Bab 18. Mengadu Kepandaian
Habis
menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia
terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang
rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk smabil
menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri
berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan.
Ong
Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya
bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua
lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin
dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.
“Aneh,” pikir Ong Cie It. “Ilmu
silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan
ilmu pukulan jahat ini? Pada ini
mesti ada rahasianya…?” Lantas ia pandang si nona dan menanya: “Nona, siapakah
namamu?”
Nona
itu menunduki kepalanya. “Namaku Bok Liam Cu,” ia menyahut perlahan.
“Luka
ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik,” kata Cie It, yang terus
merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letaki
di atas meja, seraya menambahkan: “Besok aku akan datang untuk menjenguk pula
padamu.” Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat
meninggalkan hotel itu.
Di
luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat,
yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di gedung
dan imam serta bocah itu diundang ke sana.
Ong
Cie It mengangguk.
“Totiang,
kau tunggu sebentar,” berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam
hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang. Ia
pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu ke
dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti
keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.
Tiba
di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar
bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong
masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis. Undakan
tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia depan. Di
pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: “Chao Wang Hu”
atau istana pangeran Chao Wang.
Kwee
Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka
itu tanpa merasa, hatinya tercekat.
“Mungkinkah
si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?” ia kata di dalam hatinya.
“Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade….”
Selagi
si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara
tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It,
menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah
dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah
emas.
Melihat
dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya. ia diam saja, ia
turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilakan duduk di kursi
atas.
“Totiang
bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat beruntung!”
berkata tuan rumah yang muda ini.
Ong
Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut didepannya
dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya.
“Sudah
berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?” ia tanya.
“Mana
boanpwe mengerti ilmu silat?” sahut Wanyen Kang sambil tertawa. “Aku ikuti suhu
buat dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga aku
membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawai aku.”
“Hm!”
Ong Cie It kasih dengar suaranya. “Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak
tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di
sini, kau tahu tidak?”
“Guruku
ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?” Wanyen Kang balas
menanya.
Ong
Cie It menjadi heran sekali. “Ada di mana ia sekarang?” ia tanya.
Wanyen Kang
menepuk tangan dua kali. “Siapakan meja santapan!” ia memberi perintah kepada
pengiringnya.
Pengiring
itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.
Wanyen Kang
sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, untuk mana mereka
melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka mesti
jalan sekian lama. Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahannya istana,
sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang. Hatinya pun tidak tentram, tidak
tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh.
Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya
jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu
Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dia itu
mengawasi anak muda kita ini dengan sorot mata bengis! Biar bagaimana, Kwee
Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya dekat sekali dengan si imam.
Wanyen
Kang bergirang ketika ia kata pada Ong Cie It. “Totiang, beberapa tuan ini
sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!” Ia
lantas menunjuk Peng Lian Houw dan kata: “Inilah Pheng Cecu, kedua pihak sudah
saling mengenal.”
Kedua orang
itu saling memberi hormat.
“Dan ini
adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,” Wanyen Kang
memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar sebagai muka
seorang bocah.
Ong
Cie It heran hingga ia berpikir: “Kenapa Siluman Tua ada disini juga?”
io
Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata: “Di sini lohu dapat bertemu
sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke
Tionggoan ini.” Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya: “Ini
adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong dari Tibet. Kami
berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu
lie, maka pertemuan ini benar-benar satu jodoh!”
Ong
Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si paderi
membalasnya seraya menakopi kedua tangannya.
Justru
itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring: “Kiranya Kanglam Cit
Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka menjadi begini
malang melintang.”
Ong
Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada
selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar. Dengan melihat
roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.
“Bukankah
tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?” ia bertanya.
“Benar!”
sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya, “Kiranya kau masih kenal
aku!”
Cie
It heran, hingga kata dalam hati kecilnya: “Kita ada bagaikan air kali dan air
sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah
berbuat salah terhadapnya?” Ia menunjuki sikap sabar, ia kata: “Nama besar dari
See Locianpwee memang telah lama aku pangeni.”
Orang
she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah diliputi
kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian dan
gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak
lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu,
di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa
murid-muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu
kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng.
Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia hajar
mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay untuk
menuntu balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena
dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini,
tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak,
tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat
sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng.
Bocah
itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya.
“Bagus!
benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!” ia berseru, tangannya terus
menyambar si imam.
Melihat
orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat
tangannya, untuk menangkis.
Disaat
kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu orang,
tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya menyambar
lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng, dua orang
itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.
Dua-dua See Thong Thian dan Ong
Cie It terperanjat. Mereka bukan sembarang orang, maka mereka heran ada seorang
yang dapat pisahkan mereka secara demikian gampang. Tanpa merasa keduanya
lantas mengawasi si pemisah itu, ialah seoarng dengan jubah putih, sikapnya
tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau tipuluh enam tahun, alisnya
panjang hingga ujungnya mengenai rambut di pelipisnya, romannya tampan, hingga
ia mirip dengan satu sastrawan, siucay. Dandanannya, seumumnya, seperti
dandanan seorang bangsawan.
Segera juga Wanyen Kang
menghampirkan, sembari tertawa ia berkata: “Tuan ini adalah Auwyang Kongcu,
sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di Tibet. Dia belum pernah
datang ke Tionggoan, maka itu ini adalah pertama kalinya ia bertemu sama
tuan-tuan!”
Bukan melainkan Ong Cie It dan
Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu- pemilik bukit – dari Pek To San itu,
juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta lainnya hadiran di situ. Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang
menengah. Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San – Bukit Unta Putih
itu.
Auwyang Kongcu ini sudah lantas
rankap kedua tangannya, terus ia berkata: “Sebenarnya aku telah mesti
siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di tengah jalan aku mendapatkan
satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat beberapa hari. Untuk itu
aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya.”
Kwee Ceng tidak kenal sancu ini,
tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia lantas ingat kepada si
nonan-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga: “Mungkinkah enam guruku sudah
bertempur dengan dia ini?”
Ong
Cie It pandai berpikir, ia tidak hunjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua hadirin
di situ itu ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka itu. Maka ia
lantas pandang tuan rumah.
“Mana
gurumu?” ia tanya. “Kenapa tidak kau minta ia keluar?”
“Ya,”
sahut Wanyen Kang denagn sederhana. Lantas ia berpaling kepada pengiringnya dan
memrintah dengan singkat: “Undang suhu!”
Pengiring itu sudah lantas
mengundurkan diri.
Cie It merasakan hatinya lega. Ia
telah berpikir: “Dengan adanya Khu Suheng disini, musuh boleh tambah lagi,
masih dapat kami membela diri…”
Tidak lama lantas terdengar
tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat seseorang bertubuh gemuk
yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia adalah seorang opsir. Dia
berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya sangat keren.
“Suhu!” Wanyen Kang lantas
memanggil. “Totiang ini hendak bertemu sama suhu, malah ia sudah menanyakan
beberapa kali…”
Melihat orang itu dan mendengar
perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It menjadi panas sekali. Ia telah
berpikir: “Bocah binatang ini, kau permainkan aku..!” Tapi ia mencoba untuk
mengendalikan diri.
“Untuk urusan apakah kau hendak
bertemu sama aku, imam?” si opsir menanya, sikapnya jumawa. “Adalah sudah biasa
bagi aku, aku paling tidak senang terhadap segala paderi, imam atau paderi
perempuan!”
Dengan
paksakan diri, Ong Cinjin tertawa. “Tayjin hendak memohon derma,” ia berkata.
“Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!”
Heran opsir
itu atas permintaan derma tersebut. Ia bernama Thung Couw Tek, kepala barisan
pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali, pernah ia
ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru. Yang
lain-lain pun turut memanggil guru padanya.
“Itulah
selayaknya,” berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas kata
pada pengiringnya: “Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke hotelnya
totiang.”
Thung Couw
Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa.
“Tuan-tuan,
silakan duduk!” Wanyen Kang mengundang. “Totiang baharu pertama ini tiba
disini, silakan duduk di kursi kepala.”
Ong
Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di
kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata: “Sekarang ini telah
hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal
keadilan. Tentang si orang she Bok yah dan anak itu, bagaimana urusannya itu
harus diatur?”
Mendengar
pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang.
Pangeran
itu mengisikan sebuah cangkir, ia berbangkit untuk bawa itu kepada Ong Cie It
seraya terus berkata: “Silahkan totiang keringkan dahulu cawan ini. Tentang
itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia untuk menuruti.”
Cie
It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap
demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian: “Bagus! Sekarang baik
si orang she Bok itu diundang kemari, untuk kita membicarakan urusannya.”
“Bagus
begitu,” menyahut Wanyen Kang. “Aku minta saudara Kwee saja yang pergi
mengundang tuan Bok itu.”
Ong Cie It
menagngguk dan Kwee Ceng segera berbangkit, untuk pergi ke hotel dimana Bok Ek
dan gadisnya menumpang. Tiba di sana, ia menjadi heran. Ayah dan anak dara itu
tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun telah dibawa pergi. Ketika jongos
ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang sudah pergi
entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.
Kwee
Ceng heran. Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang. Jongos itu tidak dapat memberikan keterangan. Maka
terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan tangan hampa.
Sambil
tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya. “Banyak cape, tuan Kwee!” katanya. “Mana
tuan Bok itu?”
“Ia telah
pergi, entah kemana,” sahut Kwee Ceng, yang treus tuturkan kepergiannya Bok Ek
serta anaknya itu.
“Oh, aku
menyesal…” berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada pengiringnya, untuk
memerintah: “Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan putrinya itu, dia
mesti dapat diundang datang kemari!”
Pengiring
itu menyahuti, terus ia undurkan diri.
Ong
Cie It menjadi membungkam, tetapi ia bercuriga. Akhirnya, ia berkata: “Tidak
peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!”
“Totiang
benar,” berkata Wanyen Kang sembari tertawa.
Sementara
itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol. Tidak karu-karuan cukongnya kehilangan
uang seribu tail perak. ia penasaran sekali, selagi si pangeran berlaku manis,
si imam bersikap seperti tidak tahu aturan. Akhirnya ia menegur: “Eh, tosu, kau
asal kuil mana? Kenapa kau datang kemari untuk main gila?!”
Ong
Cie It tidak menyahuti, ia hanya balik bertanya: “Jenderal, kau ada asal negara
mana? Kau mengandal apa maka kau datang kemari dan menjadi pembesar negeri?”
Couw
Tek gusar sekali. Bukankha ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim? Kenapa ia
mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya? Ia justru paling
tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya. Ia memang tidak puas dengan
kedudukannya. Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian untuk
negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin pasukan
tentara sendiri. Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil tetapi
ia tetap ditempatkan di onghu. Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin ia
merasa tersinggung. Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu
Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju mukanya Ong Cinjin!
Cie
It tertawa. “Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun,” ia berkata,
“Maka perlu apa kau bergusar dan menggunakan kekerasan?” Ia angkat sumpitnya
untuk menjempit kepalan orang.
Kepalan
Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju.
“Imam
siluman, kau menggunai ilmumu!” ia membentak, kaget dan gusar menjadi satu. Dia
terus menarik pulang tangannya itu, tetapi dia tidak berhasil. Maka mukanya
menjadi merah, dia jengah sekali.
“Jangan
gusar, ciangkun,” berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya. “Baiklah
ciangkun duduk dan keringkan arakmu!” Ia ulur tangannya, akan tekan pundak si
jenderal.
Thie
Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi tidak
si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu, cepat
luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpitnya itu terus ia pakai menyambar
sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya orang she Thung
itu, untuk disuapi dengan paksa!
Couw
Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk di
kursinya akibat tekanannya Nio Cu Ong. Ia malu bukan main, ia sangat
mendongkol, maka ketika ia berbangkit pula, terus ia lari ke dalam.
Menyaksikan
kejadian itu, semua hadirin tertawa.
“Coan
Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong belaka!”
berkata See Thong Thian. “Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang, sudikah
totiang meluluskannya?”
“Tidak
berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe,” berkata Giok Yang Cu. “Silakan
locianpwe mengatakannya.”
“Pihak
kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay,” berkata Kwie-bun Liong Ong,
“Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya dibelakang
Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku? Walaupun Coan Cin Pay
banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa takut.”
“See
Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti,” berkata Giok Yang Cu. “Pinto
tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun yang
pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka. Maka
itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi
Hong Ho Su Koay.”
“Bagus, kalau begitu!” berseru
See Thong Thian. “Sekarang kau serahkan ini bocah kepadaku!” ia lantas
berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak batang lehernya Kwee
Ceng.
Ong Cie It mengerti, bocah itu
tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya ia tentu terluka enteng, maka
itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan kirinya berbareng dipakai
membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng tertolak mental. Menyusul itu
jambakannya si orang she See itu mengenai kursi yang diduduki Kwee Ceng, hingga
kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan suara keras.
Jambakan itu adalah jambakan dari
Gwa-kang, ilmu Bahagian Luar, hebatnya tak sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari
Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak kalah.
“Hau, kau lindungi bocah ini?”
menegur Thong Thian karena kegagalannya itu.
“Sabar, locianpwe,” berkata Cie
It tenang. “Anak ini pinto yang bawa datang ke istana ini, maka itu sudah
selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara baik-baik. Kalau benar
saudara tidak sudi melepaskan padanya, tidak dapatkah kau mencari ia dilain
hari?”
Auwyang
Kongcu lantas campur bicara. “Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah dari
saudara See?” dia tanya. “Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat
menimbangnya.”
Sebelum
menjawab, See Thong Thian telah berpikir: “Imam ini lihay tak ada di bawahanku,
kalau ia mengotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap di sini.
Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay…” Maka itu, ia
lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering. Kemudian ia berkata: “Sebenarnya
aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini. Aku ada punya empat murid
tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk suatu urusan,
selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba mereka diganggu
oleh bocah ini. Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar karenanya. Coba
tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan, cara bagaimana
kami bisa lakukan usaha yang besar?”
Kata-kata
itu berpengaruh untuk para hadirin itu. Kecuali Cie It dan Kwee Ceng, mereka dalah
orang-orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan dan bingkisan
berarti. Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah, guna
diserahkan pada Chao Wang.
Diam-diam
Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng. Ia
lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu. Ia bingung sebab musuh
tangguh semuanya. Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai pertempuran
tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi satu bocah.
Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba mencari
tahu sikap sebenarnya dari para hadirin masing-masing.
“Nama
besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan,” ia berkata, “Hari ini
pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan
pinto. Tentang bocah ini,” ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng, “Ia muda
dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang
Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang suatu apa. Tuan-tuan berniat menahan
dia, ini juga pinto tidak dapat menentangi. Cuma lebih dulu daripada itu,
dengan membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjuki dulu ilmu
kepandaian kamu, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan
mengatakan pinto todak sudi melindungi padanya, sedang sebenarnya pinto tidak
sanggup berbuat demikian….”
Hauw
Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang Cu,
ia mendahului berbangkit, untuk singsatkan bajunya.
“Biarlah
aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu,” ia berkata, menentang si imam.
“Kebiasaanku
tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-tuan,” Ong Cie
It berkata pula.
“Maka
itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjuki sesuatu agar pinto dapat
pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya ia
insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula
yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan
berani pula banyak tingkah!”
Hauw Thong Hay mendongkol sekali.
Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak tahu ia bagaimana harus memberikan
jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus.
See Thong Thian juga berpikir:
“Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat permainan, memang lebih baik tidak
usah bertempur dengannya.” Maka ia lantas awasi Thong Hay dan berkata
kepadanya: “Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May Jin, untuk minta Ong
Cinjin memberi pengajaran padamu!”
“Itulah
aku tidak berani,” Cie It membilang keras.
Ketika
itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi ke
lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga
kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga
tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu
nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.
Kwee
Ceng heran. ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti
telah disebutkan See Thong Thian, yaitu “Soat-lie May Jin” atau “Mengubur orang
di dalam salju”
See
Thong Thian lantas berkata pada pengiring-pengiringnya Wanyen Kang: “Tolong
tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!”
Kawanan
pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan permintaan itu.
Sebenarnya
See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai Hong Ho,
mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay dapat
nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.
Orang semua
heran dan akgum, tetapi mereka terus minum arak mereka.
Selang
sekian lama. barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu sejenak
saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.
Saking
kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.
Thong Hay
melirik pada bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.
“Kasar
kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan…” berkata See Thong
Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk
menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya,
maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok
merupakan satu huruf “Yauw”. Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji
kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan demikian rupa, itulah
bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.
Kata Ong Cie
It dalam hatinya: “Tidak heran Kwie-bun Liong Ong menjagoi sungai Hong Ho, dia
memang lihya sekali.”
Di tembok
sekarang terlihat lagi dua huruf, “Bu” dan “Yang”, maka itu dapat diduga See
Thong Thian hendak menuliskan empat huruf “yauw bu yang wie” yang artinya
menentang pengaruh atau menjagoi.
Menyaksikan
itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata, “See toako,
kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka
setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam
pengaruhmu, ingin mempertunjuki sesuatu…” Ia lantas saja lompat ke tengah
ruangan itu.
Ketika itu
See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf “Wie” yang terakhir, akan tetapi
baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat meluncurnya
biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji beruntun dikasih
masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas kermak-kermik,
seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya dilepehkan!
“Bagus!”
orang banyak berseru memuji.
“Ah, aku
tidak sanggup memakan lebih jauh!” berseru Peng Lian Houw, yang terus aja
lompat balik ke kursinya.
Setelah itu barulah See Thong
Thian rampungkan huruf “Wie” itu.
Gangguannya Peng Lian Houw itu
tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah tersenyum. Persahabatan mereka
adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun, mereka telah mengenal baik satu
dengan lain. kemudian Thong Thian menoleh kepada Auwyang Kongcu, untuk
mengatakan: “Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa untuk kami dapat membuka
mata kami?”
Kongcu
itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja. Ia
tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit
bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si
pelayan. Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit – dua
puluh pasang – terlempar ke salju dan nancap. Apa yang luar biasa, semua sumpit
nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee!
Kwee
ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian dengan
Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-diam
terkejut sendirinya. Malah Ong Cie It segera berpikir: “Kenapa orang-orang
lihay ini dapat berkumpul di sini? Biasanya, untuk menemui satu saja sudah
sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka ada mengandung sesuatu maksud?”
Selagi
si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong berbangkit sambil tertawa,
haha-hihi, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, untuk ulur
tangannya yang kanan ke pinggangnya batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu
itu kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati.
Batu itu segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak
tingginya. Sebelum batu itu turun, lagi dua batu diangkat dan diapungi seperti
yang pertama itu. Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi,
maka batu itu lantas diam di dahinya itu. Lalu menyusul batu yang kedua dan
yang ketiga, ketiganya menjadi saling susul. Dengan rangkapi kedua tangannya,
memberi hormat kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah
latar. Dengan satu lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-pelatok sumpit Auwyang
Kongcu tadi, berdiri di atas itu ia lantas bersilat, memainkan ilmu silat “Yan
Ceng Kun.” Ia menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih,
tapi barang berat itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan
kakinya tidak pernah meleset dari ujung sumpit. Baru setelah habis semua jurus
itu, ia lompat turun dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu,
ia kembali ke kursinya. Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia
merasa letih.
Adalah
biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti Nio Cu
Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan
sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu
yang berat itu.
Kwee
Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-hentinya. Kelihatannya pesta bakal
ditutup sampai disitu. Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang terisi
air hangat, untuk semua tetamu membersihkan tangan mereka.
“Cuma
Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya,” Cie It berpikir.
“Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan…”
Leng
Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-lain, sikapnya wajar saja, hanya
selagi yang lain-lain sudah selesai, ia masih merendam kedua tangannya di dalam
baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka justru
menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak.
Selang
lagi sesaat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu menampak
perubahan. Baskomnya si paderi lantas saja menghembuskan hawa napas sebagai
uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin nyata,
mirip asap, akan kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak.
Selagi
semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat. “Hebat tenaga dalamnya
paderi ini,” katanya dalam hati. “Aku tidak boleh berlambat lagi, aku mesti
mendahului turun tangan terhadap dia…”
Tengah
semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderungkan
tubuhnya, melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang
duduk berselang daripadanya, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, tubuh siapa
ia terus angkat, untuk digeser ke depannya.
Orang lantas
melihat kejadian ini, mereka heran. Kemudian, untuk kagetnya mereka, mereka
lihat pangeran itu ditotok hingga ia menjadi tak berdaya lagi. Kemudian lagi si
imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu.
See Thong
Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat berdaya.
Dengan
tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata: “Barusan aku
saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak
menghormati kamu dengan secawan arak.” Ia tidak berbangkit tapi ia dapat
menuangi arak ke dalam cawannya semua orang. Asal tangannya digeraki, arak
meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh,
tidak ada arak yang berceceran.
Leng Tie
Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam ini,
maka itu, asal tangan kirinya digeraki, celakalah Wanyen Kang. Mereka insyaf
juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia bersendirian saja.
Paling akhir
Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri, kemudian ia letaki
poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering. Habis itu ia berbicara,
“Pinto tidak
berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan,” katanya, “Pinto juga tidak
bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka kepadanya
karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu denagn memandang
kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini.”
Semua
orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk.
“Jikalau
tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini,” berkata pula Ong Cie It, yang menanti
jawaban, “Maka pinto juga akan bebaskan ini siauw-ongya. Siauw-ongya adalah
seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak rakyat
jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya rugi? Bagaimana?”
“Ong Totiang, kau baik sekali!”
berkata Nio Cu Ong tertawa. “Baiklah, beginilah kita mengambil keputusan.”
Tanpa bersangsi sedikit juga,
dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya Wanyen Kang, maka pangeran itu
bebas dari totokan, terus ia dikembalikan ke kursinya. Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin
atau licik. Habis itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya
Kwee Ceng untuk diajak pergi. Masih ia mengucapkannya: “Ijinkanlah kami
mengundurkan diri. Sampai bertemu pula!”
Semua
orang mengawasi denagn air muka guram. Bukankah ikan telah masuk ke dalam jala
tetapi dapat lolos pula? Tidakkah itu sayang?
Wanyen
Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum, ia kata kepada
Ong Cinjin: “Totiang, apabila ada tempo yang luang, silakan sembarang waktu
datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak
pengajaran.” Ia lantas berbangkit, dengan sikapnya yang
menghormat, ia mengantarkan keluar.
“Hm!”
bersuara si imam, yang terus bilang: “Urusan kita telah selesai, maka itu mesti
ada harinya yang kita nanti bertemu pula!”
Setibanya
mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara. “Totiang
sangat lihay, yang kau membuatnya orang sangat kagum!” demikian katanya. Ia
merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi ketika ia buka kedua
tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si imam!
“Celaka!”
Ong Cie It berseru di dalam hatinya dengan ia lekas-lekas angkat kedua
tangannya untuk membalas hormat. Ia kerahkan tenaga latihannya dari beberapa
puluh tahun untuk memcahkan serangan hebat itu.
Sebat luar
biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga luar, tangan
kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It. tetapi si imam pun tidak
diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah lantas dapat
melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.
Cuma
hanya sekali bentrok, kedua tangan sama-sama ditarik pulang.
“Sungguh
aku takluk, aku takluk!” berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya berubah,
seraya melompat mundur.
Ong
Cie It tersenyum, ia bertanya: “Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw,
mengapa kata-katanya tidak masuk hitungan?”
Leng
Tie menjadi gusar. “Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya
hendak menahan kau…” katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia
muntah darah. Sebab bentrokan itu membuat ia terluka. Coba ia berlaku tenang
dan mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia
diejek si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.
Ong
Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat
dari istana itu.
See
Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah
berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka
gentar. Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka
merintangi.
Sesudah
belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah tikungan dan
melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul mereka, dengan perlahan
Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu: “Kau gendong aku sampai
di rumah penginapan…”
Kwee
Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti ynag kehabisan
napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam.
“Adakah
totiang terluka?” ia tanya heran.
Ong
Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.
Kwee
Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam itu, untuk
menggendong dia, untuk dibawa pergi denagn cepat. Ia mau mampir di sebuah hotel
yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan: “Cari…cari
tempat yang sepi dan hotel kecil…”
Kwee
Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-lari. Ia tahu imam ini khawatir
nanti disusul musuh, yang ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka
bisa terancam bahaya. Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja. Sementara
itu ia merasai napasnya si imam semakin mendesak. Syukur ia lantas dapat cari
sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya.
Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.
“Lekas…lekas
cari sebuah jambangan besar…” berkata Ong Cie It. “Kau isikan penuh air
bersih…”
“Untuk
apakah itu, totiang?” Kwee Ceng tanya.
Cie
It tidak menyahuti, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah itu
lekas pergi.
Kwee
Ceng menurut. Ia cari orang hotel, ia letaki sepotong perak di atas meja seraya
minta lekas disediakan jambangan. Ia juga memberi persen kepada si jongos. Maka
itu jongos kegirangan, cepat-cepat ia sediakan barang yang diminta itu, yang
diletaki di cimche, terus diisikan air dingin.
Kwee Ceng
lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.
“Bagus, anak yang baik!” berkata
Ong Cie It. “Sekarang pondong aku, kau letaki aku di dalam jambangan itu. Kau
larang orang lain datang dekat padaku…”
Kwee Ceng tidak mengerti tetapi
ia pondong si imam itu, ia masuki tubuh orang ke dalam jambangan hingga sebatas
leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang siapa saja masuk ke cimche itu.
Ong Cie It merendam di dalam
jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan tenang ia mainkan napasnya.
Kira semakanan nasi lamanya, air
jambangan yang bersih bening itu berubah menjadi hitam. Di pihak lain, kulit
muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi bersemu dadu.
“Coba bantui aku bangun, air ini
tukar dengan yang bersih,” ia minta kepada Kwee Ceng.
Permintaan itu diturut, maka
sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di dalam air yang baru.
Sekarang barulah Kwee Ceng
ketahui orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan diri dari
luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan Leng Tie Siangjin. Imam ini
umpama kata cuma menang seurat.
Kwee Ceng melayani terus sampai
ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi berubah hitam, atas mana Giok
Yang Cu lantas saja tertawa dan berkata: “Sudah tidak ada bahaya lagi!”
Dengan pegangi pinggiran
jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi
ia menghela napas ketika ia berkata pula: “Paderi dari Tibet itu sangat
berbahaya!”
Kwee
Ceng berlega hati, ia girang sekali. “Apakah tangannya paderi Tibet itu ada
racunnya?” ia tanya.
“Benar,” sahut Cie It. “Itulah
racun dari Cu-see-ciang. Ilmu semacam itu, Tangn Pasir Merah sering aku
menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari ini hampir aku
kehilangan jiwa…”
“Totiang ingin dahar apa? Nanti
aku pergi belikan,” Kwee Ceng tanya kemudian.
Cie
It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat. “Aku
telah bebas dari bahaya jiwa,” berkata si imam itu. “Tetapi hawa racun di dalam
tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan,
akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolongi aku lekas
membeli obat.”
Kwee
Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat rumah
obat yang pertama, ia segera mampir dan serahkan resepnya itu.
“Sayang
tuan,” kata pelayan setelah ia membaca surat obat itu, “Kebetulan saja obat
hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis.”
Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng
samber resepnya, untuk lari ke rumah obat yang lain. Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada.
Makanya ia mesti pergi ke lain toko obat lagi. Untuk herannya, tujuh atau
delapan rumah obat semua kehabisan empat rupa bahan obat itu. Ia menjadi
bingung dan mendongkol. Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan
itu masih tidak kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.
“Akun
mengerti sekarang,” kata bocah ini kemudian. “Tentulah orang dari istana Chao
Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka ketahui Ong Cinjin pasti
membutuhkannya. Sungguh jahat!”
Dengan
masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan
kegagalannya.
Imam
itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.
Kwee
Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja dan
menangis megerung-gerung. Ia putus asa.
Ong
Cie It tertawa. “Jiwa manusia sudah ditakdirkan,” ia berkata, “Kematian pun
tidak harus disayangkan. Laginya belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa
kau menangis?” Lalu dengan suara halus ia bernyanyi.
Kwee
Ceng heran, ia mengawasi.
Cit
It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan.
Bocah
ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar. “Kenapa aku tidak
mau pergi ke tempat yang berdekatan,” pikirnya kemudian. “Di sana belum tentu
obat itu telah orang beli juga…”
Ingat
begini, hatinya lega. Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada toko
obat. Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat, menyerahkan
sepucuk surat kepadanya. Surat itu dialamatkan kepadanya.
Surat
itu bagus tulisannya dan kertanya berbau harum. Ia heran. “Siapa yang mengirim
surat ini?” ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sambpul surat, untuk
dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja:
“Aku
menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie. Ada
urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!”
Surat
itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis bocah.
Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum
berseri-seri.
“Siapa
bawa surat ini?” ia tanya jongos. Ia girang
berbareng heran.
“Seorang gelandangan
di jalan besar,” sahut jongos itu.
Kwee Ceng
masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan tangannya.
Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi
beli obat ditempat lain.
“Kita
dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?” berkata si imam. “Tidak usahlah kau
pergi.”
Kwee
Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba. Ia ingat Oey Yong cerdik sekali, mungkin ia dapat
berunding dengan temannya itu. Maka itu
ia beritahu bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu. Ia pun
beri lihat suratnya Oey Yong itu.
Ong Cie It berpikir. “Cara bagaimana kau kenal anak itu?” ia tanya.
Kwee
ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat.
“Aku
telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,” berkata
Ong Cinjin. “Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati,” ia pesan.
“Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku lihat
padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu pasti
apa itu…”
“Kita
bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,” menyatakan
Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu.
Ong
Cinjin menghela napas. “Baru berapa lama kamu bersahabat?” katanya. “Mana itu
dapat disebut persahataban sehidup semati? Jangan kau pandang enteng dia
sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak
dapat layani dia….”
Di
dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir: “Totiang membeilang begini sebab ia belum
tahu sifatnya Oey Hiantee…” Ia menyebutnya “Oey Hiantee” = “adik she Oey”,
tanda ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikannya
sahabatnya itu.
Ong
Cinjin tertawa. “Baik, kau pergilah lekas!” katanya. “Semua anak muda
berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan
kamu…”
Imam
ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar