Bab 30. Si baju hijau yang aneh.....
Inilah jurus “Hang Liong Yu Hui”
dari Hang Liong Sip-pat Ciang, yang anak muda she Kwee ini telah menyakinkan
sekira selama satu bulan, hingga bisalah dimengerti beda
jauh dengan waktu permulaannya Ang
Cit Kong
mengajarinya.
Kiu Cian Jin memandang enteng
kepada murid orang ini, sebab ia melihat dari gerak-gerik, mestinya Han Po Kie
tidak seberapa lihay, maka kaget ia melihat serangan itu. Ia mencelatkan
tubuhnya, melompat tinggi-tinggi, karena mana, hancurlah kursinya itu. Ia
menjadi gusar sekali.
“Anak
kurang ajar!” bentaknya setelah turun kembali di lantai.
“Locianpwee,
tolong berikan pengajaran padaku!” kata Kwee Ceng
dengan hormat. Ia berlaku harti-hati, tak mau ia segera menyerang pula.
Tetapi Oey Yong hendak mengacaukan
pikirannya orang tua itu. “Engko
Ceng, menghadapi tua bangka ini
jangan kau sungkan-sungkan!”
Orang
tua itu murka bukan kepalang. Dia kenamaan sekali, siapa pernah mencaci padanya,
apapula di hadapannya sendiri? Sekarang ada ini bocah! Hampir ia melompat
dengan tangannya diayun, untuk menghajar bocah itu, atau mendadak ia masih
ingat akan kehormatannya dirinya sendiri. Dia tertawa dingin. Dia mengeluarkan
tangannya yang kanan, tangan kirinya dibawa ke keningnya, kemudian ia
menyerang, justru disaat itu Kwee
Ceng lagi menyampingkan diri.
Sebat sekali gerakannya ini.
Tapi Oey Yong sudah lantas
berteriak.
“Itulah
pukulan yang tidak ada keanehannya! Itulah jurus ke delapan yang dinamakan
‘Burung belibis tunggal keluar dari rombongannya’ dari tipu silat Thong-pek
Liok-hap-ciang!”
Kiu Cian Jin heran orang
mengenali pukulannya itu. Memang itu adalah tipu silat Thong-pek
Ngo-heng-ciang. Jurus itu tidak aneh, tetapi ia telah melatihnya selama
beberapa puluh tahun, maka di tanganya, pukulan itu lihay sekali, kedua
tangannya dapat bergerak dengan sebat dan hebat.
Kwee Ceng tidak berani
menangkis serangan itu, kesatu ia gentar juga untuk nama orang, kedua ia
melihat gerak-gerik orang yang luar biasa. Ia main mundur.
Kiu Cian Jin menduga-duga
terhadap si anak muda, ia mengambil kesimpulan; “Dia dapat menghajar kursi,
itulah sebab tenaganya yang besar. Ilmu silatnya hanya biasa saja….” Karena itu
ia lantas mendesak.
Oey Yong bingung melihat kawannya
terdesak demikian rupa, ia mengkhawatirkan kekalahannya. Maka ia lantas bersiap
untuk membantu.
Kwee Ceng kebetulan menoleh
kepada si nona, kapan ia melihat roman berkhawatir dari nona itu, tanpa merasa
hatinya terkesiap. Justru itu, tinjunya Kiu Ciab Jin mampir di dadanya. Serangan itu
membuatnya Oey Yong dan Kanglam
Liok Koay
kaget sekali, mereka mau menyangka akan habis sudah anak muda itu. Bukankah
musuh itu sangat tangguh? Kalau tidak mati, Kwee Ceng
akan terluka parah.
Kwee Ceng pun kaget bukan main,
ia lantas mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya dipentang dengan kaget. Habis
itu, ia menjadi heran sendirinya. Ia terhajar dadanya tetapi ia tidak merasakan
terlalu sakit, hingga ia jadi tercengang.
Oey Yong dapat melihat orang
berdiam, ia menyangka pemuda itu mau pingsan, ia lantas lompat untuk
mempepayang.
“Bagaimanam,
engko Ceng?” tanyanya. Tanpa merasa, air matanya meleleh.
Tapi
jawaban si pemuda luar biasa sekali. “Tidak apa-apa, akan aku mencoba pula!”
demikian jawaban itu. Ia terus mengangkat dadanya dan bertindak menghampiri
lawannya yang berdiri mengawasi padanya.
“Kaulah
si jago tua Tangan
Besi, marilah kau pukul pula aku
satu kali lagi!” ia menantang.
Jago
tua itu menjadi sangat gusar, ia sudah lantas meninju. Sebagai akibat serangan
itu terdengar suara “Duk!” keras sekali.
Bukannya
ia jatuh atau kesakitan, Kwee
Ceng justru tertawa berkakakan.
“Suhu,
Liok Chungcu, Yong-jie!” dia berteriak. “Tua
bangka ini berkepandaian biasa saja! Dia tidak menghajar aku tidak apa, setelah
ia menghajar, terbukalah rahasianya!”
Kata-kata
ini disusul dengan gerakan tangan kiri mengebas akan mendesak orang itu sambil
si anak muda berseru: “Kau pun rasakan tanganku!”
Melihat
gerakan orang itu, Kiu
Cian Jin
memandang enteng. Ia lantas menggeraki kedua tangannya, guna membentur tangan
kiri si pemuda. Ia tidak tahu Kwee Ceng justru menggunai jurus “enam naga naik
ke langit” dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah salah satu pukulan yang paling
luar biasa. Maka tidak ampun lagi ia kena trerhajar pundak kanannya yang menyambung
sama dadanya, tubuhnya terus terlempar ke luar pintu bagaikan layangan putus!
Semua
orang menjadi kaget hingga mereka memperdengarkan seruan. Jutsru itu, kejadian
aneh lainnya menyusul itu. Dari luar terlihat masuknya seorang wanita yang
mencekal Kiu
Cian Jin
pada leher bajunya, tindakan wanita itu lebar, sesampainya di dalam ruangan, ia
meletakkan orang yang dibawanya itu seprauh ditenteng. Dia berdiri tegar, pada
wajahnya tak tampak senyuman, sebaliknya romannya sangat dingin. Dia panjang
rambutnya riap-riapan ke pundaknya, kepalanya pun didongakkan. Sebab dialah tat
Sie Bwee Tiauw
Hong, salah satu dari Hek Hong
Siang Sat.
Semua
orang terperanjat.
Di belakang si Mayat Besi
ini ada mengikuti seorang lain, tubuhnya jangkung kurus, bajunya hijau, wajahnya
luar biasa sekali. Siapa mengawasi wajah itu, sendirinya ia akan menggigil.
Siapa pernah melihat satu kali, lantas tak sudi dia melihatnya buat kedua
kalinya….
Liok Chungcu heran bukan main, Kiu Cian
Jin yang demikian kesohor itu,
yang mulutnya terpentang sangat lebar, tidak sanggup mempertahankan diri untuk
satu hajaran dari Kwee
Ceng. Ia pun merasa lucu. Akan
tetapi, menampak munculnya Bwee Tiauw
Hong, ia melongo.
Wanyen Kang melihat gurunya, ia
girang bukan main.
“Suhu!”
ia memanggil seraya ia menghampirkan untuk memberi hormat. Berbareng dengan itu
dia menjadi ingat Liam
Cu, yang dia heran tidak datang
bersama, entah di mana adanya si nona.
Liok Chungcu tidak berdiam lama,
atau segera ia memberi hormat pada si Mayat Besi.
“Bwee Suci!”
katanya, “Duapuluh tahun sudah kita berpisah, hari ini kita dapat bertemu pula,
aku girang sekali. Tentunya
Tan koko baik,
bukan?”
Liok Koay saling mengawasu
dengan Koan Eng. Kenapa tuan rumah memanggil Suci, kakak seperguruan kepada Bwee Tiauw
Hong itu? Mereka heran berbareng
gentar juga. Tin Ok pun berpikir, “Hari ini kita berada dalam kurungan. Sudah Bwee
Tiauw Hong
sendiri sukar dilawan, sekarang ada adik seperguruannya ini.”
Oey Yong sebaliknya berpikir:
“Liok Chungcu ini, ilmu silatnya, ilmu suratnya,
kata-katanya, gerak-geriknya, semua mirip dengan ayah, aku sudah menyangka dia
ada hubungannya sama ayah, siapa sangka dia justru murid ayah…!”
Segera
terdengar suara dingin dari Bwee
Tiauw Hong.
“Yang bicara ini apakah sutee Liok
Seng Hong?”
“Benar
suteemu, suci,” sahut Liok
Chungcu. “Sejak perpisahan kita,
apakah suci banyak baik?”
Atas
itu, Bwee Tiauw Hong
menjawab, “Kedua mataku telah menjadi buta dan kau punya kakak Hiang Hong
telah orang bunuh mati pada duapuluh tahun yang lalu! Tidakkah itu memuaskan
hatimu?!”
Mendengar
itu, tuan rumah girang berbareng kaget. Kaget sebab Hek Hong Siang Sat yang begitu lihay, yang malang melintang di dunia
ini, telah ada yang binasakan. Girang sebab itu berarti ia kekurangan seorang
lawan tangguh dan ini musuh sisanya sudah bercacad matanya. Hanya ia berduka
kapan ia ingat persaudaraan mereka selama di pulau Tho Hoa To.
“Siapakah
musuh dari Tan koko itu?” ia tanya.
“Sudahkah suci menuntut balas?”
“Aku
justru hendak mencari mereka itu!” sahut Tiauw Hong.
“Nanti
aku akan membantu kau menuntut balas itu suci,” berkata Liok Chungcu.
“Selesai pembalasan itu, barulah kita membereskan perhitungan kita!”
“Hm!”
Bwee Tiauw Hong
mengasih dengar ejekannya.
Mendadak
itu Han Po Kie menepuk meja sambil berlompat bangun. “Bwee Tiauw
Hong, musuhmu ada di sini!” dia
berteriak.
Coan Kim Hoat terkejut, ia tarik
saudaranya itu.
Tiauw Hong sebaliknya melengak.
Sampai
disitu Kiu Cian Jin
yang sejak tadi berdiam saja, sebab ia merasakan sakit bekas hajaran Kwee Ceng
dan baru sekarang rasa sakitnya itu hilang sedikit, turut bicara.
“Apa
itu yang disebut menuntut balas dan membereskan perhitungan!” katanya.
“Sekalipun guru sendiri dibunuh orang tidak tahu, untuk apa menyebut diri
sebagai orang gagah?!”
“Apa
kau bilang?!” membentak Bwee
Tiauw Hong
seraya mencekal keras tangan orang.
“Lekas
lepas!” berteriak Kiu
Cian Jin
kesakitan.
“Kau
bilang apa?” tanya pula Tiauw Hong,
tidak memperdulikannya.
“Oey Yok
Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To,
telah orang bunuh mati!” sahut si orang tua.
Liok Seng Hong kaget sekali. “Benarkah
kata-katamu ini?” ia menanya.
“Kenapa
tidak benar?!” membaliki Kiu
Cian Jin.
“Oey Yok Su
kena dikurung Coan Cin Cit Cu murid-muridnya Ong Tiong Yang dan terbinasa
karenanya.”
Mendengar
itu, Bwee Tiauw Hong
dan Liok Seng Hong
menjerit menangis menggerung, sedang Oey Yong
roboh pingsan berlutut di kursinya. Dan
yang lainnya semua kaget sekali. Sebenarnya mereka tidak percaya Oey Yok
Su yang begitu lihay terbinasakan
orang, tetapi mengetahui musuh-musuhnya adalah Coan Cin Cit Cu, mau mereka
mempercayainya. Mereka ketahui baik kelihayan Ma Giok bertujuh.
Kwee Ceng pun kaget tetapi ia
segera tubruk Oey
Yong, untuk dikasih bangun sambil
dipeluki.
“Yong-jie,
sadar!” ia memanggil-manggil. Ia melihat muka orang pias dan napasnya berjalan
perlahan sekali, saking berkhawatir, ia berteriak: “Suhu! Suhu! tolongi dia!”
Cu Cong lompat
menghampirkan, ia meraba hidung orang.
“Jangan
khawatir,” ia berkata. “Ia pingsan karena kaget mendadak, dia tidak mati.” Ia
lantas mengurut-urut jalan darah lauw-kong-hiat di telapakan tangan si nona.
Dengan
perlahan-lahan Oey
Yong mendusin, lantas ia menjerit:
“Mana ayahku? Ayah! Aku menghendaki ayahku!”
Mendengar
itu Seng Hong terperanjat.
“Oh!”
serunya, “Kalau dia bukannya putri guruku, mana mungkin ia ketahui tentang
Kiu-ho Giok-louw-wan?” Lalu ia menangis, air matanya meleleh. Ia kata: “Adik
kecil, mari kita mengadu tenaga dengan
itu imam-imam bangsat dari Coan
Cin Kauw!
Eh, Bwee Tiauw Hong,
kau turut atau tidak? Kalau tidak, hendak aku mengadu jiwa lebih dulu
denganmu!”
Koan
Eng segera pepayang ayahnya, yang menjadi demikian berduka.
“Jangan
terlalu berduka, ayah,” ia membujuki, “Kita bertindak perlahan-lahan.”
Sneg Hong tidak memperdulikan
anaknya itu, ia menangis menggerung-gerung pula.
“Bwee Tiauw
Hong, kau perempuan bangsat!” dia
mendamprat. “Sungguh hebat kau telah menganiaya aku! Kau tidak tahu malu, kau
mencuri laki, itulah masih tidak apa! Tapi kenapa kau curi juga kitab Kiu Im
Cin Keng
kepunyaan guru? Kau tahu, saking gusarnya suhu, dia sudah putuskan urat kaki
dari kami empat saudara, dia usir kami semua dari pulau Tho Hoa To! Aku masih
mengharapkan suhu nanti sadar liangsimnya, nanti ia mengasihani kami yang tidak
bersalah dosa, supaya kami diterima kembali sebagai muridnya, tetapi sekarang
ia telah menutup mata! Dengan begini pastilah penyesalanku ini ada untuk seumur
hidupku…!”
Bwee Tiauw Hong panas hatinya, dia
membalas mencaci: “Dulu aku mencaci kau tidak punya semangat, sekarang tetap
aku mencaci kau tidak mempunyai semangat! Berulangkali kau mengajak orang
membikin susah kami suami-istri, kau membuatnya kami tidak punya tempat untuk
menyembunyikan diri, karenanya kami menjadi menderita sangat di gurun di Mongolia!
Sekarang, bukannya kau berdaya untuk membalas sakit hati suhu, kau repot hendak
membuat perhitungan denganku, kau menangis saja tidak karuan! Mari kita mencari Coan Cin Cit Cu, untuk mencari
balas! Jikalau kau tidak kuat jalan, nanti aku gendong padamu!”
Sampai
di situ, Oey
Yong campur bicara.
“Bwee Suci!
Liok Suko! Pergi kau menuntut balas untuk ayah!
Engko Ceng, mari
kita menyusul ayahku!”
Habis
ia berkata begitu, si nona menghunus senjatanya, Ngobie kongcie, untuk menikam
tenggorakkannya.
Cu Cong awas matanya dan
sebat gerakannya. Ia merampas senjata orang itu.
“Nona,
tanyalah dulu biar terang!” ia memberi ingat. Ia terus menghampirkan Kiu Cian
Jin, debu di tubuh siapa ia
kepriki beberapa kali. Ia berkata: “Muridku belum tahu apa-apa, dia lancang,
harap locianpwee memaafkannya.”
Tapi Kiu Cian
Jin murka sekali. “Aku sudah tua, mataku
lamur!” serunya. “Mari kita bertempur
pula!”
Cu Cong menepuk pundak orang
dengan perlahan, menggenggam tangan orang yang kiri, sembari tertawa berkata:
“Locianpwee lihay sekali, tak usahlah main-main pula!” Ia menarik orang duduk
lalu tangan kirinya mengambil cawan arak, mulutnya ia tutup dengan tangan
kanannya, yang ia putarkan, atau mendadak tangan kanan itu dipapaskan ke arah
keluar. Maka heran sekali, cawan itu lantas terpapas kutung separuhnya, tepat
seperti caranya Kiu
Cian Jin
tadi. Selagi lain orang terperanjat bahna heran, Cu Cong
tertawa dan berkata kepada orang tua itu: “Hebat kepandaian locianpwee, barusan
aku dapat mencurinya, maka itu harap locianpwee memaafkan aku! Terima kasih,
locianpwee!”
Wajahnya Kiu Cian
Jin berubah menjadi pucat. Orang heran
tetapi orang tetap tidak mengerti.
“Anak Ceng,
mari!” Cu Cong
memanggil muridnya. “Kepandaian yang gurumu ajarkan padamu lain kali kau boleh
gunai untuk membikin orang kaget, untuk memperdayakan orang!ӊ
Kwee Ceng menghampirkan
gurunya yang nomor dua itu, lalu dari tangan kiri si guru, dari jari tengah, ia
meloloskan sebuah cincin. Ia kata: “Inilah kepunyaan locianpwee, tadi aku
meminjamnya. Silahkan locianpwee memakai pula.”
Kiu Cian Jin kaget dan heran. Ia
sungguh tidak mengerti, cincin ditangannya dapat berpindah ke tangan lain
orang.
Cu Cong berkata pula,
“Cincin ini ditaburkan sepotong intan, yang sifatnya keras luar biasa, kau
gunai itu menempelkan di cawan, lalu kau putarkan…”
Kwee Ceng menurut, ia
melakukan titah gurunya itu. Baru sekarang semua orang mengerti duduk halnya,
Koan Eng semua tertawa.
Oey Yong pun tertawa, tetapi
sesaat kemudian ia menangis pula. Sebab ia segera ingat lagi ayahnya.
“Jangan
menangis, Nona!” Cu
Cong menghibur. “Ini Kiu
locianpwee paling suka memperdayakan orang, kata-katanya belum tentu harum wangi!”
Oey Yong heran, ia mengawasi
guru kawannya itu.
“Cu Cong
tertawa, dia berkata pula: “Ayahmu sangat lihay, cara
bagaimana dia dapat dibinasakan orang? Laginya Coan Cin Cit Cu adalah
orang-orang terhormat, mereka juga tidak bermusuh dengan ayahmu, kenapa mereka
jadi bisa bertempur?”
“Mungkin
ini disebabkan urusan Ciu Pek Thong, pamannya Khu Totiang
beramai….” Oey
Yong mengutarakan dugaannya.
“Bagaimana
itu?” tanya Cu Cong.
“Kau
tentunya belum tahu….” si nona menangis lagi.
“Biar
bagaimana, aku percaya kata-kata orang tua bangka ini berbau busuk!” Cu Cong
mengasih kepastian.
“Apakah
kau maksudkan dia melepas…melepas….”
Cu Cong menyahuti dengan
sikapnya wajar.
“Tidak
salah, dia melepaskan angin busuk! Di
dalam tangan bajunya masih ada rupa-rupa barang yang muzijat, kau terka-lah apa
perlunya itu…” Dan dia merogoh ke
tangan baju orang, ia mengasih keluar barang-barang yang disebutkan itu, ialah
dua potong batu bata, seikat rumput kering, sepotong wol peranti menyalakan
api, sepotong baja peranti membangkitkan api, serta sepotong batu api.
Oey Yong jumput batu bata
itu, ia pencet, lantas bau itu hancur luluh. Karena ini berkuranglah
kesedihannya, dapat ia tersenyum. Ia kata: “Jie suhu, bata ini terbuat dari
tepung! Tadi dia memencetnya dengan menggunai ilmu tenaga dalamnya yang lihay
sekali!”
Kiu Cian Jin malu bukan main,
mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, karena tak ada tempat untuk menaruh
muka lagi, ia kebaskan tangan bajunya, ia bertindak keluar untuk berlalu.
Bwee Tiauw Hong menggeraki
tangannya, menyambar tubuh orang, terus dibantingkan.
“Kau
bilang guruku meninggal dunia, bilang benar atau dusta?!” si Mayat Besi
tanya dengan bengis.
Hebat
bantingan itu, Kiu
Cian Jin
merintih kesakitan.
Oey Yong lihat seikat rumput
itu ada bekas terbakar, maka sadarlah dia.
“Jie
suhu,” katanya pada Cu
Cong. “Coba kau
sulut rumput itu dan kau masuki ke dalam tangan bajumu, lalu kau menyedot dan
meniupnya keluar.”
Cu Cong menurut, ia berbuat
itu, malah sambil menutup kedua matanya dan menggoyang-goyangkan kepalanya!
Oey Yong bertepuk tangan, dia
tertawa gembira.
“Engko
ceng, lihat, bukankah begini caranya si tua bangka ini memainkan tenaga
dalamnya?” katanya. Ia bertindak menghampirkan orang tua itu, sembari tertawa
geli ia memerintah, “Kau bangunlah!” Ia mencekal tubuh orang, untuk dikasih
bangun, lalu memdadak dengan tangan kirinya ia menotok jalan darah sintong-hiat
di punggung orang. Membarengi itu, ia membentak: “Kau bilang, sebenarnya ayahku
mati atau tidak? Jikalau kau bilang benar mati, aku menghendaki jiwamu!” Dilain
pihak Ngobie kongcie sudah mengancam dada orang.
Semua
orang merasa lucu mendengar pertanyaan Oey Yong
ini. Orang ditanya tetapi orang dilarang menyebutkan kematian dari ayahnya.
Kiu Cian Jin sendiri merasakan
penderitaan hebat. Ia merasakan sakit dan gagal bergantian. “Aku khawatir
mungkin juga ia belum mati…” sahutnya kemudian.
“Aneh
pertanyaannya sumoyku ini,” pikir Liok Seng
hong. Maka ia turut menanya kepada orang tua itu: “Kau bilang guruku
dibinasakan Coan Cin Cit Cu, kau melihat dengan mata sendiri atau hanya
mendapat dengar cerita orang?”
“Aku
hanya mendenagr kata orang,” menjawab Kiu Cian Jin.
“Siapa
yang membilanginya?”
Kiu Cian Jin berdiam sebentar, ia
seperti mendumal. “Ang
Cit Kong,”
sahutnya kemudian.
“Kapannya Ang Cit Kong membilangi itu?” Oey Yong
tanya.
“Satu
bulan yang lalu,” sahut Kiu
Cian Jin
pula.
“Dimana Ang Cit Kong bicara denganmu?” Oey Yong
menanya lagi.
“Di atas puncak gunung Tay San,” sahut si orang tua. “Di sana
kita mengadu kepandaian, dia kalah, dengan tidak disengaja dia mengatakannya.”
Bukannya
kaget, Oey Yong sebaliknya girang luar biasa
mendengar jawaban itu. Ia berjingkrak, tangan kirinya menyambar dada orang,
tangan kanannya mencabut kumis. Ia lantas tertawa cekikikan.
“Ang Cit
Kong kalah olehmu, tua bangka
busuk!” katanya. “Bwee
Suci, Liok Suko,
jangan, jangan dengar, dia melepas….melepas…” Sebagai wanita, tak dapat si nona
meneruskan kata-katanya.
“Melepas…angin!”
Cu Cong yang melanjuti tertawa, tetapi ia
membekap mulutnya.
Oey Yong berkata pula, “Pada
sebulan yang laku itu terang-terangan Ang Cit Kong ada bersama-sama aku dan engko Ceng
ini! Eh, engko Ceng, kau hajarlah dia dengan satu tanganmu lagi!”
“Baik!”
jawab Kwee Ceng, lalu tubuhnya bergerak.
Kiu Cian Jin ketakutan, dia
memutar tubuhnya untuk berlari, tetapi di muka pintu ada Bwee Tiauw
Hong menghalang. Dia berputar
pula, untuk lari ke dalam. Dia segera dirintangi Liok Koan Eng, tetapi ia
mendorongnya hingga pemuda itu terhuyung. Biar bagaimana, dia pernah mendapat
nama, meskipun benar nama itu didapat kebanyakan karena penipuan belaka, karena
ilmu sulapnya. Dia hanya bernyali besar, dari itu berani dia menantang Liok
Koay dan Kwee
Ceng. Koan Eng pastilah bukan
tandingannya.
Oey Yong lompat
menghampirkan, untuk memegat.
“Kau
menjunjung jambangan besi, kau jalan di air, ilmu apakah itu?” si nona tanya.
“Itulah
kepandaianku yang istimewa,” sahut si orang tua, yang tetap mengepul. “Itu dia
yang dinamakan ilmu ringan tubuh menyeberangi air dengan menaiki kapu-kapu!”
“Ah,
kau masih saja mengoceh!” kata si nona tertawa. “Sebenarnya kau mau bicara
benar-benar atau tidak?”
“Usiaku
sudah lanjut, ilmu silatku tidak seperti dulu lagi,” Kui Cian Jin menjawab, “Meski begitu, ilmu ringan
tubuhku masih aku belum mensia-siakannya.”
“Baiklah!”
kata Oey Yong. “Di
luar sana ada
sebuah jambangan besar ikan mas, coba kau jalan di atas jambangan itu itu kasih
kami menyaksikannya! Kau lihat tidak jambangan itu. Sekeluarnya dari ruang ini,
di sebelah kiri, di bawah pohon, itulah dia!”
”
Di dalam jambangan, mana bisa orang
melatih diri…?” kata Kiu
Cian Jin.
Tapi belum berhenti suaranya itu, mendadak ia lihat suatu apa berkelebat, di
depan matanya, akan dilain saat ia mendapatkan tubuhnya sudah berjumpalitan dan
kakinya tergantung.
“Kematianmu
sudah menantikan, kau masih omong jumawa!” membentak Bwee Tiauw
Hong.
Si
Mayat Besi telah mengangkat tubuh orang itu dengan Tok Liong Gin-pin, cambuk
perak Naga Berbisa. Kapan cambuk itu dikebaskan,
tubuhnya si orang tua terlempar ke arah jambangan, tepat jatuhnya ke dalam
jambangan itu.
Oey Yong menyusul, ia
mengancam dengan Ngo-bie kongcie!
“Jikalau
kau tidak memberi keterangan, aku tidak ijinkan kau keluar dari sini!”
bentaknya.
Kiu Cian Jin mencoba menjejak
dasar jambangan, baru tubuhnya mencelat atau pundaknya sudah ditekan si nona,
maka ia terjatuh pula. Maka basah kuyuplah ia berikut kepalanya. Ia meringis.
“Sebenarnya
jambangan itu terbuat berlapis besi,” ia mengaku akhirnya. “Di dalamnya jambangan pun ditutup sebatas tiga dim,
di atas itulah cuma ada isinya air. Dan
itu kali kecil, di dasar itu aku telah menancapkan banyak pelatok, yang dibikin
tenggelam lima
enam dim dari permukaan air hingga jadi tidak kelihatan…”
Oey Yong tertawa, terus ia
bertindak ke dalam, tak sudi ia memperdulikan lagi, dari itu Kiu Cian
Jin dapat keluar dari jambangan ikan
itu, sambil tunduk ia ngiprit pergi.
Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng
Hong merasa tidak enak sendirinya.
Tadi mereka menangis dengan cuma-cuma disebabkan lagak-lagunya si tua bangka
itu. Setelah orang kabur, mereka masih likat. Tiauw Hong
adalah yang dapat menenangkan diri lebih dulu. Maka berkatalah ia pada tuan
rumah: “Seng
Hong, kau merdekakan muridku!
Dengan memandang kepada guru kita, urusan dahulu hari itu suka aku tidak
menimbulkannya pula.
Liok Seng Hong menghela napas. Di dalam hatinya ia kata: “Dia telah kematian
suaminya, matanya sendiri buta, sekarang dia hidup sebatang kara. Aku sendiri, walaupun kakiku bercacad, aku ada
punya istri dan anak, aku ada punya rumah tangga, aku masih menang berlipat
kali daripadanya… Kita pun sama-sama sudah berusia limapuluh lebih, untuk apa
masih memikirkan sakit hati lama…?” Mala ia menjawab: “Pergi kau bawa muridmu, Bwee Suci.
Besok pagi hendak aku pergi ke Tho Hoa To, untuk menjenguk suhu. Kau mau turut
atau tidak?”
“Beranikah
kau pergi ke sana?”
Tiauw Hong tanya.
“Tanpa
perkenaan suhu kita lancang mendatangi Tho Hoa To, itulah memang satu
pelanggaran besar,” menyahut Sneg
Hong. “Akan tetapi si tua bangka
barusan sudah mengaco belo, hatiku tetap tidak tenang, ingin aku menjenguknya.”
Belum
lagi Bwee Tiauw Hong
menyahuti, Oey
Yong sudah berkata: “Marilah kita
pergi beramai menjenguk ayahku, di sana
aku nanti memohonkan keampunan bagi kamu.”
Bwee Tiauw Hong berdiam diri, kedua
matanya mengucurkan air mata.
“Mana
aku punya muka akan menemui suhu lagi?” katanya. “Suhu mengasihi aku yang
piatu, dia pelihara aku, dia mengajarkannya, tetapi hatiku buruk, aku
mendurhaka…” Mendadak ia mengangkat kepalanya dan berseru, “Asal aku sudah
berhasil membalas sakit hati suamiku, aku tahu bagaimana harus membereskan
diriku sendiri! Kanglam
Cit Koay,
kalau kau benar laki-laki, marilah! Malam ini aku hendak mengadu nyawa
denganmu. Liok
Sutee, Oey Sumoy, kamu berdiam
saja menonton, kamu jangan membantui siapa juga! Siapa mampus siapa hidup, kamu
tetap jangan campur tangan! Kamu dengar?!”
Mendengar
itu, Kwa Tin Ok bertindak ke tengah ruang. Sepotong besi jatuh di lantai,
suaranya nyaring dan panjang. Lalu ia mengasih dengar suaranya yang serak: “Bwee Tiauw
Hong! Kau tidak melihat aku, aku
juga tidak melihat kau! Ketika itu malam di tempat belukar kita bertempur,
suamimu binasa wajar, tetapi juga saudaraku yang kelima telah kehilangan
jiwanya. Tahukah kau?!”
“Oh,”
bersuara si nyonya. “Jadi sekarang kamu tinggal berenam?”
“Ya!”
sahut Tin Ok. “Kami sudah menerima baik permintaan Totiang Ma Giok, kami tidak
hendak memusuhkan kau terlebih lama pula, tetapi hari ini kaulah yang mencari
kami. Baiklah! Dunia ini luas, tetapi kita berjodoh, di mana saja kita dapat
bertemu! Mungkinlah
Thian tidak sudi membiarkan Kanglam Liok Koay
dankau hidup bersama di kolong langit ini! Nah, kau majulah!”
Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. “Kau
berenam, majulah semua!” dia menantang.
Belum
Tin Ok menyahuti, Cu
Cong sudah berdiri di sampingnya.
Saudara ini hendak mencegah kalau-kalau musuh membokong. Bersama lain sudaranya,
ia sudah menghunus senjata.
Justru
itu Kwee Ceng mengajukan diri. “Biarlah murid yang
maju lebih dulu!” kata murid ini.
Liok Seng Hong menjadi tidak enak
hati mendengar Tiauw Hong menentang Liok Koay dan Liok Koay
menyambutnya. Ingin ia mengajukan diri di sama tengah tetapi tidak dapat ia
menghampirkan mereka, ia pun tidak mempunyai cukup pengaruh. Maka itu,
mendengar suaranya Kwee
Ceng, satu pikiran berkelebat di
otaknya.
“Tuan-tuan,
tahan dulu!” dia mencegah. “Aku minta sukalah kau dengar dulu padaku. Diantara
kamu berdua sudah ada yang meninggal, bukankah? Maka itu menurut aku,
pertempuranan ini baiklah dibataskan menang dan kalahnya dengan saling towel
saja, jangan ada yang main melukakannya. Liok Koay
melawan satu, walau itu sudah seharusnya, aku anggap masihlah kurang adil. Maka
itu, aku minta biarlah Bwee Suci main-main saja dengan ini Kwee Laotee.
Setujukah kamu?”
Bwee Tiauw Hong tertawa dingin.
“Mana dapat aku menempur segala bocah tak namanya?” katanya.
Tapi Kwee Ceng berani, ia kata
nyaring, “Suamimu itu aku sendirilah yang membunuhnya, apakah sangkut pautnya
dengan semua suhuku?”
Tiba-tiba
saja Tiauw Hong menjadi gusar sekali.
“Betul!”
serunya. “Mari aku bunuh dulu padamu,
bangsat cilik!” Dengan mendengar suara orang, ia ketahui di mana beradanya
orang itu, maka ia ulur tangan kirinya ke batok kepala si bocah.
Kwee Ceng lompat berkelit. Ia
kata dengan nyaring: “Bwee Cianpwee, ketika dulu hari itu aku kesalahan
membinasakan Tan Cianpwee, itulah disebabkan usiaku yang muda dan aku belum
tahu apa-apa, tetapi untuk itu aku berani bertanggung jawab, maka kamu
berurusanlah denganku, tidak nanti aku menyingkirkan diri! Bagaimana jikalau
dibelakang hari kau masih mencari keenam guruku?”
“Benarkah
kau demikian laik-laki, hingga kau tidak bakal kabur?” menegaskan Tiauw Hong.
“Pasti
tidak!” jawab si anak muda mantap.
“Baiklah,
ganjalanku dengan Kanglam
Liok Koay
aku bikin habis! Mari bocah, kau turut
aku!”
“Bwee Suci!”
Oey Yong berteriak. “Dia pun satu laki-laki
sejati! Kau nanti ditertawakan orang-orang kangouw!”
“Apa?”
tanya Tiauw Hong
gusar.
“Dia
ahli waris satu-satunya dari Kanglam
Liok Koay!”
kata si nona. “Sekarang ini kepandaiannya Kanglam Liok
Koay tidak sama lagi seperti dulu,
maka jikalau mereka hendak mengambil nyawamu, gampangnya sama seperti mereka
membalikkan telapak tangan! Hari ini mereka memberi ampun padamu, itu artinya
mereka telah memberi muka, tetapi kau tidak tahu selatan, kau masih membuka
mulut besar!”
“Fui!
Aku menghendaki diampunkan mereka? Eh, Liok Koay,
benarkah kau telah memperoleh kemajuan besar? Mari,
marilah kita coba-coba!”
“Perlu
apa sampai mereka sendiri turun tangan?” berkata pula Oey Yong.
“Sekalipun muridnya seorang diri, tidak nanti kau dapat memenangkannya!”
Tiauw Hong bergusar hingga ia
berkoakan. “Jikalau dalam tiga jurus aku tidak dapat membikin dia mampus, di
sini juga aku akan membenturkan diriku hingga binasa!” teriaknya.
Si
Mayat Besi ingat pertempurannya sama Kwee Ceng
di dalam istana, ia ketahui baik kepandaian orang, ia hanya tidak mendapat
tahu, sesudah berselang beberapa bulan, pemuda ini telah mendapat didikannya Kiu Cie
Sin Kay
dan kepandaiannya telah maju pesat sekali.
“Baiklah!”
tertawa Oey Yong. “Semua orang di sini menjadi
saksinya! Tiga jurus terlalu sedikit, aku beri batas sampai sepuluh jurus!”
“Tidak,”
berkata Kwee
Ceng. “Akan aku menemani cianpwee
main-main limabelas jurus!”
“Sekarang
mintalah Liok
Suko serta tetamu dengan siapa
suci datang bersama untuk tolong menghitungnya!” berkata Oey Yong
pula.
Tiauw Hong heran. “Siapa yang
menemani aku datang ke mari?”
tanyanya. “Aku datang seorang diri. Perlu apa aku memakai kawan?”
“Habis
itu siapa di belakang suci?” Oey
Yong tanya.
Dengan
tiba-tiba Tiauw
Hong menyambar ke belakang,
cepatnya bukan main.
Orang
tidak melihat si baju hijau berkelit, tahu-tahu dia telah lolos dari sambaran
itu. Sampai itu waktu, anehnya, ia masih terus membungkam.
Tiauw Hong tidak menyerang pula
tetapi ia lantas merasakan sesuatu. Ketika itu malam ia melayani Auwyang Kongcu
bertempur diwaktu mana ia mendengar suara seruling, yang membebaskan ia dari
kurungan barisan ular, ia telah menghanturkan terima kasih ke tengah udara,
sebab ia tak tahu siapa si peniup suling yang membantunya itu. Sejak itu ia
merasakan ada suatu apa di belakangnya, sia-sia belaka segala pertanyaannya dan
sambarannya, ia tidak mendapatkan hasil, sampai ia mau merasa mungkin ia kurang
sehat, hingga mau ia menerka kepada hantu. Sekarang, mendengar perkataannya Oey Yong
itu, ia tidak ragu-ragu lagi. Tentu saja ia menjadi kaget sekali.
“Kau
siapa?!” ia tanya, suaranya menggetar.
“Mau apa kau selalu mengikuti aku?!”
Orang
itu tidak menjawab, ia seperti tidak mendengarnya.
Tiauw Hong lompat menubruk.
Kembali ia gagal. Nampaknya orang itu tidak bergerak tetapi ia tidak kena
diserang.
Semau
orang menjadi kaget dan heran. Pastilah orang itu lihay luar biasa.
Liok Seng Hong sudah lantas
menegur, katanya, “Tuan, dari tempat yang jauh kau datang kemari, aku belum
sempat menyambutnya, silahkan duduk! Maukah Tuan minum arak?”
Kembali
si baju hijau tidak menyahuti, bahkan ia membalik tubuhnya, untuk berlalu.
“Kaukah
yang meniup seruling menolongi aku?” tanya
Tiauw Hong.
Orang
heran. Tiauw
Hong ditolongi orang itu? Orang
pun heran, lihay sebagai dianya, si Mayat Besi
ini tidak ketahui orang sudah berlalu.
“Bwee Suci,
orang itu sudah pergi?” Oey
Yong memberitahu.
“Dia
sudah pergi?” Tiauw
Hong heran.
“Ya,
dia sudah pergi,” menerangkan Oey
Yong. “Pergi kau susul dia, jangan
kai main galak-galak di sini!”
Tiauw Hong menjublak sekian
lama, wajahnya berubah-ubah. Nampaknya ia berduka. Lalu mendadak dia berseru,:
“Bocah she Kwee, kau sambutlah!” Lalu dua tangannya bergerak, sepuluh jari
tangannya nampak seperti api yang marong. Toh ia tidak menyerang.
“Aku
di sini,” Kwee
Ceng menjawab.
Baru
saja ia mendengar “Aku” itu atau tangan kanan Tiauw Hong
sudah berkelebat menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, menyambar ke muka orang.
Kwee
ceng lihat serangan itu, ia mengegos tubuhnya, sembari berkelit, ia menyerang
dengan tangan kirinya.
Tiauw Hong dapat mendengar
suara serangan, hendak ia menangkis tetapi sudah tidak keburu, dengan
mendatangkan suara, pundaknya kena dihajar hingga ia mundur tiga tindak. Karena
ia telah diserang denagn salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Tapi
ia lihay luar biasa, lekas sekali ia berbalik dan tangannya menyambar.
Inilah
Kwee Ceng tidak sangka dan ia menjadi kaget sekali, hanya ia kaget untuk
percuma-cuma, karena segera juga ia telah kena dicekal lengan kanannya pada
tiga jalan darah Iwee-kwan, gwa-kwan dan hwee-cong. Sebenarnya ia senantiasa
siap sedia dan berjaga-jaga, sudah ia mendengar keterangan guru-gurunya tentang
lihaynya Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang toh ia kena tercekal. Ia menjerit
celaka, separuh tubuhnya menjadi lemas. Disaat berbahaya itu ia masih ingat
untuk berdaya. Ia tekuk dua jeriji tangan kanannya, jeriji telunjuk dan tengah,
dengan itu ia menyerang ke dada lawannya. Seharusnya serangan itu disusul
dengan serangan tangan kiri tetapi tangan kirinya itu tercekal lawan, terpaksa
ia mennggunakan sebelah tangan saja. Ini pun ada suatu jurus dari Hang Liong
Sip-pat Ciang itu.
Bwee Tiauw Hong dapat mendengar
serangan ini, yang anginnya luar biasa. Ia tidak menangkis, ai berkelit, tidak
urung ia kena terhajar juga, hanya sebab ia berkelit itu, yang menjadi sasaran
ialah pundaknya. Ia merasakan dorongan yang keras sekali, hingga terpaksa ia
ayun tangannya melepaskan cekalan.
Kwee Ceng menyerang seraya
berbareng mencoba menarik diri, untuk meloloskan tangannya yang dicekal itu,
karena dilepaskan, tubuhnya terpental. Sebaliknya tubuh si Mayat Besi
terdampar karena serangannya itu. Maka keduanya sama-sama terhuyung mundur,
punggung mereka masing-masing mengenai pilar.
Besar
dan tangguh pilar itu, benturan tidak menyebabkannya patah atau roboh, akan
tetapi akibat benturan membuatnya genteng dan batu pecah dan meluruk jatuh.
Banyak
chungteng menjadi kaget, sambil berteriakan mereka lari keluar.
Kanglam Liok Koay saling mengawasi,
mereka heran dan berbareng girang.
“Darimana
anak Ceng mendapatkan pelajaran ini?” mereka saling menanya di dalam hatinya.
Han Po Kie sampai melirik kepada Oey Yong,
karena ia menduga mestilah si nona yang mengajarinya.
Pertempuran
sudah berjalan terus. Kedua pihak sama-sama mengeluarkan kepandaiannya. Tiauw Hong
berkelahi dengan sengit, karena ia gusar dan penasaran. Kwee Ceng
berlaku gesit dan waspada. Si Mayat Besi berlompatan ke delapan penjuru,
anginnya menyambr-nyambar.
Kwee
Ceng ingat pelajaran Ang Cit Kong tentang ilmu “Lok Eng Ciang”, ia tetap
bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, ia putar balik semua lima belas
jurusny. Ia berhasil dengan cara
berkelahi ini. Bukan limabelas, bahkan sudah hampir limapuluh jurus. Tiauw Hong
masih belum berhasil merobohkan atau menawan lawannya seperti bermula tadi.
Bahkan untuk mendesak saja ia tak sanggup.
Oey Yong menonton dengan
tertawa atau tersenyum-senyum, mukanya yang boto menjadi manis
sekali. Sedang
Kanglam Liok
Koay berdiri terbengong-bengong. Liok Seng
hong pun mnejublak bersama putranya.
“Hebat
kemajuan Bwee Suci ini,” tuan rumah itu berpikir, “Kalau aku mesti melawan dia,
dalam sepuluh jurus saja pastilah aku telah kehilangan jiwaku… Tapi ini Kwee
laotee yang masih begini muda, kenapa dia begini lihay? Oh, sungguh mataku
kabur! Syukur aku perlakukan dia dengan hormat, tidak sampai aku berlaku tak
kurang horamt terhadapnya…”
Sampai
di situ Oey Yong berseru, “Bwee
Suci, sudah enam puluh jurus
lebih! Masihkah kau tidak mau menyerah?”
Tiauw Hong mendongkol bukan
kepalang. Dengan latihannya beberapa puluh tahun, ia tidak sanggup menjatuhkan
satu bocah. Lantaran ini, ia tidak ambil mumat suaranya Oey Yong,
bahkan sebaliknya, ia menyerang dengan terlebih hebat, sambarannya dilakukan
saling susul dengan cepat luar biasa. Ia tidak merasa dengan begitu ia nyata
kalah imbangan. Bukankah kedua matanya buta? Bukankah karena kemurkaannya, ia
jadi tidak dapat memusatkan pikirannya? Di
pihak lain, Kwee
Ceng awas kedua matanya, lincah
tubuhny. Pemuda ini telah menghisap darah ular dan memperoleh Hang Liong
Sip-pat Ciang.
Pertempuran
berlanjut sampai seratus jurus lebih. Setelah ini, Wee Tiauw Hong dapat juga
berpikir. Ia mulai meraba-raba ilmu silat lawannya yang cilik ini. Ia merasa
tidak dapat ia menyerang dari dekat. Maka ia menjauhkan diri dari Kwee ceng
setombak lebih. Ingin ia membuatnya lawan itu letih.
Memang
juga disebabkan usainya muda dan latihannya belum sempurna, lama-lama Kwee Ceng
berkurang kelincahannya.
Oey Yong tahu kawannya bisa
celaka, maka ia berteriak-teriak pula: “Bwee Suci,
seratus jurus sudah lewat! Sudah hampir duaratus jurus! Apakah kau tetap tidak
hendak menyerah?!”
Tiauw Hong berlagak tuli, ia
menyerang tak hentinya.
Bingung
juga Oey Yong, tetapi dasar licik, segera ia
mendapat akal.
“Engko Ceng,
lihat aku!” ia memanggil. Ia melompat ke depan pilar.
Dua
kali Kwee Ceng berkelit, untuk menjauhkan diri,
mendengar suaranya Oey Yong,
ia menoleh. Bagitu ia melihat
orang lari memutarkan pilar, ia sadar. Maka ia pun berlompat ke pilar itu.
Tiauw Hong mengetahui kemana
orang menyingkir, ia lompat menyusul.
Tepat
di dekat pilar, Kwee
Ceng berkelit, lari ke belakang
pilar itu. Ia baru berkelit atau sambarannya Tiauw Hong
sudah tiba, tepat lima
jarinya nancap di pilar itu, yang disangkanya adalah tubuh musuh. Bukankah ia
cuma mengandalkan suara angin?
Kwee Ceng tidak cuma
bersembunyi, ia pun membalas menyerang. Tapi hebat tenaga menolak dari Tiauw Hong,
meski si Mayat
Besi terpental, ia pun mesti
mundur juga. Lima
jarinya Tiauw
Hong terlepas dari pilar.
Tiauw Hong bertambah-tambah
gusar, saking sebatnya, ia sudah berlompat pula untuk menyerang lagi. Hebat
untuk Kwee Ceng yang belum sempat memperbaiki diri,
kendati dia dapat berkelit, tidak urung bajunya kena kesambar hingga robek dan
lengannya kena terlanggar. Syukur untuknya, ia tidak terluka. Ia menjadi gentar
hatinya. Tapi ia melawan terus, malah ia membalas menyerang. Habis itu baru ia
melompat pula mundur ke belakang pilar itu. Sengaja ia mengasih dengar suara,
hingga Tiauw
Hong menyambar pula. Kali ini lima jari si Mayat Besi
kemabli nancap di pilar itu.
Barulah
kali ini Kwee
Ceng tidak menyerang.
“Bwee Cianpwee,”
ia berkata, “Kepandaianku tidak dapat melayani kau, sukalah kau menaruh belas
kasihan padaku.”
Dengan
kata-katanya ini, bocah ini telah memberi muka. Ia tidak kalah, mungkin ia
lebih ungggul. Dengan mengandal sama pilar itu, ia toh tak bakalan kalah. Tapi
ia suka mengalah.
Bwee Tiauw Hong menyahut dengan
dingin: “Jikalau kita mengadu kepandaian, setelah tiga jurus aku tidak dapat
mengalahkan kau, seharusnya aku mesti menyerah. Tapi sekarang kita bukan lagi
mengadu kepandaian, aku hanya hendak menuntut balas, meski aku sudah kalah
bertaruh, toh aku mau berkelahi terus! Tidak dapat tidak, mesti aku membunuh
kau!”
Kata-kata
ini disusul dengan serangan saling susul, dengan tangan kiri tiga kali, dengan
tangan kanan tiga kali juga, semuanya mengenai pilar, sembari menyerang secara
hebat itu, dia berseru. Serangannya yang terakhir adalah dua tangan berbareng,
hebat kesudahannya, dengan menerbitkan suara nyaring, pilar itu patah bagian
tengahnya!
Semua
hadirin adalah orang-orang lihay, walaupun mereka kget, mereka toh dapat
menolong diri. Semuanya lantas menlompat keluar. Koan Eng lompat setelah ia
sambar ayahnya, yang ia terus pondong. Boleh dibilang sekejap saja, runtuhlah
sebagian ruangan itu.
Celaka
untuk Toan Tayjin, si komandan tentara, cuma ia yang
tidak keburu lari, maka ia ketimpa dan ketindihan kedua kakinya. Ia
menjerit-jerit meminta tolong.
Wanyen Kang lantas maju untuk
menolongi, dalam kekacauan itu, hendaknya keduanya lantas melarikan diri, akan
tetapi disaat mereka memutar tubuh, mendadak mereka merasakan punggung mereka
kaku, tak tahu mereka siapa yang sudah menotoknya.
Bwee Tiauw Hong sendiri
memperhatikan Kwee ceng seorang. Diwaktu si anak muda berlompat, ia pun lompat
menyusul, maka itu setibanya mereka di depan, yaitu di luar ruangan, di mana
cahaya rembulan guram, keduanya sudha bertempur pula. Anginnya gerak-gerik
mereka berdesiran, dan tulang-tulangnya Bwee Tiauw
Hong berbunyi berperetekan.
Perempuan ini jauh terlebih hebat daripada di dalam tadi.
Kali
ini Kwee Ceng terdesak betul-betul. Segera ia
mengalami ancaman bahaya tendangan si Mayat Besi.
Kaki kanan wanita lihay itu bergerak, menyambar ke arah kaki lawannya. Kalau
tendangan ini mengenai tepat, pasti patahlah kaki si anak muda. Tapi Tiauw
Hong tidak menendang terus, baru
setengah jalan, ia sudah menarik pulang, untuk diganti dengan uluran tangan
kiri ke arah kaki kiri lawannya itu.
Koan
Eng kaget hingga ia menjerit, “Hati-hati!” Ia ingat, itulah serangan berbahaya
yang ia peroleh dari Wanyen
Kang, hingga ia kena dikalahkan
pangeran itu.
Dalam
bahaya seperti itu, Kwee
Ceng menggeraki tangan kirinya
untuk menangkis tangannya Tiauw
Hong itu. Ia masih cukup gesit
tetapi tenaganya sudah berkurang. Tiauw Hong
lihay sekali, begitu kedua tangan bentrok, ia mengerti kurangnya tenaga si
bocah. Ia lantas memutar tangannya, tiga jerijinya, kelingking, manis
dan tengah sudah lantas menggurat ke belakang telapakan tangan lawan. Kwee Ceng
menginsyafi ancaman itu, ia menyerang dengan tangan kanannya, hebat sekali.
Kalau lawan tidak menyingkir, mereka akan bercelaka dua-duanya!
Tiauw Hong berkelit dengan
lompat ke samping, terus ia tertawa panjang.
Kwee Ceng merasakan panas dan
sakit sekali pada belakang tangannya itu, apabila ia melihatnya, ia mendapat
tiga guratan yang tidak mengeluarkan darah. Itulah luka yang membikin ia merasa
sakit itu, yang berwarna hitam. Mendadak ia ingat sembilan buah tengkorak yang Tiauw Hong
meninggalkannya di puncak gunung Mongolia dan Ma Giok membilangnya,
tangan itu ada racunnya. Ia menjadi kaget sekali.
“Yong-jie,
aku terkena racun!” katanya pada kekasihnya. tapi, tanpa menanti jawaban, ia
berlompat menyerang Tiauw
Hong, kedua tangannya dikasih
bekerja. Ia cuma tahu perlu membekuk wanita lihay ini, untuk memaksa ia
mengeluarkan obat pemunahnya, tanpa itu jiwanya tidak akan ketolongan lagi…
Tiauw Hong merasakan sambaran
angin, ia melompat berkelit.
Oey Yong, begitupun yang
lainnya, mendengar suaranya Kwee
Ceng itu, menjadi kaget sekali.
Boleh dibilang serempak, dimulai dari Kwa Tin Ok, mereka itu berlompat maju
mengurung si Mayat
Besi.
“Bwee,
Suci!” Oey Yong berteriak. “Kau sudah kalah, kenapa
kau masih bertempur terus? Lekas kau keluarkan obat pemunahnya untuk menolongi
dia!”
Tiauw Hong tidak menjawab, ia
lebih perhatikan serangan lawannya. Ia bergirang sekali, di dalam hatinya ia
kata: “Semakin kau mengeluarkan tenaga, semakin hebat bekerjanya racun! Taruh
kata hari ini aku terbinasa di sini, aku toh sudah berhasil membalaskan sakit
hati suamiku!”
Kwee
ceng mulai merasakan matanya kabur dan kepalanya pusing, seluruh tubuhnya
terasa tidak enak, bahkan lengan kirinya lemas, hingga ia mulai berpikir untuk
tidak berkelahi lebih jauh. Itulah tanda bekerjanya racun. Coba ia tidak minum
darah ular, mungkin ia sudah lantas roboh terbinasa.
Oey Yong melihat wajah orang
tidak wajar. “Engko
Ceng, lekas mundur!” ia berteriak.
Ia pun hendak menerjang.
Terbangun
semangatnya Kwee
Ceng mendengar suara si nona, ia
menyerang dengan tangan kirinya. Ia menggunakan jurus ke sebelas dari Hang
Liong Sip-pat Ciang yang dinamakan “Menunggang enam naga”. Lengannya bergerak
lambat.
Oey Yong semua dapat melihat
serangan itu. Disaat itu mereka jusru hendak menyerang. Perlahan serangan Kwee Ceng
itu, atas itu Bwee
Tiauw Hong
tidak menangkis atau berkelit. Jitu serangan itu, pundak si Mayat Besi
menjadi sasaran. Mendadak saja ia jatuh berguling.
Inilah
diluar dugaan. Sebabnya ialah, karena serangan datangnya perlahan, Tiauw Hong
tidak mendengarnya. Dia justru mengandal pada kupingnya saja sebab matanya
tidak dapat melihat.
Oey
Yong tercengang, tetapi Han Po Kie, Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat sudah lantas
lompat menubruk, dengan niat membekuk si Mayat Besi.
Tiauw Hong lihay sekali. Dengan
geraki kedua tangannya, ia berontak. Po Kie dan Kim Hoat
kena dibikin mental. Lalu sebelah tangannya meneruskan menyambar Hie Jin. Atas ini, si orang she Lam membuat diri jatuh
bergulingan.
Cepat
sekali Tiauw
Hong berlompat bangun. Justru ia
hendak menaruh kakinya, tinjunya Kwee Ceng
tiba dipunggungnya. Hebat serangan itu, sekali lagi ia roboh. Juga tinju itu
datang tanpa suara. Hanya karena serangan tidak keras, ia tidak terluka.
Setelah
dua kali menyerang itu, Kwee
Ceng terhuyung, terus ia roboh
sendirinya. ia roboh di sampingnya Tiauw Hong.
Oey Yong lompat untuk mengasih bangun padanya.
Tiauw Hong mendengar suara
orang di dekatnya, tanpa ayal lagi, tangannya menyambar, lima jari tangannya bekerja. habis itu, ia
mendi kaget. Lima
jeriji tangannya itu dirasakan gatal sekali. Hampir itu waktu, ia sadar, ia
telah kena menyerang tubuh Oey
Yong, tangannya menancap di baju
lapis joan-wie-kah dari si nona. Dalam kagetnya ia berlompat dalam gerakan
“Ikan gabus meletik”.
Justru
itu terdengar seorang berseru: “Ini untukmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar