Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 48



BAB 48

Si Bisa dari Barat ini telah mengerahkan tenaganya, umpama di situ ada Ang Cit Kong atau Tong Shia Oey Yok Su, tidak nanti mereka berani melawannya dari depan, apa pula seorang seperti Kwee Ceng.
Sebenarnya juga, Auwyang Hong melayani Kwee Ceng sebagai lagi berlatih, tidak heran Leng Tie Siangjin melihatnya menjadi muak. Ada sebabnya kenapa See Tok berbuat demikian. Itulah disebabkan Kwee Ceng menggunai Khong-beng-kun. Maka See Tok melayani, untuk menanti sampai anak muda itu habis menjalankan semua jurus dari ilmu silatnya itu, habis itu baru ia hendak turun tangan, mencekuk si pemuda. Sayang maksudnya tak segera kesampaian. Mendadak Wanyen Lieh masuk ke air tumpah itu dan ia mesti dengarb itu pertanyaan yang seperti serupa ejekan, hingga hatinya menjadi panas. Ia lantas bertindak. Meski begitu, ia tidak mau membinasakan Kwee Ceng, sebab si bocah masih dibutuhkan olehnya. Dilain pihak, ia tidak menginsyafi bocah yang polos dan jujur itu, yang taat dengan tugasnya.
Kwee Ceng tidak mau mundur, sekalipun ia mesti mati terbinasa. Hendak ia melindungi surat wasiatnya Gak Bu Bok. Begitu ia menyingkir, pasti Auwyang Hong akan mendapatkan surat wasiat itu, di situ ada banyak pahlawan raja tetapi menghadapi Auwyang Hong, pastilah mereka tidak berdaya. Di dalam keadaan seperti itu, selagi bahaya mengancam - sebab ia tahu ia tidak sanggup menangkis- ia mengenjot kedua kakinya, akan mengapungi diri tinggi empat kaki. Secara begitu, ia bebas dari serangan. Ketika turun pula, ia tetap berada di muka gua di mana ia menghadang seperti semula.
“Bagus!” berseru Auwyang Hong kagum. Segera ia menarik pulang kedua tangannya.
See Tok ada sangat hebat. Kalau serangannya bertenaga beberapa ratus kati, tarikan pulang tangannya pun masih bertenaga besar, ada tenaga menariknya.
Kwee Ceng terkejut akan merasakan angin menolak punggungnya. Ia mengerti ancaman bahaya. Ia memutar balik tangannya, untuk membela diri. Kali ini ia menggunai jurus “Sin liong pa bwee” atau “Naga sakti menggoyang ekor” Tentu saja itulah gerakan keras lawan keras. Seharusnya ia mencoba berkelit, sebaliknya, ia menangkis. Siapa kalah tenaga dalam, dialah yang bakal bercelaka.
Wanyen Lieh berdiri menjublak menonton cara orang berkelahi itu, yang mengherankan ia. Kenapa Auwyang Hong berdiam saja sebagai patung, cuma kedua tangannya yang ditolakkan ke depan dan ditarik pulang? Kenapa Kwee Ceng main berlompatan dan hanya mengawasi See Tok? Kenapa See Tok menarik pulang tangannya dan si bocah menangkis ke belakang, hingga keduanya berdiam bagaikan patung?
Kedua pihak sebenarnya tengah mengadu tenaga dalam, Auwyang Hong tetap menarik, Kwee Ceng tetap mempertahankan diri. Lekas juga bocah ini bermandikan keringat. Ia telah mesti mengeluarkan seluruh tenaganya untuk dapat bertahan itu.
Kembali Auwyang Hong menjadi kagum. Ia tahu benar, lagi sejenak Kwee Ceng bakal terluka parah. Ia membutuhkan bocah itu, tidak dapat ia mencelakainya. Maka ia memikir untuk mengalah. Lantas mengurangi tenaga manriknya itu. Tapi berbareng sama dikuranginya tenaganya, ia merasakan tolakan keras pada dadanya. Ia terkejut. Syukur tenaga dalamnya mahir, kalau tidak tentulah ia roboh terguling. Benar-benar ia tidak menyangka, begitu muda Kwee Ceng, tenaganya besar sekali. Segera ia menahan napas, tangannya menolak. Dengan begitu, lenyaplah tenaga mendorong tadi.
Kalau Auwyang Hong terus menyerang, robohlah Kwee Ceng. Tapi ini tidak dilakukan See Tok. Dia masih mengharap habisnya tenaga si bocah, untuk menangkap hidup padanya, guna menggorek keterangan hal Kiu Im Cin-keng dari mulut orang….
Sesaat kemudian mulailah terlihat tenaganya dua orang itu, yang satu berlebihan, yang lainnya berkurang. Tapi Wanyen Lieh dan Yo Kang, yang tetap menonton, tidak mendapat tahu kapan akan selesainya pertempuran macam itu, karenanya mereka menjadi cemas sendirinya. Mereka bingung mendengar suara berisik, satu tanda rombongan siwi tengah bekerja keras mencari si orang jahat…
Sekonyong-konyong dari dalam air tumpah terlihat dua siwi menerjang keluar. Yo Kang berlaku sangat sebat, sebelum kedua siwi itu tahu apa-apa, mereka sudah diterjang pangeran muda ini, yang kedua tangannya menyambar ke masing-masing ulu hati mereka, hingga menancap, dengan begitu robohlah mereka denagn jiwa mereka melayang. Yo Kang dengan bengis sudah menggunai cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah itu Yo Kang menghunus pisau belatinya, lalu dengan menggenjot diri, ia lompat kepada Kwee Ceng, untuk menikam pinggangnya si anak muda.
Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng tidak dapat berkelit. Kalau ia mencoba menyingkirkan tubuhnya, segera ia bakal terbinasa pukulan Kodok dari Auwyaang Hong. Maka itu dalam sekejap saja ia merasakan sakit pada pinggangnya, hingga ia berbareng merasa juga pernapasannya berhenti berjalan. Maka lupalah ia segala apa, tanpa merasa ia menghajar lengannya si penyerangnya itu, si pembokong.
Yo Kang merasakan sakit sekali. Ia bukan lagi tandingannya Kwee Ceng, walaupun ia mencoba menarik pulang tangannya, lengannya menjadi korban pula. Tapi itu waktu separuh pisaunya sudah masuk ke pinggang si anak muda.
Karena bergeraknya itu, tenaga Kwee Ceng menjadi semakin berkurang, dari itu, ia lantas terkena dorongan tenaganya Auwyang hong. Tanpa bisa menjerit lagi ia roboh terkulai.
“Sayang!” berseru Auwyang Hong, yanga akhirnya toh juga melukai bocah lawannya itu. “Ia bakal mampus, baiklah aku tak usah pedulikan lagi padanya. Paling üerlu aku lekas mencari surat wasiatnya Gak Bu Bok….”
Maka tanpa bersangsi lagi, ia berlompat ke dalam air tumpah.
Wanyen Lieh bersama-sama Yo Kang, lantas mengintil di belakang See Tok.
Auwyang Hong sudah lantas dirintangi sejumlah siwi, tetapi ia seperti tidak menghiraukan mereka itu, siapa datang dekat, ia sambar dan lempar, setelah mana, siwi lainnya tak dapat maju terlebih jauh, hingga tak lagi ada yang bisa mendekati pintu gua.
Yo Kang turut masuk ke dalam gua. Ia menyalakan api untuk dipakai menyuluhi. Di tanah ada banyak tanda debu, suatu tanda tak pernah ada orang yang datang ke situ. Di tengah-tengah gua ada sebuah meja batu, di atas mana ada satu kotak batu persegi dua kaki, kotak mana tersegel. Lainnya barang tak nampak di situ.
Dengan membawa apinya, Yo Kang menyuluhi hingga dekat. Di segelan ada suratnya tetapi, rupanya karena sudah terlalu tua, huruf-hurufnya tak dapat terbaca lagi.
“Surat wasiat itu ada di dalam kotak ini,” berkata Wanyen Lieh.
Yo Kang menjadi sangat girang, ia ulur tangannya akan mengambil peti itu.
Melihat gerakan orang, Auwyang Hong menggeraki tangan kirinya ke pundak orang, atas mana tidak tetaplah berdirinya Yo Kang, tubuhnya terhuyung berberapa tindak. Pemuda ini tak mengerti, ia melongo mengawasi orang.
Auwyang Hong sebaliknya sudah lantas mengempit kotak itu.
“Kita sudah berhasil, mari kita lekas mengundurkan diri!” kata Wanyen Lieh nyaring.
Auwyang Hong bertindak di depan, diikuti oleh Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Selagi lewat di dekat Kwee Ceng, Yo Kang melihat tubuh orang mandi darah dan rebah tak bergeming di antara siwi korbannya See Tok, ia lantas menghela napas.
“Dasar kau tidak tahu selatan, suka kau usilan,” katanya perlahan. “Maka itu janganlah kau sesalkan aku…”
Sebelum jalan terus, Yo Kang ingat pisau belatinya masih nancap di pinggang mangsanya, maka ingin ia mencabut senjatanya itu. Selagi ia membungkuk, untuk mengambil pisau itu, di air tumpah itu terlihat satu bayangan berkelebat di susul sama pertanyaan ini: “Engko Ceng, kau di mana?”
Yo Kang terkejut. Ia mengenali suaranya Oey Yong. Lupa pada pisau belatinya, ia lompat melewati tubuhnya Kwee Ceng, terus lari keluar air tumpah, akan menyusul Auwyang hong dan Wanyen Lieh.
Oey Yong mencari Kwee Ceng setelah ia permainkan Nio Cu Ong, yang ia tinggalkan begitu lekas terlihat siwi muncul disana-sini. Sebaliknya, Pheng Lian Houw berdua tidak berani mengejar terus sebab takut keperogok kawanan siwi. Mereka kembali ke dekat air tumpah, akan menggabungkan diri dengan See Thong Thian dan lainnya. Di sini mereka bertempur sama beberapa siwi sampai Auwyang Hong muncul, maka beramai-ramai mereka mengangkat kaki.
Oey Yong sia-sia mencari Kwee Ceng, ia lantas masuk ke dalam air tumpah. Ia menyalakan api, dari itu ia segera melihat tubuh Kwee Ceng yang mandi darah rebah di antara beberapa siwi. Ia kaget sekali - rebahnya si pemuda tepat di sampingnya. Saking kagetnya, tubuhnya gemetaran, sampai api terlepas jatuh dari tangannya. Di itu waktu di luar gua terdengar riuh suaranya kawanan siwi yang berteriak-teriak, “Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!” Tapi mereka itu cuma berteriak-teriak, tidak ada satu pun yang berani maju akan merintangi Auwyang Hong beramai. Sebabnya ialah, lebih dulu dari itu, beberapa kawannya sudah menjadi korban See Tok hingga mereka menjadi kecil hatinya, terpaksa mereka mementang bacot saja.
Oey Yong sadar dengan cepat. Ia membungkuk akan memeluk tubuhnya Kwee ceng. Ia merasakan tubuh itu hangat. Ia memanggil beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia menjadi bingung sekali. Maka itu ia lantas panggul tubuh engko itu, untuk dibawa menyingkir ke belakang gunung-gunungan.
Di Cui Han Tong sendiri telah berkumpul banyak orang, sebab ada datang juga siwi dari lain-lain bagian istana. Obor di situ terang bagaikan siang hari. Maka ketika Oey Yong berkelebat - tak peduli ia sangat gesit - ada siwi yang melihatnya. Siwi itu lantas berteriak, terus ia memburu diikuti beberapa kawannya.
Dalam mendongkolnya, Oey Yong mencaci dalam hatinya: “Ah, kawanan kantung nasi! Sungguh, kamu tidak punya guna! Kenapa kau bukan pergi mengejar orang jahat hanya orang baik-baik?” Ia menggertak gigi, tapi ia lari terus.
Ada beberapa siwi yang lihay, yang larinya cepat, mereka sudah lantas datang dekat.
Oey Yong menjadi bertambah mendongkol, ia meraup jarum rahasianya, ia menimpuk ke belakang, ke arah pengejar-pengejar itu.
“Aduh!” demikian terdengar etriakan, saling susul.
Itulah tanda robohnya beberapa siwi, karena mana yang lainnya tidak berani mengejar terlebih jauh. Maka si nona bersama engko Cengnya terus lari keluar dari tembok istana.
Keributan itu membikin istana menjadi kacau balau. Orang pun bingung, sebab tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada huru-hara di dalam untuk merampas tahta kerajaan atau ada menteri yang berontak guna merampas pemerintahan? Toh setelah itu, orang berisik sendirinya. Tidak ada kejadian lainnya lagi. Di situ telah berkumpul semua siwi, semua serdadu Gie-lim-kun.
Dari tengah malam itu, hingga pagi, orang bergelisah tidak karuan. Sedatangnya fajar, tentara penunggang kuda di kirim ke pelbagai jurusan, untuk mencari si orang jahat, antaranya dengan melakukan penggeledahan secara besar-besaran.
Tentu saja di itu waktu Wanyen Lieh semua telah kabur keluar kota, bahkan Oey Yong bersama Kwee Ceng telah tiba di dusun kemarinnya mereka mondok.
Sebenarnya Oey Yong kabur tanpa pilih arah, baru setelah melihat tidak ada yang mengejar, ia tidak lari keras seperti semula.Lebih dulu ia sembunyi di dalam sebuah gang kecil. Di sini ia pegang hidungnya Kwee Ceng. Ia merasakan hembusan napas. Di situ tidak ada api, tak jelas ia melihat muka si anak muda. Ia mengerti diwaktu siang tidak dapat ia berkeliaran di dalam kota dengan membawa-bawa orang terluka, karena ini, ia terus lari ke tembok kota, untuk melompatinya. Maka dilain saat tibalah ia ditempatnya Sa Kouw, si nona tolol.
Walaupun ia kuat, setelah berlari-lari setengah malaman, mana hatinya pun berkhawatir dan bingung. Oey Yong toh tersengal-sengal. Ia lantas menjatuhkan diri akan berduduk, guna meluruskan jalan napasnya itu. Dengan begitu, dengan perasaannya pulih hatinya pun menjadi terang. Sekarang ia lantas menyalakan sebatang kayu cemara dengan apa ia menyuluhi mukanya Kwee Ceng. Apa yang ia lihat membikin ia kaget, melebihi kagetnya di dalam gua tadi.
Kwee Ceng rebah tak bergeming, kedua matanya tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Taklah ia ketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Inilah pukulan sangat hebat untuk Oey Yong, hingga hatinya goncang keras. Ia berdiri bengong dengan tangannya memegangi obor kayunya itu. Ia merasakan ketika ada orang datang mendekati padanya, ia baru sadar tempo obor kayunya itu ada yang sambar. Segera ia menoleh, akan mengenali Sa Kouw.
Si tolol muncul karena ia dengar suara tak seperti biasanya.
Sa Kouw pun cemas menyaksikan keadaan Kwee Ceng itu. Ia lari ke dapur, untuk mengambil air dingin.
Oey Yong mengerti apa yang harus ia kerjakan. Ia keluarkan sapu tangannya, ia celupkan itu ke dalam air, untuk dilain saat mulut menyusut muka yang keciprutan darah dari si anak muda. Dari lubang hidung ia merasakan hembusan napas yang semakin lemah. Setelah itu ia hendak memeriksa luka, atau matanya bentrok sama sinar berkilauan warna kuning emas dari pinggangnya Kwee Ceng. Karena ini sekarang ia melihat sebuah pisau belati nacap di pinggang!
Baru sekarang Oey Yong dapat menyabarkan diri. Dengan hati-hati ia membukai baju dalam dari si anak muda, dengan begitu ia melihat jelas nancapnya pisau itu. Darah disitu sudah mulai bergumpal. Kelihatannya pisau masuk kira tiga dim dalamnya.
Nona ini menjadi bersangsi. Ia tidak berani lantas mencabut pisau itu, khawatir nanti Kwee Ceng lantas menghembuskan napasnya yang terakhir. Kalau ia tidak mencabut, sebaliknya ia memperlambat tempo. Ini pun membahayakan untuk si anak muda. Ia berpikir keras. Akhirnya ia menggertak gigi, tangannya diulurkan. Ingin ia mencabut, mendadak ia menarik pulang tangannya itu. Tiba-tiba saja ia bimbang sendirinya.
Kesangsian si nona berjalan terus, maka beberapa kali ia hendak mencobanya mencabut pisau belati itu, saban-saban ia gagal pula.
Sa Kouw menyaksikan kesangsian orang, ia menjadi tidak sabaran. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya dengan sebat ia mencabut pisau itu.
Kwee Ceng menjerit, begitu pun Oey Yong. Si pemuda bahna sakit, si pemudi saking kaget. Si tolol sebaliknya girang sekali, ia tertawa tebahak-bahak. Ia masih tertawa ketika Oey Yong kaget melihat darah mengalir keluar dari lukanya engkonya itu. Saking berkhawatir dan mendongkol, ia sampok si tolol itu hingga dia terguling, setelah mana ia menggunai sapu tangannya menyumpat luka Kwee Ceng, untuk mencegah keluarnya terus darah itu.
Dengan jatuhnya Sa Kouw, obor cemara di tangannya pun padam. Si tolol menjadi gusar, ketika ia berlompat bangun, ia menendang. Oey Yong tidak menangkis, ia membiarkan pahanya kena ditendang. Sa Kouw khawatir si nona nanti membalas, ia memutar tubuhnya untuk berlalri. Tidak lama ia mendengar nona Oey menangis. Ia menjadi heran, maka ia kembali. Ia menyalakan lagi obor cemaranya.
“Apakah kau kena tertendang sakit?” ia menanya Oey Yong.
Nona itu tidak menyahut, ia hanya berlutut mendampingi Kwee Ceng. Pemuda itu pingsan karena rasa nyerinya, sesaat kemudian ia baru mendusin.
“Apakah surat wasiatnya Gak Bu Bok kena mereka curi?” Kwee Ceng menanya. Itulah hal yang ia ingat paling dulu.
Oey Yong girang mendengar orang dapat bicara, meskipun suaranya lemah.
“Jangan khawatir, penjahat itu tak dapat turun tangan…” ia menyahut. Ia tentu saja berdusta, karena ia tidak ingin orang menjadi kaget dan bersusaah hati. Sebenarnya ia ingin menanyakan lukanya si anak muda, ketika ia merasakan tangannya hangat-hangat, disebabkan darah yang baru keluar dari pinggang Kwee Ceng itu.
“Eh, Yong-jie, kenapa kau menangis?” menanya Kwee Ceng yang baru sekarang melihat si nona berlinang-linang air matanya.
“Aku tidak menangis,” kata Oey Yong, yang paksakan diri untuk tertawa.
“Dia menangis tadi!” Sa Kouw campur mulut. “Kau hendak menyangkal? Apakah kau tidak malu? Lihat, mukamu masih ada air matanya!”
“Yong-jie, jangan takut,” Kwee Ceng menghibur. “Di dalam Kiu Im Cin-keng ada terdapat cara-cara untuk mengobati luka, aku tidak bakalan mati.”
Mendengar itu, Oey Yong merasakan di dalam kegelapannya ia memperoleh pelita. ia girang. Tadinya ia mau minta penjelasan tentang obat itu, niat ini ia batalkan, khawatir si anak muda nanti menjadi letih. Maka ia ambil obor dari tangannya si tolol.
“Enci, tadi aku kena serang kau, apakah kau sakit?” ia menanya sambil tertawa.
“Ah, kau menangis, tidak dapat kau menyangkal!” kata si tolol yang tidak memperdulikan pertanyaan orang. Ia hanya mengingat penyangkalan nona ini.
“Ya, benar, aku menangis,” kata Oey Yong tersenyum. “Kau sendiri tidak menangis, kau baik sekali.”
Mendengar dirinya di puji, Sa Kouw menjadi sangat girang.
Kwee Ceng sendiri repot meluruskan pernapasannya, dengan begitu rasa sakitnya berkurang.
“Coba kau memakai jarum emasmu menusuk beberapa kali jalan darahku ceng-ciok dan siauw-yauw,” katanya perlahan pada Oey Yong.
“Ah, aku menjadi bodoh!” kata si nona, terperanjat. Dengan lekas ia mengeluarkan sebatang jarumnya dan terus bekerja. Tiga kali ia menusuk di pinggang kiri di mana ada dua jalan darah yang disebutkan itu. Tusukan ini membantu memperlambat mengalirnya darah dan pun mengurangi rasa nyeri.
“Luka di pinggangku ini, Yong-jie, meskipun dalam, tetapi tidak berbahaya,” Kwee Ceng kata pula, suaranya tetap perlahan. “Yang hebat ialah serangan Kap-mo-kang dari si Bisa bangkotan, syukurlah ia tidak menggunai sepenuhnya tenaganya, dengan begitu aku masih dapat ditolong, cumalah dengan begitu kau bakal menderita merawati aku tujuh hari tujuh malam…”
“Biarnya aku bersengsara tujuhpulh tahun, untukmu aku senang,” menyahut si nona, cepat.
Kwee Ceng terharu sekali, hatinya menggetar hampir ia pingsan pula. Ia berdiam akan menenangkan diri.
“Sayang suhu pun terluka,” katanya kemudian.
“Sudahlah, kau jangan terlalu banyak pikir,” mencegah Oey Yong sekalian menghibur. “Sekarang ini kau mesti berdaya mengobati lukamu sendiri, supaya orang lega hatinya….”
“Sekarang perlu kita mendapatkan dulu tempat yang tenang,” berkata Kwee Ceng. “Disana aku nanti mengobati diriku dengan bantuanmu. Menurut ajaran kitab, kita mesti mengadu tenaga bergantian dengan sama-sama mengendalikan napas. Dengan jalan begitu kau membantu aku dengan tenaga dalammu. Seperti aku bilang tdai, sulitnya ialah tempo yang mesti digunakan mesti tujuh hari tujuh malam, selama mana tak boleh kedua tangan kita berpisahan. Pikiran kita berdua bersatu padu, dapat kita berbicara tetapi tidak boleh ada orang yang ketiga yang menyelak menyampur bicara. Pula tidak dapat kita bangun atau berjalan sekalipun setengah tindak. Jikalau ada orang yang mengganggu kita, maka….”
Oey Yong mengerti cara pengobatan itu, yang sama dengan orang semadhi, ialah sebelumnya berhasil tidak boleh ada gangguan, gangguan menggagalkan dan bisa mendatangkan bahaya juga. Ini sebabnya, siapa tengah bersemadhi, ia membutuhkan kawan yang menjaga di sampingnya, guna mencegah gangguan yang tidak diinginkan itu. Ia jadi berpikir: “Aku perlu membantu dia, di sini tidak ada orang lain, siapa yang dapat melindungi? Sa Kouw tidak dapat diandalkan, dia terlalu tolol, malah mungkin dialah yang nanti merecoki. Juga di mana bisa didapatkan tempat sunyi di dalam waktu sesingkat ini? Umpama kata Ciu Toako datang kemari masih belum tentu ia sanggup menjagai kita selama tujuh hari tujuh malam…Bagaimana baiknya sekarang?”
Kembali ia berpikir keras, matanya memandang tajam ke sekelilingnya. Mendadak ia melihat tempat menyimpan mangkok dan lainnya.
“Ada!” pikirnya sejenak. “Kenapa aku tidak mau sembunyi di dalam kamar rahasia itu? Dulu hari Bwee Tiauw Hong tidak mempunyai pembela, dia sembunyi di dalam gua…”
Ketika itu sang pagi mulai terang dan Sa Kouw pergi ke dapur untuk masak bubur.
“Engko Ceng, kau boleh beristirahat,” berkata Oey Yong. “Aku hendak pergi sebentar untuk membeli barang makanan, sekembalinya aku, kita mulai berlatih sambil menyembunyikan diri.”
Kwee Ceng menurut, ia membiarkan kekasihnya itu pergi.
Oey Yong pergi ke kampung. Sembari jalan ia pikirkan apa yang ia mesti beli. Tidak sembarang barang dapat disimpan selama tujuh hari tujuh malam, atau barang itu bakal rusak dan bau dan tidak dapat dimakan lagi. Ia tidak usah berpikir lama atau menjadi bingung karenanya. Ia lantas membeli dua pikul semangka, yang ia minta tukang jualnya pikul ke rumah Sa Kouw.
Setelah menerima uang, si tukang semangka berkata: “Nona, inilah semangka Gu-kee-cun, manis dan lezat rasanya, bila kau sudah mencobainya, baru kau tahu!”
Terperanjat Oey Yong akan mendengar nama desa ini, ialah Gu-kee-cun.
“Kalau begitu, inilah kampung halamannya engko Ceng,” pikirnya. Ia menjadi berkhawatir pemuda itu terganggu pikirannya apabila dia ketahui ini kampungnya, maka ia lantas menyahuti sembarangan saja asal si tukang semangka lekas pergi. kemudian lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia mendapatkan Kwee Ceng lagi tidur dan darah dari lukanya sudah berhenti mengalir.
Sedangnya pemuda itu tidur, ia lantas bekerja. Ia membuka pintu dapur, terus ia putar pesawat rahasianya, akan masuk ke dalam kamar rahasia. Ke dalam situ ia angkut masuk semua semangkanya. Kepada Sa Kouw ia memesan wanta-wanti agar si tolol jangan beritahukan siapa juga yang mereka berdua berada di dalam kamar rahasia itu, dan meski ada peristiwa bagaimana hebat, si nona dilarang menerbitkan suara berisik.
Sa Kouw tidak mengerti maksud orang akan tetapi ia menginsyafi, karena ia menampak bicara dan gerak-gerik tamunya ini sangat sungguh-sungguh.
“Baik,” katanya mengangguk. “Kamu hendak makan semangka sambil menyembunyikan diri di kamar ini, kamu hendak memakan habis dulu semua semangka, baru kamu akan keluar lagi. Baiklah, sekarang tidak akan bicara!”
“Memang, Sa Kouw tidak akan bicara!” kata Oey Yong, sengaja mengangkat. “Sa Kouw memang anak baik, kalau Sa Kouw bicara, dia anak buruk…!”
“Sa Kouw tidak akan bicara, Sa Kouw anak baik!” si tolol mengulangi.
Tidak lama Kwee Ceng sadar, ia diberikan bubur satu mangkok besar. Oey Yong pun memakannya semangkok. Habis dahar, nona ini mendukung pemuda itu masuk ke dalam kamar rahasia. Ketika ia menoleh keluar pintu, ia lihat Sa Kouw mengawasi mereka sambil tertawa si tolo berkata: “Sa Kouw tidak akan bicara!”
Mendapatkan orang demikian tolol, Oey Yong menjadi berkhawatir.
“Dia begini tolol, ada kemungkinan dia nanti sembarangan bicara sama siapa saja. Bagaimana kalau dia membilangnya, ‘Mereka sembunyi di dalam sini memakan semangka, Sa Kouw tidak akan bicara’? Kelihatannya cuma dengan dibunuhnya baru lenyap ancaman untuk kita…”
Biarnya ia jujur dan polos Oey Yong tidak menghiraukan tentang wales asih atau kepantasan, sesat atau sadar, maka itu ia pun tidak pernah mau pikir, ada hubungan apa di antara Sa Kouw dan Kiok Leng Hong. Sekarang ia melainkan pikirkan keselamatannya Kwee Ceng, yang mesti ditolongi dan dilindungi. Untuk Kwee Ceng, ia bersedia umpama kata mesti membunuh Sa Kouw. Maka ia lantas ambil pisau belatinya si anak muda. Disaat ia hendak pergi keluar, matanya bentrok sama sinar mata si pemuda itu, sinar kaget atau luar biasa. Ia memikir, “Mungkinkah dia dapat melihat sinar pembunuhan pada wajahku?” Lantas ia ingat: “Tidak apa aku membunuh Sa Kouw, hanya bagaimana nantinya, engko Ceng sembuh? Bagaimana aku harus membilangnya apabila ia menanyakan? Mesti dia bakal membikin banyak berisik………”
Nona ini menjadi ragu-ragu.
“Engko Ceng baik dan halus budi pekertinya,” ia berpikir lebih jauh. “Ada kemungkinan dia bakal tak menyebut-nyebut Sa Kouw, tetapi siapa tahu apabila ia terus-menerus membenci aku? Ah, sudahlah, biarlah kita mencoba menempuh bahaya…….!”
Oey Yong lantas mengunci pintu. Kemudian ia meneliti seluruh ruang itu. Di ujung barat ada sebuah lobang angin atau dari mana masuk sinar terang, maka di siang hari, sinar terang itu dapat menerangi ruang. Di tembok ada sebuah lobang angin kecil, yang ketutupan debu, lalu debu itu disingkirkan.
Kwee Ceng duduk menyender di tembok. Ia bersenyum.
“Tidak ada tempat yang baik untuk beristirahat daraipada ini,” katanya. “Kau bakal menemani dua mayat, apakah kau tidak takut?”
Oey Yong tertawa meskipun sebenarnya ia risi juga.
“Yang satu kakak seperguruanku, tidak nanti ia mengganggu aku,” sahutnya. “Yang satu lagi perwira kantung nasi, hidupnya aku tidak takuti, apapula sesudah dia mati!” Sembari berkata, ia mendupaki jerangkong itu ke pojok Utara, kemudian ia menghampasr rumput kering. Kemudian lagi ia geser semua semangka, untuk didekati kepada mereka berdua, supaya gampang diambil dengan mengulur tangan saja.
“Bagus tidak begini?” ia tanya Kwee Ceng akhirnya.
“Bagus!” menjawab orang yang ditanya. “Sekarang mari kita mulai berlatih!”
Oey Yong membantui pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia sendiri lantas duduk besila di depannya, sedikit di sebelah kiri, darimana, dengan berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok itu. Untuk girangnya, ia mendapatkan sebuah kaca rasa di sana, dengan perantaraan kaca itu, ia bisa melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si pembangun kamar rahasia, yang demikian teliti dengan pembuatan kamarnya itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun bisa melihat ke luar.
So Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular sutera, mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey Yong memasang kupingnya, mendengari, maka tahulah ia, si tolol lagi menyanyikan lagu meninabobokan anak kecil supaya tiudr. Mulanya ia merasa lucu tetapi kemudian ia merasakan suara itu halus dan mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; “Adakah ini nyanyian ibunya dulu hari untuk ia mendengarinya? Kalau ibuku tidak telah menutup mata, ibupun akan menyanyikan aku begini rupa….”
“Yong-jie, kau memikirkan apa?” tanya Kwee Ceng mendapatkan orang berdiam saja. “Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati.”
Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa.
“Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu,” ia berkata.
Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu Im Cin-keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan luka disebabkan serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk memulihkan kesehatan.
Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah dapat menghapalkan itu. Cuma beberapa bagian yang kurang jelas, dengan menyakinkan bersama, ia pun akan dapat mengerti. Maka itu, dilain saat, mereka sudah mulai berkatih. Dua orang ini cocok satu sama lain, sebab si pemuda berbakat baik, si pemudi cerdas sekali. Mereka berlatih dengan Oey Yong mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan oleh Kwee Ceng dengan telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak dengan menukar tangan.
Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu, diwaktu beristirahat dengan tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk Kwee Ceng, yang separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu, tangan mereka yang sebelah ditempelkan terus satu pada lain.
Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng merasakan dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu tanda telah berjalannya hawa hangat dari tangann Oey Yong, yang masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut berkurang juga. Hal ini membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih semakin bersungguh-sungguh.
Ketika tiba pada istirahat yang ketiga kali, dari lobang di atas terlihat masuknya sinar matahari yang lemah. Itulah tanda dari telah datangnya sang sore. Cuaca jadi semakin guram. Denga berlalunya sang tempo, Kwee Ceng merasa semakin lega pernapasannya, dan Oey Yong pun bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa melewati tempo beristirahat itu dengan memasang omong.
Tidak lama keduanya hendak mulai latihannya terlebih jauh, kuping mereka mendapat dengar suara berlari-lari keras ke arah rumah makan dan berhenti di depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa orang, sebagaimana itu ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai.
“Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!” begitu terdengar satu suara keras dan kasar. “Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati….”
Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenali suaranya Sam tauw-kauw Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di tembok di sisinya. Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh mereka sebab mereka adalah Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong, Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See Thong Thian. Sa Kouw tidak kelihatan, setahu mana perginya si tolol itu.
Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara penyahutan untuknya.
Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah itu, lalu mereka mengerutkan kening mereka.
“Tidak ada orang di sini…” kata Cu Ong.
“Kalau begitu, biarlah pada pergi ke kampung untuk membeli makanan!” kata Thong Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe.
Pheng Lian Houw tertawa, dia kata: “Hebat kawanan Gie-lim-kun itu, mereka ada kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di segela tempat, mereka membuatnya arwah-arwah pun tak man, hingga sekarang kitalah yang untuk satu hari lamanya tak dapat gegares! Ongya adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini ada ini dusun sunyi senyap. Hebat!”
Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat padanya tetapi ia tidak jadi kegirangan hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak masgul.
“Pada sembilanbelas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari,” katanya sambil menghela napas.
Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran. tentu sekali mereka tidak tahu, pada sembilanbelas tahun yang lampau itu, di situ Pauw Sek Yok telah menolongi jiwanya dari ancaman bahaya maut.
Mereka ini tidak usah menanti lama atau Hauw Thong Thay telah kembali bersama arak dan barang makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangi arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran: “Hari ini ongya mendapatkan surat wasiat, itulah bukti yang Negara Kim yang terbesar bakal menggentarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu kami semua hendak memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari minum!”
Ia pun mengangkat cawanya, untuk cegluk kering isinya.
Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi dapat mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut.
“Kalau begitu berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!” pikirnya.
Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak.
Oey Yong terkejut. Kagetnya si pemuda ia dapat merasakan pada tangannya, yang terus menempel sama tangannya si pemuda itu. Ia mengerti sebabnya gangguan itu. Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia geser kepalanya, untuk mendekati kuping orang untuk berbisik: “Ingat kesehatanmu! Mereka dapat mencuri pulang! Asal gurumu yang kedua turun tangan, lagi sepuluh surat wasiat pun ia dapat curi!”
Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaiannya gurunya yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay. Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia mendengari lebih jauh pembicaraan mereka itu. Ia meramkan kedua matanya.
Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya. Habis mencegluk, pangeran ini kata dengan gembira: “Semuanya siauw-ong mengandal kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ialah yang nomor satu! Jikalau tidak sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti bekerja lebih sulit lagi.”
Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng berdenyut hatinya mendengar tertawanya orang itu.
Oey Yong pun bingung, hingga ia berkata seorang diri. “Berterima kasih kepada langit dan bumi, biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama di sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya…”
“Tempat ini sangat mencil dan sunyi,” berkata Auwyang Hong, “Tidak nanti tentara Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu surat wasiat Gak Bu Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah pemandangan kita.”
Sembari berkata, ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan itu kotak batu, yang mana ia letaki di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian, di dalam hatinya ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan surat wasiat itu berfaedah, hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya sendiri, kalau itu hanya ilmu perang biasa, yang baginya tak ada pentingnya, suka ia mengalah dan menyerahkannya kepada Wanyen Lieh, dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk pangeran itu…….
Sejenak itu, semua mata diarhkan kepada kotak batu itu.,
Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja.
“Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?” demikian pikirnya. “Kemusnahan adalah yang terlebih baik daripada surat wasiat itu jatuh ke dalam tangannya ini manusi-manusia jahat dan berbahaya….!”
Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh: “Ketika siauw-ong memeriksa surat peninggalannya Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu dihubungi sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istananya kaisar she Tio itu, maka tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui Han Tong, di simpan di dalam kotak batu yang berada limabelas tindak di arah Timurnya. Buktinya sekarang, duagaanku itu tidak salah. Aku mau percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa telah terjadi pengacauan kita di dalam istana semalam……..”
Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang memuji padanya.
Wanyen Lieh mengurut kumisnya.
“Anak Kang, kau bukalah kotak itu!” ia memerintah.
Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampirkan. Lebih dulu ia menyingkirkan segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke dalam situ menyorotlah sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat membuatnya semua hadiran menjadi tercengang bahna herannya, sehingga untuk sesaat itu tak ada seorang jua yang dapat membuka suaranya.
Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya istimewa, siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada serupa benda juga di dalam situ, jangan kata surat wasiat tentang siasat perang, sehelai kertas kosong pun tidak kedapatan.
Oey Yong tidak dapat turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah semua orang, maka maulah ia menduga untuk kosongnya kotak itu. Diam-diam ia bersyukur.
Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya ia kata: “Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada di dalam kotak ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?” begitu ia memikir demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun menjadi bercahaya saking gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia bertindak ke cimchee, di sini dengan tiba-tiba ia banting kotak ke lanti batu!
Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping.
Oey Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan dalamnya.
“Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?” katanya di dalam hati. Ia dapat menduga demikian, tetapi bukannya ia girang karena dugaannya itu tepat, ia justru menjadi masgul. Percuma menduga dengan berhasil, ia sendiri tidak bisa muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah bergelisah lama-lama, atau Wanyen Lieh tertampak sudah kembali ke mejanya seraya berkata: “Aku sangka kotak itu ada lapisan dalamnya, tak tahunya isinya tidak…” Ia lesu sekali.
Lian Houw semua heran, mereka ramai membicarakan kotak itu.
“Ah, siapa sangka!” pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam hatinya ia tertawai mereka itu. Ia berbisik pada Kwee Ceng, akan memberitahukan Wanyen Lieh belum berhasil memdapatkan surat wasiatnya Gak Hui.
Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu.
“Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal pergi pula ke istana,” Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia menjadi berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana. Ada kemungkinan guru itu bakal diperogoki. Benar di sana ada Ciu Pek Thong yang melindungi tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang edan-edanan.
Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong: “Keggagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi pula ke istana, untuk mencari terlebih jauh!”
“Malam ini tak dapat,” Wanyen Lieh mencegah. “Tadi malam keadaan kacau sekali, tentu karenanya penjagaan diperkeras.”
“Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti,” berkata Auwyang Hong. “Ongya bersama sie-cu malam ini tak usah turut, baiklah ongya berdua beristirahat di sini bersama keponakanku.”
“Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah,” kata pangeran Kim itu sambil memberi hormat. “Baiklah siauw-ong menanti kabar baik saja.”
Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang Kongcu, dan Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota, untuk menyerbu ke istana.
Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat wasiat dan kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak waktu kupingnya mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun, suaranya sangat menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi tak tentram dan masgul.
Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang tolak, sebab segera terlihat masuknya satu orang. Ia menggeraki tubuhnya, buat bangun berduduk, tangannya memegang gagang pedang.
Yo Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap sedia.
Yang datang itu satu nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya memperdengarkan nyanyian perlahan. Ia menolak pintu untuk masuk terus.
Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rima dekat rumahnya dan sekarang baru kembali. Ia melihat ada orang asing di rumahnya itu, ia tidak mengambil mumat, langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia bisa tidur. Begitu ia merebahkan dirim segera terdengar suara napasnya menggeros.
Melihat bahwa orang ada seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa sendirinya dan terus ia tidur pula.
Wanyen Lieh tetap berpikir, masih ia tak dapat pulas. Maka kemudian ia bangun, untuk nyalakan sebatang lilin, yang ia letaki di atas meja. Ia mengeluarkan sejilid buku, untuk dibaca, dibolak-balik lembarannya.
Selama itu, Oey Yong terus menginta dari lubang temboknya. Kebetulan ia menampak seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka terbakarlah sayapnya dan robohlah tubuhnya di atas meja.
Wanyen Lieh jumput selaru itu.
“Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong diobati,” berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah piasu kecil serta satu ples kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua tangannya, untuk dibuat main. Ia nampaknya sangat berduka.
Oey Yong menepuk perlahan pundaknya Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda itu melihat kelakuan si pangeran .
Kwee Ceng lantas mengintai, akan dilain saat ia menjadi gusar sekali. Samar-samar ia ingat, piasu dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya Yo Kang. Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunai itu mengobati lukanya seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar pangeran itu berkata seorangd iri dengan perlahan: “Pada sembilanbelas tahun dulu di kampung ini yang buat pertama kali aku bertemu denganmu…. Ah, aku tidak tahu, sekarang entah bagaimana dengan rumahmu yang dulu itu?”
Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus ia jalan keluar pintu.
Kwee Ceng berdiam.
“Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung halamannya ayah dan ibuku?” ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang mulutnya di kuping Oey Yong, untuk menanyakan.
Oey Yong mengangguk.
Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras, hingga tubuhnya bergerak-gerak karenanya.
Tangan kanan Oey Yong menempel sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan goncangan keras dari hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu bisa mencelakai anak muda ini. Lekas-lekas ia ulur tangan kanannya, akan ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya menekan.
Kwee Ceng pun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu, perhatiannya terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang menggoncangakan hati itu. Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali.
Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil menghela napas panjang.
Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia dapat menguasai dirinya. Oey Yong dapat merasai ketenangan hati kawannya ini, ia membiarkan si kawan terus mengintai, cuma sebelah tangan dia itu tetap ia tempel sama tangannya sendiri.
Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam. Itulah bukannya golok, bukannya kampak. Dengan bengong si pangeran mengawasi senjata itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih dengar pula suaranya yang perlahan: “Rumah keluarga Yo rusak hingga tak ketinggalan sepotong genteng juga. Keluarga Kwee masih meninggalkan tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw Thian….”
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang telah membunuh ayahnya itu. Lantas saja ia berpikir, “Jahanam ini terpisah dari aku tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati dapat aku menimpuk mampus padanya….” Terus dengan tangan kanannya ia menanya: “Yong-jie, dengan sebelah tanganmu dapat kau memutar membuka daun pintu?”
“Jangan!” mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. “Gampang untuk membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi mendapat tahu tempat sembunyi kita ini…..”
“Dia…dia memegangan senjatanya ayah aku…” kata Kwee Ceng, suaranya menggetar.
Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma mengetahuinya sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain berkat kekhawatiran hatinya memikir ayahnya itu, yang ia bayangi. Ia memuja sangat ayahnya itu. Maka itu melihat ujung tombak ayahnya, hatinya goncang keras kerana kebencian dan kemarahannya yang hebat.
Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuki pemuda ini. Tapi ia mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda: “Ibumu dan Yong-jie menghendaki hidupmu…”
Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan pula pisau belatinya di pinggangnya. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh telah merebahkan kepalanya di meja.
Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati ayahnya? Karena lesu, ia lalu bersemadhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia menyingkirkan matanya dari lubang angin, ia melihat seorang duduk di tumpukan rumput. Di dalam kaca, tak terlihat mukanya dia itu yang terkurung sinar api. Hanya setelah ia berbangkit berdiri dan mendekati Wanyen Lieh, akan emngambil peles obat dan pisau kecil tadi, selagi memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang.
Untuk sesaat Yo Kang memandangi bengong kepada peles obat dan pisau kecil itu, kemudian dari sakunya ia mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun mengawasi tombak itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubahnya air mukanya, ia menjumput tombak pendek yang terletak di tanah, dengan itu ia menikam ke arah punggungnya Wanyen Lieh.
Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu mengingat ayah dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal tombak itu dikasih turun habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi, tangan Yo Kang terangkat naik terus berdiam, tidak terus dikasih turun, untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan itu pun diturunkan tanpa tikaman.
“Bunuh, bunuhlah!” Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. “Sekarang kalau kau tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?” Lalu ia menambahkan: “Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang baik, urusanmu di dalam istana sudah menikam aku, akan aku bikin habis saja.”
Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah…
“Anak haram!” Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol sekali.
Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi tubuhnya Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkat itu masuk angin.
Kwee Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi terlebih lama lagi. Ia sungguh tak mengerti sikapnya Yo Kang ini.
“Jangan bergelisah tidak karuan,” Oey Yong menghibur. “Jangan keburu nafsu. Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita akan kejar padanya!”
Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih terus.
Ketika sang fajar datnag, beberapa ekor ayam jago kampung mengasih dengar keruyuk mereka saling sahut, dilain pihak muda-mudi itu sudah berlatih tujuh rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar sekali.
Oey Yong menunjuki telunjuknya.
“Telah lewat satu hari!” katanya sambil tertawa. Ia puas dengan selesainya latihan hari pertama
“Sungguh berbahaya!” kata Kwee Ceng perlahan. “Jikalau tidak ada kau, tidak dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya…….”
“Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji akan dengar kata aku,” kata si nona.
“Kapannya pernah aku tidak dengar kau?” Kwee Ceng menanya sambil tertawa.
Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya.
“Nanti aku berpikir,” katanya.
Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong yang merah dadu, yang cantik manis, sedang dilain pihak, Kwee Ceng tengah memegangi tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya memukul. Maka lekas-lekas ia menenangi diri, walaupun begitu, mukanya merah. Ia jengah sendirinya.
Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum pernah Kwee Ceng memikir seperti sekali ini terhadap si nona, dari itu ia menyesal sendirinya dan menyesali dirinya juga.
“Eh, engko Ceng, kau kenapa?” tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan mukanya si anak muda.
“Aku bersalah, mendadak saja aku memikir…..aku memikir….”
Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ.
“Kau memikirkan apa sebenarnya?” si nona menanya pula.
“Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula.”
“Tadinya kau memikir apa?”
Kwee Ceng terdesak.
“Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu..” karena terpaksa ia mengaku. Sebagai seorang jujur, tak dapat ia berdusta.
Mukanya si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin menggiurkan.
Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi tak enak hati.
“Yong-jie, kau gusarkah?” ia menanya. “Dengan memikir demikian, aku jadi buruk seperti Auwyang Kongcu……”
Tiba-tiba si nona tertawa.
“Tidak, aku tidak gusar!” sahutnya. “Aku hanya memikir, di belakang hari, kau akhirnya bakal merangkul aku, mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!”
Mendapat jawaban itu, lega hatinya Kwee Ceng.
“Engko Ceng,” kemudian si nona tanya. “Kau memikir untuk mencium aku, adakah hebat pikiranmu itu?”
Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba terdengar tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam rumah makann disusuli suara nyaring dari Hauw Thong Hay: “Aku telah bilang, di dunia ini ada setan, kau tidak percaya!”
“Apakah itu setan atau bukan setan?” terdengar suaranya See Thong Thian. “Aku bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!”
Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay berbelepotan darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan.
Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya.
“Nasib kita buruk,” menyahut Hauw Thong Hay. “Tadi malam di dalam istana kita bertemu hantu, sepasang kuping aku si Lao Hauw telah kena ditabasnya kutung…”
Wanyen Lieh melihat kupingnya Thong Hay itu, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi heran sekali.
“Masih ngoceh saja!” See Thong Thian menegur. “Apakah kita telah tidak cukup memalukan?!”
Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan.
“Aku melihat tegas sekali,” katanya, membela. “Satu setan hakim yang mukanya biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku, begitu aku menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu mirip benar dengan patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim neraka tulen?”
See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan hamkin neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu.
Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat menduga-duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama satu jago Rimba Persilatan yang lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun tidak bisa membuktikan kesangsiannya itu.
Ketika Auwyang Kongcu ditanya, mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng kepala.
Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranan itu, terlihat baliknya Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong bertiga. Mereka datang saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan.
Leng Tie Siangjin dengan kedua tangannya tertelikung ke belakang dengan rantai besi. Pheng Lian Houw dengan muka bengkak dan matang biru mungkin bekas digaploki pulang pergi. io Cu Ong lebih lucu lagi, ialah kepalanya sudah dicukur licin mirip dengan kepalanya seorang paderi!
Mereka ini, katanya, begitu lekas mereka memasuki istana, akan mencari surat wasiatnya Gak Hui, telah bertemu hantu. Masing-masing bertemu sama hantu sendiri, ialah satu hantu Bu Siang Kwie, satu malaikat Oey Leng Koan, dan satu lagi toapekkong tanah.
Nio Cu Ong pulang dengan mulutnya memaki kalang-kabutan seraya tangannya mengusap-usap kepalanya yang gundul licin itu. Pheng Lian Houw dapat menguasi diri, ia berdiam saja. Leng Tie Siangjin tertelikung hebat sekali, rantai melibat keras kulit dan dagingnya. Pheng Lian Houw mesti mesti bekerja sekuat tenaganya, baru rantai itu dapat diloloskan, karena itu lengan orang suci dari Tibet itu jadi berdarah. Mereka ini saling mengawasi saja. Mereka percaya sudah bertemu sama musuh lihay, maka itu terpaksa mereka menutup mulut.
“Kenapa Auwyang Sianseng masih belum kembali?” tanya Wanyen Lieh sesudah mereka itu membungkam sekian lama.
“Setahu dia pun bertemu hantu atau tidak…”
“Auwyang Sianseng sangat lihay, umpama kata ia juga bertemu hantu, tidak nanti ia dapat dikalahkan,” berkata Yo Kang.
Mendengar jawaban Yo Kang ini, Pheng Lian Houw jengah sendirinya.
Oey Yong melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka, ia puas sekali.
“Aku telah membelikan topeng pada Ciu Toako, siapa tahu sekarang ia telah perlihatkan pengaruhnya,” katanya dalam hati. “Inilah diluar sangkaanku. Hanya entahlah si tua bangka yang berbisa itu bertemu dengannya atau tidak…”
Nona ini menoleh kepada Kwee Ceng, ia dapatkan si anak muda lagi berlatih terus, maka ia pun menemani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar