Senin, 26 November 2012

Sin Tiauw Hiap Lu 88



Kembalinya Pendekar Rajawali 88

Di antara berkelebatnya sinar pedang segera terdengar pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan.
Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi: “Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!”
Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan Siau-siang-cu itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li. ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru: “ln-heng dan Siau-heng, dari kita maju sekalian.” - Sambil memutar senjata ular besi perlahan-lahan ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li. Melihat gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak juga, segera merekapun menerjang maju dari kanan dan kiri.
Keadaan lantas berubah seketika, betapapun tinggi kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh kelas wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Oey Yok-su atau Kwe Ceng juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu.
Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak mengenai tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia cuma bertahan saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya.
Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama tertuju ke tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong batu besar yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki berlima.
Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lain lantas memapak maju dan berseru: “Suhu!”
Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat mereka menerjang maju dengan senjata masing-masing.
Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping, serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu, begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong.
Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki dan Ong Ju - it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.
Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu bertapa didalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan merenungkan titik-titik kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang pernah mereka lihat dari permainan Yo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata teramat hebat, setiap jurusnya seakan-akan merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tidak mungkin di temukan lubang kelemahannya.
Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan, kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga gabungan lima orang. Maka langkah pertama yang mereka latih adalah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka.
Karena menyadari di antara anak murid Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu jurus yang disebut “Pek-joan-hui-hay” (beratus sungai mengalir ke laut)
Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik yang menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa mereka tidak menggubris.
Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada puncaknya, segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut gua dan keluar, Cuma sayang, karena ter-buru-buru menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba dan Hotu tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan terbanting semaput Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan semangat lesu, pikir mereka: “Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup ini.”
Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka, Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat daripada mereka tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal kemungkinan juga sukar menandingi mereka.
 Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan telah berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-Iun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang, namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan Siao-liong-Ii.
Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol kepungan musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri juga semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki berlima dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat orang Coan-cin-kau ini.
Dalam keadaan demikian tiba-tiba terpikir olehnya: “Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi, Cuma… cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk penghabisan kalinya. Dimanakah dia saat ini? Ah, besar kemungkinan dia sedang ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi…”
“Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu, sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku, Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali lagi dengan dia…”
Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahulu, dia sudah bertekad takkan menemui Yo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Yo Ko, dan begitu hatinya memikirkan Yo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah, Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada kacau.
Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu, semula Kim lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya.
Tapi setelah beberapa jurus lagi dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri itu, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda emas di tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li, Terdengarlah suara “trang” yang keras, tahu-tahu pedang kiri si nona mencelat ke udara dan patah menjadi dua.
Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak ditangan lain terus mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas-lekas Siao-liong-li menenangkan diri “sret-sret-sret”, kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi sekarang ia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan Kimlun Hoatong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang cu bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus.
Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja, kini dia tidak berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba-tiba terkekang olehnya dia bersama Yo Ko berlatih Giok-Iisim-keng di semak-semak bunga dahulu, Katanya di dalam hati: “Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati kukenangkan dia di dalam hati saja.”
Karena itu air mukanya berubah menjadi lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul.
Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi musuh, Keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang sesuatu perangkap, ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam pula ke depan.
Sekonyong-konyong Nimo Singh merasa angin menyambar dari samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular besinya untuk menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu-tahu sesosok bayangan menyelinap lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan pedang dia sodorkan ke tangan si nona.
Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya berpegang pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya, Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti mencari kematian.
Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit kuatir.
Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia menyodok bahu orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir. Menyusul rodanya terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li. Ci-peng tergetar ke samping, tapi ia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa. Tanpa pikir lagi ia lantas menubruk maju dan berseru:
“Awas, nona Liong!” - ia mengadang di depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong itu.
Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya?
“Blang”, seketika tubuhnya terhuyung ke depan. sementara itu Siao-liong-li masih termangu-mangu sambit memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang menyelonong, ke depan itu tepat menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap di dadanya.
Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia sadar bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan, sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut: “Perlu apa kau bertindak begini?”
Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia menjadi kegirangan luar biasa ketika mendengar kata. “Perlu apa kau bertindak demikian? yang diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab:
“Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?”
 Siao-liong-li melenggong sejenak, teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Ceng itu, sekilas timbul pikirannya : “Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu ini.”
Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak lagi, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.
Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula.
Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii ter-sampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum pedang jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas mengancam dada Khu Juki.
Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng menjerit keras, lalu roboh dengan dada berlumuran darah. sementara itu pedang Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki.
Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapapun hebat kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya. Syukur Ong Juit dan lain-lain lantai menubruk maju untuk membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong berempat berbalik terdesak keluar kalangan.
Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh-tokoh Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka sama mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu.
Betapapun hebat kepandaian kelima tokon Coan-cin- pay itu ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong li, jurus “Pek joan-hui-hay” hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata tidak sempat dikeluarkan mereka.
sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur mati-matian. Scjenak kemudian, “cret” bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.
Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat, kalah-menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong lantas berseru: “Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li (perempuan siluman cilik) ini,”
Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing-masing. Maka jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.
Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu Ju-ki berlima terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak mereka lantas berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima orang lantas dipersatukan untuk menggunakan jurus “Pek-joan-hui-hay” itu.
 Jurus serangan ini memang lain daripada lain kekuatannya, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping, “Blang”, debu pasir bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal
Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi tidak sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka, segera ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran sengit
Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki. Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba-tiba Kim-Iun Hoat-ong telah mengadangnya sambil berseru: “Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!”
Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat ong itu tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu ditujukan kepada Coan cin-ogo-cu. Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga tindak.
Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak-semak bunga mawar di sebelah sana, mulutnya berkomat-kamit: “Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?”
Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un Hoat-ong juga menghantam dari depan, sedangkan jurus “Pek-joan-hui-hay” yang dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang. serangan tokoh-tokoh Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.
Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung saja sama sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih saja tetap terarah ke semak-semak bunga mawar sana, dalam sekejap itu pikirannya melayang dan jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu seakan-akan tak dirasakan olehnya.
Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona tanpa terasa semua orang juga berpaling ke arah semak-semak bunga mawar dan ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak menghiraukan jiwanya sendiri. Dan baru saja semua orang berpaling, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat dari semak-semak sana menerobos ke tengah-tengah Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.
“trang” pedang dibuang ke tanah, tangan orang itu melayang ke semak-semak sana dan duduk dibawah pohon, ditepi semak-semak bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li.
Orang ini ternyata betul Yo Ko adanya! Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas berlinang, katanya: “Oh, Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang mimpi?”
Yo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu menjawab dengan suara halus : “Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada dalam pelukanku?” Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia menjadi terkejut dan berseru kuatir: “He, lukamu parah tidak?”
Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka belakang, ketika mendadak melihat Yo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya seakan-akan berjungkir balik, ia merangkul kencang leher Yo Ko dan berkata: “Aku… aku….” saking sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi.
Melihat keadaan begitu, Yo Ko merasa ikut menderita, dengan suara pelahan ia berkata: “Kokoh, kedatanganku ini ternyata terlambat sedikit!”
“Tidak, tidak, kau datang tepat pada waktu-nya!” ujar Siao-liong-li lemah. “Tadinya kukira selama hidup ini takdapat bertemu lagi dengan engkau.”
Sekonyong-konyong ia merasa menggigil, lapat-lapat terasa sukma seakan-akan meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Yo Ko perlahan-lahan juga melemah, Kata-nya pula dengan lirih “Ko-ji, peluklah aku!”
Yo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap Siao-liong-li di depan dadanya, macam-macam pikiran berkecamuk air matapun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.
 “Kuingin kau mendekap aku, memeluk dengan kedua tanganmu!” pinta Siao-liong-Ii. Tapi segera dilihatnya lengan baju kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia menjerit kaget: “He, Koji kenapa lengan kananmu?”
Yo Ko menggeleng dengan tersenyum getir, jawabnya dengan lirih: “Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu.”
“Tidak!” jawab Siao liong-li. “Kenapa lengan kananmu itu?
Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?”
Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, tapi sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa Yo Ko kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap ini betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.
Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal bersama dikuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa inilah cinta kasih, Yo Ko sendiri juga tidak tahu. Mereka merasa kasih sayang antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid. Jadi sebenarnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.
Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa cinta kasih antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa didampingi kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada jiwa sendiri.
 Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Yo Ko itu jauh lebih penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak, sebab itulah ia berkeras ingin tahu. Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak muda itu, dengan pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak berisi.
Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang parah itu, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia berkata: “O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini? Apakah sekarang masih sakit?”
Yo Ko menggeleng dan menjawab: “Sudah tidak sakit lagi. Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah selamanya dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku? Bukankah dengan lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?”
Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa ucapan Yo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya lengan kiri saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Yo Ko, sekarang keinginannya itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia melebihi harapannya.
Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol, semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini. sesaat itu tiada seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada seorangpun yang berani menyerang mereka.
Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi bagi Yo Ko dan Siao-Iiong-Hi seakan-akan dunia ini mereka punya dan tiada orang lain di sekitar mereka.
Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tak terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi bagi mereka.
Kalau Yo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya itu menyerang serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati sekali.
Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain-lain tidak takut kepada Yo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas Siao-liong-Ii terluka parah sebelah lengan Yo Ko
sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani menindaknya secara sembarangan.
Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula: “Sebab apakah lenganmu buntung? Lekas katakan padaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar