BAB 39
“Inilah
seperti bicaranya hantu atau malaikat, sungguh sangat samar,” pikirnya. “Rupanya
benar anakku berjodoh dengan bocah ini, maka segala-galanya terjadi secara
kebetulan sekali.”
Selagi
Tong Shia heran, Auwyang
Hong menlanjuti pertanyaannya.
“Sekarang
ini di mana adanya Ciu Pek Thong?” demikian tanyanya.
Kwee Ceng hendak memberikan
penyahutannya, ketika mertuanya memotong: “Anak Ceng,
tidak usah kau banyak omong.” Kemudian si Sesat dari Timur ini berpaling kepada
Auwyang Hong untuk mengatakan “Inilah urusan tidak
berarti, buat apa dibicarakan panjang-panjang? Saudara Hong,
saudara Cit, kita sudah duapuluh tahun tidak bertemu, marilah di pulauku ini
kita minum puas-puas selama tiga hari!”
Oey Yong pun segera berkata:
“Cit Kong-kong, nanti aku memasaki kau beberapa
rupa sayuran! Bunga teratai di sini bagus sekali, jikalau lembaran bunga itu
dimasak ayam tim campur lengkak segar dan daun teratai, pastilah rasanya lezat sekali! Dan kau tentulah akan sangat menyukainya!”
Ang Cit Kong tertawa lebar.
“Sekarang
telah tercapailah maksud hatimu!” katanya. “Lihat, bagaimana girangmu!”
Digoda
begitu, Oey Yong tertawa.
“Cit Kong-kong,
Auwyang Pepe, dan kau Auwyang Sieheng,
silahkan!” ia lantas mengundang. Ia membawa sikap manis
terhadap mereka semua, tak terkecuali Auwyang Kongcu.
Auwyang Hong menjura terhadap Oey Yok
Su.
“Saudara Yok,
aku menerima baik kebaikan hati kau ini,” ia berkata. “Saudara, di sini saja
kita berpisahan….”
“Saudara Hong,”
menyahut si tuan rumah, “Kau datang dari tempat yang jauh dan aku belum lagi
melakukan kewajibanku sebagai sahabat, mana bisa enak hatiku?”
Sama
sekali tidak ada niatnya Auwyang
Hong, berdiam lebih lama lagi,
karena ia telah putus asa. Sebenarnya ia datang bukan melulu untuk jodoh
keponakannya itu, lebih daripada itu, hendak ia sesudah pernikahannya sang
keponakan, bekerja sama Oey
Yok Su
mencari Kiu Im Cin-keng, kitab ajaib itu. Tidak demikian, sebagai ketua suatu
partai, mana sudi ia sembarang menaruh kaki di Tionggoan?
Pernikahan sudah gagal, ia pun lenyap harapannya, ia menjadi sangat tawar
hatinya. Tetapi
Auwyang Kongcu,
si keponakan berpikir lain.
“Paman,”
katanya Auwyang
Kongcu, “Keponakanmu tidak punya
guna, ia membikin kau malu, tetapi Oey Peehu
telah menjanjikannya hendak mengajari keponakanmu semacam ilmu kepandaian….”
Auwyang Hong mengasih dengar
suara “Hm!” Ia ketahui dengan baik belumlah padam cintanya si keponakan ini
terhadap Oey
Yong, maka juga si keponakan masih
hendak mencari ketika untuk bisa terus berdekatan dengan nona itu. Alasan
belajar ini adalah alasan yang paling baik. Si keponakan menjadi mungkin
mendapat ketika akan merayu-rayu hati Oey Yong
hingga si nona akhirnya terjatuh juga ke dalam pelukannya….”
Oey Yok Su dilain pihak jug
atidak puas hatinya. Ia telah memberikan janjinya itu karena ia percaya pasti
Auwyang Kongcu bakal lulus, maka hendak ia menurunkan semacam pelajaran kepada
Kwee Ceng, siapa tahu kesudahannya adalah kebalikannya dugaannya itu, ialah
Auwyang Kongcu yang jatuh.
“Auwyang Sieheng,”
ia lantas berkata, “Kepandaian pamanmu adalah yang terlihay di kolong langit
ini, tidak ada lain orang yang dapat menandanginya, karena ini adalah warisan
keluargamu sebenarnya tak usah kau mencari dari lain kaum. Hanya apa yang
dinamakan Co-to Pang-bun, yaitu ilmu golongan kiri atau sampingan, aku si tua
masih juga mempunyakannya sedikit, maka jikalau sieheng tidak mencelanya, yang
mana saja yang aku mengerti, suka aku mengajarkannya padamu.”
Auwyang Kongcu sudah lantas
berpikir; “Hendak aku memilih yang paling lama dipelajarinya, yang paling
meminta waktu. Tocu ini kabarnya mengerti ilmu Ngo-heng Ki-bun, baiklah aku
minta ilmu itu yang tak keduanya dikolong langit ini, yang tentunya tak habis
dipelajari dalam sehari semalam….” Maka ia lantas menjura dan berkata:
“Keponakanmu mengagumi ilmu Ngo-heng Ki-bun dari peehu, maka itu aku mohon
kebaikan budi peehu untuk mengajari saja aku ilmu itu.”
Oey Yok Su berdiam, tidak
lantas ia menjawab. Ia merasa sulit. Ngo-heng Ki-bun itulah kepandaiannya yang
paling utama, sekalipun kepada putrinya belum ia mewariskannya, maka itu cara bagaimana dapat ia menurunkannya kepada orang
luar? Tetapia ia sudah mengeluarkan kata-katanya, tak dapat ia menyesal atau
menarik pulang. Maka kemudian menyahutlah ia: “Ilmu Ki-bun itu menggenggam
banyak sekali, kau hendak mempelajari yang mana satu?”
Auwyang Kongcu cuma mengutamakan
dapat tinggal selama mungkin di pulau Tho Hoa To ini, maka itu ia menjawab;
“Keponakanmu melihat jalanan di Tho Hoa To ini sangat berliku-liku,
pepohonannya pun lebat sekali, aku menjadi sangat menganguminya, maka itu aku
mohon peehu sukalah memperkenankan aku tinggal di sini untuk beberapa bulan.
Dengan begitu maka keponakanmu jadi dapat ketika untuk belajar dengan sabar.”
Mendengar
itu, air mukanya Oey
Yok Su
berubah. Ia segera melirik kepada Auwyang Hong.
Di dalam hatinya, ia berpikir;
“Jadinya kau hendak menyelidiki rahasianya pulauku ini! Sebenarnya, apakah
maksud kamu?”
Auwyang Hong sangat cerdik,
mengertilah ia sudah akan keragu-raguannya tuan rumah itu. Maka lantas ia
menegur keponakannya: “Kau sungguh tidak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi! Tho Hoa To ini tercipta setelah peehumu menghabiskan hati dan darahnya,
pulau ini teratur begini sempurna, bahwa orang luar tidak berani menyerbunya
semua mengandal kepada lihaynya ini, dari itu mana dapat peehumu membebernya
kepada kau?”
Oey Yok Su tahu orang
menyindir, dengan dingin ia berkata: “Walaupun Tho Hoa To ada hanya sebuah
bukit yang gundul, orang di kolong langit ini belum tentu ada yang sanggup
mendatanginya untuk membikin celaka pada aku Oey Yok Su!”
Auwyang Hong tertawa.
“Aku
kesalahan omong, saudara Yok, maaf!” ia memohon.
“Hai,
saudara Racun, saudara Racun!” Ang
Cit Kong
tertawa dan turut berbicara. “Akalmu ini akal memancing kemarahan orang, kau
menggunainya dengan caramu yang kurang jujur!”
Oey Yok Su seperti habis akal,
ia selipkan seruling kumalanya di leher bajunya.
“Tuan-tuan,
silahkan turut aku!” ia mengundang.
Maka
itu berhentulah pembicaraan mereka.
Auwyang Kongcu ketahui tuan rumah
murka, ia melirik kepada pamannya.
Auwyang Hong mengangguk, lalu ia
bertindak mengikuti tuan rumah. Yang lain-lainnya pun turut mengikutinya.
Jalanan
berliku-liku, sekeluarnya dari rimba bambu itu, di depannya mereka terlihat
sebuah pengempang teratai yang besar, yang bunga teratainya sedang mekar
banyak, hingga di situ tersebarlah bau harum semerbak yang halus dari bunga
yang indah dan bersih itu. Daun-daun teratai pun terampas luas dan lebar. Di tengah-tengah pengempang ada sebuah jalanan yang
memotong untuk tiba di lain tepi, hingga dengan begitu pengempang itu menjadi
terbelah dua.
Oey Yok Su berjalan di jalanan
di tengah pengempang itu, ia memimpinnya orang banyak ke sebuah rumah yang
nampak terawat rapi sekali, yang tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang atau
bongkol pohon cemara yang tak dibuangi babakannya hingga nampak jadi wajar. Di luar itu pun merambat pohon-pohon rotan yang
beroyot. ketika itu ada di musim panas tetapi berada di dalam rumah itu, semua
orang mersakan adem.
Oey Yok Su mempersilahkan lebih
jauh keempat tetamunya masuk ke dalam kamar tulis dimana bujangnya yang gagu
segera menyuguhkan the, yang airnya berwarna hijau, tetapi setelah dihirup, teh
itu dingin bagaikan salju, meresap hingga ke ulu hati.
Ang
Cit Kong tertawa, ia berkata: “Orang bilang, sesudah tiga tahun menjadi
pengemis, berpangkat pun dia tak sudi, tetapi, saudara Yok, jikalau aku dapat
tinggal tiga tahun di dalam duniamu yang begini adem nyaman, menjadi pengemis
pun tak sudilah aku!”
“Saudara Cit,”
menyahut Oey
Yok Su,
“Jikalau benar kau sudi tinggal untuk suatu waktu denganku di sini, supaya kita
kakak beradik dapat minum arak dan mengobrol, itulah sungguh hal yang aku
memintanya pun tidak dapat.”
Ketarik
hatinya Ang Cit Kong
mendengar suara orang yang sungguh-sungguh itu.
Tetapi Auwyang Hong segera berkata;
“Kamu kedua tuan, jikalau kau sampai tidak berkelahi, tak usah sampai dua bulan
lamanya, pastilah kau berhasil menciptakan semacam ilmu pedang yang luar biasa
gaib!”
“Ha,
kau mengiri?” tanya Ang Cit
Kong tertawa.
“Tapi
aku bicara dari hal yang benar!” menyahut Auwyang Hong.
Kembali Ang Cit Kong tertawa.
“Ini
pun kata-katamu yang di hati lain di mulut lain!” bilangnya.
Dua
orang ini tidak bermusuh besar tetapi mereka saling mendendam, di antaranya Auwyang Hong
yang memikir dalam dan licik serta licik. Ang Cit Kong yang polos dan mulutnya
terbuka, kalau Cit Kong tidak memikir sesuatu, See Tok sebaliknya menyimpan
maksud, sebelum Ang Cit Kong mampus di tangannya, tak mau ia sudah. Hanya ia,
karena liciknya, wajahnya ia tidak kentarakan sesuatu. Demikian kali ini,
apapun yang Cit
Kong bilang, ia mengganda tertawa.
Oey Yok Su sudah menekan pada
suatu bagian dari mejanya itu, lalu terlihat di tembok sebelah barat ada sebuah
gambar san-sui atau panorama gunung dan air yang bergerak naik sendirinya,
setelah mana di situ lalu tertampak sebuah pintu rahasia. Ia mengulurkan
tangannya ke dalam pintu itu, untuk menarik keluar segulung kertas. Ia
mengusap-usap itu beberapa kali, kemudian ia memandang Auwyang Kongcu
seraya berkata: “Inilah peta lengkap dari Tho Hoa To. Di
pulau ini ada jalanan rahasia, jalan keder menuruti jurus patkwa, dan semua itu
tercatat di dalam peta ini, sekarang kau ambillah ini, untuk kau mempelajarinya
dengan seksama.”
Mendengar itu, pemuda itu hilang harapannya. Yang ia harap adalah
dapat tinggal lebih lama di Tho Hoa To, siapa tahu ia hanya diberikan sehelai
peta pulau. Ia merasa bahwa ia gagal, tetapi meski demikian, ia menjura untuk
menyambuti peta itu.
Oey Yok Su tidak segera
menyerahkan petanya itu.
“Tunggu
dulu!” katanya.
Auwyang Kongcu melengak, ia menarik
pulang tangannya yang sudah diulur itu.
“Setelah
kau mendapatkan peta ini,” berkata Oey Yok Su, “Kau mesti pergi ke Lim-an, dimana kau
mesti cari sebuah rumah penginapan atau kelenteng dimana kau dapat tinggal
menumpang. Selang tiga bulan, aku nanti perintah orang untuk mengambil pulang.
Peta ini cuma diingat dalam hati, aku larang kau membuat salinannya!”
Mendengar
itu, di dalam hatinya, si pemuda berkata: “Kau tidak mengijinkan aku tinggal di
pulaumu ini, siapa sudi memperdulikan segala ilmu sesatmu itu? Bagaimana dalam
tempo tiga bulan aku dapat menolongi kau menjagai kitabmu itu? Jikalau ada
kerusakan atau kehilangan, siapa yang dapat bertanggungjawab. Lebih baik aku
tidak mengerjalannya!” Hampir ia menampik, ketika mendadak sebuah pikiran lain
masuk ke dalam otaknya: “Dia kata hendak memerintah orang datang mengambilnya
nanti, tentulah ia bakal mengutus gadisnya ini. Ini pun ada suatu ketika baik
untuk berada dekat si nona….” Maka ia lantas mengubah pula pikirannya, terus ia
mengulur pula tangannya, menyambuti peta itu, yang ia masuki ke dalam sakunya.
Auwyang Hong segera mengangkat
kedua tangannya, untuk pamitan.
Oey Yok Su tidak menahan lagi,
malah ia segera mengantarkannya hingga di muka pintu.
“Saudara Berbisa,”
berkata Ang Cit Kong.
“Lain tahun di akhir tahun kembali tiba saatnya perundingan ilmu pedang di
gunung Hoa San, maka itu baik-baik saja kau memelihara dirimu, supaya nanti
kita dapat bertempur secara hebat!”
Auwyang Hong menyahuti dengan
tawar. Katanya: “Menurut aku baiklah kita tidak usah saling berebut lagi!
Sekarang ini pun sudah ada ketentuannya siapa yang bakal menjadi orang yang
ilmu silatnya paling lihay di kolong langit ini!”
“Eh, sudah ada orangnya?” menanya
Ang Cit Kong
heran. “Mungkinkah kau, saudara Beracun, sudah berhasil menciptakan semacam
ilmu silat baru yang tak ada bandingannya lagi?”
Auwyang Hong tersenyum.
“Apa
sih kebisaan dan kebijakasaannya Auwyang Hong
hingga dapat memperoleh gelaran orang yang ilmu silatnya nomor satu di kolong
langit ini?” ia berkata, “Yang aku maksudkan ialah orang yang telah memberi
pelajaran kepada Kwee
Sieheng ini.”
Mendengar
itu, Ang Cit Kong
tertawa.
“Adakah
kau maksudkan aku si pengemis bangkotan? Kalau benar, aku mesti
memikir-mikirnya dulu! Kepandaian saudara Yok bertambah sekian hari, kau
sendiri, saudara Berbisa, kau juga makin gagah dan panjang umur, sedang Toan
Hongya itu aku percaya dia juga tidak akan mensia-siakan kepandaiannya, maka
aku rasa, tinggallah aku si pengemis yang terbelakang.”
“Tetapi,
saudara Cit,” berkata Auwyang
Hong pula, “Di
antara orang-orang yang pernah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng
belum pasti kaulah yang terlihay…..”
“Apa?!”
menegaskan Ang
Cit Kong.
Ia baru mengucap sepatah itu, atau Oey Yok Su sudah memotong; “Ah, apakah kau
maksudkan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong si Bocah Bangkotan
yang nakal?”
Pertanyaan
ini diajukan kepada Auwyang
Hong.
“Benar!”
menyahut See Tok cepat. “Karena Loo Boan Tong sudah pandai ilmu Kiu Im
Cin-keng, maka kita si Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kita semua
bukan lagi tandingan dia!”
“Hal
itu belumlah pasti,” berkata Tong Shia, “Kitab itu mati, ilmu silat itu hidup!”
Senang
See Tok mendengar perkataan tuan rumah. Mulanya ia tidak puas, ialah ketika
Tong Shia mencoba menyimpangi pertanyaannya kepada Kwee Ceng tentang di mana
adanya Ciu Pek Thong. Sekarang muncullah pula soalnya Ciu Pek Thong itu. Karena
ia pandai bersandiwara, ia tidak menyatakan sesuatu pada wajahnya, bahkan
sengaja dengan tawar ia kata; “Ilmu silat Coan Cin Pay lihay sekali, kita semua
pernah belajar kenal dengannya, maka kalau Loo oan Tong ditambah dengan Kiu Im
Cin-keng, umpama kata Ong Tiong Yang hidup pula, belum tentu ia sanggup
menandingi adik seperguruannya ini, jangan kata pula kita si segala tua
bangka!”
“Mungkin
Loo Boan Tong lihay melebihkan aku tetapi tidak nanti melebihkan kau, saudara
Hong,” berkata Oey
Yok Su.
Ia tidak mau menyebutnya “Saudara Beracun” seperti Ang Cit Kkong. “Inilah aku tahu pasti.”
“Jangan
kau merendah, saudara Yok,” berkata See Tok. “Kita berdua adalah setengah kati
sama dengan delapan tail. Kalau kau membilang seperti katamu barusan, maka
teranglah ilmu silatnya Ciu Pek Thong tak dapat melampaui kau! Ini, aku
khawatir…..”
Ia
lantas berhenti, kepalanya digelengka berulang-ulang.
Oey Yok Su bersenyum.
“Lihat
saja di Hoa San lain tahun!” katanya. “Di
sana saudara
Hong akan mengetahuinya sendiri!”
Auwyang Hong mengawasi, ia
mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
“Saudara Yok,
ilmu silatmu telah lama aku mengaguminya,” katanya, “Akan tetapi jikalau kau
bilang kau dapat mengalahkan Ciu Pek Thong, sungguh aku sangsi. Jangan kau
memandang enteng kepada si tua bangka berandalan itu…”
Biar
bagaimana, Oey
Yok Su
kena dipancing panas hatinya oleh See Tok.
“Kau
tahu, Loo Boan Tong berada di pulau Tho Hoa To ini!” katanya nyaring. “Sudah lima belas tahun lamanya
aku mengurung dia!”
Mendengar
itu, dua-dua Auwyang
Hong dan Ang Cit Kong terperanjat. Hanya si Bisa dari Barat
sudah lantas tertawa bergelak.
“Saudara Yok
gemar sekali bergurau,” katanya.
“Mari!” berkata Oey Yok Su yang tidak sudi berbicara lebih banyak
lagi, tangannya pun menunjuk, bahkan dia berjalan di depan, dengan tindakan
yang cepat, hingga bagaikan terbang dia jalan molos di rimba bambu.
Ang Cit Kong mengikuti, sebelah
tangannya menuntun Kwee ceng, sebelah yang lain Oey Yong.
Auwyang Hong pun menarik tangan
keponakannya.
Semua
mereka menggunai ilmu mereka meringankan tubuh.
Hanya
sebentar, mereka sudah sampai di muka gua di mana Ciu Pek Thong dikurung, hanya
setibanya dis itu, Oey
Yok Su
menperdengarkan suara kaget. ia telah mendapat lihat rusaknya kawat-kawat
kurungan di muka gua. Dengan satu enjotannya ia lompat, ke muka gua sekali,
yang segalanya sunyi dan tak nampak sekalipun bayangannya si bocah bangkotan
yang lucu itu.
Dengan
kaki kirinya, Tong Shia menginjak tanah, atau tiba-tiba ia terperanjat. Ia
merasakan kakinya itu seperti menginjak barang lembek dan tanah kosong. Tapi ia
telah sempurna ilmunya enteng tubuh, maka lekas menyusullah kaki kanannya,
hingga ia dapat berlompat, masuk ke dalam gua.
Sekarang
ia melihat dengan tegas kosongnya gua itu. Tapi yang hebat adalah kakinya
kembali menginjak tanah lembek dan kosong seperti tadi. Tentu sekali, tidak
dapat ia menaruh kakinya. Maka ia lantas mengasih keluar serulingnya, menggunai
itu untuk menekan dan menolak tembok gua, dengan begitu tubuhnya pun melesat
keluar.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong
bersorak memuji menyaksikan indahnya tubuh yang ringan dari si Sesat dari Timur
ini. Tapi ketika Oey Yok Su menaruh kakinya di luar gua, kakinya itu
memperdengarkan satu suara, sebab kaki itu melesak masuk ke dalam sebuah liang.
Kaget
Tong Shia. Ia merasakan kakinya basah atau demak. Kembali ia mencelat naik.
Diwaktu itu ia melihat Cit Kong dan Auwyang Hong
beramai telah tiba di muka mulut gua di mana mereka itu menginjak tanah tanpa
kurang suatu apa, karena itu ia lantas turun di samping putrinya. Hampir di itu
waktu, ia mendapat cium bau busuk. Ia menunduk untuk melihat. Untuk
mendongkolnya, ia mendapatkan kedua kakinya penuh dengan kotoran manusia.
Semua
orang menjadi heran, kenapa Oey
Yok Su
kena orang akali.
Dalam
murkanya Oey
Yok Su
menyambar sebatang cabang pohon, dengan itu ia menyerang tanah ke barat dan ke
timur, akan mencari tahu tanah kosong semua atau tidak. Habisnya kecuali tiga
tempat yang ia injak tadi, lainnya tanah berisi dan keras. Maka tahulah ia
sekarang, ketika Ciu pek Thong meloloskan diri, dia sudah menginjak tanah
dengan hebat, membuat tiga liang itu, habis mana,
semua ketiga liang dipakai jongkok untuk membuang
kotoran dari dalam perutnya….
Dengan
penasaran, Oey
Yok Su
bertindak masuk pula ke dalam gua. Tidak ada barang lainnya di situ kecuali
beberapa botol dan mangkok. Hanya di tembok terlihat huruf-huruf yang
samar-samar.
Auwyang
Hong tertawa di dalam hati menyaksikan Tong Shia “terjebak” itu, tetapi
sekarang, melihat orang memperhatikan tembok, ia heran, maka ia bertindak
mendekati hingga dekat sekali. Di
tembok gua itu tertampak ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
“Oey
Lao Shia!
Kau
telah menghajar patah kedua kakiku, kau sudah mengurung aku limabelas tahun di
dalam gua ini, sebenarnya aku pun mesti menghajar patah juga kedua kakimu, baru
aku puas, tetapi kemudian, setelah aku memikir masak-masak, sukalah aku memberi
ampun padamu, dan urusan kita boleh disudahi saja. Hanya dengan ini aku
menyuguhkan kau tumpukan-tumpukan besar dari kotoran serta beberapa botol air
kencing. Silahkan kau memakainya. Silahkan….!”
Di bawah itu ada
diletaki daun, hingga empat huruf ukiran itu menjadi ketutupan.
Oey Yok Su ingin tahu, ia
pegang daun itu, untuk diangkat. Dibawah daun itu ada sehelai benang, karena
daun diangkat, benang itu kena terpegang dan ketarik. Mendadak saja terdengar
suara di atasan kepala mereka. Oey
Yok Su
sadar, segera ia berlompat menyingkir ke kiri.
Auwyang Hong, si licik sudah
lantas turut melompat, ke kanan. Hanya berbareng dengan itu, terdengarlah suara
nyaring di atasan kepala mereka, dari sana
jatuh beberapa botol yang mengeluarkan air, maka juga mereka lantas kena
tersiram, hingga kepala mereka basah dan bau air kencing.
Menyaksikan
itu Ang Cit Kong
tertawa berkakakan.
“Sungguh
harum! Sungguh harum!” katanya.
Oey Yok Su murka dan mendongkol
sekali sehingga ia tidak dapat tidak mememtang mulutnya untuk mencaci.
See
Tok juga sangat mendongkol tetapi ia pandai bersandiwara, ia tidak mengutarakan
kemurkaannya pada parasnya, sebaliknya ia tertawa, seperti juga ia pandang
itulah lelucon.
Oey Yong sudah lantas lari
pulang, untuk mengambil pakaian untuk ayahnya menukar pakaiannya yang basah dan
bau itu. Ia pun membawa sepotong baju lain, baju ayahnya juga, yang mana ia
serahkan pada Auwyang
Hong.
Selesai
dandan, kembali Oey
Yok Su
masuk ke dalam gua. Ia memeriksa dengan teliti. Sekarang tidak ada laigi lain
jebakan. Ia periksa pula huruf-huruf tadi, di bagian yang ditutupi daun, di
situ ia melihat dua baris huruf-huruf yang halus, bunyinya:
Daun
ini jangan sekali-kali diangkat atau ditarik, sebab di atas ini ada air kencing
yang bau yang dapat mengalir turun. Hati-hatilah, hati-hati, jangan menganggap
bahwa kau telah tidak diberi ingat terlebih dulu!”
Oey Yok Su mendongkol berbareng
geli di hati. Sebab ia telah menjadi korban dari keteledorannya sendiri. Tapi
sekarang ini ia ingat suatu apa, ia seperti baru sadar. Ia ingat, diwaktu ia
kena kesiram, ia merasakan air kencing itu masih rada hangat. Itu artinya orang
pergi belum lama. Maka ia lantas lari keluar seraya berkata: “Loo Boan Tong
pergi belum jauh, mari kita susul
padanya!”
Kwee Ceng terkejut. Ia ketahui
dengan baik, apabila mereka bertemu, pasti mereka bertempur. Hendak ia mencegah
mertuanya. Tapi sudah kasep, Oey
Yok Su
sudah kabur ke timur.
Orang
semua tahu jalanan di pulau ini luar biasa, mereka menyusul dengan lari
sekeras-kerasnya. Kalau mereka ketinggalan jauh, mereka bisa mendapat susah.
Mereka
berlari-lari tidak lama atau mereka tampak Ciu Pek Thong di sebelah depan
mereka, jalannya perlahan-lahan.
Oey Yok Su menjejak tanah,
tubuhnya lantas mencelat pesat dan jauh. Maka di lain saat ia sudah tiba di
belakangnya orang kurungannya itu, sebelah tangannya dipakai untuk menyambar ke
arah leher.
Ciu
Pek Thong rupanya ketahui datangnya serangan, ia berkelit ke kiri seraya
membalik tubuhnya, sembari memandang penyerangnya itu dan berkata: “Oh Oey Lao
Shia yang harum semerbak!”
Sambarannya
Oey Yok Su ini adalah sambaran yang ia telah latih selama beberapa puluh tahun,
sebatnya luar biasa, akan tetapi Ciu Pek Thong dapat mengegosnya secara
demikian sederhana, hatinya menjadi terkesiap. Ia tidak menyerang terlebih
jauh, hanya ia mengawasi orang. Ia lantas menjadi heran. Ternyata kedua
tangannya Ciu pek Thong terikat di depan dadanya, akan tetapi muka orang
tersungging senyuman, sikapnya menyatakan orang bergembira sekali, saking
puasnya hati.
Kwee Ceng sudah lantas maju
setindak.
“Toako!”
ia memanggil. “Sekarang ini tocu telah menjadi mertuaku, maka kita pun menjadi
orang sendiri!”
Pek
Thong menghela napas.
“Ah,
mengapakah kau tidak dengar kataku?” katanya menyesal. “Oey Loa Shia ini sangat
licik dan aneh, maka itu bisakah anak perempuannya satu anak yang boleh dibuat
sahabat olehmu? Nanti, seumur hidupmu, akan kau merasakan kepahitan….”
Oey Yong maju mendekati, ia
tertawa.
“Ciu Toako,
lihat itu di belakangmu, siapa yang datang?” ia berkata.
Pek
Thong segera menoleh, ia tidak melihat siapa juga.
Justru
itu tangannya si nona melayang, menimpuk dengan baju bau dari ayahnya yang ia
telah gumpal, mengarah punggung orang.
Loo
Boan Tong benar-benar lihay. Ia mendengar suara angin, segera ia berkelit. Maka
bungkusan itu jatuh ke tanah.
Melihat
itu Pek Thong tertawa berlenggak-lenggak.
“Oey
Lao Shia,” ia berkata, “Sudah kau kurung aku lamanya limabelas tahun, sudah kau
siksa aku limabelas tahun juga, tetapi aku cuma membikin kau menginjak kotoran
dua kali dan membajur kepalamu satu kali, kalau sekarang kita menyudahinya,
apakah itu tidak pantas?”
Oey Yok Su tidak menjawab, ia
hanya menanya; “Kau telah merusak kawat-kawat kurunganmu, kenapa sekarang kau
mengikat kedua tanganmu?”
Inilah
hal yang membikin ia tidak mengerti.
Pek
Thong tertawa pula.
“Dalam
hal ini aku mempunyai alasanku sendiri,” sahutnya singkat.
Ketika
Ciu pek Thong baru-baru dikurung di dalam gua, beberapa kali hendak ia
menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan Oey Yok Su, ia seperti sudah tidak
dapat menahan sabar, hanya kemudian, ia mendapat satu pikiran baru. Ia pun
sangsi akan dapat mengalahkan tocu dari Tho Hoa To itu. Lantas ia mencari kawat
dengan apa ia membuat pagar di depan guanya, untuk dengan itu mengurung dirinya
sendiri, kawat itu rapat seperti sarang laba-laba. Ia pun mengendalikan dirinya
supaya ia jangan menuruti saja hatinya yang panas. Ia anggap beradat berangasan
dapat merugikan diri sendiri. Sampai itu hari ia bertemu dengan Kwee Ceng
dena mendengar perkataannya ini
anak muda, yang ia angkat jadi saudaranya, ia mendapat ilham. Maka ia lantas
menciptkan ilmu silatnya itu berkelahi seorang diri, kemudian bersama Kwee Ceng, ia
bertempur dengan menggunai empat tangan mereka tetapi mereka memecah hati,
hingga mereka jadi seperti empat orang… Maka juga sekarang, walaupun Oey Yok
Su sangat lihay, tidak dapat ia
melawan Pek Thong, yang bertubuh satu tetapi seperti terdiri dari dua Pek
Thong. Setelah itu, Pek Thong memikirkan daya untuk membalas sakit hati pada
Oey Lao Shia, yang sudah menyiksa padanya. Seperginya Kwee Ceng, ia duduk
bersila di dalam guanya itu, dengan berdiam diri secara begitu, ia lantas
teringat pada pengalamannya puluhan tahun, pengalaman senang dan susah, budi
dan permusuhan, cinta dan benci. Ia tengah melayangkan pikirannya itu tatkala
mendengar suara seruling serta suara ceng dicampur sama siulan panjang.
Mendadak semangatnya menjadi terbangun hampir tak dapat ia menguasai diri. Ia
menjadi murang-maring. Tapi pun ia lantas ingat pula sesuatu.
“Adik
angkatku itu kalah ilmunya dengan aku tetapi kenapa ia tidak dapat etrgoda
bujukannya seruling Oey Lao Shia?” demikian ia berpikir. Tadinya ia belum
mengetahuinya sifatnya Kwee Ceng, setelah pergaulannya sekian lama, ia bagaikan
sadar.
“Ya,ya!”
mengertilah ia. “Dia sangat jujur dan polos, dia tidak punya pikiran sesat,
tetapi aku, yang sudah berusia tinggi, masih aku berkutat memikir daya upaya
untuk membalas dendaman! Kenapa aku menjadi begini cupat pikiran? Sungguh
lucu!”
Pek
Thong bukan penganut Coan Cin Kauw tetapi ia toh mengenal baik tujuan partai
itu, yang bersikap tenang dan “tak berbuat sesuatu” (bu-wi), maka itu ia
gampang sadar, pikirannya gampang terbuka. Begitulah sambil tertawa lama, ia
berbangkit bangun. Ia melihat cuaca terang, mega putih memain di atas langit,
dengan begitu hatinya pun menjadi terabg. Hanya sekejap itu, hilang ingatannya
yang Oey Lao Shia sudah menyiksa ia selama limabelas tahun, ia pandang itu
urusan tetek bengek. Tetapi dasar ia berandalan dan jenaka, ia toh berpikir:
“Kali ini aku pergi, tidak nanti aku datang pula ke pulau Tho Hoa To ini,
jikalau aku tidak meninggalkan sesuatu untuk Oey Lao Shia, si tua bnagka sesat
itu, cara bagaimana nanti dia dapat mengingat hari kemudiannya?”
Segera
setelah itu ia mendapat pikiran untuk mempermainkan pemilik Tho Hoa To itu.
Dengan gembira ia membuat liang, ia menyetor kotoran perutnya di situ. Ia pun
mengisikan beberapa botol dengan air kencingnya, yang ia gantung dengan sehelai
benang, ia membuat pesawat rahasianya. Dengan mengungkit batu, ia meninggalkan surat peringatan itu.
Habis itu baru ia pergi keluar dari gua. Baru jalan beberapa tindak, kembali ia
ingat apa-apa.
“Jalanan
di Tho Hoa To ini sangat aneh,” demikian pikirannya, “Kalau nanti Oey Lao Shia
ketahui siang-siang buronku, dia dapat menyusul aku. Haha, Oey Lao Shia,
jikalau kau hendak berkelahi, tidak nanti kau sanggup melawan aku….
Gembira
orang tua ini, mendadak ia mengibas tangannya ke arah sebuah pohon kecil di
sampingnya, lalu terdengar suara ambruk keras, ialah suara robohnya pohon itu
yang terpapas kutung. Ia menjadi kaget sendirinya.
“Ah,
bagaimana aku maju begini pesat?” ia tanya
dirinya sendiri. Ia menjadi berdiam. Tidak lama, ia menyerang pula pohon di
sampingnya, sampai beberapa pohon dan semua itu tertebas kutung, tanpa ia
menggunai senjata tajam. Ia heran bukan main, hingga ia berseru: “Bukankah ini
ilmu Kiu Im Cin-keng? Kapannkah aku melatihnya?”
Pek
Thong menaati pesan Ong Tiong Yang, kakak seperguruannya itu, ia tidak berani
mempelajari bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng, akan tetapi untuk mengajari Kwee
Ceng, tanpa merasa ia seperti berlatih sendirinya. Diluar dugaannya ia telah
berhasil. Saking kaget, ia berteriak-teriak seorang diri: “Celaka! Celaka! Ini
dia yang dibilang setan masuk ke dalam tubuh, yang tak dapat di usir lagi!”
Maka
ia lantas mengambil beberapa lembar babakan pohon yang ulet, ia membuatnya itu
menjadi tambang, lalu dengan bantuan mulutnya, ia mengikat sendiri kedua
tangannya. Di dalam hatinya ia
berjanji: “Semenjak ini hari, jikalau aku tidak dapat melupakan bunyinya kitab
itu, seumurku tidak akan aku berkelahi sama siapa juga! Biarnya Oey Lao Shia
dapat menyandak aku, aku tidak bakal membalas, supaya aku tidak melanggar pesan
suheng…!”
Sudah
tentu Oey Yok Su
tidak ketahui janjinya Pek Thong kepada dirinya sendiri itu, ia menyangka si
tua bangka jenaka ini lagi bergurau. Maka itu ia berkata, memperkenalkan: “Loo
Boan Tong! Inilah saudara Auwyang, yang kau telah kenal….dan ini….”
Belum
lagi habis Oey Lao Shia berbicara, Ciu Pek Thong sudah jalan mengitari mereka,
ia mencium pada tubuh setiap orang, kemudian ia berkata sambil tertawa: “Inilah
tentunya si pengemis tua Ang
Cit Kong,
inilah aku dapat menerkanya! Sungguh
Thian maha adil, maka juga air
kencing cuma membajur Tong Shia serta See Tok berdua saja! Saudara Auwyang,
tahun dulu itu pernah kau menghajar aku dengan tanganmu, sekarang aku
membalasnya dengan banjuran air kencingku, dengan begitu impaslah kita, tidak
ada salah satu yang rugi!”
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak
menjawab, hanya ia berbisik kepada Oey Yok Su: “Saudara Yok,
orang ini sangat lincah, terang sudah kepandaiannya berada di atasan kita, maka
itu lebih baik kita jangan ganggu dia.”
Oey Yok Su tapinya berpikir;
“Kita sudah tidak bertemu lamanya duapuluh tahun, mana kau ketahui kemajuanku
tidak dapat melayani dia?” Maka terus ia berkata kepada Ciu Pek Thong: “Pek
Thong, telah aku bilang padamu, asal kau mengajari aku Kiu Im Cin-keng, habis
aku menyembahyangi istriku almarhum, akan aku merdekakan kau. Sekarang kau
hendak pergi ke mana?”
“Sudah
bosan aku berdiam di pulau ini, hendak aku pergi pesiar,” menyahut Pek Thong.
Oey Yok Su mengulurkan
tangannya.
“Mana
kitab itu?” dia minta.
“Toh
sudah dari siang-siang aku memberikannya pada kau,” sahut Pek Thong.
“Kau
ngaco belo! Kapan kau memberikannya?”
Pek
Thong tertawa.
“Kwee Ceng
khan baba mantumu, bukan?” dia balik menanya. “Apa yang menjadi kepunyaannya,
bukankah menjadi kepunyaanmu juga? Aku telah ajari dia Kiu Im Cin-keng dari
kepala sampai buntut, apa itu bukan sama saja seperti aku mengajari sendiri?”
Kwee Ceng terkejut.
“Toako!”
tanyanya. “Benarkah itu Kiu Im Cin-keng?”
Ciu
Pek Thong tertawa berkakakan.
“Mustahilkah
yang palsu?” ia membaliki.
Oey Yok Su tetap heran.
“Kitab
bagian atas memang ada pada kau,” ia berkata, “Habis darimana kau dapatinya
yang bagian bawah?”
Lagi-lagi
Pek Thong tertawa.
“Bukankah
itu telah diberikan kepadaku oleh tangannya baba mantumu sendiri?” ia menanya
pula.
Panas
hatinya Tong Shia, ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng,
matanya tajam. Ia telah kata dalam hatinya: “Kwee Ceng
bocah cilik, kau telah mempermainkan aku! Bukankah Bwee
Tiauw Hong,
si buta sampai sekarang masih berkutat mencari kitab itu?” Tapi lekas ia
menoleh pula pada Pek Thong seraya berkata: “Aku menghendaki kitab yang tulen!”
Pek
Thong tidak menyahuti, ia hanya menghadapi Kwee Ceng.
“Saudara,
coba kau keluarkan kitab di dalam sakuku ini,” ia berkata kepada adik angkatnya
itu.
Kwee Ceng menuruti, ia merogoh
ke sakunya kakak angkat itu. Ia mengeluarkan sejilid buku tebal kira-kira
setengah dim.
Pek
Thong mengulur tangannya menyambuti kitab itu. Sekarang ia berpaling kepada Oey Yok
Su.
“Inilah
kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen bagian atas,” ia berkata. “Kitab bagian
bawahnya pun terselip di dalam ini. Jikalau kau ada mempunyai kepandaian, nah
kau ambillah!”
“Kepandaian
apa aku harus gunai?” tanya Oey Yok
Su.
Pek
Thong menjepit buku dengan kedua tangannya, lalu ia memiringkan kepalanya.
“Nanti
aku pikir dulu!” sahutnya. Ia terus berdiam sekian lama. Kemudian ia tertawa
dan berkata: “Kepandaiannya si tukang tempel!”
“Apa?!”
Oey Yok Su
menegaskan, heran.
Pek
Thong tidak menyahuti, ia hanya angkat kedua tangannya ke atas kepalanya, atas
mana maka berterbanganlah banyak hancuran kertas, bagaikan kupu-kupu
berselibaran, mengikuti tiupan angin, berhamburan ke empat penjuru, maka hanya
sekejap habis semuanya buyar, entah kemana parannya….
Oey Yok Su murka berbareng
kaget. Ia tidak menyangka begini hebat tenaga dalam dari Pek Thong, yang
sanggup menjepit hancur kitab itu secara demikian hebat.
“Hai,
bocah bangkotan yang nakal, kau mempermainkan aku!” dia membentak. “Hari ini
jangan kau harap dapat berlalu dari pulauku ini!” Dan
ia berlompat maju dengan serangannya.
Tubuhnya
Pek Thong berkelit, lalu terhuyung ke kiri dan kanan, dengan begitu lewatlah
serangannya Oey
Yok Su
di samping tubuhnya itu.
Tong
Shia heran yang orang tidak melakukan pembalasan. Ia pun heran untuk caranya
orang mengegos tubuh itu. Dilain pihak, ia pun sadar. Maka bertanyalah ia
kepada dirinya sendiri. “Aku
Oey Yok
Su, apakah dapat aku melayani
seorang yang kedua tangannya diikat?” Maka segera ia berlompat mundur tiga
tindak.
“Loo
Boan Tong, kakimu sudah sembuh atau belum?” ia menanya nyaring. “Aku terpaksa
mesti berbuat tak pantas terhadapmu! Lekas kau putuskan ikatan pada kedua
tanganmu itu, hendak aku belajar kenal dengan kau punya Kiu Im Cin-keng!”
Pek
Thong berlaku sabar ketika ia menyahuti: “Tidak hendak aku mendustai kau. Aku
ada mempunyai kesulitanku sendiri yang sukar untuk aku memberitahukannya.
Ikatan pada tanganku ini, biar bagaimana juga, tidak dapat aku meloloskannya.”
“Biarlah
aku yang memutuskannya!” kata Oey
Yok Su.
Dia maju, dia ulur tangannya.
Mendadak
saja Pek Thong menjerit-jerit: “Tolong! Tolong!” Tapi di mulut ia berkoakan,
tubuhnya sendiri lompat berjumpalitan, jatuh ke tanah, terus menggelinding
beberapa gulingan.
Kwee Ceng kaget.
“Gakhu!”
ia memanggil mertuanya. Ia pun maju, niatnya untuk mencegah.
Ang Cit Kong menarik tangan
pemuda itu.
“Jangan
berlaku tolol!” katanya perlahan.
Kwee Ceng berdiam, matanya
mengawasi Ciu Pek Thong.
Si
tua bangka jenaka dan berandalan itu bergulingan terus, bukan main lincahnya
gerakannya itu. Oey
Yok Su
maju terus, dia memukul, dia menendang, tetapi tidak pernah dia mengenai
sasarannya.
“Perhatikan
gerak-geriknya!” Ang
Cit Kong
berbisik pula kepada muridnya.
Kwee Ceng terus memandang
pula, segera ia menginsyafi kepandaian bergulingan dari Ciu Pek Thong itu.
Itulah dia tipu silat yang di dalam kitab disebutnya “Coa heng lie hoan” atau
“Ular menggeleser, rase jumpalitan”. Maka ia memasang matanya terus, ia
memperhatikannya. Kapan ia menyaksikan di bagian yang indah, tanpa merasa ia
berseru: “Bagus!”
Oey Yok Su menjadi penasaran
sekali yang pelbagai serangannya itu menemui kegagalan, hatinya semakin panas,
maka itu ia menyerang makin hebat. Dan
hebatlah kesudahannya.
Tubuh
Ciu Pek Thong tidak terkena pukulan tetapi bajunya saban-saban robek sepotong
dengan sepotong, bahkan rambut dan kumisnya juga ada yang terputuskan serangan
dahsyat tocu dari Tho Hoa To. Lama-lama ia pun menginsyafi bahaya yang
mengancamnya. Salah sedikit saja, ia bisa celaka, tidak mati tentu terluka
parah. Maka diakhirnya ia mengerahkan tenaganya, ia membuat ikatannya puus,
habis mana dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia
meraba ke punggungnya, akan menangkap seekor tuma, yang ia terus memasuki ke
dalam mulutnya untuk digigit, menyusul mana ia berteriak-teriak: “Aduh! Aduh!
Gatal sekali!”
Oey Yok Su terkejut juga disaat
sangat terancam itu Pek Thong masih sanggup menangkap tuma dan terus bergurau,
tetapi karena ia sangat penasaran, ia tidak menghentikan penyerangan, bahkan
tiga kali beruntun ia menggunai pukulan-pukulan lawan.
Segera
terdengarlah suara Ciu Pek Thong: “Dengan sebelah tanganku tidak dapat aku
menangkis, mesti aku pakai dua-dua tanganku berbareng!” kata-kata ini disusuli
sama gerakan dari kedua tangannya; Tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri
menyambar kopiah lawan!
Didalam
halnya tenaga dalam, sebenarnya Ciu Pek Thong kalah dari Oey Yok Su, maka juga
tempo Tong Shia menangkis tangan kanan itu, dia lantas saja terhuyung, dia
roboh setelah beberapa tindak. Tapi ia pun sebat, tangan kirinya sudah berhasil
menyambar kopiahnya pemilik dari Tho Hoa To itu!
Oey Yok Su berlompat maju,
dalam murkanya ia menyerang dengan kedua tangannya.
“Gunai
dua-dua tanganmu!” dia berseru. “Sebelah tangan saja tak cukup!”
“Tidak
bisa!” Pek Thong pun berseru. “Cukup dengan satu tangan!”
Oey Yok Su bertambah gusar.
“Baiklah!”
serunya sengit. “Kau coba saja!” Ia melanjuti menyerang dengan dua tangannya
itu, menghajar sebelah tangan lawan, yang dipakai menangkis.
Begitu
kedua tangan bentrok, ebgitu terdengar suara keras. Begitu lekas juga Ciu Pek
Thong jatuh terduduk, kedua matanya ditutup rapat.
Melihat
begitu, Oey Yok Su
tidak menyerang pula.
Cuma
lewat sedetik, Ciu Pek Thong mengasih dengar satu suara, dari mulutnya muncrat
darah hidup, mukanya pun menjadi pucat paci.
Semua
orang heran dan tercengang. Mungkin Pek Thong tidak menang, tetapi belum tentu
dia kalah. Maka, kenapa dia tidak hendak menggunai dua-dua tangannya?
Habis
muntah darah, Pek Thong berbangkit dengan perlahan-lahan.
“Aku
mempelajari Kiu Im Cin-keng diluar tahuku, tetapi meskipun demikian aku telah
melanggar juga pesan kakak seperguruanku. Jikalau aku menggunai kedua-dua
tanganku, Oey Lao Shia, pasti tidak nanti kau sanggup melawan aku.”
Oey Yok Su percaya kata-kata
itu, ia membungkam. Ia pun merasa tidak enak sendirinya. Bukankah tanpa sebab
ia sudah mengurung orang limabelas tahun dipulaunya itu dan sekarang ia
melukakannya? Maka itu ia merogoh sakunya mengeluarkan satu kotak kumala, dari
dalam situ ia mengambil tiga butir obat pulung warna merah, yang mana terus ia
angsurkan kepada lawannya itu. Ia berkata: “Pek Thong, obat luka di kolong
langit ini tidak ada yang melebihkan ini pil Siauw-hun-tan dari Tho Hoa To. Kau
makan ini setiap tujuh hari sekali, lukamu bakal tidak mendatangkan bahaya. Sekarang,
mari aku antar kau keluar dari pulauku
ini.”
Pek
Thong mengangguk. Ia sambuti pil itu, satu di antaranya ia lantas telan. Habis
itu ia meluruskan napasnya.
Kwee Ceng sudah lantas
berjongkok di samping toako ini, untuk menggendongnya, setelah mana ia berjalan
mengikuti mertuanya hingga di tepi laut. Di
muara tertampak enam atau tujuh buah perahu, besar dan kecil.
Auwyang Hong, yang mengikuti
berkata kepada Oey
Yok Su:
“Saudara Yok, tidak usah kau menggunai lain perahu
untuk mengantarkan Ciu Toako keluar dari pulau ini, aku minta dia suka naik
perahuku saja.”
“Dengan
begitu aku membikin kau berabe, saudara Hong”, menyahut Oey Yok Su menerima tawaran. Ia lantas memberi
tanda kepada bujang gagu, maka bujang itu pergi masuk ke dalam sebuah perahu
besar darimana dia membawa keluar sebuah penampan yang berisikan uang goanpo
emas.
“Pek
Thong, sedikit emas ini pergilah kau bawa untuk kau pakai,” berkata Oey Yok Su
pada Loo Boan Tong. “Kau benar terlebih lihay dari Oey Lao Shia, aku takluk
padamu!”
Pek
Thong meram sejak tadi, perlahan-lahan ia membuka matanya. Kembali ia
perlihatkan kenakalannya. Ia melihat ke perahunya Auwyang Hong,
di kepala perahu itu dipancar bendera putih di mana ada di sulam dua ekor
ular-ularan. Menyaksikan itu ia tidak senang.
Auwyang Hong menepuk tangannya,
terus ia mengeluarkan seruling kayu yang ia tiup beberapa kali. Tidak lama dari
situ, dari dalam rimba terdengar suara berisik sekali. Lalu terlihat dua bujang
gagu memimpin beberapa pria berpakaian putih keluar dari rimba, mereka itu menggiring
rombangan ularnya. Dengan menggeleser di beberapa lembar papan, yang dipasang
di antara perahu dan pinggiran, semua binatang berlegot itu naik ke dalam
perahu, berkumpul di dasarnya.
“Aku
tidak mau duduk di perahunya See Tok!” berkata Pek Thong. “Aku takut ular!”
Oey Yok Su tersenyum.
“Kalau
begitu, kau naiklah perahu itu!” ia kata, menunjuk ke sebuah perahu kecil di
samping.
Ciu
Pek Thong menggeleng kepala.
“Aku
tidak sudi duduk di perahu kecil, aku menghendaki yang besar!” katanya sambil
tangannya menunjuk.
Oey Yok Su agaknya terkejut.
“Pek
Thong, perahu itu sudah rusak, belum dibetulin!” ia memberitahu. “Tidak dapat
perahu itu dipakai.”
Orang
semua lihat perahu itu besar dan indah, buntuntya tinggi, catnya yang kuning
emas berkilauan. Terang itu ada sebuah perahu baru, tidak ada tanda-tandanya
rusak.
Pek
Thong sudah lantas membawa tingkahnya si bocah cilik.
“Tidak,
tidak dapat aku tidak menaiki perahu itu!” katanya bersikeras. “Oey Lao Shia,
mengapa kau begini pelit?”
“Perahu
itu perahu sialan,” Oey
Yok Su
berkata, “Siapa menduduki itu, dia mesti celaka, kalau tidak sakit tentu dapat
halangah, maka itu sudah lama dibiarkan saja tidak dipakai. Siapa bilang aku
pelit? Jikalau kau tidak percaya, sekarang aku nanti bakar untuk kau lihat!”
Ia
benar-benar memberi tanda kepada orang-orangnya, maka keempat bujang gagu
lantas menyalakan api bersiap membakar perahu yang indah itu.
Mendadak
Ciu Pek Thong menjatuhkan diri duduk di tanah, sambil mencabuti kumisnya ia
menangis menggerung-gerung.
Melihat
itu, orang semua terbengong. Cuma
Kwee Ceng
yang kenal tabiat orang, di dalam hatinya ia tertawa.
Habis
menarik-narik kumisnya, Pek Thong terus bergulingan. Masih ia menangis.
“Aku
hendak duduk perahu baru itu! Aku hendak duduk perahu baru itu!” teriaknya
berulang-ulang.
Oey Yong lantas lari ke tepi
laut, untuk mencegah si gagu mebakar perahu.
Ang Cit Kong tertawa, dia
berkata: “Saudara
Yok, aku si pengemis tua seumurnya
sial dangkalan, biarlah aku temani Loo Boan Tong menaik itu perahu yang angker.
Biarlah kita lawan jahat dengan jahat, biarlah kita coba bergulat, lihat saja,
aku si pengemis tua yang apes atau perahumu yang angker itu yang benar-benar
keramat!”
“Saudara Cit,”
berkata Oey Yok Su.
“Baiklah kau berdiam lagi beberapa hari di sini. Kenapa mesti buru-buru pergi?”
“Pengemis-pengemis
besar, yang sedang, yang cilik, semuanya yang ada di kolong langit ini,”
menyahuti Ang
Cit Kong,
“Tak berapa hari lagi bakal berapat di Gakyang di Ouwlam,
untuk mendengari putusanku si pengemis tua yang hendak memilih ahli waris dari Kay Pang.
Coba pikir kalau ada aral melintang terhadap aku si pengemis tua dan karenanya
aku pulang ke langit, apabila tidak siang-siang aku memilih gantiku, bukankah
semua pengemis menjadi tidak ada pemimpinnya? Maka itu si pengemis tua perlu
lekas-lekas berangkat.”
Oey Yok Su menghela napas.
“Saudara Cit,
kau sungguh baik!” ia berkata. “Seumur hidupmu, kau senantiasa bekerja untuk
lain orang, kau bekerja tidak hentinya seperti kuda berlari-lari.”
Ang Cit Kong tertawa.
“Aku
si pengemis tua tidak menunggang kuda, kakiku ini tidak terpisah dari
tindakannya,” katanya. “Kau keliru! Nyata kau berputar-putar mendamprat orang!
Kalau kakiku adalah kaki kuda, bukankah aku menjadi binatang?”
Oey Yong tertawa, dia campur
bicara.
“Suhu,
itulah kau sendiri yang mengatakannya, bukan ayahku!” bilangnya.
“Benar,
guru tak sebagai ayah!” berkata Ang
Cit Kong.
“Biarlah besok aku menikah dengan seorang pengemis perempuan, agar lain tahun
aku mendapat anak perempuan untuk kau lihat!”
Oey Yong bertepuk tangan,
bersorak.
“Tak
ada yang terlebih baik daripada itu!” serunya.
Auwyang Kongcu melirik kepada nona
itu, di antara sinar matahari ia tampak satu paras yang cantik sekali, kulit
yang putih dadu bagaikan bunga dimusim semi, atau sebagai sinar matahari indah
diwaktu fajar. Mau atau tidak ia menjadi berdiri menjublak.
Ang Cit Kong sudah lantas
mempepayang pada Ciu Pek Thong.
“Pek
Thong,” katany. “Mari aku menemani kau
menaiki itu perahu baru! Oey Lao Shia ada sangat aneh, maka itu kita berdua
jangan kita kasih diri kita diiperdayakan!”
Ciu
Pek Thong menjadi sangat girang.
“Pengemis
tua, kau seorang baik!” katanya gembir. “Baiklah kita mengangkat saudara!”
Belum
lagi Cit Kong menjawab, Kwee Ceng
sudah datang sama tengah.
“Ciu Toako!”
katanya. “Kau sudah angkat saudara denganku, bagaimana sekarang kau juga hendak
mengangkat saudara dengan guruku?”
“Ada apakah halangannya?”
Pek Thong tertawa. “Jikalau mertuamu mengijinkan aku naik perahunya yang baru,
hatiku akan menjadi girang sekali, dengan dia pun suka aku mengangkat saudara!”
Sementara
itu Cit Kong telah mencurigai Oey Yok
Su. Ia berlaku jenaka tetapi
hatinya berpikir. Kenapa Tong Shia menghalangi orang memakai perahunya yang
besar dan indah itu? Bukankah di situ mesti ada terselip rahasia? Sebaliknya
Ciu Pek Thong berkeras hendak menaiki perahu itu, apabila ada bahaya, seorang
diri tidak nanti Pek Thong dapat membela dirinya. Bukankah Pek Thong tengah
terluka di dalam badan? Maka itu ia anggap perlulah ia menemani untuk membantu
apabila perlu.
“Hm!”
Oey Yok Su
memperdengarkan suara di hidung. “Kamu berdua lihay, aku pikir umpama kamu
menghadapi bahaya, kamu bisa menyelamatkan diri, maka itu aku Oey Yok
Su berkhawatir berlebih-lebihan. Kwee Sieheng,
kau pun boleh ikut pergi bersama!”
Kwee Ceng terkejut saking
herannya. Bukankah aneh mertua itu? Ia suka diakui sebagai mantu, ia sudah
panggil “Ceng-jie” anak Ceng, tetapi sekarang panggilan itu diubah pula menjadi
“sieheng” yang asing. Ia memandang mertuanya itu.
“Gakhu…”
katanya.
“Bocah
cilik yang termaha!” membentak Oey
Yok Su.
“Siapakah gakhumu?! Sejak hari ini, jikalau kau menginjak pula Tho Hoa To
setindak, jangan kau sesalkan aku Oey Yok Su keterlaluan!”
Mendadak
ia menyambar punggungnya satu bujang gagu di sampingnya seraya ia menambahkan:
“Inilah contahnya!”
Bujang
gagu itu sudah dipotong lidahnya, maka itu waktu ia menjerit, suaranya tidak
keruan. Sampokan itu membuat tubuhnya terpelanting seperti terbang, terlempar
ke laut di dalam mana ia lantas hilang tenggelam. Lebih dulu daripada itu semua
anggota di dalam tubuhnya itu sudah hancur luluh.
Semua
bujang lainnya menjadi akget dan ketakutan, mereka lantas pada berlutut.
Semua
bujang yang ada di Tho Hoa To ini ada bangsa jahat dan tidak mengenal budi,
tentang mereka itu, Oey Yok Su sudah mencari tahu jelas sekali, maka ia tawan mereka
dan dibawa ke pulau, lidah mereka semua dikutungi dan kupingnya ditusuk hingga
menjadi tuli, setelah itu ia wajibkan mereka melayani padanya. Ia sendiri
pernah berkata: “Aku
Oey Yok
Su, aku bukannya seorang kuncu.
Kaum kangouw menyebut aku Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka dengan
sendirinya tak dapat aku bergaul sama bangsa budiman. Bujang-bujang, semakin ia
jahat, semakin tepat untukku.”
Orang
menghela napas menyaksikan ketelengasan tocu dari Tho Hoa To ini.
Kwee Ceng kaget dan heran, ia
lantas menekuk lutut.
“Apakah
dari dia yang tak mempuaskanmu?” Ang Cit Kong tanya
Tong Shia.
Oey Yok Su tidak menjawab,
hanya ia memandang Kwee
Ceng dan menanya dengan bengis:
“Bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu, bukankah kau yang memberikannya kepada
Ciu Pek Thong?!”
“Ada sehelai barang yang
aku berikan pada Ciu
Toako, aku tidak tahu barang apa
itu,” menyahut Kwee
Ceng. “Jikalau aku tahu….”
Bagaikan
orang yang tak tahu salatan, yang tak mengenal berat dan entengnya urusan , Ciu
Pek Thong memotong kata-kata adik angkatnya itu. Hebat kegemarannya bergurau.
“Kenapa
kau membilangnya tak tahu?” demikian selaknya. “Bukankah kau telah merampasnya
itu dari Bwee
Tiauw Hong
dengan tanganmu sendiri? Syukur
Oey Yok
Su si tua bangka itu tidak
mendapat tahu! Mestinya kau pun telah membilangnya kau telah paham kitab itu,
bahwa selanjutnya di kolong langit ini tidak ada tandinganmu!”
Kwee Ceng kaget bukan main.
“Toako!”
serunya. “Aku…aku kapannya pernah mengatakannya demikian?”
Ciu
Pek Thong mendelik.
“Memangnya
kau telah mengatakan demikian!” ia memastikan.
Kwee
Ceng membaca Kiu Im Cin-keng tanpa mengetahui kitab itulah kitab ajaib itu, hal
itu memang membuatnya orang tak percaya, maka sekarang dengan Ciu Pek Thong
membebernya, Oey Yok Su menjadi seperti kalap, hingga ia tak ingat lagi si tua
bangka berandalan itu lagi bergurau atau bukan, ia sebaliknya menganggap orang
telah lenyap sikap kekanak-kanakannya dan tengah berbicara dengan
sebenar-benarnya. Ia lantas saja memberi hormat kepada Pek Thong, Ang Cit
Kong dan Auwyang Hong:
“Persilahkan!” katanya. Habis itu dengan menarik tangan Oey Yong, ia
memutar tubuh untuk mengeloyor pergi.
Oey Yong hendak berbicara
dengan Kwee Ceng, baru ia memanggil: “Engko Ceng!”
ia sudah ditarik ayahnya beberapa tombak jauhnya, terus dengan cepat masuk
dibawa ke dalam rimba.
Ciu
Pek Thong tertawa bergelak, tapi mendadak ia merasakan dadanya sakit, ia
berhenti dengan tiba-tiba. Ia cuma berhenti sebentar, lantas ia tertawa pula.
Ia kata: “Oey Lao Shia telah kena aku jual! Aku bergurau, dia kira itulah benar-benar!”
Cit Kong menjdai heran.
“Jadi
benar tadinya Ceng-jie tidak ketahui halnya kitab itu?” ia tegaskan.
“Memang
ia tidak tahu!” Pek Thong tertawa. “Dia hanya mengira itu latihan napas saja.
Jikalau dia mengetahuinya lebih dulu, mana dia sudi belajar padaku? Adikku, kau
sekarang telah ingat baik-baik isi kitab, bukan? Bukankah kau bakal tidak akan
melupakannya pula?”
Setelah
berkata demikian, Pek Thong tertawa pula, tetapi segera ia berjengkit
kesakitan, wajahnya menyeringai. Lucunya sembari jalan ia tertawa dengan
saban-saban manahan sakitnya…!
“Ah,
Loo Boan Tong!” Ang
Cit Kong
membanting kakinya. “Bagaimana kau masih berguyon saja! Nanti aku bicara sama
saudara Yok!”
Ia
lari ke dalam rimba ke arah tadi Oey Yok Su berlalu dengan putrinya. Begitu ia memasuki,
ia kehilangan itu ayah dan anak daranya. ia pun melihat jalan melintang tidak
karuan, hingga tak tahu ia mesti mengambil jurusan yang mana. Semua bujang gagu
pun bubar setelah berlalunya majikan mereka. Maka dengan terpaksa Ang Cit
Kong kembali. Mendadak ia ingat
Auwyang Kongcu ada mempunyakan peta Tho Hoa To.
“Auwyang Sieheng,”
katanya lantas. “Aku minta sukalah kau memberi pinjam petamu sebentar.”
Pemuda
itu menggeleng kepala.
“Tanpa
perkenan dari Oey
Peehu, siauwtit tidak berani
meminjamkannya kepada lain orang,” Auwyang Kongcu
menolak. “Harap
Ang Peehu
memaafkan aku.”
“Hm!”
Cit Kong perdengarkan suara dinginnya. Lalu ia
kata di dalam hatinya, “Benar-benar aku tolol! Mengapa aku hendak meminjam peta
dari bocah ini? Dia justru menghendaki sangat supaya Oey Lao Shia membenci
muridku!”
Ketika
itu dari dalam rimba terlihat munculnya serombongan orang dengan seragam putih,
yang diantar oleh seorang bujang gagu. Itulah tigapuluh dua nona-nona tukang
menari dari Auwyang Hong dan mereka segera memberi hormat seraya menekuk lutut
kepada Auwyang
Hong itu sambil berkata: “Oey Laoya
menitahkan kami turut looya pulang.”
Tanpa
memandang lagi kepada mereka itu, Auwyang Hong menggeraki tangannya memberi
tanda supaya mereka naik perahu, kemudian ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan
Ciu Pek Thong seraya berkata: “Perahunya saudara Yok itu mungkin benar ada
rahasianya, maka itu baiklah kamu legakan hatimu, nanti perahuku mengikutinya
dari belakang, jikalau ada perlunya, akan aku memberikan bantuanku.”
“Siapa
kesudian kau berbuat baik kepadaku?” bentak Ciu Pek Thong gusar. “Aku justru
hendak mencoba-coba ada apakah yang aneh pada perahunya Oey Lao Shia ini!
Jikalau kau mengikuti kita, habisnya tidak ada bahaya, tidak ada bencana,
bukankah itu tidak ada artinya?”
Auwyang Hong tidak menjadi gusar,
ia bahkan tertawa.
“Baiklah!”
sahutnya gembira. “Sampai kita bertemu pula!”
Ia
memberi hormat, terus ia naik ke perahunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar