Sabtu, 20 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 18



Bab 18. Mengadu Kepandaian

Habis menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk smabil menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan.
Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.
“Aneh,” pikir Ong Cie It. “Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini? Pada ini mesti ada rahasianya…?” Lantas ia pandang si nona dan menanya: “Nona, siapakah namamu?”
Nona itu menunduki kepalanya. “Namaku Bok Liam Cu,” ia menyahut perlahan.
“Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik,” kata Cie It, yang terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letaki di atas meja, seraya menambahkan: “Besok aku akan datang untuk menjenguk pula padamu.” Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat meninggalkan hotel itu.
Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.
Ong Cie It mengangguk.
“Totiang, kau tunggu sebentar,” berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang. Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu ke dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.
Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis. Undakan tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia depan. Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: “Chao Wang Hu” atau istana pangeran Chao Wang.
Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka itu tanpa merasa, hatinya tercekat.
“Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?” ia kata di dalam hatinya. “Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade….”
Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It, menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.
Melihat dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya. ia diam saja, ia turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilakan duduk di kursi atas.
“Totiang bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat beruntung!” berkata tuan rumah yang muda ini.
Ong Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut didepannya dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya.
“Sudah berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?” ia tanya.
“Mana boanpwe mengerti ilmu silat?” sahut Wanyen Kang sambil tertawa. “Aku ikuti suhu buat dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga aku membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawai aku.”
“Hm!” Ong Cie It kasih dengar suaranya. “Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di sini, kau tahu tidak?”
“Guruku ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?” Wanyen Kang balas menanya.
Ong Cie It menjadi heran sekali. “Ada di mana ia sekarang?” ia tanya.
Wanyen Kang menepuk tangan dua kali. “Siapakan meja santapan!” ia memberi perintah kepada pengiringnya.
Pengiring itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.
Wanyen Kang sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, untuk mana mereka melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka mesti jalan sekian lama. Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahannya istana, sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang. Hatinya pun tidak tentram, tidak tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh. Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dia itu mengawasi anak muda kita ini dengan sorot mata bengis! Biar bagaimana, Kwee Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya dekat sekali dengan si imam.
Wanyen Kang bergirang ketika ia kata pada Ong Cie It. “Totiang, beberapa tuan ini sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!” Ia lantas menunjuk Peng Lian Houw dan kata: “Inilah Pheng Cecu, kedua pihak sudah saling mengenal.”
Kedua orang itu saling memberi hormat.
“Dan ini adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,” Wanyen Kang memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar sebagai muka seorang bocah.
Ong Cie It heran hingga ia berpikir: “Kenapa Siluman Tua ada disini juga?”
io Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata: “Di sini lohu dapat bertemu sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke Tionggoan ini.” Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya: “Ini adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong dari Tibet. Kami berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu lie, maka pertemuan ini benar-benar satu jodoh!”
Ong Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si paderi membalasnya seraya menakopi kedua tangannya.
Justru itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring: “Kiranya Kanglam Cit Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka menjadi begini malang melintang.”
Ong Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar. Dengan melihat roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.
“Bukankah tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?” ia bertanya.
“Benar!” sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya, “Kiranya kau masih kenal aku!”
Cie It heran, hingga kata dalam hati kecilnya: “Kita ada bagaikan air kali dan air sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah berbuat salah terhadapnya?” Ia menunjuki sikap sabar, ia kata: “Nama besar dari See Locianpwee memang telah lama aku pangeni.”
Orang she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah diliputi kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian dan gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu, di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa murid-muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng. Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia hajar mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay untuk menuntu balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini, tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak, tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng.
Bocah itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya.
“Bagus! benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!” ia berseru, tangannya terus menyambar si imam.
Melihat orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat tangannya, untuk menangkis.
Disaat kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu orang, tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya menyambar lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng, dua orang itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.
Dua-dua See Thong Thian dan Ong Cie It terperanjat. Mereka bukan sembarang orang, maka mereka heran ada seorang yang dapat pisahkan mereka secara demikian gampang. Tanpa merasa keduanya lantas mengawasi si pemisah itu, ialah seoarng dengan jubah putih, sikapnya tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau tipuluh enam tahun, alisnya panjang hingga ujungnya mengenai rambut di pelipisnya, romannya tampan, hingga ia mirip dengan satu sastrawan, siucay. Dandanannya, seumumnya, seperti dandanan seorang bangsawan.
Segera juga Wanyen Kang menghampirkan, sembari tertawa ia berkata: “Tuan ini adalah Auwyang Kongcu, sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di Tibet. Dia belum pernah datang ke Tionggoan, maka itu ini adalah pertama kalinya ia bertemu sama tuan-tuan!”
Bukan melainkan Ong Cie It dan Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu- pemilik bukit – dari Pek To San itu, juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta lainnya hadiran di situ. Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang menengah. Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San – Bukit Unta Putih itu.
Auwyang Kongcu ini sudah lantas rankap kedua tangannya, terus ia berkata: “Sebenarnya aku telah mesti siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di tengah jalan aku mendapatkan satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat beberapa hari. Untuk itu aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya.”
Kwee Ceng tidak kenal sancu ini, tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia lantas ingat kepada si nonan-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga: “Mungkinkah enam guruku sudah bertempur dengan dia ini?”
Ong Cie It pandai berpikir, ia tidak hunjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua hadirin di situ itu ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka itu. Maka ia lantas pandang tuan rumah.
“Mana gurumu?” ia tanya. “Kenapa tidak kau minta ia keluar?”
“Ya,” sahut Wanyen Kang denagn sederhana. Lantas ia berpaling kepada pengiringnya dan memrintah dengan singkat: “Undang suhu!”
Pengiring itu sudah lantas mengundurkan diri.
Cie It merasakan hatinya lega. Ia telah berpikir: “Dengan adanya Khu Suheng disini, musuh boleh tambah lagi, masih dapat kami membela diri…”
Tidak lama lantas terdengar tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat seseorang bertubuh gemuk yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia adalah seorang opsir. Dia berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya sangat keren.
“Suhu!” Wanyen Kang lantas memanggil. “Totiang ini hendak bertemu sama suhu, malah ia sudah menanyakan beberapa kali…”
Melihat orang itu dan mendengar perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It menjadi panas sekali. Ia telah berpikir: “Bocah binatang ini, kau permainkan aku..!” Tapi ia mencoba untuk mengendalikan diri.
“Untuk urusan apakah kau hendak bertemu sama aku, imam?” si opsir menanya, sikapnya jumawa. “Adalah sudah biasa bagi aku, aku paling tidak senang terhadap segala paderi, imam atau paderi perempuan!”
Dengan paksakan diri, Ong Cinjin tertawa. “Tayjin hendak memohon derma,” ia berkata. “Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!”
Heran opsir itu atas permintaan derma tersebut. Ia bernama Thung Couw Tek, kepala barisan pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali, pernah ia ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru. Yang lain-lain pun turut memanggil guru padanya.
“Itulah selayaknya,” berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas kata pada pengiringnya: “Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke hotelnya totiang.”
Thung Couw Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa.
“Tuan-tuan, silakan duduk!” Wanyen Kang mengundang. “Totiang baharu pertama ini tiba disini, silakan duduk di kursi kepala.”
Ong Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata: “Sekarang ini telah hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal keadilan. Tentang si orang she Bok yah dan anak itu, bagaimana urusannya itu harus diatur?”
Mendengar pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengisikan sebuah cangkir, ia berbangkit untuk bawa itu kepada Ong Cie It seraya terus berkata: “Silahkan totiang keringkan dahulu cawan ini. Tentang itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia untuk menuruti.”
Cie It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian: “Bagus! Sekarang baik si orang she Bok itu diundang kemari, untuk kita membicarakan urusannya.”
“Bagus begitu,” menyahut Wanyen Kang. “Aku minta saudara Kwee saja yang pergi mengundang tuan Bok itu.”
Ong Cie It menagngguk dan Kwee Ceng segera berbangkit, untuk pergi ke hotel dimana Bok Ek dan gadisnya menumpang. Tiba di sana, ia menjadi heran. Ayah dan anak dara itu tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun telah dibawa pergi. Ketika jongos ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang sudah pergi entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.
Kwee Ceng heran. Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang. Jongos itu tidak dapat memberikan keterangan. Maka terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan tangan hampa.
Sambil tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya. “Banyak cape, tuan Kwee!” katanya. “Mana tuan Bok itu?”
“Ia telah pergi, entah kemana,” sahut Kwee Ceng, yang treus tuturkan kepergiannya Bok Ek serta anaknya itu.
“Oh, aku menyesal…” berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada pengiringnya, untuk memerintah: “Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan putrinya itu, dia mesti dapat diundang datang kemari!”
Pengiring itu menyahuti, terus ia undurkan diri.
Ong Cie It menjadi membungkam, tetapi ia bercuriga. Akhirnya, ia berkata: “Tidak peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!”
“Totiang benar,” berkata Wanyen Kang sembari tertawa.
Sementara itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol. Tidak karu-karuan cukongnya kehilangan uang seribu tail perak. ia penasaran sekali, selagi si pangeran berlaku manis, si imam bersikap seperti tidak tahu aturan. Akhirnya ia menegur: “Eh, tosu, kau asal kuil mana? Kenapa kau datang kemari untuk main gila?!”
Ong Cie It tidak menyahuti, ia hanya balik bertanya: “Jenderal, kau ada asal negara mana? Kau mengandal apa maka kau datang kemari dan menjadi pembesar negeri?”
Couw Tek gusar sekali. Bukankha ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim? Kenapa ia mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya? Ia justru paling tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya. Ia memang tidak puas dengan kedudukannya. Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian untuk negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin pasukan tentara sendiri. Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil tetapi ia tetap ditempatkan di onghu. Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin ia merasa tersinggung. Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju mukanya Ong Cinjin!
Cie It tertawa. “Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun,” ia berkata, “Maka perlu apa kau bergusar dan menggunakan kekerasan?” Ia angkat sumpitnya untuk menjempit kepalan orang.
Kepalan Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju.
“Imam siluman, kau menggunai ilmumu!” ia membentak, kaget dan gusar menjadi satu. Dia terus menarik pulang tangannya itu, tetapi dia tidak berhasil. Maka mukanya menjadi merah, dia jengah sekali.
“Jangan gusar, ciangkun,” berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya. “Baiklah ciangkun duduk dan keringkan arakmu!” Ia ulur tangannya, akan tekan pundak si jenderal.
Thie Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi tidak si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu, cepat luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpitnya itu terus ia pakai menyambar sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya orang she Thung itu, untuk disuapi dengan paksa!
Couw Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk di kursinya akibat tekanannya Nio Cu Ong. Ia malu bukan main, ia sangat mendongkol, maka ketika ia berbangkit pula, terus ia lari ke dalam.
Menyaksikan kejadian itu, semua hadirin tertawa.
“Coan Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong belaka!” berkata See Thong Thian. “Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang, sudikah totiang meluluskannya?”
“Tidak berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe,” berkata Giok Yang Cu. “Silakan locianpwe mengatakannya.”
“Pihak kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay,” berkata Kwie-bun Liong Ong, “Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya dibelakang Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku? Walaupun Coan Cin Pay banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa takut.”
“See Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti,” berkata Giok Yang Cu. “Pinto tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun yang pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka. Maka itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi Hong Ho Su Koay.”
“Bagus, kalau begitu!” berseru See Thong Thian. “Sekarang kau serahkan ini bocah kepadaku!” ia lantas berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak batang lehernya Kwee Ceng.
Ong Cie It mengerti, bocah itu tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya ia tentu terluka enteng, maka itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan kirinya berbareng dipakai membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng tertolak mental. Menyusul itu jambakannya si orang she See itu mengenai kursi yang diduduki Kwee Ceng, hingga kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan suara keras.
Jambakan itu adalah jambakan dari Gwa-kang, ilmu Bahagian Luar, hebatnya tak sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak kalah.
“Hau, kau lindungi bocah ini?” menegur Thong Thian karena kegagalannya itu.
“Sabar, locianpwe,” berkata Cie It tenang. “Anak ini pinto yang bawa datang ke istana ini, maka itu sudah selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara baik-baik. Kalau benar saudara tidak sudi melepaskan padanya, tidak dapatkah kau mencari ia dilain hari?”
Auwyang Kongcu lantas campur bicara. “Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah dari saudara See?” dia tanya. “Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat menimbangnya.”
Sebelum menjawab, See Thong Thian telah berpikir: “Imam ini lihay tak ada di bawahanku, kalau ia mengotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap di sini. Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay…” Maka itu, ia lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering. Kemudian ia berkata: “Sebenarnya aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini. Aku ada punya empat murid tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk suatu urusan, selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba mereka diganggu oleh bocah ini. Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar karenanya. Coba tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan, cara bagaimana kami bisa lakukan usaha yang besar?”
Kata-kata itu berpengaruh untuk para hadirin itu. Kecuali Cie It dan Kwee Ceng, mereka dalah orang-orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan dan bingkisan berarti. Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah, guna diserahkan pada Chao Wang.
Diam-diam Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng. Ia lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu. Ia bingung sebab musuh tangguh semuanya. Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai pertempuran tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi satu bocah. Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba mencari tahu sikap sebenarnya dari para hadirin masing-masing.
“Nama besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan,” ia berkata, “Hari ini pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan pinto. Tentang bocah ini,” ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng, “Ia muda dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang suatu apa. Tuan-tuan berniat menahan dia, ini juga pinto tidak dapat menentangi. Cuma lebih dulu daripada itu, dengan membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjuki dulu ilmu kepandaian kamu, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan mengatakan pinto todak sudi melindungi padanya, sedang sebenarnya pinto tidak sanggup berbuat demikian….”
Hauw Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang Cu, ia mendahului berbangkit, untuk singsatkan bajunya.
“Biarlah aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu,” ia berkata, menentang si imam.
“Kebiasaanku tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-tuan,” Ong Cie It berkata pula.
“Maka itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjuki sesuatu agar pinto dapat pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya ia insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan berani pula banyak tingkah!”
Hauw Thong Hay mendongkol sekali. Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak tahu ia bagaimana harus memberikan jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus.
See Thong Thian juga berpikir: “Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat permainan, memang lebih baik tidak usah bertempur dengannya.” Maka ia lantas awasi Thong Hay dan berkata kepadanya: “Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May Jin, untuk minta Ong Cinjin memberi pengajaran padamu!”
“Itulah aku tidak berani,” Cie It membilang keras.
Ketika itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi ke lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.
Kwee Ceng heran. ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti telah disebutkan See Thong Thian, yaitu “Soat-lie May Jin” atau “Mengubur orang di dalam salju”
See Thong Thian lantas berkata pada pengiring-pengiringnya Wanyen Kang: “Tolong tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!”
Kawanan pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan permintaan itu.
Sebenarnya See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai Hong Ho, mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay dapat nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.
Orang semua heran dan akgum, tetapi mereka terus minum arak mereka.
Selang sekian lama. barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu sejenak saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.
Saking kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.
Thong Hay melirik pada bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.
“Kasar kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan…” berkata See Thong Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya, maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok merupakan satu huruf “Yauw”. Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan demikian rupa, itulah bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.
Kata Ong Cie It dalam hatinya: “Tidak heran Kwie-bun Liong Ong menjagoi sungai Hong Ho, dia memang lihya sekali.”
Di tembok sekarang terlihat lagi dua huruf, “Bu” dan “Yang”, maka itu dapat diduga See Thong Thian hendak menuliskan empat huruf “yauw bu yang wie” yang artinya menentang pengaruh atau menjagoi.
Menyaksikan itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata, “See toako, kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam pengaruhmu, ingin mempertunjuki sesuatu…” Ia lantas saja lompat ke tengah ruangan itu.
Ketika itu See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf “Wie” yang terakhir, akan tetapi baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat meluncurnya biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji beruntun dikasih masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas kermak-kermik, seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya dilepehkan!
“Bagus!” orang banyak berseru memuji.
“Ah, aku tidak sanggup memakan lebih jauh!” berseru Peng Lian Houw, yang terus aja lompat balik ke kursinya.
Setelah itu barulah See Thong Thian rampungkan huruf “Wie” itu.
Gangguannya Peng Lian Houw itu tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah tersenyum. Persahabatan mereka adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun, mereka telah mengenal baik satu dengan lain. kemudian Thong Thian menoleh kepada Auwyang Kongcu, untuk mengatakan: “Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa untuk kami dapat membuka mata kami?”
Kongcu itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja. Ia tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si pelayan. Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit – dua puluh pasang – terlempar ke salju dan nancap. Apa yang luar biasa, semua sumpit nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee!
Kwee ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian dengan Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-diam terkejut sendirinya. Malah Ong Cie It segera berpikir: “Kenapa orang-orang lihay ini dapat berkumpul di sini? Biasanya, untuk menemui satu saja sudah sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka ada mengandung sesuatu maksud?”
Selagi si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong berbangkit sambil tertawa, haha-hihi, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, untuk ulur tangannya yang kanan ke pinggangnya batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu itu kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati. Batu itu segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak tingginya. Sebelum batu itu turun, lagi dua batu diangkat dan diapungi seperti yang pertama itu. Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi, maka batu itu lantas diam di dahinya itu. Lalu menyusul batu yang kedua dan yang ketiga, ketiganya menjadi saling susul. Dengan rangkapi kedua tangannya, memberi hormat kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah latar. Dengan satu lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-pelatok sumpit Auwyang Kongcu tadi, berdiri di atas itu ia lantas bersilat, memainkan ilmu silat “Yan Ceng Kun.” Ia menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih, tapi barang berat itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan kakinya tidak pernah meleset dari ujung sumpit. Baru setelah habis semua jurus itu, ia lompat turun dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu, ia kembali ke kursinya. Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia merasa letih.
Adalah biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti Nio Cu Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu yang berat itu.
Kwee Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-hentinya. Kelihatannya pesta bakal ditutup sampai disitu. Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang terisi air hangat, untuk semua tetamu membersihkan tangan mereka.
“Cuma Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya,” Cie It berpikir. “Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan…”
Maka itu si imam segera melirik paderi dari Tibetb itu.
Leng Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-lain, sikapnya wajar saja, hanya selagi yang lain-lain sudah selesai, ia masih merendam kedua tangannya di dalam baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka justru menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak.
Selang lagi sesaat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu menampak perubahan. Baskomnya si paderi lantas saja menghembuskan hawa napas sebagai uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin nyata, mirip asap, akan kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak.
Selagi semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat. “Hebat tenaga dalamnya paderi ini,” katanya dalam hati. “Aku tidak boleh berlambat lagi, aku mesti mendahului turun tangan terhadap dia…”
Tengah semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderungkan tubuhnya, melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang duduk berselang daripadanya, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, tubuh siapa ia terus angkat, untuk digeser ke depannya.
Orang lantas melihat kejadian ini, mereka heran. Kemudian, untuk kagetnya mereka, mereka lihat pangeran itu ditotok hingga ia menjadi tak berdaya lagi. Kemudian lagi si imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu.
See Thong Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat berdaya.
Dengan tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata: “Barusan aku saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak menghormati kamu dengan secawan arak.” Ia tidak berbangkit tapi ia dapat menuangi arak ke dalam cawannya semua orang. Asal tangannya digeraki, arak meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh, tidak ada arak yang berceceran.
Leng Tie Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam ini, maka itu, asal tangan kirinya digeraki, celakalah Wanyen Kang. Mereka insyaf juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia bersendirian saja.
Paling akhir Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri, kemudian ia letaki poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering. Habis itu ia berbicara,
“Pinto tidak berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan,” katanya, “Pinto juga tidak bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka kepadanya karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu denagn memandang kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini.”
Semua orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk.
“Jikalau tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini,” berkata pula Ong Cie It, yang menanti jawaban, “Maka pinto juga akan bebaskan ini siauw-ongya. Siauw-ongya adalah seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak rakyat jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya rugi? Bagaimana?”
“Ong Totiang, kau baik sekali!” berkata Nio Cu Ong tertawa. “Baiklah, beginilah kita mengambil keputusan.”
Tanpa bersangsi sedikit juga, dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya Wanyen Kang, maka pangeran itu bebas dari totokan, terus ia dikembalikan ke kursinya. Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin atau licik. Habis itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya Kwee Ceng untuk diajak pergi. Masih ia mengucapkannya: “Ijinkanlah kami mengundurkan diri. Sampai bertemu pula!”
Semua orang mengawasi denagn air muka guram. Bukankah ikan telah masuk ke dalam jala tetapi dapat lolos pula? Tidakkah itu sayang?
Wanyen Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum, ia kata kepada Ong Cinjin: “Totiang, apabila ada tempo yang luang, silakan sembarang waktu datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak pengajaran.” Ia lantas berbangkit, dengan sikapnya yang menghormat, ia mengantarkan keluar.
“Hm!” bersuara si imam, yang terus bilang: “Urusan kita telah selesai, maka itu mesti ada harinya yang kita nanti bertemu pula!”
Setibanya mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara. “Totiang sangat lihay, yang kau membuatnya orang sangat kagum!” demikian katanya. Ia merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi ketika ia buka kedua tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si imam!
“Celaka!” Ong Cie It berseru di dalam hatinya dengan ia lekas-lekas angkat kedua tangannya untuk membalas hormat. Ia kerahkan tenaga latihannya dari beberapa puluh tahun untuk memcahkan serangan hebat itu.
Sebat luar biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga luar, tangan kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It. tetapi si imam pun tidak diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah lantas dapat melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.
Cuma hanya sekali bentrok, kedua tangan sama-sama ditarik pulang.
“Sungguh aku takluk, aku takluk!” berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya berubah, seraya melompat mundur.
Ong Cie It tersenyum, ia bertanya: “Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw, mengapa kata-katanya tidak masuk hitungan?”
Leng Tie menjadi gusar. “Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya hendak menahan kau…” katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia muntah darah. Sebab bentrokan itu membuat ia terluka. Coba ia berlaku tenang dan mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia diejek si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.
Ong Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat dari istana itu.
See Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka gentar. Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka merintangi.
Sesudah belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah tikungan dan melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul mereka, dengan perlahan Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu: “Kau gendong aku sampai di rumah penginapan…”
Kwee Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti ynag kehabisan napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam.
“Adakah totiang terluka?” ia tanya heran.
Ong Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.
Kwee Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam itu, untuk menggendong dia, untuk dibawa pergi denagn cepat. Ia mau mampir di sebuah hotel yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan: “Cari…cari tempat yang sepi dan hotel kecil…”
Kwee Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-lari. Ia tahu imam ini khawatir nanti disusul musuh, yang ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka bisa terancam bahaya. Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja. Sementara itu ia merasai napasnya si imam semakin mendesak. Syukur ia lantas dapat cari sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya. Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.
“Lekas…lekas cari sebuah jambangan besar…” berkata Ong Cie It. “Kau isikan penuh air bersih…”
“Untuk apakah itu, totiang?” Kwee Ceng tanya.
Cie It tidak menyahuti, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah itu lekas pergi.
Kwee Ceng menurut. Ia cari orang hotel, ia letaki sepotong perak di atas meja seraya minta lekas disediakan jambangan. Ia juga memberi persen kepada si jongos. Maka itu jongos kegirangan, cepat-cepat ia sediakan barang yang diminta itu, yang diletaki di cimche, terus diisikan air dingin.
Kwee Ceng lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.
“Bagus, anak yang baik!” berkata Ong Cie It. “Sekarang pondong aku, kau letaki aku di dalam jambangan itu. Kau larang orang lain datang dekat padaku…”
Kwee Ceng tidak mengerti tetapi ia pondong si imam itu, ia masuki tubuh orang ke dalam jambangan hingga sebatas leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang siapa saja masuk ke cimche itu.
Ong Cie It merendam di dalam jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan tenang ia mainkan napasnya.
Kira semakanan nasi lamanya, air jambangan yang bersih bening itu berubah menjadi hitam. Di pihak lain, kulit muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi bersemu dadu.
“Coba bantui aku bangun, air ini tukar dengan yang bersih,” ia minta kepada Kwee Ceng.
Permintaan itu diturut, maka sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di dalam air yang baru.
Sekarang barulah Kwee Ceng ketahui orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan diri dari luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan Leng Tie Siangjin. Imam ini umpama kata cuma menang seurat.
Kwee Ceng melayani terus sampai ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi berubah hitam, atas mana Giok Yang Cu lantas saja tertawa dan berkata: “Sudah tidak ada bahaya lagi!”
Dengan pegangi pinggiran jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi ia menghela napas ketika ia berkata pula: “Paderi dari Tibet itu sangat berbahaya!”
Kwee Ceng berlega hati, ia girang sekali. “Apakah tangannya paderi Tibet itu ada racunnya?” ia tanya.
“Benar,” sahut Cie It. “Itulah racun dari Cu-see-ciang. Ilmu semacam itu, Tangn Pasir Merah sering aku menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari ini hampir aku kehilangan jiwa…”
“Totiang ingin dahar apa? Nanti aku pergi belikan,” Kwee Ceng tanya kemudian.
Cie It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat. “Aku telah bebas dari bahaya jiwa,” berkata si imam itu. “Tetapi hawa racun di dalam tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan, akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolongi aku lekas membeli obat.”
Kwee Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat rumah obat yang pertama, ia segera mampir dan serahkan resepnya itu.
“Sayang tuan,” kata pelayan setelah ia membaca surat obat itu, “Kebetulan saja obat hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis.”
Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng samber resepnya, untuk lari ke rumah obat yang lain. Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada. Makanya ia mesti pergi ke lain toko obat lagi. Untuk herannya, tujuh atau delapan rumah obat semua kehabisan empat rupa bahan obat itu. Ia menjadi bingung dan mendongkol. Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan itu masih tidak kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.
“Akun mengerti sekarang,” kata bocah ini kemudian. “Tentulah orang dari istana Chao Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka ketahui Ong Cinjin pasti membutuhkannya. Sungguh jahat!”
Dengan masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan kegagalannya.
Imam itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.
Kwee Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja dan menangis megerung-gerung. Ia putus asa.
Ong Cie It tertawa. “Jiwa manusia sudah ditakdirkan,” ia berkata, “Kematian pun tidak harus disayangkan. Laginya belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa kau menangis?” Lalu dengan suara halus ia bernyanyi.
Kwee Ceng heran, ia mengawasi.
Cit It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan.
Bocah ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar. “Kenapa aku tidak mau pergi ke tempat yang berdekatan,” pikirnya kemudian. “Di sana belum tentu obat itu telah orang beli juga…”
Ingat begini, hatinya lega. Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada toko obat. Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat, menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Surat itu dialamatkan kepadanya.
Surat itu bagus tulisannya dan kertanya berbau harum. Ia heran. “Siapa yang mengirim surat ini?” ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sambpul surat, untuk dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja:
“Aku menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie. Ada urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!”
Surat itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis bocah. Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum berseri-seri.
“Siapa bawa surat ini?” ia tanya jongos. Ia girang berbareng heran.
“Seorang gelandangan di jalan besar,” sahut jongos itu.
Kwee Ceng masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan tangannya. Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi beli obat ditempat lain.
“Kita dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?” berkata si imam. “Tidak usahlah kau pergi.”
Kwee Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba. Ia ingat Oey Yong cerdik sekali, mungkin ia dapat berunding dengan temannya itu. Maka itu ia beritahu bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu. Ia pun beri lihat suratnya Oey Yong itu.
Ong Cie It berpikir. “Cara bagaimana kau kenal anak itu?” ia tanya.
Kwee ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat.
“Aku telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,” berkata Ong Cinjin. “Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati,” ia pesan. “Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku lihat padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu pasti apa itu…”
“Kita bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,” menyatakan Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu.
Ong Cinjin menghela napas. “Baru berapa lama kamu bersahabat?” katanya. “Mana itu dapat disebut persahataban sehidup semati? Jangan kau pandang enteng dia sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak dapat layani dia….”
Di dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir: “Totiang membeilang begini sebab ia belum tahu sifatnya Oey Hiantee…” Ia menyebutnya “Oey Hiantee” = “adik she Oey”, tanda ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikannya sahabatnya itu.
Ong Cinjin tertawa. “Baik, kau pergilah lekas!” katanya. “Semua anak muda berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan kamu…”
Imam ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar