Rabu, 31 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 54



BAB 54
Kwee Ceng

Oey Yok Su melengak. Ia tidak menyangka gadisnya mau menolongi nona Mongolia itu. Tapinya ia cerdik, sejenak kemudian, ia mengerti sebabnya itu. Kalau putri itu terbinasa, tentu Kwee Ceng bakal murka, kalau Kwee Ceng murka, mana bisa dia akur lagi dengan gadisnya? Ia lantas berpikir keras. Sama sekali ia tidak takut bocah itu. Kapan ia memandang kepada gadisnya, yang romannya lesu dan berduka sangat, hatinya menjadi dingin. Paras si nona itu waktu sungguh mirip sama paras istrinya, ialah ibunya Oey Yong, selagi si istri mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Oey Yong dan ibunya sangat mirip satu dengan lain dan Oey Yok Su sangat mencintai istrinya itu, meninggalnya siapa membuatnya seperti gila. Sudah lewat limabelas tahun tetapi wajah istrinya itu masih masih saban-saban terbayang di depan matanya. Sekarang ia melihat roman gadisnya itu, maka tahulah ia bagaimana sangat anak itu mencintai Kwee Ceng. Akhirnya ia mengela napas, lalu bersenandung.
Oey Yong pun berdiri diam, air matanya turun mengucur…..
Han Po Kie menarik tangannya Cu Cong.
“Dia kata apakah?” ia berbisik.
“Ia mengulangi tulisannya seorang she Kee di jaman Ahala Gan,” Cu Cong jawab. “Itu artinya, manusia di dalam dunia beserta segala bendanya adalah seperti penderitaan yang dibakar di dalam sebuah perapian besar.”
“Dia demikian lihay, apalagi penderitaannya?” Po Kie tanya pula.
Cu Cong tersenyum, ia tidak menjawab.
“Yong-jie, mari kita pulang…” akhirnya terdengar suaranya Oey Yok Su halus. “Untuk selanjutnya, untuk selamanya jangan kita melihat pula bocah ini…”
“Tidak, ayah,” sahut si anak menggeleng kepala. “Aku mesti pergi ke Gak-ciu. Suhu menitahkan aku untuk menjadi pangcu, ketua dari Kay Pang.”
Ayah itu tersenyum.
“Apakah enaknya menjadi ketua Partai Pengemis?” ia menanya.
“Aku telah memberikan janjiku pada suhu, ayah!”
Ayah itu berpikir.
“Baiklah,” katanya kemudian, “Kau coba-cobalah untuk beberapa hari. Umpama kata kau menganggap terlalu jorok, kau wariskan saja kepada orang lain. Bagaimana di belakang hari, kau masih mau menemui bocah ini atau tidak?”
Oey Yong melirik kepada Kwee Ceng, siapa terus mengawasi kepadanya, sinar matanya sangat lesu, romannya sangat berduka. Ia berpaling kepada ayahnya, ia menyahuti: “Ayah, dia mau menikah sama lain orang maka aku pun akan menikah dengan lain orang juga. Di dalam hati dia cuma ada aku satu orang, maka di dalam hatiku cuma ada dia seorang juga…”
“Ha!” berkata orang tua itu. “Anak perempuan dari Tho Hoa To tidak dapat dihina orang, itulah bagus. Habis bagaimana kalau orang orang dengan siapa kau menikah nanti melarang kau menemui dia?”
“Hm, siapa yang berani melarang aku!” kata nona itu keren. “Aku toh anakmu!”
“Ah, budak tolol!” berkata ayah itu. “Lewat beberapa tahun lagi aku bakal meninggalkan dunia ini…”
“Tetapi ayah,” kata si nona yang pun berduka, “Begini rupa dia memperlakukan aku, apakah kau mengira aku bakal dapat hidup lama pula?”
Kanglam Liok Koay dijuluki manusia-manusia aneh tetapi mendengari pembicaraan ayah dengan anak itu, mereka menjublak. Di jaman Song itu, masih keras orang menghormati adat-istiadat, ada sopan santun. Oey Yok Su bukannya Seng Tong dan Bu Ong, bukannya Ciu Kong atau Khong Cu, tetapi ialah seorang yang aneh, maka julukannya pun Tong Shia, si Sesat dari Timur. Apa yang ia lakukan biasanya sebaliknya daripada yang umum, sedang Oey Yong itu, semenjak kecilnya, ia sudah dididik ayahnya yang aneh ini, yang terpelajar tinggi dan luas pengetahuannya, maka ia mengerti, suami istri tinggal suami istri tetapi cinta itulah lain.
Kwee Ceng pun mendengari pembicaraan itu dengan hatinya terluka. Ia sangat berduka. Ia mau menghiburi Oey Yong tetapi apa ia hendak bilang? Maka ia pun berdiam saja.
Oey Yok Su memandang putrinya, lalu ia mengawasi Kwee Ceng, kemudian lagi ia dongak memandang langit dan mengasih dengar suaranya yang lama dan keras, yang seumpama kata menggetarkan rimba, suaranya itu berkumandang di lembah-lembah. Burung-burung kucica kaget hingga pada beterbangan mengitari pepohonan.
“Burung kucica, burung kucica!” berkata Oey Yong. “Malam ini Gu Long bakal bertemu sama Cit Lie, kenapa kau tidak lekas-lekas membuat jembatanmu?”
Tapi Oey Yok Su sengit, ia menjumpat seraup pasir, ia menimpuk, maka itu belasan burung jatuh dan mati, setelah mana dia membalik tubuh, untuk berjalan pergi tanpa menoleh lagi….
Tuli tidak mengerti pembicaraan orang, karena tahu Kwee Ceng tidak akan menyalahi janji, ia girang sekali. Ia pegang golok Kim-too dari ayahnya, dia cium itu di mulutnya, lalu ia membawanya kepda Kwee Ceng, untuk diserahkan.
“Anda,” katanya, “Aku harap usahamu yang besar lekas selesai, supaya kau bisa pulang ke Utara di mana kita nanti dapat bertemu pula!”
“Burung kita ini kau boleh bawa,” berkata Gochin Baki. “Aku harap kau lekas pulang!”
Kwee Ceng mengangguk. Dari sakunya ia mengeluarkan sepotong tombak pendek, sambil menunjuki itu, ia kata pada putri Mongolia itu: “Kau bilangi ibuku, pasti aku akan pakai senjata ayahku ini untuk membinasakan musuh kami!”
Jebe dan Borchu pun turut mengambil selamat berpisah.
Oey Yong mengawasi empat orang Mongolia itu berlalu, Kwee Ceng masih berdiri saja. Ia melihat kedukaan orang.
“Engko Ceng, kau pergilah, aku tidak sesalkan kau,” katanya.
“Yong-jie,” menyahut si anak muda itu, yang bicara dari lain hal, “Tongkat Kay Pang dibawa Yo Kang, dan ayahmu membilang, mengenai Kay Pang mungkin terjadi sesuatu, maka itu malam ini mari kita mencari suhu, besok aku nanti terus pergi bersama kau.”
Si nona menggeleng kepala.
“Pergi kau sendiri mencari suhu,” katanya. Ia mengasih keluar pisau belata Kwee Ceng, yang ia selipkan di pinggangnya, ia letaki itu di tanah. Ia juga menurunkan dan membuka pauwhok yang digendol di punggungnya, darimana ia mengeluarkan segulung gambar. Ia kata: “Inilah pemberian ayah untukmu.” Masih ia mengeluarkan lakonnya yang beraneka warna, yang mana ia pisahkan separuh. Ia kata pula: “Inilah barang yang kita kumpulkan di pulau, aku bagi separuh untukmu…” Ia mengawasi bungkusannya itu, di situ cuma ada baju pemberian Kwee Ceng serta sejumlah uang serta beberapa potong pakaiannya untuk salin tiap hari, maka ia tertawa dan berkata pula: “Aku tidak mempunyai barang lainnya lagi untuk diberikan padamu.” Lalu dengan perlahan ia membungkus rapi, ia menggendol itu, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk berjalan pergi.
Kwee Ceng tercengang, dengan menuntun kuda merah, ia menyusul.
“Baik kau menunggang kuda,” katanya.
Oey Yong menoleh, ia tertawa, tetapi ia jalan terus.
Kwee Ceng masih menyusul beberapa tindak, lantas ia berhenti. Ia masih bengong mengawasi orang pergi hingga nampak seperti bayangan.
“Anak Ceng, bagaimana sekarang?” Han Siauw Eng menegur.
Anak muda itu masih menjublak.
“Aku hendak pergi ke istana mencari suhu,” sahutnya.
“Itu benar,” berkata Kwa Tin Ok. “Oey Lao Shia pernah mengacau di rumah kita, mungkin orang di rumah bingung, maka sekarang kita mau pulang. Kalau kau berhasil mencari gurumu itu, kau undang dia datang ke rumah kami untuk sekalian beristirahat.”
Kwee Ceng menurut, maka itu, ia mengambil selamat berpisah dari keenam gurunya ini. Kemudian ia sendiri, setelah menyimpan pisau belati dan lakonnya, terus menuju ke Lim-an.
Malam itu Kwee Ceng memasuki istana, mencari gurunya, hasilnya sia-sia belaka. Ang Cit Kong tidak ada, Ciu Pek Thong entah ke mana. Di malam kedua ia mencari pula, hasilnya sama.
“Tidak ada jalan lain, lebih baik aku pergi menyusul Yong-jie,” pikir anak muda ini kemudian. “Baik aku membantu dulu padanya mengurus Kay Pang, kemudian bersama-sama kita kembali mencari terus pada suhu.”
Itu hari tanggal sembilan bulan tujuh, tinggal enam hari untuk pembukaan rapat Kay Pang di Gak-ciu. Kwee Ceng tidak takut ketinggalan. Ia menunggang kudanya yang jempol. Dalam satu hari saja ia sudah tiba di batas jalan barat dari Kanglam.
Sementara itu suasana sudah berubah. Separuh dari Tiongkok sudah diduduki bangsa Kim. Batas di timur adalah Hoay-sui, dan di barat kota San-kwan. Untuk kerajaan Lam Sang - Song Selatan - tinggal apa yang disebutkan limabelas “jalan” ialah dua propinsi Ciatkang dan Kangsouw, Liang Hoay (yaitu daerah di antara kedua sungai Hong Hoo dan Yang Cu Kang di Anhui dan Kangsouw), dua jalan timur dan barat dari Kanglam, dua jalan di selatan dan utara dari Kheng-ouw, empat jalan di Su-coan Barat, Hokkien, Kwietang dan Kwiesay. Maka itu, negara menjadi lemah sekali.
Kwee Ceng berjalan dengan saban-saban melepaskan dua ekor burung rajawalinya, guna membantu mencari Oey Yong. Ia sendiri mencari dengan sia-sia. Ketika pada suatu hari ia tiba di kecamatan Bu-leng, di kota Liong-hin, dekat dengan kota Gak-ciu, ia berjalan dengan perlahan. Diwaktu sore, ia menghadapi sebuah rimba lebat, yang kelihatan menyeramkan. Di belakang rimba itu ada satu bukit yang panjang. Tentu sukar untuk melintasi rimba itu dan gunung sesudah cuaca gelap, maka ia mau mencari pondokan. Di samping rimba itu ia melihat pagar bambu.
“Ada pagar tentu ada rumah,” pikirnya girang. Ia bertindak. Ia melihat sebaris pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah dengan tiga undak. Ia mendekati rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya sudah mendengar tangisan seorang wanita. Ia menjadi heran.
“Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu,” pikirnya. Ia hendak mengundurkan diri.
Orang di dalam rumah tapinya sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget bukan daun pintu di pentang. Di situ muncul seorang tua dengan rambut ubanan, yang tubuhnya sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi yang panjang. Dia berdiri di depan pintu sambil berseru: “Pembesar anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku juga tidak ada. Yang ada hanya selembar jiwa tuaku ini!”
Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti.
“Tuan, aku hanya seorang pelancongan!” katanya lantas sambil ia memberi hormat. “Aku kena bikin lewat tempat mondok, maka niatku datang ke mari untuk menumpang bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan, tidak apa, aku nanti pergi ke lain rumah.”
Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia meletaki cagaknya, untuk membalas hormat.
“Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco,” katanya. “Jikalau kau tidak jijik, silahkan masuk dan minum the.”
Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan sejumlah uang, untuk dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia masuk ke dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk atau kupingnya mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga penunggang kuda datang ke situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis: “Orang tua she Cin, kau menyerahkan ular atau cucu perempuanmu?!”
Lalu terdengar suara seorang lain: “Kami dapat mengasih ampun kepada kamu, tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami! Maka itu lekas kau keluar!”
Suara itu disusul sama sambaran cambuk kepada atap rumah, hingga atap itu, yang terbuat dari rumput rusak.
Si orang tua tidak menyahuti suara dari luar itu, ia hanya masuk ke dalam kamar, untuk berkata: “Anak Kim, pergi kau lari ke belakang, ke dalam rimba. Malam ini kau sembunyi terus. Besok pagi-pagi, kau boleh pulang sendiri ke Kwietang…..”
Segera terdengar tangisan wanita tadi.
“Engkong, mari kita mati bersama….” kata orang perempuan itu.
“Lekas lari, lekas!” berkata si orang tua, membantung kaki. “Nanti terlambat!”
Dari dalam kamar lantas keluar seorang nona dengan baju hijau, ia menubruk si orang tua, siapa sebaliknya menolak tubuh orang, untuk disuruh lari ke belakang.
Berbareng dengan itu, pintu terdengar tertembrak hingga terbuka, tiga orang terus nerobos masuk. Orang yang maju paling depan lantas menjambak pundaknya si orang tua she Cin itu, sedang tangannya yang lain menyambar si wanita muda, untuk dipeluki.
Nona itu ketakutan hingga ia membungkam. Kwee Ceng mengawasi tiga orang itu. Dari dandannya, yang di depan itu seorang polisi, yang dua lagi serdadu. Si orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil tertawa. “Empeh Cin, kami datang atas titahnya tuan camat kami, maka jangan kau sesalkan kami! Malam ini kau mengantarkan duapuluh ekor ular, ini nona akan kita kembalikan, kalau kau menunggu sampai besok, nanti sudah tidak keburu!” Ia terus tertawa lebar, sambil bertindak pergi, ia bawa si nona bersama.
Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa cagaknya, ia memburu, terus ia menikam.
Si orang polisi berkelit, sambil berkelit ia mencabut golok di pinggangnya dengan apa ia mengetok cagak itu. Si empeh tidak dapat mempertahankan diri, cagaknya terlepas dan jatuh di tanah. Menyusul itu, orang polisi itu menendang, hingga ia roboh seketika.
“Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!” dia membentak. “Awas, jangan kau nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!”
Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk kaki kanan orang itu, terus ia menggigit.
Opas itu kesakitan dan berontak-berontak, dalam sengitnya ia hajar kepala si empeh dengan belakang goloknya, maka pecahlah jidat orang dan darahnya menyiram ke mukanya. Tapi empeh itu sudah nekat, ia tidak menghiraukan luka dan sakitnya, ia menggigit terus, tidak mau ia melepaskannya.
Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu menendang, yang lainnya menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan gagang goloknya.
Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih lama. Tadi ia baru gusar saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi sekarang, ia lompat maju. Lebih dulu ia jambak punggungnya kedua serdadu itu, ia melemparkan mereka. Si opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan belakang goloknya, untuk ditolak keras hingga golok itu berbalik dan tepat membacok jidatnya. Dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menyambar tubuh si nona sambil kakinya menendang, dari itu, tidak ampun lagi, tubuh opas itu kena terlempar. Tapi empeh Cin menggigit dan memeluki erat sekali, tubuhnya turut terlempar bersama.
Menampak begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh terbanting, empeh itu nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si nona, ia lompat menyusul seraya tangannya menyambar leher si opas, sedang kepada si empeh ia berseru: “Empeh, ampunkanlah dia!”
Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar suara orang, sampai si nona muda berteriak memanggil dia, “Engkong! Engkong!” baru ia melepaskan gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat kepalanya. Itu waktu Kwee Ceng telah melemparkan pula tubuh si opas, yang jatuh terbanting hingga terus ia tidak mau bangun lagi, karena ia khawatir nanti dihajar lebih jauh.
Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani melawan, setelah melihat si anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka menghampirkan si opas kawannya itu, untuk dikasih bangun, buat lantas diajak pergi dengan kaki si opas dingkluk-dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani menaiki kuda mereka.
Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona, lekas-lekas ia mengasih bangun si orang tua.
Nona itu mengawasi tuan penolongnya, nampaknya ia sangat bersyukur, tetapi karena malu, ia tidak dapat membuka mulutnya. Maka ia cuma mengeluarkan sapu tangannya, dengan apa ia menyusuti darah di muka kakeknya itu.
Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona tidak dibawa pergi si opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia berlutut di depan Kwee Ceng, guna memberi hormat sambil menghanturkan terima kasihnya berulang-ulang.
Si nona turut berlutut juga.
“Sudah, lootiang,” kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun. “Tidak dapat aku menerima hormatmu ini.”
Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan si nona segera menyuguhkan the.
“Injin, silahkan minum,” katanya perlahan. Ia lantas memanggil “injin” - tuan penolong.
“Terima kasih,” sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.
Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan Kwee Ceng memperkenalkan dirinya.
“Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?” Kwee Ceng tanya.
Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi Kwietang, karena gangguan seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak keluarganya pindah ke propinsi Kang-see ini. Di sini ia melihat tanah kosong, ia lantas membuat rumah dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak lelakinya. Di rimba ini ada banyak ularnya, apa celaka, dua anak itu serta seorang nyonya mantunya, bergantian mati dipagut ular, hingga seterusnya ia tinggal berduaan saja bersama cucu perempuannya itu, yang diberi nama Lam Kim. Si empeh bersakit hati, ia pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu menangkap ular, sesudah mana ia kembali. Ia membalas sakit hati dengan membinasakan setiap binatang berbisa itu. Dasar malang nasibnya dan ia pun lemah, tanah yang ia telah buka dirampas seorang hartawan galak di dalam kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai penangkap ular. Di dalam usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan. Untuk sembilan tahun, mereka berdua hidup tentram, sampai datang Kiauw Lay, camat yang baru. Kebetulan ia doyan ular, untuk itu ia berani keluar uang untuk membeli. Empeh Cin tidak kuat membayar pajak, ia diwajibkan setiap bulan menyerahkan duapuluh ekor ular berbisa. Dengan terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya itu, untuk mana ia dibantu oleh cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa, ular menjadi berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah itu waktu, di bulan ke enam, mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang gangguan lain. Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona itu. Beberapa kali ia mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu datanglah hari ini, Kiauw Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim opasnya dan dua serdadu untuk minta ular atau orang. Sebab empeh tidak bisa menyerahkan ular, maka cucunya dipaksa dibawa pergi. Kebetulan sekali, di situ ada Kwee Ceng.
Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela napas.
Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya tidur. Lam Kim yang mengantarkan ke kamar sambil ia membawa pelita, katanya dengan perlahan: “Di sini hutan, segala apa kotor, harap injin maklum…”
“Nona panggil saja aku engko Kwee,” Kwee Ceng memberitahu.
“Mana aku berani, injin,” kata si nona. Tiba-tiba ia terkejut. Dil luar terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung hutan. Hampir ia membikin pelitanya terlepas.
“Nona, burung apakah itu?” tanya Kwee Ceng. Ia heran, sudah suara burung itu aneh, ia pun meraskan tubuhnya gatal tidak karuan dan dadanya penuh seperti mau tumpah-tumpah.
“Itulah burung keramat tukang makan ular,” sahut si nona perlahan.
“Burung pemakan ular?” si anak muda menegaskan.
“Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka itu engkong jadi sengsara…”
“Kenapa tidak didayakan menyingkirkan burung itu…?”
“Perlahan injin…” kata si nona, romannya ketakutan. Ia lantas menutup jendela. “Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa celaka…!”
“Apa? Burung itu bisa mendengar suara kita?”
Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar suara si empeh di luar kamar: “Diwaktu malam tak leluasa untuk bicara banyak, besok siang saja nanti aku yang menjelaskan.”
Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas saja ajak cucunya pergi ke kamar mereka.
Melihat roman ketakutan dari tuan dan nona rumah itu, Kwee Ceng bertambah heran hingga ia tidak dapat tidur nyenyak. Ia pun memikirkan Oey Yong, yang entah ada dimana adanya. Ia gulak-galik sampai tengah malam ketika ia mendapat dengar pula suara si burung pemakan ular, yang berbunyi tiga kali.
“Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu,” pikirnya. Ia turun dari pembaringan, ia membuka jendela untuk lompat ke luar. Di saat ia mau menuju ke arah darimana suara burung itu terdengar, ia mendengar teguran perlahan di belekangnya: “Injin, aku turun kau…” Ia lantas menoleh. Maka ia nampak Lam Kim berdiri di bawah sinar rembulan, rambutanya riap-riapan mirip dengan rambutnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini berkulit putih, romannya cantik. Kedua tangannya memegang entah barang apa yang hitam. Dengan perlahan ia menghampirkan si anak muda, untuk berkata pula: “Injin mau melihat burung keramat itu?”
“Ah, jangan kau memanggil injin padaku,” Kwee Ceng mencegah.
Nona itu likat.
“Engko!” ia memanggil.
Kwee Ceng mengasih lihat panahnya.
“Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan lagi mengganggu engkongmu,” katanya.
“Perlahan!” si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya. “Pakai ini di kepala, untuk berjaga-jaga.” Suara si nona itu bergetar.
Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran.
Lam Kim memegang kuali besi di tangan kirinya, ia berkata pula: “Burung itu dapat datang dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata orang, hebat sekali. Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia bisa lantas datang. Engko, kau mesti hati-hati.”
Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi burung rajawali raksasa itu. Lantas ia jalan di depan.
Belum mereka sampai di tepi rimba, burung ular itu berbunyi lagi, tiga kali. Justru itu di situ terdengar suara berisik.
Lam Kim terkejut. “Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini banyak ular?” katanya.
Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara beberapa orang yang bersuit dan menggebah-gebah. Ia kenali itulah suaranya budak-budak pengiring ular dari Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya mereka itu dalam kekhawatiran, sebagai juga kawanan ularnya tidak menurut perintah. Ia lantas berpikir.
“Mari!” ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam rimba. Di sini ia celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa membilang apa ia sambar pinggang si nona, buat dibawa lompat naik ke sebuah pohon, dimana mereka memernahkan diri di satu cabang besar.
Baru mereka duduk rapi, burung tadi telah berbunyi pula tiga kali: Sekarang jarak mereka lebih dekat, suara burung itu tajam terdengar, seperti menusuk telinga.
Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah ribuan. Kwee Ceng kenal binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam Kim, yang ketakutan hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju si pemuda.
Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu berlari-lari ke delapan penjuru. Mereka seperti terkena hawa panas, hingga mereka tidak dapat diam, tubuh mereka berlompatan. Di bawah sinar rembulan, nyata terlihat lagak mereka itu.
Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan pakaiannya yang putih, lari ke dalam rimba. Mereka menggunai galah mereka, bentaka mereka berisik, tapi kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah untuk berbaris rapi seperti biasa.
Kwee Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang.
“Sayang Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan ini,” pikirnya.
Lam Kim heran ketika ia melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam ia memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali. Itulah sebab ia mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, atas mana semua ular pada berhenti bergerak, semua mendekam dengan tidak berkutit.
Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut mereka membentak tak hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah kewalahan, mereka ini lantas mengambil sikap. Seorang lantas berdiri tegak, kepala mereka diangkat. Yang lainnya berdiri diam dengan galah mereka dipasang berdiri. Yang satu lantas berkata dengan nyaring: “Kami ada orang-orangnya Auwyang Sianseng dari Pek To San, kami tengah berlewat di sini, tetapi kami tidak mengenal gunung Tay San, kami tidak datang membuat perkunjungan. Maka itu, dengan memandang Auwyang Siangseng, harap kami diberi maaf.”
Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu.
Suara orang itu tidak ada yang layani. Berselang sekian lama, ia mengucapkan pula kata-katanya itu. Sekarang suaranya lebih keras, tandanya ia tidak senang, dia agaknya menggertak. Ia pun memandang ke sekitarnya, ke tanah di dekatnya. Dia berpura-pura tidak melihat, dia memutar tubuh akan membelakangi pohon, yang ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti orang lagi menjura. Adalah ketika itu, mendadak ia membalik pula tubuhnya, sambil bangun ia mengayunkan kedua tangannya ke arah pohon. Maka empat buah gin-so, torak perak, menyambar kepada Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!
Kalau lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus awasi. Ia melihat berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia turunkan kuali besinya, untuk dipakai menyambuti, maka dengan suara “trang!” empat kali, keempat torak itu masuk ke dalam kuali.
Kaget dan heran orang itu karena bebokongannya gagal.
” Di atas pohon itu orang gagah darimana? Silahkan memberikan she dan namamu!” ia minta. Suaranya tak seangker tadi.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia menipuk balik torak itu.
Orang itu menjadi kaget. Galah di tangannya itu kena terhajar toraknya itu, tangannya sakit dan gemetaran, galahnya pun terpatah lima. Dia mengerti, orang berlaku murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan selamat. Dia menjadi bingung sekali. Kalau ia menyerah dan minta ampun, dia menurunkan derajat Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun. Kalau ular itu tidak dibawa pergi, dia juga bakal disiksa majikannya yang bengis itu.
Selagi orang ini masih bingung terus, tiba-tiba di situ tercium bau harum, dada rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggeraki kepalanya, dongak ke langit.
Orang itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai menggendalikan ularnya, lantas ia meniup suitannya, untuk menitahkan ularnya pergi. Tapi ular itu tetap diam. Hanya bau hatum menjadi semakin keras. Terang bau itu datangnya dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba terlihat menyambar turunnya cahaya teras sebagai segumpal api, luar biasa cepatnya, turun di sisinya. Dengan tiba-tiba, ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api itu hanyalah seekor burung yang tubuhnya merah marong. tubuhnya itu lebih besar dari gagak, bacotnya panjang kira setengah kaki. Berdiri di tanah, burung aneh itu lantas melihat ke sekelilingnya, nampaknya keren. Bau harum itu datang dari tubuhnya.
Kwee Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya yang kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga.
“Kalau Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali,” pikirnya. Maka ia lantas ingin menangkap hidup burung itu.
Mulanya semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi jinak, tidak ada yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali, empat ekor ular yang besar nyelosor menghampirkan, di depan burung itu, mereka menggulingkan diri, perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu mematuk, maka pecahlah perut mereka. Dengan empat patukan saja, isi perut mereka masuk ke dalam perut burung itu.
Semua pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang menjadi kepala tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung itu.
Kwee Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sabet sekali ia mematahkan secabang pohon kecil, yang terus ia timpuki ke depan burung itu guna melindunginya.
Cepat melayangnya cabang itu tibanya di depan burung itu lebih dulu dari tibanya torak, maka torak dan cabang beradu, bersama-sama jatuuh ke tanah. Burung itu cerdas sekali. Dia heran, lantas dia berpaling ke arah darimana datangnya cabang pohon dan torak itu. Dia lantas mengetahuinya ada orang yang membokong dia dan ada yang menolonginya, terus ia mengangguk ke arah Kwee Ceng dan Lam Kim, habis mana, dengan sinar merahnya bergerak, dia terbang ke arah penyerangnya.
Penggiring ular itu kaget tetapi dia menyerang pula. Dia menggunai empat buah ginso, yang menyambar saling susul.
Kwee Ceng kaget, untuk menolongi sudah tidak keburu, maka ia mengeluh, “Sayang…!”
Sementara itu sang burung merah tukang makan ular itu menyambar terus. Dia melihat menyambarnya dua buah torak perak, dia menyampok ke bawah dengan sayapnya, maka jatuhlah torak itu. Sambil menyampok, dia berkelit, lalu dengan lain sayapnya dia menyampok pula, maka lagi dua torak lolos, terpental naik ke udara!
“Bagus!” Kwee Ceng berseru saking gembira. Burung itu bergerak sebagai seorang ahli silat.
Belum berhenti suaranya Kwee Ceng ini, atau si budak pengiring ular itu sudah menjerit keras, kedua tangannya dipakai menutupi mukanya, dia lari ke depan dimana dia membentur sebuah pohon besar, maka sambil menjerit, dia berjongkok di situ. Nyatalah kedua biji matanya telah dipatuk burung itu.
Tujuh budak lainnya menjadi kaget, semua lantas menyerang dengan senjata rahasia mereka. Di terangnya rembulan itu, torak-torak perak terbang berkeredepan.
Burung itu benar-benar lihay. Dia beterbangan, untuk mengelit diri atau menyampok, ia mundur dan maju, lalu dua orang lagi berkoak, sebab mereka pun kena dipatuk biji matanya.
Ketika itu mendadak ada menyambar satu sinar biru terang, menyambar ke burung pemakan ular itu. Kwee Ceng mengenali api belerang. Serangan ini lebih hebat dari ginso. Tapi burung itu berbunyi nyaring, dia terbang memapaki api itu, yang berupa anak panah, terus dia mencengkeram dengan kukunya. Dia tidak menghiraukan belerang menyala. Setelah meletaki anak panah itu di tanah, burung itu mencari rumput, ditaruh di atas api itu hingga rumput terbakar!
“Sayang! Sayang!” Kwee Ceng berseru berulang-ulang.
“Sayang apa, engko?” Lam Kim menanya heran.
“Inilah permainan bagus, sayang Yong-jie tidak melihatnya!” sahut si anak muda.
“Yong-jie?” tanya Lam Kim. “Siapakah dia?”
“Ya, Yong-jie…”
Lam Kim mau menanya pula ketika kupingnya mendengar suara helaan napas, seperti suara wanita, di belakangnya. Ia lantas menoleh, tetapi dia tidak melihat siapa juga. Tanpa merasa, bulu romannya bangun berdiri. Ia menduga kepada setan, maka ia memegang keras lengan Kwee Ceng, tubuhnya disenderkan rapat-rapat. Ia pun menanya, “Engko, siapakah yang menghela napas itu?”
Perhatian Kwee Ceng dipusatkan kepada burung merah, ia tidak mendengar suara helaan napas itu, ia tidak dapat mendengar juga perkataan si nona yang sangat perlahan, bahkan ia seperti tidak merasakan tubuh yang halus dari si nona Cin menyambar di dadanya.
Burung itu bergulingan di api yang dia nyalakan itu, ketika api mulai berkurang, ia mengambil pula daun dan cabang kering, hingga api menjadi kobar lagi. Ia membuat main bulunya di dalam api itu, ia tidak terbakar, tidak kepanasan. Ia malah mematuki bulunya menyisili, seperti biasanya burung mandi.
Selagi Kwee Ceng mengawasi dengan heran, bau harum terasa makin keras. Kapan kawanan ular mendapat cium bau itu, mereka seperti tidak dapat menguasai diri, semua lantas bergerak, berlompatan, lalu saling menggigit, hingga suaranya menjadi berisik. Ada ular yang kesakitan digigit telah menggigit ekornya sendiri!
Maka kacaulah ribuan ular itu.
Lam Kim merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, hampir dia jatuh dari atas pohon, maka lekas-lekas ia memegangi erat-erat tubuh Kwee Ceng, yang ia peluki.
Sisa budak-budak itutu kaget dan ketakutan, lantas mereka lari keluar dari rimba. Si burung menganggap mereka itu sebagai musuh, dia terbang mengubar. Mereka itu ketakutan, mereka menutup muka dengan tangan, tapi tangannya itu dipatok, ketika mereka melepaskan tutupan kepada muka mereka saking sakitnya, lantas mata mereka dipatok. Tidak lama, maka mereka semua menjadi si orang-orang buta. Habis itu, burung itu terbang kembali ke rimba, ke api, tetapi api sudah padam. Dia lantas mengibas-ngipas dengan kedua belah sayapnya, untuk menyalakan api itu pula.
Tentu saja abunya menjadi beterbangan.
Kwee Ceng menepuk pundak Lam Kim.
“Kau diam di sini, kau pegangi pohon,” katanya perlahan seraya menyingkirkan tangan yang merangkulnya. Habis itu ia lompat turun, bertindak dengan perlahan ke arah si burung aneh itu.
Sang burung melihat ada orang datang. Dia seperti mengenali penolongnya tadi, dia diam mengawasi. Burung itu mengangkat kepalanya, dia tidak menghampirkan.
Selagi turun dari pohon, Kwee Ceng memperhatikan semua ular, dari itu ia bertindak dengan perlahan, tetapi sekarang ia mendapat kenyataan, semua ular itu, yang sudah berkelahi sendiri, seperti membuka jalan untuknya. Rupanya binatang berbisa itu takut kepadanya, yang pernah minum darah ular. Dengan berani, ia maju terus, tindakannya lebar. Setelah datang dekat kepada burung aneh itu, ia mengulur tangannya.
Burung itu lihay, dia gesit sekali. Sambaran Kwee Ceng cepat tetapi dia dapat berkelit, setelah itu, tidak menanti sampai disambar pula, ia membalas menyerang, hendak mematuk matanya si anak muda.
“Engko Kwee, hati-hati!” Lam Kim berseru, memberi ingat.
Kwee Ceng menungkrap dengan kuali besinya.
Burung itu benar lihay, dia berkelit, dia lolos.
“Bagus!” berseru Kwee Ceng, seraya ia melompat, kualinya menungkrap pula.
Sang burung terbang ke atas, terpisahnya kira satu kaki. Dia melihat tangan kiri Kwee Ceng menyusul, di atasan kepalanya, dia kaget, terus dia terbang ke bawah lewat selangkangan si anak muda. Habis itu dia terbang naik kembali, dia hendak mematuk mata.
Kwee Ceng gembira, hingga timbul sifat kekanak-kanakannya.
“Di tanganku ada senjata, kalau aku tidak dapat menangkap kau, aku bukan satu laki-laki,” katanya. “Baiklah, mari kita bertempur dengan tangan kosong!”
Maka ia melemparkan kualinya, lantas dia menyambar. Dia takut melukai, maka ia memakai tenaga cuma satu bagian.
Burung itu kena dipapaki, dia tidak keburu kelit, karena kebentur, dia roboh.
Kwee Ceng mengulur lebih jauh tangannya, untuk mencekuk, atau burung itu telah terbang pula. Dia rupanya tahu lawannya lihay, bukan seperti pengiring-pengiring ular itu tadi, maka dia mau terbang pergi.
Kwee Ceng menyambar, tangannya diputar. Dia menggunai jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus “Enam naga berputaran”. Burung itu kena terpegat di sana-sini, lalu kebentur jatuh hingga ia jumpalitan. Justru itu Kwee Ceng mencekuk padanya.
“Nona, dia telah kena aku tangkap!” Kwee Ceng serukan Lam Kim.
Nona itu girang sekali, ia lekas mengeluarkan obatnya pemunah racun, yang ia masuk ke dalam mulutnya, setelah itu, ia turun dari pohon, lari menghampirkan si anak muda. Sebutir obatnya ia mau serahkan kepada si anak muda.
Burung itu pingsan, dengan begitu, lenyaplah pengaruhnya, maka itu waktu, semua ular yang ketakutan, lantas lari serabutan menyingkir dari rimba itu.
Kwee Ceng merasai burung itu tidak bergerak, ia khawatir mati, ia memegang dengan perlahan. Ia memegang dengan kedua tangannya. Ia membawanya ke tempat di mana ada tembusan sinar rembulan.
Ketika Lam Kim telah datang dekat, ia mengangsurkan obatnya.
“Engko Kwee, obat ini bisa melawan racun ular,” katanya.
Kwee Ceng tahu ia tidak membutuhkan itu, akan tetapi untuk tidak menyampik kebaikan hati si nona, ia menyambutinya. Karena menyambuti, tangannya yang memegang burung tinggal sebelah. Justru itu, burung itu berotntak dan terbang lolos!
“Ah, sayang, sayang!” anak muda ini membanting-bantingkan kaki.
“Burung itu cerdik, mungkin dia tidak berani datang pula,” berkata si nona.
“Maka itu aku mengatakan sayang,” kata si anak muda.
“Kenapa engko?”
“Aku berniat menangkap dia untuk diberikan kepada Yong-jie….”
Lagi-lagi nama Yong-jie disebut. Lam Kim heran. Suara memanggil itu pun halus sekali.
“Apakah Yong-jie itu anakmu?” ia menanya. Ia mengartikan Yong-jie seperti anak yang bernama Yong.
Ditanya begitu, pemuda itu melengak.
“Bukan!” sahutnya dengan cepat. “Dialah satu anak perempuan, yang dibanding denga kau, usianya lebih muda satu dua tahun.”
“Ah, dia tentu cantik sekali, bukankah?”
“Tentu saja! Dia bukannya cuma cantik, juga pintar dan baik hatinya…..”
Selama beberapa bulan Kwee Ceng selalu mengingat-ingat Oey Yong cantik dan pintar, hanya karena pendidikan ayahnya, ia termanjakan, tabiatnya rada keras, dia biasa membawa sukanya sendiri, cuma dimata Kwee Ceng, dia tidak ada celaannya. Terhadap Kwee Ceng, Yong-jie suka mengalah.
Lam Kim duduk bersama Kwee Ceng di atas sebongkol pohon yang roboh melintang di tanah, ia mendengar si pemuda memuji si nona, tanpa merasa, ia merasakan sesautu yang berbeda daripada biasanya.
Lekas juga si pemuda sadar.
“Kau lihat!” katanya tertawa. “Tengah malam buta kita memasang omong di sini! Mari kita pulang. Kalau sebentar kakekmu bangun dan ia tidak melihat kau, ia tentunya berkhawatir.”
“Tidak,” menyahut si nona. “Aku suka sekali mendengar ceritamu.” Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya. “Nona Oey itu pergi ke mana? Kenapa kau tidak ikuti dia?”
Pertanyaan itu mengenakan telak kepada Kwee Ceng. Ia tidak dapat lantas menjawab. Bukankah ia bakal menikah dengan Gochin Baki? Bukankah sulit untuknya nanti bertemu pula sama Oey Yong? Mengingat semua itu itu, ia menjadi berduka. Mendadak saja ia menangis.
Lam Kim terkejut. Ia menyangka ia telah salah omong. Ia menjadi menyesal dan berduka. Ia malah menjadi bingung bagaimana harus menghiburi anak muda ini. Dengan sendirinya tangannya merogoh ke dalam sakunya, mengasih keluar sehelai saputangan. Ia sodorkan itu kepada si anak muda.
Kwee Ceng menyambutinya, ia menyusuti matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi ia tidak sanggup menahan kesedihannya. Maka ia menangis pula.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar satu suara tertawa geli.
“Yong-jie!” berseru Kwee Ceng, sambil ia melompat bangun, akan tetapi ketika ia menoleh ia tidak melihat siapa juga, tidak ada bayangan orang meski juga cuma separuhnya………..
“Ah, engko Kwee!” berkata Lam Kim. “Kau senantiasa memikirkan nona Oey. Mari kita pulang!”
“Mari!” sahut si anak muda.
Bersama-sama mereka keluar dari hutan itu. Baru mereka jalan beberapa puluh tombak, di depan mereka, mereka melihat tujuh atau depalan orang dengan pakaian putih berbaris, tangan kirinya bertongkat sebatang galah panjang. Mereka jalan setindak demi setindak.
Merekalah budak-budaknya Auwyang Hong, yang matanya buta di patok burung merah itu.
Mengawasi mereka itu, Kwee Ceng merasa kasihan. Maka ia menghela napas. Tapi ia tidak mau mendekati atau menegur mereka itu, bersama nona Cin ia terus menuju ke rumah si nona, untuk terus tidur.
Besok pagi, ketika Kwee Ceng mendusin, ia mendengar empeh Cin lagi sesalkan Lam Kim, yang katanya tidak seharusnya mengajak tetamunya pergi menangkap burung aneh itu sebab berbahaya.
“Memangnya aku yang mengajak?” si nona kata tertawa. “Dia sendiri yang gemar bermain!”
“Kau gila! Dia toh penolong kita, dia bukannya bocah lagi! Cara bagaimana kau bilang dia gemar bermain sendiri?”
“Kalau yaya tidak percaya, masa bodoh!” kata cucu itu tertawa.
“Masih kau tidak mau kalah! Kalau tuan penolong kita kena dilukai burung keramat itu, habis bagaimana?”
“Dia kosen sekali, mana dapat dia dilukakan?” si cuca masih melawan.
Kakek itu menghela napas.
“Sudah, sudah….” ia mengalah. “Mari kita berbenah……. Tidak dapat tidak, kita mesti berlalu dari sini….”
“Bagaimana engkong?” tanya si nona heran.
“Kita pulang ke Kwietang. Bangsat polisi itu kena dihajar, mana dia puas? Mana dapat kita tinggal lebih lama di sini? Kalau sebentar tuan penolong kita pergi, jikalau kita berlambat, bahaya tentu bakal menimpa kita….”
Cucu itu bengong.
“Habis engkong, bagaimana dengan ini rumah, meja dan kursi kita?” ia menanya.
“Anak tolol!” mengelak orang tua itu. “Jiwa kita sendiri masih belum ketentuan, apa perduli segala rumah dan meja kursi? Anak, dasar nasib kita yang buruk, maka janganlah kau bersusah hati…..”
Kwee Ceng telah mendengari semua pembicaraan itu, maka ia lantas mengambil putusan, menolong orang tidak boleh kepalang tanggung. Ia turun dari pembaringannya untuk terus menemui itu kakek dan cucu.
“Lootiang, kau jangan berkhawatir,” katanya menghibur. “Nanti aku pergi ke kantor camat untuk membereskan urusanmu ini.”
“Oh, injin, jangan kau pergi ke kantor camat!” cegahnya lekas. “Kantor itu adalah laksana gua harimau atau serigala!”
“Aku tidak takut!” berkata Kwee Ceng.
Empeh Cin masih hendak mencegah tetapi Kwee Ceng sudah lantas pergi keluar, untuk menuntun kudanya, maka dilain saat ia sudah kabur dengan kuda merahnya. Dalam tempo sedaharan nasi, ia sudah sampai di dalam kota. Tengah ia memikir untuk menanya dimana letaknya kantor camat, mendadak ia menampak api berkobar di depannya dan banyak orang berlari-lari berteriak-teriak: “Kantor camat kebakaran! Oh, Thian, ada matanya!”
“Begini kebetulan?” kata Kwee Ceng di dalam hatinya. “Masa begini tepat kantor camat kebakaran?”
Ia lantas mengasih kudanya lari di depan kantor, belum ia datang dekat, ia sudah diserang hawa panas dari api itu hingga ia mesti mundur pula. Herannya tak ada orang yang mau menolongi memadamkan api. Orang banyak berdiri jauh-jauh, roman mereka bukan kaget atau takut, sebaliknya semua bermuka terang, tandanya riang hati mereka.
Kwee Ceng lompat turun dari kudanya. Ia sekarang melihat di tanah ada rebah belasan orang polisi, ada yang sudah terbakar, ada yang masih hidup tetapi romannya tidak karuan dimakan api, ada yang dapat membuka matanya, tetapi mata itu tidak berkutik. Ia heran, ia menghampirkan, terus ia mengangkat seorang opas. Baru sekarang ia ketahui orang adalah korban totokan. Ia lantas menotok pinggang dia itu.
“Mana camat?” ia tanya.
“Dia di dalam kantor, tuan,” sahut opas itu, tangannya menunjuk. “Kebanyakan dia sudah mati tertambus….”
“Kenapa terbit kebakaran?” tanya pula Kwee Ceng. “Siapa yang merobohkan kau?”
“Maaf tua, aku tidak jelas,” sahut pula si opas. “Tadi pagi-pagi sebelum aku bangun tidur, aku dengar koan-thayya membikin banyak berisik, rupanya ia mencaci orang dan berkelahi, lalu api berkorbar. Aku hendak lari, tiba-tiba aku merasakan tubuhku kaku dan lemas, tahu-tahu aku sudah roboh….”
“Koan-thayya kamu bertempur sama orang, apakah dia pandai silat?”
Kwee Ceng heran. Ia tidak menyangka seorang camat pandai silat dan menngerti juga Tok-see-ciang, tangan Pasir Beracun. Lantas ia ingat camat ini gemar dengan ular.
“Ah, tentulah ia pakai ular itu untuk melatih diri,” terkanya. Ia lantas menanyakan itu kepada opas.
“Aku tidak tahu, tuan”
“Rupanya, ada orang kangouw yang mencari camat itu,” akhirnya Kwee Ceng pikir. “Ini ada baiknya, aku jadi tak usah capai hati…”
Oleh karena pikirannya sudah lega, Kwee Ceng tidak menggubris lagi si opas atau camat, ia berniat pulang ke rumah empeh Cin, untuk menyampaikan kabar gembira, tetapi waktu ia berpaling kepada kudanya, ia terkejut. Kudanya itu tak ada. Ia bersiul, memanggil. Kuda itu tidak muncul. Ketika ia mengulangi beberapa kali, tetap kuda merah itu tak nampak. Ia menjadi heran sedang ia tahu betul kuda itu cerdik dan sangat mengerti dan mengenali tuannya. Lantas ia pergi mencari, ia seperti memutari seluruh kota, tetapi ia tidak berhasil mencari kudanya.
“Benar heran!” pikirnya, bingung dan masgul. Akhirnya ia berjalan balik ke rumah empeh Cin, hatinya berpikir: “Nanti aku bawa burung wajawali untuk mencari, mustahil tidak ketemu…”
Ia berjalan pulang sambil berlari-lari.
Empeh Cin dan cucunya heran mendengar gedung camat kebakaran, mereka girang mendapat tahu camat sendiri mati tertambus. Mereka bersyukur bukan main.
Habis memberi keterangan, Kwee Ceng bersiul, memanggil burungnya. Tapi aneh, burung itu juga tak nampak dan tak muncul. Ia heran bukan main dan ia jadi semakin bingung. Saking berduka, ia tak nafsu dahar minum. Malam itu ia diam terus di rumah empeh Cin. Ia mengambil keputusan, besok ia mau pergi mencari kuda dan burung itu…….
Ketika itu musim panas, hawa udara sangat mengendus. Empeh Cin menggotong bale-bale serta dua buah kursi ke luar rumah, ditaruh di bawah para-para pohon kacang. Ia pun masak air dan menyeduh the. Di bawah pohon ia mengajak Kwee Ceng dan cucunya berangin. Ia melewatkan waktu dengan bercerita tentang sifatnya pelbagai ular berbisa.
Hati Kwee Ceng terhibur juga. Cerita si empeh menarik hati.
Mereka berangin sampai tengah malam, sampai mereka merasa tubuh mereka adem. Empeh itu beberapa kali mengajaki tetamu dan cucunya masuk tidur, sang cucu menolak.
“Dasar bocah!” kata sang engkong tertawa. “Anak ini hidup sendirian, setaip hari ia menemani aku si tua bangka, di sini sulit mendapat tetamu, maka sekarang dia jadi gembira luar biasa….”
“Kalau besok engko Kwee pergi, kita kembali tinggal berdua…” kata Lam Kim. Ia nampak masgul, suaranya pun tak gembira.
Kwee Ceng berdiam.
“Engko Kwee, pergilah tidur,” kata si nona kemudian. “Aku sendiri, aku masih hendak memandangi sang bintang….”
“Anak tolol! Apakah bagusnya bintang !” kata sang kakek.
“Tetapi aku suka memandanginya.” kata si cucu.
Orang tua itu memandang ke langit, dimana ada mega hitam.
“Lihat, langit bakal lekas berubah, bintang pun bakal lenyap…” katanya.
Ketika itu mendadak Kwee Ceng mendengar suara kuda berlari mendatangi.
“Kuda merahku!” ia berseru. Segera ia menoleh dan mengawasi. Jauh di sana, seekor kuda merah lagi mendatangi. Lekas juga ternyata, dialah si bulu merah kudanya sendiri, seperti ia telah membilangnya. Di atas kuda itu ada penunggangnya, yang bajunya berkibaran, bahkan dialah Oey Yong.
“Yong-jie! Aku di sini!” Kwee Ceng berseru kegirangan.
Mendengar disebutkannya Yong-jie, hati Lam Kim terkesiap.
Lekas sekali kuda merah itu telah tiba kepada tiga orang itu. Bersama Oey Yong ada kedua burung rajawali yang putih.
“Ah, sungguh aku tolol!” Kwee Ceng sesalkan dirinya sendiri. “Memang kecuali Oey Yong, siapakah yang dapat menguasai kuda dan burungku ini?”
Oey Yong lompat turun dari kudanya sedang Kwee Ceng maju memburu padanya. Ia girang bukan kepalang.
“Aku berlatih tetapi keliru, kedua tanganku tak dapat digerak,” berkata si nona.
“Ah!” Kwee Ceng berseru. “Mari lekas salurkan napasmu!”
Keduanya lantas lompat naik ke bale-bale, untuk duduk bersila. Kwee Ceng meletaki kedua tangannya di punggung si nona, guna menyalurkan hawanya ke tubuh si nona itu.
Justru itu langit benar-benar berubah. Perlahan-lahan terdengar suara guntur, yang diikuti bergeraknya sang awan, hingga langit menjadi gelap.

Kira setengah jam kemudian, pernapasannya Oey Yong mulai lurus, hawa dari perutnya naik ke dadanya. Karena itu, tubuhnya seperti terdorong ke kiri dan ke kanan.
Selama itu Lam Kim mengawasi nona Oey, yang duduk sambil menutup mata dan merapati mulutnya, hanya mulutnya itu nampak tersenyum. Dia berkulit putih bersih, pada itu nampak cahaya dadu, maka terlihat tegaslah kecantikannya. Di lehernya ada tergantung kalung mutiara, yang bersinar menambah menterengnya kecantikannya itu.
“Dia mirip dewi, tak heran engko Kwee jatuh hati kepadanya,” Lam kIm berpikir. “Hanya, entahlah apa yang mereka lagi lakukan sekarang….”
Dia tengah berpikir begitu ketika mendadak matanya seperti gelap. Karena segumpal mega hitam lewat menutupi sang putri malam. Dan menyusul itu, seluruh langit mulai menjadi gelap juga.
“Kwee Toako,” ia berkata kepada Kwee Ceng. “Baiklah, kau masuk ke dalam bersama ini nona, lekas akan turun hujan.”
Boleh dibilang ia baru menutup mulutnya, ketika ia merasai muka dan lehernya dingin, karena sang air hujan sudah lantas mulai turun beberapa tetes!
Hujan di musim panas benar luar biasa. Begitu dibilang, hujan lantas turun. Dan Lam Kim lantas juga berkoak. Sebab dengan lantas hujan turun dalam jumlah besar, seperti dituang-tuang!
Kwee Ceng dan Oey Yong lagi menyalurkan napas mereka, tidak menghiraukan hujan itu.
Nona Cin menjadi heran sekali, hingga ia mau menduga orang kena pengaruh sesat. Ia menghampirkan si anak muda, yang pundaknya ia tolak. Ia tidak menggunai tenaga besar, ketika ia menolak, ia tertolak mundur satu tindak. Ia menjadi terlebih heran. Ia maju pula, ia menolak dengan terlebih keras. Ia menanya: “Engko Kwee, kau kenapa?” Atau mendadak, untuk kagetnya, ia terolak mundur hingga ia terguling di tanah, jatuh duduk di air hujan!
Empeh Cin sudah masuk tidur, ia mendengar suara hujan diselengi guntur, maka ia memanggil Lam Kim. Beberapa kali ia memanggil tanpa ada penyahutan, ia lantas pergi ke luar, tepat ia menyaksikan cucunya itu lagi merayap bangun dari lumpur, rambutnya kusut, basah dengan air hujan, romannya bingung. Tengah ia kaget, ia mendengar suara nyaring cucunya itu: “Engkong, tuan penolong kita kena pengaruh jahat, lekas tolongi dia!”
Empeh itu pun kaget. Ia pun sangat bersyukur kepada anak muda itu. Maka tanpa pikir lagi, ia hampirkan Kwee Ceng, yang ia pegang tangannya, untuk ditarik masuk. Atau ia menjadi kaget. Tubuh si anak muda tidak bergeming. Ketika ia menarik dengan kuat, ia sendirinya yang terpental jatuh, maka ketika ia sudah merayap bnagun, ia berdiri bengong seperti cucunya itu.
Lam Kim lekas sadar, ia lari masuk untuk mengambil payung, ia memegang itu untuk dipakai memayungi Kwee Ceng berdua. Ia juga berkata: “Engkong, lekas menyulut kertas kuning, kau asapi hidung mereka!”
Empeh Cin lari masuk, tindakannya limbung. Apa mau, ia kena membentur pelita hingga terbalik.
Lam Kim sendiri lantas nyata perubahan hatinya. Biarnya ia mengagumi Oey Yong, hatinya ada pada Kwee Ceng, maka payungnya itu mulai bergeser, menutupi si anak muda sendiri, hingga si nona itu lantas ketimpa hujan pula.
Tidak lama empeh Cin muncul dengan kertas kuningnya, yang ia telah sulut. Dengan dijagai ujung bajunya, kertas itu ia bawa kepada Kwee Ceng, yang hidungnya lantas ia asapi.
Hebat kesudahannya ini untuk si anak muda, yang lagi menyalurkan napasnya itu. Ia lantas merasa napasnya sesak. Ia menjadi kaget sekali, dengan lantas ia menahan napasnya itu. Tapi ia cuma bisa menahan sebentar, atau asapnya si empeh masuk pula. Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Celaka untuknya, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Empeh Cin tetap bingung. Melihat asap tidak menolong, ia menekan jintiong, ialah hidungnya si anak muda. Siapa pingsan karena teriknya panas matahari, kalau ia ditotok di jintiong itu, ia dapat sadar. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia bahkan jadi semakin seperti disiksa. Sudah ia tidak dapat membuka mulutnya, ia juga tidak dapat menolak mundur si empeh yang mau menjadi penolong tetapi sebaliknya menjadi seperti mencelakainya.
Sang hujan turun terus, guntur pun masih berbunyi. Satu kali kilat menyambar, guntur berbunyi keras. Nyata satu pohon kena ditimpa hingga menyala dan terbakar.
Lam Kim kaget dan ketakutan, tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya berdiri, masih ia memayungi tuan penolongnya. Hanya matanya menjadi tidak karuan, sebab ia melihat kilat, melihat api, dan melihat air hujan juga. Kapan ia memandang Kwee Ceng, ia mendapati pemuda itu duduk tenang seperti biasa, begitu juga dengan si nona Oey, bahkan nona ini nampak tersenyum manis, romannya sangat cantik.
Empeh Cin berdiri tercengang, ketika ia memandangi cucunya, ia mendapati muka cucunya itu sangat pucat.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak kilat berkelebat, cahayanya terang sekali. lalu sauara geledek, menyusul demikian hebat, sampai saking kagetnya, dua-dua empeh Cin dan Lam Kim roboh karenanya.
Guntur berbunyi di samping Kwee Ceng, tidak heran kalau itu kakek dan cucunya roboh dengan pingsan. Hanya sehabisnya guntur, segera Kwee Ceng merasakan pernapasannya berjalan dengan baik seperti biasa. Maka sekarang ia dapat bergerak. Juga Oey Yong dapat bergerak seperti dia.
Lagi-lagi guntur menggelegar dekat si nona, maka Kwee Ceng lantas mendekam di tubuh si nona, untuk melindungi.
Berselang sekian lama barulah guntur berkurang dan hujan pun mulai berhenti. Dan setelah lewat pula sekian waktu, maka langit menjadi bersih, si putri malam muncul pula dengan segala kepermaiannya.
Oey Yong merasakan tubuhnya sehat sekali. Dengan perlahan ia mengangkat tubuhnya.
“Engko Ceng,” katanya berbisik. “Benar-benarkah kau mencintai aku?”
Kwee Ceng merangkul, girangnya bukan buatan, sampai ia tidak bisa membuka mulutnya.
“Lihat itu,” kata Oey Yong kemudian, tangannya menunjuk ke pohon yang tadi ditimpa geledek dan terbakar.
Di sana, di antara api, si burung darah, hiat-niauw, lagi bergulingan dan berlompatan, rupanya gembira sekali ia memain api.
“Mari kita tangkap padanya,” kata si nona berbisik.
Kwee Ceng mengangguk, ia lantas berbangkit. Ketika itu ia melihat empeh Cin, yang sadar sendirinya lagi menolongi cucunya, untuk dikasih duduk di kursi.
Oey Yong sendiri bertindak menghampirkan hiat-niauw.
Burung itu telah mempunyai pengalaman, ia tidak berani berkelahi, ia lantas terbang pergi, sia-sia si nona berlompat menubruk padanya. Karena ini Oey Yong bersiul, memanggil burung rajawalinya.
“Tangkap burung itu tetapi jangan lukai dia!” ia memerintah.
Kedua burung rajawali itu mengerti, keduanya lantas menyambar hiat-niauw. Mereka bertindak dengan memegat jalan terbang orang.
Hiat-niuaw kecil sekali, seluruhnya ia cuma sebesar kepala rajawali, tetapi ia sangat gesit, maka itu ia dapat molos, lantas ia terbang cepat dan jauh, ketika sudah beberapa lie, ia mendapatkan ia masih disusul, lantas ia terbang balik, untuk mencoba melawan. Hebat perlawanannya itu. Kalau ia kena dicengkeram atau dipacuk, pastilah ia celaka, tetapi karena gesitnya, ia selalu bisa membebaskan diri. Bahkan dialah yang beberapa kali berhasil mematuk bulu lawan hingga rontok. Coba si rajawali bukan berdua, mungkin mereka kalah.
Selagi bertempur terlebih jauh, rajawali yang jantang kena dipatuk lehernya, ia merasakan sakit, saking sengit, ia menyampok dengan sayapnya. Hiat-niauw berkelit, tapi justru ia kena disampok sayap burung betina, sampai ia roboh. Tapi ketika ia ditubruk ia sempat berkelit pula, terus ia terbang cepat dan jauh, dari itu, tempo kedua rajawali terus menyusul terus, mereka pergi jauh ke belakang gunung.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, untuk berkata dengan perlahan: “Yong-jie, kau maju pesat sekali. Guntur berbunyi di sampingmu, kau tidak tahu.”
“Kau pun sama!” kata si nona tertawa.
Kwee Ceng lantas ingat perbuatannya empeh Cin tadi.
“Sungguh berbahaya,” katanya dalam hatinya. “Kalau aktu tidak dapat bertahan, aku mesti menyia-nyiakan tempo lagi tujuh hari dan tujuh malam untuk memulihkan diri.
Lantas ia ajar kenal Oey Yong dengan tuan rumah, itu kakek dan cucu.
“Yong-jie, kau melepas api di kantor camat, bukankah?” kamudian Kwee Ceng tanya si nona.
“Kalau bukan aku, siapa lagi?” si nona membaliki, tertawa.
Empeh Cin dan cucunya terkejut. Tidak mereka sangka, nona ini demikian besar nyalinya dan pandai juga.
Kemudian Oey Yong melirik Lam Kim, ia bersenyum.
“Engko Ceng,” katanya, “Kau selalu memuji aku, apa kau tidak takut enci ini nanti menertawainya?”
“Oh!” katanya Kwee Ceng. “Kau telah bersembunyi di dalam rimba?”
Kembali Oey Yong tertawa.
“Jikalau kau tidak membilang kau hendak menangkap burung itu untukku, aku lebih suka tanganku bercacad, tidak nanti aku kembali padamu!” katanya. “Kemudian kau menangis! Apakah kau tidak malu?”
Kwee Ceng tunduk, ia menyahut perlahan: “Aku merasa aku memperlakukan kau tidak bagus, dan aku khawatir sekali untuk selamanya nanti tidak dapat melihat padamu pula….”
Oey Yong mengulur tangannya, untuk membereskan rambut orang.
“Sebenarnya aku berpikir untuk tidak menemui pula padamu tetapi aku tidak dapat,” ia berkata. “Tapi sudahlah, sekarang kita jangan pikirkan hal-hal di belakang hari, untuk kita, dapat satu hari selebih banyak kita berkumpul, itu artinya kita dapat tambah satu hari kegirangan!”
Lam Kim berdiri bengong melihat dan mendengar orang berbicara demikian asyik.
Berempat mereka bagaikan baru sadar ketika kuping mereka mendengar suara burung rajawali di tengah udara, kapan mereka mengangkat kepala, terlihat hiat-niauw masih dikepung-kepung kedua rajawali itu, terbangnya sangat pesat.
Menampak demikian, Oey Yong lantas mendapat akal. Ia bersiul satu kali. Atas itu rajawali yang betina terbang turun, untuk menclok di pundaknya. Maka tinggallah yang jantan, yang mengejar terus-terusan. Ia menunggu sudah lewat lama juga, ia memanggil burung jantannya seraya melepaskan yang betina guna menggantikan mengejar hiat-niauw itu. Siasat ini digunakan terus-menerus, maka akhirnya lelah juga burung api itu, yang tak dapat mengaso sama sekali. Setelah terbangnya menjadi perlahan dan kegesitannya pun berkurang, satu kali ia kena disampok sayap rajawali, lantas ia tidak dapat terbang lebih jauh, maka ia kena disambar, dibawa kepada Oey Yong.
Nona Oey menyambuti burung api itu, ia memegangnya, hatinya sangat girang.
Hiat-niauw sangat letih, dia mengawasi si nona, sinar matanya seperti minta dikasihani.
“Baik-baik kau turut aku, aku tidak bunuh padamu,” berkata Oey Yong sambil tertawa.
Empeh Cin sangat girang sekali melihat burung itu kena ditangkap.
“Bagus!” serunya. “Nona telah berhasil menangkap burung ini, maka aku dan cucuku bakal dapat makan pula! Nanti aku membuatnya kurungan buat menempati dia.”
Lam Kim tahu burung itu suka makan nyali ular, ia mengambil arak nyali ular mengasih burung itu minum, setelah habis setengah peles, hiat-niauw itu lantas pulih kesegarannya. Ia benar-benar menjadi jinak sekali.
“Aku hendak memelihara dia hingga dia mendengar kata!” kata Oey Yong. “Aku mau mengajari dia bagaimana harus mematuk mata orang!”
Tapi sementara itu, orang letih dan kantuk, maka mereka lantas pergi mengasokan diri. Lam Kim mengalah mengasihkan pembaringannya untuk Oey Yong, siapa sebaliknya minta empeh Cin lekas membikini ia kurungan untuk burungnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar