Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 50



BAB 50

Koan Eng mendongkol, ia maju pula. Dengan begitu Cie Peng benar-benar dikerubuti berdua. Tapi Yauw Kee tidak mau bertempur dengan kakak seperguruannya itu, ia lantas lompat mundur.
“Mari maju!” Cie Peng menantang adik seperguruannya itu. “Dia sendiri tidak dapat melawan aku. Dengan kau maju, tak usahlah sebentar kau membantui padanya!”
Oey Yong merasa lucu menyaksikan tiga orang itu, dari kawan, menjadi lawan, malah mereak jadi bertempur. Ia memikir, bagaimana urusan mereka itu dapat diselesaikan. Justru itu ia mendengar satu suara di pintu dari terbukanya daun pintu, setelah mana terlihatlah masuknya rombongan Pheng Lian Houw yang mengiringi Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Mereka ini menanti sekian lama tanpa mendengar sesuatu, See Thong Thian jadi berkhawatir untuk saudara seperguruannya, dengan membesarkan nyali, ia masuk untuk membuat penyeledikan, diwaktu mengintai, ia melihat Cie Peng tengah bertempur sama Koan Eng. Seorang diri ia tidak berani lancang masuk, maka ia kembali untuk mengajak kawan-kawannya. Demikian mereka masuk dengan tiba-tiba.
In Cie Peng dan Koan Eng melihat datangnya banyak orang itu dengan sendirinya, mereka berhenti berkelahi, dengan lantas keduanya berlompat mundur. Belum sempat mereka menjauhkan diri, sebat luar biasa, See tHong Thian menubruk mereka, akan menyambar masing-masing tangan mereka itu, Sedang Pheng Lian Houw dengan cepat pergi menolongi Hauw Thony Hay dengan melepaskan belunggunya dan membebaskna totokannya.
Thong Hay susah bernapas, maka itu, tanpa menanti mengeluarkan sumbatannya itu, sambil mencoba berseru, ia menyerang Yauw Kee, tangannya menyerbu ke muka si nona.
Nona Thia melihat serangan, ia dapat berkelit mendak.
Thong Hay mendongkol bukan main, mukanya merah. Kembali ia maju, kali ini dengan dua kepalan berbareng.
“Tahan!” Pheng Lian Houw berseru. “Mari kita menanya dulu!”
Thong Hay tidak dapat mendengar cegahan itu, karena kedua kupingnya pun disumpal.
Koan Eng dicekal keras oleh Thong Thian, separuh tubuhnya sampai tak bisa digeraki, akan tetapi menampak Thong Hay menyerang Yauw Kee seperti kesetanan, entah darimana datangnya, ia berontak hingga terlepas, terus ia lompat kepada si orang she Hauw. Akan tetapi Lian Houw awas dan sebat, kakinya melayang, karena mana, pemuda itu roboh terbanting, hingga batang lehernya kena dicekuk.
“Kau siapa?!” Lian Houw membentak. “Kemana perginya itu manusia yang menyaru jadi hantu?!”
Baru Lian ouw menutup mulutnya, atau mana daun pintu terdengar bersuara, terbuka dengan perlahan. Semua orang menoleh dengan lantas, akan tetapi mereka tak melihat orang masuk. Tanpa merasa, hati mereka ciut sendirinya. Hanya sejenak, di ambang pintu tertampak seorang wnaita muda dengan rambut kusut awut-awutan, mulanya kepalanya yang nongol.
Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin lompat mencelat.
“Celaka, iblis wanita!” mereka berseru, kaget.
Tapi Pheng Lian Houw bermata jeli, ia melihatnya orang bukan setan.
“Masuk!” ia memanggil.
Sa Kouw, demikian wanita itu, bertindak masuk sambil tertawa haha-hihi.
“Oh, begini banyak orang!” katanya seraya mengulur lidahnya.
Nio Cu Ong yang menjeritkan iblis, menjadi gusar sekali.
“Kau siapa?!” ia membentak sambil lompat maju, tangannya menyambar lengan orang. Ia menganggap orang adalah gadis desa yang tolol. Tapi ia ketemu batunya!
Sa Kouw tidak sudi tangannya dicekuk, ia kelit seraya berbalik membalas menyerang, maka “plok!” tanganna Cu Ong kena dihajar keraas, hingga ia merasakan sakit. Tentu sekali, dia jadi gusar sekali.
“Ha, kau berlagak tolol!” ia berseru. Dia maju denagn dua tinjunya berbareng.
“Hahahaha!” mendadak si tolol tertawa seraya menuding kepala orang yang gundul licin.
Semua orang heran mendengar tertawa itu, Cu Ong tidak menjadi terkecuali, tapi mereka melengak tidak lama, atau si orang she Nio sudah mengirim satu tinjunya - tinju yang kanan.
Sa Kouw menangkis, ia berhasil, akan tetapi tubuhnya terhuyung. Mengertilah ia yang ia bukan tandingannya lawan itu, maka tak ayal lagi, ia memutar tubuhnya untuk lari pergi.
Cu Ong berlaku sebat, dengan satu loncatan ia sudah menghadang di depan si tolol itu, sikutnya dikerjakan, maka hidung si nona menjadi sasaran, hingga ia kesakitan, dan matanya kabur. Lantas ia berteriak-teriak: “Adik yang makan semangka, lekas kau kelluar menolongi aku! Ada orang memukul aku!”
Oey Yong terkejut.
“Jikalau anak tolol ini tidak dibinasakan, dia bakal menjadi bahaya untuk kami,” pikirnya. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan atau tindakan, mendadak ia mendengar satu suara “Hm!” perlahan, yang ia kenali dengan baik sekali.
“Ah, ayah datang!” katanya dalam hatinya, sedang hatinya berdebaran. Ia segera mengintai pula.
Benar-benar oey Yok Su muncul di situ dengan jubahnya yang panjang dan hujai warnanya, mukanya ditutup dengan topeng kulit manusia. Dia berdiri di ambang pintu!
Tidak ada orang yang mengetahui kapan tibanya ini orang baru, tidak ada yang melihat datangnya, tidak ada yang mendengarnya, hingga mungkin ia baru tiba, mungkin juga ia masuk lebih dulu ke dalam situ. Dia berdiri tak bergerak. Benar mukanya tidak bercaling atau bengis, tetapi kulitnya bukan kulit orang hidup, hanya kulit mayat, maka siapa yang memandangnya, lekas-lekas ia melengos, tidak berani ia mengawasi terus.
“Nona, kau siapa?” Oey Yok Su kemudian menanya. Ia heran melihat gerak-gerik si nona, ia tahu orang bersilat dengan ilmu silatnya sendiri. “Siapa gurumu? Mana gurumu?”
Sa Kouw menggeleng kepala. Ketika ia mengawasi mukanya Oey Yok Su, ia menjublak. Tapi cuma sebentar, lantas ia tertawa berkakakan dan menepuk-nepuk tangan.
Oey Yok Su mengerutkan keningnya, ia berpikir sejenak, lantas ia mengambil putusan nona ini pasti ada cucu muridnya, hanya entah dari muridnya yang mana. Ia memang paling sayang sama muridnya, tidak sudi ia orang menghinakan muridnya itu. Buktinya Bwee Tiauw Hong, muridnya yang murtad tetapi tempo murid itu dikalahkan oleh Kwee Ceng masih ia hendak melindungi. Apa pula Sa Kouw nona yang tolol dan polos ini.
“Eh, anak!” tegurnya. “Orang telah serang kau, mengapa kau tidak membalas menghajarnya?”
Ketika baru-baru ini Oey Yok Su pergi naik ke perahu mencari putrinya, ia tidak mengenakan topeng, tetapi kali ini lain, orang tidak segera mengenalinya, kali ini setelah ia membuka mulutnya, lantaslah Wanyen Lieh bertiga Yo Kang dan Pheng Lian Houw lantas menjadi ciut nyalinya. Bahkan ia menduga-duga, jangan-jangan adalah Oey Yok Su yang menyamar jadi hantu di dalam istana. Maka ia lantas memikir untuk tidak bertempur, hanya mencari ketika untuk mengulur langkah seribu. Untuk ia, jiwanya paling penting, nama wangi dan malu adalah urusan lain…
“Aku tidak dapat menghajar dia,” Sa Kouw menjawab.
“Siapa bilang kau tidak dapat menghajar dia?!” bentak Oey Yok Su. “Kau hajar cecongornya seperti tadi ia memukul hidungmu! Dia memukul kau satu kali, kau membalas dia tiga kali lipat ganda!”
Sa Kouw tertawa.
“Bagus!” katanya. Dan ia menghampirkan Nio Cu Ong, tanpa memikir pula ia bukan tandingan jago itu. Ia kata, “Kau memukul hidungku satu kali, akan aku hajar hiudngmu tiga kali!”
Dan ia mengangkat kepalannya, meninju hidung orang!
Nio Cu Ong tidak sudi mandah dihajar, ia angkat tangannya, untuk menangkis, atau tiba-tiba ia merasakan jalan darah kiok-tie-hiat di lengannya menjadi mati sendirinya, hingga ia tak sanggup sekalipun untuk melonjorkan lengannya itu. Maka itu, “Buk!” kenalah hidungnya dihajar si nona tolol itu, hingga ia kaget bahna sakitnya.
“Yang kedua!” berseru sa kouw tanpa mengasih hati.
Nio Cu Ong memasang kuda-kudanya, tangan kirinya digeraki. Ia hendak menggunai tipu silat Kim-na-hoat, Menangkap untuk membikin lengan orang terlepas dari sambungannya. Tidak sudi ia terus-terusan kena dihajar. Hanya, belum lagi tangannya itu bentrok tangan si nona, ia merasakan jalan darahnya pek-jie-hoat lemas sendirinya, hingga habislah tenagany, Dilain pihak, “Buk!” kembali hidungnya kena dihajar untuk kedua kalinya, bahkan kali ini hajarannya jauh lebih hebat, sampai tubuhnya melengak ke belakang.
Selagi Nio Cu Ong kaget dan kesakitan dan heran, semua hadirin lainnya tak kurang herannya, kecuali Pheng Lian Houw seorang ahli senjata rahasia. Ia mendengarnya, setiap kali Nio Cu Ong menggeraki tangan, untuk menangkis atau membalas, saban-saban ada suara halus berkesiar, maka itu ia menduga, tentulah Oey Yok Su sudah menggunakan semcama senjata rahasia, mungkin sebangsa jarum, ia hanya tak dapat melihatnya, tak tahu kapannya senjata rahasia itu dipakai menyerang. Tentu sekali ia tidak tahu Oey Yok Su sudah melepaskan jarum rahasia dari dalam tangan bajunya, jarum mana dapat menembusi tangan baju itu, untuk meleset kepada sasarannya. Siapa dapat berkelit dari serangan semcam itu?”
“Yang ketiga!” terdengar suara pula Sa Kouw, nyaring.
Nio Cu Ong terkejut. Oleh karena tangannya tidak sudi mendengar kata, sedang ia tidak ingin merasakan pula bogem netah, lekas-lekas ia bertindak mundur, untuk menghindarkan diri. Tapi, baru ia mengangkat kakinya itu, kaki kana atau betisnya, bagian jalan darah pek-hay-hiat, mati sendirinya. Ia kget tak terkira. Itu artinya ia tak dapat berkelit. Ia menjadi sangat menyesal, maka tiba-tiba saja matanya menjadi merah, air matanya mengembang, untuk meluncur keluar. Kalau sampai ia menangis, habis sudah nama besarnya, maka ia hendak menyusutnya. Celaka untuknya, tidak dapat ia menangangkat tangannya. Dari itu, akhirnya bercucuranlah air matanya itu!
Sa Kouw tolol akan tetapi hatinya pemurah dan lemah, kapan ia melihat orang menangis, batal ia meninju, bahkan ia berkata nyaring. “Sudah, jangan kau menangis! Tidak, aku tidak akan menghajar pula padamu…”
Hiburan ini tapinya begitu hebat daripada tinjuan yang ketiga itu. Nio Cu Ong menjadi terasa terlebih terhina pula. Begitu hebat mendongkolnya, mendadak ia muntahkan darah hidup! Tapi ia segera mengangkat kepalanya, memandang Oey Yok Su.
“Tuan siapakah kau?” ia menanya. “Secara gelap kau melukai orang, apakah itu perbuatan satu enghiong, seorang gagah?”
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Tepatkah orang semacam kau menanyakan namaku?” katanya dengan dingin mengejek, lalu dengan suara nyaring, ia memerintah: “Semua kamu menggelinding pergi dari sini!”
Semua orang itu menjadi kaget berbareng lega hati. Mereka telah menyaksikan segala apa, walaupun mereka gagah, hati mereka toh ciut, jeri mereka terhadap orang lihay tak dikenal ini. Untuk menyerang, mereka tak berani, untuk mengangkat kaki mereka malu, dari itu mereka diam saja, sampai tiba-tiba datang seruan orang.
Pheng Lian Houw si licik adalah yang bergerak paling dulu, hendak ia berlalu. Baru dua tindak ia berjalan, atau mendadak orang menghadang di depan pintu! Terpaksa ia menghentikan langkahnya, berdiri menjublak si situ.
“Setan alas!” berseru Oey Yok Su. “Telah aku melepaskan kamu, untuk kamu pergi, kenapa kamu berdiam saja? Apakah kamu ingin aku membunuh mampus pada kamu semua?!”
Pheng Lian ouw ketakutan, ia mengerti bahaya.
“Locianpwee ini menitahkan kita pergi, marilah kita keluar!” ia mengajak kawan-kawannya. Tidak berani ia ngeloyor sendirian.
See Thong Thian panas hatinya. Ia menyingkirkan sumbatan kepada mulutnya.
“Minggir untukku!” ia berseru mendongkol. Ia pun maju ke depan Oey Yok Su, matanya bersinar merah saking gusarnya.

Oey Yok Su tidak mengambil mumat suara orang yang bengis itu. Bahkan dengan tawar ia berkata: “Tidak dapat kau meminta aku membuka jalan! Siapa yang menyayangi jiwanya, lekas ia molos dari selangkanganku!”
Thong Thian semua saling mengawasi, muka mereka merah saking mendongkol. Saking gusar, mereka menjadi nekat. Mereka pun berpikir, “Walaupun kau sangat lihay, dapatkah kau melawan kami?”
Maka itu Hauw Thong Hay sudah lantas berseru sambil berlompat maju, menubruk itu perintang jalan yang jumawa.
“Hm!” terdengar suaranya Oey Yok Su, yang tahu-tahu tangannya sudah mencekuk si orang she Hauw itu, tubuh siapa diangkat tinggi-tinggi, terus dengan mendadak, tangannya menyambar lengan kiri Thong Thay, untuk ditarik, menyusul mana, orang galak ini menjerit keras, sebab sebelah tangannya itu kena dipatahkan. Habis itu, tubuh korban ini lantas dilemparkan, dia sendirinya terus dongak memandang langit, sikapnya acuh tak acuh……..
Thong Hay roboh setengah mati, sakitnya bukan main. Tangannya yang patah itu mengucurkan darah tak hentinya.
Semua orang kaget, hati mereka ciut.
Kemudian Oey Yok Su menggeraki kepalanya, dengan matanya perlahan-lahan ia menyapu muka semua orang.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw semua, semua sebangsa iblis, merasakan tubuh mereka menggigil sendirinya. Bukan main kerennya sinar mata orang ini! Bulu roma mereka pada bangun ssendiri.
“Kamu mao molos atau tidak?” tanya Oey Yok Su bengis karena orang pada tetap diam saja.
Tidak ada seorang juga yang berani banyak mulut, tidak ada yang ebrani menerjang atau membangkang, bahkan Pheng Lian Houw, dengan kepala tunduk, sudah lantas molos mendahului yang lain-lain!
See Thong Thian melepaskan In Cie Peng dan Liok Koan Eng, dengan menolong adik seperguruannya, ia molos menyusul Pheng Lian Houw, diturut oleh Wanyen Lieh bersama Yo Kang. Yang paling belakang molos adalah Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin. Sekeluarnya dari pintu rumah makan, mereka melekaskan tindakan mereka, bahkan tidak berani mereka menoleh ke belakang.
Oey Yok Su tertawa sambil melengak.
“Koan Eng dan kau nona, diam kamu!” ia berkata.
Koan segera mengenali kakek gurunya itu, akan tetapi akan orang mengenakan topeng dan menduga kakek guru ini sengaja tidak hendak memperlihatkan diri, ia tidak berani memanggil, ia cuma bertekuk lutut mengasih hormat dengan mengangguk empat kali.
Menyaksikan orang demikian lihay, In Cie Peng mennduga orang ini bukan sembarang orang, ia lantas memberikan hormatnya seraya memperkenalkan diri sambil menyebut nama gurunya, Tiang Cun Cu dari Coan Cin Kauw.
“Semua orang telah mengangkat kaki!” berkata Oey Yok Su nyaring. “Aku pun tidak menahan kau, perlu apa kau masih berdiam di sini? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Cie Peng melengak. Inilah perlakuan yang ia tidak menyangkanya.
“Teecu ialah muridnya Coan Cin Kauw, bukannya orang jahat,” ia memberi keterangan.
“Habis kalau Coan Cin Kauw, bagaimana?!” tanya Oey Yok Su sambil tangannya diulur ke meja di mana ada sepotong kayu, yang mana ia ayunkan ke arah Cie Peng.
Nampaknya enteng potongan kayu itu dan melayang. In Cie Peng mengangkat kebutannya untuk menangkis. Akan tetapi, ketika keduanya bentrok, muridnya Khu Cie Kee ini terkejut. Ia merasakan serangan yang keras luar biasa, kebutannya itu kena tertolak sampai ujungnya mengenai mulutnya hingga ia merasakan sakit sekali dan mulutnya itu seperti tambah entah barang apa. Ketika ia telah memuntahkannya, nyatalah ada beberapa buah giginya yang copot serentak. Ia menjadi kaget dan bungkam. Sungguh hebat!
“Akulah Oey Yok Su atah Hek Yok Su!” kata Tong Shia dingin. “Kamu kaum Coan Cin Kauw, kamu hendak memandang bagaimana kepadaku?”
Mendengar itu, In Cie Peng kaget bukan main, hatinya berdebaran.
Yauw Kee semenjak tadi diam saja menyaksikan tingkah pola orang, turut terkejut, hatinya kebat-kebit.
Koan Eng turut berkhawatir, di dalam hatinya ia kata, “Tentulah kakek guruku ini dengar pembicaraanku dengan ini tosu muda. Kalau dia pun mendengar kata-kataku kepada malaikat dapur barusan, entah dia bakal menghukum bagaimana kepadaku…”
In Cie Peng memegang pipinya.
“Kaulah pemimpin suatu partai persilatan, mengapa perbuatanmu begini cupat?” kemudian Cie Peng menegur si Sesat dari Timur itu. “Kanglam Liok Koay adalah orang-orang gagah yang berhati mulia, mengapa kau mendesak mereka demikian rupa? Mengapakah? Jikalau bukan guruku yang memberikan kabar, bukankah mereka semua bakal bercelaka di tanganmu?”
Oey Yok Su menjadi gusar.
“Pantas tak ketemu aku cari mereka di mana-mana, kiranya ada orang bangsa campuran yang emngadu biru di antara kita!” katanya nyaring.
Cie Peng menjadi berani, ia berjingkrak.
“Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!” ia menantang. “Aku tidak takut!”
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Bukankah kau telah mencaci aku dibelakangku?” katanya.
Imam muda itu menjadi nekat.
“Di depanmu pun aku berani mencaci kau!” katanya sengit. “Kaulah si setan alas, si siluman!”
Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng itu. Semenjak ia menjadi jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya, maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama.
“Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya…” ia mengeluh.
Tetapi anehnya, bukannya marah, Oey Yok Su justru tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut.
“Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!” katanya bengis sambil ia bertindak menghampirkan.
“Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!” jawab Cie Peng. “Kau iblis, kau siluman!”
“Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek guruku!” membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini nanti merendahkan kegusarannya kakek guru itu.
Cie Peng berkelit yang berlompat mundur dua tindak. Ia mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar.
“Imam kamu yang muda ini hari ini dia tak menghendaki hidup lebih lama pula!” katanya nyaring dan sengit, “Hendak aku mencaci kau!”
Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolongi jiwanya, maka tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula.
“Traang!” demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring: “Aku pun orang Coan Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara seperguruan!”
Perbuatan nona Thia ini membuatnya Cie Peng terkejut dan kagum.
“Bagus, Thia Sumoy!” serunya.
Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang tajam kepada Oey Yok Su.
Sikap mereka ini membuatnya Koan Eng menghentikan sepak terjangnya.
Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa terbahak.
“Bagus, kamu bersemangat!” katanya memuji. “Memang aku Oey Lao Shia, aku ada dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, dari itu, mana bisa aku melayani kamu bangsa sebawahanku? Nah, kau pergilah!”
Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya itu dikibaskan.
Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-tahu tubuhnya sudaha melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya bahwa ia bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya ada diluar dugaannya. Ia jatuh dengan berdiri dengan kedua kakinya, ia seperti juga dipegangi Oey Yok Su dan diksaih turun dengan perlahan-lahan!
Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak.
“Sungguh berbahaya..” katanya dalam hatinya. Sekarang ini biar nyalinya lebih besar pula, tidak nanti ia berani mencaci pula si Sesat dari Timur itu, kepandaian siapa benar-benar luar biasa. Kemudian dengan pegangi pipinya yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya untuk ngeloyor pergi…
Yauw Kee memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, ia pun membalik tubuhnya untuk berlalu.
“Perlahan dulu!” mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat tangannya ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. “Bukankah kau suka menikah dengannya untuk menjadi istrinya? Benarkah?” Ia menanya seraya menunjuk ke Koan Eng.
Kaget nona Thia. Inilah ia tak sangka. Dengan sendirinya mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu…
“Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang tetap caciannya padaku,” berkata pula Oey Yok Su. “Bukankah ia mengatakan aku iblis dan siluman? Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah orang kangouw yang tidak mengetahuinya? Seumurnya aku Oey Lao Shia, yang aku paling jemukan ialah segala hal wales asih dan pribadi, segala peradatan dan aturan, dan yang paling aku bencikan yakni segala nabi atau rasul, segala kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun menurun telah dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihakn, sangat harus dikasihani dan lucu juga? Oey Yok Su tidak percaya semua itu! Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku ada terlebih baik daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!”
Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat kata-katanya Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak perbuat atas dirinya….
“Kau omonglah terus terang kepadaku,” berkata pula Oey Yok Su, “Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini? aku paling sukai bocah yang bersemangat dan polos dan jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangi sama cucu muridkun ini! Nah, kau jawablah!”
Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam urusan yang mesti direcoki orang tua mereka? Kepada ayah ibunya sendiri ia malu untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, yang ia baru pertama kali menemuinya? Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam, wajahnya tetap merah dadu…
Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat pada putrinya. Maka ia menghela napas.
“Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh kamu,” katanya perlahan. “Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tiak dapat memaksanya….”
Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya. Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak nanti anak itu mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan.
“Koan Eng!” katanya tiba-tiba nyaring. “Kau jawablah terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu?!”
Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat.
“Cauwsuya,” sahutnya cepat, gugup, “Aku hanya khawatir aku tidak setimpal dengan ini…”
“Tepat, cocok!” berseru Oey Yok Su. “Kaulah cuci muridku, sekalipun putri raja, tentu dia tepat, dia setimpal denganmu!”
“Ya, cucu muridmu suka,” Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang tabiatnya aneh ini.
Kalau tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum.
“Bagus!” serunya. “Sekarang kau, nona?” ia terus tanya nona Thia.
Bukan main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia masih menunduki kepala.
“Tentang hal ini haruslah ayahku yang memutuskannya…” sahutnya sesaat kemudian.
“Ha, apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?” kata Oey Yok Su keras. “Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan denganku!”
Yauw Kee berdiam.
“Kalau begitu, terang kau tidak suka!” berkata Oey Yok Su. “Kau ada merdeka! Kita harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang orang menyesal kemudian!”
Yauw Kee tersenyum.
“Ayahku cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat,” katanya, menjelaskan.
Oey Yok Su heran, melengak.
“Biarlah mengadu menghitung dan menulis pun boleh!” katanya kemudian. “Lekas kau bilang, kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?”
Nona Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata: “Ayahku paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?”
Oey Yok Su mengawasi cucu muridnya.
“Koan Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!” katanya nyaring. “Lain kali kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah kamu!”
Koan Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampirkan Yauw Kee, kepada siapa ia menjura seraya berkata: “Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh…”
“Jangan terlalu merendah, kongcu,” sahut Yauw Kee perlahan, “Aku…aku bukannya….”
Koan Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk kepala untuk menggantikan jawaban.
“Nona,” demikian katanya. “Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah kepalamu…”
Di mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala…
Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikit juga.
Bukan main girangnya Koan Eng.
“Nona!” ia berseru, “Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!”
Tapi, nona Thia itu tetap tidak bergerak.
menampak itu, Koan Eng bergelisah bukan main.
Oey Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran.
“Menggeleng kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana?!” katanya.
Yauw Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata, “Tidak menggeleng kepala itu berarti mengangguk…”
Mau tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan.
“Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid! Sungguh lucu!” serunya. “Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!”
Koan Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam.
“Mana itu nona tolol?” kemudian Oey Yok Su menanya. “Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya.”
Ketiganya menoleh ke sekitarnya, Sa Kouw tidak ada di antara mereka. Entah kapannya si tolol menghilang selagi orang berbicara.
“Sudah, tidak usah repot mencari dia,” kata Oey Yok Su kemudian, “Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kamu.”
“Cauwsuya,” berkata Koan Eng. “Kau menyayang cucu muridmu ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa…”
“Hus!” membentak Tong Shia. “Kamu murid Tho Hoa To, apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum? Mari, mari, berdirilah berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!”
Berpengaruh sekali suaranya pemilik dari pulau Tho Hoa To ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu pada lain, untuk berdiri berendeng, untuk terus menjalankan kehormatan.
“Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!” Oey Yok Su berkata pula, “Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!”
Demikian KoanEng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di bawah pimpinan Tong Shia, selama mana Oey Yong bersama Kwee Ceng terus mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjangnya orang tua ini.
“Bagus!” terdengar pula suaranya Oey Yok Su. “Sekarang hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu lihat!”
Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang…
Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong-piauw-kun atau Angin Ngamuk.
Sekira semakanan the, angin berhenti menderu.
“Kamu lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih,” berkata Oey Yok Su. “Mungkin kamu tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah menyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahan kamu!”
Koan Eng melengak.
“Cauwsu,” katanya tertahan.
“Apa? Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara lilin di dalam kamar?” tanya kakek guru ini. “Kamu berdua ada orang-orang yang menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?”
Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia lantas pergi untuk membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur untuk mematangi itu, setelah mana mereka melayani sang kakek guru bersantap.
Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya.
Oey Yong bersusah hati, beberapa kali hendak ia memanggil ayahnya itu, saban-saban ia membatalkannya. Ia khawatir ia nanti mengganggu lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya pulang.
Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia, lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani membuka mulut.
Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat lapar, tetapi ia menguati hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka itu ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya. Demikian cuca gelap.
Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran.
“Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?” berkata Oey Yok Su. “Kawanan jahanam itu tentulah tak berani mengganggu dia.” Ia menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. “Malam ini malam pengantin, mengapa kau tidak memasang lilin?”
“Ya,” menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api menyulut lilin. Maka itu di antar terangnya api ia dapat melihat wajahnya nona Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-daun bambu.
Oey Yok Su menngangkat sebuah bangku, ia lintai itu di depan pintu, lants di situ ia rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas.
Yuaw Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming.
Sang tempo berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis manjadi cair beku dan sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menadi gelap petang. Setelah ini mereka berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak dapat menangkap pembicaraan mereka itu.
Nona Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara tiba-tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya, untuk menunjang kawan itu. Ia menanti sampai si anak muda tenang pula, baru ia mengintai keluar.
Sekarang ini mulai tertampak sinar rembulan, yang molos masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku.
“Tahukah kau hari ini hari apa?” kemudian terdengar si nona Thia, suaranya perlahan.
“Inilah hari baik dari kita berdua,” menyahut Koan Eng.
“Itulah tak usah disebutkan lagi,” kata si nona. “Hari ini bulan tujuh tanggal dua - hari ini ialah hari lahir aku.”
Koan girang.
“Oh, sungguh kebetulan!” katanya. “Tidak ada hari sebaik hari ini!”
Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang.
“Sst, perlahan,” ia memberi ingat. “Kau lupa daratan, eh?”
Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu. Justru itu ia pun bagaikan sadar.
“Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal tujuh,” demikian ia ingat. “Rapat partai Pengemis di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam tempo delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?”
Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring yang seperti menggetarkan genteng rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong.
“Hai, tua bangka berbisa bangkotan!” terdengar pula suaranya si orang tua berandalan itu. “Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin, dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam kau mengejarnya, sampai diakhirnya, kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong! Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi hendak kau bilang?”
Oey Yong terkejut.
“Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie lebih?” pikirnya. “Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?”
Itu waktu terdengar suaranya Auwyang Hong: “Meski juga kau lari ke ujung langit, akan aku kejar kau sampai di sana!”
Ciu Pek Thong tertawa terbahak.
“Kalau begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!” dia berkata nyaring.
“Biar kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak?!”
“Baik!” menyambut Auwyang Hong. “Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus kecapaian!”
Sebenta saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak.
Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu.
Oey Yong sendiri berpikir: “Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu.”
Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng, “Ah, aneh! Mana Couwcu?”
“Lihat di sana!” berkata Yauw Kee. “Bukankah di sana ada bayangan tiga orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu.”
“Ya, benar!” berkata Koan Eng. “Kenapa dalam sekejap saja mereka itu sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka lihay sekali! Sang kita tidak dapat melihat mereka…”
Kata Oey Yong dalam hatinya: “Tidak peduli kamu melihat si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua tidak ada faedahnya…”
Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran?
Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru.
“Adikku, apakah namamu?” ia menanya perlahan.
Nona Thia tertawa.
“Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!”
Koan Eng pun tertawa.
“Kalau bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik, !” katanya.
“Semaunya bukan!” kata si nona, kembali tertawa. “Itulah si biang kutu gede!”
Koan Eng tertawa pula. Dengan “biang kutu gede” dimaksudkan harimau.
“Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!” katanya.
Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil tertawa-tawa.
Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar-putaran, suara tertawa mereka ramai.
Samar-samar Oey Yong menanmpak bayangan mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri.
“Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?” tiba-tiba Kwee Ceng menanya.
“Dia bakal pasti tercandak!” jawab si nona.
“Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?” Kwee Ceng menanya pula.
Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya.
Justru itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merrangkul, kembali ke bangku mereka. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu.
Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapakan tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyangnya makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut.
“Engko Ceng, kau kenapa?” ia menanya.
Kwee Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tanganya menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya akan memegang pundak si nona.
Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas.
“Engko Ceng, hati-hati!” ia memperingati, “Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!”
“Aku gagal, Yong-jie,” menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. “Aku…aku..”
Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri.
“Jangan bergerak!” Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup.
Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak.
“Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi…” raratpnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun.
“Jangan bergerak!” Oey Yong melarang pula. “Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!”
“Benar, lekaslah kau totok!” kata Kwee Ceng. “Aku tidak dapat menguasai diriku lagi…”
Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan ,mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia geraki tangan kirinya, dengan tipu “Lan-hoat Hut-huat-ciu”, ia menotoki jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda itu.
Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurnya sekali, ia dapat menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir sampai pada sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, dua-dua kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya, mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng.
Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling, mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging si anak muda.
Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya.
Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat mengetel. Kulit muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meskipun itu semua, ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang.
“Engko Ceng, kita sudah melewati dua hari!” katanya.
“Plok!” demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok mukanya sendiri. “Sungguh berbahaya!” katanya. Ia maish hendak menggaplok lagi atau si nona mencegah.
“Jangan, itulah tak ada artinya!” kata Oey Yong tertawa. “Kau ketahui lihaynya Loo Boan Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan dri dari suara seruling ayahku, apapula kau tengah terluka parah?”
Tanpa merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah memasang omong. Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi untuk main berbisik saja. Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara, mereka tidak mendapat dengar, tetapi tidak demikian dengan Auwyang Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia mengenali suaranya Oey Yong. Ia kaget berbareng heran. Ia masih mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia menjadi sangat menyesal karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu berjalan. Tetapi ia ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua tangannya, yang dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya naik tinggi sedangakan kepalanya berada di bawah!
Koan Eng bersama pengantinya berdiri berendeng, tangan kirinya merangkul leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut ketika kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh. Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di jadikan kaki. Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya.
Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah kelaparan, tubuhnya menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar golok, kagetnya tak kepalang, tidak ampu lagi ia roboh pingsan.
Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk mengasih bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada meja.
Selahi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit kaget. Ia tidak uash mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu, yang di Poo-ceng telah menangkap padanya.
Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya itu. Ia terkejut akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan sangat.
“Jangan takut,” ia menghibur. “Dia telah patah kakinya.”
Tapi istrinya menyahut lain.
“Dia orang jahat, aku kenali dia!” demikian sahutnya.
“Oh!” seru Koan Eng tertahan.
Auwyang Kongcu mendusin sendirinya.
“Bagi aku nasi, aku lapar sekali,” ia memohon.
Yauw Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat kucel, timbul rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah hati, ia menjadi tidak tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan satu mangkok nasi, yang mana ia angsurkan pada pemuda yang bercelaka itu.
Auwyang Kongcu menyammbuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia minta pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya pulih. Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk.
“Mana nona Oey,” ia tanya.
“Nona Oey yang mana?” Oey Yong balik menanya.
“Nona Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To,” Auwyang Hong menjawab.
“Oh, kau kenal nona Oey?” kata Koan Eng. “Kabarnya dia sudah menutup mata…”
Pemuda itu tertawa.
“Ah, kau hendak memperdayakan aku?” katanya. “Terus-terang aku telah mendengar suaranya barusan!” Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan tangan kirinya, atas mana tubuhnya melesat, hingga dilain saat ia sudah berdiri pula dengan kedua tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey Yong. Sia-sia ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia mengawasi ke arah darimana datangnya suara Oey Yong datang, ialah arah timur. Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah berpikir lama, ia lantas mencurigai lemari.
“Mesti ada rahasianya di situ,” demikian pikirnya. Maka ia lantas menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu rahasia di situ, tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang hitam dan kotor. Ia berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus juga. Maka terlihatlah olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia mendapatkan beberapa tapak jari tangan, yang masih baru. Mendadak hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya, meraih mangkok itu. Ia menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau sudah, sekarang ia memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka segeralah terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia hingga di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar rahasia itu.
Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya menampak Kwee Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng iri dan cemburunya lantas timbul, iri hatinya menyusul.
“Adikku, apakah kau tengah berlatih?” ia menanya. Ia melihat dua orang itu berdiam saja.
Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal ketahuan. Ia telah mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika orang membuka lemari, ia lantas berpikir.
“Jangan bergerak,” ia bisiki Kwee Ceng. “Aku akan pancing dia datang dekat, lalu kau hajar dia dengan ang Liong Sip-pat Ciang, untuk menghabiskan padanya.”
“Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku,” Kwee Ceng membilang, berbisik juga.
Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah terbuka dan Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah otaknya: “Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka pergi jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam dengan tenang? Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko Ceng…Bagaimana sekarang?”
Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang berdiam saja, ia mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang lesu, mukanya pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu pernah dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati, si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat keadaannya Kwee Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai orang cerdik, ia lantas dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat kepastian, ia hendak mencoba.
“Adik, kau keluarlah,” ia berkata. “Buat apa berdiam di dalam kamar ini, cuma-cuma pikiran menjadi pepat…”
Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat menarik ujung baju si nona.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya dengan apa ia menghajar kepala orang.
Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas ia berkelit. Hebat serangan itu, sebagaimana anginnya pun berkesiur keras. Ia lompat jumpalitan, akan trun dari meja.
Oey Yong menjadi sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa numprah terus, jengkelnya bukan kepalang.
Sementara itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar rahasia itu serta di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak saja. Ketika kemudian mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang Kongcu, tetapi serangannya gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja, untuk beraksi. Ia jadi berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk menyusul padanya, dugaannya menjadi satu kepastian. Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok.
Oey Yong kewalahan, tidak peduli ilmu tongkatnya lihay. Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama ialah yang kena terdesak.
Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona Oey itu, dengan serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing menggunai golok dan pedang.
Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia tertawa lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng.
Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak dapat menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk menantikan maut datang.
Oey Yong kaget bukan main, ia segera menyerang.
Auwyang Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia mencekal, lalu ia menarik keras.
Dalam tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak dapat ia gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari tangan Kwee Ceng. Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk mempertahankan diri. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia lepaskan tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke arah musuh yang licik itu.
Auwyang Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia melihat barang berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diiri rebah di atas meja. Tanpa berkelit secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu, Koan Eng datang dengan bacokannya.
Kembali Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok Koan Eng mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng membacok, jarumnya Oey Yong tiba, menggenai punggungnya. Ia kaget sebab dengan segera ia merasakan separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka ketika Auwyang Hong menyambar, ia kena dicekuk tanpa berdaya.
Sebat luar biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang.
“Bagus!” katanya.
Itu waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi suaminya. Tapi Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu berkelit, sambil berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia kaget bukan main. Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis itu. Lekas-lekas ia mambacok. Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya itu, tetapi dia telah berhasil menjambret baju orang, yang kena dia robek. Saking kaget, hampir Yauw Kee membikin pedangnya terlepas, mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju pula.
Auwyang Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari, atau lebih benar pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik sendirinya kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi.
“Budak ini benar-benar lihay,” pikirnya. “Tapi biarlah dia, sekarang aku permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal jadi kacau pikirannya, rusak semadhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah mempunyai daya untuk menguasai mereka…”
Mengingat itu, bukan main girangnya pemuda itu.
“Eh, nona Thia,” ia berkata kepada Yauw Kee. “Kamu menghendaki dia mati atau hidup?”
Ia maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir, nona Thia tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya ia suka menyerah sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai sebagai alat.
Yauw Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup kedua matanya, tubuhnya tak bergeming.
“Auwyang Kongcu,” katanya terpaksa. “Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta sukalah kau merdekakan dia…”
“Haha!” tertawa si anak muda. “Kiranya kamu kaum Coan Cin Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!”
“Dia…dialah murid dari Thoa hoa Ta, jangan kau celakai dia…” kata pula si nona.
“Siapa suruh dia membacok aku?” kata si anak muda tetap tertawa. “Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku masih ada di batang leherku? Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To! Oey Yok Su itu ialah mertuaku!”
Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta.
“Kalau begitulah kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah dia,” kata pula ia. “Biarlah dia menghanturkan maaf padamu.”
“Mana bisa gitu gampang, he?” Auwyang Kongcu pula. “Jikalau kau menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik permintaanku.”
Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti.
“Kau lihat!” berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia mengangkat tangannya menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti bekas dibacok.
Yauw Kee terkejut.
“Suhu juga tidak selihay dia ini,” pikirnya.
Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong, sang paman, maka itu, dia menang banyak daripada Sun Put Jie. Ia senang mendapatkan si nona berkhawatir.
“Begini permintaanku,” kata dia. “Inilah apa yang aku titahkan kau lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia akan aku bikin macam begini!” Dia mengasih contoh dengan ancaman tangannya, seperti tadi ia membacok meja, tetapi kali ini ia tujukan kepada batang leher Koan Eng.
Nona Thia kaget hingga ia menjerit.
“Kau menurut atau tidak?” Auwyang Kongcu tanya.
Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar