7 Manusia Kanglam |
Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa
Ketika besok paginya Pauw-sie bangun dari
tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan
kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya
ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh
karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.
Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging
asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar
ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan
biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari
raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.
Tak lama sehabisnya dahar, jongos datang menyerahkan satu
bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.
“Apakah itu?” tanya si nyonya.
“Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya,
ialah pakaian baru,” jawab jongos itu. “Tuan pesan supaya nyonya suka salin
pakaian.”
Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Ia
tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih
juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.
“Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini
sempurna?” katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.
Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak
karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya
jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah
seperti seorang baru.
Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi
mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari
sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari.
Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti?
“Jangan takut!” kata Lien Yeh sambil tertawa. “Mari kita
liat!” Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit
hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.
Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ
terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki
tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa
mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka
pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona
yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi
menjerit.
“Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata,” kata Sek
Yok ketakutan. “Mari kita lekas menyingkir…”
Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.
Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka
dapat lihat. “Diam!” dia membentak. “Kamu bikin apa?”
Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat
kaki, ia justru maju mendekati. “Kamu ada bawahan siapa?” ia tanya, membentak.
“Lekas pergi!”
Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh
bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata,
mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen
Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka
anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju
mendekati, dituruti empat kawannya.
Sek Yok takut bukan main, ia
mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar
“Serr!” lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang
busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning
emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga
serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia
ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.
Menyaksikan
orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya.
Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil
tertawa, ia berkata, “Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah
batang lehernya!”
Selagi
pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset
mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang
lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.
“Hebat!”
memuji Sek Yok tanpa terasa.
Yen
Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya
dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu
ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia
hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan
tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.
“Celaka!”
Sek Yok menjerit karena kaget dan takut.
Yen
Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan
begitu kedua ekor kuda segera lari keras.
“Tangkap!”
berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat
rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.
Setelah
lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali
dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa,
kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen
Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya?
Celaka
adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum
sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah
perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.
Lagi
selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen
Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan
tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan
dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.
Akan
tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh
kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari
samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.
Pauw-sie
takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.
Satu
perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. “Kau tidak
hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?” perwira itu menegur.”Kau
hendak tunggu apalagi?”
Sebaliknya
daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. “Apakah kamu
adalah pengawal pribadi dari Han
Sinsiang?” ia tanya.
Heran
perwira itu, hingga ia tercengang. “Kau siapa!” ia membentak.
Yen
Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. “Apakah kau tidak kenali aku?” dia bertanya. Dia
tertawa pula. “Nah, kau lihatlah surat ini!”
Perwira
itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu
lantas sambuti surat
itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca,
mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk
memberi hormat.
“Pie-cit,
tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati,” katanya, “Pie-cit mohon diberi
ampun….”
Tidak
saja perwira itu membasakan dirinya “pie-cit” yang artinya “bawahan yang rendah”,
surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan
wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.
Yen
Lieh sambuti kembali surat
itu. “Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!” katanya
sambil tertawa.
Sementara
itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main.
Perwira
itu menjura dalam. “Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman,”
ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.
Yen Lieh tertawa pula. “Kami masih kekurangan
seekor kuda,” katanya.
“Perwira
itu tuntun kudanya sendiri. “Silahkan hujin pakai kudaku ini,” pintanya. Ia
bicara terhadap Pauw-sie.
Sek Yok heran yang ia
dipanggil “hujin” atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.
Yen
Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. “Pergi kau
sampaikan kepada Han
Sinsiang,” katanya. “Bilang aku
ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat
pamitan lagi.”
“Baik,
baik, tayjin, pie-cit mengerti,” kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.
Yen
Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk
dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan
mereka ke utara.
Sesudah
jalan beberapa puluh tindak, Sek
Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya
ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih
mengasih selamat jalan…….. Ia
berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil
tertawa mendahulukan dia.
“Walaupun
Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian,” katanya, “Maka itu,
apapula segala perwira itu…….”
“Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau
membalaskan sakit hatiku,” kata Pauw-sie.
“Soal
itu ada lain,” sahut si anak muda. “Sekarang ini kita telah ketahuan siapa
adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi
menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa
mendapat celaka.”
“Habis
bagaimana?” si nyonya tanya pula. Ia
tidak mengerti.
Yen
Lieh berdiam sejenak. “Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?” bia tanya.
Pauw-sie
mengangguk.
“Sekarang
ini mari kita balik dahulu ke utara,”
Yen Lieh berkata. “Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke
selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit
hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang.”
Sek Yok bingung tidak
berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak
kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik
ia turut pemuda ini? Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan
sanak, cara bagaimana ia bisa terus
ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.
“Jikalau
nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu,” kata Yen
Lieh melihat orang berdiam saja. “Akan aku turut segala titahmu.”
Menampak
sikap orang itu, Sek
Yok menjadi tak enak sendirinya.
“Baiklah, sesukamu…” katanya perlahan, sambil tunduk.
Yen
Lieh menjadi girang sekali. “Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan,”
dia bilang. “Nyonya….”
“Harap
kau tidak sebut-sebut tentang budi…” kata Sek Yok.
“Baik,
baik, Nyonya….”
Lantas
keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain
di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu
waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di
sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga.
Untuk
melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.
Sek Yok heran dan kagum
untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya.
Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si
anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan
menyenangkan untuk dipandang.
Pada
tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin,
sebuah kota
besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada
asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah
sendirinya.
“Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat
dulu,” Yen Lieh mengajak.
“Hari
masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan,” Sek Yok
mengutarakan pikirannya.
“Disini
ada banyak toko, Nyonya,” Yen Lieh bilang. “Pakaianmu sudah terpakai lama,
nanti aku belikan yang baru.”
Sek Yok melengak. “Bukankah
ini baru dibeli?” tanyanya. “Apanya yang dibilang lama?”
“Kita
jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu,” terangkan si anak muda, “Dengan
dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan
wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang
terbaik?”
Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang
puji kecantikannya. “Aku tengah berkabung…” katanya perlahan.
“Terang itu aku tahu,” Yen Lieh bilang.
Nyonya itu lantas membungkam.
Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya
itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk
bersantap.
“Kau
tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja,” kemudian kata si pemuda.
Pauw-sie
mengangguk.
Yen
Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang
mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan
tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk
walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya
kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan
hari ia tidak pernah mandi. Di
tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut,
sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.
Yen
Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian
jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar,
maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.
Tiba-tiba
orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia
tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika
keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia
tepuk pundaknya Yen Lieh.
Anak
muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia
menjadi tidak senang.
“Eh,
kau bikin apa`?” ia menegur.
Orang
itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan
kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh
kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: “Eh, jongos, kau jangan
pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan
besarmu ada punya uang perak! Di pihak
lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang
aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat
anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata!
Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!” Lalu dengan tak
menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: “Truk! Truk!
Truk…!”
Panas
hatinya Yen Lieh. “Binatang!” katanya dalam hatinya, “Bukankah dia maksudkan
aku?”
Jongos
itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas
ia menghampiri. “Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar…”
katanya sambil memberi hormat.
Yen
Lieh bisa duga hati orang. “Kau pegang uang ini!” katanya menyela. Sementara itu
tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada
membekal uang empat atau lima
puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.
Jongos
itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak
sungkan-sungkan lagi. “Apa?! Kau tidak membawa uang?” katanya.
“Kau
tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil,” kata Yen Lieh.
Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di
dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada
uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.
Jongos
mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat
lihat orang tidak punya uang. Ia
menjadi berani. “Apakah wanita ini benar istrimu?” dia tanya. “Apakah kau
tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!”
Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia
dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.
Dengan
tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. “Plok!” demikian
suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok
beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit:
“Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar,
kau juga berani pukul orang!”
Dengan
murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.
“Mari kita lekas pergi!” Sek Yok mengajak.
“Jangan kita nginap disini!”
“Jangan
takut!” kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. “Kita tidak punya uang tetapi kita
boleh suruh mereka mengadakannya!”
Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia
letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.
Jongos
tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang
romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap
mereka garang.
“Apakah
kamu hendak berkelahi?” tanya Yen Lieh
sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu
ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang
kabutan.
Sekejap
saja empat lima
orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas
lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan
kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap
bangun.
“Ah,
urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri,” kata SekYok dengan
berkhawatir.
Yen
Lieh tetap tertawa. “Itulah yang aku kehendaki!” sahutnya.
Nyonya
Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.
Untuk
kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada
yang berani banyak mulut lagi. Baharu kemudian, di luar terdengar suara berisik
lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah
ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang
rantainya berkontrangan.
“Sudah
menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?” demikian di antarannya
pentang bacot. “Mana dia si penjahat!”
Yen
Lieh bercokol tidak bergeming.
Menyaksikan
sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju.
“Eh,
kau she apa?” menegur yang menjadi kepala. “Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?”
Yen
Lieh tetap tidak bergerak. “Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!” ia bilang, suaranya keren.
Hamba
negeri itu terkejut. Khay
Oen Cong
itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian
mereka menjdi gusar.
“Apakah
kau edan?” si kepala polisi tanya.”Bagaimana
kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya
kami?”
Yen
Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja,
kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata: “Kau bawa suratku ini,
kasihkan pada Khay
Oen Cong.
Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!”
Orang
polisi itu jumput surat
itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih
sangsi.
“Kamu
jaga dia, jangan kasih dia buron…” pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus
pergi.
Sek Yok saksikan itu semua,
hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena
ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar
pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi,
yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua
sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk
lutut.
“Piecit
adalah Khay Oen Cong,
tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan,” berkata
mereka.”Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut,
harap tayjin suka memaafkannya.”
Yen
Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. “Aku telah kehilangan uang di
dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya,”
ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.
Khay Oen Cong menyahuti dengan
cepat.
“Ya,
ya,” katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas
mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu
bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang
berkeredep putih.
“Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah
kealpaan kami,” berkata Khay Oen Cong. “Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin
menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti.”
Yen
Lieh tertawa, ia mengangguk.
Dengan cara hormat, Khay Tiehu
lantas angsurkan suratnya pemuda itu.
“Piecit
telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana,” tiehu itu memohon
kemudian.
“Tempat
di sini lebih meyenangkan,” berkata Yen Lieh. “Aku lebih suka tempat yang
tenang. Kamu jangan ganggu aku.” Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi
keren.
“Baik,
baiklah,” kata Oen
Cong dan Bun Kay dengan cepat.
“Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan.”
Yen
Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan.
Dengan
tidak bilang apa-apa lagi, Oen
Cong dan Bun Kay mengundurkan diri
dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.
Jongos
saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen
dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut
seraya memohon ampun.
Yen
Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas
tanah. “Aku persen ini kepadamu!” katanya sambil tertawa. “Lekas pergi!”
Jongos
itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu
tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia
berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.
Sampai
disitu Pauw Sek Yok
menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. “Sebenarnya suratmu
itu wasiat apa?” ia tanya. “Satu
pembesar sampai ketakutan demikian rupa!”
Yen
Lieh tertawa. “Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka,” ia menyahut.
“Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong
semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak
pantas!”
Sek Yok heran. “Siapa itu Tio Kong?”
tanyanya.
“Tio Kong
ialah Kaisar
Leng Cong
yang sekarang!” sahut Yen Lieh.
Nyonya
Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. “Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang,
semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah
sanaknya kaisar,” dia berpikir. “Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat
tinggi…. Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau
hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat
kurang ajar..?” Maka lekas-lekas ia berkata “ Bicara hati-hati! Nama raja mana
boleh sembarangan disebut-sebut?”
Senang
Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. “Tidak ada halangannya
untuk aku menyebeutkan namanya,” ia menyahut sambil tertawa. “Setibanya kita di
utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong,
habis kita mesti memanggil apa?”
Lagi
sek Yok terkejut. “Ke
Utara?” dia bertanya.
Yen
Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan
dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja
mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok
sebaliknya terkejut.
Segera
terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus
ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag pakaiannya
yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah sangat
girang, hampir berbareng mereka menyerukan: “Ongya!” Dan
lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut.
“Akhir-akhirnya
kamu dapat cari aku!” kata Yen Lieh sambil tertawa
Sek Yok dengar orang
dipanggil “ong-ya” – “sri paduka”, ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran
menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan
tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda
daripada tentera Tionggoan.
“Semua
keluar!” kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.
Dengan
berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.
“Bagaimana
kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?” ia tanya.
“Apakah
mereka bukannya tentara Song?” si nyonya membaliki.
Yen
Lieh tertawa. “Sekarang baiklah aku omong terang padamu!” katanya, riang
gembira. “Semua serdadu itu adalah tentara pilihan
dari negara Kim yang besar!” Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.
“Kalau begitu kau jadinya, kau…” katanya Sek Yok
dengan suara yang gemetar.
Yen Lieh kembali tertawa. “Bicara terus terang nyonya,
namaku mesti ditambah satu huruf “Wan” di atasnya,” dia menyahuti. “Sebenarnya
aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran
Tio Ong adalah aku yang rendah….”
Mau
atau tidak Sek
Yok terperanjat, ia tercengang.
Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan, bagimana
dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan
dengan kejam oleh bangsa Kim itu.
Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat
suaminya itu membenci bangsa Kim itu.
Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama
selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim
itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak
dapat membuka mulutnya.
Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah,
lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata, “ Telah lama aku kagumi
keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku
mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk
memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di
samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang
berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku
menagihnya sekalian.”
“Upeti tahunan?” Sek Yok heran.
“Ya,”
sahut putra raja Kim itu. “Kerajaan
Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti
uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi,
sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak
sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan
kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku
sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah
capekkan hati lagi mengurusnya!”
“Apa
katanya Han Sinsiang?” Sek Yok tanya.
“Apa
lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah
diseberangkan sungai. Hahaha!!”
Sek Yok berdiam. Alisnya
kuncup.
“Menagih
upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri,” berkata pula Wanyen Lieh.
“Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah
selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh
aku sangat beruntung.”
Pauw Sek Yok tetap bungkam.
“Nah,
sekarang hendak aku pergi beli pakaian,” kata Wanyen Lieh
kemudian.
“Tidak
usah,” kata Sek
Yok tunduk.
Putra
raja Kim itu tertawa ketika ia berkata
pula, “Uang pribadi Han
Sinsiang sendiri yang dibekali
padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu
selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah
berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang berani ganggu
padamu!”
Mendengar
itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak
dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu telah
dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia
seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah
perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia
lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.
Dengan
membekal uang, Wanyen
Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk
kota ada halus
gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga,
maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia
mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat
ia menjadi Gouw
Ong, pangeran wilayah selatan ini,
supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam….
Dengan
perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya
memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar
di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan
pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada
orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar
saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar,
tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal
batas. Menampak kuda itu, Wanyen
Lieh memuji akan tetapi, kapan ia
saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.
Penunggang
kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate
dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi
besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki,
lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul
mengkeret di atasan pundaknya.
Di sebelah keanehan si
penunggang kuda, aneh juga cara
kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil
orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan
pedagang-pedagang. Wanyen
Lieh merasa ia adalah satu ahli
penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; “Bagus!”
Si kate terokmok dengar
orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh
dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak,
dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.
“Kuda
itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa,” pikirnya.
Hampir
di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran
melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat
dari bebokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah
itu, sesudah itu, tubuh si kate turun
pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman!
Wanyen Lieh kagum hingga ia
menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri – negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun
ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai
tidak dapat di lihat dari romannya saja.
“Jikalau
dia bisa diundang ke kota
rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong
langit ini?” dia berpikir. Dia pun
melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.
Memang putra raja Kim ini adalah seorang
dengan cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah
perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia
dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia
ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya
setiap pembesar itu.
“Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau
orang pandai ini tak dapat digunai olehku,” dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas
ambil ketetapan untuk undang kate
terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi
ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari.
Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara
demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.
Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan
cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya
dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya
yang cepat di undakan tangga loteng.
Putra
raja Kim itu angkat kepalanya, untuk
berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat
huruf “Tay Pek Ie Hong”. Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan
tiga huruf “Cui Sian Lauw”, yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada
pula empat huruf kecil bunyinya: “Tong Po Kie-su”. Jadi itu ada ciulauw yang
pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang
terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk.
Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen
Lieh ingin memasuki ciulauw itu
atau segera ia tampak si kate sudah
keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan
kudanya.
Putra
raja Kim ini ingin menontoni kelakuan,
ia pun lantas berdiri di pinggiran.
Berdiri
di tanah si kate nampaknya semakin tak
mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki
penuh. Di depan ia adalah kudanya,
yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul
sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih
jauh.
Si
kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang
tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya,
ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka
bagaikan jambangan.
“Ah,
ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay,” pikir Wanyen Lieh,
Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat
ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia
dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.
Begitu
lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya
dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus
tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu
berulang-ulang!
Dalam
keheranan, Wanyen
Lieh segera dapat mencium baunya
arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin
yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh
utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat
menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-sering meminumnya, akan
tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu!
Si kate tinggalkan kudanya
minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan
sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas
yang berkilau kuning.
“Lekas
kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!” kata si kate. “Yang delapan meja makanan dengan daging, yang
satu sayuran saja.”
“Baik,
Han Samya!” berkata si kuasa ciulauw sambil
tertawa. “Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada
lawannya yang lainnya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah
kiranya samya simpan dahulu. Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita
mengurusnya…”
Mendengar
itu, matanya si kate terbelalak.
“Apa?!” serunya aneh. “Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya
kamu ini tukang anglap?”
Kuasa
ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam
dan berseru: “kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!”
Seruan
itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang.
Wanyen Lieh menjadi heran
sekali. “Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia
sangat royal,” pikirnya. “Dan di sini
orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit
rasanya untuk undang ia menjadi guru…Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku
saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu.”
Karena
ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di
pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.
Restoran
Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan.
Itu waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah
perahu kecil lagi mundar-mandir. Di
situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati
untuk memandang permukaan telaga itu.
Di jaman dahulu,
Kee-hin adalah sebuah kota
negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis,
sama kesohornya dengan araknya. Di jaman
Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie
Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw
Cian telah labrak Raja Gouw, Hap
Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau
lengkak yang tidak ada “tanduknya” yang rasanya empuk dan manis,
tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh
banyak pohon lengkak itu.
Sambil
hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen
Liaeh memandangi keindahan telaga.
Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar
suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan
beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap
meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.
“Kalau
yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?” ia
menerka-nerka. “Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan
cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini….? Ia memikir
tetapi tidak dapat jawabannya.
Si
cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.
Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga.
Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali.
Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung
air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak
saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.
Setelah
perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh
lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang
berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai
baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke
dalam air, nampaknya ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu
melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu
mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar
inilah aneh: maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air
demikian kuat.
Lagi
beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh
itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu
terbuat dari kuningan.
Si
wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng
restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu
pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar.
Keduanya terus mendaki tangga loteng.
“Shako!”
memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja,
sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya.
“Sietee,
citmoay, kamu datang siang-siang?” kata si cebol.
Wanyen Lieh diam-diam perhatikan
dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah
remajanya. Dia bermata besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan
salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya
dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun
mempunyai rambut yang hitam mengkilap.
“Walaupun
dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh menggairahkan dengan
sifatnya sendiri,” berpikir putra raja Kim
itu. Sekarang ia lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari
romannya dari kepala sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang
lebih tiga puluh tahun, baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya
dilibat tali rumput, sedang sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan
kasar dan kaki gede, romannya jujur polos. Ketika dia sanderkan pikulannya di
samping meja, bentrok sama meja itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu
menggeser sedikit.
Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga
ia awasi pikulan itu, yang warnanya hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul
sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat dari
besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah
kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal.
Baharu dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah
terdengar lagi tindakan kaki berisik dua orang lagi.
“Bagus,
ngoko, liokko, kamu datang berbareng!” menyambut si nona nelayan.
Dari
dua orang ini, yang jalan di depan berdedakan tinggi dan kekar, tubuhnya
terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing,
tertampak pula dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya
tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu.
Melihat potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma
ditangannya kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya
berpotongan sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih,
tangannya mencekal dacin, ialah pesawat timbangan, serta sebuah keranjang
bambu, hingga ia mirip seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing
sebuah meja.
“Heran!”
kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. “Tiga orang yang
pertama adalah orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua
orang ini yang mirip orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?”
Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar
ringkikan kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang.
Si pedagang kecil lantas saja tertawa. “Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong-ma’mu!” katanya.Si cebol tertawa. “Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!” dia bilang.
Si pedagang kecil lantas saja tertawa. “Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong-ma’mu!” katanya.Si cebol tertawa. “Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!” dia bilang.
Wanyen Lieh segera melongok ke
bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser sambil merintih.
Pengurus
dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu: “Kamu
bangsat-bangsat luar kota,
kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya Han Samya?
Bagus, ini namanya benturkan kepala dato…! Hayo lekas naik ke loteng untuk
minta ampun!”
Di bawah loteng itu ada
lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya mengatakan: “Kuda Han
Samya lihay melebihkan manusia,
dua jentilan kakinya cukup untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang,
“Mereka datang ke Kee-hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!”
“Rupanya
mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil” pikir Wanyen Lieh.
Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun,mulut mereka masih berkoak-koak
beraduh-aduh. Segare suara mereka itu bercampuran sama satu suara baru, ialah
tingtong-tingtong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang
ke jurusan dari mana suara itu datang.
Di tikungan jalan besar
terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya rombeng dan tangan
kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-saban memukul
batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia seorang buta.
Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di atas, hingga ia
mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan untuk sekalian menunjang
diri. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam senjata peranti
memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia mendatangi dengan
tindakan dangklak-dingkluk.
Wanyen Lieh menjadi
bertambah-tambah heran. “Belum pernah aku dengar orang picak lagi pengkor
pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor harimau…”
pikirnya.
Si
pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu.
“Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?” dia tanya,
suaranya parau.
“Tekukan
dengkul kiri,” sahut salah satu pencuri kuda itu.
“Hm!”
si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana dengan tiba-tiba ia totok
pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia berkelit
tetapi sudah kasep. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya lebar-lebar,
“Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!” Dan ia memburu sambil ulur tangannya untuk meninju.
Kalau
tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digeraki, sekarang denagn
tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi
berdiri menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat
tinggi segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat samil menjura.
“Terima
kasih, Tuan orang pandai,” katanya. “Aku bodoh, untuk kekasaranku barusan, aku
mohon diberi maaf.” Segera ia berpaling kepada kawannya dan berkata: “Saudara mari
lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu…”
Dengan
meringis-ringis, pencuri itu bertindak denagn susah payah mendekati si buta dan
pengkor itu.
“Toaya
binatang itu dupak dadaku…” katanya, dengan suara susah.
Si
buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi
dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang.
Pencuri
itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan.
Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan
ludah lender. Hampir berbareng denagn itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu.
Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut untuk manggut-manggut hingga
jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh: “Oh yaya yang sakti,
sungguh….”
Si
buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu,
terus mendaki tangga loteng.
“Sungguh
hari ini aku sangat beruntung!” kata Wanyen Lieh
dalam hatinya. “Diluar dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu…”
Sampai
di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. “Jongos, cepat kau
urus macan ini!” ia perintahkan. “Tulang-tulangnya kau godok menjadi kuwah yang
kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai kena terpotong rusak!”
Satu
jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul itu.
Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen
Lieh seraya ia berkata pada si
jongos: “Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan
untuk dia mencicipi rasanya…”
“Ya…ya…”
sahut si jongos itu.
Wanyen Lieh sendiri menjadi
sangat terkejut. “Kenapa ia dapat melihat aku? Apakah dia bukan buta
benar-benar?” dia berakta di dalam hatinya.
Ketika
itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk lantas
bangkit bangun.
“Toako!”
mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di sebelah
timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya berkata:
“Toako, di sini kursimu!”
“Baik!”
menyahuti si buta itu. “Apakah jietee masih belum sampai?”
“Jieko
sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia
sampai disini” sahut orang yang potongannya seperti pembantai itu.
Sembari
berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang
ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan.
Menyaksikan
perbuatan si nona, mengertilah Wanyen
Lieh bahwa si buta benar-benar tak
dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia
mesti pergi.
Segera
putra raja Kim itu ambil keputusannya
untuk ikat perkenalan dan persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh
ini. Ia pun segera berbangkit dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak,
guna hampiri si buta, guna hanturkan terima kasihnya, untuk daging yang
dibagikan kepadanya – yang mana ada alasan bagus sekali untuk berkenalan –
tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang bersepatu kulit di undakan tangga
loteng. Tindakan itu ada seperti separuh diseret. Ia menjadi heran pula, maka
ia lantas berbalik dan memandang.
Yang
pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak yang
gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul
munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, ialah kepalanya satu
mahasiswa melarat. dan Wanyen
Lieh segera kenali orang yang tadi
ia ketemui di waktu lenyap uangnya.
“Mungkin dia inilah yang curi uangku…” ia menerka-nerka. Hatinya
lantas menjadi panas. Justru begitu, si mahasiswa itu mengawasi ke arahnya,
bibirnya tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia
menegur semua orang yang telah hadir di situ.
Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau jieko, saudara
yang kedua.“Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya,” Wanyen Lieh
berpikir. “Baiklah aku lihat gelagat dulu…” Maka ia berdiam terus.
Si mahasiswa sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang
pula kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung: “Uang tidak
halal….. lepaskan dia….Thian yang maha kuasa…umbar adatnya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar