Kisah Memanah Rajawali
(Sia Tiauw Enghiong)
Karya : Chin Yung
Bab 1
Di luar gunung ada lagi gunung hijau,
di luar lauwteng ada pula lauwteng lainnya,
Nyanyian-nyanyian dan tari-tarian di Telaga
Barat1,
hingga kapankah itu akan berhenti?
Penghidupan mewah di Selatan telah membuat
mabuk
kepada pelancong-pelancong tetamu,
Hingga kota Hangciu dianggapnya
sebagai kota
Pianciu2!
Syair di atas adalah lukisan dari peristiwa pada delapan ratus tahun yang lampau. Ketika itu kerajaan Song telah menjadi sedemikian lemahnya hingga kedua kaisar Hwie Cong dan Kim Cong sudah kena ditawan bangsa Kim (Kin), karena mana itu pangeran Kong Ong lalu menyeberang ke Selatan, menerima tahta kerajaan di kota Lim-an3, menjadi Kaisar Kho Cong. Dalam waktu sesulit itu, selagi musuh mengancam di tapal batas, setelah separuh dari negara berada di dalam tangan musuh itu, sudah selayaknya satu kaisar bangkit bangun untuk membuat perlawanan, akan tetapi tidak demikian dengan Kaisar kho cong ini. Dia justru jeri terhadap bangsa Kim itu yang dipandangnya sebagai harimau saja, berbareng dengan itu dia pun khawatir kalau kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong nanti kembali dari tawanan hingga dia tak dapat terus bercokol di atas singasana naga. Maka dengan itu menurut perkataannya dorna Cin Kwee4, dia titahkan membunuh Jenderal Gak Hui, pendekar yang menentang musuh Kim itu, sesudah mana itu dengan merendahkan martabat sendiri ia mengajukan permohonan damai dengan bangsa Kim.
Inilah pengharapan bangsa Kim yang disaat itu tengah gelisah sebab telah
berulangkali mereka memperoleh labrakan dari Jenderal Gak Hui, hingga
semangatnya terpukul hebat, sementara di wilayah Utara mereka terancam
pemberontakan tentera rakyat sukarela. Begitu di dalam bulan pertama tahun
kerajaan Ciauw-hin ke-12 (1138 masehi) perdamaian telah ditandatangani dengan
syarat tapal batas kedua negara Song dan Kim
adalah aliran tengah dari sungai Hoay-sui.
Perdamaian itu namanya saja perdamaian, kenyataannya adalah penaklukan dari Kaisar Kho Cong itu (yang bernama Tio Kouw adalah putra ke-9 dari Kaisar Hwie Cong). Sebab di dalam suratnya, Kho Cong menyatakan dan mengaku sudah terima budi kebaikan dari raja Kim, karena mana turun temurun ia akan menjadi “menteri yang setia” serta berjanji setiap hari lahirnya, “Kaisar” demikian ia menyebut raja Kim itu – begitu juga setiap tahun, ia akan kirim utusan guna memberi selamat sambil menghanturkan upeti uang perak duapuluh lima laksa tail dan cita duapuluh lima laksa balok.
Demikian macam martabatnya seorang Kaisar, ia sungguh memalukan, maka ketika tentera dan rakyat negeri mengetahui hal itu, semuanya menjadi murka dan berbareng berduka. Lebih bersedih adalah rakyat di wilayah utara sungai Hoay-sui itu, karena mereka menjadi tidak mempunyai harapan lagi akan bangunnya negara. Dipihak lain, Kho Cong menganggap itu adalah jasa besar dari dorna Cin Kwee, maka juga dorna yang sudah tinggi pangkatnya, yaitu Siaupo Copoksia merangkap Kie-bit-su gelar Pangeran Louw-kokong, dinaiki pula menjadi Taysu, hingga kedudukannya telah mencapai puncaknya kebesaran suatu menteri!
Perdamaian itu namanya saja perdamaian, kenyataannya adalah penaklukan dari Kaisar Kho Cong itu (yang bernama Tio Kouw adalah putra ke-9 dari Kaisar Hwie Cong). Sebab di dalam suratnya, Kho Cong menyatakan dan mengaku sudah terima budi kebaikan dari raja Kim, karena mana turun temurun ia akan menjadi “menteri yang setia” serta berjanji setiap hari lahirnya, “Kaisar” demikian ia menyebut raja Kim itu – begitu juga setiap tahun, ia akan kirim utusan guna memberi selamat sambil menghanturkan upeti uang perak duapuluh lima laksa tail dan cita duapuluh lima laksa balok.
Demikian macam martabatnya seorang Kaisar, ia sungguh memalukan, maka ketika tentera dan rakyat negeri mengetahui hal itu, semuanya menjadi murka dan berbareng berduka. Lebih bersedih adalah rakyat di wilayah utara sungai Hoay-sui itu, karena mereka menjadi tidak mempunyai harapan lagi akan bangunnya negara. Dipihak lain, Kho Cong menganggap itu adalah jasa besar dari dorna Cin Kwee, maka juga dorna yang sudah tinggi pangkatnya, yaitu Siaupo Copoksia merangkap Kie-bit-su gelar Pangeran Louw-kokong, dinaiki pula menjadi Taysu, hingga kedudukannya telah mencapai puncaknya kebesaran suatu menteri!
Semenjak itu bangsa Kim menduduki separuh dari wilayah Tiongkok. Walaupun
demikian pemerintahan di Hangciu malah bertambah buruk, raja dan
menteri-menterinya, setiap hari berpelesiran saja, berpesta pora, tidak
memikirkan lagi kepentingan negara, sedang beberapa menteri atau perwira yang
setia, umumnya kalah pengaruh dan tidak berdaya, hingga mereka pada menutup
mata karena mereras.
Demikan syair di atas, gambaran
dari kaisar yang lemah dan buruk tapi pecandu pelisir!
Beberapa
tahun telah berselang, Kaisar Kho Cong itu digantikan oleh Kaisar Hauw Cong. Kaisar
Hauw Cong digantikan Kaisar Kong Cong, lalu Kaisar Leng Cong. Pada tahun
Keng-goan ke-5 dari Kaisar ini, selagi musim dingin, telah turun hujan salju
lebat selama dua hari berturut-turut, hingga Hangciu, ibukota Kerajaan Song itu
seperti bermandikan air perak, bercahaya berkilau, indah dipandang. Dan diwaktu
begitu, Kaisar dan menteri-menterinya dengan duduk mengelilingi perapian,
bersenang-senang menenggak air kata-kata……
*
* *
Di luar kota Hangciu, di sebelah
timurnya, di dusun Gu-kee-cun, dua orang gagah pun tengah minum arak putih
sambil duduk berhadapan, oleh karena mereka adalah bagaikan saudara sejati.
Dari mereka itu, yang satu bernama Kwee Siauw
Thian, yang lainnya Yo Tiat Sim,
kedua-duanya adalah turunan orang-orang kenamaan.
Siauw
Thian itu adalah turunan dari Say-Jin-Kui Kwee Seng, itu adalah salah satu jago
dari seratus delapan orang kosen dari gunung Liang San yang kesohor dengan ilmu
silat tombaknya, hanya setelah tiba pada dia ini, tombak yang panjang itu
diganti dengan sepasang tombak pendek dan bergaetan (siangkek). Sementara Yo
Tiat Sim itu adalah turunan dari Panglima Yo Cay Hin, salah seorang bawahan
Jenderal Gak Hui dan ilmu tombaknya adalah warisan leluhurnya. Mulanya kedua
orang ini bertemu dalam pengembaraan, setelah merasa cocok, maka mereka
mengangkat saudara, kemudian bersama-sama mereka pindah dan tinggal di dusun
ini. Kebiasaan mereka adalah duduk berkumpul, pasang omong dan menyakinkan ilmu
silat.
Demikian
juga pada hari itu, selagi salju turun, mereka duduk minum arak dan berbicara
dengan asyiknya, tempo mereka omong hal nasibnya negera, keduanya menjadi
berduka dan berdongkol, tiba-tiba saja Tiat Sim
mengeprak meja dengan kerasnya. Justru saat itu ada seorang keluar dari ruang
dalam, apabila gorden tersingkap, terlihatlah seorang wanita yang cantik
sekali, tangannya memegang nenampan di atas mana ada terdapat masakan daging
sapi serta ayam.
“Hai,
urusan apa lagi yang membuat kamu berdua saudara marah?” tanya
wanita itu sambil tertawa.
“Kami
tengah membicarakan urusan yang gila-gila dari negara!” sahut Siauw Thian.
“Enso, mari kau pun minum satu cawan!”
Wanita
itu adalah Pauw-sie, istri dari Yo Tiat Sim. Di Lam-an
ini, dia adalah merupakan wanita tercantik dan halus budi pekertinya, hingga ia
tepat dengan romannya. Siapa yang melihat dia, pasti kagumlah hatinya. Dengan Tiat Sim,
belum lama ia menikah, tetapi dia itu orangnya luwes dan dapat dengan gampang
bergaul dengan kaum pria-dalam halnya dengan Siauw Thian,
iparnya itu. Begitulah, setelah ia meletakkan barang makanan-nya, ia mengambil
cawan dan mengisinya, sesudah itu mengambil kursi dan meminum araknya itu.
“Kemarin
selagi aku berada di dalam warung teh di Tong Lam di ujung jembatan Cong An
Kio, aku mendengar orang membicarakan halnya Han To Cu si perdana menteri
keparat itu!” Tiat
Sim menyahuti pertanyaan istrinya
tadi. “Rapi pembicaraan itu, hingga aku percaya itu bukanlah omong kosong
belaka. Orang itu bilang, pembesar siapa juga, jikalau dia hendak mengajukan
laporan, apabila di ujung sampulnya tidak disertai keterangan dia menghadiahkan
sesuatu, pasti perdana keparat itu tidak akan memeriksanya!”
Siauw Thian menghela napas. “Ada rajanya, ada
menterinya” katanya masgul. “Ada
menterinya, ada pembesar-pembesar bawahannya.Lihat saja Tio Tayjin,
residen dari kota
Lim-an kita ini. Hari itu Han To Cu pesiar di luar kota dengan diiringi banyak pembesar.
Kebetulan aku lagi mencari kayu di dekat situ. Tentu saja aku tidak ambil mumat
padanya itu. Lalu aku mendengar dia menghela napas dan berkata seorang diri:
‘Di sini rumah-rumah berpagar bambu dan beratap, sungguh suatu desa yang indah
menarik hati, hanya sayang sekali, disini tidak terdengar suara ayam berkokok
dan anjing menggonggong…’ Belum lagi dia menutup mulutnya lalu terdengar
gongongan anjing dari dalam semak-semak!”
Pauw-sie
bertepuk tangan sambil tertawa. “Sungguh anjing yang tahu diri!” katanya.
“Memang
anjing yang sangat tahu diri!” sahut Siauw Thian.
“Setelah menggonggong, dia muncul dari semak-semak itu! Enso tahu, anjing
apakah itu? Dialah Tio Tayjin, residen kita!”
Pauw-sie
menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Sim
dan Siauw Thian pun tertawa.
Mereka
minum terus hingga terlihat salju turun makin lebat.
“Nanti
aku undang enso minum bersama,!” kata Pauw-sie kemudian.
“Tidak
usah,” Siauw
Thian mencegah. “Selama beberapa
hari ini, dia merasa kurang sehat….”
Pauw-sie
terkejut, “Ah, mengapa aku tidak tahu!” katanya. “Nanti aku tengok!”
Siauw Thian tidak bilang apa-apa
lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim.
Itu artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya.
Tak
lama, nyonya Yo kembali sambil tersenyum-senyum. Ia isikan satu cawan, lalu
mengansurkan cawan itu kepada suaminya.
“Lekas
minum sampai habis!” katanya. “Inilah tanda hormat kepada Toako!”
“Eh,
apakah artinya ini?” tanya Tiat Sim
tidak mengerti.
“Minum,
lekas minum!” desak Pauw-sie. “Habis minum nanti baru aku beri keterangan!”
katanya kemudian.
Tiat Sim lalu meminum kering
cawan itu.
“Nah,
Toako, kau biacaralah sendiri!” kata Pauw-sie sambil tertawa kepada Siauw Thian.
Orang
she Kwee itu tersenyum dan berkata, “Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh
pinggangnya pegal dan sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia
sudah mengandung selama tiga bulan….”
Tiat Sim menjadi girang
sekali. “Kiong hie, Toako!” katanya sambil memberi selamat.
Lalu
ketiganya meneguk arak mereka, masing-masing tiga cawan. Tentu saja dengan
meminum sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.
Pada
saat itu di arah timur kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi. Dia
memakai tudung bambu dan tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya
penuh dengan salju. Ia bertindak dengan tegap dan cepat. Segera tertampak di
punggungnya ada tergantung sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di
antara tiupan angin yang keras.
“Adik, imam ini pasti mengerti ilmu silat,”
Siauw Thian bilang. “Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat berkenalan
dengannya. Sayang kita belum tahu namanya………..”
“Benar,”
sahut Tiat Sim. “Baik kita undang dia minum untuk
ikat persahabatan……”
Keduanya
segera berbangkit dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat jalannya, si imam
sudah lewat beberapa puluh tombak.
Siauw Thian dan Tiat Sim
saling melihat dengan herannya. “Totiang, tunggu sebentar!” Tiat Sim
segera memanggil.
Cepat
sekali si imam memutar tubuh dan mengangguk.
“Salju
turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat dingin,” kata Tiat Sim
pula, “Sudilah
Totiang mampir untuk minum
beberapa cawan guna melawan hawa dingin.”
Iman
itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia bertindak menghampir – cepat
sekali tindakannya.
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua sangat terperanjat dan heran guna menyaksikan muka orang yang berwajah
sangat dingin sekali.
“Kamu
pandai bergaul, eh!” katanya tawar
Tiat Sim masih muda dan dia
tidak senang dengan sikap orang. “Dengan baik hati aku mengundang kau minum,
kenapa kau begini tidak tahu aturan?” pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.
Siauw Thian sebaliknya lantas
memberi hormat. “Totiang, harap anda tidak marah dengan sikap saudaraku ini.
“Kami sedang minum arak, melihat Totiang melawan salju, dia besarkan nyali
untuk mengundang Totiang minum bersama….”
Imam itu memutar matanya. “Baik,baik!”
katanya. “Minum arak ya minum arak!” Dan dengan tindakan lebar ia menuju ke
dalam.
Tiat Sim merasa dongkol, ia ulurkan tangannya hendak
mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping. “Aku belum belajar kenal
dengan Totiang!” katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa kaget. Ia merasai tangan
orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang tangannya, tahu-tahu
tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit dan panas. Ia kerahkan
tenaganya untuk melawan. Justru dengan berbuat demikian ia merasakan tangannya
hilang tenaga dan sakit sekali, rasa sakitnya sampai ke ulu hati.
Siauw Thian tampak wajah saudaranya merah dan pucat,
ia tahu saudaranya ini tentu telah “ketemu batunya”. Ia mengerti gelagat
yang kurang baik itu dan sangsi turun tangan untuk membantu.
“Totiang,
mari silakan duduk di sini!” ia
mengundang.
Dua
kali si imam kasih dengar tertawanya yang dingin itu, baru ia lepaskan
cekalannya atas tangan Tiat
Sim. Hal ini membuat orang she Yo
itu mendongkol dan heran, ia terus masuk ke dalam, akan diberitahukannya
istrinya tentang imam itu.
“Dia
sangat aneh, pergi temani dulu,” kata Pauw-sie. “Jangan turun tangan,
perlahan-lahan saja kita cari tahu tentang dirinya…”
Tiat Sim menuruti perkataan
istrinya itu.
Pauw-sie
segera menyiapkan arak dan barang hidangan dan menyuruh Tiat Sim
membawa keluar.
“Tunggu sebentar!” memanggil sang istri. Tiat
Sim pun memutar kembali.
Pauw-sie
menurunkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilap, yang tergantung pada
tembok, ia memasukkan belati itu ke dalam saku suaminya.
Tiat Sim pun kemudian keluar
membawa barang hidangan itu dan mengaturnya di meja. Ia menuangkan tiga cawan, terus ia mengundang tamunya
untuk minum. Ia juga meneguk satu cawan, habis minum ia berdiam saja.
Imam itu memandang keluar
jendela dan mengawasi salju. Ia tidak meminum araknya dan ia pun tidak membuka
mulutnya melainkan hanya tertawa dingin saja.
Siauw Thian menduga si imam
tentu curigai araknya, ia mengambil cawan arak di hadapan imam itu, terus ia
cegluk di hadapan imam itu. Ia menyambuti, terus diminumnya.
“Arakmu
telah dingin Totiang, nanti aku tukar dengan yang baru,” katanya. Dan ia mengisikan pula.
Si
imam dapat mencium bau harum dari arak itu, ia menyambuti dan terus diminumnya.
“Walaupun arak ini di campuri dengan obat pulas, tidak nanti aku kena
diracuni!” katanya.
Tiat Sim menjadi hilang
sabar. “Kita undang kau minum dengan maksud baik, mustahil kami hendak
mencelakai kau!” tegurnya. “Totiang, kau omong tidak karuan, silakan lekas
keluar! Arak
kita tidak bakalan menjadi rusak dan sayur kita tak nanti tak ada yang
memakannya!”
“Hm!”
bersuara si imam itu. Tak lebih. Ia jemput poci arak dan menuang arak itu
sendiri, lalu ia tenggak habis tiga cawan. Habis itu dia buka baju luarnya dan
letaki tudungnya.
Sekarang
baru Tiat Sim dan Siauw
Thian dapat melihat dengan tegas
wajah orang. Mereka menduga si imam baru berumur tiga puluh tahun lebih,
sepasang alisnya panjang lancip, kulit mukanya merah segar,
mukanya lebar dan kupingnya besar. Ia bukan sembarang imam. Ketika ia kasih
turun kantung di punggungnya, ia terus lempar barang itu ke atas meja hingga
terbitlah suatu suara yang keras, hingga kedua tuan rumah itu menjadi kaget
sekali. Sebab yang menerbitkan suara nyaring itu yang menggelinding keluar dari
dalam kantung itu adalah kepala manusia yang masih berlumuran darah, hingga tak
nampak jelas raut mukanya.
Tiat Sim meraba pisau belati
dalam kantungnya.
Si
imam menukik pula kantungnya, kali ini dikeluarkannya dua potong daging yang
penuh darah juga, karena itu adalah hati dan jantung manusia.
“Jahanam!”
teriak Tiat Sim yang sudah tak tahan sabar lagi,
sedang tangannya melayang ke dada si imam.
“Kebetulan,
aku memang menghendaki barang ini!” seru si imam sambil tertawa. Ia tidak
menghiraukan tikaman itu, hanya ketika si orang she Yo itu datang mendekat, ia
menggempur dengan tangan kirinya, hingga seketika juga Tiat Sim merasa bahunya
tergetar, lalu tiba-tiba saja pisau belatinya kena dirampas orang!
Siauw Thian kaget bukan
kepalang. Ia tahu lihaynya adik angkatnya itu, yang cuma kalah sedikit
dengannya. Tidak disangka, demikian gampang imam ini merampas senjata orang.
Itulah ilmu silat “Khong-ciu toat pek-jin” atau “Tangan kosong merampas senjata
tajam” yang lihay, yang baru pernah ia saksikan. Meskipun ia kaget, ia toh
segera bersiap dengan memegang bangku, guna membela diri umpama kata si imam
terus menyerang. Akan tetapi dugaannya ini salah adanya. Imam itu tidak
menyerang siapa juga, ia hanya lantas gunai pisau itu untuk memotong-motong
hati dan jantung manusia itu, lalu dengan tangan kiri mencekal poci arak,
dengan tangan kanan ia jumputi potongan daging satu demi satu, untuk dimasukkan
ke dalam mulutnya, buat dikuyah dan ditelan, saban-saban dia selang itu dengan
tenggakan arak pada pocinya. Cepat daharnya, sebentar lagi habis sudah makanan
yang rupanya sangat lezat itu!
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua saling mengawasi dengan tercengang. Sungguh aneh imam ini. Akan tetapi
itu masih belum semua. Habis dahar, imam itu berdongak, lalu ia bersiul nyaring
sekali, umpama kata genting sampai bergetar, kemudian tangan kanannya menyerang
ke meja, hingga piring dan cawan berlompat! Yang hebat adalah sasaran serangan
itu, ialah kepala manusia itu, yang remuk seketika! Sedang ujung meja turut
sempal sedikit……..
Selagi
dua saudara angkat itu berdiam, wajah si imam yang tadinya bermuram durja dan
bengis, tiba-tiba berubah menjadi penuh dengan air mata, dengan air mata
bercucuran ia lalu menangis dengan meraung-raung!
“Kiranya
dia seorang yang edan…!” bisik Siauw
Thian kepada adik angkatnya, yang
ujung bajunya ia tarik. “Dia lihay sekali, jangan kita ladeni dia….”
Tiat Sim mengangguk, ia awasi
imam itu. Sekarang tidak lagi ia gusur, sebaliknya ia merasa kasihan. Sedih
tangisnya si imam ini, ilmu silat siapa sebaliknya ia kagumi. Maka kemudian ia
lari ke dalam untuk mengambil semangkok kuwah yang masih panas.
“Totiang,
mari minum kuwah ini!” katanya. Ia
letaki mangkok itu di atas meja.
Si
imam bukan menerima kuwah iru, ia sebaliknya menggebrak meja hingga mangkok itu
terbang berikut mejanya. Ia pun berseru :”Kawanan tikus, hari ini toyamu
membuka pantangan membunuh!”
Menampak
itu, meluaplah amarah Tiat
Sim, maka ia melompat ke ujung
ruang untuk menyambar tombaknya, lalu ia terus lari keluar, ke depan pintu
dimana salju terhampar luas.
“Mari, mari!”
ia menantang. “Mari belajar kenal
dengan tombak keluarga Yo!”
Imam itu tersenyum. “Tikus,
pantaskah kau menggunai ilmu silat tombak keluarga Yo?” tanyanya. Ia bersuara
sambil tubuhnya melompat keluar.
Melihat
keadaan mengancam itu, Siauw
Thian lari untuk mengambil
sepasang gaetannya, dengan lekas ia berbalik kembali.
Imam berdiri tanpa menghunus
pedangnya, Cuma sang angin menyampok-nyampok ujung bajunya.
“Hunus
pedangmu!” seru Tiat
Sim.
“Ah,
dua tikus, kamu berdua majulah berbareng!” sahut si imam. “Toya kamu akan
layani kamu dengan tangan kosong!”
Takabur
bukan main orang pertapaan ini, hingga Tiat Sim
tidak berayal sejenak juga untuk segera menikam dengan tombaknya yang beronce
merah itu. Ia gunai tipu silatnya “Tok liong cut tong” atau “Naga berbisa
keluar dari gua”
“Bagus!”
seru si imam kagm menampak serangan itu yang menuju ke dadanya. Ia berkelit ke
samping, tangan kirinya bergerak, untuk sambar kepala tombak itu.
Lihay
ilmu silat tombak keluarga Yo itu – Yo-kee Chio-hoat.
Ketika Yo Cay Hin bersama tigaratus serdadunya – tentara kerajaan Song
menghadapi empat laksa serdadu Kim, seorang diri ia telah membinasakan dua ribu
lebih serdadu musuh berikut banyak perwiranya, sebelum akhirnya ia roboh karena
terkena banyak panah, waktu ia binasa dan bangsa Kim membakar tubuhnya, dari
dalam tubuhnya itu kedapatan banyak ujung panah, sebab selagi ia terpanah,
gagang panah ia patahkan. Karena ini bangsa Kim
menjadi jeri dan mengaguminya. Tiat Sim
tidak segagah leluhurnya itu tetapi ilmu silatnya cukup sempurna, begitulah ia
mencoba mendesak si imam tidak di kenal itu yang senantiasa lolos dari tikaman,
tempo habis sudah dijalankan semua tujuh puluh dua jurus ilmu tombak itu, dia
tidak kurang sesuatu apa. Baru sekarang si anak muda menjadi gentar, terpaksa
ia seret tombaknya untuk keluar dari kalangan.
Imam itu mengejar apabila ia
dapatkan lawannya itu lari.
Sekonyong-konyong
Tiat Sim berseru keras, tubuhnya berputar
balik, berbareng dengan itu, dengan kedua tangannya memegangi gagang tombak, ia
menikam dengan hebat sekali. Itulah tipu silat “Cwie-pek po-kian” atau
“menggempur tembok”. Dengan tipu itu, musuh dibikin tidak menyangka dan menjadi
kaget. Dengan tipu ini juga dulu Yo Cay Hin membikin rubuh Gak Hoan,
adiknya Gak Hui.
“Bagus!”
seru si imam buat kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung
tombak sampai, ia menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel
menjadi satu dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.
Tiat Sim kaget bukan
kepalang. Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati
telapak tangan lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun
sia-sia belaka, tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si
imam juga nancap bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil,
mukanya menjadi merah.
Tiba-tiba
saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia tidak Cuma
melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan kanannya
kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah menjadi
dua potong!
Imam itu segera tertawa pula,
lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. “Tuan,
benar lihay ilmu silat tombakmu!” katanya. “Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon
ku tanya she tuan”
“Aku
yang rendah she Yo bernama Tiat
Sim,” sahut Tiat Sim,
selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia kesakitan pada kedua tangannya, ia pun
heran sekali.
“Pernah
apakah Tuan dengan Ciangkun Yo Cay Hin?” tanya
si imam.
“Ia
adalah leluhur saya,” jawab Tiat
Sim pula.
Mandadak
si imam itu menjura kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.
“Maaf,
barusan aku menyangka Tuan-tuan adalah orang jahat,” ia berkata dengan
pengakuannya. “Aku tidak sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia.
Boleh kutanya she Tuan?” ia lanjuti kepada Siauw Thian.
Dengan cara hormat Siauw Thian
perkenalkan dirinya.
“Tuan
ini kakak angkatku, dia adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung
Liang San,” Tiat
Sim menambahkan.
“Bagus!”
berkata si imam, ia pun minta maaf pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia
menjura.
Tiat Sim berdua membalas
hormatnya.
“Silahkan Totiang
minum arak pula,” ia mengundang pula kemudian.
“Memang
kuingin minum dengan puas bersama jiwi!” kata si imam denagn tertawa.
Tiat Sim dan Siauw Thian
undang orang masuk pula ke dalam.
Pauw-sie
menyaksikan pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang
menjadi sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang
hidangan.
Kali
ini Tiat Sim dan Siauw
Thian tanya
gelaran si imam.
“Pinto
she Khu bernama Cie
Kee,” sahut imam itu.
Siauw Thian terperanjat
mendengar nama itu. “Oh, apa bukannya Tiang Cun
Cinjin?” ia menyela.
“Itulah
nama pemberian rekan-rekanku, pinto malu menerimanya,” kata Cie Kee
sambil tertawa.
Siauw
Thian segera berkata kepada adik angkatnya: “Adik, totiang ini adalah orang
gagah nomor satu di ini jaman! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa
dengannya!”
“Oh!”
Tiat Sim berseru kaget. Lalu berdua, mereka
berlutut di depan imam itu.
Khu Cie Kee tertawa, ia memimpin
bangun orang. “Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya para
pembesar negeri sedang mencari aku,” ia berkata. “Barusan pinto lewat di sini,
pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan kamu kelihatannya bukan
sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga sendiri….”
“Keliru
adalah saudaraku ini, yang tabiatnya keras,” Siauw Thian
bilang. “Totiang lihat sendiri, dia suruh lantas turun tangan, pantas kalau
Totiang jadi curiga karenanya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim
tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.
“Sebenarnya
pinto adalah orang utara,” kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. “Rumah
tanggaku hancur lebur karena kejahatan bangsa Kim,
sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya, dari itu pinto telah sucikan
diri.” Ia terus tuding kepala manusia yang remuk dan yang tergeletak di lantai
itu. “Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat besar. Pada tahun yang lalu
kaisar mengutus dia kepada raja Kim,
buat memberi selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk
bersekongkol, supaya bangsa Kim bisa
menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru ia dapat
dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga tadi pinto
berlaku tidak selayaknya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim
membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu
silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi
menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak keberatan, lalu ia memberi
beberapa petunjuk.
“Totiang,
sunggguh beruntung kami dapat bertemu dengan Totiang,” kemudian Tiat Sim
utarakan isi hatinya, “Maka itu sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di
gubuk kami ini.”
Imam itu hendak
menjawab tuan rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.
“Ada orang datang mencari
aku,” ia bilang, “Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak
boleh munculkan diri! Mengerti?!”
Siauw Thian dan Tiat Sim
heran akan tetapi mereka lantas mengangguk.
Cie Kee lantas sambar
kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan
burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan,
di situ ia umpatkan dirinya.
Siauw Thian berdua heran bukan
buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun
tidak nampak apa-apa. Baharu kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun lewat,
mereka dengar tindakan kaki kuda.
“Sungguh jeli kuping cinjin!” puji Tiat Sim
“Sungguh jeli kuping cinjin!” puji Tiat Sim
Suara
kuda itu datang semakin mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang
kuda, setiap penunggangnya mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka
itu menghampiri pintu, setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian:
“Sampai di sini bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!”
Beberapa
orang lompat turun dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie
Kee.
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela
jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang
mengerti ilmu silat dengan baik.
“Masuki
rumah itu dan geledah!” terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.
Dua
orang segera lompat turun dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim
untuk menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang
jitu sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia
ini rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan
berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah
diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya “Ong Tayjin”.
Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.
Orang
yang menjadi pemimpin menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan,
atas perintahnya lima
orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!
Yo
Tiat Sim sambar sebatang golok dari pojok
rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam, akan tetapi Siauw Thian
menariknya.
“Jangan!”
katanya. “Totiang telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak
sanggup melawan, baru kita turun tangan…….”
Selagi
orang she Kwee ini berbicara, Khu
Cie Kee
sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai itu untuk
menimpuk ke bawah, tubuhnya sendiri turut lompat turun, hingga akibatnya dua
musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman pedang.
“Imam bangsat, kiranya
kau!” berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya
tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju
untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului
majunya itu.
Belum Cie Kee menyerang ini
pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah
minta lima
korban.
Tiat Sim kagum hingga ia
tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak
dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri waktu
ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.
Sekarang
Cie Kee tengah layani si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang
sesaat, Siauw Thian dan Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah
mempermainkan orang, sebab di lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika
akan rubuhkan lain orang – ialah orang-orang yang mengepungnya. Terang si imam
lagi gunai siasat, guna menumpas semua penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas
rubuhkan si pemimpin, mungkin bawahannya nanti lari kabur semua.
Selang
tak lama, imam itu dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik.
Menampak ini, si pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba-tiba ia
keprak kudanya, buat dikasih berbalik untuk lari pergi.
Sang
imam ada sangat jeli matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia
menyambar dengan tangan kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik.
Sembari menarik ia enjot tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia
bercokol di atas kuda itu, pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin,
tembus dari belakang ke depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian
dengan menunggang kuda, sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia
tidak membutuhkan banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya,
sebaliknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah
karena berlumuran darah mereka itu….
Seorang
diri si imam tertawa. “Puas aku dengan pertempuran ini!” katanya kepada Siauw
Thian dan Tiat
Sim, yang telah lantas muncul.
Hanya hati mereka masih kebat-kebit.
“Totiang,
siapakah mereka ini?” tanya Siauw Thian.
“Kau
geledah saja tubuh mereka!” sahut si imam.
Siauw Thian menghampiri mayatnya
si pemimpin, untuk memeriksa sakunya. Ia dapatkan sepotong surat titah, dari Tio Tayjin si residen
Lim-an yang bisa “menggonggong” sebagai anjing itu. Itu juga adalah titah
rahasia untuk membekuk pembunuhnya Ong To Kian, untuk mana si residen bekerja
sama dengan pihak bangsa Kim, sebab ia
telah di desak oleh utusan negara Kim.
Mengetahui
itu, orang she Kwee ini menjadi sangat mendingkol. Sedang begitu, Tiat Sim
telah perdengarkan seruan seraya tangannya menyekal beberapa potong yauw-pay,
yang dia dapatkan dari beberapa mayat. Yauw-pay itu adalah tanda kedudukan atau
pangkat beberapa mayat itu, karena huruf-huruf yang kedapatan adalah huruf
bahasa Kim, menjadi nyata, di antara
orang-orangnya residen Lim-an itu adalah orang bangsa Kim.
“Celaka
betul!” teriak Siauw
Thian dalam murkanya. “Tentara Kim
main bunuh orang di wilayah kita, sekarang pembesar kita boleh disuruh-suruh
dan diperintah olehnya. Negara kita ini menjadi negara apa?!”
Khu Cie Kee sebaliknya tertawa.
“Sebenarnya orang suci sebagai aku mestinya berlaku murah hati dan berbelas
kasihan,” katanya, “Akan tetapi menyaksikan kebusukan segala pembesar dan
orang-orang jahat, tak dapat aku memberi ampun pula!”
“Memang,
memang mesti begitu!” seru dua saudara angkat she Kwee dan she Yo itu. “Begini
barulah puas!”
Kemudian Tiat Sim ambil pacul dan
sekop, untuk menggali laing, guna pendam belasan
mayat itu. Didalam hal ini ia tidak kuatir ada orang yang melihat kejadian ini,
sebab desa itu sedikit penduduknya dan itu waktu lagi turun salju dengan
lebatnya, tak ada orang yang sudi berkeliaran di luaran.
Habis
itu nyonya rumah sapui sisa darah di atas salju. Nyonya ini rupanya tak dapat
menahan bau bacin dari darah, ia rupanya bekerja keras, tiba-tiba saja ia rasai
kepalanya pusing, matanya kabur, lalu ia rubuh.
Tiat Sim terkejut, ia tubruk
istrinya, untuk diangkat bangun. “Kau kenapa?” tanya
suaminya ini beberapa kali.
Pauw-sie
berdiam, kedua matanya tertutup rapat, mukanya pucat pias, kaki tangannya
dingin seperti es. Tentu saja suaminya itu menjadi kaget dan berkhawatir.
Cie Kee pegang nadi si
nyonyi, lantas ia tertawa. “Kionghie! Kionghie!” ia memberi selamat.
“Apa,
Totiang?” tanya Tiat Sim
heran.
Justru
itu Pauw-sie mennjerit, ia sadarkan diri. Mulanya ia heran di kerumuni tiga
orang, habis itu ia likat, ia lari ke dalam.
“Istrimu
lagi hamil!” kata Cie
Kee kemudian.
“Benarkah
itu, Totiang?” Tiat
Sim tegaskan.
Kwee Siauw Tian |
Dengan
kata-kata “kucing tiga kaki” atau tidak ada artinya, imam ini merendahkan diri.
“Totiang
begini lihay tetapi totiang menyebutkan kepandaianmu sendiri sebagai kucing
kaki tiga, kalau begitu kepandaian kami berdua pastilah kepastiannya si tikus
berkaki tunggal!” katanya. Cie
Kee tersenyum, begitu pula dengan Tiat Sim.
Kemudian
mereka bertiga masuk pula ke dalam untuk lanjuti minum arak. Dua saudara angkat
itu sangat kagumi tetamu mereka, yang bertempur hebat tetapi tubuhnya tak
berkeciprukan darah. Tiat
Sim minum dengan gembira sekali.
Ia ingat akan hamilnya istrinya.
“Kwee
Toako,” katanya kemudian. “Enso pun lagi berisi, maka aku pikir baiklah kita
minta totiang yang memberi nama kepada anak-anak kita nanti!”
Siauw Thian berikan
kesetujuannya atas saran itu.
Cie Kee pun tidak menampik,
ia berpikir sebentar lantas ia bilang: “Anak Kwee
Toako baik diberi nama Ceng, yaitu
Kwee Ceng, dan anak Yo Toako diberinama Kong, yaitu Yo Kong. Nama-nama ini dapat juga diberikan sekalianpun untuk anak
perempuan.”
“Bagus!”
seru Siauw Thian. “Aku mengerti, totiang tentu tidak
melupai peristiwa Ceng-kong yang memalukan, untuk memperingati ditawannya kedua
raja kita.”
“Benar
begitu!” sang imam mengakui. Terus ia merogoh sakunya, untuk kasih keluar dua
potong pedang pendek, yang ia letaki di atas meja. Pedang itu sama panjang pendeknya
dan besar kecilnya, sarungnya dari kulit hijau, gagangnya dari kayu hitam.
Kemudian ia ambil pisaunya Tiat
Sim, untuk dipakai mengukir gagang
kedua pedang pendek itu. Ia mengukir masing-masing dua huruf “Kwee Ceng”
dan “Yo Kong”.
Dua-duanya Siauw Thian dan Tiat Sim kagum menyaksikan kepandaiannya si imam mengukir huruf-huruf itu, cepat dan indah hurufnya.
“Diwaktu
berkelana seperti ini aku tidak punya barang apa-apa, pedang pendek ini saja
aku berikan sebagai tanda mata untuk anak-anak kedua toako nanti!” kata si
imam.
Dua
saudara angkat itu terima bingkisan itu, keduanya mengucapkan terima kasih.
Tiat Sim mencoba menghunus
pedangnya, ia menjadi kagum. Pedang itu berkilau dan memberikan hawa dingin.
Demikian pun pedangnya Siauw
Thian. Jadinya kedua pedang itu
bukan sembarang pedang, meskipun badan pedang ada tipis sekali.
Cie Kee pegang pedang yang
satu, ia adu itu dengan pisau belatinya, dengan memberikan satu suara, ujungnya
pisau belati itu putus menjadi dua potong.
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua menjadi terkejut. “Totiang, tak berani kami menerima hadiah ini!” kata
mereka. Sebab kedua pedang itu adalah semacam pedang
mustika.
Tiang Cun Cinjin tertawa. “Dua pedang
ini pinto dapatkan secara kebetulan saja, walaupun benar untuk itu pinto mesti
keluarkan sedikit tenaga,” ia berkata. “Untukku, senjata ini tidak ada
perlunya, sebaliknya adalah besar faedahnya apabila dibelakang hari anak-anak
itu pakai untuk membela negeri, guna melabrak musuh!”
Dua
saudara angkat itu masih mencoba menampik hingga mereka membangkitkan amarahnya
si imam itu.
“Aku
anggap kamu adalah turunan orang-orang kenamaan, maka itu aku hargakan kamu,
kenapa sekarang kamu begini tidak bersemangat?” ia menegur.
Baharu
sekarang Siauw Thian dan Tiat
Sim tidak menolak lagi, mereka
lantas menghanturkan terima kasih.
Cie
Kee berkata pula, dengan sungguh-sungguh: “Kedua pedang ini adalah benda usia
beberapa ratus tahun tua, setahu sudah berapa banyak orang terbunuh dan berapa
banyak darah telah dihirupnya, maka mengertilah kamu, siapa saja yang mengerti
ilmu silat melihat ini lantas matanya menjadi merah! Kamu pun mesti
menginsafinya, seorang bocah yang ilmu silatnya tidak sempurna dengan menggunai
pedang ini, dia Cuma dapat memperbahayakan dirinya sendiri, dari itu kamu mesti
berhati-hati! Kamu ingatlah baik-baik!”
Siauw Thian dan Tiat Sim
berdua saling mengawasi, hati mereka tidak tentram.
Khu Cie Kee tertawa panjang.
“Sepuluh tahun sejak ini, apabila pinto masih ada di dalam dunia ini, mesti
pinto datang pula ke mari untuk
ajarkan anak-anak itu ilmu silat,” ia berkata, “Setujukah kamu?”
Dua
saudara angkat itu menjadi girang sekali. “Terima kasih totiang, terima kasih!”
mereka mengucap.
“Sekarang
ini bangsa Kim sedang mengincar negara kita, terhadap rakyat dia sangat
telengas,” berkata pula si imam, “Karena mestinya tidak lama lagi bangsa itu
turun tangan, dari itu pinto harap jiwi jaga diri baik-baik….”
Dia
angkat cawannya, untuk tenggat habis isinya, setelah itu dia buka pinti, untuk
bertindak keluar. Siauw
Thian berdua berniat meminta si
imam berdiam lebih lama, siapa tahu tindakan orang cepat sekali, tahu-tahu imam
itu sudah pergi jauh.
“Begitulah
kelakuan orang berilmu, ia datang dan pergi tak ketentuannya,” kata Siauw Thian
sambil menghela napas. “Kita dapat bertemu dia tetapi sayang, kita tidak dapat
meminta pengajaran daripadanya……..”
Tiat Sim sebaliknya tertawa.
“Toako, hebat cara bertempurnya
totiang hari ini!” ia bilang. “Dengan menonton saja, sedikitnya terumbar juga
hati pepat kit!” ia lantas buat main pedang yang satu, sampai ia lihat ukiran
dua huruf Yo Kong. Lantas ia berkata “Toako ada satu pikiran cepat dari aku,
entah kau setuju atau tidak?”
“Apakah
itu, Saudaraku?” Siauw
Thian balik bertanya.
“Inilah
mengenai anak-anak kita nanti,” Tiat
Sim beri keterangan. “Umpama anak
kita laki-laki semua, biarlah mereka menjadi saudara satu dengan yang lain,
apabila mereka adalah perempuan, biarlah mereka menjadi enci dan adik……….”
“Jikalau
mereka adalah laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menjadi suami-istri!” Siauw Thian
menyela.
Keduanya
lantas menjabat tangan, mereka tertawa terbahak. Itulah janji mereka.
Justru
pada saat itu Pauw-sie muncul. “Eh, kenapa kamu menjadi girang begini?” tanya si nyonya.
“Kami
baru saja membuat janji,” sahut Tiat
Sim, yang lantas tuturkan
kecocokan mereka berdua.
“Cis!” si nyonya meludah. Tetapi di dalam
hati, ia pun girang.
“Sekarang
marilah kita saling tukar pedang dahulu,” Tiat Sim
berkata pula. “Ini adalah semacam tanda mata. Kalau mereka ada laki-laki atau
perempuan, biarlah mereka jadi saudara satu dengan yang lain, kalau……..”
“Kalau begitu, kedua pedang ini akan
berkumpul di rumah kakak!” Siauw Thian bilang.
“Mungkin akan berkumpul di rumahmu, Saudara!” kata
Pauw-sie.
Lantas
mereka tukar kedua pedang itu. Sampai disitu, Siauw Thian
pulang dengan membawa pedang itu, untuk memberitahukan kepada istrinya,
Lie-sie.
Tiat Sim ada gembira sekali, masih ia
minum seorang diri, hingga ia mabuk.
Pauw-sie
pimpin suaminya ke kamar tidur, lalu ia benahkan piring mangkok dan cawan,
habis mana melihat hari sudah mendekati sore, ia pergi ke belakang untuk
kurungi ayamnya. Setibanya ia di pintu belakang, ia menjadi terkejut. Di situ, di atas salju, ia tampak tanda-tanda darah,
yang melintas di luar pintu belakang itu.
“Kiranya
di sini masih ada tanda darah yang belum dilenyapkan,” pikirnya heran. “Kalau
pembesar negeri melihat ini, inilah bahaya….”
Maka
ia cari sapu, lantas ia menyapu pula.
Tanda
darah itu menuju ke belakang rumah dimana ada pepohonan lebat. Di sini ia lihat tanda darah dari orang yang rupanya
jalan merayap. Ia jadi bertambah heran, saking curiga, ia ikuti terus tanda
darah itu, yang sampai di belakang sebuah kuburan tua. Di
situ ia lihat suatu benda hitam yang tergeletak di tanah. Kapan ia sudah datang
mendekat, ia kembali jadi terkejut. Itu adalah tubuhnya satu orang dengan
pakaian serba hitam, ialh salah satu orang yang tadi mengepung Khu Cie
Kee. Rupanya habis terluka, ia
tidak terbinasa, ia lari ke belakang rumah.
Selagi
berpikir, Pauw-sie ingat untuk panggil suaminya, buat kubur orang itu. Ia belum
bertindak tempo ia ingat, adalah berbahaya kalau ia tinggal pergi, sebab
mungkin nanti diketemui lain orang yang kebetulan lewat di situ. Ia jadi
beranikan diri, ia menghampiri orang itu dengan niat menyeret, guna dipindahkan
ke dalam rujuk, setelah mana baru ia baru hendak panggil suaminya. Benar disaat
ia cekal tubuh orang untuk ditarik, mendadakan tubuh itu bergerak, lau
terdengar suara merintihnya. Ia menjadi sangat kaget, ia jadi berdiri bagaikan
terpaku, sedang sebenarnya ingin ia lari pulang.
Terimakasih atas postingannya
BalasHapus