Bab 9. Si Mayat Perunggu dan Si Mayat Besi
Untuk sesaat, Kim
Hoat berdiam. Kemudian dia
bertanya pula pada kakaknya yang tertua, “Toako, takukah kau siapa Yo Kang?”“Yo
Kang? Tak pernah aku dengar nama itu…” jawab Tin Ok.
Yo
Kang itu adalah nama yang Khu Cie Kee berikan untuk anak yang masih ada dalam
kandungannya Pauw
Sek Yok,
istrinya Yo Tiat Sim. Tiat
Sim dan Siauw Thian
telah saling mengasih tanda mata belati yang terukir nama Yo Kang dan Kwee Ceng,
dari itu, tentu saja Kanglam
Cit Koay
tidak kenal nama Yo Kang itu.
Coan Kim Hoat sabar dan teliti, ia
berpikir terus. Lantas ia ingat akan sesuatu. Ia berkata kemudian: “Orang yang
khu Totiang cari adalah istrinya Yo Tiat Sim. Entah Yo Kang ini ada hubungannya
sama Yo Tiat Sim atau tidak…”
Enam
tahun sudah tujuh saudara ini merantau di gurun apsir tanpa ada hasilnya,
sekarang mereka dapati ada titik terang, mereka jadi bersemangat, mereka tak
hendak melepaskannya dengan begitu saja.
“Marilah
kita tanya bocah itu!” Siauw Eng
mengusulkan.
Han
Po Kie mempunyai kuda yang paling gesit, ia mendahului berlari kepada kawanan
bocah itu yang telah kembali bergumul berkelahi. Ia berteriak-teriak menyuruh
mereka berhenti berkelahi, tetapi ia tidak dipedulikan, maka ia turun dari
kudanya, dan kemudian ia langsung tarik beberapa bocah dan balingkan mereka ke
pinggiran.
Tusaga
lihat orang kuat, ia tak berani berkelahi terus. Tapi ia tuding Tuli dan
menantang: “Dua ekor anjing cilik, jikalau kau berani, besok kita bertempur
pula disini!”
“Baik, besok kita bertempur pula disini!” Tuli terima tantangan
itu. Ia sudah lantas memikir, kalau sebentar ia pulang, hendak ia meminta
bantuan Ogatai, kakaknya yang nomor tiga, dengan siapa ia paling erat
hubungannya, sedang kakaknya itupun kuat. Ia percaya Ogagati akan suka membantu
padanya.Kwee ceng dengan muka berlumuran darah, mengulurkan tangannya pada Cu Cong.
“Mari kasih pulang!” katanya. Dengan
berani ia minta belatinya kembali.
“Gampang
untuk pulangi padamu!” kata Cu
Cong sambil tertawa, seraya
tangannya mencekal belati orang. Tapi kau mesti omong dulu biar terang,
darimana kau peroleh belati ini?”
Dengan
tangan bajunya Kwee ceng susuti darah yang masih mengalir dari hidungnya.
“Ibuku yang berikan padaku,” sahutnya.
“Apakah
she ayahmu?” Cu Cong tanya pula.
Bocah
itu melengak. Ia tak punya ayah, tak dapat ia menjawab. Kemudian ia menggeleng
kepalanya.
Cit Koay lihat orang rada
tolol, mereka menjadi putus asa.
“Apakah
kau she Yo?” Coan
Kim Hoat
kemudian menanya. Ia penasaran.
Kwee
menggeleng-gelengkan kepalanya pula.
Kanglam
Cit Koay paling menjunjung kehormatan, mereka pegang satu kepercayaan sekalipun
terhadap satu bocah, maka itu Cu Cong lantas serahkan belati itu kembali kepada
Kwee Ceng., sedang Han Siauw Eng keluarkan sapu tangannya, untuk susuti orang
punya darah di hidung.
“Pergilah
kau pulang,” katanya dengan halus dan ramah. “Lain kali jangan kau berkelahi
pula.”
Lantas Cit Koay berangkat, akan susul
rombongan kalifah yang mereka ikuti.
Kwee Ceng menjublak mengawasi orang
pergi.“Kwee Ceng, mari
pulang!” Tuli lantas mengajak.
Cit Koay belum jalan jauh.
Tin Ok mempunyai kupingnya paling lihay pendengarannya dibandingkan dengan
saudara-saudaranya, ia dengar panggilan “Kwee Ceng” dari Tuli, mendadak ia
rasai tubuhnya menggetar, tanpa bersangsi pula, ia putar kudanya akan kembali
kepada si bocah.
“Eh,
anak, apakah kau bernama Kwee
Ceng?” ia tanya
dengan sabar.
Kwee Ceng menberikan
penyahutan yang membenarkan.
Bukan
kepalang girangnya Tin Ok. “Siapakah nama ibumu?” tanya
pula, cepat.
“Ibu
ialah ibu….” Kwee
Ceng menjawab.
Tin Ok menggaruk-garuk kepalanya.
“Mari antar aku kepada
ibumu, Maukah kau?” ia tanya
lagi.“Ibuku tidak ada disini,” bocah itu menjawab.
Tin
Ok dengar suara yang tak simpatik. Kemudian dia berkata kepada adiknya paling
kecil, “Cit moay, kaulah ynag tanya
dia.”
Siauw Eng lompat turun dari
kudanya dan ia menghampiri bocah itu. “Mana ayahmu?” dia tanya,
suaranya tetap ramah.
“Orang
telah celakai ayahku hingga terbinasa,” sahut bocah itu. “Nanti kalau aku sudah
besar, hendak aku cari musuh itu untuk membalaskan sakit hati ayahku!”
“Apakah
namanya ayahmu itu?” Siauw
Eng tanya
pula. Ia bernafsu, hingga suaranya sedikit menggetar.
Kwee Ceng menggoyang kepala.
“Siapakah
namanya itu orang yang membunuh ayahmu?!” Tin Ok turt tanya,
suaranya dingin.
Sambil
kertak gigi, Kwee
Ceng jawab: “Dia bernama Toan Thian
Tek!”
Memang
Lie Peng telah memberitahukan kepada anaknya itu she dan namanya Thian Tek,
malah roman mukanya dan potongan tubuhnya.
Nyonya Kwee tahu, jiwanya
terancam bayaha sembarang waktu, maka itu ia telah berikan penjelasan kepada
anaknya, supaya apabila ada terjadi sesautu atas dirinya, putranya itu sudah
tahu segala sesuatunya. Ia pun telah memberitahukannya berulangkali, hingga Kwee Ceng
ingat semua itu.
Cit Koay girang bukan
kepalang, si nona Han sampai berseru, sedang Kwa Tin
Ok memuji kepada Thian. Lucunya adalah Thio A Seng, yang sudah rangkul Lam Hie Jin,
sementara si cebol Han Po Kie jumpalitan si atas kudanya.
Tuli dan Kwee Ceng mengawasi, mereka merasa lucu dan heran.“Adik
kecil, mari duduk, mari kita bicara perlahan-lahan…” nona Han
berkata dengan suaranya ynag tetap ramah.
“Mari pulang!” mengajak Tuli, Ia
hendak cari kakaknya yang ketiga, untuk ajaki saudarany itu besok membantui ia
melawan Tusaga.
“Aku mau pulang,” Kwee ceng berkata kepada
Han Siauw Eng.
Ia tarik tangannya Tuli dan ia putari tubuhnya, untuk berjalan
pergi.“Eh, eh, tunggu dulu,” Po Kie memanggil. “Kau tak dapat pergi! Biarkan
sahabatmu pulang lebih dulu..!”
Melihat
sikap orang yang luar biasa, dua bocah itu menjadi takut, mereka lantas lari.
Po
Kie berlompat, untuk sambar pundaknya Kwee Ceng.
“Shatee, jangan semberono!”
Cu Cong cegah adiknya yang nomor tiga
itu. Ia pun bergerak, untuk halangi tangan adiknya.Po Kie heran, ia batal
membekuk bocah itu.
Cu Cong lari untuk susul kedua
bocah itu, ia lantas jemput tiga butir batu kecil. “Aku akan main sulap untuk
kamu!” katanya sembari tertawa, sikapnya manis.
Tuli
dan Kwee Ceng berhenti berlari, mereka berdiam
mengawasi.
Cu Cong genggam ketiga batu
itu di telapak tangan kanannya. “Menghilanglah!” ia berseru. Kapan ia membuka
kepalan tangannya, batu itu telah lenyap.
Kedua
bocah itu heran, mereka mendelong.
“Nelusup masuk!” seru Cu Cong,
yang tepuk kopiahnya.
Terus ia buka kopiahnya itu, di dalam situ ada tiga butir batu
itu.“Bagus!” seru Tuli dan Kwee
Ceng. Tanpa merasa, mereka menjadi
tertarik.
Itu
waktu terdengar suara belibis mendatangi, lalu tertampak burungnya terbang
mendatangi dalam dua rombongan, datangnya dari utara.
“Akan
aku suruh toako main sulap,” kata ia, yang dapat pikiran baru. Ia lantas rogoh
keluar sepotong sapu tangan, yang mana ia kasihkan kepada Tuli, sambil menunjuk
kepada Kwa Tin Ok, ia kata: “Kau tutup matanya.”
Tuli
menurut, ia ikat matanya orang she Kwa itu. “Mau main petak umpat?” tanyanya
tertawa.
“Bukan,”
sahut Cu Cong. “Tanpa mata, ia dapat panah
burung belibis itu.” Ia terus serahkan gendewa dan anak panah kepada kakaknya.
“Aku
tidak percaya,” kata Tuli.
Itu
waktu kedua rombongan belibis sudah terbang mendekat, Cu Cong
menimpuk dengan tiga butir batunya, membuat burung-burung itu menjadi kaget,
yang jadi pemimpinnya berbunyi. Justru karena burung itu berbunyi dan hendak
merubah tujuan, panahnya Tin Ok sudah meleset, jitu sekali, burung itu terpanah
batang lehernya dan bersama anak panahnya, jatuh ke tanah.
“Bagus!
Bagus!” Tuli dan Kwee
Ceng berseru dengan gembira.
Mereka pun lari untuk pungut burung itu, hendak diserahkan pada Kwa Tin Ok.
Mereka sangat kagum.
“Tadi
mereka bertujuh atau berdelapan mengerubuti kamu berdua,” berkata Cu Cong.
“Coba kamu ada punya kepandaian, kamu tidak usah takut lagi kepada mereka.”
“Besok
kita bakal berkelahi pula, aku akan minta bantuan kakakku,” kata Tuli.
“Minta
bantuan kakakmu?” kata Cu
Cong. “Hm, itulah
tidak ada faedahnya. Aku akan ajari kau sedikit kepandaian, aku tanggung besok
kamu bakal dapat kalahkan mereka.”
“Kami
berdua dapat kalahkan mereka berdelapan?” tegaskan Tuli.
“Ya!”
Cu Cong beri kepastian.
Tuli
girang sekali. “Baik! Nah, kau ajarkanlah aku!”
Cu Cong awasi Kwee Ceng,
yang berdiri diam saja, dia agaknya tidak tertarik.
“Apakah
kau tidak ingin belajar?” ia tanya
bocah itu.
“Ibuku
bilang, tidak boleh aku berkelahi,” Kwee Ceng
menjawab. “Kalau aku belajar kepandaian untuk memukul orang, ibu tnetu tidak
senang.”
“Hm,
bocah bernyali kecil!” kata Po Kie perlahan.
“Habis,
kenapa tadi kamu berkelahi?” Cu Cong tanya lagi.
“Mereka
itu yang serang kami duluan.” jawab Kwee Ceng
lagi.
Tin
Ok campur bicara, suaranya tetap dingin: “Kalau kau bertemu dengan sama Toan Thian
Tek, musuhmu itu, habis
bagaimana?!” ia tanya.
Kedua
matanya Kwee
Ceng bersinar. “Akan aku bunuh
dia, untuk balaskan dendaman ayahku!” sahutnya.
“Ayahmu
pandai silat, dia masih dapat dibunuh musuhnya,” Ton Ok kata pula. “Kau tidak
belajar ilmu kepandaian, bagaimana kau dapat membalas dendam?”
Kwee Ceng tercengang. Kemudian
air matanya mengalir keluar.
Cu Cong menunjuk ke gunung
di sebelah kiri. “Kalau kau hendak belajar kepandaian guna menuntut balas untuk
ayahmu,” ia bilang. “Sebentar tengah malam kau pergi ke sana untuk cari kami. Cuma kamu sendiri yang
dapat datang, kau tidak boleh beritahukan kepada orang lain. Kau berani tidak?
Apakah kau takut setan?”
Kwee Ceng masih berdiri
menjublak.
“Kau
ajarakan aku saja!” Tuli bilang.
Tiba-tiba
Cu Cong tarik tangannya bocah itu, kakinya
mengaggaet.
Tuli
rubuh seketika. Ia merayap bangun dengan murka.”Kenapa kau serang aku?”
tegurnya.
“Ini
dia yang dibilang ilmu kepandaian,” Cu Cong
tertawa. “Mengertikah kau?”
Nyata Tuli sangat cerdas,
segera ia mengerti. Ia manggut-manggut. “Coba ajarakan aku pula,” ia minta.
Cu Cong menyambar dengan
kepalannya, Tuli berkelit ke kiri. Tapi di sini ia dipapaki tangan kiri si
penyerang, tepat kena hidungnya, tapi Cuma hidung nempel, kepalan kiri itu
segera ditarik pulang.
Bukan
kepalang girangnya putra Temuchin itu. “Bagus! bagus!” ia berseru. “Kau ajari
aku lagi!”
Cu Cong mendak, untuk
mendongko, lalu ia seruduk pinggang orang. Tampa ampun Tuli berguling, tapi belum sempat
ia terbanting ke tanah, Coan
Kim Hoat
sudah sambar tubuhnya, untuk di kasih tetap berdiri .
“Paman,
ajari aku pula!” seru Tuli. Ia girang luar biasa.
“Sekarang
kau pelajari dulu tiga jurus ini,” kata Cu Cong
sambil tertawa. “Kalau kau sudah bisa, orang dewasa juga nanti tidak
gampang-gampang kalahkan kau. Cukup sudah!” Ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng,
akan tanya, “Apakah kau pun sudah
mengerti?”
Kwee Ceng lagi menjublak, ia
menggeleng kepala.
Cit Koay hilang
kegembiraannya melihat Tuli demikian cerdas tapi bocah she Kwee ini begitu
tolol. Siauw
Eng sampai menghela napas dan air
matanya berlinang.
“Sudah,
kita jangan terlalu capekan hati sekarang,” kata Kim Hoat
kemudian. “Paling benar kita sambut ibu dan anak ini pulang ke Kanglam, kita
serahkan mereka kepada Khu
Totiang. Dalam hal janji pibu,
kita menyerah kalah saja…”
“Anak
ini miskin bakatnya, dia tak berbakatbelajar silat,” bilang Cu Cong.
“Ya,
aku lihat dia tidak punya kekerasan hati,” kata Po Kie. “Ia bakal gagal…”
Dalam
dialek orang Kanglam, Cit
Koay berdamai.
“Nach,
pergilah kamu!” kata Siauw
Eng akhirnya. Ia ulurkan tangan
kepada kedua bocah itu, atas mana Tuli tarik tangan Kwee Ceng
untuk diajak pergi, ia snediri sangat kegirangan.
Selama
mereka itu berbicara, Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin si Tukang Kayu dari Lam
San, Gunung Selatan yang berdiam saja.
“Eh,
sietee, apa katamu?” Tin Ok tegur adiknya yang keempat itu.
“Baik,”
sahut Lam Hie Jin.
“Apa
yang baik?” menegaskan Cu
Cong.
“Anak
itu baik,” jawab adik keempatnya itu.
“Beginilah
biasanya sieko!” kata Siauw
Eng, tak sabaran. “Susah sekali untuk sieko membuka mulut emasnya, tak
hendak ia mengatakannya lebih sepatah kata!”
Hie
Jin tertawa. “Di
waktu kecil, aku tolol sekali,” katanya. Lam San Ciauw-cu memang pendiam, untuk
mengeluarkan sepatah kata, ia memikirkan dahulu, maka itu asal ia membuka
mulut, kata-katanya tentu tepat. Karena itu juga, enam saudaranya biasa
hargakan pikirannya. Sekarang mendengar keterangannya itu, mereka bagaikan
mendapat sinar terang.
“Kalau
begitu, kita tunggu sampai nanti malam,” kata Cu Cong
kemudian. “Kita lihat dia berani taua tidak datang seorang diri.”
“Kebanyakan
ia tidak berani,” kata Kim
Hoat. “Baik aku cari tahu dulu
tempat tinggalnya.” Dan ia lompat
turun dari kudanya, dari jauh-jauh ia mengikuti Kwee Ceng dan Tuli. Ia lihat
mereka masuk ke dalam tenda.
Malam
itu Cit Koay berkumpul di atas bukit. Mereka
menanti sampai tengah malam, sampai bintang-bintang mulai menggeser, tak ada
bayangan Kwee
Ceng si bocah itu. Cu Cong
lantas saja menghela napas.
“Kanglam Cit Koay
sudah malang
melintang seumur hidupnya, kali ini mereka rubuh di tangannya satu imam…!”
katanya masgul.
Selagi
tujuh saudara itu berduka, tiba-tiba Po Kie berseru tertahan: “Eh..!” dan
tangannya pun menunjuk ke depan di mana ada gombolan pohon, “Apa itu?” katanya.
Ketika itu sang rembulan yang terang sudah
sampai di tengah-tengah langit, sinarnya sampai kepada rumput tabal di mana ada
tiga tumpuk benda putih yang nampaknya aneh.
Coan Kim
Hoat lompat menghampiri benda
itu, maka ia kenali itu sekumpulan tengkorak, yang bertumpuk rapi dalam tiga
tumpukan. “Entah bocah nakal siapa sudah bermain di
sini, tengkorak orang diatur begini…” katanya. “Eh…apakah ini? Jieko, mari!”
Suaranya sangat kedengarannya sangat terkejut, maka
kecuali Kwa Tin Ok, yang lima saudara lainnya lantas menghampiri saudara she
Coan itu. “Lihat!” katanya lagi kemudian, yang sodorkan sebuah tengkorak kepada
Cu Cong.
Cu Cong dapatkan lima liang di embun-embunan tengkorak
itu, romannya seperti bekas jari tangan. Ia ulur tangannya, tepat lima jarinya masuk ke dalam semua laing itu. Jadi itu bukanlah perkerjaannya satu bocah cilik.
Ia pungut dua tengkorak lainnya, di situpun kedapatan masing-masing lima jari tangan yang
sama. Ia jadi heran dan bersangsi.
“Mustahil
benar ada orang membuat liang ini dengan jeriji
tangannya?” ia kata dalam hatinya. Ia tak berani utarakan kesangsiannya ini.
“Mungkinkah
disini ada hantu gunung?” tanya Siauw Eng. “Hantu
tukang geregas manusia…”
“Benar,
itulah siluman,” Po Kie membenarkan adiknya itu.
“Tetapi
kenapa tengkorak-tengkorak ini diatur begini rapi?” Kim Hoat tanya. Saudara ini bersangsi.
Kwa
Tin Ok dengar saudara-saudaranya itu berbicara. Tiba-tina ia lompat mendekati
mereka itu. “Bagaimana itu diatur rapinya?” tanya
ia.
“Semuanya
terdiri dari tiga tumpuk, teraur sebagai segi tiga, dan saban tumpukannya
sembilan tengkorak.” Coan
Kim Hoat
kasih keterangan pada kakaknya yang tak dapat melihat itu.
“Benarkah
itu terbagi pula dalam tiga tingkat?” Tin Ok tanya.
“Tingkat ynag bawah lima,
tingkat tengah tiga dan tingkat atas satu buah?”
“Eh,
toako!” seru Kim
Hoat heran. “Kenapa toako ketahui
itu?”
Tin
Ok perlihatkan roman cemas. Ia tidak menjawab. Hanya segera I berkata: “Lekas
jalan seratus tindak, ke arah timur utara dan barat utara! Lihat ada apakah di sana!”
Menampak
sikap luar biasa dari saudara tua itu, yang biasanya sangat tabah, enam adik
angkat itu lekas bekerja, yang tiga pergi ke timur utara, yang tiga lagi ke
barat utara.
“Disini
pun ada tumpukan tengkorak!” begitu suaranya Han Siauw
Eng di timur utara dan Thi A Seng
di barat utara.
Kwa
Tin Ok lari ke arah barat utara itu. “Inilah saat mati hidup kita, jangan bersuara
keras,” kata ia, suaranya perlahan tetapi nadanya tegas.
Thio A Seng bertiga terkejut.
Tin
Ok lantas lari ke arah timur utara ke Han Siauw
Eng, ia pun cegah mereka bertiga
omong keras-keras.
“Siluman
atau musuh?” tanya Cu Cong.
“Mataku
buta, kakiku pincang, semua itu adalah hadiah mereka…” sahut kakak tertua ini.
A
Seng bertiga lari berkumpul sama kakak mereka itu, mereka dengar perkataan si
kakak, mereka semuanya jadi heran.
Tin
Ok angkat saudara sama enam orang itu, cinta mereka bagaikan cintanya saudara-saudara
kandung, meski begitu, ia paling benci orang menyebut-nyebut cacadnya itu.
Semua saudaranya sangka, cacadnya itu disebabkan kecelekan semenjak kecil,
tidak ada yang berani menanyakan, sekarang barulah mereka itu ketahui, itulah
sebabnya perbuatan musuh. Tin Ok Demikian lihay, ia toh kalah, dari situ bisa
diduga betapa lihaynya musuh itu.
“Apakah
tumpukan disini pun tiga?” tanya Tin
Ok.
“Benar,”
sahut Siauw Eng.
“Dan setiap tumpukannya terdiri dari sembilan
tengkorak?” sekali ini Tin Ok menanya perlahan sekali.
Nona Han menghitung. “Yang
satu sembilan,” jawabnya kemudian, “Yang satunya delapan…”
“Coba
hitung yang sebelah sana,
lekas!” kata Tin Ok mendesak sekali.
Siauw Eng lari ke barat utara,
sambil membungkuk ia menghitung, dengan lekas, lalu dengan lekas pula ia lari
balik.
“Yang
di sana setiap
tumpukannya tujuh tengkorak,” ia beritahu.
“Kalau
begitu, mereka akan segera kembali!” kata Tin Ok, kembali dengan suara
perlahan.
Enam
saudara itu mengawasi dengan melengak, mereka menantikan penjelasan.
“Merekalah
Tong Sie dan Tiat
Sie,” Tin Ok bilang.
Cu Cong terkejut hingga ia
berjingkrak. “Bukankah Tong Sie dan Tat Sie
sudah lama mati?” dia tanya. “Kenapa
mereka masih ada di dalam dunia ini?”
“Aku
juga menyangka mereka sudah mati, kiranya mereka sembuniy disini dan secara
diam-diam tengah menyakinkan ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw,” kata Tin Ok.
“Saudara-saudara lekas naik ke kudamu masing-masing, segera kabur ke selatan,
sekali-kali jangan kamu kembali! Sesudah kabur seribu lie, tunggu aku selama
sepuluh hari, jikalau sepuluh hari aku tidak datang menyusul kamu, kamu tidak
usah menunggui lebih lama lagi…!”
“Toako,
apakah katamu?” tanya Siauw Eng
gelisah. “Kita sudah minum arak bercampur darah, kita sudah bersumpah untuk
hidup atau mati bersama, maka itu kenapa kau anjurkan kita lari menyingkir?”
Tin
Ok goyangi tangannya berulang-ulang. “Lekas pergi, lekas pergi!” katanya
mendesak. “Lambat sedikit atau sudah tidak keburu lagi!”
Han
Po Kie menjadi gusar. “Apakah kau sangka kita orang-orang yang tidak berbudi?!”
dia tanya membentak.
“Mereka
berdua lihay luar biasa,” Tin Ok bilang, “Mereka sekarang lagi menyakinkan ilmu
Kiu im Pek-kut Jiauw itu, walaupun mereka belum dapat merampunginya, mereka toh
sudah paham delapan atau sembilan bagian, dari itu sekalipun kita bertujuh,
kita pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kita mesti antaran jiwa secara
sia-sia?”
Enam
saudara itu ketahui kakak mereka ini beradat tinggi, belum pernah ia puji
kepandaian lain orang, sekali pula Khu Cie Kee yang lihay, dia berani lawan,
tetapi sekarang ia jeri terhadap dua
orang itu, Tong Sie si Mayat
Perunggu dan Tiat Sie
si mayat Besi, mereka mau percaya sang kakak tidaklah tengah berdusta. Tentu
saja, karenanya mereka menjadi ragu-ragu.
“Kalau
begitu, marilah kita pergi bersama-sama,” Kim Hoat
mengajak.
Tin
Ok tidak setuju, dengan dingin ia berkata: “Mereka sudah celakai aku seumur
hidup, saki hati ini tak dapat tidak dibalas!”
Lam
Hie Jin segera campur bicara. “Ada
rejeki kita mencicipi bersama, ada kesusahan kita derita bersama juga!” katanya.
Ia omong singkat tetapi kata-katanya sangat tepat yang tak dapat diubah lagi.
Tin
Ok menjadi diam dan berpikir. Sadarlah ia bahwa saudara-saudaranya itu sudah
berkeputusan bulat. Dia akhirnya menghela napas. “Baiklah kalau begitu,”
katanya kemudian. “Aku cuma minta kalian semua suka berlaku hati-hati. Tong Sie
itu ialah pria dan Tat
Sie itu wanita, mereka berdua itu
adalah suami-istri. Sekarang ini tak ada tempo untuk menjelaskan tentang mereka
itu, Cuma hendak aku pesan masing-masing jaga lah diri dengan hati-hati dari
cengkraman mereka. Liok-tee, coba jalan seratus tindak ke selatan, lihat benar
atau tidak di sana
ada sebuah peti mati.”
Coan Kim Hoat, adik yang nomor
enam, segera lari ke arah selatan. Setelah seratus tindak, ia tidak lihat peti
mati yang disebutukan kakaknya itu, ia Cuma nampak unjungnya sebuah batu
lempangan muncul dari dalam tanah, batu itu kotor dengan tanah dan ketutupan
rumput hijau. Ia tarik batu itu tetapi tidak bergeming. Dengan menggape, ia
panggil saudara-saudaranya yeng mengawasi ke arahnya.
Mereka
itu segera saja menghampirinya. Thio A Seng, Lam Hie Jin dan Han Po Kie,
setelah melihat batu itu, bantui saudaranya untuk mencabut. Sekarang barulah
papan batu itu dapat disingkirkan. Di
bawah sinar rembulan, di bawah batu itu tertampak sebuat peti mati bercorak
kotak atau peti batu dan di dalam situ rebah dua mayat.
Kwa
Tin Ok, setelah ia diberitahukan adanya kedua mayat itu, sudah lantas lompat
turun ke dalam peti mati yang besar itu.
“Musuhku
itu bakal lekas datang kemari untuk melatih ilmu silatnya itu, sebagai alatnya
ialah kedua mayat ini,” berkata ia, “Maka itu sekarang hendak aku sembunyi di
sini, untuk bokong pada mereka. Saudara-saudara pergi kau ambil tempat
berlindung di empat penjuru, jaga supaya mereka tidak dapat ketahui. Kamu mesti
menunggu sampai aku telah tidak dapat bertahan, baru kamu keluar untuk
mengepung mereka, itu waktu jangan kamu main kasihan-kasihan lagi. Cara membokong ini bukanlah cara
yang benar akan tetapi musuh terlalu tangguh dan telangas, tanpa cara ini jiwa kita bertujuh bakalan tidak dapat
ditolongi lagi!”
Tin
Ok omong dengan perlahan-lahan, tapi kata-katanya ditandaskan setiap patah.
Semua saudaranya itu menyahuti dengan janji akan menaati.
“Nusuh
itu sangat cerdik dan getap,” Tin Ok berkata pula dengan pesannya, “Sedikit
saja ada kelisikan, mereka bakal dapat tahu. Sekarang tutuplah papan batu ini,
Cuma tinggali sedikit liang kecil untuk aku
bernapas.”
Enam
saudara itu menurut, mereka lantas bekerja. Perlahan-lahan mereka letaki tutup
peti mayat yang istimewa itu. Kemudian, denagn siapakn masing-masing
senjatanya, mereka pencar diri ke empat penjuru untuk sembunyi sambil memasang
mata. Di situ ada banyak pepohonan dan
rumput tebal.
Han Siauw Eng adalah orang yang
hatinya paling berkhawatir dan paling heran pula. Semenjak ia kenal kakaknya
yang tertua itu, inilah pertama kalinya ia dapatkan sikap yang tegang sekali
dari kakaknya itu. Ia bersembunyi di samping Cu Cong,
maka itu sambil berbisik ia tanya ini
kakak nomor dua: “Jieko, Tong Sie dan Tiat Sie
itu makhluk macam apa?”
“Merekalah
yang di dalam dunia kang-ouw kesohor sebagai Hek Hong Siang Sat,” sahut sang kakak denagn
perlahan. “Di masanya mereka itu
malang-melintang di utara, kau masih kecil sekali citmoay, maka itu kau tidak
ketahui tentang mereka. Dua orang itu snagat kejam, ilmu silat mereka lihay
sekali, baik di Jalan
Hitam, maupun di Jalan Putih,
siapa dengar mereka, hatinya ciut. Bukan sedikit orang gagah yang roboh di
tangan mereka itu.”
“Kenapakah
mereka itu tak hendak dikepung beramai-ramai?” Siauw Eng
tanya pula.
Bwee Tiauw Hong |
“Apakah
nama mereka itu?” Siauw
Eng masih menanya.
“Yang
pria, yang disebut Tong Sie itu, si Mayat Perunggu,
bernama Tan Hian Hong,” sahut kakak keduanya itu. “Dia berparas muka semu
kuning hangus seperti perunggu, pada wajahnya itu tak pernah tampak tanda
kemurkaan atau tertawa, dia beroman seperti mayat saja, maka itu orang juluki
dia Tong Sie.”
“Kalau
begitu yang wanita, Tiat
Sie itu, mestinya berkulit hitam
legam?”
“Tidak
salah! Dia she Bwee, namanya Tiauw
Hong.”
“Toako
menyebut ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw, ilmu apakah itu?” tanya
adiknya lagi.
“Tentang
ilmu itu belum pernah aku mendengarnya,” jawab sang kakak.
Siauw Eng diam sejenak. Lalu
ia menyambung lagi, “Kenapa toako tak pernah sebut-sebut itu? Mustahilkah…”
Nona
ini berhenti berbicara dengan tiba-tiba, sebab Cu Cong
mendekap mulutnya yang kecil mungil itu.
“Sstt!”
berbisik sang kakak itu seraya tangannya menunjuk ke bawah bukit.
Siauw Eng segera memasang
matanya ke arah tempat ynag ditunjuk itu. Di
bawah terangnya sinar rembulan, ia tampak seuatu benda hitam lagi
bergerak-gerak cepat di atas tanah berpasir.
“Sungguh
memalukan,” ia mengeluh di dalam hatinya, “Kiranya jieko waspada sekali, sambil
memberi keterangan padaku, ia terus pasang matanya.”
Sebentar
saja benda itu sudah datang semakin dekat. Maka sekarang tampaklah dengan
nyata: Itulah dua orang, yang berjalan rapat satu dengan lain, hingga mereka
merupakan sebagai satu bayangan yang besar.
Enam
saudara dari Kanglam itu menahan napas, semuanya bersipa sedia. Cu Cong
cekal kipasnya peranti menotok jalan darah. Siauw Eng
tancap pedangnya ke tanah, guna cegah sinarnya berkilauan.
Sekarang
terdengar suara pasir disebabkan tindakan kaki, suara itu menyebabkan
ketegangan di hati ke enam bersaudara itu.
Kapan
sebentar kemudian tindakan kaki tak menerbitkan suara pula, di atas bukit itu
tertampak dua orang bagai bayangan, berdiri diam. Dilihat dari kepalanya, yang
memakai kopiah kulit, yang satu mirip orang Mongol. Ynag kedua yang rambutnya
panjang dan memain atas tiupan angin, adalah seorang wanita.
“Mestinya dia Tong Sie dan Tiat Sie,” pikir
Siauw Eng. “Sekarang ingin aku saksikan bagaimana mereka melatih diri….”
Si wanita sudah lantas berjalan mengitari si pria, nyata
terdengar buku tulang-tulangnya bersuara meretek, mengikuti jalannya, dari
lambat menjadi cepat, suaranya semakin keras.
Enam
saudara itu menjadi heran. “Tenaga dalamnya begitu hebat, pantas toako memuji
mereka,” pikir mereka.
Wanita
itu gerak-geraki kedua tangannya, diulur dan ditarik, saban-saban terdengar
suara mereteknya. Rambutnya pun mengikuti bergerak-gerak juga.
Siauw Eng bernyali besar
tetapi ia toh menggigil pula.
Tiba-tiba si wanita itu angkat tangan
kanannya, disusul sama tangan kirinya menyerang dada si pria.
Heran
enam saudara itu. “Dapatkah si pria, degan darah dagingnya manusia, bertahan
terhadap serangan itu?” tanya mereka
di dalam hati.
Selagi
begitu, si wanita sudah menyerang pula, ke perut, beruntun hingga tujuh kali,
setiap serangan bertambah cepat, bertambah hebat. Si pria tapinya mirip mayat,
tubuhnya tidaj bergeming, ia tak bersuara. Tapat sampai pukulan yang ke
sembilan, wanita itu lompat mencelat, jumpalitan, kepala di bawah, kaki di
atas, tangan kirinya menyambar kopiah si pria, tangan kanannya, dengan lima jari, mencengkeram
ke ubun-ubun si pria.
Hampir Siauw Eng menjerit karena
kagetnya. Si wanita sebaliknya tertawa besar dan panjang, kapan tangan kanannya
di tarik, lima
jarinya berlumuran darah pula. Sembari mengawasi tangannya itu, ia masih
tertawa. Tiba-tiba saja ia menoleh ke arah Siauw Eng,
hingga si nona dapat nampak wajah orang – satu wajah hitam manis,
usianya ditaksir kira-kira empatpuluh tahun. Hanya aneh, walaupun ia tertawa,
mukanya tidak tersenyum.
Sekarang
enam saudara itu ketahui, si pria bukan Tong Sie, si suami, hanya seorang yang
lain, yang rupanya ditangkap untuk dijadikan bahan atau korabn latihan Kiu Im
Pek-kut Jiauw, Cengkeraman
Tulang Putih.
Maka terang sudah, wanita itu adalah Tiat Sie Bwee Tiauw
Hong, si Mayat Besi,
sang sistri. dengan sendirinya mereka menjadi membenci kekejaman wanita itu.
Seberhentinyatertawa,
Tiauw Hong geraki kedua tangannya, untuk merobek
membuka pakaiannya pria korbannya itu. di Utara ini,
dimana hawa udara adalah sangat dingin, orang memakai baju dalam kulit, tetapi
sekarang, gampang saja si wanita ini menelanjangi pria itu, tubuh siapa lalu ia
letaki di tanah. habis itu, dengan rangkap kedua tangannya, si wanita itu
berjinjit, berlompatan mengitari korbannya itu. Diwaktu melompat, dia tidak
tekuk dengkulnya, tidak membungkuk tubuhnya. Dia lompat tingginya beberapa
kaki, lempang jegar.
Disamping
heran dan gusar, enam saudara itu merasa kagum.
Wanita
itu berhenti berlompatan dan berputaran sesudah ia berpekik keras dan panjang
sambil ia lompat tinggi berjumpalitan dua kali, ia turun di sisi mayat, dua
tangannya dipakai menjambak dada dan perut mayat itu, untuk menarik keluar isi
perut orang. Di bawah sinar rembulan,
wanita itu memeriksa, lalau ia membuangnya setiap isi perut itu, paru-paru dan
jantung, yang semuanya telah tak utuh lagi.
Nyatalah,
dengan sembilan kali serangannya – Kiu im – wanita ini membikin rusak isi perut
pria itu, dan ia memeriksa itu, untuk membuktikan sampai di mana hasil
latihannya itu.
Bukan
kepalang gusarnya Siauw Eng.
ia dapat menduga, tumpukan tengkorak itu terang adalah korban-korbannya wanita
kejam ini. Tanpa merasa, ia cabut pedangnya, hendak ia menerjang wanita itu.
Disaat
berbahaya itu, Cu
Cong tarik si nona dan menggoyangi
tangannya. Saudara yang kedua ini telah berpikir: Tiat Sie
bersendirian, biar dia lihay, kalau dikepung bertujuh, kita pasti dapat
melawan. Kalau dia terbunuh lebih dahulu, jadi lebih gampang untuk melayani
Tong Sie. Kalau mereka ada berdua, tak dapat mereka layani…..Tapi, siapa tahu
Tong Sie bersembunyi di mana? siapa tahu kalau dia muncul mendadak, untuk
membokong kita? Toako telah memikir jauh, baiklah kita taai pesannya. Biar
toako yang mendahului…”
Habis
memeriksa isi perut mayat, Tiat
Sie nampaknya puas, ia lantas
duduk numprah di tanah. Dengan menghadapi rembulan, ia tarik napasnya keluar
masuk, untuk melatih tenaga dalamnya. Ia duduk dengan membelakangi Cu Cong dan Siauw Eng,
nampak nyata bebokongnya bergerak-gerak.
“Kalau
sekarang aku tikam dia, sembilan puluh sembilan persen, aku dapat tublas tembus
bebokongnya!2 pikir si nona Han. “Hanya kalau aku
gagal, akibatnya mesti hebat sekali……………”
Karena
ini, karena ragu-ragu, ia bergemetar sendiri. Tegang hatinya.
Cu Cong pun sama tegangnya
sampai ia menahan napasnya.
habis
melatih napasnya, Bwee
Tiauw Hong
bangkit berdiri. Ia lantas seret mayat korbannya, dibawa ke peti mayat di mana
Kwa Tin Ok umpatkan diri. Ia membungkuk, untuk angkat tutup peti mati istimewa
itu.
Enam
saudara itu bersiap. Begitu tutup dibuka, hendak mereka menerjang berbareng.
Tiba-tiba
Bwee Tiauw Hong
mendengar berkelisiknya daun pohon di sebelah belakangnya. Perlahan sekali
suara itu, seperti desairnya angin. ia toh berpaling dengan segera. ia dapat
lihat seperti bayangannya satu kepala orang di atas pohon. Tak ayal lagi,
berbareng dengan pekiknya, ia lompat ke arah pohon itu.
Itulah
Ma Ong Sin Han Po Kie yang sembunyi di pohon itu. Ia bertubuh kate, ia percaya dengan sembunyi di atas pohon, ia
tak bakal dapat dilihat. Ia hendak berlompat turun ketika tubuhnya bergerak
bangun, ia tidak sangka, ia dapat dipergoki wanita lihay itu yang segera
menerjang ke arahnya. Tanpa sangsi ia kerahkan tenaganya, akan sambut wnaita
itu dengan cambuknya Kim-liong-pian. Ia mengarah ke lengan.
Bwee Tiauw Hong tidak berkelit atau
menangkis, sebaliknya, ia papaki cambuk itu, untuk terus disambar, untuk
dicekal dan dibarengi ditarik dengan keras!
Po
Kie merasakan satu tenaga keras menarik ia, tetapi ia juga bertenaga besar, ia
juga balik menarik. Mengikuti tarikan orang, atau lebih benar mengikuti cambuk Naga Emas.
Bwee Tiauw Hong
menyambar dengan tangannya ynag kiri, yang cepat bagaikan angin, anginnya pun
tiba lebih dahulu. Po Kie meninsyafi bahaya, ia lepaskan cambuknya, terus ia
lompat berjumpalitan. Tiauw
Hong tidak hendak memberi lolos, lima jari tangannya
menyambar ke arah bebokong si cebol itu. Po Kie merasakan angin dingin di
pundaknya, lagi sekali ia enjot tubuhnya, untuk meleset ke depan.
Di
saat itu, di bawah pohon, Lam Hie Jin dengan Touw-kut-cui, Bor Menembuskan
Tulang, dan Coan Kim Hoat dengan sepasang panah tangannya, menyambar ke arah
musuh itu. Tiauw
Hong ketahui itu, seperti juga
sebuah kipas besi, ia menyambok dengan tangannya yang kiri, hingga kedua
senjata rahasia itu jatuh ke tanah, sedang di lain pihak, tangan kanannya telah
merobek baju Po Kie di bagian bebokongnya!
Po
Kie menekan tanah denagn kaki kiri, ia enjot tubuhnya, akan lomcat pula. Tetapi Tiauw Hong,
yang sangat gesit, sudah lompat hingga di depannya dan sambil menaya: “Kau
siapa?! Perlu apa kau datang kemari?!” sepasang tangannya sudah mampir di
pundak orang, hingga PO Kie mersakan sakit sekali, sebab sepuluh kukunya telah
nancap di dagingnya. Dia menjadi kesakitan, kaget dan gusar, dia angkat
kakinya, menendang ke arah perut. Hebat kesudahan tendangan ini. Tendangan
seperti mengenai papan batu, di antara suara keras, kaki itu terseleo
tekukannya, hingga bahna sakitnya, yang sampai ke ulu hati, ia roboh hampir
pingsan, hanya dasar jago, dia masih bisa menggulingkan diri, akan
menyingkirkan jauh.
Tiauw Hong snagat lihay, dan
gesit sekali, masih dia lompat, untuk menendang bebokong musuh gelapny aitu,
hanya di saat itu, sebuah kayu pikulan yang hitam menyambar dia dari samping,
mengarah kakinya. Batal menyerang, dia lompat mundur satu tindak. Hanya kali
ini, dengan lihaynya matanya dan jelinya kupingnya, dia segera mengerti bahwa
dia telah berada dalam kepungan. Satu mahasiswa yang memegang kipas totokan dan
satu nona yang bersenjatakan pedang, menyerang ia dari kanannya, sedang di
kirinya datang serangan golok dari seseorang yang bertubuh jangkung gemuk serta
seorang kurus denagn senjatanya yanga neh, sementara penyerang dengan kayu
pikulan itu adalah seorang desa. ia menjadi heran dan gentar pula. Semua
penyerang itu tidak dikenalnya dan mereka agaknya lihay. Maka ia lantas
berpikir: “Mereka banyak, aku sendirian, baiklah aku robohkan dulu beberapa
diantaranya.” Demikian, dengan satu kali meleset, ia menyambar ke mukanya Siauw Eng!
Cu Cong melihat ancaman
bahaya untuk adiknya itu, ia menyerang jalan darah kiok-tie-hiat dari musuh
lihay itu. Tapi
Tiat Sie
si Myata Besi benar-benar lihay, malah aneh juga, sebab ia tidak pedulikan
totokan itu, dia teruskan sambarannya kepada nona Han
itu.
Dengan
satu gerakan “Pek louw heng kang” atau “ Embun putih melintangi sungai”, Siauw
Eng membabat tangan musuh, atas mana, dengan putar ugal-ugalan tangannya, Bwee
Tiauw Hong dengan berani berbalik menyambar pedang. Dia agaknya tidak takuti
senjata tajam itu.
Siauw Eng menjadi terkejut,
cepat-cepat ia melompat mundur.
Disaat
itu, denagn perdengarkan suara membeletak, kipas Cu Cong
telah mengenai tepat sasarannya, ialah jalan darah kiok-tie-hiat. Biasanya,
siapa terkena totokan itu, segera tangannya kaku dan mati. Cu Cong
tahu ia telah dapat menghajar sasarannya, hatinya girang sekali. Justru is
bergirang itu, tahu-tahu tangan musuh berkelebat, menyambar ke kepalanya!
Bukan
main kagetnya Manusia
Aneh yang kedua ini. Dengan
perlihatkan kegesitannya, ai lompat melesat, untuk membebaskan diri dari
sambaran itu. Ia lolos tetapi kegetnya tak kepalang, herannya bukan buatan.
“Mungkin
ia tidak mempunyai jalan darah?” pikirnya.
Ketika
itu, Han Po Kie sudah jemput cambuknya, dengan bekersama dengan kelima
saudaranya, ai maju pula, mengepung musuh yang lihay itu, maka juga pedang dan
golok semua seperti merabu Bwee
Tiauw Hong.
Akan tetapi si Mayat
Besi tak jeri,
dia seperti tidak menghiraukan enam rupa senjata musuh itu, ia terus melawan
denagn sepasang tangannya yang berdarah daging!
Dengan
kuku-kukunya yang seperti gaetan besi, Bwee Tiauw
Hong main sambar musuh, untuk
merampas senjata, guna mencengkeram daging. Menyaksikan itu, enam Manusia Aneh
itu menjadi ingat semua tengkorak yang berliangkan bkeas jari tangan itu,
dengan sendirinya hati mereka menjadi gentar. Merka juga mendapatkan tubuh
orang seperti besi kuatnya
Dua
kali bandulan timbangan Coan Kim Hoat mengenai bebokongnya Tiat Sie dan satu
kali kayu pikulannya Kanglam Liok Koay menyambar paha, tetapi Bwee Tiauw Hong
agaknya tidak terluka, sedang seharusnya dia mesti patah atau remuk
tulang-tulangnya. Karena ini, teranglah orang telah punyakan pelajaran
Kim-ciong-tiauw – Kurungan Loncang Emas, dan Tiat-pou-san – Baju Besi, dua
macam ilmu kedot.
Kecuali
golok lancipnya dari Thio A Seng dan pedang tajam dari Han Siauw
Eng, semua senjata lainnya, berani
Tiat Sie sambut dengan tubuhnya yang tangguh
itu.
Lagi
sesaat, Coan
Kim Hoat
berlaku rada ayal, tidak ampun lagi bahu kirinya kena dicengkeram Bwee Tiauw
Hong. Lima Manusia aneh lainnya
kaget, mereka menyerang dengan berbareng guna menolongi saudara mereka itu.
Tapi si Mayat
Besi sudah berhasil, tak saja
bajunya Kim Hoat robek, sepotong dagingnya pun kena
tercukil dan dia berdarah-darah.
Cu Cong jadi berpikir, ia
menduga-duga dimana kelemahan musuh lihay itu. Ia tahu betul, siapa punya ilmu
kedot, ia mesti mempunyai suatu anggota kelemahannya. Karena ini ia
berlompatan, menyerang sambil mencari-cari. Di
batok kepala ia totok jalan darah pek-hoay, di tenggorokan jalan darah
hoan-kiat, sedang di perut jalan darah cee-cun dan di bebokong jalan darah
bwee-liong, demikian pun jalan darah lainnya. Ia sudah menontok belasan kali,
tidak juga ada hasilnya, hingga ia menjadi berpikir keras.
Bwee Tiauw Hong dapat menerka maksud
orang. Dia berseru: “Siucay rudin, ketahui olehmu, pada nyonya besarmu tidak
ada bagiannya yang lemah, semua anggota tubuhnya telah terlatih sempurna!” Dan tangannya menyambar lengan si mahasiswa itu!
Cu Cong terkejut, baiknya ia
gesit dan cerdik, tak tunggu tibanya cengkeraman, ia mendahului menotok telapak
tangan orang.
Tiauw Hong kena cekal barang
keras, ia heran, justru itu Cu
Cong bebaskan diri.
Manusia Aneh ynag kedua itu
menyingkir beberapa tindak, untuk lihat lengannya. Di
sana terpeta tapak
lima jari
tangan, melihat mana, ia menjadi terkesiap hatinya. Syukur ia keburu membela
dirinya, kalau tidak, celakalah ia. Ia menjadi bersangsi. Dipihaknya, sudah ada
tiga yang kena tangan lihay si Mayat
Besi. Coba Tong Sie si Mayat Perunggu
muncul, tidakkah mereka bertujuh saudara bakal roboh semuanya?
Thio A Seng, Han Po Kie dan Coan Kim
Hoat sudah lantas mulai
tersengal-sengal napasnya, jidat mereka bermandikan peluh. Tinggal Lam Hie Jin
yang masih dapat bertahan demikian juga dengan Lam Siauw Eng – Hie Jin karena
tenaga dalamnya sempurna, Siauw
Eng lantaran kegesitan tubuhnya.
Dipihak sana, Tiauw Hong
malah bertambah gagah nampaknya.
Satu
kali Cu Cong kebetulan menoleh ke arah tumpukan
tengkorak, ia dapat lihat cahaya putih dari tengkorak-tengkorak itu. Tiba-tiba
ia bergidik, tetapi tiba-tiba juga, ia jadi ingat sesuatu. Segera ia melompat,
untuk lari ke arah peti mati, di mana Kwa Tin Ok lagi sembunyikan diri, sembari
berlari, ia berteriak: “Semua lekas menyingkir!”
Lima saudara itu mengerti
teriakan itu, mereka lantas berkelahi sambil mundur.
“Dari
mana munculnya segala orang hutan yang hendak mencurangi nyonya besarmu!” kata Tiauw Hong
dengan ejekannya. “Sekarang sudah
terlambat untuk kamu melarikan diri…!” segera ia merangsak.
Lam
Hie Jin bersama Coan Kim Boat dan Han Siauw Eng mencoba merintangi musuh ini,
selagi begitu Cu Cong bersama Thio A Seng dan Han Po Kie, yang sudah lantas
lari ke peti mati, sudah lanats kerahkan tenaga mereka, untuk angkat papan batu
tutup dari peti mati itu. Mereka menggesernya ke samping.
Hebat Bwee Tiauw
Hong, ia dapat menyambar kayu pikulan dari
Lam Hie Jin. Ia menggunai tangan kirinya, maka itu
dengan tangan kanannya, ia sambar sepasang mata lawannya itu.
Disaat
itu, Cu Cong berteriak keras: “Lekas turun
menyerang!” Dengan tangan kanan ia menunjuk ke atas, kedua matanya mengawasi ke
langit, dengan tangan kirinya, yang diangkat tinggi, ia menggapai-gapai. Itulah
teriakan dan tanda untuk kawannya yang sembunyi di dalam peti mati, supaya
kawan itu segera turun tangan.
Bwee Tiauw Hong heran, tanpa merasa
ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Ia melainkan hanya lihat rembulan, ia
tak tampak manusia seorang juga.
“
DI depan tujuh tindak!” Cu
Cong teriak pula.
Kwa
Tin Ok di dalam peti mati telah siap sedia, segera kedua tangannya diayunkan,
dengan begitu enam buah senjata rahasianya sudah lantas menyerang ke tempat
tujuh tindak, sasarannya adalah tiga bagian atas, tengah dan bawah. Pun, sambil
berseru keras, ia turut lompat keluar dari dalam peti mati. Maka itu, ia sudah
lantas bekerja sama dengan enam saudaranya itu.
Bwee Tiauw Hong sendiri sudah lantas
perdengarkan jeritan hebat dan menggiriskan. Nyata kedua matanya telah menjadi
korbannya tok-leng, senjata rahasianya Tin Ok itu. Empat yang lain, yang
mengenai dada dan paha, tidak memberi hasil, empat-empatnya jatuh menggeletak
di tanah.
Bwee Tiauw Hong merasakan sangat sakit dan juga menjadi
sangat gusar, tanpa hiraukan sakitnya itu, ia menggempur terus dengan kedua
tangannya kepada Kwa Tin Ok, akan tetapi Tin Ok telah segara berkelit ke
samping. Dengan menerbitkan suara keras, batu telah kena terhajar hancur. Dalam
murkanya, Tiauw Hong terus menendang papan batu yang menghalangi di depannya,
papan batu itu terpatah menjadi dua tanpa ampun lagi!
Kanglam Cit Koay menyaksikan itu, hati mereka menggetar. Untuk sesaat mereka
tidak menyerang pula.
Bwee Tiauw Hong telah kehilangan
penglihatan kedua matanya, maka itu sekarang ia berkelahi secara kalap. ia
bersilat ke empat penjuru, kedua tangannya menyambar berulang-ulang.
Cu
Cong tidak buka suara, dengan tangannya ia memberi tanda kepada
saudara-saudaranya menjauhkan diri dari orang kalap itu, dari itu, dari
jauh-jauh, mereka menyaksikan lebih jauh bagaimana Mayat Besi menyambar
pepohonan dan batu yang melintang di depannya, ia membuatnya pohon-pohon rubuh
dan batu hancur tertendang.
Selang
sekian lama, Tiauw
Hong merasa matanya keras. Ia
rupanya menginsyafi yang ia telah terkena senjata rahasia yang ada racunnya.
“Kamu
siapa?!” ia berteriak dengan pertanyaannya. “Lekas kasih tahu! Kalau nyonya
besarmu mati, ia akan mati dengan puas!”
Cu Cong menggoyangi tangan
kepada kakak tertuanya, untuk kakak itu jangan membuka suara. Ia ingin si Mayat Besi mati sendirinya karena
bekerjanya racun senjata rahasia itu. Baharu dua kali ia menggoyangkan
tangannya, ia jadi terperanjat sendirinya. Kakak itu buta, mana dapat ia
melihat tandanya itu?
Benar saja, Tin Ok sudah perdengarkan suaranya yang
dingin itu. “Apakah kau masih ingat Hui-thian Sin Liong Kwa Pek Shia atau
Hui-thian Pian-hok Kwa Tin Ok?” demikian tanyanya.
Bwee Tiauw Hong melengak dan lalu
tertawa panjang. “Hai, bocah kiranya kau belum mampus?” tanya
dia. “Jadinya kau datang untuk menuntut balas untuk Hui-thian Sin Liong?”
“Tidak
salah!” jawab Tin Ok. “Kau juga belum mampus, bagus!”
Tiauw Hong menghela napas, ia
berdiam.
Tujuh
saudara itu mengawasi, mereka berdiam tetapi siap sedia. Ketika itu angin
dingin meniup membuat orang mengkirik.
“Toako awas!” sekonyong-konyong Cu Cong
dan Coan Kim Hoat
berseru.
Belum
habis peringatan kedua saudara itu, Tin Ok sudah merasakan sambaran angin ke
arah dadanya, dengan menukikkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya lalu meleset
naik ke atas pohon.
Bwee
Tiauw Hong tubruk sasaran kosong, karenanya tubuhnya maju terus, merangkul
pohon besar di belakang Tin Ok tadi, batang pohon besar itu tercengkeram
sepuluh jarinya, menampak mana, enam Manusia Aneh itu bergidik sendirinya. Coba
Tin Ok yang terkena rangkul, masihkah ia mempunyakan nyawanya?
Gagal
serangan itu, Bwee
Tiauw Hong
berpekik keras, suaranya tajam dan terdengar jauh.
“Celaka,
dia lagi memanggil Tong Sie, suaminya…” kata Cu Cong
dalam hatinya. Lalu ia meneruskan dengan seruannya:” Lekas bereskan dia!” Ia
pun mendahulukan, dengan kerahkan tenaga di tangannya, ia serang bebokongnya si
Mayat Besi. Ia menepuk keras.
Thio A Seng menyerang dengan
salah satu potong papan batu yang tdai ditendang patah Bwee Tiauw
Hong. Ia pilih batok kepala musuh
sebagai sasarannya.
Tiat Sie buta sekarang, ia
pun belum pernah menyakinkan ilmu mendengar suara seprti Kwa Tin Ok, akan
tetapi kupingnya terang, sambaran angin papan batu itu pun keras, ia dengar
angin itu, maka itu, ia segera berkelit ke samping. Ia dapat menghindar dari batu tetepi tidak serangannya
Cu Cong. Ia menjadi kaget apabila ia merasakan bebokongnya sakit sampai jauh di
ulu hatinya. Tidak peduli ia kebal tetapi serangan Biauw Ciu Sie-seng hebat
bukan main, ia tergempur di bagian dalam.
Setelah
hasilnya yang pertama ini, Cu
Cong tidak berhenti sampai di
situ. Segera menyusul serangannya yang kedua. Kali ini ia gagal, ia malah mesti
lompat menyingkir. Rupanya
Tiauw Hong
telah dapat menduga, ia mendahulukan menyambar. tentu saja Manusia Aneh
yang kedua ini tidak sudi menjadi korban.
Hampir
berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar pekikan nyaring seperti pekikan Tiauw Hong
barusan. Pekikan itu membuat hati orang terkesiap. lalu menyusul pekik yang
kedua, yang terlebih nyaring lagi, tanda bahwa orang yang memperdengarkan itu
telah datang lebih dekat.
Kanglam Cit Koay terkejut. “Hebat
larinya orang itu!” kata beberapa diantaranya.
Han Siauw Eng lompat ke samping,
untuk memandang ke bawah bukit. Ia tampak satu bayangan hitam lari mendatangi
dengan cepat sekali. Sembari mendatangi, bayangan itu masih berpekik-pekik.
Ketika
itu Bwee Tiauw Hong
sudah tidak mengamuk seorang diri lagi, ia berdiri diam dengan sikapnya yang
siap sedia, napasnya diempos, guna mencegah racun di matanya dapat menjalar.
Dengan sikapnya ini ia menantikan suaminya, untuk suaminya itu tolongi dia
sambil membasmi musuh….
Cu Cong segera geraki
tangannya ke arah Coan
Kim Hoat,
lalu berdua mereka lompat ke gombolan rumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar