Bab 5. Pertarungan Mati
Hidup
Segera terlihat orang banyak yang
naik ke loteng itu adalah serdadu-serdadu bangsa Kim,
sebagaimana mereka gampang dikenali dengan seragam mereka. Melihat mereka itu,
naik darahnya Khu
Cie Kee.
Ia hargakan Kanglam Cit Koay, ia menyangka mereka itu diperdayakan oleh Ciauw
Bok Hweshio, maka itu sampai sebegitu jauh, ia layani mereka separuh main-main,
akan tetapi sekarang tak dapat ia atasi diri lagi. Sangking murkanya,ia tertawa
terbahak-bahak.“Ciauw
Bok Hweshio!
Kanglam Cit Koay!”
ia berseru, “Walaupun kasih datang tambahan tigaribu lagi serdadu berandal Kim, toya kamu masih tidak jerih!”
Han
Po Kie gusar mendengar ejekan itu. “Siapakah yang kasih datang tentera Kim?!” ia menegur.
Tentera Kim itu adalah tentera
pengiringnya Wanyen
Lieh. Mereka menanti sekian lama
putra raja mereka masih belum kembali, timbuk kekhawatiran mereka itu, mereka
lantas pergi mencari, kebetulan mereka dengar di Cui SianLauw
ada orang berkelahi, mereka datangi rumah makan itu. Lega hati mereka akan
saksikan putra rajamereka tidak kurang suatu apa pun, putra itu lagi duduk
tenang di mejanya. Mereka lantas menghampiri untuk memberi hormat.
Ketika
itu pihak rumah makan baru siap dengan hidangan mereka yang terdiri dari daging
macam tutul, tidak peduli orang baru saja berhenti bertempur dan disitu ada
banyak serdadu bangsa Kim, mereka bawa naik barang hidangan itu untuk disajikan
disembilan meja dikecualikan mejanya Ciauw Bok Taysu, si hweshio, pendeta yang
pantang makan daging.
Hidangan
untuk Wanyen
Lieh pun disiapkan sekalian. Atas
itu putra raja Kim itu lantas
berbangkit dari kursinya, guna menghampiriKwa Tin Ok, di depan siapa ia memberi
hormat, walaupun orang tak dapat melihat kepadanya.
“Terima kasih Kwa Toako!” ia mengucap. Dengan berani ia lantas
memanggil “toako” atau kakak.“Hm!” Khu Cie Kee perdengarkan suara di hidung selagi
Hui Thian Pian-hok belum sahuti orang asing itu. “Bagus! Bagus!” ia
menambahkan. “Cukup sudah, maaf, pinto tak dapat menemani lebih lama pula!”
Lantas
ia angkat jambangan araknya, sambil membawa itu, iabertindak ke tangga.
Kwa
Tin Ok lantas sudah bangkit berdiri. “Khu Totiang,
jangan kau keliru mengerti!” kata tertua darikanglam Cit Koay
ini.
“Adakah
aku keliru mengerti?” jawab si imam sambil jalan terus. “Kamu adalah bangsa
Enghiong, bangsa hohan, habis perlu apa kamu undang tentera bangsa Kim untuk bantu kamu?”
Dengan
sengit si imam menjengeki orang adalahEnghiong dan hohan – orang-orang gagah.
“Kami
tidak undang atau janjikan mereka itu,” Kwa Tin Ok menyangkal.
“Aku
juga bukanya si picak!” sahutKhu Cie Kee
mengejek.
Tin
Ok buta,ia paling benci orang mengatakan ia picak, maka itu sambil gerakin
tongkat besinya, ia lompat maju. “Kalau picak bagimana?!” tanyanya.
Tiang
Cun Cu tidak ladeni si buta itu, sebaliknya ia layangkan tangannya yang kiri,
tepat mengenai batok kepalanya satu serdadu Kim,
hingga tanpa suara apapun, suara itu rubuh dengan kepalanya remuk, jiwanya
terbang pergi.
“Inilah
contohnya!” kata si imam kemudian. Lalu tanpa tunggu jawaban lagi, ia ngeloyor
ke tangga.
Serdadu-serdadu
Kim lainnya menjadi gaduh karena
kebinasaan tidak karuan dari rekannya mereka itu, mereka kaget dan gusar,
beberapa diantaranya segera menikam bebokongnya si imam dengan tombak mereka
yang panjang.
Seperti
bebokongnya ada matanya, Khu
Cie Kee
tangkis serang itu tanpa membalik tubuhnya. Sambil manangkis tangannya
menyambar, maka itu beberapa batang tombak kena tercekal dan terampas.
Beberapa
serdadu lagi hendak maju untuk mengulangi penyerangan.
“Jangan!”
Wanyen Lieh segera mencegah. Dengan lantas ia
berpaling kepada Kwa Tin Ok beramai, untuk mengatakan: “Imam
jahat itu tidak kenal
undang-undang, tidak kenal Tuhan, dia tidak usah dilayani! Tuan-tuan mari kita minum dulu, sembari minum kita bicarakan
daya untuk menghadapi dia!”
Kwa
Tin Ok tidak tahu orang adalah orang bangsa Kim,
maka tadi ia berlaku manis budi dengan suruh jongos
membagi daging macamnya, sekarang setelah mengetahui orang bangsa apa, ia tak
sudi melayani bicara. “Minggir!” ia membentak.
WanyenLieh
heran. “Apa!” tanyanya.
“Toako
kami menitah kau pergi!” Han Po Kie wakilkan kakaknya menyahuti, sembari
berkata ia gerakan pundak kanannya, mengenai kempolansi putra raja Kim itu, hingga Wanyen Lieh
lantas saja mundur beberapa tindak.
Kwa Tin OK semua lantas berlalu, turun di tangga loteng. Ciauw Bok
Hweshio turut mereka, Biauw Ciu Sie-seng jalan paling belakang, selagi lewat di
samping Wanyen Lieh, ia tepuk pundaknya putra raja Kim itu dengan kipasnya
seraya bilang: “Apakah kau telah jual itu orang perempuan yang kau tipu?
Bagaimana kalau kau jual dia padaku? Hahaha!” Dan
terus ia ngeloyor turun.Wanyen Lieh terkejut. Ia ingat pada pengalamannya yang
pertama. Maka sebelum layani godaan orang itu, paling dulu ia ragoh sakunya.
Untuk kagetnya ia dapatkan beberapa potong emas dalam sakunya terbang pula! Ia
mendongkol, akan tetapi ia jerih pula.
“Beberapa
orang ini lihay sekali, aku serta semua serdaduku bukan tandingan mereka,” ia
berpikir. “Pauw-sie ada padaku, jikalau mereka dapat tahu, inlah berbahaya……….”
Oleh
karena kekhawatirannya ini, ia tidak lagi berpikir untuk beli pakaian buat si
nyonya, dengan tinggalkan restoran itu, ia lekas-lekas balik ke hotel, terus ia
ajak si nyonya untuk berangkat ke Utara, pulang ke Yankhia, ibukotanya kerajaan
Kim. Bersama dia turut juga semua pengiringnya. (Yankhia = Peking
sekarang).
Sementara
itu Kwa Tin Ok beramai telah ikuti Ciauw Bok
Hweshio pergi ke kuil Hoat Hoa
Sian Sie yang letaknya di bagian barat dari luar kota Kee-hin, di dalam kuil itu mereka
berkumpul di kamar bersemedhi. Kacung hweshio lantas menyuguhkan air the, habis
mana ia lantas mengundurkan diri.
“Keliru
mengerti ini jadi makin hebat…” Ciauw
Bok Taysu
mulai berkata smabil ia menghela napas.
“Taysu,”
tanya Han Siauw
Eng.
“Dia menyebutkan dua orang wanita, siapakah mereka itu? Bagaimana sebenarnya
duduk perkaranya?”
“Nanti
aku beri keterangan,” sahut hweshio itu. “Aku ada punya Suheng yang menjadi
pendeta di kepala di kuil Kong
Hauw Sie
di Hangciu…”
“Itulah Kouw Bok
Siansu, bukan?” Tin Ok memotong.
“Benar,”
sahut Ciauw Bok. “Kemarin dulu ia menulis surat padaku, ia
menitahkan dua orang yang menyampaikan surat
itu, dalam mana ia bilang ada orang jahat hendak mengganggu mereka itu dan
karenanya dia minta supaya aku beri tempat berlindung kepada merek itu. Kami
orang beribadat mesti berlaku murah hati, apapula ia adalah kakak seperguruanku,
tentu saja aku mesti terima permintaannya itu. Diluar dugaanku, baru satu dua
har I orang itu tiba, lantas Tiang Cun Cu datang menyatroni sambil dia menuduh
ada dua orang wanita dari Hangciu, dari kuil Kong Hauw Sie, datang
menyembunyikan diri di kuilku. Tentu saja aku menjadi tidak mengerti.”
“Melihat
dari sikapnya tadi, mesti dia bakal datang lagi menerbitkan onar,” menyatakan Coan Kim
Hoat. “Maka aku pikir, kita tak
dapat tidak bersiaga.”
“Itu
benar,” Tin Ok juga menyatakan.
Sampai
disitu mereka berunding, merundingkan daya penjagaan. Mereka tidak dapat
mengerti sikapnya Khu
Cie Kee.
Ciauw Bok Taysu
bingung, lebih bingung pula Kanglam
Cit Koay.
Itu
hari sehabisnya membinasakan Ong Tian Kian si pengkhianat, Khu CieKee pergi ke
Gu-kee-cun kepada Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, untuk membuat perkenalan
dengan caranya yang luar biasa itu, hingga kesudahannya ia labrak rombongan
serdadu bangsa Kim serta orang-orang polisi yang mencari padanya. Kejadian itu
membuat ia sangat gembira. Dari
Gu-kee-cun, ia lantas
pergi ke Hangciu, untuk pesiar ke telaga See Ouw dan tempat sekitarnya yang
indah, akan menghirup permainannya sang salju. Tempo ia lewat di muka Ceng
ho-hong, ia tampak lewatnya beberapa puluh serdadu dalam keadaan rudin,
seragamnya tidak karuan, tombak dan gendewanya pada patah, seperti bekas kalah
perang. Ia heran. ia tahu tidak ada peperangan dengan bangsa Kim, tidak ada huru-hara penjahat di dekat-dekat
Hangciu. Habis kenapakah barisan serdadu itu? Ia tanyakan keterangan beberapa
penduduk, juga mereka itu tidak tahu suatu apa. Saking penasaran, ia ikuti
rombongan serdadu sampai di tangsinya tentera itu. Ia tunggu sampai malam, lalu
dengan diam-diam ia menyatroni. Ia bekuk satu serdadu yang sedang tidur pulas,
yang ia bawa ke ujung jalan besar, untuk korek keterangan dari mulutnya. Kapan
ia sudah dengar jawabannya, ia menjadi mengeluh. Nyatalah barisan itu adalah
barisan yang telah pergi ke Gu-kee-cun untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw
Thian. Ia berduka berbareng murka
akan dengar Siauw Thian terbinasa dalam pertempuran itu dan Tiat Sim
terluka parah, entah kemana lolosnya tetapi ada kemungkinan dia pun tak kan hidup lama.
Imam ini sangat menyesal. Ia
tahu, itulah akibatnya ia sudah mengikat persahabatan sama dua orang she Yo dan
Kwee itu. Pasti tak dapat ia umbar hawa amarahnya terhadap serdadu itu.
“Siapakah
itu perwira atasanmu?” ia tanya.
“Ciehui
tayjin kami,” sahut serdadu itu yang menyebutkan komandonnya, “Dia she Toan,
namanya Thian
Tek.”
Cukup
segitu, Cie Kee bebaskan serdadu itu, terus ia pergi cari Thian Tek di tangsi,
tetapi ia tidak peroleh hasil, tidak tahu dimana tidurnya ciehui itu malam itu.
Besok
paginya, Tiang Cun Cu menampak hal yang membuat darahnya mendidih. Di muka tangsi, di atas tiang bendera yang tinggi,
ada di gantung kepalanya Kwee
Siauw Thian
untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Hampir dadanya meledak.
“Khu Cie
Kee, oh, Khu Cie Kee!” katanya seorang diri. “Dengar
baik-baik, kedua sahabat itu jamu padamu, kau sebaliknya rembet-rembet mereka
hingga mereka bercelaka, rumah tangga mereka tercerai berai dan musnah! Jikalau
kau tidak menuntut balas untuk mereka, masih dapatkah kau disebut satu
laki-laki?!”
Saking
mendongkol, ia hajar dengan tangannya tembok dimana tiang itu dipasang, hingga
batu dan pasir kapurnya hancur. Kemudian malamnya, dia panjat tiang itu untuk
turunkan kepalanya Siauw
Thian, yang ia bawa ke tepinya
telaga See ouw, untuk dikubur. Dia paykui di depan kuburan, airmatanya turun
mengucur, diam-diam ia memuji dan berjanji: “Itu hari pinto sudah berjanji akan
ajarkan ilmu silat kepada anak-anakmu, supaya kelak mereka menjadi orang-orang
kosen, kalau tidak, tidak ada muka pinto menemui kalian di dunia baka.”
Segera Khu Cie Kee atur rencananya. Pertama-tama Toan Thian
Tek mesti dicari, ciehui itu mesti
dibinasakan guna membalaskan sakit hatinya Tiat Sim dan Siauw Thian.
Habis itu dia hendak mencari istrinya dua sahabat itu guna menempatkan mereka
ke tenpat yang aman. Kemudian ia akan mohon belas kasihannya Thian, supaya
mereka dapat turunan, agar supaya anak-anak mereka dapat ia didik menjadi
orang-orang sempurna seperti yang ia janjikan.
Beruntun dua malam Cie Kee telah satroni tangsi Wielok nomor enam,
tidak berhasil ia mencari Toan Thian Tek, hingga ia mau menduga, mungkin Thian
Tek adalah satu komandan yang tak berdisiplin dan doyan pelesiran, mungkin
Thian tek tidur di luar tangsi, untuk mencari kesenangan. Oleh karena sudah
habis sabar di hari yang ketiga setelah dua malam itu, dia ambil cara singkat saja.
Dia pergi ke muka tangsi, untuk menegur: “Mana dia Toan Thian
Tek?! Suruh dia keluar!”Justru itu
hari, Thian Tek ada di dalam tangsinya, ia lagi
periksa Lie Peng, istrinya Siauw
Thian. Pemeriksaan dilakukan sebab
lenyapnya kepala Siauw
Thian itu. Ia ingin Lie Peng
sebutkan sahabat atau sahabat-sahabatnya Siauw Thian
yang dirasa bernyali besar berani mencuri kepalanya Siauw Thien
itu. Ia kaget akan dengar laporan ada orang cari padanya, lalu laporan itu
disusul dengan laporan lainnya, tentung sudah terjadi pertempuran dengan orang
yang mencari dia. Segera ia melongok di jendela.
Satu
imam, yang nampaknya gagah sekali, lagi bertarung dengan robongan serdadu. Atau
lebih benar, rombongan serdadu lagi dilabrak oleh imam itu yang bersenjatakan
dua serdadu yang ia cekal kakinya dengan masing-masing mereka mengeluh.
Sejumlah serdadu lain menyerang dengan anak panah tetapi serangan itu tak ada
hasilnya, si imam membela diri dengan dua serdadu korbannya itu.
Thian Tek gusur menyaksikan perkelahian
semacam itu, dengan membawa goloknya, ia lompat keluar dari tangsi.
“Kau hendak memberontak?!” ia menegur sambil ia lantas
menerjang.Imam itu, ialah khu Cie
Kee, telah sambut serangan sesudah
ia lemparkan satu serdadu. Ia gunai tangannya yang kiri. Lengannya Thian
tek lantas saja kena dicekal.
“Mana
itu bajingan jahanam Toan
Thian Tek?!”
Cie menegur. Dia belum kenal perwira ini.
Thian Tek kesakitan, tubuhnya
hampir tak dapat bergerak. tapi ia licik sekali. Ia dapat terka maksudnya si
imam.
“Toya
mencari Toan
Tayjin?” dia balik menanya.
“Dia…..dia sekarang ada di telaga See Ouw, lagi pelesiran minum arak di atas
perahu. Sebentar lohor ia baru pulang.”
Cie Kee kena diakali, ia
lepas cekalannya.
Thian Tek segera berkata
kepada dua serdadu yang ia kedipi mata: “Pergi kamu antar toya ini ke telaga
untuk cari Toan
Tayjin!”
Dua
serdadu itu belum mengerti, mereka bingung.
“Lekas!
lekas pergi!” Thian
Tek membentak. “Jangan kamu bikin
toya gusar!”
Baharu
sekarang dua serdadu itu mendusin, mereka lantas ngeloyor pergi.
Cie Kee ikuti kedua serdadu
itu.
Thian Tek tidak berani berayal
pula. Seberlalunya si imam, dia ajak barisannya meninggalkan tangsi Wie-ko itu.
Dia bawa Lie Peng bersama dia. Dia pergi ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan
yang komandannya adalah sahabat eratnya, yang sama martabatnya. Kepada sahabat
itu ia tuturkan halnya si imam jahat.
“Mari kita bekuk dia!” berkata si si komandan, yang
terus hendak kumpulkan tenteranya. tapi mendadak terdengar suara ribut-ribut di
luar tangsi, disusul sama masuknya laporan halnya satu imam datang mengacau.
Terang Khu Cie Kee balik kembali setelah ia tidak berhasil
mencari Thian
Tek, rupanya ia telah kompes kedua
serdadu pengantarnya, sehingga mereka terpaksa mesti mebuka rahasia, hingga ia
lantas menyusul ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan itu.
Thian Tek takut bukan main, tanpa pamitan
dari rekannya, dia ajak Lie Peng dan barisannya kabur dari belakang tangsi.
Kali ini ia lari keluar kota,
ke tangsi Coan-ciat nomor dua. Tangsi ini terpernah di tempat sepi. Di sini ia selamat, si imam tidak berhasil menavri
dia terlebih jauh. Baharu sekarang ia bisa bernapas sedikit lega. Tapi ia mesti
menderita pada tangannya, yang bekas di cekal si imam. Lengan itu bengkak,
rasanya sakit sekali. Dia cari tabib tentera untuk obati tangannya itu. Nyata
tulang lengannya patah, hingga tulang itu mesti disambung. Malam itu dia
bermalam di tangsi itu, dia takut pulang.Tepat tengah malam, Thian Tek
mendusin dengan kaget. Di luar tangsi,
serdadu-serdadu membikin banyak berisik. Sebabnya ialah satu serdadu jaga
ketahuan lenyap tidak keruan paran.
Tentu saja ia menjadi sangat ketakutan. Kemana ia mesti
menyingkir, supaya selamat? Akhirnya dia ingat pendeta dari Kong Hauw
Sie, yang adalah pamannya.“Baik
aku pergi ke paman,” dia ambil keputusan. Malah segera ia bekerja. Untuk
memastikan keselamatannya terus ia bawa-bawa Lie-sie. Kalau perlu nyonya Kwee
itu dapat di pakai sebagai tanggungan untuk jiwanya. Dan
untuk mencegah kecurigaan orang luar, dia paksa Lie Peng dandan sebagai
serdadu. Mereka keluar secara diam-diam dari belakang tangsi, tanpa pedulikan
malam buta rata, mereka terbirit-birit menuju ke Kong Hauw
Sie.
Pamannya Thian Tek ini sudah lama
sucikan diri, nama sucinya ialah Kouw Bok.
Ia menjadi kepala di kuil Kong
Hauw Sie
itu. Sebenarnya sudah lama dia tidak berhubungan dengan keponakannya itu, sebab
ialah dia tidak setujui kelakukan sang keponakan, tak suka ia bergaul
dengannya. Maka kaget ia akan dapatkan tengah malam itu sang keponakan muncul
dengan tiba-tiba.
Dalam
ilmu silat, Thian
Tek berkepandaian tidak seberapa,
dalam hal kecerdikan, dia melebihi kebanyakan orang. Dia tahu sebabnya kenapa
pamannya itu masuk menjadi paderi, ialah si paman sangat benci bangsa Kim dan sangat sesali pemerintah Song. Bukan saja
pemerintah tidak membuat perlawanan, sebaliknya menteri dan panglima setia
dibikin celaka. Umpama kata dia bercerita terus terang bahwa ia telah bekerja
sama dengan bangsa Kim untuk menawan Kwee Siau
Thian dan Yo Tiat Sim, dia pasti
dapat susah di tangan pamannya itu. Dari itu, siang-siang dia telah karang
sebuah alasan.
Kouw Bok Hwehio pandai ilmu silat.
Dia malah menjadi ciang-bun-jin, ahli waris dari partai Hoat Hoa Cong golongan
Selatan. Ia pernah memangku pangkat dalam ketenteraan. Sejak sucikan, ia tidak
abaikan ilmu silatnya itu, dengan rajin ia berlatih terus. Karena ini, jeri Thian
Tek terhadap pamannya.
“Mau
apa kau datang kemari?” sang paman tegur keponakannya. Sikapnya dingin.
Thian Tek segera tekuk lutut
di depan pamannya itu, ia manggut-manggut. “Keponakanmu telah orang perhina,”
katanya dengan suara susah dan mesgul. “Peehu, aku mohon pertolonganmu…”
“Kau
tinggal di tangsi tentera, kau memangku pankat, siapa berani perhina padamu?”
paman itu tanya pula.
Terus Thian Tek kasih lihat roman
sangat berduka. “Aku diperhina satu imam,” dia menyahut dengan cerita
karangannya, “Imam itu
kepung-kepung aku hingga tak tahu kemana aku mesti singkirkan diri. Peehu,
dengan memandang kepada muka ayah, aku minta kau suka tolongi keponakanmu
ini….”
Melihat
roman orang, Kouw
Bok merasa berkasihan juga.
“Kenapa
itu imam kepung-kepung padamu?” ia tanya.
Thian Tek sudah bangun
berdiri, lekas-lekas dia berlutut pula.
“Celaka,
keponakanmu celaka,” dia menjawab. “Kemarin dulu aku pergi ke barat jembatan Ceng Leng
Kio. Aku turur beberapa kawan.
Disana kami bermain-main di Lam-wa-cu di bawah rangon Hie Cun Lauw….”
“Hm…!”
sang paman perdengarkan suara di hidung.
Lam-wa-cu
itu diambil dari kata-kata wa-sia, dan wa-sia berarti “rumah genting”. Lebih
jauh, wa-sie itu diambil sebagai arti ringkas dari sebutan, “Diwaktu datang,
genting utuh; diwajtu pergi genting pecah”. Lebih tegas lagi bermaksud,
“gampang berkumpul, gampang bubar”. Tapi maksudnya nag paling jelas ialah: Di jaman Song itu, setelah pemerintahan dipindah ke
selatang, untuk mengikat hati tentera, pemerintah mengadakan apa yang dinamakan
wa-sia itu di dalam dan di luar kota
Hangciu. Itulah tempat pelesiran serdadu. Penghuni wan-sia adalah wanita-wanita
melarat yang tidak punya sanak kandung. Mulanya itu mereka jadi barang
permainan tentera, belakangan orang berpangkat atau sembarang hartawan pun
dapat permainkan mereka.
Thian Tek pura-pura tuli untuk ejekan
pamannya itu. Ia omong terus: “Aku ada punya satu nona kenalan, hari itu aku
minum arak bersamanya.
Tiba-tiba muncul imam itu, dia memaksa si nona melayani
padanya…”“Mustahil seorang suci pergi ke tempat semacam itu!” Kouw Bok
menyela.
“Tapi
kejadiannya benar demikian. Maka itu aku telah singkirkan dia, aku suruh dia
pergi. Nyata dia sangat galak. Dia damprat aku, dia katakan aku bakal terpisah
kepala dari badanku, hingga tak perlu aku main gila.”
“Apa
maksudnya dengan kata-katanya kepala terpisah dari badan?” tanya Kouw
Bok lagi.
“Dia
menjelaskan, tak lama lagi tentera bangsa Kim
akan datang menyeberang ke sini, tentera itu bakal membunuh habis semua
pembesar dan tentera kita…”
Kouw Bok lantas saja menjadi
gusar. “Dia berani mengatakan demikian?!”
“Benar, dasar tabiatku jelek, aku tegur dia dan jadi berkelahi
karenanya. Sayang aku bukan tandingan dia itu. Aku lari, dia mengejar, mengejar
terus-terusan, karena habis jalan, terpaksa aku lari ke mari.
Aku minta peehu suka tolongi aku….” Thian Tek
pura-pura merengek.“Aku adalah seorang suci, tak dapat aku urus perkara main
perempuan kamu ini,“ berkata paderi itu.
“Tolong,
peehu,” Thian
Tek merintih. “Tolong untuk kali
ini saja. Aku tak berani main gila lagi….”
Dasar
orang suci dan mengingat juga kepada almarhum saudaranya, hati Kouw Bok
tergerak.
“baik,”
kata dia akhirnya, “Untuk beberapa hari kau boleh berdiam di sini. Aku larang
kau main gila pula!”
Thian Tek menghanturkan terima
kasih berulang-ulang.
“Satu
pembesar tentera begini tidak punya guna, ah….” Kouw Bok
mengeluh. Ia menghela napas panjang.
Lie
Peng sudah diancam oleh Thian
Tek, walaupun ia tahu orang sudah
mendusta, ia tutup mulut.
Lewat
lhor itu hari, tie-kek-cung, yaitu paderi tukang layani tetamu, lari masuk
dengan tegesa-gesa, ia menemui Kouw
Bok dan melaporkannya dengan
gugup: “Di luar ada satu imam, galak
dia, dan dia minta Toan
Tiang-khoa keluar menemui
padanya….”
Thian Tek adalah satu perwira,
maka itu dia dipanggil tiang-khoa.
“Panggil Thian Tek,”
Kouw Bok menitah.
“Dia,
benar dia…” kata Thian
Tek, semunculnya dia.
“Imam itu sangat galak,
dia adalah paderi dari partai mana?” tanya
sang paman.
“Entahlah
dia imam dari desa mana,” Thian
Tek mendusta tak kepalang
tanggung. “Sebenarnya tak seberapa ilmu silatnya, dia Cuma bertenaga besar,
dasar aku yang tidak punya guna, aku tak sangggup lawan dia…”
“Baiklah,
nanti aku temui dia.”
Kouw Bok pakai jubahnya, terus ia pergi
keluar. Ia lantas bertemu sama si imam, ialah Khu Cie Kee, selagi imam itu hendak memaksa memasuki
pendopo walaupun paderi penjaga pendopo mencegah padanya.
Ia maju mendekati, ia terus tolak bahu si imam itu. Ia nampaknya
menggeraki tangan dengan perlahan tetapi ia menggunai tenaga dalam. Ia ingin
mendorong imam itu keluar pendopo. tapi begitu ia kena langgar bahu si imam, ia
kaget sekali. Ia kena langgar daging yang empuk bagaikan kapas. Celakanya,
waktu ia hendak tarik pulang tangannya, ia telah terlambat, diluar kendalinya,
tubuhnya tertolak mundur keras sekali, tidak ampun lagi ia terlempar membentur
patung Wie Hok di pendopo itu, sudah tentu benturan itu menimbulkan suara yang
keras, separuh patung pun gempur!Dalam kagetnya yang tak terkira, Kouw Bok
berpikir, “Dia lihay sekali, ia bukan Cuma besar tenaganya…” Lekas-lekas ia
rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat seraya menanya: “Ada pengajaran apakah maka totiang datang
berkunjung ke kuil kami ini?”
“Aku
datang mencari satu bangsat busuk she Toan!” Cie Kee
menjawab ringkas.
Kouw Bok insyaf bahwa ia
bukan tandingan ini imam, ia berlaku sabar.
“Seorang
pertapa perpokok kepada belas kasihan dan murah hati, kenapa totiang
berpandangan sama dengan seorang biasa saja?” ia tanya.
Cie Kee tidak menjawab
pertanyaan itu, ia hanya bertimdak masuk. Lebar tindakannya itu.
Ketika
itu, dengan seret Lie Peng, Thian
Tek sudah umpatkan diri ke dalam
sebuah kamar, karenanya tentu saja ia tak dapat dicari. Cie Kee
juga tidak berani menggeledah, sebab ia dapatkan kenyataan, di hari-hari dari
musim semi itu Kong
Hauw Sie
kedatangan banyak penduduk yang bersujud, penduduk pria dan wanita. Sebagai
seorang yang beribadat, ia tak mau mengganggu kesujudan banyak orang itu.
Dengan tertawa dingin, terpaksa ia berlalu.
Kouw Bok lirik tie-kek-ceng
untuk suruh muridnya itu antar tetamu tak diundang itu.
Setelah
mengetahui orang sudah pergi, Thian
Tek keluar dari persembunyiannya.
“Mana
dia hanya satu imam dusun!” kata Kouw Bok
dengan mendongkol. “coba kalau dia tidak berlaku murah, jiwaku pasti sudah
melayang!”
Thian Tek membungkam, ia tak
berani membuka mulut.
“Dia
sudah pergi jauh,” kata tie-kek-ceng, yang muncul di depan gurunya.
“Apakah
dia mengucapkan sesuatu?” tanya Kouw Bok
setelah berdiam sesaat.
“Dia
tak bilang suatu apa,” jawab muridnya itu.
“Inilah
aneh,” mengatakan Kouw
Bok. “Apakah ada sikapnya yang
aneh selagi dia hendak berlalu?” tanya
lagi.
“Tidak,
kecuali setibanya ia di mulut pintu pekarangan, dia sendarkan diri di dua
singa-singaan batu, agaknya ia sangat letih,” sahut tie-kek-ceng. “Dia membuang
napas, habis itu dia angkat kaki sambil tertawa haha-hihi.” lanjut muridnya
lagi.
“Ah,
celaka, celaka….” Kouw
Bok lantas mengeluh. “Celakalah
singa-singaan kita itu, yang usianya tetelah beberapa ratus tahun…” Dan tangannya melayang ke muka Thian Tek.
“Singa-singaan itu musnah di tanganmu!” katanya, habis mana ia lari keluar.
Thian Tek dan tie-kek-ceng
menjadi heran, lebih-lebih Thian
Tek yang mukanya menjadi bengap
dan merah, hingga ia mesti bekapi mukanya itu. Keduanya turut lari keluar, akan
susul Kouw Bok.
Di pintu pekarangan, Kouw Bok
Hweshio berdiri bengong mengawasi
sepasang cio-say, singa-singaan batu, yang disebutkan tadi. Nampak romannya
yang sangat berduka dan menyayangi singa-singaan itu.
“Kenapa
peehu?” sang keponakan tanya.
“Inilah
takdir…” sahut si paderi dengan masgul. “Aku keliru sudah menyalahkan kau…. Kau
tahu, sepasang cio-say ini adalah barang peninggalan jaman Lam Pak Tiauw,
ketika itu Kaisar Liang Bu Tee telah memanggil tukang yang pandai untuk
membuatnya. Sampai sebegitu jauh, aku pandang Cio-sang itu sebagai mustikanya Kong Hauw
Sie. Sekarang….ah!” Ia menghela
napas panjang.
Thian Tek masih tidak
mengerti. Ia awasi cio-say itu, yang tidak kurang suatu apa. Oleh karena
penasaran, ia dekati singa-singaan batu itu, ia raba kepalanya. Tiba-tiba saja
ia menjadi kaget. Seperti tanpa merasa, begitu kena diraba, kuping dan
hidungnya cio-say itu runtuh jatuh. Ia segera tarik pulang tangannya itu,
matanya mengawasi pamannya.
Kouw Bok menghela napas pula.
“Cio-say ini telah dirusak si imam dengan menggunai tenaga dalamnya…” katanya.
Tie-kek-ceng
heran, ia pergi tolak tubuh cio-say yang satunya lagi. Tiba-tiba saja, singa
batu itu gempur dan rubuh, bertumpuk bagaikan puing. Tentu saja ia kaget hingga
mukanya pucat. “Eh…kenapa jadi beini…? katanya.
“Luar
biasa sempurnya tenaga dalam dari imam itu,” kata Kouw Bok,
suaranya perlahan dan penuh rasa sangat menyesal. “Cio-say, cio-say, untuk
beberapa ratus tahun kamu bercape lelah menjaga pintu kuil ini, maka sekarang,
pergilah kamu dengan baik-baik…” Kemudian dia berpaling kepada Toan Thian
Tek. Ia berkata pula: “Dia
demikian lihay, apa mungkin ia sudi layani kau yang begini hina memperebuti
segala bunga berjiwa?”
Thian Tek kaget, tidak berani
dia membuka mulutnya.
“Adikku
seperguruan, Ciauw
Bok Taysu,
lebih pandai sepuluh lipat daripada aku, mungkin dia sanggup melayani imam
itu,” kata Kouw
Bok kemudian. “Pergilah kau
kesana, kepada suteeku itu.“
Meyaksikan
lihaynya Khu Cie Kee, Thian Tek tahu tidak selamat ia berdiam terus di Kong
Hauw Sie ini, dari itu ia tidak bantah pamannya itu, ia cuma minta surat
perantara, lalu dengan menyewa perahu, malam itu ia ajak Lie Peng berlayar ke
Kee-hin, untuk pergi menumpang pada Ciauw Bok Taysu.
Paderi
dari Hoat Hoa Sian Sie tidak menduga apa-apa, ia tidak sangka yang kawannya Thian Tek
adalah satu wanita dalam penyamaran, ia terima mereka itu menumpang.
Keras
adalah hatinya Khu Cie Kee,
ia berhasil menyusul Thian Tek.
Kebetulan ia lihat Lie Peng di dalam tamannya kuil. Ia mengawasi, kecurigaannya
timbul. Sayang ia terlambat. Ketika kemudian ia lompat masuk ke dalam
pekarangan, Lie Peng sudah disembunyikan Thian Tek
dalam ruang bawah tanah.
Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia ketemukan Ciauw Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dengan matanya sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia berkeras.
Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia ketemukan Ciauw Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dengan matanya sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia berkeras.
Ciauw Bok Taysu merasa tidak
ungkulan melawan imam itu, begitu ia ingat pada Kanglam Cit Koay, ia
pergi minta bantuannya tujuh Manusia
Aneh dari kanglam itu. Demikianlah
mereka berkumpul di restoran Cui Sian Lauw, sampai setiba Tiang Cun Cu dengan
jambangan araknya yang istimewa itu.
Habis
menutur Ciauw
Bok Taysu
menambahkan: “Telah lama aku dengar Tiang Cun Cu lihay, sekarang kita dapat
buktikan itu. Turut penglihatanku, dia seperzi bukan hendak mengacau, maka aku
mau percaya, pada ini mesti terselip salah mengerti.”
“Aku
pikir baiklah minta datang dua orang yang kakakmu itu perkenalkan,” Kim Hoat
menyarankan. “Coba kita tanyakan keterangannya.”
“Benar,”
Ciauw Bok Taysu
menyatakan akur. “Aku memang bekum pernah tanyakan sesuatu kepada mereka.”
Paderi ini hendak suruh panggil Thian Tek tempo Tin Ok peringatkan:
“Ciauw Bok Suheng, mungkin imam itu menyusul kita, maka kalau kita bertempur
pula, mestinya jalannya tak sama dengan yang di rumah makan, dia tidak bakal
berlaku murah hati lagi.
Pastilah dia menyangka kita telah bekerja sama dengan pihak Kim.”“Kwa Toako betul, maka itu mesti kita cari jalan
untuk mengerti satu pada lain,” berkata si pederi.
“Yang
dikhawatirkan justru salah mengerti ini sukar dijelaskan…” kata Tin Ok pula.
“Kalau
terpaksa kita maju berdelapan…” Cu
Cong turut berbicara.
“Delapan
orang lawan satu orang, itulah tidak benar…” menyangsikan Han Po Kie.
“Aku
pikir tak apa,” kata Coan
Kim Hoat.
“Kita tidak berniat binasakan dia, melainkan kita menghendaki dia sabar
mendengarkan penjelasan Ciauw
Bok Taysu.”
“Apakah
nama kita tidak bercacat seumpama tersiar diluaran Ciauw Bok
Taysu bersama Kanglam
Cit Koay
mengepung satu orang?” Han
Siauw Eng
pun bersangsi.
Belum putus pembicaraan mereka, mereka telah dikagetkan suara
keras yang datangnya dari toan-thian, pendopo besar.
Suara itu seperti suaranya dua genta beradu keras, suara itu lalu
mengaung, mengalun.“Nah, si imam datang!” seru Kwa Tin Ok, sambil ia melompat.
Berdelapan
mereka memburu ke depan. Lagi sekali mereka dengar suara nyaring seperti tadi,
hanya kali ini disusul sama campuran suara rengatnya barang logam.
Seperti
terlihat Khu
Cie Kee,
dengan jambangan arak di tangannya, sedang menggempur genta di toa-thian itu.
Dia menyerang beberapa kali, sampai jambangan perunggu itu retak.
“Citmoay,
mari kita maju lebih dahulu!” Ho Po
Kie teiaki adiknya. Ia dan adiknya
itu memang yang paling aseran diantara Cit Koay.
Ia pun lantas tarik Kim-liong-pian-
cambuk Naga Emas, dari pinggangnya, dengan sabetan
“Naga hitam menggoyang ekor”, dia mencoba melilit lengan si imam yang memegang
jambangan.
Di pihak lain Han Siauw
Eng sudah hunus pedangnya, yang
tajam mengkilap, dengan itu ia lompat menikam bebokong imam itu.
Diserang
dari depan dan belakang, Khu
Cie Kee
tidak menjadi gugup. dengan satu gerakan tangan kanannya, ia membuat terbitnya
suatu suara nyaring. Cambuk
Naga Emas
bukannya melilit tangan, hanya menghajar jambangan perunggu itu. Berbareng
dengan itu, dengan satu egosan tubuh, si imam juga bebaskan diri dari ujung
pedangnya si nona. Lincah sekali caranya ia berkelit.
Siauw Eng menjadi penasaran,
ia ulangi serangannya, beruntun beberapa kali. Ia kembali gagal.
Cepat
sekali Khu Cie Kee
ketahui ilmu silat pedang si nona.
Di jaman dahulu, negeri
Gouw bermusuh dengan negeri Wat. Untuk dapat menelan negeri Gouw itu, Raja Wat,
yang bernama Kouw
Cian, melatih keuletan diri dengan
tidur sambil mencicipi nyali yang pahit. Sayang untuknya, ia mesti menghadapi Ngow Cu
Sih, panglima sangat tangguh dari
negeri Gouw itu, yang pandai sekali mengatur tentera. Ia menjadi sangat tidak
puas dan berduka. Pada suatu hari ia kedatangan satu gadis yang cantik, yang
pandai ilmu silat pedang. Ia menjadi sangat girang, ia minta si gadis ajari ia
ilmu silat itu. Kali ini ia berhasil, negeri Gouw dapat dimusnahkan. Kota Kee-hin adalah tapal
batas kedua negeri Gouw dan Wat itu, di situ kedua negara biasa berperang. Oleh
karena disitulah tersiar luas perihal ilmu pedangnya si gadis Wat itu, yang
sekarang dipunyai Han Siauw Eng. Ilmu silat itu asalnya tigapuluh enam jurus,
di tangan nona Han, ia perbaiki, ditambah hingga menjadi empatpuluh sembilan
jurus. Penambahan ini penting untuk si nona, karena ia berkecimpung di dunia
kang-ouw -Sungai Telaga – sedang raja Wat pakai ilmu itu dalam peperangan,
untuk membinasakan panglima dan merubuhkan kuda perang. Oleh karenanya, orang
kang-ouw juluki si nona Wat Lie Kiam – Akhli pednag Gadis Wat
–
Begitu
lekas mengenali ilmu silatnya si nona, sambil di lain pihak melayani Han Po
Kie, Tiang Cun Cu mendesak Siauw
Eng, hendak ia merampas pedang si
nona. Karena ini ia membuat si nona Han menjadi
repot, beberapa kali Han
Siauw Eng
menghindari nacaman bahaya, sampai ia terdsak mundur ke tepinya patung Buddha.
Mendapatkan
adik angkatnya terancam bahaya, Lam Han Jin dan Thio A Seng maju dengan berbareng, yang satu
geraki pikulannya yang istimewa, yang lain mainkan “golok jagalnya” yang
ujungnya lancip. Sikap kedua saudara ini sangat berbeda satu sama lain. Kalau
Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan bungkam mulutnya, Siauw Mie
To si Buddha tertawa terus-terusan mengoceh tidak karuan juntrungannya, hingga
Khu Cie Kee tak ketahui apa yang diucapkannya.
Segera
si imam serang tukang pentang bacot itu. tangan kirinya yang menyambar. A Seng
berkelit seraya melengak, ia tidak menyangka orang akali padanya. Justru ia
melengak itu, kakinya Cie
Kee melayang, tepat mengenai
lengannya. Tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan melayang. Tendangan itu
mendatangkan rasa sakit dan akget. Walaupun begitu, sebagai jago ia tidak
menghiraukan pedangnya yang terbang malah membarengi itu, ia membalas menyerang
dengan tangan kirinya, setelah ia menganca, dengan tangan kanan! Sebab sebat
sekali, ia sudah lantas pernahkan diri.
“Bagus!”
Tiang Cun Cu puji lawannya ini. Ia berkelit untuk serangan membalas sambil
berkelit, ia mengatakannya: “Sayang! Sayang!”
“Eh,
sayang! Sayang apanya?!” tegaskan Siauw Mie
To
“Sayang
ilmu silatmu yang sempurna ini!” sahut Cie Kee
sambil ia layani terus musuh-musuhnya. “Kau begini lihay tetapi kau rendahkan
dirimu dengan jalan menakluk kepada musuh negara!”
“Hai,
imam bangsat, kau ngaco belo!” mendamprat A Seng sangking murkanya. Mana ia mau
mengerti dikatakan menakluk pada musuh, dalam hal ini, musuh bangsa Kim. Beruntun tiga kali, ia menyerang lawannya.
Cie Kee melawan sambil
berkelit, akan tetapi untuk dua serangan yang belakangan, ia menangkis dengan
jambangannya. Atau lebih benar, ia pasang jambangan itu sebagai sasaran, maka
dua kali kepalannya A seng membuatanya jambangan itu bersuara nyaring.
Biauw
Ciu Sie-seng merasa tidak enak karena berempat mereka mengepung, nyatanya
mereka berada di bawah angin. Menampak demikian Coan Kim Hoat tapinya menjadi penasaran, dengan
memberi tanda kepada kakaknya yang kedua, ia lompat menerjang, diturut oleh
kakak angkatnya itu. Keduanya maju dari samping.
Genggamannya
Lauw-sie In Hiap adalah sebatang bacin, yaitu alat peranti menimbangan barang,
maka itu senjata bisa dipakai berbareng sebagai toya, gaetan dan gembolan,
sedang Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay, yang pandai ilmu menotok,
dengan kipasnya senantiasa mencari jalan darah lawannya.
Khu Cie Kee tidak peduli ia
dikepung berenam, ia tetap mainkan jambangannya sebagai senjata, sebagai
tameng, karena dengan itu ia lebih banyak membela dirinya. Untuk membalas
menyerang, ia pakai tangan kirinya yang bebas yang tidak bersenjatakan apa
juga.
Ciauw Bok Taysu menjadi bergelisah
menyaksikan jalannya pertempuran itu yang makin lama jadi makin hebat. Dia
akhirnya tidak dapat bersabar lagi.
“Tahan!
Tahan!” ia berseru-seru. “Tuan-tuan tahan! Dengar, hendak aku bicara!”
Dalam
waktu pertempuran yang hebat itu, tidak ada orang yang sudi dengar cegahannya
itu. Malah Khu Cie Kee perdengarkan seruannya: “Kawanan
pengkhianat tidak tahu malu, lihat!” Dan
lantas ia mendesak dengan serangan tangan kirinya, dengan jari-jari tangan
terbuka, juga dengan kepalan. Satu serangannya yang mengancam Thio A
Seng hebat sekali, sebab Siauw Mie
To tengan terdesak.
“Totiang,
jangan turunkan tangan kejam!” Ciauw
Bok Taysu
berseru dalam kegelisahannya yang hebat. Ia merasa A Seng tidak akan luput dari
bahaya.
Cie Kee memang menyerang
dengan hebat sekali. Ia lihat ia dikepung berenam, ia merasa bahwa ia telah
mesti menggunai tenaga banyak. Disana masih ada dua musuh segar
Kwa Tin OK dan Ciauw
Bok Taysu
– inilah berbahaya untuknya. Jikalau mereka ini meluruk juga? Dari itu, ingin
ia lekas-lekas menyudahi pertempuran itu. Ia khwatir juga, lama-lama nanti ia
kalah ulet.
Thio A Seng ada punya ilmu
kedot, ialah tubuhnya tidak mempan senjata tajam. Kekebalannya itu ditambah
sama tenaganya yang besar, karena ia biasa berlatih mengadu tenaga dengan
kerbau – sudah dagingnya keras dan kulitnya pun tebal. Maka itu, menampak
ancaman bahaya, ia manjadi nekat.
“Biarlah!”
dia berseru, dan ia sambuti serangannya si imam untuk keras lawan keras. Tapi
ia salah menaksir ketangguhannya sendiri. Di
antara satu suara keras, lengannya itu terhajar patah tangannya Khu Cie
Kee.
Cu
Cong kaget bukan kepalang, ia berlompat menotok jalan darah soan-kie-hiat dari
Tiang Cu Cu. Totokan ini bukan untuk menolongi Thio A Seng, yang telah menjadi
korban, hanya guna mencegah si imam ulangi serangannya yang lihay itu.
Khu Cie Kee memang tidak
berhenti sampai disitu. Rupanya ia anggap belum cukup dengan korban Thio A
Seng itu. Dengan tidak kurang
bengisnya, ia ulangi serangan-serangannya yang dikhawatirkan Biauw Ciu
Sie-seng.
Segera
juga terdengar jeritannya Coan
Kim Hoat.
Batu dacinnya Lauw-sie In Hiap telah kena disambar oleh si imam, dacin itu
terus ditarik dengan keras. Tidak dapat Kim Hoat
pertahankan diri, kuda-kudanya gempur, tubuhnya terbetot. Menyusul tarikannya
itu, Khu Cie Kee
ayun terus tangan kirinya, guna menhajar batok kepala lawannya itu. Untuk cegah
Lam Hie Jin dan Cu
Cong, yang berada paling dekat, ia
tolak jambangannya ke arah mereka itu.
Han Po Kie dan Han
Siauw Eng
kaget tidak terkira. Kim
Hoat itu adalah saudara angkat
mereka. Yang mereka sayangi sebagai saudara betul. Keduanya apungi tubuh
mereka, untuk hampiri si imam, yang mereka terjang dengan berbareng. Cuma ini
jalan untuk tolongi saudara angkat mereka itu.Mau tidak mau, Khu Cie
Kee mesti berkelit. Atas itu, Coan Kim
Hoat lompat melejit. Ia lolos dari
gempuran kepada batok kepalanya, ia mandi keringat. Mesti begitu, ia tidak
lolos seluruhnya. Selagi melejit, kakinya si imam kena sambar pinggangnya,
hingga ia lantas saja rubuh terguling, tidak dapat lantas bangun.
Ciauw Bok Taysu lihat keadaan hebat,
ia tidak dapat tinggal peluk tanagn terlebih lama pula, meskipun sebenarnya ia
tidak menghendaki pertempuran, ia sungkan turun tangan. Begitulah ia maju
denagn sepotong kayunya yang mirip ruyung, yang ujungnya hitam hangus. Ia
menotok ke bawah ketiak.
“Dia
ahli menotok, dia lihay,” pikir Khu
Cie Kee,
yang berkelit, setelah mana, ia juga layani paderi itu.
Setelah
turun tangannya paderi itu, Kwa Tin Ok tidak dapat berdiam terlebih lama lagi.
Ia buta tetapi ia tahu dua saudaranya telah rubuh, adiknya yang kelima dan yang
keenam. Ia perhatikan suara anginnya, suara beradunya setiap senjata. Di saat ia hendak gerakkan tongkat besinya, Coan Kim
Hoat teriaki dia: “Toako, kau
gunai thie-leng! Hajar dulu kedudukan cin, lalu kedudukan siauw-ko!”
Menyusul anjuran itu, dua rupa senjata rahasia menyambar sar! ser!
kearah si imam.
Yang satu menuju ke alis
dan yang lain ke paha kanan sebelah dalam.Cie Kee terkejut. “Dia hebat sekali!”
pikirnya. “Dia buta tetapi dia bisa mengincar dengan tepat. Sebenarnya ada
sulit walaupun ada orang luar yang memberi petunjuk menurut garis-garus
patkwa…”
Ia
lihat datangnya dua serangan itu, ia menangkis dengan jambangannya, maka
setelah suara ting-tong, kedua senjata rahasia itu – thie-leng, atau lengkak
besi – jatuh ke lantai.
Thie-leng
adalah senkata rahasianya Hui Thian Pian-hok, mirip lengkak tetapi ujung
tajamnya ada empat.
Coan Kim Hoat sudah berseru-seru
pula: “Hajar tionghu, hajar lie! Bagus, bagus! Sekarang serang beng-ie!” Setiap
kali ia berseru, setiap kali juga lengkak besi dari Kwa Tin Ok menyambar. Maka
sebentar saja belasan lengkak telah membuatnya Cie Kee
terpaksa main mundur saja. Imam ini
lihay, biar ia tidak terluka, dia toh tidak kalah, ia melainkan tidak sempat
membalas menyerang. Sebagai seorang yang cerdik dan gesit, ia dapat bersedia
setiap kali Kom
Hoat perdengarkan petunjuknya.
Lauw-sie
In Hiap sendiri terancam lukanya, ia dapat menunjuki sasaran kepada toakonya,
tetapi semakin lama, suaranya makin lemah, makin perlahan, pada itu tercampur
rintihan juga, dan beda dengan dia adalah Thio A Seng, tidak terdengar suaranya
sama sekali, hingga orang tidak tahu dia masih hidup atau sudah mati…
“Serang!
Serang!” Coan
Kim Hoat
masih bersuara lagi. “Hajar tongjin…!”
Yang terakhir ini Kwa Tin Ok tidak turuti tetap sasarannya Kim Hoat
itu. Ia juga tidak gunai satu-satu biji lengkak sebagaimana bermula tadi.
Sekarang ia menimpuk berbareng dengan empat buah senjata rahasianya itu. Bukan
anggota tongjin yang ia incar, hanya kedua bagian kiri dan kanan dari tongjin
itu.
Di kanan
ialah bagian ciat dan sun, dan di kiri, bagian hong dan lie.Berbareng dengan
itu, Ciauw Bok Taysu
dan Han Siauw Eng
menyerang dari kanan. Kalut kedudukan mereka, semua sebab hampir berbareng, Cie Kee
pun berkelit dari anggota tongjin sebagaimana diteriaki Kim Hoat.
Karena itu dengan berbareng dua orang perdengaran jeritan kaget. Jeritan itu
menandakan adanya dua korban!
Jitu
serangan Tin Ok kali ini, Cie
Kee terlalu perhatikan tongjin, ia
kena tertipu si buta, yang menyerang ke lain jurusan. Ia tidak lolos dari semua
empat lengkak, yang satu mengenai pundak kanannya, hingga ia menjadi kaget dan
menjerit karenanya.
Jeritan
yang lain dikeluarkan oleh Han Siauw Eng. Selagi nona ini maju menyerang,
lengkak yang mengarah bagian sun tepat mengenai pundaknya tanpa ia ketahui atau
dapat berdaya mengelakkannya.
Kwa Tin Ok kaget berbareng girang. “Citmoay, lekas kemari!” ia
memanggil. Ia tahu, lengkaknya sudah nyasar di tubuh adik bungsunya itu.
Inilah yang membikin ia kaget. Ia girang sebab ia dengar suaranya
si imam.Han Siauw
Eng tahu senjata rahasia kakaknya
ada racunnya, benar sementara itu ia cuma merasai sakit sedikit, lama-lama sang
racun akan bekerja mencelakai ia, justru ia lagi ketakutan, ia dengar
teriakannya kakak itu, tanpa sangsi lagi, ia lari kepada itu kakak.
“Toako!”
ia memanggil.
Tin
Ok lantas rogoh sakunya, ia keluarkan sebutir pil kuning, dengan lantas ia
jejalkan itu ke mulut adiknya. “Lekas kau rebahkan diri di taman belakang, di
tanah!” kakak ini beri petunjuk. “Kau tidak boleh bergerak sedikit juga. Kau
mesti tunggu sampai aku datang untuk mengobati!”
Sebenarnya Siauw Eng keras kepala, tetapi
ia dengar kata, ia terus lari ke belakang.
“Jangan
lari, jangan lari!” Tin Ok teriaki, “Tenangi hati, jalan perlahan-lahan saja!”
Siauw Eng mendusin, ia lantas
damprat dirinya sendiri. Siapa terkena senjata rahasia yang beracun itu, dia
tidak boleh keluarkan tenaga, racun bisa mengikuti jalan darah segera menyerang
ke ulu hati, kalau sampai itu terjadi, maka tidak ada obat lagi untuk menolong.
Maka ia lantas berjalan dengan berpalahn tetapi tetap.
Cie Kee terkena senjata
rahasia, ia tidak perhatikan itu, ia baru sadar kapan ia dengar teriakannya Tin
Ok kepada Siauw
Eng, yang dilarang lari. Justru
itu, ia merasakan pundaknya sedikit kebas. Lantas ia menduga bahwa senajata
rahasia itu ada racunnya. Niscaya sekali ia menginsyafi bahaya yang mengancam
dirinya. Karena ini ia lantas tak berani melanjuti pertempuran itu. Dengan
tiba-tiba ia rangsak Lam Hie Jin, muka siapa ia hajar.
Lam
San Ciauw-cu lihat bahaya datang, ia tidak mau singkirkan diri, sambil pasang
kuda-kudanya, ia lintangi pikulannya di depan mukanya. Itulah gerak “Tiat so
heng kang” atau “ Rantai besi dilintagi di sungai”. Dengan senjatanya itu
hendak ia sambut pukulan musuh.
Khu Cie Kee tahu maksudnya lawan
itu, ia tidak batalkan serangannya, ia melangsungkannya. Maka pikulannya Hie
Jin kena terhajar, begitu jeras, hingga tubuhnya si Tukang Kayu dari Gunung Selatan
menjadi tergetar dan kedua tangannya dirasakan sangat sakit. Sebab telapakan
tangannya pecah dan mengeluarkan darah, hingga genggamannya terlepas dan jatuh
ke lantai. Tidak begitu saja, akibat lainnya menyusul. Hie Jin
lantas merasa tubuhnya enteng, kedua matanya kabur, mulutnya manis,
terus ia muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah dapat
melukakan lawan yang menghalangi ia, ia sendiri pun rasai pundaknya semakin
kebas dan kaku. Sekarang ia merasakan bahwa jambangan di tangannya itu menjadi
berat. Ia jadi berkhawatir. Maka sambil membentak keras, ia menyapu kepada Han
Po Kie yang maju untuk serang padanya.
Si
cebol lari berkelit.
“Ke
mana kau hendak lari?!” bentak Tiang Cun Cu yang terus tolak tangan kanannya,
sekalian diputar, dikasih turun. Dengan begitu, jambangannya jadi menungkrap
dari atas, menyambar si cebol itu, selagi dia ini belum tiba di lantai,
sehingga ia tidak bisa berkelit. Untuk tolong diri, ia pengkeratkan tubuhnya.
Ketika mulut jambangan tiba di lantai, si cebol kena ketutup!
Setelah
itu Cie Kee lepaskan tangannya dari jambangan itu,
sebaliknya, ia hunus pedangnya. Ia lantas lompat mencelat ke arah genta, untuk
membabat rantai gantungannya, berbareng tangan kirinya menolak tubuh genta itu
yang beratnya mungkin ratusan seribu kati. begitu rantai putus, genta jatuh
menimpa jambangan, kerena mana meski ia bertenaga besar, Han Po Kie tidak
sempat berdaya untuk membalikkan jambangan itu, untuk keluar dari kurungan.
Sementara itu pucat mukanya Khu Cie Kee, peluhnya lantas turun menetes.“Lekas
lemparkan pedangmu, menyerah!” Kwa Tin Ok teriaki lawan itu. Berayal sedikit
saja, jiwamu bakal tidak tertolong!”
Si
buta ini merasa pasti mengenai lawannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar