Bab 13. Tipu Lawan
Tipu
Berselang sesaat, tubuhnya Bwee Tiauw
Hong kasih dengar suara meretek,
mulanya perlahan, lalu menjadi nyaring seperti meletusnya suara kacang goreng
yang digoreng terlalu matang. Cuma suara yang terdengar, tubuhnya sendiri tidak
bergerak, Kwee Ceng heran walaupun ia tidak mengerti latihan orang yang luar
biasa itu.Tak lama, dari keras dan nyaring, suara mereteknya Tiauw Hong menjadi
kendor, lalu berhenti.
Habis itu, dia bangkit berdiri, tangan kirinya menarik sesuatu
dari pinggangnya. Kwee
Ceng hanya lihat berkelebatnya
sinar putih perak dari suatu benda seperti ular panjang. Ia terkejut pula.
Sekarang ia melihat nyata itulah joan
pian, cambuk lemas putih yang mengkilap. Kim-liong-pian dari Han Po Kie panjang
Cuma enam kaki, cambuk ini berlipat sepuluh kali. Mungkin enam tombak. Cambuk
ini terus dicekal di tengahnya kedua tangan, sambil tertawa, Tiauw Hong
lantas bersilat. Hebat bergeraknya cambuk lemas itu, cepatnya luar biasa. Yang
hebat adalah tempo cambuk dipegang ujungnya dengan sebelah tangan kanan,
ujungnya yang lain menghajar batu besar!Habis itu Kwee Ceng
dibikin kaget sama ujung cambuk yang emnyambar ke arahnya. Ia lihat tegas,
ujung itu ada punya belasan gaetan yang tajam. Ia tidak takut, untuk bela diri,
ia cabut pisaunya yang tajam, untuk dipakai menangkis. Belum lagi kedua
senjatanya beradu, ia rasakan lengannya sakit sekali, lengan itu orang kasih
paksa turun sedang bebokongnya ditekan supaya ia mendekam pula. Ia bergerak
tanpa ia merasa.
Sekejap
saja, ujung cambuk lewat di atasan kepalanya!
Anak
tanggung ini mengeluarkan peluh dingin. “Kalau totiang tidak tolong aku, habis
hancur kepalaku…” pikirnya.
Setelah
matanya buta, Bwee
Tiauw Hong
sengaja menyakinkan cambuk lemas. Kupingnya menjadi terang sekali, sedikit saja
suara berkelisik, ia dapat dengar. Dalam jarak enam tombak, sukar orang lolos
dari cambuknya yang panjang itu, yang ia telah latih dengan sempurna..
Dengan
ketakutan, Kwee
Ceng mendekam, napasnya ia tahan.
Habis berlatih, Tiauw
Hong simpan cambuknya itu.
Sekarang ia keluarkan suatu apa dari sakunya, ia letaki itu ditanah, lalu
tangannya meraba-raba. Ia berdiam, seperti lagi memikirkan sesuatu. Ketika ia
berbangkit, ia bikin gerakan seperti berlatih silat.
Ia kembali meraba barangnya itu , lagi ia berpikir. Beberapa kali
ia berbuat begitu, baru ia simpan pula barangnya itu. Diakhirnya ia ankat kaki,
berlalu dari belakang jurang darimana ia datang tadi.Kwee Ceng menghela napas
lega. Ia berbangkit.
“Mari kita ikuti dia, entah ia bakal kasih
pertunjukkan apalagi,” berkata si imam, yang pun lantas bangun. Malah ia sambar
pinggang bocah itu, untzk bawa ia turun dari belakang jurang itu. Kwee Ceng
dapat kenyataan, dibagian belakang ini, orang pun bisa naik dengan melapati di
oyot rotan. Cara ini telah digunai
oleh si Mayat
Besi.
Setibanya
mereka di bawah, terlihat Tiauw
Hong berada jauh di arah utara. Si
imam kempit Kwee Ceng, ia lari menyeusul. Dan Kwee Ceng merasakan dirinya seperti dibawa
terbang. Lama mereka
berlari-lari, di waktu langit mulai terang, Tiauw Hong
tiba di satu tempat di mana ada banyak kemah, di sana ia menghilang. Si imam mengcoba
mengikuti terus, untuk ini, mereka mesti menyingkir dari serdadu-serdadu
penjaga.
Di tengah-tengah ada
sebuah kemah terbesar, tendanya berwarna kuning. Di
belakang ini si imam mendekam, lalu ia dan Kwee Ceng
menyingkap tenda, untuk melihat ke dalam.
Justru
itu terlihat satu orang, dengan goloknya membacok satu orang lain, yang rubuh
dengan segera dan terbinasa, rubuhnya ke dekat tenda di mana dua orang itu
tengah mengintai.
Kwee Ceng kenali, si terbunuh
itu adalah pengiringnya Temuchin, ia menjadi heran. Ia singkap lebih tinggi
tenda, untuk melihat tegas si pembunuh, yang ekbetulan menoleh, maka ia lantas
kenali sebagai Sangum, putranya Wang Khan. Dia itu sudah lantas susuti goloknya
pada sepatu.
“Sekarang
kau tidak akan sangsi pula, bukan?” berkata Sangum itu.
Di situ ada satu orang
lain, ia ini kata,” Saudara angkatku Temuchin pintar dan gagah, belum tentu kau
akan berhasil.”
Sangum
tertawa dingin, dia kata: “Jikalau kau menyayangi kakak angkatmu, nah, pergilah
kau melaporkannya!”
Orang
itu menyahuti: “Kau adalah adik angkatku, ayahmu juga perlakukan aku baik
sekali, sudah tentu aku tidak bakal sia-siakan padamu!”
Kwee Ceng kenali orang itu
adalah saudara angkat sehidup semati dari Temuchin, yaitu Jamukha, ia menjadi
heran sekali. Pikirnya: “Mustahilkah mereka bersekutu untuk mencelakai Khan
yang agung? Bagaimana ini bisa terjadi?”
Lalu
terdengar seorang lain: “Setelah kita berhasil, maka semua ternak, orang
perempuan dan hartanya Temuchin terjatuh kepada Sangum, semua sebawahannya
untuk Jamukha, dan dari pihak kami negara Kim yang besar, Jamukha bakal
diangkat menjadi Tin Pak Ciauw-touw-su.”
Pangkat
itu adalah pangkat tertinggi untuk wilayah utara dengan tugas memanggil
menakluk dan menghukum pemberontak.
Kwee Ceng tidak melihat tegas
muka orang itu, karena orang itu berdiri membelakangi dia, maka ia menggeser,
ketika ia melihat dari samping, ia seperti mengenalinya. Orang ada memakai
jubah bulu ynag mahal, dandannya mewah. Ia tak usah mengingat-ingat lama, akan
kata dalam hatinya: “Ah, ialah pangeran keenam dari negara Kim!”
Jamukha
tertarik dengan janji itu, ia berkata: “Asal saja ayah angkatku Wang Khan memberikan titahnya,
aku tentu menurut.”
Sangum
menjadi girang sekali, ia bilang: “Berapa susahnya untuk ayahku memberi
titahnya? Sebentar akan aku minta titahnya itu, tidak nanti ia tidak
memberikannya!”
Wanyen
Lieh, si putra Raja Kim yang keenam itu, berkata: “Negeriku yang besar bakal
lantas berangkat ke Selatan untuk menumpas kerajaan Song, itu waktu kamu berdua
masing-masing boleh memimpin duapuluh ribu serdadu untuk membantu, setelah
usahanya berhasil, kamu bakal dapat hadiah lainnya lagi!”
Sangum
girang sekali, ia berkata: “Kabarnya negara di Selatan itu adalah negara yang
indah permai, di seluruh tanahnya penuh denagn emas dan orang-orang
perempuannya ada bagaikan bunga-bunga, jika Tuan Pangeran mengajak kita
bersaudara pergi ke sana, sungguh bagus sekali!”
Wanyen Lieh tersenyum. “Sekarang
tolong kedua tuan bilangi aku, cara
bagaimana kamu hendak menghadapi Temuchin?” dia tanya.
Selagi Kwee Ceng memasang kuping, ia
rasai si imam menarik ujung bajunya, kapan ia menoleh, ia dapatkan imam itu
menunjuk ke belakang. Ia lantas berbalik. Maka ia lihat Bwee Tiauw
Hong sedang membekuk satu orang,
rupanya ditanyakan sesuatu.
“Biar
apa dia lakukan, buat sesaat ini guru-guruku tidak bakal menghadapi bahaya,” Kwee Ceng
berpikir. “Biar aku dengari persekutuannya mereka ini yang hendak mencelakai
Khan yang agung.” Maka itu ia mendekam terus seraya memasang kupingnya.
Terdengar
Sangum berkata: “Temuchin itu telah jodohkan putrinya kepada putraku, baru saja
ia kirim utusan untuk membicarakan hari pernikahan.” Dia menunjuk orangnya
Temuchin yang telah ia binasakan itu. Dan melanjuti kemudian: “Aku sudah lantas
kirim orang untuk memberi balasan, aku minta ia besok datang sendiri untuk berembuk
bersama ayahku. Aku percaya ia bakal datang dan tentunya tanpa membawa banyak
pengiring, maka itu baiklah kita sembunyikan orang disepanjang jalan. Temuchin
boleh mepunyai tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti ia lolos dari jaring
perangkapku ini! Ha-ha-haha!”
Kwee Ceng kaget dengan berang
gusar. Ia tidak sangka ada orang sedemikian jahat, yang hendak membinasakan
saudara angkatnya sendiri. ia masih hendak mendengari lebih jauh etika ia
rasakan si imam sambar ia untuk ditekan, menyusul mana Tiauw Hong
berkelebat lewat, di tangannya ada orang yang dikempitnya. Sekejap saja, si Mayat Besi
sudah lewat jauh.
Si
imam tarik tangan si bocah, akan pergi meninggalkan kemah beberapa puluh
tindak, lalu ia berbisik: “Tiauw
Hong lagi cari orang untuk
menanyakan tempat kediaman gurumu. Mari
lekas, kalau terlambat bisa gagal!”
Kwee Ceng terpaksa menurut,
maka bersama-sama mereka lari pesat, menuju kemahnya Kanglam Liok
Koay. Ketika itu hari telah siang.
Di sini si imam berkata: “Sebenarnya tidak hendak aku perlihatkan diriku, akan
tetapi urusan ada begini penting, bahaya tengah mengancam, tidak dapat aku
berkukuh lebih lama lagi. Pergilah kau masuk ke dalam, bilang pada gurumu
bahwaTan-yang-cu Ma Goik mohon bertemu sama Kanglam Liok
Koay.”
Dua
tahun Kwee Ceng ikuti imam ini, baru sekarang ia
ketahui nama orang. Cuma ia tetap belum tahu, siapa imam ini yang semestinya
lihay. Ia mengangguk, tanpa ayal, ia lari ke dalam kemah. “Suhu!” ia berseru
begitu ia menyingkap tenda. Baharu saja ia memanggil itu, mendadak ia merasakan
dua tangannya sakit, tangannya itu kena orang sambar, disusul mana sakit di
kakinya yang kena ditendang, maka terus ia rubuh, akan setelah itu, sebatang
tongkat melayang ke kepalanya! Bukan main kagetnya ia, apapula kapan ia kenali,
penyerangnya itu adalah Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. Ia lantas meramkan
mata, untuk menantikan kebinasaannya.
Segera
itu menyusul terdengar suara senjata bentrok, habis mana satu orang lompat
kepada anak tanggung itu.
Kwee Ceng segera kenali
gurunya yang ketujuh, ialah Han
Siauw Eng,
siapa terus berseru: “Toako, tahan!”. Pedang guru itu telah terpental.
Tin
Ok menghela napas, ia tancap tongkapnya. “Citmoay, hatimu lemah sekali!”
katanya perlahan.
Sekarang Kwee Ceng melihat, orang yang
menyambar tangannya adalah Cu Cong dan Coan Kim Hoat. Ia menjadi sangat bingung.
“Mana
dia gurumu yang mengajarkan kau ilmu dalam?!” tanya
Tin Ok kemudian dengan dingin.
“Dia
ada di luar, dia mohon bertemu sama suhu semua,” sahut Kwee Ceng.
Bukan
main kagetnya Tin Ok berenam! Bagaimana mungkin Bwee Tiauw
Hong datang diwaktu siang hari
bolong? Maka bersama-sama mereka lompat keluar tenda. Tapi di bawah terangnya
sinar matahari, di sana
mereka tampak seorang imam tua, Bwee
Tiauw Hong
sendiri tidak ada bayangannya sekalipun.
“Mana
itu siluman perempuan” Cu Cong bentak muridnya.
“Teecu
telah lihat dia tadi, mungkin sebentar dia bakal datang kemari,” sahut itu
murid.
Kanglam Liok Koay berdiam, lalu mereka
mengawasi Ma Giok, mereka berenam menjadi ragu-ragu.
Imam itu bertindak mau, ia
menjura. “Sudah lama pinto mengagumi tuan-tuan, sekarang kita dapat bertemu,
sungguh pinto merasa sangat beruntung,” dia berkata.
Cu Cong lepaskan tangan Kwee Ceng,
yang ia masih pegangi. Ia membalas hormat. Ia pun lantas berkata: “Tidak berani
memohon tanya gelaran totiang.”
Sekarang Kwee Ceng ingat, belum lagi ia
menolongi si imam menyampaikan berita, ia lantas berkata: “Inilah Tan-yang-cu
Ma Goik Ma Totiang.”
Liok Koay heran, mereka
terperanjat. Mereka tahu Ma Giok itu adalah murid kepala dari Ong Tiong Yang,
yang menjadi kauwcu atau kepala agama dari Coan Cin Kauw. Setelah wafatnya Ong Tiong Yang,
dengan sendirinya dia menjadi pengganti kepala agama itu. Tiang Cun
Cu Khu
Cie Kee
adalah adik seperguruan dari Ma Giok ini. Dia biasanya berdiam di dalam
kelentengnya, jarang sekali ia membuat perjalanan, dari itu, dalam hal nama ia
kalah terkenal dengan Khu
Cie Kee,
sedang tentang ilmu silatnya, tidak ada orang yang mengetahuinya.
“Kiranya
ciang-kauw dari Coan Cin Kauw!” berkata Tin Ok. “Maafkan kami! Entah ada
pengajaran apa dari ciang-kauw maka telah datang ke gurun Utara ini? Adakah
kiranya berhubungan sama janji suteemu mengenai pibu di Kee-hin nanti?”
“Suteeku
itu adalah seorang pertapa, tetapi ia masih gemar seklai dalam urusan
pertaruhan,” berkata Ma Giok, “Mengenai tabiatnya itu, yang bertentangan dengan
agama kami, sudah beberapa kali pinto menegurnya. Mengenai pertaruhan itu
sendiri, pinto tidak ingin memcampurinya. Kedatanganku ini adalah untuk lain
urusana. Pertama-tama pinto ingin bicara tentang anak ini. Pinto bertemu
dengannya pada dua tahun yang lalu, pinto lihat dia polos dan jujur, denagn
lancang pinto ajari dia cara untuk
membantu panjang umurnya. Tentang itu pinto belum dapat perkenanan tuan-tuan,
maka sekarang pinto mohon tuan-tuan tidak berkecil hati.”
Liok Koay heran tetapi tidak
dapat mereka tidak mempercayainya. Coan Kim Hoat lantas saja lepaskan cekalannya
kepada muridnya itu.
Siauw Eng menjadi girang
sekali. “Adakah totiang ini yang ajarkan kamu ilmu?” ia tanya
muridnya. “Kenapa kau tidak hendak memberitahukannya dari siang-siang, hingga
kami menjadi keliru menyangka terhadapmu?” Ia mengusap-usap rambut muridnya
itu, nampaknya ia sangat menyayanginya.
“Totiang
larang aku bicara,” Kwee
Ceng jawab gurunya ini.
“Pinto
biasa berkelana, tidak suka pinto orang ketahui tentang diriku,” Ma Giok
berkata. “Itulah sebabnya walaupun pinto berada dekat dengan tuan-tuan tetapi
pinto tidak membuat kunjungan. Tentang ini pinto pun memohon maaf.” Ia lantas
menjura pula.
Kanglam Liok Koay membalas hormat.
Mereka lihat orang alim sekali, beda daripada
saudara-saudaranya, kesan mereka lantas berubah.
Disaat
enam saudara ini hendak tanyakan hal Bwee Tiauw
Hong, justru itu terdengar suara
tindakannya banyak kuda, lalu tertampak beberapa penunggang kuda tengah
mendatangi ke arah kemahnya Temuchin. Kwee Ceng
menjadi sangat bingung. tahulah ia, itu adalah orang-orangnya Sangum, yang
hendak memancing Temuchin.
“Toasuhu,
hendak aku pergi sebentar, sebentar aku akan kembali!” kata ini anak muda dalam
bingung dan khawatirnya.
“Jangan,
jangan pergi!” mencegah Tin Ok. “Kau berdiam bersama kami.” Tin Ok mencegah
karena ia menyesal atas perbuatannya yang semberono tadi. ia menjadi sangat
menyayangi muridnya ini, karena mana, ia jadi berkhawatir untuk ancaman bahaya
dari pihaknya Bwee
Tiauw Hong.
Bagaimana kalau si Mayat
Besi datang dengan tiba-tiba?
Kwee Ceng jadi semakin
bingung. Ia masih bicara sama guru itu tapi si guru sudah lantas bicara sama Ma
Giok tentang pertempuran mereka melawan Hek Hong Siang Sat.
Terpaksa ia berdiam, hatinya
berdenyutan.
Segera
setelah itu, terdengar pula congklangnya kuda, kapan Kwee Ceng
menoleh, ia tampak datangnya Gochin. Putri itu menghentikan kudanya sejarak
belasan tindak, lantas ia mengapai berulang-ulang.
Kwee Ceng takut pada gurunya,
ia tidak berani pergi menghampirkan, ia hanya menggapai, minta si tuan putri
datang lebih dekat.
Gochin
menghampiri. kelihatan kedua matanya merah dan bendul, ruapanya ia baru habis
menangis. Setelah datang dekat, ia berkata dengan suara seperti mendumal:
“Ayahku….ayahku ingin aku menikah sama Tusaga…” Lalu air matanya turun pula.
Kwee Ceng tidak sahuti putri
itu, ia hanya kata: “Lekas kau pergi kepada Khan yang agung, bilang Sangum
bersama Jamukha lagi mengatur tipu daya untuk membinasakan kepada Khan!”
Gochin
terkejut. “Benarkah itu?” tanyanya.
“Tentu
saja benar!” sahut Kwee
Ceng. “Aku dengar sendiri
persekutuan mereka itu! Lekas kau pergi kepada ayahmu!”
Gochin
menjadi tegang hatinya tetapi ia tertawa. “Baik!” katanya. Ia putar kudanya,
untuk segera dikasih lari.
Kwee Ceng heran. “Ayahnya
hendak dibikin celaka orang, kenapa dia girang?” ia tanya
dirinya sendiri. Lalu ia ingat suatu apa. “Ah! dengan begini bukankah ia jadi
tidak bakal menikah sama Tusaga?” Maka ia pun bergirang. Ia memang sayangi
Gochin sebagai adik kandungnya!
Itu
wkatu terdengar suaranya Ma Giok. “Pinto bukan hendak menangi lain orang dengan
merendahkan diri sendiri, dengan sebenarnya Bwee Tiauw
Hong itu telah jadi sangat lihay.
Dia sekarang telah dapat mewariskan kepandaiannya Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa
To, Tanghay. ilmunya Kiu Im Pek-kut Jiauw sudah terlatih sempurnya, sedang
cambuknya ada luar biasa. Kalau kita bekerjasama berdelapan, kita tidak bakal
kalah, tetapi untuk singkirkan dia, jangan harap malah mungkin bakal rugi
sendiri…”
“Habis
apa sakit hatinya ngoko dan toako mesti dibiarkan tak terbalas?” kata Siauw Eng
yang selalu ingat Thio
A Seng.
“Sejak
dahulu kala ada dibilang, permusuhan harus dilenyapkan, tetapi jangan
diperhebat,” Ma Giok bilang. “Tuan-tuan telah binasakan suaminya, bukankah berarti
sakit hati itu telah terbalas? Dia sebatang kara,
dia pun buta matanya, dia harus dikasihani.”
Liok Koay berdiam. “Dia
melatih diri secara demikian hebat, setiap tahun ia telah bunuh berapa banyak
orang yang tidak bersalah dosa,” kata Po Kie kemudian, “Maka itu totiang,
dapatkah kau membiarkannya saja?”
“Laginya
sekarang ini dia yang mencari kami, bukan kami yang emncari dia,” CU Cong
berkata pula.
“Taruh
sekarang kita menyingkir dari dia,” Coan Kim Hoat menyambungi, “Kalau benar dia hendak
menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita tidak berjaga-jaga. Inilah
sulit!”
“Untuk
itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya,” berkata Ma
Giok. “Jalan ini ada sempurna, asal tuan-.tuan suka berlaku murah dan suka
mengasihani dia untul membuka satu jalan baru untuknya.”
Cu Cong semua berdiam,
mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak.
“Kami Kanglam
Cit Koay
biasa sembrono, kami Cuma gemar berkelahi,” kata Tin Ok emudian. “Kalau totiang
sudi menunjuki suatu jalan terang, kami pasti akan bersyukur. Silahkan totiang
bicara.”
Tin
Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw
Hong, hanya orang lagi melindungi
juga mereka sendiri. Selama sepuluh tahun ini, entah bagaimana kemajuannya si Mayat Besi.
Suara kakaknya ini membikin heran saudara-saudaranya yang lain.
“Kwa
tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi,” kata Ma Giok seraya
mengangguk. “Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut pikiranku, selama
sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong telah dapat pengajaran baru
dari Oey Yok Su….
Cu Cong semua terkejut. “Hek Hong
Siang Sat adalah murid-murid
murtad dari Oey
Yok Yu,
cara bagaimana dia dapat ajarakan pula
ilmu?” ia tanya.
“Itulah
memang benar,” berkata Ma Giok, “Hanya setelah mendengar Kwa tayhiap berusan
perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu itu, pinto dapat
menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju pesat seklai, tanpa dapat
penunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar sendiri, tidak nanti ia dapat
peroleh itu. Umpama kata sekarang kita dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong,
kemudian Oey Yok Su mendapat tahu, bagaimana nanti…?”
Tin
Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok
Su itu, mereka masih kurang
percaya sepenuhnya. Mereka mau menyangka orang bicara secara dilebih-lebihkan.
tapi aneh kenapa Ma Giok ini nampaknya jeri
kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu?
“Totiang
benar,” Cu Cong berkata kemudian. “Silakan totiang
beri petunjuk kepada kami.”
“Pinto
harap tuan-tuan tidak menertawainya,” Ma Giok minta.
“Harap
totiang tidak terlalu merendah,” kata Cu Cong.
“Ada siapakah
yang tidak menghormati Cit
Cu?”
Dengan
“Cit Cu” dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang
Cun Cu.
“Bersyukur
kepada guru kami, memang Cit
Cu ini ada juga nama kosongnya di
dalam dunia kangouw,” kata Ma Giok. “Pinto percaya, terhadap kami dari Coan Cin
Kauw, mungkin Bwee Tiauw
Hong tidak berani lancang turun
tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunai suatu akal untuk membikin ia
kabur…” Lantas imam itu tuturkan tipunya.
Sebenarnya
Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk membari muka kepada Ma Giok, terpaksa
mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka sama-sama mandaki jurang. Ma Giok
dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin Ok berenam
jalan di belakang Kwee
Ceng, murid mereka itu. Mereka
dapat lihat cara naiknya ma Giok.
Mereka percaya, imam ini tidak ada di sebawahannya Khu Cie Kee, Cuma tabiatnya itu dua saudara
seperguruan saja yang berbeda.
Setibanya
Ma Giok dan Kwee
Ceng di atas, mereka lantas kasih
turun dadung mereka, guna bnatu menggerek naik kepada Kanglam Liok
Koay.
Sesempai
di atas, enam saudara itu segera dapat lihat tumpukan tengokraknya Bwee Tiauw
Hong. Sekarang ini baharu mereka
percaya habis imam itu.
Lantas
semua orang duduk bersamedhi, sambil beristirahat, mereka menantikan sang sore.
Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi guram, lalu perlahan-lahan
menjadi gelap. Masih mereka menantikan, hingga tibanya tengah malam.
“Eh,
mengapa dia masih belum datang?” tanya
Po Kie, mulai habis sabarnya.
“St!
Dia datang…!” kata Tin Ok.
Semua
orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian telah memerintah di atas jurang
itu.
Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi
kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya.
Sungguh
gesit si Mayat
Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti
segumpal asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di
kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunai kakinya, Cuma
kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja.
Cu Cong semua yang
mengawasi, mejadi kagum. Kapan
Cu Cong
berpaling pada Coan
kim Hoat dan Han Siauw
Eng, dia tampak wajah orang
tegang. Ia percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga.
Segera
juga Tiauw Hong tiba di atas. Di
bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup.
Kwee Ceng terkejut kapan ia
sudah lihat pakaian orang itu, yang adalah dari kulit burung tiauw yang putih.
Itulah Gochin Baki, putrinya Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah
lagi, mulutnya bergerak, suaranya terdengar. tapi disaat itu juga, Cu Cong
bekap mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus: “Kalau Bwee
Tiauw Hong,
si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie Kee – pasti aku tidak akan mau sudah
saja!”
Tiauw
Hong dengar seruan kaget dan suaranya Kwee Ceng itu, ia heran, sekarang ia
dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee dan namanya juga, ia
menjadi terlebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi di samping batu untuk
memasang telinga.
Ma Giok semua telah dapat
lihat tingkah laku si Mayat
Besi ini, di dalam hati mereka
tertawa. Cuma
Kwee Ceng
yang hatinya goncang, karena ia pikirkan keselamatannya Gochin.
“Bwee Tiauw
Hong atur tulang-tulangnya di
sini, sebentar dia bakal datang,” berkata Han Po Kie. “Kita baik tunggui saja
padanya.”
Tiauw Hong sembunyi tanpa
berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ.
“Dia
memang banyak kejahatannya,” ia dengar suaranya Han Siauw
Eng, “Tapi karena Coan Cit
Kauw mengutamakan wales asih,
baiklah ia diberi jalan baru….”
Cu Cong tertawa. “Ceng Ceng
San-jin sangat murah hati, pantas suhu pernah bilang kau gampang untuk mencapai
kesempurnaan!” katanya. Siauw
Eng bicara sebagai juga ia adalah
Ceng Ceng San-jin.
Kauwcu
Ong Tiong Yang ada punya tujuh murid yang mendapat nama baik, tentang mereka
itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak mengetahuinya. Murid kepala, si
toa-suheng, ialah Tan-yang-cu Ma Giok. Yang kedua adalah Tiang-cin-cu Tam Cie
Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu Lauw
Cie Hian.
Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima Giok-yang-cu Ong Cie
It. Yang keenam Kong-leng-cu Cek Tay Thong. Dan
yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok pada
sebelum Ma Giok sucikan diri.
“Tam
Suko, bagaimana pikiranmu?” tanya
Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang
disini menyamar sebagai Tam Cie Toan.
“Dia
berdosa tak terampunkan!” sahut Hie Jin sebagai Cie Toan.
“Tam
Suko,” berkata Cu Cong, “Selama ini telah maju pesat sekali kau punya ilmu
Cie-pit-kang, kalau sebentar si siluman perempuan datang, silahkan kau yang
turun tangan, supaya kami yang menjadi saudara-saudaramu dapat membuka mata
kami. Kau akur?”
Hie
in sengaja menyahut: “Lebih baik minta Ong Sutee yang gunai kaki besinya untuk
dupak dia, untuk antarkan dia pergi ke sorga di Barat…”
Dalam
Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang kedua adalah
Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa Kaki Besi, karena
lihaynya tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki jurang yang tinggi hingga
ia dapat menakluki beberapa puluh orang gagah di Utara. Sembilan tahun ia
mengeram di dalam gua, untuk menyakinkan kekuatan kakinya itu. Cie Kee
sendiri puji padanya.
Demikian
mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang bungkam, karena ia
khawatir suaranya dikenali Bwee
Tiauw Hong.
Pembicaraan itu membikin gentar hatinya si Mayat Besi,
hingga ia berpikir: “Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka
juga maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?”
Cu
Cong berkata pula: “Malam ini gelap sekali sampai lima jeriji tangan sukar terlihat, kalau
sebentar kita turun tangan, baik semua berlaku hati-hati. Kita mesti mencegah
si siluman perempuan itu dapat meloloskan diri!”
Girang Tiauw Hong mendengar itu. “Syukur
langit gelap,” katanya dalam hati. “Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay,
mereka tentulah telah dapat lihat aku.
Berterima kasih kepada Langit dan Bumi
yang sang rembulan tidak muncul!”Kwee ceng
sendiri mengawasi Gochin, perlahan-lahan si nona membuka matanya. Ia menjadi
lega hatinya. itu tandanya si nona tidak dalam bahaya jiwa. ia lantas
menggoyangi tangan, untuk mencegah si nona itu berbicara.
Si nona tapinya tidak mengerti. “Engko Ceng
lekas tolongi aku!” ia berteriak.Kwee Ceng menjadi sangat bingung. “Jangan
bicara!” katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras!
Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak
muda. Segera
ia totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga.
“Cie Peng,
apakah kau yang barusan berbicara?” tanya
Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan
sebagai In Cie Peng.
Kwee Ceng tahu peranannya.
“Barusan teecu seperti dengar suara wanita,” ia menyahut.
Tiba-tiba
Tiauw Hong ingat apa-apa. “Coan Cin Cit Cu ada
disini semua? Benarkah ada begini kebetulan? Bukankah orang lagi menghina aku
karena aku buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?” ia mulai geraki
tubuhnya.
Ma Giok kasih lihat gerakan
si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa orang
mungkin mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi pertempuran,
pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay
juga mungkin bakal ada yang bercelaka.
Cu Cong mengawasi
gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong,
ia lihat bahaya mengancam, segera
ia berkata dengan nyaring: “Toa suko, bagaimana dengan penyakinan pelajaran
yang suhu ajarakan beberapa tahun ini, yaitu Kim-kwan
Giok-cauw ie-sie Koat? Pastilah kau telah peroleh kemajuan. Coba kau pertunjuki
untuk kami lihat.”
Ma
Giok tahu Cu Cong ingin dia perlihatkan kepandaiannya guna menakluki Bwe Tiauw Hong, ia
lantas menjawab: “Sebenarnya walaupun aku menjadi saudara yang tertua, lantaran
aku bebal, tak dapat aku lawan kau, saudara-saudaraku. Apa yang aku dapati dari
guru kita, dalam sepuluh tahun tidak ada dua….
Imam ini bicara secara
merendah akan tetapi ia telah gunai tenaga dalamnya, maka itu suaranya nyaring
luar biasa, terdengar tedas sampai jauh, berkumandang di dalam lembah.
Bwee Tiauw Hong mengkerat mendengar
suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya.
Ma
Giok llihat kelakuan orang, ia berkata pula: “Kabarnya Bwee Tiauw Hong telah
buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga, umpama kata ia
menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu dan tidak tidak lagi
mencelakai orang-orang yang tidak bersalah dosa serta tidak akan mengganggu
pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri ampun kepadanya. Khu Sutee,
kau bersahabat serat dengan Kanglam Liok Koay, pergi kau menemui mereka itu,
untuk mohon mereka jangan membuat perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua
pihak baiklah menyudahi urusan mereka.”
“Itulah
perkara gampang,” sahut Cu Cong. “Penyelesaiannya berada di pihak Bwee Tiauw
Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya….”
Tiba-tiba
terdengar suara dingin dari belakang batu: “Terima kasih untuk kebaikannya Coan
Cin Cit Cu! Aku, Bwee
Tiauw Hong
ada di sini!”
Semua
orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong
jeri dan bakal menyingkirkan diri
secara diam-diam, tidak tahunya dia benar bernyali besar, dia malah menghampiri
mereka.
Tiauw
Hong berkata pula: “Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku memohon
pengajaran dari totiang beramai, tetapi telah lama aku dengar ilmu silatnya
Ceng Ceng San-jin, ingin aku memohon pengajaran daripadanya…” Habis berkata, ia
berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang panjang itu.
Kwee Ceng lihat Gochin rebah
di tanah, tubuhnya diam saja, ia berkhawatir. Memang persahabatannya erat
sekali dengan itu putri serta Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya
Bwee Tiauw Hong, ia lompat kepada kawannya itu, untuk mengasih
bangun padanya. Tahu-tahu tangan kirinya si Mayat Besi
sudah lantas menyambar dan mencekal tangan kirinya. Tentu sekali, tidak dapat
ia berdiam saja. Di satu pihak ia
lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw
Eng, dilain pihak ia geraki tangan
kirinya itu, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw
Hong benar-benar lihay, ia
menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak muda itu menjadi
mati daya. “Siapa kau?” tanya si buta.
Cu
Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee Ceng
segera memberikan penyahutan: “Teecu adalah In Cie Peng, murid dari Tiang Cun
Cin-jin.”
Tiauw
Hong segera berpikir: “Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya sudah bagus
sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku menyingkir dari mereka…”
Dengan perdengarkan suara, “Hm!” ia lepaskan cekalannya.
Kwee Ceng lantas lari
menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di situ ada petahan lima jari tangan,
dagingnya melesak ke dalam. Coba si Mayat Besi
tidak jeri, mungkin tangannya itu
sudah tidak dapat ditolong lagi….
Oleh
karena ini, Tiauw
Hong pun tidak berani mengulangi
tantangannya untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat suatu apa, maka
ia tanya Ma Giok: “Ma totiang, timah
dan air perak disimpan denagn hati-hati, apakah artinya itu?”
Ma
Giok menyahuti: “Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa hati. Itu
artinya, rasa hati harus dikendali, dengan berdiam, peryakinan berhasil.”
Tiauw Hong tanya pula: “Nona muda dan
anak muda, apakah artinya itu?”
Pertanyaan
itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa. Kata-kata itu
ialah istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas membentak:
“Silumanm, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati? Lekas pergi!”
Tiauw Hong tertawa lebar.
“Terima kasih atas petunjukmu, totiang!” katanya. Terus ia berlompat, cambuknya
digeraki melilit batu, apabila ia menarik dan tubuhnya mencelat, ia lompat ke
arah jurang, gerakannya sangat enteng dan pesat, hingga orang semua kagum.
Di lain pihak, orang
berlega hati melihat perginya wanita bagaikan siluman itu. Ma Giok
segera totok sadar kepada Gochin yang diletaki di atas batu untuk beristirahat.
“Sepuluh
tahun ia tak tertampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi begini lihay,”
berkata Cu Cong. “Coba tidak totiang membantu kami, sudah tentu kami sukar
lolos dari nasib celaka.”
“Jangan
mengucap begitu,” berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa
ia ada mendukakan apa-apa.
“Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu,
walupun kami tidak punya guna, kami bersedia untuk menerima titah-titahmu,” Cu
Cong tawarkan diri.
Ia lihat imam itu berduka. “Harap totiang jangan segan-segan
menitah kami.”“Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena
tertipu wanita yang sangat licin itu,” berkata imam itu setelah menghela napas panjang.
Cu Cong semua terkejut.
“Adakah totiang dilukai senjata rahasia?” mereka tanya.
“Itulah
bukan,” sahut imam itu. “Hanya tadi ketika ia menanya padaku, tanpa berpikir
lagi, pinto telah jawab dia. Pinto khawatir jawaban itu nanti menjadi bahaya di
belakang hari…”
Cu Cong semua mengawasi,
mereka tidak mengerti.
“Ilmunya
si Mayat Besi ini, yaitu yang disebut Gwa-mui atau ilmu luar, telah berada di
atasan pinto dan saudara-saudara,” sahut si imam kemudian, “Umpama kata Khu
Sutee dan Ong Sutee berada di sini, masih belum tentu kita dapat menangkan dia.
Hanya dalam Iweekang, atau ilmu dalam, dia belum menemui jalannya yang benar.
Setahu darimana, dia rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada
orang yang tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan
itu kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap
artinya. Benar pinto telah baharu menjawab sekali, akan tetapi itu satu juga
bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan…”
“Harap
saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan,” kata Siauw Eng
separuh menghibur.
“Harap
saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat, dia jadi
terlebih sukar untuk ditakluki. Ah, dasar aku yang semberono, aku tidak
bercuriga….!”
Selagi
Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia sadar. Terus ia
angkat tubuhnya, untuk berduduk di atas batu. Ia rupanya sadar seluruhnya,
karena ia lantas berkata kepada Kwee
Ceng: “Engko Ceng,
ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi kepada Wang
Khan…”
Kwee Ceng kaget. “Kenapa Khan tidak percaya
kepada kau?” ia tanya.
“Tempo
aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak membikin ayah
celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran aku tidak sudi menikah
denagn Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya. Aku telah jelaskan bahwa hal itu
kau dengar dengan kupingmu sendiri, ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya
nanti, ia hendak hukum padamu. Ayah pergi
dengan mengajak ketiga kakakku serta belasan pengiring. Karena itu aku segera
berangkat untuk cari kau, tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta
itu. Adakah dia yang membawa aku menemui kamu?”
Putri
ini tak sadar akan bahaya yang mengancam padanya tadinya, maka itu Cu Cong
dan yang lainnya kata dalam hati mereka: “Coba tidak ada kita disini, tentulah
batok kepalamu sudah berlobang lima
jari tanga…”
“Sudah
berapa lama Khan pergi?”
tanya Kwee Ceng
yang hatinya cemas.
“Sudah
sekian lama,” sahut Gochin. “Mereka menunggang kuda pilihan. Tidak lama lagi
tentulah mereka akan sudah sampai di tempatnya Wang Khan. Engko Ceng, Sangum
dan Jamukha bakal celakai ayahku itu, bagaimana sekarang?” Lantas saja ia
menangis.
Kwee Ceng menjadi bingung.
Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal sulit itu.
“Anak Ceng
lekas kau pergi!” berkata Cu Cong. “Kau pakai kuda merahmu itu untuk susul Khan
yang agung! Umpama kata ia tidak mempercayaimu, dia harus mengirim orang untuk
mencari keterangan terlebih dahulu. Dan
kau, tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas
siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!”
Kwee Ceng menginsyafi keadaan,
tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari atas jurang, sedang Ma Giok denagn
mengikat tubuh Gochin, telah turunkan tuan putri itu.
Setibanya
di lembah. Kwee
Ceng kabur ke kemah di mana ia
ambil kudanya, untuk menaikinya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia
khawatir Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya
untuk Khan yang maha agung itu. Di
lain pihak ia menjadi girang sekali, ia puas benar dengan kudanya yang larinya
sangat pesat, apapula di tanah rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan
perlahan-lahan, ia khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau
berhenti, terus ia lari, nampaknya ia tidak takut capek.
Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar,
habis mana, ia kabur pula. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng
di tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin tiga
ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang siap sedia
denagn panah dan golok terhunus.Di dalam hati Kwee Ceng
mengeluh. Terang
Temuchin telah lewat di situ, dan
itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena ini, ia
keprak kudanya untuk dikasih lari lewat di sini tentara itu. Ketika si opsir
dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah lewat jauh!
Di tengah jalan Kwee Ceng
tidak berani berlambat, malah tiga jagaan telah ia lewatkan terus. Maka itu
kemudian ia sudah mulai dapat melihat bendera yang besar dari Temuchin. Setelah
ia mendatangi lebih dekat, ia tampak rombongan dari belasan orang yang tengah
maju terus, ia keprak kudanya, untuk tiba di samping khan itu.
“Kha
Khan, lekas kembali!” ia berteriak. “Jangan pergi lebih jauh!”
Temuchin
heran, ia tahan kudanya, “Ada
apa?” ia menanya.
“Ada bahaya,” sahut Kwee Ceng,
yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen Lieh.
Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka.
Dengan
roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun berpikir: “Memang Sangum
tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku, Wang Khan, tengah mengandali
tenagaku. Saudaraku
Jamukha ada sangat baik denganku,
kita sehidup semati, apa mungkin nia hendak mencelaki aku?”
Kwee Ceng tahu khan itu
bersangsi, ia kata pula: “Kha Khan, cobalah kirim orang untuk periksa benar
atau tidak ada tentara pencegat jalan!”
Biar
bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun berpendirian, “Lebih
baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati konyol!” Maka ia terus berpaling
pada Ogotai, putranya yang kedua itu dan Chilaun, panglimanya, untuk
mengatakan: “Lekas kamu pergi menyelediki!”
Dua
orang itu sudah lantas lari balik.
Temuchin
memandang ke sekelilingnya. “Naik ke bukit itu!” Ia kasih perintah. “Siap
sedia!”
Dalam
keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri.
Ia pun ada bersama orang-orangnya ynag gagah, malah mereka ini tahu tugasnya,
begitu naik ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu,
buat berjaga-jaga diiri dari serangan anak panah.
Tak
lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama munculnya satu
pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Dipaling depan pasukan itu
terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi.
Jebe
ada sangat awas, ia tampak tentara itu tengah mengejar. “Benar-benar pasukannya
Wang Khan!” ia berseru.
Segera
terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam diri dalam jumlah
ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, guna memegat Ogotai dan Chilaun,
siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda, cambuknya dipecut
berulang-ulang.
“Anak Ceng,
mari kita sambut mereka!” Jebe
berteriak. Dan ia keprak kudanya,
diturut oleh muridnya.
Hebat
lari kudanya kwee Ceng, mendahulukan gurunya, ia tiba lebih dahulu kepada Ogotai
dan Chilaun, terus ia gunai panahnya, kapan tiga anak panahnya melesat, tiga
pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat luar biasa, ia menyusuli dengan
anak panahnya yang keempat.
Jebe
lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah, dengan berulang-ulang,
maka denagn berulang-ulang sejumlah serdadu musuh rubuh terguling. Akan tetapi
musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan gelombang!
Ogotai
dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang turut
menyerang denagn panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke bukit dimana
Temuchin menanti. Di sini khan itu
bersama Borchu, Juji dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak
pernah gagal, denagn begitu pihak pengejar dapat tertahan majunya.
Temuchin
naik ke tempat yang lebih tinggi, akan memandang jauh ke empat penjuru. Ia
telah menyaksikan tentaranya Wang Khan tengah
mendatangi di empat jurusan itu. Kemudian pada sebuah pasukan ia tampak seorang
yang menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang
besar juga. Orang itu ialah Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja
berpikir. Ia anggap ia mesti menang tempo, dengan memperlambat segala apa.
Sendirian saja, sukar buat ia menoblos kurungan, Tuli sendiri belum tentu tepat
datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar putra yang masih
muda itu.
“Adik Sangum,
aku minta sukalah kau datang ke mari
untuk bicara!” ia lanats teriaki itu saudara angkat.
Dengan
diiringi pasukan pengawalnya, Sangum mendekati bukit. Beberapa puluh tentara
lain pun melindungi dia dengan mereka, siap sedia tameng besi mereka guna
menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia buka mulutnya, ia pun nyata
sekali kepuasannya. “Temuchin, lekas menyerah!” demikian ia berteriak.
Temuchin
tidak menyahuti, ia hanya menanya: “Apakah salahku terhadap ayahku Wang Khan,
maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?”
Sangum
pun menjawab dengan pertanyaannya: “Adakah sejak jaman dahulu kala bangsa
Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternaknya kambing dan kerbau adalah
kepunyaan beramai satu suku, tetapi kau kenapa, kau langgar aturan leluhur
kita? Kenapa kau hendak persatukan semua suku?”
“Bangsa
Mongolia
telah diperhina oleh negara Kim,
negara itu menghendaki kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor
kerbau, kambing dan kuda, adakah itu selayaknya?” Temuchin balik tanya. “Asal saja kuta bangsa Mongolia tidak
saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa Kim
itu?”
Kata-kata ini tajam, kapan orang-orangnya Sangum mendengarnya,
hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu.Temuchin lanjtui perkataannya: “Bangsa Mongolia bangsa
orang-orang peperangan yang pandai, kenapakah kita tidak hendak pergi mengambil
emas dan perak dan permatanya bangsa Kim
itu? Kenapa kita mesti tiap tahun membayar upeti terhadap mereka? Kita bangsa
Mongolia ada diantaranya yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga
yang malas dan cuma doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan
mereka yang malas itu? Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau
dan kambing kepada yang rajin?
Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu
mati kelaparan?”Dijaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau
suku, ternaknya adalah kepunyaan suku bersama, kemudian karena tenaga
pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi,
perlahan-lahan sifat itu berubah, ialah kebanyakan bangsa penggembala itu
memakai cara memiliki sendiri-sendiri. Temuchin sengaja singgung sifat itu, ia
membuatnya tentaranya Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka itu pada
mengangguk.
Sangum
mengerti orang lagi menghasut tentaranya. “Jikalau kau tidak mau menyerah!” ia
membentak, “Asal aku menuding dengan cambukku ini, berlaksanaan anak panah
bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai terjadi, jangan kau
memikir untuk hidup lebih lama pula!”
Kwee Ceng menjadi cemas
sekali. Keadaan ada sangat mendesak dan sulit. Bagaimana bahaya dapat
dihindarkan? Selagi ia berpikir, ia lihat satu penunggang kuda di kaki bukit
itu. Penunggang kuda itu dandan sebagai satu panglima perang, di sebelahnya
baju lapis, ia mengenakan juga mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu ada sebatang golok besar.
Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir. Kwee Ceng
kenali panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra Sangum, dengan siapa
ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat suatu apa, maka ia jepit
kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk menghampiri pemuda itu.
Celaka
untuk Tusaga, begitu kena di cekal, ia mati kutu, tidak dapat ia berontak, maka
tempo Kwee Ceng menarik, tubuhnya kena diangkat dari
kudanya.
Selagi Kwee ceng hendak geser
pemuda itu, ia dengar suara anginnya senjata mengaung di arah belakangnya. ia
berpaling lekas, sambil berpaling, tangan kirinya menangkis. Tepat tangkisan
itu, sepasang tombak kena dibikin terpental ke udara. Segera ia bentur perut
kudanya denagn dengkulnya yang kanan. Kuda itu pun lantas mengerti, ia lantas
lari ke arah bukit untuk mendaki. Dia dapat lari tak kalah pesatnya seperti
waktu turun tadi.
“Lepas
panah!” orang-orangnya Sangum berteriak.
Kwee Ceng tidak takut, ia
pegang tubuhnya Tusaga, untuk dipakai menjadi tameng. Menampak itu, tidak ada
satu serdadu pun yang berani memanah, mereka khawatir nanti kena memanah
pemimpin mereka yang muda itu.
Dengan
tidak kurang suatu apa pun Kwee
Ceng tiba di samping Temuchin. Ia
lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung itu.
Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera
menuding dada Tusaga dengan ujung tombaknya sembari berbuat begitu, ia teriaki
Sangum: “Lekas kau suruh semua orangmu mundur seratus tombak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar