BAB 50
Koan Eng mendongkol, ia maju pula. Dengan begitu Cie Peng
benar-benar dikerubuti berdua. Tapi Yauw Kee tidak mau bertempur dengan kakak
seperguruannya itu, ia lantas lompat mundur.
“Mari maju!” Cie Peng menantang adik seperguruannya itu.
“Dia sendiri tidak dapat melawan aku. Dengan kau maju, tak usahlah sebentar kau
membantui padanya!”
Oey Yong merasa lucu menyaksikan tiga orang itu, dari
kawan, menjadi lawan, malah mereak jadi bertempur. Ia memikir, bagaimana urusan
mereka itu dapat diselesaikan. Justru itu ia mendengar satu suara di pintu dari
terbukanya daun pintu, setelah mana terlihatlah masuknya rombongan Pheng Lian
Houw yang mengiringi Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Mereka ini menanti sekian lama tanpa mendengar sesuatu,
See Thong Thian jadi berkhawatir untuk saudara seperguruannya, dengan
membesarkan nyali, ia masuk untuk membuat penyeledikan, diwaktu mengintai, ia
melihat Cie Peng tengah bertempur sama Koan Eng. Seorang diri ia tidak berani
lancang masuk, maka ia kembali untuk mengajak kawan-kawannya. Demikian mereka
masuk dengan tiba-tiba.
In Cie Peng dan Koan Eng melihat datangnya banyak orang
itu dengan sendirinya, mereka berhenti berkelahi, dengan lantas keduanya
berlompat mundur. Belum sempat mereka menjauhkan diri, sebat luar biasa, See
tHong Thian menubruk mereka, akan menyambar masing-masing tangan mereka itu,
Sedang Pheng Lian Houw dengan cepat pergi menolongi Hauw Thony Hay dengan
melepaskan belunggunya dan membebaskna totokannya.
Thong Hay susah bernapas, maka itu, tanpa menanti
mengeluarkan sumbatannya itu, sambil mencoba berseru, ia menyerang Yauw Kee,
tangannya menyerbu ke muka si nona.
Nona Thia melihat serangan, ia dapat berkelit mendak.
Thong Hay mendongkol bukan main, mukanya merah. Kembali
ia maju, kali ini dengan dua kepalan berbareng.
“Tahan!”
Pheng Lian Houw berseru. “Mari kita menanya dulu!”
Thong
Hay tidak dapat mendengar cegahan itu, karena kedua kupingnya pun disumpal.
Koan
Eng dicekal keras oleh Thong Thian, separuh tubuhnya sampai tak bisa digeraki,
akan tetapi menampak Thong Hay menyerang Yauw Kee seperti kesetanan, entah
darimana datangnya, ia berontak hingga terlepas, terus ia lompat kepada si
orang she Hauw. Akan tetapi Lian Houw awas dan sebat, kakinya melayang, karena
mana, pemuda itu roboh terbanting, hingga batang lehernya kena dicekuk.
“Kau
siapa?!” Lian Houw membentak. “Kemana perginya itu manusia yang menyaru jadi
hantu?!”
Baru
Lian ouw menutup mulutnya, atau mana daun pintu terdengar bersuara, terbuka
dengan perlahan. Semua orang menoleh dengan lantas, akan tetapi mereka tak
melihat orang masuk. Tanpa merasa, hati mereka ciut sendirinya. Hanya sejenak,
di ambang pintu tertampak seorang wnaita muda dengan rambut kusut awut-awutan,
mulanya kepalanya yang nongol.
Nio
Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin lompat mencelat.
“Celaka,
iblis wanita!” mereka berseru, kaget.
Tapi
Pheng Lian Houw bermata jeli, ia melihatnya orang bukan setan.
“Masuk!”
ia memanggil.
Sa
Kouw, demikian wanita itu, bertindak masuk sambil tertawa haha-hihi.
“Oh,
begini banyak orang!” katanya seraya mengulur lidahnya.
Nio
Cu Ong yang menjeritkan iblis, menjadi gusar sekali.
“Kau siapa?!” ia membentak sambil lompat maju, tangannya
menyambar lengan orang. Ia menganggap orang adalah gadis desa yang tolol. Tapi
ia ketemu batunya!
Sa Kouw tidak sudi tangannya dicekuk, ia kelit seraya
berbalik membalas menyerang, maka “plok!” tanganna Cu Ong kena dihajar keraas,
hingga ia merasakan sakit. Tentu sekali, dia jadi gusar sekali.
“Ha, kau berlagak tolol!” ia berseru. Dia maju denagn dua
tinjunya berbareng.
“Hahahaha!” mendadak si tolol tertawa seraya menuding
kepala orang yang gundul licin.
Semua orang heran mendengar tertawa itu, Cu Ong tidak
menjadi terkecuali, tapi mereka melengak tidak lama, atau si orang she Nio
sudah mengirim satu tinjunya - tinju yang kanan.
Sa Kouw menangkis, ia berhasil, akan tetapi tubuhnya
terhuyung. Mengertilah ia yang ia bukan tandingannya lawan itu, maka tak ayal
lagi, ia memutar tubuhnya untuk lari pergi.
Cu Ong berlaku sebat, dengan satu loncatan ia sudah
menghadang di depan si tolol itu, sikutnya dikerjakan, maka hidung si nona
menjadi sasaran, hingga ia kesakitan, dan matanya kabur. Lantas ia
berteriak-teriak: “Adik yang makan semangka, lekas kau kelluar menolongi aku!
Ada orang memukul aku!”
Oey Yong terkejut.
“Jikalau anak tolol ini tidak dibinasakan, dia bakal
menjadi bahaya untuk kami,” pikirnya. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan
atau tindakan, mendadak ia mendengar satu suara “Hm!” perlahan, yang ia kenali
dengan baik sekali.
“Ah,
ayah datang!” katanya dalam hatinya, sedang hatinya berdebaran. Ia segera
mengintai pula.
Benar-benar
oey Yok Su muncul di situ dengan jubahnya yang panjang dan hujai warnanya,
mukanya ditutup dengan topeng kulit manusia. Dia berdiri di ambang pintu!
Tidak
ada orang yang mengetahui kapan tibanya ini orang baru, tidak ada yang melihat
datangnya, tidak ada yang mendengarnya, hingga mungkin ia baru tiba, mungkin
juga ia masuk lebih dulu ke dalam situ. Dia berdiri tak bergerak. Benar mukanya
tidak bercaling atau bengis, tetapi kulitnya bukan kulit orang hidup, hanya
kulit mayat, maka siapa yang memandangnya, lekas-lekas ia melengos, tidak
berani ia mengawasi terus.
“Nona,
kau siapa?” Oey Yok Su kemudian menanya. Ia heran melihat
gerak-gerik si nona, ia tahu orang bersilat dengan ilmu silatnya sendiri.
“Siapa gurumu? Mana gurumu?”
Sa Kouw menggeleng kepala. Ketika ia mengawasi mukanya
Oey Yok Su, ia menjublak. Tapi cuma sebentar, lantas ia tertawa berkakakan dan
menepuk-nepuk tangan.
Oey Yok Su mengerutkan keningnya, ia berpikir sejenak,
lantas ia mengambil putusan nona ini pasti ada cucu muridnya, hanya entah dari
muridnya yang mana. Ia memang paling sayang sama muridnya, tidak sudi ia orang
menghinakan muridnya itu. Buktinya Bwee Tiauw Hong, muridnya yang murtad tetapi
tempo murid itu dikalahkan oleh Kwee Ceng masih ia hendak melindungi. Apa pula Sa Kouw nona yang tolol dan polos ini.
“Eh, anak!” tegurnya. “Orang telah serang kau, mengapa
kau tidak membalas menghajarnya?”
Ketika baru-baru ini Oey Yok Su pergi naik ke perahu
mencari putrinya, ia tidak mengenakan topeng, tetapi kali ini lain, orang tidak
segera mengenalinya, kali ini setelah ia membuka mulutnya, lantaslah Wanyen
Lieh bertiga Yo Kang dan Pheng Lian Houw lantas menjadi ciut nyalinya. Bahkan
ia menduga-duga, jangan-jangan adalah Oey Yok Su yang menyamar jadi hantu di
dalam istana. Maka ia lantas memikir untuk tidak bertempur, hanya mencari
ketika untuk mengulur langkah seribu. Untuk ia, jiwanya paling penting, nama wangi
dan malu adalah urusan lain…
“Aku
tidak dapat menghajar dia,” Sa Kouw menjawab.
“Siapa
bilang kau tidak dapat menghajar dia?!” bentak Oey Yok Su. “Kau hajar
cecongornya seperti tadi ia memukul hidungmu! Dia memukul kau satu kali, kau membalas dia tiga kali lipat ganda!”
Sa Kouw tertawa.
“Bagus!” katanya. Dan ia menghampirkan Nio Cu Ong, tanpa
memikir pula ia bukan tandingan jago itu. Ia kata, “Kau memukul hidungku satu
kali, akan aku hajar hiudngmu tiga kali!”
Dan ia mengangkat kepalannya, meninju hidung orang!
Nio Cu Ong tidak sudi mandah dihajar, ia angkat
tangannya, untuk menangkis, atau tiba-tiba ia merasakan jalan darah
kiok-tie-hiat di lengannya menjadi mati sendirinya, hingga ia tak sanggup
sekalipun untuk melonjorkan lengannya itu. Maka itu, “Buk!” kenalah hidungnya
dihajar si nona tolol itu, hingga ia kaget bahna sakitnya.
“Yang kedua!” berseru sa kouw tanpa mengasih hati.
Nio Cu Ong memasang kuda-kudanya, tangan kirinya
digeraki. Ia hendak menggunai tipu silat Kim-na-hoat, Menangkap untuk membikin
lengan orang terlepas dari sambungannya. Tidak sudi ia terus-terusan kena
dihajar. Hanya, belum lagi tangannya itu bentrok tangan si nona, ia merasakan
jalan darahnya pek-jie-hoat lemas sendirinya, hingga habislah tenagany, Dilain
pihak, “Buk!” kembali hidungnya kena dihajar untuk kedua kalinya, bahkan kali
ini hajarannya jauh lebih hebat, sampai tubuhnya melengak ke belakang.
Selagi Nio Cu Ong kaget dan kesakitan dan heran, semua
hadirin lainnya tak kurang herannya, kecuali Pheng Lian Houw seorang ahli
senjata rahasia. Ia mendengarnya, setiap kali Nio Cu Ong menggeraki tangan,
untuk menangkis atau membalas, saban-saban ada suara halus berkesiar, maka itu
ia menduga, tentulah Oey Yok Su sudah menggunakan semcama senjata rahasia,
mungkin sebangsa jarum, ia hanya tak dapat melihatnya, tak tahu kapannya
senjata rahasia itu dipakai menyerang. Tentu sekali ia tidak tahu Oey Yok Su
sudah melepaskan jarum rahasia dari dalam tangan bajunya, jarum mana dapat
menembusi tangan baju itu, untuk meleset kepada sasarannya. Siapa dapat
berkelit dari serangan semcam itu?”
“Yang ketiga!” terdengar suara pula Sa Kouw, nyaring.
Nio Cu Ong terkejut. Oleh karena tangannya tidak sudi
mendengar kata, sedang ia tidak ingin merasakan pula bogem netah, lekas-lekas
ia bertindak mundur, untuk menghindarkan diri. Tapi, baru ia mengangkat kakinya
itu, kaki kana atau betisnya, bagian jalan darah pek-hay-hiat, mati sendirinya.
Ia kget tak terkira. Itu artinya ia tak dapat berkelit. Ia menjadi sangat
menyesal, maka tiba-tiba saja matanya menjadi merah, air matanya mengembang,
untuk meluncur keluar. Kalau sampai ia menangis, habis sudah nama besarnya,
maka ia hendak menyusutnya. Celaka untuknya, tidak dapat ia menangangkat
tangannya. Dari itu, akhirnya bercucuranlah air matanya itu!
Sa Kouw tolol akan tetapi hatinya pemurah dan lemah,
kapan ia melihat orang menangis, batal ia meninju, bahkan ia berkata nyaring.
“Sudah, jangan kau menangis! Tidak, aku tidak akan menghajar pula padamu…”
Hiburan ini tapinya begitu hebat daripada tinjuan yang
ketiga itu. Nio Cu Ong menjadi terasa terlebih terhina pula. Begitu hebat
mendongkolnya, mendadak ia muntahkan darah hidup! Tapi ia segera mengangkat
kepalanya, memandang Oey Yok Su.
“Tuan siapakah kau?” ia menanya. “Secara gelap kau
melukai orang, apakah itu perbuatan satu enghiong, seorang gagah?”
Oey
Yok Su tertawa dingin.
“Tepatkah
orang semacam kau menanyakan namaku?” katanya dengan dingin mengejek, lalu
dengan suara nyaring, ia memerintah: “Semua kamu menggelinding pergi dari
sini!”
Semua
orang itu menjadi kaget berbareng lega hati. Mereka telah menyaksikan segala
apa, walaupun mereka gagah, hati mereka toh ciut, jeri mereka terhadap orang
lihay tak dikenal ini. Untuk menyerang, mereka tak berani, untuk mengangkat
kaki mereka malu, dari itu mereka diam saja, sampai tiba-tiba datang seruan
orang.
Pheng
Lian Houw si licik adalah yang bergerak paling dulu, hendak ia berlalu. Baru
dua tindak ia berjalan, atau mendadak orang menghadang di depan pintu! Terpaksa ia menghentikan langkahnya, berdiri menjublak si situ.
“Setan alas!” berseru Oey Yok Su. “Telah aku melepaskan
kamu, untuk kamu pergi, kenapa kamu berdiam saja? Apakah kamu ingin aku
membunuh mampus pada kamu semua?!”
Pheng Lian ouw ketakutan, ia mengerti bahaya.
“Locianpwee ini menitahkan kita pergi, marilah kita
keluar!” ia mengajak kawan-kawannya. Tidak berani ia ngeloyor sendirian.
See
Thong Thian panas hatinya. Ia menyingkirkan sumbatan kepada mulutnya.
“Minggir
untukku!” ia berseru mendongkol. Ia pun maju ke depan Oey Yok Su, matanya
bersinar merah saking gusarnya.
Oey Yok Su tidak mengambil mumat
suara orang yang bengis itu. Bahkan dengan tawar ia berkata: “Tidak dapat
kau meminta aku membuka jalan! Siapa yang menyayangi jiwanya, lekas ia molos
dari selangkanganku!”
Thong
Thian semua saling mengawasi, muka mereka merah saking mendongkol. Saking
gusar, mereka menjadi nekat. Mereka pun berpikir, “Walaupun kau sangat lihay,
dapatkah kau melawan kami?”
Maka
itu Hauw Thong Hay sudah lantas berseru sambil berlompat maju, menubruk itu
perintang jalan yang jumawa.
“Hm!”
terdengar suaranya Oey Yok Su, yang tahu-tahu tangannya sudah mencekuk si orang
she Hauw itu, tubuh siapa diangkat tinggi-tinggi, terus dengan mendadak,
tangannya menyambar lengan kiri Thong Thay, untuk ditarik, menyusul mana, orang
galak ini menjerit keras, sebab sebelah tangannya itu kena dipatahkan. Habis
itu, tubuh korban ini lantas dilemparkan, dia sendirinya terus dongak memandang
langit, sikapnya acuh tak acuh……..
Thong
Hay roboh setengah mati, sakitnya bukan main. Tangannya yang patah itu
mengucurkan darah tak hentinya.
Semua
orang kaget, hati mereka ciut.
Kemudian
Oey Yok Su menggeraki kepalanya, dengan matanya perlahan-lahan ia menyapu muka
semua orang.
See
Thong Thian dan Pheng Lian Houw semua, semua sebangsa iblis, merasakan tubuh
mereka menggigil sendirinya. Bukan main kerennya
sinar mata orang ini! Bulu roma mereka pada bangun ssendiri.
“Kamu mao molos atau tidak?” tanya Oey Yok Su bengis
karena orang pada tetap diam saja.
Tidak ada seorang juga yang berani banyak mulut, tidak
ada yang ebrani menerjang atau membangkang, bahkan Pheng Lian Houw, dengan
kepala tunduk, sudah lantas molos mendahului yang lain-lain!
See Thong Thian melepaskan In Cie Peng dan Liok Koan Eng,
dengan menolong adik seperguruannya, ia molos menyusul Pheng Lian Houw, diturut
oleh Wanyen Lieh bersama Yo Kang. Yang paling belakang molos adalah Nio Cu Ong
bersama Leng Tie Siangjin. Sekeluarnya dari pintu rumah makan, mereka
melekaskan tindakan mereka, bahkan tidak berani mereka menoleh ke belakang.
Oey Yok Su tertawa sambil melengak.
“Koan Eng dan kau nona, diam kamu!” ia berkata.
Koan segera mengenali kakek gurunya itu, akan tetapi akan
orang mengenakan topeng dan menduga kakek guru ini sengaja tidak hendak
memperlihatkan diri, ia tidak berani memanggil, ia cuma bertekuk lutut mengasih
hormat dengan mengangguk empat kali.
Menyaksikan orang demikian lihay, In Cie Peng mennduga
orang ini bukan sembarang orang, ia lantas memberikan hormatnya seraya
memperkenalkan diri sambil menyebut nama gurunya, Tiang Cun Cu dari Coan Cin
Kauw.
“Semua orang telah mengangkat kaki!” berkata Oey Yok Su
nyaring. “Aku pun tidak menahan kau, perlu apa kau masih berdiam di sini? Apakah
kau sudah bosan hidup?”
Cie Peng melengak. Inilah perlakuan yang ia tidak
menyangkanya.
“Teecu ialah muridnya Coan Cin Kauw, bukannya orang
jahat,” ia memberi keterangan.
“Habis kalau Coan Cin Kauw, bagaimana?!” tanya Oey Yok Su
sambil tangannya diulur ke meja di mana ada sepotong kayu, yang mana ia ayunkan
ke arah Cie Peng.
Nampaknya enteng potongan kayu itu dan melayang. In Cie
Peng mengangkat kebutannya untuk menangkis. Akan tetapi, ketika keduanya
bentrok, muridnya Khu Cie Kee ini terkejut. Ia merasakan serangan yang keras
luar biasa, kebutannya itu kena tertolak sampai ujungnya mengenai mulutnya
hingga ia merasakan sakit sekali dan mulutnya itu seperti tambah entah barang
apa. Ketika ia telah memuntahkannya, nyatalah ada beberapa buah giginya yang copot
serentak. Ia menjadi kaget dan bungkam. Sungguh hebat!
“Akulah Oey Yok Su atah Hek Yok Su!” kata Tong Shia
dingin. “Kamu kaum Coan Cin Kauw, kamu hendak memandang bagaimana kepadaku?”
Mendengar
itu, In Cie Peng kaget bukan main, hatinya berdebaran.
Yauw
Kee semenjak tadi diam saja menyaksikan tingkah pola orang, turut terkejut,
hatinya kebat-kebit.
Koan
Eng turut berkhawatir, di dalam hatinya ia kata, “Tentulah kakek guruku ini
dengar pembicaraanku dengan ini tosu muda. Kalau dia pun mendengar kata-kataku
kepada malaikat dapur barusan, entah dia bakal menghukum bagaimana kepadaku…”
In
Cie Peng memegang pipinya.
“Kaulah
pemimpin suatu partai persilatan, mengapa perbuatanmu begini cupat?” kemudian
Cie Peng menegur si Sesat dari Timur itu. “Kanglam Liok Koay adalah orang-orang
gagah yang berhati mulia, mengapa kau mendesak mereka demikian rupa?
Mengapakah? Jikalau bukan guruku yang memberikan kabar, bukankah mereka semua
bakal bercelaka di tanganmu?”
Oey
Yok Su menjadi gusar.
“Pantas
tak ketemu aku cari mereka di mana-mana, kiranya ada orang bangsa campuran yang
emngadu biru di antara kita!” katanya nyaring.
Cie Peng menjadi berani, ia berjingkrak.
“Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!” ia
menantang. “Aku
tidak takut!”
Oey
Yok Su tertawa dingin.
“Bukankah
kau telah mencaci aku dibelakangku?” katanya.
Imam muda itu menjadi nekat.
“Di depanmu pun aku berani mencaci kau!” katanya sengit. “Kaulah si setan alas, si siluman!”
Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng itu.
Semenjak ia menjadi jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam
dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya,
maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama.
“Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya…” ia
mengeluh.
Tetapi anehnya, bukannya marah, Oey Yok Su justru
tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar
bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut.
“Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!” katanya
bengis sambil ia bertindak menghampirkan.
“Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!” jawab
Cie Peng. “Kau iblis, kau siluman!”
“Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek
guruku!” membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak
mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau
kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya
sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini
nanti merendahkan kegusarannya kakek guru itu.
Cie Peng berkelit yang berlompat mundur dua tindak. Ia
mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar.
“Imam kamu yang muda ini hari ini dia tak menghendaki
hidup lebih lama pula!” katanya nyaring dan sengit, “Hendak aku mencaci kau!”
Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolongi
jiwanya, maka tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula.
“Traang!”
demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi
Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring: “Aku pun orang Coan
Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara
seperguruan!”
Perbuatan nona Thia ini membuatnya Cie Peng terkejut dan
kagum.
“Bagus, Thia Sumoy!” serunya.
Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang
tajam kepada Oey Yok Su.
Sikap mereka ini membuatnya Koan Eng menghentikan sepak
terjangnya.
Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa
terbahak.
“Bagus, kamu bersemangat!” katanya memuji. “Memang aku
Oey Lao Shia, aku ada dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu
masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, dari itu, mana bisa aku
melayani kamu bangsa sebawahanku? Nah, kau pergilah!”
Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah
tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya itu dikibaskan.
Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-tahu
tubuhnya sudaha melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya
bahwa ia bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya ada diluar dugaannya. Ia
jatuh dengan berdiri dengan kedua kakinya, ia seperti juga dipegangi Oey Yok Su
dan diksaih turun dengan perlahan-lahan!
Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak.
“Sungguh berbahaya..” katanya dalam hatinya. Sekarang ini
biar nyalinya lebih besar pula, tidak nanti ia berani mencaci pula si Sesat
dari Timur itu, kepandaian siapa benar-benar luar biasa. Kemudian dengan
pegangi pipinya yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya untuk ngeloyor pergi…
Yauw Kee memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, ia pun
membalik tubuhnya untuk berlalu.
“Perlahan dulu!” mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat
tangannya ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. “Bukankah kau suka menikah
dengannya untuk menjadi istrinya? Benarkah?” Ia menanya seraya menunjuk ke Koan
Eng.
Kaget nona Thia. Inilah ia tak sangka. Dengan sendirinya
mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu…
“Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang
tetap caciannya padaku,” berkata pula Oey Yok Su. “Bukankah ia mengatakan aku
iblis dan siluman? Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah
orang kangouw yang tidak mengetahuinya? Seumurnya aku Oey Lao Shia, yang aku
paling jemukan ialah segala hal wales asih dan pribadi, segala peradatan dan
aturan, dan yang paling aku bencikan yakni segala nabi atau rasul, segala
kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan
suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun menurun telah
dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihakn,
sangat harus dikasihani dan lucu juga? Oey Yok Su tidak percaya semua itu!
Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku ada terlebih baik
daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!”
Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat
kata-katanya Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak
perbuat atas dirinya….
“Kau omonglah terus terang kepadaku,” berkata pula Oey
Yok Su, “Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini? aku paling sukai
bocah yang bersemangat dan polos dan jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia
mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba
dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau
tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau
bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangi sama cucu muridkun ini! Nah, kau
jawablah!”
Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia
menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam
urusan yang mesti direcoki orang tua mereka? Kepada ayah ibunya sendiri ia malu
untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, yang ia baru pertama
kali menemuinya? Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam,
wajahnya tetap merah dadu…
Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat
pada putrinya. Maka ia menghela napas.
“Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh
kamu,” katanya perlahan. “Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tiak
dapat memaksanya….”
Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya.
Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak nanti anak
itu mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan.
“Koan Eng!” katanya tiba-tiba nyaring. “Kau jawablah
terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu?!”
Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat.
“Cauwsuya,” sahutnya cepat, gugup, “Aku hanya khawatir
aku tidak setimpal dengan ini…”
“Tepat,
cocok!” berseru Oey Yok Su. “Kaulah cuci muridku, sekalipun putri raja, tentu
dia tepat, dia setimpal denganmu!”
“Ya,
cucu muridmu suka,” Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak
omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang
tabiatnya aneh ini.
Kalau
tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum.
“Bagus!”
serunya. “Sekarang kau, nona?” ia terus tanya nona Thia.
Bukan
main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia
masih menunduki kepala.
“Tentang
hal ini haruslah ayahku yang memutuskannya…” sahutnya sesaat kemudian.
“Ha,
apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?” kata Oey Yok Su
keras. “Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak
mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan
denganku!”
Yauw
Kee berdiam.
“Kalau
begitu, terang kau tidak suka!” berkata Oey Yok Su. “Kau ada merdeka! Kita
harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang orang menyesal kemudian!”
Yauw
Kee tersenyum.
“Ayahku
cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat,” katanya,
menjelaskan.
Oey
Yok Su heran, melengak.
“Biarlah
mengadu menghitung dan menulis pun boleh!” katanya kemudian. “Lekas kau bilang,
kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?”
Nona
Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata: “Ayahku
paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan
menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?”
Oey
Yok Su mengawasi cucu muridnya.
“Koan
Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!” katanya nyaring. “Lain kali
kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah
kamu!”
Koan
Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal
diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampirkan Yauw Kee, kepada siapa ia menjura
seraya berkata: “Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah
sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi
hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh…”
“Jangan
terlalu merendah, kongcu,” sahut Yauw Kee perlahan, “Aku…aku bukannya….”
Koan
Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk
kepala untuk menggantikan jawaban.
“Nona,”
demikian katanya. “Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah
kepalamu…”
Di
mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala…
Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari
kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikit juga.
Bukan
main girangnya Koan Eng.
“Nona!”
ia berseru, “Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!”
Tapi,
nona Thia itu tetap tidak bergerak.
menampak
itu, Koan Eng bergelisah bukan main.
Oey
Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran.
“Menggeleng
kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana?!” katanya.
Yauw
Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata, “Tidak menggeleng kepala itu
berarti mengangguk…”
Mau
tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan.
“Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid!
Sungguh lucu!” serunya. “Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!”
Koan
Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas
mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam.
“Mana itu nona tolol?” kemudian Oey Yok Su menanya.
“Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya.”
Ketiganya menoleh ke sekitarnya, Sa Kouw tidak ada di
antara mereka. Entah kapannya si tolol menghilang selagi orang berbicara.
“Sudah, tidak usah repot mencari dia,” kata Oey Yok Su
kemudian, “Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati
langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kamu.”
“Cauwsuya,” berkata Koan Eng. “Kau menyayang cucu muridmu
ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan
tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa…”
“Hus!” membentak Tong Shia. “Kamu murid Tho Hoa To,
apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum? Mari, mari, berdirilah
berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!”
Berpengaruh sekali suaranya pemilik dari pulau Tho Hoa To
ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu pada lain, untuk
berdiri berendeng, untuk terus menjalankan kehormatan.
“Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!” Oey Yok
Su berkata pula, “Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh
aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!”
Demikian KoanEng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di
bawah pimpinan Tong Shia, selama mana Oey Yong bersama Kwee Ceng terus
mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjangnya orang
tua ini.
“Bagus!” terdengar pula suaranya Oey Yok Su. “Sekarang
hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu
lihat!”
Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara
angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang…
Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah
menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong-piauw-kun atau Angin Ngamuk.
Sekira
semakanan the, angin berhenti menderu.
“Kamu
lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih,” berkata Oey Yok Su. “Mungkin kamu
tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah
menyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula
orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi
kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahan kamu!”
Koan
Eng melengak.
“Cauwsu,”
katanya tertahan.
“Apa?
Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara
lilin di dalam kamar?” tanya kakek guru ini. “Kamu berdua ada orang-orang yang
menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar
yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?”
Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia
lantas pergi untuk membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor
ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur untuk mematangi itu, setelah mana
mereka melayani sang kakek guru bersantap.
Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia
melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya.
Oey Yong bersusah hati, beberapa kali hendak ia memanggil
ayahnya itu, saban-saban ia membatalkannya. Ia khawatir ia nanti mengganggu
lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya
pulang.
Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia,
lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani
membuka mulut.
Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat
lapar, tetapi ia menguati hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka itu
ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya.
Demikian cuca gelap.
Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran.
“Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?” berkata
Oey Yok Su. “Kawanan jahanam itu tentulah tak berani mengganggu dia.” Ia
menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. “Malam ini malam pengantin, mengapa kau
tidak memasang lilin?”
“Ya,” menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api
menyulut lilin. Maka itu di antar terangnya api ia dapat melihat wajahnya nona
Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah
terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-daun bambu.
Oey Yok Su menngangkat sebuah bangku, ia lintai itu di
depan pintu, lants di situ ia rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya
mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas.
Yuaw
Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming.
Sang
tempo berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis manjadi cair beku dan
sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menadi gelap petang. Setelah ini mereka
berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak
dapat menangkap pembicaraan mereka itu.
Nona
Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara
tiba-tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari
latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya,
untuk menunjang kawan itu. Ia menanti sampai si
anak muda tenang pula, baru ia mengintai keluar.
Sekarang ini mulai tertampak sinar rembulan, yang molos
masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia
duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku.
“Tahukah kau hari ini hari apa?” kemudian terdengar si
nona Thia, suaranya perlahan.
“Inilah hari baik dari kita berdua,” menyahut Koan Eng.
“Itulah tak usah disebutkan lagi,” kata si nona. “Hari
ini bulan tujuh tanggal dua - hari ini ialah hari lahir aku.”
Koan girang.
“Oh, sungguh kebetulan!” katanya. “Tidak ada hari sebaik
hari ini!”
Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang.
“Sst, perlahan,” ia memberi ingat. “Kau lupa daratan,
eh?”
Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu.
Justru itu ia pun bagaikan sadar.
“Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal
tujuh,” demikian ia ingat. “Rapat partai Pengemis
di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam tempo delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?”
Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar
siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring yang seperti
menggetarkan genteng rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong.
“Hai, tua bangka berbisa bangkotan!” terdengar pula
suaranya si orang tua berandalan itu. “Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin,
dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam kau
mengejarnya, sampai diakhirnya, kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong!
Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi
hendak kau bilang?”
Oey Yong terkejut.
“Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie
lebih?” pikirnya. “Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?”
Itu waktu terdengar suaranya Auwyang Hong: “Meski juga
kau lari ke ujung langit, akan aku kejar kau sampai di sana!”
Ciu
Pek Thong tertawa terbahak.
“Kalau
begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!” dia berkata nyaring.
“Biar
kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling
kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak?!”
“Baik!”
menyambut Auwyang Hong. “Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus
kecapaian!”
Sebenta saja terdengar perkataan
dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian,
suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak.
Koan
Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka
heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta
rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan
mereka bertindak ke pintu.
Oey Yong sendiri berpikir: “Mereka berdua hendak menguji
kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu.”
Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng, “Ah,
aneh! Mana Couwcu?”
“Lihat di sana!” berkata Yauw Kee. “Bukankah di sana ada
bayangan tiga orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan
couwsu.”
“Ya, benar!” berkata Koan Eng. “Kenapa dalam sekejap saja
mereka itu sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka
lihay sekali! Sang kita tidak dapat melihat mereka…”
Kata Oey Yong dalam hatinya: “Tidak peduli kamu melihat
si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua
tidak ada faedahnya…”
Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya.
Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di
rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran?
Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya
si pengantin baru.
“Adikku, apakah namamu?” ia menanya perlahan.
Nona Thia tertawa.
“Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!”
Koan
Eng pun tertawa.
“Kalau
bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik, !” katanya.
“Semaunya
bukan!” kata si nona, kembali tertawa. “Itulah si biang kutu gede!”
Koan
Eng tertawa pula. Dengan “biang kutu gede” dimaksudkan harimau.
“Oh,
kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!” katanya.
Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng
mengejar sambil tertawa-tawa.
Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar-putaran,
suara tertawa mereka ramai.
Samar-samar Oey Yong menanmpak bayangan mereka di antara
sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri.
“Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak
nona Thia atau tidak?” tiba-tiba Kwee Ceng menanya.
“Dia bakal pasti tercandak!” jawab si nona.
“Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?” Kwee Ceng menanya
pula.
Oey
Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya.
Justru
itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan
membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merrangkul, kembali ke bangku mereka.
Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu.
Tangan
kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapakan
tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri
dan ke kanan, bergoyangnya makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut.
“Engko
Ceng, kau kenapa?” ia menanya.
Kwee
Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee
mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey
Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tanganya menjadi panas,
tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya akan
memegang pundak si nona.
Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu
keras, hawanya pun bertambah panas.
“Engko Ceng, hati-hati!” ia memperingati, “Kau tenangkan
dirimu, kau tetapkan hatimu!”
“Aku gagal, Yong-jie,” menyahut Kwee Ceng, yang hatinya
goncang. “Aku…aku..”
Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri.
“Jangan bergerak!” Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup.
Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia
merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak.
“Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi…” raratpnya. Kembali
ia hendak berbangkit bangun.
“Jangan
bergerak!” Oey Yong melarang pula. “Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!”
“Benar,
lekaslah kau totok!” kata Kwee Ceng. “Aku tidak dapat menguasai diriku lagi…”
Oey
Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan
,mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka
harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia
berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat
bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia geraki
tangan kirinya, dengan tipu “Lan-hoat Hut-huat-ciu”, ia menotoki jalan darah
ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda itu.
Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurnya
sekali, ia dapat menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir
sampai pada sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok,
dua-dua kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya,
mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng.
Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling,
mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api.
Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar
suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki pundaknya,
membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging
si anak muda.
Kwee
Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya dapat menangkap
keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan
perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya.
Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat
mengetel. Kulit muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meskipun itu semua,
ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang.
“Engko
Ceng, kita sudah melewati dua hari!” katanya.
“Plok!”
demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok mukanya sendiri.
“Sungguh berbahaya!” katanya. Ia maish hendak menggaplok lagi atau si nona
mencegah.
“Jangan,
itulah tak ada artinya!” kata Oey Yong tertawa. “Kau ketahui lihaynya Loo Boan
Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan dri dari suara seruling ayahku,
apapula kau tengah terluka parah?”
Tanpa
merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah memasang omong.
Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi untuk main berbisik saja.
Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara, mereka tidak mendapat dengar,
tetapi tidak demikian dengan Auwyang Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia mengenali suaranya Oey Yong. Ia
kaget berbareng heran. Ia masih mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia
menjadi sangat menyesal karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu
berjalan. Tetapi ia ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua
tangannya, yang dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya
naik tinggi sedangakan kepalanya berada di bawah!
Koan Eng bersama pengantinya berdiri berendeng, tangan
kirinya merangkul leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut
ketika kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh.
Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di jadikan kaki.
Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya.
Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah
kelaparan, tubuhnya menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar
golok, kagetnya tak kepalang, tidak ampu lagi ia roboh pingsan.
Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk
mengasih bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada
meja.
Selahi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit
kaget. Ia tidak uash mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu,
yang di Poo-ceng telah menangkap padanya.
Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya
itu. Ia terkejut akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan
sangat.
“Jangan takut,” ia menghibur. “Dia telah patah kakinya.”
Tapi
istrinya menyahut lain.
“Dia
orang jahat, aku kenali dia!” demikian sahutnya.
“Oh!”
seru Koan Eng tertahan.
Auwyang
Kongcu mendusin sendirinya.
“Bagi
aku nasi, aku lapar sekali,” ia memohon.
Yauw
Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat kucel, timbul
rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah hati, ia menjadi tidak
tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan satu mangkok nasi, yang mana ia
angsurkan pada pemuda yang bercelaka itu.
Auwyang
Kongcu menyammbuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia
minta pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya pulih.
Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk.
“Mana nona Oey,” ia tanya.
“Nona
Oey yang mana?” Oey Yong balik menanya.
“Nona
Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To,” Auwyang Hong menjawab.
“Oh,
kau kenal nona Oey?” kata Koan Eng. “Kabarnya dia sudah menutup mata…”
Pemuda
itu tertawa.
“Ah,
kau hendak memperdayakan aku?” katanya. “Terus-terang aku
telah mendengar suaranya barusan!” Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan
tangan kirinya, atas mana tubuhnya melesat, hingga dilain saat ia sudah berdiri
pula dengan kedua tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey
Yong. Sia-sia ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia
mengawasi ke arah darimana datangnya suara Oey Yong datang, ialah arah timur.
Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah berpikir
lama, ia lantas mencurigai lemari.
“Mesti ada rahasianya di situ,” demikian pikirnya. Maka
ia lantas menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas
meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu rahasia di situ,
tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang hitam dan kotor. Ia
berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus juga. Maka terlihatlah
olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia mendapatkan beberapa tapak jari tangan,
yang masih baru. Mendadak hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya,
meraih mangkok itu. Ia menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau
sudah, sekarang ia memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka
segeralah terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia
hingga di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar
rahasia itu.
Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya
menampak Kwee Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng
iri dan cemburunya lantas timbul, iri hatinya menyusul.
“Adikku, apakah kau tengah berlatih?” ia menanya. Ia
melihat dua orang itu berdiam saja.
Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal
ketahuan. Ia telah mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika
orang membuka lemari, ia lantas berpikir.
“Jangan bergerak,” ia bisiki Kwee Ceng. “Aku akan pancing
dia datang dekat, lalu kau hajar dia dengan ang Liong Sip-pat Ciang, untuk
menghabiskan padanya.”
“Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku,”
Kwee Ceng membilang, berbisik juga.
Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah
terbuka dan Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah
otaknya: “Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka pergi
jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam dengan tenang?
Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko Ceng…Bagaimana sekarang?”
Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang
berdiam saja, ia mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang
lesu, mukanya pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu
pernah dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati,
si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat keadaannya Kwee
Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai orang cerdik, ia lantas
dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat kepastian, ia hendak mencoba.
“Adik, kau keluarlah,” ia berkata. “Buat apa berdiam di
dalam kamar ini, cuma-cuma pikiran menjadi pepat…”
Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat
menarik ujung baju si nona.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya
dengan apa ia menghajar kepala orang.
Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas ia berkelit. Hebat serangan itu,
sebagaimana anginnya pun berkesiur keras. Ia lompat jumpalitan, akan trun dari
meja.
Oey
Yong menjadi sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan
serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa
numprah terus, jengkelnya bukan kepalang.
Sementara
itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar rahasia itu serta
di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak saja. Ketika kemudian
mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang
Kongcu, tetapi serangannya gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja,
untuk beraksi. Ia jadi berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk
menyusul padanya, dugaannya menjadi satu kepastian. Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk
ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main
berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok.
Oey Yong kewalahan, tidak peduli ilmu tongkatnya lihay.
Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama
ialah yang kena terdesak.
Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona
Oey itu, dengan serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing
menggunai golok dan pedang.
Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia tertawa
lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah tangannya
menyambar ke arah Kwee Ceng.
Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak
dapat menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk
menantikan maut datang.
Oey
Yong kaget bukan main, ia segera menyerang.
Auwyang
Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia mencekal, lalu ia
menarik keras.
Dalam
tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak dapat ia
gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari tangan Kwee Ceng.
Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk mempertahankan diri. Tidak ada
jalan lain, terpaksa ia lepaskan tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai
merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke
arah musuh yang licik itu.
Auwyang
Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia melihat barang
berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diiri rebah di atas meja. Tanpa berkelit
secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu, Koan Eng datang dengan
bacokannya.
Kembali
Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok Koan Eng
mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng membacok, jarumnya Oey
Yong tiba, menggenai punggungnya. Ia kaget sebab dengan segera ia merasakan
separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka ketika Auwyang Hong menyambar, ia
kena dicekuk tanpa berdaya.
Sebat
luar biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang.
“Bagus!”
katanya.
Itu
waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi suaminya. Tapi
Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu berkelit, sambil
berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia kaget bukan main.
Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis itu. Lekas-lekas ia
mambacok. Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya itu, tetapi dia telah
berhasil menjambret baju orang, yang kena dia robek. Saking kaget, hampir Yauw
Kee membikin pedangnya terlepas, mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju
pula.
Auwyang
Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari, atau lebih benar
pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik sendirinya
kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi.
“Budak ini benar-benar lihay,” pikirnya. “Tapi biarlah
dia, sekarang aku permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal
jadi kacau pikirannya, rusak semadhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah
mempunyai daya untuk menguasai mereka…”
Mengingat
itu, bukan main girangnya pemuda itu.
“Eh,
nona Thia,” ia berkata kepada Yauw Kee. “Kamu menghendaki dia mati atau hidup?”
Ia
maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir, nona Thia
tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya ia suka menyerah
sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai sebagai alat.
Yauw
Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup kedua matanya, tubuhnya tak
bergeming.
“Auwyang
Kongcu,” katanya terpaksa. “Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta
sukalah kau merdekakan dia…”
“Haha!” tertawa si anak muda. “Kiranya kamu kaum Coan Cin
Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!”
“Dia…dialah murid dari Thoa hoa Ta, jangan kau celakai
dia…” kata pula si nona.
“Siapa suruh dia membacok aku?” kata si anak muda tetap
tertawa. “Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku
masih ada di batang leherku? Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To! Oey
Yok Su itu ialah mertuaku!”
Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta.
“Kalau begitulah kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah
dia,” kata pula ia. “Biarlah dia menghanturkan maaf padamu.”
“Mana bisa gitu gampang, he?” Auwyang Kongcu pula.
“Jikalau kau menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik
permintaanku.”
Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang
bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti.
“Kau lihat!” berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia
mengangkat tangannya menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti
bekas dibacok.
Yauw Kee terkejut.
“Suhu juga tidak selihay dia ini,” pikirnya.
Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong,
sang paman, maka itu, dia menang banyak daripada Sun Put Jie. Ia senang
mendapatkan si nona berkhawatir.
“Begini permintaanku,” kata dia. “Inilah apa yang aku
titahkan kau lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, kau mesti
lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia akan aku bikin macam
begini!” Dia mengasih contoh dengan ancaman tangannya, seperti tadi ia membacok
meja, tetapi kali ini ia tujukan kepada batang leher Koan Eng.
Nona Thia kaget hingga ia menjerit.
“Kau menurut atau tidak?” Auwyang Kongcu tanya.
Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar