Jumat, 19 Oktober 2012

Sia Tiauw Enghiong 1




Kisah Memanah Rajawali

(Sia Tiauw Enghiong)

Karya : Chin Yung


Bab 1

 

Di luar gunung ada lagi gunung hijau,
di luar lauwteng ada pula lauwteng lainnya,
Nyanyian-nyanyian dan tari-tarian di Telaga Barat1,
hingga kapankah itu akan berhenti?
Penghidupan mewah di Selatan telah membuat mabuk
kepada pelancong-pelancong tetamu,
Hingga kota Hangciu dianggapnya sebagai kota Pianciu2!

Syair di atas adalah lukisan dari peristiwa pada delapan ratus tahun yang lampau. Ketika itu kerajaan Song telah menjadi sedemikian lemahnya hingga kedua kaisar Hwie Cong dan Kim Cong sudah kena ditawan bangsa Kim (Kin), karena mana itu pangeran Kong Ong lalu menyeberang ke Selatan, menerima tahta kerajaan di kota Lim-an3, menjadi Kaisar Kho Cong. Dalam waktu sesulit itu, selagi musuh mengancam di tapal batas, setelah separuh dari negara berada di dalam tangan musuh itu, sudah selayaknya satu kaisar bangkit bangun untuk membuat perlawanan, akan tetapi tidak demikian dengan Kaisar kho cong ini. Dia justru jeri terhadap bangsa Kim itu yang dipandangnya sebagai harimau saja, berbareng dengan itu dia pun khawatir kalau kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong nanti kembali dari tawanan hingga dia tak dapat terus bercokol di atas singasana naga. Maka dengan itu menurut perkataannya dorna Cin Kwee4, dia titahkan membunuh Jenderal Gak Hui, pendekar yang menentang musuh Kim itu, sesudah mana itu dengan merendahkan martabat sendiri ia mengajukan permohonan damai dengan bangsa Kim.
Inilah pengharapan bangsa Kim yang disaat itu tengah gelisah sebab telah berulangkali mereka memperoleh labrakan dari Jenderal Gak Hui, hingga semangatnya terpukul hebat, sementara di wilayah Utara mereka terancam pemberontakan tentera rakyat sukarela. Begitu di dalam bulan pertama tahun kerajaan Ciauw-hin ke-12 (1138 masehi) perdamaian telah ditandatangani dengan syarat tapal batas kedua negara Song dan Kim adalah aliran tengah dari sungai Hoay-sui.
Perdamaian itu namanya saja perdamaian, kenyataannya adalah penaklukan dari Kaisar Kho Cong itu (yang bernama Tio Kouw adalah putra ke-9 dari Kaisar Hwie Cong). Sebab di dalam suratnya, Kho Cong menyatakan dan mengaku sudah terima budi kebaikan dari raja Kim, karena mana turun temurun ia akan menjadi “menteri yang setia” serta berjanji setiap hari lahirnya, “Kaisar” demikian ia menyebut raja Kim itu – begitu juga setiap tahun, ia akan kirim utusan guna memberi selamat sambil menghanturkan upeti uang perak duapuluh lima laksa tail dan cita duapuluh lima laksa balok.
Demikian macam martabatnya seorang Kaisar, ia sungguh memalukan, maka ketika tentera dan rakyat negeri mengetahui hal itu, semuanya menjadi murka dan berbareng berduka. Lebih bersedih adalah rakyat di wilayah utara sungai Hoay-sui itu, karena mereka menjadi tidak mempunyai harapan lagi akan bangunnya negara. Dipihak lain, Kho Cong menganggap itu adalah jasa besar dari dorna Cin Kwee, maka juga dorna yang sudah tinggi pangkatnya, yaitu Siaupo Copoksia merangkap Kie-bit-su gelar Pangeran Louw-kokong, dinaiki pula menjadi Taysu, hingga kedudukannya telah mencapai puncaknya kebesaran suatu menteri!
Semenjak itu bangsa Kim menduduki separuh dari wilayah Tiongkok. Walaupun demikian pemerintahan di Hangciu malah bertambah buruk, raja dan menteri-menterinya, setiap hari berpelesiran saja, berpesta pora, tidak memikirkan lagi kepentingan negara, sedang beberapa menteri atau perwira yang setia, umumnya kalah pengaruh dan tidak berdaya, hingga mereka pada menutup mata karena mereras.
Demikan syair di atas, gambaran dari kaisar yang lemah dan buruk tapi pecandu pelisir!
Beberapa tahun telah berselang, Kaisar Kho Cong itu digantikan oleh Kaisar Hauw Cong. Kaisar Hauw Cong digantikan Kaisar Kong Cong, lalu Kaisar Leng Cong. Pada tahun Keng-goan ke-5 dari Kaisar ini, selagi musim dingin, telah turun hujan salju lebat selama dua hari berturut-turut, hingga Hangciu, ibukota Kerajaan Song itu seperti bermandikan air perak, bercahaya berkilau, indah dipandang. Dan diwaktu begitu, Kaisar dan menteri-menterinya dengan duduk mengelilingi perapian, bersenang-senang menenggak air kata-kata……
* * *
Di luar kota Hangciu, di sebelah timurnya, di dusun Gu-kee-cun, dua orang gagah pun tengah minum arak putih sambil duduk berhadapan, oleh karena mereka adalah bagaikan saudara sejati. Dari mereka itu, yang satu bernama Kwee Siauw Thian, yang lainnya Yo Tiat Sim, kedua-duanya adalah turunan orang-orang kenamaan.
Siauw Thian itu adalah turunan dari Say-Jin-Kui Kwee Seng, itu adalah salah satu jago dari seratus delapan orang kosen dari gunung Liang San yang kesohor dengan ilmu silat tombaknya, hanya setelah tiba pada dia ini, tombak yang panjang itu diganti dengan sepasang tombak pendek dan bergaetan (siangkek). Sementara Yo Tiat Sim itu adalah turunan dari Panglima Yo Cay Hin, salah seorang bawahan Jenderal Gak Hui dan ilmu tombaknya adalah warisan leluhurnya. Mulanya kedua orang ini bertemu dalam pengembaraan, setelah merasa cocok, maka mereka mengangkat saudara, kemudian bersama-sama mereka pindah dan tinggal di dusun ini. Kebiasaan mereka adalah duduk berkumpul, pasang omong dan menyakinkan ilmu silat.
Demikian juga pada hari itu, selagi salju turun, mereka duduk minum arak dan berbicara dengan asyiknya, tempo mereka omong hal nasibnya negera, keduanya menjadi berduka dan berdongkol, tiba-tiba saja Tiat Sim mengeprak meja dengan kerasnya. Justru saat itu ada seorang keluar dari ruang dalam, apabila gorden tersingkap, terlihatlah seorang wanita yang cantik sekali, tangannya memegang nenampan di atas mana ada terdapat masakan daging sapi serta ayam.
“Hai, urusan apa lagi yang membuat kamu berdua saudara marah?” tanya wanita itu sambil tertawa.
“Kami tengah membicarakan urusan yang gila-gila dari negara!” sahut Siauw Thian. “Enso, mari kau pun minum satu cawan!”
Wanita itu adalah Pauw-sie, istri dari Yo Tiat Sim. Di Lam-an ini, dia adalah merupakan wanita tercantik dan halus budi pekertinya, hingga ia tepat dengan romannya. Siapa yang melihat dia, pasti kagumlah hatinya. Dengan Tiat Sim, belum lama ia menikah, tetapi dia itu orangnya luwes dan dapat dengan gampang bergaul dengan kaum pria-dalam halnya dengan Siauw Thian, iparnya itu. Begitulah, setelah ia meletakkan barang makanan-nya, ia mengambil cawan dan mengisinya, sesudah itu mengambil kursi dan meminum araknya itu.
“Kemarin selagi aku berada di dalam warung teh di Tong Lam di ujung jembatan Cong An Kio, aku mendengar orang membicarakan halnya Han To Cu si perdana menteri keparat itu!” Tiat Sim menyahuti pertanyaan istrinya tadi. “Rapi pembicaraan itu, hingga aku percaya itu bukanlah omong kosong belaka. Orang itu bilang, pembesar siapa juga, jikalau dia hendak mengajukan laporan, apabila di ujung sampulnya tidak disertai keterangan dia menghadiahkan sesuatu, pasti perdana keparat itu tidak akan memeriksanya!”
Siauw Thian menghela napas. “Ada rajanya, ada menterinya” katanya masgul. “Ada menterinya, ada pembesar-pembesar bawahannya.Lihat saja Tio Tayjin, residen dari kota Lim-an kita ini. Hari itu Han To Cu pesiar di luar kota dengan diiringi banyak pembesar. Kebetulan aku lagi mencari kayu di dekat situ. Tentu saja aku tidak ambil mumat padanya itu. Lalu aku mendengar dia menghela napas dan berkata seorang diri: ‘Di sini rumah-rumah berpagar bambu dan beratap, sungguh suatu desa yang indah menarik hati, hanya sayang sekali, disini tidak terdengar suara ayam berkokok dan anjing menggonggong…’ Belum lagi dia menutup mulutnya lalu terdengar gongongan anjing dari dalam semak-semak!”
Pauw-sie bertepuk tangan sambil tertawa. “Sungguh anjing yang tahu diri!” katanya.
“Memang anjing yang sangat tahu diri!” sahut Siauw Thian. “Setelah menggonggong, dia muncul dari semak-semak itu! Enso tahu, anjing apakah itu? Dialah Tio Tayjin, residen kita!”
Pauw-sie menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Sim dan Siauw Thian pun tertawa.
Mereka minum terus hingga terlihat salju turun makin lebat.
“Nanti aku undang enso minum bersama,!” kata Pauw-sie kemudian.
“Tidak usah,” Siauw Thian mencegah. “Selama beberapa hari ini, dia merasa kurang sehat….”
Pauw-sie terkejut, “Ah, mengapa aku tidak tahu!” katanya. “Nanti aku tengok!”
Siauw Thian tidak bilang apa-apa lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim. Itu artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya.
Tak lama, nyonya Yo kembali sambil tersenyum-senyum. Ia isikan satu cawan, lalu mengansurkan cawan itu kepada suaminya.
“Lekas minum sampai habis!” katanya. “Inilah tanda hormat kepada Toako!”
“Eh, apakah artinya ini?” tanya Tiat Sim tidak mengerti.
“Minum, lekas minum!” desak Pauw-sie. “Habis minum nanti baru aku beri keterangan!” katanya kemudian.
Tiat Sim lalu meminum kering cawan itu.
“Nah, Toako, kau biacaralah sendiri!” kata Pauw-sie sambil tertawa kepada Siauw Thian.
Orang she Kwee itu tersenyum dan berkata, “Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh pinggangnya pegal dan sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia sudah mengandung selama tiga bulan….”
Tiat Sim menjadi girang sekali. “Kiong hie, Toako!” katanya sambil memberi selamat.
Lalu ketiganya meneguk arak mereka, masing-masing tiga cawan. Tentu saja dengan meminum sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.
Pada saat itu di arah timur kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi. Dia memakai tudung bambu dan tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya penuh dengan salju. Ia bertindak dengan tegap dan cepat. Segera tertampak di punggungnya ada tergantung sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di antara tiupan angin yang keras.
“Adik, imam ini pasti mengerti ilmu silat,” Siauw Thian bilang. “Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat berkenalan dengannya. Sayang kita belum tahu namanya………..”
“Benar,” sahut Tiat Sim. “Baik kita undang dia minum untuk ikat persahabatan……”
Keduanya segera berbangkit dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat jalannya, si imam sudah lewat beberapa puluh tombak.
Siauw Thian dan Tiat Sim saling melihat dengan herannya. “Totiang, tunggu sebentar!” Tiat Sim segera memanggil.
Cepat sekali si imam memutar tubuh dan mengangguk.
“Salju turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat dingin,” kata Tiat Sim pula, “Sudilah Totiang mampir untuk minum beberapa cawan guna melawan hawa dingin.”
Iman itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia bertindak menghampir – cepat sekali tindakannya.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sangat terperanjat dan heran guna menyaksikan muka orang yang berwajah sangat dingin sekali.
“Kamu pandai bergaul, eh!” katanya tawar
Tiat Sim masih muda dan dia tidak senang dengan sikap orang. “Dengan baik hati aku mengundang kau minum, kenapa kau begini tidak tahu aturan?” pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.
Siauw Thian sebaliknya lantas memberi hormat. “Totiang, harap anda tidak marah dengan sikap saudaraku ini. “Kami sedang minum arak, melihat Totiang melawan salju, dia besarkan nyali untuk mengundang Totiang minum bersama….”
Imam itu memutar matanya. “Baik,baik!” katanya. “Minum arak ya minum arak!” Dan dengan tindakan lebar ia menuju ke dalam.
Tiat Sim merasa dongkol, ia ulurkan tangannya hendak mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping. “Aku belum belajar kenal dengan Totiang!” katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa kaget. Ia merasai tangan orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang tangannya, tahu-tahu tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit dan panas. Ia kerahkan tenaganya untuk melawan. Justru dengan berbuat demikian ia merasakan tangannya hilang tenaga dan sakit sekali, rasa sakitnya sampai ke ulu hati.
Siauw Thian tampak wajah saudaranya merah dan pucat, ia tahu saudaranya ini tentu telah “ketemu batunya”. Ia mengerti gelagat yang kurang baik itu dan sangsi turun tangan untuk membantu.
“Totiang, mari silakan duduk di sini!” ia mengundang.
Dua kali si imam kasih dengar tertawanya yang dingin itu, baru ia lepaskan cekalannya atas tangan Tiat Sim. Hal ini membuat orang she Yo itu mendongkol dan heran, ia terus masuk ke dalam, akan diberitahukannya istrinya tentang imam itu.
“Dia sangat aneh, pergi temani dulu,” kata Pauw-sie. “Jangan turun tangan, perlahan-lahan saja kita cari tahu tentang dirinya…”
Tiat Sim menuruti perkataan istrinya itu.
Pauw-sie segera menyiapkan arak dan barang hidangan dan menyuruh Tiat Sim membawa keluar.
“Tunggu sebentar!” memanggil sang istri. Tiat Sim pun memutar kembali.
Pauw-sie menurunkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilap, yang tergantung pada tembok, ia memasukkan belati itu ke dalam saku suaminya.
Tiat Sim pun kemudian keluar membawa barang hidangan itu dan mengaturnya di meja. Ia menuangkan tiga cawan, terus ia mengundang tamunya untuk minum. Ia juga meneguk satu cawan, habis minum ia berdiam saja.
Imam itu memandang keluar jendela dan mengawasi salju. Ia tidak meminum araknya dan ia pun tidak membuka mulutnya melainkan hanya tertawa dingin saja.
Siauw Thian menduga si imam tentu curigai araknya, ia mengambil cawan arak di hadapan imam itu, terus ia cegluk di hadapan imam itu. Ia menyambuti, terus diminumnya.
“Arakmu telah dingin Totiang, nanti aku tukar dengan yang baru,” katanya. Dan ia mengisikan pula.
Si imam dapat mencium bau harum dari arak itu, ia menyambuti dan terus diminumnya. “Walaupun arak ini di campuri dengan obat pulas, tidak nanti aku kena diracuni!” katanya.
Tiat Sim menjadi hilang sabar. “Kita undang kau minum dengan maksud baik, mustahil kami hendak mencelakai kau!” tegurnya. “Totiang, kau omong tidak karuan, silakan lekas keluar! Arak kita tidak bakalan menjadi rusak dan sayur kita tak nanti tak ada yang memakannya!”
“Hm!” bersuara si imam itu. Tak lebih. Ia jemput poci arak dan menuang arak itu sendiri, lalu ia tenggak habis tiga cawan. Habis itu dia buka baju luarnya dan letaki tudungnya.
Sekarang baru Tiat Sim dan Siauw Thian dapat melihat dengan tegas wajah orang. Mereka menduga si imam baru berumur tiga puluh tahun lebih, sepasang alisnya panjang lancip, kulit mukanya merah segar, mukanya lebar dan kupingnya besar. Ia bukan sembarang imam. Ketika ia kasih turun kantung di punggungnya, ia terus lempar barang itu ke atas meja hingga terbitlah suatu suara yang keras, hingga kedua tuan rumah itu menjadi kaget sekali. Sebab yang menerbitkan suara nyaring itu yang menggelinding keluar dari dalam kantung itu adalah kepala manusia yang masih berlumuran darah, hingga tak nampak jelas raut mukanya.
Tiat Sim meraba pisau belati dalam kantungnya.
Si imam menukik pula kantungnya, kali ini dikeluarkannya dua potong daging yang penuh darah juga, karena itu adalah hati dan jantung manusia.
“Jahanam!” teriak Tiat Sim yang sudah tak tahan sabar lagi, sedang tangannya melayang ke dada si imam.
“Kebetulan, aku memang menghendaki barang ini!” seru si imam sambil tertawa. Ia tidak menghiraukan tikaman itu, hanya ketika si orang she Yo itu datang mendekat, ia menggempur dengan tangan kirinya, hingga seketika juga Tiat Sim merasa bahunya tergetar, lalu tiba-tiba saja pisau belatinya kena dirampas orang!
Siauw Thian kaget bukan kepalang. Ia tahu lihaynya adik angkatnya itu, yang cuma kalah sedikit dengannya. Tidak disangka, demikian gampang imam ini merampas senjata orang. Itulah ilmu silat “Khong-ciu toat pek-jin” atau “Tangan kosong merampas senjata tajam” yang lihay, yang baru pernah ia saksikan. Meskipun ia kaget, ia toh segera bersiap dengan memegang bangku, guna membela diri umpama kata si imam terus menyerang. Akan tetapi dugaannya ini salah adanya. Imam itu tidak menyerang siapa juga, ia hanya lantas gunai pisau itu untuk memotong-motong hati dan jantung manusia itu, lalu dengan tangan kiri mencekal poci arak, dengan tangan kanan ia jumputi potongan daging satu demi satu, untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, buat dikuyah dan ditelan, saban-saban dia selang itu dengan tenggakan arak pada pocinya. Cepat daharnya, sebentar lagi habis sudah makanan yang rupanya sangat lezat itu!
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi dengan tercengang. Sungguh aneh imam ini. Akan tetapi itu masih belum semua. Habis dahar, imam itu berdongak, lalu ia bersiul nyaring sekali, umpama kata genting sampai bergetar, kemudian tangan kanannya menyerang ke meja, hingga piring dan cawan berlompat! Yang hebat adalah sasaran serangan itu, ialah kepala manusia itu, yang remuk seketika! Sedang ujung meja turut sempal sedikit……..
Selagi dua saudara angkat itu berdiam, wajah si imam yang tadinya bermuram durja dan bengis, tiba-tiba berubah menjadi penuh dengan air mata, dengan air mata bercucuran ia lalu menangis dengan meraung-raung!
“Kiranya dia seorang yang edan…!” bisik Siauw Thian kepada adik angkatnya, yang ujung bajunya ia tarik. “Dia lihay sekali, jangan kita ladeni dia….”
Tiat Sim mengangguk, ia awasi imam itu. Sekarang tidak lagi ia gusur, sebaliknya ia merasa kasihan. Sedih tangisnya si imam ini, ilmu silat siapa sebaliknya ia kagumi. Maka kemudian ia lari ke dalam untuk mengambil semangkok kuwah yang masih panas.
“Totiang, mari minum kuwah ini!” katanya. Ia letaki mangkok itu di atas meja.
Si imam bukan menerima kuwah iru, ia sebaliknya menggebrak meja hingga mangkok itu terbang berikut mejanya. Ia pun berseru :”Kawanan tikus, hari ini toyamu membuka pantangan membunuh!”
Menampak itu, meluaplah amarah Tiat Sim, maka ia melompat ke ujung ruang untuk menyambar tombaknya, lalu ia terus lari keluar, ke depan pintu dimana salju terhampar luas.
“Mari, mari!” ia menantang. “Mari belajar kenal dengan tombak keluarga Yo!”
Imam itu tersenyum. “Tikus, pantaskah kau menggunai ilmu silat tombak keluarga Yo?” tanyanya. Ia bersuara sambil tubuhnya melompat keluar.
Melihat keadaan mengancam itu, Siauw Thian lari untuk mengambil sepasang gaetannya, dengan lekas ia berbalik kembali.
Imam berdiri tanpa menghunus pedangnya, Cuma sang angin menyampok-nyampok ujung bajunya.
“Hunus pedangmu!” seru Tiat Sim.
“Ah, dua tikus, kamu berdua majulah berbareng!” sahut si imam. “Toya kamu akan layani kamu dengan tangan kosong!”
Takabur bukan main orang pertapaan ini, hingga Tiat Sim tidak berayal sejenak juga untuk segera menikam dengan tombaknya yang beronce merah itu. Ia gunai tipu silatnya “Tok liong cut tong” atau “Naga berbisa keluar dari gua”
“Bagus!” seru si imam kagm menampak serangan itu yang menuju ke dadanya. Ia berkelit ke samping, tangan kirinya bergerak, untuk sambar kepala tombak itu.
Lihay ilmu silat tombak keluarga Yo itu – Yo-kee Chio-hoat. Ketika Yo Cay Hin bersama tigaratus serdadunya – tentara kerajaan Song menghadapi empat laksa serdadu Kim, seorang diri ia telah membinasakan dua ribu lebih serdadu musuh berikut banyak perwiranya, sebelum akhirnya ia roboh karena terkena banyak panah, waktu ia binasa dan bangsa Kim membakar tubuhnya, dari dalam tubuhnya itu kedapatan banyak ujung panah, sebab selagi ia terpanah, gagang panah ia patahkan. Karena ini bangsa Kim menjadi jeri dan mengaguminya. Tiat Sim tidak segagah leluhurnya itu tetapi ilmu silatnya cukup sempurna, begitulah ia mencoba mendesak si imam tidak di kenal itu yang senantiasa lolos dari tikaman, tempo habis sudah dijalankan semua tujuh puluh dua jurus ilmu tombak itu, dia tidak kurang sesuatu apa. Baru sekarang si anak muda menjadi gentar, terpaksa ia seret tombaknya untuk keluar dari kalangan.
Imam itu mengejar apabila ia dapatkan lawannya itu lari.
Sekonyong-konyong Tiat Sim berseru keras, tubuhnya berputar balik, berbareng dengan itu, dengan kedua tangannya memegangi gagang tombak, ia menikam dengan hebat sekali. Itulah tipu silat “Cwie-pek po-kian” atau “menggempur tembok”. Dengan tipu itu, musuh dibikin tidak menyangka dan menjadi kaget. Dengan tipu ini juga dulu Yo Cay Hin membikin rubuh Gak Hoan, adiknya Gak Hui.
“Bagus!” seru si imam buat kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung tombak sampai, ia menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel menjadi satu dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.
Tiat Sim kaget bukan kepalang. Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati telapak tangan lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun sia-sia belaka, tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si imam juga nancap bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil, mukanya menjadi merah.
Tiba-tiba saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia tidak Cuma melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan kanannya kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah menjadi dua potong!
Imam itu segera tertawa pula, lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. “Tuan, benar lihay ilmu silat tombakmu!” katanya. “Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon ku tanya she tuan”
“Aku yang rendah she Yo bernama Tiat Sim,” sahut Tiat Sim, selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia kesakitan pada kedua tangannya, ia pun heran sekali.
“Pernah apakah Tuan dengan Ciangkun Yo Cay Hin?” tanya si imam.
“Ia adalah leluhur saya,” jawab Tiat Sim pula.
Mandadak si imam itu menjura kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.
“Maaf, barusan aku menyangka Tuan-tuan adalah orang jahat,” ia berkata dengan pengakuannya. “Aku tidak sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia. Boleh kutanya she Tuan?” ia lanjuti kepada Siauw Thian.
Dengan cara hormat Siauw Thian perkenalkan dirinya.
“Tuan ini kakak angkatku, dia adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung Liang San,” Tiat Sim menambahkan.
“Bagus!” berkata si imam, ia pun minta maaf pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia menjura.
Tiat Sim berdua membalas hormatnya.
“Silahkan Totiang minum arak pula,” ia mengundang pula kemudian.
“Memang kuingin minum dengan puas bersama jiwi!” kata si imam denagn tertawa.
Tiat Sim dan Siauw Thian undang orang masuk pula ke dalam.
Pauw-sie menyaksikan pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang menjadi sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang hidangan.
Kali ini Tiat Sim dan Siauw Thian tanya gelaran si imam.
“Pinto she Khu bernama Cie Kee,” sahut imam itu.
Siauw Thian terperanjat mendengar nama itu. “Oh, apa bukannya Tiang Cun Cinjin?” ia menyela.
“Itulah nama pemberian rekan-rekanku, pinto malu menerimanya,” kata Cie Kee sambil tertawa.
Siauw Thian segera berkata kepada adik angkatnya: “Adik, totiang ini adalah orang gagah nomor satu di ini jaman! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengannya!”
“Oh!” Tiat Sim berseru kaget. Lalu berdua, mereka berlutut di depan imam itu.
Khu Cie Kee tertawa, ia memimpin bangun orang. “Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya para pembesar negeri sedang mencari aku,” ia berkata. “Barusan pinto lewat di sini, pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan kamu kelihatannya bukan sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga sendiri….”
“Keliru adalah saudaraku ini, yang tabiatnya keras,” Siauw Thian bilang. “Totiang lihat sendiri, dia suruh lantas turun tangan, pantas kalau Totiang jadi curiga karenanya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.
“Sebenarnya pinto adalah orang utara,” kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. “Rumah tanggaku hancur lebur karena kejahatan bangsa Kim, sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya, dari itu pinto telah sucikan diri.” Ia terus tuding kepala manusia yang remuk dan yang tergeletak di lantai itu. “Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat besar. Pada tahun yang lalu kaisar mengutus dia kepada raja Kim, buat memberi selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk bersekongkol, supaya bangsa Kim bisa menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru ia dapat dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga tadi pinto berlaku tidak selayaknya.”
Siauw Thian dan Tiat Sim membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak keberatan, lalu ia memberi beberapa petunjuk.
“Totiang, sunggguh beruntung kami dapat bertemu dengan Totiang,” kemudian Tiat Sim utarakan isi hatinya, “Maka itu sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di gubuk kami ini.”
Imam itu hendak menjawab tuan rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.
“Ada orang datang mencari aku,” ia bilang, “Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak boleh munculkan diri! Mengerti?!”
Siauw Thian dan Tiat Sim heran akan tetapi mereka lantas mengangguk.
Cie Kee lantas sambar kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan, di situ ia umpatkan dirinya.
Siauw Thian berdua heran bukan buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun tidak nampak apa-apa. Baharu kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun lewat, mereka dengar tindakan kaki kuda.
“Sungguh jeli kuping cinjin!” puji Tiat Sim
Suara kuda itu datang semakin mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang kuda, setiap penunggangnya mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka itu menghampiri pintu, setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian: “Sampai di sini bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!”
Beberapa orang lompat turun dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie Kee.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang mengerti ilmu silat dengan baik.
“Masuki rumah itu dan geledah!” terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.
Dua orang segera lompat turun dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim untuk menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang jitu sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia ini rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya “Ong Tayjin”. Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.
Orang yang menjadi pemimpin menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan, atas perintahnya lima orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!
Yo Tiat Sim sambar sebatang golok dari pojok rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam, akan tetapi Siauw Thian menariknya.
“Jangan!” katanya. “Totiang telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak sanggup melawan, baru kita turun tangan…….”
Selagi orang she Kwee ini berbicara, Khu Cie Kee sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai itu untuk menimpuk ke bawah, tubuhnya sendiri turut lompat turun, hingga akibatnya dua musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman pedang.
“Imam bangsat, kiranya kau!” berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului majunya itu.
Belum Cie Kee menyerang ini pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah minta lima korban.
Tiat Sim kagum hingga ia tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri waktu ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.
Sekarang Cie Kee tengah layani si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang sesaat, Siauw Thian dan Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah mempermainkan orang, sebab di lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika akan rubuhkan lain orang – ialah orang-orang yang mengepungnya. Terang si imam lagi gunai siasat, guna menumpas semua penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas rubuhkan si pemimpin, mungkin bawahannya nanti lari kabur semua.
Selang tak lama, imam itu dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik. Menampak ini, si pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba-tiba ia keprak kudanya, buat dikasih berbalik untuk lari pergi.
Sang imam ada sangat jeli matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia menyambar dengan tangan kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik. Sembari menarik ia enjot tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia bercokol di atas kuda itu, pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin, tembus dari belakang ke depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian dengan menunggang kuda, sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia tidak membutuhkan banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya, sebaliknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah karena berlumuran darah mereka itu….
Seorang diri si imam tertawa. “Puas aku dengan pertempuran ini!” katanya kepada Siauw Thian dan Tiat Sim, yang telah lantas muncul. Hanya hati mereka masih kebat-kebit.
“Totiang, siapakah mereka ini?” tanya Siauw Thian.
“Kau geledah saja tubuh mereka!” sahut si imam.
Siauw Thian menghampiri mayatnya si pemimpin, untuk memeriksa sakunya. Ia dapatkan sepotong surat titah, dari Tio Tayjin si residen Lim-an yang bisa “menggonggong” sebagai anjing itu. Itu juga adalah titah rahasia untuk membekuk pembunuhnya Ong To Kian, untuk mana si residen bekerja sama dengan pihak bangsa Kim, sebab ia telah di desak oleh utusan negara Kim.
Mengetahui itu, orang she Kwee ini menjadi sangat mendingkol. Sedang begitu, Tiat Sim telah perdengarkan seruan seraya tangannya menyekal beberapa potong yauw-pay, yang dia dapatkan dari beberapa mayat. Yauw-pay itu adalah tanda kedudukan atau pangkat beberapa mayat itu, karena huruf-huruf yang kedapatan adalah huruf bahasa Kim, menjadi nyata, di antara orang-orangnya residen Lim-an itu adalah orang bangsa Kim.
“Celaka betul!” teriak Siauw Thian dalam murkanya. “Tentara Kim main bunuh orang di wilayah kita, sekarang pembesar kita boleh disuruh-suruh dan diperintah olehnya. Negara kita ini menjadi negara apa?!”
Khu Cie Kee sebaliknya tertawa. “Sebenarnya orang suci sebagai aku mestinya berlaku murah hati dan berbelas kasihan,” katanya, “Akan tetapi menyaksikan kebusukan segala pembesar dan orang-orang jahat, tak dapat aku memberi ampun pula!”
“Memang, memang mesti begitu!” seru dua saudara angkat she Kwee dan she Yo itu. “Begini barulah puas!”
Kemudian Tiat Sim ambil pacul dan sekop, untuk menggali laing, guna pendam belasan mayat itu. Didalam hal ini ia tidak kuatir ada orang yang melihat kejadian ini, sebab desa itu sedikit penduduknya dan itu waktu lagi turun salju dengan lebatnya, tak ada orang yang sudi berkeliaran di luaran.
Habis itu nyonya rumah sapui sisa darah di atas salju. Nyonya ini rupanya tak dapat menahan bau bacin dari darah, ia rupanya bekerja keras, tiba-tiba saja ia rasai kepalanya pusing, matanya kabur, lalu ia rubuh.
Tiat Sim terkejut, ia tubruk istrinya, untuk diangkat bangun. “Kau kenapa?” tanya suaminya ini beberapa kali.
Pauw-sie berdiam, kedua matanya tertutup rapat, mukanya pucat pias, kaki tangannya dingin seperti es. Tentu saja suaminya itu menjadi kaget dan berkhawatir.
Cie Kee pegang nadi si nyonyi, lantas ia tertawa. “Kionghie! Kionghie!” ia memberi selamat.
“Apa, Totiang?” tanya Tiat Sim heran.
Justru itu Pauw-sie mennjerit, ia sadarkan diri. Mulanya ia heran di kerumuni tiga orang, habis itu ia likat, ia lari ke dalam.
“Istrimu lagi hamil!” kata Cie Kee kemudian.
“Benarkah itu, Totiang?” Tiat Sim tegaskan.
Kwee Siauw Tian
“Tidak salah!” si imam pastikan. “Banyak ilmu yang pinto yakinkan, tiga yang memuaskan hatiku, ialah pertama ilmu tabib, kedua syair, dan ketiga ialah ilmu silat kucing kaki tiga ……”
Dengan kata-kata “kucing tiga kaki” atau tidak ada artinya, imam ini merendahkan diri.
“Totiang begini lihay tetapi totiang menyebutkan kepandaianmu sendiri sebagai kucing kaki tiga, kalau begitu kepandaian kami berdua pastilah kepastiannya si tikus berkaki tunggal!” katanya. Cie Kee tersenyum, begitu pula dengan Tiat Sim.
Kemudian mereka bertiga masuk pula ke dalam untuk lanjuti minum arak. Dua saudara angkat itu sangat kagumi tetamu mereka, yang bertempur hebat tetapi tubuhnya tak berkeciprukan darah. Tiat Sim minum dengan gembira sekali. Ia ingat akan hamilnya istrinya.
“Kwee Toako,” katanya kemudian. “Enso pun lagi berisi, maka aku pikir baiklah kita minta totiang yang memberi nama kepada anak-anak kita nanti!”
Siauw Thian berikan kesetujuannya atas saran itu.
Cie Kee pun tidak menampik, ia berpikir sebentar lantas ia bilang: “Anak Kwee Toako baik diberi nama Ceng, yaitu Kwee Ceng, dan anak Yo Toako diberinama Kong, yaitu Yo Kong. Nama-nama ini dapat juga diberikan sekalianpun untuk anak perempuan.”
“Bagus!” seru Siauw Thian. “Aku mengerti, totiang tentu tidak melupai peristiwa Ceng-kong yang memalukan, untuk memperingati ditawannya kedua raja kita.”
“Benar begitu!” sang imam mengakui. Terus ia merogoh sakunya, untuk kasih keluar dua potong pedang pendek, yang ia letaki di atas meja. Pedang itu sama panjang pendeknya dan besar kecilnya, sarungnya dari kulit hijau, gagangnya dari kayu hitam. Kemudian ia ambil pisaunya Tiat Sim, untuk dipakai mengukir gagang kedua pedang pendek itu. Ia mengukir masing-masing dua huruf “Kwee Ceng” dan “Yo Kong”.

Dua-duanya Siauw Thian dan Tiat Sim kagum menyaksikan kepandaiannya si imam mengukir huruf-huruf itu, cepat dan indah hurufnya.
“Diwaktu berkelana seperti ini aku tidak punya barang apa-apa, pedang pendek ini saja aku berikan sebagai tanda mata untuk anak-anak kedua toako nanti!” kata si imam.
Dua saudara angkat itu terima bingkisan itu, keduanya mengucapkan terima kasih.
Tiat Sim mencoba menghunus pedangnya, ia menjadi kagum. Pedang itu berkilau dan memberikan hawa dingin. Demikian pun pedangnya Siauw Thian. Jadinya kedua pedang itu bukan sembarang pedang, meskipun badan pedang ada tipis sekali.
Cie Kee pegang pedang yang satu, ia adu itu dengan pisau belatinya, dengan memberikan satu suara, ujungnya pisau belati itu putus menjadi dua potong.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua menjadi terkejut. “Totiang, tak berani kami menerima hadiah ini!” kata mereka. Sebab kedua pedang itu adalah semacam pedang mustika.
Tiang Cun Cinjin tertawa. “Dua pedang ini pinto dapatkan secara kebetulan saja, walaupun benar untuk itu pinto mesti keluarkan sedikit tenaga,” ia berkata. “Untukku, senjata ini tidak ada perlunya, sebaliknya adalah besar faedahnya apabila dibelakang hari anak-anak itu pakai untuk membela negeri, guna melabrak musuh!”
Dua saudara angkat itu masih mencoba menampik hingga mereka membangkitkan amarahnya si imam itu.
“Aku anggap kamu adalah turunan orang-orang kenamaan, maka itu aku hargakan kamu, kenapa sekarang kamu begini tidak bersemangat?” ia menegur.
Baharu sekarang Siauw Thian dan Tiat Sim tidak menolak lagi, mereka lantas menghanturkan terima kasih.
Cie Kee berkata pula, dengan sungguh-sungguh: “Kedua pedang ini adalah benda usia beberapa ratus tahun tua, setahu sudah berapa banyak orang terbunuh dan berapa banyak darah telah dihirupnya, maka mengertilah kamu, siapa saja yang mengerti ilmu silat melihat ini lantas matanya menjadi merah! Kamu pun mesti menginsafinya, seorang bocah yang ilmu silatnya tidak sempurna dengan menggunai pedang ini, dia Cuma dapat memperbahayakan dirinya sendiri, dari itu kamu mesti berhati-hati! Kamu ingatlah baik-baik!”
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi, hati mereka tidak tentram.
Khu Cie Kee tertawa panjang. “Sepuluh tahun sejak ini, apabila pinto masih ada di dalam dunia ini, mesti pinto datang pula ke mari untuk ajarkan anak-anak itu ilmu silat,” ia berkata, “Setujukah kamu?”
Dua saudara angkat itu menjadi girang sekali. “Terima kasih totiang, terima kasih!” mereka mengucap.
“Sekarang ini bangsa Kim sedang mengincar negara kita, terhadap rakyat dia sangat telengas,” berkata pula si imam, “Karena mestinya tidak lama lagi bangsa itu turun tangan, dari itu pinto harap jiwi jaga diri baik-baik….”
Dia angkat cawannya, untuk tenggat habis isinya, setelah itu dia buka pinti, untuk bertindak keluar. Siauw Thian berdua berniat meminta si imam berdiam lebih lama, siapa tahu tindakan orang cepat sekali, tahu-tahu imam itu sudah pergi jauh.
“Begitulah kelakuan orang berilmu, ia datang dan pergi tak ketentuannya,” kata Siauw Thian sambil menghela napas. “Kita dapat bertemu dia tetapi sayang, kita tidak dapat meminta pengajaran daripadanya……..”
Tiat Sim sebaliknya tertawa. “Toako, hebat cara bertempurnya totiang hari ini!” ia bilang. “Dengan menonton saja, sedikitnya terumbar juga hati pepat kit!” ia lantas buat main pedang yang satu, sampai ia lihat ukiran dua huruf Yo Kong. Lantas ia berkata “Toako ada satu pikiran cepat dari aku, entah kau setuju atau tidak?”
“Apakah itu, Saudaraku?” Siauw Thian balik bertanya.
“Inilah mengenai anak-anak kita nanti,” Tiat Sim beri keterangan. “Umpama anak kita laki-laki semua, biarlah mereka menjadi saudara satu dengan yang lain, apabila mereka adalah perempuan, biarlah mereka menjadi enci dan adik……….”
“Jikalau mereka adalah laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menjadi suami-istri!” Siauw Thian menyela.
Keduanya lantas menjabat tangan, mereka tertawa terbahak. Itulah janji mereka.
Justru pada saat itu Pauw-sie muncul. “Eh, kenapa kamu menjadi girang begini?” tanya si nyonya.
“Kami baru saja membuat janji,” sahut Tiat Sim, yang lantas tuturkan kecocokan mereka berdua.
“Cis!” si nyonya meludah. Tetapi di dalam hati, ia pun girang.
“Sekarang marilah kita saling tukar pedang dahulu,” Tiat Sim berkata pula. “Ini adalah semacam tanda mata. Kalau mereka ada laki-laki atau perempuan, biarlah mereka jadi saudara satu dengan yang lain, kalau……..”
“Kalau begitu, kedua pedang ini akan berkumpul di rumah kakak!” Siauw Thian bilang.
“Mungkin akan berkumpul di rumahmu, Saudara!” kata Pauw-sie.
Lantas mereka tukar kedua pedang itu. Sampai disitu, Siauw Thian pulang dengan membawa pedang itu, untuk memberitahukan kepada istrinya, Lie-sie.
Tiat Sim ada gembira sekali, masih ia minum seorang diri, hingga ia mabuk.
Pauw-sie pimpin suaminya ke kamar tidur, lalu ia benahkan piring mangkok dan cawan, habis mana melihat hari sudah mendekati sore, ia pergi ke belakang untuk kurungi ayamnya. Setibanya ia di pintu belakang, ia menjadi terkejut. Di situ, di atas salju, ia tampak tanda-tanda darah, yang melintas di luar pintu belakang itu.
“Kiranya di sini masih ada tanda darah yang belum dilenyapkan,” pikirnya heran. “Kalau pembesar negeri melihat ini, inilah bahaya….”
Maka ia cari sapu, lantas ia menyapu pula.
Tanda darah itu menuju ke belakang rumah dimana ada pepohonan lebat. Di sini ia lihat tanda darah dari orang yang rupanya jalan merayap. Ia jadi bertambah heran, saking curiga, ia ikuti terus tanda darah itu, yang sampai di belakang sebuah kuburan tua. Di situ ia lihat suatu benda hitam yang tergeletak di tanah. Kapan ia sudah datang mendekat, ia kembali jadi terkejut. Itu adalah tubuhnya satu orang dengan pakaian serba hitam, ialh salah satu orang yang tadi mengepung Khu Cie Kee. Rupanya habis terluka, ia tidak terbinasa, ia lari ke belakang rumah.
Selagi berpikir, Pauw-sie ingat untuk panggil suaminya, buat kubur orang itu. Ia belum bertindak tempo ia ingat, adalah berbahaya kalau ia tinggal pergi, sebab mungkin nanti diketemui lain orang yang kebetulan lewat di situ. Ia jadi beranikan diri, ia menghampiri orang itu dengan niat menyeret, guna dipindahkan ke dalam rujuk, setelah mana baru ia baru hendak panggil suaminya. Benar disaat ia cekal tubuh orang untuk ditarik, mendadakan tubuh itu bergerak, lau terdengar suara merintihnya. Ia menjadi sangat kaget, ia jadi berdiri bagaikan terpaku, sedang sebenarnya ingin ia lari pulang.


Lewat sesaat, tubuh itu terdiam pula. Dengan beranikan hati, Pauw-sie pakai sesapu, untuk bentur tubuh orang. Maka sekali lagi ia dengar suara rintihan perlahan.

1 komentar: