Kembalinya Pendekar Rajawali 86
“Baik,
asalkan kau tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup
rapat, nama baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan,” kata
Cikeng.
“Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol
itu?” tanya Ci-peng.
“Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima
anugerahnya,” jawab Ci-keng.
Hati Ci-peng terasa lega, tanyanya pula:
“Habis apa keinginanmu? Lekas katakan pasti akan kuturuti.”
Tidak lama kemudian, terdengar riuh ramai
suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai tanda segenap
anggauta harus berkumpul.
Li Ci siang memerintahkan anak buahnya
membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.
Ruangan besar itu penuh ber-jubel Tosu tua
dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian tampak
Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak bersemangat,
begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: “Para Toheng, atas perintah
Khuciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, siapa tahu Siauto
mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan…” karena keterangan
yang tak terduga-duga ini, seketika gemparlah para Tosu.
Kemudian Ci-peng menyambung: “Oleh karena
itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang
juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai
pejabat ketua.”
Seketika suasana menjadi hening, namun
keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara
protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan
lain-lain. Beramai-ramai mereka berteriak “Tidak! tidak! bisa! Khu-cinjin
menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh
diserahkan lagi kepada orang lain? - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng
terserang penyakit maut seoara mendadak? Betul, di balik urusan ini tentu ada
sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau-suheng jangan terjebak oleh tipu
muslihat kaum
pengkhianat.?
Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi
panik, Li Ci-siang dan kawan-kawannya sama melotot pada Tio Ci-keng, tapi
Ci-keng tampaknya tenang-tenang saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.
In Ci-peng lantas memberi tanda agar semua
diam, lalu berkata: “Datangnya urusan ini terlalu mendadak, pantas kalau
saudara2 tidak paham persoalannya. Coan cin-kau kita sedang menghadapi
malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan besar, sekalipun mati
juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang
mengancam.”
Sampai di sini, air mukanya tampak sedih
sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: “Sudah kupikirkan dengan
masak-masak, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat
membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu di antara para Suheng
dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama-sama membantu
Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coancinkau kita
ini.”
Li Ci-siang menjadi sangat curiga, dari sikap
In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sukar diuraikan,
kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, iapun
tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain
diam-diam memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir
ia berteriak: “Kalau Ciangkau-suheng betul-betul mau mengundurkan diri juga
perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi, setelah dilaporkan barulah
diambil keputusan yang lebih bijaksana.”
“Tapi urusannya sudah terlalu mendesak, tidak
dapat menunggu lagi,” ujar Ci-peng dengan muram.
“Baiklah, seumpama memang begitu, di antara
sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi pekerti maupun mengenai
Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup banyak,” kata Ci-seng
pula. “Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka terlebih pintar dan tangkas,
kenapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Tio-suheng yang tidak dapat
diterima oleh semua orang.”
Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak
tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi
“Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat!
Kenapa tidak kau calonkan sekalian?”
Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: “Aku memang
bodoh dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau
dibandingkan Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu
silatku mungkin bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan
menjadi pengkhianat.”
“Apa katamu? Kalau berani katakanlah lebih
jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?” teriak Ci-keng dengan merah padam,
Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.
“Kedua Suheng tidak perlu berdebat,
dengankanlah perkataanku,” sela Ci-peng.
Meski kedua orang lantas diam, namun masih
saling melotot.
Lalu Ci-peng berkata pula: “Menurut peraturan
kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara
beramai-ramai betul tidak?”
Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng
melanjutkan “Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat
ketua penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Tio-suheng,
silakan maju menerima pesan.”
Dengan berseri-seri Ci-keng lantas maju ke
tengah dan memberi hormat. Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi,
tapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua tahu
Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.
“ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng
sehingga tidak berani melawannya,” kata Ci-siang dengan suara tertahan
“Maka kita harus membongkar muslihat Tio
Ci-keng itu secara diam-diam, sekarang In-suheng sudah memutuskan demikian,
kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah.”
Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut
dalam upacara penyerahan kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari
terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.
Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng
lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: “Silakan
utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!”
Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi,
tapi keburu dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu
telah datang dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.
Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut
dengan munduk2. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu
sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan
mukanya tambah bersungut.
Tapi segera seorang Tosu bagian protokol
lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah
dilimpahkan kepada Tio Ci-keng.
Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia
bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di
belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka
atau duka.
Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira
Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata: “Silakan Tayjin membacakan titah
raja.”
Diam-diam perwira itu bersyukur bahwa Coan
cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng.
ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja),
Ci-keng. Juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja:
“Dengan ini ketua Coar-cin-kau di…”
Melihat secara terangan Ci-keng menerima
anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain-lain tidak tahan lagi,
serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan
mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru
dengan lantang: “Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara
dan bakti kepada rakyat, sekali-kali kita tidak sudi menyerah kepada Mongol,
Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak
boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi.”
Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah
mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.
Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak,
Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan
kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama
sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap
pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia
menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: “Kurangajar,
kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?”
Tapi Ci-heng lantas balas membentak “Bangsat!
Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!”
Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi
daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap,
dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak
muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu,
betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.
Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira
MongoI itu:
“Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami,
rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol.” Maka sekarang
kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita
selesaikan di sana.”
Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu
ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: “Hm kalian berani
bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini
akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan.”
“Negara kami seluas ini saja sudah terancam
musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?” ujar Ci-siang.
“Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar
mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”
Tiba-tiba Siau-sing-cu menimbrung: “Bagaimana
perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!” - Mendadak kedua tangannya meraih,
tahu-tahu pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng
itu telah dirampasnya.
Cepat Cikeng melompat bangun terus berdiri di
samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang
rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci- keng, sedang pedang lain terus
menusuk ke arah Li Ci-siang. Trang”, Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak
tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam-diam ia
mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat
terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke
lantai.
Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan
cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga
patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas
mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid
tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.
Keruan semua orang kaget, sungguh mereka
tidak menyangka bahwa orang yang mirip “mayat hidup” ini ternyata memiliki
kepandaian setinggi ini.
Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat
Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain-lain, sekarang di hadapan orang banyak dia
telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja
dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera
pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng.
Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun
Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang
sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar
dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.
Pada detik gawat itulah mendadak dari samping
seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke
samping, “bret”. lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan
Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping
untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju
itu kiranya adalah In Ci-peng.
Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil
menuding Ci-peng: “Kau….kau berani….”
“Tio-suheng,” kata Ci-peng, “kau sendiri
menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan
pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?”
“Bilakah pernah ku berjanji begitu?” jawab Ci
keng, “Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab: “Aku
tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji?
Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?”
“Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?” Ci-peng
menggumam penuh rasa pedih, “Licik benar kau, Tio-suheng!”
Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima
pedang dari seorang muridnya segera ia berseru: “Saudara2 di dalam agama, kita
tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap
pengkhianat she Tio ini.” - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur
Ci-keng.
Ci-heng dan enam orang lainnya lantas
memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu
silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun
sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu
mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.
Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok
ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup
keras-keras.
Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang
mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit,
kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah:
“Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng,
kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk
membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu
serbuan musuh.
Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang
pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di
kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung.”
Orang-orang yang ditugaskan berjaga di kanan
kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian
dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara
pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan
juga sukar menembusnya.
Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi
perintah itupergi, tiba-tiba terdengar suara teriakan ramai, belasan orang
telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri
dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang
dipimpin adalah jago-jago pilihan dari berbagai suku bangsa.
Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI
pertahanan Siangyang selama ber-bulan-bulan, mendadak terjangkit wabah di
tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal,
segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liongli
tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang
dilakukan Kubilai.
Berhubung sukarnya Siangyang direbut,
dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum
mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan
membeli orang-orang gagah di Tionggoan.
Raja Mongol sengaja merangkul pihak
Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau
belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin
jago-jago lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau
menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.
Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup
ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana
di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama
di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan
rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain-lain tidak diketahui Kini musuh
mendadak muncul, seketika orang-orang Coancin-kau menjadi panik, Perwira Mongol
yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak: “Para
Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata
dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang.”
Tapi Ci-peng lantas membentak: “Tio-Ci-keng
telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita.”
Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi
Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati-matian, maka dia lantas memberi aba2
untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung
pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.
Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang,
0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain juga kecundang ada yang senjatanya
terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena
Hiat-to tertutuk. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa
kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.
Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu
silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan
lain-lain harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total,
perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng: “Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu,
tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada “Sri Baginda.”
Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: “Masih sesuatu urusan penting perlu
bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku sedang menyepi dibelakang gunung,
kalau mereka menerima berita dan memburu kesini…”
“Kebetulan kalau mereka ke sini, akan
kubereskan mereka bagimu,” ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.
Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia
mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah,
kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang-orang Mongol berarti
pula jiwanya sendiri terancam.
Dalam pada itu perwira Mongol tadi
telah berkata pula: “Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda,
habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu.”
Ci-keng mengiakan dan segera berlutut
mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain dapat mengikuti
kejadian itu dengan dada seakan-akan meledak saking gusarnya.
Song Tek-hong berduduk di sebelah Li
Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng: “Li-suheng, harap lepaskan pengikat
tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita.”
Ci-siang mengangguk punggungnya lantas
dirapatkan dipunggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk
membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah
berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan: “Kau harus hati-hati, jangan
sampai kelima guru kita terkejut.”
Tek-hong mengangguk dan siap-siap untuk
meloloskan diri. sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng
telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat
padanya.
Melihat semua orang sedang mengitari Tio
Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar
pemujaan.
“Berhenti!” Nimo Singh membentak Akan tetapi
Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat.
Karena kedua kakinya sudah buntung,
sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah
Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan “PIok”, dengan tepat kaki kiri
Tek-hong tertimpuk Piau itu.
Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan
sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago
Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat
banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari
kejaran musuh.
Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit
Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut
lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke
Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang
menyepi.
Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia
memandang kesana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol
sedang sibuk memindahkan batu-batu besar untuk menyumbat mulut gua
Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi
petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi
sedang sibuk mengatur ini dan itu.
Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu
adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang- kiong,
dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang
tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua
Giok-hitong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah
bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya?
Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak
berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu,
paling-paling jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan
guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma
memikirkan keselamatannya sendiri.
Segera ia melompat keluar dari tempat
sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya
itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu
pihak musuh kacau lebih dulu.
Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong,
tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau,
maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk
menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu
didalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah
diatasi.
Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir
mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa-apa, Tek-hong
bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar
suara “trang” sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke
belakang dan membentur pedangnya.
Tek-hong merasakan tangannya kesakitan,
pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah
darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup-sayup ia
dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi
yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa-apa, ia jatuh pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar