormati aku sebagai yang terlebih tua itu…”
Berkata sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu bujang tua, yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa barang makanan.
“Ada makanan untuk didahar!” kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa.
Bujang itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua poci arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangi dua cawan arak. kemudian ia berdiri menantikan di pinggiran.
“Mana nona Oey?” Kwee Ceng tanya. “Kenapa dia tidak datang kemari?”
Bujang itu menggeleng kepala, ia menunjuki pada kuping dan mulutnya, suatu tanda ia tuli dan gagu.
Ciu Pek Thong tertawa, dia kata: “Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey Yok Su. Coba kau suruh dia membuka mulutnya.”
Kwee Ceng menurut, dengan gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka mulutnya. Kesudahannya dia terkejut. Lidah orang buntung.
“Semua bujang di pulau ini sama saja.” Pek Thong memberitahukan. “Kau telah datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal jadi seperti dia ini.”
Kwee Ceng berdiam, hatinya mengatakan: “Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?”
Pek Thong berkata pula: “Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku tidak sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau datang membantu aku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malaman! Mari, mari disini ada arak dan barang santapan, mari kita mengangkat saudara, di belakang hari, ada untung kita cicipi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama juga! Ketika dulu hari aku mengangkat saudara sama Ong Tiong Yang, ia pun mula.mula main tolak-tolak. Bagaimana, eh apakah benar-benar katu tidak sudi?”
Kwee Ceng melihat muka orang berubah, lekas-lekas ia menyahuti; “Bukannya begitu, cianpwee. Sebenarnya tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak tahu diri! Dan kalau nanti teecu bertemu sama Ma Totiang dan Khu Totiang, apakah teecu tak malu juga?”
“Ah, kenapa kau memikir begitu jauh?” kata Pek Thong masgul. “Kau tidak sudi mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut? Oh….”
Mendadak orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya dikacau pergi datang.
Kwee Ceng heran dan kaget. Ia bingung.
“Baik, baik, cianpwee teecu menurut…” katanya gugup.
Pek Thong masih menangis ketika ia berkata: “Kau menuruti karena aku paksa, kalau lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku! Aku tahu kau tidak sudi angkat saudara denganku!”
Kwee Ceng merasa lucu berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak mengindahkan ketuaannya sendiri? Ia tidak ketahui bahwa Ciu Pek Thong itu, dalam kalangan Rimba Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya memang sangat ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya tinggi, tapi sepak terjangnya mirip dengan bocah alias anak-anak. Begitu ia jumput sepiring sayur, dia lemparkan itu keluar kurungan, tak mau ia dahar.
Si bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti.
Meyaksikan itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata: “Kakak begini baik hati, bagaimana teecu bisa menampik itu? Mari, kakak, marilah kita mengangkat saudara! Mari kita gunai tanah sebagai gantinya hio!”
Mendengar itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa.
“Aku berada di dalam gua, tecegah kawat ini,” ia berkata. “Karena aku tidak bisa keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!”
Kwee Ceng mengawasi kawat kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek thong bisa terkurung di situ. Tetapi ia menurut, ia menjalankan kehormatana dari luar kurungan itu.
Pek Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua: “Teecu Ciu Pek Thong, hari ini teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang atau susah, kita sama-sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji, biar Thian kutuk padanya!”
Kwee Ceng mengikuti mengangkat sumpah itu.
Setelah itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng lalu paykui kepada kakak angkatnya itu.
Pek Thong puas hingga ia tertawa terkakak.
“Sudah, sudah!” katanya. Ia menuang araknya , ia menenggak sendiri. Ia menambahkan: “Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak yang begini tawar! Hanya pernah ada satu hari, si nona kecil menyuguhkan aku arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah datang pula…”
Kwee Ceng tahu, si nona yang disebutkan itu ialah Oey Yong. Bukankah si nona pernah memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia ditegur dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak ketahui sebabnya si nona tidak pernah datang pula.
Kwee Ceng sudah lapar, ia tidak pikirkan arak, ia hanya menyendok nasi dan memakannya, sampai ia menghabiskan lima mangkok.
Si bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segala apa dan berlalu.
“Eh, adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?” kemudain Pek Thong tanya. “Coba kau tuturkan itu pada kakakmu.”
Kwee Ceng tuturkan halnya ia sudah membinasakan Tan Hian Hong dan di Kwie-in-chung bertempur sama Bwee Tiauw Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak mencelakai Kanglam Liok Koay, maka itu ia berjanji untuk dalam tempo satu bulan datang ke pulau ini untuk terima binasa.
Loo Boan Tongp paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia memotong dengan pertanyaannya.
“Kemudian bagaimana?” tanya dia akhirnya.
“Kemudian ialah sekarang ini, adikmu berada disini,” Kwee Ceng menjawab.
Pek Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir.
“Kiranya budak cantik itu baik denganmu,” katanya. “Kenapa sepulangnya ini dia menghilang? Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia…”
“Teecu pun menduga demikian,” kata Kwee Ceng masgul.
“Apa kau bilang?” tanya Pek Thong, mukanya merah.
Kwee Ceng tahu, ia salah menggunakan bahasa “teecu” ituz, ia lekas menyahuti: “Adikmu kesalahan, harap toako jangan berkecil hati.”
Pek Thong tertawa. Ia berkata: “Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga boleh!”
“Baik, baik, toako,” sahut adik angkat itu.
Pek Thong mengangguk.
“Coba kau terka, kenapa aku berada di sini?” tanyanya kemudian.
“Justru inilah adikmu hendak menanyakannya,” sahut Kwee Ceng.
“Ceritanya panjang, nanti aku menutur perlahan-lahan,” menyahuti si kakak jenaka ini. “Kau toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa San?”
Kwee Ceng mengangguk. “Pernah adikmu mendengar itu,” sahutnya.
“Ketika itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti membungkus puncak,” sang kakak bercerita. “Mereka berlima itu mulut berunding, tangan mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Di akhirnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong Tiong Yang sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu mengapa mereka membuat pertemuan di Hoa San itu?”
“Tentang itu adikmu belum pernah mendengarnya.”
“Itulah buat gunanya sebuah kitab….”
“Kitab Kiu Im Cin-keng!” Kwee Ceng memotong.
“Benar! Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum persilatan, Kiu Im Cin-keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut penuturan, kitab itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang ke negeri kita ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama sahli-ahli silat kita, diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk bersemadhi menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun, kitab itu muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli silat. Tidak seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang, karena perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapati itu, lantas ia menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun menggunai banyak akal muslihat…”
Kwee Ceng menghela napas.
“Kalau beigitu, kitab itu adalah kitab celaka dalam dunia kita ini,” katanya. “Kalau Tan Hian Hong tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup berbahagia dengan Bwee Tiauw Hong di dalam desa di mana mereka mengumpatkan diri dan Oey Tocu tidak nanti menghendakinya….”
“Tetapi ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!” sambung si kakak angkat.
Kwee Ceng menyahutinya, hanya di dalam hatinya ia mengatakan: “Kalau begitu ini kakak tua sudah kegilaan ilmu silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain orang yang seperti dia gilanya….”
“Eh, tadi aku bercerita sampai di mana?” Pek Thong tanya, rupanya ia lupa.
“Sampai di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu.”
“Benar, urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan dari Tho Hoa To, Ang Pangcu dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan. Berlima mereka itu merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling lihay, ialah yang mendapatkan kitab itu.
“Akhirnya kitab itu terjatuh dalam tangan kakak seperguruanmu,” kata Kwee Ceng.
“Memang!” jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. “Persahabatanku dengan Ong Suko memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudah bergaul rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia mengatakan aku berlajar ilmu silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi seperti tolol, katanya itulah bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak menjadi murid Coan Cin Kauw. Di antara dia, katanya sebab terlalu mengutamakan ilmu silat, ia jadi mengabaikan agama. Kalau belajar silat orang mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw mestilah hati orang tawar. Jadi kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya. Ma Giok yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu silatnya sempurna.”
“Jikalau demikian adanya, kenapa Ong Cinjin dapat menjadi orang suci sejati berbareng lihay juga ilmu silatnya?” tanya Kwee Ceng tidak mengerti.
“Itulah disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang mempelajari segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan mendalam. Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana? Kenapa kau memegatnya?”
“Sampai di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng.”
“Benar! Setelah mendapatkan kitab itu suka tidak memahamkan apa bunyinya, dia hanya menyimpan buku itu di dalam kotak yang kotaknya ia tindihkan batu di bekalang kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya itu. Suka tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum saja. Ketika aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau yang menerka, apakah sebabnya itu?”
“Tentulah itu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang curi?” menerka Kwee Ceng.
“Bukan, bukan,” Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. “Siapakah yang berani mencuri barangnya kaucu dari Coan Cin Kauw? Siapa berani berbuat begitu, itulah tandanya dia sudah bosan hidup!”
Kwee Ceng perpikir pula, lalu ia lompat berjingkrak.
“Benar memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!” katanya. “Sebetulnya. lebih baik lagi kalau dibakar habis saja…”
Pek Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu.
“Memang dulu hari suko pun pernah mengatakan demikian,” katanya. “Hanya tidak dapat ia melakukan itu, beberapa kali sudah ia mencoba, saban-saban gagal karena kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?”
Merah mukanya Kwee Ceng.
“Aku pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap nomor satu,” menyahut Kwee Ceng. “Aku pikir pula, dia tentunya pergi ke Hoa San bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya semata-mata untuk mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk belajar lebih jauh, hanya untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit supaya mereka tak usah terus-menerus saling membunuh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar