Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 3

7 Manusia Kanglam


Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa

Ketika besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.
Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.
Tak lama sehabisnya dahar, jongos datang menyerahkan satu bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.
“Apakah itu?” tanya si nyonya.
“Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, ialah pakaian baru,” jawab jongos itu. “Tuan pesan supaya nyonya suka salin pakaian.”
Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Ia tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.
“Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?” katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.
Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru.
Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti?
“Jangan takut!” kata Lien Yeh sambil tertawa. “Mari kita liat!” Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.
Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit.
“Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata,” kata Sek Yok ketakutan. “Mari kita lekas menyingkir…”
Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.
Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. “Diam!” dia membentak. “Kamu bikin apa?”
Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. “Kamu ada bawahan siapa?” ia tanya, membentak. “Lekas pergi!”
Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju mendekati, dituruti empat kawannya.
Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar “Serr!” lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.
Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata, “Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!”
Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.
“Hebat!” memuji Sek Yok tanpa terasa.
Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.
“Celaka!” Sek Yok menjerit karena kaget dan takut.
Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras.
“Tangkap!” berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.
Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya?
Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.
Lagi selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.
Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.
Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.
Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. “Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?” perwira itu menegur.”Kau hendak tunggu apalagi?”
Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. “Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?” ia tanya.
Heran perwira itu, hingga ia tercengang. “Kau siapa!” ia membentak.
Yen Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. “Apakah kau tidak kenali aku?” dia bertanya. Dia tertawa pula. “Nah, kau lihatlah surat ini!”
Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas sambuti surat itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat.
“Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati,” katanya, “Pie-cit mohon diberi ampun….”
Tidak saja perwira itu membasakan dirinya “pie-cit” yang artinya “bawahan yang rendah”, surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.
Yen Lieh sambuti kembali surat itu. “Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!” katanya sambil tertawa.
Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main.
Perwira itu menjura dalam. “Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman,” ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.
Yen Lieh tertawa pula. “Kami masih kekurangan seekor kuda,” katanya.
“Perwira itu tuntun kudanya sendiri. “Silahkan hujin pakai kudaku ini,” pintanya. Ia bicara terhadap Pauw-sie.
Sek Yok heran yang ia dipanggil “hujin” atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.
Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. “Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang,” katanya. “Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi.”
“Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti,” kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.
Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan mereka ke utara.
Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan…….. Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahulukan dia.
“Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian,” katanya, “Maka itu, apapula segala perwira itu…….”
“Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku,” kata Pauw-sie.
“Soal itu ada lain,” sahut si anak muda. “Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa mendapat celaka.”
“Habis bagaimana?” si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti.
Yen Lieh berdiam sejenak. “Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?” bia tanya.
Pauw-sie mengangguk.
“Sekarang ini mari kita balik dahulu ke utara,” Yen Lieh berkata. “Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang.”
Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini? Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.
“Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu,” kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. “Akan aku turut segala titahmu.”
Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. “Baiklah, sesukamu…” katanya perlahan, sambil tunduk.
Yen Lieh menjadi girang sekali. “Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan,” dia bilang. “Nyonya….”
“Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi…” kata Sek Yok.
“Baik, baik, Nyonya….”
Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga.
Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.
Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang.
Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya.
“Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat dulu,” Yen Lieh mengajak.
“Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan,” Sek Yok mengutarakan pikirannya.
“Disini ada banyak toko, Nyonya,” Yen Lieh bilang. “Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru.”
Sek Yok melengak. “Bukankah ini baru dibeli?” tanyanya. “Apanya yang dibilang lama?”
“Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu,” terangkan si anak muda, “Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?”
Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. “Aku tengah berkabung…” katanya perlahan.
“Terang itu aku tahu,” Yen Lieh bilang.
Nyonya itu lantas membungkam.
Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap.
“Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja,” kemudian kata si pemuda.
Pauw-sie mengangguk.
Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.
Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.
Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh.
Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang.
“Eh, kau bikin apa`?” ia menegur.
Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: “Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!” Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: “Truk! Truk! Truk…!”
Panas hatinya Yen Lieh. “Binatang!” katanya dalam hatinya, “Bukankah dia maksudkan aku?”
Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. “Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar…” katanya sambil memberi hormat.
Yen Lieh bisa duga hati orang. “Kau pegang uang ini!” katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.
Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. “Apa?! Kau tidak membawa uang?” katanya.
“Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil,” kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.
Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. “Apakah wanita ini benar istrimu?” dia tanya. “Apakah kau tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!”
Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.
Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. “Plok!” demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit: “Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!”
Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.
“Mari kita lekas pergi!” Sek Yok mengajak. “Jangan kita nginap disini!”
“Jangan takut!” kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. “Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!”
Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.
Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang.
“Apakah kamu hendak berkelahi?” tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang kabutan.
Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap bangun.
“Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri,” kata SekYok dengan berkhawatir.
Yen Lieh tetap tertawa. “Itulah yang aku kehendaki!” sahutnya.
Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.
Untuk kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baharu kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan.
“Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?” demikian di antarannya pentang bacot. “Mana dia si penjahat!”
Yen Lieh bercokol tidak bergeming.
Menyaksikan sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju.
“Eh, kau she apa?” menegur yang menjadi kepala. “Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?”
Yen Lieh tetap tidak bergerak. “Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!” ia bilang, suaranya keren.
Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjdi gusar.
“Apakah kau edan?” si kepala polisi tanya.”Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?”
Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata: “Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!”
Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi.
“Kamu jaga dia, jangan kasih dia buron…” pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi.
Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut.
“Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan,” berkata mereka.”Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya.”
Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. “Aku telah kehilangan uang di dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya,” ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.
Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat.
“Ya, ya,” katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang berkeredep putih.
“Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami,” berkata Khay Oen Cong. “Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti.”
Yen Lieh tertawa, ia mengangguk.
Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu.
“Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana,” tiehu itu memohon kemudian.
“Tempat di sini lebih meyenangkan,” berkata Yen Lieh. “Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku.” Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren.
“Baik, baiklah,” kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. “Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan.”
Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan.
Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.
Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun.
Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas tanah. “Aku persen ini kepadamu!” katanya sambil tertawa. “Lekas pergi!”
Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.
Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. “Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?” ia tanya. “Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!”
Yen Lieh tertawa. “Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka,” ia menyahut. “Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!”
Sek Yok heran. “Siapa itu Tio Kong?” tanyanya.
“Tio Kong ialah Kaisar Leng Cong yang sekarang!” sahut Yen Lieh.
Nyonya Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. “Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang, semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah sanaknya kaisar,” dia berpikir. “Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat tinggi…. Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat kurang ajar..?” Maka lekas-lekas ia berkata “ Bicara hati-hati! Nama raja mana boleh sembarangan disebut-sebut?”
Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. “Tidak ada halangannya untuk aku menyebeutkan namanya,” ia menyahut sambil tertawa. “Setibanya kita di utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita mesti memanggil apa?”
Lagi sek Yok terkejut. “Ke Utara?” dia bertanya.
Yen Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya terkejut.
Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan: “Ongya!” Dan lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut.
“Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!” kata Yen Lieh sambil tertawa
Sek Yok dengar orang dipanggil “ong-ya” – “sri paduka”, ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda daripada tentera Tionggoan.
“Semua keluar!” kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.
Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.
“Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?” ia tanya.
“Apakah mereka bukannya tentara Song?” si nyonya membaliki.
Yen Lieh tertawa. “Sekarang baiklah aku omong terang padamu!” katanya, riang gembira. “Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!” Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.
“Kalau begitu kau jadinya, kau…” katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar.
Yen Lieh kembali tertawa. “Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah satu huruf “Wan” di atasnya,” dia menyahuti. “Sebenarnya aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang rendah….”
Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan, bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu. Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak dapat membuka mulutnya.
Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata, “ Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya sekalian.”
“Upeti tahunan?” Sek Yok heran.
“Ya,” sahut putra raja Kim itu. “Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!”
“Apa katanya Han Sinsiang?” Sek Yok tanya.
“Apa lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!”
Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup.
“Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri,” berkata pula Wanyen Lieh. “Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh aku sangat beruntung.”
Pauw Sek Yok tetap bungkam.
“Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian,” kata Wanyen Lieh kemudian.
“Tidak usah,” kata Sek Yok tunduk.
Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula, “Uang pribadi Han Sinsiang sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang berani ganggu padamu!”
Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.
Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk kota ada halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam….
Dengan perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi, kapan ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan pundaknya.
Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; “Bagus!”
Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak, dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.
“Kuda itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa,” pikirnya.
Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bebokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh si kate turun pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman!
Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri – negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai tidak dapat di lihat dari romannya saja.
“Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?” dia berpikir. Dia pun melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.
Memang putra raja Kim ini adalah seorang dengan cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar itu.
“Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat digunai olehku,” dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.
Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng.
Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf “Tay Pek Ie Hong”. Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan tiga huruf “Cui Sian Lauw”, yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya: “Tong Po Kie-su”. Jadi itu ada ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan kudanya.
Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran.
Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya, yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih jauh.
Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka bagaikan jambangan.
“Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay,” pikir Wanyen Lieh, Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.
Begitu lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu berulang-ulang!
Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu!
Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas yang berkilau kuning.
“Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!” kata si kate. “Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja.”
“Baik, Han Samya!” berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. “Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya yang lainnya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu. Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya…”
Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. “Apa?!” serunya aneh. “Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?”
Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam dan berseru: “kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!”
Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang.
Wanyen Lieh menjadi heran sekali. “Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia sangat royal,” pikirnya. “Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia menjadi guru…Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu.”
Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.
Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Itu waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu.
Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau lengkak yang tidak ada “tanduknya” yang rasanya empuk dan manis, tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh banyak pohon lengkak itu.
Sambil hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga. Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.
“Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?” ia menerka-nerka. “Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini….? Ia memikir tetapi tidak dapat jawabannya.
Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.
Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.
Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh: maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat.
Lagi beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan.
Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar. Keduanya terus mendaki tangga loteng.
“Shako!” memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya.
“Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?” kata si cebol.
Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia bermata besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap.
“Walaupun dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh menggairahkan dengan sifatnya sendiri,” berpikir putra raja Kim itu. Sekarang ia lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari romannya dari kepala sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya dilibat tali rumput, sedang sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan kasar dan kaki gede, romannya jujur polos. Ketika dia sanderkan pikulannya di samping meja, bentrok sama meja itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu menggeser sedikit.
Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga ia awasi pikulan itu, yang warnanya hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat dari besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal.
Baharu dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah terdengar lagi tindakan kaki berisik dua orang lagi.
“Bagus, ngoko, liokko, kamu datang berbareng!” menyambut si nona nelayan.
Dari dua orang ini, yang jalan di depan berdedakan tinggi dan kekar, tubuhnya terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing, tertampak pula dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu. Melihat potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma ditangannya kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya berpotongan sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih, tangannya mencekal dacin, ialah pesawat timbangan, serta sebuah keranjang bambu, hingga ia mirip seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing sebuah meja.
“Heran!” kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. “Tiga orang yang pertama adalah orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua orang ini yang mirip orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?”

Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar ringkikan kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang.
Si pedagang kecil lantas saja tertawa. “Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong-ma’mu!” katanya.Si cebol tertawa. “Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!” dia bilang.
Wanyen Lieh segera melongok ke bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser sambil merintih.
Pengurus dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu: “Kamu bangsat-bangsat luar kota, kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya Han Samya? Bagus, ini namanya benturkan kepala dato…! Hayo lekas naik ke loteng untuk minta ampun!”
Di bawah loteng itu ada lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya mengatakan: “Kuda Han Samya lihay melebihkan manusia, dua jentilan kakinya cukup untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang, “Mereka datang ke Kee-hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!”
“Rupanya mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil” pikir Wanyen Lieh. Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun,mulut mereka masih berkoak-koak beraduh-aduh. Segare suara mereka itu bercampuran sama satu suara baru, ialah tingtong-tingtong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang ke jurusan dari mana suara itu datang.
Di tikungan jalan besar terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya rombeng dan tangan kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-saban memukul batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia seorang buta. Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di atas, hingga ia mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan untuk sekalian menunjang diri. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam senjata peranti memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia mendatangi dengan tindakan dangklak-dingkluk.
Wanyen Lieh menjadi bertambah-tambah heran. “Belum pernah aku dengar orang picak lagi pengkor pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor harimau…” pikirnya.
Si pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu. “Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?” dia tanya, suaranya parau.
“Tekukan dengkul kiri,” sahut salah satu pencuri kuda itu.
“Hm!” si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana dengan tiba-tiba ia totok pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia berkelit tetapi sudah kasep. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya lebar-lebar, “Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!” Dan ia memburu sambil ulur tangannya untuk meninju.
Kalau tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digeraki, sekarang denagn tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi berdiri menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat tinggi segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat samil menjura.
“Terima kasih, Tuan orang pandai,” katanya. “Aku bodoh, untuk kekasaranku barusan, aku mohon diberi maaf.” Segera ia berpaling kepada kawannya dan berkata: “Saudara mari lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu…”
Dengan meringis-ringis, pencuri itu bertindak denagn susah payah mendekati si buta dan pengkor itu.
“Toaya binatang itu dupak dadaku…” katanya, dengan suara susah.
Si buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang.
Pencuri itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan. Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan ludah lender. Hampir berbareng denagn itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu. Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut untuk manggut-manggut hingga jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh: “Oh yaya yang sakti, sungguh….”
Si buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu, terus mendaki tangga loteng.
“Sungguh hari ini aku sangat beruntung!” kata Wanyen Lieh dalam hatinya. “Diluar dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu…”
Sampai di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. “Jongos, cepat kau urus macan ini!” ia perintahkan. “Tulang-tulangnya kau godok menjadi kuwah yang kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai kena terpotong rusak!”
Satu jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul itu. Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen Lieh seraya ia berkata pada si jongos: “Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan untuk dia mencicipi rasanya…”
“Ya…ya…” sahut si jongos itu.
Wanyen Lieh sendiri menjadi sangat terkejut. “Kenapa ia dapat melihat aku? Apakah dia bukan buta benar-benar?” dia berakta di dalam hatinya.
Ketika itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk lantas bangkit bangun.
“Toako!” mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di sebelah timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya berkata: “Toako, di sini kursimu!”
“Baik!” menyahuti si buta itu. “Apakah jietee masih belum sampai?”
“Jieko sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia sampai disini” sahut orang yang potongannya seperti pembantai itu.
Sembari berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan.
Menyaksikan perbuatan si nona, mengertilah Wanyen Lieh bahwa si buta benar-benar tak dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia mesti pergi.
Segera putra raja Kim itu ambil keputusannya untuk ikat perkenalan dan persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh ini. Ia pun segera berbangkit dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak, guna hampiri si buta, guna hanturkan terima kasihnya, untuk daging yang dibagikan kepadanya – yang mana ada alasan bagus sekali untuk berkenalan – tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang bersepatu kulit di undakan tangga loteng. Tindakan itu ada seperti separuh diseret. Ia menjadi heran pula, maka ia lantas berbalik dan memandang.
Yang pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak yang gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, ialah kepalanya satu mahasiswa melarat. dan Wanyen Lieh segera kenali orang yang tadi ia ketemui di waktu lenyap uangnya.
“Mungkin dia inilah yang curi uangku…” ia menerka-nerka. Hatinya lantas menjadi panas. Justru begitu, si mahasiswa itu mengawasi ke arahnya, bibirnya tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia menegur semua orang yang telah hadir di situ.
Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau jieko, saudara yang kedua.“Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya,” Wanyen Lieh berpikir. “Baiklah aku lihat gelagat dulu…” Maka ia berdiam terus.
Si mahasiswa sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang pula kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung: “Uang tidak halal….. lepaskan dia….Thian yang maha kuasa…umbar adatnya!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar