Bab 28. Ular-Ular Pada Menari
Koan Eng lompat ke depan pembaringan. “Ayah, kau tidak apa-apa?”
ia menanya.
Ayahnya
itu tertawa. “Binatang ini benar-benar lihay!” katanya.
Dua
tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
“Dalam
kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu
dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat
berontak lagi atau tidak!” berkata Thio Cecu.
“Bagus!”
sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil
borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan
kakinya.
“Mereka
sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang
mencicipi sendiri!” kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen
Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau
merintih.
“Bawa
dia kemari!” kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua
tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok
Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah
mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng
heran. Katanya dalam hatinya: “Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan
tangannya suhu, mungkinkah mereka daa hubungan satu sama lain?” Tapi belum sempat
ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun
pada lantas mengundurkan diri.
Baru
setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka
berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
“Anak-anak
gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,” kata Liok Chungcu kepada
tetamunya.
“Siapa
dia itu?” tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, “Apakah dia telah mencuri
disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?”
Di
dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan
rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu
itu tertawa. “Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!” sahutnya.
“Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita
diganggu pencuri itu.”
Koan
Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada
bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng
tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang
coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam
saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat?
Habis
bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan kedua
tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah
menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai
sore baru mereka kembali dengan merasa senang.
“Bagaimana,
Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?” tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak
masuk tidur.
“Kita
baik tinggal dulu di sini beberapa hari,” sahut si nona. “Kita masih belum
ketahu jelas tentang tuan rumah kita ini.”
“Ilmu
silatnya sama dengan ilmu silatmu,” Kwee Ceng memberitahukan.
Oey
Yong berpikir, “Inilah anehnya,” katanya. “Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw
Hong?”
Keduanya
tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka
memadamkan api dan tidur. Pada tengah malama, keduanya mendusin karena kuping
mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas lompat bangun,
untuk menghampirkan jendela. Begitu mereka mementang daun jendela, mereka
menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara
pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati
itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.
Oey
Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk
menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk
tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan
tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata bayangan itu
adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Kerana ini Oey Yong
bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu.
Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: “Bagus, kau hendak
menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!”
Bok
Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.
Oey
Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah
keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah
mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.
“Dengan
caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari
kekasihmu itu,” kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia
memungut segumpal tanah, ia menimpuk, “Ambil jalan ke sana!” ia menunjuki,
suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.
Nona
Bom terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun bercuriga dan
bersangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali
Oey Yong telah lenyap.
“Entah
ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,” kemudian
nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia bersangsi,
ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan
berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di
jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan
berkelebat dan lenyap.
Cerdas
Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah
kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah,
matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat
bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.
“Pasti
ada orang pandai yang membantu aku,” berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah
itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang
bernapas.
“Engko
Kang!” ia memanggil perlahan. “Kau…!”
“Ya,
aku!” ada jawaban untuk itu.
Itulah
suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar
rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.
Dalam
gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
“Ada
dua orang pandai yang membantu aku, enath siapa mereka itu,” kata nona ini.
“Mari kita pergi!”
“Apakah
kau membawa golok pedang mustika?” tanya pangeran itu.
“Kenapa?”
balik tanya si nona.
Wanyen Kang tidak menjawab, ia
hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam
Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
“Menyesal
pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,” ia menyesalkan
diri.
Oey
Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si
nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: “Sebentar akan aku serahkan
pisau mustika itu.”
“Nanti
aku pergi curi kunci borgolnya!” kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan
berkhawatir.
“Jangan
pergi, adik!” Wanyen Kang mencegah. “Orang disini lihay, percuma kau pergi.”
“Bagaimana
kalau aku gentong kau?” tanya si nona.
“Tidak
dapat, orang ikat aku pada tiang.” jawab sang pangeran.
“Habis
bagaimana?” tanya si nona lagi.
Lalu
terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
“Mari
kau dekati aku….” kata Wanyen Kang tertawa.
Liam
Cu membanting kaki. “Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!”
tegurnya.
“Siapa
bergurau?” Wanyen Kang masih tertawa. “Aku omong sebenarnya.”
Liam
Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
“Kenapa
kau ketahui aku berada disini?” Wanyen Kang tanya kemudian.
“Aku
mengikuti kau terus-menerus…” jawab si nona perlahan.
“Oh,
adik, kau baik sekali.” Suara Wanyen Kang agak tergerak. “Mari kau dekati aku,
kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara.”
Liam
Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
“Aku
adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku,”
berkata Wanyen Kang. “Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan
tentara dari ayahku. Aku bingung….Adik, baiklah kau tolongi aku?”
“Bagaimana?”
tanya si nona.
“Di
leherku ada cap emas, kau loloskan itu.”
Liam
Cu menurut.
“Inilah
cap perutusan,” Wanyen Kang memberitahukan. “Sekarang kau lekas pergi ke
Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song….”
Nona
Bok terkejut.
“Aku
seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?”
tanyannya.
“Kalau
ia melihat cap ini, apsti ia repot sekali menyambut kau!” kata Wanyen Kang
tertawa. “Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga
karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia
yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan
itu!“
“Eh,
kenapa begitu?” si nona menanya heran.
“Inilah
urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti!
Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu artinya kau
sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau utusan
Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya
kerugian besar bagi kami negara Kim.”
“Apa
itu negara Kim?” Liam Cu tanya. “Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum
kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja”.
“Bukankah
nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?” Sembari berbicara, Wanyen
Kang tersenyum.
“Ayah
angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi
menjadi raja Kim?” tanya Liam Cu. “Aku cuma tahu, cuma….”
“Kenapa?”
Wanyen Kang memotong.
“Sampai
sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,” kata Liam Cu,
“Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi
menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau
benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!”
Wanyen
Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti
macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia
berdiam.
“Negara
yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!” berkata
pula Liam Cu. “Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi, dibunuh dan
dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau….kau…..”
Berhenti
si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak
pergi.
Wanyen
Kang terkejut, segera ia memanggil
“Adik,
aku salah!” katanya, memanggil, “Mari kembali!”
Liam
Cu berhendti bertindak, ia berpaling, “Mau apa kau?!” ia tanya.
“Tunggulah
sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan negeri Kim,”
berkata Wanyen Kang. “Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim itu, hanya
bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita bisa hidup
bersama dengan tenang dan berbahagia….”
ona
Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang
Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak
mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya. Ia pun
menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi,
guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu,
sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya
satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan….
“Adikku,
kau kenapa?” Wanyen Kang tanya.
Liam
Cu berdiam.
“Memang
ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,” Wanyen
Kang berkata pula. “Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya mereka
sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu…..”
Pikiran
Liam Cu tergerak juga.
“Kalau
ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf…” pikirnya. Lalu ia berkata:
“Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song
untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika
guna menolongi kau…”
Oey
Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya, segera
ia menubah maskdunya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu
untuk tentara Kim. Ia pikir: “Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa
hari di sini….” Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu.
“Taman
ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?” kemudian Wanyen Kang
menanya.
“Ada
seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,” sahut Liam Cu. “Dia
menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia.”
Wanyen
Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
“Adikku,”
katanya pula, “Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok penghuni
rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang…”
“Aku
tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!” memotongi si nona.
“Bukannya
Soe Sinsiang, hanya guruku,” Wanyen Kang memberi tahu
“Oh…”
si nona terhenti suaranya.
“Kau
pergi membawa ikat pinggangku ini,” Wanyen Kang berkata pula. “Di gelang
emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: ‘Wanyen Kang dapat susah di
kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw’ Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada
sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk
menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku
ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam
Cu heran, “Untuk apakah itu?” ia menanya.
“Guruku
itu telah buta kedua matanya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Kalau ia dapat
memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencari
aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti
lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada
orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku
lihay, pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian
Biauw Koan di kota Souwciu.”
“Kau
bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak
menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!” berkata si nona.
Mendengar
itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: “Setelah urusanku beres, sudah
tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa
aku mengangkat sumpah, apakah mau?!”
Liam
Cu lemah hatinya. “Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!” bilangnya. Ia
meloloskan ikat pinggang si anak muda.
“Adikku,
kau hendak pergi sekarang?” kata Wanyen Kang, “Mari, adik!”
“Tidak!”
kata si nona yang bertindak ke pintu.
“Aku
khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu membunuh
aku,” kata pula Wanyen Kang, “Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal
melihat pula padamu…”
Liam
Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan
pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: “Di
belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di
hadapanmu!”
Inilah
Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam
Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey
Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka
setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali,
katanya: “Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku
memberi hormatku ke udara saja.”
“Oh,
itulah aku tidak berani terima!” terdengar satu suara halus dibarengi sama
tertawa geli.
Liam
Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga kecuali
bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali suara Oey
Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan rahasia
itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk
tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan
pergi ke kota Souwciu.
Souwciu
adalah kota kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di
sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah
menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran. Habis bersantap di
sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi
keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari
gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera
melenyap di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari
burung-burung hutan. Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga
ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.
“Baiklah
aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,” pikirnya.
Syukur
di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari
menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong
Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan.
Terang itulah sebuah kuli kosong. Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa
tidak teratur.
Senang
juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk
menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia
mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai
bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka
dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan
yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara
apa-apa di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk
memasang kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia
lompat ke pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul
dengan keras.
Di
bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau,
bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya
ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan
ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya
memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.
Liam
Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nan kepergok. Sesudah
mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi
pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia
membuka pintu, ai pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan
pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan
yang bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke
kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu. Warna putih
itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, ia menghampirkan.
Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk
Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia
menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya
bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat
masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya
memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia
ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia
lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
“Pasti
benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti…”
pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong
bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia
memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti
segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.
Tengah
si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali. Tanpa
menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya di
depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaannya, orang sudah berada
di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali dia
disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia
bermandikan keringat dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau
hantu.
“Kau
siapa?!” akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang
itu mencium ke lehernya. “Harum!” katanya.
Liam
Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri
seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya
menggoyang-goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk kagetnya ia kenali
Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia
gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru
saja belasan tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari
tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu
telah masuk ke dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya,
untuk lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di
hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu
menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk
umencekuk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.
Liam
Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia membacok,
dua-dua kalinya gagal.
“Ah,
jangan galak!” seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia mengegos
ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si nona sudah
lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.
Liam
Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun sudha
kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya
kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua
tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.
Auwyang
Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. “Kau angkat aku menjadi gurumu,
segera aku merdekakan kau!” katanya.
Liam
Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk
terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa
lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia mendusin
perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka
ia berada dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia
dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget, ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia
berteriak, mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan
dirinya diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang
canti-cantik, yang semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang
alat senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas batu.
Heran
nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat menggerakkan
tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia berpaling ke
Auwyang Kongcu.
Di
belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak
bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah,
merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan
bjau putih dan tangan mencekal galah.
Ketika
ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat gelang
emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna bergemerlapan, tiba-tiba ia ingat
suatu apa.
“Mungkin
mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang,” ia berpikir. “Mestinya mereka
lagi bersiap dengan sikap bermusuh….. Kalau gurunya Wanyen Kang datang seorang
diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di sini pun ada ribuan ular hijau….”
Cemas
hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan
datang.
Selang
tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak
memandang si putri malam.
“Apakah
mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?” nona Bok ini menduga-duga.
Rembulan
terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan. Langit menjadi terang
sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu dari empat
penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali……….
Auwyang
kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada satu
nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya, dicekal
di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.
Liam
Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan
sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi?
Tidak
lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu
datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut
riap-riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan.
Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam
Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka
kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini….
Bwee
Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia mendapatkan
beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia menyakinkannya dengan
sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia
tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk
membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan
negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia
tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat ebrtemu di
Souwciu. Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh
ke dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas
sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya saking lihaynya ,
ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain
yang ia anggap luar biasa.
“Sungguh
lihay!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak. Ia
lantas mengebaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk segera menyerang.
Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah
tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang
sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu
tidak bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan
perlahan.
Segera
orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya
menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang
Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya menggigil.
Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna kulit dari
mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini, ia mesti
mengatasi dirinya.
Ketika
itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya
Auwyang Kongcu gentar. “Baiklah aku turun tangan lebih dulu!” pikirnya. Maka
tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu tiga penggembala ular
lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak-gerak.
Semua
wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua membekal
obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang
melanggarnya.
Bwee
Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur
beberapa tombak.
Dengan
petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan
belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.
Liam
Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman jeri,
maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee Tiauw
Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, yang ia terus putar di
sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya mengurung.
Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi segera
mereka terpental terbalik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
“Siluman
wanita she Bwee!” berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia membungkam
saja. “Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan kitab Kiu
Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!”
Tiauw
Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.
“Jikalau
kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!” Auwyang Kongcu berkata
pula. “Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau serahkan
kitabmu itu atau tidak!”
Tiauw
Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk meloloskan
diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia tidak
berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena
dipagut walaupun cuma satu kali saja…..
Dari
berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu
dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: “Orang she Bwee, kitabmu itupun
kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah
menyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu
hingga mampusmu? Kau pinjamkan itu kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu
dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah
lewat! Tidakkah itu bagus sekali?”
“Kalau
begitu, bubarkan barisan ularmu ini!” menyahut Bwee Tiauw Hong.
Auwyang
Kongcu tertawa, “Kau serahkan dulu kitabmu!” katanya.
Kita
“Kiu Im Cin-keng” di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi ia pandang itu
bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil
keputusan: “Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!”
Liam
Cu tegang hatinya, ia habis sabar.
“Lekas
panjat pohon! Lekas panjat pohon!” ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya
disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.
Tiauw
Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon pohon kayu besar. Ia pun
percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya
ia masuki ke dalam sakunya.
“Baiklah,
hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau
lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau
sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul
itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam
Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh
juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar
robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar,
tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin
ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan
siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak,
mati pun tidak!”
Bwee
Tiauw Hong itu menyerang dengan “bue-heng-teng”, yaitu paku rahasia yang
seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh dapat menolong
diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang
Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita
itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkainya
beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa
keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda
juga tidak berani datang dekat.
Satu
jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Inilah
hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang
kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang
Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya
khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia,
asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw
Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang
Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: “Sungguh
aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di
sini….”
Tepat
tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyinya
burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala.
Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara seruling yang halus dan merdu.
Kedua
pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang
mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, yang
mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup
seruling itu.
Bukan
main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini
ia gagal. Tak tahi ia kapannya si baju hijau itu berada di atasnya pohon itu.
Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu
bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat
menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling
masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum.
Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak
menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, atau ia kaget sendirinya,
lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada
mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak
mengikuti irama seruling itu.
Hampir
di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita
serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari.
Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka
merobek-robek pakaian mereka dan mencakari kuka mereka, toh mereka pada
tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi mereka merasakan sakit.
Auwyang
Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh yang tangguh.
Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun,
dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan
perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal.
Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya
tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau
dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget
bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan
kakinya. Katanya itu dalam hati: “Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan
dengari lagi serulingnya!”
Hanya
luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih
terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali. Baru sekarang ia tahu
takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee
Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia
tenagh bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa
perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan.
Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu tengah tertotok jalan
darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya, tetapi mendengari suara
seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan
rasa.
Auwyang
Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan
panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk
membela diri. Maka ia gigit lidahnya, diwaktu ia merasakan sakit, gangguan
seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat
ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah
berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di
sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan
keringatnya, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari
terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh
Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
*
* *
Oey
Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu,
sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk
mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya siangnya, mereka
jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan
rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat.
Biar
bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam Cu, berarti
Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan
Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si
Mayat Besi? Karenanya, diwaktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan
kekhawatirannya itu.
“Apakah
tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya
Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?” katanya kepada si
nona.
“Jangan,”
Oey Yong menggoyangi tangan. “Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya,
setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak
penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja
padanya!”
“Bagaimana
kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?” tanya si pemuda lagi.
“Kita
justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!” sahut si
nona, yang tertawa.
Oey
Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak
banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras itu dan luar
biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia
tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat
kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya
itu.
Berselang
dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi
melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis,
bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka berdiam lebih lama.
Dihari
ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee
Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya tak biasa, bersamanya
ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya itu ada serupa
barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang
mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ
terlihatlah sebuha tengkorak dengan lubang lima jari tangan.
Terang
sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.
Oey
Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak
berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia
menanya: “Siapa…siapakah yang membawa ini kemari?” Ia pun memcoba berbangkit
dengan bantuan tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar