BAB 55
Besoknya pagi, ketika matahari merah menyorotkan sinarnya
masuk ke jendela, Oey Yong mendusin untuk lantas menjadi kaget. Di meja,
kurungannya rusak, tetapi burungnya berdiri diam di meja, ia tidak lari meski
orang menghampirkan padanya.
Kaget
dan girang, Oey Yong menggapai.
“Mari!”
ia memanggil.
Hiat-niauw
terbang, menclok di telapakan tangan si nona.
“Dia
takluk padaku, dia takluk padaku!” kata Oey Yong kegirangan. Ketika ia melihat
kurungan, kurungan itu rusak dan patah. Ia pikir, tentulah itu burung mau
membilang: “Aku merdeka, kalau aku tidak mau pergi, tidak apa, tetapi kalau aku
mau, apa artinya kurungan macam begini?”
Sedangkan
si nona bergirang, kupingnya lantas mendengar keluhan Kwee Ceng di lain kamar.
Ia heran, ia lari menghampirkan.
“Engko
Ceng, kenapa?” ia menanya.
Kwee
Ceng menyeringai, tangannya memegangi gambar pemberian dari Oey Yok Su. Nyata
karena kehujanan, gambar itu terkena air.
“Ah,
benar sayang!” si nona mengeluh. Ia menyambuti gambar itu, yang telah pecah. Ia
merasa, tidak ada jalan untuk dapat memperbaiki itu. Ketika ia hendak
meletakinya di meja, mendadak ia melihat di pinggiran syairnya Han See Tiong
ada tambahan beberapa baris huruf halus. Ia lantas mendekati, untuk melihat
terlebih tegas. Surat itu berlapis, kalau tidak karena basah, tidak nanti dapat
terlihat. Sekarang pun sangat sukar untuk membacanya. Oey Yong mementang matanya,
ia mencoba membaca:
“…..Surat
wasiat….Bok…Tiat Ciang…tengah…puncak……..”
Huruf-huruf
lainnya lagi tak dapat dibaca.
Kwee
Ceng juga turut membaca, lantas berkata: “Inilah diartikan surat Wasiat Gak Bu
Bok….”
“Tidak
salah,” berkata Oey Yong. “Wanyen Lieh si jahanam menyangka surat wasiat ini
berada di dalam peti batu di dalam istana, tetapi meskipun petinya telah
didapatkan, surat wasiatnya tidak ada. Sekarang kita mendapatkan gambar ini.
Bunyinya kata-kata ini mungkinlah rahasia surat rahasia itu. Tiat Ciang,
tengah, puncak…” Ia lantas memikir keras. “Tiat Ciang” itu ialah “Tangan Besi”.
Kemudian ia menanya Kwee Ceng: “Engko Ceng, apakah keenam gurumu pernah
menyebut tentang Tiat Ciang Pang?”
“Tiat
Ciang Pang?” kata Kwee Ceng berpikir. “Tidak. Aku hanya ketahui si tua bangka
she Kiu, si penipu besar itu, dipanggil Tiat Ciang Sui-siang-piauw.”
“Tidak,
tidak bisa jadi tua bangka celaka itu ada hubungannya dengan ini!” berkata Oey
Yong, memandang enteng. “Hanya ada juga kemaren ketika aku membakar kantor camat,
di sana aku mendengar si camat she Kiauw berbicara sama siapa, tahu
menyebut-nyebut entah bagaimana dengan ‘Tiat Ciang Pang kami’. Ia menyebut pula
perlu lekas dicari banyak ular untuk dipersembahkan kepa Toa Hiocu. Ketika
kemudian aku bertempur dengannya, ternyata ilmu silatnya tidak rendah, dia
mengerti juga Tiat-ciang, yaitu Tangan Pasir Besi.”
“Anggota
dari suatu perkumpulan kaum kangouw menjadi camat, inilah benar aneh!” kata
Kwee Ceng. Tiat Ciang Pang itu ialah Partai Tangan Besi.
Lantas
keduanya memikir kata-kata di gambar itu, masih mereka tidak dapat menangkap
maksudnya, maka Oey Yong lantas membenahkan gambar rusak itu, disimpan di dalam
sakunya.
“Biarlah
perlahan-lahan kita memikirkannya pula.” katanya.
Sampai
di sini, sepasang muda-mudi ini lantas pamitan dari empeh Cin dan cucunya,
dengan menaiki kuda merah mereka, mereka berangkat pergi. Tuan rumah dan
cucunya merasa berat tetapi mereka tidak dapat menahan.
Pada
suatu hari tibalah Kwee Ceng dan Oey Yong di dalam wilayah kota Gakciu. Oey Yong
mengingat-ingat hari. Itulah hari Cit-gwee Capsie - tanggal empatbelas bulan
tujuh - jadi besok ialah hari rapatnya Kay Pang, Partai Pengemis.
“Kita
tidak mempunyai urusan sekarang, kita pesiar perlahan-lahan saja,” katanya Kwee
Ceng.
“Baiklah,”
si nona menyahuti.
Mereka
lompat turun dari kuda mereka, dengan berpegangan tangan mereka bertindak,
dengan perlahan-lahan. Mata mereka memandang jauh ke depan di mana tampak hanya
air dan sawah-sawah di mana pohon padi sudah tumbuh tinggi dan telah berbuah,
maka diduga tahun ini, panen bakal memberi hasil baik.
Kata
Oey Yong: “Dahulu ayah pernah membilangi aku, kalau Ouw Kong matang, seluruh
negara cukup, maka itu kelihatannya tahun ini rakyat bakal bebas dari bahaya
kelaparan.”
Ouw
Kong ialah empar propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Kwietang dan Kwiesay, sedang
dengan “matang” diartikan “masak” atau musim panen.
Kemudian
si nona menunjuk ke sebuah pohon besar di mana seekor tonggeret lagi berbunyi,
ia kata pula: “Binatang itu berbunyi tak hentinya, entah apa yang dia katakan.
Suaranya itu membuat aku ingat satu orang…”
“Siapakah
dia?” Kwee Ceng tanya.
“Dialah
Kiu Looyacu yang pandai meniup kulit kerbau…” sahut si nona tertawa.
“Oh!” seru Kwee Ceng. Ia juga tertawa.
Ketika itu matahari sedang teriknya, petani semua lagi
bermandikan peluh tapi mereka bekerja terus mengompa air. Demikian di bawah
sebuah pohon yangliu, seorang nyonya lagi bekerja bersama satu bocah berumur
tujuh atau delapan tahun, berat gerakan kaki mereka. Pakaian mereka telah basah
kuyup, sedang muka si bocah merah seluruhnya. Oey Yong menghentikan
tindakannya, ia mengawasi mereka itu, ia merasa kasihan.
Si bocah melihat ada orang yang mengawasi mereka, ia
menoleh. I akgum menyaksikan keelokan si nona. “Ibu,” katanya, “Lihat, enci itu
lagi mengawasi kita!” Dari suaranya, ternyata ia bergembira meski dia bekerja
capai.
Si nyonya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk kepada
pasangan muda-mudi itu.
Oey Yong merogoh ke dalam sakunya, berniat mengambil
sedikit uang utuk mengasih persen kepada bocah itu untuk ia membelikan kembang
gula tatkala kupingnya mendengar suara samar-samar dari guruh di kejauhan,
lantas saja ia menjadi girang. Ia kata kepada itu ibu dan anaknya: “Sudah, tak
usah kamu mengompa air lagi, hujan bakal turun!”
Si nyonya memasang kupingnya, mendadak romannya menjadi
pucat, suatu tanda dia takut.
Si bocah lompat turun dari pompa airnya sambil berkata:
“Ibu, raja kodok mau datang makan kodok hijau lagi!”
Si nyonya mengangguk.
Oey Yong tidak mengerti, ia mau minta keterangan, atau
segera ia mendengar riuhnya gembereng yang dipalu breng-breng keras sekali,
yang memalunya ialah seorang laki-laki yang mengenakan tudung rumput yang lebar
serta tubuhnya tidak memakai baju. Dia menabuh sambil berlari-lari ke barat.
Belum lama lantas datanglah sambutan gembreng riuh dari
segala penjuru, menyusul mana semua orang, pria dan wanita, yang lagi mengompa
air, pada lari meninggalkan pompa mereka, semua lari ke arah barat itu.
Oey Yong mendapat si bocah dan ibunya turut lari juga.
“Engko Ceng, mari kita lihat, keramaian apa itu!” katanya
saking tertarik hatinya.
Kwee Ceng menurut, maka mereka lari menyusul orang banyak
itu. Ketika mereka sudah melewati sebuah tikungan gunung, mereka lantas melihat
sawah-sawah yang luas yang penuh air, sedang semua orang tani itu berkumpul di
sebuah tanjakan tinggi semacam bukit, dengan roman tegang, mata mereka
memandang ke depan. Di situ memalu seratus lebib gembreng kuningan, hingga
suaranya berisik menulikan telinga. Dengan begitu tak terdengar lagi suara
orang bicara.
Di samping bukit kecil itu ada tumbuh sebuah pohon yang
besar dan tinggi, Kwee Ceng menarik tangan Oey Yong, diajak ke sana, untuk
mereka terus melompat naik ke atasnya, dengan begitu mereka berdua jadi dapat
memandang jelas ke arah mana semua mata ditujukan. Di sana terlihat langit biru
seperti luatan, di sana tidak apa-apa yang mencurigakan mereka. Tapi mereka
tetap mengawasi. Tidak lama kemudian, kuping mereka dapat menangkap samar-samar
suatu suara yang keras, yang tidak dapat dilawan berisiknya gembreng.
Mulanya Oey Yong menyangka kepada guruh, hanya sebentar
kemudian, ia melihat benda-benda kuning yang membikin ia menjadi heran sekali.
Semua benda itu mendatangi dengan berlompatan.
“Hai, begitu banyak kodok!” akhirnya si nona berseru.
Memang di sana terlihat ribuan atau laksaan kodok, yang
lagi mendatangi itu, dan suara berisik tadi mirip guruh ialah suara
kerak-keroknya mereka!
Begitu melihat sang kodok, berhentilah semua petani
memalu gembreng mereka. Sekarang terlihat tegas air muka mereka yang lesu dan
masgul.
Kapan kawanan kodok itu tiba di tepi sawah di depan bukit
kecil itu, semua lekas berhenti, berbaris dengan rapi. Di belakang mereka
terlihat beberapa ratus kodok yang besar-besar, yang mengerumuni seekor kodok
yang badannya besar istimewa - lebih besar enam atau tujuh lipat dari kodok
yang umum.
Itulah dia yang rupanya si bocah sebut sebagai raja
kodok. Dia lantas mengasih dengar suara berkerok satu kali, lantas dia disambut
rakyatnya hingga riuh pulalah suara mereka yang mirip guruh itu. Ketika raja
kodok itu berbunyi pula, maka siraplah suara semua rakyatnya.
“Nah, ini pun membikin aku ingat satu orang!” berkata Oey
Yong.
Kali ini Kwee Ceng tidak menanya siapa, ia hanya tertawa
dan berkata dengan cepat: “Auwyang Hong!”
“Jempol!” berseru Oey Yong sambil menunjuki jempolnya. Ia menganggap pemuda itu cerdas dapat menerka dengan jitu.
Kawanan kodok itu menaati titah rajanya. Setelah tiga
kali berbunyi, mereka berdiam pula, hingga suasana di situ menjadi sangat sepi.
Hanya sekarang lantas terdengar gantinya, ialah suara perlahan tetapi terang
dari seekor kodok hijau yang kecil, yang berlompat keluar dari belakangnya
sebuah batu besar di arah timur.
Kapan orang-orang tani ini melihat kodok hijau itu,
dengan serentak gembreng mereka dipalu pula, sambil memalu, mereka berseru-seru
keras sekali. Mereka bersorai-sorai, tanda dari kegirangan. Terang mereka
membantu menggembirakan atau menganjurkan kodok kecil itu.
Kwee
Ceng dan Oey Yong heran. Tak tahu mereka apa akan dilakukan si kodok hijau yang
kecil itu. Selagi mereka mengawasi dengan perhatian, kuping mereka mendengar
tindakan kaki yang berisik, ketika mereka berpaling, terlihat dari empat
penjuru datang pula beberapa ratus petani. Mata si nona sangat jeli, ia
mendapatkan di dalam rombongan itu ada sejumlah orang yang pakaiannya berneda.
Ia lantas menarik tangan baju Kwee Ceng seraya mulutnya dimonyongi ke arah
orang-orang itu, yang jumlahnya empat atau limapuluh orang. Mereka itu
mengenakan baju hitam dan tangan mereka memegangi korang bambu yang besar.
Terang sekali mereka pun menyembunyikan alat senjata. Dilihat dari romannya,
yang bengis, mestinya mereka bukan sembarang petani. Di tepi bukit, mereka itu
berkumpul menjadi satu, terpisah beberapa puluh tombak dari petani lainnya.
Kodok
hijau yang kecil itu berlompatan hingga terpisah lagi tiga kaki dari tepian
sawah, di situ ia berhenti, lalu berbunyi beberapa kali.
Dari
dalam rombongan kodok yang berjumlah besar sekali itu muncul seekor kodok
kuning yang besar, ia meloncati galangan, sampai di depan si kodok hijau. Di
situ ia mementang mulutnya dan bersuara, suaranya keras bagaikan suara kerbau.
Si kodk kecil tak takut, ia juga membuka suaranya, maka terjadilah mereka
saling sahut, makin lama makin cepat. Dari situ, kelihatan si kodok kecil
bernapas lurus dan rapi. Si kodok besar agaknya kesusu, rupanya ia ingin
lekas-lekas menang.
Sesaat
berselang, suara kodok besar itu menjadi serak, dan perutnya yang putih pun
kembung makin besar, setelah itu, suaranya berubah menjadi dalam, sedang kedua
matanya seperti mencelos keluar, perutnya itu menjadi bundar bagaikan bola.
Mendadak saja, perut kembung itu meledak, nyaring suaranya, lalu ia rebah
binasa.
Petani
semua bersorak riuh. Beda ada rombongan orang baju hitam itu, kelihatannya
mereka gusar. Maka sekarang terlihat tegas, petani berpihak pada kodok hijau,
mereka ini kepada kodok yang banyak itu.
Kodk
hijau itu menang, dia bersuara tiga kali, lantas dia memutar tubuhnya, rupanya
dia mau pergi, atau mendadak terlihat enam kodok besar berlompat maju, untuk
mengejar.
“Tidak
tahu malu!” membentak pihak orang petani banyak. “Tidak punya guna! Apa ini? Malu! Baik mati saja!”
Enam kodok besar itu berpecha menjadi dua, sikapnya
mengurung. Si kodok kecil berlompat, untuk menyingkir. Dia lantas dikejar. Kira
tiga tombak, maka di sebelah belakang enam kodok itu terdengar suaranya kodok
lainnya. Lantas mereka berhenti mengejar, berniat kembali, tetapi mereka
terlambat. Mereka segera dipegat kira-kira tigapuluh kodok hijau yang besar
yang muncul dari gili-gili.
Kali ini kedua pihak tidak lagi mengadu suara, hanya
mereka lantas saling terjang, saling menggigit. Karena kalah jumlah, enam kodok
besar itu lantas saja mati. Banyak kawannya, tetapi tidak ada yang maju
menolongi.
Oey Yong menjadi heran, ia berpaling kelilingan. Ketika
matanya terarahkan ke pinggir sawah di mana ada sebuah kali kecil, maka di situ
ia melihat segala apa hijau, sebab di situ pun ada berkumpul ribuan atau
laksaan kodok hijau, hanya mereka ini semua tidak bergerak. Mungkin ini yang
menyebabkan kodok besar itu tidak berani sembarangan melintasi tapal batas.
Si raja kodok berbunyi kerok dua kali, maka seratus di
pihaknya lantas maju melintasi batas. Mereka lantas disambut sebarisan kodok
hijau yang muncul dari tempatnya mendekam. Maka bertempurlah mereka. Belum
lama, kodok besar itu lari ke arah selatan. Kodok hijau mengubar setombak
lebih, lantas berhenti. Melihat demikian, kodok besar berbalik akan menyerang
pula.
Benar saja, di selatan itu, di mana ada batu besar,
terlihat munculnya barisan tersembunyi kodok besar itu dan mereka lantas maju,
membantui kawannya. Karena ini, dari tepi kali pun datang bantuan kodok hijau.
Kedua pihak lantas bertempur dengan berisik.
Dalam tempo dekat, puluhan ekor kodok roboh sebagai
bangkai. Kerugian terdapat dikedua pihak. Mereka yang terluka merayap ke
pinggiran, lalu ada yang kawannya yang menolongi mengajak kembali ke dalam
barisannya.
Kelihatan si raja kodok tidak puas melihat belum ada
keputusan, ia berbunyi lagi dua kali. Kali ini lantas ada satu pasukan besar
yang menyebrang, buat membantui. Sekarang kodok hijau, yang tak sempat mundur,
terancam terkurung. Mereka mengatur barisan bundar, ekor ke dalam, mulut
keluar. Dengan begitu, mereka tidak takut nanti diserang dari belakang. Kodok
besar berjumlah besar tetapi mereka tidak dapat menyerbu semua.
Sejumlah petani berteriak-teriak mengajuri kodok hijau
mengirim bala bantuan, anjuran itu tak ada hasilnya. Nampaknya kodok hijau
bersikap tenang.
Dari barisan kodok besar itu ada beberapa yang berlompat,
hendak maju, tetapi saban kali ada satu yang menerjang, segera dia dipapaki
diterjang satu kodok hijau, hingga keduanya sama-sama jatuh. Dengan begitu,
kodok besar tidak dapat menerjang ke dalam barisan lawan.
“Celaka!”
mendadak Oey Yong berseru. Ia melihat di empat penjuru kurungan kodok besar
itu, sejumlah kodok besar itu mendekam, kawannya naik ke atasnya dan mendekam
pula, hingga mereka merupakan gundukan tinggi tiga kaki, kemudian di paling
atas, sejumlah kodok berlompat ke arah kodok hijau. Hebat serangan itu. Kodok
hijau jadi terbokong, banyak yang mati.
“Sayang…”
kata Oey Yong.
“Lihat!”
terdengar suara Kwee Ceng yang tangannya terus menunjuk.
Di
arah timur laut sejumlah kodok besar hijau bergerak, menuju ke belakang kodok
besar, untuk menyerang dari belakang.
Raja
kodok mendapat tahu bokongan musuh, dia mengirim barisannya, untuk memegat.
tapi kodok hijau itu tidak menghiraukan, di sebelah yang bertempur, yang lain
maju terus ke belakang pasukan musuh. Kodok besar jadi kacau tetapi mereka
tetap berkelahi.
Raja
kodok melihat barisannya tak dapat maju, ia berbunyi nyaring sekali, lantas ia
sendiri maju, untuk memegang pimpinan penyerbuan. Ia mengepalai barisannya sendiri, yang semua besar-besar dan romannya
bengis. Kodok besar ini bisa dengan sekali menggigit, menggigit mampus
musuhnya. Sebentar saja seekor kodok besar itu bisa mematikan belasan musuhnya.
Karena ini, kodok hijau terpaksa berkelahi sambil mundur.
Kawanan kodok besar itu maju merangsak.
Raja kodok berlompat, sekali lompat jauhnya setengah
tombak, tapi segara ia dikepung kodok hijau. Tapi hanya sejenak, dia lantas
dibantui barisannya.
Karena bergesernya tempat bertempur, orang pun menggeser,
untuk melihatnya lebih tegas. Oey Yong dan Kwee Ceng lompat turun, mereka
nelusup di antara orang-orang tani itu.
Kelihatan semua orang tani berduka, mereka pada menghela
napas.
Oey Yong heran, ia ingin mengetahui duduknya hal, maka ia
tanya seorang tua, kenapa kedua macam kodok itu saling bertempur.
Sebelum menjawab, orang itu mengawasi dulu hingga ia
mengenali orang adalah asing untuk desanya itu.
“Katak itu ada yang piara,” ia menerangkan, “Dan
dipelihara istimewa untuk menangkap kodok hijau.”
Oey
Yong heran. “Ah!” suaranya tertahan.
“Kami
orang tani, kami mengharapkan bantuannya kodok-kodok hijau itu untuk merawat
tanaman padi kami,” orang itu berkata pula, “Sekarang nampaknya kodok hijau
bakal kalah, maka di tempat sekitar sini, luasnya beberapa puluh lie, panen
kami tahun ini bakal gagal…..”
“Kalau
begitu, nanti aku bantu kamu,” kata Oey Yong. “Nanti aku hajar semua kodok
itu.”
Ia
merogoh ke sakunya, meraup jarumnya.
“Jangan,
nona,” berkata si orang tua perlahan, tanganya menarik ujung baju orang. “Telah
aku bilang, katak itu ada yang pelihara.” Ia menunjuk kepada rombongan orang
pakaian hitam yang bengis-bengis itu. “Merekalah si pemelihara katak itu. Kalau
kau ganggu katak mereka, buntutnya bakal hebat sekali. Nona cantik bagaikan
bunga, maka menurut aku, baiklah nona jangan berdiam lama-lama di sini, baik
kau lekas pergi!”
Oey
Yong tersenyum.
“Jumlah
kita banyak, takut apa?” Kwee Ceng pun berkata.
Orang tua itu menghela napas.
“Karena urusan kodok itu, tahun lalu kita pernah
bertempur sampai banyak yang terluka,” katanya. “Perkara telah jatuh ke tangan
pembesar negeri. Kesudahannya camat memutuskan, untuk selanjutnya biarlah katak
bertempur sama katak, di antara binatang, kita dilarang campur tahu, siapa
berani melanggar putusan itu, dia bakal di hukum berat.”
“Ah,
pembesar anjing!” mendamprat Kwee Ceng. “Bukankah itu terang-terang membantu
kawanan manusia jahat itu?”
“Memang.
Tapi camat dan mereka adalah sekawan. Camat cuma tahu menangkap kodok hijau
untuk dipakai memelihara ular, dia tidak menggubris rakyat mati atau hidup!”
Mendengar
itu keterangan hal menangkap kodok untuk memelihara ular, Kwee Ceng dan Oey
Yong heran betul. Ketika mereka mau menanya lagi, justru kaum petani itu lagi
berseru-seru girang.
Nyata
pertarungan katak itu membawa perubahan.
Kawanan
katak besar mengumpul diri di empang besar, mereka terdesak. Sejumlah kodok
hijau terjun ke air, mereka berenang ke belakang musuh, membantu menyerang dari
samping dan belakang. Katak hijau itu pandai sekali berenang. Sedang katak
besar itu tidak pandai memain di permukaan air. Mereka berdesakan, tak dapat
mereka bergerak dengan merdeka, banyak yang kecebur ke empang. Di dalam air,
mereka tidak bisa bertempur dengan hebat seperti di darat. Maka mereka jatuh di
bawah angin, banyak yang mati, bangkainya mengambang dengan perut putihnya di
atas.
Barisan
kodok besar itu menjadi kalut. Rajanya, bersama barisan pengawalnya, menerjang
kalang kabutan tanpa ada hasilnya.
Maka
orang-orang tani itu pada bersorak, ada yang berseru: “Panen kita tahun ini
ketolongan!”
Kwee
Ceng dan Oey Yong mengawasi semua sambil memperhatikan rombongan orang baju
hitam itu. Muka mereka menyatakan kegusaran mereka. Tiba-tiba di antara mereka
ada yang berseru, lalu belasan di antaranya membuka tutupnya korang mereka.
Begitu lekas korang-korang dibuka
tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular berbisa kecil dan besar, semua
merayap ke medan pertempuran katak itu, maka di dalam tempo yang pendek, mereka
telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok hijau itu memanglah makanan
mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat saking takutnya.
Kawanan
petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.
Seorang,
yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang berpakaian hitam itu, maju ke
depan orang-orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya: “Camat telah
memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsannya adalah adat kebiasaannya,
maka itu, selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa
kamu membikin banyak berisik?!”
Orang-orang
tani itu berteriak-teriak: “Kodok besar itu serta ular berbisa ini adalah kamu
yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu! Kami
melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati
kelaparan, mari semua mengadu jiwa!”
Orang
tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat goloknya
yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada
mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju
mendekati.
“Kamu
mau apa?” tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. “Apakah kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau berontak?!”
Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk
dengan lumpur dan batu.
Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di
antara mereka muncul dua orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu
memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan,
siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!
Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi.
Beberapa diantaranya kata: “Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda
dan berjalan kaki.”
Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri,
maka celakalah kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka
digiring masuk ke dalam korang.
“Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?” Kwee Ceng
berbisik.
“Coba tunggu sebentar lagi,” menyahut sang nona.
Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil
berteriak-teriak, mereka menggunai batu menimpuki rombangan ular itu, hingga
ada beberapa ular yang lantas mati.
Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka, beberapa
diantaranya maju untuk menyerang nocah-bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan,
yang lainnya lari kabur.
Bocah yang roboh itu kena dicekuk.
“Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat
susah payah!” katanya bengis. “Kau mesti dikasih rasa!”
Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan.
“Tolong tuan, tolong,” ia memohon, “Tolong lepaskan
anakku ini…”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak
yang mereka ajak bicara.
Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si
bocah, dengan tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya,
terus ia melemparnya balik hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam
rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas
laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan
senjata siap sedia.
Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada
orang tua dan wanita. Mereka lebii takut lagi ketika orang mengayun goloknya
untuk membacok, lekas-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.
Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia
digaplok, bajunya disobek, setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga
itu terulang belasan kali, hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan
tubuhnya pun telanjang. Ibunya menangis menjerit-jerit. Lupa segala apa, nyonya
itu merangsak maju untuk menolongi anaknya. Segera dia dipegangi dua orangn
laki-laki.
Laki-laki kejam tadi mengsaih dengar siulan nyaring, atas
itu beberapa ratus ular berbisa itu mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya,
semua mengawasi tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua orang
tani, pucat muka mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main, matanya mendelong
mengawasi ibunya. “Ibu…!” kemudian ia menjerit.
“Bangsat cilik, kalau kau bisa, kau larilah!” kata si
laki-laki bengis. Ia menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada
ibunya. Tapi di sini dia dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari
balik ke tempat kosong.
Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala, bersiul
pula, maka sekarang semua ular tadi, yang sudah sipa, lantas lari mengubar
bocah itu.
Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh
karena mendengar suara sa-sus riuh dari kawanan ular itu, yang semua mementang
mulutnya, mengsaih lihat ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam takutnya
ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih keras, ia lantas
hampir kena disusul.
“Anakku!” menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan
roboh.
Kawanan tani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju
menyerang ular, tetapi mereka dihalang-halangi kawanan orang yang berpakaian
hitam itu, yang membolang-balingkan goloknya dihadapan mereka.
Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap
dengan seraup jarumnya, hendak ia segera menyerang.
Sekonyang-konyang bocah itu tersandung, tubuhnya
terjatuh, maka itu ia lantas kena dicandak.
Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat.
Tepat ia hendak mengayun tangannya atau dari antara rombongan orang tani
terlihat dua orang melompat maju menghalang di depan si bocah, tangan mereka
diayunkan, menerbangkan empat bungkusan bubuk warna kuning, yang terus
menggaris di tanah, sedang hidung orang lantas membaui bau belerang. Segera
setelah itu, semua ular pada mundur sendirinya.
Kapan Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua
orang itu, ialah Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang
pernah ditemui di Poo-eng.
Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam
itu lantas berkata: “Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah
seumpama air kali tidak bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa tuan-tuan
sekarang memaksa maju sendiri membelai lain orang?”
Lee Seng memberi hormat.
“Bocah ini belum tahu apa-apa, maka itu aku si pengemis
tua memohon muka, sudilah dia diberi ampun,” sahutnya.
Si hitam itu melihat Lee Seng menggondol delapan kantung
goni, ia tahu orang ada dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan
lantas menanya: “Jikalau kau tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?”
Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru:
“Kamu berbuat jahat dan kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak
campur tahu?!”
Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata: “Aku mendengar
kabar kamu kaum Kay Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang
Lauw, di mana akan hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru,
apakah kau pengemis cilik mau menghina orang dengan mengandali jumlahmu yang
banyak? Hm! Aku khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat demikian!
Kamu katanya kaum yang pandai menangkap ular, coba aku lihat, apa kamu pandai
menangkap ular kami ini?”
Ie
Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat
maju, kedua tangannya menyambar masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor
ular, segera digentak kaget. Tulang ular bersambung bagaikan rantai, karena
dihentak kaget, tulang-tulang itu jadi seperti terlepas, maka itu, meski tidak
segera mati, kedua ular itu lantas tidak mampu menggeraki tubuh mereka. Itulah
ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa pengemis.
Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul
keras, maka itu ribuan ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang.
Ie Tiauw Hin boleh pandai menangkap ular tetapi
menghadapi ular demikian banyak, ia kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan
bubuk belerangnya.
Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si
hitam. Dia ini sendiri tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia
melihat ularnya tidak berani maju, lagi sekali ia bersiul.
Kali ini terjadilah pemandangan yang luar biasa.
Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula
ekornya oleh kawannya yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan
beberapa puluh potong rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam
berteriak, mereka berlompat ke arah kedua pengemis itu, yang mereka terus
kurung, hingga si bocah terkurung bersama.
“Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!” kata si hitam
menantang. “Kenapa kau diam saja?!”
Semua ular itu dongak mengawasi, siap untuk menerjang.
Muka
Lee Seng dan Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.
Si
hitam lantas berkata dengan jumawa, “Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak suka
mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk selama-lamanya
tidak akan menangkap ular kami pula, asal kamu memberikan buktinya - hm! Kami
tentu suka memberi ampun!”
Lee
Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus merusak tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka
tidak suka menyerah, tidak peduli keadaan ada sangat berbahaya. Mereka berdiri
tegak dan gagah.
Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata: “Asal aku
merangkap kedua tanganku ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah
beberapa ratus gigi yang beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk
memohon ampun?”
“Susiok, jangan kita mendatangkan malu!” kata Tiauw Hin.
Lee Seng tertawa. “Untuk apa mengatakan itu pula?”
sahutnya. Ia lantas perkeras suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang
itu: “Terima kasih banyak saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat,
hanya aku masih belum mengetahui nama saudara yang besar!”
“Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan
mata!” kata si hitam itu. “Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang
menyebutnya Hian-pwee-bong Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!”
Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas
terdengar suara tertawa halus nyaring disusuli ini kata-kata terang halus:
“Aha! Aku mengira siapa, tak tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua
bangka she Kiu!”
Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang
melihat seorang nona cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas.
Dialah Oey Yong kita. Maka heranlah Kiauw Thay.
Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia kata
pula: “Tiat Ciang Sui-siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku
kouw-nay-nay, maka itu kenapa kau tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?”
Dia minta dirinya dipanggil bibi dan bibi tua.
“Hai, bocah kau ngaco belo!” membentak si hitam. Di dalam
hatinya, tapinya ia heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar
gurunya.
Oey Yong tertawa dan berkata pula: “Anak-anak menerbitkan
onar di luaran, inilah aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya!
Bukankah kamu pun ada kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di Bu-leng?
Beberapa hari yang lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay telah membereskan
dia! Nah, apa katamu?”
Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang ada saudaranya
Kiauw Thay ini, dia menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya
mati baru tadi pagi, maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat
panas. Dia berduka berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar
membunuh saudaranya itu yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka
ratusan ularnya mengurung si nona.
“Siapakah
yang membinasakan camat Bu-leng?” Kiauw Thay membentak, “Lekas bilang!”
Oey
Yong tertawa manis.
“Dengan
sebenarnya akulah yang membinasakan dia!” dia menyahuti, berani. “Dia melawan
aku dengan menggunai Tok see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah tidak
mengenalnya jurusnya, seperti jurus ‘Jarum tawan’ dan ‘Mengangkat obor membakar
langit’” Ketika aku menotok jalan darahnya, jalan darah kiok-tie-hiat, pecahlah
kepandaiannya itu, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya, kie-bun
dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak bergeming lagi,
mirip lagaknya diwaktu hari-hari biasa dia dengan bengis memeriksa rakyat
negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung camat dan kantornya sampai ludas
menjadi abu, entah kena, dia tetap tidak keluar lagi dari kantornya itu!”
Kiauw
Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti lagi mendongeng
saja, demikian tenang, lancar dan rapi? Meski dia masih bersangsi, dia toh
memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan orang terlebih jauh. Maka
ia lantas berseru: “Loo Sam, Loo Su, bekuklah budak ini!”
Dua
orang lantas maju, dengan goloknya mereka menyingkirkan ular-ular yang
mengurung itu, setelah datang dekat dengan empat tangan, mereka menjambret
pundaknya si nona.
Oey
Yong tertawa melihat lagak orang, “Loo Sam, Loo Su, kau rebahlah!” ia kata.
Sebat luar biasa, ia mendak, lalu tubuhnya melesat ke belakang orang. Belum dua
orang itu tahu apa-apa, punggung mereka sudah dicekal, lalu dtitolak keras satu
sama lain, maka di antara suara beradu keras, kepala mereka bentrok hingga
tubuh mereka terhuyung, lalu roboh di tanah!
Orang-orang
tani itu sebenarnya lagi ketakutan akan tetapi menyaksikan robohnya dua jago
itu, mereka heran dan kagum hingga mereka tertawa.
Kiauw
Thay murka bukan main, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan memasuki dua
jerijinya ke dalam mulutnya. Ia hendak bersuit, guna mengasih perintah kepada
ularnya untuk menyerbu. Atau dia didahuli dengan suara kuk-kuk-kuk tiga kali,
lalu di tangannya Oey Yong terlihat seekor burung merah, sebab burung apinya
itu ia telah masuki ke dalam tangan bajunya.
Dengan
mengasih dengar suaranya, burung api itu pun lantas mengasih keluar bau
harumnya, yang segera seperti memenuhi ladang itu, kapan semua ular dapat
mencium bau itu, semuanya menjadi bergerak dengan kacau, akan akhirnya pada
rebah diam saja, sejumlah di antaranya lantas terlentang, mengasihkan perutnya
untuknya untuk di patuk!
Hiat-niauw
pun tidak sungkan-sungkan, dia berlompat maju, dia mematuk setiap perut, hingga
sebentar saja dia sudah makan nyalinya tujuh ekor ular. Dia sudah kenyang
tetapi dia masih mematuki perut ular lainnya!
Kiauw
Thay kaget dan gusar, habislah sabarnya. Ia mengeluarkan tiga batang
kong-piauw, dua batang ia timpuki kepada burung api itu dan satunya kepada si
nona!
Oey
Yong memakai baju lapisnya, ia tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia
itu ke tubuhnya, sedang hiat-niauw, melihat datangnya serangan itu, berlompat
untuk menyampok hingga kedua kong-paiuw jatuh di tanah, kemudian ia terbang
gesit menyampok jatuh piauw yang mengarah si nona.
Bukan
main girangnya Oey Yong mendapatkan burungnya itu mengerti dan dapat membela
majikan. Ia lantas menuding si hitam itu serta kawan-kawannya, ia berkata:
“Mereka itu orang-orang jahat, patuklah biji mata mereka!”
Burung
api itu terbang meleset, tubuhnya yang merah berkelebat mirip api, atau segera
satu orang menjerit kesakitan, lantas diturut oleh beberapa orang yang lain.
Sebab seperti tanpa merasa lagi, mata mereka telah kena dipatuk burung itu!
Saking
takutnya, semua orang itu lari serabutan, sedang yang matanya terpatuk pada
menjatuhkan diri, untuk merayap atau bergulingan, guna melarikan diri. Hingga
dilain saat, habislah mereka, tinggal kodok dan ular mereka, maka kedua
binatang itu lantas diserbu ramai-ramai oleh kawanan orang tani itu. Ketika
kemudian mereka hendak menghanturkan terima kasih kepada Oey Yong dan Kwee
Ceng, muda-mudi itu dengan tidak banyak omong telah pergi jauh.
Juga
Lee Seng dan Ie Tiauw Hin hendak menemui sepasang anak muda itu tetapi mereka
telah ditinggal kabur kuda merah yang larinya pesat.
Oey
Yong girang bukan main atas kesudahannya perbuatannya itu, maka itu malam,
selagi singgah, ia menyalakan api, ia membiarkan hiat-niauw mandi dengan
gembira.
Besoknya
pagi, tibalah mereka di Gakciu. Mereka berjalan kaki, kuda mereka dituntun.
Langsung mereka menuju ke lauwteng Gak Yang Lauw. Mereka memandangi keindahan
telaga Tong Teng Ouw di tepi mana lauwteng itu dibnagun. Luas tenaga itu,
jernih airnya. Di sekitarnya adalah rentetan gunung, keindahan dan keangkeran
telaga itu beda lagi dengan keindahan dan keangkeran telaga See Ouw. Masakan
Ouwlam kurang cocok bagi lidah mereka, sudah rasanya pedas, juga mangkoknya
lebih besar dan sumpitnya lebih panjan.. Di empat penjuru tembok mereka melihat
banyak tulisan orang-orang pandai, yang pernah naik di lauwteng ini untuk
bersantap atau minum. Di antaranya ada syairnya Hoan Tiong Am tentang kedukaan
dan kegirangan, yang datangnya duluan dan belakangan.
Mereka
lantas membicarakan Hoan Tiong Am itu, yang pintar dan gagah, yang pernah
menjagoi di See Hee, tetapi semasa kecilnya dia miskin, ayahnya mati muda,
hingga ibunya menikah lagi pula, hidupnya sengsara, maka setelah hidup
berpangkat dan berbahagia, dia tetap memperhatikan nasib rakyat jelata. Itu pula sebabnya mengapa ia menulis syairnya itu lebih dulu menderita,
lalu bergembira.
“Demikian juga dengan bangsa orang gagah!” kata Kwee Ceng
kemudian seraya menenggak araknya.
“Dia
memang orang baik,” kata Oey Yong tertawa. “Cumalah di dalam dunia ini,
kedukaan lebih banyak, daripada kegembiraan. Aku tidak mau hidup seperti dia!”
Kwee Ceng tersenyum, dia diam saja.
“Engko Ceng, aku tidak pedulikan kedukaan atau kesenangan
itu!” kata si nona kemudian. “Hanya kalau kau tidak gembira, hatiku pun tidak
senang…” Kata-kata ini dikeluarkan perlahan, alisnya pun mengkerut.
Kwee Ceng ingat nona itu tentulah mengingat hubungan di
antara mereka, maka dia pun masgul, dia tidak dapat menghibur, dia tunduk dan
berdiam saja.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya dan tertawa.
“Sudahlah, engko Ceng!” katanya. “Eh, ya, tahukah kau
syair Hoan Tiong Am yang berjudul ‘Mencukil lampu perak’?”
“Aku tidak tahu. Cobalah kau membacakannya untuk aku
dengar?”
Oey Yong membacakan bagian bawah syair itu: “Orang hidup
tidak seratus tahun, maka jangan tolol, kalau tua, lantas layu. Hanya di bagian
usia pertengahan, itu sedikit tahun, harus dapat menahan hati. Kedudukan
tinggi, banyak uang dan rambut putih, bagaimana itu dapat dihalaunya?”
“Kalau begitu,” kata Kwee Ceng nyaring, “Itulah
nasehatnya supaya orang jangan menyia-nyiakan waktu, jangan cuma mengejar nama
besar, kenaikan pangkat dan harta!”
Oey Yong pun berkata pula, perlahan: “Arak masuk ke dalam
usus berduka, berubah menjadi air mata kenangan….”
“Apakah itu pun syair Hoan Tiong Am?” tanya Kwee Ceng,
mengawasi si nona.
“Ya. Orang besar dan orang gagah bukannya tidak mempunyai
perasaan,” kata si nona, yang terus tertawa. Ia menanya: “Engko Ceng, bagaimana
kau lihat caranya aku menghadapi murid-murid jahat dari Tiat Ciang Pang itu?
Tidakkah itu memuaskan?”
“Memang!” jawab Kwee Ceng bertepuk tangan.
Demikian mereka bersantap, minum dan bicara dengan asyik
dan merdeka, seperti di situ tidak ada lainnya orang lagi. Kemudian Oey Yong
menyapu kelilingnya. Ia melihat di arah timur ada tiga orang tua dengan
dandanan sebagai pengemis, bajunya banyak tambalannya tetapi berseih. Tentulah mereka orang
penting dari Kay Pang, yang hendak menghadari rapat besar kaumnya. Yang lainnya
ialah orang dagang atau orang biasa saja.
“Sebenarnya
Tiat Ciang Pang itu kumpulan apa?” kemudian kata si nona perlahan. “Kenapa
mereka itu sama dengan See Tok paman dan keponakan, mereka memelihara ular?”
“Entahlah,”
sahut Kwee Ceng. “Kalau mereka semua sama dengan Kiu Cian Jin si tua bangka,
mereka tentu tidak bisa membangun apa-apa yang besar…”
Kata-kata
itu belum habis dikeluarkan ketika si atasan kepala mereka terdengar suara
orang tertawa terbahak sambil berkata dengan suara angker: “Sungguh mulut
besar! Sampai pun ‘Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si orang she Kiu tua’, tidak
dilihat mata!”
Oey Yong terkejut, ia lompat mundur beberapa tindak, baru
dia dongak.
Di atas penglari ada duduk nagkring seorang pengemis tua
yang kulitnya hitam legam, bajunya sangat butut, tetapi dia mengaawasi dengan
tertawa haha-hihi.
Kwee Ceng telah menduga kepada orang Tiat Ciang Pang,
setelah melihat ia berhadapan sama pengemis, hatinya menjadi sedikit lega,
apapula orang nampaknya tidak mengandung maksud jahat. Ia lantas memberi hormat
seraya berkata: “Locianpwee, silahkan turun untuk minum barang tiga gelas arak?
Sudikah?”
“Baik!” menyahut pengemis itu, yang lantas menjatuhkan
diri, hingga ia mendeprok di papan lauwteng yang debunya mengepul. Setelah
menepuk-nepuk kempolannya ia merayap bangun.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran bukan main. Orang bisa ada
di atas mereka tanpa bersuara, mereka menduga orang berkepandaian tinggi,
tetapi orang jatuh terbanting begitu rupa, agaknya sangat berat tubuh orang,
itulah bukan tandanya orang lihay.
“Silahkan
minum!” Oey Yong mengundang. Ia menyuruhnya pelayan menambahkan cangkir arak,
mangkok dan sumpit. Ia pun mengisikan cangkir.
“Pengemis
tua tak tepat duduk di kursi,” kata pengemis itu, yang lantas duduk mendeprok
di lantai, sedang dari kantungnya ia mengeluarkan sebuah mangkok jonges serta
sepasang sumpit bambu. Ia pun kata: “Sisa arak dan sayur yang kamu telah makan,
kasihlah itu padaku!”
“Itulah
perbuatan tak hormat dari kami, locianpwee,” berkata Kwee Ceng. “Apa yang
locianpwee hendak dahar, bilang saja, suruh pelayan menambahkan!”
“Pengemis
ada macamnya si pengemis,” kata orang tua itu, “Kalau pengemis cuma nama tapi
tak tepat sama artinya, cuma berpura-pura saja, buat apa dia menjadi pengemis?
Jikalau kamu sudi mengamal, nah, kasihlah, jikalau tidak, aku bisa pergi
mengemis ke lain tempat…”
Dua-dua
muda-mudi itu heran tetapi Oey Yong melirik kawannya, lalu ia berkata sambil
tertawa: “Locianpwee benar!” Maka ia lantas sisihkan sisa sayur mereka, ia
menuangnya ke mangkok butut itu.
Si
pengemis merogoh ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan nasi dingin, yang mana ia
campur sama sisa sayur, terus ia dahar, nampaknya ia bernafsu sekali.
Oey
Yong yang cerdik diam-diam menghitung kantung di punggug orang, semuanya susun
tiga, setiap susunnya terdiri dari tiga buah, maka itu ada sembilan kantung.
Ketika ia berpaling kepada ketiga pengemis lain, mereka pun mempunyai
masing-masing sembilan kantung. Yang beda ialah mereka itu bertiga di depannya
tersajikan banyak macam sayur pilihan. Mereka itu agaknya tidak memperdulikan
pengemis yang satu ini, mereka tidak sudi berpaling atau melirik, cuma pada
paras mereka tampak samar-samar roman tak puas.
Tengah
si pengemis bersantap dengan bernafsu, di tangga lauwteng terdengar tindakan
kaki. Kwee Ceng lantas berpaling. Maka terlihat olehnya naiknya dua pengemis,
ialah pengemis kurus dan gemuk yang di Gu-kee-cun, Lim-an menemani Yo Kang.
Bahkan di belakang mereka terlihat Yo Kang sendiri. Hanya dia itu, begitu dia
melihat si orang she Kwee, dia melongo, lekas dia turun pula. Entah dia berbicara apa sama si pengemis gemuk, maka di gemuk itu ikut dia
turun. Si pengemis kurus maju terus, ia menghampirkan pengemis yang tiga itu
yang makannya royal, dia bicara berbisik-bisik. Atas itu, ketiga pengemis itu
berbangkit, mereka membayar uang makan, lantas mereka berlalu bersama si kurus
itu.
Si pengemis yang dahar sambil duduk mendeprok dan makan
sisa, terus tidak menghiraukan sepak terjang beberapa rekannya itu.
Oey
Yong berjalan ke jendela, untuk melongok ke bawah. Ia melihat belasan pengemis
mengikuti Yo Kang ke barat. Jalan belum jauh, pemuda she Yo itu menoleh ke
belakang. Maka tepat sinar matanya bentrok sama sinar matanya Oey Yong. Dia
agaknya terkejut, segera ia mempercepat tindakannya, selanjutnya dia tidak
berpaling lagi.
Pengemis tua itu lantas dahar habis. Ia menjilati
mangkoknya san sumpitnya disusuti kepada bajunya, semua itu lantas dimasuki ke
dalam kantungnya. Diam-diam Oey Yong mengawasi. Ia melihat sinar kedukaan pada
kulit muka orang yang berkeriputan. Aneh adalah tangannya, yang jauh lebih
besar daripada tangan kebanyakan orang lain, sedang belakang tangannya penuh
dengan otot-otot besar, suatu tanda dari penghidupan besart.
“Cianpwee, silahkan duduk!” berkata Kwee Ceng seraya
memberi hormat. “Dengan berduduk, leluasalah kita berbicara.”
Pengemis itu tertawa.
“Aku tidak biasa duduk di bangku!” katanya. “Kamu berdua
ada murid-muridnya Ang Pangcu, meskipun usia kamu lebih muda, kita adalah sama
derajatnya, cuma aku lebih tua beberapa puluh tahun, kau panggilah aku toako.
Aku she Lou, namaku Yoe Kiak.”
Oey Yong tertawa.
“Toako, namamu menarik hati!” katanya. Yoe Kiak itu
berarti “ada kaki”
Pengemis itu berkata: “Orang biasa membilang, orang
miskin hidup tanpa tongkat dia diperhina anjing, tetapi aku tidak mempunyai
pentung, aku mempunyai sepasang kakiku yang bau ini, kalau anjing berani
menghina aku, akan aku mendupak dia pada kepalanya, supaya dia terkuwing-kuwing
dan kabur sambil menggoyang-goyang ekornya.”
Oey Yong bertepuk tangan. “Bagus, bagus!” serunya, “Kalau
anjing mengetahui namamu, tentulah siang-siang dia sudah lari jauh-jauh!”
“Tadi pagi aku telah bertemu sama saudara Lee Seng,”
berkata Yoe Kiak, yang lantas bicara secara sungguh-sungguh, “Dari dia aku
mendapat ketahui perbuatan kamu di Poo-eng dan Gakciu. Maka benarlah orang
bilang, kalau ada semangat, bukan cuma karena usia tinggi, siapa tanpa
semangat, percuma usianya lanjut!”
Kwee Ceng berbangkit untuk merendahkan diri untuk
mengucapkan terima kasih atas pujian itu.
“Barusan kamu bicara tentang Tiat Ciang Pang,” berkata
Lou Yoe Kiak, “Agaknya mengenai mereka itu, kamu belum mengetahui jelas.”
“Benar. Justru itu, aku mohon petunjuk,” sahut Oey Yong.
“Tiat Ciang Pang itu, untuk Ouwlam dan Ouwpak dan Sucoan,
pengaruhnya sangat besar,” menerangkan si pengemis tua, “Anggota-anggotanya
suka membunuh orang dan merampok, tak ada kejahatan yang tak dilakukan mereka.
Mulanya mereka cuma bersekongkol sama pembesar negeri setempat, kemudian mereka
jadi semakin berani, kecuali bersekongkol mereka pun menempel pembesar
berpangkat tinggi dan main sogok hingga ada diantaranya yang memangku pangkat.
Yang paling menyebalkan ialah mereka bersekongkol sama negeri Kim, mereka
melakukan perbuatan hina sebagai pengkhianat. Maka tepatlah hajaran kamu kepada
mereka itu.”
“Kabarnya kepala Tiat Ciang Pang ialah Kiu Cian Jin,”
berkata Oey Yong. “Tua bangka itu paling pandai memperdayakan orang. Kenapa dia
jadi demikian berpengaruh?”
“Kiu Cian Jin itu sangat lihay, nona,” berkata Yoe Kiak,
“Aku harap kau tidak memandang enteng kepadanya.”
Oey Yong tertawa. “Apakah kau pernah bertemu dengannya?”
dia menanya
“Bertemu, itulah belum. Aku mendapat kabar dia tinggal
bersembunyi di atas gunung, di mana dia meyakinkan tangan beracun yang
dinamakan Ngo-tok Sin-ciang. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak turun
gunung….”
“Kau terpedayakan!” kata Oey Yong tertawa. “Aku telah
bertemu dengannya beberapa kali, bahkan kita pernah bertempur juga. Kau bilang ia
meyakinkan Ngo-tok Sin-ciang? Ha ha ha…!” Dan dia tertawa geli mengingat
ngacirnya Kiu Cian Jin, sambil tertawa ia mengawasi Kwee Ceng.
“Apakah
yang disandiwarakan itu Kiu Cian Jin itu,” kata pula Yoe Kiak, tetap
sungguh-sungguh, “Aku tidak tahu, tetapi benar sekali selama beberapa tahun
kemarinkan Tiat Ciang pang maju sangat pesat, dia tidak dapat dipandang
enteng.”
“Lou
Toako benar,” kata Kwee Ceng. Yang khawatir pengemis itu menjadi tidak senang,
“Memang Yong-jie gemar bergurau…”
“Ah,
kapannya aku bergurau?” berkata si nona tertawa, “Aduh, aduh! Perutku sakit…!”
dan dia beraksi mirip dengan tingkah lakunya Kiu Cian Jin baru-baru ini, ketika
ia berpura-pura sakit perut untuk lari membuang air besar tetapi akhirnya kabur
dengan tipu tonggeret meloloskan kulit.
Mau
tidak mau, Kwee Ceng tertawa menyaksikan nona itu menekan-nekan perutnya.
Melihat
kawannya tertawa, Oey Yong berhenti tertawa. Ia pun mengubah sikap.
“Loa
Toako,” tanyanya, “Apakah kau kenal ketiga tuan tadi yang bersantap di meja
itu?”
Ditanya
begitu, Yoe Kiak menghela napas.
“Kamu
bukan orang luar, hendak aku bicara dengan sebenar-benarnya,” sahutnya
kemudian. “Pernahkah kamu mendengar keterangan Ang Pangcu bahwa partai kita
terbagi dalam dua cabang, ialah cabang Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil?”
“Belum, belum pernah kita mendengar keterangan itu,”
sahut kedua muda-mudi itu.
“Suatu partai terpecah dalam dua cabang, itulah
sebenarnya tidak bagus,” kata pula Yoe Kiak. “Mengenai itu, Pangcu tidak puas,
akan tetapi dia telah berdaya sekuatnya untuk mempersatukan, dia tidak berhasil
juga. Kay Pang dibawah Ang Pangcu mempunyai empat tiangloo.”
“Ya, tentang itu pernah aku mendengarnya. Suhu pernah
bercerita.”
Meski masih muda, karena Ang Cit Kong masih hidup, Oey
Yong tidak segera menjelaskan bahwa ia telah ditugaskan Pak Kay untuk menjadi
pangcu.
Lou Yoe Kiak mengangguk perlahan.
“Akulah tiangloo yang kedua,” dia berkata. “Tiga orang
tadi juga berkedudukan sebagai tiangloo.”
“Aku mengerti,” kata Oey Yong lekas, “Kau dari cabang
Pakaian Dekil, mereka dari Pakaian Bersih.”
“Eh, mengapa kau ketahui itu?”
“Lihat saja pakaianmu, Lou Toako! Pakaianmu kotor tetapi
pakaian mereka bersih sekali. Lou Toako, hendak aku omong terus terang, bajunya
cabang Pakaian Dekil itu hitam dan bau, pasti tidak menyenangkan, maka kalau
kau mencuci bersih pakaianmu, bukankah kedua cabang lantas menjadi satu?”
“Kaulah anaknya orang hartawan, pasti kau jemu terhadap
pengemis,” kata Yoe Kiak sambil ia berjingkrak bangun berdiri.
Kwee Ceng hendak menghanturkan maaf tetapi orang lantas
ngeloyor pergi, kelihatannya ia mendongkol sekali.
Oey Yong mengulur lidahnya.
“Engko Ceng, jangan kau menegur aku,” katanya.
Kwee Ceng tertawa.
“Sebenarnya aku berkhawatir,” kata Oey Yong.
“Kenapa?” pemuda itu tanya.
“Aku berkhawatir Lou Yoe Kiak nanti mendupak padamu.”
“Tidak karu-karuan dia mendupak aku, kenapa?”
Si nona memainkan mulutnya, ia tertawa, ia tidak
menjawab.
Kwee Ceng menjadi berpikir. Ia benar tidak mengerti.
Oey Yong menghela napas.
“Ah, engko tolol,” katanya. “Kenapa kau tidak hendak
memikirkan namanya itu?”
Sekarang
Kwee Ceng sadar.
“Bagus
ya!” katanya. “Dengan memutar kau memaki aku bagaikan anjing!” Ia lantas
berbangkit, tangannya diulur, untuk mengitik, atas mana, Oey Yong tertawa dan
berkelit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar