Senin, 22 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 39



BAB 39
Diam-diam Oey Yok Su menghela napas, kelihatannya ia putus asa.
“Inilah seperti bicaranya hantu atau malaikat, sungguh sangat samar,” pikirnya. “Rupanya benar anakku berjodoh dengan bocah ini, maka segala-galanya terjadi secara kebetulan sekali.”
Selagi Tong Shia heran, Auwyang Hong menlanjuti pertanyaannya.
“Sekarang ini di mana adanya Ciu Pek Thong?” demikian tanyanya.
Kwee Ceng hendak memberikan penyahutannya, ketika mertuanya memotong: “Anak Ceng, tidak usah kau banyak omong.” Kemudian si Sesat dari Timur ini berpaling kepada Auwyang Hong untuk mengatakan “Inilah urusan tidak berarti, buat apa dibicarakan panjang-panjang? Saudara Hong, saudara Cit, kita sudah duapuluh tahun tidak bertemu, marilah di pulauku ini kita minum puas-puas selama tiga hari!”
Oey Yong pun segera berkata: “Cit Kong-kong, nanti aku memasaki kau beberapa rupa sayuran! Bunga teratai di sini bagus sekali, jikalau lembaran bunga itu dimasak ayam tim campur lengkak segar dan daun teratai, pastilah rasanya lezat sekali! Dan kau tentulah akan sangat menyukainya!”
Ang Cit Kong tertawa lebar.
“Sekarang telah tercapailah maksud hatimu!” katanya. “Lihat, bagaimana girangmu!”
Digoda begitu, Oey Yong tertawa.
“Cit Kong-kong, Auwyang Pepe, dan kau Auwyang Sieheng, silahkan!” ia lantas mengundang. Ia membawa sikap manis terhadap mereka semua, tak terkecuali Auwyang Kongcu.
Auwyang Hong menjura terhadap Oey Yok Su.
“Saudara Yok, aku menerima baik kebaikan hati kau ini,” ia berkata. “Saudara, di sini saja kita berpisahan….”
“Saudara Hong,” menyahut si tuan rumah, “Kau datang dari tempat yang jauh dan aku belum lagi melakukan kewajibanku sebagai sahabat, mana bisa enak hatiku?”
Sama sekali tidak ada niatnya Auwyang Hong, berdiam lebih lama lagi, karena ia telah putus asa. Sebenarnya ia datang bukan melulu untuk jodoh keponakannya itu, lebih daripada itu, hendak ia sesudah pernikahannya sang keponakan, bekerja sama Oey Yok Su mencari Kiu Im Cin-keng, kitab ajaib itu. Tidak demikian, sebagai ketua suatu partai, mana sudi ia sembarang menaruh kaki di Tionggoan? Pernikahan sudah gagal, ia pun lenyap harapannya, ia menjadi sangat tawar hatinya. Tetapi Auwyang Kongcu, si keponakan berpikir lain.
“Paman,” katanya Auwyang Kongcu, “Keponakanmu tidak punya guna, ia membikin kau malu, tetapi Oey Peehu telah menjanjikannya hendak mengajari keponakanmu semacam ilmu kepandaian….”
Auwyang Hong mengasih dengar suara “Hm!” Ia ketahui dengan baik belumlah padam cintanya si keponakan ini terhadap Oey Yong, maka juga si keponakan masih hendak mencari ketika untuk bisa terus berdekatan dengan nona itu. Alasan belajar ini adalah alasan yang paling baik. Si keponakan menjadi mungkin mendapat ketika akan merayu-rayu hati Oey Yong hingga si nona akhirnya terjatuh juga ke dalam pelukannya….”
Oey Yok Su dilain pihak jug atidak puas hatinya. Ia telah memberikan janjinya itu karena ia percaya pasti Auwyang Kongcu bakal lulus, maka hendak ia menurunkan semacam pelajaran kepada Kwee Ceng, siapa tahu kesudahannya adalah kebalikannya dugaannya itu, ialah Auwyang Kongcu yang jatuh.
“Auwyang Sieheng,” ia lantas berkata, “Kepandaian pamanmu adalah yang terlihay di kolong langit ini, tidak ada lain orang yang dapat menandanginya, karena ini adalah warisan keluargamu sebenarnya tak usah kau mencari dari lain kaum. Hanya apa yang dinamakan Co-to Pang-bun, yaitu ilmu golongan kiri atau sampingan, aku si tua masih juga mempunyakannya sedikit, maka jikalau sieheng tidak mencelanya, yang mana saja yang aku mengerti, suka aku mengajarkannya padamu.”
Auwyang Kongcu sudah lantas berpikir; “Hendak aku memilih yang paling lama dipelajarinya, yang paling meminta waktu. Tocu ini kabarnya mengerti ilmu Ngo-heng Ki-bun, baiklah aku minta ilmu itu yang tak keduanya dikolong langit ini, yang tentunya tak habis dipelajari dalam sehari semalam….” Maka ia lantas menjura dan berkata: “Keponakanmu mengagumi ilmu Ngo-heng Ki-bun dari peehu, maka itu aku mohon kebaikan budi peehu untuk mengajari saja aku ilmu itu.”
Oey Yok Su berdiam, tidak lantas ia menjawab. Ia merasa sulit. Ngo-heng Ki-bun itulah kepandaiannya yang paling utama, sekalipun kepada putrinya belum ia mewariskannya, maka itu cara bagaimana dapat ia menurunkannya kepada orang luar? Tetapia ia sudah mengeluarkan kata-katanya, tak dapat ia menyesal atau menarik pulang. Maka kemudian menyahutlah ia: “Ilmu Ki-bun itu menggenggam banyak sekali, kau hendak mempelajari yang mana satu?”
Auwyang Kongcu cuma mengutamakan dapat tinggal selama mungkin di pulau Tho Hoa To ini, maka itu ia menjawab; “Keponakanmu melihat jalanan di Tho Hoa To ini sangat berliku-liku, pepohonannya pun lebat sekali, aku menjadi sangat menganguminya, maka itu aku mohon peehu sukalah memperkenankan aku tinggal di sini untuk beberapa bulan. Dengan begitu maka keponakanmu jadi dapat ketika untuk belajar dengan sabar.”
Mendengar itu, air mukanya Oey Yok Su berubah. Ia segera melirik kepada Auwyang Hong. Di dalam hatinya, ia berpikir; “Jadinya kau hendak menyelidiki rahasianya pulauku ini! Sebenarnya, apakah maksud kamu?”
Auwyang Hong sangat cerdik, mengertilah ia sudah akan keragu-raguannya tuan rumah itu. Maka lantas ia menegur keponakannya: “Kau sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi! Tho Hoa To ini tercipta setelah peehumu menghabiskan hati dan darahnya, pulau ini teratur begini sempurna, bahwa orang luar tidak berani menyerbunya semua mengandal kepada lihaynya ini, dari itu mana dapat peehumu membebernya kepada kau?”
Oey Yok Su tahu orang menyindir, dengan dingin ia berkata: “Walaupun Tho Hoa To ada hanya sebuah bukit yang gundul, orang di kolong langit ini belum tentu ada yang sanggup mendatanginya untuk membikin celaka pada aku Oey Yok Su!”
Auwyang Hong tertawa.
“Aku kesalahan omong, saudara Yok, maaf!” ia memohon.
“Hai, saudara Racun, saudara Racun!” Ang Cit Kong tertawa dan turut berbicara. “Akalmu ini akal memancing kemarahan orang, kau menggunainya dengan caramu yang kurang jujur!”
Oey Yok Su seperti habis akal, ia selipkan seruling kumalanya di leher bajunya.
“Tuan-tuan, silahkan turut aku!” ia mengundang.
Maka itu berhentulah pembicaraan mereka.
Auwyang Kongcu ketahui tuan rumah murka, ia melirik kepada pamannya.
Auwyang Hong mengangguk, lalu ia bertindak mengikuti tuan rumah. Yang lain-lainnya pun turut mengikutinya.
Jalanan berliku-liku, sekeluarnya dari rimba bambu itu, di depannya mereka terlihat sebuah pengempang teratai yang besar, yang bunga teratainya sedang mekar banyak, hingga di situ tersebarlah bau harum semerbak yang halus dari bunga yang indah dan bersih itu. Daun-daun teratai pun terampas luas dan lebar. Di tengah-tengah pengempang ada sebuah jalanan yang memotong untuk tiba di lain tepi, hingga dengan begitu pengempang itu menjadi terbelah dua.
Oey Yok Su berjalan di jalanan di tengah pengempang itu, ia memimpinnya orang banyak ke sebuah rumah yang nampak terawat rapi sekali, yang tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang atau bongkol pohon cemara yang tak dibuangi babakannya hingga nampak jadi wajar. Di luar itu pun merambat pohon-pohon rotan yang beroyot. ketika itu ada di musim panas tetapi berada di dalam rumah itu, semua orang mersakan adem.
Oey Yok Su mempersilahkan lebih jauh keempat tetamunya masuk ke dalam kamar tulis dimana bujangnya yang gagu segera menyuguhkan the, yang airnya berwarna hijau, tetapi setelah dihirup, teh itu dingin bagaikan salju, meresap hingga ke ulu hati.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: “Orang bilang, sesudah tiga tahun menjadi pengemis, berpangkat pun dia tak sudi, tetapi, saudara Yok, jikalau aku dapat tinggal tiga tahun di dalam duniamu yang begini adem nyaman, menjadi pengemis pun tak sudilah aku!”
“Saudara Cit,” menyahut Oey Yok Su, “Jikalau benar kau sudi tinggal untuk suatu waktu denganku di sini, supaya kita kakak beradik dapat minum arak dan mengobrol, itulah sungguh hal yang aku memintanya pun tidak dapat.”
Ketarik hatinya Ang Cit Kong mendengar suara orang yang sungguh-sungguh itu.
Tetapi Auwyang Hong segera berkata; “Kamu kedua tuan, jikalau kau sampai tidak berkelahi, tak usah sampai dua bulan lamanya, pastilah kau berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang luar biasa gaib!”
“Ha, kau mengiri?” tanya Ang Cit Kong tertawa.
“Tapi aku bicara dari hal yang benar!” menyahut Auwyang Hong.
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
“Ini pun kata-katamu yang di hati lain di mulut lain!” bilangnya.
Dua orang ini tidak bermusuh besar tetapi mereka saling mendendam, di antaranya Auwyang Hong yang memikir dalam dan licik serta licik. Ang Cit Kong yang polos dan mulutnya terbuka, kalau Cit Kong tidak memikir sesuatu, See Tok sebaliknya menyimpan maksud, sebelum Ang Cit Kong mampus di tangannya, tak mau ia sudah. Hanya ia, karena liciknya, wajahnya ia tidak kentarakan sesuatu. Demikian kali ini, apapun yang Cit Kong bilang, ia mengganda tertawa.
Oey Yok Su sudah menekan pada suatu bagian dari mejanya itu, lalu terlihat di tembok sebelah barat ada sebuah gambar san-sui atau panorama gunung dan air yang bergerak naik sendirinya, setelah mana di situ lalu tertampak sebuah pintu rahasia. Ia mengulurkan tangannya ke dalam pintu itu, untuk menarik keluar segulung kertas. Ia mengusap-usap itu beberapa kali, kemudian ia memandang Auwyang Kongcu seraya berkata: “Inilah peta lengkap dari Tho Hoa To. Di pulau ini ada jalanan rahasia, jalan keder menuruti jurus patkwa, dan semua itu tercatat di dalam peta ini, sekarang kau ambillah ini, untuk kau mempelajarinya dengan seksama.”
Mendengar itu, pemuda itu hilang harapannya. Yang ia harap adalah dapat tinggal lebih lama di Tho Hoa To, siapa tahu ia hanya diberikan sehelai peta pulau. Ia merasa bahwa ia gagal, tetapi meski demikian, ia menjura untuk menyambuti peta itu.
Oey Yok Su tidak segera menyerahkan petanya itu.
“Tunggu dulu!” katanya.
Auwyang Kongcu melengak, ia menarik pulang tangannya yang sudah diulur itu.
“Setelah kau mendapatkan peta ini,” berkata Oey Yok Su, “Kau mesti pergi ke Lim-an, dimana kau mesti cari sebuah rumah penginapan atau kelenteng dimana kau dapat tinggal menumpang. Selang tiga bulan, aku nanti perintah orang untuk mengambil pulang. Peta ini cuma diingat dalam hati, aku larang kau membuat salinannya!”
Mendengar itu, di dalam hatinya, si pemuda berkata: “Kau tidak mengijinkan aku tinggal di pulaumu ini, siapa sudi memperdulikan segala ilmu sesatmu itu? Bagaimana dalam tempo tiga bulan aku dapat menolongi kau menjagai kitabmu itu? Jikalau ada kerusakan atau kehilangan, siapa yang dapat bertanggungjawab. Lebih baik aku tidak mengerjalannya!” Hampir ia menampik, ketika mendadak sebuah pikiran lain masuk ke dalam otaknya: “Dia kata hendak memerintah orang datang mengambilnya nanti, tentulah ia bakal mengutus gadisnya ini. Ini pun ada suatu ketika baik untuk berada dekat si nona….” Maka ia lantas mengubah pula pikirannya, terus ia mengulur pula tangannya, menyambuti peta itu, yang ia masuki ke dalam sakunya.
Auwyang Hong segera mengangkat kedua tangannya, untuk pamitan.
Oey Yok Su tidak menahan lagi, malah ia segera mengantarkannya hingga di muka pintu.
“Saudara Berbisa,” berkata Ang Cit Kong. “Lain tahun di akhir tahun kembali tiba saatnya perundingan ilmu pedang di gunung Hoa San, maka itu baik-baik saja kau memelihara dirimu, supaya nanti kita dapat bertempur secara hebat!”
Auwyang Hong menyahuti dengan tawar. Katanya: “Menurut aku baiklah kita tidak usah saling berebut lagi! Sekarang ini pun sudah ada ketentuannya siapa yang bakal menjadi orang yang ilmu silatnya paling lihay di kolong langit ini!”
“Eh, sudah ada orangnya?” menanya Ang Cit Kong heran. “Mungkinkah kau, saudara Beracun, sudah berhasil menciptakan semacam ilmu silat baru yang tak ada bandingannya lagi?”
Auwyang Hong tersenyum.
“Apa sih kebisaan dan kebijakasaannya Auwyang Hong hingga dapat memperoleh gelaran orang yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini?” ia berkata, “Yang aku maksudkan ialah orang yang telah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng ini.”
Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa.
“Adakah kau maksudkan aku si pengemis bangkotan? Kalau benar, aku mesti memikir-mikirnya dulu! Kepandaian saudara Yok bertambah sekian hari, kau sendiri, saudara Berbisa, kau juga makin gagah dan panjang umur, sedang Toan Hongya itu aku percaya dia juga tidak akan mensia-siakan kepandaiannya, maka aku rasa, tinggallah aku si pengemis yang terbelakang.”
“Tetapi, saudara Cit,” berkata Auwyang Hong pula, “Di antara orang-orang yang pernah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng belum pasti kaulah yang terlihay…..”
“Apa?!” menegaskan Ang Cit Kong. Ia baru mengucap sepatah itu, atau Oey Yok Su sudah memotong; “Ah, apakah kau maksudkan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong si Bocah Bangkotan yang nakal?”
Pertanyaan ini diajukan kepada Auwyang Hong.
“Benar!” menyahut See Tok cepat. “Karena Loo Boan Tong sudah pandai ilmu Kiu Im Cin-keng, maka kita si Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kita semua bukan lagi tandingan dia!”
“Hal itu belumlah pasti,” berkata Tong Shia, “Kitab itu mati, ilmu silat itu hidup!”
Senang See Tok mendengar perkataan tuan rumah. Mulanya ia tidak puas, ialah ketika Tong Shia mencoba menyimpangi pertanyaannya kepada Kwee Ceng tentang di mana adanya Ciu Pek Thong. Sekarang muncullah pula soalnya Ciu Pek Thong itu. Karena ia pandai bersandiwara, ia tidak menyatakan sesuatu pada wajahnya, bahkan sengaja dengan tawar ia kata; “Ilmu silat Coan Cin Pay lihay sekali, kita semua pernah belajar kenal dengannya, maka kalau Loo oan Tong ditambah dengan Kiu Im Cin-keng, umpama kata Ong Tiong Yang hidup pula, belum tentu ia sanggup menandingi adik seperguruannya ini, jangan kata pula kita si segala tua bangka!”
“Mungkin Loo Boan Tong lihay melebihkan aku tetapi tidak nanti melebihkan kau, saudara Hong,” berkata Oey Yok Su. Ia tidak mau menyebutnya “Saudara Beracun” seperti Ang Cit Kkong. “Inilah aku tahu pasti.”
“Jangan kau merendah, saudara Yok,” berkata See Tok. “Kita berdua adalah setengah kati sama dengan delapan tail. Kalau kau membilang seperti katamu barusan, maka teranglah ilmu silatnya Ciu Pek Thong tak dapat melampaui kau! Ini, aku khawatir…..”
Ia lantas berhenti, kepalanya digelengka berulang-ulang.
Oey Yok Su bersenyum.
“Lihat saja di Hoa San lain tahun!” katanya. “Di sana saudara Hong akan mengetahuinya sendiri!”
Auwyang Hong mengawasi, ia mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
“Saudara Yok, ilmu silatmu telah lama aku mengaguminya,” katanya, “Akan tetapi jikalau kau bilang kau dapat mengalahkan Ciu Pek Thong, sungguh aku sangsi. Jangan kau memandang enteng kepada si tua bangka berandalan itu…”
Biar bagaimana, Oey Yok Su kena dipancing panas hatinya oleh See Tok.
“Kau tahu, Loo Boan Tong berada di pulau Tho Hoa To ini!” katanya nyaring. “Sudah lima belas tahun lamanya aku mengurung dia!”
Mendengar itu, dua-dua Auwyang Hong dan Ang Cit Kong terperanjat. Hanya si Bisa dari Barat sudah lantas tertawa bergelak.
“Saudara Yok gemar sekali bergurau,” katanya.
“Mari!” berkata Oey Yok Su yang tidak sudi berbicara lebih banyak lagi, tangannya pun menunjuk, bahkan dia berjalan di depan, dengan tindakan yang cepat, hingga bagaikan terbang dia jalan molos di rimba bambu.
Ang Cit Kong mengikuti, sebelah tangannya menuntun Kwee ceng, sebelah yang lain Oey Yong.
Auwyang Hong pun menarik tangan keponakannya.
Semua mereka menggunai ilmu mereka meringankan tubuh.
Hanya sebentar, mereka sudah sampai di muka gua di mana Ciu Pek Thong dikurung, hanya setibanya dis itu, Oey Yok Su menperdengarkan suara kaget. ia telah mendapat lihat rusaknya kawat-kawat kurungan di muka gua. Dengan satu enjotannya ia lompat, ke muka gua sekali, yang segalanya sunyi dan tak nampak sekalipun bayangannya si bocah bangkotan yang lucu itu.
Dengan kaki kirinya, Tong Shia menginjak tanah, atau tiba-tiba ia terperanjat. Ia merasakan kakinya itu seperti menginjak barang lembek dan tanah kosong. Tapi ia telah sempurna ilmunya enteng tubuh, maka lekas menyusullah kaki kanannya, hingga ia dapat berlompat, masuk ke dalam gua.
Sekarang ia melihat dengan tegas kosongnya gua itu. Tapi yang hebat adalah kakinya kembali menginjak tanah lembek dan kosong seperti tadi. Tentu sekali, tidak dapat ia menaruh kakinya. Maka ia lantas mengasih keluar serulingnya, menggunai itu untuk menekan dan menolak tembok gua, dengan begitu tubuhnya pun melesat keluar.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bersorak memuji menyaksikan indahnya tubuh yang ringan dari si Sesat dari Timur ini. Tapi ketika Oey Yok Su menaruh kakinya di luar gua, kakinya itu memperdengarkan satu suara, sebab kaki itu melesak masuk ke dalam sebuah liang.
Kaget Tong Shia. Ia merasakan kakinya basah atau demak. Kembali ia mencelat naik. Diwaktu itu ia melihat Cit Kong dan Auwyang Hong beramai telah tiba di muka mulut gua di mana mereka itu menginjak tanah tanpa kurang suatu apa, karena itu ia lantas turun di samping putrinya. Hampir di itu waktu, ia mendapat cium bau busuk. Ia menunduk untuk melihat. Untuk mendongkolnya, ia mendapatkan kedua kakinya penuh dengan kotoran manusia.
Semua orang menjadi heran, kenapa Oey Yok Su kena orang akali.
Dalam murkanya Oey Yok Su menyambar sebatang cabang pohon, dengan itu ia menyerang tanah ke barat dan ke timur, akan mencari tahu tanah kosong semua atau tidak. Habisnya kecuali tiga tempat yang ia injak tadi, lainnya tanah berisi dan keras. Maka tahulah ia sekarang, ketika Ciu pek Thong meloloskan diri, dia sudah menginjak tanah dengan hebat, membuat tiga liang itu, habis mana, semua ketiga liang dipakai jongkok untuk membuang kotoran dari dalam perutnya….
Dengan penasaran, Oey Yok Su bertindak masuk pula ke dalam gua. Tidak ada barang lainnya di situ kecuali beberapa botol dan mangkok. Hanya di tembok terlihat huruf-huruf yang samar-samar.
Auwyang Hong tertawa di dalam hati menyaksikan Tong Shia “terjebak” itu, tetapi sekarang, melihat orang memperhatikan tembok, ia heran, maka ia bertindak mendekati hingga dekat sekali. Di tembok gua itu tertampak ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
“Oey Lao Shia!
Kau telah menghajar patah kedua kakiku, kau sudah mengurung aku limabelas tahun di dalam gua ini, sebenarnya aku pun mesti menghajar patah juga kedua kakimu, baru aku puas, tetapi kemudian, setelah aku memikir masak-masak, sukalah aku memberi ampun padamu, dan urusan kita boleh disudahi saja. Hanya dengan ini aku menyuguhkan kau tumpukan-tumpukan besar dari kotoran serta beberapa botol air kencing. Silahkan kau memakainya. Silahkan….!”
Di bawah itu ada diletaki daun, hingga empat huruf ukiran itu menjadi ketutupan.
Oey Yok Su ingin tahu, ia pegang daun itu, untuk diangkat. Dibawah daun itu ada sehelai benang, karena daun diangkat, benang itu kena terpegang dan ketarik. Mendadak saja terdengar suara di atasan kepala mereka. Oey Yok Su sadar, segera ia berlompat menyingkir ke kiri.
Auwyang Hong, si licik sudah lantas turut melompat, ke kanan. Hanya berbareng dengan itu, terdengarlah suara nyaring di atasan kepala mereka, dari sana jatuh beberapa botol yang mengeluarkan air, maka juga mereka lantas kena tersiram, hingga kepala mereka basah dan bau air kencing.
Menyaksikan itu Ang Cit Kong tertawa berkakakan.
“Sungguh harum! Sungguh harum!” katanya.
Oey Yok Su murka dan mendongkol sekali sehingga ia tidak dapat tidak mememtang mulutnya untuk mencaci.
See Tok juga sangat mendongkol tetapi ia pandai bersandiwara, ia tidak mengutarakan kemurkaannya pada parasnya, sebaliknya ia tertawa, seperti juga ia pandang itulah lelucon.
Oey Yong sudah lantas lari pulang, untuk mengambil pakaian untuk ayahnya menukar pakaiannya yang basah dan bau itu. Ia pun membawa sepotong baju lain, baju ayahnya juga, yang mana ia serahkan pada Auwyang Hong.
Selesai dandan, kembali Oey Yok Su masuk ke dalam gua. Ia memeriksa dengan teliti. Sekarang tidak ada laigi lain jebakan. Ia periksa pula huruf-huruf tadi, di bagian yang ditutupi daun, di situ ia melihat dua baris huruf-huruf yang halus, bunyinya:
Daun ini jangan sekali-kali diangkat atau ditarik, sebab di atas ini ada air kencing yang bau yang dapat mengalir turun. Hati-hatilah, hati-hati, jangan menganggap bahwa kau telah tidak diberi ingat terlebih dulu!”
Oey Yok Su mendongkol berbareng geli di hati. Sebab ia telah menjadi korban dari keteledorannya sendiri. Tapi sekarang ini ia ingat suatu apa, ia seperti baru sadar. Ia ingat, diwaktu ia kena kesiram, ia merasakan air kencing itu masih rada hangat. Itu artinya orang pergi belum lama. Maka ia lantas lari keluar seraya berkata: “Loo Boan Tong pergi belum jauh, mari kita susul padanya!”
Kwee Ceng terkejut. Ia ketahui dengan baik, apabila mereka bertemu, pasti mereka bertempur. Hendak ia mencegah mertuanya. Tapi sudah kasep, Oey Yok Su sudah kabur ke timur.
Orang semua tahu jalanan di pulau ini luar biasa, mereka menyusul dengan lari sekeras-kerasnya. Kalau mereka ketinggalan jauh, mereka bisa mendapat susah.
Mereka berlari-lari tidak lama atau mereka tampak Ciu Pek Thong di sebelah depan mereka, jalannya perlahan-lahan.
Oey Yok Su menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat pesat dan jauh. Maka di lain saat ia sudah tiba di belakangnya orang kurungannya itu, sebelah tangannya dipakai untuk menyambar ke arah leher.
Ciu Pek Thong rupanya ketahui datangnya serangan, ia berkelit ke kiri seraya membalik tubuhnya, sembari memandang penyerangnya itu dan berkata: “Oh Oey Lao Shia yang harum semerbak!”
Sambarannya Oey Yok Su ini adalah sambaran yang ia telah latih selama beberapa puluh tahun, sebatnya luar biasa, akan tetapi Ciu Pek Thong dapat mengegosnya secara demikian sederhana, hatinya menjadi terkesiap. Ia tidak menyerang terlebih jauh, hanya ia mengawasi orang. Ia lantas menjadi heran. Ternyata kedua tangannya Ciu pek Thong terikat di depan dadanya, akan tetapi muka orang tersungging senyuman, sikapnya menyatakan orang bergembira sekali, saking puasnya hati.
Kwee Ceng sudah lantas maju setindak.
“Toako!” ia memanggil. “Sekarang ini tocu telah menjadi mertuaku, maka kita pun menjadi orang sendiri!”
Pek Thong menghela napas.
“Ah, mengapakah kau tidak dengar kataku?” katanya menyesal. “Oey Loa Shia ini sangat licik dan aneh, maka itu bisakah anak perempuannya satu anak yang boleh dibuat sahabat olehmu? Nanti, seumur hidupmu, akan kau merasakan kepahitan….”
Oey Yong maju mendekati, ia tertawa.
“Ciu Toako, lihat itu di belakangmu, siapa yang datang?” ia berkata.
Pek Thong segera menoleh, ia tidak melihat siapa juga.
Justru itu tangannya si nona melayang, menimpuk dengan baju bau dari ayahnya yang ia telah gumpal, mengarah punggung orang.
Loo Boan Tong benar-benar lihay. Ia mendengar suara angin, segera ia berkelit. Maka bungkusan itu jatuh ke tanah.
Melihat itu Pek Thong tertawa berlenggak-lenggak.
“Oey Lao Shia,” ia berkata, “Sudah kau kurung aku lamanya limabelas tahun, sudah kau siksa aku limabelas tahun juga, tetapi aku cuma membikin kau menginjak kotoran dua kali dan membajur kepalamu satu kali, kalau sekarang kita menyudahinya, apakah itu tidak pantas?”
Oey Yok Su tidak menjawab, ia hanya menanya; “Kau telah merusak kawat-kawat kurunganmu, kenapa sekarang kau mengikat kedua tanganmu?”
Inilah hal yang membikin ia tidak mengerti.
Pek Thong tertawa pula.
“Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri,” sahutnya singkat.
Ketika Ciu pek Thong baru-baru dikurung di dalam gua, beberapa kali hendak ia menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan Oey Yok Su, ia seperti sudah tidak dapat menahan sabar, hanya kemudian, ia mendapat satu pikiran baru. Ia pun sangsi akan dapat mengalahkan tocu dari Tho Hoa To itu. Lantas ia mencari kawat dengan apa ia membuat pagar di depan guanya, untuk dengan itu mengurung dirinya sendiri, kawat itu rapat seperti sarang laba-laba. Ia pun mengendalikan dirinya supaya ia jangan menuruti saja hatinya yang panas. Ia anggap beradat berangasan dapat merugikan diri sendiri. Sampai itu hari ia bertemu dengan Kwee Ceng dena mendengar perkataannya ini anak muda, yang ia angkat jadi saudaranya, ia mendapat ilham. Maka ia lantas menciptkan ilmu silatnya itu berkelahi seorang diri, kemudian bersama Kwee Ceng, ia bertempur dengan menggunai empat tangan mereka tetapi mereka memecah hati, hingga mereka jadi seperti empat orang… Maka juga sekarang, walaupun Oey Yok Su sangat lihay, tidak dapat ia melawan Pek Thong, yang bertubuh satu tetapi seperti terdiri dari dua Pek Thong. Setelah itu, Pek Thong memikirkan daya untuk membalas sakit hati pada Oey Lao Shia, yang sudah menyiksa padanya. Seperginya Kwee Ceng, ia duduk bersila di dalam guanya itu, dengan berdiam diri secara begitu, ia lantas teringat pada pengalamannya puluhan tahun, pengalaman senang dan susah, budi dan permusuhan, cinta dan benci. Ia tengah melayangkan pikirannya itu tatkala mendengar suara seruling serta suara ceng dicampur sama siulan panjang. Mendadak semangatnya menjadi terbangun hampir tak dapat ia menguasai diri. Ia menjadi murang-maring. Tapi pun ia lantas ingat pula sesuatu.
“Adik angkatku itu kalah ilmunya dengan aku tetapi kenapa ia tidak dapat etrgoda bujukannya seruling Oey Lao Shia?” demikian ia berpikir. Tadinya ia belum mengetahuinya sifatnya Kwee Ceng, setelah pergaulannya sekian lama, ia bagaikan sadar.
“Ya,ya!” mengertilah ia. “Dia sangat jujur dan polos, dia tidak punya pikiran sesat, tetapi aku, yang sudah berusia tinggi, masih aku berkutat memikir daya upaya untuk membalas dendaman! Kenapa aku menjadi begini cupat pikiran? Sungguh lucu!”
Pek Thong bukan penganut Coan Cin Kauw tetapi ia toh mengenal baik tujuan partai itu, yang bersikap tenang dan “tak berbuat sesuatu” (bu-wi), maka itu ia gampang sadar, pikirannya gampang terbuka. Begitulah sambil tertawa lama, ia berbangkit bangun. Ia melihat cuaca terang, mega putih memain di atas langit, dengan begitu hatinya pun menjadi terabg. Hanya sekejap itu, hilang ingatannya yang Oey Lao Shia sudah menyiksa ia selama limabelas tahun, ia pandang itu urusan tetek bengek. Tetapi dasar ia berandalan dan jenaka, ia toh berpikir: “Kali ini aku pergi, tidak nanti aku datang pula ke pulau Tho Hoa To ini, jikalau aku tidak meninggalkan sesuatu untuk Oey Lao Shia, si tua bnagka sesat itu, cara bagaimana nanti dia dapat mengingat hari kemudiannya?”
Segera setelah itu ia mendapat pikiran untuk mempermainkan pemilik Tho Hoa To itu. Dengan gembira ia membuat liang, ia menyetor kotoran perutnya di situ. Ia pun mengisikan beberapa botol dengan air kencingnya, yang ia gantung dengan sehelai benang, ia membuat pesawat rahasianya. Dengan mengungkit batu, ia meninggalkan surat peringatan itu. Habis itu baru ia pergi keluar dari gua. Baru jalan beberapa tindak, kembali ia ingat apa-apa.
“Jalanan di Tho Hoa To ini sangat aneh,” demikian pikirannya, “Kalau nanti Oey Lao Shia ketahui siang-siang buronku, dia dapat menyusul aku. Haha, Oey Lao Shia, jikalau kau hendak berkelahi, tidak nanti kau sanggup melawan aku….
Gembira orang tua ini, mendadak ia mengibas tangannya ke arah sebuah pohon kecil di sampingnya, lalu terdengar suara ambruk keras, ialah suara robohnya pohon itu yang terpapas kutung. Ia menjadi kaget sendirinya.
“Ah, bagaimana aku maju begini pesat?” ia tanya dirinya sendiri. Ia menjadi berdiam. Tidak lama, ia menyerang pula pohon di sampingnya, sampai beberapa pohon dan semua itu tertebas kutung, tanpa ia menggunai senjata tajam. Ia heran bukan main, hingga ia berseru: “Bukankah ini ilmu Kiu Im Cin-keng? Kapannkah aku melatihnya?”
Pek Thong menaati pesan Ong Tiong Yang, kakak seperguruannya itu, ia tidak berani mempelajari bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng, akan tetapi untuk mengajari Kwee Ceng, tanpa merasa ia seperti berlatih sendirinya. Diluar dugaannya ia telah berhasil. Saking kaget, ia berteriak-teriak seorang diri: “Celaka! Celaka! Ini dia yang dibilang setan masuk ke dalam tubuh, yang tak dapat di usir lagi!”
Maka ia lantas mengambil beberapa lembar babakan pohon yang ulet, ia membuatnya itu menjadi tambang, lalu dengan bantuan mulutnya, ia mengikat sendiri kedua tangannya. Di dalam hatinya ia berjanji: “Semenjak ini hari, jikalau aku tidak dapat melupakan bunyinya kitab itu, seumurku tidak akan aku berkelahi sama siapa juga! Biarnya Oey Lao Shia dapat menyandak aku, aku tidak bakal membalas, supaya aku tidak melanggar pesan suheng…!”
Sudah tentu Oey Yok Su tidak ketahui janjinya Pek Thong kepada dirinya sendiri itu, ia menyangka si tua bangka jenaka ini lagi bergurau. Maka itu ia berkata, memperkenalkan: “Loo Boan Tong! Inilah saudara Auwyang, yang kau telah kenal….dan ini….”
Belum lagi habis Oey Lao Shia berbicara, Ciu Pek Thong sudah jalan mengitari mereka, ia mencium pada tubuh setiap orang, kemudian ia berkata sambil tertawa: “Inilah tentunya si pengemis tua Ang Cit Kong, inilah aku dapat menerkanya! Sungguh Thian maha adil, maka juga air kencing cuma membajur Tong Shia serta See Tok berdua saja! Saudara Auwyang, tahun dulu itu pernah kau menghajar aku dengan tanganmu, sekarang aku membalasnya dengan banjuran air kencingku, dengan begitu impaslah kita, tidak ada salah satu yang rugi!”
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak menjawab, hanya ia berbisik kepada Oey Yok Su: “Saudara Yok, orang ini sangat lincah, terang sudah kepandaiannya berada di atasan kita, maka itu lebih baik kita jangan ganggu dia.”
Oey Yok Su tapinya berpikir; “Kita sudah tidak bertemu lamanya duapuluh tahun, mana kau ketahui kemajuanku tidak dapat melayani dia?” Maka terus ia berkata kepada Ciu Pek Thong: “Pek Thong, telah aku bilang padamu, asal kau mengajari aku Kiu Im Cin-keng, habis aku menyembahyangi istriku almarhum, akan aku merdekakan kau. Sekarang kau hendak pergi ke mana?”
“Sudah bosan aku berdiam di pulau ini, hendak aku pergi pesiar,” menyahut Pek Thong.
Oey Yok Su mengulurkan tangannya.
“Mana kitab itu?” dia minta.
“Toh sudah dari siang-siang aku memberikannya pada kau,” sahut Pek Thong.
“Kau ngaco belo! Kapan kau memberikannya?”
Pek Thong tertawa.
“Kwee Ceng khan baba mantumu, bukan?” dia balik menanya. “Apa yang menjadi kepunyaannya, bukankah menjadi kepunyaanmu juga? Aku telah ajari dia Kiu Im Cin-keng dari kepala sampai buntut, apa itu bukan sama saja seperti aku mengajari sendiri?”
Kwee Ceng terkejut.
“Toako!” tanyanya. “Benarkah itu Kiu Im Cin-keng?”
Ciu Pek Thong tertawa berkakakan.
“Mustahilkah yang palsu?” ia membaliki.
Oey Yok Su tetap heran.
“Kitab bagian atas memang ada pada kau,” ia berkata, “Habis darimana kau dapatinya yang bagian bawah?”
Lagi-lagi Pek Thong tertawa.
“Bukankah itu telah diberikan kepadaku oleh tangannya baba mantumu sendiri?” ia menanya pula.
Panas hatinya Tong Shia, ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, matanya tajam. Ia telah kata dalam hatinya: “Kwee Ceng bocah cilik, kau telah mempermainkan aku! Bukankah Bwee Tiauw Hong, si buta sampai sekarang masih berkutat mencari kitab itu?” Tapi lekas ia menoleh pula pada Pek Thong seraya berkata: “Aku menghendaki kitab yang tulen!”
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya menghadapi Kwee Ceng.
“Saudara, coba kau keluarkan kitab di dalam sakuku ini,” ia berkata kepada adik angkatnya itu.
Kwee Ceng menuruti, ia merogoh ke sakunya kakak angkat itu. Ia mengeluarkan sejilid buku tebal kira-kira setengah dim.
Pek Thong mengulur tangannya menyambuti kitab itu. Sekarang ia berpaling kepada Oey Yok Su.
“Inilah kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen bagian atas,” ia berkata. “Kitab bagian bawahnya pun terselip di dalam ini. Jikalau kau ada mempunyai kepandaian, nah kau ambillah!”
“Kepandaian apa aku harus gunai?” tanya Oey Yok Su.
Pek Thong menjepit buku dengan kedua tangannya, lalu ia memiringkan kepalanya.
“Nanti aku pikir dulu!” sahutnya. Ia terus berdiam sekian lama. Kemudian ia tertawa dan berkata: “Kepandaiannya si tukang tempel!”
“Apa?!” Oey Yok Su menegaskan, heran.
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya angkat kedua tangannya ke atas kepalanya, atas mana maka berterbanganlah banyak hancuran kertas, bagaikan kupu-kupu berselibaran, mengikuti tiupan angin, berhamburan ke empat penjuru, maka hanya sekejap habis semuanya buyar, entah kemana parannya….
Oey Yok Su murka berbareng kaget. Ia tidak menyangka begini hebat tenaga dalam dari Pek Thong, yang sanggup menjepit hancur kitab itu secara demikian hebat.
“Hai, bocah bangkotan yang nakal, kau mempermainkan aku!” dia membentak. “Hari ini jangan kau harap dapat berlalu dari pulauku ini!” Dan ia berlompat maju dengan serangannya.
Tubuhnya Pek Thong berkelit, lalu terhuyung ke kiri dan kanan, dengan begitu lewatlah serangannya Oey Yok Su di samping tubuhnya itu.
Tong Shia heran yang orang tidak melakukan pembalasan. Ia pun heran untuk caranya orang mengegos tubuh itu. Dilain pihak, ia pun sadar. Maka bertanyalah ia kepada dirinya sendiri. “Aku Oey Yok Su, apakah dapat aku melayani seorang yang kedua tangannya diikat?” Maka segera ia berlompat mundur tiga tindak.
“Loo Boan Tong, kakimu sudah sembuh atau belum?” ia menanya nyaring. “Aku terpaksa mesti berbuat tak pantas terhadapmu! Lekas kau putuskan ikatan pada kedua tanganmu itu, hendak aku belajar kenal dengan kau punya Kiu Im Cin-keng!”
Pek Thong berlaku sabar ketika ia menyahuti: “Tidak hendak aku mendustai kau. Aku ada mempunyai kesulitanku sendiri yang sukar untuk aku memberitahukannya. Ikatan pada tanganku ini, biar bagaimana juga, tidak dapat aku meloloskannya.”
“Biarlah aku yang memutuskannya!” kata Oey Yok Su. Dia maju, dia ulur tangannya.
Mendadak saja Pek Thong menjerit-jerit: “Tolong! Tolong!” Tapi di mulut ia berkoakan, tubuhnya sendiri lompat berjumpalitan, jatuh ke tanah, terus menggelinding beberapa gulingan.
Kwee Ceng kaget.
“Gakhu!” ia memanggil mertuanya. Ia pun maju, niatnya untuk mencegah.
Ang Cit Kong menarik tangan pemuda itu.
“Jangan berlaku tolol!” katanya perlahan.
Kwee Ceng berdiam, matanya mengawasi Ciu Pek Thong.
Si tua bangka jenaka dan berandalan itu bergulingan terus, bukan main lincahnya gerakannya itu. Oey Yok Su maju terus, dia memukul, dia menendang, tetapi tidak pernah dia mengenai sasarannya.
“Perhatikan gerak-geriknya!” Ang Cit Kong berbisik pula kepada muridnya.
Kwee Ceng terus memandang pula, segera ia menginsyafi kepandaian bergulingan dari Ciu Pek Thong itu. Itulah dia tipu silat yang di dalam kitab disebutnya “Coa heng lie hoan” atau “Ular menggeleser, rase jumpalitan”. Maka ia memasang matanya terus, ia memperhatikannya. Kapan ia menyaksikan di bagian yang indah, tanpa merasa ia berseru: “Bagus!”
Oey Yok Su menjadi penasaran sekali yang pelbagai serangannya itu menemui kegagalan, hatinya semakin panas, maka itu ia menyerang makin hebat. Dan hebatlah kesudahannya.
Tubuh Ciu Pek Thong tidak terkena pukulan tetapi bajunya saban-saban robek sepotong dengan sepotong, bahkan rambut dan kumisnya juga ada yang terputuskan serangan dahsyat tocu dari Tho Hoa To. Lama-lama ia pun menginsyafi bahaya yang mengancamnya. Salah sedikit saja, ia bisa celaka, tidak mati tentu terluka parah. Maka diakhirnya ia mengerahkan tenaganya, ia membuat ikatannya puus, habis mana dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia meraba ke punggungnya, akan menangkap seekor tuma, yang ia terus memasuki ke dalam mulutnya untuk digigit, menyusul mana ia berteriak-teriak: “Aduh! Aduh! Gatal sekali!”
Oey Yok Su terkejut juga disaat sangat terancam itu Pek Thong masih sanggup menangkap tuma dan terus bergurau, tetapi karena ia sangat penasaran, ia tidak menghentikan penyerangan, bahkan tiga kali beruntun ia menggunai pukulan-pukulan lawan.
Segera terdengarlah suara Ciu Pek Thong: “Dengan sebelah tanganku tidak dapat aku menangkis, mesti aku pakai dua-dua tanganku berbareng!” kata-kata ini disusuli sama gerakan dari kedua tangannya; Tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri menyambar kopiah lawan!
Didalam halnya tenaga dalam, sebenarnya Ciu Pek Thong kalah dari Oey Yok Su, maka juga tempo Tong Shia menangkis tangan kanan itu, dia lantas saja terhuyung, dia roboh setelah beberapa tindak. Tapi ia pun sebat, tangan kirinya sudah berhasil menyambar kopiahnya pemilik dari Tho Hoa To itu!
Oey Yok Su berlompat maju, dalam murkanya ia menyerang dengan kedua tangannya.
“Gunai dua-dua tanganmu!” dia berseru. “Sebelah tangan saja tak cukup!”
“Tidak bisa!” Pek Thong pun berseru. “Cukup dengan satu tangan!”
Oey Yok Su bertambah gusar.
“Baiklah!” serunya sengit. “Kau coba saja!” Ia melanjuti menyerang dengan dua tangannya itu, menghajar sebelah tangan lawan, yang dipakai menangkis.
Begitu kedua tangan bentrok, ebgitu terdengar suara keras. Begitu lekas juga Ciu Pek Thong jatuh terduduk, kedua matanya ditutup rapat.
Melihat begitu, Oey Yok Su tidak menyerang pula.
Cuma lewat sedetik, Ciu Pek Thong mengasih dengar satu suara, dari mulutnya muncrat darah hidup, mukanya pun menjadi pucat paci.
Semua orang heran dan tercengang. Mungkin Pek Thong tidak menang, tetapi belum tentu dia kalah. Maka, kenapa dia tidak hendak menggunai dua-dua tangannya?
Habis muntah darah, Pek Thong berbangkit dengan perlahan-lahan.
“Aku mempelajari Kiu Im Cin-keng diluar tahuku, tetapi meskipun demikian aku telah melanggar juga pesan kakak seperguruanku. Jikalau aku menggunai kedua-dua tanganku, Oey Lao Shia, pasti tidak nanti kau sanggup melawan aku.”
Oey Yok Su percaya kata-kata itu, ia membungkam. Ia pun merasa tidak enak sendirinya. Bukankah tanpa sebab ia sudah mengurung orang limabelas tahun dipulaunya itu dan sekarang ia melukakannya? Maka itu ia merogoh sakunya mengeluarkan satu kotak kumala, dari dalam situ ia mengambil tiga butir obat pulung warna merah, yang mana terus ia angsurkan kepada lawannya itu. Ia berkata: “Pek Thong, obat luka di kolong langit ini tidak ada yang melebihkan ini pil Siauw-hun-tan dari Tho Hoa To. Kau makan ini setiap tujuh hari sekali, lukamu bakal tidak mendatangkan bahaya. Sekarang, mari aku antar kau keluar dari pulauku ini.”
Pek Thong mengangguk. Ia sambuti pil itu, satu di antaranya ia lantas telan. Habis itu ia meluruskan napasnya.
Kwee Ceng sudah lantas berjongkok di samping toako ini, untuk menggendongnya, setelah mana ia berjalan mengikuti mertuanya hingga di tepi laut. Di muara tertampak enam atau tujuh buah perahu, besar dan kecil.
Auwyang Hong, yang mengikuti berkata kepada Oey Yok Su: “Saudara Yok, tidak usah kau menggunai lain perahu untuk mengantarkan Ciu Toako keluar dari pulau ini, aku minta dia suka naik perahuku saja.”
“Dengan begitu aku membikin kau berabe, saudara Hong”, menyahut Oey Yok Su menerima tawaran. Ia lantas memberi tanda kepada bujang gagu, maka bujang itu pergi masuk ke dalam sebuah perahu besar darimana dia membawa keluar sebuah penampan yang berisikan uang goanpo emas.
“Pek Thong, sedikit emas ini pergilah kau bawa untuk kau pakai,” berkata Oey Yok Su pada Loo Boan Tong. “Kau benar terlebih lihay dari Oey Lao Shia, aku takluk padamu!”
Pek Thong meram sejak tadi, perlahan-lahan ia membuka matanya. Kembali ia perlihatkan kenakalannya. Ia melihat ke perahunya Auwyang Hong, di kepala perahu itu dipancar bendera putih di mana ada di sulam dua ekor ular-ularan. Menyaksikan itu ia tidak senang.
Auwyang Hong menepuk tangannya, terus ia mengeluarkan seruling kayu yang ia tiup beberapa kali. Tidak lama dari situ, dari dalam rimba terdengar suara berisik sekali. Lalu terlihat dua bujang gagu memimpin beberapa pria berpakaian putih keluar dari rimba, mereka itu menggiring rombangan ularnya. Dengan menggeleser di beberapa lembar papan, yang dipasang di antara perahu dan pinggiran, semua binatang berlegot itu naik ke dalam perahu, berkumpul di dasarnya.
“Aku tidak mau duduk di perahunya See Tok!” berkata Pek Thong. “Aku takut ular!”
Oey Yok Su tersenyum.
“Kalau begitu, kau naiklah perahu itu!” ia kata, menunjuk ke sebuah perahu kecil di samping.
Ciu Pek Thong menggeleng kepala.
“Aku tidak sudi duduk di perahu kecil, aku menghendaki yang besar!” katanya sambil tangannya menunjuk.
Oey Yok Su agaknya terkejut.
“Pek Thong, perahu itu sudah rusak, belum dibetulin!” ia memberitahu. “Tidak dapat perahu itu dipakai.”
Orang semua lihat perahu itu besar dan indah, buntuntya tinggi, catnya yang kuning emas berkilauan. Terang itu ada sebuah perahu baru, tidak ada tanda-tandanya rusak.
Pek Thong sudah lantas membawa tingkahnya si bocah cilik.
“Tidak, tidak dapat aku tidak menaiki perahu itu!” katanya bersikeras. “Oey Lao Shia, mengapa kau begini pelit?”
“Perahu itu perahu sialan,” Oey Yok Su berkata, “Siapa menduduki itu, dia mesti celaka, kalau tidak sakit tentu dapat halangah, maka itu sudah lama dibiarkan saja tidak dipakai. Siapa bilang aku pelit? Jikalau kau tidak percaya, sekarang aku nanti bakar untuk kau lihat!”
Ia benar-benar memberi tanda kepada orang-orangnya, maka keempat bujang gagu lantas menyalakan api bersiap membakar perahu yang indah itu.
Mendadak Ciu Pek Thong menjatuhkan diri duduk di tanah, sambil mencabuti kumisnya ia menangis menggerung-gerung.
Melihat itu, orang semua terbengong. Cuma Kwee Ceng yang kenal tabiat orang, di dalam hatinya ia tertawa.
Habis menarik-narik kumisnya, Pek Thong terus bergulingan. Masih ia menangis.
“Aku hendak duduk perahu baru itu! Aku hendak duduk perahu baru itu!” teriaknya berulang-ulang.
Oey Yong lantas lari ke tepi laut, untuk mencegah si gagu mebakar perahu.
Ang Cit Kong tertawa, dia berkata: “Saudara Yok, aku si pengemis tua seumurnya sial dangkalan, biarlah aku temani Loo Boan Tong menaik itu perahu yang angker. Biarlah kita lawan jahat dengan jahat, biarlah kita coba bergulat, lihat saja, aku si pengemis tua yang apes atau perahumu yang angker itu yang benar-benar keramat!”
“Saudara Cit,” berkata Oey Yok Su. “Baiklah kau berdiam lagi beberapa hari di sini. Kenapa mesti buru-buru pergi?”
“Pengemis-pengemis besar, yang sedang, yang cilik, semuanya yang ada di kolong langit ini,” menyahuti Ang Cit Kong, “Tak berapa hari lagi bakal berapat di Gakyang di Ouwlam, untuk mendengari putusanku si pengemis tua yang hendak memilih ahli waris dari Kay Pang. Coba pikir kalau ada aral melintang terhadap aku si pengemis tua dan karenanya aku pulang ke langit, apabila tidak siang-siang aku memilih gantiku, bukankah semua pengemis menjadi tidak ada pemimpinnya? Maka itu si pengemis tua perlu lekas-lekas berangkat.”
Oey Yok Su menghela napas.
“Saudara Cit, kau sungguh baik!” ia berkata. “Seumur hidupmu, kau senantiasa bekerja untuk lain orang, kau bekerja tidak hentinya seperti kuda berlari-lari.”
Ang Cit Kong tertawa.
“Aku si pengemis tua tidak menunggang kuda, kakiku ini tidak terpisah dari tindakannya,” katanya. “Kau keliru! Nyata kau berputar-putar mendamprat orang! Kalau kakiku adalah kaki kuda, bukankah aku menjadi binatang?”
Oey Yong tertawa, dia campur bicara.
“Suhu, itulah kau sendiri yang mengatakannya, bukan ayahku!” bilangnya.
“Benar, guru tak sebagai ayah!” berkata Ang Cit Kong. “Biarlah besok aku menikah dengan seorang pengemis perempuan, agar lain tahun aku mendapat anak perempuan untuk kau lihat!”
Oey Yong bertepuk tangan, bersorak.
“Tak ada yang terlebih baik daripada itu!” serunya.
Auwyang Kongcu melirik kepada nona itu, di antara sinar matahari ia tampak satu paras yang cantik sekali, kulit yang putih dadu bagaikan bunga dimusim semi, atau sebagai sinar matahari indah diwaktu fajar. Mau atau tidak ia menjadi berdiri menjublak.
Ang Cit Kong sudah lantas mempepayang pada Ciu Pek Thong.
“Pek Thong,” katany. “Mari aku menemani kau menaiki itu perahu baru! Oey Lao Shia ada sangat aneh, maka itu kita berdua jangan kita kasih diri kita diiperdayakan!”
Ciu Pek Thong menjadi sangat girang.
“Pengemis tua, kau seorang baik!” katanya gembir. “Baiklah kita mengangkat saudara!”
Belum lagi Cit Kong menjawab, Kwee Ceng sudah datang sama tengah.
“Ciu Toako!” katanya. “Kau sudah angkat saudara denganku, bagaimana sekarang kau juga hendak mengangkat saudara dengan guruku?”
“Ada apakah halangannya?” Pek Thong tertawa. “Jikalau mertuamu mengijinkan aku naik perahunya yang baru, hatiku akan menjadi girang sekali, dengan dia pun suka aku mengangkat saudara!”
Sementara itu Cit Kong telah mencurigai Oey Yok Su. Ia berlaku jenaka tetapi hatinya berpikir. Kenapa Tong Shia menghalangi orang memakai perahunya yang besar dan indah itu? Bukankah di situ mesti ada terselip rahasia? Sebaliknya Ciu Pek Thong berkeras hendak menaiki perahu itu, apabila ada bahaya, seorang diri tidak nanti Pek Thong dapat membela dirinya. Bukankah Pek Thong tengah terluka di dalam badan? Maka itu ia anggap perlulah ia menemani untuk membantu apabila perlu.
“Hm!” Oey Yok Su memperdengarkan suara di hidung. “Kamu berdua lihay, aku pikir umpama kamu menghadapi bahaya, kamu bisa menyelamatkan diri, maka itu aku Oey Yok Su berkhawatir berlebih-lebihan. Kwee Sieheng, kau pun boleh ikut pergi bersama!”
Kwee Ceng terkejut saking herannya. Bukankah aneh mertua itu? Ia suka diakui sebagai mantu, ia sudah panggil “Ceng-jie” anak Ceng, tetapi sekarang panggilan itu diubah pula menjadi “sieheng” yang asing. Ia memandang mertuanya itu.
“Gakhu…” katanya.
“Bocah cilik yang termaha!” membentak Oey Yok Su. “Siapakah gakhumu?! Sejak hari ini, jikalau kau menginjak pula Tho Hoa To setindak, jangan kau sesalkan aku Oey Yok Su keterlaluan!”
Mendadak ia menyambar punggungnya satu bujang gagu di sampingnya seraya ia menambahkan: “Inilah contahnya!”
Bujang gagu itu sudah dipotong lidahnya, maka itu waktu ia menjerit, suaranya tidak keruan. Sampokan itu membuat tubuhnya terpelanting seperti terbang, terlempar ke laut di dalam mana ia lantas hilang tenggelam. Lebih dulu daripada itu semua anggota di dalam tubuhnya itu sudah hancur luluh.
Semua bujang lainnya menjadi akget dan ketakutan, mereka lantas pada berlutut.
Semua bujang yang ada di Tho Hoa To ini ada bangsa jahat dan tidak mengenal budi, tentang mereka itu, Oey Yok Su sudah mencari tahu jelas sekali, maka ia tawan mereka dan dibawa ke pulau, lidah mereka semua dikutungi dan kupingnya ditusuk hingga menjadi tuli, setelah itu ia wajibkan mereka melayani padanya. Ia sendiri pernah berkata: “Aku Oey Yok Su, aku bukannya seorang kuncu. Kaum kangouw menyebut aku Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka dengan sendirinya tak dapat aku bergaul sama bangsa budiman. Bujang-bujang, semakin ia jahat, semakin tepat untukku.”
Orang menghela napas menyaksikan ketelengasan tocu dari Tho Hoa To ini.
Kwee Ceng kaget dan heran, ia lantas menekuk lutut.
“Apakah dari dia yang tak mempuaskanmu?” Ang Cit Kong tanya Tong Shia.
Oey Yok Su tidak menjawab, hanya ia memandang Kwee Ceng dan menanya dengan bengis: “Bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu, bukankah kau yang memberikannya kepada Ciu Pek Thong?!”
“Ada sehelai barang yang aku berikan pada Ciu Toako, aku tidak tahu barang apa itu,” menyahut Kwee Ceng. “Jikalau aku tahu….”
Bagaikan orang yang tak tahu salatan, yang tak mengenal berat dan entengnya urusan , Ciu Pek Thong memotong kata-kata adik angkatnya itu. Hebat kegemarannya bergurau.
“Kenapa kau membilangnya tak tahu?” demikian selaknya. “Bukankah kau telah merampasnya itu dari Bwee Tiauw Hong dengan tanganmu sendiri? Syukur Oey Yok Su si tua bangka itu tidak mendapat tahu! Mestinya kau pun telah membilangnya kau telah paham kitab itu, bahwa selanjutnya di kolong langit ini tidak ada tandinganmu!”
Kwee Ceng kaget bukan main.
“Toako!” serunya. “Aku…aku kapannya pernah mengatakannya demikian?”
Ciu Pek Thong mendelik.
“Memangnya kau telah mengatakan demikian!” ia memastikan.
Kwee Ceng membaca Kiu Im Cin-keng tanpa mengetahui kitab itulah kitab ajaib itu, hal itu memang membuatnya orang tak percaya, maka sekarang dengan Ciu Pek Thong membebernya, Oey Yok Su menjadi seperti kalap, hingga ia tak ingat lagi si tua bangka berandalan itu lagi bergurau atau bukan, ia sebaliknya menganggap orang telah lenyap sikap kekanak-kanakannya dan tengah berbicara dengan sebenar-benarnya. Ia lantas saja memberi hormat kepada Pek Thong, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong: “Persilahkan!” katanya. Habis itu dengan menarik tangan Oey Yong, ia memutar tubuh untuk mengeloyor pergi.
Oey Yong hendak berbicara dengan Kwee Ceng, baru ia memanggil: “Engko Ceng!” ia sudah ditarik ayahnya beberapa tombak jauhnya, terus dengan cepat masuk dibawa ke dalam rimba.
Ciu Pek Thong tertawa bergelak, tapi mendadak ia merasakan dadanya sakit, ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia cuma berhenti sebentar, lantas ia tertawa pula. Ia kata: “Oey Lao Shia telah kena aku jual! Aku bergurau, dia kira itulah benar-benar!”
Cit Kong menjdai heran.
“Jadi benar tadinya Ceng-jie tidak ketahui halnya kitab itu?” ia tegaskan.
“Memang ia tidak tahu!” Pek Thong tertawa. “Dia hanya mengira itu latihan napas saja. Jikalau dia mengetahuinya lebih dulu, mana dia sudi belajar padaku? Adikku, kau sekarang telah ingat baik-baik isi kitab, bukan? Bukankah kau bakal tidak akan melupakannya pula?”
Setelah berkata demikian, Pek Thong tertawa pula, tetapi segera ia berjengkit kesakitan, wajahnya menyeringai. Lucunya sembari jalan ia tertawa dengan saban-saban manahan sakitnya…!
“Ah, Loo Boan Tong!” Ang Cit Kong membanting kakinya. “Bagaimana kau masih berguyon saja! Nanti aku bicara sama saudara Yok!”
Ia lari ke dalam rimba ke arah tadi Oey Yok Su berlalu dengan putrinya. Begitu ia memasuki, ia kehilangan itu ayah dan anak daranya. ia pun melihat jalan melintang tidak karuan, hingga tak tahu ia mesti mengambil jurusan yang mana. Semua bujang gagu pun bubar setelah berlalunya majikan mereka. Maka dengan terpaksa Ang Cit Kong kembali. Mendadak ia ingat Auwyang Kongcu ada mempunyakan peta Tho Hoa To.
“Auwyang Sieheng,” katanya lantas. “Aku minta sukalah kau memberi pinjam petamu sebentar.”
Pemuda itu menggeleng kepala.
“Tanpa perkenan dari Oey Peehu, siauwtit tidak berani meminjamkannya kepada lain orang,” Auwyang Kongcu menolak. “Harap Ang Peehu memaafkan aku.”
“Hm!” Cit Kong perdengarkan suara dinginnya. Lalu ia kata di dalam hatinya, “Benar-benar aku tolol! Mengapa aku hendak meminjam peta dari bocah ini? Dia justru menghendaki sangat supaya Oey Lao Shia membenci muridku!”
Ketika itu dari dalam rimba terlihat munculnya serombongan orang dengan seragam putih, yang diantar oleh seorang bujang gagu. Itulah tigapuluh dua nona-nona tukang menari dari Auwyang Hong dan mereka segera memberi hormat seraya menekuk lutut kepada Auwyang Hong itu sambil berkata: “Oey Laoya menitahkan kami turut looya pulang.”
Tanpa memandang lagi kepada mereka itu, Auwyang Hong menggeraki tangannya memberi tanda supaya mereka naik perahu, kemudian ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong seraya berkata: “Perahunya saudara Yok itu mungkin benar ada rahasianya, maka itu baiklah kamu legakan hatimu, nanti perahuku mengikutinya dari belakang, jikalau ada perlunya, akan aku memberikan bantuanku.”
“Siapa kesudian kau berbuat baik kepadaku?” bentak Ciu Pek Thong gusar. “Aku justru hendak mencoba-coba ada apakah yang aneh pada perahunya Oey Lao Shia ini! Jikalau kau mengikuti kita, habisnya tidak ada bahaya, tidak ada bencana, bukankah itu tidak ada artinya?”
Auwyang Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa.
“Baiklah!” sahutnya gembira. “Sampai kita bertemu pula!”
Ia memberi hormat, terus ia naik ke perahunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar