Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 7



Bab 7. Adu Panah

Lie Peng ada bersama Toan Thian Tek, mereka masing-masing menunggang satu kuda, tetapi serbuan sisa tentera “musuh” itu demikian hebat, mereka ke dibikin terpencar, terpaksa nyonya Kwee lari sendirian. Syukur untuknya, karena sisa tentera itu main saling selamatan diri sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Hanya sesudah lari serintasan, ia merasakan perutnya mulas, sakit sekali, hingga tanpa dapat ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia pingsan. Entah sudah lewat berapa lama, ia sadar sendirinya dengan perlahan-lahan. Untuk kagetnya, samar-samar ia dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak tahu ia dirinya berada di dunia baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan itu makin lama makin keras. Ia geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang membanduli perutnya.Ketika itu masih malam, sang rembulan mengencang di atas langit, muncul di antara sang awan. Sekarang baru Lie Peng sadar betul, setelah ia melihat dengan tegas, tanpa merasa ia menangis menggerung-gerung. Nyatalah dalam keadaan seperti itu, ia telah melahirkan anak…….
Cepat nyonya itu berduduk, ia angkat bayinya itu, untuk kegirangannya, ia dapatkan satu bayi laki-laki. Ia mengeluarkan air mata kegirangan yang berlimmpah-limpah. Dengan gigitan ia bikin putus tali pusar, setelah mana ia peluki anaknya.
Di bawah terangnya sang rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring, potongan wajahnya mirip dengan suaminya Kwee Siauw Thian. Roman anak ini telah membantu menguatkan semangatnya, kalau tadinya ia telah berputus asa, sekarang timbullah harapannya.
Entah dari mana datangnya tenaganya, Lie-sie mencoba menggunai kedua tangannya, akan menggali pasir, untuk membuat sebuah liang yang besar dimana bersama bayinya ia bisa menyingkir dari angin dan salju. Dari situ ia bisa dengar rintihan serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan ringkikannya banyak kuda perang.
Buat dua malam satu hari, Lie Peng mendekam di liangnya itu, lalu dihari ketiga, tak tahan ia akan rasa laparnya. Air ada air salju tapi barang daharan, tidak ada sama sekali. Terpaksa ia merayap keluar. Di sekitarnya tidak ada seorang juga kecuali mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda. Karena hawa dingin, semua mayat serdadu dan bangkai itu belum busuk. Cuma pemandangannya yang sangat menggiriskan hati. mau tidak mau, Lie-sie mesti kuatkan hati.
Lie-sie coba geledah tubuhnya myat-mayat itu untk cari rangsum kering. Ia dapatkan sejumlah sisa. Lalu ia coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat bakar daging kuda. Ia dapatkan golok dengan gampang karena di situ bergeletakan banyak alat senjata.
Buat tujuh atau delapan hari, Lie-sie dapat berdiam disitu bersama bayinya, setelah ia mulai dapat pulang kesegarannya, ia gendong bayinya untuk di bawa pergi ke araha timur. Ia mesti terus berjalan di tempat yang sepi dimana ada terdapat pepohonan dan tegalan rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah mengaung di atasan kepalanya. Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.
Segera terlihat dua penunggang kuda, mendatangi dari arah depan.
“Siapa kau?” tanya salah satu diantara dua penunggang kuda itu.
Lie Peng tidak buka rahasia, ia Cuma kata ia lagi lewat di situ tempo ia terhalang oleh pertempuran tentera, hingga ia mesti melahirkan anak seorang diri.
Dua penunggang kuda itu adalah orang Monglia, mereka itu berbaik hati, walaupun mereka tidak tahu jelas, apa katanya Lie.sie, mereka jaka si nyonya ke tendanya, untuk dikasih tempat meneduh dan barang makanan, untuk kemudian ibu dan bayinya itu tidur guna melepaskan lelah dan kantuknya.
Orang Monglia itu tidak berumah tangga, sebagai pengembala tak tentu tempat tinggalnya, dengan mengiring binatang piarannya, mereka biasa pergi ke timur atau ke barat untuk mencari makanan binatang, guna mencari air, sebagai rumah adalah tenda yang bertenung daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari gangguan angin dan hujan. Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua penolongnya hendak berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi dua orang itu tidak menolong kepalang tanggung, diwaktu hendak berangkat, mereka meninggalkan tiga ekor kambing.
Maka mulailah Lie Peng mesti bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri, sebab bayinya masih belum mengerti suatu apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk dengan beratap daun. Untuk hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia dengan barang makanan. Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu. Oleh karena kebiasaan, ia pun dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa enam tahun telah lewat. Ia tidak hendak melupakan peasn suaminya, ia beri nama Ceng kepada putranya. untuk kelegaan hatinya, anak itu bertubuh kuat dan cerdik, ia bisa membantu ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun hidupnya Lie Peng ada lumayan.
Pada suatu hari dari bulan tiga, selagi uadra hangat, Kwee ceng giring kambingnya untuk diangon. Ia sekarang memelihara anjing sebagi pembantunya, dan untuk menempuh perjalanan jauh, ia menunggang kuda kecilnya.
Tepat tengah hari, selagi ia menjagai kambing-kambingnya, tiba-tiba kwee Ceng lihat seekkor burung elang yang besar sekali menyambar kepada rombongan kambingnya. Semua binatang itu kaget. Malah yang seekor – anak kambing – kabur ke timur. Ia memanggil dengan berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus. Maka ia naiki kudanya untuk mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap anak kambing itu, tapi selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar susra keras dan nyaring, hingga ia terperanjat. Ia mulanya menyangka kepada guntur, sampai setelah memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti tambur berikut meringkiknya kuda serta suara orang banyak.
Ia menjadi takut, belum pernah ia dengar suara semacam itu.Tidak ayal lagi, Kwee Ceng tuntun kambingnya buat diajak mendaki suatu tanjakan, untuk bersembunyi didalam rujuk.
Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia keluarkan kepalanya untuk mengintai.Jauh di sebelah depan nampak debu mengepul naik, lalu muncullah pasukan tentera, yang ia tidak tahu berapa jumlahnya, ia cuma dapatkan, yang menjadi kepala perang telah memberikan belbagai titahnya, maka tentera itu lantas memecah diri dalam dua barisan, timur dan barat. Ada serdadu yang kepalanya digabut pelangi putih, ada yang ditancapkan bulu burung warna lima.
Sekarang, sebaliknya daripada takut, hati Kwee ceng menjadi tertarik. Ia mengintai terus.
Tidak lama setelah barisan teraur rapi, segera terdengar suara terompet dari sebelah belakang, dari sana muncul beberapa barisan lain yang dikepalai oelh satu perwira muda jangkkung dan kkurus, tubuhnya ditutupi dengan mantel merah. Ia memegang sebatang golok panjang, lantas ia pimpin tentaranya menyerbu, dari itu di situ sudah lantas terjadi suatu pertempuran.
Pihak penyerang ini berjumlah lebih sedikit, walaupun tampaknya mereka kosen, tidak lama mereka mesti mundur sendirinya. Tapi di belakang mereka lantas tiba bala bantuan, mereka menyerang pula. Meski begitu, agaknya mereka ini tidak dapat bertahan lama.
Sekoyong-konyong terdengar suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur, mendengar itu tentera penyerang lantas berseru-seru kegirangan: “Kha Khan Temuchin telah datang! Kha Khan telah datang!”
Atas itu orang-orang yang lagi bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan, dari mana datangnya suara terompet dan tambur tadi.
Juga Kwee Ceng turut beralih pandangannya. Ia tampak satu pasukan besar, yang mendatangi dengan cepat. Di tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di mana ada tergantung beberapa lapis bulu putih. Dari sana pun datang seruan-seruan kegirangan. Atas ini, tentera penyerang jadi dapat semangat, mereka menyerang pula dengan seru, hingga mereka dapat mengacaukan lawannya.
Tiang yang tinggi itu bergerak ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng dengan matanya yang jeli, dari tempat sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu. Dengan begitu ia dapat lihat satu perwira yang menunggang kuda, yang larikan kudanya itu naik ke tanjakan. Dia ada memakai kopiah perang dari besi, janggutnya merah, dari atas kudanya ia memandang ke medan pertempuran. Disamping dia ada beberapa pengiringnya.
Tidak antara lama panglima muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke tanjakan.
“Ayah, musuh berjumlah lebih banyak berlipat ganda, mari kita mundur dulu!” berseru ia kepada orang di bawah tiang bendera itu.
Temuchin, demikian panglima yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan pertempuran itu, ia Cuma berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: “Kau bawa selaksa serdadu mundur ke timur!” demikian titahnya itu. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi medan perang. Lalu ia memberi perintah pula: “Mukhali, kau bersama pangeran kedua serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu, bersama Chilaun serta selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan kau, Kubilai, bersama Subotai serta selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan! Kapan kau lihat bendera besar di kerak tinggi dan dengar terompet dibunyikan, kau mesti kembali untuk melakukan penyerangan membalas!”
Semua perwira itu menyahuti tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa barisannya menyingkir ke arah yang telah disebutkan tadi, maka sebentar saja, tentera Mongolia itu nampaknya lati serabutan keempat penjuru arah.
Tentara musuh bersorak-sorai menampak lawannya lari tumpang siur, mereka pun segera melihat bendera putih besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas saja berkoak-koak: “Tangkap hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!”
Lalu tentara itu dengan rapat sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil peduli lagi kepada musuh yang lari tunggang-langgang.
Temuchin tetap berdiam tegak di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang dengan memasang tameng mereka itu, melindungiini pemimpin dari sambarannya berbagai anak panah. Dilain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku, bersama Jelmi panglima yang kosen, dengan lima ribu jiwa serdadu mereka, melakukan pembelaan si sekitar bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan musuh, mereka tidak menghiraukan anak panah dan golok.
Kwee Ceng saksikan itu semua, ia gembira berbareng negri.
Setelah bertempur sekitar satu jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin itu, seribu lebih telah terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang telah rubuh, jumlahnya bebearap ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih besar, mereka menang di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara tampak lebih garang. Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah lagi.
Putra ketiga dari Temuchin, yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi cemas hatinya.
“Ayah, apa boleh kita kerek bendera dan membunyikan terompet?” dia bertanya.
Dengan matanya yang tajam bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah kepada tentara musuh, lalu dengan suara dalam, ia menyahuti: “Musuh masih belum lelah.”
Ketika itu penyerangan musuh di timur laut bertambah hebat. Di sana pun dikerek batang bendera besar.
Itu ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala perang yang memegang pimpinan.Di pihak Mongolia, orang terpaksa main mundur.
Jelmi lari naik ke atas bukit.
“Kha Khan, anak-anak tak sanggup bertahan!” dia teriaki junjungannya.
“Tak sanggup bertahan?!” berseru Temuchin dengan gusar. “Bagaimana dapat kau banggakan diri sebagai satu pendekar gagah perkasa?!”
Air mukanya Jelmi menjadi berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari tangannya satu serdadu, dengan bawa itu sambil serukan seruan-seruan peperangan bangsanya, ia menerjang barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu bendera hitam.
Sejumlah serdadu mush mundur melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang tiga serdadu musuh yang bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian dengan lemparkan goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari mendaki bukit, setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!
Kaget nusuh menyaksikan lawannya demikian kosen. Dilain pihak, tentara Mongolia bertempik sorak, mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.
Berselang lagi satu jam, dipihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu panglima dengan pakaian perang hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia telah rubuhkan belasan tentera Mongolia. Dua perwira Mongolia maju hendak menerjang tetapi mereka disambut oleh anak panah dan rubuh karenanya.
“Bagus ilmu panahnya!” Temuchin puji musuh itu.
Justru itu, “Ser!” sebatang anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini dapat berdaya, lehernya telah terkena anak panah itu, sedang satu anak panah lainnya menyambar ke arah perutnya.
Biar bagaimana juga, Temuchin adalah satu orang peperangan yang ulung, walaupun lehernya terluka dan sakit sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut lesnya, ia membuat kudanya berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dengan begitu, anak panah tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di dadanya kuda, nacap sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang tunggangannya itu berikut penunggangnya.
Semua serdadu Mongol kaget, semua lantas meluruh untuk tolongi kepala perang mereka. Musuh gunai ketika baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.
Kutuku di arah barat telah pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak panah dan tobaknya pun telah patah, terpaksa ia balik mundur.
Merah matanya Jelmi melihat kawannya itu mundur.
“Kutuku, apakah kau ngiprit sebagai kelinci?” ia menegur dengan ejekannya.
Kutuku tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. “Siapa lari ngiprit?” katanya. “Aku kehabisan anak panah!”
Temuchin yang rebah di tanah telah tarik keluar anak panahnya dari kantong panahnya yang tersulam, ia lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.
Mendapatkan anak panah, Kutuku segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah kepada musuh yang berada dibawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat musuh itu rubuh, sesudah mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda musuh, akan kemudian ia lari pula naik ke atas.
“Saudaraku yang baik, hebat kau!” Temuchin puji adik angkatnya itu.
Kutuku mandi keringat.
“Apakah sekarang sudah boleh kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?” ia tanya, suaranya perlahan.
Temuchin tutup lukanya dengan telapakn tangannya, darah molos keluar dari sela-sela jari tangannya itu, dalam keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.
“Musuh masih belum lelah,” sahutnya. “Kita tunggu sebentar lagi.”
Kutuku lantas berlutut di depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi pemimpinnya.
“Kami semua rela berkorban untuk kau,” katanya, “Tapi Kha Khan, tubuhmu penting sekali!”
Mendengar itu, melihat sikap orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas seekor kuda.
“Semuanya membela mati bukit ini!” ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia bunuh tiga musuh yang menerjang ke arahnya.
Musuh yang tengah merangsak naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat naik kuda pula, sendirinya mereka mundur, hingga penyerangan mereka menjadi reda.
Temuchin lihat keadaan itu, ia gunai ketikanya yang baik. “Naikkan bendera! Tiup terompet!” dia berteriak dengan titahnya.
Tentara Mongolia bertempik sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik, disusul sama bunyi terompet ynag riuh. Serempak dengan itu, tentera Mongolia dengan bersemangat menyerang dari segala penjuru, dimana mereka berada.
Musuh berjumlah besar, barisan mereka tengah kacau, maka itu diserang demikian mendadak, mereka menjadi bertambah kacau.
Panglima dengan seragam hitam itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak untuk mencegah kekacauan, akan tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya tak dapat dikendalikan lagi. Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah pasukan perang yang besar itu, termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya lebih sedikit tetapi yang semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari serabutan, si panglima seragam hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.
“Tangkap musuh itu!” Temuchin memberi titah. “Hadiahnya sepuluh kati emas!”
Beberapa puluh serdadu Mongol sudah lantas kaburkan kuda mereka, akan kejar panglima berbaju hitam itu. Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay panah si panglima, tak pernah gagal, maka itu belasan serdadu lantas saja terjungkal dari kuda mereka, hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan begitu pula pada akhirnya, panglima itu dapat meloloskan diri.
Kwee Ceng dari tempat sembunyinya sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.
Dengan pertempuran ini Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan besar dan musuhnya ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada separuhnya. Maka sejak itu, Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari pihak musuhnya itu.
Dengan kegirangan, sambil bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala perangnya berangkat pulang.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang mengurus korban-korban, baharu ia keluar dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba dirumahnya, waktu sudah tengah malam, justru ibunya sedang berdebar-debar hatinya memikirkan anaknya yang dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.
Kwee Ceng segera terangkan kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.
Senang Lie Peng akan saksikan anaknya bercerita dengan cara sangat gembira, anak ini tidak sedikit juga menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat kepada suaminya.
“Dasar turunan orang peperangan, ia mirip dengan ayahnya…” pikir ibu ini. Maka diam-diam ia pun bergirang.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang terpisahnya kira-kira tigapuluh lie lebih dari rumahnya untuk menukar tenunannya, - dua helai permadani – dengan barang-barang makanan. Kwee Ceng ditinggal di rumah untuk menjagai binatang piaraan mereka. Anak ini ingat akan peperangan yang ia saksikan, ia jadi gembira sekali, ia anggap peperangan itu dapat dibuat permainan, maka dengan mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas kudanya, ia mencoba menggiring kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya adalah satu panglima perang!
Tengah anak ini main jenderal-jenderalan itu, tiba-tiba ia dengar tindakan kaki kuda di arah timur, apabila ia menoleh, ia tampak seekor kuda lari mendatangi, di bebokong kuda ada satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda itu kendorkan larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, treus angkat kepalanya, memandang kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali, hingga ia keluarkan teriakan tertahan.
Penunggang kuda itu mukanya penuh debu bercampur darah, adalah si panglima perang berbaju hitam yang gagah, yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya, ditangan kirinya ia mencekal goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun ada darah yang sudah mengental, sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin ia yang tengah melarikan diri telah bertemu pula dengan musuh. Di pipi kanannya ada sebuah luka besar dan masih mengucurkan darah. Paha kudanya pun terluka, darahnya masih mengalir.
Tubuh panglim aitu bergoyang-goyang, matanya bersinar merah.
“Air…air…lekas bagi air…” katanya, suaranya parau.
Kwee ceng lantas lari mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si panglima lantas saja sambar untuk digelogoki.
“Mari lagi satu mangkok!” dia meminta pula.
Panglima itu baharu minum setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah yang mengalir dari lukanya, tetapi ia rupanya telah puas telah dapat air, tiba-tiba ia tertawa, hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari atas kudanya itu. Dia jatuh pingsan.
Kwee Ceng kaget dan bingung, ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.
Selang sekian lama, orang itu sadar dengan sendirinya.
“Lapar! Lapar!” kali ini ia bersuara.
Kwee Ceng lekas-lekas mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu memakannya dengan sangat bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya. Demikian dia bisa geraki tubuhnya untuk berduduk.
“Adik yang baik, banyak-banyak terima kasih kepadamu!” dia mengucap. Dari lengannya ia tarik sebuah gelang emas yang kasar dan berat. “Untukmu!” dia tambhakan seraya dia angsurkan barang permata itu kepada bocah itu.
Kwee Ceng menggeleng-gelengkan kepala. “Ibu telah pesan, kami harus membantu tetamu tetapi tidak boleh menginginkan barang tetamu,” ia bilang.
Orang itu tercengang, lalu ia tertawa terbahak-bahak. “Anak yang baik! Anak yang baik!” ia memuji. Ia lantas sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya. Ia pun balut luka kudanya.
Itu waktu samar-samar terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur, mendengar itu tetamunya Kwee Ceng ini menjadi gusar sekali.
“Hm, dia tak hendak melepaskan aku!” serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke arah timur itu.
Kwee Ceng pun lantas ikut memandang juga.
Sekarang di sebelah suara berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak sekali serdadu barisan berkuda temgah mendatangi.
“Anak yang baik, apakah kau ada punya panah?” tanya si tetamu.
“Ada!” sahut Kwee Ceng yang terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.
Orang itu perlihatkan roman girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi lesu. Tapi lekas sekali ia tertawa berkakakkan.
Kwee Ceng telah bawa gendewa dan anak panahnya yang kecil.
“Aku hendak bertempur, aku ingin panah yang besar….” katanya panglima itu kemudian, alisnya lantas menjadi ciut.
“Yang besar tidak ada….” sahut Kwee Ceng.
Ketika itu pasukan yang mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun berkibar-kibar.
“Seorang diri tak dapat kau lawan mereka, lebih baik kau sembunyi,” kata Kwee Ceng kemudian.
“Sembunyi di mana?” orang itu tanya.
Kwee Ceng menunjuki tumpukan rumput kering di belakang rumahnya.
“Aku tidak akan mengasih tahu kepada mereka,” ia berjanji tanpa diminta.
Orang itu mengambil putusan dengan segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat pulang tenaganya, dengan kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh. Jadi ada lebih selamat untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.
“Baik, aku serahkan jiwaku kepadamu!” katanya. “Pergi kau usir kudaku!” setelah berkata demikian, ia pun lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup kedalamnya.
Kwee Ceng mencambuk kuda itu, dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu segera lompat kabur, sesudah lari cukup jauh, baharu ia berhenti untuk makan rumput.
Kwee Ceng naik ke atas kudanya, ia larikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Tidak lama tibalah barisan berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang menunggang kuda itu, dua serdadu lantas menghampirinya.
“Eh, bocah, kau lihat tidak satu orang yang menunggang kuda hitam?”
Itulah teguran dari satu diantara dua serdadu itu, suaranya kasar.“Ya, aku dapat lihat,” Kwee ceng menjawab.
“Di mana?” tanya serdadu yang kedua.
Kwee Ceng menunjuk ke barat. “Dia sudah pergi lama sekali,” ia menerangkan
“Bawa dia kemari” berseru perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar pembicaraan di antara dua orangnya dengan si bocah.
“Mari ketemu pangeran!” berkata dua serdadu itu, yang lantas terus tarik les kuda orang untuk dibawa kepada sang pangeran.

Si pangeran telah sampai di depan rumah“Aku tidak akan bicara!” Kwee Ceng telah mabil keputusan dalam hatinya.
Ia lihat banyak serdadu sedang mengiringi satu anak muda yang kurus dan jangkung, yang tubuhnya ditutupi denagn mantel merah. Ia lantas kenali itu adalah panglima yang pimpin tentera. Dia adalah putra sulung dari Temuchin.
“Apakah katanya bocah ini?” tanya ia membentak.
Dua serdadu itu sampaikan jawabannya Kwee Ceng.
Dengan matanya mengandung kecurigaan, putra sulung itu memandang ke sekitarnya.
Ia lantas dapat lihat itu kuda hitam yang lagi makan rumput di kejauhan.“Bukankah itu kudanya?” ia tanya, suaranya dalam. “Coba bawa kuda itu kemari!”
Begitu keluar perintah itu, sepuluh serdadu lanats bergerak dengan mereka memecah diri dalam lima rombongan, untuk hampirkan itu kuda dengan dikurung, hingga walaupun binatang itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan gampang ia kena ditangkap dan dituntun.
“Hm! Bukankah itu kudanya Jebe?” putra itu tanya.
“Benar!” sahut banyak serdadu, suara mereka riuh.
Putra sulung itu ayunkan cambuknya ke arah kepalanya Kwee Ceng.

“Dia sembunyi di mana, hai, setan cilik?!” tanya dengan bengis. “Jangan kau harap dapat mendustai aku!”Jebe, itu panglima berseragam hitam yang sembunyi di dalam tumpukan rumput, bersembunyi sambil memasang mata, tangannya mencekal keras goloknya yang panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang menyebabkan jidatnya Kwee ceng memeberi tanda baret merah, hatinya menjadi memukul keras. Ia kenal si putra sulung – putra Temuchin itu – ialah Juji yang tabiatnya keras dan kejam.
Ia memikir: “Pasti bocah itu tak tahan sakit dan ketakutan. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa mesti keluar untuk adu jiwaku….”Kwee Ceng kesakitan bukan main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan sakit, ia cegah keluarnya air matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan berani: “Kenapa kau pukul aku? Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!”
“Kau membandel?!” bentak Juji. Lagi sekali ia mencambuk.
Kali ini Kwee Ceng tak dapat tak menangkis. Tapinya ia lantas berteriak : “Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!”
Ketika itu sejumlah serdadu sudah geledah rumahnya Kwee ceng, sedang dua yang lain menusuk-nusuk ke dalam tumpukan rumput kering itu.
Kwee Ceng lihat orang hendak tusuk bagian dimana panglima nelusup, tiba-tiba tangannya menunjuk ke tumpukan rumput yang jauh sambil ia berteriak: “Lihat di sana, benda apakah itu yang bergerak-gerak?”
Semua serdadu lantas berpaling mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang bergerak. Kedua serdadu tadi pun sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.
“Kudanya ada disini, dia mestinya tidak lari jauh!” Juji berkata pula. “Eh, setan cilik, kau hendak bicara atau tidak?!”. Dia mengancam pula Kwee Ceng dengan cambuknya diayun tiga kali beruntun.
Hampir di itu waktu dari kejauhan terdengar suara terompet.
“Kha Khan datang!” sejumlah serdadu berteriak.
Juji lantas berhenti mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya, Temuchin, Kha Khan – Khan yang terbesar.
“Ayah!” demikian ia menyambut.
Ayahnya itu dirubungi banyak pengiringnya.
Berat lukanya Temuchin bekas terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba sebisanya akan menahan sakit, adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa kali, hingga ia perlu ditolongi dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya yang ketiga, mesti isap darah – hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan dimuntahkan. Satu malam dia gadangi semua panglimanya serta keempat putranya. Baharu keesokan harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.
Oleh karena itu, tentera Mongolia dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang hendak ditawan, untuk hukum dia dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya guna membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar itu.
Dihari kedua pada waktu sore, sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh itu dikepung tetapi ia dapat meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa serdadu Mongol. Ia sendiri pun telah terluka.
Kapan Temuchin dengar kabar itu, lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji, pergi menyusul dan mengejar, kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua, Jagati, putranya yang ketiga, Ogotai dan putra sulungnya, Tuli, cepat menyusul. Inilah sebabnya kenapa ia datang belakangan.
“Ayah, kuda hitamnya bangsat itu telah dapat ditemukan!” ia memberitahukan.
“Aku tidak menghendaki kuda tetapi orangnya!” ayahnya itu menjawab.
“Ya!” sahut putra itu. “Pasti kita akan mendapatkannya!” Ia balik kepada Kwee Ceng . Kali ini ia hunus goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.
“Kau hendak berbicara atau tidak!” ia mengancam.
Kwee Ceng telah mandi darah pada mukanya, ia jadi terlebih berani. “Aku tidak mau bicara! Aku tidak mau bicara!” ia berteriak berulang-ulang.
Mendengar itu, Temuchin berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: “Tidak mau bicara” dan bukannya “Aku tidak tahu?” Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai: “Pergi kau bujuki ia hingga ia suka berbicara.”
Putra ketiga itu menurut sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri Kwee Ceng. Dari kopiah perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang berkilauan.
“Kau bicaralah, akan aku berikan ini padamu…” ia kata seraya angsurkan bulu merak itu.
“Aku tidak mau bicara!” Kwee Ceng ulangi jawabannya.
Putra kedua dari Temuchin menjadi habis sabar. “Lepas anjing!” ia menitahkan.
Lantas pengiringnya muncul dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol paling gemar berburu, maka itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang mesti memelihara anjing-anjing peranti berburu, begitupun burung elang besar. Jagatai adalah putra paling gemar berburu, kapan ia pergi berburu, dia tentu bawa enam ekor anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah dibawa mengitari kuda hitam, untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya dilepaskan dari rantainya.
Kwee Ceng dengan Jebe tidak saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam hitam itu sangat mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan pertolongannya. Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit keangkuhannya dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing, tahu ia panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk mencegah ia lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu penggembala.
Enam ekor anjingnya Jagati sudah mulai mencium-cium ke tumpukan rumput kering, kapan anjing Kwee Ceng dengar panggilan majikannya, tahu ia akan tugasnya, ia mendahului menghalang di depan tumpukan rumput kering itu dan melarang enam ekor anjing itu menghampirinya.
Jagati menjadi tidak senang, ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja terjadilah pertarungan yang sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik. Sayang anjing penggembala itu jauh lebih kecil dan ia pun bersendirian, ia lantas digigit di sana sini, banyak lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.
Hati Kwee Ceng menjadi kecil, tetapi ia pensaran dan marah, ia perdengarkan suaranya berulang-ulang menganjuri anjingnya melawan terus.
Hati Juji menjadi sangat dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulangkali hingga Kwee Ceng merasakan sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia berguling sampai di kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk sambar pahanya si Juji yang terus ia gigit.
Juji berontak tetapi ia tak dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia dengan keras sekali.
Menampak sang kakak kelabakan, Jagatai, Ogotai dan Tuli menjadi tertawa bergelak-gelak.
Mukanya Juji menjadi merah, ia ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee Ceng. Disaat batang lehernya bocah yang bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba sebuah golok buntung menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring bentroknya kedua senjata itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas dari cekalannya.
Semua orang terkejut, antaranya ada yang berseru kaget.
Menyusuli goloknya itu, Jebe lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar Kwee Ceng, yang ia tarik tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke belakangnya, terus dengan tertawa dingin, dia berkata: “Menghina anak kecil, tak malukah?!”
Lantas saja Jebe dikurung oleh serdadu Mongol, yang bersenjatakan golok dan tombak.
Ia lemparkan goloknya.Juji menjadi sangat gusar, ia meninju dada orang. Atas itu Jebe tidak membalas menyerang. Sebaliknya ia berseu: “Lekas bunuh aku!” Kemudian, dengan suara mendalam, ia menambahkan: “Sayang aku tak dapat terbinasa di tangannya satu orang gagah perkasa…!”
“Apakah kau bilang?” tanya Temuchin.
“Jikalau aku dibinasakan di medan perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku akan mati dengan puas,” sahut Jebe, “Sekarang ini burung elang jatuh di tanah, dia mati digerumuti semut!”
Habis mengucap begitu, terbuka lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan keras.
Enam anjingnya Jagatai yang lagi gigiti anjingnya Kwee Ceng menjadi kaget, semuanya lompat mundur dengan ketakutan, ekornya diselipkan ke selangkangannya.
Disampingnya Temuchin muncul satu orang. “Kha Khan, jangan kasih bocah ini pentang mulut besar!” dia berseru.
“Nanti aku layani dia!”Temuchin lihat orang itu adalah panglimanya, Borchu.
Ia girang sekali. “Baik, pergi kau layani dia!” ia menganjurkan.Borchu maju beberapa tindak. “Seorang diri akan aku bunuh kau, supaya kau puas!” katanya nyaring.
Jebe awasi orang itu, yang tubuhnya besar dan suaranya nyaring. “Siapa kau?!” ia tanya.
“Aku Borchu!” panglima itu membentak.
Jebe berpikir: “Memang pernah aku dengar Borchu adalah orang kosen bangsa Mongolia, kiranya dia inilah orangnya…” Ia tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara dingin, “Hm!”
“Kau andalkan ilmumu memanah, orang sampai menyebut kau Jebe,” berkata Temuchin. “Maka sekarang, pergilah kau bertanding dengan sahabatku ini!”
“Jebe” itu memang berarti “Ahli memanah”. Jebe ada punya namanya sendiri tetapi nama itu kalah dengan gelarannya, hingga orang tidak mengetahuinya lagi.
Mendengar orang adalah “sahabatnya” Temuchin, Jebe berkata: “Kau adalah sahabatnya Khan yang terbesar, aku akan lebih dahulu binasakan padamu!”
Tertawa Mongol tertawa riuh. Mereka anggap orang ini tidak tahu diri. Borchu itu kosen dan belum pernah ada tandingannya.
Ketika dahulu Temuchin belum menjadi kepala bangsa Mongol, dia pernah ditawan bangsa Taijiut, musuhnya, lehernya dipakaikan kalung kayu. Bangsa Taijiut itu membikin pesta di tepinya sungai Onan, sembari minum koumiss, mereka saban-saban mencaci Temuchin, yang mereka hinakan sesudah mana mereka berniat membunuhnya. Setelah pesta bubaran, Temuchin berhasil menghajar penjaganya dengan kalung kayunya itu, ia lari ke dalam rimba, sia-sia bangsa Taijiut mencari dia.
Satu anak muda yang bernama Chila’un tidak takut bahaya, dia tolongi Temuchin, kalung kayunya dirusaki dan dibakar. Ia dinaiki ke atas sebuah kereta besar yang muat bulu kambing. Ketika musuh Taijiut datang mencari dan rumah Chila’un digeledah, digeledah juga kereta itu. Hampir Temuchin kepergok tapi ayahnya Chila’un pintar, dia berkata: “Hari begini panas mengendus, mustahil orang dapat sembunyi di dalam bulu kambing” Memang hawa ada sangat panas, setiap orang seperti bermandikan keringat. Alasan itu kuat, kereta itu batal digeledah.
Setelah lolos ini, sengsara hidupnya Temuchin. Bersama ibu dan adik-adiknya ia mesti hidup dari daging tikus hutan. Sudah itu pada suatu hari, delapan ekor kudanya yang putih pun kena orang curi. Ia penasaran, ia pergi mencari pencuri kuda itu. Ia ketemu satu anak muda yang lagi peras susu kuda. Ia tanya kalau-kalau pemuda itu lihat pencuri kudanya.
Pemuda itu ialah Borchu.
Dia berkata: “Penderitaannya bangsa pria sama saja, mari kita ikat persahabatan.” Temuchin sambut itu ajakan. Maka kemudian, mereka berdua pergi mencari bersama. Tiga hari mereka menyusul, baharu mareka dapat menyandak si pencuri kuda. Dengan panah mereka yang lihay, mereka bubarkan rombongan pencuri kuda itu dan berhasil merampas pulang ke delapan kuda yang dicuri itu. Temuchin hendak membalas budi dengan membagi kudanya. Ia tanya sahabatnya itu menghendaki berapa ekor. Borchu menjawab: “Aku keluarkan tenaga untuk sahabatku, seekor juga aku tidak menginginkannya!”Sejak itu keduanya bekerjasama, sampai Temuchin berhasil mengangkat dirinya. Borchu tetap menjadi sahabatnya dengan berbareng menjadi panglimanya, hingga bersama Chila’un ia menjadi empat di antara menteri besar dan berjasa dari Jenghiz Khan (nama Temuchin setelah ia menaklukan bangsa-bangsa yang lain).
Temuchin tahu kegagahannya Borchu, ia serahkan panahnya sendiri. Ia pun lompat turun dari kudanya.
“Kau naik atas kudaku, kau pakai panahku,” katanya. “Itu sama saja dengan aku sendiri yang memanah dia!”
“Baik!” Borchu menyahuti. Dengan tangan kiri mencekal gendewa dan tangan kanan memegang naka panah, dia lompat ke atas kudanya Temuchin.
“Kau kasihkan kudamu pada Jebe!” Temuchin berkata pada Ogotai, putranya yang ketiga.
“Sungguh dia beruntung!” kata Ogotai, yang suruh orang serahkan kudanya.
Jebe naik ke bebokong kuda, dia berkata pada Temuchin: “Aku telah terkurung olehmu, sekarang kau beri ketika untuk aku adu panah dengannya, aku bukannya seorang yang tak tahu diri, tak dapat aku layani dia cara seimbang. Aku menghendaki hanya sebuah gendewa, tak usah anak panahnya!”
“Kau tak pakai anak panah?!” tanya Borchu gusar.
“Tidak salah!” sahut Jebe. “Dengan sebuah gendewa saja, aku pun dapat membunuh kau!”
Tentara Mongol menjadi berisik. “Binatang ini sangat sombong!” seru mereka.
Borchu tahu Jebe memang lihay, dia tidak berani memandang enteng. Ia jepit perut kudanya akan bikin kuda itu lari. Binatang itu yang telah berpengalaman, tahu akan tugasnya.
Jebe lihat kuda lawan gesit, ia pun larikan kudanya ke lain arah.
Borchu lantas bersiap, lalu “Ser!” maka sebuah anak panah menyambar ke arah Jebe.
Jebe berkelit dan sambil berkelit tangannya menyambar, menangkap anak panah itu.
Borchu terkejut, ia memanah lagi pula.
Jebe tidak sempat menangkap pula, ia mendekam akan kasih lewat anak panah itu. Ia selamat. Tapi Borchu tidak berhenti sampai disitu, lagi dua kali ia memanah dengan saling susul. Kali ini Jebe kaget. Inilah ia tidak sangka. Tidak lagi ia mendekam, ia hanya bawa tubuhnya turun dari bebokong kuda, kaki kanannya nyangkel pada sanggurdi, tubuhnya meroyot hampir mengenai tanah. Ia tidak cuma menolong diri, kesempatan ini dipakai untuk membalas menyerang, mengarah perut Borchu, habis mana ia angkat tubuhnya, untuk duduk pula atas kudanya!
“Bagus!” Borchu memuji lawannya itu. Ia terus memanah, untuk papaki anak panah lawan. Maka kedua anak panah itu saling bentrok lalu mental, jatuh nancap di tanah.
Temuchin dan semua orangnya bersorak memuji.
Borchu memanah pula. Mulanya ia cuma mengancam, setelah itu ia memanah betul-betul. Ia mengincar ke sebelah kanan.
Jebe lihat anak panah datang, ia menyambok dengan gendewanya, hingga anak panah itu jatuh ke tanah. Ketika ia diserang pula, beruntun tiga kali, terus ia main berkelit. Kemudian ia larikan kudanya, selagi kuda itu lari, ia cenderungkan tubuh ke bawah untuk jemput tiga anak panah yang tergeletak di tanah. Cepat sekali ia membalas memanah, satu kali.
Borchu perlihatkan kepandaiannya. dengan enjot diri, ia berdiri di atas kudanya, lalu dengan sebelah kakinya ia sampok anak panah yang menyambar kepadanya itu. Dilain pihak, ia berbareng membalas memanah.
Jebe berkelit, sambil berkelit ia memanah pula. Tapi ia panah anak panahnya Borchu, hingga anak panah itu terpanah dua.
Borchu menjadi berpikir: “Aku ada punya anak panah, dia tidak, sekarang kita seri, dengan begini mana bisa aku membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar?”
Ia menjadi bergelisah. Lantas ia memanah pula beruntun beberapa kali, terus-menerus.Selagi mata orang banyak seperti di bikin kabur, Jebe pun berkelit tak hentinya. Tapi anak panah datang demikian cepat, hingga akhirnya pundaknya yang kiri kena juga terpanah, hingga ia merasakan sangat sakit.
Semua penonton bersorak.
Borchu menjadi girang sekali. Tapi ia belum puas, hendak ia memanah lebih jauh, untuk rampas jiwa orang. Maka ia lantas merogoh ke kantung panahnya, tiba-tiba ia menjadi terkejut. Tanpa merasa, ia telah gunai habis semua anak panahnya, anak panah yang diberikan oleh Temuchin kepadanya. Sebenarnya ia biasa berbekal banyak anak panah, kali ini ia pakai kantong panah Temuchin, yang anak panahnya ada batasnya. Dalam kagetnya ia putar kudanya untuk balik, sambil turunkan tubuhnya, ia pungut anak panah di tanah.
Jebe telah lihat tegas musuhnya itu, ia gunai ketikanya. Ia panah bebokong musuh itu, dan tepat mengenai.
Semua penonton kaget, mereka menjerit. Hanya aneh, walaupun sambaran anak panah itu keras sekali, itu cuma menyebabkan Borchu merasa sakit pada bebokongnya, ujung panah tidak menancap, anak panah itu jatuh ke tanah! Dengan keheranan, ia pungut anak panah itu. Segera ia ketahui sebabnya ia tidak terluka. Anak panah itu tidak ada ujungnya yang tajam! Jebe telah singkirkan itu. Jadi terang, Jebe hendak mengasih ampun padanya.
“Siapa menghendaki kamu jual kebaikanmu!” teriak Borchu. “Jikalau kau benar ada punya kepandaian, kau panah mati padaku!”
Jebe menjawab: “Biasanya Jebe tidak pernah mengasih ampun pada musuhnya! Panahku barusan berarti, satu jiwa tukar dengan satu jiwa!”
Temuchin kaget dan berkhawatir menampak Borchu kena terpanah, kemudian mendapatkan orang tidak terbinasa atau terluka parah, ia menjadi girang. Kapan ia dengar perkataan Jebe itu, ia talangi Borchu menyahut: “Baik! Sudah, kamu jangan adu panah pula! Biar, jiwanya ditukar dengan jiwamu!” ia mengatakannya pada Borchu.
“Bukannya untuk ditukar dengan jiwaku!” Jebe berseru.
“Apa!” Temuchin menegaskan.
Jebe menunjuk kepada Kwee Ceng, yang berdiri di depan pintu. “Aku hendak menukarnya dengan jiwa anak ini!” katanya. “Aku minta Khan yang mulia jangan ganggu itu anak. Tentang aku sendiri….” sepasang alisnya bangkit bangun, “Aku telah panah kepada Khan yang mulia, aku harus mendapatkan hukumanku!”
Ia cabut anak panah di pundaknya, anak panah yang berdarah itu ia pasang di gendewanya.
Sementara itu serdadunya Borchu sudah hanturkan beberapa puluh batang anak panah kepala kepala perangnya itu.
“Baiklah!” kata Borchu. “Mari kita mengadu pula!” Ia lantas memanah pula, dengan saling susul.
Jebe lihat serangan berbahaya, ia lindungi diri di perut kudanya, sambil bersembunyi, ia membalas menyerang.
Kudanya Borchu sangat lihay, melihat serangan datang, tanpa tanda dari penunggangnya, ia lompat berkelit ke kiri. Tapi Jebe lihay, incarannya luar biasa, anak panahnya justru mengenai batok kepalanya kuda, maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang itu!
Borchu turut rubuh, terguling ke tanah. Ia khawatir ia nanti dipanah terus, ia mendahului membalas menyerang. Kali ini ia kena hajar gendewanya Jebe, hingga gendewa itu panah menjadi dua potong.
Kehilangan senjatanya, Jebe kasih kudanya lari berputaran.
Tentara Mongol bertempik sorak, untuk memberi semangat kepada Borchu.
“Dia satu laki-laki sejati!” Borchu sebaliknya berpikir. Ia menjadi si orang gagah yang menyayangi sesama orang gagah, tak ingin ia mengambil jiwa orang. Maka ketika ia memanah, walaupun ia incar tenggorokkan, ia menggeser sedikit.
Jebe gagal mengelakkan diri, anak panah lewat menyempret di pinggiran tenggorokkannya, darahnya lantas mengucur dengan keluar. Ia merasa sakit dan kaget.
“Habislah aku hari ini….” ia mengeluh dalam hatinya.
Borchu siapkan pula anak panahnya, tetapi ketika ia menoleh kepada Temuchin, ia berkata: “Kha Khan, berilah ampun kepadanya!”
Temuchin pun menyayangi Jebe. “Eh, apakah kau masih tetap tidak mau menyerah?!” ia tanya panglima musuh itu.
Jebe lihat Temuchin demikian angker, ia menjadi kagum sekali, maka ia lompat turun dari kudanya untuk terus bertekuk lutut.
Temuchin tertawa berbahak-bahak. “Bagus! Bagus!” katanya. “Selanjutnya kau ikutlah aku!”
Orang Mongol polos dan sangat gemar bernyanyi, demikian Jebe, sambil mendekam, ia lantas perdengarkan nyanyiannya:
Khan yang terbesar mengampunkan selembar jiwaku,
di belakang hari walaupun mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela.
Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung,
akan aku tunjang Khan yang maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya!
Ke mana aku diperintah pergi,
kesana aku pergi!
Temuchin menjadi sangat girang. Ia ambil dua potong emas, yang sepotong ia berikan kepada Borchu, yang sepotongnya pula kepada Jebe.
Jebe menghanturkan terima kasih. Tapi ia terus menambahkan. “Khan yang mulia, hendak aku berikan emas ini kepada itu bocah, bolehkah?”
Temuchin tertawa. “Kalau emas itu adalah emasku, aku boleh kasihkan itu kepada siapa aku suka!” katanya. “Emas adalah kepunyaanmu, kau boleh berikan kepada siapa kau suka!”
Jebe angsurkan emas itu kepada Kwee Ceng.
Bocah itu menggoyangi kepala, tak mau ia menerimanya.
“Ibu bilang, kalau kita membantu tetamu kita, jangan kita termahai uangnya,” katanya.Temuchin telah sukai bocah ini, sekarang mendengar perkataan orang, rasa sukanya menjadi bertambah-tambah.
“Sebentar kau bawalah bocah ini kepadaku!” katanya kepada Jebe. Lantas ia ajak pasukan perangnya balik ke arah darimana tadi ia datang.
Beberapa serdadu angkat naik bangkai kuda putihnya ke bebokong dua kuda lainnya, untuk dibawa bersama, mengikuti di sebelah belakang.
Jebe menjadi girang sekali. Ia lolos dari kematian dan mendapati tuan yang bijaksana. Sambil rebahkan diri di atas rumput, ia beristirahat. Ia tunggu pulangnya Lie Peng, ibunya bocah itu, akan tuturkan kejadian barusan.
Lie Peng lantas berpikir. Dengan hidup terus sebagai penggembala, tidak tahu sampai kapan Kwee Ceng dapat membalas dendamnya. Ia percaya, kalau ia turut Temuchin, mungkin ketikanya akan lebih baik. Di dalam pasukan perang, Kwee Ceng pun dapat berlatih ilmu perang.
Maka kesudahannya, ia ajak putranya ikut Jebe kepada Temuchin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar