Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 33



Bab 33. Kemaruk Kebesaran

Auwyang Kongcu tidak membuka suara, ia melawan diam.
“Dibawah perintahku si pengemis tua,” berkata Cit Kong, “Meski benar ada si pengemis besar, si pengemis pertengahan dan si pengemis kecil, mereka itu bukanlah murid-muridku! sekalipun ini si orang she Lee, dia barulah belajar serupa ilmu silatku yang kasar, ia masih bukan muridku yang dapat menjadi ahli warisku! Bukankah kau memandang enteng ilmu silatku mencuri ayam dan meraba anjing? Bukankah aku si pengemis bangkotan omong besar, apabila aku hendak mengangkat satu murid langsung, belum tentu ia seperti kau!”
“Itulah sudah sewajarnya,” menyahut Auwyang Kongcu.
“Di mulut kau mengatakan begini, di dalam hatimu kau mencaci aku,” kata pula Ang Cit Kong.
“Itulah keponakanku tidak berani,” membilang Auwyang Kongcu.
“Cit Kong jangan percaya obrolannya!” Oey Yong menyelak. “Di dalam hatinya dia memang sedang mencaci kau, malah mencaci lebih hebat sekali!”
“Bagus ya, bocah ini berani mencaci aku!” seru Cit Kong dengan gusar.
Mendadak ia mengulur tangannya, bagaikan kilat, kipas di tangan si anak muda telah kena dirampas, hingga orang melengak. Dia membeber kipas itu, di situ terlihat lukisan beberapa tangkai bunga bouwtan serta tulisannya Cie Hie dari jaman Song Utara, di samping mana ada lagi sebaris tulisan, bunyinya “Pek To San Cu”, artinya tuan dari Pek To San. Itulah tulisannya Auwyang Kongcu sendiri.
“Hm!” Cit Kong memperdengarkan suara dingin. Kemudian ia menanya Oey Yong: “Bagaimana kau lihat ini beberapa huruf?”
Sepasang alis matanya si nona terangkat. Ia menjawab: “Sungguh menyebalkan! Itulah mirip tulisannya kuasa dari toko penukar uang perak!”
Auwyang Kongcu biasa mengagulkan diri sebagai pemuda yang pandai ilmu silat dan ilmu surat, sekarang ia mendengar celaannya Oey Yong, ia mendongkol bukan main, dengan mata melotot ia memandang si nona. Tapi ia melihat wajah orang yang terang, yang seperti tertawa bukannya tertawa, ia menjadi tercengang.
Ang Cit Kong membeber kipas di telapakan tangannya yang satu, ia bawa itu ke mulutnya untuk dipakai menyusuti beberapa kali. Ia baru saja habis menggerogoti ayam, di bibirnya masih berbelepotan minyak, maka bisa di mengerti kalau kipas indah itu bukannya menjadi kipas lagi, setelah mana ia merangkap jari-jari tangannya, hingga kipas itu jadi teremas menjadi sehelai kertas rongsokkan, sesudah mana ia melemparkannya!
Untuk lain orangm kejadian itu bukan berarti apa-apa, untuk Auwyang Kongcu, itulah hebat sekali. Itulah kipas yang menjadi alat senjatanya untuk bertempur, tulang-tulangnya terbuat dari baja pilihan, dengan diremas itu, baja itu turut menjadi tidak karuan. Hanya di sebelah itu, ia pun kagum untuk tenaga besar dari si pengemis tua, yang dengan gampang saja dapat meremas remuk itu!
“Jikalau aku sendiri yang melawan kau, sampai mampus juga kau tentu tidak puas,” berkata Ang Cit Kong. “Maka sekarang juga hendak aku mengangkat seoarng murid supaya segera dia melawan kau…..”
Benar-benar Auwyang Kongcu penasaran, dengan berani ia pun berkata, “Saudara ini barusan telah bertempur beberapa puluh jurus denganku, jikalau siepe tidak turun tangan, sudah tentu keponakanmu yang beruntung memperoleh kedudukan di atas angin.”
Sembar tertawa, ia menunjuk kepada Kwee Ceng.
Cit Kong mendongak ke langit, ia tertawa terbahak-bahak.
“Anak Ceng, adakah kau muridku?” ia menanya.
Kwee Ceng ingat itu hari ia berlutut kepada orang tua ini, untuk memberi hormat tetapi si orang tua dengan tersipu-sipu membalas berlutut dan mengangguk-angguk kepadanya, maka itu ia lekas-lekas menjawab: “Aku yang muda tidak mempunyai rejeki untuk menjadi muridmu.”
“Nah, kau telah dengar, bukan?” berkata Cit Kong kepada pemuda she Auwyang itu.
Auwyang Kongcu menjadi heran sekali.
“Pengemis bangka ini pastilah tidak memperdaya orang,” pikirnya. “Habis bocah ini, darimanakah dia mendapatkan kepandaiannya itu?”
Cit Kong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir. Ia memandang Kwee Ceng.
“Sekarang hendak aku mengambil kau sebagai murid, kau senang atau tidak?” dia tanya. “Apakah kau tidak mencele aku si pengemis tua? Apakah enak mendengarnya kau kalau orang katakan gurumu adalah aku si pengemis tua?”
Tapi Kwee Ceng girang bukan kepalang, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan si raja pengemis itu, untuk paykui delapan kali.
“Hai, anak tolo!” kata si guru, “Mengapa kau tidak memanggil suhu?”
“Sebenarnya teecu sudah mempunyai enam guru, maka itu teecu pikir….” Untuk sejenak bocah ini merandak, ia bersangsi. “Teecu memikir untuk menanyakan dulu pikirannya keenam guruku itu…”
“Benar-benar!” berkata Ang Cit Kong. “Seorang kuncu memang tidak melupakan asal usulnya! Baiklah, sekarang aku mengajarkan kau dulu dengan tiga jurus.”
Lalu di depan Auwyang Kongcu sendiri, Cit Kong mengajarkan Kwee Ceng sisanya tiga jurus lagi Hang Liong Sip-pat Ciang. Sudah tentu ketiga jurus itu beda dengan tiga jurus ciptaan Kwee Ceng sendiri.
Cit Kong tunggu sampai Kwee Ceng sudah dapat menghapalkan tiga jurus itu, abru ia kata: “Baik, anak yang baik, cukup sudah! Sekarang kau tolongi aku mengajar adat pada ini bandit cabul!”
Kwee Ceng memang sangat sebal terhadap itu pemuda ceriwis dan jumawa, tanpa membilang apa-apa lagi, ia lansung meninju.
Auwyang Kong tidak takut, ia pun lagi mendongkol, maka habis berkelit, lantas ia balas menyerang, maka kembali di situ keduanya bertarung.
Rahasianya Hang Liong Sip-pat Ciang adalah tenaga yang dikerahkan di satu saat, tentang ilmu silatnya sendiri sangatlah sederhana, dipelajarinya pun gampang, yang sulit adalah melatihnya hingga mahir. Orang-orang seperti Nio Cu Ong, Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu, itu bukanlah tandingannya Kwee ceng, tetapi kenapa ia sanggup melayani mereka bertiga? Itulah rahasianya. Pula kali ini. Auwyang Kongcu menghadapi sendiri si pengemis tua mengajari Kwee Ceng, kalau perlu ia dapat menyangkoknya, tetapi sekarang setelah bergebrak, ia merasakan kesulitannya.
Sekarang Kwee Ceng dapat menggunai delapanbelas jurus, ia dapat menyambung itu kepala dengan buntut dan buntut dengan kepala. Karena ia telah pandai menjalankan limabelas jurus, mendapat tambahan tiga jurus yang terakhir ini, tenaganya lantas saja bertambah.
Auwyang Kongcu melayani bekas tandingannya ini dengan bersungguh-sungguh, dia sudah menggunai empat macam ilmu silat, ia tapinya cuma dapat berimbang saja - mereka ini jadi sama tangguhnya, sedang tadinya ia terlebih unggul. Sesudah lewat lagi beberapa jurus tanpa hasil, ia menjadi bingung.
“Jikalau hari ini aku tidak memperlihatkan ilmu silat istimewa dari keluargaku, pasti sekali sukar untuk aku merebut kemenangan.” ia berpikir. “Semenjak masih kecil aku telah dididik pamanku, kenapa aku tidak dapat merobohkan muridnya si pengemis tua ini - murid yang baru saja diberi pengajaran? Tidakkah dengan begitu aku akan meruntuhkan kesohoran dari pamanku di tangannya si pengemis bangkotan ini?”
Karena ini, mendadak ia mengirim tinjunya yang hebat.
Melihat serangan itu, Kwee Ceng segera menangkis. Tapi mendadak ia seperti kehilangan tangan lawan, yang menjadi lemas dengan sekonyong-konyong, atau dilain saat “Plok!” batang lehernya telah kena ditinju tanpa ia dapat berdaya. Ia menjadi kaget sekali, sambil tunduk ia lompat, tangannya membalas menyambar.
Auwyang Kongcu berkelit sambil menggeser kaki, sambil berkelit, ia juga menyerang. Kali ini Kwee Ceng tidak berani menangkis, ia berkelit dengan cepat. Tapi aneh gerakan tangannya kongcu ini, entah bagaimana, tangannya seperti menuju ke kiri, tahunya ke kanan, maka “Plok!” lagi sekali tangannya ini mengenakan pundak.
Hebat untuk Kwee Ceng, lekas juga ia terhajar untuk ketiga kalinya.
“Anak Ceng, tahan!” berkata Ang Cit Kong. “Hitunglah kau yang kalah satu kali ini.”
Kwee Ceng menurut, ia lompat keluar gelanggang. Ia merasakan sakit pada tempat-tempat yang terpukul, tapi ia pun memberi hormat pada lawannya seraya berkata: “Benar kau lihay, aku bukanlah tandinganmu.”
Auwyang Kongcu puas sekali, ia lantas melirik Oey Yong.
Ang Cit Kong lantas berkata: “Si Racun tua setiap hari memelihara ular, ini ilmu silatnya Kulit Ular Emas tentulah ia ciptakan dari tubuhnya ular berbisa. Kau beruntung sekali, karena sekarang belum aku si pengemis tua dapat memikir daya untuk memecahkannya. Nah, kau pergilah baik-baik.”
Auwyang Kongcu tercekat hatinya. Ia pikir: “Paman telah pesan wanta-wanti padaku, kalau bukan menghadapi bencana kematian, tidak boleh aku menggunai ini tiou silatnya yang diberi nama Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas, sekarang si pengemis tua mengetahuinya, apabila pamanku mengetahui juga, aku bisa di hukum berat.”
Karena ini lenyaplah kepuasan hatinya. Ia memberi hormat kepada Ang Cit Kong, lantas ia bertindak keluar dari rumah abu itu.
“Eh, tunggu dulu, hendak aku bicara denganmu!” Oey Yong mencegah.
Auwyang Kongcu menghentukan tindakannya, ia menoleh.
Oey Yong memberi hormat dan menjura kepada Ang Cit Kong.
“Cit Kong,” katanya, “Baiklah hari ini kau menerima dua murid. Kau sekarang berat sebelah, aku tidak mau mengerti!”
Ang Cit Kong menggeleng kepala tetapi ia tertawa.
“Sebenarnya aku telah melanggar aturan dengan menerima murid,” katanya. “Maka itu tidak dapat dalam satu hari aku melanggar pula aturan dengan menerima dua murid. Ayahmu sendiri sangat lihay, mana dapat ia membiarkan kau mengangkat aku si pengemis tua menjadi gurumu…”
Oey Yong menunjuki rupa kaget dan sadar.
“Oh, kau jeri terhadap ayahku!” katanya.
Cit Kong kena dibikin panas hatinya.
“Takut?” katanya, “Hm! Baiklah, aku terima kau sebagai murid! Mustahil Oey Lao Shia di Bangkotan Tersesat nanti gegares tubuhku!”
Oey Yong girang, ia tertawa.
“Baiklah, satu patah menjadi kepastian” ujarnya. “Jangan kau menyesali! Suhu, kamu kaum pengemis, bagaimana caranya kamu menangkap ular? Coba suhu mengajari aku.”
Cit Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung sesuatu maksud.
“Menangkap ular menangkap di tempat tujuh dim,” ia memberi keterangan. “Kedua jeriji tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana beracun juga tidak bakalan bergeming lagi.”
“Kalau ular yang kasar sekali?” tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar.
“Ajukan tangan kiri, untuk memancing ia menggigit jari tangan kiri kita,” Cit Kong mengajari. “Lalu dengan tangan kanan menghajar dia di tempat tujuh dim juga.”
“Apakah menhajarnya mesti cepat sekali?”
“Tentu saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena digigit, akibatnya tidak membahayakan.”
Oey Yong mengangguk, ia melirik kepada si pengemis tua itu, ia mengedipi matanya.
“Suhu, sekarang kau boleh torehkan obat padaku.” ia minta. Ia memanggil suhu, guru.
Biasanya Ang Cit Kong ini, kalau ia menghadapi ular, biar yang sangat beracun, ia mengeemplangnya dengan tongkatnya, dari itu ia tidak seia obat, akan tetapi si nona melirik padanya, mengedipi mata, ia lantas mengasih turun cupu-cupu di bebekongnya, dari dalam itu, ia menuang sedikit arak, dengan itu ia menorehkan kedua tangan ini murid yang baru. Oey Yong membawa kedua tangannya ke hidungnya, untuk menciumny, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia pun segera menghadapi Auwyang Kongcu.
“Hallo!” tegurnya. “Aku ini muridnya Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar kenal dengan ilmu silatnya Kulit Ular Lemas! Paling dulu hendak aku menjelaskan padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau haruslah waspada!”
Auwyang Kongcu tidak takut. Pikirnya: “Dengan menempur kau, bukannya dengan segebrakan saja dapat aku mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang aneh, cukup untukku asal aku tidak membenturnya!” Maka ia tertawa dan menyahuti: “Jikalau aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!”
“Semua ilmu silatmu yang lainnya biasa saja,” berkata si nona, “Karena aku cuma mau belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau menggunakan kainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!”
“Apa yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja,” sahut Auwyang Kongcu
Oey Yong tertawa.
“Aku tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!” katanya. “Lihat tanganku!”
Kata-kata ini disusul serangannya, dengan jurus po-giok-kun ajarannya Ang Cit Kong.
Auwyang Kongcu sudah lantas berkelit ke samping.
Oey Yong menyerang terus, mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu itu disusul dengan bangkolan tangan kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan “Sutera Terbang”.
Melihat orang gesit, Auwyang Kongcu tidak berani memandang enteng. Ia mengulur tangan kanannya, ia tekuk itu, lalu mendadak ia menhajar ke pundak si nona. Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas itu.
Sungguh sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenakan sasarannya, mendadak ia sadar, cepat-cepat ia menarik pulang. Sejenak itu ia ingat si nona mengenakan baju lapis berduri, kalau serangannya mengenai, tangannya pasti berdarah.
Justru orang membatalkan serangannya itu, justru Oey Yong menyerang. Dua-dua tangannya melayang ke arah muka.
Auwyang Kongcu mengebaskan tangan bajunya, dengan itu ia menangkis serangan si nona.
Oey Yong mengenakan baju lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, maka itu kecuali mukanya, tidak ada lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasarn. Karena itu Auwyang Kongcu menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah, ia tidak mempunyai harapannya, karena ini, ia jadi kena terdesak, ia mesti main berkelit atau lompat sana lompat sini saja.
“Kalau aku serang mukanya dan berhasil, aku berlaku lancang,” pikirnya ini anak muda. “Kalau aku jambak rambutnya, itulah terlebih hebat lagi, aku jadi berlaku kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang…?” Tetapi ia cerdik, ia lantas mendapat akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai itu untuk membalut kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan mencoba untuk menangkap tangan lawannya.
Tiba-tiba Oey Yong lompat keluar gelanggang.
“Kau kalah!” serunya. “Itulah bukan ilmu silatmu yang bau!”
“Oh, aku lupa..!” berkata si anak muda, jengah.
“Sekarang teranglah ilmu silat ularmu yang bau itu tak dapat berbuat apa-apa terhadap muridnya Ang Cit Kong,” kata si nona yang licin itu, “Itu artinya ilmu silat itu tak ada keanehannya. Selama di istana Chao Wang, kita pun pernah bertempur, itu waktu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita sekarang seri. Mari kita bertempur lagi, untuk memastikan menang atau kalah!”
Mendengar itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir, “Ini nona memang lihay tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang karena menggunai akal, tidakkah itu bagus? Kenapa dia mau bertempur lagi, seperti orang melukiskan ular di tambah kaki?”
Ang Cit Kong sebaliknya tertawa haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan nakal, dia rupanya hendak menggunai hadirnya ia disitu untuk mempermainkan keponakannya Auwyang Hong itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu menggerogoti sisa ayamnya….
“Ah, kenapa kita mesti main sungguh-sungguhan?” tertawa Auwyang Kongcu. “Kau yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan? Tapi, kalau ada mempunyai kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main.”
Oey Yong berkata pula; “Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu semua ialah sahabat-sahabatmu, andaikata aku menang, terang sudah mereka bakal menolongi kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada sahabat-sahabatmu…” ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan pakaian serba putih itu. “Dan aku pun ada kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa, aku dapat melayani kerugian di pihakku itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!”
Mendengar suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya, Auwyang Kongcu mendongkol berbareng geli di hatinya. Ia suka menerima baik usul itu, bahkan ialah yang segera membikin lingkaran itu. Ia menggurat dengan kakinya. Ialah kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar mengikuti tubuhnya. Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki.
Rombongan Kay Pang bensi ini anak muda, tetapi melihat kepandaian orang itu, mereka kagu dan memuji dalam hati.
Oey Yong lantas bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
“Kita bertempur secara bun atau secara bu?” dia tanya.
Bun itu berarti lunak dan Bu itu berarti keras.
“Hebat kau, banyak keanehanmu…” pikir Auwyang Kongcu. Ia menanya: “Bagaimana caranya bun dan bagaimana caranya bu?”
“Cara bun itu ialah aku menyerang kau tiga kali, kau tidak boleh membalas,” menerangkan si nona. “Kau juga menyerang kepadaku dan aku pun tidak boleh membalasi. Kalau cara bu ialah kita bertarung sesuka kita, kau boleh pakai ilmu silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup, sesukamu, asal siapa yang keluar terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang kalah!”
“Aku pikir baiklah kita ambil cara bun,” berkata si anak muda. “Dengan begitu kita tidak menggangu persahabatan kita…”
“Kalau cara bu, sudah pasti kau bakal kalah!” berkata si nona. “Kau pilih cara bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku memberi keleluasan padamu, kita pakai cara bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?”
Auwyang Kongcu malu menyerang lebih dulu.
“Tentu saja kau yang mulai lebih dulu,” ia memberikan penyahutannya.
“Kau licin sekali!” tertawa Oey Yong. “Kau memilih belakangan, karena kau tahu, jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi berpura ngalah terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap seorang kesatria, aku akan mengalah sampai di akhirnya!”
Auwyang Kongcu pun berpikir, “Sebenarnya tidak apa yang aku menyerang terlebih dulu.” Tapi ketika ia hendak mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya. “Lihat serangan!” Nona ini benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar berkeredepan menyambar lawannya. Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam tangannya.
Auwyang Kongcu terkejut. Untuk menangkis sama kipasnya, kipasnya itu sudah dirusak Ang Cit Kong. Ia dapat menggunai ujung bajunya, untuk mengebas, tangan ujung bajunya baru disobek. Ia tidak menangkis, ia pun tidak bisa mundur. Sebab mundur berarti keluar dari lingkaran. Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungi diri, tingginya setombak lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di bawahan kakinya.
Si nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarumnya.
“Serangan yang kedua!” si nona berseru. Ia menyerang pula disaat orang terapung habis dan tinggal turunnya saja. Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Itulah ilmu melepaskan jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama “Boan-thian hoa ie teng kim ciam” atau melempar jarum memebuhi langit bagaikan hujan bunga.
“Habislah aku!” mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya. “Perempuan ini sungguh kejam…”
Justru itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian dan belakang dan terus kakinya terangangkat lebih tinggi, berberang dengan mana, ia mebdengar suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah. Ia mengerti bahwa ada orang yang sudah menolongi padanya, hanya belum sempat ia melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan. Sebenarnya ia tidak dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka sebelum dapat berlompat bangun, ia terbanting keras juga. Ia menduga kepada Ang Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai. Ia mendongkol sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua gundiknya melerot mengikuti padanya.
“Suhu, kenapa kau menolongi mahkluk busuk itu?!” Oey Yong tanya gurunya.
Ang Cit Kong tertawa.
“Dengan pamannya itu aku bersahabat kekal!” sahutnya. “Dia memang jahat, dia bagiannya mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka pamannya itu.” Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu. “Anak manis, hari ini kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus memberi upah kepadamu?”
Oey Yong mengulur lidahnya.
“Aku tidak menghendaki tongkatmu, suhu!” katanya.
“Walaupun kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya itu!” kata sang guru. “Aku memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyakan kegembiraanku!”
“Aku nanti memasaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu,” berkata Oey Yong.
“Sekarang aku tak sempat berdahar.” Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya. “Kami kaum Kay Pang ada mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan.”
Lee Seng dan kawan-kawannya menghampirkan Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk menghanturkan terima kasih.
Nona Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa ia tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.
Oey Yong menujuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona: “Ma Totiang, yang menjadi paman gurmu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan lain-lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri.”
Setelah Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong. Mereka memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah bagaimana, kali ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan. Tentu saja ia, yang diajar, hanya beberapa jurus, menjadi kagum sekali. Ia pun berkata, besok hendak ia mengadakan perjamuan guna pemberian selamat itu.
“Aku khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar makanan kita kaum pengemis!” berkata Cit Kong sambil tertawa.
“Besok pasti kita akan hadir,” berkata Kwee Ceng lekas. “Lee Toako ada cianpwee kami, aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!”
Senang Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka ini anak muda yang lihay dan sifatnya sangat merendah.
“Kamu bersahabat erat, inlah bagus,” kata Cit Kong. “Tapi ingat, jangan kau membujuk murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi mencuri ayam dan mengemis nasi…!”
Habis berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas ngeloyor pergi. Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum, pergi Lee Seng memberitahukan, pesat besok bakal dibikin di rumah abu itu.
Oey Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia khawatir mereka itu nanti bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan, itulah berabe.
Di tengah jalan itu, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong. Ia ternyata bernama Yauw Kee. Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya si orang hartawan, maka itu ia beda dadri Oey Yong yang polos dan sederhana, meskipun sebenarnya Oey Yong termanjakan oleh ayahnya.
Sekembalinya dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke penginapannya untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak mereka mendengar tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara, setelah datang hampir dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang tunggangannya. Oey Yong ingin ketahui siapa pengunggang kuda itu, ia lari menghampirkan, Kwee Ceng mengikuti dia.
Untuk herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun seekor kuda. Dan, berdiri di tepi jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong dengan Auwyang Kongcu. Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang tetapi mereka tidak berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok. Maka itu apa yang terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut “Gak Hui” dan kota “Lim-an” dan Yo Kang mengatakan “ayahku”. Setelah itu, Auwyang Kongcu memberi hormat, bersama murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.
Yo Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke atas kudanya.
“Yo Hiantee, aku ada di sini!” Kwee Ceng memanggil.
Yo Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampirkan
“Toako, kau ada di sini?” tanya heran.
“Di sini aku bertemu bersama Nona Oey, kita pun bentrok sama Auwyang Kongcu, kerananya perjalananku terlambat,” Kwee Ceng menyahut.
Mukanya Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng tidak dapat melihatnya.
“Toako, kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?” Yo Kang tanya. “Apakah Nona Oey akan turut bersama pergi ke Pak-khia?”
“Bukannya aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami,” kata Oey Yong.
“Toh, tidak ada perbedaannya!” Kwee Cneg tertawa. “Mari kita pergi ke rumah abu untuk beristirahat, setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan kita.”
Yo Kang menurut, maka mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu. Kwee Ceng menyalakan sisa lilinya Auwyang Kongcu.
Oey Yong membawa sebuah ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya.
Hawa malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang dimana mereka meletakkan daun pintu. Hampir mereka kepulasan, kuping mereka mendengar tindakan kaki kuda. Lantas mereka bangun untuk berduduk, untuk memasang kuping. Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.
“Yang di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan,” berkata Oey Yong.
Kwee Cneg seperti hidup di punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si nona. Ia kata: ” Inilah aneh! Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!”
“Apa katamu!”
“Yang di depan itu semua kuda Mongolia, yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa kuda Mongolia dari gurun pasir lari-larian di sini?”
Oey Yong berbangkit, ia menarik tangan Kwee Ceng buat diajak ke pintu. Mendadak saja sebatang anak panah lewat di atasan kepala mereka. Ketiga penunggang kuda sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang kuda yang paling belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya terpanah kempolannya, binatang itu meringkik, lalu roboh. Syukur untuknya, dia kaget, dia dapat berlompat turun dari kudanya itu, hanya ia tidak mengerti ilmu ringan tubuh, turunnya dengan tubuh yang berat. Dua kawannya berdiri bengong dan saling mengawasi.

“Aku tidak kurang suatu apa!” berkata yang kudanya roboh itu. “Kau lekas berangkat terus, nanti aku merintangi mereka itu!”
“Nanti aku membantui kau merintangi mereka,” kata yang satunya. “Su-ongya boleh lekas menyingkir!”
“Mana bisa?!” berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.
Mereka itu bicara dalam bahasa Mongolia dan Kwee Ceng merasa mengenali mereka, ialah Tuli, Jebe dan Boroul. Tentu saja ia menjadi bertambah heran, hingga ia menduga-duga, kenapa mereka itu berada di tempat ini. Tadinya ia berniat pergi menemui mereka atau kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai mengurung.
Ketiga orang Mongolia itu membuat perlawanan dengan panah mereka. Nyata mereka pandai sekali menggunai senjatanya itu. Pihak pengurung tidak berani datang mendekat, mereka menyerang dengan anak panah dari kejauhan.
“Naik!” berseru seorang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera.
Bagaikan kera, mereka itu berlompat naik, maka itu, sebentar kemudia mereka dapat memernahkan diri di tempat tinggi.
Pihak pengurung mendesak lebih jauh, semua mereka turun dari kudanya masing-masing.
“Engko Ceng, kau keliru,” kata Oey Yong. “Mereka berlimabelas.”
“Tidak bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!”
Benar saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panag panjang yang menancap.
Diam-diam Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda itu, yang sudha mati. Ia mencabut anak panahnya. Ia mendapat kenyataan, gagang panah tersalut besi matang. Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, ialah tanda dari panahnya Jebe. Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa. Sekarang ia tidak bersangsi pula. Maka ia berteriak menanya; “Yang di atas itu suhu Jebe dan adik Tuli?”
Tiga orang itu terdengar berseru kegirangan.
Berbareng dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee itu.
Kwee Ceng mendengar suara sayap burung atau ia segera mengenali kedua ekor burung rajawali piarannya putri Gochin Baki.
Kedua ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka mengenali majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun. Smabil berpekik mereka hingga di pundak majikannya itu.
Oey Yong kagum sekali. Memang pernah ia mendengar Kwee Ceng bercerita halnya memanah burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia pun memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung itu.
“Mari kasih aku bermain-main dengannya!” ia kata tanpa menghiraukan musuh semakin mendekati. Ia mengulur tangannya, untuk memegang burung itu, guna mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal si nona, ia mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya itu.
“Jangan!” Kwee Ceng mencegah.
“Burung ini busuk!” kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung itu, yang ia terus awasi.
“Yong-jie, awas!” mendadak Kwee Ceng berseru.
Itu waktu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.
Oey Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat ia menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak panah lantas mengenakan tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah. Lantas si nona merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia pakai untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.
“Yong-jie, kau memainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim itu!” berkata Kwee Ceng, yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh, yang memanah kepadanya. Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia cekal tangan orang, yang ia terus tekuk patah.
“Hai, bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini?!” berteriak seseorang dari tempat yang gelap. Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah suaranya dikenali Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran. Tengah ia tercengang, sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu bergemerlapan.
Melihat serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng mendak, sembari mendak ia membalas menyerang, segera dengan jurus “Naga sakti menggoyang ekor” dari Hap Liong Sip-pat Ciang!
Tidak tempo lagi musuh itu terhajar pundaknya, tulang-tulangnya pada patah dan remuk, tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan. Maka sekarang Kwee Ceng ingat salah sau dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu Cian Ceng Kian.
Menyesal juga pemuda itu yang ia telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng Kian terbinasa. Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan atau ia sekarang dapat mengalahkan Siluman dari Sungai Hong Hoo itu demikian gampang. Tengah ia menyesal, mendadak datang lagi serangan - sebuah golok dan sebatang tombak.
Ia segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat. Ia membangkol tombak orang dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi terjerunuk maju, tempat menjadi sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu tendangan, Kwee Ceng menghalau golok yang terbang melayang. Habis itu, dengan kesebatannya, pemuda ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, maka itu Ceng Kong dan Ceng Liat saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.
Hong Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanganya Liok Koan Eng ketika ia nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw itu. Mereka bertigalah orang-orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim yang mengejar Tuli bertiga itu. Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka serdadu-serdadu Kim itu masih tetap menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.
“Masih kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini?!” membentak Kwee Ceng, yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada serdadu-serdadu itu, hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan kabur.
Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng Liat sadar saling susul, melihat ancaman bahaya, mereka kabur tanpa berayal lagi,
Jebe bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu.
Tuli mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng menghajar musuh, ia girang bukan main.
“Anda, kau baik?” ia menanya. Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot turun, setibanya di tanah, si sambar tangan Kwee Ceng, untuk mereka saling jabat dengan keras, mata mereka saling tatap.
Menyusul itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.
“Tiga orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka,” berkata Jebe. “Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!”
Jago panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa.
Kwee Ceng lantas menghampirkan Oey Yong, untuk ditarik menghampirkan Tuli bertiga.
“Inilah adik angkatku,” ia perkenalkan nona itu.
Oey Yong yang lucu dan berani, sembari tertawa ia lantas berkata: “Sepasang burung ini dapatkah diberikan kepadaku?”
Tuli berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan peterjemahnya telah mati terbinasa si tangan musuh. Ia cuma mendengar suara orang halus dan merdu dan wajahnya manis.
“Eh, anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?” Kwee Ceng tanya. Ia pun tidak mengambil peduli perkatannya si nona.
“Ayahanda menitahkan kaisar Song,” menyahut Tuli. “Kami berjanji bersama-sama mengerahkan angkatan perang kita guna menggenjet pasukan perang Kim. Adikku bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa burung ini.”
Kwee Ceng berdiam mendengar orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir: “Dalam satu bulan aku mesti memenuhi janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali ayahnya Yong-jie bakal membunuh aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan lagi dia itu…” Maka itu ia berpaling kepada Oey Yong dan berkata: “Sepasang burung ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!”
Oey Yong girang bukan main, ia lantas pula mengambi daging kering untuk mengasih makan pada burung itu.
Tuli lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang berperang melawan bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membeuat perserikatan, akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan sama tentara Kim, yang merintanginya, hingga mereka bertempur, hingga habislah barisan pengiringnya, hingga mereka tinggal bertiga saja. Maka ysukur di sini ia bertemu ini saudara angkat, yang dapat menolongi mereka.
Mendengar keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di Kwie-in-chung tempo Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan utusan Mongolia itu. Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negera Kim sudah mengetahui rahasia itu, dari itu dengan Yo Kang diutus raja Kim ke Selatan, maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan Mongolia itu.
“Pihak Kim itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawan aku,” Tuli berkata pula, “Maka juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin pasukannya memegat kami.”
“Adakah ia Wanyen Lieh?” tanya Kwee Ceng.
“Benar! Dia memakai kopiah emas, inilah aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga kali aku panah dia, saban-saban panahku dirintangi tameng pengiring-pengiringnya.”
Kwee Ceng girang sekali hingga ia berseru: “Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh ada di sini, mari kita lekas cari dia!”
Oey Yong menyahuti tetapi Yo Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak.
Kwee Ceng heran.
“Yong-jie pergi ke timur, aku ke barat!” katanya cepat.
Lantas keduanya lari pesat sekali.
Setelah berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu Kim yang lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian, benarlah pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya disaat itu, ini serdadu tidak ketahui di mana beradanya pangerannya itu.
“Kita sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau kita pulang, kita ada bagian dipotong kepala kami,” kata si serdadu, “Karena itu kami hendak meloloskan seragam kami untuk kabur dan menyembunyikan diri.”
Kwee Ceng penasaran, ia masih mencari, tetapi sia-sia saja. Ketika itu fajar mulai menyingsing. Ia bergelisah sendirinya. Maka ia terus lari, akan mencari. Ketika ia tiba di sebuah hutan kecil di depannya, di sana berkelebat seseorang dengan pakaian putih. Itulah Oey Yong yang pun tidak memperoleh hasil. Maka dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui Tuli bertiga.
“Mungkin Wanyen Lieh itu pulang untuk mengambil bala bantuan!” Tuli berkata. “Anda, aku lagi bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita berpisahan.”
Kwee Ceng berduka, khawatir nanti ia tak dapat bertemu pula dengan tiga orang itu. Berempat mereka saling rangkul, lalu mereka berpisahan. Ia mengawasi kepergian mereka itu, sampai orang lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak terdengar.
“Engko Ceng, mari kita menyembunyikan diri,” Oey Yong mengajaki. “Kita menanti sampai Wanyen Lieh datang bersama pasukannya, itu waktu tentu kita bakal menemui dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita menguntit saja, malamnya baru kita menyatroni, untuk membunuh padanya. Tidakkah itu bagus?”
Kwee Ceng girang, ia puji si nona.
Oey Yong pun sangat girang.
“Sebenarnya ini tiou daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik perahu,” katanya tertawa.
“Nanti aku pergi ke dalam rimba untuk menyembunyikan kuda kita,” kata Kwee Ceng, yang terus menuntun kudanya. Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat satu benda bersinar keemas-emasan yang bertojoh matahari. Ia lantas menghampirkan dan memungutnya. Nyata itu ada sebuah kopiah bersalut emas dan di situ pun tertabur dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng. Ia lantas lari kepada Oey Yong.
“Yong-jie, lihat apa ini?” ia berkata separuh berbisik.
Oey Yong terkejut.
“Inilah kopiahnya Wanyen Lieh,” sahutnya.
“Benar! Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-dekat sini, mari kita cari pula!” mengajak Kwee Ceng.
Oey Yong memutar tubuhnya, tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah berada di atas tembok itu.
“Aku mencari dari atas, kau di bawah!” katanya.
Kwee Ceng menyahuti, lantas ia masuk ke dalam pekarangan rumah.
“Engko Ceng, barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?” si nona menanya.
Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia melongo.
“Bagus!” sahutnya, “Kenapa?”
Nona itu tertawa.
“Kalau bagus, kenapa kau tidak memuji aku?” tanyanya.
Kwee Ceng membanting kakinya.
“Anak, anak nakal!” katanya. “Diwaktu begini kau masih bergurau!”
Oey Yong tertawa, terus ia lari ke belakang.
Selagi Kwee Ceng membantu Tuli melawan seradau-serdadu Kim, Yo Kang yang matanya jeli sekali telah lantas dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai tentara Kim itu. Biar ia bukannya anak pangeran itu, ia tetapi ingat budi orang yang sudah merawat ia belasan tahun. Ia memandangnya sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia mengerti. lambat sedikit saja, pangeran itu bisa dapat susah. Tanpa pikir lagi, ia berlompat untuk menolongi, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang serdadu, Wanyen Lieh berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia roboh dari kudanya. Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di kupingnya pangeran itu: “Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!”
Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong lagi membuat main burung, maka itu tidak ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah angkatnya itu menyingkir ke belakang rumah abu. Keduanya masuk ke dalam rumah dan sembunyi di sebuah kamar barat. Mereka mendengar pertempuran menjadi reda, serdadu-serdadu Kim lari serabutan, begitupun pembicaraan Kwee Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.
Wanyen Lieh merasa ia tengah bermimpi.
“Anak Kang kenapa kau berada di sini?” ia menanya perlahan. “Siapa orang kosen itu?”
“Dia Kwee Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an,” Yo Kang memberitahu.
Dingin Wanyen Lieh merasakan bebokongnya. Di otaknya berkelebat kejadian pada sembilanbelas tahun yang lampau itu. Ia membungkam. Segera setelah itu, ia mendengar suara Kwee Ceng dan Oey Yong mencari padanya. Ia bergidik. Ia telah menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo dihajar dan tentaranya dilbrak.
“Hu-ong, mari sembunyi terus di sini,” berkata Yo Kang. “Kalau kita keluar sekarang, ada kemungkinan kita terlihat mereka. Tidak nanti mereka menyangka kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi jauh barulah kita mengangkat kaki.”
Wanyen Lieh mengangguk.
“Benar anak Kang,” ia menyahuti. “Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya ayah?”
Yo Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikiriannya bekerja keras.
“Apakah kau lagi memikirkan ibumu?” Wanyen Lieh tanya. “Benarkah?” Ia memegang tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es.
Dengan perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya.
“Pemuda she Kwee itu bernama Kwee Ceng, ia gagah sekali,” ia memberitahu. “Untuk membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia dapat menggunai segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu dalam setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia…”
“Benar, baiklah kalau aku menyingkir daripadanya,” menyahut pangeran itu. “Apakah kau pernah pergi ke Lim-an? Apakah katanya Perdana Menteri Su itu?”
“Aku belum pergi ke sana,” menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.
Mendengar suara orang itu, Wanyen Lieh menduga anak ini telah mengetahui asal-usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolongi.
Untuk delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling menyinta dan menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar, Yo Kang merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali. Yo Kang bersangsi, terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.
“Asal aku menggeraki tanganku, pasti sudah dapat aku membalas sakit hati ibuku,” berkata si anak dalam hati. “Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan ? Laginya, apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja? Apakah aku mesti hidup seperti Kwee Ceng, yang mesti merantau saja?”
Wanyen Lieh seperti dapat menerka hati orang.
“Anak Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau tetap anakku yang aku cintai,” ia berkata, “Negara Kim kita, tak usah sampai sepuluh tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka itu waktu dengan kekuasaan besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. egara ini yang luas dan indah adalah kepunyaanmu!”
Yo Kang dapat menangkap maksud ayah itu, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia goncang hatinya akan mendengar kata-kata “Kebahagiaan yang tak ada batasnya”. Ia pikir: “Dengan ketangguhan kerajaan Kim sekarang, memang gampang untuk menakluki kerajaan Song. Hu-ong pun sangat cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja sekarang, tidak dapat melawannya. Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku akan menjadi raja di kolong langit ini?”
Maka dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal tangan Wanyen Lieh.
“Ayah, anakmu akan membnatu kau membangun usahamu yang besar!” ia memberikan kata-katanya.
Wanyen Lieh merasakan tangan bocah itu panas, ia girang bukan buatan.
“Aku menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!” katanya. Lie Yan dan Lie Sie Bin adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.
Selagi Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di belakangny. Dua-duanya terkejut, dua-duanya segera berpaling.
Nyata cahaya terang sudah mulai menembusi jendela, maka terlihatlah di belakang mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti tanggal penguburannya. Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar penyimpan jenazah.
“Suara apakah itu?” tanya Wanyen Lieh, hatinya berdebar.
“Rupanya tikus,” menyahut anaknya.
Tapi segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng, yang lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh sambil membicarakan kopiah emas yang mereka ketemukan.
“Celaka!” pikir Yo Kang. “Kenapa aku tidak ketahui kopiahnya hu-ong trejatuh?” Ia lantas membisiki ayahnya itu: “Hendak aku memancing mereka pergi.” Lantas ia menolak daun pintu dan berlompat keluar, untuk berlompat terus naik ke genting.
Oey Yong dapat melihat bayangan orang berkelebat.
“Bagus! Dia di sini!” serunya, lantas ia berlompat menyusul. Tetapi tiba di ujung rumah, bayangan itu lenyap.
Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia lari menghampirkan.
“Dia tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana,” kata si nona.
Selagi keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, justru itu terdengar pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang.
Kwee ceng jaget dan heran.
“Eh, adik, kau pergi ke mana?” dia menanya. “Apakah kau dapat melihat Wanyen Lieh?”
“Kenapa Wanyen Lieh ada di sini?” Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran.
“Dia datang ke mari memimpin pasukan serdadunya,” sahut Kwee Ceng. “ini kopiahnya.”
“Oh, begitu!” Yo Kang berpura-pura.
Oey Yong mengawasi wajah orang, ia curiga.
“Kita mencari kau, ke mana kau pergi?” ia tanya.
“Kemaren aku salah makan barang, perutku mulas,” menyahut Yo Kang. “aku buang air di sana.” Ia menunjuk ke dalam gombolan.
Oey Yong tidak menanya pula, tetapi ia tetap bercuriga.
“Adik Kang, mari kita lekas mencari!” Kwee Ceng mengajak.
Hati Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh sudah kabur atau belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan kecemasan pada parasnya.
“Dia datang mengantarkan jiwa, itulah bagus!” katanya. “Pergilah Toako bersama nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat.”
“baik,” sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana ia menolak daun pintu kamar Ciat-hauw-tong, ruang kebaktian dan kesucian diri.
Tapi Oey Yong berkata: “Yo Toako, mungkin ia sembunyi di barat, mari aku turut kau memeriksa ke sana.”
Yo Kang berkhawatir bukan main, tapi ia menjawab: “Mari lekas, jangan memberinya waktu ketika untuk kabur!” Ia lantas mendahului, untuk menggeledah setiap kamar. Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan jenazah itu.
Keluarga Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya pun besar luar biasa. Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalamai kerusakan. Adem hati Oey Yong memandangi rumah abu itu. Ia melihat Yo Kang memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya, dia memeriksa dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai si kamar barat, yang debunya tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu, mendadak ia berseru: “Di sini!”
Kwee Ceng dan Yo Kang mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain kaget. Mereka lari memburu. Oey Yong membuka pintu dengan satu jejakan, tetapi ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo. Ia bukannya melihat orang yang dicarinya, hanya ia nampak beberapa peti mati tampak di situ.
Yo Kang lega hatinya. Ia percaya Wanyen Lieh sudah lolos. Tetapi ia beraksi, ia maju ke depan sambil berseru: “Wanyen Lieh, manusia licin, di mana kau bersembunyi? Lekas keluar!”
“Yo Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!” kata Oey Yong denagn tertawa. “Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita kepadanya!”
Yo Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar.
“Nona Oey, kenapa kau bergurau begini padaku?” katanya, mukanya merah.
Kwee Ceng tertawa.
“Jangan dibuat pikiran, adikku,” katanya. “Yong-jie main-main saja….” Ia lantas menuju ke lantai. “Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah datang kemari!”
“Lekas kejar!” Oey Yong berseru. Ia lantas memutar tubuhnya, atau mendadak terdengar bunyi nyaring di belakang mereka. Ketiganya terkejut, semua berbalik lantas. Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.
Oey Yong nyali besarnya tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka itu ia sudah lantas memegangi tangan Kwee Ceng. Pemuda ini tercengang sebentar, lantas ia berkata: “Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti mati!”
“Lihat, ia lari ke sana!” berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia pintar sekali, ia lantas lompat untuk mengubar.
Oey Yong tetap mencurigai orang, ia menyambar tangan Yo Kang, akan mencekal nadinya.
“Jangan kau main gila!” katanya, tertawa dingin.
Nona Oey ini jauh terlebih lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya lemas, hingga tidak dapat ia bergerak. Tapi ia tetap tenang.
“Eh, kau bikin apa?” ia menanya, berpura-pura.
“Engko Ceng, apakah itu di dalam peti mati?” Oey Yong tanya kawannya tanpa memperdulikan orang yang dicurigainya itu.
“Aku rasa dialah si jahanam!” menyahut Kwee Ceng.
“Kau menakuti-nakuti aku?” kata Oey Yong pada Yo Kang tangan siapa ia sampar. Ia masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia khawatir orang adalah mayat hidup….Maka ia memberi ingat: “Hati-hati engko Ceng…..”
Kwee Ceng sudah bertindak menghampirkan ketika ia menghentikan tindakannya itu.
“Apa katamu?” ia tanya.
“Kau tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar,” Oey Yong memberi pikiran.
“Mana ada mayat hidup?” kata Kwee Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya itu jeri. Ia pun berkata sambil lompat ke peti mati itu. “Dia tidak bisa merapa keluar!”
Di jaman Song umumnya orang sangat percaya pada hantu atau setan.
“Engko Ceng,” berkata si nona, masih dalam kesangsian, “Nanti aku coba menyerang dengan pukulan Memukul Udara, tidak peduli dia mayat hidup atau Wanyen Lieh, mari kita dengar jeritan atau tangisannya….”
Sembari berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan. Di dalam halnya ilmu pukulan Pek-hong-ciang, ia belum semahir Liok Seng Hong, kerana itu, ia perlu memernahkan diri lebih dekat. Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak ia mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu. Ia kaget hingga ia berlompat mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan: “Setan perempuan….!”
Kwee Ceng tapinya berani.
“Adik Yo, mari kita buka tutupnya peti!” ia mengajak.
Yo Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantui Wanyen Lieh, ia jeri terhadap ini muda-mudi yang lihay, maka itu, bukan main lega hatinya akan mendengar tangisan itu. Tanpa ayal ia berlompat maju. Maka sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat mengangkat tutup peti yang belum dipantek paku itu.
Kwee Ceng mengangkat tutup petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia dapatkan mayat hidup, kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah di dalam peti mati itu.
Yo Kang pun heran, lekas-lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang berbangkit.
“Yong-jie, mari!” kata Kwee Ceng. “Kau lihat siapa ini….”
“Tidak, aku tidak mau melihat-lihat!” sahut si nona.
“Tapi ialah enci Bok!” Kwee Ceng mendesak.
Baru sekarang Oey Yong mau berpaling. Ia melihat Yo Kang mengempo seorang bayi, yang romannya mirip Liam Cu, maka ia maju ke arah peti, akan melihat Liam Cu sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak bergeming.
Sebagai ahli menotok jalan, Oey Yong lekas menolongi Nona Bok itu. Ia menotok sana-sini.
“Enci Bok, kenapa kau berada di sini?” tanya Oey Yong kemudian.
Rupanya sudah lama Liam Cu tertotok, hingga jalan darahnya tertahan, sudah tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong mambantui ia dengan mengurat-urat juga. Selang sedikit lama, baru nona itu bisa membuka mulutnya.
“Aku kena ditawan orang,” katanya.
Oey Yong mendapat tahu Liam Cu ditotok jalan darahnya di telapakan kaki, yaitu jalan darah yong-coan-hiat. Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunai ilmu totok semacam ini, maka itu ia dapat menduga siapa si penyerang itu.
“Bukankah telur busuk itu Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat itu?” ia menanya.
Liam Cu tidak menyahuti, ia cuma mengangguk.
Ketika itu hari Liam Cu menolongi Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw Hong, dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir oleh Oey Yok Su. Beberapa kali ia dipaksa konngcu itu, ia melawan, hanya kemudian, setelah si kongcu menggunai ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi datang, ia kalah hati juga, ia menyerah. Kemudian datang saatnya Auwyang Konngcu menggilai Nona Thia, sampai ia kena diusir. Diwaktu kabur, tak sempat ia membawa Bok Liam Cu. Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga, yang mencari Wanyen Lieh, dengam begitu ia jadi ketolongan, kalau tidak, pasti ia terbinasa di dalam peti mati itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar