Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 36



Bab 36. Ilmu silat dari kitab yang diperebuti
Entah sudah lewat berapa banyak hari, maka pada suatu tengah hari bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: “Adik, kau telah berhasil mewariskan ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak bakal mampu merobohkan kau pula. Karena itu kita harus menukar caranya bermain-main.”
Kwee Ceng gembira, dia tertawa. “Bagus, toako. Apakah caramu itu?”
“Sekarang kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi…”
“Apa, empat orang?”
“Benar, empat orang,” sang kakak memberi kepastian. “Diumpamakan tangan kiriku satu orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang tanganmu, diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak saling membantu, kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan menarik hati!”
Kwee Ceng gembira, ia tertawa pula. “Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku,” katanya.
“Nanti aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu.”
Pek Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua orang. Kwee Ceng melayani seorang diri. Di saat si adik angkat terdesak. Pek Thong menggunai tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah tangan kiri dari tangan kanan.
Setelah merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng senang dengan permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong. Coba Yong-jie ada bersama, bukankah mereka bertiga bisa berkelahi seperti enam orang? Ia pun percaya Oey Yong senang dengan permainan ini.
Pek Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng sudah beristirahat cukup, ia mengajak untuk mulai lagi. Ia pun senang si anak muda dapat melayani. Ia kata: “Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay, tidak nanti kau dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau menggunai tangan kiri dengan Lam-san-ciang dan tangan kanan Wat-lie-kiam.”
Dengan Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie Jin, dan Wat-lie-kiam dari Han Siauw Eng.
Pek Thong saban-saban memberi keterangannya, maka selang beberapa hari lagi, benar-benar Kwee Ceng sudah dapat memisahkan kedua tangannya masing-masing, maka selanjutnya bisalah mereka berdua bertempur seperti berempat.
“Sekarang mari kita coba,” kataPek Thong kemudian. “Tangan kananmu dan tangan kiriku menjadi satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu menjadi kawan yang lain, kita saling melawan.”
Kwee Ceng terus bergembira. Ia mematahkan secabang pohon, buat dicekal tangan kanan bagaikan pedang. Dengan begitu mereka mulai bertempur, mulanya perlahan-lahan. Terus Pek Thong memberikan keterangan, sampai adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan begitu, adik angkat itu dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa itu.
Hari terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak adik angkatnya itu bergerbrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang. Dalam kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng sebaliknya repot, ia kena terdesak, maka kalau tangan kanannya kewalahan, tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia terdesak, mereka jadi seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana, Kwee Ceng toh mengerti juga.
“Ah, kau tidak pakai aturan!” Pek Thong tertawakan adiknya, yang berkelahi seperti sendiri itu.
Kwee Ceng tidak membilang suatu apa, hanya selang beberapa jurus, tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia berdiam.
“Toako!” katanya, habis berpikir, “Aku ingat suatu apa…”
Pek Thong heran. “apakah itu?” dia menegasi.
“Kedua tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu dipakai melawan satu orang, bukankah itu berarti dua lawan satu? Kita sekarang hanya main-main tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat berkelahi benar-benar…”
Pek Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat keluar dari gua, dia menjambret cabang pohon, untuk mematahkan dua batang. Habis itu ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa terus.
“Toako, kau kenapa?” menegur Kwee Ceng heran. Kakak itu seperti edan. “Kau kenapakah?”
Pek Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata: “Adik, aku keluar dari gua!”
“Ya,” Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua. “Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh….”
Pek Thong tertawa, dia menyahuti: “Sekarang ini kepandaianku ialah yang nomor satu di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su? Sekarang ini aku tinggal menantikan dia, untuk aku menghajarnya kalang-kabutan!”
Kwee Ceng heran.
“Toako, pastikah kau bakal dapat menang?”
“Sebenarnya aku masih kalah seurat,” sahut Pek Thong, “Tetapi sekarang aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini tidak bakal ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah mereka melayani dua Loo Boan Tong?”
Kwee Ceng girang. Beralasan perkataanya ini kakak angkat.
“Adikku,” kata pula Pek Thong, “Kau sudah mengerti ini ilmu memecah diri, untukmu tinggal latihan terlebih jauh untuk memahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sesudah kau bisa menyakinkan seperti kakakmu ini, kau pasti akan tambah hebat!”
Girang dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap-harap munculnya Oey Yok Su, yang baru beberapa saat di muka ia takuti. Coba tidak Oey Yok Su mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang, ia sudah pergi mencari.
Sore itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal tangan orang. “Pergi lekas panggil Oey Yok Su kemari, bilang di sini aku menantikan dia, suruh dia mencobai tanganku!”
Selama orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangi kepala, ketika Pek Thong sudah habis bicara, baru ia sadar sendirinya, “Aah, aku lupa dia tuli dan gagu!” katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng dan kata: “Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!” Ia lantas membuka tutup makanan.
Kwee Ceng dapat mencium bau makanan yang sedap. Ketika ia sudah memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara sayuran ada ayam tim yang ia doyan sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencobai. Ia merasa itu seperti masakannya Oey Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah ia, itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang lainnya. Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti buli-buli, rupanya itu sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya cetek, tidak gampang untuk melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas-lekas ia masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak memperhatikannya.
Kali ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong gembira karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok, ia seperti bersilat. Kwee Ceng mengharapkan lekas dahar cukup supaya ia bisa lekas baca suratnya Oey Yong. Ia percaya si nona ada punya kabar untuknya.
Akhirnya Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tengak kuah supnya, habis itu si bujang berbenah dan berlalu.
Sampai di situ Kwee Ceng keluarkan lilinnya, untuk dipecahkan. Benar di dalamnya ada suratnya, ialah surat dari Oey Yong. Si nona menulis:
“Engko Ceng, jangan khawatir. Ayah sudah baik lagi denganku. Kau tunggulah, perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah melepaskan kau.”
Habis membaca, surat itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu tertawa.
“Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak bisa!” katanya.
Ketika itu cuaca mulai jadi gelap.
Kwee Ceng duduk bersemadhi, tetapi ia senantiasa memikirkan Oey Yong, tidak bisa ia berdiam tenang. Selang sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenag, justru ia dapat berpkir bahwa untuk dapat memisah diri, ia mesti berkatih. Dengan kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin napasnya pun menjadi dua….
Kira-kira satu jam dia melatih diri, Kwee Ceng merasakan dia mendapat kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia membuka matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan kumis putih bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu Pek Thong lagi melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus itu. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan perlahan tetapi kesudahannya anginnya keras. Jadi itulah lemas memelihara kekerasan. Girang ia melihat kakaknya begitu hebat.
Selagi Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek Thong bersilat dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul sama satu suara bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam terlempar dari tubuhnya si orang tua, membentur kepada pohon. Nampaknya bendabitu seperti kena disambar.
Kwee Ceng terkejut. Ia lihat tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. “Toako, ada apa?” dia menanya.
“Aku digigit ular berbisa!” sahut Pek thong.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Ia tampak air muka kakaknya pias. Ia lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, untuk membalut keras paha kakaknya itu, ialah bagian yang dipagut ular, guna mencegah bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo ia menyalakan api, ia menjadi terlebih kaget. Ia melihat betis yang lantas menjadi bengkak.
“Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah darimana datangnya binatang ini,” kata Pek Thong. Ia kenali itulah ular hijau.
Kwee Ceng mendengar nyata suara kakaknya, ia jadi terlebih kaget lagi. Itulah tanda hebatnya racun ular. Bagus, si kakak dapat mengendalikan napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan diri tanpa pingsan. Tanpa bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke paha, ke tempat yang luka, untuk menyedot darah yang telah kecampur racun ular itu.
Pek Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini.
“Jangan!” ia mencegah. “Ular orang, ia menyedot terus. Pek Thong bisa mati!”
Kwee Ceng hendak menolongi jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri. Ia mencekal keras kaki orang, ia menyedot terus. Pek Thong hendak berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah dia lelah, tubuhnya lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia pingsan.
Kwee Ceng menyedot lamanya semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia dapat menyedot pulang sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat tubuhnya berkat ilmu dalamnya, selang sejam, ia mendusin.
“Adik,” dia berkata, “Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka, sebelum mati aku dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi sebagai kau, aku sangat bergirang…”
Kwee Ceng lantas saja mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka tetapi ia sangat ketarik sama orang tua ini, yang baik hatinya. Mereka sudah jadi seperti saudara kandung.
Pek Thong tertawa dalam kedukaan.
“Bagian dari Kiu Im Cin-keng berada di dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah di atas mana aku duduk numprah,” Pek Thong berkata pula. “Sebenarnya aku hendak mewariskan itu kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal tidak panjang umur…. Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan bergandeng tangan, kita tak usah berkhawatir kita tak punya kawan….”
Kwee Ceng terkejut mendengar kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia justru merasakan tubuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda yang luar biasa. Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa luka kakaknya itu. Bahan apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia keluarkan dari sakunya surat dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan untuk mencari cabang dan daun kering diluar gua, untuk ia sekalian, kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ, rumput semuanya hijau dan segar. Dalam bingung, ia merogoh pula sakunya, untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak dapatkan apa-apa kecuali itu sehelai benda kertas bukan kulit bukan, yang Bwee Tiauw Hong pakai membungkus pisau belati. Tanpa pikir nlagi, ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka Pek Thong. Ia melihat tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar sebagai bocah dari kakak angkatnya itu.
Melihat api, Pek Thong mengawasi Kwee Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia lihat benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak huruf-huruf. Baru ia melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu hingga padam, sesudah mana, ia menghela napas lega.
“Eh, adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?” ia tanya. “Kau sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai kau!”
Ditanya begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu hari ia bersama Ang Cit Kong dan Oey Yong bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana tidak ada ular yang berani menggigit padanya, ketika kemudian Cit Kong minta keterangan padanya ia ingat yang pernah menghirup darah ularnya Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi keterangannya.
Pek Thong mau mengerti, lantas ia menunjuk itu barang seperti kertas atau kulit.
“Jangan kau bakar itu!” katanya. “Itulah mustika…!”
Tidak sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia hendak menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im Cin-keng bagian bawah.
Dalam keget dan bingungnya Kwee ceng menguruti kakaknya itu. hendak ia menolong tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, ia merasakan paha panas seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking berkhawatir, ia lari ke luar gua, ia lompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak: “Yong-jie” Yong-jie! Oey Tocu! Tolong! Tolong!”
Luas Tho Hoa To itu, Oey Yok Su entah ada di bagian mana, suaranya Kwee Ceng sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu dari antara lembah.
Habis daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak putus asa. Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: “Ular beracun tidak berani menggigit aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular.” Begitu mengingat ini, begitu ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek Thong, yang diperantikan menaruh the, ia pun menghunus pisau belatinya. Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya, darahnya yang mengalir itu ia tadahkan dengan mangkok itu. Ia tunggu sampai darah habis menucur keluar, terus ia letaki tubuh Pek Thong di kakinya. Ia membuka mulut saudaranya itu, ia menggunai tangan kirinya lalu dengan tangan kanan ia menuang darahnya ke dalam mulut orang.

Anak muda ini telah mengeluarkan banyak darah, walaupun tubuhnya kuat, ia lelah juga, ia menjadi lemas. Menyender pada lamping gua, sendirinya ia meram dan menjadi pulas. Ia baru sadar ketika merasa ada orang meraba lengannya untuk membalut lukanya, apabila ia membuka matanya, ia melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia menjadi girang dengan tiba-tiba.
“Kau…kau…baik?” serunya.
“Aku baik, adikku,” sahut Pek thong. “Kau telah menolong aku, kau sampai mengorbankan dirimu.”
Kwee Ceng mengawasi paha kakak itu, warna hitamnya sudah lenyap, tinggal warna merah dan bengkaknya.
Keduanya tidak banyak omong, bersama-sama mereka bersemadhi. Adalah setelah bersantap tengah hari, Ciu Pek Thong baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau kertas itu yang ada huruf-hurufnya.
Kwee Ceng mesti mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat itulah benda yang ia dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu Sie-seng Cu Cong, yang sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee Tiauw Hong, ketika guru itu mencuri pisau belati orang, piasu belati mana dibungkus dengan kulit itu. Maka ia lantas menuturkan peristiwa di Kwie-in chung baru-baru ini.
Ciu pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di kulit itu.
“Toako, kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?” tanya Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu adalah Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu.
“Hendak aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab kau,” menyahut Pek Thong. “Aku ingin membuktikan ini yang tulen atau yang palsu.”
Pek Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay dilarang mempelajari Kiu Im Cin-keng? Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang mendapatkan itu itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari? Ia tidak berani melanggar pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: “Bukankah aku tidak berniat mempelajarinya dan aku cuma hendak melihat saja?” Ini pula sebabnya kenapa selama numprah di dalam gua itu, ia telah periksa Kiu Im Cin-keng bagian atas itu dan membacanya berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu silat tangan kosong dan pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk mengalahkan lain orang, jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak mendapatkan bagian bawahnya.
Selama sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan menduga-duga bagaimana isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. Dasar kepandaiannya telah mencapai puncaknya dan ia pun sangat hapal Kiu Im Cin-keng bagian atas, maka itu begitu melihat bagian bawahnya itu, ia lantas mengerti hubungan keduanya itu. Sekarang ia berpikir keras, ia menyakinkan itu atau jangan? Ia tidak menghendaki menjadi jago nomor satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana lihaynya. Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak seperguruannya, akhirnya ia masuki kitab itu ke dalam sakunya dan tidur.
Tidak lama setelah mendusin, pek Thong ajak Kwee Ceng membantui ia menggali tanah di bagian tempat duduknya, akan mengeluarkan kitab simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia menggorek beberapa kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali, mendadak ia berseru: “Benar! Benar! Inilah cara yang paling baik!” Ia lantas tertawa, agaknya ia girang luar biasa.
“Toako, kau bilang apa?” tanya Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
Pek Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya mendapat ingat sesuatu. Katanya dalam hati: “Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari dia menurut bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia melatih itu, untuk aku melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai maksudku untuk melihatnya?”
Tapi sejenak kemudian, ia memikir lainnya. “Di dengar dari suaranya, ia jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu sesat, cumalah ia keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong Siang Sat, yang mengerti hanya bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek Hong Siang Sat tidak mengetahui bagian atasnya itu, mereka menjadi sesat. Baiklah aku mengatur begini, aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham, baru aku mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?”
Setelah berpikir demikian, ia awasi Kwee Ceng. Ia berkata: “Adikku, selama aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun serta cara berkelahi bermain-main itu, sebenarnya aku telah mendapatkan beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagimana jikalau aku mengajari pula padamu?” Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa.
Kwee Ceng polos, ia girang.
“Memang itu bagus!” jawabnya.
“Jangan kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!” kata Pek Thong dalam hatinya. Ia segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas.
Kwee Ceng tidak cerdas, ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, ia menanyakan itu.
Pek Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan penjelasannya, sesaudh mana, dari bagian atas ia menyambung ke bagian bawah. Cuma, untuk tidak membikin orang curiga, ia suka mengambiln jalan menyimpang.
Luar biasa caranya mengajarnya Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru lainnya, ia tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kakinya, tetapi meski pun demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun bersungguh-sungguh, dan berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh hasil. Setelah Kwee Ceng mengerti, ia mencoba membandingkan itu dengan ilmu silat Coan Cin Pay.
Kwee Ceng tetap tidak mendusin bahwa ia sudah mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Kiu Im Cin-keng. Hal ini membuat Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa sendirinya.
Selama beberapa hari ini, Oey Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak muncul menemui anak muda itu.
Kwee Ceng berlega hati, ia mantap belajar silat, ia mendapat kemajuan hebat.
Pada suatu ahri Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pek-ku Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua.
“Pusatkan perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!” berkata si guru.
Kwee Ceng menurut. Selang beberapa kali, dia heran.
“Toako,” katanya, “Aku lihat Bwee Tiauw Hong pernah mempelajari ilmu semacam ini, melainkan sasarannya ialah manusia hidup, dengan jarinya ia mencengkram batok kepala orang, dia kejam sekalli!”
Di dalam hatinya Pek Thong terkejut juga. Pikirnya: “Memang, Bwee Tiauw Hong itu mengambil jalan yang sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya. Ia cuma turuti kitab bawah yang bunyinya: ‘Diwaktu bertempur, dengan jari-jari tangan mencengkram batok kepala lawan.’ Ia tentunya pikir, melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia mulai curiga, baiklah aku mengubahnya…” Maka sembari tertawa ia berkata: “Dia mempelajari ilmu sesat, dia beda dari kita kaum sejati. Baiklah, kita menunda mempelajarinya ini ilmu Kiu Im Sin-jiauw, aku nanti mengajari kau lain ilmu dalam.” Sembari berkata begitu, ia berpikir: “Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia hapal benar, kemudian baru bagian bawah. Kalau keduanya menemui runtunannya, tentulah ia tidak bercuriga lagi.”
Kwee Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas.
Seperti biasa dengan pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, ialah tidak gampang ia mendapat ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya. Penjelasan ini sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak dapat mengerti maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena ini, mereka meminta tempo lagi beberapa hari lagi, baru setelah itu, Kwee Ceng mulai melatih dengan tangan dan kakinya.
Sering Kwee ceng melihat kakaknya itu tersenyum atau tertawa sendirinya, ia tidak curiga, sebab ia tahu kakak angkatnya ini memangnya nakal dan suka bergurau.
Kemudian pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua membawakan mereka barang makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat melihat sebuah bakpauw yang ada tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia bawa bakpauw itu ke pepohonan yang lebat, untuk dibuka dan diperiksa isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya membuatnya kaget. Nona itu menulis:
“Engko Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, yang ia hendak rangkap jodohnya dengan jodohku. Ayah sudah memberikan jawabannya….
Sampai di situ surat itu. Rupanya belum selesai lagi ditulis, surat itu tealh dimasuki ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat tergesa-gesa. Tidak salah lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima lamaran itu, kalau tidak si nona tidak nanti menjadi bingung. Karena ini, ia pun menjadi bingung sekali.
Kwee Ceng tunggu sampai si bujang tua sudah berbenah dan berlalu, ia perlihatkan suratnya Oey Yong itu kepada Pek Thong.
“Ayahnya sudah menerima baik, itulah bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!” kata sang kakak.
“Tidak, toako!” kata Kwee Ceng, tetap bingung. “Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya kepadaku. Dia bisa menjadi gila!”
“Sesudah seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang tidak dapat dipelajari lagi lebih jauh,” Pek Thong memperingatkan. “Umpama dua ilmu It-yang-cie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari oleh anak-anak yang ebrtubuh jenaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik kau jangan menginginkan istri…”
Kwee Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak sependapat dengannya, ia jadi semakin bergelisah. Ia bergelisah seorang diri.
“Coba dulu hari itu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku,” kata pula Ciu Pek Thong, “Hingga karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu It-yang-cie, mana bisa sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau iblis ini? Kau lihat sekarang, karena kau memikirkan istri, pemusatan pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu hari ini pastilah tidak dapat kau selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi putrinya Oey Lao Shia, putri yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang, sungguh sayang….”
Tidak puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai istri.
“Aku nikahi dia atau tidak, itulah urusan belakangan, toako!” katanya. “Sekarang kau tolongi dulu padanya!”
“See Tok itu ada orang yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan orang baik,” berkata Ciu Pek Thong. “Biarlah ia menikah sama putri yang licin dan buruk dari Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu bagus?”
Kwee Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak.
“Biar aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!” pikirnya mengambil keputusan. Karena ini, ia berlompat bangun. Justru itu ia dapat mendengar dua kali pekiknya burung di tengah udara, lalu berkelebat dua bayangan putih, yang menyambar ke bawah. Bahkan segera ia mengenali dua burung rajawali, yang dibawa Tuli dari gurun pasir. Ia menjadi girang sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya untuk burungnya itu mencelok.
Di kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee ceng meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Itulah surat dari oey Yong. Si nona menulis bahwa ia terancam sangat, lantaran lagi beberapa hari See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia dijaga keras oleh ayahnya, sudah dilarang keluar dari rumah, tak boleh setengah tindak juga, ia pun dilarang memasaki makanan lagi untuk si pemuda. Maka itu, tulisnya lebih jauh, kalau sampai saatnya dan dia tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan nyawanya. Dia larang si pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa To penuh rahasia dan berbahaya.
Kwee Ceng terbengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya. Ia mengurat berulangkali di selebung bambu itu, akan mengukir delapan huruf, bunyinya: “Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam sebuah liang.” Ia ikat pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia kibaskan tangannya.
Sepasang burung itu sudah lantas pergi terbang, di udara mereka terbang berputaran, lalu terus menuju ke arah Utara.
Sekarang Kwee Ceng dapat melegakan hati, maka ia bersila pula untuk bersemadhi, guna menyakinkan ilmunya, akan sebentar kemudian ia menghampirkan Ciu Pek Thong, guna mendengari pengajaran kakak angkatnya itu.
Lewat sepuluh hari, dari Oey Yong tidak terdapat kabar apa juga. Selama itu, Kwee Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena ini, dalam girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia cuma mengajari serupa demi serupa, ia tidak menyuruhnya orang berlatih dulu menuruti itu. Inilah untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak muda.
Kwee Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia berhasil mengingat di luar kepala isinya kitab bagian bawah itu, maka itu, berhasillah ia menguasai kedua bagian kitab itu.
Pada suatu malam, tengah rembulan terang menderang, Pek Thong ajak Kwee Ceng berlatih dengannya. Kesudahannya itu membuat ia girang sekali. Ia merasa bahwa ia telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat memahamkan isinya kitab, ia bakal terlebih lihay daripada Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Habis berlatih, keduanya beristirahat memasang omong. Lalu tiba-tiba mereka mendapat dengar suara menggelesernya sesuatu apa di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara itu.
“Ular!”
Pek Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia berlompat untuk lari masuk ke dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya sakit.
Kwee ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong batu besar, untuk dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, “Toako, jangan bergerak, hendak aku melihat.”
“Hati-hati,” Pek Thong memesan. “Lekas kau kembali!”
Kwee Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan tindak, ia dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawahnya cahaya rembulan, nampak ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris bagai satu pasukan tentara, menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa pria dengan sergam putih, yang tangannya memegang galah panjang. Barisan ular ini lebih hebat daripada barisan ularnya Auwyang Kongcu.
“Mungkinkah See Tok sendiri yang datang ke mari?” si anak muda menanya diri sendiri. Ia kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon, lalu ia menguntit barisan ular itu. Syukkur untuknya, semua penggembala ular itu biasa saja kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang mengikuti.
Di paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di dalam rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira duapuluh lie, setelah melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan luas dengan rumput hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon bambu.
Setibanya di situ, semua ular itu tidak berjalan lebih jauh, bahkan dengan menuruti petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam melingkar dengan rapi, kepala mereka diangkat tinggi.
Kwee Ceng berlaku waspada, tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia nelusup ke Timur, yang merupakan rimba, dari situ ia ke Utara, ke hutan bambu itu. Di situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba itu sunyi. Ia bertindak secara enteng sekali.
Di dalam rimba itu ada sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut mereknya yang tergantung, namanya Cek Cui Teng. Di samping kedua mereka itu ada sepasang lian. Di dalam pesaben ada meja dan kursi terbuat dari bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun, bambunya sudah mengkilap, warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasa di sekitar paseban itu.
Mengintai keluar, Kwee ceng melihat rombongan ular itu masih mendatangi. Semua ular itu bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya besar dan ekornya panjang, cahayanya kekuning-kuningan seperti emas. Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah mereka bergerak pergi datang.
Semua ular itu terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam putih dan tangan masing-masing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan perlahan. Di belakang mereka berjalan satu orang dengan jubah terikat di pinggang, yang tangannya mengebas-ebas kipas. Dialah Auwyang Kongcu. Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang terang dan nyata; “Auwyang Sianseng dari Wilayah Barat datang menjenguk Oey Tocu dari Tho Hoa To!”
“Ah, benar-benar See Tok yang datang!” kata Kwee Ceng dalam hatinya. “Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan sikapnya.”
Memang, di belakangnya Auwyang Kongcu ada berjalan seorang lain, tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti bertindak, begitupun Auwyang Kongcu selagi pemuda itu mengasih dengar suaranya.
Dari dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu, hampir Kwee Ceng menjerit. Itulah Oey Yok Su sendiri yang menuntun tangan putrinya, Oey Yong.
Auwyang Hong bertindak maju, ia menjura kepada Oey Yok Su, yang membalasinya.
Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas berlutut di depan pemilik dari Tho Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil mengangguk empat kali. Ia kata: “Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu tayjin, semoga gakhu tayjin sehat-sehat saja!”
“Gakhu tayjin” itu berarti “Ayah mertua yang dihormati”.
“Sudah, kau bangunlah!” kata Oey Yok Su, yang mengulurkan tangannya akan mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut dirinya baba mantu dan memanggil orang sebagai mertuanya.
Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah bersiap sedia. Ia mempertahankan diri begitu lekas tangan kirinya dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia berbangkit, tubuhnya terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan. Tubuhnya itu lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke tanah. Tapi Auwyang Hong sudah lantas menggeraki tongkat di tangannya, ditempel pada punggung keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka kesudahannya sang keponakan dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri tegar.
“Ha, bagus sekali, saudara Yok!” Auwyang Hong tertawa. “Kau membuatnya baba mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang pertama kali?”
Tidak sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinganya Kwee Ceng.
“Dia telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana sudah kepandaiannya,” menyahut Oey Yok Su.
Auwyang Hong tertawa lebar.
“Bagaimana sekarang, apakah dia cocok untuk dipasangi dengan putrimu?” dia menanya, sedangkan matanya melirik kepada Nona Oey, setelah mana ia mengasih dengar pujiannya: “Saudara, sungguh hebat! Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik molek!” Ia lantas merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak, yang mana pun ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu memancarlah keluar cahaya terang indah. Di dalam kotak itu terletak empat mutiara sebesar buah lengkeng. Ia lantas menghadap Oey Yong, untuk berkata pula: “Ayahmu pernah malang melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah yang aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya? Maka itu ini bingkisanku berasal dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini, pastilah akan dibuat tertawaannya…!”
Sembari berkata begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu.
Menampak itu, hatinya Kwee Ceng berdenyut keras. Katanya dalam hatinya itu: “Dia menerimanya atau tidak…?”
Segera juga terdengar suara tertawanya Oey Yong.
“Terima kasih!” berkata si nona, yang mengulur tangannya untuk menyambuti hadiah itu.
Melihat saja kulit orang yang putih dan cantik itu, semangatnya Auwyang Kongcu seperti sebuah meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar tertawa orang yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat. Di dalam hatinya ia berpikir: “Ayahnya telah sudi menyerahkan dia kepadaku, maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak daripada dulu-dulu….”
Tengah pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat menyambarnya suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia menjerit, “Celaka!” Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan tubuh, akan menjalankan tipu silat Tiat-poan-kio atau Jembatan Besi, hingga tubuhnya jadi terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri.
“He, kau bikin apa?!” Oey Yok Su pun membentak seraya tangan kirinya mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum emas dari putrinya, ialah orang yang menyerang Auwyang Kongcu dengan senjata rahasia itu, sedang tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya itu.
Oey Yong lantas saja menjerit menangis.
“Ayah. lebih baik kau bunuh saja padaku!” demikian suaranya. “Tidak nanti aku menikah dengannya!”
Auwyang Hong tidak menjadi kaget menyaksikan itu semua. Sambil dengan satu tangan ia menjejalkan mutiara ke dalam telapakan tangannya Oey Yong, dengan tangan lain ia sampok tangannya Oey Yok Su yang ditekankan ke bahu putrinya.
“Putrimu tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguh-sungguh?” dia berkata sambil tertawa kepada tuan rumah.
Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak pula akan tetapi ia merasakan sakit pada dadanya, maka tahulah dia yang ia telah terkena jarum rahasia itu. Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang suka menang sendiri, ia menahan sakit, ia berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu, melainkan wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah.
Auwyang Hong berkata pula sambil tertawa: “Saudara Yok, semenjak kita berpisah di gunung Hoa San sudah duapuluh tahun kita tidak pernah saling bertemu maka itu pertemuan ini sungguh membikin aku girang sekali. Saudara, setelah hari ini kau memandang mata kepadaku dengan menerima baik perangkap jodoh keponakanku dengan jodoh putrimu, maka selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!”
“Siapakah yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?” menyahut Oey Yok Su. “Untuk duapuluh tahun kau berdiam diri di Wilayah Barat, kepandaian apa saja yang kau telah pahamkan, coba sekarang kau petunjuki untuk aku lihat.”
Dasar sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh orang mempertunjuki kepandaiannya, Oey Yong menjadi ketarik, ia lantas saja berhenti menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya itu, matanya diarahkan kepada Auwyang Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan.
See Tok si Racun Barat itu memegang sebatang tongkat berwarna putih, tongkat ini banyak tekukannya mirip dengan rotan. Unjungnya tongkat diukirkan sebuah kepala orang, yang mulutnya tertawa. Di dalam mulut itu terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang kulitnya berkilau putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun dan naik.
Auwyang Hong tertawa ketika ia menyahuti: “Dulu hari itu kepandaianku tidak dapat menyamakan kepandaian kau, sekarang setelah mensia-siakan selama duapuluh tahun, pasti sekali aku kalah jauh terlebih banyak. Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk menumpang tinggal beberapa hari di pulau Tho Hoa To kau ini, untuk aku memperoleh kesempatan akan meminta pengajaran dari kau.”
Ketika pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su untuk melamar Oey Yong, Oey Yok Su berpikir, dijamannya itu, orang yang dapat menandingi ia sudah tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah salah satu diantaranya. Ia ketahui baik putrinya sangat nakal, jikalau dia mendapat suami sembarangan, anka itu bakal menghina suaminya, dari itu senang ia melihat kepandaiannya Auwyang Kongcu yang berani melayani Bwee Tiauw Hong. Ia anggap, Auwyang Kongcu adalah melebihkan Kwee Ceng yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal terhadap pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia sudah menerima baik lamarannya Auwyang Hong. Tapi sekarang, mendengar suaranya See Tok, yang putar balik, merendah dan berjumawa, ia menjadi curiga. Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang Hong telah pulih kesehatannya dan kepandaiannya setelah dulu hari ilmu kepandaiannya itu dipecahkan Ong Tiong Yang. Ia ketahui baik See Tok ini mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan licik. Tentu saja, ia tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang berbesar kepala. Maka itu ia sudah lantas menarik keluar serulingnya sambil ia berkata: “Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku membunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hatinya. Silakan duduk, sahabatku supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan.”
Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa menerka tuan rumah ini hendak memperdengarkan lagu “Thian Mo Bu Kiok” atau “Lagu tarian hantu langit” untuk mempengaruhkan padanya. Ia lantas mengibas dengan tangannya yang kiri, atas mana tigapuluh wanita berseragam putih itu, yang memegang tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi hormat pada tuan rumah. Ia lantas berkata: “Tigapuluh dua nona-nona ini adalah nona-nona yang aku menitahkan murid-muridku mencarinya di pelbagai tempat, sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka kepada kau, saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajarannya guru-guru yang pandai, mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim secara lumayan. Hanya sayangnya mereka adalah nona-nona asal Wilayah Barat, kecantikan mereka kalah jauh dibandingkan dengan nona-nona dari Kanglam!”
Oey Yong memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih bersih, tubuh mereka tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang hidungnya mancung dan matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya biru. Mereka beda sekali dari nona-nona Tionggoan.
Auwyang Hong menepuk tangan tiga kali, lantas delapan nona-nona itu mengasih keluar alat-alat tetabuhan mereka, untuk sesaat kemudian mereka mulai memainkan lagu, diikut dengan tariannya sisanya duapuluh empat nona lainnya. Mereka itu berdiri lempang, lalu mendak, lalu berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada kalanya mereka berdiri berbaris seperti tubuhnya seekor ular panjang, lalu jari tangan mereka dikutik-kutik.
Oey Yong lantas ingat kepada ilmu silat “Kim Coa Kun” atau “Ular emas” dari Auwyang Kongcu, ia lantas melirik kepada pemuda itu. Justru itu ia mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi sebal, maka ia lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali yang usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat menjemukan.
“Kalau aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudha tidak ada orangnya dengan siapa aku dapat menikah,” demikian ia pikir pula. Karena ini puas hatinya, sendirinya ia bersenyum.
Senang Auwyang Kongcu menampak senyuman si nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah berubah. Saking girangnya, sejenak itu ia melupakan rasa nyeri pada dadanya.
Nona-nona yang tengah menari itu, menarinya menjadi semakin cepat, tetapi tetap lembut gerak-geriknya. Dilain pihak orang-orang lelaki yang memegangi galah, ialah si penggembala-penggembala ular, semua sudah menutup rapat-rapat mata mereka. Mereka takut, dengan menyaksikan tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dan nanti runtuh…..
Oey Yok Su sendirinya menonton dengan bersenyum berseri-seri, selang sekian lama barulah ia bawa serulingnya ke bibirnya, untuk meniup, untuk mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia meniup, tariannya si nona-nona tampaknya kacau. Dan tempo tuan rumah meniup terus, lantas mereka itu menari menuruti iramanya seruling.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia pernah merasakan hebatnya lagu seruling orang itu. Kalau seruling berlangsung terus, bukannya saja si nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia sendiri juga tidak akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia berseru: “Paman….!”
Justru itu Auwyang Hong menepuk tangan, atau mana seorang nona, dengan memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas, maju menghampirkan.
Ketika itu hatinya Auwayang Kongcu sudah goncang keras, sedang pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau berlompatan di antara barisan ularnya.
Auwyang Hong lantas mementil alat tetabuhannya itu, ia mengasih dengar suara umpama kata: “Tombak-tombak emas saling beradu dan besi kaki kuda berketoprakan” Hanya beberapa kali saja suara itu terulang, lantas nada halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa bagian.
Oey Yok Su tertawa.
“Mari, mari!” katanya. “Mari kita berdua bersama-sama memainkan lagu!”
Hebat kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka itu yang menari itu menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang edan.
“Semua menutup kuping!” berteriak Auwyang Hong menyaksikan kehebatan itu. “Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!”
Semua orang itu seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan mereka, mereka mengerti ancaman bahaya yang bakal datang itu, mak adalam ketakutannya, mereka pada merobek ujung baju mereka untuk menggunai robekan itu menyumbat kuping mereka.
Auwyang Kongcu yang sudah cukup lihay turut juga menyumpal kupingnya.
Menyaksikan kelakuan mereka itu, Oey Yong tertawa. Ia sendiri tidak terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: “Lain orang memainkan lagu-lagu, justru dikhawatir orang tidak dapat mendengarnya, tetapi kamu sebaliknya, kamu semua justru menutupi kuping! Tidak, aku sendiri tidak sudi menyumbat kupingku!”
Oey Yok Su dapat mendengar perkataan putrinya itu, ia menegur: “Ilmu kepandaian mementil tiat-ceng dari pamanmu ini sangat kesohor di kolong langit ini, kau ada mempunyai kepandaian apa maka kau berani mendengarnya? Apakah kau kira kau dapat mencoba-coba?!”
Dari sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek itu menjadi dua potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya, ingin ia mendengar lagu tetabuhannya Auwyang Hong itu. Tanpa mengenal bahaya, ia justru maju beberapa tindak, supaya ia dapat mendengar dengan terlebih nyata…..
Oey Yok Su perpaling kepada tetamunya.
“Semua ularmu tentunya tidak dapat menutup kupingnya,” katanya. Ia menoleh kepada bujangnya yang gagu, ia mainkan kedua belah tangannya.
Bujang gagu itu mengerti, ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular itu, memberi tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang menghendaki itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka mengiring ular mereka menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu.
“Jikalau aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit,” kata Auwyang Hong kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia mulai mementil alat tetabuhannya.
Nyaring suaranya tiat-ceng itu. Kwee Ceng merasakan, setiap pentilan membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambha cepat, goncangan hatinya itu bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak enak sendirinya. Ia terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam hati: “Kalau suara jadi hebat, tidakkah hatiku pun akan concang hingga aku mati?” Karena ini lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila, akan memusatkan pikirannya, akan mengempos tenaga dalamnya. Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng itu tidak dapat lagi menggoncangkan hatinya.
Suara tiat-ceng itu benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan tambur dan gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda bercongklang bersama. Atau dilain saat terdengar suaranya yang perlahan-lahan dan halus, ialah suara dari seruling yang seperti menembusi suara tiat-ceng itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar