BAB
54
Kwee Ceng |
Oey
Yok Su melengak. Ia tidak menyangka gadisnya mau menolongi nona Mongolia
itu. Tapinya ia cerdik, sejenak kemudian, ia mengerti sebabnya itu. Kalau putri
itu terbinasa, tentu Kwee Ceng bakal murka, kalau Kwee Ceng murka, mana bisa
dia akur lagi dengan gadisnya? Ia lantas berpikir keras. Sama sekali ia tidak
takut bocah itu. Kapan ia memandang kepada gadisnya, yang romannya lesu dan
berduka sangat, hatinya menjadi dingin. Paras si nona itu waktu sungguh mirip
sama paras istrinya, ialah ibunya Oey Yong, selagi si istri mau menghembuskan
napasnya yang terakhir. Oey Yong dan ibunya sangat mirip satu dengan lain dan
Oey Yok Su sangat mencintai istrinya itu, meninggalnya siapa membuatnya seperti
gila. Sudah lewat limabelas tahun tetapi wajah istrinya itu masih masih
saban-saban terbayang di depan matanya. Sekarang ia melihat roman gadisnya itu,
maka tahulah ia bagaimana sangat anak itu mencintai Kwee Ceng. Akhirnya ia
mengela napas, lalu bersenandung.
Oey Yong pun berdiri diam, air matanya turun mengucur…..
Han Po Kie menarik tangannya Cu Cong.
“Dia kata apakah?” ia berbisik.
“Ia mengulangi tulisannya seorang she Kee di jaman Ahala
Gan,” Cu Cong jawab. “Itu artinya, manusia di dalam dunia beserta segala
bendanya adalah seperti penderitaan yang dibakar di dalam sebuah perapian
besar.”
“Dia demikian lihay, apalagi penderitaannya?” Po Kie
tanya pula.
Cu Cong tersenyum, ia tidak menjawab.
“Yong-jie, mari kita pulang…” akhirnya terdengar suaranya
Oey Yok Su halus. “Untuk selanjutnya, untuk selamanya jangan kita melihat pula
bocah ini…”
“Tidak, ayah,” sahut si anak menggeleng kepala. “Aku
mesti pergi ke Gak-ciu. Suhu menitahkan aku untuk menjadi pangcu, ketua dari
Kay Pang.”
Ayah itu tersenyum.
“Apakah enaknya menjadi ketua Partai Pengemis?” ia
menanya.
“Aku telah memberikan janjiku pada suhu, ayah!”
Ayah itu berpikir.
“Baiklah,” katanya kemudian, “Kau coba-cobalah untuk
beberapa hari. Umpama kata kau menganggap terlalu jorok, kau wariskan saja
kepada orang lain. Bagaimana di belakang hari, kau masih mau menemui bocah ini
atau tidak?”
Oey Yong melirik kepada Kwee Ceng, siapa terus mengawasi
kepadanya, sinar matanya sangat lesu, romannya sangat berduka. Ia berpaling
kepada ayahnya, ia menyahuti: “Ayah, dia mau menikah sama lain orang maka aku
pun akan menikah dengan lain orang juga. Di dalam hati dia cuma ada aku satu
orang, maka di dalam hatiku cuma ada dia seorang juga…”
“Ha!” berkata orang tua itu. “Anak perempuan dari Tho Hoa
To tidak dapat dihina orang, itulah bagus. Habis bagaimana kalau orang orang
dengan siapa kau menikah nanti melarang kau menemui dia?”
“Hm, siapa yang berani melarang aku!” kata nona itu
keren. “Aku
toh anakmu!”
“Ah,
budak tolol!” berkata ayah itu. “Lewat beberapa tahun lagi aku bakal
meninggalkan dunia ini…”
“Tetapi
ayah,” kata si nona yang pun berduka, “Begini rupa dia memperlakukan aku,
apakah kau mengira aku bakal dapat hidup lama pula?”
Kanglam
Liok Koay dijuluki manusia-manusia aneh tetapi mendengari pembicaraan ayah
dengan anak itu, mereka menjublak. Di jaman Song itu, masih keras orang
menghormati adat-istiadat, ada sopan santun. Oey Yok Su bukannya Seng Tong dan
Bu Ong, bukannya Ciu Kong atau Khong Cu, tetapi ialah seorang yang aneh, maka
julukannya pun Tong Shia, si Sesat dari Timur. Apa yang ia lakukan biasanya
sebaliknya daripada yang umum, sedang Oey Yong itu, semenjak kecilnya, ia sudah
dididik ayahnya yang aneh ini, yang terpelajar tinggi dan luas pengetahuannya,
maka ia mengerti, suami istri tinggal suami istri tetapi cinta itulah lain.
Kwee
Ceng pun mendengari pembicaraan itu dengan hatinya terluka. Ia sangat berduka. Ia mau menghiburi Oey Yong tetapi apa ia hendak bilang? Maka ia pun berdiam
saja.
Oey Yok Su memandang putrinya, lalu ia mengawasi Kwee
Ceng, kemudian lagi ia dongak memandang langit dan mengasih dengar suaranya
yang lama dan keras, yang seumpama kata menggetarkan rimba, suaranya itu
berkumandang di lembah-lembah. Burung-burung kucica kaget hingga pada
beterbangan mengitari pepohonan.
“Burung kucica, burung kucica!” berkata Oey Yong. “Malam
ini Gu Long bakal bertemu sama Cit Lie, kenapa kau tidak lekas-lekas membuat
jembatanmu?”
Tapi Oey Yok Su sengit, ia menjumpat seraup pasir, ia
menimpuk, maka itu belasan burung jatuh dan mati, setelah mana dia membalik
tubuh, untuk berjalan pergi tanpa menoleh lagi….
Tuli tidak mengerti pembicaraan orang, karena tahu Kwee
Ceng tidak akan menyalahi janji, ia girang sekali. Ia pegang golok Kim-too dari
ayahnya, dia cium itu di mulutnya, lalu ia membawanya kepda Kwee Ceng, untuk
diserahkan.
“Anda,” katanya, “Aku harap usahamu yang besar lekas
selesai, supaya kau bisa pulang ke Utara di mana kita nanti dapat bertemu
pula!”
“Burung kita ini kau boleh bawa,” berkata Gochin Baki. “Aku harap kau lekas pulang!”
Kwee Ceng mengangguk. Dari sakunya ia mengeluarkan
sepotong tombak pendek, sambil menunjuki itu, ia kata pada putri Mongolia itu:
“Kau bilangi ibuku, pasti aku akan pakai senjata ayahku ini untuk membinasakan
musuh kami!”
Jebe dan Borchu pun turut mengambil selamat berpisah.
Oey Yong mengawasi empat orang Mongolia itu berlalu, Kwee
Ceng masih berdiri saja. Ia melihat kedukaan orang.
“Engko Ceng, kau pergilah, aku tidak sesalkan kau,”
katanya.
“Yong-jie,” menyahut si anak muda itu, yang bicara dari
lain hal, “Tongkat Kay Pang dibawa Yo Kang, dan ayahmu membilang, mengenai Kay
Pang mungkin terjadi sesuatu, maka itu malam ini mari kita mencari suhu, besok
aku nanti terus pergi bersama kau.”
Si nona menggeleng kepala.
“Pergi kau sendiri mencari suhu,” katanya. Ia mengasih
keluar pisau belata Kwee Ceng, yang ia selipkan di pinggangnya, ia letaki itu
di tanah. Ia juga menurunkan dan membuka pauwhok yang digendol di punggungnya,
darimana ia mengeluarkan segulung gambar. Ia kata: “Inilah pemberian ayah
untukmu.” Masih ia mengeluarkan lakonnya yang beraneka warna, yang mana ia
pisahkan separuh. Ia kata pula: “Inilah barang yang kita kumpulkan di pulau,
aku bagi separuh untukmu…” Ia mengawasi bungkusannya itu, di situ cuma ada baju
pemberian Kwee Ceng serta sejumlah uang serta beberapa potong pakaiannya untuk
salin tiap hari, maka ia tertawa dan berkata pula: “Aku tidak mempunyai barang
lainnya lagi untuk diberikan padamu.” Lalu dengan perlahan ia membungkus rapi,
ia menggendol itu, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk berjalan pergi.
Kwee Ceng tercengang, dengan menuntun kuda merah, ia
menyusul.
“Baik kau menunggang kuda,” katanya.
Oey Yong menoleh, ia tertawa, tetapi ia jalan terus.
Kwee Ceng masih menyusul beberapa tindak, lantas ia
berhenti. Ia masih bengong mengawasi orang pergi hingga nampak seperti
bayangan.
“Anak
Ceng, bagaimana sekarang?” Han Siauw Eng menegur.
Anak muda itu masih menjublak.
“Aku hendak pergi ke istana mencari suhu,” sahutnya.
“Itu benar,” berkata Kwa Tin Ok. “Oey Lao Shia pernah
mengacau di rumah kita, mungkin orang di rumah bingung, maka sekarang kita mau
pulang. Kalau kau berhasil mencari gurumu itu, kau undang dia datang ke rumah
kami untuk sekalian beristirahat.”
Kwee Ceng menurut, maka itu, ia mengambil selamat
berpisah dari keenam gurunya ini. Kemudian ia sendiri, setelah menyimpan pisau
belati dan lakonnya, terus menuju ke Lim-an.
Malam itu Kwee Ceng memasuki istana, mencari gurunya,
hasilnya sia-sia belaka. Ang
Cit Kong tidak ada, Ciu Pek Thong entah ke mana. Di malam kedua ia mencari
pula, hasilnya sama.
“Tidak
ada jalan lain, lebih baik aku pergi menyusul Yong-jie,” pikir anak muda ini
kemudian. “Baik aku membantu dulu padanya mengurus Kay Pang, kemudian
bersama-sama kita kembali mencari terus pada suhu.”
Itu
hari tanggal sembilan bulan tujuh, tinggal enam hari untuk pembukaan rapat Kay
Pang di Gak-ciu. Kwee Ceng tidak takut ketinggalan. Ia menunggang kudanya yang
jempol. Dalam satu hari saja ia sudah tiba di batas jalan barat
dari Kanglam.
Sementara itu suasana sudah berubah. Separuh dari
Tiongkok sudah diduduki bangsa Kim. Batas di timur adalah Hoay-sui, dan di
barat kota San-kwan. Untuk kerajaan Lam Sang - Song Selatan - tinggal apa yang
disebutkan limabelas “jalan” ialah dua propinsi Ciatkang dan Kangsouw, Liang
Hoay (yaitu daerah di antara kedua sungai Hong Hoo dan Yang Cu Kang di Anhui
dan Kangsouw), dua jalan timur dan barat dari Kanglam, dua jalan di selatan dan
utara dari Kheng-ouw, empat jalan di Su-coan Barat, Hokkien, Kwietang dan
Kwiesay. Maka itu, negara menjadi lemah sekali.
Kwee Ceng berjalan dengan saban-saban melepaskan dua ekor
burung rajawalinya, guna membantu mencari Oey Yong. Ia sendiri mencari dengan
sia-sia. Ketika pada suatu hari ia tiba di kecamatan Bu-leng, di kota
Liong-hin, dekat dengan kota Gak-ciu, ia berjalan dengan perlahan. Diwaktu
sore, ia menghadapi sebuah rimba lebat, yang kelihatan menyeramkan. Di belakang
rimba itu ada satu bukit yang panjang. Tentu sukar untuk melintasi rimba itu
dan gunung sesudah cuaca gelap, maka ia mau mencari pondokan. Di samping rimba
itu ia melihat pagar bambu.
“Ada pagar tentu ada rumah,” pikirnya girang. Ia
bertindak. Ia melihat sebaris pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah
dengan tiga undak. Ia mendekati rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya
sudah mendengar tangisan seorang wanita. Ia menjadi heran.
“Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu,”
pikirnya. Ia hendak mengundurkan diri.
Orang di dalam rumah tapinya sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget bukan daun pintu di pentang. Di situ muncul seorang tua dengan
rambut ubanan, yang tubuhnya sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi
yang panjang. Dia berdiri di depan pintu sambil berseru: “Pembesar
anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku juga tidak ada. Yang ada hanya
selembar jiwa tuaku ini!”
Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti.
“Tuan, aku hanya seorang pelancongan!” katanya lantas
sambil ia memberi hormat. “Aku kena bikin lewat tempat mondok, maka niatku datang
ke mari untuk menumpang bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan,
tidak apa, aku nanti pergi ke lain rumah.”
Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia
meletaki cagaknya, untuk membalas hormat.
“Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco,” katanya. “Jikalau
kau tidak jijik, silahkan masuk dan minum the.”
Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan
sejumlah uang, untuk dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia
masuk ke dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk
atau kupingnya mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga
penunggang kuda datang ke situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis: “Orang
tua she Cin, kau menyerahkan ular atau cucu perempuanmu?!”
Lalu terdengar suara seorang lain: “Kami dapat mengasih
ampun kepada kamu, tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami!
Maka itu lekas kau keluar!”
Suara itu disusul sama sambaran cambuk kepada atap rumah,
hingga atap itu, yang terbuat dari rumput rusak.
Si orang tua tidak menyahuti suara dari luar itu, ia
hanya masuk ke dalam kamar, untuk berkata: “Anak Kim, pergi kau lari ke
belakang, ke dalam rimba. Malam ini kau sembunyi terus. Besok pagi-pagi, kau
boleh pulang sendiri ke Kwietang…..”
Segera terdengar tangisan wanita tadi.
“Engkong, mari kita mati bersama….” kata orang perempuan
itu.
“Lekas lari, lekas!” berkata si orang tua, membantung
kaki. “Nanti terlambat!”
Dari dalam kamar lantas keluar seorang nona dengan baju
hijau, ia menubruk si orang tua, siapa sebaliknya menolak tubuh orang, untuk
disuruh lari ke belakang.
Berbareng dengan itu, pintu terdengar tertembrak hingga
terbuka, tiga orang terus nerobos masuk. Orang yang maju paling depan lantas
menjambak pundaknya si orang tua she Cin itu, sedang tangannya yang lain menyambar
si wanita muda, untuk dipeluki.
Nona itu ketakutan hingga ia membungkam. Kwee Ceng
mengawasi tiga orang itu. Dari dandannya, yang di depan itu seorang polisi,
yang dua lagi serdadu. Si orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil
tertawa. “Empeh Cin, kami datang atas titahnya tuan camat kami, maka jangan kau
sesalkan kami! Malam ini kau mengantarkan duapuluh ekor ular, ini nona akan
kita kembalikan, kalau kau menunggu sampai besok, nanti sudah tidak keburu!” Ia
terus tertawa lebar, sambil bertindak pergi, ia bawa si nona bersama.
Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa
cagaknya, ia memburu, terus ia menikam.
Si orang polisi berkelit, sambil berkelit ia mencabut
golok di pinggangnya dengan apa ia mengetok cagak itu. Si empeh tidak dapat
mempertahankan diri, cagaknya terlepas dan jatuh di tanah. Menyusul itu, orang
polisi itu menendang, hingga ia roboh seketika.
“Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!” dia
membentak. “Awas, jangan kau nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!”
Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk
kaki kanan orang itu, terus ia menggigit.
Opas itu kesakitan dan berontak-berontak, dalam sengitnya
ia hajar kepala si empeh dengan belakang goloknya, maka pecahlah jidat orang
dan darahnya menyiram ke mukanya. Tapi empeh itu sudah nekat, ia tidak
menghiraukan luka dan sakitnya, ia menggigit terus, tidak mau ia melepaskannya.
Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu
menendang, yang lainnya menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan
gagang goloknya.
Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih
lama. Tadi ia baru gusar saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi
sekarang, ia lompat maju. Lebih dulu ia jambak punggungnya kedua serdadu itu,
ia melemparkan mereka. Si opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan belakang
goloknya, untuk ditolak keras hingga golok itu berbalik dan tepat membacok
jidatnya. Dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menyambar tubuh si nona sambil
kakinya menendang, dari itu, tidak ampun lagi, tubuh opas itu kena terlempar.
Tapi empeh Cin menggigit dan memeluki erat sekali, tubuhnya turut terlempar
bersama.
Menampak
begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh terbanting, empeh itu
nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si nona, ia lompat menyusul seraya
tangannya menyambar leher si opas, sedang kepada si empeh ia berseru: “Empeh,
ampunkanlah dia!”
Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar
suara orang, sampai si nona muda berteriak memanggil dia, “Engkong! Engkong!”
baru ia melepaskan gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat
kepalanya. Itu waktu Kwee Ceng telah melemparkan pula tubuh si opas, yang jatuh
terbanting hingga terus ia tidak mau bangun lagi, karena ia khawatir nanti
dihajar lebih jauh.
Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani
melawan, setelah melihat si anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka
menghampirkan si opas kawannya itu, untuk dikasih bangun, buat lantas diajak
pergi dengan kaki si opas dingkluk-dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani
menaiki kuda mereka.
Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona,
lekas-lekas ia mengasih bangun si orang tua.
Nona itu mengawasi tuan penolongnya, nampaknya ia sangat
bersyukur, tetapi karena malu, ia tidak dapat membuka mulutnya. Maka ia cuma
mengeluarkan sapu tangannya, dengan apa ia menyusuti darah di muka kakeknya
itu.
Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona
tidak dibawa pergi si opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia
berlutut di depan Kwee Ceng, guna memberi hormat sambil menghanturkan terima
kasihnya berulang-ulang.
Si nona turut berlutut juga.
“Sudah, lootiang,” kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun.
“Tidak dapat aku menerima hormatmu ini.”
Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan
si nona segera menyuguhkan the.
“Injin, silahkan minum,” katanya perlahan. Ia lantas
memanggil “injin” - tuan penolong.
“Terima kasih,” sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.
Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan
Kwee Ceng memperkenalkan dirinya.
“Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?” Kwee Ceng tanya.
Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi
Kwietang, karena gangguan seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak
keluarganya pindah ke propinsi Kang-see ini. Di sini ia melihat tanah kosong,
ia lantas membuat rumah dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak
lelakinya. Di rimba ini ada banyak ularnya, apa celaka, dua anak itu serta
seorang nyonya mantunya, bergantian mati dipagut ular, hingga seterusnya ia tinggal
berduaan saja bersama cucu perempuannya itu, yang diberi nama Lam Kim. Si empeh
bersakit hati, ia pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu menangkap ular,
sesudah mana ia kembali. Ia membalas sakit hati
dengan membinasakan setiap binatang berbisa itu. Dasar malang nasibnya dan ia
pun lemah, tanah yang ia telah buka dirampas seorang hartawan galak di dalam
kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai penangkap ular. Di dalam
usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan. Untuk sembilan tahun, mereka berdua
hidup tentram, sampai datang Kiauw Lay, camat yang baru. Kebetulan ia doyan
ular, untuk itu ia berani keluar uang untuk membeli. Empeh Cin tidak kuat
membayar pajak, ia diwajibkan setiap bulan menyerahkan duapuluh ekor ular
berbisa. Dengan terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya itu, untuk mana ia
dibantu oleh cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa, ular menjadi
berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah itu waktu, di bulan ke enam,
mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang gangguan lain.
Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona itu. Beberapa kali ia
mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu datanglah hari ini, Kiauw
Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim opasnya dan dua serdadu untuk minta
ular atau orang. Sebab empeh tidak bisa menyerahkan ular, maka cucunya dipaksa
dibawa pergi. Kebetulan sekali, di situ ada Kwee Ceng.
Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela napas.
Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya
tidur. Lam Kim yang mengantarkan ke kamar sambil ia membawa pelita, katanya
dengan perlahan: “Di sini hutan, segala apa kotor, harap injin maklum…”
“Nona panggil saja aku engko Kwee,” Kwee Ceng
memberitahu.
“Mana aku berani, injin,” kata si nona. Tiba-tiba ia
terkejut. Dil luar terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung
hutan. Hampir ia membikin pelitanya terlepas.
“Nona, burung apakah itu?” tanya Kwee Ceng. Ia heran,
sudah suara burung itu aneh, ia pun meraskan tubuhnya gatal tidak karuan dan
dadanya penuh seperti mau tumpah-tumpah.
“Itulah burung keramat tukang makan ular,” sahut si nona
perlahan.
“Burung pemakan ular?” si anak muda menegaskan.
“Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka
itu engkong jadi sengsara…”
“Kenapa tidak didayakan menyingkirkan burung itu…?”
“Perlahan injin…” kata si nona, romannya ketakutan. Ia
lantas menutup jendela. “Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa
celaka…!”
“Apa? Burung itu bisa mendengar suara kita?”
Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar
suara si empeh di luar kamar: “Diwaktu malam tak leluasa untuk bicara banyak,
besok siang saja nanti aku yang menjelaskan.”
Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas
saja ajak cucunya pergi ke kamar mereka.
Melihat roman ketakutan dari tuan dan nona rumah itu,
Kwee Ceng bertambah heran hingga ia tidak dapat tidur nyenyak. Ia pun
memikirkan Oey Yong, yang entah ada dimana adanya. Ia gulak-galik sampai tengah
malam ketika ia mendapat dengar pula suara si burung pemakan ular, yang berbunyi
tiga kali.
“Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu,”
pikirnya. Ia turun dari pembaringan, ia membuka jendela untuk lompat ke luar.
Di saat ia mau menuju ke arah darimana suara burung itu terdengar, ia mendengar
teguran perlahan di belekangnya: “Injin, aku turun kau…” Ia lantas menoleh.
Maka ia nampak Lam Kim berdiri di bawah sinar rembulan, rambutanya riap-riapan
mirip dengan rambutnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini berkulit putih, romannya
cantik. Kedua tangannya memegang entah barang apa yang hitam. Dengan perlahan
ia menghampirkan si anak muda, untuk berkata pula: “Injin mau melihat burung
keramat itu?”
“Ah, jangan kau memanggil injin padaku,” Kwee Ceng
mencegah.
Nona itu likat.
“Engko!” ia memanggil.
Kwee Ceng mengasih lihat panahnya.
“Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan
lagi mengganggu engkongmu,” katanya.
“Perlahan!” si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya.
“Pakai ini di kepala, untuk berjaga-jaga.” Suara si nona itu bergetar.
Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran.
Lam Kim memegang kuali besi di tangan kirinya, ia berkata
pula: “Burung itu dapat datang dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata
orang, hebat sekali. Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia
bisa lantas datang. Engko, kau mesti hati-hati.”
Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi
burung rajawali raksasa itu. Lantas ia jalan di depan.
Belum mereka sampai di tepi rimba, burung ular itu
berbunyi lagi, tiga kali. Justru itu di situ terdengar suara berisik.
Lam Kim terkejut. “Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini
banyak ular?” katanya.
Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara
beberapa orang yang bersuit dan menggebah-gebah. Ia kenali itulah suaranya budak-budak
pengiring ular dari Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya mereka itu
dalam kekhawatiran, sebagai juga kawanan ularnya tidak menurut perintah. Ia lantas berpikir.
“Mari!” ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam
rimba. Di sini ia celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa
membilang apa ia sambar pinggang si nona, buat dibawa lompat naik ke sebuah
pohon, dimana mereka memernahkan diri di satu cabang besar.
Baru mereka duduk rapi, burung tadi telah berbunyi pula
tiga kali: Sekarang jarak mereka lebih dekat, suara burung itu tajam terdengar,
seperti menusuk telinga.
Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah
ribuan. Kwee Ceng kenal binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam
Kim, yang ketakutan hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju
si pemuda.
Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu
berlari-lari ke delapan penjuru. Mereka seperti terkena hawa panas, hingga
mereka tidak dapat diam, tubuh mereka berlompatan. Di bawah sinar rembulan,
nyata terlihat lagak mereka itu.
Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan
pakaiannya yang putih, lari ke dalam rimba. Mereka menggunai galah mereka,
bentaka mereka berisik, tapi kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah
untuk berbaris rapi seperti biasa.
Kwee
Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang.
“Sayang
Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan ini,” pikirnya.
Lam
Kim heran ketika ia melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam ia memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali.
Itulah sebab ia mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, atas
mana semua ular pada berhenti bergerak, semua mendekam dengan tidak berkutit.
Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut
mereka membentak tak hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah
kewalahan, mereka ini lantas mengambil sikap. Seorang lantas berdiri tegak,
kepala mereka diangkat. Yang lainnya berdiri diam dengan galah mereka dipasang
berdiri. Yang satu lantas berkata dengan nyaring: “Kami ada orang-orangnya Auwyang
Sianseng dari Pek To San, kami tengah berlewat di sini, tetapi kami tidak
mengenal gunung Tay San, kami tidak datang membuat perkunjungan. Maka itu,
dengan memandang Auwyang Siangseng, harap kami diberi maaf.”
Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu.
Suara orang itu tidak ada yang layani. Berselang sekian
lama, ia mengucapkan pula kata-katanya itu. Sekarang suaranya lebih keras,
tandanya ia tidak senang, dia agaknya menggertak. Ia pun memandang ke
sekitarnya, ke tanah di dekatnya. Dia berpura-pura tidak melihat, dia memutar
tubuh akan membelakangi pohon, yang ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti
orang lagi menjura. Adalah ketika itu, mendadak ia membalik pula tubuhnya,
sambil bangun ia mengayunkan kedua tangannya ke arah pohon. Maka empat buah
gin-so, torak perak, menyambar kepada Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!
Kalau
lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia. Tidak demikian
dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus awasi. Ia melihat
berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia turunkan kuali besinya, untuk
dipakai menyambuti, maka dengan suara “trang!” empat kali, keempat torak itu
masuk ke dalam kuali.
Kaget
dan heran orang itu karena bebokongannya gagal.
”
Di atas pohon itu orang gagah darimana? Silahkan memberikan she dan namamu!” ia
minta. Suaranya tak seangker tadi.
Kwee
Ceng tidak menyahuti, hanya ia menipuk balik torak itu.
Orang
itu menjadi kaget. Galah di tangannya itu kena terhajar toraknya itu, tangannya
sakit dan gemetaran, galahnya pun terpatah lima. Dia mengerti, orang berlaku
murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan selamat. Dia menjadi
bingung sekali. Kalau ia menyerah dan minta ampun, dia menurunkan derajat
Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun. Kalau ular itu tidak dibawa
pergi, dia juga bakal disiksa majikannya yang bengis itu.
Selagi
orang ini masih bingung terus, tiba-tiba di situ tercium bau harum, dada
rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggeraki kepalanya, dongak ke
langit.
Orang
itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai menggendalikan
ularnya, lantas ia meniup suitannya, untuk menitahkan ularnya pergi. Tapi ular
itu tetap diam. Hanya bau hatum menjadi semakin keras. Terang bau itu datangnya
dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba terlihat menyambar turunnya cahaya teras
sebagai segumpal api, luar biasa cepatnya, turun di sisinya. Dengan tiba-tiba,
ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api itu hanyalah seekor
burung yang tubuhnya merah marong. tubuhnya itu lebih besar dari gagak, bacotnya
panjang kira setengah kaki. Berdiri di tanah, burung aneh itu lantas melihat ke
sekelilingnya, nampaknya keren. Bau harum itu datang dari tubuhnya.
Kwee
Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya yang
kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga.
“Kalau
Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali,” pikirnya. Maka ia lantas
ingin menangkap hidup burung itu.
Mulanya
semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi jinak, tidak ada
yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali, empat ekor ular yang
besar nyelosor menghampirkan, di depan burung itu, mereka menggulingkan diri,
perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu mematuk, maka pecahlah perut
mereka. Dengan empat patukan saja, isi perut mereka masuk ke dalam perut burung
itu.
Semua
pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang menjadi kepala
tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung itu.
Kwee
Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sabet sekali ia mematahkan
secabang pohon kecil, yang terus ia timpuki ke depan burung itu guna
melindunginya.
Cepat melayangnya cabang itu tibanya di depan burung itu lebih
dulu dari tibanya torak, maka torak dan cabang beradu, bersama-sama jatuuh ke
tanah. Burung itu cerdas sekali. Dia heran, lantas
dia berpaling ke arah darimana datangnya cabang pohon dan torak itu. Dia lantas
mengetahuinya ada orang yang membokong dia dan ada yang menolonginya, terus ia
mengangguk ke arah Kwee Ceng dan Lam Kim, habis mana, dengan sinar merahnya
bergerak, dia terbang ke arah penyerangnya.
Penggiring ular itu kaget tetapi dia menyerang pula. Dia
menggunai empat buah ginso, yang menyambar saling susul.
Kwee Ceng kaget, untuk menolongi sudah tidak keburu, maka
ia mengeluh, “Sayang…!”
Sementara itu sang burung merah tukang makan ular itu
menyambar terus. Dia melihat menyambarnya dua buah torak perak, dia menyampok
ke bawah dengan sayapnya, maka jatuhlah torak itu. Sambil menyampok, dia
berkelit, lalu dengan lain sayapnya dia menyampok pula, maka lagi dua torak
lolos, terpental naik ke udara!
“Bagus!”
Kwee Ceng berseru saking gembira. Burung itu bergerak sebagai seorang ahli
silat.
Belum
berhenti suaranya Kwee Ceng ini, atau si budak pengiring ular itu sudah
menjerit keras, kedua tangannya dipakai menutupi mukanya, dia lari ke depan
dimana dia membentur sebuah pohon besar, maka sambil menjerit, dia berjongkok
di situ. Nyatalah kedua biji matanya telah dipatuk burung itu.
Tujuh
budak lainnya menjadi kaget, semua lantas menyerang dengan senjata rahasia
mereka. Di terangnya rembulan itu, torak-torak perak terbang berkeredepan.
Burung
itu benar-benar lihay. Dia beterbangan, untuk mengelit diri atau menyampok, ia
mundur dan maju, lalu dua orang lagi berkoak, sebab mereka pun kena dipatuk
biji matanya.
Ketika
itu mendadak ada menyambar satu sinar biru terang, menyambar ke burung pemakan
ular itu. Kwee Ceng mengenali api belerang. Serangan ini lebih hebat dari
ginso. Tapi burung itu berbunyi nyaring, dia terbang memapaki api itu, yang
berupa anak panah, terus dia mencengkeram dengan kukunya. Dia tidak
menghiraukan belerang menyala. Setelah meletaki anak panah itu di tanah, burung
itu mencari rumput, ditaruh di atas api itu hingga rumput terbakar!
“Sayang!
Sayang!” Kwee Ceng berseru berulang-ulang.
“Sayang apa, engko?” Lam Kim menanya heran.
“Inilah permainan bagus, sayang Yong-jie tidak
melihatnya!” sahut si anak muda.
“Yong-jie?” tanya Lam Kim. “Siapakah dia?”
“Ya, Yong-jie…”
Lam Kim mau menanya pula ketika kupingnya mendengar suara
helaan napas, seperti suara wanita, di belakangnya. Ia lantas menoleh, tetapi
dia tidak melihat siapa juga. Tanpa merasa, bulu romannya bangun berdiri. Ia
menduga kepada setan, maka ia memegang keras lengan Kwee Ceng, tubuhnya
disenderkan rapat-rapat. Ia pun menanya, “Engko, siapakah yang menghela napas
itu?”
Perhatian Kwee Ceng dipusatkan kepada burung merah, ia
tidak mendengar suara helaan napas itu, ia tidak dapat mendengar juga perkataan
si nona yang sangat perlahan, bahkan ia seperti tidak merasakan tubuh yang
halus dari si nona Cin menyambar di dadanya.
Burung itu bergulingan di api yang dia nyalakan itu,
ketika api mulai berkurang, ia mengambil pula daun dan cabang kering, hingga
api menjadi kobar lagi. Ia membuat main bulunya di dalam api itu, ia tidak
terbakar, tidak kepanasan. Ia malah mematuki bulunya menyisili, seperti
biasanya burung mandi.
Selagi Kwee Ceng mengawasi dengan heran, bau harum terasa
makin keras. Kapan kawanan ular mendapat cium bau itu, mereka seperti tidak
dapat menguasai diri, semua lantas bergerak, berlompatan, lalu saling
menggigit, hingga suaranya menjadi berisik. Ada ular yang kesakitan digigit
telah menggigit ekornya sendiri!
Maka kacaulah ribuan ular itu.
Lam Kim merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, hampir
dia jatuh dari atas pohon, maka lekas-lekas ia memegangi erat-erat tubuh Kwee
Ceng, yang ia peluki.
Sisa budak-budak itutu kaget dan ketakutan, lantas mereka
lari keluar dari rimba. Si burung menganggap mereka itu sebagai musuh, dia
terbang mengubar. Mereka itu ketakutan, mereka menutup muka dengan tangan, tapi
tangannya itu dipatok, ketika mereka melepaskan tutupan kepada muka mereka
saking sakitnya, lantas mata mereka dipatok. Tidak lama, maka mereka semua
menjadi si orang-orang buta. Habis itu, burung itu terbang kembali ke rimba, ke
api, tetapi api sudah padam. Dia lantas mengibas-ngipas dengan kedua belah
sayapnya, untuk menyalakan api itu pula.
Tentu saja abunya menjadi beterbangan.
Kwee
Ceng menepuk pundak Lam Kim.
“Kau
diam di sini, kau pegangi pohon,” katanya perlahan seraya menyingkirkan tangan
yang merangkulnya. Habis itu ia lompat turun, bertindak dengan perlahan ke arah
si burung aneh itu.
Sang
burung melihat ada orang datang. Dia seperti mengenali
penolongnya tadi, dia diam mengawasi. Burung itu mengangkat kepalanya, dia
tidak menghampirkan.
Selagi turun dari pohon, Kwee Ceng memperhatikan semua
ular, dari itu ia bertindak dengan perlahan, tetapi sekarang ia mendapat
kenyataan, semua ular itu, yang sudah berkelahi sendiri, seperti membuka jalan
untuknya. Rupanya binatang berbisa itu takut kepadanya, yang pernah minum darah
ular. Dengan berani, ia maju terus, tindakannya lebar. Setelah datang dekat
kepada burung aneh itu, ia mengulur tangannya.
Burung itu lihay, dia gesit sekali. Sambaran Kwee Ceng
cepat tetapi dia dapat berkelit, setelah itu, tidak menanti sampai disambar
pula, ia membalas menyerang, hendak mematuk matanya si anak muda.
“Engko Kwee, hati-hati!” Lam Kim berseru, memberi ingat.
Kwee Ceng menungkrap dengan kuali besinya.
Burung itu benar lihay, dia berkelit, dia lolos.
“Bagus!” berseru Kwee Ceng, seraya ia melompat, kualinya
menungkrap pula.
Sang burung terbang ke atas, terpisahnya kira satu kaki.
Dia melihat tangan kiri Kwee Ceng menyusul, di atasan kepalanya, dia kaget,
terus dia terbang ke bawah lewat selangkangan si anak muda. Habis itu dia
terbang naik kembali, dia hendak mematuk mata.
Kwee Ceng gembira, hingga timbul sifat
kekanak-kanakannya.
“Di tanganku ada senjata, kalau aku tidak dapat menangkap
kau, aku bukan satu laki-laki,” katanya. “Baiklah, mari kita bertempur dengan
tangan kosong!”
Maka ia melemparkan kualinya, lantas dia menyambar. Dia
takut melukai, maka ia memakai tenaga cuma satu bagian.
Burung itu kena dipapaki, dia tidak keburu kelit, karena
kebentur, dia roboh.
Kwee Ceng mengulur lebih jauh tangannya, untuk mencekuk,
atau burung itu telah terbang pula. Dia rupanya tahu lawannya lihay, bukan
seperti pengiring-pengiring ular itu tadi, maka dia mau terbang pergi.
Kwee Ceng menyambar, tangannya diputar. Dia menggunai
jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus “Enam naga berputaran”. Burung itu
kena terpegat di sana-sini, lalu kebentur jatuh hingga ia jumpalitan. Justru
itu Kwee Ceng mencekuk padanya.
“Nona, dia telah kena aku tangkap!” Kwee Ceng serukan Lam
Kim.
Nona
itu girang sekali, ia lekas mengeluarkan obatnya pemunah racun, yang ia masuk
ke dalam mulutnya, setelah itu, ia turun dari pohon, lari menghampirkan si anak
muda. Sebutir obatnya ia mau serahkan kepada si anak muda.
Burung
itu pingsan, dengan begitu, lenyaplah pengaruhnya, maka itu waktu, semua ular
yang ketakutan, lantas lari serabutan menyingkir dari rimba itu.
Kwee
Ceng merasai burung itu tidak bergerak, ia khawatir mati, ia memegang dengan
perlahan. Ia memegang dengan kedua tangannya. Ia membawanya ke
tempat di mana ada tembusan sinar rembulan.
Ketika Lam Kim telah datang dekat, ia mengangsurkan
obatnya.
“Engko Kwee, obat ini bisa melawan racun ular,” katanya.
Kwee Ceng tahu ia tidak membutuhkan itu, akan tetapi
untuk tidak menyampik kebaikan hati si nona, ia menyambutinya. Karena menyambuti,
tangannya yang memegang burung tinggal sebelah. Justru itu, burung itu
berotntak dan terbang lolos!
“Ah, sayang, sayang!” anak muda ini membanting-bantingkan
kaki.
“Burung itu cerdik, mungkin dia tidak berani datang
pula,” berkata si nona.
“Maka itu aku mengatakan sayang,” kata si anak muda.
“Kenapa engko?”
“Aku berniat menangkap dia untuk diberikan kepada
Yong-jie….”
Lagi-lagi nama Yong-jie disebut. Lam Kim heran. Suara
memanggil itu pun halus sekali.
“Apakah Yong-jie itu anakmu?” ia menanya. Ia mengartikan
Yong-jie seperti anak yang bernama Yong.
Ditanya begitu, pemuda itu melengak.
“Bukan!” sahutnya dengan cepat. “Dialah satu anak
perempuan, yang dibanding denga kau, usianya lebih muda satu dua tahun.”
“Ah, dia tentu cantik sekali, bukankah?”
“Tentu saja! Dia bukannya cuma cantik, juga pintar dan
baik hatinya…..”
Selama beberapa bulan Kwee Ceng selalu mengingat-ingat
Oey Yong cantik dan pintar, hanya karena pendidikan ayahnya, ia termanjakan,
tabiatnya rada keras, dia biasa membawa sukanya sendiri, cuma dimata Kwee Ceng,
dia tidak ada celaannya. Terhadap Kwee Ceng, Yong-jie suka mengalah.
Lam Kim duduk bersama Kwee Ceng di atas sebongkol pohon
yang roboh melintang di tanah, ia mendengar si pemuda memuji si nona, tanpa
merasa, ia merasakan sesautu yang berbeda daripada biasanya.
Lekas juga si pemuda sadar.
“Kau lihat!” katanya tertawa. “Tengah malam buta kita
memasang omong di sini! Mari kita pulang. Kalau sebentar kakekmu bangun dan ia
tidak melihat kau, ia tentunya berkhawatir.”
“Tidak,” menyahut si nona. “Aku suka sekali mendengar
ceritamu.” Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya. “Nona Oey itu pergi ke mana?
Kenapa kau tidak ikuti dia?”
Pertanyaan itu mengenakan telak kepada Kwee Ceng. Ia
tidak dapat lantas menjawab. Bukankah ia bakal menikah dengan Gochin Baki?
Bukankah sulit untuknya nanti bertemu pula sama Oey Yong? Mengingat semua itu
itu, ia menjadi berduka. Mendadak saja ia menangis.
Lam Kim terkejut. Ia menyangka ia telah salah omong. Ia
menjadi menyesal dan berduka. Ia malah menjadi bingung bagaimana harus
menghiburi anak muda ini. Dengan sendirinya tangannya merogoh ke dalam sakunya,
mengasih keluar sehelai saputangan. Ia sodorkan itu kepada si anak muda.
Kwee Ceng menyambutinya, ia menyusuti matanya. Ia tidak
ingin menangis, tetapi ia tidak sanggup menahan kesedihannya. Maka ia menangis
pula.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar satu suara tertawa
geli.
“Yong-jie!” berseru Kwee Ceng, sambil ia melompat bangun,
akan tetapi ketika ia menoleh ia tidak melihat siapa juga, tidak ada bayangan
orang meski juga cuma separuhnya………..
“Ah, engko Kwee!” berkata Lam Kim. “Kau senantiasa
memikirkan nona Oey. Mari kita pulang!”
“Mari!” sahut si anak muda.
Bersama-sama mereka keluar dari hutan itu. Baru mereka
jalan beberapa puluh tombak, di depan mereka, mereka melihat tujuh atau depalan
orang dengan pakaian putih berbaris, tangan kirinya bertongkat sebatang galah
panjang. Mereka jalan setindak demi setindak.
Merekalah budak-budaknya Auwyang Hong, yang matanya buta
di patok burung merah itu.
Mengawasi mereka itu, Kwee Ceng merasa kasihan. Maka ia
menghela napas. Tapi ia tidak mau mendekati atau menegur mereka itu, bersama
nona Cin ia terus menuju ke rumah si nona, untuk terus tidur.
Besok pagi, ketika Kwee Ceng mendusin, ia mendengar empeh
Cin lagi sesalkan Lam Kim, yang katanya tidak seharusnya mengajak tetamunya
pergi menangkap burung aneh itu sebab berbahaya.
“Memangnya aku yang mengajak?” si nona kata tertawa. “Dia
sendiri yang gemar bermain!”
“Kau gila! Dia toh penolong kita, dia bukannya bocah
lagi! Cara bagaimana kau bilang dia gemar bermain sendiri?”
“Kalau yaya tidak percaya, masa bodoh!” kata cucu itu
tertawa.
“Masih kau tidak mau kalah! Kalau tuan penolong kita kena
dilukai burung keramat itu, habis bagaimana?”
“Dia kosen sekali, mana dapat dia dilukakan?” si cuca
masih melawan.
Kakek itu menghela napas.
“Sudah, sudah….” ia mengalah. “Mari kita berbenah…….
Tidak dapat tidak, kita mesti berlalu dari sini….”
“Bagaimana engkong?” tanya si nona heran.
“Kita pulang ke Kwietang. Bangsat polisi itu kena dihajar,
mana dia puas? Mana dapat kita tinggal lebih lama di sini? Kalau sebentar tuan
penolong kita pergi, jikalau kita berlambat, bahaya tentu bakal menimpa kita….”
Cucu itu bengong.
“Habis engkong, bagaimana dengan ini rumah, meja dan
kursi kita?” ia menanya.
“Anak tolol!” mengelak orang tua itu. “Jiwa kita sendiri
masih belum ketentuan, apa perduli segala rumah dan meja kursi? Anak, dasar
nasib kita yang buruk, maka janganlah kau bersusah hati…..”
Kwee Ceng telah mendengari semua pembicaraan itu, maka ia
lantas mengambil putusan, menolong orang tidak boleh kepalang tanggung. Ia
turun dari pembaringannya untuk terus menemui itu kakek dan cucu.
“Lootiang, kau jangan berkhawatir,” katanya menghibur.
“Nanti aku pergi ke kantor camat untuk membereskan urusanmu ini.”
“Oh, injin, jangan kau pergi ke kantor camat!” cegahnya
lekas. “Kantor itu adalah laksana gua harimau atau serigala!”
“Aku
tidak takut!” berkata Kwee Ceng.
Empeh
Cin masih hendak mencegah tetapi Kwee Ceng sudah lantas pergi keluar, untuk
menuntun kudanya, maka dilain saat ia sudah kabur dengan kuda merahnya. Dalam tempo sedaharan nasi, ia sudah sampai di dalam kota. Tengah ia
memikir untuk menanya dimana letaknya kantor camat, mendadak ia menampak api
berkobar di depannya dan banyak orang berlari-lari berteriak-teriak: “Kantor
camat kebakaran! Oh, Thian, ada matanya!”
“Begini kebetulan?” kata Kwee Ceng di dalam hatinya.
“Masa begini tepat kantor camat kebakaran?”
Ia lantas mengasih kudanya lari di depan kantor, belum ia
datang dekat, ia sudah diserang hawa panas dari api itu hingga ia mesti mundur
pula. Herannya tak ada orang yang mau menolongi memadamkan api. Orang banyak
berdiri jauh-jauh, roman mereka bukan kaget atau takut, sebaliknya semua
bermuka terang, tandanya riang hati mereka.
Kwee Ceng lompat turun dari kudanya. Ia sekarang melihat
di tanah ada rebah belasan orang polisi, ada yang sudah terbakar, ada yang
masih hidup tetapi romannya tidak karuan dimakan api, ada yang dapat membuka
matanya, tetapi mata itu tidak berkutik. Ia heran, ia menghampirkan, terus ia
mengangkat seorang opas. Baru sekarang ia ketahui orang adalah korban totokan.
Ia lantas menotok pinggang dia itu.
“Mana camat?” ia tanya.
“Dia di dalam kantor, tuan,” sahut opas itu, tangannya
menunjuk. “Kebanyakan dia sudah mati tertambus….”
“Kenapa terbit kebakaran?” tanya pula Kwee Ceng. “Siapa
yang merobohkan kau?”
“Maaf tua, aku tidak jelas,” sahut pula si opas. “Tadi
pagi-pagi sebelum aku bangun tidur, aku dengar koan-thayya membikin banyak
berisik, rupanya ia mencaci orang dan berkelahi, lalu api berkorbar. Aku hendak
lari, tiba-tiba aku merasakan tubuhku kaku dan lemas, tahu-tahu aku sudah
roboh….”
“Koan-thayya kamu bertempur sama orang, apakah dia pandai
silat?”
Kwee Ceng heran. Ia tidak menyangka seorang camat pandai
silat dan menngerti juga Tok-see-ciang, tangan Pasir Beracun. Lantas ia ingat
camat ini gemar dengan ular.
“Ah, tentulah ia pakai ular itu untuk melatih diri,”
terkanya. Ia lantas menanyakan itu kepada opas.
“Aku tidak tahu, tuan”
“Rupanya, ada orang kangouw yang mencari camat itu,”
akhirnya Kwee Ceng pikir. “Ini ada baiknya, aku jadi tak usah capai hati…”
Oleh karena pikirannya sudah lega, Kwee Ceng tidak
menggubris lagi si opas atau camat, ia berniat pulang ke rumah empeh Cin, untuk
menyampaikan kabar gembira, tetapi waktu ia berpaling kepada kudanya, ia
terkejut. Kudanya itu tak ada. Ia bersiul, memanggil. Kuda itu tidak muncul.
Ketika ia mengulangi beberapa kali, tetap kuda merah itu tak nampak. Ia menjadi
heran sedang ia tahu betul kuda itu cerdik dan sangat mengerti dan mengenali
tuannya. Lantas ia pergi mencari, ia seperti memutari seluruh kota, tetapi ia
tidak berhasil mencari kudanya.
“Benar
heran!” pikirnya, bingung dan masgul. Akhirnya ia berjalan balik ke rumah empeh
Cin, hatinya berpikir: “Nanti aku bawa burung wajawali untuk mencari, mustahil
tidak ketemu…”
Ia berjalan pulang sambil berlari-lari.
Empeh Cin dan cucunya heran mendengar gedung camat
kebakaran, mereka girang mendapat tahu camat sendiri mati tertambus. Mereka
bersyukur bukan main.
Habis memberi keterangan, Kwee Ceng bersiul, memanggil
burungnya. Tapi aneh, burung itu juga tak nampak dan tak muncul. Ia heran bukan
main dan ia jadi semakin bingung. Saking berduka, ia tak nafsu dahar minum. Malam itu ia diam terus di rumah empeh Cin. Ia mengambil keputusan, besok
ia mau pergi mencari kuda dan burung itu…….
Ketika itu musim panas, hawa udara sangat mengendus.
Empeh Cin menggotong bale-bale serta dua buah kursi ke luar rumah, ditaruh di
bawah para-para pohon kacang. Ia pun masak air dan menyeduh the. Di bawah pohon
ia mengajak Kwee Ceng dan cucunya berangin. Ia melewatkan waktu dengan
bercerita tentang sifatnya pelbagai ular berbisa.
Hati
Kwee Ceng terhibur juga. Cerita si empeh menarik
hati.
Mereka berangin sampai tengah malam, sampai mereka merasa
tubuh mereka adem. Empeh itu beberapa kali mengajaki tetamu dan cucunya masuk
tidur, sang cucu menolak.
“Dasar bocah!” kata sang engkong tertawa. “Anak ini hidup
sendirian, setaip hari ia menemani aku si tua bangka, di sini sulit mendapat
tetamu, maka sekarang dia jadi gembira luar biasa….”
“Kalau besok engko Kwee pergi, kita kembali tinggal
berdua…” kata Lam Kim. Ia nampak masgul, suaranya pun tak gembira.
Kwee Ceng berdiam.
“Engko Kwee, pergilah tidur,” kata si nona kemudian. “Aku
sendiri, aku masih hendak memandangi sang bintang….”
“Anak tolol! Apakah bagusnya bintang !” kata sang kakek.
“Tetapi aku suka memandanginya.” kata si cucu.
Orang tua itu memandang ke langit, dimana ada mega hitam.
“Lihat, langit bakal lekas berubah, bintang pun bakal
lenyap…” katanya.
Ketika itu mendadak Kwee Ceng mendengar suara kuda
berlari mendatangi.
“Kuda merahku!” ia berseru. Segera ia menoleh dan
mengawasi. Jauh di sana, seekor kuda merah lagi mendatangi. Lekas juga
ternyata, dialah si bulu merah kudanya sendiri, seperti ia telah membilangnya.
Di atas kuda itu ada penunggangnya, yang bajunya berkibaran, bahkan dialah Oey
Yong.
“Yong-jie! Aku di sini!” Kwee Ceng berseru kegirangan.
Mendengar disebutkannya Yong-jie, hati Lam Kim terkesiap.
Lekas sekali kuda merah itu telah tiba kepada tiga orang
itu. Bersama Oey Yong ada kedua burung rajawali yang putih.
“Ah, sungguh aku tolol!” Kwee Ceng sesalkan dirinya
sendiri. “Memang kecuali Oey Yong, siapakah yang dapat menguasai kuda dan
burungku ini?”
Oey Yong lompat turun dari kudanya sedang Kwee Ceng maju
memburu padanya. Ia girang bukan kepalang.
“Aku berlatih tetapi keliru, kedua tanganku tak dapat
digerak,” berkata si nona.
“Ah!”
Kwee Ceng berseru. “Mari lekas salurkan napasmu!”
Keduanya
lantas lompat naik ke bale-bale, untuk duduk bersila. Kwee Ceng meletaki kedua
tangannya di punggung si nona, guna menyalurkan hawanya ke tubuh si nona itu.
Justru itu langit benar-benar berubah. Perlahan-lahan
terdengar suara guntur, yang diikuti bergeraknya sang awan, hingga langit
menjadi gelap.
Kira setengah
jam kemudian, pernapasannya Oey Yong mulai lurus, hawa dari perutnya naik
ke dadanya. Karena itu, tubuhnya seperti terdorong ke kiri dan ke kanan.
Selama itu Lam Kim mengawasi nona Oey, yang duduk sambil
menutup mata dan merapati mulutnya, hanya mulutnya itu nampak tersenyum. Dia
berkulit putih bersih, pada itu nampak cahaya dadu, maka terlihat tegaslah
kecantikannya. Di lehernya ada tergantung kalung mutiara, yang bersinar
menambah menterengnya kecantikannya itu.
“Dia mirip dewi, tak heran engko Kwee jatuh hati
kepadanya,” Lam kIm berpikir. “Hanya, entahlah apa yang mereka lagi lakukan
sekarang….”
Dia tengah berpikir begitu ketika mendadak matanya
seperti gelap. Karena segumpal mega hitam lewat menutupi sang putri malam. Dan
menyusul itu, seluruh langit mulai menjadi gelap juga.
“Kwee Toako,” ia berkata kepada Kwee Ceng. “Baiklah, kau
masuk ke dalam bersama ini nona, lekas akan turun hujan.”
Boleh dibilang ia baru menutup mulutnya, ketika ia
merasai muka dan lehernya dingin, karena sang air hujan sudah lantas mulai
turun beberapa tetes!
Hujan di musim panas benar luar biasa. Begitu dibilang, hujan lantas turun. Dan Lam Kim lantas juga berkoak. Sebab
dengan lantas hujan turun dalam jumlah besar, seperti dituang-tuang!
Kwee Ceng dan Oey Yong lagi menyalurkan napas mereka,
tidak menghiraukan hujan itu.
Nona Cin menjadi heran sekali, hingga ia mau menduga
orang kena pengaruh sesat. Ia menghampirkan si anak muda, yang pundaknya ia
tolak. Ia tidak menggunai tenaga besar, ketika ia menolak, ia tertolak mundur
satu tindak. Ia menjadi terlebih heran. Ia maju pula, ia menolak dengan
terlebih keras. Ia menanya: “Engko Kwee, kau kenapa?” Atau mendadak, untuk
kagetnya, ia terolak mundur hingga ia terguling di tanah, jatuh duduk di air
hujan!
Empeh Cin sudah masuk tidur, ia mendengar suara hujan
diselengi guntur, maka ia memanggil Lam Kim. Beberapa kali ia memanggil tanpa
ada penyahutan, ia lantas pergi ke luar, tepat ia menyaksikan cucunya itu lagi
merayap bangun dari lumpur, rambutnya kusut, basah dengan air hujan, romannya
bingung. Tengah ia kaget, ia mendengar suara nyaring cucunya itu: “Engkong,
tuan penolong kita kena pengaruh jahat, lekas tolongi dia!”
Empeh itu pun kaget. Ia pun sangat bersyukur kepada anak
muda itu. Maka tanpa pikir lagi, ia hampirkan Kwee Ceng, yang ia pegang
tangannya, untuk ditarik masuk. Atau ia menjadi kaget. Tubuh si anak muda tidak
bergeming. Ketika ia menarik dengan kuat, ia sendirinya yang terpental jatuh,
maka ketika ia sudah merayap bnagun, ia berdiri bengong seperti cucunya itu.
Lam Kim lekas sadar, ia lari masuk untuk mengambil
payung, ia memegang itu untuk dipakai memayungi Kwee Ceng berdua. Ia juga
berkata: “Engkong, lekas menyulut kertas kuning, kau asapi hidung mereka!”
Empeh Cin lari masuk, tindakannya limbung. Apa mau, ia
kena membentur pelita hingga terbalik.
Lam Kim sendiri lantas nyata perubahan hatinya. Biarnya
ia mengagumi Oey Yong, hatinya ada pada Kwee Ceng, maka payungnya itu mulai
bergeser, menutupi si anak muda sendiri, hingga si nona itu lantas ketimpa
hujan pula.
Tidak lama empeh Cin muncul dengan kertas kuningnya, yang
ia telah sulut. Dengan dijagai ujung bajunya, kertas itu ia bawa kepada Kwee
Ceng, yang hidungnya lantas ia asapi.
Hebat kesudahannya ini untuk si anak muda, yang lagi
menyalurkan napasnya itu. Ia lantas merasa napasnya sesak. Ia menjadi kaget
sekali, dengan lantas ia menahan napasnya itu. Tapi ia cuma bisa menahan
sebentar, atau asapnya si empeh masuk pula. Beberapa kali ia terbatuk-batuk.
Celaka untuknya, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Empeh Cin tetap bingung. Melihat asap tidak menolong, ia
menekan jintiong, ialah hidungnya si anak muda. Siapa pingsan karena teriknya
panas matahari, kalau ia ditotok di jintiong itu, ia dapat sadar. Tidak
demikian dengan Kwee Ceng. Ia bahkan jadi semakin seperti disiksa. Sudah ia
tidak dapat membuka mulutnya, ia juga tidak dapat menolak mundur si empeh yang
mau menjadi penolong tetapi sebaliknya menjadi seperti mencelakainya.
Sang hujan turun terus, guntur pun masih berbunyi. Satu
kali kilat menyambar, guntur berbunyi keras. Nyata satu pohon kena ditimpa
hingga menyala dan terbakar.
Lam Kim kaget dan ketakutan, tetapi ia tidak berkisar
dari tempatnya berdiri, masih ia memayungi tuan penolongnya. Hanya matanya
menjadi tidak karuan, sebab ia melihat kilat, melihat api, dan melihat air
hujan juga. Kapan ia memandang Kwee Ceng, ia mendapati pemuda itu duduk tenang
seperti biasa, begitu juga dengan si nona Oey, bahkan nona ini nampak tersenyum
manis, romannya sangat cantik.
Empeh Cin berdiri tercengang, ketika ia memandangi
cucunya, ia mendapati muka cucunya itu sangat pucat.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak kilat berkelebat,
cahayanya terang sekali. lalu sauara geledek, menyusul demikian hebat, sampai
saking kagetnya, dua-dua empeh Cin dan Lam Kim roboh karenanya.
Guntur berbunyi di samping Kwee Ceng, tidak heran kalau
itu kakek dan cucunya roboh dengan pingsan. Hanya sehabisnya guntur, segera
Kwee Ceng merasakan pernapasannya berjalan dengan baik seperti biasa. Maka
sekarang ia dapat bergerak. Juga Oey Yong dapat bergerak seperti dia.
Lagi-lagi guntur menggelegar dekat si nona, maka Kwee
Ceng lantas mendekam di tubuh si nona, untuk melindungi.
Berselang sekian lama barulah guntur berkurang dan hujan
pun mulai berhenti. Dan setelah lewat pula sekian waktu, maka langit menjadi
bersih, si putri malam muncul pula dengan segala kepermaiannya.
Oey Yong merasakan tubuhnya sehat sekali. Dengan perlahan
ia mengangkat tubuhnya.
“Engko Ceng,” katanya berbisik. “Benar-benarkah kau
mencintai aku?”
Kwee Ceng merangkul, girangnya bukan buatan, sampai ia
tidak bisa membuka mulutnya.
“Lihat itu,” kata Oey Yong kemudian, tangannya menunjuk
ke pohon yang tadi ditimpa geledek dan terbakar.
Di sana, di antara api, si burung darah, hiat-niauw, lagi
bergulingan dan berlompatan, rupanya gembira sekali ia memain api.
“Mari kita tangkap padanya,” kata si nona berbisik.
Kwee Ceng mengangguk, ia lantas berbangkit. Ketika itu ia
melihat empeh Cin, yang sadar sendirinya lagi menolongi cucunya, untuk dikasih
duduk di kursi.
Oey
Yong sendiri bertindak menghampirkan hiat-niauw.
Burung
itu telah mempunyai pengalaman, ia tidak berani berkelahi, ia lantas terbang
pergi, sia-sia si nona berlompat menubruk padanya. Karena ini Oey Yong bersiul,
memanggil burung rajawalinya.
“Tangkap
burung itu tetapi jangan lukai dia!” ia memerintah.
Kedua
burung rajawali itu mengerti, keduanya lantas menyambar hiat-niauw. Mereka
bertindak dengan memegat jalan terbang orang.
Hiat-niuaw
kecil sekali, seluruhnya ia cuma sebesar kepala rajawali, tetapi ia sangat
gesit, maka itu ia dapat molos, lantas ia terbang cepat dan jauh, ketika sudah
beberapa lie, ia mendapatkan ia masih disusul, lantas ia terbang balik, untuk
mencoba melawan. Hebat perlawanannya itu. Kalau ia kena dicengkeram atau
dipacuk, pastilah ia celaka, tetapi karena gesitnya, ia selalu bisa membebaskan
diri. Bahkan dialah yang beberapa kali berhasil mematuk bulu lawan hingga
rontok. Coba si rajawali bukan berdua, mungkin mereka kalah.
Selagi
bertempur terlebih jauh, rajawali yang jantang kena dipatuk lehernya, ia
merasakan sakit, saking sengit, ia menyampok dengan sayapnya. Hiat-niauw berkelit, tapi justru ia kena disampok sayap burung betina,
sampai ia roboh. Tapi ketika ia ditubruk ia sempat berkelit pula, terus ia
terbang cepat dan jauh, dari itu, tempo kedua rajawali terus menyusul terus,
mereka pergi jauh ke belakang gunung.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, untuk berkata dengan
perlahan: “Yong-jie, kau maju pesat sekali. Guntur berbunyi di sampingmu, kau
tidak tahu.”
“Kau pun sama!” kata si nona tertawa.
Kwee Ceng lantas ingat perbuatannya empeh Cin tadi.
“Sungguh berbahaya,” katanya dalam hatinya. “Kalau aktu
tidak dapat bertahan, aku mesti menyia-nyiakan tempo lagi tujuh hari dan tujuh
malam untuk memulihkan diri.
Lantas ia ajar kenal Oey Yong dengan tuan rumah, itu
kakek dan cucu.
“Yong-jie, kau melepas api di kantor camat, bukankah?”
kamudian Kwee Ceng tanya si nona.
“Kalau bukan aku, siapa lagi?” si nona membaliki,
tertawa.
Empeh Cin dan cucunya terkejut. Tidak mereka sangka, nona
ini demikian besar nyalinya dan pandai juga.
Kemudian Oey Yong melirik Lam Kim, ia bersenyum.
“Engko Ceng,” katanya, “Kau selalu memuji aku, apa kau
tidak takut enci ini nanti menertawainya?”
“Oh!” katanya Kwee Ceng. “Kau telah bersembunyi di dalam
rimba?”
Kembali Oey Yong tertawa.
“Jikalau kau tidak membilang kau hendak menangkap burung
itu untukku, aku lebih suka tanganku bercacad, tidak nanti aku kembali padamu!”
katanya. “Kemudian kau menangis! Apakah kau tidak malu?”
Kwee Ceng tunduk, ia menyahut perlahan: “Aku merasa aku
memperlakukan kau tidak bagus, dan aku khawatir sekali untuk selamanya nanti
tidak dapat melihat padamu pula….”
Oey
Yong mengulur tangannya, untuk membereskan rambut orang.
“Sebenarnya
aku berpikir untuk tidak menemui pula padamu tetapi aku tidak dapat,” ia
berkata. “Tapi sudahlah, sekarang kita jangan pikirkan hal-hal di belakang
hari, untuk kita, dapat satu hari selebih banyak kita berkumpul, itu artinya
kita dapat tambah satu hari kegirangan!”
Lam
Kim berdiri bengong melihat dan mendengar orang berbicara demikian asyik.
Berempat
mereka bagaikan baru sadar ketika kuping mereka mendengar suara burung rajawali
di tengah udara, kapan mereka mengangkat kepala, terlihat hiat-niauw masih
dikepung-kepung kedua rajawali itu, terbangnya sangat pesat.
Menampak
demikian, Oey Yong lantas mendapat akal. Ia bersiul satu kali. Atas itu
rajawali yang betina terbang turun, untuk menclok di pundaknya. Maka tinggallah
yang jantan, yang mengejar terus-terusan. Ia menunggu sudah lewat lama juga, ia
memanggil burung jantannya seraya melepaskan yang betina guna menggantikan
mengejar hiat-niauw itu. Siasat ini digunakan terus-menerus, maka akhirnya
lelah juga burung api itu, yang tak dapat mengaso sama sekali. Setelah
terbangnya menjadi perlahan dan kegesitannya pun berkurang, satu kali ia kena
disampok sayap rajawali, lantas ia tidak dapat terbang lebih jauh, maka ia kena
disambar, dibawa kepada Oey Yong.
Nona
Oey menyambuti burung api itu, ia memegangnya, hatinya sangat girang.
Hiat-niauw
sangat letih, dia mengawasi si nona, sinar matanya seperti minta dikasihani.
“Baik-baik
kau turut aku, aku tidak bunuh padamu,” berkata Oey Yong sambil tertawa.
Empeh
Cin sangat girang sekali melihat burung itu kena ditangkap.
“Bagus!”
serunya. “Nona telah berhasil menangkap burung ini, maka aku dan cucuku bakal
dapat makan pula! Nanti aku membuatnya kurungan buat menempati dia.”
Lam
Kim tahu burung itu suka makan nyali ular, ia mengambil arak nyali ular
mengasih burung itu minum, setelah habis setengah peles, hiat-niauw itu lantas pulih
kesegarannya. Ia benar-benar menjadi jinak sekali.
“Aku hendak memelihara dia hingga dia mendengar kata!”
kata Oey Yong. “Aku mau mengajari dia bagaimana harus mematuk mata orang!”
Tapi sementara itu, orang letih dan kantuk, maka mereka
lantas pergi mengasokan diri. Lam Kim mengalah mengasihkan pembaringannya untuk
Oey Yong, siapa sebaliknya minta empeh Cin lekas membikini ia kurungan untuk
burungnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar