Bab 7. Adu Panah
Lie Peng ada bersama Toan Thian
Tek, mereka masing-masing
menunggang satu kuda, tetapi serbuan sisa tentera “musuh” itu demikian hebat,
mereka ke dibikin terpencar, terpaksa nyonya Kwee lari sendirian. Syukur
untuknya, karena sisa tentera itu main saling selamatan diri sendiri, ia tidak
mendapat gangguan. Hanya sesudah lari serintasan, ia merasakan perutnya mulas,
sakit sekali, hingga tanpa dapat ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia
pingsan. Entah sudah lewat berapa lama, ia sadar sendirinya dengan perlahan-lahan.
Untuk kagetnya, samar-samar ia dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak
tahu ia dirinya berada di dunia baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan
itu makin lama makin keras. Ia geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang
membanduli perutnya.Ketika itu masih malam, sang rembulan mengencang di atas
langit, muncul di antara sang awan. Sekarang baru Lie Peng sadar betul, setelah
ia melihat dengan tegas, tanpa merasa ia menangis menggerung-gerung. Nyatalah
dalam keadaan seperti itu, ia telah melahirkan anak…….
Cepat
nyonya itu berduduk, ia angkat bayinya itu, untuk kegirangannya, ia dapatkan
satu bayi laki-laki. Ia mengeluarkan air mata kegirangan yang
berlimmpah-limpah. Dengan gigitan ia bikin putus tali pusar, setelah mana ia
peluki anaknya.
Di bawah terangnya sang
rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring, potongan wajahnya mirip
dengan suaminya Kwee
Siauw Thian.
Roman anak ini telah membantu menguatkan semangatnya, kalau tadinya ia telah
berputus asa, sekarang timbullah harapannya.
Entah
dari mana datangnya tenaganya, Lie-sie mencoba menggunai kedua tangannya, akan
menggali pasir, untuk membuat sebuah liang yang
besar dimana bersama bayinya ia bisa menyingkir dari angin dan salju. Dari situ
ia bisa dengar rintihan serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan
ringkikannya banyak kuda perang.
Buat
dua malam satu hari, Lie Peng mendekam di liangnya itu, lalu dihari ketiga, tak
tahan ia akan rasa laparnya. Air ada air salju tapi barang daharan, tidak ada
sama sekali. Terpaksa ia merayap keluar. Di
sekitarnya tidak ada seorang juga kecuali mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda.
Karena hawa dingin, semua mayat serdadu dan bangkai itu belum busuk. Cuma
pemandangannya yang sangat menggiriskan hati. mau tidak mau, Lie-sie mesti
kuatkan hati.
Lie-sie
coba geledah tubuhnya myat-mayat itu untk cari rangsum kering. Ia dapatkan
sejumlah sisa. Lalu ia coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat bakar
daging kuda. Ia dapatkan golok dengan gampang karena di situ bergeletakan banyak
alat senjata.
Buat
tujuh atau delapan hari, Lie-sie dapat berdiam disitu bersama bayinya, setelah
ia mulai dapat pulang kesegarannya, ia gendong bayinya untuk di bawa pergi ke
araha timur. Ia mesti terus berjalan di tempat yang sepi dimana ada terdapat pepohonan
dan tegalan rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah mengaung di atasan
kepalanya. Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.
Segera
terlihat dua penunggang kuda, mendatangi dari arah depan.
“Siapa
kau?” tanya salah satu diantara dua
penunggang kuda itu.
Lie
Peng tidak buka rahasia, ia Cuma kata ia lagi lewat di situ tempo ia terhalang
oleh pertempuran tentera, hingga ia mesti melahirkan anak seorang diri.
Dua
penunggang kuda itu adalah orang Monglia, mereka itu berbaik hati, walaupun
mereka tidak tahu jelas, apa katanya Lie.sie, mereka jaka si nyonya ke
tendanya, untuk dikasih tempat meneduh dan barang makanan, untuk kemudian ibu
dan bayinya itu tidur guna melepaskan lelah dan kantuknya.
Orang
Monglia itu tidak berumah tangga, sebagai pengembala tak tentu tempat
tinggalnya, dengan mengiring binatang piarannya, mereka biasa pergi ke timur
atau ke barat untuk mencari makanan binatang, guna mencari air, sebagai rumah
adalah tenda yang bertenung daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari
gangguan angin dan hujan. Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua
penolongnya hendak berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi
dua orang itu tidak menolong kepalang tanggung, diwaktu hendak berangkat,
mereka meninggalkan tiga ekor kambing.
Maka
mulailah Lie Peng mesti bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri,
sebab bayinya masih belum mengerti suatu apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk
dengan beratap daun. Untuk hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia dengan
barang makanan. Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu. Oleh
karena kebiasaan, ia pun dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa enam
tahun telah lewat. Ia tidak hendak melupakan peasn suaminya, ia beri nama Ceng
kepada putranya. untuk kelegaan hatinya, anak itu bertubuh kuat dan cerdik, ia
bisa membantu ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun hidupnya
Lie Peng ada lumayan.
Pada
suatu hari dari bulan tiga, selagi uadra hangat, Kwee ceng giring kambingnya
untuk diangon. Ia sekarang memelihara anjing sebagi pembantunya, dan untuk
menempuh perjalanan jauh, ia menunggang kuda kecilnya.
Tepat tengah hari, selagi ia menjagai
kambing-kambingnya, tiba-tiba kwee Ceng lihat seekkor burung elang yang besar
sekali menyambar kepada rombongan kambingnya. Semua binatang itu kaget. Malah
yang seekor – anak kambing – kabur ke timur. Ia memanggil dengan
berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus. Maka ia naiki kudanya untuk
mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap anak kambing itu, tapi
selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar susra keras dan nyaring,
hingga ia terperanjat. Ia mulanya menyangka kepada guntur, sampai setelah
memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti tambur berikut
meringkiknya kuda serta suara orang banyak.
Ia menjadi takut, belum pernah ia dengar
suara semacam itu.Tidak ayal lagi, Kwee
Ceng tuntun kambingnya buat diajak mendaki suatu tanjakan, untuk bersembunyi
didalam rujuk.
Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia
keluarkan kepalanya untuk mengintai.Jauh di sebelah depan nampak debu mengepul
naik, lalu muncullah pasukan tentera, yang ia tidak tahu berapa jumlahnya, ia
cuma dapatkan, yang menjadi kepala perang telah memberikan belbagai titahnya,
maka tentera itu lantas memecah diri dalam dua barisan, timur dan barat. Ada
serdadu yang kepalanya digabut pelangi putih, ada yang ditancapkan bulu burung
warna lima.
Sekarang, sebaliknya daripada takut, hati Kwee ceng
menjadi tertarik. Ia mengintai terus.
Tidak lama setelah barisan teraur rapi, segera terdengar
suara terompet dari sebelah belakang, dari sana muncul beberapa barisan lain
yang dikepalai oelh satu perwira muda jangkkung dan kkurus, tubuhnya ditutupi
dengan mantel merah. Ia memegang sebatang golok panjang, lantas ia pimpin
tentaranya menyerbu, dari itu di situ sudah lantas terjadi suatu pertempuran.
Pihak penyerang ini berjumlah lebih sedikit, walaupun
tampaknya mereka kosen, tidak lama mereka mesti mundur sendirinya. Tapi di belakang
mereka lantas tiba bala bantuan, mereka menyerang pula. Meski begitu, agaknya
mereka ini tidak dapat bertahan lama.
Sekoyong-konyong
terdengar suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur, mendengar itu tentera
penyerang lantas berseru-seru kegirangan: “Kha Khan Temuchin telah datang! Kha Khan telah datang!”
Atas
itu orang-orang yang lagi bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan, dari
mana datangnya suara terompet dan tambur tadi.
Juga
Kwee Ceng turut beralih pandangannya. Ia tampak
satu pasukan besar, yang mendatangi dengan cepat. Di
tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di mana ada tergantung
beberapa lapis bulu putih. Dari sana
pun datang seruan-seruan kegirangan. Atas ini, tentera penyerang jadi dapat
semangat, mereka menyerang pula dengan seru, hingga mereka dapat mengacaukan
lawannya.
Tiang
yang tinggi itu bergerak ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng
dengan matanya yang jeli, dari tempat sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu.
Dengan begitu ia dapat lihat satu perwira yang menunggang kuda, yang larikan
kudanya itu naik ke tanjakan. Dia ada memakai kopiah perang dari besi,
janggutnya merah, dari atas kudanya ia memandang ke medan pertempuran. Disamping dia ada beberapa
pengiringnya.
Tidak
antara lama panglima muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke
tanjakan.
“Ayah,
musuh berjumlah lebih banyak berlipat ganda, mari
kita mundur dulu!” berseru ia kepada orang di bawah tiang bendera itu.
Temuchin,
demikian panglima yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan
pertempuran itu, ia Cuma berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: “Kau
bawa selaksa serdadu mundur ke timur!” demikian titahnya itu. Sambil berbuat
begitu, ia tetap mengawasi medan
perang. Lalu ia memberi perintah pula: “Mukhali, kau bersama pangeran kedua
serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu, bersama Chilaun serta
selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan
kau, Kubilai, bersama Subotai serta selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan!
Kapan kau lihat bendera besar di kerak tinggi dan dengar terompet dibunyikan,
kau mesti kembali untuk melakukan penyerangan membalas!”
Semua
perwira itu menyahuti tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa
barisannya menyingkir ke arah yang telah disebutkan tadi, maka sebentar saja,
tentera Mongolia
itu nampaknya lati serabutan keempat penjuru arah.
Tentara
musuh bersorak-sorai menampak lawannya lari tumpang siur, mereka pun segera
melihat bendera putih besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas saja
berkoak-koak: “Tangkap hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!”
Lalu
tentara itu dengan rapat sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil
peduli lagi kepada musuh yang lari tunggang-langgang.
Temuchin
tetap berdiam tegak di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang dengan
memasang tameng mereka itu, melindungiini pemimpin dari sambarannya berbagai
anak panah. Dilain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku, bersama Jelmi
panglima yang kosen, dengan lima ribu jiwa serdadu mereka, melakukan pembelaan
si sekitar bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan musuh, mereka tidak
menghiraukan anak panah dan golok.
Kwee Ceng saksikan itu semua,
ia gembira berbareng negri.
Setelah
bertempur sekitar satu jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin itu,
seribu lebih telah terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang telah
rubuh, jumlahnya bebearap ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih
besar, mereka menang di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara
tampak lebih garang. Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah
lagi.
Putra
ketiga dari Temuchin, yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi
cemas hatinya.
“Ayah,
apa boleh kita kerek bendera dan membunyikan terompet?” dia bertanya.
Dengan
matanya yang tajam bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah kepada
tentara musuh, lalu dengan suara dalam, ia menyahuti: “Musuh masih belum
lelah.”
Ketika itu penyerangan musuh di timur laut
bertambah hebat. Di sana pun dikerek batang bendera besar.
Itu ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala
perang yang memegang pimpinan.Di pihak Mongolia, orang terpaksa main mundur.
Jelmi lari naik ke atas bukit.
“Kha Khan, anak-anak tak sanggup bertahan!” dia teriaki
junjungannya.
“Tak
sanggup bertahan?!” berseru Temuchin dengan gusar. “Bagaimana dapat kau
banggakan diri sebagai satu pendekar gagah perkasa?!”
Air
mukanya Jelmi menjadi berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari
tangannya satu serdadu, dengan bawa itu sambil serukan seruan-seruan peperangan
bangsanya, ia menerjang barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu
bendera hitam.
Sejumlah
serdadu mush mundur melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang tiga
serdadu musuh yang bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian dengan
lemparkan goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari
mendaki bukit, setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!
Kaget
nusuh menyaksikan lawannya demikian kosen. Dilain pihak, tentara Mongolia
bertempik sorak, mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.
Berselang
lagi satu jam, dipihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu panglima
dengan pakaian perang hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia telah
rubuhkan belasan tentera Mongolia.
Dua perwira Mongolia
maju hendak menerjang tetapi mereka disambut oleh anak panah dan rubuh
karenanya.
“Bagus
ilmu panahnya!” Temuchin puji musuh itu.
Justru
itu, “Ser!” sebatang anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini dapat
berdaya, lehernya telah terkena anak panah itu, sedang satu anak panah lainnya
menyambar ke arah perutnya.
Biar
bagaimana juga, Temuchin adalah satu orang peperangan yang ulung, walaupun
lehernya terluka dan sakit sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut
lesnya, ia membuat kudanya berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya.
Dengan begitu, anak panah tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di
dadanya kuda, nacap sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah
binatang tunggangannya itu berikut penunggangnya.
Semua
serdadu Mongol kaget, semua lantas meluruh untuk tolongi kepala perang mereka.
Musuh gunai ketika baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.
Kutuku
di arah barat telah pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak panah
dan tobaknya pun telah patah, terpaksa ia balik mundur.
Merah
matanya Jelmi melihat kawannya itu mundur.
“Kutuku,
apakah kau ngiprit sebagai kelinci?” ia menegur dengan ejekannya.
Kutuku
tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. “Siapa lari ngiprit?” katanya. “Aku
kehabisan anak panah!”
Temuchin
yang rebah di tanah telah tarik keluar anak panahnya dari kantong panahnya yang
tersulam, ia lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.
Mendapatkan
anak panah, Kutuku segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah kepada musuh
yang berada dibawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat musuh itu
rubuh, sesudah mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda musuh, akan
kemudian ia lari pula naik ke atas.
“Saudaraku
yang baik, hebat kau!” Temuchin puji adik angkatnya itu.
Kutuku
mandi keringat.
“Apakah
sekarang sudah boleh kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?” ia tanya, suaranya perlahan.
Temuchin
tutup lukanya dengan telapakn tangannya, darah molos keluar dari sela-sela jari
tangannya itu, dalam keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.
“Musuh
masih belum lelah,” sahutnya. “Kita tunggu sebentar lagi.”
Kutuku
lantas berlutut di depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi
pemimpinnya.
“Kami
semua rela berkorban untuk kau,” katanya, “Tapi Kha Khan, tubuhmu penting
sekali!”
Mendengar
itu, melihat sikap orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas seekor
kuda.
“Semuanya
membela mati bukit ini!” ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia bunuh
tiga musuh yang menerjang ke arahnya.
Musuh
yang tengah merangsak naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat naik
kuda pula, sendirinya mereka mundur, hingga penyerangan mereka menjadi reda.
Temuchin
lihat keadaan itu, ia gunai ketikanya yang baik. “Naikkan bendera! Tiup
terompet!” dia berteriak dengan titahnya.
Tentara
Mongolia
bertempik sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik, disusul sama bunyi
terompet ynag riuh. Serempak dengan itu, tentera Mongolia dengan bersemangat
menyerang dari segala penjuru, dimana mereka berada.
Musuh
berjumlah besar, barisan mereka tengah kacau, maka itu diserang demikian
mendadak, mereka menjadi bertambah kacau.
Panglima
dengan seragam hitam itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak untuk
mencegah kekacauan, akan tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya tak
dapat dikendalikan lagi. Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah
pasukan perang yang besar itu, termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya lebih
sedikit tetapi yang semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari serabutan,
si panglima seragam hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.
“Tangkap
musuh itu!” Temuchin memberi titah. “Hadiahnya sepuluh kati emas!”
Beberapa
puluh serdadu Mongol sudah lantas kaburkan kuda mereka, akan kejar panglima
berbaju hitam itu. Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay panah
si panglima, tak pernah gagal, maka itu belasan serdadu lantas saja terjungkal
dari kuda mereka, hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan begitu pula
pada akhirnya, panglima itu dapat meloloskan diri.
Kwee Ceng dari tempat
sembunyinya sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.
Dengan
pertempuran ini Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan
besar dan musuhnya ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada
separuhnya. Maka sejak itu, Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari
pihak musuhnya itu.
Dengan
kegirangan, sambil bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala perangnya
berangkat pulang.
Kwee Ceng tunggu sampai orang
sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang mengurus korban-korban, baharu ia
keluar dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba dirumahnya, waktu sudah tengah
malam, justru ibunya sedang berdebar-debar hatinya memikirkan anaknya yang
dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.
Kwee Ceng segera terangkan
kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.
Senang
Lie Peng akan saksikan anaknya bercerita dengan cara
sangat gembira, anak ini tidak sedikit juga menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat kepada suaminya.
“Dasar
turunan orang peperangan, ia mirip dengan ayahnya…” pikir ibu ini. Maka
diam-diam ia pun bergirang.
Tiga
hari kemudian, pagi-pagi sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang terpisahnya
kira-kira tigapuluh lie lebih dari rumahnya untuk menukar tenunannya, - dua
helai permadani – dengan barang-barang makanan. Kwee Ceng
ditinggal di rumah untuk menjagai binatang piaraan mereka. Anak ini ingat akan
peperangan yang ia saksikan, ia jadi gembira sekali, ia anggap peperangan itu
dapat dibuat permainan, maka dengan mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas
kudanya, ia mencoba menggiring kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya
adalah satu panglima perang!
Tengah
anak ini main jenderal-jenderalan itu, tiba-tiba ia dengar tindakan kaki kuda
di arah timur, apabila ia menoleh, ia tampak seekor kuda lari mendatangi, di
bebokong kuda ada satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda
itu kendorkan larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, treus angkat kepalanya,
memandang kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali, hingga ia
keluarkan teriakan tertahan.
Penunggang
kuda itu mukanya penuh debu bercampur darah, adalah si panglima perang berbaju
hitam yang gagah, yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya, ditangan kirinya ia
mencekal goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun ada darah yang sudah
mengental, sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin ia yang tengah
melarikan diri telah bertemu pula dengan musuh. Di
pipi kanannya ada sebuah luka besar dan masih mengucurkan darah. Paha kudanya
pun terluka, darahnya masih mengalir.
Tubuh
panglim aitu bergoyang-goyang, matanya bersinar merah.
“Air…air…lekas
bagi air…” katanya, suaranya parau.
Kwee
ceng lantas lari mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si panglima
lantas saja sambar untuk digelogoki.
“Mari lagi satu mangkok!” dia meminta pula.
Panglima
itu baharu minum setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah yang
mengalir dari lukanya, tetapi ia rupanya telah puas telah dapat air, tiba-tiba
ia tertawa, hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari atas
kudanya itu. Dia jatuh pingsan.
Kwee Ceng kaget dan bingung,
ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.
Selang
sekian lama, orang itu sadar dengan sendirinya.
“Lapar!
Lapar!” kali ini ia bersuara.
Kwee Ceng lekas-lekas
mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu memakannya dengan sangat
bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya. Demikian dia bisa geraki
tubuhnya untuk berduduk.
“Adik
yang baik, banyak-banyak terima kasih kepadamu!” dia mengucap. Dari lengannya
ia tarik sebuah gelang emas yang kasar dan berat. “Untukmu!” dia tambhakan
seraya dia angsurkan barang permata itu kepada bocah itu.
Kwee Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. “Ibu telah pesan, kami harus membantu tetamu tetapi tidak boleh
menginginkan barang tetamu,” ia bilang.
Orang
itu tercengang, lalu ia tertawa terbahak-bahak. “Anak yang baik! Anak yang
baik!” ia memuji. Ia lantas sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut
lukanya. Ia pun balut luka kudanya.
Itu
waktu samar-samar terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur, mendengar
itu tetamunya Kwee
Ceng ini menjadi gusar sekali.
“Hm,
dia tak hendak melepaskan aku!” serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke arah
timur itu.
Kwee Ceng pun lantas ikut
memandang juga.
Sekarang
di sebelah suara berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak sekali
serdadu barisan berkuda temgah mendatangi.
“Anak
yang baik, apakah kau ada punya panah?” tanya
si tetamu.
“Ada!” sahut Kwee Ceng
yang terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.
Orang
itu perlihatkan roman girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi
lesu. Tapi lekas sekali ia tertawa berkakakkan.
Kwee Ceng telah bawa gendewa
dan anak panahnya yang kecil.
“Aku
hendak bertempur, aku ingin panah yang besar….” katanya panglima itu kemudian,
alisnya lantas menjadi ciut.
“Yang
besar tidak ada….” sahut Kwee
Ceng.
Ketika
itu pasukan yang mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun
berkibar-kibar.
“Seorang
diri tak dapat kau lawan mereka, lebih baik kau sembunyi,” kata Kwee Ceng
kemudian.
“Sembunyi
di mana?” orang itu tanya.
Kwee Ceng menunjuki tumpukan
rumput kering di belakang rumahnya.
“Aku
tidak akan mengasih tahu kepada mereka,” ia berjanji tanpa diminta.
Orang
itu mengambil putusan dengan segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat pulang
tenaganya, dengan kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh. Jadi ada
lebih selamat untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.
“Baik,
aku serahkan jiwaku kepadamu!” katanya. “Pergi kau usir kudaku!” setelah
berkata demikian, ia pun lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup kedalamnya.
Kwee Ceng mencambuk kuda itu,
dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu segera lompat kabur, sesudah
lari cukup jauh, baharu ia berhenti untuk makan rumput.
Kwee Ceng naik ke atas
kudanya, ia larikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku tenang, seperti tak
pernah terjadi sesuatu.
Tidak
lama tibalah barisan berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang menunggang
kuda itu, dua serdadu lantas menghampirinya.
“Eh, bocah, kau lihat tidak satu orang yang
menunggang kuda hitam?”
Itulah teguran dari satu diantara dua serdadu itu, suaranya
kasar.“Ya, aku dapat lihat,” Kwee ceng menjawab.
“Di mana?” tanya
serdadu yang kedua.
Kwee Ceng menunjuk ke barat.
“Dia sudah pergi lama sekali,” ia menerangkan
“Bawa
dia kemari” berseru perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar
pembicaraan di antara dua orangnya dengan si bocah.
“Mari ketemu pangeran!” berkata dua serdadu itu, yang
lantas terus tarik les kuda orang untuk dibawa kepada sang pangeran.
Si pangeran telah sampai di depan rumah“Aku tidak akan bicara!” Kwee Ceng
telah mabil keputusan dalam hatinya.
Ia
lihat banyak serdadu sedang mengiringi satu anak muda yang kurus dan jangkung,
yang tubuhnya ditutupi denagn mantel merah. Ia lantas kenali itu adalah
panglima yang pimpin tentera. Dia adalah putra sulung dari Temuchin.
“Apakah
katanya bocah ini?” tanya ia
membentak.
Dua
serdadu itu sampaikan jawabannya Kwee Ceng.
Dengan matanya mengandung kecurigaan, putra
sulung itu memandang ke sekitarnya.
Ia lantas dapat lihat itu kuda hitam yang lagi makan rumput di
kejauhan.“Bukankah itu kudanya?” ia tanya,
suaranya dalam. “Coba bawa kuda itu kemari!”
Begitu
keluar perintah itu, sepuluh serdadu lanats bergerak dengan mereka memecah diri
dalam lima
rombongan, untuk hampirkan itu kuda dengan dikurung, hingga walaupun binatang
itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan gampang ia kena ditangkap dan
dituntun.
“Hm!
Bukankah itu kudanya Jebe?” putra itu tanya.
“Benar!”
sahut banyak serdadu, suara mereka riuh.
Putra
sulung itu ayunkan cambuknya ke arah kepalanya Kwee Ceng.
“Dia sembunyi di mana, hai, setan cilik?!” tanya
dengan bengis. “Jangan kau harap dapat mendustai aku!”Jebe, itu panglima berseragam hitam yang sembunyi di
dalam tumpukan rumput, bersembunyi sambil memasang mata, tangannya mencekal
keras goloknya yang panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang menyebabkan
jidatnya Kwee ceng memeberi tanda baret merah, hatinya menjadi memukul keras.
Ia kenal si putra sulung – putra Temuchin itu – ialah Juji yang tabiatnya keras
dan kejam.
Ia memikir: “Pasti bocah itu tak tahan sakit
dan ketakutan. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa mesti keluar untuk adu
jiwaku….”Kwee Ceng kesakitan bukan main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan
sakit, ia cegah keluarnya air matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan
berani: “Kenapa kau pukul aku? Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!”
“Kau membandel?!” bentak Juji. Lagi sekali ia mencambuk.
Kali ini Kwee Ceng tak dapat tak menangkis. Tapinya ia
lantas berteriak : “Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!”
Ketika itu sejumlah serdadu sudah geledah rumahnya Kwee
ceng, sedang dua yang lain menusuk-nusuk ke dalam tumpukan rumput kering itu.
Kwee Ceng lihat orang hendak tusuk bagian dimana panglima
nelusup, tiba-tiba tangannya menunjuk ke tumpukan rumput yang jauh sambil ia
berteriak: “Lihat di sana, benda apakah itu yang bergerak-gerak?”
Semua
serdadu lantas berpaling mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang bergerak.
Kedua serdadu tadi pun sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.
“Kudanya
ada disini, dia mestinya tidak lari jauh!” Juji berkata pula. “Eh, setan cilik,
kau hendak bicara atau tidak?!”. Dia mengancam pula Kwee Ceng dengan cambuknya
diayun tiga kali beruntun.
Hampir
di itu waktu dari kejauhan terdengar suara terompet.
“Kha Khan datang!”
sejumlah serdadu berteriak.
Juji
lantas berhenti mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya, Temuchin,
Kha Khan – Khan yang terbesar.
“Ayah!”
demikian ia menyambut.
Ayahnya
itu dirubungi banyak pengiringnya.
Berat
lukanya Temuchin bekas terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba sebisanya
akan menahan sakit, adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa kali,
hingga ia perlu ditolongi dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya yang
ketiga, mesti isap darah – hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan
dimuntahkan. Satu malam dia gadangi semua panglimanya serta keempat putranya.
Baharu keesokan harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.
Oleh
karena itu, tentera Mongolia
dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang hendak ditawan, untuk hukum dia
dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya guna membalaskan sakit hatinya
Khan yang terbesar itu.
Dihari
kedua pada waktu sore, sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh itu
dikepung tetapi ia dapat meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa
serdadu Mongol. Ia sendiri pun telah terluka.
Kapan Temuchin dengar kabar itu,
lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji, pergi menyusul dan mengejar,
kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua, Jagati, putranya yang ketiga,
Ogotai dan putra sulungnya, Tuli, cepat menyusul. Inilah sebabnya kenapa ia
datang belakangan.
“Ayah,
kuda hitamnya bangsat itu telah dapat ditemukan!” ia memberitahukan.
“Aku
tidak menghendaki kuda tetapi orangnya!” ayahnya itu menjawab.
“Ya!”
sahut putra itu. “Pasti kita akan mendapatkannya!” Ia balik kepada Kwee Ceng
. Kali ini ia hunus goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.
“Kau
hendak berbicara atau tidak!” ia mengancam.
Kwee Ceng telah mandi darah
pada mukanya, ia jadi terlebih berani. “Aku tidak mau bicara! Aku tidak mau
bicara!” ia berteriak berulang-ulang.
Mendengar
itu, Temuchin berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: “Tidak mau bicara” dan
bukannya “Aku tidak tahu?” Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai: “Pergi kau
bujuki ia hingga ia suka berbicara.”
Putra
ketiga itu menurut sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri Kwee Ceng.
Dari kopiah perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang berkilauan.
“Kau
bicaralah, akan aku berikan ini padamu…” ia kata seraya angsurkan bulu merak
itu.
“Aku
tidak mau bicara!” Kwee
Ceng ulangi jawabannya.
Putra
kedua dari Temuchin menjadi habis sabar. “Lepas anjing!” ia menitahkan.
Lantas
pengiringnya muncul dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol paling
gemar berburu, maka itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang mesti
memelihara anjing-anjing peranti berburu, begitupun burung elang besar. Jagatai adalah putra paling gemar berburu, kapan ia pergi
berburu, dia tentu bawa enam ekor anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah
dibawa mengitari kuda hitam, untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya
dilepaskan dari rantainya.
Kwee Ceng dengan Jebe tidak
saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam hitam itu sangat
mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan pertolongannya.
Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit keangkuhannya
dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing, tahu ia
panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk mencegah ia
lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu penggembala.
Enam
ekor anjingnya Jagati sudah mulai mencium-cium ke tumpukan rumput kering, kapan
anjing Kwee Ceng dengar panggilan majikannya, tahu ia
akan tugasnya, ia mendahului menghalang di depan tumpukan rumput kering itu dan
melarang enam ekor anjing itu menghampirinya.
Jagati
menjadi tidak senang, ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja terjadilah
pertarungan yang sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik. Sayang anjing
penggembala itu jauh lebih kecil dan ia pun bersendirian, ia lantas digigit di sana sini, banyak
lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.
Hati Kwee Ceng menjadi kecil,
tetapi ia pensaran dan marah, ia perdengarkan suaranya berulang-ulang
menganjuri anjingnya melawan terus.
Hati
Juji menjadi sangat dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulangkali hingga Kwee
Ceng merasakan sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia
berguling sampai di kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk
sambar pahanya si Juji yang terus ia gigit.
Juji
berontak tetapi ia tak dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia
dengan keras sekali.
Menampak
sang kakak kelabakan, Jagatai, Ogotai dan Tuli
menjadi tertawa bergelak-gelak.
Mukanya Juji menjadi merah, ia
ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee
Ceng. Disaat batang lehernya bocah
yang bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba sebuah golok buntung
menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring bentroknya kedua senjata
itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas dari cekalannya.
Semua
orang terkejut, antaranya ada yang berseru kaget.
Menyusuli
goloknya itu, Jebe lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar Kwee Ceng,
yang ia tarik tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke belakangnya,
terus dengan tertawa dingin, dia berkata: “Menghina anak kecil, tak malukah?!”
Lantas saja Jebe dikurung oleh serdadu
Mongol, yang bersenjatakan golok dan tombak.
Ia lemparkan goloknya.Juji menjadi sangat gusar, ia meninju dada
orang. Atas itu Jebe tidak membalas menyerang. Sebaliknya ia berseu: “Lekas
bunuh aku!” Kemudian, dengan suara mendalam, ia menambahkan: “Sayang aku tak
dapat terbinasa di tangannya satu orang gagah perkasa…!”
“Apakah
kau bilang?” tanya Temuchin.
“Jikalau
aku dibinasakan di medan
perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku akan mati dengan puas,” sahut
Jebe, “Sekarang ini burung elang jatuh di tanah, dia mati digerumuti semut!”
Habis
mengucap begitu, terbuka lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan keras.
Enam
anjingnya Jagatai yang lagi gigiti anjingnya Kwee
Ceng menjadi kaget, semuanya lompat mundur dengan ketakutan, ekornya diselipkan
ke selangkangannya.
Disampingnya Temuchin muncul satu orang.
“Kha Khan, jangan kasih bocah ini pentang mulut besar!” dia berseru.
“Nanti aku layani dia!”Temuchin lihat orang itu adalah
panglimanya, Borchu.
Ia girang sekali. “Baik, pergi kau layani dia!” ia
menganjurkan.Borchu maju beberapa tindak. “Seorang diri akan aku bunuh kau,
supaya kau puas!” katanya nyaring.
Jebe
awasi orang itu, yang tubuhnya besar dan suaranya nyaring. “Siapa kau?!” ia tanya.
“Aku Borchu!”
panglima itu membentak.
Jebe
berpikir: “Memang pernah aku dengar Borchu adalah orang kosen bangsa Mongolia,
kiranya dia inilah orangnya…” Ia tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara
dingin, “Hm!”
“Kau
andalkan ilmumu memanah, orang sampai menyebut kau Jebe,” berkata Temuchin.
“Maka sekarang, pergilah kau bertanding dengan sahabatku ini!”
“Jebe”
itu memang berarti “Ahli memanah”. Jebe ada punya namanya sendiri tetapi nama
itu kalah dengan gelarannya, hingga orang tidak mengetahuinya lagi.
Mendengar
orang adalah “sahabatnya” Temuchin, Jebe berkata: “Kau adalah sahabatnya Khan
yang terbesar, aku akan lebih dahulu binasakan padamu!”
Tertawa
Mongol tertawa riuh. Mereka anggap orang ini tidak tahu diri. Borchu itu kosen
dan belum pernah ada tandingannya.
Ketika
dahulu Temuchin belum menjadi kepala bangsa Mongol, dia pernah ditawan bangsa
Taijiut, musuhnya, lehernya dipakaikan kalung kayu. Bangsa Taijiut
itu membikin pesta di tepinya sungai Onan, sembari minum koumiss, mereka
saban-saban mencaci Temuchin, yang mereka hinakan sesudah mana mereka berniat
membunuhnya. Setelah pesta bubaran, Temuchin berhasil menghajar penjaganya
dengan kalung kayunya itu, ia lari ke dalam rimba, sia-sia bangsa Taijiut
mencari dia.
Satu
anak muda yang bernama Chila’un tidak takut bahaya,
dia tolongi Temuchin, kalung kayunya dirusaki dan dibakar. Ia dinaiki ke atas
sebuah kereta besar yang muat bulu kambing. Ketika musuh Taijiut datang mencari
dan rumah Chila’un digeledah, digeledah juga kereta
itu. Hampir Temuchin kepergok tapi ayahnya Chila’un pintar, dia berkata: “Hari begini panas mengendus,
mustahil orang dapat sembunyi di dalam bulu kambing” Memang hawa ada sangat
panas, setiap orang seperti bermandikan keringat. Alasan itu kuat, kereta itu
batal digeledah.
Setelah
lolos ini, sengsara hidupnya Temuchin. Bersama ibu dan adik-adiknya ia mesti
hidup dari daging tikus hutan. Sudah itu pada suatu hari, delapan ekor kudanya
yang putih pun kena orang curi. Ia penasaran, ia pergi mencari pencuri kuda
itu. Ia ketemu satu anak muda yang lagi peras susu kuda. Ia tanya kalau-kalau pemuda itu lihat pencuri kudanya.
Pemuda itu ialah Borchu.
Dia berkata: “Penderitaannya bangsa pria sama saja, mari kita ikat persahabatan.” Temuchin sambut itu
ajakan. Maka kemudian, mereka berdua pergi mencari bersama. Tiga hari mereka
menyusul, baharu mareka dapat menyandak si pencuri kuda. Dengan panah mereka
yang lihay, mereka bubarkan rombongan pencuri kuda itu dan berhasil merampas
pulang ke delapan kuda yang dicuri itu. Temuchin hendak membalas budi dengan
membagi kudanya. Ia tanya sahabatnya
itu menghendaki berapa ekor. Borchu menjawab: “Aku keluarkan tenaga untuk
sahabatku, seekor juga aku tidak menginginkannya!”Sejak itu keduanya
bekerjasama, sampai Temuchin berhasil mengangkat dirinya. Borchu tetap menjadi
sahabatnya dengan berbareng menjadi panglimanya, hingga bersama Chila’un
ia menjadi empat di antara menteri besar dan berjasa dari Jenghiz Khan (nama
Temuchin setelah ia menaklukan bangsa-bangsa yang lain).
Temuchin
tahu kegagahannya Borchu, ia serahkan panahnya sendiri. Ia pun lompat turun
dari kudanya.
“Kau
naik atas kudaku, kau pakai panahku,” katanya. “Itu sama saja dengan aku
sendiri yang memanah dia!”
“Baik!”
Borchu menyahuti. Dengan tangan kiri mencekal gendewa dan tangan kanan memegang
naka panah, dia lompat ke atas kudanya Temuchin.
“Kau
kasihkan kudamu pada Jebe!” Temuchin berkata pada Ogotai, putranya yang ketiga.
“Sungguh
dia beruntung!” kata Ogotai, yang suruh orang serahkan kudanya.
Jebe
naik ke bebokong kuda, dia berkata pada Temuchin: “Aku telah terkurung olehmu,
sekarang kau beri ketika untuk aku adu panah dengannya, aku bukannya seorang
yang tak tahu diri, tak dapat aku layani dia cara
seimbang. Aku menghendaki hanya sebuah gendewa, tak usah anak panahnya!”
“Kau
tak pakai anak panah?!” tanya Borchu
gusar.
“Tidak
salah!” sahut Jebe. “Dengan sebuah gendewa saja, aku pun dapat membunuh kau!”
Tentara
Mongol menjadi berisik. “Binatang ini sangat sombong!” seru mereka.
Borchu
tahu Jebe memang lihay, dia tidak berani memandang enteng. Ia jepit perut
kudanya akan bikin kuda itu lari. Binatang itu yang telah berpengalaman, tahu
akan tugasnya.
Jebe
lihat kuda lawan gesit, ia pun larikan kudanya ke lain arah.
Borchu
lantas bersiap, lalu “Ser!” maka sebuah anak panah menyambar ke arah Jebe.
Jebe
berkelit dan sambil berkelit tangannya menyambar, menangkap anak panah itu.
Borchu
terkejut, ia memanah lagi pula.
Jebe
tidak sempat menangkap pula, ia mendekam akan kasih lewat anak panah itu. Ia
selamat. Tapi
Borchu tidak berhenti sampai
disitu, lagi dua kali ia memanah dengan saling susul. Kali ini Jebe kaget.
Inilah ia tidak sangka. Tidak lagi ia mendekam, ia hanya bawa tubuhnya turun
dari bebokong kuda, kaki kanannya nyangkel pada sanggurdi, tubuhnya meroyot
hampir mengenai tanah. Ia tidak cuma menolong diri, kesempatan ini dipakai
untuk membalas menyerang, mengarah perut Borchu, habis mana ia angkat tubuhnya,
untuk duduk pula atas kudanya!
“Bagus!”
Borchu memuji lawannya itu. Ia terus memanah, untuk papaki anak panah lawan.
Maka kedua anak panah itu saling bentrok lalu mental, jatuh nancap di tanah.
Temuchin
dan semua orangnya bersorak memuji.
Borchu
memanah pula. Mulanya ia cuma mengancam, setelah itu ia memanah betul-betul. Ia
mengincar ke sebelah kanan.
Jebe
lihat anak panah datang, ia menyambok dengan gendewanya, hingga anak panah itu
jatuh ke tanah. Ketika ia diserang pula, beruntun tiga kali, terus ia main
berkelit. Kemudian ia larikan kudanya, selagi kuda itu lari, ia cenderungkan
tubuh ke bawah untuk jemput tiga anak panah yang tergeletak di tanah. Cepat
sekali ia membalas memanah, satu kali.
Borchu
perlihatkan kepandaiannya. dengan enjot diri, ia berdiri di atas kudanya, lalu
dengan sebelah kakinya ia sampok anak panah yang menyambar kepadanya itu.
Dilain pihak, ia berbareng membalas memanah.
Jebe
berkelit, sambil berkelit ia memanah pula. Tapi ia panah anak panahnya Borchu,
hingga anak panah itu terpanah dua.
Borchu menjadi berpikir: “Aku ada punya anak
panah, dia tidak, sekarang kita seri, dengan begini mana bisa aku membalaskan
sakit hatinya Khan yang terbesar?”
Ia menjadi bergelisah. Lantas ia memanah pula beruntun beberapa
kali, terus-menerus.Selagi mata orang banyak seperti di bikin kabur, Jebe pun
berkelit tak hentinya. Tapi anak panah datang demikian cepat, hingga akhirnya
pundaknya yang kiri kena juga terpanah, hingga ia merasakan sangat sakit.
Semua
penonton bersorak.
Borchu
menjadi girang sekali. Tapi ia belum puas, hendak ia memanah lebih jauh, untuk
rampas jiwa orang. Maka ia lantas merogoh ke kantung panahnya, tiba-tiba ia
menjadi terkejut. Tanpa merasa, ia telah gunai habis semua anak panahnya, anak
panah yang diberikan oleh Temuchin kepadanya. Sebenarnya ia biasa berbekal
banyak anak panah, kali ini ia pakai kantong panah Temuchin, yang anak panahnya
ada batasnya. Dalam kagetnya ia putar kudanya untuk balik, sambil turunkan
tubuhnya, ia pungut anak panah di tanah.
Jebe
telah lihat tegas musuhnya itu, ia gunai ketikanya. Ia panah bebokong musuh
itu, dan tepat mengenai.
Semua
penonton kaget, mereka menjerit. Hanya aneh, walaupun sambaran anak panah itu
keras sekali, itu cuma menyebabkan Borchu merasa sakit pada bebokongnya, ujung
panah tidak menancap, anak panah itu jatuh ke tanah! Dengan keheranan, ia
pungut anak panah itu. Segera ia ketahui sebabnya ia tidak terluka. Anak panah
itu tidak ada ujungnya yang tajam! Jebe telah singkirkan itu. Jadi terang, Jebe
hendak mengasih ampun padanya.
“Siapa
menghendaki kamu jual kebaikanmu!” teriak Borchu. “Jikalau kau benar ada punya
kepandaian, kau panah mati padaku!”
Jebe
menjawab: “Biasanya
Jebe tidak pernah mengasih ampun
pada musuhnya! Panahku barusan berarti, satu jiwa tukar dengan satu jiwa!”
Temuchin
kaget dan berkhawatir menampak Borchu kena terpanah, kemudian mendapatkan orang
tidak terbinasa atau terluka parah, ia menjadi girang. Kapan ia dengar
perkataan Jebe itu, ia talangi Borchu menyahut: “Baik! Sudah, kamu jangan adu
panah pula! Biar, jiwanya ditukar dengan jiwamu!” ia mengatakannya pada Borchu.
“Bukannya
untuk ditukar dengan jiwaku!” Jebe berseru.
“Apa!”
Temuchin menegaskan.
Jebe
menunjuk kepada Kwee
Ceng, yang berdiri di depan pintu.
“Aku hendak menukarnya dengan jiwa anak ini!” katanya. “Aku minta Khan yang
mulia jangan ganggu itu anak. Tentang aku sendiri….” sepasang alisnya bangkit
bangun, “Aku telah panah kepada Khan yang mulia, aku harus mendapatkan
hukumanku!”
Ia
cabut anak panah di pundaknya, anak panah yang berdarah itu ia pasang di
gendewanya.
Sementara
itu serdadunya Borchu sudah hanturkan beberapa puluh batang anak panah kepala
kepala perangnya itu.
“Baiklah!”
kata Borchu. “Mari kita mengadu pula!”
Ia lantas memanah pula, dengan saling susul.
Jebe
lihat serangan berbahaya, ia lindungi diri di perut kudanya, sambil
bersembunyi, ia membalas menyerang.
Kudanya Borchu sangat lihay,
melihat serangan datang, tanpa tanda dari penunggangnya, ia lompat berkelit ke
kiri. Tapi Jebe lihay, incarannya luar biasa, anak
panahnya justru mengenai batok kepalanya kuda, maka tidak ampun lagi, rubuhlah
binatang itu!
Borchu
turut rubuh, terguling ke tanah. Ia khawatir ia nanti dipanah terus, ia
mendahului membalas menyerang. Kali ini ia kena hajar gendewanya Jebe, hingga
gendewa itu panah menjadi dua potong.
Kehilangan
senjatanya, Jebe kasih kudanya lari berputaran.
Tentara
Mongol bertempik sorak, untuk memberi semangat kepada Borchu.
“Dia
satu laki-laki sejati!” Borchu sebaliknya berpikir. Ia menjadi si orang gagah
yang menyayangi sesama orang gagah, tak ingin ia mengambil jiwa orang. Maka
ketika ia memanah, walaupun ia incar tenggorokkan, ia menggeser sedikit.
Jebe
gagal mengelakkan diri, anak panah lewat menyempret di pinggiran
tenggorokkannya, darahnya lantas mengucur dengan keluar. Ia merasa sakit dan
kaget.
“Habislah
aku hari ini….” ia mengeluh dalam hatinya.
Borchu
siapkan pula anak panahnya, tetapi ketika ia menoleh kepada Temuchin, ia
berkata: “Kha Khan, berilah ampun kepadanya!”
Temuchin
pun menyayangi Jebe. “Eh, apakah kau masih tetap tidak mau menyerah?!” ia tanya panglima musuh itu.
Jebe
lihat Temuchin demikian angker, ia menjadi kagum sekali, maka ia lompat turun
dari kudanya untuk terus bertekuk lutut.
Temuchin
tertawa berbahak-bahak. “Bagus! Bagus!” katanya. “Selanjutnya kau ikutlah aku!”
Orang
Mongol polos dan sangat gemar bernyanyi, demikian Jebe, sambil mendekam, ia
lantas perdengarkan nyanyiannya:
Khan yang terbesar
mengampunkan selembar jiwaku,
di belakang hari walaupun mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela.
Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung,
akan aku tunjang Khan yang maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya!
Ke mana aku diperintah pergi,
kesana aku pergi!
di belakang hari walaupun mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela.
Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung,
akan aku tunjang Khan yang maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya!
Ke mana aku diperintah pergi,
kesana aku pergi!
Temuchin
menjadi sangat girang. Ia ambil dua potong emas, yang sepotong ia berikan
kepada Borchu, yang sepotongnya pula kepada Jebe.
Jebe
menghanturkan terima kasih. Tapi ia terus menambahkan. “Khan yang mulia, hendak
aku berikan emas ini kepada itu bocah, bolehkah?”
Temuchin
tertawa. “Kalau emas itu adalah emasku, aku boleh kasihkan itu kepada siapa aku
suka!” katanya. “Emas adalah kepunyaanmu, kau boleh berikan kepada siapa kau
suka!”
Jebe
angsurkan emas itu kepada Kwee
Ceng.
Bocah itu menggoyangi kepala, tak mau ia
menerimanya.
“Ibu bilang, kalau kita membantu tetamu kita, jangan kita termahai
uangnya,” katanya.Temuchin telah sukai bocah ini, sekarang mendengar perkataan
orang, rasa sukanya menjadi bertambah-tambah.
“Sebentar
kau bawalah bocah ini kepadaku!” katanya kepada Jebe. Lantas ia ajak pasukan
perangnya balik ke arah darimana tadi ia datang.
Beberapa
serdadu angkat naik bangkai kuda putihnya ke bebokong dua kuda lainnya, untuk
dibawa bersama, mengikuti di sebelah belakang.
Jebe
menjadi girang sekali. Ia lolos dari kematian dan mendapati tuan yang
bijaksana. Sambil rebahkan diri di atas rumput, ia beristirahat. Ia tunggu
pulangnya Lie Peng, ibunya bocah itu, akan tuturkan kejadian barusan.
Lie Peng lantas berpikir. Dengan hidup terus
sebagai penggembala, tidak tahu sampai kapan Kwee Ceng dapat membalas
dendamnya. Ia percaya, kalau ia turut Temuchin, mungkin ketikanya akan lebih
baik. Di dalam pasukan perang, Kwee Ceng pun dapat berlatih ilmu perang.
Maka kesudahannya, ia ajak putranya ikut Jebe kepada Temuchin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar