Minggu, 21 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 28



Bab 28. Ular-Ular Pada Menari

Koan Eng lompat ke depan pembaringan. “Ayah, kau tidak apa-apa?” ia menanya.
Ayahnya itu tertawa. “Binatang ini benar-benar lihay!” katanya.
Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
“Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!” berkata Thio Cecu.
“Bagus!” sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan kakinya.
“Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang mencicipi sendiri!” kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau merintih.
“Bawa dia kemari!” kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng heran. Katanya dalam hatinya: “Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka daa hubungan satu sama lain?” Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun pada lantas mengundurkan diri.
Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
“Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,” kata Liok Chungcu kepada tetamunya.
“Siapa dia itu?” tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, “Apakah dia telah mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?”
Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu itu tertawa. “Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!” sahutnya. “Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu.”
Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat?
Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai sore baru mereka kembali dengan merasa senang.
“Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?” tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak masuk tidur.
“Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari,” sahut si nona. “Kita masih belum ketahu jelas tentang tuan rumah kita ini.”
“Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu,” Kwee Ceng memberitahukan.
Oey Yong berpikir, “Inilah anehnya,” katanya. “Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?”
Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malama, keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas lompat bangun, untuk menghampirkan jendela. Begitu mereka mementang daun jendela, mereka menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Kerana ini Oey Yong bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: “Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!”
Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.
Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.
“Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari kekasihmu itu,” kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, ia menimpuk, “Ambil jalan ke sana!” ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.
Nona Bom terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun bercuriga dan bersangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.
“Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,” kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap.
Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah, matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.
“Pasti ada orang pandai yang membantu aku,” berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang bernapas.
“Engko Kang!” ia memanggil perlahan. “Kau…!”
“Ya, aku!” ada jawaban untuk itu.
Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.
Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
“Ada dua orang pandai yang membantu aku, enath siapa mereka itu,” kata nona ini. “Mari kita pergi!”
“Apakah kau membawa golok pedang mustika?” tanya pangeran itu.
“Kenapa?” balik tanya si nona.

Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
“Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,” ia menyesalkan diri.
Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: “Sebentar akan aku serahkan pisau mustika itu.”
“Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!” kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan berkhawatir.
“Jangan pergi, adik!” Wanyen Kang mencegah. “Orang disini lihay, percuma kau pergi.”
“Bagaimana kalau aku gentong kau?” tanya si nona.
“Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang.” jawab sang pangeran.
“Habis bagaimana?” tanya si nona lagi.
Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
“Mari kau dekati aku….” kata Wanyen Kang tertawa.
Liam Cu membanting kaki. “Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!” tegurnya.
“Siapa bergurau?” Wanyen Kang masih tertawa. “Aku omong sebenarnya.”
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
“Kenapa kau ketahui aku berada disini?” Wanyen Kang tanya kemudian.
“Aku mengikuti kau terus-menerus…” jawab si nona perlahan.
“Oh, adik, kau baik sekali.” Suara Wanyen Kang agak tergerak. “Mari kau dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara.”
Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
“Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku,” berkata Wanyen Kang. “Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung….Adik, baiklah kau tolongi aku?”
“Bagaimana?” tanya si nona.
“Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu.”
Liam Cu menurut.
“Inilah cap perutusan,” Wanyen Kang memberitahukan. “Sekarang kau lekas pergi ke Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song….”
Nona Bok terkejut.
“Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?” tanyannya.
“Kalau ia melihat cap ini, apsti ia repot sekali menyambut kau!” kata Wanyen Kang tertawa. “Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan itu!“
“Eh, kenapa begitu?” si nona menanya heran.
“Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya kerugian besar bagi kami negara Kim.”
“Apa itu negara Kim?” Liam Cu tanya. “Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja”.
“Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?” Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum.
“Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi menjadi raja Kim?” tanya Liam Cu. “Aku cuma tahu, cuma….”
“Kenapa?” Wanyen Kang memotong.
“Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,” kata Liam Cu, “Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!”
Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia berdiam.
“Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!” berkata pula Liam Cu. “Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau….kau…..”
Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi.
Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil
“Adik, aku salah!” katanya, memanggil, “Mari kembali!”
Liam Cu berhendti bertindak, ia berpaling, “Mau apa kau?!” ia tanya.
“Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan negeri Kim,” berkata Wanyen Kang. “Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia….”
ona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya. Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan….
“Adikku, kau kenapa?” Wanyen Kang tanya.
Liam Cu berdiam.
“Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,” Wanyen Kang berkata pula. “Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu…..”
Pikiran Liam Cu tergerak juga.
“Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf…” pikirnya. Lalu ia berkata: “Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika guna menolongi kau…”
Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya, segera ia menubah maskdunya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: “Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini….” Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu.
“Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?” kemudian Wanyen Kang menanya.
“Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,” sahut Liam Cu. “Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia.”
Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
“Adikku,” katanya pula, “Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang…”
“Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!” memotongi si nona.
“Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku,” Wanyen Kang memberi tahu
“Oh…” si nona terhenti suaranya.
“Kau pergi membawa ikat pinggangku ini,” Wanyen Kang berkata pula. “Di gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: ‘Wanyen Kang dapat susah di kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw’ Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam Cu heran, “Untuk apakah itu?” ia menanya.
“Guruku itu telah buta kedua matanya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota Souwciu.”
“Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!” berkata si nona.
Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: “Setelah urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!”
Liam Cu lemah hatinya. “Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!” bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda.
“Adikku, kau hendak pergi sekarang?” kata Wanyen Kang, “Mari, adik!”
“Tidak!” kata si nona yang bertindak ke pintu.
“Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu membunuh aku,” kata pula Wanyen Kang, “Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu…”
Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: “Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di hadapanmu!”
Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya: “Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja.”
“Oh, itulah aku tidak berani terima!” terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.
Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan rahasia itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.
Souwciu adalah kota kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran. Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera melenyap di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan. Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.
“Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,” pikirnya.
Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan. Terang itulah sebuah kuli kosong. Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa tidak teratur.
Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara apa-apa di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk memasang kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan keras.
Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.
Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nan kepergok. Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia membuka pintu, ai pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan yang bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu. Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, ia menghampirkan. Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
“Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti…” pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.
Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali. Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaannya, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia bermandikan keringat dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.
“Kau siapa?!” akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang itu mencium ke lehernya. “Harum!” katanya.
Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya, untuk lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk umencekuk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.
Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia membacok, dua-dua kalinya gagal.
“Ah, jangan galak!” seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.
Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun sudha kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.
Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. “Kau angkat aku menjadi gurumu, segera aku merdekakan kau!” katanya.
Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia mendusin perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka ia berada dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget, ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia berteriak, mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang canti-cantik, yang semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang alat senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas batu.
Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat menggerakkan tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia berpaling ke Auwyang Kongcu.
Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah, merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan bjau putih dan tangan mencekal galah.
Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna bergemerlapan, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
“Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang,” ia berpikir. “Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh….. Kalau gurunya Wanyen Kang datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di sini pun ada ribuan ular hijau….”
Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan datang.
Selang tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak memandang si putri malam.
“Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?” nona Bok ini menduga-duga.
Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan. Langit menjadi terang sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali……….
Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya, dicekal di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.
Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi?
Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut riap-riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan. Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini….
Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia mendapatkan beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia menyakinkannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat ebrtemu di Souwciu. Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh ke dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya saking lihaynya , ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain yang ia anggap luar biasa.
“Sungguh lihay!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak. Ia lantas mengebaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk segera menyerang. Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.
Segera orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini, ia mesti mengatasi dirinya.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya Auwyang Kongcu gentar. “Baiklah aku turun tangan lebih dulu!” pikirnya. Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu tiga penggembala ular lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak-gerak.
Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang melanggarnya.
Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur beberapa tombak.
Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.
Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee Tiauw Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, yang ia terus putar di sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya mengurung. Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi segera mereka terpental terbalik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
“Siluman wanita she Bwee!” berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia membungkam saja. “Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!”
Tiauw Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.
“Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!” Auwyang Kongcu berkata pula. “Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau serahkan kitabmu itu atau tidak!”
Tiauw Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia tidak berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja…..
Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: “Orang she Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah menyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu? Kau pinjamkan itu kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?”
“Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!” menyahut Bwee Tiauw Hong.
Auwyang Kongcu tertawa, “Kau serahkan dulu kitabmu!” katanya.
Kita “Kiu Im Cin-keng” di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil keputusan: “Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!”
Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar.
“Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!” ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.
Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon pohon kayu besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya.
“Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!”
Bwee Tiauw Hong itu menyerang dengan “bue-heng-teng”, yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkainya beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Inilah hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: “Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini….”
Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyinya burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara seruling yang halus dan merdu.
Kedua pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, yang mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahi ia kapannya si baju hijau itu berada di atasnya pohon itu. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, atau ia kaget sendirinya, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling itu.
Hampir di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari kuka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi mereka merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: “Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengari lagi serulingnya!”
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tenagh bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya, tetapi mendengari suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, diwaktu ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringatnya, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
* * *
Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya siangnya, mereka jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat.
Biar bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si Mayat Besi? Karenanya, diwaktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu.
“Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?” katanya kepada si nona.
“Jangan,” Oey Yong menggoyangi tangan. “Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya, setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja padanya!”
“Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?” tanya si pemuda lagi.
“Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!” sahut si nona, yang tertawa.
Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras itu dan luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya itu.
Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis, bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka berdiam lebih lama.
Dihari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya itu ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuha tengkorak dengan lubang lima jari tangan.
Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia menanya: “Siapa…siapakah yang membawa ini kemari?” Ia pun memcoba berbangkit dengan bantuan tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar