Kembalinya Pendekar Rajawali 17
“BetuIkah,
Sian-koh ? Kau, tidak dusta ?” tanyanya.
“Buat
apa dusta !” ujar Ling-po.
“Baiklah,
jika memang kau tak takut setan, segera kubawa kau pergi ke kuburan raksasa
itu,” kata Yo Ko. “Cuma kalau setannya keluar, kau harus mengusirnya, ya !”
Girang
sekali Ang Ling-po mendengar si tolol kenal jalan ke kuburan itu, “Kau kenal
jalannya ? Baiklah, lekas bawa aku ke sana !” sahutnya cepat.
Kuatir
orang curiga, Yo Ko sengaja mengoceh lagi, ia minta Ang Ling-po harus janji
akan membunuh setan bila muncul. Karena itu, berulang kali Ling-po bersumpah
dan suruh dia jangan kuatir.
“Beberapa
tahun yang lalu.” demikian kata Yo Ko pula, “aku pernah mengangon domba ke
samping kuburan raksasa itu, di sana aku tertidur, waktu mendusin, ternyata
sudah tengah malam, Dengan mata kepalaku sendiri kulihat satu setan perempuan
berbaju putih menongol keluar dari kuburan itu, saking takutnya aku lari
ter-birit2 hingga di tengah jalan aku jatuh kesandung, kepalaku sampai bocor
dan luka, lihat ini, di sini masih ada bekasnya.”
Sambil
berkata Yo Ko sengaja mendekati Ang Ling-po agar orang suka meraba kepalanya,
Meski Yo Ko masih pelonco, namun terasa juga badan -Ang Ling-po sangat wangi,
kalau bisa berdekatan, rasanya sangat sedap dan enak, maka kini sengaja ia
gunakan kesempatan untuk akali orang, kepalanya dimiringkan ke dekat mulut
orang.
“Tolol!”
dengan tertawa Ang Ling-po mengomel karena kelakuan Yo Ko itu, Lalu sekenanya
ia meraba kepalanya, tetapi toh tidak terasa ada sesuatu belang bekas luka,
namun iapun tidak pedulikan, segera ia mendesak lagi: “Lekas bawa aku ke sana
!”
Maka
tanpa bicara lagi Yo Ko menggandeng tangan orang dan diajak keluar dari semak2
belukar itu dan memutar menuju jalan yang menembus ke kuburan kuno.
Waktu
itu sudah dekat tengah malam, Dengan memegangi tangan orang, terasa oleh Yo Ko
tangan Ang Ling-po ini sangat halus dan empuk, pula hangat Diam2 Yo Ko menjadi
heran. “Kokoh dan dia sama2 wanita, tapi tangan yang satu kenapa dingin seperti
es, sedang tangan yang ini begini hangat ?” demikian pikirnya dengan tak
mengerti.
Karena
tak tahan, tanpa terasa ia gunakan tenaga sedikit dan me-remas2 tangan orang
yang halus itu beberapa kali.
Jika
orang Bu-lim ada yang berani main gila seperti kelakuan Yo Ko ini, sudah sejak
tadi pasti Ang Ling-po lolos pedangnya dan bikin jiwanya melayang, Tetapi,
pertama karena dia anggap Yo Ko betul2 seorang bebal, pula melihat wajahnya
yang tampan dan gagah, dalam hati Ang Ling-po mau-tak-mau rada suka juga, maka
iapun tidak menjadi gusar, Hanya dalam hati ia berpikir: “Si tolol ini ternyata
tidak seluruhnya tolol, nyata ia tahu juga akan kecantikanku.”
Dengan
membawa orang ke kuburan kuno itu, sekali ini Yo Ko tidak pura2 lagi, maka
tidak seberapa lama ia sudah membawa Ang Ling-po sampai di tempat tujuannya.
Waktu
Yo Ko lari keluar kuburan kuno itu, karena takutnya dia belum sempat menutup
kembali pintunya, kini batu yang dipakai sebagai daun pintu ternyata masih
menggeletak di samping dan belum ditutup kembali, Sesaat hati Yo Ko menjadi
ber-debar2, diam2 ia berdo’a: “Harap saja Kokoh belum mati, supaya aku bisa
berjumpa dengan dia sekali lagi.”
Karena
sudah tak sabar, ia tidak permainkan Ang Ling-po pula, ia berkata padanya:
“Sian-koh, kubawa kau masuk ke sana untuk bunuh setan, tetapi jangan kau
biarkan setannya menelan diriku.” - Habis berkata segera ia melangkah dulu ke
dalam kuburan yang aneh.
Melihat
Yo Ko tiba2 menjadi berani, diam2 Ling-po merasa heran, pikirnya: “Sungguh si
tolol ini mendadak besar nyalinya ?” Maka iapun tak sempat berpikir panjang
lagi, segera ia kintil di belakang Yo Ko, pedang disiapkan di tangan untuk
menjaga segala kemungkinan
Dari
gurunya Ang Ling-po mendengar, katanya jalan di dalam Hoat-su-jin-bong itu
belak-belok dan ber-putar2, asal salah jalan selangkah saja segera jiwa bisa
melayang, Tapi tanpa pikir Yo Ko ternyata berani melangkah sesukanya dengan
cepat ia memutar ke timur dan membelok ke barat, di sini ia dorong sebuah pintu
dan masuk nanti dia tarik sebuah batu besar lagi, tampaknya sudah apal luar
biasa.
Diam2
Ang Ling-po mulai curiga, “Jangan2 Suhu yang mendustai aku karena kuatir aku
masuk ke sini sendiri ?” demikian batinnya.
Dalam
pada itu, sekejap saja Yo Ko sudah membawa Ang Ling-po masuk ke kamarnya
Siao-liong-li yang terletak di tengah2 kuburan itu.
Pelahan
Yo Ko mendorong pintu kamar, ia coba pasang kuping, tapi tidak terdengar suara
sedikitpun, sebenarnya ia hendak memanggil Ko-koh, tetapi urung ketika teringat
olehnya bahwa Ang Ling-po berada di sampingnya, maka dengan suara pelahan ia
berkata padanya : “Sudah sampai !”
Sekalipun
ilmu silat Ang Ling-po tinggi dan nyalinya besar, tetapi sesudah berada di
tengah2 kuburan raksasa, bagaimanapun juga hatinya kebat-kebit, maka demi
mendengar perkataan Yo Ko, segera ia ketik batu api dan menyalakan lilin yang
berada di atas meja. Kemudian tertampaklah olehnya ada seorang gadis berbaju
putih sedang rebah tenang tanpa bergerak sedikitpun.
Memang
sudah diduga juga olehnya bahwa di dalam kuburan ini dia akan bertemu dengan
Susiok atau paman gurunya, Siao-liong-li, tetapi sama sekali tak tersangka
Siao-liong-li sedang tidur se-enaknya saja di atas ranjangnya se-akan2 tak
gentar dengan bahaya apa yang akan menimpa juga tidak pandang sebelah mata
padanya.
Karena
itu, Ang Ling-po tak berani ayal, ia melintang pedangnya di depan dada sebagai
penghormatan lalu ia buka suara : “Tecu Ang Ling-po mohon bertemu Susiok !”
Hati
Yo Ko memukul keras seperti mau melompat keluar dari dadanya, dengan mulut
melongo ia curahkan seluruh perhatiannya untuk melihat gerak-gerik
Siao-liong-li, tetapi sedikitpun Siao-liong-li tidak bergerak, sudah kma sekali
baru terdengar ia menyahut dengan suara yang pelahan tetapi orangnya masih
rebah menghadap tembok
Sejak
mulai Ang Ling-po berkata sampai Siao-liong-li menyahut, selama itu Yo Ko
menunggu dengan luar biasa gopohnya, bisa2 ia ingin menubruk maju dan merangkul
Suhunya buat menangis se-puas2nya.
Kemudian
setelah mendengar Siao-liong-li bersuara, hatinya baru merasa lega seperti
sebuah batu besar yang menindih tiba2 dapat di angkat, dalam girangnya ia tak
sanggup menguasai perasaannya lagi, menangislah dia tersedu-sedu, Keruan Ang
Ling-po sangat heran.
“He,
ada apa, Sah Thio ?” ia tanya.
“Hu
huk… aku takut,” sahut Yo Ko terguguk-guguk
Dalam
pada itu Siao-liong-li telah berpaling dengan pelahan.
“Tak
usah kau takut,” katanya tiba2 dengan suara lemah, “tadi aku sudah mati satu
kali, rasanya sedikitpun tidak menderita.”
Terperanjat
sekali Ang Ling-po ketika mendadak melihat wajah Siao-Iiong-li yang begitu
cantik tiada taranya, tetapi mukanya pucat lesi tanpa berdarah, “Ternyata di
dunia ini ada wanita sedemikian molek seperti dia ini.” demikian pikirnya,
Karenanya seketika ia merasa dirinya sendiri menjadi jelek.
“Tecu
Ang Ling-po, menghadap Susiok di sini,” ia berkata pula.
“Dan
dimanakah Suci (kakak guru perempuan) ? juga datangkah dia ?” dengan pelahan
Siao-liong-li menanya.
“Suhu
suruh Tecu ke sini dulu buat menyampaikan salam hormat pada Susiok,” sahut Ang
Ling-po.
“Lekas
kau keluar saja, jangankan kau, sekalipun gurumu tidak diperkenankan masuk ke
sini,” ujar Siao-liong-Ii.
Melihat
muka Siao-iiong-!i yang mirip orang sakit, pula baju di dadanya penuh noda
darah, cara bicaranya ter-putus2 dan napasnya memburu, terang sekali orang
terluka parah, keruan Ang Ling-po menjadi berani, rasa kebat-kebitnya tadi
seketika hilang sebagian besar.
“Dan
dimanakah Sun-popoh ?” ia coba tanya lagi.
“Sudah
lama dia meninggal, lekas kau keluar saja,” sahut Siao-liong-li.
Ang
Ling-po tambah lega demi mendengar Sun-popoh sudah mati, diam2 ia bergirang dan
berpikir : “Sungguh sangat kebetulan dan rupanya memang ada jodoh, tak terduga
aku Ang Ling-po ternyata bisa menjadi ahliwaris Hoat-su-jin-bong ini.”
Tampaknya
jiwa Siao-liong-li sudah tinggal sesaat saja, Ang Ling-po kuatir orang mendadak
mati hingga tiada orang Iain lagi yang mengetahui di mana tersimpannya kitab
“Giok-li-sim-keng”, maka cepat2 ia buka suara pula.
“Susiok,”
demikian ia memanggil “Suhu suruh Tecu ke sini buat mohon kitab Giok-li-sim-keng,
Harap engkau suka serahkan padaku dan Tecu segera mengobati lukamu.”
Selama
ini hati Siao-liong-li selalu dalam keadaan tenang tenteram, semua cita-rasanya
sudah terbuang jauh dan terlupa, tetapi kini setelah menderita luka, ilmu
kepandaian yang dilatihnya sudah ludes semua, hakikatnya ia sudah tak punya
kekuatan untuk menguasai perasaan sendiri, maka demi mendengar apa yang
dikatakan Ang Ling-po,
Dalam
gugup dan gusarnya, tiba2 matanya mendelik terus jatuh pingsan, secepat kilat
Ang Ling-po telah memburu maju, ia pijat sekali “Jin-tiong-hiat” di atas bibir
orang, maka secara pelahan Siao-liong-li telah siu-man kembali.
“Kalian
guru dan murid lebih baik jangan berpikir secara muluk2, di manakah Suciku ?
Lekas kau suruh dia ke sini ada sesuatu hendak ku katakan padanya,” kata
Siao-liong-li kemudian dengan gusar.
Tetapi
Ang Ling-po tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, lalu dari bajunya ia
keluarkan dua buah jarum perak yang panjang.
“Susiok,
kau tentu kenal sepasang jarum ini,” katanya mengancam, “jika tak mau kau
bicara, jangan kau sesalkan aku berlaku kurangajar.”
Melihat
orang mendadak unjuk senjata, Yo Ko kenal itu adalah Peng-pek-gin-ciam yang
pernah dipakai Li Bok-chiu untuk membunuh orang, ia sendiri tanpa sengaja
pernah memegangnya hingga terkena racunnya yang sangat jahat, maka ia cukup
tahu betapa lihaynya jarum perak itu.
Di
lain pihak, sudah tentu Siao-liong-li terlebih kenal betapa lihay dan keji
senjata perguruannya sendiri, masih mendingan bila orangnya segera mati setelah
tertusuk jarum perak berbisa itu, yang paling ngeri kalau jarum itu dipakai
menggosok beberapa kali di tempat jalan darah yang bisa bikin kaku kesemutan,
segera seluruh tubuh orang akan terasa gatal pegal laksana be-ribu2 semut
merubung dan menggigit kian kemari diantara tulang sungsum. Dalam keadaan
demikian, si pende-rita itu boleh dikata ingin hidup tak bisa dan minta mati
pun tak dapat
Karena
itulah, ketika melihat Ang Ling-po pegang jarum peraknya sambil digerakkan
beberapa kali, lalu maju mendekatinya, saking kuatir hampir2 Siao-Iiong-li
jatuh kelengar lagi.
Nampak
keadaan sudah genting, Yo Ko tak bisa tinggal diam lagi, tiba2 ia berteriak :
“Sian-koh, di sana ada setan, hiiih, aku takut!”
Sembari
berteriak, segera Yo Ko berlari mendekati orang terus merangkulnya, seketika
tangan merangkul punggung orang, tanpa ayal segera ia menutuk dua kali tempat
“Ko-ceng-hiat” dan Jiau-yao-hiat”.
Sungguh
mimpi pun Ang Ling-po tak pernah menduga bahwa Thio si tolol ini ternyata
memiliki kepandaian silat yang tinggi, selagi ia hendak men-damperat, tahu2
seluruh tubuhnya sudah terasa Iumpuh, seketika ia sendiri roboh ke lantai.
Kuatir
kalau2 orang mampu melancarkan jalan darah sendiri, Yo Ko menambahi pula
menutuk sekali lagi di tempat “ki-kut-hiat”. yakni tulang punggung yang besar.
Dengan demikian orang tak nanti bisa berkutik lagi.
“Kokoh,
perempuan ini sangat jahat, bagaimana kalau aku tusuk dia beberapa kali dengan
jarum peraknya, supaya senjata makan tuannya ?” dengan ketawa Yo Ko tanya
Siao-liong-li.
Sambil
berkata betul juga Yo Ko lantas membungkus jari tangannya dengan ujung bajunya,
lalu ia jemput jarum perak Ang Ling-po tadi.
Meski
badan Ang Ling-po lumpuh tak bisa berkutik, tetapi setiap perkataan Yo Ko dapat
dia dengar dengan terang, apalagi dia lihat Yo Ko telah jemput jarumnya tadi
dan sambil tertawa sedang memandang padanya, keruan tidak kepalang terkejutnya
hingga semangat serasa terbang meninggalkan raganya, ia ingin buka suara buat
minta ampun, tetapi sayang, mulutnya tak berkuasa, terpaksa ia hanya mengunjuk
maksud minta ampun melalui sinar matanya yang redup dan harus dikasihani itu.
“Ko-ji,
pergilah kau menutup pintu untuk menjaga agar Suci tidak masuk kemari,”
demikian Siao-liong-li berkata pada Yo Ko.
“Baik,”
sahut Yo Ko.
Segera
ia hendak melakukan perintah itu. Tetapi baru saja ia putar tubuh, se-konyong2
ia di-kejutkan oleh satu suara seorang perempuan yang sangat genit merdu di
belakangnya.
“Baik2kah
kau, Sumoay? - Sudah sejak tadi aku masuk ke sini”, demikian kata suara itu
tiba2.
Sungguh
bukan buatan kaget Yo Ko, cepat ia berpaling, maka tertampaklah olehnya di
bawah sorot sinar lilin, di ambang pintu kamar sudah berdiri seorang To-koh
setengah umur, raut mukanya potongan daun sirih, pipinya putih bersemu merah,
sayang matanya buta sebelah. Siapa lagi dia kalau bukan Jik-lian-siancu Li
Bok-chiu yang sebelah matanya kena ditotol buta oleh burung merahnya sendiri
dahulu.
Dari
manakah Li Bok-chiu bisa muncul di situ secara tiba-tiba ?
Kiranya
sewaktu Ang Ling-po selalu menanyakan jalan ke Hoat-su-jin-bong kepadanya,
sejak mula Li Bok-chiu sudah menduga pasti anak muridnya ini secara diam2 akan
pergi mencuri kitab Giok-li-sim-keng, maka sengaja dia peralat muridnya ini ia
sengaja mengirim Ang Ling-po pergi membunuh seorang musuh di Tiang-an, padahal
ini adalah siasat Li Bok-chiu agar dengan demikian Ang Ling-po ada kesempatan
buat pergi ke kuburan kuno itu, sedang ia sendiri diam2 menguntit di belakang
sang murid.
Maka
pertemuan antar Ang Ling-po dan Yo Ko, lalu masuk ke kuburan dan cara bagaimana
muridnya itu memaksa Siao-liong-li menyerahkan kitab Giok-li-sim-keng, semua
kejadian itu dapat disaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Cuma
karena gerak tubuhnya sangat gesit dan cepat maka Ang Ling-po dan Yo Ko tiada
yang merasa sedikitpun dan baru sekarang inilah, karena dianggap sudah tiba
waktunya, maka dia lantas unjukkan diri.
Pandangan
Li Bok-chiu ternyata sangat tajam, meski kejadiannya sudah lewat beberapa
tahun, pula Yo Ko sudah tumbuh besar, namun dia masih tetap mengenali pemuda
ini adalah anak yang menggunakan burung merahnya untuk menotol sebelah biji
matanya sehingga buta.
Kejadian
itu senantiasa dianggap oleh Li Bok-chiu sebagai suatu peristiwa yang
menyakitkan hati, kini demi saling bertemu lagi, tentu saja ia sangat gusar.
Akan
tetapi sebelum Li Bok-chiu sempat bertindak sesuatu, se-konyong2 Siao-liong-li
telah bangun.
“Suci!”
serunya tiba2, kembali darah segar menyembur dari mulutnya.
“Siapa
dia ini ?” dengan sikap dingin Li Bok-chiu bertanya tanpa menghiraukkn keadaan
sang Sumoay yang payah, “Tidakkah kau tahu larangan Cosu-popoh bahwa dalam
kuburan ini tidak boleh diinjak kaum laki2 busuk barang selangkahpun dan kenapa
kau berani ijinkan dia tinggal di sini?”
Mendadak
Siao-liong-li ter-batuk2 hebat, ia tak sanggup menjawab teguran sang Suci.
Nampak
keadaan Siao-liong-li, tanpa disuruh segera Yo Ko maju menghadang ke depan buat
melindunginya.
“Dia
adalah aku punya Kokoh, urusan disini tidak perlu kau ikut campur !” dengan
suara lantang ia wakilkan Siao-liong-li menjawab.
“Hm,
bagus kau Sah Thio, kau betul2 pandai berlagak bodoh !” sindir Li Bok-chiu.
Habis ini, mendadak kebut yang dia pegang bergerak, susul menyusul ia menyerang
tiga kali.
Walaupun
tiga serangan itu dilontarkan susul-menyusul, namun datangnya kepada sasarannya
se-akan2 berbareng saja saatnya.
Tipu
serangan cepat itu memang termasuk tipu serangan yang paling lihay dari ilmu
silat Ko-bong-pay, bagi jago silat golongan lain tidak kenal kebagusan tipu2
serangan itu, begitu maju, seketika pasti akan dihantam hingga otot putus dan
tulang patah.
Akan
tetapi Yo Ko sendiri sudah matang dan apal terhadap semua ilmu silat
Ko-bong-pay, walaupun belum bisa dibandingkan keuletan Li Bok-chiu yang sudah
terlatih, namun untuk menghindari tiga kali serangan yang disebut
“sam-yan-tau-lim” (tiga burung sriti menyusup masuk rimba) itu masih bisa
dilakukannya dengan gampang.
Dan
karena serangan yang lihay itu luput mengenai sasarannya, tentu saja Li
Bok-chiu sangat kaget, ia masih ragu2 akan pemuda yang berhadapan dengan
dirinya sekarang ini, dengan sebelah matanya ia coba melirik tajam, akan tepi
jelas pemuda ini adalah anak yang dahulu dijumpainya di Oh-ciu di daerah
Kanglam itu, kenapa berpisah beberapa tahu saja ilmu silatnya sudah maju begitu
pesat?
Apalagi
melihat cara bergeraknya buat menghindari serangannya tadi ternyata adalah ilmu
silat dari perguruan sendiri keruan hal ini makin menambah rasa curiganya.
“Sumoay,
ada hubungan apakah antara kau dengan bangsat cilik ini ?” dengan suara bengis
segera ia membentak Siao-liong-li
Kuatir,
muntah darah lagi, Siao-liong-li tak berani buka suara keras, hanya dengan
pelahan ia bilang pada Yo Ko: “Ko-ji, lekas memberi hormat pada Supek (paman
guru).”
“Cis,
paman guru macam apa ini ?” Yo Ko berbalik meng-olok2.
“Ko-ji,
coba tempelkan kupingmu ke sini, ada yang hendak kukatakan,” kata Siao-liong-li
pula.
Tentu
saja Yo Ko rada penasaran karena dia mengira Siao-liong-li akan bujuk dirinya
buat menjura pada Li Bok-chiu. walaupun demikian, terpaksa ia menurut juga, ia
tempelkan kupingnya ke mulut Siao-liong-li.
“Di
pojok kaki ranjang ini terdapat satu papan batu yang menonjol,” demikian dengan
suara lembut seperti bunyi nyamuk Siao-liong-li berkata, “lekas kau melompat
turun dan dongkel sekuatnya papan batu itu.”
Dalam
pada itu, melihat cara mereka bisik2, Li Bok-chiu mengira juga Siao-liong-li
sedang pesan sang murid agar menjura padanya untuk minta ampun, apalagi orang2
yang berada di hadapannya ini yang satu terang terluka parah dan yang lain
hanya satu bocah angkatan muda, tentu saja tiada yang dia pikirkan.
Li
Bok-chiu sendiri justru lagi peras otak untuk mendapatkan akal bagus agar bisa
memaksa sang Sumoay menyerahkan Giok-li-sim-keng tinggalan guru mereka.
Sementara
itu atas kisikan Siao-liong-li tadi, terlihat Yo Ko meng-angguk2, Lalu dengan
suara lantang ia berkata : “Baiklah, Tecu memberi hormat pada Supek !”
Sambil
berkata ia lantas melompat turun dari ranjang, dan ketika tangannya meraba ke
pojok ranjang yang di bawah sana, betul saja tangannya menyentuh sepotong batu
yang menonjol, tanpa ayal lagi segera ia tarik dengan seluruh tenaganya maka
terdengarlah suara “kreeek” yang berat, mendadak ranjang batu itu ambles ke
bawah.
Dengan
sendirinya Li Bok-chiu terperanjat oleh kejadian mendadak itu, ia tahu dalam
kuburan kuno di mana2 terpasang perangkap rahasia, mendiang gurunya telah pilih
kasih dan dirinya telah dikelabui, sebaliknya semua rahasia itu telah
diturunkan kepada sang Sumoay. Karenanya, tanpa pikir lagi segera ia melesat
maju, dengan sekali jamberet ia hendak cengkeram Siao-liong-li.
Tatkala
itu Siao-liong-li sedikitpun tak punya tenaga buat menangkis jambereten itu,
meski ranjang batunya mendadak ambles ke bawah, tetapi karena Li Bok-chiu cepat
mengetahui dan mengambil tindakan kilat pula, cara turun tangannya pun sebat
luar biasa, maka dengan jamberetannya itu tampaknya segera Siao-liong-li akan
ditarik kembali mentah-mentah.
Keruan
saja Yo Ko kaget, sekuat tenaga ia tangkiskan sebelah tangannya, maka
terdengarlah suara “crat” sekali, tiba2 lengannya terasa kesakitan kiranya
lengan kirinya dan lengan kanan Siao-liong-li ber-sama2 telah terkena kuku jari
Li Bok-chiu hingga menusuk masuk daging.
MenyusuI
mana matanya tiba2 menjadi gelap, lalu terdengarlah suara gedebukan yang keras
dua kali, kiranya ranjang batu mereka telah anjlok sampai ruangan dibawah tanah,
sedang papan batu di bagian atas secara otomatis telah menutup sendiri,
seketika Siao-liong-li dan Yo Ko kena dipisahkan dengan Li Bok-chiu dan Ang
Ling-po, yang satu pihak terpotong di bagian atas dan yang lain berada di
bawah.
“Coba
kau meraba dinding di mana terdapat sebuah bola batu, kau putar tiga kali ke
kiri lalu empat kali ke kanan,” kata Siao-liong-li kemudian.
Yo
Ko menurut, ia melompat turun dari ranjang batu, ia me-raba2 dalam kegelapan,
betul saja ia dapatkan sebuah batu bundar, ia menuruti petunjuk Siao-liong-li
tadi, diputarnya ke kiri dan kanan, maka terdengarlah suara “kerkak-kerkek”
beberapa kali, tiba2 tubuhnya terasa terguncang.
Kiranya
ruangan di bawah tanah dimana mereka berada itu dibangun tergantung, karena
alat rahasianya tergerak, segera ruangan ini bergeser pindah tempat, Dengan
demikian sekalipun kini Li Bok-chiu berhasil menyerbu ke bawah juga tak akan
mendapatkan jejak mereka lagi.
“Untuk
sementara ini boleh dikata kita sudah lolos dari tangan jahat kedua orang
tadi,” kata Siao-liong-li dengan menghela napas lega.
Dalam
pada itu remang2 Yo Ko melihat di dalam ruangan itu seperti terdapat benda2
sebangsa meja kursi, secara geremet didekatinya meja itu, ia ambil ketikan api
dan menyalakan lilin yang ada di atas meja.
Tetapi
setelah lilin menyala, tanpa tertahan ia terkejut, sebab terlihat olehnya
separoh bajunya sudah basah kuyup oleh darah, sedang luka diatas lengan yang
terkena cakaran tadi masih terus mengalirkan darah segar.
Waktu
ia periksa keadaan Siao-liong-li ia lihat di lengannya juga terdapat goresan
yang cukup parah oleh cakaran kuku Li Bok-chiu tadi, hanya Siao-liong-li sudah
terlalu banyak mengeluarkan darah, maka darah yang merembes keluar dari luka
cakaran ini cuma sedikit.
“Ko-ji,”
kata Siao-liong-li lagi menghela napas, “aku sudah kekurangan darah, susahlah
untuk menyembuhkan luka dengan menjalankan Lwekang sendiri, Tetapi sekalipun
aku tak terluka, kita berdua juga tak mampu menandingi aku punya Suci.
Belum
habis bicara, mendadak Yo Ko melompat naik ke atas ranjang batu pula.
Kiranya
tadi waktu Yo Ko mendengar Siao-liong-li bilang kekurangan darah, mendadak
otaknya yang cerdas itu tergerak, sebelum orang habis bicara ia sudah melompat
ke atas ranjang, ia tempelkan luka pada lengannya sendiri dengan luka di lengan
Siao-liong-li hingga dempet menjadi satu, dengan cara demikian ia bermaksud
menyalurkan darahnya sendiri kepada nona itu.
Akan
tetapi mengalirnya darah dari lengannya ternyata tidak dapat dikendalikan oleh
keinginan hatinya, meski darah masih mancur keluar dari lengannya, namun tidak
dapat menyalur masuk ke otot darahnya Siao-liong-li.
“Ko-ji,
usahamu ini hanya sia2 saja, sekalipun kau dapat menolong diriku, tapi jiwamu
sendiri bukankah akan melayang malah,” dengan menghela napas Siao-liog-li
berkata.
Tetapi
Yo Ko tidak menghiraukan kata2 orang, sebaliknya ia semakin kuatir karena
melihat darah merembes keluar dari celah2 lengan mereka yang berdempetan itu,
nyata usahanya memang tidak berhasil.
Tiba2
ia jadi teringat pada Lwekang yang dipelajari dari Auwyang Hong, ilmu itu
memaksa aliran darah menjadi terbalik, kenapa tidak dicobanya ?
Karena
itu, segera ia baliki tubuhnya, ia menjungkir dengan kepala menahan di atas
ranjang batu, ia jalankan ilmu Kiu-im-sin-kang yang terbalik ajaran Auwyang
Hong itu, betul saja jalannya darah menjadi terdesak oleh semacam hawa yang dia
keluarkan sehingga ber-angsur2 secara teratur bisa mengalir masuk ke dalam
badan Siao-liong-li.
Sebenarnya
seluruh badan Siao-liong-li sudah terasa dingin bagai es, tetapi aneh, tiba2 ia
merasakan ada aliran darah hangat yang merembes masuk ke dalam tubuhnya, Tiba2
terpikir olehnya hal ini kurang baik, segera ia niat memberontak.
Diluar
dugaan. sebelumnya Yo Ko sudah memperhitungkan akan reaksinya ini, lebih dulu
ia sudah ulur jarinya dan menutuk Hiat-to Siao-liong-li sehingga tak bisa
berkutik.
“Transfusi
darah” yang dilakukan Yo Ko ini kira2 berjalan beberapa saat, akhirnya Yo Ko
sendiri merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, ia mengarti tidak
sanggup bertahan lebih lama lagi, maka barulah dia duduk kembali seperti biasa,
ia balut luka mereka berdua dan melepaskan tutukannya tadi atas diri
Siao-liong-li
Dengan
terkesima Siao-liong-li memandang Yo Ko hingga lama, akhirnya ia menghela napas
pelahan, iapun tidak ber-kata2 lagi melainkan melakukan semadi sendiri untuk
memulihkan kekuatannya.
Malam
itu mereka berdua masing2 memulihkan diri sendiri2. Kalau Yo Ko bersemadi untuk
memulihkan rasa letih karena kehilangan darahnya, adalah Siao-liong-li sesudah
mendapatkan transfusi darah dari Yo Ko, semangatnya ternyata banyak bertambah
segar, ia telah menjalankan darah baru yang hangat itu ke seluruh tubuhnya
hingga beberapa kali, lewat dua-tiga jam, ia mengarti jiwanya tidak berhalangan
lagi, maka waktu ia membuka matanya, ia tersenyum kepada Yo Ko.
Sebenarnya
pipi Siao-liong-li selalu putih pucat, tetapi kini tiba2 Yo Ko melihat ada semu
merah pada kedua belah pipinya sehingga tertampak lebih cantik.
“Ha,
Kokoh, kau sudah baik,” seru Yo Ko girang.
Siao-liong-li
angguk2 dan selagi hendak buka suara, mendadak terdengar suara letikan api,
kiranya lilin yang dipasang itu sudah tersulut habis, keruan seketika seluruh
ruangan menjadi gelap guIita.
Karena
itu, luar biasa rasa senangnya Yo Ko, tetapi toh dia tidak tahu cara bagaimana
harus berbicara.
“Marilah
kita pergi ke kamarnya Sun-popoh, ada sesuatu akan kukatakan padamu,” kata
Siao-liong-li kemudian.
“Apa
kau tidak letih ?” tanya Yo Ko.
“Tidak
apa2 !” sahut Siao-liong-li.
Habis
itu ia menarik beberapa kali pada pesawat rahasia yang terpasang di dinding
batu, segera terasa dinding itu bergerak, lalu terbentanglah sebuah pintu,
jalan baru ini sudah tak dikenal lagi oleh Yo Ko, tetapi Siao-liong-li
mengajaknya memutar kian kemari beberapa kali dalam suasana gelap itu, akhirnya
tiba juga mereka di kamarnya Sun-popoh dahulu.
Waktu
Siao-liong-li menyalakan lilin lagi, dia lantas gulung pakaian Yo Ko hingga
berupa satu buntalan, ia bungkus pula sepasang sarung tangan benang emas
miliknya ke dalam buntalan baju itu. perbuatan Siao-liong-li ini disaksikan Yo
Ko dengan terkesima karena heran.
“Kokoh,
apa yang kau lakukan ?” tanyanya tak mengerti.
Siao-liong-li
tak menjawab, ia malah ambil lagi dua botol besar madu tawon dan masukkan ke
dalam buntalan pula.
“He,
kita akan meninggalkan kuburan kuno ini bukan, Kokoh ?” tanya Yo Ko tiba2
dengan girang.
“Pergilah
saja kau, kutahu kau adalah anak baik, terhadap diriku kaupun berlaku sangat
baik,” ujar Siao-liong-li.
Luar
biasa terperanjatnya Yo Ko.
“Dan
kau sendiri, Kokoh ?” tanyanya cepat.
“Aku
sudah bersumpah selama hidupku ini tidak akan keluar lagi dari kuburan ini,”
sahut Siao-liong-li.
Melihat
orang berkata dengan sungguh2, lagu suaranya pun sangat tegas, terang tidak
bisa di-bantah, oleh karenanya Yo Ko tak berani bicara lebih banyak.
Akan
tetapi karena soalnya terlalu penting, akhirnya ia beranikan diri buat buka
suara lagi:
“Kokoh,
jika kau tak pergi, akupun tak mau pergi, biarlah aku mengawani kau disini.”
“Suci-ku
menunggui kita di mulut kuburan dan headak paksa aku menyerahkan
Giok-li-sim-keng,” kata Siao-liong-li pula, “Sedang ilmu kepandaianku tidak
bisa menandingi dia, maka pasti tak bisa lolos, bukan ?”
“Ya”,
sahut Yo Ko.
“Dan
rangsum yang tertinggal di sini, aku kira paling tahan hanya dua puluhan hari
saja, umpama bisa makan sedikit madu tawon, paling lama tidak lebih juga
sebulan, dan sesudah sebulan, lalu bagaimana baiknya ?”
“Kita
terjang keluar saja,” sahut Yo Ko sesudah tertegun sejenak “Walaupun kita tak
bisa mengalahkan Supek, tapi belum tentu kita tak mampu menyelamatkan jiwa
kita.”
“Susah,”
kata Siao-liong li dengan menggeleng kepala, “jika kau kenal ilmu kepandaian
dan tabiat Supek, tentu kau akan tahu sekali2 kita tak mampu menyelamatkan
diri. Apabila sampai tertangkap, tatkala itu tidak hanya akan mengalami siksaan
dan hinaan, bahkan diwaktu akan mati terlebih susah lagi penderitaan badaniah
kita.”
“Jika
begitu, bukankah seorang diri akan lebih2 tak mampu lari,” ujar Yo Ko.
“ltulah
soal lain.” sahut Siao-liong-li “Aku ke bagian dalam kuburan, pada kesempatan
itulah kau lantas melarikan diri Sebelummu lantas kau pindahkan batu besar di
sebelah kiri pintu kuburan dan tarik alat rahasia di dalamnya, menyusul itu
segera ada dua batu raksasa akan anjlok turun dan menutup rapat pintu kuburan
untuk selama-lamanya.”
Yo
Ko semakin terkejut oleh cerita orang.
“Dan
Kokoh tahu akan ja!an2 rahasia lain dan bisa keluar sendiri, bukan?” tanyanya
cepat.
“Tidak,”
sahut Sio-liong-li sambil geleng kepala pula, “Dahulu waktu Cikal-bakal
Coan-cin-kau, Ong Tiong-yang mendirikan Hoat-su-jin-bong ini, ia tahu dirinya
selalu dikejar dan diincar oleh raja Kim, oleh sebab itu ia sengaja atur
kuburan ini dan taruh dua batu raksasa yang berlaksa kati beratnya, ia tunggu
bila dirinya kepepet dan tak sanggup melawan musuh yang jauh lebih banyak,
segera ia akan lepaskan batu raksasa itu untuk menutup dirinya didalam kuburan,
dengan demikian sampai matipun ia tidak mau takluk pada musuh.
Akan
tetapi karena selama itu musuh2nya tiada satupun yang sanggup melawan ilmu
silat Ong Tiong-yang yang tinggi, maka kedua batu raksasa ini selamanya belum
pernah terpakai. Dan sewaktu Ong Tiong-yang harus menyerahkan kuburan kuno ini
kepada Cosu-popoh, ia telah memberitahukan juga semua alat rahasia yang
dia”atut di dalam kuburan hingga akhirnya turun temurun sampai pada diriku.”
“Tetapi
Kokoh, mati atau hidup aku tetap akan berada di dampingmu.” dengan air mata
ber-linang2 Yo Ko berkata pula.
“Apa
gunanya kau mengikuti diriku terus ?” kata Siao-liong-li. “Kau bilang di dunia
luar sana indah sekali, maka pergilah kau bermain sepuasnya, nanti kalau kau
sudah berhasil melatih cinkeng sampai sempurna, maka tiada satupun diantara
imam2 busuk Coan-cin-kau itu yang berani cari gara2 lagi padamu, Tatkala itu
kau tentu bisa malang melintang di seluruh jagat, bukankah itu sangat
menyenangkan ?”
Akan
tetapi Yo Ko ternyata tidak tergoyah oleh bujukan itu, tiba2 ia menubruk maju
dan merangkul tubuh Siao-liong-li sambil menangis tersedu-sedan.
“Kokoh,
di jagat ini hanya kau saja seorang yang sangat baik terhadapku,” demikian
katanya cemas, “Jika kau tak hidup lagi, pasti seumur hidupku tak akan merasa
senang.”
Sebenarnya
watak Siao-liong-li selalu dingin dan lenyap dari segala macam perasaan, apa
yang dia ucapkan pun selalu tegas dan tidak bisa ditarik kembali pula.
Tetapi
aneh, entah mengapa, sesudah mendengar kata2 Yo Ko yang diucapkan dengan
setengah meratap ini, tanpa tertahan darah dalam tubuhnya se-akan2 bergolak,
dalam pilunya hampir2 ia meneteskan air mata.
Tapi
segera ia terkejut, teringat olehnya apa yang pernah dipesan wanti2 oleh
mendiang gurunya sewaktu hendak mangkat bahwa ilmu yang dilatihnya itu adalah
semacam ilmu rohaniah yang harus menghilangkan segala cita rasa serta napsu,
bila sampai mengalirkan air mata karena seseorang hingga menggoncangkan
perasaan, bukan saja ilmu silatnya akan punah, bahkan membahayakan jiwa sendiri
pula.
Teringat
oleh pesan sang guru itu, segera Siao-liong-li mendorong pergi Yo Ko, lalu
dengan lagu suara dingin ia berkata pula: “Apa yang aku katakan kau harus
menurut, kau berani adu mulut dengan aku ?”
Melihat
orang kembali berubah sungguh2 dan keren, Yo Ko tak berani buka suara lagi.
Segera
Siao-liong-li ikat buntalan yang sudah disiapkan itu dan diikat pada punggung
Yo Ko, ia ambilkan sebatang pedang yang tergantung di dinding.
“lni
ambil, sebentar bila aku katakan pergi, segera juga kau harus angkat kaki,
begitu keluar dari kuburan ini, seketika juga kau lepaskan batu raksasa penutup
pintu itu,” dengan suara bengis Siao-Iiong-li memesan sambil menyerahkan pedang
tadi.
“lngat,
Supek-mu teramat lihay, kesempatan sedetik saja bila ayal akan segera hilang,
maka kau mau turut tidak perkataanku ini ?”
“Aku
menurut,” sahut Yo Ko dengan suara berat.
“Jika
kau tidak melakukan apa yang aku katakan, di alam baka sekalipun aku akan benci
padamu,” kata Siao-liong-Ii pula. “Dan sekarang marilah berangkat !”
Habis
berkata, ia tarik tangan Yo Ko dan membuka pintu untuk keluar ke ruangan
semula.
DahuIu
Yo Ko pernah menyentuh tangan Siao-liong-li yang selamanya terasa dingin bagai
es, tetapi kini demi tangannya dipegang orang pula, tiba2 ia merasa tangan
Siao-Iiong-li sebentar dingin dan sebentar lagi hangat, ternyata berlainan
sekali dengan biasanya.
Tetapi
karena perasaannya sedang bergoIak, maka urusan inipun tidak sempat dia
pikirkan lagi, ia hanya ikut Siao-Iiong-li keluar kembali.
Sambil
meraba satu dinding batu Siao-liong-li berpesan lagi pada Yo Ko: “Di dalam
kamar inilah mereka berada, sebentar bila aku pancing menyingkir Suci, segera
kau terjang keluar melalui pintu ujung barat-laut, Bila Ang Ling-po mengejar
kau, boleh kau lukai dia dengan Giok-hong-soa (pasir tawon putih).”
Yo
Ko tidak menjawab sebab perasaannya tidak kepalang kusutnya, ia hanya
mengangguk saja.
Giok-hong-soa
atau pasir tawon putih yang disebut Siao-liong-li itu adalah Am-gi atau senjata
gelap Ko-bong-pay yang khas, Dahulu Lim Tiao-eng disegani di kalangan Bu-lim
disebabkan dia memiliki dua macam Am-gi yang sangat lihay, satu diantaranya
adalah Peng-pek-gin-ciam yang dipakai Li Bok-chiu itu dan yang lain adalah
Giok-hong-soa ini.
Bentuk
Giok-hong-soa ini segi enam dan terbikin dari pasir emas yang digembleng pula
dengan racun tawon putih, meski bentuknya kecil lembut, tetapi karena terbuat
dari emas yang berat, maka waktu dihamburkan dapat mencapai jarak jauh. Tetapi
karena Am-gi ini terlalu keji, maka selamanya jarang digunakan Lim Tiao-eng.
Guru
Siao-liong-li tahu akan jiwa Li Bok-chiu yang tidak gampang dikendalikan dan
tidak sudi tinggal selamanya di dalam kuburan, maka yang diturunkan kepadanya
hanya Peng-pek-gin-ciam, sedang Giok-hong-soa tidak diajarkan padanya.
Begitulah,
maka setelah Siao-liong-li tenangkan semangatnya, segera ia menekan suatu alat
rahasia di atas dinding batu, menyusul terdengarlah suara “krak-krak” beberapa
kali, ternyata dinding batu itu telah menggeser terbuka sendiri Dan begitu
dinding melekah, tanpa ayal Siao-liong-li ayun selendang suteranya, sekaligus
ia serang kedua lawannya, Li Bok-chiu dan Ang Ling-po, serangannya cepat dan
orangnya ikut melayang maju juga dengan gesit.
Tatkala
itu Li Bok-chiu sudah dapat melepaskan tutukan Hiat-to pada tubuh Ang Ling-po,
ia telah damperat muridnya ini yang tak becus sampai kena diingusi satu “anak
kemarin”
Habis
itu guru dan murid berdua ini telah meraba keadaan dalam kuburan kuno itu
hingga akhirnya tujuh atau delapan kamar sudah dapat dibobolkan dan masih
hendak masuk lebih dalam lagi.
Tentu
saja mereka menjadi kaget ketika mendadak nampak Siao-liong-li malah menyerbu
ke-luar, Lekas2 Li Bok-chiu ayun senjata kebut untuk menangkis serangan
selendang sutera orang.
Kebut
dan selendang sutera semuanya adalah benda yang lemas, kini lemas lawan lemas,
namun Li Bok-chiu terlebih ulet, maka begitu kedua senjata saling beradu,
seketika selendeng sutera Siao-liong-li menggulung balik.
Tetapi
Siao-liong-li tidak andalkan serangan tadi saja, ketika ujung selendang membalik,
sebelah ujung yang lain segera menyamber maju pula, sekejap mata saja ia sudah
melontarkan beberapa kali serangan, begitu lemas saja penampilan selendangnya
hingga se-akan2 sedang menari.
Dalam
kagetnya tadi Li Bok-chiu menjadi dongkol pula, “Nyata Suhu memang tak adil,
bila kah dia pernah mengajarkan kepandaian padaku seperti Sumoay ini ?”
demikian ia membatin.
Akan
tetapi karena ia menaksir masih sanggup menandingi sang Sumoay, maka sementara
tipu serangan mematikan belum dia lontarkan, sebaliknya ia justru mengulur
tempo hendak menyaksikan ilmu silat lihay apa yang telah diajarkan kepada
Siao-liong-li oleh gurunya.
Dilain
pihak Ang Ling-po ternyata tidak tinggal diam.
Selama
hidup ia sangat bangga atas dirinya yang pintar dan cerdik, siapa tahu hari ini
bisa terjungkal dibawah tangan satu “anak kemarin”, bahkan dirinya telah
dipermainkan setengah harian oleh orang yang berlagak tolol dan untuk ini
sedikitpun dirinya ternyata tidak mengetahui, keruan saja tidak kepalang
gemasnya.
Dalam
pada itu ia lihat sang Suhu dengan sengitnya sedang menempur sang Susiok, maka
kesempatan ini hendak dia gunakan untuk balas dendam.
“Hayo,
Sah Thio, kau keparat ini betul2 kurangajar,” demikian segera ia bentak Yo Ko
dengan suara garang, Habis ini ia lolos sepasang pedangnya sambil melangkah
maju, lalu ia membentak lagi : “lni lihat, akan ku iris batang hidung-mu !”
Nampak
orang cukup kalap, terpaksa Yo Ko harus angkat pedang buat menangkis.
Sebenarnya
kalau dalam keadaan biasa, turuti adat Yo Ko, tentu dia akan keluarkan kata2
sindiran untuk menggoda orang, tetapi kini kare-teringat dirinya bakal berpisah
dengan Siao-liong-li, maka matanya telah basah mengembeng air hingga
pandangannya menjadi remang2, karena itu atas serangan orang ia hanya menangkis
asal menangkis saja, sama sekali ia tidak melakukan serangan balasan.
Di
pihak sana setelah Ang Ling-po melontarkan beberapa kali serangan, meski tidak
bisa melukai Yo Ko, namun melihat gerak tangan orang seperti tak bertenaga, ia
menyangka kepandaian bocah ini hanya sekian saja, keruan ia tambah gemas dan
penasaran kena diingusi orang.
Sementara
itu setelah saling gebrak belasan jurus antara Li Bok-chiu dan Siao-Iiong-li,
mendadak yang tersebut duluan itu putar kebutnya hingga selendang sutera
Siao-liong-li kena terlibat.
“Sumoay,
lihatlah kepandaian Suci-mu ini,” kata Li Bok-chiu.
Habis
berkata, se-konyong2 ia getarkan kebutnya dengan tenaga dalam karena itu,
selendang sutera lawannya segera terputus menjadi dua.
Ilmu
kepandaian yang diunjukkan Li Bok-chiu ini memang lihay luar biasa, Biasanya
dalam pertarungan senjata tajam melawan senjata tajam, untuk mematahkan senjata
lawan saja sangat sulit, apalagi kini baik kebut maupun selendang tergoIong
benda2 yang lemas, tetapi Li Bok-chiu toh sanggup membetot putus selendang sutera
itu, sungguh hal ini berpuluh kali lipat lebih sukar daripada mematahkan
senjata tajam yang keras.
Sungguhpun
demikian, namun Siao-liong-Ii sedikitpun tidak menjadi jeri oleh kepandaian
orang.
“Hm,
sekalipun kepandaianmu bagus, kau mau apa lagi ?” sambutnya dingin, Berbareng
itu tiba2 ia gunakan separoh selendangnya yang terputus itu untuk menyerang,
sekali dia ayun, tahu2 ujung kebut Li Bok-chiu kena terlilit juga, menyusul ini
ujung selendang yang lain segera menyamber dan melilit pula garan kebut yang
terbikin dari kayu, ketika yang satu ditarik ke kiri dan yang lain di-betot ke
kanan, maka terdengarlah suara “pletak”, nyata kebut Li Bok-chiu juga telah
kena dipatahkan.
Kalau
mempersoalkan kekuatan, serangan balasan Siao-liong-li ini memang belum bisa
melebihi tenaga betotan Li Bok-chiu yang memutuskan selendang dengan tenaga
getaran tadi, tetapi tepatnya, kesebatannya mengeluarkan serangan balasan cukup
membikin Li Bok-chiu tak berdaya.
Begitulah,
maka Li Bok-chiu rada terperanjat juga oleh serangan kilat tadi, namun segera
ia buang garan kebut yang patah itu, lalu dengan tangan kosong merangsang maju
hendak merebut selendang Siao-liong-li.
Karenanya
Siao-Iiong-li di desak hingga terus mundur ke belakang.
Setelah
belasan jurus berlalu lagi, akhirnya Siao-liong li telah mundur sampai di dekat
dinding batu sebelah timur, tampaknya untuk mundur lebih jauh sudah tidak
mungkin lagi.
Dalam
keadaan demikian, mendadak ia baliki sebelah tangannya terus menekan pada
tembok batu sambit berteriak: “Ko-ji, lekas pergi !”
Berbareng
dengan itu terdengarlah suara “krak” yang keras, ternyata di ujung barat-daya
sana telah terbuka satu lobang, Sungguh terkejut sekali Li Bok-chiu, dengan
cepat ia putar tubuh hendak merintangi larinya Yo Ko. Akan terapi Siao-liong-li
lidak membiarkan lawannya sempat memutar, ia buang selendang suteranya, dengan
kedua tangannya, sekaligus ia menyerang dengan tipu2 yang mematikan.
Karena
terpaksa, dengan sendirinya Li Bok-chiu memutar balik untuk menangkis serangan
itu.
“Ayo,
Ko-ji, lekas kau berangkat !” teriak Siao-Iiong-li pula.
Semula
Yo Ko agak ragu2, ia coba memandang Siao-liong-li, namun segera dia insaf bahwa
urusan ini tak mungkin bisa ditarik kembali Iagi.
“Kokoh,
pergilah aku !” demikian teriaknya segera. berbareng ia ayun pedang dan susul
menyusul menyerang tiga kali, semuanya ia arahkan ke muka Ang Ling-po.
Oleh
karena tadi Ang Ling-po melihat gerak pedang Yo Ko tak bertenaga, maka sama
sekali dia tak duga bahwa mendadak Yo Ko bisa melontarkan serangan berbahaya
ini, dalam keadaan kepepet, terpaksa ia melompat mundur ke belakang.
Karena
kesempatan inilah, begitu Yo Ko geraki tubuhnya, tahu2 ia sudah menyerobot
keluar pintu gua tadi, namun demikian, ia masih coba menoleh hendak memandang
lagi pada Siao-liong-li untuk penghabisan kalinya.
Sebenarnya
kalau dia tidak menoleh buat memandang, tetapi terus pergi begitu saja, kelak
entah betapa banyak kesulitan akan terhindar dan berkurang dengan macam2
godaan, tetapi karena Yo Ko dilahirkan dengan watak dan perasaan yang penuh
kemanusiaan, meski berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, toh ia masih
ingin memandang sekali lagi pada Siao-liong-Ii.
Justru
oleh karena pandangan inilah, seumur hidup Yo Ko lantas berubah juga nasibnya.
Siao-liong-li
melawan kakak seperguruan sendiri dengan sama2 bertangan kosong, kalau hanya
beberapa puluh jurus saja belum tentu dia akan dikalahkan, tapi oleh karena
kepergian Yo Ko yang bayangan tubuhnya berkelebat keluar pintu, tiba2 teringat
oleh Siao-liong-li bahwa dengan perginya Yo Ko ini mereka tak akan bersua lagi
untuk se-lama2nya, maka dadanya tiba2 se-akan2 menjadi sesak, matanya pun
menjadi sepat dan ingin meneteskan air mata.
Selama
hidup Siao-liong-li tidak pernah terguncang perasaan murninya, siapa tahu hari
ini saja sudah dua kali ia hampir menangis, keruan seketika ia tersadar dan
luar biasa terkejutnya, justru pertandingan diantara jago silat sedikitpun
pantang teledor, sedikit tertegunnya tadi yang sejenak saja telah digunakan Li
Bok-chiu dengan baik, se-konyong2 ia berhasil mencengkeram “hwe-cong-hiat”
pergelangan tangan Siao-liong-li, menyusul ini sebelah kakinya menjegal, keruan
saja Siao-liong-li tak sanggup berdiri tegak, ia kena dirobohkan ke lantai.
Pada
saat robohnya Siao-liong-li itulah, saat itu juga Yo Ko tepat sedang menoleh
memandangnya, Dengan sendirinya luar biasa kagetnya demi dilihatnya sang guru
hendak dicelakai Li Bok-chiu, darahnya seketika mendidih, dalam keadaan
demikian, sekalipun langit ambruk atau bumi terbalik juga tidak dia hiraukan
lagi.
“Jangan
mencelakai Kokoh !” demikian ia berteriak Berbareng ini ia menubruk masuk
kembali, dari belakang segera ia merangkul pinggang Li Bok-chiu dengan kencang.
Tipu
serangan Yo Ko ini betul2 “diluar kamus silat”, sama sekali tidak terdapat
dalam teori persilatan golongan manapun, hanya saking kuatirnya Yo Ko tidak
pikirkan apakah rangkulannya ini masuk akal atau tidak, yang dia pikir hanya
menolong Siao-liong-li saja.
Sebaliknya
karena Li Bok-chiu hanya memikir hendak tawan Siao-liong-li, maka se-kali2 tak
diduganya bahwa Yo Ko yang sudah kabur keluar itu bisa masuk kembali, bahkan
terus menubruk punggungnya, karena tak ter-sangka2, maka pinggangnya seketika
kena terangkul kencang dan tak dapat dilepaskan meski dia coba me-ronta2.
Walaupun
tindak-tanduk Li Bok-chiu biasanya sangat kejam dan tidak suka terikat oleh
segala adat-istiadat umum, namun tubuhnya yang suci bersih senantiasa dia jaga
baik2, oleh sebab itu, meski sudah beberapa puluh tahun berkelana di dunia
Kangouw toh dia masih tetap bertubuh perawan, tetapi kini mendadak dirangkul Yo
Ko se-kencang2nya, seketika terasa olehnya semacam hawa hangat kaum lelaki
se-akan2 menembus punggungnya terus masuk ke lubuk hatinya, tanpa tertahan
seluruh badannya menjadi lemas tak bertenaga, mukanyapun berubah merah.
Dahulu
waktu di daerah Kanglam sebelah matanya sampai kena ditotol buta oleh burung
merahnya Yo Ko, soalnya juga disebabkan oleh rangkulan Yo Ko, tatkala itu Yo Ko
masih kecil, namun toh sudah memiliki bau laki2 umumnya yang khas, siapa tahu
kejadian mana kini bisa terulang lagi, apa pula kini Yo Ko sudah berupa pemuda,
maka hawa hangat yang mengalir keluar dari tubuhnya itu lebih2 menggoncangkan
perasaan kaum wanita.
Oleh
karena rangkulan Yo Ko inilah, tangan Li Bok-chiu yang mencekal pergelangan
Siao-liong-li lantas menjadi kendor, sudah tentu kesempatan ini tidak
di-sia2kan Siao-liong-li, seketika ia baliki tangannya dan bergantian menekan
urat nadi tangan orang, namun di lain pihak ujung senjata Ang Ling-po sudah
menempel juga di punggung Yo Ko.
Tatkala
itu Siao-liong-li sudah terebah di lantai ketika dilihatnya Yo Ko terancam
bahaya, segera ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, sekaligus ia tarik Li
Bok-chiu serta Yo Ko ke samping, dengan demikian tusukan Ang Ling-po menjadi
mengenai tempat kosong,
“Ko-ji,
lekas berangkat !” bentak Siao-liong-li sesudah melompat bangun.
Akan
tetapi sekali ini Yo Ko ternyata tidak turut perintahnya ia masih merangkul
pinggang orang kencang-kencang.
“Tidak,
Kokoh, kau saja yang pergi, aku menyikap dia begini, tidak nanti dia bisa
lolos,” teriak Yo Ko.
Di
lain pihak, dalam sekejap itu pikiran Li Bok-chiu sudah berputar belasan kali,
sebentar ia insaf keadaan sangat membahayakan dirinya, terpaksa dia harus
kumpulkan tenaga dalam untuk melepaskan diri dari pelukan orang, tetapi lain
saat terasakan olehnya berada dalam pelukan Yo Ko, rasanya begitu enak, begitu
meresap hingga sukar dilukiskan.
Keruan
saja Siao-Iiong-li ter-heran2, ia pikir ilmu silat sang Suci begitu tinggi,
kenapa bisa ditaklukkan Yo Ko hingga tak mampu berkutik ?
Dalam
pada itu dilihatnya Ang Ling-po telah angkat pedangnya hendak menusuk Yo Ko
lagi. “Perempuan ini kurangajar terhadap diriku tadi, harus kuhajar adat
padanya,” demikian ia pikir dengan lekas.
Karena
itu, tiba2 kedua jarinya menyentil ke batang pedang Ang Ling-po yang kiri,
begitu hebat selentikan ini hingga pedangnya mendadak meloncat terus membentur
pedang Ang Ling-po di tangan kanan dengan mengeluarkan suara nyaring Keruan Ang
Ling-po terkejut, kedua tangannya pun linu oleh karena tenaga benturan tadi
sehingga sepasang pedangnya terjatuh ke lantai, saking kaya sampai Ang Ling-po
berkeringat dingin, pula ia melompat mundur.
Dan
oleh karena saling beradunya kedua pedang tadi sehingga mencipratkan lelatu
api, maka sekilas terlihat oleh Li Bok-chiu bahwa diantara sinar mata sang Sumoay
seperti mengunjuk semacam perasaan aneh dan sedang memandang padanya dengan
dingin.
Karena
itu, tanpa terasa Li Bok-chiu jadi malu juga, “Anak busuk, apa kau minta mampus
?” damperatnya segera, Berbareng ini kedua lengannya tiba2 bekerja, yang satu
meronta dan yang lain melepas, maka berhasil dia loloskan diri dari pelukan Yo
Ko yang “mesra”, bahkan menyusul telapak tangannya terus memukul ke arah Siao-
liong-li
Dengan
sendirinya Siao-liong-li menangkis, tetapi segera terasa olehnya tenaga pukulan
sang Suci terlalu hebat, terlalu kuat, ia sendiri baru sembuh dari luka parah.
dadanya kini menjadi sakit lagi oleh karena getaran pukulan orang.
Dalam
pada itu, dilihatnya Yo Ko merangkak bangun dan kembali menubruk maju hendak
membantu dirinya pula, Karuan ia sangat mendongkol
“Ko-ji,
apa betul2 kau tidak mau turut perkataanku ?” bentaknya.
“Apa
saja yang bibi katakan akan kuturut, hanya sekali ini saja aku tak mau turut,”
sahut Yo Ko tiba2, “O, Kokoh yang baik, biarlah aku mati-hidup bersama saja
dengan kau.”
Mendengar
lagu suara orang begitu tulus dan begitu sungguh2, kembali hati murni
Siao-Iiong-li” terguncang lagi.
Sementara
ia lihat Li Bok-chiu kembali melontarkan sekali gablokan pula, ia insaf
kepandaian sendiri kini banyak terganggu, pukulan keras ini se-kali2 tak dapat
ditangkisnya, tanpa pikir segera ia melompat ke samping, berbareng ini ia
samber tubuh Yo Ko terus melarikan diri keluar dari lubang pintu tadi.
Namun
Li Bok-chiu tidak tinggal diam, segera ia menyusul di belakang orang dan ulur
tangan hendak menjambret punggung Yo Ko, “Jangan lari!” demikian bentaknya
pula.
Tetapi
Siao-liong-li sudah siap, tiba2 ia baliki tangannya dan berhamburlah segenggam
pasir tawon putih dengan cepat ke arah Li Bok-chiu.
Begitu
lihay Giok-hong-soa atau pasir tawon putih itu hingga se-akan2 tak bersuara,
tetapi tahu2 sudah menyamber tiba, Namun betapapun juga Li Bok-chju terhitung
sesama guru dengan Siao-liong-li, dia kenal betapa lihaynya Am-gi ini, ketika
mendadak hidungnya mengendus bau manis dan harum madu tawon, dalam kagetnya
sekonyong-konyong ia mengayun tubuhnya sendiri ke belakang, karena perbuatannya
ini sama sekali tak ter-duga2, maka Ang Ling-po yang membuntut dibelakang sang
guru kena tertumbuk hingga ke-dua-duanya jatuh terjungkal.
Dalam
pada itu terdengarlah suara “cring-cring” nyaring halus, kiranya belasan butir
pasir tawon putih itu telah kena menyambit dinding batu, menyusul terdengar
pula suara “krekat-kre-ket” dua kali, nyata Siao-liong-li sudah lari keluar
kamar batu dengan menggondol Yo Ko, alat perangkap rahasia dikerahkan, maka
kembali pintu gua tersumbat rapat pula.
Sesudah
meloloskan diri keluar kuburan itu bersama gurunya, Yo Ko tidak kepalang
girang-nya, ia menghisap hawa segar beberapa kali di alam terbuka itu.
“Kokoh,
sekarang biar kuturunkan batu raksasa itu, agar dua wanita jahat itu mampus di
dalam kuburan,” katanja kemudian pada Siao-liong-li, habis ini lantas ia hendak
pergi mencari alat rahasianya.
Diluar
dugaan Siao-liong-li telah goyang2 kepala atas usulnya tadi.
“Nanti
dulu, tunggu kalau aku sudah masuk pula ke dalam,” katanya tiba2.
Keruan
Yo Ko terkejut
“He,
kenapa mau masuk lagi ?” tanyanya cepat.
“Ya,
Suhu sudah pesan aku menjaga baik2 kuburan ini, maka se-kali2 tidak boleh aku
mem-biarkannya dikangkangi orang lain,” kata Siao-liong-li.
“Jika
kita tutup rapat pintu kuburan, mereka kan tidak bakal hidup lebih lama lagi,”
ujar Yo Ko.
“Ya,
tetapi akupun tidak bisa masuk kemba-li,” sahut Siao-liong-li. “Apa yang
dikatakan Suhu tak berani kubantah, Hm, tidak seperti kau !” -Habis berkata,
dengan sengit ia pelototi Yo Ko sekejap.
Seketika
hati Yo Ko terkesiap, darahnya segera bergolak lagi, tiba2 ia pegang lengan
Siao-liong-li dan berkata: “Baiklah Kokoh, aku pasti turut segala perkataanmu.”
Mendengar
kata2 Yo Ko yang diucapkan dengan mesra ini, Siao-liong-li sedapat mungkin
menahan perasaan hatinya, tak berani dia terguncang lagi, maka sepatah-katapun
ia tidak menyahut, ia kipatkan tangan orang terus masuk kembali ke dalam
kuburan kuno itu.
“Nah,
lekaslah kau turunkan batu penutupnya !” katanya kemudian sambil berdiri
mungkur, ia sengaja membelakangi Yo Ko yang masih berdiri di luar kuburan, ia
kuatir kalau dirinya tak sanggup menguasai perasaan sendiri, maka dia tak mau
memandang pemuda itu lagi.
Di
lain pihak Yo Ko sendiripun diam2 sudah ambil suatu keputusan, ia sedot dalam2
hawa segar alam terbuka itu, waktu ia menengadah, ia lihat cakrawala penuh
bertaburan dengan bintang2 yang berkelap-kelip, “lnilah untuk penghabisan
kalinya aku memandang langit dan bintang,” katanya di dalam hati.
Kemudian
ia mendekati sebelah kiri pilar kuburan itu, ia turuti apa yang pernah
Siao-liong-li tunjuk padanya, dengan kuat ia geser pilar batu itu, betul saja
di bawahnya terdapat sepotong batu lagi yang berbentuk bundar, maka dipegangnya
batu bulat itu terus ditarik sekuat tenaganya.
Oleh
karena tarikan itu, batu bundar itu terlepas hingga berwujut satu lubang,
menyusul dari dalam lubang itu pe-lahan2 mengalir keluar pasir halus seperti
mata air yang mengalir keluar dari sumbernya, maka tertampaklah dua batu
raksasa di atas kuburan pe-lahan2 mulai menurun.
“Kedua
potong batu raksasa ini beratnya beratus ribu kati, dahulu waktu Ong Tiong-yang
membangun kuburan ini, untuk memasang batu2 ini saja diperlukan tenaga ratusan
orang secara gotong-royong, kini kalau sampai pintu kuburan tersumbat rapat
oleh batu raksasa ini, maka dapat dipastikan Li Bok-chiu, Siao-liong-li dan Ang
Ling-po selama hidup tidak bakal bisa keluar kembali.
Menyadari
akibatnya apabila batu raksasa itu merapat, tak tertahan lagi air mata Siao-liong-li
bercucuran, mendadak dia menoleh.
Dalam
pada itu batu raksasa itu kira2 tinggal dua kaki lagi hampir sampai di tanah,
se-konyong2 dengan gerak tipu “giok-li-tau-so” (si gadis ayu melempar tali),
secepat kilat Yo Ko menerobos masuk lagi ke dalam kuburan melalui lubang
selebar dua kaki itu secepat anak panah terlepas dari busurnya.
Siao-liong-li
menjerit kaget oleh perbuatan Yo Ko yang tak terduga itu. sementara itu Yo Ko
sudah berdiri tegak lagi di hadapannya.
“Kokoh,
kini kau tak bisa mengusir aku lagi,” kata bocah ini dengan tertawa.
Baru
habis berkata, tiba2 terdengar dua kali suara keras, kiranya kedua batu raksasa
itu sudah membentur tanah hingga kuburan itu tertutup rapat.
Dalam
kagetnya tadi segera Siao-liong-li merasakan kegirangan yang tak terhingga
pula, saking hebat guncangan perasaannya, hampir2 saja ia jatuh pingsan lagi,
dengan badan lemas ia bersandar pada dinding batu, napasnya ter-sengal2.
“Baiklah,
biar kita mati bersama di suatu tempat,” katanya kemudian sesudah agak lama,
Habis ini ia gandeng tangan Yo Ko dan masuk ke ruangan dalam.
Tatkala
mana Li Bok-chiu berdua sedang berusaha hendak membuka pintu kamar yang
tertutup rapat itu, tetapi belum berhasil, keruan mereka kaget ketika melihat
Siao-liong-li dan Yo Ko mendadak muncul kembali, segera pula mereka kegirangan
begitu bergerak, segera Li Bok-chiu melompat ke belakang Siao-liong-li dan Yo
Ko dengan tujuan memotong jalan mundur mereka.
Namun
demikian, sikapnya Siao-liong-li tetap tenang saja.
“Suci,
marilah kubawa kau ke suatu tempat,” katanya tiba2 dengan dingin.
Karena
ajakan ini, Li Bok-chiu berbalik ragu2, ia tak menjawab, hanya dalam hati ia
membatin: “Di dalam kuburan ini penuh terpasang perangkap rahasia, jangan aku
sampai kena dikibuli.”
“Aku
hendak bawa kau berziarah ke depan abu Suhu, jika kau tak mau pergi,
terserahlah !” kata Siao-liong-li pula.
“Jangan
kau coba gunakan nama Suhu untuk menipu aku,” sahut Li Bok-chiu.
Siao-liong-li
tersenyum dingin oleh jawaban orang, iapun tidak ber-kata2 lagi, tetapi lantas
berjalan menuju ke pintu sambil masih gandeng tangan Yo Ko.
Lagu
suara dan tingkah laku Siao-liong-li seperti membawa semacam keangkeran yang
tak bisa dibantah orang, maka Li Bok-chiu berdua pun lantas mengikut di
belakangnya, cuma senantiasa ia berlaku waspada, sedikitpun tak berani lengah.
Meski
diikuti orang dari belakang, namun Siao-liong-li masih terus jalan ke depan
dengan gandeng tangan Yo Ko, sama sekali dia tak pikir kalau sang Suci mungkin
akan membokong dirinya, ia terus masuk ke kamar peti mati batu itu.
Meski
Li Bok-chiu sudah pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, namun kamar makam
ini ternyata belum dikenalnya, teringat olehnya budi mendiang gurunya yang
telah mendidiknya, dalam hatinya mula2 rada pilu juga, tetapi bila teringat
pula sang guru yang berat sebelah, pilih kasih pada sesama murinya, dari rasa
duka seketika berubah menjadi gusar, dan karena ini dia tidak berlutut dan
menyembah pada abu makam guru-nya.
“Hubungan
kami antara guru dan murid sudah lama terputus, untuk apa membawa aku ke sini
?” dengan marah segera ia damperat Siao-liong-li.
“Bukankah
disini masih ada dua peti mati kosong, yang satu disediakan untuk kau dan yang
lain buat aku,” kata Siao-liong-li kemudian dengan tawar saja, “Sebab inilah
aku ingin tanya dulu padamu, kau suka peti yang mana, boleh kau pilih
sesukamu.”
Ia
berkata sambil menuding pada kedua peti batu yang masih kosong itu.
Keruan
saja tidak kepalang gusar Li Bok-chiu.
“Kurangajar,
berani kau permainkan aku ?” bentaknya murka, sekali pukul tahu2 telapak
tangannya telah menuju dada Siao-liong-li.
Begitu
cepat pukulan ini hingga tampaknya dengan segera tangannya akan mampir di dada
orang, namun Siao-liong-li ternyata masih diam2 saja, sedikitpun ia tidak
berusaha menangkis atau mengelakkan diri, keruan berbalik Li Bok-chiu sendiri
tertegun, “Jika kena, pasti dia mampus seketika,” pikir Li Bok-chiu diam2, dan
karena orang masih tetap tidak menangkis, tiba2 telapak tangannya yang tinggal
beberapa senti di depan dada Siao-liong-li itu mendadak dia tarik kembali
mentah-mentah.
Di
lain pihak Siao-liong-li ternyata masih tenang2 saja meski setiap saat jiwanya
terancam bahaya. “Suci, Toan-liong-ciok pintu kuburan sudah menutup rapat!”
demikian katanya.
“Ha
?” seru Li Bok-chiu kaget, seketika mukanya menjadi pucat lesi pula.
Ya,
meskipun tidak semua perangkap rahasia di dalam kuburan ini dia dikenalinya,
namun “Toan-liong-ciok” atau batu-pemotong-naga, yaitu kedua batu raksasa
penutup pintu kuburan tadi, cukup dikenalnya sebagai satu jalan paling lihay
pada saat terakhir, dahulu batu raksasa itu disediakan gurunya untuk men-jaga2
bila kedatangan musuh tangguh yang tak bisa dilawan, maka batu itu dapat
dipakai sebagai benteng pertahanan siapa tahu dirinya kini justru kena ditutup
rapat di dalam kuburan oleh sang Sumoay.
“Kau
tahu jalan ke… keluar lain, bukan ?” tanyanya kemudian dengen suara ter-putus2.
“Kau
sendiri cukup tahu, apabila Toan-liong-ciok sudah menutup, maka pintu kuburan
tidak nanti bisa dibuka lagi,” kata Siao-liong-li dingin.
“Kau
bohong !” teriak Li Bok-chiu tiba2 dengan bengis sambil janmbret dada orang.
Walaupun
diperlakukan secara kasar, tetap Siao-liong-li tidak melawan atau menjadi
marah.
“Nah,
di sanalah Giok-li-sim-keng yang ditinggalkan Suhu itu, kau ingin membacanya,
pergilah baca sesukamu,” kata Siao-liong-li lagi tetap tenang.” Aku sendiri
menanti disini bersama Ko-ji, mau kau bunuh, boleh kau lakukan, tetapi bila kau
ingin keluar dari sini, itulah kukira tidak mungkin lagi!”
Nampak
sikap orang, tangan Li Bok-chiu yang menjambret baju dada Siao-liong-li pe-lahan2
menjadi kendur dan lurus ke bawah lagi, dengan penuh perhatian ia coba awasi
orang, lihat wajah Siao-liong-li mengunjuk sikap yang acuh tak acuh, maka
percayalah dia se-kali2 sang Sumoay tidak ber-dusta.
“Baik
juga, biar kubunuh dahulu kalian berdua !” katanya tiba2, pikirannya mendadak
berubah. Berbareng ini sebelah telapak tangannya dia pukulkan ke muka
Siao-liong-li.
Diluar
dugaannya, se-konyong2 Yo Ko melompat maju terus menghadang di hadapan
Siao-liong-li.
“Mau
bunuh, bunuh saja diriku !” demikian teriaknya pula.
Karena
ini, telapak tangan Li Bok-chiu berubah arah menuju dada Yo Ko, namun sesudah
dekat, sesaat masih dia tahan dan tidak dipukulkan terus, dengan sorot mata
gemas ia pandang marah ini
“Lagi2
begini rupa kau membela dia, apa kau memang sudah rela mati untuk dia ?”
tanyanya kemudian
“Ya
!” sahut Yo Ko dengan suara lantang.
Atas
jawaban ini, secepat kilat tahu2 Li Bok-chiu sudah dapat merampas pedang Yo Ko
yang terselip di ikat pinggangnya itu, dengan senjata rampasan ini segera
ditodongkannya ke tenggorokan anak itu.
“Aku
hanya perlu bunuh seorang saja,” kata Li Bok-chiu. “Coba kau katakan sekali
lagi, kau yang mati atau dia saja yang mati ?”
Yo
Ko tidak menjawab, ia pandang Siao-liong-li sambil tertawa, Nyata tatkala itu
mereka berdua ini sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi, tidak peduli Li
Bok-chiu akan membunuh mereka dengan cara bagaimana, yang jelas mereka tidak
akan menggubrisnya.
Nampak
kelakuan Yo Ko dan Siao-liong-li ini, tiba2 Li Bok-chiu menghela napas panjang,
pedangnya dilemparkan ke lantai.
“Sudahlah,
Sumoay, sumpahmu sudah batal, kau boleh bebas keluar dari sini,” katanya dengan
suara lemah.
Sebab
apakah tiba2 Li Bok-chiu berkata demikian ? Kiranya Ko-bong-pay yang didirikan
Lim Tiao-eng ini, karena dahulu dia mencintai Ong Tiong-yang secara sepihak dan
tidak terbalas, dalam dukanya maka Lim Tiao-eng telah menetapkan satu peraturan
perguruan yang keras, yalah barang siapa yang menjadi ahliwaris golongan
Ko-bong-pay ini harus bersumpah untuk selama hidup akan menetap di dalam kuburan
kuno dan seumur hidup tidak akan turun dari Cong-lam-san, Tetapi ada suatu
kekecualian, yakni apabila ada seorang pemuda dengan rela dan tulus hati
bersedia mati untuknya, maka sumpah seumur hidup tidak akan turun gunung itu
menjadi batal.
Hanya
saja hal ini se-kali2 tidak boleh diketahui lebih dulu oleh si lelaki itu.
Sebab Lim Tiao-eng anggap kaum laki2 di seluruh jagat ini semuanya berhati
palsu, tidak nanti ada laki2 yang rela mati untuk seorang perempuan, bila
betul2 ada orangnya, maka anak murid keturunannya boleh mengikuti lelaki itu
turun gunung.
Li
Bok-chiu sendiri lebih dulu masuk perguruan daripada Siao-liong-li, seharusnya
dialah yang menjadi ahliwaris Ko-bong-pay, tetapi karena dia tak mau bersumpah
untuk tidak turun gunung, maka akhirnya Siao-liong-li yang diangkat sebagai
ahliwaris Ko-bong-pay.
Melihat
Yo Ko begitu tulus dan setia pada Siao-liong-li, tanpa terasa dari kagum, iri,
terasa menjadi benci pula, teringat oleh Li Bok-chiu dahulu Liok Tian-goan
telah ingkar janji dan patahkan hatinya, maka tiba2 ia beringas lagi.
“Ya,
Sumoay, kau sungguh beruntung sekali,” teriaknya mendadak, habis ini ia samber
pedang yang jatuh tadi terus ditusukkan ke tenggorokan Yo Ko.
Melihat
tusukan orang sekali ini benar2 keji dan sungguhan, dalam keadaan berbahaya,
tidak bisa tidak Siao-liong-li harus menolong Yo Ko.
belasan
butir Giok-hong-soa segera dia hamburkan lagi.
Lekas2
Li Bok-chiu enjot kakinya, ia meloncat ke atas untuk menghindari serangan pasir
berbisa itu. Tetapi kesempatan ini kembali dipergunakan Siao-liong-li dengan
baik, ia tarik Yo Ko dan berlari lagi ke pintu dengan cepat.
“Suci,
sumpahku batal atau tidak perlu dipikirkan pendek kata kita berempat rupanya
sudah pasti akan mati bersama di dalam kuburan ini,” demikian Siao-liong-li
masih berpaling dan berseru pada Li Bok-chiu, “Aku tak ingin melihat rupamu
lagi, biarlah kita mati sendiri2 saja.”
Sembari
berkata, ia raba pada ujung dinding, lalu turun lagi pintu batu, kembali mereka
berempat di-pisah2kan pula.
Dalam
pada itu, saking tergoncangnya perasaan Siao-liong-li seketika sukar melangkah
lagi, Iekas2 Yo Ko memayangnya dan dibawa mengaso ke kamarnya Sun-popoh.
Yo
Ko menuang dua cangkir madu tawon, ia serahkan secangkir pada Siao-liong-li dan
dia sendiri minum secangkir.
“Ko-ji,
coba katakan, mengapa kau rela mati untuk aku ?” tanya Siao-liong-li kemudian
sambil menghela napas pelahan.
“Ya,
di dunia ini melainkan kau saja yang sangat baik padaku, mengapa aku tidak mau
mati untukmu ?” sahut Yo Ko tegas.
Mendengar
jawaban yang pasti ini, Siao-liong-li berbalik terdiam.
“Jika
tahu begini sebelumnya, kitapun tidak perlu lagi kembali ke dalam kuburan untuk
mati bersama mereka,” katanya sesudah lewat sejenak.
“Kokoh,
apa kita tak bisa berdaya untuk keluar ?” tanya Yo Ko.
“Nyata
kau tidak tahu betapa kuat bangunan kuburan ini” sahut Siao-liong-li
“Sungguhpun kepandaianku sepuluh kali lebih tinggi lagi juga tak mampu keluar.”
Mengerti
jawaban orang ini bukan omong kosong belaka, Yo Ko menjadi putus asa dan
menghela napas.
“Kau
menyesal bukan ?” tanya Siao-liong-li.
“Tidak,
tidak,” sahut Yo Ko cepat dan pasti “sedikitnya di sini aku berada bersama kau,
padahal di luar sana tiada seorangpun yang sayang padaku lagi.”
Dahulu
Siao-liong-li telah melarang Yo Ko membilang “kau sayang padaku” segala,
karenanya sejak itu Yo Ko tak pernah mengucapkannya lagi, tetapi kini
perasaannya sudah berubah, maka demi mendengar ucapan itu, sebaliknya terasalah
semacam perasaan yang hangat dan mesra.
“Kalau
begitu, kenapa kau menghela napas ?” ia tanya lagi.
“Kokoh,
aku pikir apabila kita bisa sama2 turun gunung, di dunia luar sana banyak
sekali hal2 yang menarik, pula kau selalu mendampingi aku, siapapun tentu tiada
berani menghina aku lagi,” sahut Yo Ko.
Hati
Siao-liong-li sebenarnya bersih dan tenang, sebab sejak bayi dia tinggal di
dalam kuburan kuno ini selamanya sang guru dan Sun-popo tidak pernah bercerita
tentang keadaan di dunia luar, dengan sendirinya hal semacam itupun tidak
pernah dia bayangkan, tetapi kini di-sebut2 Yo Ko, tanpa tertahan perasaannya
menjadi bergolak dan susah ditekan.
Siao-liong-li
merasa darah hangat di dadanya serasa mendidih dan membanjir ke atas, ia
berniat kumpulkan Lwekangnya buat mengatasi namun toh tetap tidak menjadi
tenang, diam2 ia heran dan terkejut, ia merasa seumur hidupnya belum pernah
mengalami pergolakan serupa ini, ia pikir tentu hal ini disebabkan sehabis
terluka parah, maka tenaga dalam sukar dipulihkan kembali.
Nyata
dia tidak tahu disebabkan dalam tubuhnya sudah banyak mengalir darahnya Yo Ko
yang panas, keadaan sudah jauh berbeda dengan wataknya dahulu yang tenang dan
dingin selalu, oleh karena itu gangguan2 tenaga dan berbagai macam pikiran
se-konyong2 lantas membanjir.
Ia
coba bersemadi di atas dipan, tetapi rasanya tetap gelisah, begitu kusut
pikirannya, dia lantas mondar-mandir dalam kamar itu, tetapi semakin jalan
rasanya semakin sumpek dan langkahnya juga semakin cepat hingga akhirnya dia
ber-Iari2 sendirian.
Melihat
kedua pipi orang semu merah dan sikapnya berobah aneh, Yo Ko luar biasa
heran-nya, belum pernah dia melihat kelakuan Siao-liong-li seperti sekarang ini
semenjak mereka berkenalan.
Setelah
ber-lari2 sebentar, kemudian Siao-liong-li duduk lagi di atas pembaringan, ia
coba pandang Yo Ko, ia lihat wajah pemuda ini cakap, tapi penuh rasa kuatir
atas dirinya, tibal hatinya tergerak, ia pikir: “Toh aku sudah mau mati, begitu
juga dia, Lalu buat apa lagi urus segala soal guru dan murid atau bibi dan
kemenakan ? jika dia mau peluk aku, pasti aku tidak akan menolak dan biarkan
dia peluk aku se-kencang2nya.”
Dalam
pada itu Yo Ko sedang mengamat-amati juga pada Siao-liong-li, ia lihat mata
orang seperti sedang bicara, dadanya naik-turun dengan napas rnemburu, ia
sangka sang guru kambuh lagi luka dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar