BAB 52
Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu
untuk menantikan Tam Cie Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka
mendengar suara siulan panjang di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata:
“Cek Suheng pulang!”
Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala
mereka mendengar isyarat dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok
lantas memberikan jawabannya perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas
satu bayangan berkelebat dan Cek Tay Thong bertindak masuk.
Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas
mengintai.
Malam itu malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih
kecil, akan tetapi si situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak
seorang yang bertubuh gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar
negeri, tangan baju dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. adi
pakaian dia ini berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok beramai.
Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah
seorang hartawan di Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian
dia mengangkat Ong Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini,
Ong Tiong Yang meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi,
jubahnya itu dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata: “Tidak ada bahaya, tidak
ada tangan baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri.”
Huruf “tangan baju” ada sama suaranya dengan huruf
“menerimakan”. Dengan itu mau diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan
banyak pengajaran kepada satu muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid
akan memperolah kemajuan. Cek Toy Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya
itu, maka selanjutnya ia tetap mengenakan jubah tangan buntung itu.
“Bagaimana dengan Cui Susiok?” tanya Khu Cie Kee yang
tidak sabaran. “Sebenarnya ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?”
Cek Toy Thong menggeleng kepala.
“Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh
atau delapan lie, aku lantas kehilangan Cui Susiok itu,” ia menyahut. “Tam Suko
bersama Lauw Suko berada di sebelah depanku.”
“Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah,” katany.
Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan
pernapasannya.
“Diwaktu tadi aku berjalan pulang,” kemudian ia berkata
pula, “Di Ciu Ong Bio aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka
mestinya Kanglam Liok Koay yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan
mereka, nyata penglihatanku tidak keliru.”
“Bagus!” kata Cie Kee girang. “Sekarang di mana adanya
mereka itu?”
“Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To,” Tay
Thong memberi keterangan pula.
Cie Kee terkejut.
“Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa
To!” katanya. “Pantas kita tidak dapat mencari mereka.”
“Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari
Liok Koay, mereka telah membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho
Hoa To, hanya setibanya mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar
kita berada di sini, mereka itu membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka
hendak datang berkunjung.”
Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetagui semua
gurunya tidak kurang suatu apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat
lima hari lima malam, kesehatannya pun sudah pulih separuhnya.
Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar
kampung sebelah timur terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata:
“Lauw Sutee kembali bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia…”
Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi keluar
untuk menyambuti. In Cie Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian
bersama seorang tua yang rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek,
sepatunya sepatu goni, sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari
berjalan ia berbicara sambil tertawa-tawa. Ketika dia sampai di muka
penginapan, kepada lima anggota Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma
mengangguk sedikit, agaknya dia tidak melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw
Cie Hian segera mengajarnya kenal: “Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu
Locianpwee yang namanya kesohor di seluruh negera. Hari ini kami bertemu
dengannya, sungguh beruntung!”
Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum,
dengan sikutnya ia membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga.
Berdua mereka berpikir: “Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar
mempermainkan ini orang-orang Coan Cin Kauw!”
Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara
sama orang she Kiu ini dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas
mengasih dengar ocehannya.
Kemudian Khu Cie Kee menanya apa “locianpwee” itu bertemu
sama Ciu Pek Thong, paman gurunya itu.
“Loo
Boan Tong?” menegaskan orang she Kiu itu. “Dia telah dibinasakan oleh Oey Yok
Su!”
Semua
orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali.
“Ah,
tidak bisa jadi!” kata Cie Hian selang sesaat. “Baru saja boanpwee melihat Cui
Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak padanya.”
Kiu
Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir
bagaimana harus menelurkan kedustaannya.
“Lauw
Sutee,” tanya Cie Kee, “Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang yang
mengejar Ciu Susiok?”
“Yang
satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu
sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang berjubah hijau
itu luar biasa sekali, mirip dengan mayat”.
Kiu
Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata. “Benar!
pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su! Lain orang mana
bisa? Aku hendak mencegah sayang terlambat…!”
Namanya
Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Cona Cin Kauw
ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal dibunuhnya Ciu
Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka sangat berduka berbareng gusar.
“Tam
Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan
melihat bagaimana caranya susiok dibunuh,” kata Cie Hian.
“Aku
khawatir Tam Suko pun nampak bahaya…” kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia
berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.
Khu
Cie Kee lantas menghunus pedangnya.
“Mari
kita menyusul!” serunya. “Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit hati!”
“Jangan!”
berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari Ciu Pek Thong. “Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke
mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat
membiarkan dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya lain orang, maka biarlah
kamu berdiam saja di sini menantikan kabar baik dari aku!”
Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang
tua ini, mereka tidak membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir
nanti mengambil jalan salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su,
dari situ, suka mereka menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan
kepergiannya orang tua itu, mereka sikapnya sangat menghormat.
Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar
tubuhnya seraya mengibaskan tangan serta mulutnya berkata: “Tidak usah kau
mengantar sampai jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, ako toh mempunyai
jalan untuk mengalahkan dia! Kamu lihat!”
Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang
pedang dari pinggangnya, dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi
kaget. Tiga dim dari pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si
orang tua tertawa dan kata: “Di kolong langit ini, senjata tajam apa juga tidak
dapat melukakan aku, maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku
menyusul tetapi tidak bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari,
jangan tuan-tuan melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu
tunggu saja kembaliku!”
“Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya,
tak dapat kami tidak membalasnya!” berkata Khu Cie Kee.
Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas.
“Kalau begitu, terserah!” katanya, berduka. “Ini dia
takdir! Jikalau kamu hendak membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!”
“Tolong
locianpwee memberikan petunjuk,” Ma Giok minta.
Kiu
Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
“Begitu
kamu melihat Oey Lao Shia, kamu metsi lantas mengepung dengan sungguh-sungguh!”
katanya. “Jangan kau bicara kendari sepatah kata juga! Kalau tidak, sukarlah
sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!”
Habis
berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap terus
diperutnya itu……
Khu
Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada orang-orang
dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka
menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan
berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang
tua itu sangat luar biasa. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa
mereka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang
pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung
pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti
terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas
mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang gagah di
jamannya itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat
ketika menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha Song.
Seperginya
orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka tidak
bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba sang tengah malam
dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di arah
utara, seperti dua orang saling susul, atau sebentar kemudian, tibalah dua
orang itu di depan rumah penginapan.
Enam
orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan itu
jalan mereka memelihar diri smabil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie Peng,
yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara itu, mereka lantas berlompat bangun.
“Musuh mengejar Tam Sutee,” berkata Ma Giok.
“Berhati-hatilah semua!”
Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna
memenuhkan waktu istirahat tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar
faedahnya. Bukan saja Kwee Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat
lukanya di luar, pula tenaga dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo
beberapa jam lagi adalah tempo yang terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan
berkhawatir kapan ia mendengar perkataannya Ma Giok itu.
“Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat,” pikirnya.
“Coan Cin Cit Cu tentu bakal lantas menyerang dan mengerebuti….Aku tak dapat
keluar, untuk mencegah guna mengasih penjelasan. Bagaimana? Aku khawatir sangat
mereka ini bakal bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada
sangkutnya dengan aku sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada
sangkutannya dengan mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak……Tidakkah itu
bakal meludaskan usaha kita berhari-hari dan bemalam-malam ini, sedang ini
adalah detik-detik terakhir? Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga
jiwanya akan terancam bahaya…” Maka ia lantas berbisik di kuping lawannya itu:
“Engko Ceng, kamu mesti berjanji padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga
yang besar dan penting, kau tidak boleh keluar dari sini!”
Kwee Ceng mengangguk dengan lantas.
Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.
“Tam
Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!” Khu Cie Kee berseru.
Mendengar
nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam kitab Kiu Im
Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok untuk
pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin ketahui
kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai.
Justru
pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam
melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati
ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur pula keluar. Inilah sebab
musuhnya telah tiba dan sudah menyerang padanya.
Khu
Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, dimana mereka berdiri berendeng,
kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok sama tenaga
dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua imam ini mundur dua tindak,
lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunai Tam Cie Toan untuk
berlompat masuk.
Di
bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan rambutnya,
mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya tinggal sepotong,
entah bekas dikutungi dengan senjata apa.
Setiba
di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk bersila, untuk
bersemadhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya. Di luar pintu lantas
terdengar suara yang keras dan seram: “Imam tua she Tam, jikalau bukan nyonya
besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi kakak seperguruanmu, pasti
siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu! Perlu apa kau memancing nyonya
besarmu datang ke mari? Siapa itu barusan yang membantu padamu? Kau
terangkanlah kepada Mayat Besi dari Hek Hong Siang Sat!”
Di
tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh orang
menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang dapat
terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar suara
seperti mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu itulah tanda
Bwee Tiauw Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam. Habis itu terdengar: “Sekali tertinggal sampai pula beberapa puluh tahun…”
Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar.
Lalu Tam Cie Toan menyambungi: “Dengan rambut kusut jalan
sepanjang hari bagaikan edan.” Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng
mengawasi anggota Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan
berotot, alisnya gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar. Sebelum
menyucikan diri, ialah asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya jujur dan polos,
dari itu, gelarannya ialah Tiang Cin Cu.
Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya
seperti kera. Dialah Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. “Di
bawah pesaben haytong menanam bibit.” Dia bertubuh kecil tetapi suaranya
nyaring sekali.
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti: “Di dalam perahu
di antara daun teratai ada dewa Thay It Sian.” Ia lantas disambungi Giok Yang
Cu Ong Cie It “Tak ada beda maka boleh keluar dari batok kosong.”
Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga: “Ada
orang yang dapat sadar sebelum dilahirkan.” Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin
Sun Put Jie, katanya, “Pergi keluar sambil tertawa dan merdeka bebas.”
Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok,
“Mega di telaga See Ouw, rembulan di langit!”
Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu,
suara yang menandakan tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia:
“Mustahilkah Coan Cin Cit Cu berkumpul di sini semua? Ah, tidak bisa jadi!
Kecuali Ma Giok, suara mereka itu lain….”
Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong
pernah mendengar suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai
Coan Cin Cit Cu, dengan kupingnya ynag jeli sekali, ia bisa ingat dan
membedakan suara orang. Ia tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal pada
kupingnya. Sekarang ia mendengar suara yang lain sekali kecuali suara Tan Yang
Cu Ma Giok. Sampai sekarang ia masih belum tahu bahwa dulu hari ia telah
diperdayakan Ma Giok.
“Ma Totiang!” ia lantas menanya. “Semenjak kita berpisah,
bukankah kau baik-baik saja?”
Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik
terhadapnya, dari itu, mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang
ketua Coan Cin Cit Cu itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusuk Ciu Pek
Thong, di tengah jalan ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang lagi
berlatih. Ia tahu Tiauw Hong sangat jahat, ia memikir untuk menyingkirkan si
jahat ini dari dalam dunia. Ia berhati mulia, tak tega ia menyaksikan Tiuw Hong
berlatih dengan sasaran orang hidup. Maka ia lantas menyerang. Diluar
dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw Hong mengenali orang ada iman dari Coan Cin
Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya,
meski begitu, ia mengejar terus sampai di rumah penginapan itu.
“Terimas kasih, terima kasih!” menyahut Ma Giok. “Tho Hoa
To dengan Coan Cin Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu
bakal segera datang kemari?”
Bwee Tiauw Hong melengak.
“Untuk apa kamu menanyakan guruku?” ia menanya.
Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak:
“Perempuan siluman! Lkeas kau suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar
kenal dengan kepandaiannya Coan Cin Cit Cu!”
“Kau siapa?!” tanya Tiauw Hong gusar.
“Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?”
Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya
mencelat. Ia menyerang ke arah darimana suara jawaban itu datang, tangan
kirinya menutup diri, tangan kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala!
Kwee Ceng mengetahu lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa
serangannya itu sangat hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras
dengan keras. Akan tetapi dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau
menangkis, tidak mau berkelit, ia menjadi kaget. “Celaka!” katanya dalam
hatinya. “Kenapa Khu Totiang bernyali begini besar?”
Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee,
selagi ia menjambak itu, mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya.
Itulah
serangan berbareng dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau melanjutkan
serangannya itu, maka tangan kirinya dikibaskan, guna menangkis. Di luar
dugaannya, hebat serangan angin itu, tidak dapat ia menghalaunya, maka terpaksa
ia berlompat mumdur sambil jumpalitan. Cie Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam
im dan yang, telah menggabungkan diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia
menyangsikan itulah serangan orang Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan
pertanyaannya, “Apakah Ang Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?”
“Kitalah
Coan Cin Cit Cu!” berkata Khu Cie Kee tertawa. “Di sini mana ada Ang Cit Kong
dan Toan Hongya?”
Tiauw
Hong bertambah heran.
“Si
imam tua she Tam bukan tandinganku, kenapa di antara saudara-saudaranya ada
yang begini lihay?” pikirnya. “Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa
memperdulikan tingkatan mereka tua atau muda?”
Kwee
Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan oleh Lauw Cie
ian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin terpental mundur. Ia
menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat Besi. Memang cuma Ang Cit Kong,
Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong yang mempunyai tenaga demikian
besar. Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah aneh…
Tiauw
Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak takut siapa
juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali ini.
Setelah berdiam sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia mengsaih keluar
cambuk lemasnya, Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si Naga Beracun.
“Ma Totiong, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang
ajar!” katanya.
“Kata-kata yang baik!” Ma Giok menjawab.
“Aku hendak menggunia senjata, maka itu, kamu hunuslah
senjata kamu!” kata si buta.
“Kami bertujuh, kau sendirian,” berkata Ong Cie It. “Kau
pun tidak bisa melihat apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat
menggunakan senjata. Kami akan tetap duduk bersila, kau majulah!”
Tiauw Hong bersuara dingin.
“Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk
diam saja?” tanyanya.
“Ah,
perempuan siluman!” Cie Kee membentak. “Malam ini malam ajalmu tiba, buat apa
kau masih banyak omong lagi?”
“Hm!”
Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun, hingga
cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang banyak
gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar berlegot.
Oey
Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu cambuknya
Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau melayani tanpa senjata
dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol masing-masing. Ia menjadi ingin
melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar kawan itu menyingkir. Buat ia menggantikan
mengintai. Begitu ia menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk, ia menjadi
heran.
“Itulah
keletakan bintang-bintang Pak Tauw,” pikirnya. “Ah, tidak salah, barusan Khu
Totiang menyebutkan tentang Thian kong Pak Tauw. Inilah rupanya barisan itu.”
Oey
Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia membawanya
berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di pangkuannya,
sering ia menunjuk ke langit dan membritahukan kepada si anak tentang
bintang-bintang. Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu, maka sekarang,
dengan sekali lihat, ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini telah menempatkan diri
sebagai tujuh bintang Pak Tauw itu, bintang-bintang Utara.
Di
antara tjuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie, Tam Cie Toan
thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee thian-koan, sedang Ong
Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan Sun Put Jie yauw-kong. Kedudukan
thian-koan paling penting, dia yang menghubungi yang tiga dengan yang tiga
lagi, dari itu kedudukan ini ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya
paling lihay. Yang kedua yang penting ilaha giok-heng, maka itu diambil Ong Cie
It.
Oey
Yong sangat cerdas, selagi Kwee ceng mengwasi sekian lama tapi tak mengerti
suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti. Tujuh imam itu
menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung sama tangan kanan. Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee Ceng, guna membantu
pemuda ini mengobati diri.
Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun
Put Jie. Kelihatannya saja perlahan, ancamnannya sebenarnya hebat. Imam wanita
itu tetap tidak bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang, di
situ ia mendapatkan sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia berpikir:
“Coan Cin Kauw ada dari kalangan murni, kenapa jubahnya sama dengan jubah Tiauw
Hong dari kalangan sesat?” Ia pasti tidak tahu, tempo Ong Tiong Yang menerima
muridnya ini, dia telah menghadiahkan gambar tengkorak dan murid ini, yang
ingat budi gurunya, lantas menyulamkan itu pada jubahnya.
Disaat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian
gigi dari tengkorak di jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik
sendirinya, berbalik dengan kaget bagaikan kepala ular kena dibacok, bagaikan
anak panah melesat, menyambar kepada pemiliknya!
Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya,
sebab tangannya itu bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk
lewat di atas rambutnya. “Sungguh berbahaya..” ia kata dalam hatinya. Sesudah
itu baru ia dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu menyerang ke arah Ma
Giok dan Khu Cie Kee.
Dua-dua imam itu duduk diam adalah Tam Cie Toan dan Ong
Cie It yang menyerang dan membuatnya cambuk mental.
Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu
imam menangkis, ia menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di
pundak seorang saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan
caranya sendiri mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung
tenaganya melawan Bwee Tiauw Hong satu orang.
Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw
ini adalah semacam ilmu kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah
karya ciptaannya Ong Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya melatih diri
dengan bersusah payah dan mengambil tempo lama. Untuk melayani lawan, tak usah
orang diserang sendiri yang menangkis atau berkelit, hanya kawan di sampingnya
yang membalas menyerang, kalau kawan ini menyerang, tenaganya jadi berlipat
ganda kuatnya, sebab ia dibantu oleh yang lain-lainnya.
Tiauw Hong mencoba kagi beberapa kali, habis itu,
berbareng heran, ia menjadi berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia
menyerang, bukan lagi cambuknya dibikin terpental seperti semula hanya seperti
ditarik, meski ia masih dapat menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk
seperti diperciut. Sia-sia ia mencoba untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia
merasa dirinya terancam tetapi ia masih penasaran. Tak mau ia membiarkan
cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang melawannya sambil duduk bercokol saja.
Tapi karena ia penasaran an bersangsi, ia melenyapkan saatnya yang baik. Coba ia
melepaskan cekalannya dan lompat mundur, tentu ia selamat……
Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali
oleh pemegang pusat thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan
ketujuh imam itu bergeraknya semakin cepat.
Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus
melawan, ia bakal celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga
cambuknya. Tetapi sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas menarik
dengan kares. Dengan menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding tembok, hingga
rumah penginapa itu bergetar, genting-gentingnya pada berbunyi, debu meluruk
jatuh. Menyusul itu tubuhnya Tiauw Hong terbetot satu tindak ke depan.
Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang
memutuskan. Kalau tadi ia melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula
mundur, ia bisa memutar tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul
tetapi tidak nanti ia tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba
membela diri. Ia menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok tangannya Sun
Put Jie dan Ong Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay Thong pun menyerang
dari belakang. Ia majukan kaki kirinya setengah tindak, sambil berseru nyaring,
ia menerbangkan kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia menendang
lengannya kedua imam yang belakangan itu, di jalan darah gwa-kwan dan
hwee-cong.
“Bagus!” Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
“Bagus!” Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki
kirinya sudah bergerak pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie
Kee dan Cie It. Ketika kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak.
Dengan begini berarti ia telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya ketujuh
imam. Itu artinya, kecuali ia dapat merobohkan salah satu musuh, ia tidak
mempunyai jalan lagi untuk nerobos keluar dari dalam barisan itu.
Oey
Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan Tiauw Hong
dengan rambut panjang ynag awut-awutan itu, berlompatan pergi datang dan tangan
dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya. Hebat setiap jambakan dan
tendangannya itu mengasih dengar suara angin. Tidak peduli segala gerakannya
itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan
mereka yang ekerja, saling sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat
Besi.
Bwee
Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu silatnya, yaitu
pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran Cwie-sim-ciang yang dahsyat,
ia terus mencoba untuk menerjang keluar tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia
tertolak mundur. Saking gusarnya, ia sampai berkoak-koak secara aneh.
Sekarang
ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup mereka melakukan satu
penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu diantaranya, tidak mau
menurunkan tangan yang terakhir.
Mulanya
Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sabar.
“Ah,
aku mengerti sekarang!” katanya dalam hatinya. “Terang mereka ini meminjam Bwee
Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari orang yang
sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini. Rupanya mereka hendak
membikin lawannya letih hingga mati sendirinya baru mereka mau berhenti……..”
Dugaan
nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai memakai Tiauw Hong
sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan, itulah mereka tak pikir.
Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan.
Sampai
di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak berkesan baik
terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh ia tak tega mengawasi
lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat mengintainya kepada Kwee Ceng. Maka
sekarang ia cuma mendengar, angin serangan sebentar keras sebentar kendor,
tandanya pertempuran masih berlanjut terus.
Kwee
Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya ke tujuh
imam itu.
“Mereka
menggunai kedudukan bintang Pak Tauw,” Oey Yong membisiki. “Apakah belum pernah
melihatnya?”
Baru
sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari Kiu Im Cin-keng.
Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi
tertarik hingga tanpa merasa ia berlompat bangun.
Oey Yong kaget, segera ia menahan.
Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia
masih mengintai pula. Sekarang ia mengerti betul kegunannya barisan Thian Kong
Pak Tuaw itu. Ketika di Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong menempur Auwyang
Hong ia memperoleh kemajuan besar, kali ini ia mendapatkan kemajuan serupa,
dengan begitu, pengetahuannya menjadi bertambah.
Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak
dapat bertahan pula. Dilain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya
berkurang, mereka mulai kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang.
“Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah
untuk aku mencoba-coba?” demikian suara itu.
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang
Hong. Entah kapan datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu.
Juga Coan Cin Cit Cu kaget semuanya, dengan serentak
mereka melirik ke arah pintu. Di samping pintu itu berdiri berendeng dua orang,
yang satu bajunya hijau yang lainnya putih. Mereka mengetahui akan adanya
musuh-musuh yang tangguh, dengan berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng
mereka menghentikan pertempuran untuk berbangkit berdiri.
“Bagus
betul” berkata Oey Yok Su, “Tujuh rupa bulu campur aduk ini mengepung satu
muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran kepada mereka, bisakah
kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?”
Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti: “Mereka yang terlebih
dulu tidak menghormati kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari
ilmu kepandaianmu, pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya
pemilik dari Tho Hoa To!”
Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa
San, heran ia mendapatkan orang muncul berbareng dengan tiba-tiba, hendak ia
maju untuk memberi hormat, atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan
terayun. Ia hendak menangkis tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu suara
“Plok!” pipinya kena digaplok, tubuhnya lantas terhuyung, hampir ia menubruk
lantai.
Khu
Cie Kee kaget sekali. “Lekas kembali ke tempat masing-masing!” ia berseru.
Akan
tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau plak-plok tak
hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian, Cek Tay Thong
dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong Cie It. Setelah itu bayangan
pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu sendiri, demikian rupa, hingga tak tahu
ia bagaimana harus menangkisnya, maka tidak ayal lagi, ia mengibas tangannya,
mengarah dadanya Oey Yok Su!
Khu Cie Kee adalah yang terpandai
dari Cit Cu, Oey Yok Su memandang ia terlalu enteng, maka dadanya itu kena
terkibas hingga ia merasakan sakit. Dengan sebat ia menutup diri, lalu dengan
tangan kirinya menyambar tangan baju si penyerang, tangan kanannya mencari biji
mata lawan itu.
Khu
Cie Kee meronta sekuatnya, ujung bajunya itu robek.
Itu
waktu Ma Giok maju bersama Ong Cie It, akan tetapi Oey Yok Su sudah berlompat
ke belakang Cek Tay Thong, ketika kakinya dilayangkan, Kong Leng Cu roboh
jungkir balik!
Di
dalam kamar rahasia, Kwee Ceng menyerahkan lubang intaian kepada Oey Yong, maka
giranglah nona ini menyaksikan ayahnya menunjuki kepandaiannya itu, coba ia
tidak ingat kawannya mesti menanti lagi satu dua jam untuk nsembuh betul,
tentulah ia sudah menepuk tangan bersorak-sorai.
Adalah
Auwyang Hong yang berdiri di pintu sambil tertawa berkakakan, dengan mulutnya
dibuka lebar-lebar: “Yang Ong Tiong Yang terima adalah ini segerombolan kantung
nasi!”
Cie
Kee penasaran sekali. Semenjak belajar silat, belum pernah ia dikalahkan begini
rupa.
“Berdiri rapi di tempat masing-masing!” ia berteriak
pula.
Akan tetapi Oey Yok Su tidak sudi memberikan kesempatan.
Ia bergeraak ke timur dan barat, ia menyerang kalang-kabutan hingga semua
lawannya itu menjadi kelabakan, barisannya tidak dapat diatur pula. Bahkan
pedangnya Ma Giok dan Tam Cie Toan telah dipatahkan Tong Shia dan dilemparkan
ke lantai.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It lantas merangsak dengan
pedang di tangan masing-masing. Itulah jurus yang istimewa dari ilmu pedang
Coan Cin Pay.
Oey Yok Su tidak berani memandang enteng lagi, ia
berkelahi dengan hati-hati.
Ma Giok cerdik, diam-diam ia menggunai ketika akan lompat
ke dudukan thian-kie dan terus saja ia memegang pimpinan. Tam Cie Toan dan Lauw
Cie Hian lantas menyusul mengambil kedudukan mereka. Perbuatan mereka ini
lantas diikuti oleh yang lain-lainnya.
Sebentar saja, barisan Thian Kong Pak Tauw lantas teratur
rapi. Dengan begitu, jalannya pertempuran juga berubah menjadi lain. Thian Koan
bersama giok-heng lantas menhadapi lawan di depan, thian-kie dan kay-yang yang
terus menyerang dari samping, sedang yauw-kong dan thian-soan di belakang turut
merangsak. Cie Kee maju di bantu Cie Peng.
Oey Yok Su meseti melayani musuh di empat penjurunya.
“Saudara Hong!” katanya tertawa. “Ong Tiong Yang toh
dapat meninggalkan ini macam ilmu kepandaian!”
Tong Shia bicara sambil tertawa, meski begitu, ia
merasakan lawan menjadi beda, tenaga mereka itu menjadi besar sekali. Maka
sekarang ia bersilat dengan Lok Eng Ciang-huat, ia berputaran di dalam Thian
Kong Pak Tauw itu, hingga tubuhnya seperti melayang-layang dan tangannya
beterbangan…
Oey Yong mengenali ilmu silat ayahnya itu.
“Ketika ayah mengajari ilmu silat ini, aku menyangka
hanya ilmu kosong dan satu berisi atau tujuh berisi dan satu kosong,” katanya
di dalam hati, “Tidak tahunya setelah dipakai bertempur benar-benar, semua lima
kosong dan tujuh berisi itu dapat diubah pergi pulang.”
Pertempuran ini besa sekali dengan perlawanan Tiauw Hong
tadi. Si nona menonton sambil menahan napas. Bahkan Auwyang Hong yang lihay pun
turut ketarik sampai ia menjadi kagum sekali.
Selagi orang bertaruh seru itu, tiba-tiba terdengar satu
suara jeritan, “Aduh!” disusul mana tubuh jatuh terguling. Nyata korban itu
ialah In Cie Peng. Dia tidak sanggup melayani Oey Yok Su berputaran, matanya
kabur, kepalanya pusing, dunia dirasakan bagai berputar, di depan matanya entah
ada berapa banyak musuhnya itu, diakhirnya, setelah penglihatannya gelao, tidak
ampun lagi ia roboh sendirinya!
Coan Cin Cit Cu memusatkan pikiran mereka. Mereka tahu,
asal ada satu saja yang hatinya goncang, mereka tidak bakal ketolongan lagi,
atau Coan Cin Pay bakal runtuh dan musnah.
Oey Yok Su pun gelisah. Ia sudah kepalang, ia bersangsi
untuk bertempur terus atau berhenti. Perlawanan hebat dari Khu Cie Kee beramai
itu membuat kedua pihak sama unggulnya.
Sementara itu ayam-ayam sudah berkokok dan sinar matahari
mulai mengintai di arah timur.
Dengan lewatnya sang waktu itu, selesai sudah batas tempo
istirahatnya Kwee Ceng. Ia telah sembuh dan memperoleh kembali kesehatannya
seperti sediakala. Di luar kamarnya orang bertempur umpama kata langit terbalik
dan bumi ambruk tetapi ia sendirinya tetap tenang, ia duduk diam. Baru sesaat
kemudian, ia mengintai ke luar kamar rahasianya, atau ia menjadi terkejut.
Oey Yok Su bertindak dengan perlahan, kakinya mengikuti
garis patkwa, atau segi delapan, setiap gerakan tangannya berlahan juga. Ketika
Oey Yong menggantikan Kwee Ceng mengintai, ia tahu betul ayahnya lagi
menggunakan ilmu silatnya yang tak sembarang dipakai.
Segera juga bakal datang saat yang memutuskan.
Coan Cin Cit Cu berkelahi dengan seantero tenaganya.
Mereka pun menginsyafi bahaya yang tengah mengancam mereka. Berkali-kali mereka
mengasih dengara suara satu sama lain, untuk mengasih isyarat, guna menambah
semangat masing-masing. Di batok kepala mereka mulai terlihat hawa panas
mengkedus, sedang jubah mereka telah basah kuyup. Hilanglah ketenangan mereka
sebagaimana tadi mereka melayani Bwee Taiuw Hong.
Auwyang Hong terus menonton sambil ia memperhatikan
barisannya imam-imam dari Coan Cin Kauw itu. Ia mengharap-harap Oey Yok Su
nanti mengurus semua tenaganya hingga ia mendapat luka di dalam. Dengan begitu,
kapan kembali di adakan rapat besar di Hoan San, rapat yang kedua, untuknya akan
kurang satu lawan yang tangguh. Akan tetapi Tong Shia benar-benar lihay, meski
Khu Cie Kee semua bekerja sekerasnya, mereka itu masih tidak dapat merampas
kemenangan.
Menyaksikan pertempuran yang sangat memakan tempo itu,
Auwyang Hong menjadi tidak sabar. Dasarnya ia berbisa, setelah berpikir sekian
lama, ia mendapat satu akal licik.
Pertempuran itu berjalan semakin perlahan, tapi itu
tandanya bahwa bahaya semakin dekat.
Oey Yok Su bekerja terus, nyata sekali terlihat ia
menyerang dengan kedua tangannya kepada Sun Put Jie dan Tam Cie Toan. Kedua
imam itu mengangkat tangan mereka untuk menangkis. Mereka segera dibantu Lauw
Cie Ian dan Ma Giok.
Justru itu, mendadak See Tok bersiul panjang dan terus
berseru: “Saudara Yok, aku bantu kau!” menyusul suaranya itu ia berjongkok,
segera dengan kedua tangannya ia menolak ke arah Tam Cie Toan!
Tiang Ci Cu tengah memusatkan perhatiannya terhdapa Oey
Yok Su, ia telah mengerah tenaganya untuk menangkis serangan Tong Shia, ketika
mendadak ia merasakan benturan keras di belakangnya, jangan kata untuk
menangkis, berkelit saja sudah tidak keburu, maka itu dengan menerbitkan suara,
ia roboh tengkurap.
Oey Yok Su menjadi gusar sekali.
“Siapa menghendaki bantuanmu!” ia menegur See Tok.
Ketika
itu Khu Cie Kee dan Ong Cie It menyerang dengan berbareng. Tong Shia mengibas
untuk menangkis atau tangannya yang kanan bentrok sama perlawanannya Ma Giok
dan Cek Tay Thong, yang pun menyerang kepadanya.
Auwyang
ong tertawa.
“Kalau
begitu, biarlah aku bantui mereka!” seruanya. Sambil berkata begitu, dengan kedua tangannya benar-benar ia menyerang si
Sesat dari Timur itu. Kalau tadi ia menyerang Tam Cie Toan dengan menggunai
tenaga tiga bagian, sekarang ia menggerahkan tenaganya dengan sepenuhnya. Itu
pun saat Oey Yok Su tengah menghadapi empat lawannya. Ia mengharap hajaran ini,
satu kali saja, akan menamatkan riwayatnya pemilik dari pulau Tho Hoa To itu.
Akal yang ia bertelurkan dari batok kepalanya ialah lebih dulu menjatuhkan
salah satu Coan Cn Cit Cu, baru ia membokong Oey Yok Su. Ia sudah memikir
matang, setelah Thian Kong Pak Tauw Tin pecah, dengan Oey Yok Su sudah mati,
walaupun imam-imam dari Coan Cin Kauw itu murka, ia tidak usah takuti mereka.
Oey Yok Su kaget sekali. Ia tidak menyangka Auwyang Hong
dapat berlaku demikian. Ia menghadapi kesulitan. Tidak bisa ia meninggalkan
empat musuhnya di depannya itu, umpama kata ia memutar tubuhnya, untuk melayani
Auwyang Hong, ia bisa celaka. Maka itu tidak ada jalan lain, ia mencoba menutup
diri seraya mengerahkan tenaga di punggungnya, guna terpaksa menerima serangan
Kap-mo-kang, ilmu silat Kodok, dari si Bisa dari Barat yang licin itu.
Auwyang Hong girang sekali melihat Tong Shia mau
mempertahankan diri dari serangannya yang dahsyat itu. Itu pun artinya akal
busuknya berhasil. Tapi justru ia lagi bergirang itu, mendadak ia melihat
berkelebatnya satu bayangan hitam, yang mencelat dari samping, bayangan mana
berlompat ke belakangnya Oey Yok Su, untuk mewakilkan Tong Shia menyambuti
serangannya itu!
Segera setelah serangan Auwyang Hong itu ada yang
tangkis, dua-dua Oey Yok Su dan keempat imam lawannya menghentikan pertempuran
mereka sambil lompat minggir, untuk memisahkan diri. Kapan mereka telah melihat
tegas, nyata orang yang berkorban untuk Tong Shia ialah Bwee Tiauw Hong!
Oey
Yok Su menoleh kepada See Tok, ia tertawa dingin.
“Benar-benar
si Bisa Bangkotan ternama tak mengecewakan,” katanya mengejek.
Auwyang
Hong sendiri berulang-ulang menyatakan, “Sayang, sayang!” di dalam hatinya. Ia
menyesal bukan main yang serangannya itu gagal, sebab lain orang yang menjadi
korban. Dasar licik, ia mengerti bahaya. Ia tidak mau melayani Oey Yok Su. Ia
mengerti baik sekali, kalai Oey Yok Su bergabung dengan semua imam itu, itu
berarti ia menghadapi bencana jiwa. Maka juga ia tertawa nyaring dan panjang,
sembari tertawa itu ia memutar tubuh untuk berlompat keluar, buat terus
menangkat langkah seribu!
Ma
Giok lantas menghampirkan Tam Cie Toan, ia membungkuk untuk mengangkatnya.
Segera juga ia menjadi kaget. Tubuh adik seperguruannya itu lemas sekali dan
kepalanya pun teklok. Auwyang Hong telah menghajar orang hingga tulang-tulang
iga serta punggungnya patah. Kakak ini lantas mengucurkan air mata, sebab ia
merasa pasti, adik seperguruannya itu tidak bakal dapat ditolong lagi.
Khu
Cie Kee yang bertabiat keras berlompat keluar dengan membawa pedangnya, ia mau
menyusul See Tok, untuk menyerang si bisa yang jahat itu, tetapi dari tempat
yang jauh ia cuma mendengar suara orang: “Oey Lao Shia, telah aku membantu kau
memecahkan barisan istimewa warisannya Ong Tiong Yang, aku pun sudah mewakilkan
kau menghukum mati murid Tho Hoa To yang murtad, maka itu, sisanya enam imam
campur aduk, kau sendiri pun dapat melayaninya. Sampai ketemu pula!”
Oey Yok Su mengeluarkan suara di hidung. Ia tahu,
kata-kata terakhir dari See Tok ini ada untuk membakar hatinya dan kawanan Coan
Cin Kauw itu, supaya mereka murka dan menumpleki kemurkaannya terhadapnya. Tapi
ia pun besar kepala, tidak sudi ia memberi keterangan kepada Ma Giok semua. Ia
hanya menghampirkan mayatnya Bwee Tiauw Hong, ia mengangkatnya dengan
perlahan-lahan. Murid itu telah memuntahlan darah hidup, kelihatannya ia tidak
bisa hidup lebih lama lagi.
Khu Cie Kee mengubar sampai beberapa puluh tembok,
Auwyang Hong entah telah kabur kemana. Ketika itu, Ma Giok berulang-ulang
memanggil ia pulang, maka ia kembali dengan tindakan lebar. Ia masih gusar
sekali, kedua matanya terbuka besar dan bersinar merah. Segera ia menuding Oey
Yok Su.
“Coan Cin Kauw kami denganmu ada bermusuhan apa?!” ia
menegur dengan bengis. “Oh, iblis tersesat yang jahat sekali! Mulanya kau
membinasakan Ciu Susiok kami, sekarang kau mencelakai Tam Sutee kami ini.
Apakah artinya perbuatanmu, hai manusia sesat?”
Ditegur begitu, Oey Yok Su melengak.
“Kau maksudkan Ciu Pek Thong?” akhirnya ia menanya. “Kau bilang aku membinasakan dia?”
“Apakah kau masih mau menyangkal?” Cie Kee mendesak.
Oey Yok Su tahu di sini ada salah mengerti, tetapi ia
membungkam, ia cuma tertawa dingin. Sebenarnya bersama-sama Ciu Pek Thong dan
Auwyang Hong, ia lagi mengadu lari, sesudah beberapa ratus lie dilalui, mereka
masih seri. Niat mereka semula adalah mengagu terus sampai ada keputusan siapa
yang menang, tetapi mendadak, Ciu Pek Thong menghentikannya setengah jalan.
Inilah disebabkan Loo Boan Tong tiba-tiba ingat Ang Cit Kong, ynag ditinggalkan
seorang diri di dalam istana kaisar. Berbahaya kalau
Pengemis dari Utara itu sampai kena dipergoki penghuni istana. Bukankah ia
telah habis ilmu silatnya? Maka itu ia kata kepada kedua lawannya: “Loo Boan
Tong ada mempunyai urusan, kita berhenti saja, kita jangan mengadu lari lebih
jauh!” Kata-kata ini ialah kepastian, Oey Yok Su dan Auwyang Hong tidak dapat
memaksakan, untuk itu, ia dibiarkan lari. Oey Yok Su berniat menanyakan Ciu Pek
Thong tentang putrinya, karena kepergian si orang tua berandalan dan jenaka
itu, ia menjadi batal menanyakan.
Ketika itu sia-sia belaka Tam Cie Toan menyusul mereka
itu bertiga, ia tidak dapat melihat sekalipun bayangan orang, sebaliknya Oey
Yok Su semua mengetahui dan melihat ia jelas sekali, maka itu seberlalunya Loo
Boan Tong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong lantas kembali ke Gu-kee-cun. Kebetulan
sekali, sesampainya mereka di rumah penginapan, mereka dapat menyaksikan Coan
Cin Cit Cu lagi menempur Bwee Tiauw Hong. Biar bagaimana, Tong Shia tidak bisa
membiarkan muridnya bercelaka, maka itu, diakhirnya ia yang turun tangan
sendiri. Di luar segela dugaan, kesudahannya ada demikian hebat.
Selagi Khu Cie Kee kalap itu, Sun Put Jie menangiskan Tam
Cie Toan. Yang lain-lain pun gusar sekali, hingga mereka semua mau mengadu
jiwa.
Tiba-tiba Tam Cie Toan membuka matanya dan berkata: “Aku
mau pergi…”
Khu Cie Kee semua lantas menghampirkan, mereka
mengerubungi saudara seperguruan itu.
Tam Cie Toan bersenandung lemah, lalu ia menarik napasnya
yang penghabisan, matanya meram.
Keenam Cu bertunduk, untuk memujikan arwahnya saudara
itu. Habis itu Ma Giok memondong tubuh suteenya, buat dibawa pergi. Khu Cie Kee
semua mengikuti tanpa bersuara, tanpa berpaling lagi ke belakang, mereka keluar
dari rumah penginapan itu dan pergi.
Oey Yok Su heran sekali, ia tidak tahu permusuhan apa di
antara ia dan Coan Cin Kauw, tetapi ketika ia melihat Bwee Tiauw Hong bernapas
empas-empis, ia menjadi berduka. Biar bagaimana Tiauw Hong adalah muridnya,
mereka telah hidup bersama buat beberapa puluh tahun. Murid itu pun telah
berkorban untuknya. Pada dasarnya, ialah seorang yang jujur, maka itu, dalam
kedukaannya itu, ia menangis menggerung-gerung.
Bwee Tiauw Hong dapat mendengar tangis gurunya itu, ia
mengerti, lantas ia tersenyum. Ia tidak mengatakan apa, hanya dengan
mengerahkan tenaga terakhir, dengan tangan kanannya ia mematahkan lengannya
yang kiri, setelah mana dengan tangan kanan itu ia menghajar batu itu hancur
dan lengannya pun patah pula.
Menyaksikan perbuatan muridnya itu, Oey Yok Su
tercengang.
“Suhu,” berkata sang murid, “Ketika di Kwei-in-chung suhu
menitahkan muridmu melakukan tiga macam perbuatan, dua yang lain muridmu tak
keburu melakukannya…..”
Oey Yok Su lantas ingat akan tiga macam titahnya itu,
ialah pertama mencari pulang kitab Kiu Im Cin-keng yang telah hilang, kedua
mencari Liok Leng Hong serta dua muridnya yang lainnya, dan yang ketiga, yaitu
yang terkahir, muridnya ini dimestikan membayar pulang ilmu silat yang didapat
dari Kiu Im Cin-keng itu. Sekarang dengan mematahkan kedua tangannya itu, Bwee
Tiauw Hong menepati perintah gurunya, sebab dengan tangannya patah maka
musnahlah juga kepandaiannya Kiu Im Pek-kut Jiauw seri Cwie-sim-ciang.
Lantas sang guru tertawa terbahak.
“Bagus, bagus!” katanya. “Dua yang lain itu sudah tidak
ada artinya lagi! Sekarang mari aku terima pula kau menjadi murid dari Tho Hoa
To!”
Tiauw Hong menginsyafi ia telah tersesat, maka itu
mendengar gurunya memberi ampun dan suka menerima ia kembali, ia girang bukan
main, dengan memaksakan diri ia merayap bangun, untuk memberi hormat kepada
guru itu sambil paykui beberapa kali, ketika ia mengangguk untuk ketiga
kalinya, tubuhnya rebah tak bangun pula.
OeyY ong dari kamar rahasia telah menyaksikan itu semua,
ia disandingkan pelbagai perasaan. Hebat apa yang ia telah saksikan itu,
semuanya mengagetkan dan mengharukan. Dilain pihak, ia mengharap-harap ayahnya
itu nanti berdiam sedikit lama pula, supaya ia bersama Kwee Ceng dapat keluar
untuk menemuinya. Kwee Ceng itu tinggal menanti berkumpulnya hawa di pusarnya.
Oey Yok Su sudah lantas mengangkat tubuhnya Bwee Tiauw
Hong, untuk dipondong.
Hampir di itu waktu, di luar rumah terdengar suara
meringkiknya kuda. Oey Yong mengenali, itulah kuda merah yang kecil kepunyaan
Kwee Ceng. Menyusuli suaranya Sa Kouw, yang berkata: “Inilah dusun Gu-kee-cun!
Mana aku tahu di sini ada orang she Kwee atau tidak………?”
Lalu terdengar suaranya seorang yang lain: “Di sini toh
cuma ada beberapa buah rumah! Mustahil kau tidak kenal semuanya penduduk sini?”
Agaknya orang itu tidak sabaran, karena ia lantas saja
menolak pintu dan bertindak masuk.
Oey Yok Su menempatkan diri di belakang pintu, ketika ia
melihat orang yang masuk itu, air mukanya berubah. Orang adalah Kanglam Liok
Koay yang telah ia cari dengan susah payah.
Kanglam Liok Koay sudah pergi ke Tho Hoa To, lantas
mereka berputar-putar, tidak juga mereka berhasil mencari rumahnya pemilik
pulau Bunga Tho itu, baru kemudian mereka bertemu sama satu bujang yang gagu
dari siapa mereka ketahui majikannya pulau itu tengah bepergian. Kemudian lagi
Kanglam Liok Koay melihat kuda merah dari Kwee Ceng terlepas merdeka di dalam
rimba, mereka lalu membawanya sampai di dusun Gu-kee-cun ini, dimana mereka
bertemu sama Sa Kouw, si nona tolol.
Kwa Tin Ok sangat jeli kupingnya, begitu masuk di pintu,
ia mendapat dengar suara orang bernapas di belakang pintu itu, maka segera ia
memutar tubuhnya, dituruti oleh lima saudaranya. Dengan lantas mereka melihat
Oey Yok Su menhadang di ambang pintu seraya tangannya memodong Bwee Tiauw Hong.
Oey Yok Su rupanya mau mencegah keenam orang luar biasa dari Kanglam itu
melarikan diri…..
“Oey Tocu baik?” Cu Cong lantas menanya. “Sudah lama kita tidak bertemu! Kami berenam telah memenuhi janji untuk
bertemu di Tho Hoa To, sayang tocu tidak ada di rumah, tetapi hari ini
kebetulan bertemu di sini, kami merasa sangat beruntung!”
Habis berkata begitu, si Mahasiswa Tangan Lihay lantas
menjura dalam.
Oey Yok Su berniat membunuh Liok Koay, sekarang ia
menampak pula muka pucat pasi dari Tiauw Hong, ia berpikir: “Liok Koay ini
musuh besar dari Tiauw Hong, siapa nyana sekarang Tiauw Hong mendahului mereka
mati, meski begitu, sekarang aku mesti membuatnya ia membinasakan musuhnya
dengan tangannya sendiri, supaya ia mati dengan meram…..”
Maka itu tangan kanan tetap memondong tubuh muridnya,
dengan tangan kiri ia mengangkat tangan yang patah dari muridnya itu, tangan
yang hanya tersambung dengan kulit daging, sembari berbuat begitu ia melompat
ke sampingnya Han Po Kie, untuk dengan cepat sekali, dengan tangannya Tiauw
Hong itu, menghajar bahu kanan si Malaikat Raja Kuda.
Han Po Kie kaget bukan main, sampai dia tidak sempat
berkelit atau menangkis. Hebat ia kena dihajar, benar lengannya tidak sampai
patah tetapi sesaat itu dia tidak dapat menggeraki tangannya itu.
Liok Koay kaget dan gusar karena sikapnya Oey Yok Su ini,
yang menyerang tanpa bicara lagi, maka itu mereka pun lantas balik menyerang.
Han Po Kie turut maju setelah ia merasa tangannya lebih ringan. Mereka
berseru-seru sambil mereka menghunus senjatanya masing-masing. Mereka mengurung
dengan rapi.
Oey Yok Su mengangkat tinggi tubuhnya Bwee Tiauw Hong, ia
seperti tidak menghiraukan pelbagai alat senjata yang aneh dari enam jago dari
Kanglam itu.
Han
Siauw Eng adalah orang pertama yang diserang pemilik Tho Hoa To itu. Ia kaget
ketika ia melihat mukanya Bwee Tiauw Hong, yang matanya mendelik, rambutnya
riap-riapan, mulutnya penuh darah. Itulah roman mayat yang sangat menyeramkan.
Tangan Tiauw Hong pun diangkat tinggi-tinggi, mengancam batok kepalanya. Tanpa
merasa ia menjadi lemas kaki dan tangannya.
Lam
Hie Jin dan Coan Kim Hoat menyaksikan saudara angkat mereka terancam, dengan
berbareng mereka menyerang tangannya Tiauw Hong itu. Mereka menggunai pikulan
serta bandulan besi dacin mereka.
Oey
Yok Su sebat luar biasa, dengan cepat ia menarik pulang tangan kanan Tiauw Hong
itu, untuk dengan tangan kirinya menghajar terus Siauw Eng.
Ahli
pedang Gadis Wat itu tengah tidak berdaya, maka pinggangnya menjadi sasaran, ia
kesakitan hingga tubuhnya melengkung jongkok.
Han
Po Kie maju dari samping, untuk menyerang dengan cambuknya, Kim-liong-pian,
atau cambuk Naga Emas. Oey Yok Su mengangkat kaki kirinya, ia bergerak sebat,
tetapi toh kaki itu toh kena kelibat. Hanya Han Po Kie, meski ia mengeluarkan
seluruh tenaganya, tidak sanggup ia menarik kuda-kudanya Tong Shia. Dilain
pihak, tangan berkuku dari Bwee Tiauw Hong telah menyambar ke mukanya. Ia kaget
sekali, ia melepaskan libatan cambuknya, ia berkelit sambil berlenggak terus
menjatuhkan diri bergulingan. Meski begitu, ia merasakan mukanya panas dan
sakit, ketika ia meraba ke mukanya itu, tangannya penuh darah. Sebab lima
kukunya Tiauw Hong berhasil menyambar mukanya. Syukur untuknya, Tiauw Hong
sudah menjadi mayat dan jambakannya itu bukannya jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah
beberapa jurus, Liok Koay lantas jatuh di bawah angin. Coba tidak Oey Yok Su
menghendaki membinasakan musuh dengan tangannya Tiauw Hong sendiri, mungkin
mereka sudah bercelaka. Sekarang mereka hanya terancam bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar