Bab 37
Mendadak Kwee Ceng merasa hatinya
goncang dan mukanya panas. Ia lekas-lekas memusatkan pula perhatiannya, hingga
hatinya menjadi tenang pula. Ia sekarang mendapat kenyataan, walaupun hebat
suaranya tiat-ceng, suara itu tidak dapat menindih melenyapkan seruling, yang
perlahan tetapi tegas. Maka juga heran, dua suara terdengar berbareng. Kalau
suara tiat-ceng ada bagaikan pekiknya kera diatas gunung atau mengalunnya hantu
iblis di tengah malam buta rata, suara seruling ada laksana bunyinya burung
hong atau kasak-kusuknya si nona manis di dalam
kamarnya. Kedua suara itu tinggi dan rendah, keras dan perlahan, maju dan
mundur, sama-sama tidak mau mengalah…..
Oey Yong ketarik hatinya, ia
menonton sambil tertawa geli. Ia mengawasi orang memintil tiat-ceng dan meniup
seruling. Lama-lama, ia pun merasa aneh. Lama-lama, wajahnya kedua orang yang
tengah mengadu tetabuhan itu berubah menjadi bersungguh-sungguh, menjadi
tegang. Ia lantas melihat ayahnya dari duduk menjadi bangun berdiri, meniup
serulingnya sambil bertindak, bertindak ke delapan penjuru menuruti kedudukan
pat-kwa, segi delapan. Ia tahu itulah dasar kedudukan ayahnya setiap waktu
ayahnya melatih diri dalam ilmu dalam. Teranglah musuh itu lihay sekali maka
ayahnya mengambil tindakan itu.
Kemudian
si nona memandang ke arah Auwyang
Hong. Juga jago dari Barat ini
menunjuki wajah dan sikap bersungguh-sungguh. Dari kepalanya terlihat hawa
mengepul naik seperti uap, itulah hawa panas mengkedus yang keluar naik. Dengan
kedua tangannya dia menerus mementil alat tetabuhannya, sampai ujung bajunya
menerbitkan suara angin. Nyata sekali dia tidak berani berlaku alpa.
Kwee Ceng di tempat
persembunyiannya memasang kuping, ia tidak mengerti ada apa hubungannya di
antara seruling dan tiat-ceng itu. Ia heran kenapa masing-masing suara alat
tetabuhan itu dapat mempengaruhkan orang menjadi tidak tenang. Di dalam ketenangan, perlahan-lahan ia dapat
membedakan juga. Kedua suara itu seperti lagi serang, keras lawan lemah, lemah
melawan keras. Sebentar kemudian, lantas ia mengerti seluruhnya.
“Tidak
salah lagi, Oey
Tocu dan Auwyang Hong
tengah mengadu ilmu dalam mereka,” pikirnya. Karena ini, ia lantas menutup
rapat kedua matanya, ia mendengari terus dengan penuh perhatian.
Tadinya Kwee Ceng mesti mengeluarkan
banyak tenaga melawan desakan tiat-ceng dan seruling, sekarang tidak demikian.
Sekarang dengan tenang ia bisa mendengari kedua suara itu. Ia merasa bagaimana
seruling seperti berkelit sana
dan berkelit sini dari rangsakan tiat-ceng yang hebat, atau setiap kali ada
lowongan, seruling lantas membalas menyerang. Satu kali ia mendengar, suara
tiat-ceng menjadi lemah, sebaliknya seruling menjadi kuat.
Tiba-tiba
Kwee Ceng ingat ajarannya Ciu Pek Thong “Keras
tak dapat bertahan lama, lemah tak dapat menjaga terus.” Ia lantas menduga,
tiat-ceng bakal membalas menyerang.
Benar-benar,
berselang sesaat suara tiat-ceng menjadi keras pula.
Ketika Kwee Ceng menghapali ajarannya
Ciu Pek Thong itu, ia tidak tahu bahwa itulah rahasia dari Kiu Im Cin-keng, dan
ia pun tidak mengerti jelas maksudnya.
Baru
sekarang ia merasakan ada hubungannya ajaran itu dengan pertarungannya Oey Yok
Su dan Auwyang Hong ini. Karena
insyaf ini, ia menjadi girang sekali. Hanya ia masih belum mengerti akan
jalannya terus pertempuran itu. Ada
kalanya seruling dapat menghajar, ketika baik itu dilewatkan dengan begitu
saja, demikian juga sebaliknya. Toh itu tidak mirip-miripnya dengan orang yang
bersikap saling mengalah.
Mendengari
terlebih jauh, Kwee
Ceng jadi menanya dirinya sendiri;
“Mungkinkah pengajarannya Ciu Toako ada terlebih lihay daripada kepandaiannya
Oey Tocu dan Auwyang
Hong ini? Mungkinkah mereka ini
tidak dapat melihat cacad masing-masing maka juga kelemahan itu mereka
sama-sama tidak dapat menggunainya? Tapi heran! Kalau benar Ciu Toako telebih
lihay, mestinya pada limabelas tahun yang lalu dia sudah dapat mencari Oey Tocu
di sini untuk menghajarnya, tidak peduli pulau ini banyak terjaga dengan
barisan sesat patkwa itu, tidak nanti ia membiarkan dirinya terkurung di dalam
gua….”
Masih Kwee Ceng mendengari.
Lagi-lagi ia mendapat kenyataan telah tiba saat yang sangat genting, hingga ada
kemungkinan kali ini bakal datang keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia
berkhawatir untuk Oey
Tocu…
Justru
itu waktu dari arah laut, dari tempat yang jauh, terdengar siulan panjang dan
lama. Suara itu samar-samar tetapi toh dua-dua Oey Yok Su dan Auwyang Hong
terkejut hingga sendirinya suara seruling dan tiat-ceng mereka berubah menjadi
kendor. Siulan pun terdengar semakin nyata. Itu tandanya orang mendatangi dan
orang itu berada semakin dekat.
Auwyang Hong mementil dua kali,
keras sekali, suara tiat-ceng sampai terdengar seperti suara cita terobek.
Habis itu, suara siulan terdengar bernada tinggi. Rupanya siulan dan tiat-ceng
tengah kebentrok.
Tidak
antara lama, suara seruling dari Oey Yok Su pun nyebur dalam bentrokan siulan dan
tiat-ceng itu. Maka selanjutnya, sering terdengar, siualan bentrok tiat-ceng,
siulan bentrok seruling, atau seruling bentrok tiat-ceng. Atua lagi, kedtiganya
bentrok berbareng.
Sekarang Kwee Ceng menduga apsti ada
seseorang yang lihay yang telah datang ke pulau Tho Hoa To ini. Ia biasa
main-main bertarung sempat tangan dengan Ciu Pek Thong, karena itu ia dapat
menbedakan suara bentrokannya ketiga lawan ini: seruling, tiat-ceng dan
siulan….
Setelah
memperhatikan terlebih jauh. Kwee
Ceng merasa orang yang bersiul itu
sudah tiba di dalam rimba di dekat itu. Ia mendengar lebih nyata siulan orang
itu, yang tinggi dan rendah bergantian, yang selalu berlainan. Ketika ia
merasa, bentrokan menjadi demikian hebat, saking kagumnya, tanpa ia merasa ia
berseru: “Bagus!”. Kemudian ia terkejut sendirinya. Bukankah ia lagi
bersembunyi? Ia lantas memikir untuk menyingkir. Tapi sudah kasep. Satu
bayangan lantas berkelebat di depannya. Di
situ berdiri Oey
Yok Su.
“Anak
yang baik, mari!” berkata Tocu dari
Tho Hoa To itu.
Ketika
itu semua tetabuhan sudah berhenti.
Dengan
membesarkan hati, Kwee
Ceng ikut Tong Shia pergi ke
paseban.
Oey Yong tersumpal kupingnya,
ia tidak mendengar seruannya si anak muda, maka heran ia menampak munculnya
pemuda itu. Ia pun menjadi sangat girang, maka ia lari memapaki, untuk
menyambar kedua tangan orang.
“Engko Ceng,
akhirnya kau datang juga…!” serunya. Tapi ia girang bercampur sedih, tanpa
merasa air matanya meleleh turun.
Melihat
pemuda ini, panas hatinya Auwyang
Kongcu. Maka itu, menyaksikan
kelakuannya si nona, ia panas berbareng gusar sekali. Tidak dapat ia
mengendalikan diri, sambil berlompat ia menghajar kepalanya si anak muda itu.
“He,
bocah busuk, kau pun datang ke mari!”
ia mendamprat.
Kwee Cneg melihat datangnya
serangannya, dengan sebat ia berkelit. Sekarang ini ilmu silatnya sudah maju
jauh, ia beda dengan waktu ia masih di rumah abu
Keluarga Lauw di Poo-eng, dimana ia menempur pemuda she Auwyang itu. Ia tidak
cuma berkelit, terus ia membalas menyerang. Dengan tangan kiri memainkan “Naga
sakti menggoyang ekor”, dengan tangan kanan ia menggunai “Naga Menyesal”,
dua-duanya merupakan jurus-jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang lihay.
Sejurus saja sudah hebat, apapula dua jurus itu hampir berbareng.
Auwyang Kongcu terkejut merasakan
tangan kiri orang tahu-tahu menekan iga kanannya. Ia mengerti lihaynya Hang
Liong Sip-pang Ciang, yang cuma dapat diegos, tidak ditangkis, dari itu
lekas-lekas ia menyingkir ke kiri. Celaka untuknya, justru ia berkelit, justru
tangan yang lain dari lawannya tiba. Tidak ampun lagi, dada kirinya kena
terpukul, bahkan sebuah tulangnya patah sekali.
Sebenarnya Auwyang Kongcu sudah cukup lihay
dan ia mengerti lihaynya lawan, ketika serangan sampai, ia mencoba berkelit
pula. Kali ini ia berkelit dengan mengapungi diri, untuk berlompat tinggi naik
ke atas pohon bambu, habis itu baru ia lompat turun. Tapi ia tidak bisa
membebaskan diri. Ia turun dengan muka merah bahna malu, dadanya juga dirasakan
sakit. Ia bertindak dengan perlahan.
Menyaksikan
perlawannya Kwee
Ceng itu, dua-duanya Oey Yok
Su dan Auwyang Hong
heran berbareng murka. Oey
Yong sebaliknya, nona ini
bertepuk-tepuk tangan saking girangnya.
Sebenarnya,
Kwee Ceng sendiri kurang mengerti. Inilah
kemenangan di luar dugaannya. Ia bukan menginsyafi bahwa ia sudah maju jauh, ia
mau menyangka si anak muda lawannya itu sudah beralpa atau kurang sebat
bergeraknya hingga kena terhajar. Ia khawatir pemuda ini nanti menyerang pula
secara kejam, ia mundur setindak smabil memasang mata, untuk bersiap-siap.
Auwyang Hong melirik pemuda itu
dengan mata merah saking mendongkolnya. Kemudian ia dia berkata dengan nyaring:
“Pengemis she Ang, aku beri selamat padamu yang sudah mendapatkan murid yang
jempol!”
Oey Yong sudah membuka
sumpalannya ketika ia mendengar suaranya Auwyang Hong
itu, ia lantas mengetahui Ang
Cit Kong
telah tiba, maka itu, lupa segala apa ia lari ke arah rimba sambil
memanggil-manggil: “Suhu! Suhu!” Ia kegirangan karena ia tahu bintang penolong
sudah datang.
Mendengar
suara putrinya itu, Oey
Yok Su
melengak.
“Eh,
mengapa anakku memanggil guru kepada si pengemis tua?” pikirnya.
Itu
waktu sudah lantas terlihat munculnya Ang Cit Kong si ketua pengemis. Di punggungnya ia menggondol cupu-cupunya merah,
tangan kanannya memegang tongkatnya, tangan kirinya menuntuk Oey Yong.
Ia berjalan sambil tertawa haha-hihi.
“Eh,
Yong-jie, kau memanggil apa padanya?!” tanya
Oey Yok Su
gusar.
Bukannya
ia lantas menjawab ayahnya itu, Oey
Yong justu menuding Auwyang Kongcu
dan berkata dengan sengit, “Ini manusia busuk sudah menghina aku, jikalau tidak
ada lojinkee Ang
Cit Kong
ynag menolongi aku, sudah tentu sudah semenjak lama kau tidak melihat Yong-jie,
Ayah!”
“Jangan
ngaco belo!” membentak Oey
Yok Su,
walaupun sebenarnya ia heran. “Dia toh anak baik-baik, cara
bagaimana dia menghina padamu!”
“Jikalau Ayah tidak
percaya, nanti aku tanyakan dia!” berkata si nona. Ia lantas mengawasi pemuda
she Auwyang itu. Ia kata dengan keras; “Kau mesti lebih dulu mengangkat sumpah!
Jikalau dalam jawabanmu kepada ayahku berdusta, kau nanti digigit mampus
ular-ular di ujung tombaknya pamanmu itu!”
Mendengar
itu Auwyang Kongcu kaget hingga mukanya pucat. Auwyang Hong
tidak kurang kaget dan herannya. Jago dari Wilayah Barat
ini kaget sebab ia ketahui dengan baik, dua ekor ular pada tongkatnya itu
adalah ular-ular piarannya selama sepuluh tahun, yang ia piara sedari baru
diteteskan hasil dari kawinan beberapa macam ular yang paling berbisa. Kalau dia
menghukum bawahannya yang berkhianat atau orang yang paling ia benci, ia bisa
menghukum dengan menggunai kedua ularnya ini. Asal seorang digigit ularnya,
lantas ia kegatalan luar biasa, dalam waktu yang pendek ia bakal mati, tidak
ada pertolongan lagi sekalipun seandainya Auwyang Hong
sendiri berbalik berkasihan dan hendak mengampunkannya. Oey Yong
menyebut ular itu karena ia menduga saja, sebab kedua binatang itu lain
daripada yang lain, tidak tahunya, ia menyebut tepat pantangannya See Tok si
Racun dari Barat itu.
“Terhadap
pertanyaanya gakhu tayjin, mana aku berani mendusta,” Auwyang Kongcu
menjawab. Ia telah terdesak si nona, ia pun tidak berani menyangkal.
“Cis!”
berseru Oey Yong. “Jikalau kau berani mengacu belo,
lebih dahulu aku akan gaplok kupingmu beberapa kali! Sekarang dengar
pertanyaanku! Kita pernah bertemu di istananya Chao Wang di Pak-khia, benar
atau tidak?”
Auwyang Kongcu mengangguk. Tidak
berani ia membuka suara. Hajarannya
Kwee Ceng
membikin ia merasakan sangat nyeri. Kalau ia membuka mulutnya untuk berbicara,
rasa sakitnya itu menghebat. Ia pun memangnya berkepala besar. Kalau ia merasa
sakit, kepalanya pusing dan mengeluarkan peluh. Dengan tidak bersuara, ia dapat
menahan napas, ia bisa menguatkan diri.
Oey
Yong menanya pula; “Ketika itu kau ada bersama See Thong Thian, Pheng Lian
Hauw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin, bersama-sama kau mengepung aku satu
orang. Benar atau tidak?”
Auwyang
Kongcu berniat menyangkal ia bekerja sama dengan rombongannya See Thong Thian
itu, bahwa bukan sengaja ia mengepung si nona, tetapi ketika ia paksa menyahut,
lantas ia merasakan dadanya sakit, maka ia cuma bisa bilang; “Aku…aku tidak
bekerja sama dengan mereka itu…”
“Baiklah,
aku pun tidak memerlukan jawabanmu dengan mulutmu!” berkata Oey Yong.
“Jikalau aku menanya kau, cukup asal kau mengangguk atau menggeleng kepala.
Sekarang kau dengar pertanyaanku: ‘See Thong Thian bersama-sama Pheng Lian
Houw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin toh memusuhkan
aku. Benar tidak?’”
Auwyang Kongcu mengangguk. Ia
menuruti kata-kata orang dan tidak berani membuka mulutnya.
“Mereka
itu hendak membekuk aku tetapi mereka itu tidak berhasil,” berkata Oey Yong
pula. “Kemudian kau muncul. Benar tidak?”
Itulah
hal yang sebenarnya, Auwyang
Kongcu mengangguk.
“Ketika
itu aku berada di ruang besar dari istana Chao Wang.
Di situ aku bersendirian saja, tidak
ada siapa juga yang membantu aku, keadaanku sungguh menyedihkan. Ayahku pun
tidak ketahui bahaya yang mengancam aku, ayah tidak dapat menolong aku. Benar
tidak?”
Auwyang Kongcu mengangguk dengan
terpaksa. Ia ketahui, pertanyaan kali ini dari si nona, yang membawa-bawa nama
ayahnya, cuma untuk memancing kemurkaannya si ayahnya dia itu.
Setelah
mendapat jawaban itu, Oey
Yong tarik tangan ayahnya.
Timbullah kemanjaannya.
“Ayah,
kau lihat,” katanya. “Kau sedikit juga tidak menyayangi anakmu….Kalau ibu masih
hidup, tidak nanti ia perlakukan aku begini rupa…”
Mendengar
orang menyebut istrinya, yang ia cintai itu, pilu hatinya Oey Yok
Su. Ia ulur tangan kirinya untuk
merangkul putrinya itu.
Auwyang Hong sangat cerdas dan
licin, ia melihat suasana buruk untuk pihaknya, maka belum lagi Oey Yong
menanya pula, ia sudah mendahului.
“Nona Oey,”
ia berkata, “Begitu banyak orang Rimba Persilatan
yang kenamaan hendak membekuk kau, karena lihay ilmu silat keluargamu, mereka
tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu, bukankah?”
Oey Yong tertawa, dia
mengangguk.
Oey Yok Su pun tersenyum. Ia
senang orang puji ilmu silatnya.
Auwyang Hong berpaling kepada
tuan rumah, ia berkata: “Saudara
Yok, keponakanku telah melihat
putrimu demikian lihay, ia jadi sangat jatuh hati, inilah sebabnya kenapa
sekarang kami datang kemari dengan tidak memperdulikan jalan jauh ribuan lie
untuk meminangnya.
Oey Yok Su tertawa.
“Ya,
sudahlah!” katanya.
Auwyang Hong menolah kepada Ang Cit Kong, ia
berkata: “Saudara
Cit, kami paman dan keponakan
mengagumi orang-orang Tho Hoa To, kenapa kau sebaliknya lain pandanganmu?
Kenapa kau berlaku sungguh-sungguh sama segala bocah? Coba bukannya keponakanku
itu panjang umurnya, pastilah siang-siang dia telah mati di bawah hujan jarum
emas yang menjadi kepandaianmu yang istimewa….”
Dengan
kata-katanya ini Auwyang Hong hendak menimbulkan urusan ketika dulu hari Ang
Cit Kong menolong Auwyang Kongcu dari serbuan jarum rahasia dari Oey Yong,
hanya See Tok telah membalik duduk perkaranya mungkin itu disebabkan Auwyang
Kongcu telah membaliknya waktu melaporkan hal ini kepada pamannya. Tapi Cit
Kong adalah seorang polos dan
sabar sekali, ia tidak mengambil mumat perkataan orang, bahkan tertawa lebar,
malah dengan membuka tutup cupa-cupanya, ia menengak isinya.
Tidak
demikian adanya Kwee
Ceng yang jujur, yang benci
kedustaan. Anak muda ini lantas menyampur bicara.
“Sebenarnya Cit Kong
yang menolongi keponakanmu itu, kenapa sekarang kau bicara begini rupa?!” ia menegur.
Tapi Oey Yok Su membentak; “Kita lagi bicara, bagaimana kau
bocah berani campur mulut?!”
Kwee Ceng penasaran, dengan
nyaring ia kata kepada Oey
Yong: “Yong-jie, kau beberlah
urusannya Auwyang
Kongcu merampas Nona Thia supaya
ayahmu mendapat tahu!”
Oey Yong tidak meluluskan
permintaan anak muda itu. Ia kenal baik sifat ayahnya. Ayahnya itu dijuluki
Tong Shia si Sesat dari Timur, justru karena tabiatnya yang aneh itu. Ada kalanya Tong Shia
membenarkan apa yang tidak benar dan sebaliknya. Maka ada kemungkinan,
perbuatan ceriwis dan busuk dari Auwyang Kongcu
dipandang sebagai perbuatan umum pemuda-pemuda doyan pelesiran. Ia pun ketahui
baik ayahnya tak sukai pemuda pujiannya itu. Maka ia menggunai siasat. Ia
lantas berpaling pula kepada Auwyang
Kongcu.
“Bicaraku
masih belum habis!” katanya. “Dulu hari itu di dalam istana Chao Wang,
kau mengadu kepandaian dengan aku. Dengan sengaja kau menelikung kebelakang
kedua tanganmu, kau bilang bahwa tanpa menggunai tangan, kau bisa mengalahkan.
Benar bukan?”
Auwyang Kongcu mengangguk
membenarkan pertanyaan itu.
“Kemudian
aku telah mengangkat lojinkee Ang Cit Kong
menjadi guruku,” berkata Oey
Yong. “Lalu di Poo-eng
kita mengadu silat untuk kedua kalinya. Itu waktu kau menyebutnya aku boleh
menggunakan kepandaian yang diwariskan ayahku atau Ang Cit Kong, kau bilang aku
boleh keluarkan berapa banyak juga, sebaliknya kau sendiri, kau cuma akan
menggunakan semacam ilmu kepandaian warisan pamanmu dengan apa kau sanggup
mengalahkan aku. Benar tidak?”
Mendengar
itu Auwyang Kongcu berkata di dalam hatinya; “Semuanya
itu ditetapkan olehmu sendiri, bukan ditetapkan olehku…”
Menampak
orang bersangsi, Oey
Yong mendesak. Ia kata: “Bukankah
itu hari kita telah menetapkannya demikian baru kita bertempur?”
Mau
tidak mau, Auwyang
Kongcu mengangguk.
“Ayah,
lihatlah!” berkata Oey
Yong kepada ayahnya. “Dia tidak
memandang mata kepada Cit
Kong, dia juga tidak menghormati
padamu! Dia mau bilang, Cit
Kong dan ayah berdua kalah jauh
dengan pamannya itu! Bukankah itu berarti, meski Cit Kong
dan ayah berdua mengepung pamannya, pamannya itu masih tak dapat dikalahkan.
Tapi ini aku tidak percaya!”
“Ah,
budak cilik, jangan kau mainkan lidahmu!” berkata Oey Yok Su si ayah. “Diantara kaum persilatan di
kolong langit ini, siapakah yang tidak kenal baik ilmu silatnya Tong Shia, See
Tok, Lam Tee dan Pak Kay?”
Di mulutnya Oey Yok
Su berkata demikian, di dalam
hatinya ia mulai tidak puas terhadap Auwyang Kongcu,
karena itu ia ingin hal pemuda itu jangan dibicarkan pula. Ia lantas menoleh
kepada Ang Cit Kong.
“Saudara Cit,
kau datang berkunjung ke Tho Hoa To, ada urusan apakah?” ia menanya.
“Aku
datang untuk memohon sesuatu dari kau,” sahut Cit Kong
singkat.
Cit Kong jenaka tetapi jujur
dan polos dan benci sekali kejahatan, inilah Tong Shia ketahui baik. Karena
ini, ia menghormati si raja pengemis ini. Ia pun ketahui, biasanya, kalau ada
urusan, Cit Kong tentu mengerjakannya itu sendiri
bersama-sama pengikut-pengikutnya dari Kay Pang,
belum pernah ia memohon bantuan dari orang. Sekarang orang datang untuk memohon
sesuatu, ia menjadi girang sekali. Lekas-lekas ia menjawab: “Persahabatan kita
adalah persahabatan dari beberapa puluh tahun, saudara Cit, maka itu kalau ada
titah dari kau, mana aku berani tidak menurutinya?”
“Ah,
janganlah kau begitu menerima baik permohonanku itu,” berkata Cit Kong.
“Aku khawatir permohonanku ini sulit untuk dilakukannya….”
Oey Yok Su tertawa, ia kata:
“Kalau urusan gampang tidak nanti saudara Cit sampai memikir untuk meminta
bantuanku!”
Cit Kong tertawa seraya
menepuk-nepuk tangannya.
“Benar-benar!”
katany. “Kau barulah saudara yang sejati! Jadi kau pasti menerima baik?”
“Sepatah
kata-kataku menjadi kepastian!” sahut Oey Yok Su, kembali cepat dan singkat. “Lompat ke
api, terjun ke air, sama saja!”
Mendengar
itu Auwyang Hong melinttangi tongkat ularnya.
“Saudara Yok,
tunggu dulu!” ia menyelak, “Perlu kita menanya dulu saudara Cit, urusan itu
sebenarnya urusan apa?”
Ang Cit Kong tertawa. Ia berkata;
“Racun tua bangka, inilah urusan tidak ada sangkut pautnya dengan kau, jangan
kau ikut campur! Lebih baik kau sedia-sedia dengan ususmu yang kosong untuk
nanti kau menenggak arak kegirangan!”
Auwyang Hong heran.
“Eh,
minum arak kegirangan?” ia menanya.
“Tidak
salah! Minum arak kegirangan!” memastikan Cit Kong.
Dengan tangan kanannya ia menunjuk kepada Kwee Ceng dan Oey Yong
bergantian. “Mereka berdua adalah murid-muridku, aku telah berikan janji kepada
mereka untuk memohon kepada saudara Yok agar mereka dibiarkan menikah satu pada
lain! Dan sekarang saudara Yok sudah
menerima baik permohonanku itu!”
Kwee Ceng dan Oey Yong
terperanjat bahna girang, keduanya lantas saling memandang. Sebaliknya Auwyang Hong
dan keponakan serta Oey
Yok Su
menjadi terkejut sekali.
“Saudara Cit,
kau keliru!” Auwyang
Hong cepat berkata. “Putrinya
saudara Yok sudah dijodohkan dengan keponakanku dan hari ini aku datang ke Tho
Hoa TO ini untuk mengambil ketetapannya.”
“Saudara Yok,
benarkah itu?” tanya Cit Kong.
“Benar,”
menjawab Oey
Yok Su.
“Aku minta, saudara Cit jangan kau berkelakar denganku!”
Cit Kong memperlihatkan roman
bersungguh-sungguh.
“Siapa
yang main-main dengan kamu?” dia berkata. “Kau menjodohkan seorang putrimu
kepada dua keluarga. Apakah artinya ini?” Ia lantas menoleh kepada Auwyang Hong.
Ia kata: “Akulah orang perantaraan dari Keluarga Kwee!
Kau sendiri, mana orang perantaanmu?”
Auwyang Hong tidak menyangka
bakal ditanya begitu rupa, dia tidak dapat menjawab, ia tercengang. Baru
kemudian ia berkata; “Suadara
Yok sudah menerima baik, aku pun
sudah akur, maka itu, perlu apa lagi orang perantaan?”
“Apakah
kau ketahui masih ada satu orang yang tidak menerima baik?” Cit Kong
tanya.
“Siapakah
dia?!” Auwyang
Hong menegaskan.
Ang Cit Kong menyahuti: “Maafkan
aku, itulah aku si pengemis tua!”
Auwyang Hong berdiam. Ia
mengerti, tidak dapat ia tidak menempur pengemis ini, maka itu ia lantas
memikirkan daya perlawanan.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata
pula: “Keponakanmu itu tidak bagus kelakuannya, mana dia cocok untuk dijodohkan
dengan putri yang cantik manis dari saudara Yok ini?
Umpama kata benar kamu berdua memaksa mereka menikah, habis bagaimana kalau
mereka sendiri tidak akur, setiap hari mereka berkelahi saja? Apakah artinya
itu?”
Tertarik
hati Oey Yok Su
mendengar perkataan pengemis itu, ia lantas melirik kepada putrinya. Ia
mendapatkan Oey
Yong, dengan sinar mata penuh
kecintaan, lagi mengawasi Kwee
Ceng. Sebaliknya melihat Kwee Ceng,
timbul pula rasa jemunya.
Oey Yok Su ini ada seorang yang
terang otaknya, pandai ilmu silat dan surat,
pandai juga memainkan khim, menulis huruf-huruf dan melukis gambar. Sedari masih
muda, semua sahabatnya ada orang-orang cerdik pandai. Pun istrinya serta
putrinya ini, orang-orang pintar juga. Maka, mengingat anaknya yang cantik dan
pintar itu mesti dipasangi dengan Kwee Ceng
yang tolol-tololan itu, sungguh ia tidak mufakat. Dipadu dengan Auwyang Kongcu,
Kwee Ceng kalah berlipat ganda. Maka itu, ia
lebih penuju keponakannya See Tok itu. Tapi di situ ada Ang Cit Kong. Maka akhirnya, ia memikir satu
jalan.
“Saudara Hong,”
katanya kemudian, “Keponakanmu terluka, baik kau obati dulu padanya, urusan
nanti kita damaikan pula.”
Inilah
apa yang Auwyang
Hong harap-harapkan, maka lantas
ia menggapai pada keponakannya, lalu bersama-sama mereka masuk ke dalam hutan
bambu. Lewat sesaat, mereka sudah kembali ke paseban. Auwyang Hong
telah berhasil mengeluarkan jarum emas dan menyambung pula tangan keponakannya
itu.
Oey Yok Su sudah lantas
berbicara, katanya: “Anakku bertubuh lemah dan nakal, sebenarnya sulit untuk
dia merawati seorang budiman, maka adalah diluar dugaanku, saudara Cit dan
saudara Hong telah memandang mukaku dan sama-sama melamarnya. Hal ini adalah
suatu kehormatan untukku. Sebenarnya anakku ini sudah dijodohkan dengan pihak
Auwyang tetapi sekarang ada titahnya saudara Cit, sukar aku tolak. Kejadian ini
menyulitkan aku. Sekarang, aku pikir, baik diatur begini saja. Coba kedua
saudara lihat, pemecahan ini dapat dilakukan atau tidak?”
“Lekas
bilang, lekas bilang!” berkata Ang
Cit Kong.
“Aku, si pengemis tua paling tidak suka omong pakai segala aturan!”
Oey Yok Su tersenyum, ia
berkata pula: “Sebenarnya anakku tidak mengerti segala apa, akan tetapi
meskipun demikian, aku masih mengharap dia nanti menikah dengan seorang suami
yang baik-baik. Auwyang
Sieheng ada keponakannya saudara
Hong dan Kwee Sieheng ada murid pandai dari saudara Cit, kedua-duanya baik,
sukar untuk aku memilihnya, tidak dapat aku membuang salah satunya, karena itu,
aku pikir baiklah mereka diuji saja. Di
sini aku ada mempunyai tiga macam syarat. Pendeknya siapa yang lulus, anakku
akan dijodohkan dengannya, tidak nanti aku berlaku berat sebelah. Bagaimana,
sahabat-sahabatku?”
Auwyang Hong sudah lantas
bertepuk tangan.
“Bagus,
bagus!” serunya. “Cuma sekarang keponakanku sedang terluka, kalau buat adu
silat, aku minta supaya itu ditunda sampai ia sudah sembuh.”
Mendengar
itu, Ang Cit Kong
berpikir: “Kau, si Oey tersesat, kau banyak akalnya, jikalau kau majukan ilmu surat, syair atau nyanyi,
tentulah muridku yang tolol gagal. Kau bilang kau tidak mau berat sebelah,
sebenarnya pikiranmu sudah lain. Maka tidak ada lain jalan, baiklah aku ambil
caraku!” Ia lantas tertawa sambil berlenggak, terus ia berkata: “Kita semua
tukang silat, kalau kita tidak adu silat, apa kita mesti adu main
gembul-gembulan? Keponakanmu terluka, kau sendiri tidak, marilah, mari kita berdua yang main-main lebih dulu!”
Begitu
ia selesai bicara, tanpa menantikan jawaban, Ang Cit Kong sudah lantas menyerang ke bahu orang.
Auwyang Hong berkelit, ia mundur.
Ang Cit Kong meletaki tongkat
bambunya di meja kecil di sampingnya.
“Kau
membalaslah!” ia menantang. Ia menantang tetapi kembali ia menyerang, beruntun
hingga tujuh jurus.
Auwyang Hong berkelit
berulang-ulang, ke kiri dan ke kanan, habis tujuh serangan itu, dengan tangan
kanannya ia menancap tongkatnya, sedang dengan tangan kirinya ia pun membalas
tujuh kali.
Oey Yok Su menyaksikan itu, ia
bersorak memuji. Ia tidak mau datang memisahkan, karena ingin ia melihat
kemajuan orang sesudah berselang duapuluh tahun semejak mereka mengadu
kepandaian.
Dua-dua
Ang Cit Kong
dan Auwyang Hong adalah ketua-ketua partai, pada duapuluh
tahun dulu mereka sudah lihay, habis menguji kepandaian di Hoa San, mereka
masing-masing menyakinkan lebih jauh kepandaian mereka, bisa di mengerti yang
mereka telah maju banyak. Maka sekarang, bertarung di Tho Hoa To ini, mereka beda jauh daripada waktu di Hoa San. Mereka saling serang
dengan cepat sekali tetapi semua itu adalah permulaan saja, untuk saling
menggertak.
Kwee Ceng menonton dengan
perhatian sepenuhnya. Ia melihat gerakan kedua pihak sangat lincah. Untuk
kegirangannya, ia mengerti semua jurus itu. Ia telah hapal kitab Kiu Im
Cin-keng, sekarang ia mendapat kenyataan, semua gerak-gerik mirip sama kitab
itu. Untuk menyaksikan ini, ia mimpi pun tidak. Semua yang ia lihat ini termuat
dalam kitab bagian atas. Semua itu ilmu silat yang lihay. Tanpa disadari, ia
menjadi gatal sendirinya.
Dengan
cepat kedua jago itu sudah bertempur hingga tigaratus jurus lebih.
Dua-dua
Ang Cit Kong
dan Auwyang Hong kagum sendirinya, mereka saling
memuji secara diam-diam.
Oey Yok Su yang menonton pun
kagum, ia menghela napas. Di dalam hatinya ia berkata: “Aku berdiam di Tho Hoa
To ini dengan melatih diri sungguh-sungguh, aku percaya setelah Ong Tiong Yang
meninggal dunia, aku bakal jadi orang gagah nomor satu di kolong langit ini,
siapa tahu sekarang si pengemis tua bangka ini dan si biang racun tua telah
mengambil jalannya masing-masing yang hebat sekali!”
Auwyang Kongcu dan Oey Yong
sama-sama tegang hatinya, mereka mengahrapi kemenangan pihaknya masing-masing.
Mereka mengerti silat tetapi mereka todak mengerti ilmu silatnya dua jago yang
lagi bertarung itu. Sama-sama mereka terus mengawasi dengan perhatian penuh.
Satu
kali Oey Yong melirik ke samping, lantas ia menjadi
heran sendirinya. Ia melihat bayangan orang di sampingnya itu, bayangan yang
lagi bergerak-gerak, terutama kaki tangannya, seperti orang menari. Ia lantas
menoleh, maka itu ia kenali, itulah bayangannya Kwee Ceng.
Wajah si pemuda tegang dan seperti menjadi korban kegirangan luar biasa.
“Engko Ceng!”
ia memanggil perlahan. Ia heran dan menjadi berkhawatir karenanya, apapula
panggilannya itu tidak disahuti si anak muda, yang terus masih bergerak tak
hentinya. Nyata sekali lagi bersilat seoarng diri.
Mau
tidak mau, Oey
Yong mengawasi. Lama juga ia
meminta tempo, baru ia mengerti. Terang sekarang, Kwee Ceng
berlatih silat menuruti gerak-geriknya kedua jago tua itu.
Perubahan
terjadi dalam cara bertempurnya kedua
jago itu. Kalau tadinya mereka berperang sebat sekali, sekarang mereka manjadi
lambat, ada kalanya mereka menyerang dulu dengan dipikirkan lebih dahulu.
Bahkan anehnya, ada kalanya, habis bergebark, mereka sama-sama duduk bersila,
untuk beristirahat, kemudian berbangkit pula, akan mulai bertempur lagi. Mereka
bukan seperti mengadu silat, bahkan juga bukan juga kedua saudara seperguruan
lagi berlatih. Toh wajah mereka menunjukkan ketegangan yang bertambah-tambah.
Oey Yong berpaling kepada
ayahnya, ia mendapatkan ayahnya itu bengong mengawasi kedua jago itu. Ayah ini nampaknya tegang
hatinya.
Ketika
nona ini menoleh kepada Auwyang Kongcu,
ia mendapat kenyataan pemuda itu
tenang seperti biasa, kipasnya dipakai mengipas perlahan-lahan.
Kwee Ceng berhenti bersilat,
ia mengawasi kedua orang itu, lalu seperti lupa pada dirinya sendiri, ia
bersorak dengan pujiannya.
“He,
bocah tolol, kau mengerti apa?!” Auwyang Kongcu
menegur, murka. “Apa perlunya kau membikin banyak berisik?!”
“Apa
perlunya kau banyak rewel?!” Oey
Yong balas menegur. “Kau pun
mengerti apa?!”
Ditegur
begitu, pemuda ini tertawa.
“Bocah
ini bergerak secara tolol!” dia berkata. “Dia masih sangat muda, mana dia
ketahui kepandaian istimewa dari pamanku ini?”
“Kau
toh bukannya dia, mana kau ketahui dia mengerti atau tidak?!” Oey Yong
menegur pula.
Selagi
muda-mudi ini berselisih mulut, Oey
Yok Su
tidak mengambil mumat, dia tetap mengawasi sepak terjangnya dua sahabatnya itu.
Kwee Ceng pun memperhatikan dengan diam-diam
saja.
Gerakkannya Ang Cit Kong dan Auwyang Hong
menjadi terlebih lambat pula. Yang mengangkat tangan kirinya, dengan jari
tengahnya dia menyentil perlahan batok kepalanya. Yang lainnya lagi, dengan
kedua tangan di kuping, berjongkok di tanah dengan romannya lagi berpikir
keras. Hanya sejenak kemudian, keduanya sama-sama berseru, terus mereka
berlompat bangun untuk saling serang pula.
“Bagus!
Bagus!” Kwee
Ceng berseru-seru melihat serangan
itu.
Habis
itu, kedua lawan itu berpisah pula. Kembali mereka berpikir. Terang sudah,
masing-masing seperti sudah mengetahui ilmu silat lawan, maka itu, perlu mereka
memikirkan cara penyerangannya.
Duapuluh
tahun sejak dua lawan ini berpisah sehabis bertempur di Hoa San, mereka
masing-masing satu tinggal di Tionggan, satu yang
lain di See Hek, Wilayah
Barat. Sebegitu jauh tidak pernah
mereka berhubungan satu dengan lain, sama-sama mereka menyakinkan lebih jauh
ilmu silat mereka. Mereka pun tidak ketahui kemajuannya masing-masing. Sekarang
ternyata, mereka sama gelapnya seperti duapuluh tahun dulu itu. Mereka
mempunyai kepandaiannya, mereka pun sama-sama jeri.
Dengan begitu, mereka membuang-buang tempo, sampai matahari sudah mulai
menyingsing di arah Timur.
Yang
beruntung adalah Kwee
Ceng, yang dapat memberi perhatian
seluruhnya. Adakalanya ia memikir, pihak sana
tentu bakal menyerang begini, tetapi buktinya, dugaannya penyerangan pihak lain
dan ada terlebih sempurna dari apa yang ia pikir. Karena ini, ia menjadi
mendapat tambahan kepandaian. Kejadian ini terulang banyak kali. Ia dapat
menyangkok ilmu silatnya dua-dua jago tua itu.
Oey Yong mengawasi pemudanya
itu, ia bertambah heran.
“Baru
belasan hari aku tidak lihat dia, mungkinkah dia telah dapat pelajaran silat
dari malaikat?” berpikir nona ini. “Benarkah dia memperoleh kemajuan begini
pesat? Kenapa ia agaknya girang sekali?” Ia baru berpikir begitu, atau ia
menjadi berkhawatir. Katanya di dalam hatinya: “Apa mungkin engko Ceng ini
mendadak pikirannya terganggu?”
Karena
ini, ingin ia mendekati si anak muda, untuk menarik tangannya. Begitu berpikir,
begitu ia bekerja.
Itu
waktu, Kwee Ceng tengah meniru gerakkannya Auwyang Hong,
yang menyerang sambil memutar tubuhnya. Kelihatannya serangan itu sangat umum
akan tetapi tenaga yang dikerahkan tak terkira-kirakan. Maka itu tatkala
tangannya si nona dapat memegang tangan si pemuda, mendadak ia merasa kena
tertolak keras, dengan tiba-tiba saja ia mental tinggi seperti terbang. Melihat
itu, Kwee Ceng terkejut hingga ia menjerit tetapi
pun tubuhnya terus berlompat menyusul. Pinggang langsing dari Oey Yong dapat
kena disambarnya, karena mana dapatlah ia menaruh kaki di atas wuwungan paseban
dengan tidak kurang suatu apa, di situ terus ia berduduk.
Kwee Ceng sendiri, sebelum
turut naik, telah menaruh tangannya di payon di mana ia menekan keras, hingga
dilainnya saat dia jadi dapat duduk berendeng sama nona itu. Hingga dari situ,
dengan memandang ke bawah, mereka dapat menonton pertaruhan.
Telah
terjadi perubahan pula dalam caranya kedua jago itu bertempur. Sekarang
terlihat Auwyang
Hong bejongkok dengan kedua
tangannya dikasih turun, hingga ia memperlihatkan sikapnya seekor kodok, sedang
dari mulutnya kadang-kadang terdengar suara seperti suaranya kerbau. Lucu sikap
itu hingga Oey
Yong tertawa.
“Engko Ceng,
dia bikin apakah itu?” dia menanya berbisik. Tertawanya pun perlahan sekali.
“Aku
tidak tahu,” Kwee
Ceng menyahuti. Ia baru menjadi
demikian atau tiba-tiba ia ingat kata-katanya Ciu Pek Thong tengan Ong Tiong
Yang dengan pukulan jeriji IT-yang-cie sudah memecahkan Kap-mo-kang atau Ilmu
Kodok dari Auwyang
Hong. Maka ia lekas menambahkan;
“Inilah semacam ilmu silat yang lihay sekali, namanya Ilmu Kodok!”
Oey Yong meresa lucu hingga
ia bertepuk tangan.
“Ya,
sungguh mirip kodok buduk!” serunya.
Sementara
itu Auwyang Kongcu telah melihat orang duduk berendeng
dan bicara-bicara sambil tertawa dengan asyik, bukan main ia mendongkolnya. Ia
menjadi sangat bercemburu. Menuruti hatinya, hendak ia melompat naik ke atas,
untuk menggusur Kwee
Ceng. Celaka untuknya, ia
merasakan dadanya masih sakit, hingga tidak dapat ia mengeluarkan tenaga. Ia
mendengar Oey
Yong menyebut-nyebut kodok buduk,
hatinya bertambah panas, ia menyangka ialah yang dikatakan si kodok buduk yang
mengharap mencaplok daging angsa kayangan. Sekarang ia tidak dapat menguasai
lagi dirinya, dengan tangan kanan menggenggam tiga biji torak Hui-yang Gin-so,
ia bertindak perlahan-lahan mutar ke belakang paseban itu, lalu dengan
diam-diam juga ia menyerang ke atas pesaben, kepada sepasang muda-mudi itu. Ia
dapat berbuat demikian dengan leluasa karena lain-lain orang tengah menonton
pertempuran yang nampaknya lucu itu. Ia mengarah punggungnya Kwee Ceng.
Pemuda
she Kwee ini tidak curiga suatu apa. Ia lagi asyiknya mengawasi pertempuran
yang justru tiba disaatnya Ang
Cit Kong,
gurunya hendak menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang akan melayani terus kepada Auwyang Hong.
Oey
Yong tidak ketahui Pak Kay dan See Tok ini, dua orang paling kosen di jaman
itu, tengah menghadapi pertempuran yang memutuskan, yang membahayakan salah
satu diantaranya, karena itu ia masih dapat tertawa haha-hihi dan dengan
tangannya tunjuk sana-sini. Secara kebetulan saja, ia melihat satu tubuh di
luar paseban bambu. Dasar cerdik sekali, ia menyangka kalau-kalau Auwyang Kongcu
main gila. Maka hendak ia memasang matanya. Justru itu waktu ia mendengar
desiran angin dari senjata rahasia, yang melesat ke arah punggungnya Kwee Ceng,
sedang Kwee Ceng sendiri tidak mengetahui itu. Tidak
sempat lagi ia menangkis, segera ia bergerak menubruk diri ke punggungnya si
anak muda, dengan begitu tubuhnya mewakilkan anak muda itu menyambuti serangan
tiga biji Hui-ya Gin-so yang tepat mengenai punggungnya sendiri.
Nona
ini mengenakan baju lapis joan-wie-kah, ia tidak terluka, cuma saking kerasnya
serangan, ia merasakan nyeri juga. Dengan sebat ia memutar balik tangannya,
akan menyambar ketiga biji torak, kemudian sembari tertawa ia berkata; “Kau
menggaruki gatal dipunggungku, bukankah? Banyak-banyak terima kasih! Nah, ini
aku kembalikan garukanmu!”
Auwyang Kongcu terperanjat, ia
memasang matanya. Ia khawatir si nona benar-benar nanti menyerang padanya. Ia
tidak mau mempercayai si nona itu sudi dengan baik hati memulangi toraknya itu.
Hanya ia menanti dengan sia-sia. Si nona masih memegangi senjata rahasianya
itu, dia tidak mengayunkan tangannya.
Menampak
demikian, kongcu ini segera menjejak tanah dengan kakinya yang kiri, untuk
mengapungkan diri berlompat ke atas pesaben bambu itu. Ia hendak membanggakan
ringannya tubuhnya. Disitu ia berdiri di satu pojok, bajunya yang putih
berkibaran di antara sampokannya angin, hingga nampak sikapnya yang bagus,
baguskan seorang suci.
“Sungguh
bagus ilmu ringan tubuhmu!” Oey
Yong berseru dengan pujiannya.
Lalu dia maju setindak untuk berlompat naik ke atas pesaben, untuk
menghampirkan, untuk membayar pulang torak orang.
Butek
pikirannya Auwyang
Kongcu menyaksikan tangan si nona
yang putih halus dan montok itu, putih bagaikan salju. Ia lantas mengulurkan
tangannya, guna menyambuti senjata rahasianya, sekalian ingin ia meraba tangan
yang halus itu, tatkala tiba-tiba saja ia mendapat lihat sinar kuning
keemas-emasan berkelebat di depan matanya. Dua kali sudah ia merasakan
tangannya si nona, maka tanpa bersangsi pula, ia lompat berjumpalitan turun
dari atas pesaben itu. Sambil berkelit secara demikian, ia juga
mengibas-ngibaskan tangan bajunya, maka juga berhasil ia meruntuhkan jarum
emasnya si nona.
Oey Yong tertawa terkekeh
walaupun serangannya itu gagal. Ia tidak berhenti sampai di situ. Dengan
sekonyong-konyong saja, ia menyerang pula dengan tiga biji toraknya si anak
muda, untuk menghajar embun-embunnya pemuda itu.
“Jangan!”
berseru Kwee
Ceng kaget, menampak perbuatannya
si nona itu, untuk dibawa lompat turun.
Belum
lagi anak muda ini dapat menginjak tanah, kupingnya dapat mendengar satu suara
nyaring, yang mana dengan suara cegahannya Oey Yok Su, “Saudara Hong,
berlakulah murah hati!”
Kwee Ceng segera merasakan
dorongannya angin yang keras, bagaikan gunung roboh menguruk lautan, mengenakan
dadanya. Berbareng dengan itu, ia khawatir, Oey Yong nanti terluka, dari itu
lekas-lekas ia mengerahkan tenaganya, ia menggunai jurus “Melihat naga di
sawah” dari Hang Liong Sip-pat Ciang. Dengan jurusnya itu ia menolak dorongan
keras itu.
Dimana
dua-dua pihak menggunai tenaga besar, kedua tenaga itu bentrok keras sekali.
Sebagai kesudahannya, Kwee
Ceng tertolak mundur tujuh atau
delapan tindak, karena pertahanannya tidak dapat mengalahkan Ilmu Silat
Kodok dari Auwyang Hong yang lihay
itu.
Lekas-lekas
Kwee Ceng melepaskan tubuh Oey Yong , lekas-lekas juga ia memasang
kuda-kudanya, guna melayani terlebih jauh See Tok si Bisa dari Barat itu, yang
sudah hendak menyerang pula padanya. Hanya belum lagi mereka bentrok pula, Ang Cit
Kong berdua Oey Yok Su sudah berlompat maju menghalang di
antara mereka.
“Sungguh
malu,” berkata Auwyang
Hong. “Tak keburu aku menahan
diri! Apakah si nona terluka?”
Sebenarnya Oey Yong kaget bukan main,
tetapi mendengar pertanyaan orang itu, ia memaksakan diri tertawa.
“Ayahku
berada disini, mana dapat kau melukakan aku?” katanya.
Oey Yok Su pun berkhawatir. Ia
lantas cekal tangan anaknya itu. Ia menarik.
“Apakah
kau merasakan sesuatu yang beda pada tubuhmu?”
tanyanya. “Lekas kau mainkan napasmu!”
Oey Yong menurut, ia lantas
menarik dan mengeluarkan napas dengan beraturan. Ia tidak merasakan apa juga
yang mengganggu pernapasannya itu. Maka ia lantas tertawa seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat
itu, barulah hati Oey
Yok Su
lega.
“Kedua
pamanmu lagi berlatih silat di sini, kenapa kau main gila, budak?!” ayah ini
menegur putrinya itu. “Kee-mo-kang dari Auwyang pepe hebat luar biasa, jikalau
bukannya dia menaruh belas kasihan kepadamu, apakah kau kira sekarang kau masih
mempunyai jiwamu? Coba kau lihat paseban itu!”
Oey Yong berpaling, akan
melihat paseban seperti kata ayahnya itu. Diam-diam ia terperanjat. Paseban itu
telah runtuh sebagiannya, tiang bambunya, yang mendam ke dalam tanah, telah
terbongkar tercabut dan remuk bekas kena hajaran Silat Kodk.
Tanpa merasa, ia mengulur lidahnya.
Ilmu
silat Kee-mo-kang dari Auwyang
Hong itu dimulai dari mendiamkan
diri disusul sama gerakan tubuhnya, ketika itu seluruh tenaganya telah
dikerahkan, kalau ia diserang, segera ia dapat menolak balik serangan itu.
Untuk menyerang pun ia mesti berdiam dulu, memasang kuda-kudanya yang aneh
bagaikan kodok nongkrong. Barusan ia melayani Ang Cit Kong, ia bersiap dengan
kuda-kudanya yang aneh itu, disaat ia hendak menyerang, mendadak Oey Yong pun
berlompat turun sebab dipondong Kwee Ceng, jadi tepat di nona melintang di tengah.
Auwyanng Hong pun kaget melihat
arah serangannya adalah si nona, yang ia hendak ambil sebagai istri dari
keponakannya. Ia menginsyafi bahwa si nona terancam bahaya maut, jiwanya tak
bakal tertolong lagi. Ia juga dapat mendengar cegahannya Oey Yok Su. Begitulah ia mencoba menarik pulang
pukulannya tetapi gagal, paseban kena terhajar runtuh, doronganya tenaga itu
berlangsung terus. Lalu mendadak ia merasakan ada satu tenaga lain yang
menahannya. Ketika ia sudah berhenti menyerang, ia memasang mata tajam ke
depannya. Terlihat olehnya, penolong dari si nona adalah si pemuda Kwee Ceng.
Diam-diam ia mengagumi Ang
Cit Kong,
katanya dalam hatinya: “Benar-benar lihay ini pengemis bangkotan, dia berhasil
mengajari muridnya ilmu yang begini sempura!”
Oey Yok Su pun berpikir melihat
sepak terjangnya Kwee
Ceng itu, yang selama di
Kwie-in-chung pernah ia saksikan ilmu kepandaiannya. Katanya dalam hatinya:
“Ini bocah tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, dia berani melayani Auwyang Hong,
tidak memandang aku, tidakkah urat-urat dan tulang-tulangnya bakal putus dan
remuk?” Ia mengatakan demikian karena tidak tahu, Kwee Ceng
yang sekarang bukan lagi Kwee
Ceng yang sama di Kwie-in-chung
itu. Ia ketahui, barusan adalah Kwee
Ceng yang sudah menolong putrinya,
maka tanpa merasa kesannya yang kurang baik untuk pemuda itu menjadi berkurang
tujuh atau delapan bagian. Bukankah bocah itu sudah berani berkorban untuk Oey Yong?
Diakhirnya ia berpikir: “Bocah ini jujur dan baik hatinya, walaupun tidak dapat
aku nikahkan anakku kepadanya, mesti menghadiahkan sesuatu kepadanya.”
Selagi
Tong Shia berpikir demikian, ia mendapat dengar suaranya Ang Cit Kong.
“Makhluk
beracun bangkotan, sungguh kau hebat!” demikian Pak Kay,
si Pengemis dari Utara. “Kita berdua belum ada yang kalah dan menang, mari kita bertempur pula!”
“Baik,
bersedia aku melayani seorang budiman!” menjawab See Tok, si racun dari Barat.
Ang Cit Kong tertawa.
“Aku
bukannya seorang budiman, aku hanyalah pengemis!”
Dengan
hanya sekali berlompot, raja pengemis ini sudah berada dalam gelanggang.
Auwyang Hong juga hendak masuk ke
dalam gelanggang itu tatkala Oey
Yok Su
mencegahnya seraya Tong Shia melonjorkan tangannya yang kiri.
“Tunggu
dulu, saudara Cit dan saudara Hong!” katanya. “Kamu berdua sudah bertarung
lebih daripada seribu jurus, kamu tetap belum memutuskan menang atau kalah,
karena hari ini kamu berdua adalah tetamu-tetamu terhormat dari Tho Hoa To,
lebih baik kamu berdua duduk minum beberapa cawan arak pilihan yang aku nanti
menyediakannya. Saatnya merundingkan pedang di Hoa San akan tiba di depan mata,
maka itu wkatu bukan cuma kamu berdua yang bakal mengadu kepandaian pula, juga
aku dan Toan Hong Ya akan bersama turun tangan! Bagaimana jikalau pertempuran
ini hari disudahi sampai disini?”
“Baiklah!”
menyahut Auwyang
Hong tertawa, “Kalau kita
bertempur pula, pastilah aku bakal kalah!”
Ang Cit Kong menarik pulang
dirinya. Ia pun tertawa.
“Si
makhluk berbisa bangkotan dari Wilayah
Barat lain mulutnya lain hatinya!”
berkata dia. “Kau memang sudah sangat tersohor! Kau membilang bakal kalah, itu
artinya kau bakal menang! Tidak, aku si pengemis tua tidak dapat
mempercayainya!”
“Jikalau
begitu, hendak aku mencoba pula kepandaianmu, saudara Cit!” Auwyang Hong
menantang.
“Tidak
ada yang terlebih baik daripada itu!” Ang Cit Kong menyambut. Dan
ia pun bersiap pula.
“Sudahlah!”
berkata Oey Yok Su
tertawa, melihat orang hendak bertempur lagi. “Nyatalah kamu berdua hari ini
datang ke Thoa
Hoa To untuk mempertunjukkan
kepandaian kamu!”
Ang Cit Kong tertawa lebar.
“Pantas
kau mengur aku, saudara Yok!” katanya. “Sebenarnya kami datang kemari untuk
mengajukan lamaranku, bukannya untuk mengadu kepandaian.”
“Bukankah
aku telah mengatakan hendak aku mengajukan tiga syarat untuk menguji kedua
sieheng?” berkata pula Oey
Yok Su.
“Siapa yang lulus, dialah yang aku akan ambil sebagai menantuku, dan siapa yang
jatuh, dia pun tidak bakal aku membuatnya pulang kecewa.”
Cit Kong agaknya heran.
“Apa?!
Apakah kau masih mempunyai lain putri lagi?” tanyanya.
“Sekarang
ini belum!” sahut Oey
Yok Su
tertawa. “Umpama kata aku lekas-lekas menikah pula dan mendapatkan satu anak
perempuan, sekarang ini sudah tidak keburu lagi! Aku ini mengerti juga
kasar-kasar tentang ilmu pengobatan dan meramalkan, maka itu sieheng yang mana
yang tidak lulus, jikalau ia tidak mencelanya dan sudi mempelajari dia boleh
memilih pelajaran yang mana ia penuju, nanti aku mengajarinya dengan
sungguh-sungguh.”
Ang Cit Kong memang tahu Oey Yok
Su banyak pengetahuannya, ia
anggap lumayan juga andaikata orang tak dapat menjadi menantunya tetapi dapat
semacam kepandaian daripadanya untuk kepentingan seumur hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar