Bab 14. Ujian Yang Pertama
Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka
putranya dapat ditawan musuh selagi putra itu berada dalam lindungan tentaranya
yang berjumlah besar itu. ia tidak bisa berbuat lain daripada keluarkan
titahnya untuk pasukannya itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma
mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan
diseputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis!Temuchin puji Kwee Ceng,
yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga.
Tiga
kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekaan, supaya Temuchin
menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya. tapi tiga-tiga
kalinya, Temuchin usir utusan itu.
Tanpa
terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum menyerbu, ia kasih
perintah orang-orangnya terus memasang mata.
Kira-kira
tengah malam, seorang denagn pakaian putih muncul di kaki bukit. ia lantas
berteriak: “Di sini Jamukha! Aku ingin
bicara dengan saudara Temuchin!”
“Kau
naiklah kemari!” Temuchin menjawab
Jamukha
mendaki dengan perlahan-lahan. Ia tampak Temuchin berdiri menantikan dengan
romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia memeluk. Adalah adat istiadat
bangsa Mongolia
akan saudara muda memeluk dan merangkul saudara tuanya.
Temuchin
hunus goloknya. “Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?” ia
menegur.
Jamukha
menghela napas. Ia lantas duduk bersila. “Kakak kau telah menjadi Khan yang
agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?” ia tanya.
“Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?”
“Kau
sebenarnya menghendaki apa?” Temuchin
tanya.
“Pelbagai
kepala suku pada membilangnya bahwa leluhur kita sudah turun temurun beberapa
ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan yang agung Temuchin
hendak mengubahnya? Tuhan juga tidak memperkenankan itu,” katanya Jamukha lagi.
“Apakah
kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?” Temuchin tanya.
“Lima putra
mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing kepada mereka, mereka juga
masing-masing diberikan seorang sebatang anak panah, ia suruh mereka
masing-masing mematahkannya. Dengan gampang mereka itu melakukannya. Lalu ia
berikan mereka lima
batang anak panah yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka
untuk mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah
itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?”
Dengan
perlahan Jamukha mengatakan: “Jikalau kamu masing-masing bercerai-berai, kamu
menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali orang siapapun dapat
mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah
yang digabung menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapa juga!”
“Kau
masih ingat itu, bagus!” seru Temuchin. “Kemudian bagaimana?”
“Kemudian
mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!”
sahut Jamukha.
“Benar
begitu!” kata Temuchin. “Kita juga adalah orang-orang gagah, kenapa kita tidak
hendak mempersatukan bangsa Monglia kita? Kita harus saling kepruk, kita
bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa Kim
itu!”
Jamukha
terkejut. Kata ia: “Negeri
Kim itu banyak tentaranya dan
banyak panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya
bertumpuk bagaikan gunung, cara
bagaimana bangsa Mongolia
bisa main gila terhadapnya?”
“Hm!”
Temuchin perdengarkan ejekannya. “Jadinya kau suka yang kita semua diperhina
dan ditindih bangsa Kim itu?”
“Mereka
pun tidak menghina dan menindih kita,” kata Jamukha. “Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauwtouwusu
padamu.”
Temuchin
menjadi mendongkol. “Mulanya akun juga menyangka raja Kim
itu baik hati,” katanya. “Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama jadi
makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan sekarang dia
menghendaki orang-orang peperangan kita membantu ia berperang!”
“Wang
Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim
itu,!” kata Jamukha pula.
“Berontak?
Hm! Berontak!” seru Temuchin menghina. “Dan
bagaimana dengan kau sendiri?”
“Aku
datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau kasih pulang
Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan kau pulang dengan
selamat!”
“Aku
tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!”
“Sangum
bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua putra lagi!
Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal ada Temuchin lagi!
Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak dapat melihat lagi matahari
besok!”
Temuchin
membacok ke udara. “Aku lebih suka terbinasa dalam perang, tak nanti aku
menyerah!” serunya.
Jamukha
bangkit berdiri. “Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing rampasan kepada
tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi, bukannya milik suku
beramai. Mengenai itu, semua pelbagai kepala suku mengatakannya kau berlaku
buruk, tak tepat itu dengan pengajaran leluhur kita!”
Temuchin
berseru: “Akan tetapi semau orang peperangan yang muda-muda senang dengan
caraku itu!”
“Baiklah
saudara Temuchin,” kata Jamukha. “Harap kau tidak mengatakannya aku tidak
berbudi!”
Temuchin
lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia lemparkan ke depan
Jamukha. Ia bilang: “Inilah tanda mata ketika angkat saudara untuk ketiga
kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau membawa golokmu untuk
berperang di sini!” Sembari berkata begitu, ia geraki tangannya seperti hendak
membacok batang lehernya. Ia tambahkan. “Yang dibunuh itu adalah musuh,
bukannya kakak angkatmu!”
Jamukha
jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit kecil dari
sakunya, tanpa membilang apa-apa, ia letaki itu di samping kakinya Temuchin,
lalu ia memutar tubuhnya untuk turun dari bukit itu.
Temuchin
mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam asaj. Ia ada sangat berduka.
Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang bagaikan saudara kandungnya
bisa berubah demikian rupa, hingga membaliki belakang kepadanya. Lalu dengan
perlahan-lahan ia buka kantung kulit itu, akan tuang keluar isinya, ialah
kepala panah dan biji piesek yang diwaktu muda mereka sering membuat main.
Segera terbayang di hadapan matanya saat dahulu hari ketika mereka sama-sama
bermain-main di es. Ia menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di situ ia pendam itu barang tanda mata dari
adik angkatnya itu.
Kwee Ceng di samping mengawasi
dengan perasaan berat. Ia mengerti, apa yang Temuchin pendam itu adalah
persahabatan yang ia paling hargakan….
Habis
menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia memandag ke
depan. Ia nampak api yang dinyalakan tentaranya Sangum dan Jamukha, yang
menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di langit. Ia berdiam sekian
lama, kemudaian berpaling, hingga ia dapatkan Kwee Ceng
berdiri diam di sampingnya.
“Apakah
kau takut?” ia tanya.
“Aku
tengah memikirkan ibuku,” Kwee
Ceng menyahuti.
“Kau
ada seorang gagah, orang gagah yang baik sekali,” Temuchin memuji. Ia menunjuk
kepada api di kejauhan itu, ia melanjutkan: “Mereka itu juga orang-orang gagah!
Kami bangsa Mongolia
ada punya begini banyak orang gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain!
Coba semua dapat berserikat menjadi satu…” Ia memandang ke ujung langit, lalu
menambahkan pula; “….kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh
dua menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!”
Kagum Kwee Ceng akan dengar itu
cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia lantas kata: “Khan yang agung, kita bisa
menang perang, tidak nanti kita dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan
hina dina itu!”
Temuchin
pun menjadi bersemangat. “Benar!” sambutnya. “Mari
kita ingat pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya akan aku pandang kau sebagai
anak kandungku!” Dan ia rangkul si
anak muda!
Sementara
itu, cuaca sudah mulai terang. Di
dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet.
“Bala
bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!” kata
Temuchin.
Ini
waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak
memulai penyerbuan mereka.
Temuchin
bersama ketiga putranya dan semua panglimanya mendekam di belakang tumpukan
tanah, anak panah mereka diarahkan ke setiap jalanan di gunung itu, jalanan
yang bisa diambil musuh untuk menerjang naik.
Tidak
antara lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukannya Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang, yang menuju ke
sisi gunung. Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di
tengah-tengah adalah Chao
Wang Wanyen
Lieh, putra keenam dari raja Kim. Pangeran
Kim ini memakai kopiah dan jubah
perang bersalut emas, tangan kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah.
“Temuchin, adakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung?!” tanya
itu pangeran.Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran
itu. Di belakang pangeran ini segera
muncul satu orang, yang menyambuti anak panah itu dengan tangannya. Dia sangat
gesit dan gapa.
Wanyen Lieh lantas saja berseru
dengan titahnya: “Tolongi
Tusaga! Bekuk Temuchin!”
Atas
titah itu, empat orang berlompat maju, untuk lari mendaki ke atas gunung.
Kwee Ceng terperanjat
menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu menggunai ilmu enteng tubuh.
Jadi mereka adalah orang-orang Rimba
Persilatan, bukannya orang
peperangan yang biasa.
Setibanya
empat orang itu di tengah jalan, mereka dipapaki hujan panah oleh Jebe dan
Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau setiap anak panah itu.
Kwee Ceng jadi berkhawatir,
“Kita di sini adalah orang-orang peperangan semua, kita bukannya tandingan
jago-jago Rimba
Persilatan itu…” pikirnya.
“Bagaimana sekarang?”
Satu
di antara empat orang itu, satu pemuda dengan pakaian hitam sudah lantas sampai
di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang bersenjatakan sebatang golok
besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang panah tangan menyambar ke batang
lehernya putra Temuchin itu, disusul sama bacokan goloknya. Berbareng dengan
itu, berkelebatlah sebatang golok putih mengkilap, menikam dari samping kepada
lengan penyerang itu. Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia lompat mundur.
Maka ia lihat di depannya ada satu anak muda dengan alis
gompiak dan mata besar, yang mencekal pedang. Ia ini menghalang di depannya
Ogotai. Dia heran dalam rombongannya Temuchin ada orang yang pandai ilmu
pedang.
“Kau siapa?” dia menegur. “Beritahukanlah she dan namamu!” Dia
bicara dalam bahasa Tionghoa.“Aku
Kwee Ceng!”
sahut anak muda itu.
“Tidak
pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!” kata orang itu sombong.
Kwee Ceng sementara itu telah
melihat, tiga kawannya orang ini sudah tiba di atas gunung dan tengah bertempur
sama Chilaun, Boroul dan lainnya. Dilain pihak orang-orangnya Sangum hendak
bergerak pula.
Mukhali
lantas saja tandalkan goloknya di lehernya Tusaga. “Siapa berani maju!” ia
berteriak. “Akan aku lantas memenggal!”
Sangum
menjadi khawatir dan bingung. “Tuan pangeran, titahkanlah mereka itu turun!” ia
mohon kepada Wanyen
Lieh. “Mari
kita memikir daya lainnya, supaya anakku jangan terbinasa…!”
“Tetapkan
hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!” kata Wanyen Lieh
sambil tertawa.
Orang-orangnya
Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh
itu melanjuti pertempurannya.
Kwee Ceng telah gunai ilmu
pedang Wat Lie Kiam pengajaran Han
Siauw Eng,
ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat kenyataan, berat
tangannya lawan itu, yang goloknya tebal. benar-benar musuh ini bukan sembarang
orang. Ia pun tidak mengerti cara
bersilatnya orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam
ilmu silat. Orang ini mengancam ke kanan, tiba-tiba ancamannya itu berubah di
tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri………
Mau
tidak mau, Kwee
Ceng main mundur. Segera juga ia
ingat pengajaran gurunya yang kesatu: “Di
waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi jangan kasih diri kena
dipengaruhi. Sekarang aku main menangkis aja, apakah itu ukan berarti aku kena
didesak?” karena ini, waktu datang pula bacokan, ia tidak mundur lagi,
sebaliknya ia menyambut seraya tekuk kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia.
Keras sekali, tangan kanannya, ialah pedangnya, membalas menikam lempang.
terkejut
juga musuh menyaksikan orang seperti nekat, bersedia akan celaka bersama, ia
lantas tarik pulang goloknya. Kwee
Ceng lihat ini ia gunai ketikanya,
ialah ia menikam pula, kapan musuh berkelit, ia ulangi serangannya dengan
beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat. Kali ini, ialah yang
membuat lawannya repot.
Dipihak
lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat atau lima lawannya, kapan satu
di antaranya melihat ia terdesak, dengan bawa tombaknya, dia lompat
menghampirkan. “Toasuko, mari aku
bantu kau!” dia berteriak.
“Kau
lihat saja dari samping, kau lihat kepandaiannya toasukomu!” berseru orang yang
bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau kakak seperguruan yang
tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua kaum Rimba Persilatan, sebab
ia adalah orang undangannya Wanyen Lieh, yang untuk itu telah mengeluarkan
banyak uang, sedang hari ini adalah yang pertama kalinya ia muncul di medan
pertempuran. Tentu saja di hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah
terhadap adik seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan
ini ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah.
Kwee
ceng gunai ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam dari bawah ke
atas. Itulah gerakan “Kie hong teng kauw” atau “Burung hong bangkit dan ular
naga mencelat”. Musuh kaget dan berlompat berkelit, tidak urung tangan bajunya
yang kiri telah kena tersontek robek.
“Lihat
kepandaiannya toasuko!” berseru saudaranya yang memegang tombka itu sambil
tertawa.
Itu
waktu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan lainnya yang
belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh lainnya yang memegang
ruyung besi dan dan sepasang kampak pendek, tidak berani sembarang merangsak.
Mereka ini pun telah dengar suaranya jiesuko mereka, saudara yang kedua, maka
mereka anggap baiklah mereka menonton kakak mereka yang kesatu. Mereka mau
percaya musuh tidak bakal lolos lagi. Mereka hampirkan jiesuko itu, untuk
berdiri berendeng bertiga, akan menonton pertempuran sang kakak tertua.
Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu lompat keluar
kalangan. “Kau muridnya siapa?!” ia tegur Kwee Ceng.
“Kenapa kau datang kemari untuk antarkan jiwamu?!”Kwee Ceng
lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. “Teecu adalah muridnya Kanglam Cit Koay,”
ia menjawab dengan terus terang. “Teecu mohon tanya
suwie empunya she dan nama yang besar?” ia terus berbalik menanya empat orang
itu. “Suwie” ialah “keempat tuan”.
Orang
itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula, katanya: “Tentang
nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu anak kecil tentulah tak
dapat mengetahuinya. Lihat golokku!” Ia lantas menyerang.
Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang
ada terlebih terlatih daripadanya, akan tetapi ia adalah muridnya tujuh guru,
telah banyak pengetahuannya, dan ilmun pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh
ini, maka itu ia melawan dengan berani, bukan ia mundur, ia mencoba mendesak
terus.
Sebentar saja, tigapuluh jurus
telah dikasih lewat.
Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisaberbuat suatu apa. Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang.Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: “Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu.” ia menebas terus tanpa membuat perubahan.
Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisaberbuat suatu apa. Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang.Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: “Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu.” ia menebas terus tanpa membuat perubahan.
Tenang
adanya sikap Kwee
Ceng, jeli matanya, sebat
tangannya. Ia tunggu sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia
mengegos sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya itu!
Bukan
main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan pedangnya,
sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si anak muda. Keras
sampokan ini, pedang Kwee
Ceng terlepas dan jatuh ke tanah.
Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di tangannya, maka tangan
itu bercucuran darahnya!
“Sayang!”
kata Kwee Ceng di dalam hati. Cuma karena kurang
pengalaman, ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia
akan dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat undur,
ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya.
Hampir
pada itu waktu ada angin menyambar di belakangnya.
“Awas!”
Jebe teriaki muridnya.
Kwee Ceng dengar pemberian
peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi, sambil mendak sedikit, ia mendupak
ke belakang. Tepat dupakannya ini, ia membuatnya tombaknya musuh terpental,
habis mana, sambil memutar tubuh, ia membacok ke arah lengannya musuh. Kali ini
ia gunai bacokan ajarannya Lam Hie Jin, yaitu jurus “Burung walet masuk ke
sarangnya” dari tipu silat “Lam Sam Too-hoat” – ilmu pedang Lam San.
“Bagus!”
seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari
bacokan, ia menikam ke dada pula.
Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan
kelitan “Dalam mabuk meloloskan sepatu”, untuk membarengi membalas menyerang,
ialah sambil melayangkan kaki kanannya ke bahu musuh.
Penyerang bertombak ini menggunai ketikanya
yang baik. Ia lihat Kwee Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang
terlepas, ia membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan
gesit, tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik
pulang serangannya.
Tapi ia penasaran, terus ia maju pula, hingga
ia melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya itu ia
sudah punyakan pengalaman dua puluh tahun…………Kwee Ceng berkelahi sambil matanya
melitah dan otaknya bekerja. ia tahu musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa
musuh itu ingin memperlekas kemenangannya.
Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini
bukan berarti ia berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepta dan keras, seperti tadi
melawan si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia
tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran. Si
toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak tahunya,
goloknya sama aja.
Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal
gerakannya. ia lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya
menyampok tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh
berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang batang
tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu tidak lepaskan
cekalannya.
Musuh itu terkejut, ia lantas mendahului lompat mundur.
Menghadapi lawan yang menggunai tombak ini, Kwee Ceng ada
punya satu keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo
Tiat Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal untuk
ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie Jin sengaja
ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan sekali, sekarang ini
Kwee Ceng ada kesempatan akan pakai ilmu goloknya yang istimewa itu dan ia
berhasil. Apa yang tidak disangka, ilmu ini bukan digunai di Kee-hi hanya di
sini.
Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar
goloknya ke bawah gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya
itu.
Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan
sabaran, dengan putar kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan
seruan. ia agaknya penasaran yang mereka kalah dari satu bocah. Siapa menggunai
senjata pendek, ia mesti berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh, demikian
ia ini, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita, dengan tombaknya,
membuatnya orang kewalahan, sia-sia saja dia itu mencoba berulang-ulang.
Sesudah
lewat beberapa jurus, Kwee
Ceng menggunai tipu. Dengan cara
biasa, tidak dapat ia rubuhkan atau lukai musuhnya ini. Ia berhasil. Musuh
tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat menubruk,
sepasang kampaknya turun dengan berbareng.
Kwee Ceng angkat tombaknya
untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang tombak kalah dan kena terkampak
patah hingga menjadi tiga potong. Disaat kemenangannya itu, musuh hendak
mengulangi kampakannya. Diluar dugaannya, baru ia kerahkan tenaganya, tiba-tiba
perutnya dirasainya sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng
telah melayang ke perutnya, malah ia terdumpak mental. Berbareng ia mental,
tangan kirinya terbalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri.
Melihat
bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung besinya, akan hajar
kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara nyaring, kampak itu
terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh numprah. Syukur untuknya,
ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia bertabiat keras, ia gusar dan penasaran,
ia lompat bangun untuk merangsak pula, mulutnya berteriakan tak henti-hentinya.
Kwee Ceng tidak punya senjata,
ia melawan dengan ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Segera ia dikepung
oleh musuhnya yang ketiga, yang bersenjatakan ruyung besi itu.
Melihat
orang main keroyok, tentara Mongolia
di kaki gunung menjadi tidak senang, mereka membaut ribut dengan mencaci maki
dua pengeroyok itu. Bangsa Mongolia
adalah bangsa yang polos dan memuju orang gagah, maka itu tidak puas mereka
menyaksikan empat orang mengepung bergantian kepada satu musuh, apapula satu
musuh itu bertangan kosong.
Sampai
disitu, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng.
Karena majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk
Jebe berdua, mereka adalah orang-orang peperangan biasa, mereka bukan orang
kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi
musuh-musuhnya yang lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh.
Kwee
Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia lompat kepada toasuheng yang
bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si orang Hwee
menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk terus dipakai
menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat menolongi Jebe.
Orang
itu rupanya bersatu pikiran, mereka lantas meluruk kepada anak muda she Kwee
ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua.
Segera
juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunya senjata, terpaksa ia
melawan dengan menunjuki kelincahannya, ialah main berkelit dengan mengegos
tubuh atau berlompatan.
“Ini
golok!” teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya.
Disaat Kwee Ceng hendak sambuti golok
itu, ia diserang oleh musuhnya yang menggenggam ruyung besi hingga goloknya
Borchu kena disampok mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak
memberangi mengampak juga. Dia ini bersakit hati bekas kena didupak tadi.
Kwee Ceng berkelit dengan
berlompat, atau sebatang golok melayang ke arahnya. Ia masih sempat berkelit
pula seraya ia angkat kakinya yang kiri untuk menendang musuh yang memegang
kampak yang berada paling dekat dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh
yang mencekal ruyung besri tadi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena
dihajar. ia merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan.
Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya menjadi
lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak, yang telah
melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama musuh itu, yang tak
sudi melepaskan pelukannya.
Kwee
Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejab itu ia ingat ibunya, tujuh gurunya,
Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak dada musuh, denagn
kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke atasan tubuhnya snediri,
denagn begitu ia pakai musuh sebagai tameng.
Benar
saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir nanti
mencelakai kawan sendiri.
Kwee Ceng tetap bertahan
secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya mencekal. denagn sebelah tangan
ia memencat nadi musuh, untuk membikin dia itu tak dapat bergerak, denagn
tangan yang lainnya, ia mencekik tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang
menendangi pundak atau kakinya. ia telah pikir: “Biar aku mati, asal aku pun
telah membunuh seorang musuh!”
Jebe
berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya.
“Kamu
pegat mereka ,nanti aku bunuh ini bocah haram!” kata si suheng yang memegang
golok sebatang kepada dua saudaranya, habis mana ia terus bekerja.
Kwee Ceng kaget, ia merasakan
sakit pada pundaknya, terpaksa ia menggulingkan tubuh sekitar dua tombak, habis
mana ia lompat bangun, untuk berdiri. Musuhnya yang ia cekik, telah rebah diam
karena pingsan. Baharu ia berdiri dengan berniat melawan musuh, atau kaki kanannya
dirasakan sangat sakit, sekali lagi ia roboh.
Musuh
sudah lantas tiba. Dlam keadaan sangat berbahaya itu, Kwee Ceng ingat ia ada
punya joan-pian atau cambuk lemas pembela dirinya, lekas-lekas ia lepaskan itu
dari pinggangnya, lalu dengan menggulingkan tubuh, ia menangkis, kemudian
selanjutnya, ia melakukan perlawanan dengan terus main bergulingan dengan ilmu
silatnya “Kim Liong Pian-hoat” atau “Ilmu cambuk lemas naga emas”
Musuh
yang pingsan telah lantas sadar, ia ingin membalas sakit hatinya, ia lompat bangun,
untuk membantu saudaranya. Tak lama, mereka pun dibantu oleh dua saudara yang
lain, yang telah berhasil memukul mundur Jebe berdua. denagn begini Kwee Ceng
kembali kena dikepung berempat.
Selagi Kwee Ceng terancam bahaya, di
bawah bukit, pasukan tentara kacau sendirinya, lalu tertampak enam orang
bergerak dengan lincah mengacau barisan itu, terus mereka berenam lari naik ke
atas gunung.
Matanya Jebe sangat tajam, ia
lantas kenali enam orang itu. “Kwee
Ceng, gurumu datang!”, ia berseru.
Kwee Ceng sudah letih betul,
kedua matanya pun sudah mulai kabur, kapan ia dengar itu teriakan, semangatnya
terbangun, terus ia melawan dengan hebat.
Cu Cong dan Coan Kim
Hoat lari di paling depan, mereka
segera tampak murid mereka dalam bahaya. Kim Hoat
lompat maju, dengan dacinnya ia rabu empat batang senjata musuh. “Tidak tahu
malu!” ia membentak.
Empat
musuh itu sudah lantas lompat mundur, tangan mereka kesemutan bekas rabuhan
senjata aneh dari orang yang baru datang ini. Mereka merasa bahwa dalam tenaga
dalam, mereka kalah jauh.
Cu Cong lompat maju, akan
kasih muridnya bangun. Itu waktu, Tin Ok bersama yang lain pun telah tiba.
“Bandit-bandit
tidak tahu malu, pergi kamu!” Kim
Hoat mengusir.
Si
toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang menebali muka. Ia tahu pihaknya tak
berdaya tetapi mereka malu untuk lari turun gunung, mereka malu bertemu sama
pangeran yang keenam.
“Liok-wie,
adakah kamu Kanglam
Liok Koay?”
ia tanya enam orang itu.
“Tidak
salah!” sahut Cu
Cong tertawa. “Siapakah tuan
berempat?”
“Kami
adalah empat muridnya Kwie-bun Liong
Ong,” sahut si toasuheng.
Kwa
Tin OK dan Cu Cong mulanya menyangka orang adalah orang-orang yang tak bernama,
sebab mereka itu main keroyok, maka terkejutlah mereka mengetahui empat orang
itu adalah murid-,muridnya Kwie-bun Liong Ong.
“Pasti
kamu berdusta!” bentak Tin Ok. “Kwie-bun Liong Ong
bernama besar, mana bisa murid-muridnya ada bangsa tak berguna seperti kamu!”
“Siapa berdusta!” berseru orang ynag
dicekik Kwee Ceng tadi, yang masih merasakan sakit pada tenggorokannya, “Inilah
toasuheng kami, Toan-hun-to Sim Ceng Kong! Ini jiesuheng Tiwi-beng-chiop Gouw
Ceng Liat! Ini samsuheng Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong!
Dan aku
sendiri, aku Song-bun-hu Cian Ceng Kian!”“Kedengarannya kamu tidak berdusta,”
berkata Tin Ok pula, “Benarlah kau adalah Hong Ho Su Koay!
Kamu cukup ternama, kenapa kamu merendahkan diri begini rupa, emapt orang
bersaudara mengepung satu musuh, seorang bocah! Dialah muridku!”
Gouw Ceng Liat membelar. “Siapa
bilang kami berempat mengepung satu orang?!” katanya, “Bukankah di sini ada
banyak orang Mongolia
yang membantu padanya?”
Cian Ceng Kong pun tanya Ma Ceng Hiong: “Samsuheng, ini buta dan pengkor
sangat berlagak, siapakah dia?”
Ceng Kong menanya perlahan
sekali, tetapi Kwa Tin Ok dapat mendengarnya, ia menjadi mendongkol. Tiba-tiba
ia menekan denagn tongkatnya, tubuhnya terus mencelat, sebelah tangannya
menyambar, maka tidak ampun lagi, punggung Ceng Kong
kena dijambak, terus dilemparkan ke bawah gunung!
Tiga
pengepung lainnya menjadi kaget, mereka maju untuk menolongi, tetapi mereka
tidak berdaya, malah sebaliknya, cepat luar biasa, satu demi satu, mereka juga
kena dilempar-lemparkan si Kelelawar
Terbangkan Langit!
Tentara
Mongolia
di atas bukit bersorak-sorai menyaksikan keempat saudara itu, yaitu Hong Ho
Su Koay,
merayap bangun dengan muka penuh debu dan seluruh badan dan pinggangnya sakit
bekas jatuh terbanting dan bergeluntungan. Syukur mereka tidak patah tangan dan
kaki atau singkal batang lehernya.
Itu
waktu terlihat debu mengulah naik, tanda dari datangnya beberapa ribu serdadu,
maka itu, menampak demikian, tentaranya Sangum menjadi kecil hatinya.
Temuchin
menampak datangnya bala bantuan, mengetahui Jamukha lihay dan Sangum hanya
mengandal kepintaran ayahnya, ia menunjuk ke kiri ke pasukannya Sangum itu
seraya berseru: “Mari menerjang ke
sini!”
Jebe
berempat dengan Borchu, Juji dan Jagatai sudah
lantas mendahulukan menerjang ke bawah, darimana pun terdengar seruannya bala
bantuan.
Mukhali
kaburkan kudanya denan ia peluki Tusaga, batang leher siapa ia tandalkan goloknya,
sembari turut menerjang, ia berteriak-teriak: “Lekas buka jalan! Lekas buka
jalan!”
Sangum
menyaksikan musuh menerobos turun, hendak ia memegat, atau ia lantas tampak
putranya berada di bawah ancama maut, putra itu tak dapat berkutik, ia menjadi
tergugu, hingga tak tahu ia harus mengambil tindakan apa.
Sementara
itu rombongannya Temuchin sudah sampai di bawah bukit, malah Jebe sudah lantas
saja turun tangan, dengan mengincar Sangum, ia memanah.
Sangum
terperanjat, ia berkelit ke kiri, tidak urung pipi kanannya kena tertancap anak
panah, maka tak ampun lagi, ia rubuh terjungkal dari kudanya. Tentu saja,
karenanya, tentaranya menjadi kaget dan kalut sendirinya.
Temuchin
ajak rombongannya kabur terus. Ada
beberapa ratus musuh yang mengejar, akan tetapi mereka dirintangi panahnya Jebe
dan Borchu beramai, yang sembari menyingkir telah menoleh ke belekang dan
saban-saban menyerang denagn panah mereka.
Kanglam Liok Koay turut mundur dengan
Lam Hie Jin yang memondong Kwee
Ceng.
Sesudah
melalui beberapa lie, rombongan ini bertemu sama bala bantuan, ialah barisannya
Tuli, putra keempat Temuchin, maka itu mereka lantas menggabungkan diri.
Tuli
masih muda, walaupun ia adalah satu pangeran, kepala-kepala suku dan
panglima-panglima Temuchin tidak suka dengar titahnya, dari itu, ia datang
dengan cuma bersama itu beberapa ribu serdadu anak-anak muda, hanya ia telah
didulukan Kanglam Liok Koay. Tapi ia cerdik, ia tahu jumlah musuh terlebih
besar, ia perintahkan semua serdadu mengikat cabang pohon diekor masing-masing
kuda mereka, dari itu debu menjadi mengulak besar dan musuh menyangkanya bala
bantuan lawan ada berjumlah besar sekali.
Di tengah jalan pulang,
Temuchin bertemu bersama Gochin, yang pun datang bersama sejumlah serdadu.
Putri ini girang bukan main melihat ayahnya semua tidak kurang satu apa pun.
Malam itu Temuchin membuat pesta dengan semua panglima dan
tentaranya diberi hadiah. Hanya untuk herannya semua orang, yang hatinya
mendongkol, mereka itu lihat Tusaga diundang duduk bersama di meja pesta, dan
diperlakukan sebagai tamu agung.Temuchin hanturkan tiga cawan arak kepada putra
Sangum itu.
“Aku
tidak bermusuh dengan ayah Wang Khan dan saudaraku Sangum,” ia berkata kepada
putranya Sangum itu, “Maka itu aku persilahkan kau pulang untuk menyampaikan
maafku. Aku pun akan mengantar bingkisan kepada ayah dan saudara angkatku itu,
yang aku minta supaya tidak menjadi berkecil hati.”
Tusaga
girang bukan main. Bukankah ia telah tidak dibunuh? Maka ia berjanji akan
meyampaikan permohonan maaf dari Temuchin itu.
Semua
orang menjadi bertambah heran dan mendongkol menyaksikan Khan mereka yang besar
menjadi demikian lemah dan jeri
terhadap Wang Khan, tetapi terpaksa mereka berdiam saja.
Besok
harinya Temuchin kirim sepuluh serdadunya mengiringi Tusaga pulang, berbareng
dengan itu ia mengirimkan dua buah kereta yang berisikan emas dan kulit tiauw.
Tiga
hari sepulangnya Tusaga itu, Temuchin kumpulkan orang-orang peperangannya.
Dengan mendadak ia perintahkan mereka itu kumpulkan tentara mereka.
“Sekarang
juga kita menyerang Wang Khan!” demikian titahnya.
Heran
semua panglima itu, mereka melongo.
“Wang Khan banyak
tentaranya, serdadu kita sedikit, tak dapat kita melawan dia dengan
terang.terangan,” menjelaskan Temuchin. “Kita mesti membokong padanya! Aku
merdekana Tusaga dan mengirim bingkisan, itulah untuk membuatnya tidak
bersiaga.”
Baharu
semua panglima itu sadar, mereka jadi sangat mengagumi Khan mereka itu. Segera
mereka bertindak maju dalam tiga pasukan.
Wang
Khan dan Sangum dilain pihak girang melihat Tusaga pulang dengan selamat dan
Temuchin pun mengirim bingkisan, mereka menyangka Temuchin jeri, mereka tidak
bercuriga, maka di dalam tendanya, mereka jamu Wanyen Lieh dan Jamukha, yang
mereka layani dengan hormat. Adalah tengah mereka berpesta malam ketika
mendadak datang serangannya Temuchin. Mereka menjadi kaxau, tanpa berdaya
mereka pada melarikan diri.
Wang Khan bersama Sangum kabur ke
barat. Di sana mereka kemudian terbinasa di tangan
bangsa Naiman dan Liauw
Barat. Tusaga terbinasa
terinjak-injak kuda tentara.
Hong
Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hong Ho, yang bisa menerobos kepunganm
telah lindungi Wanyen Lieh kabur pulang ke Tiongtouw (Pakkhia).
Jamukha
kehilangan tentaranya, dia lari ke gunung Tannu, di sana selagi ia dahar daging kambing, dia
ditawan oleh tentara pengiringnya, terus ia dibawa kepad Temuchin.
Temuchin
terima orang tawanan itu, tetapi ia gusar, ia berseru: “Serdadu pengiring
pemberontak dan berkhianat kepada majikan! Apakah gunanya akan mengasih hidup
kepada orang-orang tak berbudi begini?” Di
depan Jamukha sendiri, ia perintahkan hukum mati pada kelima pengiring itu. Kepada Jamukha,
yang ia awasi, ia kata: “Apakah tetap kita menjadi sahabt-sahabat kekal?”
Jemukha
mengucurkan air mata. “Meskipun saudara suka memberi ampun padaku, aku sendiri
tidak mempunyai muka akan hidup lebih lama pula di dalam dunia ini,” ia
menyahuti. “Saudara, aku minta sudilah kau memberi kematian tak mengucurkan
darah padaku, supaya rohku tidak mengikuti darahku dan meninggalkan tubuh
ragaku….”
Temuchin
berdiam sekian lama. “Baiklah,” berkata ia kemudian. “Akan aku menghadiahkan
kau kematian tak mengalirkan darah, nanti aku kubur kau di tempat di mana
dahulu hari, semasa kecil, kita bermain bersama…”
emukha
memberi hormat sambil berlutut, habis itu ia putar tubuhnya untuk bertindak
keluar kemah.
Besoknya Temuchin mengadakan rapat
besar di datar sungai Onon. Ketika itu namanya telah naik tinggi sekali, maka
rakyat dan orang peperangan dari pelbagai suku tak ada yang tak tunduk
kepadanya, semuanya menyunjungnya. Maka di dalam rapat besar itu ia telah
diangkat menjadi Kha Khan, atau Khan terbesar dari Mongolia, dengan gelaran
Jenghiz Khan, artinya Khan yang besar dan gagah bagaikan pengaruhnya lautan
besar.
Di sini Jenghiz Khan
membagi hadiah besar. Empat pahlawannya yakni Mukhali, Borchu, Boroul dan
Chiluan serta Jebe, Jelmi dan Subotai, diangkat menjadi cian-hu-thio, semacam
kapten dari seribu serdadu. Kwee
Ceng yang dianggap jasanya paling
istimewa, dijadikan cian-hu-thio juga. Maka anehlah satu bocah umur belasan
tahun, pangkatnya sama dengan satu pahlawan panglima yang berjasa.
Dalam
pesta itu Jenghiz Khan minum banyak arak hadiah dari pelbagai panglimanya,
dalam keadaan seperti itu, ia kata kepada Kwee Ceng:
“Anak yang baik, aku akan menghadiahkan pula kepadamu sesuatu yang aku paling
hargakan!”
Kwee Ceng sudah lantas
berlutut untuk menghanturkan terima kasihnya.
“Aku
serahkan Putri
Gochin kepadamu!” berkata Jenghiz
Khan. “Mulai besaok kau adalah Kim-to
Hu-ma!”.
Semua
panglima bersorak, lalu mereka memberi selamat kepada Kwee Ceng.
Mereka juga berseru-seru: “Kim-to
Hu-ma! Kim-to Hu-ma! Bagus! Bagus!”
“Kim-to Hu-ma” itu berarti menantu raja golok emas.
Tuli
sangat kegirangan sehingga ia merangkul Kwee Ceng
erat-erat, tak mau ia lekas-lekas melepaskannya. Si anak muda sebaliknya berdiam
diam, tubuhnya terpaku, mulutnya bungkam. Ia menyukai Gochin, tetapi sebagai
adik, bukan sebagai kekasih. Ia lagi mengutamakan ilmu silat, tak ia pikirkan
lainnya soal apa pula soal jodoh, soal asmara.
Maka keget iamendengar hadiah Khan yang maha besar itu. Selagi ia tercengang,
semua orang tertawa padanya, menggodainya.
Setelah
pesta bubar, Kwee
Ceng lantas cari ibunya, akan
tuturkan hadiah dari Jenghiz Khan itu.
Liep Peng terdiam, ia pun
bingung. “Coba undung gurumu semua!” titahnya kemudian.
Kanglam Liok Koay lantas datang.
Apabila mereka mendengar hal pertunangan itu, mereka girang, mereka lantas
memberi selamat kepada nyonya Kwee itu. Bukankah murid mereka sangat dihargai
oleh Khan dan peruntungannya bagus sekali?
Lie
Peng berdiam sebentar, lalu tiba-tiba ia berlutut di depan enam manusia aneh
itu, sehingga mereka itu menjadi heran.
“Ada apa, enso?” mereka tanya. “Kenapa enso menjalankan kehormatan besar ini?
Harap enso lekas bangun!”
“Aku
ada sangat bersyukur yang suhu beramai sudah didik anakku ini sehingga ia
menjadi seorang yang berharga,” berkata nyonya ini. “Budi ini tak dapat aku
balas walaupun tubuhku hancur lebur. Hanya sekarang ada satu hal sulit untuk
mana aku mohon pertimbangan dan keputusan suhu beramai.”
Lie
Peng tuturkan keputusan suaminya almarhum dengan Yo Tiat Sim, yang tunangkan
anak-anak mereka sebelum anak-anak itu lahir.
“Maka
itu, kendati kedudukan anakku mulia sekali, mana dapat ia menjadi hu-ma?” kata
si nyonya kemudian. “Kalau aku menyangkal janji ini, aku malu sekali. Bagaimana
nanti suamiku dan aku menemui paman Yo dan istrinya itu di dunia baka?”
Mengdengar
keterangan, Kanglam
Liok Koay
tertawa.
Lie
Peng heran, ia mengawasi mereka itu.
“Orang
she Yo itu benar telah memperoleh keturunan tetapi bukannya perempuan,
melainkan pria,” Cu
Cong kasih keterangan.
“Bagaimana
suhu ketahui itu?” menanya Lie Peng kaget.
“Seoarng
sahabat di Tionggoan mengabarkan kami dengan sepucuk surat,” menerangkan Cu Cong
lebih jauh. “Sahabat itu pun mengharap kami mengajak anak Ceng ke sana untuk menemui
putranya orang she Yo itu, untuk mereka menguji kepandaian silat mereka.”
Mendengar
itu, Lie Peng sangat girang. Ia setuju anaknya itu diajak pergi. Ia harap,
sekalian anaknya itu mencari Toan
Thian Thek,
guna menuntut balas. Sepulangnya dari perjalanan itu, baharu Kwee Ceng nanti
menikah dengan Gochin.
Setelah
mendapat keputusan, Kwee
Ceng menghadap Jenghiz Khan, untuk
memberitahukan tentang niat perjalanannya itu.
“Bagus, kau pergilah!” Khan itu setuju.
“Sekalian kau pulang nanti bawalah juga kepalanya Wanyen Lieh, putra keenam
raja Kim! Untuk melakukan pekerjaan besar itu, berepa banyak pengiring yang kau
butuhkan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar