Bab 36. Ilmu silat dari kitab yang diperebuti
Entah sudah lewat berapa banyak hari, maka pada suatu tengah hari
bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: “Adik, kau telah berhasil
mewariskan ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak bakal mampu
merobohkan kau pula. Karena itu kita harus menukar caranya bermain-main.”
Kwee Ceng gembira, dia
tertawa. “Bagus, toako. Apakah caramu itu?”
“Sekarang
kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi…”
“Apa,
empat orang?”
“Benar,
empat orang,” sang kakak memberi kepastian. “Diumpamakan tangan kiriku satu
orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang tanganmu,
diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak saling membantu,
kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan menarik hati!”
Kwee Ceng gembira, ia tertawa
pula. “Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku,” katanya.
“Nanti
aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu.”
Pek
Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua orang. Kwee Ceng
melayani seorang diri. Di saat si adik
angkat terdesak. Pek Thong menggunai tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah
tangan kiri dari tangan kanan.
Setelah
merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng
senang dengan permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong.
Coba Yong-jie ada bersama, bukankah mereka
bertiga bisa berkelahi seperti enam orang? Ia pun percaya Oey Yong
senang dengan permainan ini.
Pek
Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng
sudah beristirahat cukup, ia mengajak untuk mulai lagi. Ia pun senang si anak
muda dapat melayani. Ia kata: “Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay,
tidak nanti kau dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau
menggunai tangan kiri dengan Lam-san-ciang dan tangan kanan Wat-lie-kiam.”
Dengan
Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie Jin, dan
Wat-lie-kiam dari Han
Siauw Eng.
Pek
Thong saban-saban memberi keterangannya, maka selang beberapa hari lagi,
benar-benar Kwee
Ceng sudah dapat memisahkan kedua
tangannya masing-masing, maka selanjutnya bisalah mereka berdua bertempur
seperti berempat.
“Sekarang mari
kita coba,” kataPek Thong kemudian. “Tangan kananmu dan tangan kiriku menjadi
satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu menjadi kawan yang lain, kita
saling melawan.”
Kwee Ceng terus bergembira. Ia
mematahkan secabang pohon, buat dicekal tangan kanan bagaikan pedang. Dengan
begitu mereka mulai bertempur, mulanya perlahan-lahan. Terus Pek Thong
memberikan keterangan, sampai adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan
begitu, adik angkat itu dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa itu.
Hari
terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak adik angkatnya
itu bergerbrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang. Dalam
kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng
sebaliknya repot, ia kena terdesak, maka kalau tangan kanannya kewalahan,
tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia terdesak, mereka jadi
seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana, Kwee Ceng
toh mengerti juga.
“Ah,
kau tidak pakai aturan!” Pek Thong tertawakan adiknya, yang berkelahi seperti
sendiri itu.
Kwee Ceng tidak membilang
suatu apa, hanya selang beberapa jurus, tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia
berdiam.
“Toako!”
katanya, habis berpikir, “Aku ingat suatu apa…”
Pek
Thong heran. “apakah itu?” dia menegasi.
“Kedua
tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu dipakai melawan
satu orang, bukankah itu berarti dua lawan satu? Kita sekarang hanya main-main
tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat berkelahi benar-benar…”
Pek
Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat keluar
dari gua, dia menjambret cabang pohon, untuk mematahkan dua batang. Habis itu
ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa terus.
“Toako,
kau kenapa?” menegur Kwee
Ceng heran. Kakak itu seperti
edan. “Kau kenapakah?”
Pek
Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata:
“Adik, aku keluar dari gua!”
“Ya,”
Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua.
“Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh….”
Pek
Thong tertawa, dia menyahuti: “Sekarang ini kepandaianku ialah yang nomor satu
di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su? Sekarang ini aku tinggal menantikan
dia, untuk aku menghajarnya kalang-kabutan!”
Kwee Ceng heran.
“Toako,
pastikah kau bakal dapat menang?”
“Sebenarnya
aku masih kalah seurat,” sahut Pek Thong, “Tetapi sekarang
aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini tidak bakal
ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit Kong dan Auwyang
Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah mereka melayani dua Loo
Boan Tong?”
Kwee Ceng girang. Beralasan
perkataanya ini kakak angkat.
“Adikku,”
kata pula Pek Thong, “Kau sudah mengerti ini ilmu memecah diri, untukmu tinggal
latihan terlebih jauh untuk memahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sesudah kau
bisa menyakinkan seperti kakakmu ini, kau pasti akan tambah hebat!”
Girang
dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap-harap munculnya Oey Yok
Su, yang baru beberapa saat di
muka ia takuti. Coba tidak Oey
Yok Su
mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang, ia sudah pergi mencari.
Sore
itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal tangan orang.
“Pergi lekas panggil Oey
Yok Su
kemari, bilang di sini aku menantikan dia, suruh dia mencobai tanganku!”
Selama
orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangi kepala, ketika Pek Thong
sudah habis bicara, baru ia sadar sendirinya, “Aah, aku lupa dia tuli dan
gagu!” katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng
dan kata: “Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!” Ia lantas membuka tutup
makanan.
Kwee Ceng dapat mencium bau
makanan yang sedap. Ketika ia sudah memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara
sayuran ada ayam tim yang ia doyan
sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencobai. Ia merasa itu seperti
masakannya Oey
Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah
ia, itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang lainnya.
Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti buli-buli, rupanya itu
sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya cetek, tidak gampang untuk
melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas-lekas ia
masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak memperhatikannya.
Kali
ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong gembira
karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok, ia seperti
bersilat. Kwee
Ceng mengharapkan lekas dahar
cukup supaya ia bisa lekas baca suratnya Oey Yong.
Ia percaya si nona ada punya kabar untuknya.
Akhirnya
Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tengak kuah supnya, habis itu
si bujang berbenah dan berlalu.
Sampai
di situ Kwee
Ceng keluarkan lilinnya, untuk
dipecahkan. Benar di dalamnya ada suratnya, ialah surat dari Oey Yong.
Si nona menulis:
“Engko Ceng,
jangan khawatir. Ayah sudah
baik lagi denganku. Kau tunggulah, perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah
melepaskan kau.”
Habis
membaca, surat
itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu tertawa.
“Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak
bisa!” katanya.
Ketika
itu cuaca mulai jadi gelap.
Kwee Ceng duduk bersemadhi,
tetapi ia senantiasa memikirkan Oey
Yong, tidak bisa ia berdiam
tenang. Selang sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenag,
justru ia dapat berpkir bahwa untuk dapat memisah diri, ia mesti berkatih. Dengan
kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin
napasnya pun menjadi dua….
Kira-kira
satu jam dia melatih diri, Kwee
Ceng merasakan dia mendapat
kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia membuka
matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan kumis putih
bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu Pek Thong lagi
melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua
jurus itu. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan perlahan tetapi kesudahannya
anginnya keras. Jadi itulah lemas memelihara kekerasan. Girang ia melihat
kakaknya begitu hebat.
Selagi
Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek Thong bersilat
dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul sama satu suara
bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam terlempar dari tubuhnya si
orang tua, membentur kepada pohon. Nampaknya bendabitu seperti kena disambar.
Kwee Ceng terkejut. Ia lihat
tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. “Toako, ada apa?” dia
menanya.
“Aku
digigit ular berbisa!” sahut Pek thong.
Bukan
main kagetnya Kwee
Ceng. Ia tampak air muka kakaknya
pias. Ia lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, untuk
membalut keras paha kakaknya itu, ialah bagian yang dipagut ular, guna mencegah
bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo ia menyalakan api, ia menjadi
terlebih kaget. Ia melihat betis yang lantas menjadi bengkak.
“Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah darimana
datangnya binatang ini,” kata Pek Thong. Ia kenali itulah ular hijau.
Kwee Ceng mendengar nyata
suara kakaknya, ia jadi terlebih kaget lagi. Itulah tanda hebatnya racun ular.
Bagus, si kakak dapat mengendalikan napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan
diri tanpa pingsan. Tanpa bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke
paha, ke tempat yang luka, untuk menyedot darah yang telah kecampur racun ular
itu.
Pek
Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini.
“Jangan!”
ia mencegah. “Ular orang, ia menyedot terus. Pek Thong bisa mati!”
Kwee Ceng hendak menolongi
jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri. Ia mencekal keras kaki orang, ia
menyedot terus. Pek Thong hendak berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah
dia lelah, tubuhnya lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia
pingsan.
Kwee Ceng menyedot lamanya
semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia dapat menyedot pulang
sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat tubuhnya berkat ilmu dalamnya,
selang sejam, ia mendusin.
“Adik,”
dia berkata, “Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka, sebelum mati aku
dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi sebagai kau, aku sangat
bergirang…”
Kwee Ceng lantas saja
mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka tetapi ia sangat ketarik sama
orang tua ini, yang baik hatinya. Mereka sudah jadi seperti saudara kandung.
Pek
Thong tertawa dalam kedukaan.
“Bagian
dari Kiu Im Cin-keng berada di dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah
di atas mana aku duduk numprah,” Pek Thong berkata pula. “Sebenarnya aku hendak
mewariskan itu kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal
tidak panjang umur…. Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan
bergandeng tangan, kita tak usah berkhawatir kita tak punya kawan….”
Kwee Ceng terkejut mendengar
kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia justru merasakan tubuhnya sehat, tidak
ada tanda-tanda yang luar biasa. Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa
luka kakaknya itu. Bahan apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia
keluarkan dari sakunya surat
dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan
untuk mencari cabang dan daun kering diluar gua, untuk ia sekalian,
kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ, rumput
semuanya hijau dan segar. Dalam bingung, ia merogoh
pula sakunya, untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak
dapatkan apa-apa kecuali itu sehelai benda kertas bukan kulit bukan, yang Bwee Tiauw
Hong pakai membungkus pisau
belati. Tanpa pikir nlagi, ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka
Pek Thong. Ia melihat tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar
sebagai bocah dari kakak angkatnya itu.
Melihat
api, Pek Thong mengawasi Kwee
Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat
wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia lihat
benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak huruf-huruf. Baru ia
melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu hingga padam, sesudah mana, ia
menghela napas lega.
“Eh,
adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?” ia tanya.
“Kau sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai
kau!”
Ditanya
begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu hari ia bersama Ang Cit Kong dan Oey Yong
bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana tidak ada ular yang
berani menggigit padanya, ketika kemudian Cit Kong minta keterangan padanya ia
ingat yang pernah menghirup darah ularnya Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi
keterangannya.
Pek
Thong mau mengerti, lantas ia menunjuk itu barang seperti kertas atau kulit.
“Jangan
kau bakar itu!” katanya. “Itulah mustika…!”
Tidak
sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia hendak
menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im Cin-keng bagian
bawah.
Dalam
keget dan bingungnya Kwee ceng menguruti kakaknya itu. hendak ia menolong
tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, ia merasakan paha panas
seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking berkhawatir, ia lari ke luar
gua, ia lompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak: “Yong-jie” Yong-jie! Oey Tocu!
Tolong! Tolong!”
Luas
Tho Hoa To itu, Oey
Yok Su
entah ada di bagian mana, suaranya Kwee Ceng
sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu dari antara
lembah.
Habis
daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak putus asa.
Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: “Ular beracun tidak berani menggigit
aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular.” Begitu mengingat ini, begitu
ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek Thong, yang diperantikan menaruh the,
ia pun menghunus pisau belatinya. Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya,
darahnya yang mengalir itu ia tadahkan dengan mangkok itu. Ia tunggu sampai
darah habis menucur keluar, terus ia letaki tubuh Pek Thong di kakinya. Ia
membuka mulut saudaranya itu, ia menggunai tangan kirinya lalu dengan tangan
kanan ia menuang darahnya ke dalam mulut orang.
Anak muda ini telah mengeluarkan
banyak darah, walaupun tubuhnya kuat, ia lelah juga, ia menjadi lemas.
Menyender pada lamping gua, sendirinya ia meram dan menjadi pulas. Ia baru
sadar ketika merasa ada orang meraba lengannya untuk membalut lukanya, apabila
ia membuka matanya, ia melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia
menjadi girang dengan tiba-tiba.
“Kau…kau…baik?”
serunya.
“Aku
baik, adikku,” sahut Pek thong. “Kau telah menolong aku, kau sampai
mengorbankan dirimu.”
Kwee Ceng mengawasi paha kakak
itu, warna hitamnya sudah lenyap, tinggal warna merah dan bengkaknya.
Keduanya
tidak banyak omong, bersama-sama mereka bersemadhi. Adalah setelah bersantap
tengah hari, Ciu Pek Thong baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau
kertas itu yang ada huruf-hurufnya.
Kwee Ceng mesti
mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat itulah benda yang ia
dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu Sie-seng Cu Cong, yang
sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee Tiauw Hong, ketika guru itu
mencuri pisau belati orang, piasu belati mana dibungkus dengan kulit itu. Maka
ia lantas menuturkan peristiwa di Kwie-in chung
baru-baru ini.
Ciu
pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw
Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di
kulit itu.
“Toako,
kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?” tanya
Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu
adalah Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu.
“Hendak
aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab kau,” menyahut Pek Thong. “Aku ingin
membuktikan ini yang tulen atau yang palsu.”
Pek
Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay dilarang
mempelajari Kiu Im Cin-keng? Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang mendapatkan itu
itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari? Ia tidak berani melanggar
pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: “Bukankah aku tidak berniat mempelajarinya
dan aku cuma hendak melihat saja?” Ini pula sebabnya kenapa selama numprah di
dalam gua itu, ia telah periksa Kiu Im Cin-keng bagian atas itu dan membacanya
berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu
silat tangan kosong dan pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk
mengalahkan lain orang, jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak
mendapatkan bagian bawahnya.
Selama
sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan menduga-duga bagaimana
isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. Dasar kepandaiannya telah mencapai
puncaknya dan ia pun sangat hapal Kiu Im Cin-keng bagian atas, maka itu begitu
melihat bagian bawahnya itu, ia lantas mengerti hubungan keduanya itu. Sekarang
ia berpikir keras, ia menyakinkan itu atau jangan? Ia tidak menghendaki menjadi
jago nomor satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana
lihaynya. Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak
seperguruannya, akhirnya ia masuki kitab itu ke dalam sakunya dan tidur.
Tidak
lama setelah mendusin, pek Thong ajak Kwee Ceng
membantui ia menggali tanah di bagian tempat duduknya, akan mengeluarkan kitab
simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia menggorek beberapa
kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali, mendadak ia
berseru: “Benar! Benar! Inilah
cara yang paling baik!” Ia lantas
tertawa, agaknya ia girang luar biasa.
“Toako,
kau bilang apa?” tanya Kwee Ceng
mengangkat kepalanya.
Pek
Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya mendapat ingat sesuatu.
Katanya dalam hati: “Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari dia menurut
bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia melatih itu, untuk aku
melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai maksudku untuk melihatnya?”
Tapi
sejenak kemudian, ia memikir lainnya. “Di
dengar dari suaranya, ia jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu
sesat, cumalah ia keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong
Siang Sat, yang mengerti hanya
bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek
Hong Siang
Sat tidak mengetahui bagian atasnya itu, mereka menjadi sesat. Baiklah aku
mengatur begini, aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham,
baru aku mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak
dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?”
Setelah
berpikir demikian, ia awasi Kwee
Ceng. Ia berkata: “Adikku, selama
aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun serta cara berkelahi bermain-main itu, sebenarnya aku telah
mendapatkan beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagimana jikalau
aku mengajari pula padamu?” Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa.
Kwee Ceng polos, ia girang.
“Memang
itu bagus!” jawabnya.
“Jangan
kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!” kata Pek Thong dalam hatinya. Ia
segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas.
Kwee Ceng tidak cerdas, ada
bagian-bagian yang ia tidak mengerti, ia menanyakan itu.
Pek
Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan penjelasannya, sesaudh mana,
dari bagian atas ia menyambung ke bagian bawah. Cuma, untuk tidak membikin
orang curiga, ia suka mengambiln jalan menyimpang.
Luar
biasa caranya mengajarnya Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru lainnya, ia
tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kakinya, tetapi meski pun
demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun bersungguh-sungguh, dan
berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh hasil. Setelah Kwee
Ceng mengerti, ia mencoba
membandingkan itu dengan ilmu silat Coan Cin Pay.
Kwee Ceng tetap tidak mendusin
bahwa ia sudah mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Kiu Im Cin-keng. Hal ini
membuat Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa
sendirinya.
Selama
beberapa hari ini, Oey
Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng
beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak muncul
menemui anak muda itu.
Kwee Ceng berlega hati, ia
mantap belajar silat, ia mendapat kemajuan hebat.
Pada
suatu ahri Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pek-ku
Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua.
“Pusatkan
perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!” berkata si guru.
Kwee Ceng menurut. Selang
beberapa kali, dia heran.
“Toako,”
katanya, “Aku lihat Bwee
Tiauw Hong
pernah mempelajari ilmu semacam ini, melainkan sasarannya ialah manusia hidup,
dengan jarinya ia mencengkram batok kepala orang, dia kejam sekalli!”
Di dalam hatinya Pek
Thong terkejut juga. Pikirnya: “Memang, Bwee Tiauw
Hong itu mengambil jalan yang
sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya. Ia cuma turuti kitab bawah yang
bunyinya: ‘Diwaktu bertempur, dengan jari-jari tangan mencengkram batok kepala
lawan.’ Ia tentunya pikir, melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia
mulai curiga, baiklah aku mengubahnya…” Maka sembari tertawa ia berkata: “Dia
mempelajari ilmu sesat, dia beda dari kita kaum
sejati. Baiklah, kita menunda mempelajarinya ini ilmu Kiu Im Sin-jiauw, aku
nanti mengajari kau lain ilmu dalam.” Sembari berkata begitu, ia berpikir:
“Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia hapal benar, kemudian baru
bagian bawah. Kalau keduanya menemui runtunannya, tentulah ia tidak bercuriga
lagi.”
Kwee
Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas.
Seperti
biasa dengan pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, ialah tidak
gampang ia mendapat ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta
keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya. Penjelasan ini
sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak dapat mengerti
maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena ini, mereka meminta
tempo lagi beberapa hari lagi, baru setelah itu, Kwee Ceng mulai melatih dengan
tangan dan kakinya.
Sering
Kwee ceng melihat kakaknya itu tersenyum atau tertawa sendirinya, ia tidak
curiga, sebab ia tahu kakak angkatnya ini memangnya nakal dan suka bergurau.
Kemudian
pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua membawakan mereka barang
makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat melihat sebuah bakpauw yang ada
tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia bawa bakpauw itu ke pepohonan yang
lebat, untuk dibuka dan diperiksa isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya
membuatnya kaget. Nona itu menulis:
“Engko
Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, yang ia hendak rangkap
jodohnya dengan jodohku. Ayah sudah memberikan jawabannya….
Sampai
di situ surat itu. Rupanya belum selesai lagi ditulis, surat itu tealh dimasuki
ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat tergesa-gesa. Tidak salah
lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima lamaran itu, kalau tidak si nona
tidak nanti menjadi bingung. Karena ini, ia pun menjadi bingung sekali.
Kwee
Ceng tunggu sampai si bujang tua sudah berbenah dan berlalu, ia perlihatkan
suratnya Oey Yong itu kepada Pek Thong.
“Ayahnya
sudah menerima baik, itulah bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!”
kata sang kakak.
“Tidak,
toako!” kata Kwee Ceng, tetap bingung. “Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya
kepadaku. Dia bisa menjadi gila!”
“Sesudah
seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang tidak dapat
dipelajari lagi lebih jauh,” Pek Thong memperingatkan. “Umpama dua ilmu
It-yang-cie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari oleh anak-anak yang
ebrtubuh jenaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik kau jangan menginginkan
istri…”
Kwee
Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak sependapat
dengannya, ia jadi semakin bergelisah. Ia bergelisah seorang diri.
“Coba
dulu hari itu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku,” kata pula Ciu Pek Thong,
“Hingga karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu It-yang-cie, mana bisa
sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau iblis ini? Kau lihat sekarang,
karena kau memikirkan istri, pemusatan pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu
hari ini pastilah tidak dapat kau selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi
putrinya Oey Lao Shia, putri yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang,
sungguh sayang….”
Tidak
puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai istri.
“Aku
nikahi dia atau tidak, itulah urusan belakangan, toako!” katanya. “Sekarang kau
tolongi dulu padanya!”
“See
Tok itu ada orang yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan orang baik,”
berkata Ciu Pek Thong. “Biarlah ia menikah sama putri yang licin dan buruk dari
Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu bagus?”
Kwee
Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak.
“Biar
aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!” pikirnya mengambil keputusan. Karena
ini, ia berlompat bangun. Justru itu ia dapat mendengar dua kali pekiknya
burung di tengah udara, lalu berkelebat dua bayangan putih, yang menyambar ke
bawah. Bahkan segera ia mengenali dua burung rajawali, yang dibawa Tuli dari
gurun pasir. Ia menjadi girang sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya
untuk burungnya itu mencelok.
Di
kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee ceng
meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Itulah surat dari
oey Yong. Si nona menulis bahwa ia terancam sangat, lantaran lagi beberapa hari
See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia dijaga keras oleh ayahnya,
sudah dilarang keluar dari rumah, tak boleh setengah tindak juga, ia pun
dilarang memasaki makanan lagi untuk si pemuda. Maka itu, tulisnya lebih jauh,
kalau sampai saatnya dan dia tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan
nyawanya. Dia larang si pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa
To penuh rahasia dan berbahaya.
Kwee
Ceng terbengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya. Ia mengurat
berulangkali di selebung bambu itu, akan mengukir delapan huruf, bunyinya:
“Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam sebuah liang.” Ia ikat
pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia kibaskan tangannya.
Sepasang
burung itu sudah lantas pergi terbang, di udara mereka terbang berputaran, lalu
terus menuju ke arah Utara.
Sekarang
Kwee Ceng dapat melegakan hati, maka ia bersila pula untuk bersemadhi, guna
menyakinkan ilmunya, akan sebentar kemudian ia menghampirkan Ciu Pek Thong,
guna mendengari pengajaran kakak angkatnya itu.
Lewat
sepuluh hari, dari Oey Yong tidak terdapat kabar apa juga. Selama itu, Kwee
Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena ini, dalam
girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia cuma mengajari
serupa demi serupa, ia tidak menyuruhnya orang berlatih dulu menuruti itu.
Inilah untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak muda.
Kwee
Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia berhasil
mengingat di luar kepala isinya kitab bagian bawah itu, maka itu, berhasillah
ia menguasai kedua bagian kitab itu.
Pada
suatu malam, tengah rembulan terang menderang, Pek Thong ajak Kwee Ceng
berlatih dengannya. Kesudahannya itu membuat ia girang sekali. Ia merasa bahwa
ia telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat memahamkan isinya
kitab, ia bakal terlebih lihay daripada Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Habis
berlatih, keduanya beristirahat memasang omong. Lalu tiba-tiba mereka mendapat
dengar suara menggelesernya sesuatu apa di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara
itu.
“Ular!”
Pek
Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia berlompat untuk lari masuk ke
dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya sakit.
Kwee
ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong batu besar, untuk
dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, “Toako, jangan bergerak, hendak
aku melihat.”
“Hati-hati,”
Pek Thong memesan. “Lekas kau kembali!”
Kwee
Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan tindak, ia
dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawahnya cahaya rembulan, nampak
ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris bagai satu pasukan tentara,
menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa pria dengan sergam putih, yang
tangannya memegang galah panjang. Barisan ular ini lebih hebat daripada barisan
ularnya Auwyang Kongcu.
“Mungkinkah
See Tok sendiri yang datang ke mari?” si anak muda menanya diri sendiri. Ia
kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon, lalu ia menguntit barisan
ular itu. Syukkur untuknya, semua penggembala ular itu biasa saja
kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang mengikuti.
Di
paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di dalam
rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira duapuluh lie, setelah
melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan luas dengan rumput
hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon bambu.
Setibanya
di situ, semua ular itu tidak berjalan lebih jauh, bahkan dengan menuruti
petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam melingkar dengan rapi, kepala
mereka diangkat tinggi.
Kwee Ceng berlaku waspada,
tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia nelusup ke Timur, yang merupakan rimba,
dari situ ia ke Utara, ke hutan bambu itu. Di
situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba itu sunyi. Ia bertindak
secara enteng sekali.
Di dalam rimba itu ada
sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut mereknya yang tergantung,
namanya Cek Cui Teng.
Di samping kedua mereka itu ada
sepasang lian. Di dalam pesaben ada
meja dan kursi terbuat dari bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun,
bambunya sudah mengkilap, warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasa di sekitar
paseban itu.
Mengintai
keluar, Kwee ceng melihat rombongan ular itu masih mendatangi. Semua ular itu
bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya besar dan ekornya panjang, cahayanya
kekuning-kuningan seperti emas. Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah
mereka bergerak pergi datang.
Semua
ular itu terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam
putih dan tangan masing-masing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan
perlahan. Di belakang mereka berjalan
satu orang dengan jubah terikat di pinggang, yang tangannya mengebas-ebas
kipas. Dialah
Auwyang Kongcu.
Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang terang
dan nyata; “Auwyang
Sianseng dari Wilayah Barat datang
menjenguk Oey Tocu dari Tho Hoa To!”
“Ah,
benar-benar See Tok yang datang!” kata Kwee Ceng
dalam hatinya. “Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan
sikapnya.”
Memang,
di belakangnya Auwyang
Kongcu ada berjalan seorang lain,
tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng
cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti bertindak,
begitupun Auwyang
Kongcu selagi pemuda itu mengasih
dengar suaranya.
Dari
dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu, hampir Kwee Ceng
menjerit. Itulah
Oey Yok
Su sendiri yang menuntun tangan
putrinya, Oey
Yong.
Auwyang Hong bertindak maju, ia
menjura kepada Oey
Yok Su,
yang membalasinya.
Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas
berlutut di depan pemilik dari Tho Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil
mengangguk empat kali. Ia kata: “Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu
tayjin, semoga gakhu tayjin sehat-sehat saja!”
“Gakhu
tayjin” itu berarti “Ayah mertua
yang dihormati”.
“Sudah,
kau bangunlah!” kata Oey
Yok Su,
yang mengulurkan tangannya akan mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut
dirinya baba mantu dan memanggil orang sebagai mertuanya.
Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia
tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah bersiap sedia. Ia mempertahankan diri
begitu lekas tangan kirinya dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia
berbangkit, tubuhnya terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan.
Tubuhnya itu lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke
tanah. Tapi Auwyang Hong
sudah lantas menggeraki tongkat di tangannya, ditempel pada punggung
keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka kesudahannya sang keponakan
dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri tegar.
“Ha,
bagus sekali, saudara Yok!” Auwyang
Hong tertawa. “Kau membuatnya baba
mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang pertama kali?”
Tidak
sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinganya Kwee Ceng.
“Dia
telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana
sudah kepandaiannya,” menyahut Oey
Yok Su.
Auwyang Hong tertawa lebar.
“Bagaimana
sekarang, apakah dia cocok untuk dipasangi dengan putrimu?” dia menanya,
sedangkan matanya melirik kepada Nona Oey,
setelah mana ia mengasih dengar pujiannya: “Saudara, sungguh hebat!
Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik molek!” Ia
lantas merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak, yang mana
pun ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu memancarlah keluar cahaya
terang indah. Di dalam kotak itu
terletak empat mutiara sebesar buah lengkeng. Ia lantas menghadap Oey Yong,
untuk berkata pula: “Ayahmu pernah malang
melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah yang
aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya? Maka itu ini bingkisanku berasal
dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini, pastilah akan dibuat
tertawaannya…!”
Sembari
berkata begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu.
Menampak
itu, hatinya Kwee
Ceng berdenyut keras. Katanya
dalam hatinya itu: “Dia menerimanya atau tidak…?”
Segera
juga terdengar suara tertawanya Oey
Yong.
“Terima
kasih!” berkata si nona, yang mengulur tangannya untuk menyambuti hadiah itu.
Melihat
saja kulit orang yang putih dan cantik itu, semangatnya Auwyang Kongcu
seperti sebuah meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar tertawa orang
yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat.
Di dalam hatinya ia berpikir: “Ayahnya
telah sudi menyerahkan dia kepadaku, maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak daripada dulu-dulu….”
Tengah
pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat menyambarnya
suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia menjerit, “Celaka!”
Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan tubuh, akan menjalankan tipu silat
Tiat-poan-kio atau Jembatan
Besi, hingga tubuhnya jadi
terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri.
“He,
kau bikin apa?!” Oey
Yok Su
pun membentak seraya tangan kirinya mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum
emas dari putrinya, ialah orang yang menyerang Auwyang Kongcu
dengan senjata rahasia itu, sedang tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya
itu.
Oey Yong lantas saja menjerit
menangis.
“Ayah.
lebih baik kau bunuh saja padaku!” demikian suaranya. “Tidak nanti aku menikah
dengannya!”
Auwyang Hong tidak menjadi kaget
menyaksikan itu semua. Sambil dengan satu tangan ia menjejalkan mutiara ke
dalam telapakan tangannya Oey
Yong, dengan tangan lain ia sampok
tangannya Oey
Yok Su
yang ditekankan ke bahu putrinya.
“Putrimu
tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguh-sungguh?” dia
berkata sambil tertawa kepada tuan rumah.
Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak
pula akan tetapi ia merasakan sakit pada dadanya, maka tahulah dia yang ia
telah terkena jarum rahasia itu. Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang
suka menang sendiri, ia menahan sakit, ia berpura-pura seperti tidak terjadi
sesuatu, melainkan wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah.
Auwyang Hong berkata pula sambil
tertawa: “Saudara
Yok, semenjak kita berpisah di gunung
Hoa San sudah duapuluh tahun kita tidak pernah saling bertemu maka itu
pertemuan ini sungguh membikin aku girang sekali. Saudara, setelah hari ini kau
memandang mata kepadaku dengan menerima baik perangkap jodoh keponakanku dengan
jodoh putrimu, maka selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!”
“Siapakah
yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?” menyahut Oey Yok
Su. “Untuk duapuluh tahun kau
berdiam diri di Wilayah
Barat, kepandaian apa saja yang
kau telah pahamkan, coba sekarang kau petunjuki untuk aku lihat.”
Dasar
sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh orang
mempertunjuki kepandaiannya, Oey Yong menjadi ketarik, ia lantas saja berhenti
menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya itu, matanya diarahkan kepada Auwyang
Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan.
See
Tok si Racun Barat itu memegang sebatang tongkat berwarna putih, tongkat ini
banyak tekukannya mirip dengan rotan. Unjungnya tongkat diukirkan sebuah kepala
orang, yang mulutnya tertawa. Di dalam
mulut itu terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah
kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang kulitnya
berkilau putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun dan naik.
Auwyang Hong tertawa ketika ia
menyahuti: “Dulu hari itu kepandaianku tidak dapat menyamakan kepandaian kau,
sekarang setelah mensia-siakan selama duapuluh tahun, pasti sekali aku kalah
jauh terlebih banyak. Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk
menumpang tinggal beberapa hari di pulau Tho Hoa To kau ini, untuk aku
memperoleh kesempatan akan meminta pengajaran dari kau.”
Ketika
pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su untuk melamar Oey
Yong, Oey Yok Su berpikir, dijamannya itu, orang yang dapat menandingi ia sudah
tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah salah satu diantaranya. Ia ketahui
baik putrinya sangat nakal, jikalau dia mendapat suami sembarangan, anka itu
bakal menghina suaminya, dari itu senang ia melihat kepandaiannya Auwyang
Kongcu yang berani melayani Bwee
Tiauw Hong.
Ia anggap, Auwyang
Kongcu adalah melebihkan Kwee Ceng
yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal terhadap
pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia sudah menerima baik
lamarannya Auwyang
Hong. Tapi sekarang, mendengar
suaranya See Tok, yang putar balik, merendah dan berjumawa, ia menjadi curiga.
Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang Hong telah pulih kesehatannya dan
kepandaiannya setelah dulu hari ilmu kepandaiannya itu dipecahkan Ong Tiong
Yang. Ia ketahui baik See Tok ini mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan
licik. Tentu saja, ia tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang berbesar
kepala. Maka itu ia sudah lantas menarik keluar serulingnya sambil ia berkata:
“Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku
membunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hatinya. Silakan duduk, sahabatku
supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan.”
Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa
menerka tuan rumah ini hendak memperdengarkan lagu “Thian Mo Bu Kiok” atau
“Lagu tarian hantu langit” untuk mempengaruhkan padanya. Ia lantas mengibas
dengan tangannya yang kiri, atas mana tigapuluh wanita berseragam putih itu,
yang memegang tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi
hormat pada tuan rumah. Ia lantas berkata: “Tigapuluh dua nona-nona ini adalah
nona-nona yang aku menitahkan murid-muridku mencarinya di pelbagai tempat,
sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka kepada kau,
saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajarannya guru-guru yang pandai,
mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim secara lumayan. Hanya sayangnya
mereka adalah nona-nona asal Wilayah
Barat, kecantikan mereka kalah
jauh dibandingkan dengan nona-nona dari Kanglam!”
Oey Yong
memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih bersih, tubuh mereka
tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang hidungnya mancung dan
matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya biru. Mereka beda
sekali dari nona-nona Tionggoan.
Auwyang Hong menepuk tangan tiga
kali, lantas delapan nona-nona itu mengasih keluar alat-alat tetabuhan mereka,
untuk sesaat kemudian mereka mulai memainkan lagu, diikut dengan tariannya
sisanya duapuluh empat nona lainnya. Mereka itu berdiri lempang, lalu mendak,
lalu berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada kalanya mereka
berdiri berbaris seperti tubuhnya seekor ular panjang, lalu jari tangan mereka
dikutik-kutik.
Oey Yong lantas ingat kepada
ilmu silat “Kim
Coa Kun”
atau “Ular emas” dari Auwyang Kongcu,
ia lantas melirik kepada pemuda
itu. Justru itu ia mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi
sebal, maka ia lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali
yang usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat
menjemukan.
“Kalau
aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudha tidak ada
orangnya dengan siapa aku dapat menikah,” demikian ia pikir pula. Karena ini
puas hatinya, sendirinya ia bersenyum.
Senang Auwyang Kongcu menampak senyuman si
nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah berubah. Saking girangnya, sejenak
itu ia melupakan rasa nyeri pada dadanya.
Nona-nona
yang tengah menari itu, menarinya menjadi semakin cepat, tetapi tetap lembut gerak-geriknya.
Dilain pihak orang-orang lelaki yang memegangi galah, ialah si
penggembala-penggembala ular, semua sudah menutup rapat-rapat mata mereka.
Mereka takut, dengan menyaksikan tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk
bertahan dan nanti runtuh…..
Oey Yok Su sendirinya menonton
dengan bersenyum berseri-seri, selang sekian lama barulah ia bawa serulingnya
ke bibirnya, untuk meniup, untuk mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia
meniup, tariannya si nona-nona tampaknya kacau. Dan
tempo tuan rumah meniup terus, lantas mereka itu menari menuruti iramanya
seruling.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia
pernah merasakan hebatnya lagu seruling orang itu. Kalau seruling berlangsung
terus, bukannya saja si nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia
sendiri juga tidak akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia
berseru: “Paman….!”
Justru
itu Auwyang Hong menepuk tangan, atau mana seorang
nona, dengan memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas,
maju menghampirkan.
Ketika
itu hatinya Auwayang
Kongcu sudah goncang keras, sedang
pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau berlompatan di antara
barisan ularnya.
Auwyang Hong lantas mementil alat
tetabuhannya itu, ia mengasih dengar suara umpama kata: “Tombak-tombak emas
saling beradu dan besi kaki kuda berketoprakan” Hanya beberapa kali saja suara
itu terulang, lantas nada halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa
bagian.
Oey Yok Su tertawa.
“Mari, mari!”
katanya. “Mari kita berdua
bersama-sama memainkan lagu!”
Hebat
kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka itu yang menari itu
menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang edan.
“Semua
menutup kuping!” berteriak Auwyang
Hong menyaksikan kehebatan itu.
“Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!”
Semua
orang itu seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan mereka, mereka
mengerti ancaman bahaya yang bakal datang itu, mak adalam ketakutannya, mereka
pada merobek ujung baju mereka untuk menggunai robekan itu menyumbat kuping
mereka.
Auwyang Kongcu yang sudah cukup
lihay turut juga menyumpal kupingnya.
Menyaksikan
kelakuan mereka itu, Oey
Yong tertawa. Ia sendiri tidak
terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: “Lain orang
memainkan lagu-lagu, justru dikhawatir orang tidak dapat mendengarnya, tetapi
kamu sebaliknya, kamu semua justru menutupi kuping! Tidak, aku sendiri tidak
sudi menyumbat kupingku!”
Oey Yok Su dapat mendengar
perkataan putrinya itu, ia menegur: “Ilmu kepandaian mementil tiat-ceng dari
pamanmu ini sangat kesohor di kolong langit ini, kau ada mempunyai kepandaian
apa maka kau berani mendengarnya? Apakah kau kira kau dapat mencoba-coba?!”
Dari
sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek itu menjadi dua
potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya itu.
Kwee Ceng menjadi heran
sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya, ingin ia mendengar lagu
tetabuhannya Auwyang
Hong itu. Tanpa mengenal bahaya,
ia justru maju beberapa tindak, supaya ia dapat mendengar dengan terlebih
nyata…..
Oey Yok Su perpaling kepada
tetamunya.
“Semua
ularmu tentunya tidak dapat menutup kupingnya,” katanya. Ia menoleh kepada
bujangnya yang gagu, ia mainkan kedua belah tangannya.
Bujang
gagu itu mengerti, ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular
itu, memberi tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang
menghendaki itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong
memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka mengiring ular mereka
menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu.
“Jikalau
aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit,” kata Auwyang Hong
kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia mulai mementil alat
tetabuhannya.
Nyaring
suaranya tiat-ceng itu. Kwee
Ceng merasakan, setiap pentilan
membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambha cepat, goncangan hatinya itu
bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak enak sendirinya. Ia
terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam hati: “Kalau suara jadi
hebat, tidakkah hatiku pun akan concang hingga aku mati?” Karena ini
lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila, akan memusatkan
pikirannya, akan mengempos tenaga dalamnya. Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng
itu tidak dapat lagi menggoncangkan hatinya.
Suara
tiat-ceng itu benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan tambur dan
gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda bercongklang bersama.
Atau dilain saat terdengar suaranya yang perlahan-lahan dan halus, ialah suara
dari seruling yang seperti menembusi suara tiat-ceng itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar