Bab 33. Kemaruk Kebesaran
Auwyang Kongcu tidak membuka suara, ia
melawan diam.
“Dibawah
perintahku si pengemis tua,” berkata Cit Kong,
“Meski benar ada si pengemis besar, si pengemis pertengahan dan si pengemis
kecil, mereka itu bukanlah murid-muridku! sekalipun ini si orang she Lee, dia barulah belajar serupa ilmu silatku yang
kasar, ia masih bukan muridku yang dapat menjadi ahli warisku! Bukankah kau
memandang enteng ilmu silatku mencuri ayam dan meraba anjing? Bukankah aku si
pengemis bangkotan omong besar, apabila aku hendak mengangkat satu murid
langsung, belum tentu ia seperti kau!”
“Itulah
sudah sewajarnya,” menyahut Auwyang
Kongcu.
“Di mulut kau mengatakan begini, di dalam hatimu kau
mencaci aku,” kata pula Ang
Cit Kong.
“Itulah
keponakanku tidak berani,” membilang Auwyang Kongcu.
“Cit Kong
jangan percaya obrolannya!” Oey
Yong menyelak. “Di dalam hatinya dia memang sedang mencaci kau, malah
mencaci lebih hebat sekali!”
“Bagus
ya, bocah ini berani mencaci aku!” seru Cit Kong
dengan gusar.
Mendadak
ia mengulur tangannya, bagaikan kilat, kipas di tangan si anak muda telah kena
dirampas, hingga orang melengak. Dia membeber kipas itu, di situ terlihat
lukisan beberapa tangkai bunga bouwtan serta tulisannya Cie Hie dari jaman Song
Utara, di samping mana ada lagi sebaris tulisan, bunyinya “Pek To San Cu”,
artinya tuan dari Pek To San. Itulah tulisannya Auwyang Kongcu
sendiri.
“Hm!”
Cit Kong memperdengarkan suara dingin.
Kemudian ia menanya Oey
Yong: “Bagaimana kau lihat ini
beberapa huruf?”
Sepasang alis matanya si nona
terangkat. Ia menjawab: “Sungguh menyebalkan! Itulah mirip tulisannya kuasa
dari toko penukar uang perak!”
Auwyang
Kongcu biasa mengagulkan diri sebagai pemuda yang pandai ilmu silat dan ilmu
surat, sekarang ia mendengar celaannya Oey Yong, ia mendongkol bukan main,
dengan mata melotot ia memandang si nona. Tapi ia melihat wajah orang yang
terang, yang seperti tertawa bukannya tertawa, ia menjadi tercengang.
Ang Cit Kong membeber kipas di
telapakan tangannya yang satu, ia bawa itu ke mulutnya untuk dipakai menyusuti
beberapa kali. Ia baru saja habis menggerogoti ayam, di bibirnya masih
berbelepotan minyak, maka bisa di mengerti kalau kipas indah itu bukannya
menjadi kipas lagi, setelah mana ia merangkap jari-jari tangannya, hingga kipas
itu jadi teremas menjadi sehelai kertas rongsokkan, sesudah mana ia
melemparkannya!
Untuk
lain orangm kejadian itu bukan berarti apa-apa, untuk Auwyang Kongcu,
itulah hebat sekali. Itulah kipas yang menjadi alat senjatanya untuk bertempur,
tulang-tulangnya terbuat dari baja pilihan, dengan diremas itu, baja itu turut
menjadi tidak karuan. Hanya di sebelah itu, ia pun kagum untuk tenaga besar
dari si pengemis tua, yang dengan gampang saja dapat meremas remuk itu!
“Jikalau
aku sendiri yang melawan kau, sampai mampus juga kau tentu tidak puas,” berkata
Ang Cit Kong.
“Maka sekarang juga hendak aku mengangkat seoarng murid supaya segera dia
melawan kau…..”
Benar-benar
Auwyang Kongcu penasaran, dengan berani ia pun
berkata, “Saudara ini barusan telah bertempur beberapa puluh jurus denganku,
jikalau siepe tidak turun tangan, sudah tentu keponakanmu yang beruntung
memperoleh kedudukan di atas angin.”
Sembar
tertawa, ia menunjuk kepada Kwee
Ceng.
Cit Kong mendongak ke langit,
ia tertawa terbahak-bahak.
“Anak Ceng,
adakah kau muridku?” ia menanya.
Kwee Ceng ingat itu hari ia
berlutut kepada orang tua ini, untuk memberi hormat tetapi si orang tua dengan
tersipu-sipu membalas berlutut dan mengangguk-angguk kepadanya, maka itu ia
lekas-lekas menjawab: “Aku yang muda tidak mempunyai rejeki untuk menjadi
muridmu.”
“Nah,
kau telah dengar, bukan?” berkata Cit Kong
kepada pemuda she Auwyang itu.
Auwyang Kongcu menjadi heran
sekali.
“Pengemis
bangka ini pastilah tidak memperdaya orang,” pikirnya. “Habis bocah ini,
darimanakah dia mendapatkan kepandaiannya itu?”
Cit Kong tidak mengambil tahu
apa yang orang pikir. Ia memandang Kwee Ceng.
“Sekarang
hendak aku mengambil kau sebagai murid, kau senang atau tidak?” dia tanya. “Apakah kau tidak mencele aku si pengemis tua?
Apakah enak mendengarnya kau kalau orang katakan gurumu adalah aku si pengemis
tua?”
Tapi Kwee Ceng girang bukan
kepalang, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan si raja pengemis itu, untuk
paykui delapan kali.
“Hai,
anak tolo!” kata si guru, “Mengapa kau tidak memanggil suhu?”
“Sebenarnya
teecu sudah mempunyai enam guru, maka itu teecu pikir….” Untuk sejenak bocah
ini merandak, ia bersangsi. “Teecu memikir untuk menanyakan dulu pikirannya
keenam guruku itu…”
“Benar-benar!”
berkata Ang Cit Kong.
“Seorang kuncu memang tidak melupakan asal usulnya! Baiklah, sekarang aku mengajarkan
kau dulu dengan tiga jurus.”
Lalu
di depan Auwyang
Kongcu sendiri, Cit Kong
mengajarkan Kwee Ceng sisanya tiga jurus lagi Hang Liong Sip-pat Ciang. Sudah
tentu ketiga jurus itu beda dengan tiga jurus
ciptaan Kwee
Ceng sendiri.
Cit Kong tunggu sampai Kwee Ceng
sudah dapat menghapalkan tiga jurus itu, abru ia kata: “Baik, anak yang baik,
cukup sudah! Sekarang kau tolongi aku mengajar adat pada ini bandit cabul!”
Kwee Ceng memang sangat sebal
terhadap itu pemuda ceriwis dan jumawa, tanpa membilang apa-apa lagi, ia
lansung meninju.
Auwyang Kong tidak takut, ia pun
lagi mendongkol, maka habis berkelit, lantas ia balas menyerang, maka kembali
di situ keduanya bertarung.
Rahasianya
Hang Liong Sip-pat Ciang adalah tenaga yang dikerahkan di satu saat, tentang
ilmu silatnya sendiri sangatlah sederhana, dipelajarinya pun gampang, yang
sulit adalah melatihnya hingga mahir. Orang-orang seperti Nio Cu Ong, Bwee
Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu, itu bukanlah tandingannya Kwee ceng, tetapi
kenapa ia sanggup melayani mereka bertiga? Itulah rahasianya. Pula kali ini. Auwyang Kongcu
menghadapi sendiri si pengemis tua mengajari Kwee Ceng,
kalau perlu ia dapat menyangkoknya, tetapi sekarang setelah bergebrak, ia
merasakan kesulitannya.
Sekarang Kwee Ceng dapat menggunai
delapanbelas jurus, ia dapat menyambung itu kepala dengan buntut dan buntut
dengan kepala. Karena ia telah pandai menjalankan limabelas jurus, mendapat
tambahan tiga jurus yang terakhir ini, tenaganya lantas saja bertambah.
Auwyang Kongcu melayani bekas
tandingannya ini dengan bersungguh-sungguh, dia sudah menggunai empat macam
ilmu silat, ia tapinya cuma dapat berimbang saja - mereka ini jadi sama
tangguhnya, sedang tadinya ia terlebih unggul. Sesudah lewat lagi beberapa
jurus tanpa hasil, ia menjadi bingung.
“Jikalau
hari ini aku tidak memperlihatkan ilmu silat istimewa dari keluargaku, pasti
sekali sukar untuk aku merebut kemenangan.” ia berpikir. “Semenjak masih kecil
aku telah dididik pamanku, kenapa aku tidak dapat merobohkan muridnya si
pengemis tua ini - murid yang baru saja diberi pengajaran? Tidakkah dengan
begitu aku akan meruntuhkan kesohoran dari pamanku di tangannya si pengemis
bangkotan ini?”
Karena
ini, mendadak ia mengirim tinjunya yang hebat.
Melihat
serangan itu, Kwee Ceng segera menangkis. Tapi mendadak ia seperti kehilangan
tangan lawan, yang menjadi lemas dengan sekonyong-konyong, atau dilain saat
“Plok!” batang lehernya telah kena ditinju tanpa ia dapat berdaya. Ia menjadi
kaget sekali, sambil tunduk ia lompat, tangannya membalas menyambar.
Auwyang
Kongcu berkelit sambil menggeser kaki, sambil berkelit, ia juga menyerang. Kali
ini Kwee Ceng tidak berani menangkis, ia berkelit dengan cepat. Tapi aneh
gerakan tangannya kongcu ini, entah bagaimana, tangannya seperti menuju ke
kiri, tahunya ke kanan, maka “Plok!” lagi sekali tangannya ini mengenakan
pundak.
Hebat
untuk Kwee Ceng, lekas juga ia terhajar untuk ketiga kalinya.
“Anak
Ceng, tahan!” berkata Ang Cit Kong. “Hitunglah kau yang kalah satu kali ini.”
Kwee
Ceng menurut, ia lompat keluar gelanggang. Ia merasakan sakit pada
tempat-tempat yang terpukul, tapi ia pun memberi hormat pada lawannya seraya
berkata: “Benar kau lihay, aku bukanlah tandinganmu.”
Auwyang
Kongcu puas sekali, ia lantas melirik Oey Yong.
Ang
Cit Kong lantas berkata: “Si Racun tua setiap hari memelihara ular, ini ilmu
silatnya Kulit Ular Emas tentulah ia ciptakan dari tubuhnya ular berbisa. Kau
beruntung sekali, karena sekarang belum aku si pengemis tua dapat memikir daya
untuk memecahkannya. Nah, kau pergilah baik-baik.”
Auwyang
Kongcu tercekat hatinya. Ia pikir: “Paman telah pesan wanta-wanti padaku, kalau
bukan menghadapi bencana kematian, tidak boleh aku menggunai ini tiou silatnya
yang diberi nama Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas, sekarang si pengemis tua
mengetahuinya, apabila pamanku mengetahui juga, aku bisa di hukum berat.”
Karena
ini lenyaplah kepuasan hatinya. Ia memberi hormat kepada Ang Cit Kong, lantas
ia bertindak keluar dari rumah abu itu.
“Eh,
tunggu dulu, hendak aku bicara denganmu!” Oey Yong mencegah.
Auwyang
Kongcu menghentukan tindakannya, ia menoleh.
Oey
Yong memberi hormat dan menjura kepada Ang Cit Kong.
“Cit
Kong,” katanya, “Baiklah hari ini kau menerima dua murid. Kau sekarang berat
sebelah, aku tidak mau mengerti!”
Ang
Cit Kong menggeleng kepala tetapi ia tertawa.
“Sebenarnya
aku telah melanggar aturan dengan menerima murid,” katanya. “Maka itu tidak
dapat dalam satu hari aku melanggar pula aturan dengan menerima dua murid.
Ayahmu sendiri sangat lihay, mana dapat ia membiarkan kau mengangkat aku si
pengemis tua menjadi gurumu…”
Oey
Yong menunjuki rupa kaget dan sadar.
“Oh,
kau jeri terhadap ayahku!” katanya.
Cit
Kong kena dibikin panas hatinya.
“Takut?”
katanya, “Hm! Baiklah, aku terima kau sebagai murid! Mustahil Oey Lao Shia di
Bangkotan Tersesat nanti gegares tubuhku!”
Oey
Yong girang, ia tertawa.
“Baiklah,
satu patah menjadi kepastian” ujarnya. “Jangan kau menyesali! Suhu, kamu kaum
pengemis, bagaimana caranya kamu menangkap ular? Coba suhu mengajari aku.”
Cit
Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat
cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung
sesuatu maksud.
“Menangkap
ular menangkap di tempat tujuh dim,” ia memberi keterangan. “Kedua jeriji
tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana
beracun juga tidak bakalan bergeming lagi.”
“Kalau
ular yang kasar sekali?” tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar.
“Ajukan
tangan kiri, untuk memancing ia menggigit jari tangan kiri kita,” Cit Kong
mengajari. “Lalu dengan tangan kanan menghajar dia di tempat tujuh dim juga.”
“Apakah
menhajarnya mesti cepat sekali?”
“Tentu
saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena digigit,
akibatnya tidak membahayakan.”
Oey
Yong mengangguk, ia melirik kepada si pengemis tua itu, ia mengedipi matanya.
“Suhu,
sekarang kau boleh torehkan obat padaku.” ia minta. Ia memanggil suhu, guru.
Biasanya
Ang Cit Kong ini, kalau ia menghadapi ular, biar yang sangat beracun, ia
mengeemplangnya dengan tongkatnya, dari itu ia tidak seia obat, akan tetapi si
nona melirik padanya, mengedipi mata, ia lantas mengasih turun cupu-cupu di
bebekongnya, dari dalam itu, ia menuang sedikit arak, dengan itu ia menorehkan
kedua tangan ini murid yang baru. Oey Yong membawa kedua tangannya ke
hidungnya, untuk menciumny, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia
pun segera menghadapi Auwyang Kongcu.
“Hallo!”
tegurnya. “Aku ini muridnya Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar kenal
dengan ilmu silatnya Kulit Ular Lemas! Paling dulu hendak aku menjelaskan
padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau
haruslah waspada!”
Auwyang
Kongcu tidak takut. Pikirnya: “Dengan menempur kau, bukannya dengan segebrakan
saja dapat aku mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang aneh, cukup
untukku asal aku tidak membenturnya!” Maka ia tertawa dan menyahuti: “Jikalau
aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!”
“Semua
ilmu silatmu yang lainnya biasa saja,” berkata si nona, “Karena aku cuma mau
belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau
menggunakan kainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!”
“Apa
yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja,” sahut Auwyang Kongcu
Oey Yong tertawa.
“Aku
tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!” katanya. “Lihat tanganku!”
Kata-kata
ini disusul serangannya, dengan jurus po-giok-kun ajarannya Ang Cit
Kong.
Auwyang Kongcu sudah lantas
berkelit ke samping.
Oey Yong menyerang terus,
mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu itu disusul dengan bangkolan tangan
kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan “Sutera Terbang”.
Melihat
orang gesit, Auwyang
Kongcu tidak berani memandang
enteng. Ia mengulur tangan kanannya, ia tekuk itu, lalu mendadak ia menhajar ke
pundak si nona. Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular
Emas itu.
Sungguh
sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenakan sasarannya, mendadak ia
sadar, cepat-cepat ia menarik pulang. Sejenak itu ia ingat si nona mengenakan
baju lapis berduri, kalau serangannya mengenai, tangannya pasti berdarah.
Justru
orang membatalkan serangannya itu, justru Oey Yong
menyerang. Dua-dua tangannya melayang ke arah muka.
Auwyang Kongcu mengebaskan tangan
bajunya, dengan itu ia menangkis serangan si nona.
Oey Yong mengenakan baju
lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, maka itu kecuali mukanya, tidak ada
lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasarn. Karena itu Auwyang Kongcu
menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah, ia tidak mempunyai
harapannya, karena ini, ia jadi kena terdesak, ia mesti main berkelit atau
lompat sana
lompat sini saja.
“Kalau
aku serang mukanya dan berhasil, aku berlaku lancang,” pikirnya ini anak muda.
“Kalau aku jambak rambutnya, itulah terlebih hebat lagi, aku jadi berlaku
kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang…?” Tetapi ia cerdik, ia lantas
mendapat akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai itu untuk
membalut kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan
mencoba untuk menangkap tangan lawannya.
Tiba-tiba
Oey Yong lompat keluar gelanggang.
“Kau
kalah!” serunya. “Itulah bukan ilmu silatmu yang bau!”
“Oh,
aku lupa..!” berkata si anak muda, jengah.
“Sekarang
teranglah ilmu silat ularmu yang bau itu tak dapat berbuat apa-apa terhadap
muridnya Ang
Cit Kong,”
kata si nona yang licin itu, “Itu artinya ilmu silat itu tak ada keanehannya.
Selama di istana Chao
Wang, kita pun pernah bertempur,
itu waktu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita sekarang
seri. Mari kita bertempur lagi, untuk
memastikan menang atau kalah!”
Mendengar
itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir, “Ini
nona memang lihay tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang
karena menggunai akal, tidakkah itu bagus? Kenapa dia mau bertempur lagi,
seperti orang melukiskan ular di tambah kaki?”
Ang Cit Kong sebaliknya tertawa
haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan nakal, dia rupanya hendak
menggunai hadirnya ia disitu untuk mempermainkan keponakannya Auwyang Hong
itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu menggerogoti sisa ayamnya….
“Ah,
kenapa kita mesti main sungguh-sungguhan?” tertawa Auwyang Kongcu.
“Kau yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan? Tapi, kalau ada
mempunyai kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main.”
Oey Yong berkata pula;
“Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu semua ialah
sahabat-sahabatmu, andaikata aku menang, terang sudah mereka bakal menolongi
kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada
sahabat-sahabatmu…” ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan pakaian
serba putih itu. “Dan aku pun ada
kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa,
aku dapat melayani kerugian di pihakku itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang
lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!”
Mendengar
suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya, Auwyang Kongcu
mendongkol berbareng geli di hatinya. Ia suka menerima baik usul itu, bahkan
ialah yang segera membikin lingkaran itu. Ia menggurat dengan kakinya. Ialah
kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar mengikuti tubuhnya.
Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki.
Rombongan
Kay Pang bensi ini anak muda, tetapi melihat kepandaian orang itu, mereka kagu
dan memuji dalam hati.
Oey Yong lantas bertindak
masuk ke dalam lingkaran itu.
“Kita
bertempur secara bun atau secara bu?” dia tanya.
Bun
itu berarti lunak dan Bu itu berarti keras.
“Hebat
kau, banyak keanehanmu…” pikir Auwyang
Kongcu. Ia menanya: “Bagaimana
caranya bun dan bagaimana caranya bu?”
“Cara bun itu ialah aku menyerang kau tiga kali, kau
tidak boleh membalas,” menerangkan si nona. “Kau juga menyerang kepadaku dan
aku pun tidak boleh membalasi. Kalau
cara bu ialah kita bertarung
sesuka kita, kau boleh pakai ilmu silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup,
sesukamu, asal siapa yang keluar terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang
kalah!”
“Aku
pikir baiklah kita ambil cara bun,”
berkata si anak muda. “Dengan begitu kita tidak menggangu persahabatan kita…”
“Kalau cara
bu, sudah pasti kau bakal kalah!” berkata si nona. “Kau pilih cara bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku
memberi keleluasan padamu, kita pakai cara
bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?”
Auwyang Kongcu malu menyerang lebih
dulu.
“Tentu
saja kau yang mulai lebih dulu,” ia memberikan penyahutannya.
“Kau
licin sekali!” tertawa Oey
Yong. “Kau memilih belakangan,
karena kau tahu, jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi
berpura ngalah terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap
seorang kesatria, aku akan mengalah sampai di akhirnya!”
Auwyang Kongcu pun berpikir,
“Sebenarnya tidak apa yang aku menyerang terlebih dulu.” Tapi ketika ia hendak
mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya. “Lihat serangan!” Nona ini
benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar berkeredepan menyambar
lawannya. Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam tangannya.
Auwyang Kongcu terkejut. Untuk
menangkis sama kipasnya, kipasnya itu sudah dirusak Ang Cit Kong. Ia dapat menggunai ujung bajunya,
untuk mengebas, tangan ujung bajunya baru disobek. Ia tidak menangkis, ia pun
tidak bisa mundur. Sebab mundur berarti keluar dari lingkaran. Tidak ada
pilihan lain, terpaksa ia menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungi diri,
tingginya setombak lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di
bawahan kakinya.
Si
nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarumnya.
“Serangan
yang kedua!” si nona berseru. Ia menyerang pula disaat orang terapung habis dan
tinggal turunnya saja. Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke atas dan
ke bawah. Itulah ilmu melepaskan jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama
“Boan-thian hoa ie teng kim ciam” atau melempar jarum memebuhi langit bagaikan
hujan bunga.
“Habislah
aku!” mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya. “Perempuan ini sungguh kejam…”
Justru
itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian dan belakang dan
terus kakinya terangangkat lebih tinggi, berberang dengan mana, ia mebdengar
suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah. Ia
mengerti bahwa ada orang yang sudah menolongi padanya, hanya belum sempat ia
melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan. Sebenarnya ia tidak
dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika
tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka
sebelum dapat berlompat bangun, ia terbanting keras juga. Ia menduga kepada Ang
Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai. Ia mendongkol
sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua
gundiknya melerot mengikuti padanya.
“Suhu,
kenapa kau menolongi mahkluk busuk itu?!” Oey Yong tanya gurunya.
Ang
Cit Kong tertawa.
“Dengan
pamannya itu aku bersahabat kekal!” sahutnya. “Dia memang jahat, dia bagiannya
mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka pamannya itu.”
Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu. “Anak manis, hari ini
kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus memberi upah
kepadamu?”
Oey
Yong mengulur lidahnya.
“Aku
tidak menghendaki tongkatmu, suhu!” katanya.
“Walaupun
kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya itu!” kata sang guru. “Aku
memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa
hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyakan kegembiraanku!”
“Aku
nanti memasaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu,”
berkata Oey Yong.
“Sekarang
aku tak sempat berdahar.” Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya. “Kami kaum
Kay Pang ada mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan.”
Lee
Seng dan kawan-kawannya menghampirkan Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk
menghanturkan terima kasih.
Nona
Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa ia
tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.
Oey
Yong menujuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona: “Ma Totiang, yang
menjadi paman gurmu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan
lain-lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi
kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri.”
Setelah
Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong. Mereka
memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah bagaimana, kali
ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan. Tentu saja ia, yang diajar, hanya
beberapa jurus, menjadi kagum sekali. Ia pun berkata, besok hendak ia
mengadakan perjamuan guna pemberian selamat itu.
“Aku
khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar
makanan kita kaum pengemis!” berkata Cit Kong sambil tertawa.
“Besok
pasti kita akan hadir,” berkata Kwee Ceng lekas. “Lee Toako ada cianpwee kami,
aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!”
Senang
Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka ini anak muda yang
lihay dan sifatnya sangat merendah.
“Kamu
bersahabat erat, inlah bagus,” kata Cit Kong. “Tapi ingat, jangan kau membujuk
murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau
mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi
mencuri ayam dan mengemis nasi…!”
Habis
berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas
ngeloyor pergi. Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum, pergi Lee Seng
memberitahukan, pesat besok bakal dibikin di rumah abu itu.
Oey
Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia
khawatir mereka itu nanti bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan, itulah
berabe.
Di
tengah jalan itu, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong. Ia ternyata
bernama Yauw Kee. Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put
Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya
si orang hartawan, maka itu ia beda dadri Oey Yong
yang polos dan sederhana, meskipun sebenarnya Oey Yong
termanjakan oleh ayahnya.
Sekembalinya
dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke penginapannya
untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak mereka mendengar
tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara, setelah datang hampir
dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang tunggangannya. Oey Yong
ingin ketahui siapa pengunggang kuda itu, ia lari menghampirkan, Kwee Ceng
mengikuti dia.
Untuk
herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun
seekor kuda. Dan, berdiri di tepi
jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong dengan Auwyang Kongcu.
Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang tetapi mereka tidak
berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok. Maka itu apa yang
terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut “Gak Hui” dan kota “Lim-an” dan Yo Kang mengatakan
“ayahku”. Setelah itu, Auwyang
Kongcu memberi hormat, bersama
murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.
Yo
Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke
atas kudanya.
“Yo
Hiantee, aku ada di sini!” Kwee
Ceng memanggil.
Yo
Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampirkan
“Toako,
kau ada di sini?” tanya heran.
“Di sini aku bertemu bersama Nona Oey,
kita pun bentrok sama Auwyang
Kongcu, kerananya perjalananku
terlambat,” Kwee
Ceng menyahut.
Mukanya
Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng
tidak dapat melihatnya.
“Toako,
kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?” Yo Kang tanya.
“Apakah Nona Oey
akan turut bersama pergi ke Pak-khia?”
“Bukannya
aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami,” kata Oey Yong.
“Toh,
tidak ada perbedaannya!” Kwee
Cneg tertawa. “Mari kita pergi ke rumah abu untuk beristirahat,
setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan kita.”
Yo
Kang menurut, maka mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu. Kwee Ceng
menyalakan sisa lilinya Auwyang
Kongcu.
Oey Yong membawa sebuah
ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya.
Hawa
malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang dimana
mereka meletakkan daun pintu. Hampir mereka kepulasan, kuping mereka mendengar
tindakan kaki kuda. Lantas mereka bangun untuk berduduk, untuk memasang kuping.
Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.
“Yang
di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan,” berkata Oey Yong.
Kwee Cneg seperti hidup di
punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si nona. Ia kata: ” Inilah aneh!
Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!”
“Apa
katamu!”
“Yang
di depan itu semua kuda Mongolia,
yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa kuda Mongolia dari gurun pasir
lari-larian di sini?”
Oey Yong berbangkit, ia
menarik tangan Kwee
Ceng buat diajak ke pintu.
Mendadak saja sebatang anak panah lewat di atasan kepala mereka. Ketiga
penunggang kuda sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang
kuda yang paling belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya
terpanah kempolannya, binatang itu meringkik, lalu roboh. Syukur untuknya, dia
kaget, dia dapat berlompat turun dari kudanya itu, hanya ia tidak mengerti ilmu
ringan tubuh, turunnya dengan tubuh yang berat. Dua kawannya berdiri bengong
dan saling mengawasi.
“Aku tidak kurang suatu apa!”
berkata yang kudanya roboh itu. “Kau lekas berangkat terus, nanti aku
merintangi mereka itu!”
“Nanti
aku membantui kau merintangi mereka,” kata yang satunya. “Su-ongya boleh lekas
menyingkir!”
“Mana
bisa?!” berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.
Mereka
itu bicara dalam bahasa Mongolia
dan Kwee Ceng merasa mengenali mereka, ialah Tuli,
Jebe dan Boroul. Tentu saja ia menjadi bertambah heran, hingga ia menduga-duga,
kenapa mereka itu berada di tempat ini. Tadinya ia berniat pergi menemui mereka
atau kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai mengurung.
Ketiga
orang Mongolia
itu membuat perlawanan dengan panah mereka. Nyata mereka pandai sekali
menggunai senjatanya itu. Pihak pengurung tidak berani datang mendekat, mereka
menyerang dengan anak panah dari kejauhan.
“Naik!”
berseru seorang Mongolia,
tangannya menunjuk ke tiang bendera.
Bagaikan
kera, mereka itu berlompat naik, maka itu, sebentar kemudia mereka dapat
memernahkan diri di tempat tinggi.
Pihak
pengurung mendesak lebih jauh, semua mereka turun dari kudanya masing-masing.
“Engko Ceng,
kau keliru,” kata Oey
Yong. “Mereka berlimabelas.”
“Tidak
bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!”
Benar
saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada
penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panag
panjang yang menancap.
Diam-diam
Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda
itu, yang sudha mati. Ia mencabut anak panahnya. Ia mendapat kenyataan, gagang
panah tersalut besi matang. Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, ialah
tanda dari panahnya Jebe. Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa.
Sekarang ia tidak bersangsi pula. Maka ia berteriak menanya; “Yang di atas itu
suhu Jebe dan adik Tuli?”
Tiga
orang itu terdengar berseru kegirangan.
Berbareng
dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee itu.
Kwee Ceng mendengar suara
sayap burung atau ia segera mengenali kedua ekor burung rajawali piarannya
putri Gochin
Baki.
Kedua
ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka mengenali
majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun. Smabil berpekik mereka
hingga di pundak majikannya itu.
Oey Yong kagum sekali. Memang
pernah ia mendengar Kwee
Ceng bercerita halnya memanah
burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia pun
memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung itu.
“Mari kasih aku bermain-main dengannya!” ia kata tanpa
menghiraukan musuh semakin mendekati. Ia mengulur tangannya, untuk memegang
burung itu, guna mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal
si nona, ia mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya itu.
“Jangan!”
Kwee Ceng mencegah.
“Burung
ini busuk!” kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung itu, yang
ia terus awasi.
“Yong-jie,
awas!” mendadak Kwee
Ceng berseru.
Itu
waktu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.
Oey
Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat ia
menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak
panah lantas mengenakan tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma
sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah. Lantas si nona
merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia pakai
untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.
“Yong-jie,
kau memainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim itu!” berkata Kwee Ceng,
yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh, yang memanah kepadanya.
Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia cekal
tangan orang, yang ia terus tekuk patah.
“Hai,
bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini?!” berteriak seseorang
dari tempat yang gelap. Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah suaranya dikenali
Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran. Tengah ia
tercengang, sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu
bergemerlapan.
Melihat
serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng
mendak, sembari mendak ia membalas menyerang, segera dengan jurus “Naga sakti
menggoyang ekor” dari Hap Liong Sip-pat Ciang!
Tidak
tempo lagi musuh itu terhajar pundaknya, tulang-tulangnya pada patah dan remuk,
tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan. Maka
sekarang Kwee Ceng ingat salah sau dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu Cian
Ceng Kian.
Menyesal
juga pemuda itu yang ia telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng Kian
terbinasa. Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan atau ia sekarang dapat
mengalahkan Siluman dari Sungai
Hong Hoo
itu demikian gampang. Tengah ia menyesal, mendadak datang lagi serangan -
sebuah golok dan sebatang tombak.
Ia
segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng
Liat. Ia membangkol tombak orang
dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi terjerunuk maju, tempat menjadi
sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu tendangan, Kwee Ceng
menghalau golok yang terbang melayang. Habis itu, dengan kesebatannya, pemuda
ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, maka itu Ceng Kong dan Ceng Liat
saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.
Hong
Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu
Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanganya Liok Koan Eng ketika ia
nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw itu. Mereka bertigalah
orang-orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim
yang mengejar Tuli bertiga itu. Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka
serdadu-serdadu Kim itu masih tetap
menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.
“Masih
kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini?!” membentak Kwee Ceng,
yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada serdadu-serdadu itu,
hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan kabur.
Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng
Liat sadar saling susul, melihat
ancaman bahaya, mereka kabur tanpa berayal lagi,
Jebe
bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu.
Tuli
mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng
menghajar musuh, ia girang bukan main.
“Anda,
kau baik?” ia menanya. Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot turun,
setibanya di tanah, si sambar tangan Kwee Ceng,
untuk mereka saling jabat dengan keras, mata mereka saling tatap.
Menyusul
itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.
“Tiga
orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka,”
berkata Jebe. “Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal
dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!”
Jago
panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa.
Kwee Ceng lantas menghampirkan
Oey Yong, untuk ditarik menghampirkan Tuli
bertiga.
“Inilah
adik angkatku,” ia perkenalkan nona itu.
Oey Yong yang lucu dan
berani, sembari tertawa ia lantas berkata: “Sepasang burung ini dapatkah
diberikan kepadaku?”
Tuli
berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan peterjemahnya
telah mati terbinasa si tangan musuh. Ia cuma mendengar suara orang halus dan
merdu dan wajahnya manis.
“Eh,
anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?” Kwee Ceng
tanya. Ia pun tidak mengambil
peduli perkatannya si nona.
“Ayahanda
menitahkan kaisar Song,” menyahut Tuli. “Kami berjanji bersama-sama mengerahkan
angkatan perang kita guna menggenjet pasukan perang Kim.
Adikku bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa
burung ini.”
Kwee Ceng berdiam mendengar
orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir: “Dalam satu bulan aku mesti memenuhi
janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali ayahnya Yong-jie bakal membunuh
aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan lagi dia itu…” Maka itu ia
berpaling kepada Oey
Yong dan berkata: “Sepasang burung
ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!”
Oey Yong girang bukan main,
ia lantas pula mengambi daging kering untuk mengasih makan pada burung itu.
Tuli
lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang berperang melawan
bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membeuat perserikatan,
akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan sama tentara Kim, yang merintanginya,
hingga mereka bertempur, hingga habislah barisan pengiringnya, hingga mereka
tinggal bertiga saja. Maka ysukur di sini ia bertemu ini saudara angkat, yang
dapat menolongi mereka.
Mendengar
keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di
Kwie-in-chung tempo Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui
Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan
utusan Mongolia itu. Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negera Kim sudah mengetahui rahasia itu, dari itu dengan Yo
Kang diutus raja Kim ke Selatan,
maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan Mongolia itu.
“Pihak Kim
itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawan aku,” Tuli berkata pula, “Maka
juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin
pasukannya memegat kami.”
“Adakah
ia Wanyen Lieh?” tanya
Kwee Ceng.
“Benar!
Dia memakai kopiah emas, inilah aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga kali aku
panah dia, saban-saban panahku dirintangi tameng pengiring-pengiringnya.”
Kwee Ceng girang sekali hingga
ia berseru: “Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh
ada di sini, mari kita lekas cari
dia!”
Oey Yong menyahuti tetapi Yo
Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak.
Kwee Ceng heran.
“Yong-jie
pergi ke timur, aku ke barat!” katanya cepat.
Lantas
keduanya lari pesat sekali.
Setelah
berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu Kim yang
lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian, benarlah
pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya disaat itu,
ini serdadu tidak ketahui di mana beradanya pangerannya itu.
“Kita
sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau kita pulang, kita ada bagian
dipotong kepala kami,” kata si serdadu, “Karena itu kami hendak meloloskan
seragam kami untuk kabur dan menyembunyikan diri.”
Kwee Ceng penasaran, ia masih
mencari, tetapi sia-sia saja. Ketika itu fajar mulai menyingsing. Ia bergelisah
sendirinya. Maka ia terus lari, akan mencari. Ketika ia tiba di sebuah hutan
kecil di depannya, di sana
berkelebat seseorang dengan pakaian putih. Itulah Oey
Yong yang pun tidak memperoleh
hasil. Maka dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui
Tuli bertiga.
“Mungkin Wanyen Lieh
itu pulang untuk mengambil bala bantuan!” Tuli berkata. “Anda, aku lagi
bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita berpisahan.”
Kwee Ceng berduka, khawatir
nanti ia tak dapat bertemu pula dengan tiga orang itu. Berempat mereka saling
rangkul, lalu mereka berpisahan. Ia mengawasi kepergian mereka itu, sampai
orang lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak terdengar.
“Engko Ceng,
mari kita menyembunyikan diri,” Oey Yong
mengajaki. “Kita menanti sampai Wanyen
Lieh datang bersama pasukannya,
itu waktu tentu kita bakal menemui dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita
menguntit saja, malamnya baru kita menyatroni, untuk membunuh padanya. Tidakkah
itu bagus?”
Kwee Ceng girang, ia puji si
nona.
Oey Yong pun sangat girang.
“Sebenarnya
ini tiou daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik perahu,” katanya
tertawa.
“Nanti
aku pergi ke dalam rimba untuk menyembunyikan kuda kita,” kata Kwee Ceng,
yang terus menuntun kudanya. Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat
satu benda bersinar keemas-emasan yang bertojoh matahari. Ia lantas
menghampirkan dan memungutnya. Nyata itu ada sebuah kopiah bersalut emas dan di
situ pun tertabur dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng. Ia lantas
lari kepada Oey
Yong.
“Yong-jie,
lihat apa ini?” ia berkata separuh berbisik.
Oey Yong terkejut.
“Inilah
kopiahnya Wanyen
Lieh,” sahutnya.
“Benar!
Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-dekat sini, mari
kita cari pula!” mengajak Kwee
Ceng.
Oey Yong memutar tubuhnya,
tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah berada di atas tembok itu.
“Aku
mencari dari atas, kau di bawah!” katanya.
Kwee Ceng menyahuti, lantas ia
masuk ke dalam pekarangan rumah.
“Engko Ceng,
barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?” si nona menanya.
Kwee Ceng menghentikan
tindakannya, ia melongo.
“Bagus!”
sahutnya, “Kenapa?”
Nona
itu tertawa.
“Kalau
bagus, kenapa kau tidak memuji aku?” tanyanya.
Kwee Ceng membanting kakinya.
“Anak,
anak nakal!” katanya. “Diwaktu begini kau masih bergurau!”
Oey Yong tertawa, terus ia
lari ke belakang.
Selagi Kwee Ceng membantu Tuli
melawan seradau-serdadu Kim, Yo Kang
yang matanya jeli sekali telah lantas dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai
tentara Kim itu. Biar ia bukannya anak
pangeran itu, ia tetapi ingat budi orang yang sudah merawat ia belasan tahun.
Ia memandangnya sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia mengerti. lambat sedikit
saja, pangeran itu bisa dapat susah. Tanpa pikir lagi, ia berlompat untuk
menolongi, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang serdadu, Wanyen Lieh
berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia roboh dari kudanya.
Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di kupingnya pangeran itu:
“Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!”
Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong
lagi membuat main burung, maka itu tidak ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah
angkatnya itu menyingkir ke belakang rumah abu. Keduanya masuk ke dalam rumah
dan sembunyi di sebuah kamar barat. Mereka mendengar pertempuran menjadi reda,
serdadu-serdadu Kim lari serabutan,
begitupun pembicaraan Kwee
Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.
Wanyen Lieh merasa ia tengah
bermimpi.
“Anak Kang
kenapa kau berada di sini?” ia menanya perlahan. “Siapa orang kosen itu?”
“Dia Kwee
Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian
dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an,” Yo Kang
memberitahu.
Dingin
Wanyen Lieh merasakan bebokongnya. Di otaknya berkelebat kejadian pada sembilanbelas
tahun yang lampau itu. Ia membungkam. Segera setelah itu, ia mendengar suara
Kwee Ceng dan Oey
Yong mencari padanya. Ia bergidik.
Ia telah menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo
dihajar dan tentaranya dilbrak.
“Hu-ong,
mari sembunyi terus di sini,” berkata
Yo Kang. “Kalau kita keluar sekarang, ada kemungkinan kita terlihat mereka.
Tidak nanti mereka menyangka kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi
jauh barulah kita mengangkat kaki.”
Wanyen Lieh mengangguk.
“Benar
anak Kang,” ia menyahuti. “Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya ayah?”
Yo
Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikiriannya bekerja keras.
“Apakah
kau lagi memikirkan ibumu?” Wanyen
Lieh tanya.
“Benarkah?” Ia memegang tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es.
Dengan
perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya.
“Pemuda
she Kwee itu bernama Kwee Ceng,
ia gagah sekali,” ia memberitahu.
“Untuk membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia
dapat menggunai segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu
dalam setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia…”
“Benar,
baiklah kalau aku menyingkir daripadanya,” menyahut pangeran itu. “Apakah kau pernah
pergi ke Lim-an? Apakah katanya Perdana
Menteri Su
itu?”
“Aku
belum pergi ke sana,”
menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.
Mendengar
suara orang itu, Wanyen
Lieh menduga anak ini telah
mengetahui asal-usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolongi.
Untuk
delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling menyinta dan
menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar, Yo Kang
merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali. Yo Kang bersangsi,
terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.
“Asal
aku menggeraki tanganku, pasti sudah dapat aku membalas sakit hati ibuku,”
berkata si anak dalam hati. “Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan ?
Laginya, apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja? Apakah aku
mesti hidup seperti Kwee
Ceng, yang mesti merantau saja?”
Wanyen Lieh seperti dapat
menerka hati orang.
“Anak
Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau tetap
anakku yang aku cintai,” ia berkata, “Negara Kim kita, tak usah sampai sepuluh
tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka itu waktu dengan kekuasaan
besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. egara ini yang
luas dan indah adalah kepunyaanmu!”
Yo
Kang dapat menangkap maksud ayah itu, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia
goncang hatinya akan mendengar kata-kata “Kebahagiaan yang tak ada batasnya”.
Ia pikir: “Dengan ketangguhan kerajaan Kim
sekarang, memang gampang untuk menakluki kerajaan Song. Hu-ong pun sangat
cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja sekarang, tidak dapat melawannya.
Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku akan menjadi raja di kolong
langit ini?”
Maka
dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal tangan Wanyen Lieh.
“Ayah,
anakmu akan membnatu kau membangun usahamu yang besar!” ia memberikan
kata-katanya.
Wanyen Lieh merasakan tangan
bocah itu panas, ia girang bukan buatan.
“Aku
menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!” katanya. Lie Yan dan Lie Sie Bin
adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.
Selagi
Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di belakangny.
Dua-duanya terkejut, dua-duanya segera berpaling.
Nyata
cahaya terang sudah mulai menembusi jendela, maka terlihatlah di belakang
mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti
tanggal penguburannya. Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar
penyimpan jenazah.
“Suara
apakah itu?” tanya Wanyen Lieh,
hatinya berdebar.
“Rupanya
tikus,” menyahut anaknya.
Tapi
segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng,
yang lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh
sambil membicarakan kopiah emas yang mereka ketemukan.
“Celaka!”
pikir Yo Kang. “Kenapa aku tidak ketahui kopiahnya hu-ong trejatuh?” Ia lantas
membisiki ayahnya itu: “Hendak aku memancing mereka pergi.” Lantas ia menolak
daun pintu dan berlompat keluar, untuk berlompat terus naik ke genting.
Oey Yong dapat melihat
bayangan orang berkelebat.
“Bagus!
Dia di sini!” serunya, lantas ia berlompat menyusul. Tetapi tiba di ujung
rumah, bayangan itu lenyap.
Kwee Ceng mendengar suara si
nona, ia lari menghampirkan.
“Dia
tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana,” kata si nona.
Selagi
keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, justru itu terdengar
pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang.
Kwee
ceng jaget dan heran.
“Eh,
adik, kau pergi ke mana?” dia menanya. “Apakah kau dapat melihat Wanyen Lieh?”
“Kenapa Wanyen Lieh
ada di sini?” Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran.
“Dia
datang ke mari memimpin pasukan
serdadunya,” sahut Kwee
Ceng. “ini kopiahnya.”
“Oh,
begitu!” Yo Kang berpura-pura.
Oey Yong mengawasi wajah
orang, ia curiga.
“Kita
mencari kau, ke mana kau pergi?” ia tanya.
“Kemaren
aku salah makan barang, perutku mulas,” menyahut Yo Kang. “aku buang air di sana.” Ia menunjuk ke
dalam gombolan.
Oey Yong tidak menanya pula,
tetapi ia tetap bercuriga.
“Adik Kang,
mari kita lekas mencari!” Kwee Ceng
mengajak.
Hati
Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh
sudah kabur atau belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan
kecemasan pada parasnya.
“Dia
datang mengantarkan jiwa, itulah bagus!” katanya. “Pergilah Toako
bersama nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat.”
“baik,”
sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana
ia menolak daun pintu kamar Ciat-hauw-tong, ruang kebaktian dan kesucian diri.
Tapi Oey Yong berkata: “Yo Toako,
mungkin ia sembunyi di barat, mari aku
turut kau memeriksa ke sana.”
Yo
Kang berkhawatir bukan main, tapi ia menjawab: “Mari
lekas, jangan memberinya waktu ketika untuk kabur!” Ia lantas mendahului, untuk
menggeledah setiap kamar. Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan
jenazah itu.
Keluarga
Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya pun besar
luar biasa. Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalamai kerusakan.
Adem hati Oey
Yong memandangi rumah abu itu. Ia
melihat Yo Kang memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya,
dia memeriksa dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai si kamar barat,
yang debunya tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu,
mendadak ia berseru: “Di sini!”
Kwee Ceng dan Yo Kang
mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain kaget. Mereka lari
memburu. Oey
Yong membuka pintu dengan satu
jejakan, tetapi ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo. Ia
bukannya melihat orang yang dicarinya, hanya ia nampak beberapa peti mati
tampak di situ.
Yo
Kang lega hatinya. Ia percaya Wanyen
Lieh sudah lolos. Tetapi ia
beraksi, ia maju ke depan sambil berseru: “Wanyen Lieh,
manusia licin, di mana kau bersembunyi? Lekas keluar!”
“Yo
Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!” kata Oey Yong
denagn tertawa. “Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita
kepadanya!”
Yo
Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar.
“Nona Oey,
kenapa kau bergurau begini padaku?” katanya, mukanya merah.
Kwee Ceng tertawa.
“Jangan
dibuat pikiran, adikku,” katanya. “Yong-jie main-main saja….” Ia lantas menuju
ke lantai. “Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah datang
kemari!”
“Lekas
kejar!” Oey Yong berseru. Ia lantas memutar tubuhnya,
atau mendadak terdengar bunyi nyaring di belakang mereka. Ketiganya terkejut,
semua berbalik lantas. Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.
Oey Yong nyali besarnya
tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka itu ia sudah lantas memegangi
tangan Kwee Ceng. Pemuda ini tercengang sebentar,
lantas ia berkata: “Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti
mati!”
“Lihat,
ia lari ke sana!”
berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia pintar sekali, ia lantas
lompat untuk mengubar.
Oey Yong tetap mencurigai
orang, ia menyambar tangan Yo Kang, akan mencekal nadinya.
“Jangan
kau main gila!” katanya, tertawa dingin.
Nona Oey ini jauh terlebih
lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya lemas, hingga tidak dapat
ia bergerak. Tapi ia tetap tenang.
“Eh,
kau bikin apa?” ia menanya, berpura-pura.
“Engko Ceng,
apakah itu di dalam peti mati?” Oey
Yong tanya
kawannya tanpa memperdulikan orang yang dicurigainya itu.
“Aku
rasa dialah si jahanam!” menyahut Kwee Ceng.
“Kau
menakuti-nakuti aku?” kata Oey
Yong pada Yo Kang tangan siapa ia
sampar. Ia masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia
khawatir orang adalah mayat hidup….Maka ia memberi ingat: “Hati-hati engko
Ceng…..”
Kwee Ceng sudah bertindak
menghampirkan ketika ia menghentikan tindakannya itu.
“Apa
katamu?” ia tanya.
“Kau
tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar,” Oey Yong
memberi pikiran.
“Mana
ada mayat hidup?” kata Kwee
Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya
itu jeri. Ia pun berkata sambil lompat
ke peti mati itu. “Dia tidak bisa merapa keluar!”
Di jaman Song umumnya
orang sangat percaya pada hantu atau setan.
“Engko Ceng,”
berkata si nona, masih dalam kesangsian, “Nanti aku coba menyerang dengan
pukulan Memukul
Udara, tidak peduli dia mayat
hidup atau Wanyen
Lieh, mari
kita dengar jeritan atau tangisannya….”
Sembari
berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan. Di
dalam halnya ilmu pukulan Pek-hong-ciang, ia belum semahir Liok Seng
Hong, kerana itu, ia perlu
memernahkan diri lebih dekat. Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak ia
mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu. Ia kaget hingga ia berlompat
mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan: “Setan
perempuan….!”
Kwee Ceng tapinya berani.
“Adik
Yo, mari kita buka tutupnya peti!” ia
mengajak.
Yo
Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantui Wanyen Lieh, ia
jeri terhadap ini muda-mudi yang
lihay, maka itu, bukan main lega hatinya akan mendengar tangisan itu. Tanpa
ayal ia berlompat maju. Maka sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat
mengangkat tutup peti yang belum dipantek paku itu.
Kwee Ceng mengangkat tutup
petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia dapatkan mayat hidup,
kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah di dalam peti mati
itu.
Yo
Kang pun heran, lekas-lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang
berbangkit.
“Yong-jie,
mari!” kata Kwee Ceng.
“Kau lihat siapa ini….”
“Tidak,
aku tidak mau melihat-lihat!” sahut si nona.
“Tapi
ialah enci Bok!” Kwee Ceng
mendesak.
Baru
sekarang Oey
Yong mau berpaling. Ia melihat Yo
Kang mengempo seorang bayi, yang romannya mirip Liam Cu,
maka ia maju ke arah peti, akan melihat Liam Cu
sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak
bergeming.
Sebagai
ahli menotok jalan, Oey
Yong lekas menolongi Nona Bok
itu. Ia menotok sana-sini.
“Enci Bok,
kenapa kau berada di sini?” tanya Oey Yong
kemudian.
Rupanya
sudah lama Liam
Cu tertotok, hingga jalan darahnya
tertahan, sudah tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong
mambantui ia dengan mengurat-urat juga. Selang sedikit lama, baru nona itu bisa
membuka mulutnya.
“Aku
kena ditawan orang,” katanya.
Oey Yong mendapat tahu Liam Cu
ditotok jalan darahnya di telapakan kaki, yaitu jalan darah yong-coan-hiat.
Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunai ilmu totok semacam ini, maka itu ia
dapat menduga siapa si penyerang itu.
“Bukankah
telur busuk itu Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat
itu?” ia menanya.
Liam Cu tidak menyahuti, ia
cuma mengangguk.
Ketika
itu hari Liam Cu menolongi Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw Hong,
dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir oleh
Oey Yok Su. Beberapa kali ia dipaksa konngcu itu, ia melawan, hanya kemudian,
setelah si kongcu menggunai ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi datang, ia
kalah hati juga, ia menyerah. Kemudian datang saatnya Auwyang Konngcu menggilai
Nona Thia, sampai ia kena diusir. Diwaktu
kabur, tak sempat ia membawa Bok Liam Cu. Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga,
yang mencari Wanyen Lieh, dengam begitu ia jadi ketolongan, kalau tidak, pasti
ia terbinasa di dalam peti mati itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar