Bab 35. Main gundu.......
Pek Thong dongak mengawasi
langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang hatinya Kwee Ceng, ia
khawatir ia nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu.
Pek
Thong menghela napas.
“Mengapa
kau dapat memikir demikian?” tanyanya kemudian.
Adik
angkat itu menggeleng kepala.
“Aku
sendiri tidak tahu,” jawabnya. “Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai
banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan
saja.”
“Kau
benar, alasanmu pun sederhana sekali,” bilang Pek Thong, “Cumalah aku itu waktu
tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah membilangi aku bahwa aku
berbakat baik dan ulet, tetapi akuüun terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku
kekurangan sifat wales asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku
rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak
percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat
prikemanusiaan? Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun,
barulah aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku,
tetapi dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang daripada aku, maka itu
dibelakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang
suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan
kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar….”
Mengingat
kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong menangis sedih sekali.
Ia mendekam di batu.
Kwee Ceng menjadi terharu.
Setelah
menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya.
“Ah,
ceritaku belum berakhir,” katanya. “Nanti habis bercerita, aku boleh menangis
pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak membujuki aku
supaya aku jangan menangis?”
Aneh
benar kakak angkat ini, Kwee
Ceng tertawa.
“Koko
bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu,” katanya. Pek
Thong menepuk pahanya.
“Benar!”
ia berseru. “Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku minta suko
memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadap aku! Maka
semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula. Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan
menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, atau lebih
benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang.
Keras
suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng
menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan
gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.
“Suko
tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa mengenai partainya
dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-keng itu,”
Pek thong melanjuti ceritanya. “Ia pun menitahkan menyalakan api di perapian,
ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, ia
mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, ‘Inilah hasil cape hatinya
cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku? Air itu dapat menampung
perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah dilihat, bagaimana
orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab ini. Cuma orang-orang
partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai
orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku sekaker’. Habis berkata
begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum
sampai jam tiga, terjadilah onar….”
Kwee Ceng terkejut hingga ia
berseru: “Oh…!”
“Malam
itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani jenazah,” Pek
Thong melanjuti pula. “Tepat tengah malam, musuh datang menyerbu. Semua mereka orang-orang
lihay. Ketujuh murid itu memecah diri untuk menyambut serangan. Untuk mencegah
musuh bisa merusaki jenazah gurunya, semua muridnya itu memancing musuh keluar
kuil. Aku sendiri yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba aku mendengar bentakan
dari luar kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh itu mengancam hendak
membakar kuil. Aku melongok keluar, aku mengeluarkan peluh dingin. Aku melihat
seorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lihay daripada aku dalam hal enteng
tubuh. Walaupun demikian, terpaksa aku melawan dia. Aku berlompat keluar. Di atas pohon itu kita bertempur sampai kira-kira
empatpuluh jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun daripada aku tetapi ia
lihay dan telangas. Aku melawan keras dengan keras. Akhirnya pundakku kena
dihajar dia, aku terjatuh dari atas pohon….”
Kwee Ceng heran.
“Suko
sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan dia. Siapakah dia
itu?”
“Cobalah
kau terka, dia itu siapa?” Pek Thong membaliki.
Kwee Ceng berpikir sejenak.
“See
Tok!” sahutnya.
“Eh,
mengapa kau mengetahuinya?” tanya sang
kakak heran.
“Sebab
adikmu berpikir, orang yang terlebih lihay daripada toako adalah cuma mereka
berlima yang mengadu pedang di Hoa San,” menerangkan Kwee Ceng.
“Guruku Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya
adalah hongya, satu raja, mesti ia menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari
Tho Hoa To itu adikmu tidak kenal baik tetapi melihat romannya, dialah bukan
satu manusia rendah yang suka menyerang orang yang lagi dirundung malang!”
Baru Kwee Ceng menutup mulutnya,
dari dalam pepohonan yang lebat terdengar suara bentakan: “Binatang cilik, kau
masih mempunyai matamu!”
Hanya
dengan sekali mencelat, Kwee
Ceng sudah tiba di tempat darimana
suara itu datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi heran
sekali.
“Adik,
mari kembali!” Pek Thong memanggil.
“Itulah Oey Lao Shia, dia sudah pergi jauh!”
Kwee Ceng kembali kepada kakak
angkatnya itu.
“Oey
Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut barisan
rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw,”
Pek Thong mengulangi.
“Cu-kat
Bu Houw?”
“Benar,”
menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. “Oey Lao Shia itu sangat cerdas,
dia pandai main tetabuan, main catur dan menulis surat indah dan menggambar, dia juga mengerti
obat-obatan dan ilmu alam, tak terkecuali ilmu pertanian serta ilmu memeriksa
keletakan tempat yang indah. Juga ia paham ilmu perusahaan dan ilmu perang.
Pendeknya, tidak ada ilmu yang ia tidak paham, maka sayang sekali jalannya
sesat. Kalau dia mondar-mandir di tamannya ini, lain orang tidak akan dapat
menyusul atau mencari padanya.”
Kwee Ceng berdiam, ia kagum
memikirkan kepandaian Oey Lao Shia itu.
“Toako,
bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?” ia tanya
kemudian.
“Bagus!”
Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. “Kali ini kau tidak lupa menyadarkan
aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku merasakan sakit hingga ke ulu
hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi melihat ia menerbos ke dalam, aku
paksakan mengejar. Di depan meja
jenazah suko, dia sambar kitab Kiu Im Cin-keng. Aku bingung bukan main, sudah
aku kalah, di situ pun tak ada lain orang. Justru itu mendadak aku mendengar
satu suara keras, lantas terlihat tutup peti mati berlubang, hancuran kayunya
berhamburan…”
Kwee Ceng kaget.
“Apakah
dia menghajar rusak peti mati Ong
Cinjin?” dia menanya.
“Oh,
tidak, tidak!” menyahuti Pek Thong lekas. “Adalah suko sendiri yang menhajar
tutup petinya itu.”
Kwee Ceng heran bukan main. Ia
seperti mendengar dongeng dari kitab San Hay Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya
itu dengan mulut celengap.
“Apakah
kau pikir?” sang kakak angkat tanya.
“Apakah suko terbangun arwahnya? Apakah dia hidup pula? Bukan, semuanya itu
bukan! Suko hanya pura-pura mati!”
Kwee Ceng berseru pula,
“Pura-pura mati?” ia mengulangi.
“Benar!
Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah ketahui See Tok senantiasa
berkeliaran di luar kuilnya, untuk menanti begitu lekas ia meninggal dunia,
hendak ia merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu. Maka itu, malam itu, suko
berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko dapat menahan jalan
napasnya. Kalau ia membuka rahasia pada semua muridnya, pasti mereka tidak akan
sangat berduka. Bukankah See Tok sangat licin? Dari itu ia menutup rahasia.
Habis menggempur tutup peti mati, suko meloncat keluar untuk terus menotok See
Tok dengan totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat
tegas dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa berlompat keluar
dari peti mati. Dia memangnya jeri
terhadap suko, sekarang ia kaget, tidak sempat ia membela diri. Maka ia terkena
totokan It-yang-cie pada alisnya, dengan begitu pecahnya ilmu yang dinamakan
‘Kap Moa Kang’, atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke Wilayah Barat,
kabarnya tidak pernah dia datang pula ke Tionggoan. Suko tertawa panjang, terus
ia duduk bersemadhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunai It-yang-cie,
Telunjuk Matahari, suko telah menggunai tenaga terlalu banyak, maka aku tidak
ganggu padanya, aku hanya lari keluar untuk menyambut ketujuh muridnya, untuk
memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku itu mendapat tahu gurunya
belum menutup mata, girangnya bukan kepalang, semua lantas lari pulang. Hanya
ketika mereka jadi kaget sekali, semua mengeluh kecele….”
“Apakah
yang sudah terjadi?” memotong Kwee
Ceng heran.
“Tubuh
suko rebah miring, wajahnya beda daripada biasanya,”
menyahut Pek Thong. “Aku lantas menghampirkan dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh
itu dingin bagaikan es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka. Kita
lantas melaksanakan pesan suko, ialah kitab dipecah menjadi dua, bagian atas
dan bagian bawah. Suko ingin, kalau kitab sampai lenyap tercuri orang, tidaklah
tercuri semaunya. Aku yang menyimpan bagian atas, lalu bagian bawah aku bawa ke
sebuah gunung kesohor di selatan. Aku hendak menyembunyikan itu ketika di
tengah jalan aku bertemu dengan Oey Lao Shia….”
“Oh!”
berseru Kwee
Ceng kaget.
“Oey
Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu beberapa
kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya itu waktu dia
tengah bersama pengantin barunya…”
“Tentulah
dia itu ibunya Yong-jie,” berpikir si anak muda. “Apa sangkutannya dia dengan
kitab itu….?”
“Aku
mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia itu, maka untuk memberi
selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk berjamu. Aku pun
menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudha menghajar Auwyang Hong.
Mendengar ceritaku itu, istrinya Oey Lao Shia minta pinjam lihat kitab itu. Dia
mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, dia mau melihat saking ingin tahu
saja. Dia ingin melihat kitab yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak
ahli silat kenamaan. Oey Lao Shia sangat menyintai istrinya itu, tak ingin ia
menolak keinginan orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata
padaku, ‘Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda
sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia
melihat.lihat. Ada
apakah halangannya? Jikalau aku sendiri, melirik saja kitabmu itu, aku nanti
korek biji mataku untuk diserahkan padamu!’ Oey Lao Shia ada satu jago, pasti
aku percaya padanya, tetapi kitab itu sangat penting, terpaksa aku menggoyangi
kepala terhadapnya. Dia menjadi tidak senang, dia kata, ‘Mustahil aku tidak
menginsyafi kesulitanmu? Kalau kau memberi lihat pada istriku ini, satu kali
saja, nanti akan datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay!
Jikalau kau tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat!
Dengan pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ‘ Aku mengerti
maksudnya itu. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak
mengganggu aku tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok dan Khu Cie
Kee semua. Dia lihay sekali,
sungguh berbahaya kalau-kalau ia sampai bergusar. Maka itu aku kata padanya;
‘Oey Lao Shia, jikalau kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu carilah aku
Loo Boan Tong Ciu Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala keponakan itu?’
Istrinya itu tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan julukanku Loo Boan
Tong itu, ia lantas berkata, ‘Ciu
Toako, kau gemar sekali berkelakar!
Baiklah kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang kitab
mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!’ Ia menoleh kepada Oey Lao Shia
untuk berkata terus; ‘Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah kena dirampas si
orang she Auwyang, maka itu Ciu
Toako tidak sanggup melihat
padaku. Maka juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga boleh-boleh dia menjadi
hilang muka?’ Oey Lao Shia tertawa, dia kata; ‘Kau benar! Eh, Pek Thong,
marilah, mari aku membantu kau mencari
si tua bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!”
“Kalau
begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya,” Kwee Ceng
berpikir. Ia lantas memotong: “Mereka itu tengah memancing kemendongkolan kau,
toako!”
“Itulah
aku ketahui,” kata Pek Thong. “Hanya aku pun tidak mau mengalah. Maka itu aku
kata padanya, ‘Kitab itu ada paku sekarang! Pula tidak ada halangannya untuk memberi
lihat itu pada engso! Tapi kau tidak memandang muka padaku, kau membilangnya
aku tidak sanggup melindungi kitab itu, itulah aku tidak mengerti. Coba kau
jelaskan, apakah syaratmu?’ Oey Lao Shia tertawa, dia kata; ‘Kalau kita
bertempur, kita jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku
pikir baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main…!’
Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk tangan dan
mengatakan: ‘Bagus, bagus! Baiklah berdua kau mengadu gundu!’”
Mendengar
itu Kwee Ceng tertawa.
“Main
gundu adalah kepandaianku,” kata Pek Thong. “Maka itu aku menjawab; ‘Mengadu
gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!’ Nyonya Oey
itu tertawa, ia kata: ‘Ciu
Toako, jikalau kau kalah, kau
kasih lihat kitab itu padaku? Jikalau kau yang menang, kau menghendaki apa?’.
Atas kata-kata istrinya, Oey Lao Shia membilang, ‘Coan Cin Kauw ada mempunyai mustika, mustahil Tho
Hoa To tidak?’. Ia terus membuka buntalanny adan mengeluarkan serupa barang
hitam, semacam baju yang ada durinya. Coba bade, barang apakah itu?”
“Itulah
Joan-wie-kah, baju lapis duri,” sahut Kwee Ceng.
“Oh,
kiranya kau tahu itu?” kata kakak angkat ini. “Oey Lao Shia kata padaku. ‘Pek
Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk melindungi dirimu, hanya
kalau dibelakang hari kau menikah sama si bocah wanita nakal dan dia melahirkan
bocah yang nakal, kalau bocah nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya
bukan kepalang! Jikalau kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!’
Aku menjawab, ‘Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini
sangst kesohor di dalam kalangan Rimba Persilatan,
kalau aku mengenakannya, pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah
diketahui, tocu dari Tho Hoa To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong di Bocah
Tua Nakal!’ Lantas
Nyonya Oey
memotong aku, katanya: ‘Kau jangan omong saja! Sekarang mulailah kamu berdua!’
Sampai disitu cocoklah sudah. Lantas kita mulai. Kita memegang masing-masing
sembilan biji gundu, kita membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang
siapa yang gundunya masuk paling dulu.”
Mendengar
itu Kwee Ceng mennjadi ingat kepada halnya tempo sendiri bersama Tuli, saudara
angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka itu ia bersenyum.
“Gundu
itu aku selalu sediakan di sakuku,” Pek Thong berkata pula. “Bertiga kita pergi
ke luar, ke latar. Selagi keluar aku perhatikan gerak-gerik istrinya Oey lao
Shia, aku dapat kenyataan dia benar tidak mengerti ilmu silat. Akulah yang
membuat lubang di tanah, lalu aku menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal
menggunai senjata rahasia. Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang
daripada aku, tetapi dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang
yang istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa keluar pula.
Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan begitu gundu
jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao Shia menyentil,
tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk, ketiganya lompat pula
keluar. Aku telah memasuki lima
biji, semuanya tidak keluar lagi. Oey Lao Shia lihay, ia mencoba menyusul
tetapi gagal. Kembali satu gunduku masuk. Aku girang bukan main, aku percaya
aku bakal menang, dia bakal kalah, dewa pun tidak bakal berhasil membantui dia.
Ah, siapa tahu Oey Lao Shia main curang, dia menggunai akal! Coba bade, apakah
akal liciknya itu?”
“Adakah
dia melukai tanganmu, toako?”
“Bukan,
bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, tidak nanti dia pakai akal sekasar semacam
itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan tenaganya dan menghajar
tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku, gundunya sendiri lantas masuk
ke dalam lubang….”
“Jadi
toako kehabisan gundumu?”
“Ya,
aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah…!”
“Toh
itu tidak masuk dalam hitungan!” kata Kwee Ceng.
“Mestinya
begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku memukkul gundunya,
dua-dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul seperti dia itu, yang hancur
melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah. Aku kata pada istrinya: ‘Enso Oey,
sekarang aku berikan kitabku padamu, tapi sebentar, sebelum malam, kau mesti
mengasih pulang padaku.’ Kemudian dengan main-main aku menambahkan; ‘Bukankah
kita tidak menetapkan waktu lamanya kau meminjam? Maka itu, kau sudah melihat
semua atau belum, kau mesti kembalikan.’ Aku khawatir mereka tidak sudi
membayar pulang, bisa-bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau seratus
tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya
Oey kata padaku, ‘Ciu Toako,
kau dijuluki Loo Boan Tong si Bocah
Tua Nakal,
tapi kau tidak tolol! Bukankah kau khawatirkan aku nanti jadi seperti Lauw Pie
yang meminjam kota
Kengciu, yang meminjam untuk selamanya? Baiklah, aku duduk di sini, segera aku
membaca, segera aku membayar pulang, tidak usah juga sampai malam! kau jangan
khawatir, kau boleh duduk nantikan!’
“Mendengar
perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng itu dan aku serahkan
padanya. Dia menyambuti, dia bawa itu ke bawah satunya pohon. Di situ ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai
membalik-baliki lembarannya. Oey Lao Shia mengawasi aku, ia dapat kenyataan
hatiku tidak tentram, ia kata padaku; ‘Eh, Lao Boan Tong, di jaman sekarang ini
ada berapa orangkah yang dapat mengalahkan kita berdua?’ Aku menjawab, ‘Yang
dapat mengalahkan kau, belum tentu ada, tetapi yang dapat mengalahkan aku,
terhitung kau sendiri, ada empat atau lima
orang!’ kataku. ‘Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat mereka mempunyai
kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling mengalahkan. Auwyang Hong
telah dirusak ilmunya Kap-mao-kang, dalam waktu sepuluh tahun, ia tidak bisa
berbuat apa-apa terhadap kita. Di
dalam dunia kangouw terkabar ada Tiat-ciang Sui-siang piauw Kiu Cian
Jin, tempo pertemuan di Hoa San,
dia tidak hadir, biarnya dia lihay, aku tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo
Boan Tong, bagaimana adanya ilmu silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa
orang yang sudah disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau
kita berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!’ Atas pendapat itu aku
menjawab, ‘Memang!’ Oey lao Shia berkata pula: ‘Maka itu, kenapa hatimu tidak
tentram? Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong langit ini sanggup
merampas kitab itu?”
“Aku
pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika aku
mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran
kitab. Terang ia membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya.
Melihat lagaknya itu, aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia semuanya,
meski ia pandai surat,
dengan kita tidak mengerti ilmu silat, tidak nanti ia dapat menangkap artinya.
Ia membaca dengan perlahan, aku menjadi tidak sabaran. Ketika ia sudah membaca
habis halaman terakhir, aku anggap, habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia
lantas mengulanginya dari mula pula. Hanya kali ini ia membacanya denagn cepat
sekali, boleh dikata selama semakaman the saja, habislah sudah. Ia pulangi buku
padaku, sembari tertawa ia berkata: ‘Ciu Toako,
kau kena diperdayakan See Tok. Kitab ini bukannya Kiu Im Cin-keng!’ Aku kaget
juga. ‘Kenapa bukan?’ aku menanya. ‘Inilah kitab warisan kakak seperguruanku.
Bukupun serupa macamnya.’ Nyonya
Oey itu kata: ‘Apa gunanya kalau
romannya saja yang sama? Kitab mu ini ada kitab tenungannya si tukang
meramakan!’”
Kwee Ceng terkejut.
“Mungkinkah Auwyang Hong
telah dapat menukarnya selama Ong
Cinjin belum keluar dari peti
mati?” ia menanya.
“Mulanya
aku pun menerka demikian,” sahut Pek Thong. “Tapi Oey Lao Shia sangat licin,
sedang perkataannya Nyonya oey itu aku tidak dapat percaya semuanya. Nyonya itu
mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya menduga aku bersangsi, maka ia
berkata pula: ‘Ciu
Toako, bagimana bunyinya kitab Kiu
Im Cin-keng yang tulen? Tahukah kau?’ Aku menjawab bahwa semenjak kitab itu
berada di tangan kakak seperguruanku, tidak pernah ada orang yang membacanya.
Kakak pun membilangi, selama tujuh hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan
kitab itu, maksudnya untuk menyingkirkan suatu akar bencana besar untuk kaum Rimba Persilatan,
sama sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka itu ia
telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh menyakinkan ilmu
dalam kitab itu.”
“Ong Cinjin
demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa juga,’ berkata lagi Nyonya Oey,
‘Hanya karena itu, kena diperdayakan orang. Ciu Toako,
coba kau periksa kitab ini’ Aku bersangsi, tetapi mengingat pesan kakak
seperguruanku, aku tidak berani memeriksa kitab itu. ‘Inilah kitab ramalan yang
terdapat di mana-mana di wilayah Kanglam,’ berkata pula Nyonya Oey,
harganya tak setengah peser juga. Lagi pula, taruh kata inilah Kiu Im Cin-keng
yang tulen dan kau tidak ingin mempelajarinya, apabila kau hanya melihat saja,
apakah halangannya?’ Aku terdesak, aku pun penasaran, maka akhirnya aku periksa
kitab itu. Aku mendapatkan pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama
sekali itulah bukannya buku petang-petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey
berkata: ‘Kitab semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun, aku dapat
membacanya di luar kepala dari permulaannya sampai akhirnya. Kami anak-anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah.
Jikalau kau tidak percaya. Ciu
Toako, mari
aku membacanya untuk kau dengar.’ Benar-benar ia membaca, dari kepala sampai
dibuntut, membacanya dengan lancar. Aku merasakan tubuhku dingin. Lalu nyonya
itu berkata pula: ‘Halaman mana saja kau cabut dan tanyakan aku, asal kau
menyebut kalimatnya, dapat aku membaca diluar kepala. Buku ini yang telah
dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat melupakannya. Aku
ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar ia bisa membaca dengan
hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey Lao Shia tertawa
terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku ambil kitab itu, aku
merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga hangus habis!”
“Setelah
itu mendadak Oey Lao Shia kata padaku: ‘Loo Boan Tong, tidak usah kau ngambul
dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri aku, aku hadiahkan
padamu!’ Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan. Aku hanya menduga, karena
merasa tidak enak hati, hendak ia menghadiahkan kepadaku untuk membikin reda
kemendongkolanku. Disamping mendongkol, aku pun mengerti tidak dapat aku memiliki
pusaka Tho Hoa To, maka itu, aku tolah hadiah itu. Aku membilang terima kasih
padanya, lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci pintu, menyekap diri di
kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku. Ketika itu belum sanggup aku
menandingi Auwyang
Hong, dari itu aku berlatih keras
selama lima
tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu, hendak aku pergi
ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok untuk meminta
pulang kitab yang tulen itu.”
“Kalau
toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang,
bukankah itu terlebih baik lagi?” tanya
Kwee Ceng.
“Aku
menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena dipermainkan orang,”
menyahut Pek Thong. “Aku tidak mengerti bahwa aku sudah jadi bulan-bulanan.
Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok beramai, rahasia akan terbuka.
Beberapa tahun selewatnya itu, lalu di kalangan kangouw tersiar berita bahwa
muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah
mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng, bahwa mereka sudah menyakinkan beberapa macam
ilmu silat yang luar biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala
tempat untuk melakukan kejahatan. Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan
cerita itu semakin santer. Lagi lewat satu tahun, Khu Cie Kee datang padaku, dia memberitahukan bahwa
ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im Cin-keng sudah didapatkan murid-murid
dari Tho Hoa To. Gusar aku mendengar warta itu. Aku kata dengan sengit, ‘Oey Yok
Su tidak pantas menjadi sahabat!’ Khu Cie
Kee heran, ia menanya apa sebabnya
aku membilang begitu. Aku menjawab, ‘Sebab dia pergi ke See Tok meminta pulang
kitab itu, dia pergi dilaur tahuku, dan setelah mendapatkan itu, dia tidak
segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus memberitahukan dulu.’”
“Setelah Oey Tocu
mendapat kitab itu, mungkin mulanya ia memikir untuk memberitahukan toako,”
berkata Kwee
Ceng. “Hanya diluar dugaannya,
kitabnya itu kena dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai kejadian
itu dia murka bukan main, hingga empat muridnya yang lainnya, yang tidak tahu apa-apa,
sudah dipotong kakinya dan diusir.”
Ciu
Pek Thong menggeleng kepala.
“Kau
sama jujurnya dengan aku,” dia berkata. “Umpama kata kau yang mengalami
kejadian seperti itu, kau pasti tidak menginsyafi bahwa orang telah tipu
padamu. Ketika itu Khu
Cie Kee,
selainnya membicarakan urusan itu, juga meminta pengajaran beberapa rupa ilmu
silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat pergi. Sesudah lewat dua
bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar kepastian bahwa Tan Hian
Hong dan Bwee
Tiauw Hong
benar dapat ilmu kepandaian dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh
bahaya, Khu Cie Kee
mengintai Hek
Hong Siang
Sat dan mendengari pembicaraan mereka itu. Nyatanya Oey Lao Shia mendapatkan
kitab Kiu Im Cin-keng itu bukan boleh merampas kitab dari tangan See Tok hanya
boleh mencurinya dari tanganku sendiri….”
Kwee Ceng heran.
“Toh
terang-terangan toako telah bakar habis itu?” katanya.
“Mungkinkah
nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan kitab yang palsu?”
“Tidak!”
sahut Pek Thong. “Di dalam hal itu aku
telah berjaga-jaga. Selagi istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku
memisahkan diri darinya. Dia tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat
gesit, dia tidak bakal lolos dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunai
senjata rahasia mempunyai mata yang sangat awas? Dia bukannya menukar kitab
hanya dia menggunai kecerdasan dan kekuatan otaknya untuk menghapalkan bunyinya
kitab di luar kepalanya!”
Kwee Ceng heran hingga ia
menanya menegaskan.
“Adikku,
jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk kau dapat membaca
pula di luar kepala?” Pek Thong tanya,
sabar.
“Yang
gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan,” menjawab si adik
angkat. “Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai tujuhpuluh kali, mungkin
delapan atau sembilanpuluh kali.”
“Kau
benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang,” berkata kakak angkat
itu.
“Memang
adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun dalam hal
belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat.”
Pek
Thong menghela napas.
“Tentang
membaca buku kau tidak mengerti banyak,” katanya. “Mari
kita bicara hal ilmu silat. Kalau gurumu mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat,
bukankah itu memerlukan pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau
mengerti?”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
“Benar,”
sahutnya.
“Akan
tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam
sesaat saja dapat ia menintainya.”
“Itulah
benar. Umpama putrinya Oey
Tocu, Ang Insu
mengajari dia cukup dua kali, tidak pernah sampai tiga kali.”
“Nona
itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek seperti ibunya,”
kata Pek Thong perlahan. “Ketika itu hari Nyonya Oey
meminjam lihat kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak melupakan satu
huruf jua. Rupanya setelah berpisah dari aku, segera ia mengambil pit dan
kertas untuk mencatatnya, setelah mana ia memberikan itu kepada suaminya….”
Kwee Ceng heran hingga ia
terperanjat.
“Nyonya Oey
tidak mengerti tentang kitab itu, cara
bagaimana dia sanggup menghapalkannya?” katanya. “Kenapa di kolong langit ini
ada orang yang demikian terang otaknya?”
“Aku
rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey
pun dapat berbuat demikian,” mengatakan Ciu Pek Thong. “Setelah mendapat
keterangannya Khu Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan
Cin Pay, untuk mendamaikan urusan itu, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat
membayar pulang kitab itu. Khu
Cie Kee
mengusulkan untuk aku jangan turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong
Siang Sat lihay, tidak nanti
mereka itu dapat mereka melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun tangan
sendiri, aku ditertawankan kaum kangouw. Bukankah aku dari tingkat terlebih
tinggi dan mereka itu lebih rendah? Aku setuju. Lantas aku menyuruh Cie Kee
berdua Cie It yang mencari Hek
Hong Siang
Sat dan lima
lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam,
Hek Hong Siang
Sat telah lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab mereka
dikepung Liok
Seng Hong,
satu murid lainnya dari Oey Lao Shia. Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak
kawan jago-jago dari Tionggoan. Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap.
Kwee Ceng mengangguk. Ia
berkata: “Pantas kalau Liok Chungcu membenci Hek Hong Saiang Sat.
Dia diusir gurunya tanpa bersalah,
cuma disebabkan Hek
Hong Siang
Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab.”
“Aku
tidak dapat mencari Hek
Hong Siang
Sat itu, sudah tentu aku mencari Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti
terhilang pula, aku bawa-bawa Kiu Im Cie-keng bagian atas itu. Setibanya di Tho
Hoa To, aku tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, ‘Pek Thong, aku Oey Yok
Su, jikalau akau kata satu, tentu
satu. Aku telah bilang tidak nanti aku melihat kitabmu itu, aku pegang
perkataanku! Kapannya aku melihat kitabmu itu? Kiu Im Cie-keng yang aku baca
ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu tidak ada sangkutannya dengan kau!’
Aku tidak mau mengerti, maka itu kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia
kasih aku bertemu sama istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya
berduka, lantas ia ajak aku ke ruang dalam. Di
sana aku
terkejut untuk apa yang aku lihat, Istrinya sudah meninggal dunia, di situ
terlihat cuma meja abunya beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada
arwah Nyonya
Oey itu, tetapi Oey Lao Shia kata
padaku dengan dingin: ‘Loo Boan Tong, tidak usah kau berpura-pura! Coba kau
tidak mengoceh tentang kitab tulen dan yang palsu, tidak nanti istriku
meninggalkan aku!’ Aku jadi heran. ‘Apa katamu?’ aku tanya.
Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka. Kemudian mendadak saja air
matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka menerangkan tentang meninggalnya
istrinya itu.”
“Apakah
sebabnya itu, toako?”
“Istrinya
Oey Lao Shia itu ada seorang yang otaknya terang luar biasa, untuk suaminya itu
ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang ia pinjam
lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin
juga ia mendapatkan bagian atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia
hendak menyakinkannya sekalian. Apa mau kitabnya itu kena dicuri oleh Tan Hian
Hong dan Bwee
Tiauw Hong,
kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey
hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya kitab,
sukar untuk ia mengingat-ingat pula karena waktunya telah berselang lama.
Kebetulan itu waktu, istrinya itu lagi mengandung sudah delapan bulan. Keras Nyonya
Oey ini berpikit, mengingat-ingat,
selama beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf
tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena ia
terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum waktunya.
Bayinya itu satu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali tetapi tidak dapat ia
merebut jiwa istrinya, yang ia sangat cintai. Memangnya ia bertabiat aneh dan
suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Demikian kali ini, saking
bersedih, pikirannya seperti terganggu. Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan.
Aku tahu tabiatnya itu, aku mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia.
Aku pun berkasihan padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, ‘Kau gemar
silat, bagimana kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak
khawatir, orang nanti ketawakan kau?’ Atas itu, dia menjawab,’ Kau tidak tahu,
istriku ini lain daripada istri orang kebanyakan.’ Aku kata pula, ‘Kau telah
kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau menyakinkan ilmu silatmu. Coba
kau jadi aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.’”
Kwee Ceng terperanjat. “Ah,
mengapa kau mengatakan demikian?” katanya.
Matanya
Pek Thong membelalak.
“Apa
yang aku pikir, apa yang aku kata!” ia kata dengan keras. “Kenapa aku tidak
boleh mengatakan sesuatu? Karena itu, Oey Lao Shia menjadi sangat gusar. Dengan
mendadak ia menyerang aku. Kita lantas jadi berkelahi. Karena perkelahian itu,
kesudahannya aku mesti duduk bercokol di sini selama limabelas tahun…”
“Jadinya
toako kalah?” Kwee
Ceng menegaskan.
Ciu
Pek Thong tertawa.
“Jikalau
aku menang, tidak nanti aku berada di sini,” sahutnya. “Dia telah menghajar
patah kedua kakiku, dia memaksa aku mengeluarkan Kiu Im Cin-keng bagian
atasnya, katanya untuk dibakar buat menyembahyangi arwah istrinya. Aku tidak
serahkan kitab itu, yang aku simpan di dalam gua ini, aku sendiri menjaga di
depan. Aku telah berkeputusan, asal ia memaksa, hendak aku meludaskan kitab
itu. Atas sikapku itu, Oey
Yok Su
bilang bahwa akhirnya mesti ada jalan untuk dia mendapatkannya, ialah dengan
membikin aku meninggalkan gua ini. ‘Marilah kita coba!’ aku menantang. Demikian
sudah terjadi, aku berdiam saja di dalam gua ini, aku mensia-siakan tempo
limabelas tahun. Dia tidak berani membikin aku kelaparan, dia telah
mempergunakan pelbagai macam tipu daya, akan tetapi tetap dia tidak berhasil.
Aku tidak kena dipaksa atau dibujuk. Hanya tadi malam hampir aku runtuh juga,
syukur kau datang menolongi. Baiknya ada hantu atau
malaikat yang bawa kau padaku, jikalau tidak tentulah kitab itu sudah terjatuh
ke dalam tangannya Oey Lao Shia.”
Kwee Ceng berpikir banyak
mendengar keterangannya Pek Thong itu.
“Toako,
habis bagaimana selanjutnya?” ia menanya.
Pek
Thong tertawa.
“Hendak
aku melewatkan waktu bersama-sama Oey Lao Shia, untuk membuktikan, dia yang
terlebih panjang umur atau aku yang hidup terlebih lama!” sahutnya.
Kwee Ceng merasa itu bukanlah
daya sempurna, hanya ia sendiri masih belum bisa memikir sesuatu.
“Kenapa
Ma Totiang dan lainnya tidak datang menolongi toako?” tanyanya kemudian.
“Kebanyakan
mereka tidak ketahui aku berada di sini,” menyahut Pek Thong. “Umpama kata
mereka mendapat tahu, tidak nanti mereka dapat masuk ke mari,
kecuali Oey Lao Shia sengaja memberikan ketikanya.”
Kwee Ceng berdiam, ia berpikir
pula. Tentang Ciu Pek Thong ia telah memperoleh kepastian, usia dia tinggi
tetapi sifatnya gembira, seperti anak-anak yang doyan bergurau, omongannya pun
polos dan langsung, tidak licik. Ia merasa suka terhadap ini orang tua, yang
sebaliknya pun menyukai lainnya.
Tidak
lama, matahari merah sudah naik tinggi, si bujang tua datang pula dengan barang
makanan.
Habis
bersantap, mereka berada berduaan saja, Pek Thong kata kepada Kwee Ceng:
“Limabelas tahun lamanya aku melewatkan waktuku di Tho Hoa To ini, selama itu
aku tidak mensia-siakannya. Di sini
aku tidak pernah mengangkat kaki setengah tindak sekalipun, hatiku pun tidak
terganggu, dengan begitu aku berhasil dengan peryakinkanku. Cobalah di tempat
lain, sedikitnya aku membutuhkan tempo duapuluh lima tahun. Aku merasa bahwa aku telah
memperoleh kemajuan, sayangnya aku tidak punya kawan untuk berlatih
bersama-sama, karenanya terpaksa aku memakai kedua tanganku saja.”
Kwee Ceng heran.
“Bagaimana
bisa menjadi, tangan kanan bertempur dengan tangan kiri?” dia menanya.
“Untuk
itu aku main perumpamaan,” menerangkan Pek Thong. “Tangan kananku aku umpamakan
Oey Lao Shia, tangan kiriku adalah aku sendiri. Kapan tangan kanan memukul,
tangan kiri menangkis, tangan kiri itu terus membalas menyerang. Demikian kedua
tangan itu bertarung.”
Sembari berbicara, Pek Thong menggeraki kedua tangannya itu, seperti dua orang lagi berkelahi. Ia memberikan contoh.
Kwee Ceng heran, hingga ia
merasa lucu. Tapi berselang beberapa jurus, ia menjadi kagum. Ia mendapat
kenyataan, benarlah kedua tangan itu luar biasa gerak-geriknya. Kalau lain
orang menggunai kedua tangan, untuk menyerang dengan membela diri, Pek Thong
ini menggunai satu tangan saja. Inilah langka.
Anak
muda itu terus mengawasi, sampai ia menanya; “Toako, barusan kau menggunai
jurus Di Bawah Pohon
Membereskan Pakaian,
kau menggerakkan tangan kananmu, kenapa tidak kaki?”
Pek
Thong berhenti, ia tertawa.
“Benar
matamu tajam,” katanya. “Mari, mari kau coba!”
Ia
melonjorkan tangan kanannya.
Kwee Ceng mengulur tangannya,
untuk menandingi.
“Hati-hati!”
pesan si orang tua. “Aku hendak menolak kau ke kiri…”
Selagi
ia berkata, Pek Thong sudah mengerahkan tenaganya. Ia benar menggunai jurusnya
itu. Kwee Ceng sudah siap sedia, ia melawan dengan
Hang Liong Sip-pat Ciang. Kesudahannya ia terpukul mundur tujuh atau delapan
tindak, tangannya lemas dan sakit.
“Barusan
aku meminjam tenaga di kakiku, kau cuma terdorong,” kata Pek Thong pula. “Sekarang mari
kita coba pula, aku tidak akan pinjam tenaga di kaki itu.”
Kwee Ceng menurut, ia
keluarkan pula tangannya. Ia lantas merasa seperti tertolak dan ketarik, akan
akhirnya, runtuh kuda-kudanya, lantas ia jatuh ngusruk ke depan, kepalanya
membentur tanah. Ketika ia merayap bangun, ia berdiri bengong saking herannya.
“Mengerti
kau sekarang?” Pek Thong tanya
tertawa.
“Tidak,”
menyahut si anak muda, menggeleng kepala.
“Ilmu
ini aku dapatkan selama sepuluh tahun aku berdiam di dalam gua ini,” Pek Thong
menerangkan. “Aku pun mendapatkannya secara tiba-tiba. Semasa hidunya suko, ia
pernah omong halnya menyerang menggertak manjadi benar-benaran. Dulu hari itu
aku tidak menginsyafinya, aku tidak perhatikan, hanya kemudian baru aku memahamkan
itu. Tadinya aku belum mempercayai penuh, sebab aku cuma dapat berlatih, belum
pernah mencobanya. Sekarang barulah aku menguji terhadapmu. Adik, mari kita mencoba pula. Kau jangan takut, lagi
beberapa kalli aku akan membuatmu roboh!”
Kwee Ceng bersangsi.
Orang
tua ini melihat adik angkat ini ragu-ragu, ia lalu meminta. Katanya: “Adikku,
aku menggemari ilmu silat melebihkan jiwaku, selama limabelas tahun, aku
mengharap-harapkan ada orang yang bisa main-main dengan aku, buat beberapa
jurus saja. Beberapa bulan yang lain putrinya Oey Lao Shia telah ke mari, ia omong banyak, bisa menghibur aku, hanya
selagi aku ingin memancing ia untuk diuji, dilain harinya ia tidak datang pula.
Adikku yang baik, tidak nanti aku merobohkan keras-keras padamu….”
Kwee Ceng mengawasi, ia
melihat kedua tangan orang digerak-gerakkan, seperti sudah sangat gatal.
“Baik,”
sahutnya kemudian. “Roboh beberapa kali tidak berarti apa-apa.” Ia pun lantas
melonjorkan tangannya.
Mereka
lantas bentrok. Selang beberapa jurus, terasa tangannya Pek Thong dikerahkan.
Tidak ampun lagi, Kwee
Ceng terguling tapi belum ia
roboh, ia disampok dengan tangan kiri, hingga ia berjumpalitan. Karena ini,
ketika ia jatuh, ia merasakan sakit.
Kelihatannya
Pek Thong menyesal tetapi ia lantas berkata: “Adikku yang baik, tidak percuma
aku membuatnya kau roboh. Nanti aku memberi penjelasan kepadamu tentang jurus
ini.”
Kwee Ceng menahan sakit, ia
merayap bangun. Ia dekati kakak angkatnya itu.
Pek
Thong mengangkat mangkok nasinya. “Mangkok ini asalnya terbuat dari lumpur,
karena tengahnya dikosongi, dapatlah dipakai mengisi nasi. Coba semuanya
terisi, ada apakah gunanya?”
Kwee Ceng mengangguk, hatinya
berpikir; “Inilah sangat sederhana, tapi sebenarnya tadi-tadinya belum pernah
aku memikirkannya.”
“Demikian
juga rumah,” kata Pek Thong. “Karena di dalamnya kosong dan ada pintu dan
jendelanya, rumah itu dapat ditinggali. Kalau rumah itu terisi dan tanpa pintu
atua jendela, apa jadinya?”
Kwee Ceng mengangguk.
“Demikian
pula ilmu silat Coan Cin Pay. Ilmu ini berpokok pada kosong dan lemas. Kosong
dapat diisi dan lemas dapat dibikin keras.”
Kwee Ceng berpikir, ia masih
belum mengerti jelas.
“Ang
Cit Kong itu ahli Gwa-kee, ilmu luar, dia sudah sampai di puncaknya kemahiran,
maka itu, meski aku mengerti ilmu silat Coan Cin Pay, mungkin aku bukan
tandingan dia. Tapi ilmu luar itu ada batasnya, tidak demikian dengan Coan Cin
Pay. Buktinya ketika kakak seperguruanku memperoleh gelar orang gagah nomor
satu, ia bukannya mendapatkannya itu karena beruntung, tidak, itulah karena kepandaiannya.
Coba ia masih hidup sekarang, setelah peryakinan lebih jauh belasan tahun,
apabila dia diadu pula, tidak nanti dia memakai tempo sampai tujuh hari tujuh
malam. Aku percaya, dalam tempo satu hari saja, dapat ia merobohkan semua
lawannya.”
“Sayang
adikmu tidak mempunyai rejeki untuk menemui Ong Cinjin,” berkata Kwee Ceng,
“Ang Insu dengan Hang Liong Sip-pat Ciang menjadi jagonya golongan ilmu luar,
dan toako barusan, dengan ilmu silatmu yang manjatuhkan aku itu, menjadi jago
golongan lemas….”
Pek
Thong tertawa.
“Benar,
benar!” katanya. “Memang lemas bisa mengalahkan keras, hanya kalau Hang Liong
Sip-pat Ciang kau adalah semahir Ang Cit Kong, tidak dapat aku merobohkan kau.
Semua itu tergantung sama dalam dan ceteknya peryakinan. Sekarang kau perhatikanlah.”
Pek
Thong lantas memberikan penjelasannya, berikit gerak-gerik tangannya. Karena ia
tahu orang lambat mengerti, ia berlaku sabar dan perlahan. Kwee Ceng
mesti belajar sambil mencoba, selang beberapa puluh kali, barulah ia mulai
mengerti.
“Kalau
kau sudah tidak sakit lagi, mari aku
mencoba merobohkan pula padamu!” kata Pek Thong kemudian.
Kwee Ceng tertawa, “Sakitnya
sih tidak, malah pengajaran barusan belum aku mengerti semua,” sahutnya. Ia
lantas mengingat-ingat.
Pek
Thong benar seperti bocah, ia mendesak.
“Mari, marilah!” bilangnya. Tapi ini justru
menyebabkan Kwee
Ceng mesti berpikir terlebih keras
lagi.
Sampai
sekian lama, baru si anak muda mengerti. Maka ia lantas melayani pula kakak
angkatnya itu. Lacur untuknya, walaupun ia sudah bersedia, kembali ia kena
dirobohkan!
Demikian
seterusnya, siang dan malam, mereka berlatih. Kwee Ceng
menderita, tubuhnya jadi bengkak di sana-sini dan matang biru. Ia bukannya
roboh terbanting puluhan, bahkan ratusan kali. Tapi tubuhnya kuat, ia pun bisa
menahan sakit. Untungnya, kepadanya telah diwariskan kepandaiannya itu kakak
angkat. Itulah ilmu silat “Kong-beng-kun” atau “Kepalan Kosong”, yang terdiri
daripada tujuhpuluh dua jurus, yang diciptakan sesudah limabelas tahun dalam
kurungan…………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar